1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hukum telah mencakup segala aspek kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial kini tidak luput dari banyaknya aturan yang memang wajib ditaati. Tujuannya agar manusia dapat hidup tertib, nyaman, aman, dan tenteram. Selain itu, adanya aturan atau hukum juga dapat dijadikan batasan dari berbagai perilaku manusia. Tentunya apabila dalam suatu kehidupan tidak ada hukum yang berlaku, kehidupan tersebut akan menjadi kacau karena manusia akan berbuat semuanya sesuai dengan kehendak pribadi. Namun sebagai kaidah dalam kehidupan berbangsa dan bernergara, masih banyak terdapat praktik-praktik pelanggaran hukum yang tak jarang justru dilakukan oleh para aparat yang dianggap penegak hukum. Adalah sifat alami makhluk hidup (termasuk manusia) di mana yang kuat atau mayoritas cendrung melanggar hak pihak yang lemah atau minoritas. Kalimat “siapa yang kuat, dia yang menang dan berkuasa” bukan hanya diterapkan oleh binatang di rimba belantara namun sudah sejak dahulu manusia pun menganut prinsip
yang
sama.
Golongan
mayoritas
seringkali
menyalahgunakan
kekuasaannya, melakukan berbagai hal yang lepas dari koridor aturan. Pelanggaran dan ketidakadilan tidak boleh dibiarkan terus berlasung. Maka, antara lain untuk memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah inilah, akhirnya memunculkan konsep rule of law yang dimaksudkan untuk
2
membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas kaum tak berdaya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam suatu negara hukum, semua orang harus tunduk kepada hukum secara sama, yakni tunduk kepada hukum yang adil. Untuk lebih dapat memahaminya bisa dibaca dalam isi tulisan ini.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan adalah : 1. Bagaimana konsep negara rule of law? 2. Bagaimana pelaksanaan rule of law saat ini?
C. Tujuan Setelah mempelajari makalah ini diharapkan mampu memahami hal berikut : 1. Konsep rule of law. 2. Pelaksanaan implementasi rule of law di Indonesia.
3
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Rule of Law Rule of law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke-19, seiring dengan negara konstitusi dan demokrasi. The rule of law dikemukakan oleh seorang Albert Venn Dicey pada tahun 1885 yang dituangkannya dalam sebuah buku berjudul Introduction To The Study Of The Law Of Constitution. Sejak itulah the rule of law mulai menjadi bahan kajian dalam pengembangan negara hukum, bahkan menyebar ke setiap negara yang memiliki sistem berbeda-beda. Idealisme konsep rule of law yang berbasis pada common law seperti yang dibanggakan oleh rakyat Inggris dalam sejarah praktek ketatanegaraan telah mengalami perubahan dan menjadi kekhawatiran, karena setelah A.V. Dicey meninggal faham-faham fasisme, sosialis dan nasionalis serta komunis berkembang pesat. The rule of law dalam literatur-literatur terkemuka memiliki pengertian yang sama dengan negara hukum. Demikian juga dalam kepustakaan Indonesia,
istilah
negara
hukum
merupakan
penterjemahan
langsung
dari Rechtstaat. Pernyataan ini dikuatkan pendapat para pakar-pakar hukum di Indonesia, diantaranya adalah Notohamidjojo dan Sumrah, adapun masing-masing pernyataan mereka, adalah: “Dengan timbulnya gagasan-gagasan pokok yang dirumuskan dalam konstitusi-konstitusi dari abad IX itu, maka timbul juga istilah negara hukum (rechtstaat).” “Yang sudah kita kenal lebih lama adalah pengertianRechtstaat atau negara hukum atau untuk menjamin kata-kata dalam
4
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, negara yang berdasarkan atas hukum.” Dari dua pendapat tersebut dapat dijadikan acuan bahwa Rechstaat sama artinya dengan negara hukum. Begitu juga dengan apa yang dinamakan rule of law memiliki pengertian yang sama dengan negara hukum. Rule of law adalah konsep tentang common law, yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun di atas prinsip keadilan dan egalitarian. Pendapat yang sangat intens dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Moch. Kusnardi, yakni: “Lain dari pada negara Eropa Barat, di Inggris sebutan Negara Hukum(Rechstaat) adalah The Rule Of Law, sedangkan di Amerika Serikat diucapkan sebagai Government of law, but not of man.” Maksudnya adalah bahwa hukum menjadi petunjuk bagi praktek kenegaraan suatu negara. Dengan kata lain, hukumlah yang tertinggi dan bukan pemerintah. Rule of law identik dengan keadilan. Latar belakang kelahiran rule of law : 1. Diawali oleh adanya gagasan untuk melakukan pembatasan kekuasaan pemerintahan negara. 2. Sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu demokrasi konstitusional. 3. Perumusan yuridis dari Demokrasi Konstitusional adalah konsepsi negara hukum. Menurut Prof. Sunarjati Hartono, mengutip pendapat yang digunakan Friedman bahwa kata “rule of law” dapat dipakai dalam arti formil (in the formal sense) dan dalam arti materil (ideological sense). Dalam arti formil ini, maka the rule of law adalah “organized public power” atau kekuasaan umum yang
5
terorganisir, misalnya negara. Sedangkan dalam arti materil, the rule of law adalah berbicara tentang just law yakni hukum yang mengandung keadilan. Menurut T.D.Weldon, pengertian mengenai negara yang menganut paham the rule of law yang berarti negara tersebut tidak hanya memiliki suatu peradilan yang sempurna di atas kertas saja, akan tetapi ada atau tidaknya the rule of law dalam suatu negara tergantung daripada kenyataan apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil, baik dari sesama warga negaranya, maupun dari pemerintahnya. Secara umum, hukum adalah kumpulan aturan-aturan yang ditetapkan negara yang dikenakan sanksi atau konsekuensi bila melanggarnya. Dapat dikatakan bahwa negara demokrasi pada dasarnya adalah negara hukum. Secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan hukum, karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of law merupakan suatu legalisme sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom. Dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenangwenang.
Tindakan-tindakan
negara
terhadap
warganya
dibatasi
oleh
hukum. Dengan demikian sejak kelahirannya konsep negara hukum atau rule of law ini memeng dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas rakyatnya (abuseof power, abuse the droit).
6
Karena itu, yang dimaksudkan dengan negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersususn dalam suatu konstitusi, di mana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk pada hukum yang sama sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda atas dasar
pembedaan
yang rational, tanpa
memandang perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, daerah, dan kepercayaan serta kewenangan pemerintah dibatasi dalam suatu perinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hakhak rakyat, karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan peranannya secara demokratis. Jadi, kehidupan manusia harus teratur, dan oleh karenanya agar timbul keteraturan, hidup manusia harus diatur oleh hukum. Karena itu pula, seperti yang dikatakan oleh Dicey, bahwa ada tiga arti dari rule of law, yaitu sebagai berikut : 1. Supremacy of law Unsur Supremacy Of Law mengandung arti bahwa tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power), baik rakyat (yang diperintah) maupun raja (yang memerintah). Kedua-duanya tunduk pada hukum (regular law). Prinsip ini menempatkan hukum dalam kedudukan sebagai panglima. Hukum dijadikan sebagai alat untuk membenarkan kekuasaan, termasuk membatasi kekuasaan itu. Jadi yang berkuasa, berdaulat dan supreme adalah hukum, dan bukan kekuasaan. Supremasi absolut ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau
7
prerogatif penguasa. Ini berarti tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau melanggar hukum. Unsur supremasi hukum ini dapat dikatakan bersifat sama dengan ajaran yang dikemukakan Krabbe tentang teori kedaulatan hukum (rechts souvereiniteit), teori yang menentang ajaran staats souvereiniteit yang umumnya dianut oleh pemikir-pemikir kenegaraan Jerman. Perwujudan prinsip supremasi hukum (supremacy of law) di negara-negara Anglo Saxon sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di negara-negara Eropa Kontinental yang menganut konsep rechtstaats. Supremasi hukum menurut konsep ini (rechtstaat) adalah menempatkan negara sebagai subyek hukum, sehingga konsekuensi hukumnya dapat dituntut di pengadilan. Sementara di negara Anglo Saxon tidaklah demikian, supremasi hukum menurut konsep rule of law, tidak menempatkan sebagai subyek hukum. Negara dalam konsep ini tidak dapat
berbuat
salah,
sehingga
konsekuensinya
tidak
dapat
mempertanggungjawabkan sesuatu di pengadilan. 2. Equality before the law Berlakunya prinsip persaman dalam hukum (equality before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum dan tidak seorangpun yang berada di atas hukum (above the law). Jadi setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum. Penguasa maupun warga negara
bisa;
apabila
melakukan tort (perbuatan
melanggar
8
hukum: Surechtmatige daad; delict), maka akan diadili menurut aturan common law dan di pengadilan biasa. Equality Before The Law yang dikemukakan oleh Dicey adalah dilatar belakangi adanya suatu realitas pada saat itu di Inggris, yang dia lihat sangat baik dan ia bermaksud memberikan kritikan pada situasi saat itu terhadap Perancis yang pemerintahannya memperlakukan perbedaan antara pejabat negara dengan rakyat biasa. Di Inggris tidak mengenal pengadilan khusus bagi pejabat negara yang melanggar hukum, seperti yang teranulir di sistem Eropa Kontinental (civil law) berupa pengadilan administrasi (administratief rechts praak) atau seperti di Indonesia berwujud Peradilan Tata Usaha Negara dengan dikuatkan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana perubahan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pandangan rakyat Inggris (tak terkecuali the man in the street), Common law adalah suatu kebanggaan. Sifat yang konsisten terhadap monosistem peradilan, yakni peradilan umum yang berpuncak di Supreme Court, jika di Indonesia semacam Mahkamah Agung. Namun bagi mereka tidak mengenal adanya perbedaan perkara, semua perkara tunduk pada satu sistem peradilan. 3. Constitution based human rights Konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi negara yang bersangkutan, dalam hal ini, hukum yang berdasarkan konstitusi harus melarang setiap pelanggarannya terhadap hak dan kemerdekaan rakyat.
9
Secara harfiah dapat dikatakan bahwa apa yang telah dituangkan ke dalam konstitusi itu haruslah dilindungi keberadaannya. Di Inggris hak-hak asasi (the right to personal freedom, the right to freedom of discussion, dan the right to public meeting) dijamin dengan hukum-hukum biasa, kebiasaan ketatanegaraan ataupun dengan putusan hakim.
Sedangkan
Undang-undang
dasarnya
hanya
merupakan
generalisasi dari praktek ataupun kebiasaan yang sudah berlangsung, seperti
halnya
hak-hak
kebebasan
dalam Habeas
Corpus
Act, sesungguhnya telah ada sebelum Habeas Corpus Act diundangkan. Mengutip apa yang tertera didalam bukunya Oemar Seno Adji pendapat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa negara hukum secara formal harus memiliki, yaitu: 1) Hak Asasi Manusia; 2) Pembagian Kekuasaan; 3) Wermatigheid
van
bestuur (pemerintahan
harus
berdasarkan
peraturan-peraturan); 4) Peradilan tata usaha dalam perselisihan.
B. Konsep Negara Hukum Indonesia dalam Rule of Law Rumusan tentang unsur-unsur rechtsstaat yang dikemukakan oleh Stahl maupun rumusan tentang unsur-unsur the rule of law yang dikemukakan oleh
A.
V. Dicey tersebut di atas, adalah merupakan pandangan klasik, sebab dalam perkembangan selanjutnya, khususnya dalam memenuhi tuntutan perkembangan abad ke-20, perkembangan negara-negara hukum, penyelenggaraan negara oleh
10
pemerintah yang berubah, kegiatan negara telah menyebar untuk mengatur berbagai pokok persoalan kehidupan bernegara, negara hukum klasik berubah menjadi negara kesejahteraan modern (wefare state). Dari rumusan konsep rule of law baik yang klasik maupun yang dinamis hasil Konres ICJ tahun 1965 di Bangkok, dikatakan bahwa konsep rule of law dalam kaitannya dengan negara hukum memang sangat identik dan tak dapat dipisahkan
karena
maksud
dasar
dari rule
of
law itu
sendiri
adalah
penyelenggaraan negara berdasarkan demokrasi konstitusi,yang dengan tegas adanya keharusan untuk menjamin hak-hak asasi warga negaranya, persamaan di depan hukum, dan pengawasan atas jalannya pemerintahan. John Locke mengungkapkan satu teori tentang pemisahan kekuasaan dalam
karyanya
yang
berjudul Two
Treatises
of
Civil
Education
Government (1960), inti dari ajaran Locke ini, adalah: 1. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang; 2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan melaksanakan undang-undang; 3. Kekuasaan Federatif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar negeri dan menyatakan perang dan damai. Teori ini diikuti oleh Montesquieu, yang memisahkan kekuasaan negara menjadi 3 dan dilaksanakan oleh 3 lembaga negara, yang dikenal dengan Trias Politica, yaitu : 1. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang yang dipegang oleh lembaga pembentuk undang-undang;
11
2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan melaksanakan undang-undang, biasanya dilaksanakan oleh Presiden atau Perdana Menteri bersama-sama menteri-menteri, secara umum disebut pemerintah; 3. Kekuasaan Yudikatif, yaitu kekuasaan kehakiman, biasanya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lainnya. Teori pemisahan kekuasaan balk oleh John Locke maupun oleh Montesquieu tidak secara tegas dianut dalam konstitusi Indonesia. Menurut Prof. Dr. Ismail Sunny, bahwa: “Pemisahan kekuasaan dalam arti material tidak terdapat dan tidak pernah dilaksanakan di Indonesia, yang ada dan dilaksanakan ialah pemisahan kekuasaan dalam arti formil. Atau dengan perkataan lain, di Indonesia terdapat pembagian kekuasaan dengan tidak menekankan pada pemisahannya, bukan pemisahan kekuasaan”. Dengan demikian UUD 1945 tidak menganut paham atau teori pemisahan kekuasaan yang ada adalah pembagian kekuasaan. alasannya adalah sebagai berikut (sebelum dilaksanakannya Amandemen UUD 1945 tahun 1999 hingga 2003) : 1. Pasal 2 ayat 1, adanya susunan keanggotaan MPR yang terdiri dari angotaanggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan (UUD 1945 Pasal 2 ayat 1). 2. Pasal 5 ayat 1 , Kekuasaan pembentukan undang-undang dilaksanakan bersama-sama presiden dengan DPR.
12
3. Penjelasan Pasal 24, mendelegasikan walaupun kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. 4. Disamping mempunyai kekuasaan eksekutif presiden juga mempunyai kekuasaan menetapkan Peraturan Pemerintah. 5. Adanya MPR sebagai pelaksana kedaulatan Rakyat, penyelenggara negara tertinggi, dan presiden sebagai mandataris penyelenggara pemerintah tertinggi di bawah Majelis. Hal ini menujukkan adanya pembagian kekuasaan. 6. UUD 1945 bukan saja tidak menganut paham Trias Politica dalam arti fungsi atau tugas-tugas, tetapi juga dalam arti organ, karena dalam UUD 1945 ada lebih dari tiga lembaga tinggi negara, yaitu satu lembaga tertinggi negara dan lima lembaga tinggi negara. Dalam UUD 1945 unsur pemerintahan berdasar undang-undang tidak diatur secara tegas, artinya secara harafiah tidak ditemukan, namun tidak berarti bahwa UUD 1945 tidak mengatur hal ini. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar yang menjamin bangsa dan negara Indonesia hidup sejahtera. Selain itu dalam Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara disebutkan bahwa pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme. Supremasi hukum adalah unsur pertama dari rule of law seperti yang dikemukakan oleh Dicey. UUD 1945 cukup jelas menyatakan Negara Republik Indonesia menempatkan hukum pada tempat yang utama sebagai pusat kekuasaan
13
yang ada di dalam negara. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, dalam Batang Tubuh, Pasal 3, Pasal 4 ayat 1, juga dalam penjelasan, yaitu pada kalimat : 1. Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). 2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Dalam UUD 1945 hal ini dirumuskan dalam Pasal 27 ayat 1, yang berbunyi : “Segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ketentuan ini telah mencerminkan asas demokrasi, dan bukan saja hanya menjamin persamaan kedudukan dalam hukum, tetapi juga persamaan hak dan kewajiban dalam politik, sosial dan budaya. Unsur ini menunjukkan lebih demokratis jika dibandingkan dengan rule of law. Unsur-unsur rechtstaat maupun unsus-unsur rule of law, bagi negara Indonesia telah terpenuhi, namun demikian Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri sebagai negara yang bedasarkan hukum, dengan unsur-unsur utamanya, yang oleh Azhary dirumuskan sebagai berikut : 1. Hukumnya bersumber pada Pancasila; 2. Berkedaulatan rakyat; 3. Sistem konstitusi; 4. Persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi setiap warga negara; 5. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain;
14
6. Pembentuk undang-undang adalah presiden bersama-sama dengan DPR; 7. Dianutnya sistem MPR. Undang-Undang Dasar 1945 ditinjau secara keseluruhan menganut semua unsur negara hukum baik menurut konsep Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon, dengan beberapa kriteria yang didasarkan pada pandangan hidup dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Secara realitas Indonesia dapat dikatakan memenuhi persyaratan sebagai negara hukum. Keutamaannya dapat dilihat pada unsur-unsur negara yakni Cita Pancasila dan penamaan yang khas “Negara berdasar atas hukum” secara fakta bahwa Indonesia menciptakan sendiri konsep negara hukumnya berdasarkan cita negara Pancasila, secara universal Indonesia tidak juga membelakangi konsep umum yang ada di sistem hukum Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon.
C. Strategi Pelaksanaan Rule of Law Agar pelaksanaan (pengembangan) Rule of law berjalan efektif sesuai dengan yang diharapkan, maka: 1. Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian nasional masing-masing bangsa; 2. Rule of law yang merupakan institusi sosial harus didasarkan pada akar budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa; 3. Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus dapat ditegakkan secara adil, dan hanya memihak kepada keadilan.
15
Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dikembangkan hukum progresif (Satjipto Rahardjo, 2004), yang memihak hanya kepada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat politik yang memihak kepada kekuasaan seperti seperti yang selama ini diperlihatkan. Hukum progresif merupakan gagasan yang ingin mencari cara untuk mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih bermakna. Asumsi dasar hukum progresif bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya, hukum bukan merupakan institusi yang absolut dan final, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menerus menjadi (law as process, law in the making). Hukum progresif memuat kandungan moral yang sangat kuat, karena tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral yaitu kemanusiaan. Hukum progresif peka terhadap perubahan-perubahan dan terpanggil untuk tampil melindungi rakyat untuk menuju ideal hukum. Hukum progresif menolak keadaan status quo, ia merasa bebas untuk mencari format, pikiran, asas serta aksi-aksi, karena hukum untuk manusia. Arah dan watak hukum yang dibangun harus berada dalam hubungan yang sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia, atau “back to law and order”,
kembali
kepada
orde
hukum
dan
ketaatan
dalam
konteks
Indonesia. Artinya, bangsa Indonesia harus berani mengangkat Pancasila sebagai alternatif dalam membangun negara berdasarkan hukum versi Indonesia sehingga dapat menjadi “Rule of Moral” atau “Rule of Justice” yang bersifat “ke-Indonesiaan” yang lebih mengedepankan olah hati nurani daripada olah otak, atau lebih mengedepankan komitmen moral.
16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah menelaah pendapat-pendapat para ahli diatas secara formal istilah negara hukum dapat disamakan dengan Rechtstaat ataupun Rule Of Law, karena ketiga istilah ini memiliki arah dan tujuan yang sama menghindari adanya kekuasaan yang bersifat absolut dan mengedepankan serta menyatakan adanya pengakuan serta perlindungan akan hak-hak asasi manusia. Adapun perbedaan yang dapat diungkapkan hanya terletak pada historisnya masing-masing tentang sejarah dan pandang suatu bangsa. Layaknya ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl menggunakan istilah Rechstaat sedangkan ahli-ahli Anglo Saxon seperti Dicey memakai istilah Rule Of Law. Mungkin penyebutan ini hanyalah bersifat teknis juridis untuk mengungkapkan suatu kajian ilmu bidang hukum yang memiliki pembatasan karena, bagaimanapun juga paham klasik akan terus menginterplasi pemahaman para ahli-ahli hukum seperti halnya konsep negara tidak dapat campur tangan dalam urusan warganya, terkecuali dalam hal yang menyangkut keperntingan umum seperti adanya bencana atau hubungan antar negara.
Konsepsi
ini
yang
dikenal
dengan
“Negara
adalah
Penjaga
Malam (Nachwachterstaat)”.Konsepsi demikian menurut Miriam Budiardjo disebut “Negara Hukum Klasik.”
17
B. Saran Rule of Law (penegakkan hukum) di Indonesia sesungguhnya masih sangat jauh dari apa yang semestinya dilaksanakan. Untuk itulah, sebagai warga negara yang baik, masyarakat semestinya mentaati setiap aturan atau hukum yang telah dibuat. Aturan yang dibuat semata-mata bertujuan agar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dapat berjalan selaras tanpa adanya kericuhan atau kekacauan. Sebagai warga negara Indonesia yang dikenal menganut negara hukum, kita juga semestinya menunjukkan hal tersebut kepada dunia internasional bahwa bangsa yang baik adalah bangsa yang taat kepada hukum.