20
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu bidang ilmu agama Islam yang dikembangkan dalam lingkungan perguruan tinggi ialah hukum Islam dan pranata sosial. Ia terdiri atas berbagai bidang studi, di antaranya peradilan Islam (al-Qadha' fi al-Islam) yang mendapat perhatian cukup besar di kalangan fuqaha dan para pakar di bidang lain. Demikian halnya peradilan Islam di Indonesia, yang secara resmi dikenal sebagai peradilan agama, mendapat perhatian dari kalangan pakar hukum Islam, hukum tata negara, sejarah, politik, antropologi dan sosiologi. Ia menjadi sasaran pengkajian, yang kemudian ditulis dalam bentuk laporan penelitian, monografi, skripsi, tesis, disertasi dan buku daras. Hasil pengkajian itu, sebagian diterbitkan dan disebarluaskan.
Di samping itu, peradilan Islam menjadi bahan pengkajian dalam berbagia pertemuan ilmiah, baik yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi maupun di kalangan pembina badan peradilan dan organisasi profesi di bidang itu. Publikasi hasil pengkajian itu dapat ditemukan dalam berbagai kumpulan karangan dan dalam jurnal. Ia akan tetap menarik sebagi sasaran pengkajian, khususnya di Indonesia, karena memiliki keunikan tersendiri sebagi satu-satunya institusi keislaman yang menjadi bagian dari penyelenggaraan kekuasaan negara. Dengan sendirinya, muncul tuntutan pemetaan wilayah pengkajian dan metode yang tepat untuk digunakan. Bahkan, membutuhkan perumusan model pengkajian yang jelas, agar pengkajian peradilan Islam dapat dilakukan secara berkesinambungan dan produknya mendekati gambaran yang sebenarnya.
Rumusan Masalah
Bagaimana Awal Mula Peradilan Di Masa Rasulullah?
Apa Saja Sumber Hukum Peradilan?
Apa Saja Perangkat - Perangkat Lain Dalam Sistem Peradilan Pada Masa Nabi Muhammad Saw?
Bagaimana Proses Peradilan Islam itu?
Sebutkan Contoh Kasus Peradilan Islam Dan Penyelesaiannya?
Bagaimana Peradilan Agama di Indonesia?
Apa saja Fungsi Peradilan Islam?
Sebutkan Unsur Unsur Peradilan Islam?
Sebukan Prinsip – Prinsip Peradilan Dalam Islam?
Tujuan Pembahasan
Mengetahui Awal Mula Peradilan Di Masa Rasulullah
Mengetahui Sumber Hukum Peradilan
Mengetahui Perangkat - Perangkat Lain Dalam Sistem Peradilan Pada Masa Nabi Muhammad Saw
Mengetahui Proses Peradilan Islam
Mengetahui Contoh Kasus Peradilan Islam Dan Penyelesaiannya
Mengetahui Peradilan Agama di Indonesia
Mengetahui Fungsi Peradilan Islam
Mengetahui Unsur Unsur Peradilan Islam
Mengetahui Prinsip – Prinsip Peradilan Dalam Islam
POKOK PEMBAHASAN
Awal Mula Peradilan di Masa Rasulullah
Setelah Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasul, mulailah beliau menyampaikan risalah dakwah kepada penduduk makkah, terutama masalah akidah selama 13 tahun. Kondisi umat Islam masih lemah, baik dari segi kuantitas maupun kekuatan. Berbagai tekanan dan penindasan terjadi, sehingga belum memungkinkan untuk melaksanakan berbagaiketentuan agama terutama masalah peradilan.
Berbeda dengan di Makkah, kondisi Madinah relatif stabil dan jumlah umat Islam semakin banyak, sementara Rasulullah Saw dijadikan sebagai pemimpin oleh masyarakat Madinah baik umat Islam maupun non-Islam,sehingga sangat memungkinkan untuk melaksanakan berbagai ketentuan agama dan tuntutan syariah. Ketika terjadi permasalahan dimasyarakat, permasalahan tersebut dihadapkan kepada Rasulullah Saw., dan beliau menyelesaikan permasalahan berdasarkan apa yang telah diwahyukan Allah Swt. Kepadanya.
Orang yang pertama menjadi hakim dalam Islam adalah Rasulullah Saw. sendiri. Allah Swt. menjelaskan dalam Al-Qur'an surat an-Nisa: 65 bahwa di antara fondasi keimanan seseorang adalah menjadikan Rasulullah Saw. sebagai hakim terhadap perkara yang diselisihkan.
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."
Urusan peradilan di daerah-daerah diserahkan kepada penguasa yang dikirim ke daerah-daerah itu dan sekali-sekali pernah pula Rasul Saw menyuruh seseorang sahabat bertindak sebagai hakim di hadapan beliau sendiri. Beliau juga bertindak selaku mufti memberi fatwa kepada orang-orang yang memerlukannya. Maka pada diri beliau berpadulah tiga kedudukan, yaitu selaku hakim, selaku muballigh, dan selaku musysyarri'.
Sumber Hukum Peradilan
Rasulullah Saw memutuskan perkara dengan wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt kepadanya. Para penggugat dan tergugat hadir di hadapan Rasulullah Saw, maka beliaupun mendengar keterangan para pihak yang sedang berperkara. Adapun dalam penerapan hukum-hukum itu, haruslah diperhatikan prinsip-prinsip tentang pemeliharaan hak-hak sebagaimana keharusan berpegang kepada adanya bukti-bukti dan menetapkan tempat dalil-dalil Syari'at dengan ketentuan tidak boleh menyalahinya sedikit atau banyak. Adapun aturan-aturan tambahan yang dianggap sebagai sendi keadilan, maka berkembang kemudian menurut situasi zaman dan tempat.
Pembuktian-pembuktian di masa Rasulullah Saw ialah :
1. Bayyinah
2. Sumpah
3. Saksi
4. Bukti tertulis
5. Firasat
Rasulullah Saw sendiri bersabda :
"Keterangan (pembuktian) itu, diminta kepada penggugat sedang sumpah dikenakan atas tergugat".
Berbagai macam putusan yang Nabi Muhammad Saw telah tetapkan membuktikan bahwa, Nabi Muhammad Saw tidak pernah memihak kepada suatu golongan, dan beliau tetap memelihara keadilan dan kejujuran.
Perangkat - Perangkat Lain Dalam Sistem Peradilan Pada Masa Nabi Muhammad Saw
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā' (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.
Hisbah didefinisikan sebagai "memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan".Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah
Proses Peradilan
Pada zaman Nabi Muhammad Saw proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi Muhammad Saw untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā') yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw lebih bersifat sebagai "fatwa" dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah "pengadilan" dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Dalam konteks ini Nabi Muhammad Saw juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbas Nabi Muhammad Saw bersabda: artinya: Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatngkan oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan".(HR.At-Tirmizi) Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara langsung oleh Rasullah. Pada zaman Rasulullah Saw ini , hakim dijabat oleh Rasulullah Saw sendiri. Bagi daerah yang jauh, beliau serahkan kursi hakim kepada para sahabat. Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditugaskan menjadi hakim di Yaman. Begitu juga dengan sahabat Mu'âdz bin Jabal untuk menjadi gubernur dan hakim di Yaman.
Contoh Kasus Dan Penyelesaiannya
Ulama meriwayatkan banyak hukum yang dikeluarkan oleh Rasullulah Saw, namun disini ada beberapa kasus yaitu :
Rasulullah Saw memutuskan perselisihan antara Abu Bakar dan Rabi'ah Al Aslami tentang tanah yang didalamnya terdapat pohon kurma yang miring. Ada pun batangnya ditanah Robi'ah , sedangkan rantingnya ditanah Abu Bakar, dan masing-masing mengakui bahwa pohon tersebut miliknya.lalu keduanya pergi kepada Rasullulah Saw maka beliau memutuskan bahwa ranting menjadi milik orang yang memiliki batang pohon.
Khansa' Binti Khaddam Alansariah dinikahkan oleh bapaknya sedangkan dia janda dan tidak menyetujuinya,lalu ia datang kepada Rasulullah saw. Maka beliau membatalkan pernikahan tersebut, lalu ia berkata kepada Rasullulah Saw. " saya tidak menolak sesuatu apapun yang dipeerbuat ayahku , tapi saya ingin mengajarkan kepda kaum perempuan bahwa mereka memiliki keputusan terhadap diri mereka".
Seorang wanita ditalak suaminya , dan suaminya ingin mengambil anaknya darinya , lalu ia dating kepada nabi Muhammad Saw, maka beliaua berkata kepadanya : engkau lebiih berhak dengannya selama engkau tidak menikah."
Onta Barra' bin 'Azib masuk kebun orang lain lalu membuat kerusakan didalamnya, maka nabi memutuskan : " pemilik taman harus menjaganya pada siang hari , dan apa yang dirusak oleh ternak pada malam hari menjadi tanggungaan pemilik ternak."
Peradilan Agama di Indonesia
Peradilan agama adalah salah satu lembaga peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu menangani golongan rakyat tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Pengadilan agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu, tidak termasuk bidang pidana dan untuk orang-orang Islam di Indonesia, serta dalam perkara perdata Islam tertentu dan tidak mencangkup seluruh perdata Islam.
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat Pertama. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni menyangkut perkara-perkara:
Perkawinan
Waris
Wasia
Hibah
Wakaf
Zakat
Infaq
Shadaqah
Ekonomi Syari'ah.
Selain kewenangan tersebut, pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan bahwa "Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah". Penjelasan lengkap pasal 52A ini berbunyi: "Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.Di samping itu, dalam penjelasan UU nomor 3 tahun 2006 diberikan pula kewenangan kepada PA untuk Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Islam.
Fungsi Peradilan
Untuk melaksanakan tugas - tugas pokok tersebut Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :
Fungsi Mengadili (judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama di wilayah hukum masing-masing
Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya
Fungsi Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yustisial, administrasi peradilan maupun administrasi umum.
Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi, perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (Bidang Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang Umum) ;
Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ;
Fungsi lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset dan penelitian serta lain sebagainya, seperti diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI. Nomor : KMA/004/SK/II/1991
Unsur – Unsur Peradilan Islam
Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha'. Secara bahasa, rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah, rukun berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha' (unsur-unsur peradilan) yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa peradilan Islam mempunyai lima rukun atau unsur, yaitu:
Hakim (qadhi)
Yakni orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa melaksanakan sendiri tugas-tugas peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau mengangkat qadli-qadli untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat yang jauh
Hukum (qodho')
Yaitu suatu keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim:
Qadla' ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak dengan redaksi "aku putuskan atasmu demikian", atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
Qadla' tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.
Al-mahkum bih (hak)
Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada qadla' ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan pada qadla' tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.
Apabila hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau menurut lazimnya merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik hak itu sendiri, atau orang yang diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut mudda'i (penggugat). Jika ternyata dia tidak menuntut atau membatalkan tuntutannya, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya. Apabila hak yang dituntut itu adalah hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu merupakan hak Allah, maka tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Menurut hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik).
Al-mahkum 'alaih
Yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum 'alaih yaitu orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya, baik ia mudda'a alaih (tergugat) atau mudda'i (penggugat)
Al-mahkum lahu
Yaitu penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata (hak perdata), atau hak yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata. Mahkum lah harus melakukan sendiri gugatan atas haknya atau dengan perantaraan orang yang diberi kuasa olehnya, dan ia harus datang sendiri ke persidangan atau wakilnya. Adapun bila hak itu merupakan hak Allah semata, maka mahkum lah-nya adalah syara'. Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari perorangan, tetapi sesuai syari'at Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga penuntut umum.
Prinsip – Prinsip Peradilan
Negara-negara modern melaksanakan kepentingannya dengan menggunakan tiga kekuasaan, yaitu;
Kekuasaan perundang-undangan/as-sulthoh at-tasyri'iyyah yang berwenang membuat undang-undang.
Kekuasaan eksekutif/as-sulthoh at-tanfidziyyah yang bertugas melaksanakan undang-undang.
Kekuasaan kehakiman/as-sulthoh al-qodlo'iyyah yang berwenang menerapkan undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan dan menegakkan keadilan di antara manusia.
Kita lihat bahwa kekuasaan peradilan/kehakiman itu terpisah dari dua kekuasaan yang lain. Ini berarti bahwa kedua kekuasaan/lembaga lainnya tidak diperkenankan mengintervensi/ ikut campur dalam perkara-perkara atau urusan peradilan. Teori pemisahan kekuasaan ini memunculkan prinsip-prinsip penting dalam peradilan Islam yang jumlahnya ada delapan (8) yaitu:
Istiqlal al-qodlo'(kemerdekaan kehakiman)
Kekuasaan kehakiman itu merdeka/berdiri sebagai lembaga kekuasaan tersendiri. Tujuannya adalah untuk menjaga peradilan agar tidak terkena pengaruh atau dengan kata lain untuk menghindari adanya turut campur dua kekuasaan lain; legislatif dan eksekutif. Ini adalah hal yang bagus dan rasional dalam tatanan hukum. Prinsip ini sudah ada sejak masa Rasulullah SAW hidup.
Al-Musawah amamal qodlo' (kesamaan di hadapan hukum)
Kebanyakan orang beranggapan bahwa prinsip kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan itu tidak dikenal sebelum meletusnya revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 M. Padahal sebenarnya prinsip itu telah dikemukakan baik dalam al-qur'an, hadits, dan ucapan Khulafa'ur Rosyidin sejak abad ke-7 masehi. Dalam mengadili, Rasulullah SAW selalu bersikap sama di antara pihak yang berselisih. Begitu juga yang dilakukan oleh para khulafa'ur rosyidin.
Amirul mu'minin Umar ibn al-Khatthab r.a pernah memberikan nasehat kepada seorang qodli: "bersikaplah sama di antara manusia di hadapanmu dalam pernyataan dan keputusan. Sehingga orang yang mulia tidak berharap kemenangan perkara dalam keculasanmu, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu."
Majjaniyatul qodlo' (peradilan gratis)
Di negara-negara Islam, sejak dulu tidak pernah ada qodli yang boleh memungut biaya dari orang yang berperkara ke pengadilan. Hal ini untuk menunjukkan kedermawanan dan tidak adanya sikap tamak dalam diri sang Hakim/qodli. Pemerintahan Islamlah yang menggaji mereka (para qodli). Prinsip seperti ini tidak dikenal oleh negara-negara eropa kecuali setelah revolusi Prancis. Akan tetapi, dengan adanya prinsip ini bukan berarti orang yang berperkara tidak menyerahkan uang sama sekali ke pengadilan. Undang-undang positif mengharuskan penyerahan sedikit biaya untuk mengurus (administrasi) perkara yang diajukan.
At-taqodli 'ala darojatain aw al-isti'naf (upaya hukum naik banding).
Berdasarkan prinsip ini, orang berperkara yang telah mendapatkan keputusan hukum atas suatu kasus di pengadilan tingkat pertama, boleh mengajukan kasus itu lagi ke pengadilan yang lebih tinggi alias naik banding untuk mendapatkan keputusan hukum lagi atas kasus tersebut. Pengadilan yang lebih tinggi ini mempunyai kemerdekaan atau kebebasan untuk menentukan, apakah keputusan pertama atas kasus itu (hasil pengadilan sebelumnya) dikukuhkan , diganti, atau dibatalkan. Prinsip ini telah dikenal luas dalam semua undang-undang positif. Prinsip ini mempunyai faedah yang penting. Ia mendorong qodli/hakim untuk berhati-hati dan mengerahkan usaha maksimal dalam menangani kasus yang diajukan kepadanya. Karena hakim tersebut tahu bahwa hukum yang ia putuskan akan mungkin ditampakkan/diperlihatkan lagi di kemudian hari (di pengadilan banding), jika ternyata ada kekeliruan dalam keputusannya itu. Sehingga hal ini mendorong sang hakim untuk ber-ijtihad dan melakukan penelitian secara mendalam agar hukum yang ia putuskan tidak diganti atau dianulir.
Al-qodlo' fil Islam yaqumu 'ala nidhomi al-qodli al-fard (kehakiman Islam menerapkan aturan hakim tunggal).
Dalam sistem peradilan Islam, yang memutuskan perkara di antara manusia adalah seorang qodli saja. Dalam kondisi ada kebutuhan, Fuqoha' memperbolehkan sang hakim didampingi beberapa Ulama' sebagai pendamping yang akan memberikan sumbangan pendapat pada hakim. Akan tetapi mereka (ulama') tidak boleh ikut campur dalam memutuskan hukum atas kasus yang disidangkan. Pendapat mereka hanya sebagai pertimbangan seperlunya bagi hakim. Jadi yang memutuskan hukum tetap sang hakim/qodli itu sendiri.
'Alaniyatu majlisil qodlo' (sidang peradilan yang terbuka)
Fuqoha' bersepakat atas terbukanya pengadilan. Bahwa pengadilan dilaksanakan secara terbuka. Sebagaimana Rasulullah menyelenggarakan persidangan di masjid.
Hushulul ijro'at fi muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang berselisih)
Keputusan hukum tidak bisa dijatuhkan sebelum kedua belah pihak terkait dipertemukan (saling mengetahui dan didengarkan pendapatnya masing-masing). Mengenai pihak berperkara yang ghaib (tidak hadir dalam persidangan), ada kaedah-kaedah tersendiri yang mengaturnya, sehingga hak masing-masing pihak tetap terjaga.
Sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih Islam)
Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, walaupun sudah ada undang-undang positif yang diterapkan, fikih (hukum Islam) tetap menjadi pijakan dalam menetapkan, mengganti atau menganulir hukum.
Sistem Peradilan dalam Islam
Lembaga peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikn keputusan hukum yang bersifat mengikat. Dasar dan dalil disyariatkannya lembaga peradilan ini adalah (QS : Al-Maidah:49)
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
"Jika dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesa-gesa memutuskan perkara diantara mereka sebelum engkau mendengarkan perkataan pihak yang lain, sehingga engkau akan tahu bagaimana seharusnya engkau memutuskan perkara diantara mereka itu." (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
ANALISIS DAN DISKUSI
Analisis
Diskusi
Moderator
Pertanyaan
Jawaban
KESIMPULAN
Lembaga peradilan di Indonesila memiliki kedudukan yang independen yang tidak memihak, di Indonesia sendiri badan peradilan memiliki beberapa bagian yang jika dilihat dari lingkup wilayah kontekstualnya.
Peradilan agama adalah salah satu lembaga peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat Pertama
Wewenang Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolute.