BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah dikenal dunia sebagai negara kepulauan terbesar yang memiliki kondisi konstelasi geografis yang sangat strategis. Indonesia terletak pada posisi silang dunia yaitu diantara dua benua dan dua samudera, sehingga dengan posisi tersebut menyebabkan laut di antara pulau-pulau menjadi alur laut yang sangat penting artinya bagi lalu lintas pelayaran nasional maupun internasional. Disamping itu Indonesia memiliki 17.499 pulau, dengan luas perairan laut mencapai 5,9 juta km2 dan garis pantai sepanjang kurang lebih 81 ribu km2. Kondisi tersebut menjadikan indonesia sebagai center of gravity kawan Asia Pasifik. Tidak dapat dipungkiri hal itu menarik keinginan negara asing untuk masuk ke perairan Indonesia. Salah satu keputusan terpenting bagi indonesia yaitu pengakuan terhadap bentuk Negara kepulauan dengan pengaturan dan hak kewajibanya. Pengakuan tersebut resmi diterima oleh 117 negara dalam sidang terakhir di Montego Bay Jamaica tanggal 10 desember 1982 dan oleh Indonesia ditindaklanjutin dengan diterbitkanya undang undang hukum laut. 1.2 Maksud dan Tujuan Maksud kami memilih judul “Pertahanan dan Keamanan Daerah Maritim di Indonesia” adalah untuk menjelaskan masih lemahnya pertahanan dan keamanan Negara kita di daerah laut sehingga sangat mudah untuk direbut oleh Negara tetangga. Lembaga pertahanan pun masih sangat minim di daerah perbatasan Indonesia. Maka kami ingin melampirkan masalah perebutan daerah yang telah terjadi di Negara kita. Dan kami pun memaparkan saran kami sebagai warga Indonesia yang cinta akan tanah kami. Tujuan kami adalah ingin mengetahui masalah-masalah yang terjadi di perairan Indonesia yang mengakibatkan wilayah Indonesia sendiri direbut dan dirampas oleh negara lain. 1
1.3 Identifikasi Masalah Indonesia yang memiliki wilayah laut yang sangat luas, berpotensi juga melahirkan berbagai permasalahn di wilayah laut tersebut. Perkembangan luas wilayah laut Indonesia harus dipandang sebagai tantangan nyata untuk dikelola, dijaga dan diamankan bagi kepentingan Indonesia. Laut telah berkembang menjadi aset nasional, sebagai wilayah kedaulatan, ekosistem, sumber daya yang digunakan sebagai sumber energi, sumber makanan serta berperan sebagai media perhubungan antar pulau, kawasan perdagangan, pertukaran sosial budaya, dan berperan sebagai media wilayah pertahanan sekaligus media untuk membangun pengaruh kepada pihak asing. Namun demikian sebagai konsekuensi bertambah pula potensi ancaman, ancaman di wilayah laut pada era globalisasi telah menjadi sangat kompleks. Oleh karena itu indonesi harus mampu menjamin keamanan wilayah laut agar seluruh kekayaan alam yang terdapat diperairan laut Indonesia dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh penduduk Indonesia.Pada bagian ini dipaparkan berbagai isu dan permasalahan yang dihadapi kawasan laut dan perbatasan laut. 1.3.1 Belum Disepakatinya Garis-Garis Batas Dengan Negara Tetangga Secara Menyeluruh Beberapa segmen garis batas di laut belum disepakati secara menyeluruh oleh negara-negara yang berbatasan dengan wilayah NKRI. Permasalahan yang sering muncul di perbatasan laut adalah klaim negara tetangga terhadap kawasan laut menyebabkan kerugian bagi negara secara ekonomi dan lingkungan. Namun secara umum, titik koordinat batas negara di laut pada umumnya sudah disepakati. Pada Batas Zona Ekonomi Ekskluisf (ZEE) dan Batas Laut Teritorial (BLT), sebagian besar belum disepakati bersama negara-negara tetangga. Belum jelas dan tegasnya batas laut antara Indonesia dan beberapa negara negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan, terhadap batas negara di laut menyebabkan
2
terjadinya pelanggaran batas oleh para nelayan Indonesia maupun nelayan asing. 1.3.2 Terbatasnya jumlah aparat serta sarana dan prasarana Masalah-masalah pelanggaran hukum, penciptaan ketertiban dan penegakan hukum di perbatasan perlu diantisipasi dan ditangani secara seksama. Luasnya wilayah, serta minimnya prasarana dan sarana telah menyebabkan belum optimalnya aktivitas aparat keamanan dan kepolisian. Pertahanan dan keamanan negara di kawasan perbatasan saat ini perlu ditangani melalui penyediaan jumlah personil aparat keamanan dan kepolisian serta prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan yang memadai.
1.3.3 Terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal dan pelanggaran hukum Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana dan sumberdaya manusia di bidang pertahanan dan keamanan, misalnya aparat kepolisian dan TNI-AL beserta kapal patrolinya, telah menyebabkan lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan di darat maupun perairan di sekitar pulau-pulau terluar. Disamping itu, lemahnya penegakan hukum akibat adanya kolusi antara aparat dengan para pelanggar hukum, menyebabkan semakin maraknya pelanggaran hukum di kawasan perbatasan. Sebagai contoh, di kawasan perbatasan laut, sering terjadi pembajakan dan perompakan, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia (seperti tenaga kerja, bayi, dan wanita), maupun pencurian ikan.
1.3.4 Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana perbatasan (PLB, PPLB, dan fasilitas CIQS) Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) besert afasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina, dan Keamanan (CIQS) sebagai gerbang yang mengatur arus keluar masuk
3
orang dan barang di kawasan perbatasan sangat penting. Sebagai pintu gerbang negara, sarana dan prasarana ini diharapkan dapat mengatur hubungan sosial dan ekonomi antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat di wilayah negara tetangganya. Di samping itu adanya sarana dan prasarana perbatasan akan mengurangi keluar-masuknya barang-barang illegal. Namundemian, jumlah sarana dan prasarana PLB, PPLB, dan CIQS di kawasan perbatasan masih minim.
Dari berbagai dimensi tersebut diatas apabila disinergikan secara baik maka akan dapat menciptakan suatu kekuatan laut yang tangguh (sea power), dimana parameternya mengarah pada tiga elemen operasional yaitu unsur kekuatan militer (fighting instruments), penggerak roda perekonomian di laut (merchant shipping) dan pangkalan atau pelabuhan (bases). Konsep negara maritim, adalah negara yang mampu memanfaatkan dan menjaga wilayah lautnya. Namun disayangkan bahwa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia belum mampu memanfaatkan potensi sumber daya laut tersebut secara maksimal. Diperlukan konsep dan strategi untuk membangun Indonesia menjadi sebuah negara maritim yang tangguh dan berdaulat. Konsep negara maritim tidak lepas dari pertahanan kekuatan. Jika pertahanan kuat maka kedaulatan negarapun akan terlindungi dari ancaman luar. TNI angkatan laut merupakan salah satu alat negara yang memiliki tugas terkait dengan keamanan wilayah laut sesuai amanat undang -undang. 1.4 Alasan Pemilihan Judul Indonesia adalah Negara Kepulauan dengan luas daerahan perairan laut mencapai 5,9 juta km2. Kondisi yang demikian mengakibat Indonesia menjadi Negara dengan kepulaun terbesar. Hal ini tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi rakyat indonesia karena hasil sumberdaya alam di perairan menjadi salah satu sumber mata pecaharian bagi mereka. Tak hanya itu, kekayaan sumber daya alam yang ada di perairan adalah sebuah “aset leluhur” bagi bangsa. Semua yang ada diperairan adalah sesuatu yang
4
menguntungkan bagi bangsa ini. Misalnya, jenis-jenis ikan yang dimiliki bangsa namun tidak dimiliki Negara lan, 70% jenis terumbu karang dunia ada di pulau Papua. Tak heran jika Indonesia dijadikan icon wisata dunia. Raja Ampat di Papua saatini menjadi sorotan mata dunia karena keindahan pantai yang luar biasa. Pantai Kuta di Bali yang sejak dahulu sudah terkenal di kancah dunia menjadi pusat wisata terbesar di Indonesia. Namun, dibalik semua kekayaan dan asset.
5
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian 2.1.1 Pengertian Pertahanan Keamanan 2.1.1.1 Pertahanan negara disebut juga pertahanan nasional adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. 2.1.1.2 Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Pertahanan negara pada hakikatnya merupakan segala upaya pertahanan yang bersifat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban seluruh warga negara serta keyakinan akan kekuatan sendiri untuk kelangsungan hidup bangsa dan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat (survival of the nation and survival of the state). 2.1.1.3 Pertahanan Keamanan Negara adalah pertahanan keamanan negara
Republik
Indonesia
sebagai
salah
satu
fungsi
pemerintahan negara, yang mencakup upaya dalam bidang pertahanan yang ditujukan terhadap segala ancaman dari luar negeri dan upaya dalam bidang keamanan yang ditujukan terhadap ancaman dari dalam negeri. (Pasal 1 UU Angka 1 Nomor 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia). 2.1.2 Pengertian Maritim 2.1.2.1Negara maritim adalah negara yg sebagian wilayahnya
merupakan
negara yg luas.
perairan,
maksudnya
besar adalah
Daratanya lebih kecil dari pada luas
lautnya.
6
2.1.2.2 Negara maritim adalah aktualisasi wawasan nusantara untuk memberi gerak pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak bangsa Indonesia secara bulat dalam aktualisasi wawasan nusantara. 2.1.2.3 Menurut para ahli, negara maritim adalah negara yang berada dalam kawasan/teritorial yang sangat luas. Negara maritim adalah negara yang mempunyai nilai kekuasaan laut yang luas serta tersimpan berbagai kekayaan sumber daya alam di wilayah tersebut. Negara maritim adalah negara yang banyak dikelilingi oleh wilayah laut dan perairan (Miffin). Negara maritim adalah negara negara yang sebagian besar penduduknya bekerja di wilayah perairan (Merman). 2.2 Perebutan Daerah Kekuasaan Maritim di Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki perairan yang berbatasan langsung dengan negara lain. Ada 10 negara tetangga yang perairannya berbatasan langsung dengan wilayah Nusantara. Mereka adalah Malaysia, Singapura, Thailand, India, Filipina, Vietnam, Papua New Guinea, Australia, Republik Palau dan Timor Leste. Untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia diperlukan penetapan batas-batas maritim secara lengkap. Penetapan batas ini dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Laut Internasional, yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No 17 tahun 1985. Permasalahan batas laut merupakan hal mendasar yang seharusnya segera di selesaikan dan disepakati oleh kedua negara. Bukan dengan saling menangkap kapal atau saling klaim wilayah perairan. Sebagai Negara kepulauan, Indonesia seharusnya lebih proaktif dalam penyelesaian batas laut dengan Negara tetangga, dengan demikian adanya keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Maritim yang kuat bisa terealisasi. Dari beberapa batas laut Indonesia dengan Negara tetangga, ada Sembilan batas laut yang memiliki kerawanan konflik antar negara. Indonesia Maritime Magazine mencoba untuk mengulas permasalahan batas laut tersebut. 7
2.2.1 Indonesia-Malaysia Garis batas laut wilayah antara Indonesia dengan Malaysia adalah garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977. Berdasarkan UU No 4 Prp tahun 1960, Indonesia telah menentukan titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai implementasi dari UU tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah perairan yang ada di Selat Malaka. Pada Agustus 1969, Malaysia juga mengumumkan bahwa lebar laut wilayahnya menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah dan Contigous Zone). Sehingga timbul persoalan, yaitu letak garis batas laut wilayah masing-masing negara di Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau kurang dari 24 mil laut. Adapun batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969. Atas pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan (Februari-Maret 1970) yang menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik koordinat tersebut ditetapkan berdasarkan Garis Pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Selama ini penarikan batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Perairan Selat Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958. MoU RI dengan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 yang menetapkan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai acuan titik 8
dasar dalam penarikan Garis Pangkal jelas jelas merugikan pihak Indonesia, karena median line yang diambil dalam menentukan batas landas kontinen kedua negara tersebut cenderung mengarah ke perairan Indonesia. Tidak hanya itu, Indonesia juga belum ada kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang ZEE-nya. Penentuan ZEE ini sangat penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan masing-masing negara. Akibat belum adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, sering terjadi penangkapan nelayan oleh kedua belah pihak. Hal ini disebabkan karena Malaysia menganggap batas Landas Kontinennya di Selat Malaka, sekaligus merupakan batas laut dengan Indonesia. Hal ini tidak benar, karena batas laut kedua negara harus ditentukan berdasarkan perjanjian bilateral. Berdasarkan kajian Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, batas laut Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka seharusnya berada di median line antara garis pangkal kedua negara yang letaknya jauh di sebelah utara atau timur laut batas Landas Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang jarak antara kedua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut. Jika ditinjau dari segi geografis, daerah yang memungkinkan rawan sengketa perbatasan dalam pengelolaan sumber-sumber perikanan adalah di bagian selatan Laut Andaman atau di bagian utara Selat Malaka. Beberapa contoh persengketaa Indonesia-Malaysia, yaitu : 2.2.1.1 Indonesia Vs Malaysia-Fenomena Perbatasan Negara Berdaulat Berbicara soal batas wilayah yang memisahkan satu negara dengan negara lain merupakan permasalahan yang sangat konflek sekali. Tidak jarang hampir disetiap negara sering terjadi konflik antar negara lebih banyak terfokus pada persoalan perbatasan.
9
Pada
peraturan
dan
perundangan-undangan
Dewan
Keamanan PBB tentang pengaturan dan kesepakatan perbatasan wilayah negara di dunia menyebutkan bahwa perbatasan adalah garis khayalan yang memisahkan dua atau lebih wilayah politik atau yurisdiksi seperti negara, negara bagian atau wilayah subnasional. Perbatasan yang terdapat di daratan suatu wilayah biasanya ditandai dengan tanda-tanda patok atau tugu yang sudah menjadi kesepakatan bersama antara pemerintah negara-negara yang memiliki batas satu daratan dengan bukti kesepakatan yang ditandatangani bersama dibawah naungan Dewan Keamanan PBB yang menangani tentang perbatasan suatu batas negara berdaulat. Selain ditandai dengan patok atau tugu, perbatasan batas wilayah negara berdaulat bisa juga ditandai dengan bentangan memanjang bangunan berbentuk pagar batas yang tentunya berdasarkan kesepakatan bersama pula. Sementara itu yang masih sangat sulit untuk ditandai dan dibuktikan dengan tanda yang akurat dan identik adalah soal tanda batas perbatasan wilayah yang memisahkan satu negara dengan negara lain yang berhubungan dilautan lepas dan batas wilayah penerbangan. Disinilah yang sering kali terjadi konflik antar negara dan warga perbatasan. Di Indonesia sendiri soal perbatasan antar wilayah batas negara dengan negara tetangga lainnya hingga sekarang masih belum terselesaikan dengan tuntas. Pesoalan perbatasan di Indonesia dengan negara-negara tetangganya sering kali terjadi kesalah pahaman, dan hal itu sering terjadi pelanggaran yang banyak dilanggar oleh negara-negara tetangga, seperti batas wilayah perbatasan antara Indonesia Malaysia, Indonesia Singapura,
Indonesia
Philipina,
Indonesia
Papuanugini,
Indonesia Timor Leste, dan Indonesia Australia.
10
Pelanggaran perbatasan batas suatu negara sering terjadi dilakukan oleh tingkah laku politik berkepentingan oleh salah satu negara perbatasan yang melibatkan warga masyarakat di perbatasan, militer dan perubahan peta perbatasan yang sepihak oleh negara yang menginginkan suatu perluasan wilayah yang banyak memiliki kandungan sumber alam. Di Indonesia sendiri hal tersebut diatas sering terjadi semacam itu, dan biasanya selalu dimulai dengan provokasi ganda yang dilakukan oleh negara tetangganya. Baik dengan cara penyerobotan batas wilayah perbatasan dengan invansi militer,
penghilangan
tanda
bukti
batas
perbatasan,
pembangunan ilegal sebuah bangunan atau kawasan yang dibangun melebihi batas negara yang telah disepakati, atau juga adanya perubahan peta perbatasan yang sepihak yang dilakukan oleh negara bersangkutan (salah satu negara tetangga yang berkeinginan untuk memperluas wilayah teritorialnya dengan melakukan perubahan peta internasional soal tanda batas garis perbatasan wilayah negara secara ilegal dan sepihak). 2.2.1.2 Malaysia Pelanggar Perbatasan Indonesia Terbayak Ditahun
2008-2009,
pelanggaran
perbatasan
nagara
Indonesia dengan negara tetangganya sering banyak dilanggar oleh Malaysia. Ini terbukti dengan adanya pelanggaran perbatasan wilayah negara masih terus dilakukan oleh negara tetangga. Malaysia yang paling sering melakukan pelanggaran batas wilayah RI. Hal itu terungkap pada rapat kerja (raker) Komisi I dengan menteri-menteri di jajaran Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam), di Jakarta, Senin (2 Maret 2009).
Menko
polhukam Widodo AS (pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode I) itu memaparkan tentang
11
berbagai pelanggaran terhadap wilayah RI yang terjadi dalam kurun waktu Januari hingga Desember 2008. Dari catatan Kementrian Polhukam, Provinsi Kalimantan Timur adalah wilayah RI yang paling sering mengalami pelanggaran wilayah oleh negara lain. Untuk pelanggaran wilayah perbatasan perairan Indonesia, di perairan Kalimantan Timur dan seputar Laut Sulawesi telah terjadi 21 kali pelanggaran oleh Kapal Perang Malaysia dan enam kali oleh Kapal Polisi Maritim Malaysia. Sementara di perairan lainnya sebanyak tiga kali, ucapnya. Dalam raker yang juga dihadiri Menteri Pertahanan, Kepala BIN, Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri itu, Widodo mengungkapkan, pelanggaran wilayah perbatasan udara paling banyak terjadi juga di wilayah Kalimantan Timur. Selama 2008, terjadi 16 kali pelanggaran wilayah udara di Kaltim,
sebutnya.
wilayah
lain
yang
juga
mengalami
pelanggaran kedaulatan udara antara lain tiga kali di Papua, dua kali di wilayah Selat Malaka dan tujuh kali di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Sementara untuk pelanggaran wilayah darat, diantaranya berupa pemindahan patok-patok batas wilayah di Kalimantan Barat. Pemindahan patok batas terjadi di Sektor Tengah, Utara Gunung Mumbau, Taman Nasional Betung Kerihun, Kecamatan Putu Sibau, serta Kabupaten Kapuas Hulu, kata Widodo. Selain itu, mantan Panglima TNI ini melanjutkan, pelanggaran wilayah perbatasan darat juga dilakukan oleh para pelintas batas yang tidak memiliki dokumen yang sah. Pada raker yang dipimpin Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga itu, Widodo juga menjelaskan perihal berbagai tindakan atas pelanggaran kedaulatan wilayah RI. Untuk pelanggaran wilayah darat, Departeman Luar Negeri RI telah
12
mengirimkan sejumlah nota protes ke negara pelanggar. Kasus pelanggaran wilayah darat juga dibawa ke forum Genera Border Committe (GBC) Indonesia-Malaysia maupun Joint Border Committe
(JBC)
Indonesia-Papua
Nugini.
Dan
untuk
pelanggaran wilayah perairan dan udara nasional, telah direspon dengan pengusiran langsung oleh satuan operasional TNI, serta pengiriman nota protes oleh Deplu, tutur Widodo. (berita hankam). 2.2.1.3 Militer Diraja Malaysia Memasuki Wilayah Perairan Indonesia Di Ambalat
Ditahun 2010, tepatnya di bulan Agustus 2010 yaitu sebanyak tiga orang petugas dari KKP ditangkap oleh polisi perairan Malaysia setelah menangkap tujuh nalayan Malaysia yang ketahuan menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Tiga orang petugas dari KKP kemudian ditahan di Malaysia dan mereka dibebaskan dengan cara dibarter dengan tujuh nelayan Malaysia. Dalam peristiwa ini spontan mendapat banyak protes dari waga negara Indonesia, dan termasuk protes keras dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia terhadap pemerintahan Malaysia. Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Indonesia
Fadel
Muhammad mengatakan Malaysia meremehkan Indonesia
13
dengan memperlakukan tiga petugas dari kementeriannya yang ditangkap polisi air Malaysia kurang layak. “Tiga orang petugas dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang ditangkap polisi air Malaysia ditahan dikantor polisi Malaysia, dipakaikan pakaian tahanan, dan pada saat keluar ruangan tangannya diborgol,” kata Fadel Muhammad pada diskusi polemik “Indonesia-Malaysia: Serumpun tapi Tidak Rukun” di Jakarta, Sabtu. Menurut dia, perlakuan polisi Malaysia itu meremehkan Indonesia. Apalagi tiga orang tersebut adalah petugas resmi yang ditangkap saat menjalankan tugasnya yakni menangkap tujuh nelayan Malaysia yang ketahuan menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Fadel meminta kepada pemerintah untuk bersikap lebih tegas karena kalau terus-menerus seperti ini ia mengkhawatirkan tindakan Malaysia akan semakin meremehkan Indonesia. Sementara itu, Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Brigjen I Wayan Midhio mengatakan, pejabat di Kementerian Pertahanan bergaul banyak dengan pejabat di Kementerian Pertahanan maupun militer dari Malaysia. “Setahu saya tidak ada pejabat militer Malaysia yang meremehkan Indonesia,” katanya. Untuk menjaga pertahanan di wilayah perbatasan, kata dia, Kementerian Pertahanan melakukan kerja sama pertahanan dengan Malaysia maupun dengan Singapura. Insiden di Bintan, Kepulauan Riau yang melibatkan nelayan Malaysia, tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan serta pemerintah Indonesia dan Malaysia sebenarnya menunjukkan lemahnya pertahanan laut Indonesia. ” Kami minta kasus sengketa Malaysia jadi momentum membenahi pengelolaan wilayah perbatasan maritim” kata
14
Mahfudz Sidik, Anggota Komisi Pertahanan DPR dalam diskusi di Jakarta, Sabtu 21 Agustus 2010. Dalam diskusi itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengakui, pertahanan maritim Indonesia masih lemah. Ini karena kurangnya koordinasi antara satu pihak dengan lainnya. ” Dilihat dari yang berperan, harusnya lebih dari cukup. Tapi ini karena tak pernah ada kerjasama” kata Fadel. Menurut Fadel, keamanan di laut Indonesia ditangani pasukan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Koordinasi Keamanan Laut, kepolisian, TNI Angkatan Laut, dan petugas dari bea cukai. “Saya sudah lapor Presiden untuk ditata, agar kejadian dengan Malaysia kemarin tidak terjadi lagi dan tidak saling menyalahkan,” kata Fadel. Nantinya pengamanan kawasan maritim, Fadel berharap ditangani Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan. Juru Bicara Kementerian Pertahanan I Wayan Midhio mengakui perlu ada kesepakatan untuk mengatur keamanan laut. “UU-nya
belum
ada,
perlu
dirancang
untuk
kepastian
pembagian penjagaan,” kata Dia. 2.2.1.4 Kasus Mengenai Pertahanan dan Keamanan (Sengketa Sipadan dan Ligitan) Belum terlupakan dibenak kita sebagai bangsa indonesia tentang betapa mirisnya ketika salah satu kepulauan terbaik kita direbut yang notabennya adalah negara tetangga kita sendiri. Kasus ini bahkan sampai di angkat dan di tangani oleh PBB. Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi
15
ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding", pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. 16
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan
satwa
burung,
pungutan
pajak
terhadap
pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan
Malaysia
tidak
menjadi
pertimbangan,
serta
penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar. 2.2.1.5 Isu-Isu kontemporer Ada beberapa isu-isu kontemporer yang menjadi perhatian kita semua, khususnya pada masa-mas terakhir. Isu yang pertama dalah masalah luasnya wilayah maritime atau laut yang menjadi tanggung jawab pengamanan. Seperti yang telah kita ketahui
bersama,
statussebagai
Negara
Negara
Indonesia
kepulauan
atau
sudah
diberikan
ARCHIPELAGE
COUNTRY. Sehingga hingga berdasarkan unclose 1982 , mempunyai hak hak yang diatur dalam dokumen tersebut, indonesia sendiri sudah meratifikasi konvensi dengan Undang Undang nomor 17 tahun 1985, yang artinya indonesia telah mengakui menjadikannya sebagai referensi dalam ms laut 17
menentukan batas wilayah Indonesia. Untuk wilayah laut, Indonesia mempunyai batas laut territorial diukur sejauh 12 mil laut dari titik dasar (base points) yang diambil dari pulau-pulau atau diantara pulau-pulau, sudah otomatis menjadi wilayah Negara dan disebut perairan pedalaman. Disamping itu, Indonesia diberikan hak berdaulat di wilayah-wilayah zona tambahan, landas kontinen, dan zona ekonomi ekslusif. Zona tambahan adalah jalur laut sampai selebar maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar laut territorial. Landas kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar laut territorial, yang merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratan dibawah laut dari garis dasar laut territorial jika diluar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan. Sedangkan zona ekonomi eksluksif (ZEE) adalah jalur laut di luar dan berbatasan dengan laut wilayah indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air di atasanya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut territorial.
Dengan
ketentuan-ketentuan
tersebut
diatas,
maka
Indonesia mempunai wilayah laut yang maha luas, serta dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Indonesia, meskipun juga menjadi tugas yang sangat berat untuk mempertahankanya. Jumlah pulau pulau yang masuk dalam wilayah indonesia adalah sebanyak 17.506 buah dan 2/3 wilayah indonesia adalah lautan. Maka memang pantas bahwa indonesia disebut juga sebagai Negara maritim.
Isu yang kedua yang akan disampaikan disini adalah menyangkut permasalahan delimitasi atau over claim diwilayah laut. Terdapat beberapa permasalahan yang belum dapat
18
diselesaikan, namum dalam tulisan ini akan disampaikan dua permasalahan yang sangat menonjol tentang hal ini, yakni permasalahan di wilayah laut di natuna dan di ambalat. Di wiayah perairan laut cina selatan, pemerintah cina telah menarik garis klaim yang masuk dalam wilayahnya, dengan apa yang disebut “nine doted line”, yaitu gari batas berbentuk “U” termasuk kepulauan paracel dan kepulauan spratley, yang dipublikasikan oleh pemerintah cina secara diam diam sejak februari 1948 . Dan akhirnya pada 7 Mei 2009, pemerintah cina mendaftarkan klaimnya secara resmi kepada PBB. Setelah itu, beberapa negara, yaitu Filipina, Malaysia, brunei, Vietnam, dan Taiwan yang juga mengklaim kepulaua paracel dan spratley, melancarakan protes terhadap klaim tersebut. Kementeria luar negeri indonesia telah mengadakan pertemuan kelompok ahli(PKA) bertemakan “perkembangan di laut cina selatan dan pada tanggal 30 november 2010. Para ahli tersebut sepakat bahwa dilihat dari segi hokum internasional, peta laut cina selatan yang dibuat oleh cina tersebut , dikenal sebagai “nine doted line” adalah bertentangan daengan ketentuan UNCLOS 1982. Pemerintah indonesia, meskioun tidak mengklaim wilayah kepulauan paracel dan kepulauan spratley juga melancarkan protes, karena garis tersebut juga masuk dalam wilayah ZEE dan landas kontinen RI di wilayah kepulauan natuna. Permasalahan penting berikutnya adalah masalah gangguan maupun ancaman terhadap rakyat Indonesia yang mencari nafkah di wilayah maritime. Ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan disini. Pada tahun 2001, sekelompak nelayan dari Sumatera Utara mencari ikan di perairan perbatasa antara Indonesia dan Malaydisa di Selat Malaka. Karena dianggap melanggar wilayah ZEE Malaysia, mereka ditembaki secara membabi buta oleh aparat laut Malaysia, yang mengakibatkan
19
seorang dari mereka tewas, dan lainya seumlah 39 orang ditahan pihak Malaysia.
Isu berikutnya yang juga penting adalah illegal, unregulated and unreported (IUU) fishing, yang masih sangat banyak terjadi diwilayah perairan indonesia. Jumlah kapal ikan asing yang berlalu lalang di indonesia ditaksir lebih dari seribu setiap tahunnya. Praktik IUU fishing telah merugikan ekonomi Negara Indonesia secara nyata, diperkirakan kerugian negara ditaksir sebesar Rp 80 triliun setiap tahunya, dengan rincian rp 30 triliun dari kehilangan sumber daya ikan dan Rp 50 triliun dari kehilangan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP)
Menurut Fadel Muhammad, IUU fishing telah melemahkan pengelolaan sumbr daya perikanan di perairan indonesia dan menyababkan beberapa sumber daya perikanan di beberapa wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia over fishing. Isu kontemporer terakhir yang perlu disampaikan di sini adalah yang menyangkut kecelakaan pelayaran di laut. Isu ini menjadi hal penting bagi para pelaku keamanan mariitm karena angkanya masih cukup tinggi. Sebagai contoh, jumlah kecelakaan
atau
musibah
pelayaran
yang
teradi
di
wilayahperairan indonesia dalam periode 2006-2010 mencapai 678 kejadian. Dari jumlah tersebut, kecelakaan tenggelam mencapai 36,43 perse, kapal kandan 32,89 persen, terbakar atau meledak 16,67 persen dan tubrukan 14,01 persen. Sementara jumlah korban yang ditimbulkan mencapai 1080 orang, dengan korban tewas sebesar 85,65 persen atau sebanyak 925 orang, dan luka-luka sebanyak 14,35 persen atau sebanyak 155 orang.
2.2.2 Indonesia-Singapura 20
Penentuan titik-titik koordinat pada Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura didasarkan pada prinsip sama jarak (equidistance) antara dua pulau yang berdekatan. Pengesahan titik-titik koordinat tersebut didasarkan pada kesepakatan kedua pemerintah. Titik-titik koordinat itu terletak di Selat Singapura. Isi pokok perjanjiannya adalah garis Batas Laut Wilayah Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat Singapura yang sempit (lebar lautannya kurang dari 15 mil laut) adalah garis terdiri dari garis-garis lurus yang ditarik dari titik koordinat. Namun, di kedua sisi barat dan timur Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura masih terdapat area yang belum mempunyai perjanjian perbatasan. Di mana wilayah itu merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Pada sisi barat di perairan sebelah utara pulau Karimun Besar terdapat wilayah berbatasan dengan Singapura yang jaraknya hanya 18 mil laut. Sementara di wilayah lainnya, di sisi timur perairan sebelah utara pulau Bintan terdapat wilayah yang sama yang jaraknya 28,8 mil laut. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas. Untuk itu batas wilayah perairan Indonesia – Singapura yang belum ditetapkan harus segera diselesaikan, karena bisa mengakibatkan
masalah
di
masa
mendatang.
Singapura
akan
mengklaim batas lautnya berdasarkan Garis Pangkal terbaru, dengan alasan Garis Pangkal lama sudah tidak dapat diidentifikasi. Namun dengan melalui perundingan yang menguras energi kedua negara, akhirnya menyepakati perjanjian batas laut kedua negara yang mulai berlaku pada 30 Agustus 2010. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah berlangsung sejak tahun 2005, dan kedua tim negosiasi telah
21
berunding selama delapan kali. Dengan demikian permasalahan berbatasan laut Indonesia dan Singapura pada titik tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan konflik, namun demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum disepakati dan masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara. 2.2.3 Indonesia-Thailand Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan Thailand adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan ke arah Tenggara. Hal itu disepakati dalam perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan Thailand tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut di Laut Andaman pada 11 Desember 1973. Titik koordinat batas Landas Kontinen Indonesia-Thailand ditarik dari titik bersama yang ditetapkan sebelum berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Karena itu, sudah selayaknya perjanjian penetapan titik-titik koordinat di atas ditinjau kembali. Apalagi Thailand telah mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif dengan Royal Proclamation pada 23 Februari 1981, yang isinya; “The exclusive Economy Zone of Kingdom of Thailand is an area beyond and adjacent to the territorial sea whose breadth extends to two hundred nautical miles measured from the baselines use for measuring the breadth of the Territorial Sea”. Pada prinsipnya Proklamasi ZEE tersebut tidak menyebutkan tentang penetapan batas antar negara. 2.2.4 Indonesia-Hindia Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Hal itu berdasarkan persetujuan pada 14 Januari 1977 di New Delhi, tentang perjanjian garis batas Landas Kontinen kedua negara. Namun, pada beberapa wilayah batas laut kedua negara masih belum ada kesepakatan. 2.2.5 Indonesia-Australia
22
Perjanjian Indonesia dengan Australia mengenai garis batas yang terletak antara perbatasan Indonesia- Papua New Guinea ditanda tangani di Jakarta, pada 12 Februari 1973. Kemudian disahkan dalam UU No 6 tahun 1973, tepatnya pada 8 Desember 1973). Adapun persetujuan antara Indonesia dengan Australia tentang penetapan batasbatas Dasar Laut, ditanda tangani paada 7 Nopember 1974. Pertama, isinya menetapkan lima daerah operasional nelayan tradisional Indonesia di zona perikanan Australia, yaitu Ashmore reef (Pulau Pasir); Cartier Reef (Pulau Ban); Scott Reef (Pulau Datu); Saringapatan Reef, dan Browse. Kedua, nelayan tradisional Indonesia di perkenankan mengambil air tawar di East Islet dan Middle Islet, bagian dari Pulau Pasir (Ashmore Reef). Ketiga, nelayan Indonesia dilarang melakukan penangkapan ikan dan merusak lingkungan di luar kelima pulau tersebut. Sementara persetujuan Indonesia dengan Australia, tentang pengaturan Administrative perbatasan antara Indonesia-Papua New Gunea; ditanda tangani di Port Moresby, pada 13 November 1973. Hal tersebut telah disahkan melalui Keppres No. 27 tahun 1974, dan mulai diberlakukan pada 29 April 1974. Atas perkembangan baru di atas, kedua negara sepakat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan MOU 1974. 2.2.6 Indonesia-Vietnam Pada 12 November 1982, Republik Sosialis Vietnam mengeluarkan sebuah Statement yang disebut “Statement on the Territorial Sea Base Line”. Vietnam memuat sistem penarikan garis pangkal lurus yang radikal. Mereka ingin memasukkan pulau Phu Quoc masuk ke dalam wilayahnya yang berada kira-kira 80 mil laut dari garis batas darat antara Kamboja dan Vietnam. Sistem penarikan garis pangkal tersebut dilakukan menggunakan 9 turning point. Di mana dua garis itu panjangnya melebihi 80 mil pantai,
23
sedangkan tiga garis lain panjangnya melebihi 50 mil laut. Sehingga, perairan yang dikelilinginya mencapai total luas 27.000 mil. Sebelumnya, pada 1977 Vietnam menyatakan memiliki ZEE seluas 200 mil laut, diukur dari garis pangkal lurus yang digunakan untuk mengukur lebar Laut Wilayah. Hal ini tidak sejalan dengan Konvensi Hukum Laut 1982, karena Vietnam berusaha memasukkan pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh dari titik pangkal. Kondisi tersebut menimbulkan tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna. 2.2.7 Indonesia-Filipina Berdasarkan dokumen perjanjian batas-batas maritim Indonesia dan Filipina sudah beberapa kali melakukan perundingan, khususnya mengenai garis batas maritim di laut Sulawesi dan sebelah selatan Mindanao (sejak 1973). Namun sampai sekarang belum ada kesepakatan karena salah satu pulau milik Indonesia (Pulau Miangas) yang terletak dekat Filippina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982). 2.2.8 Indonesia-Republik Palau Republik Palau berada di sebelah Timur Laut Indonesia. Secara geografis negara itu terletak di 060. 51” LU dan 1350.50” BT. Mereka adalah negara kepulauan dengan luas daratan ± 500 km2. Berdasarkan konstitusi 1979, Republik Palau memiliki yuridiksi dan kedaulatan pada perairan pedalaman dan Laut Teritorial-nya hingga 200 mil laut. Diukur dari garis pangkal lurus kepulauan yang mengelilingi kepulauan. Pulau memiliki Zona Perikanan yang diperluas (Extended Fishery Zone) hingga berbatasan dengan Zona Perikanan Eksklusif, yang
24
lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal itu menyebabkan tumpang tindih antara ZEE Indonesia dengan Zona Perikanan yang diperluas Republik Palau. Sehingga, perlu dilakukan perundingan antara kedua negara agar terjadi kesepakatan mengenai garis batas ZEE. 2.2.9 Indonesia-Timor Leste Berdirinya
negara
Timor
Leste
sebagai
negara
merdeka,
menyebabkan terbentuknya perbatasan baru antara Indonesia dengan negara tersebut. Perundingan penentuan batas darat dan laut antara RI dan Timor Leste telah dilakukan dan masih berlangsung sampai sekarang. First Meeting Joint Border Committee Indonesia-Timor Leste dilaksanakan pada 18-19 Desember 2002 di Jakarta. Pada tahap ini disepakati penentuan batas darat berupa deliniasi dan demarkasi, yang dilanjutkan dengan perundingan penentuan batas maritim. Kemudian perundingan Joint Border Committee kedua diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003.
Tabel di bawah ini menunjukkan situasi terkini perbatasan maritim di Asia Tenggara. Dari 60 batas maritim yang masih disengketakan di kawasan ini hanya kurang dari 20 persen yang sampai saat ini diselesaikan, dan tidak banyak perkembangan dalam proses delimitasi yang dilakukan saat ini. Sampai saat ini masih tersisa batas ZEE dan landas kontinen yang belum disepakati. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah dalam pengelolaan sumber daya laut dan penegakan hukum terkait kejahatan transnasional seperti illegal fishing. Tabel di bawah ini adalah batas-batas maritim Asia Tenggara yang sudah dan belum disepakati. Country
Territorial Sea
EEZ Continental Shelf
Remar ks
25
Australia-Indonesia NR
Yes Yes
Australia-East
No
NR
No
Timor
Joint Zone
Brunei-Malaysia
No
No
No
Indonesia-East
No
No
No
Indonesia-Malaysia Yes
No
Yes
Indonesia-Singapore Yes
No
NR
Indonesia-Thailand NR
No
Yes
Indonesia-
No
No
No
Indonesia-India
NR
No
Yes
Indonesia-Vietnam
NR
Yes Yes
Indonesia-China
NR
No
No
Malaysia-Singapore No
No
NR
Malaysia-Thailand
No
Yes
Timor
Philippines
No
Joint zone
Malaysia-Philippines No
No
No
Malaysia-Vietnam
No
No
NR
Joint Zone
Myanmar-
No
No
No
No
No
No
Myanmar-Thailand No
No
No
Bangladesh Myanmar-India
26
Cambodia-Thailand No
No
No
Cambodia-Vietnam No
No
No
Joint zone
Thailand-India
NR
No
Yes
Thailand-Vietnam
NR
Yes Yes
China-Vietnam
Yes
No
No
Philippines-China
NR
No
No
Philippines-Palau
NR
No
No
Tabel 1. Batas Maritim Asia Tenggara Sumber: Limits in the Seas – National Claims to Maritime Jurisdiction No. 36 7th Revision, 1995; Prescott and Schofield, Maritime Boundaries of the World, 2nd ed., 2005. Notes: NR = Boundaries are not required because either the countries too far apart to have the relevant boundary (i.e., over 24nm in the case of a territorial sea boundary), or so close together that a territorial sea boundary only is required. 2.3 Solusi Permasalahan Mengingat kasus-kasus perbatasan Indonesia yang begitu marak, maka berikut beberapa solusi yang dapat ditempuh pemerintah dalam mengurangi konflik perbatasan maritim: 2.3.1 Segera menuntaskan berbagai perbatasan maritim dan darat dengan Negara tetangga, baik melalui persetujuan bilateral, maupun trilateral, ataupun dengan mendepositkan koordinat-koordinat
titik-titik dan
garis-garis pangkal perairan kepulauan Indonesia ke PBB (sudah dideposit) 2.3.2 Menyempurnakan ketentuan-ketentuan Indonesia tentang ALKI, terutama tentang ALKI Timur-Barat
27
2.3.3 Menyelesaikan dan menyempurnakan berbagai ketentuan perundangundangan Indonesia di wbidang kewilayahan dan kewenangannya di laut,
termasuk
batas-batas
maritim,
sepertipenentuan
perairan
pedalaman Indonesia, pemahaman garis-garis pangkal lurus nusantara Indonesia yang telah didaftarkan di PBB, penentuan batas terluar continental margin Indonesia, serta membela kepentingan-kepentingan Indonesia di laut bebas dan di dasar laut internasional 2.3.4 Meningkatkan kemampuan Indonesia di bidang penegakan hokum, pertahanan, penelitian ilmiah kelautan, ilmu pengetahuan dan teknologi guna dapat memanfaatkan kekayaan alam di laut dan melindungi lingkungan laut demi kepentingan perkembangan dan pembangunan Indonesia 2.3.5 Perbaikan kehidupan masyarakat khususnya di daerah perbatasan, serta perbaikan dan peningkatan kemampuan alat-alat Negara, dan menghilangkan korupsi dan penyelewengan 2.3.6 Sosialisasi yang luas di kalangan masyarakat perbatasan, baik darat maupun laut, tentang batas-batas Negara dan perlunya masyarakat menghormati batas-batas tersebut serta membantu aparat Negara mengamankan daerah perbatasan, yang disamping penting untuk Negara secara keseluruhan, juga penting bagi masyarakat perbatasan sendiri. 2.3.7 Menghormati dan mengatur lintasbatas antar etnik di daerah perbatasan sehingga lebih berpotensi kerja sama daripada berpotensi konflik. 2.3.8 Aparat pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu memahami berbagai ketentuan hukum internasional mengenai kewilayahan dan kewenangan, termasuk kelautan dan berbagai perjanjian perbatasan serta kerja sama bilateral, regional, maupun internasional, yang berkaitan dengan pengamanan perbatasan, baik di darat, laut termasuk dasar laut, maupun di udara, dan lebih meningkatkan pemahaman dan penanganan masalah perbatasan yang lebih terpadu antar berbagai instansi terkait baik vertical, maupun horizontal. 2.3.9 Memanfaatkan dan memberdayakan kemampuan pelaut dan nelayannelayan
Indonesia
untuk
membantu
alat-alat
Negara
dalam
28
mengamankan dan menegakkan hokum di wilayah dan kawasan laut serta udara Indonesia melalui suatu system informasi yang terpadu 2.3.10Menjamin penggunaan laut bagi kuat sendiri dan mencegah penggunaan laut oleh lawan 2.3.11Memutus GPLlawan serta mencegah dan meniadakan berbagai bentuk ancaman aspek laut 2.3.12Ops Laut sehari-hari dan Ops Siaga Purla dengan didukung kuat oleh TNI AU
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Peningkatan kerja sama dengan negar tetangga dalam menentukan batas Negara,dapat dilakukan pertama dengan mengusahakan dan merundingkan batas-batas Negara secara jelas. Sepanjang perbatasan laut, mengingat sudah ada perjanjian-perjanjian di zaman colonial, maka usaha uang perlu dilakukan adalah melakukan survei memetakan, dan menetapkan batas-batas dengan patok-patok perbatasan yang jelas di daaerah perbatasan laut melalui perundinagn
dan
kerjasama
dengan
Negara-negara
tetangga
yang
bersangkutan.
29
Sepanjang yang bersangkutan dengan batas laut, maka batas-batas tersebut, sepanjang ada kaitannya dengan Negara-negara tetangga, juga harus ditetapkan
berdasarkan
persetujuan
dengan
Negara-negara
tetangga,
khususnya batas-batas Laut Wilayah, Zona Tambahan, Zonan Ekonomi Ekslusif (ZEE), dan Landas Kontinen. Batas-batas maritim Indonesia ke laut bebas dapat dilakukan sendiri oleh Indonesia dengan memperhatikan ketentuan Hukum Internasional dan ketentuan Hukum Laut Internasional. Pengawasan wilayah Indonesia, baik darat, laut maupun udara serta dasar laut, adalah kewenangan Indonesia sendiri. Demikian pla halnnya denagn pengawasan kegiatan-kegiatan, baik nasional maupun internasional, di Zona Berdekatan, ZEE, dan Landas Konitnen adalah wewenang Indonesia sendiri. Walaupun demikian, pengawasan atas daerah-daerah perbatsan memang memerlukan kerja sama dan koordinasi dengan nengara-negara agar pengawasan yang dilakukan oleh Indonesia dapat memperoleeh hasil maksimal. Dalam beberapa hal, pengawasan tersebut dapat dilakukan melalui kerja sama coordinated patrol, joint patrol, joint exercise, exchanghe of intelligence, dan dalam hal-hal tertentu mlah juga bisa melalui kesepakatan tentang hot pursuit. Pengembangan kerja sama ekonomi lintas batas, saling mengunjungi antara penduduk perbatasan, serta hubungna social budaya lainnya harrus tetap terpelihara dan diawasi melalui kerja sama lintas batas antar Negara tetangga, baik yang menyangkut bidang imigrasi, bea cukai, maupun keamanan dan pertahanan. Sudah banyak kegiatan yang dilakukan untuk menentukan perbatasan maritim Indonesia, tetapi belum ada kesepakatan menyeluruh tentang batasbatas maritim Negara di laut. Penentuan perbatasan ZEE dengan Negara tetangga ASEAN tidak mempelihatkan perkembangan berarti. Persetujuan Indonesia-Australia mengenai batas ZEE di Laut Arafura , Laut Timur, dan samudra Hindia tahun 1997 sampai sekarang belum diratikasi oleh Indonesia dan Australia karena alasan yang tidak jelas. Barangkali persetujuan ini memerlukan revisi di tempat tertentu.
30
Usaha-usaha penegkan hukum dan kedaulatan di wilayah Indonesia, khususnya wilayah laut dan udara yang semakin bertambah luas masih sangat memprihatinkan antara lain karena sangat minimnya anggaran belanja pertahanan dan keamanan hukum, masih lemahnya koordinasi dan kerja sama antara pemerintah dengan pembela hukum, masih maraknya kasus korupsi yang mengambil dana untuk perbaikan ketahanan Negara Indonesia ini. Usaha-usaha menyempurnakan system pemanfaatan kelautan dan perundang-undangan yang menyangkut kelautan tetap berlanjut, walapun belum memperlihatkan hasil yang tuntas, konservasi dan pengolahan kekayaan alam, hubunagn pusat-daerah dan lain-lain. Usaha-usaha meningkatkan kerja sama pengamanan dan penegakan hukum di daerah perbatasan dengan Negara-negara tetangga memperlihatkan kemajuan-kemajuan tertentu. Usaha mengamankan pulau-pulau terluar Indonesia lebih banyak ditujukan kepada usaha-usaha “simblolis” seperti pemberian nama, daripada usaha-usaha yang sungguh-sungguh memabangun daerah dan pulau-pulau perbatsan dan memasukkan mereka ke dalam mainstream
kehidupan
ekonomi politik Indonesia secara keseluruhan.
3.2 Saran Dengan kondisi keterbatasan dan kekurangan dalam ketahanan dan keamanan maritim di Indonesia tentu pemerintah perlu segera bertindak. Oleh karena itu kami menyarankan pemerintah melakukan beberapa hal: 1. Pemerintah perlu yakin bahwa TNI sebagai bagian dari komunitas pertahanan negara, harus selalu berada dalam kondisi kesiapsiagaan yang tinggi
agar
dapat
melaksanakan
tugas
pokok
terutama
dalam
mempertahankan daerah maritim Indonesia yang sangat melimpah keanekaragaman dan kekayaan lautnya. Sehingga anggaran pertahanan perlu diprioritaskan, dengan tetap mengedepankan pola kontrol, efektifitas,
31
dan
efisiensi
untuk
meningkatkan
kualitas
persenjataan
dalam
mempertahankan keamanan dan ketahanan Indonesia. 2. Menghimbau pemerintah agar melakukan amandemen terhadap beberapa Undang-Undang yang mengandung kelemahan mendasar yang merugikan perekonomian nasional. 3. Meningkatkan SDM prajurit- prajurit militeragar secara perorangan atau satuan, mampu mensosialisasikan pemahaman tentang sistem pertahanan negaradan membangun kesadaran rakyat terhadap ancaman yang dihadapi Negara. 4. Meningkatkan SDM Komando Kewilayahan agar mampu melaksanakan pemberdayaan
wilayah
untuk
mencegah
munculnya
aksi
yang
melemahkan ketahanan nasional dan membantu meningkatkan ketahanan ekonomi dan social budaya masyarakat dalam mendukung ketahanan nasional. 5. Membuat Undang-Undang atau sanksi yang tegas tentang perlindungan wilayah maritime. 6. Membangun kerjasama antarnegara dalam dunia internasional dalam menjaga pertahanan dan keamanan daerah maritime masing-masing Negara. 3.3 Daftar Pustaka 3.3.1 Buku Gunawan, Dadang. 2012. Tantangan Kontemporer Keamanan Indonesia. Edisi 3. Jakarta. Muhji, H. achmad, et alle. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Gunadarma:Jakarta. Sianturi, Dohar. 2013. Keamanan Maritim. Edisi 3. Jakarta. UU RI No 3 tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara. UU RI No 34 tahun 2004 Tentang Tentara Negara Indonesia. Zubaidi, H. Achmad, dkk. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma. 3.3.2 Website http://www.tugaskuliah.info/2010/03/makalah-ketahanan-nasional pendidikan.html http://kompas.com/keamanan-negara-ri/kasus-ambalat http://indoskripsi.coms http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2004/34TAHUN2004UU. htm http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_3_02.htm 32
Forum Kajain Pertahanan dan Maritim. (7 July 2011).INDONESIA DAN KEAMANAN MARITIM: APA ARTI PENTINGNYA?. http://www.fkpmaritim.org/indonesia-dan-keamanan-maritim-apa-artipentingnya/ Anonim.bab3__20081123043639__968__2www.bappenas.go.id/index. php/download_file/view/11631/3866/ http://id.wikipedia.org/wiki/KRI_Fatahillah_%28361%29 www.kompas.com
33
3.4 Lampiran 3.4.1 Potensi Konflik di Natuna Lebih Berbahaya ketimbang Ambalat
Moeldoko (Foto: Koran Sindo) BALIKPAPAN - Tentara Nasional Indonesia (TNI) lebih mewaspadai potensi konflik di Natuna, Kepulauan Riau (Kepri), ketimbang di Ambalat, Kalimantan Utara. Hal tersebut diungkapkan Panglima TNI Jenderal Moeldoko di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (16/5/2014). Ia singgah di Balikpapan untuk melanjutkan perjalanan ke Ambalat menyaksikan kegiatan Komando Tugas Operasi Gabungan (Kosgasgab) Ambalat 2014 atau operasi wibawa. ”Kami cenderung lebih memperhatikan Natuna karena perubahanperubahan situasi di Laut China Selatan memiliki potensi instabilitas,” terang Moeldoko di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (16/5/2014). Kepulauan Natuna berada di barat laut Pulau Kalimantan. Meski lebih dekat ke Kalimantan Barat, namun posisi Natuna berada di ujung Selat Karimata sebelah utara atau di selatan Laut China Selatan. Natuna menjadi titik sempadan laut bagi Indonesia, Malaysia, Kamboja, dan Vietnam. Wilayah itu memiliki kandungan minyak dan gas alam yang sangat kaya.
34
Jalur ini juga menjadi rute pelayaran ramai yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar di utara seperti Hong Kong, Taiwan, Korea, hingga Jepang dengan Singapura di selatan. Sedangkan Ambalat berada di timur laut Kalimantan Utara, terutama di sekitar perairan Karang Unarang. Kawasan perairan itu pernah menjadi tempat militer Malaysia dan Indonesia unjuk kekuatan menyusul provokasi Malaysia pascakemenangannya atas klaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dua pulau eksotis di perbatasan kedua negara yang juga tak jauh dari kawasan itu. (ton) 3.4.2 Indonesia-Malaysia Bahas Sengketa Tanjung Datu Rabu, 28 Mei 2014 | 15:12 WIB
Ilustrasi Perbatasan Indonesia - Malaysia TEMPO.CO,
Surabaya
-
Menteri
Pertahanan
Purnomo
Yusgiantoro mengatakan pemerintah Indonesia dan Malaysia mulai berunding soal polemik pembangunan menara mercusuar di wilayah perairan Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Sebagai negara bertetangga, Purnomo berharap polemik itu bisa diselesaikan lewat jalur perundingan. "Mulai Senin lalu berunding. Semoga menghasilkan langkahlangkah terbaik yang bisa dilakukan bersama. Yang berunding Kementerian Luar Negeri didukung oleh Kementerian Pertahanan," ujar Purnomo seusai serah-terima KCR-60M atau Kapal Cepat Rudal 60 meter di galangan kapal PT PAL Indonesia, Rabu, 28 Mei 2014. 35
Jika dilihat dari sisi landas kontinental, kata Purnomo, mercusuar itu berada di wilayah perairan Indonesia sesuai perjanjian RI-Malaysia tahun 1969. Namun, dilihat dari sisi perairan teritorial, ia mengakui masih ditemukan silang pendapat dan saat ini sedang dibahas. Purnomo menjamin bahwa saat ini Malaysia tidak melakukan tindakan apa pun di daerah itu karena status quo. "Malaysia tidak boleh melakukan tindakan yang sifatnya provokatif, karena masih tahap berunding." (Baca: Malaysia Hentikan Pembangunan Mercusuar di Tanjung Datu). Perundingan yang sekarang berlangsung, kata dia, membahas jangkauan 12 mil di wilayah teritorial. Menteri Purnomo mengakui Indonesia banyak dihadapkan pada potensi konflik perbatasan, yakni tiga tapal batas di darat dan sepuluh tapal batas di lautan. "Memang ada beberapa batas negara yang tumpang tindih, apakah itu wilayah di darat, laut teritorial, zona ekonomi eksklusif ataupun landas kontinental," kata Purnomo. Untuk mengantisipasi konflik terbuka, TNI Angkatan Laut mengirimkan tiga kapal perang untuk mengamankan daerah itu sekaligus melibatkan TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Udara. Ketegangan hubungan kedua negara ini akibat Malaysia berupaya membangun mercusuar di Tanjung Datu sejak Ahad, 19 Mei lalu. TNI AL memperoleh informasi dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan yang menemukan aktivitas di lokasi sengketa itu. Sebuah kapal milik Dirjen Perhubungan Laut melihat ada enam kapal berbendera Malaysia bergerak di lokasi tersebut. Keenam kapal terdiri atas tiga unit kapal tunda atau tug boat dan tiga kapal tongkang sarat logistik. Selain itu, petugas juga melaporkan ada satu unit kapal perang AL Malaysia yang mengawal.
36