BAB l
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa sebelum kedatangan Islam dikenal dengan zaman jahiliyah. Dalam
Islam, periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam kehidupan
beragama. Pada saat itu masarakat Arab jahiliyah mempunyai kebiasaan-
kebiasaan buruk seperti meminum minuman keras, berjudi, dan menyembah
berhala.
Ketika nabi Muhammad SAW lahir (570 M). Mekah adalah sebuah kota yang
sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena
tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang
ramai menghubungkan Yaman di selatan dan Syiria di utara. Dengan adanya
Ka'bah di tengah kota. Mekah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka'bah adalah
tempat mereka berziarah. Didalamnya terdapat 360 berhala mengelilingi
berhala utama, Hubal. Mekah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat
Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab
dengan luas satu juta mil persegi.
Biasanya, dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsa
Arab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada jazirah Arab,
padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar Jazirah. Jazirah
Arab memang merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang kondisi Bangsa Arab
sebelum kedatangan agama Islam. Khususnya mengenai letak geografisnya, asal-
usulnya, agamanya, serta peradabannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kehidupan bangsa Arab sebelum datangnya Islam?
2. Bagaimana kondisi Bangsa Arab dalam hal letak geografi dan budayanya?
3. Seperti apa sejarah kehidupan dan keberagamaan Bangsa Arab sebelum
Islam?
4. TUJUAN
1. Mengkaji lebih dalam kehidupan bangsa Arab sebelum datangnya Islam.
2. Melihat kondisi Bangsa Arab dalam hal letak geografi dan budayanya.
3. Mengetahui sejarah kehidupan dan keberagamaan Bangsa Arab sebelum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazirah Arab, disebut masa
jahiliyyah.[1]
(((((((( ((( ((((((((((( (((( (((((((((( (((((((( (((((((((((((((
((((((((( ( (((((((((( ((((((((((( (((((((((( ((((((((((( (((((((((( ((((
((((((((((((( ( ((((((( ((((((( (((( (((((((((( ((((((( (((((((((( ((((((
(((((((((( ((((((((((((((( (((((((((( ((((
33. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215] dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[1216]
dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul
bait[1217] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar
rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. perintah ini juga
meliputi segenap mukminat.
[1216] Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran
yang terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah
sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[1217] Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah
s.a.w.
Julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral
masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang hidup menyatu dengan
padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada umumnya hidup
berkabilah dan nomaden. Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan.
Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut, mengakibatkan
mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak
dengan dalih kemuliaan, memusnahkan kekayaan dengan perjudian,
membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Suasana
semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam di tengah-tengah mereka.
Bangsa Arab pada umumnya berwatak berani, keras, dan bebas. Mereka
telah lama mengenal agama. Nenek moyang mereka pada mulanya memeluk agama
Nabi Ibrahim. Akan tetapi, akhirnya ajaran itu pudar. Untuk menampilkan
keberadaan Tuhan mereka membuat patung berhala dari batu, yang menurut
perasaan mereka patung itu dapat dijadikan sarana untuk berhubungan dengan
Tuhan.[2]
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama
sekali tidak memiliki peradaban. Kebudayaan mereka yang paling menonjol
adalahbidang sastra bahasa Arab, khususnya syair Arab. Perekonomian
penduduk negeri Mekah umumnya baik karena mereka menguasai jalur darat di
seluruh Jazirah Arab.
Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah
memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis, terutama
kawasan pesisir yang pada waktu itu ramai dilalui kapal-kapal pedagang
Eropa yang hendak menuju India, Asia Tenggara, Cina dan sekitarnya, telah
membuat kawasan ini lebih maju dari pada kawasan Arab yang lain. Makkah
pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf internasional. Hal ini
diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di
persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari
Yaman ke Syiria.
Rentetan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal
yang sangat penting untuk dikaji. Hal demikian karena tidak ada satu pun
peristiwa di dunia yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-
peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa
lainnya terdapat hubungan yang erat dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk hubungan Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.
B. KONDISI GEOGRAFIS JAZIRAH ARAB
Semenanjung Arab adalah semenanjung yang terletak di sebelah barat
daya Asia. Wilayahnya memiliki luas 1.745.900 kilometer persegi.[3]
Semenanjung ini dinamakan jazirah karena tiga sisinya berbatasan dengan
air, yakni di sebelah timur berbatasan dengan teluk Oman dan teluk Persi,
di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia dan teluk Aden, di
sebelah barat berbatasan dengan laut merah. Hanya di sebelah utara, jazirah
ini berbatasan dengan daratan atau padang pasir Irak dan Syiria.[4]
Gambar 1.1. Peta Jazirah Arab dan Penyebaran Agama Islam
Secara geografis, daratan jazirah Arab didominasi padang pasir yang
luas, serta memiliki iklim yang panas dan kering. Hampir lima per enam
daerahnya terdiri dari padang pasir dan gunung batu.[5] Luas padang pasir
ini diklasifikasikan Ahmad Amin sebagai berikut:
1. Sahara Langit, yakni yang memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan
180 mil dari timur ke barat. Sahara ini disebut juga sahara Nufud. Di
daerah ini, jarang sekali ditemukan lembah dan mata air. Angin disertai
debu telah menjadi ciri khas suasana di tempat ini. Hal itulah yang
menyebabkan daerah ini sulit dilalui.
2. Sahara Selatan, yakni yang membentang dan menyambung Sahara Langit ke
arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran
keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan
daerah sepi (al-Rub' al-Khali).
3. Sahara Harrat, yakni suatu daerah yang terdiri dari tanah liat berbatu
hitam. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di seluruh sahara ini.[6]
Secara garis besar, jazirah Arab dibedakan menjadi dua, yakni daerah
pedalaman dan pesisir. Daerah pedalaman jarang sekali mendapatkan hujan,
namun sesekali hujan turun dengan lebatnya. Kesempatan demikian biasa
dimanfaatkan penduduk nomadik dengan mencari genangan air dan padang rumput
demi keberlangsungan hidup mereka. Seperti juga di tempat-tempat lain, di
sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi
negeri-negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-
kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu
peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal
kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.[7]
Sedangkan daerah pesisir, hujan turun dengan teratur, sehingga para
penduduk daerah tersebut relatif padat dan sudah bertempat tinggal tetap.
Oleh karena itu, di daerah pesisir ini, jauh sebelum Islam lahir, sudah
berkembang kota-kota dan kerajaan-kerajaan penting, seperti kerajaan
Himyar, Saba', Hirah dan Ghassan.[8]
C. KONDISI SOSIAL DAN BUDAYA BANGSA ARAB
Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah. Mereka termasuk ras
atau rumpun bangsa kaukasoid, sebagaimana ras-ras yang mendiami daerah
Mediteranian, Nordic, Alpine dan Indic.[9]
Bangsa Arab hidup berpindah-pindah (nomad). Demikian ini karena
kondisi tanah tempat mereka hidup terdiri dari gurun pasir kering dan minim
turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti
tumbuhnya stepa (padang rumput) yang muncul secara sporadis di sekitar
oasis atau genangan air setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan badui
Arab untuk kebutuhan makan binatang ternak seperti kuda, onta dan domba.
Berbeda halnya dengan penduduk Arab perkotaan terutama penduduk
pesisir, pertanian, peternakan dan perdangangan, dapat berkembang dengan
baik di daerah tersebut. Hal inilah tentunya yang membuat kehidupan
masyarakat pesisir lebih makmur daripada masyarakat pedalaman (badui). Dari
realitas ini, maka timbullah reaksi antara penduduk kota atau pesisir
dengan penduduk Gambar 1.2. Bangsa Arab pedalaman atau badui.
Aksi dan reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun
dimotivasi oleh desakan kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Orang-orang
nomad bersikeras mendapatkan sumber-sumber tertentu pada orang-orang kota
terhadap apa yang tidak mereka miliki dari lingkungan mereka tinggal. Hal
itu dilakukan baik melalui kekerasan (penyerbuan kilat) atau jalan damai
(barter). Orang-orang badui nomaden dikenal sebagai perampok darat dan
makelar. Gurun pasir, yang merupakan daerah operasi mereka sebagai
perampok, memiliki kesamaan karakteristik dengan laut.[10]
Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya
kesukuan. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam
suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk
kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (trible) dan
dipimpin oleh Shaikh.[11] Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap
kabilah di atas segalanya. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang
berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena
masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar
kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah
di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu.
Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan
Ka'bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak
kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai
kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan.
Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.[12]
Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk
berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi,
wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal
itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan
masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori
keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran,
seperti :
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran
kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa
menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang
disebut wanita pelacur.
3. Pernikahan Istibdha', seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur
kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya
hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki,
karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar
dan baik.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan
peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak
yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki
yang diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada
masa jahiliyah ialah poligami tanpa ada batasan maksimal, berapapun
banyaknya istri yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda
bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian
ada ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya.[13]
Maka tidak heran, jika peperangan antar suku menjadi ciri khas
masyarakat ini. Rendahnya harga wanita seakan-akan menjadi akibat dari
keadaan masyarakat yang suka berperang tersebut.
Akibat tradisi peperangan ini, kebudayaan mereka tidak berkembang.
Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra Islam langka didapatkan di dunia
Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Shalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya
dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama
Islam.[14] Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di
kalangan para pe-rawi syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat
Arab dapat diketahui, yang antara lain bersemangat tinggi dalam mencari
nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai
masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat
badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga,
jauh lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka
mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam
taraf permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir
seluruh penduduk badui adalah penyair.[15]
Lain halnya dengan penduduk kota yang memiliki kemajuan peradaban,
sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami
perubahan seiring dengan perubahan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Mereka telah mampu berkarya seperti membuat alat-alat dari besi, bahkan
sampai mendirikan kerajaan-kerajaan. Sampai pada lahirnya Nabi Muhammad,
daerah-daerah tersebut masih merupakan kota-kota perniagaan, sebagaimana
diketahui bahwa daerah tersebut merupakan jalur perdagangan antara Eropa
dan Asia. Sebagaimana masyarakat badui, penduduk daerah ini juga mahir
bersyair. Biasanya, syair-syair dibacakan di pasar-pasar, semacam pagelaran
pembacaan syair, seperti yang terjadi di pasar ukaz. Bahasa mereka kaya
dengan ungkapan, tata bahasa dan kiasan.[16]
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas
di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah
pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa
kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang
menyebabkan minimnya moralitas.[17]
D. KONDISI EKONOMI BANGSA ARAB
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab
pra Islam. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang
Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra
Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan
ini ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para
pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah
mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor
Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi,
kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari
Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian
dan pedang; dari Persia adalah intan.[18]
Perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada
perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai
pengembara dan pedagang tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan
yang bisa dilalui untuk bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga.[19]
Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi
perekonomian yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan
memang dalam rangka mengamankan jalur perdagangan ini.
Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra Islam
sebagaimana dikemukakan Burhan al-Din Dallu adalah sebagai berikut:
1. Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.
2. Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling
bergengsi.
3. Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan
lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan
penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
4. Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah Arab.
5. Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah,
karena keduanya terlibat peperangan terus menerus.
6. Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang
Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada
tahun 257 M.
7. Dibangunnya pasar lokal dan pasar musiman di Hijaz, seperti Ukaz,
Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah
dan pasar Wahat.
8. Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan
laut merah.
9. Terisolasinya perdagangan orang Ethiopia di laut merah karena
diblokade tentara Yaman pada tahun 575 M.[20]
Data-data yang dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa antara ekonomi dan
politik tidak dapat dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pra-
Islam. Kehidupan politik Byzantium dan Sasaniah turut memberikan sumbangan
dalam memajukan proses perdagangan yang berlangsung di Hijaz, karena kedua
kerajaan ini sangat berkepentingan terhadap jalur perdagangan ini.
Di lain sisi, Mekkah dimana terdapat ka'bah yang pada waktu itu
sebagai pusat kegiatan agama, telah menjadi jalur perdagangan
internasional.[21] Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis
karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan
dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada
mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga
pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para
pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan
segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin
keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci,
ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya.[22] Keberhasilan sistem
ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya
menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan
bertaraf internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja
barang-barang mewah seperti emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak
wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang
eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh
sukses besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang
bisnis.[23]
E. KONDISI POLITIK BANGSA ARAB
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab
adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur.
Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab,
bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang
merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan
serta adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap.
Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan
tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka
tidak mengenal konsep negara.[24]
Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur
masyarakat Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak
tertulis. Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan
hukuman pada anggotanya.[25] Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin
suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan
yang pernah dibuat antara pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman,
Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dan Ethiopia.
Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem
keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan
orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan,
memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga
tak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan
pujian tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair
yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga
kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang
bersaing mencari simpati.[26]
Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model
kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang
dipilih antara sesama anggota. Shaikh dipilih dari suku yang lebih tua,
biasanya dari anggota yang masih memiliki hubungan famili. Fungsi
pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) daripada
memberi komando. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat
membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban
hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada
warga suku lain.[27]
F. AGAMA BANGSA ARAB PRA-ISLAM
Faktor alam merupakan satu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan
beragama pada suatu bangsa. Hal itu dapat dibuktikan oleh penyelidik-
penyelidik ilmiah yang menunjukkan bahwa Jazirah Arab dahulunya subur dan
makmur. Karena faktor alam itu pula boleh jadi rasa keagamaan telah timbul
pada bangsa Arab semenjak lama. Semangat keagamaan yang amat kuat pada
bangsa Arab itulah yang menjadi dorongan mereka untuk melawan dan memerangi
agama Islam di saat Islam datang. Mereka memerangi agama Islam karena
mereka amat kuat berpegang dengan agama mereka yang lama yaitu kepercayaan
yang telah mendarah daging pada jiwa mereka. Andaikata mereka acuh tak acuh
dengan agama, tentu mereka membiarkan agama Islam berkembang, tetapi
kenyataannya tidak demikian. Agama Islam mereka perangi mati-matian sampai
mereka kalah.
Sampai saat ini pun bangsa Arab, baik dia seorang ulama atau tidak,
terhadap agamanya mereka sangat bersemangat. Agama itu disiarkan serta
dibela dengan sekuat tenaganya. Semangat beragama mereka umumnya bersifat
kulitnya saja. Adapun ibadah dan praktik-praktik keagamaan sering
ditinggalkan oleh Arab Badui. Watak mereka yang amat mencintai hidup bebas
dari keterikatan menjadi sebab mereka ingin bebas dari aturan agama. Mereka
sudah lama merasa bosan dan kesal terhadap agamanya karena dianggap sebagai
pengikat kemerdekaannya sehingga selalu menyelewengkan agama mereka
sendiri.[28]
Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi,
dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan adalah agama
mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di
sekitar Ka'bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: sanam,
wathan, nusub, dan hubal.
Sanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga
dibuat dari batu. Nusub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu.
Hubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab
yang paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah. Orang-orang dari
semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah
melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri.[29] Ini membuktikan bahwa
paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung
berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi
maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.[30]
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan
Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama
ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman
yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah
menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi.
sehingga kalau mereka menolak, maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru
menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka
dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh dengan pedang atau dilukai
sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban pembunuhan itu
mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme
agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah "orang-orang yang membuat
parit" (Ashab al-Ukhdud).[31]
(((((( ((((((((( ((((((((((( ((( (((((((( ((((( ((((((((((( (((
(((( (((( ((((((((( ((((((( (((
4. binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit[1567],
5. yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar,
6. ketika mereka duduk di sekitarnya,
[1567] Yaitu pembesar-pembesar Najran di Yaman.
Sedangkan Agama Kristen di jazirah Arab dan sekitarnya sebelum
kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu.
Yang tampak hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen. Menurut
Muhammad 'Abid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah "Nasara" bukan "al-
Masihiyah" dan "al-Masihi" bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen
resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah "Nasara" adalah sekte
sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah "Hawariyun". Para misionaris
Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhab-
madhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu.
Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani
yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang
bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang
melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru,
termasuk jazirah Arab dan sekitarnya.[32]
Sekte Arius menyebar di bagian selatan jazirah Arab, yaitu dari Suria
dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi
penjuru-penjuru jazirah Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka telah
sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraish yang
berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, dan Habashah.[33] Tetapi
salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah sekte
Ebionestes.[34]
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga
agama di atas adalah Hanifiyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama
Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-
berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui
keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah
adalah Hanifiyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini
menyebar luas ke berbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah
Hijaz, yaitu Yathrib, Taif, dan Mekah.[35]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari paparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa:
1. Masa sebelum kedatangan Islam dikenal dengan zaman jahiliyah. Dalam
Islam, periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam
kehidupan beragama.
2. Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai macam
agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup.
3. Negeri Yaman adalah tempat tumbuh kebudayaan yang amat penting yang
pernah berkembang di Jazirah Arab sebelum Islam datang.
4. Perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada
perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian.
5. Masa Jahiliyah bukan berarti masa dimana Bangsa Arab yang belum
mengetahui apapun. Namun masa ketika kemajuan peradaban Bangsa Arab
tanpa disertai kemajuan moralnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an al-Karim.
'Abd al-'Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tarīkh Ṣadr al-Islam, 2007,
Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-'Arabīyah.
A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi
Latief , 1983, Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 1975, Kairo: Maktabah Najdah al-Misriyyah.
Ahmad Mujahidin, "Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan
Negara-Negara Sekitarnya", Maret 2003, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor
2.
Ali Mufrrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 1997, Jakarta: Logos.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 2010, Jakarta: Rajawali Press.
Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi,
Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri, 1994, Jakarta: Ilmu
Jaya.
Burhan al-Din Dallu, Jazirat al-'Arab Qabl al-Islam, 1989, Beirut.
Fadil, SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah, 2008,
Malang: UIN Malang Press.
Gustav Leboun, Hadarat al-'Arab, Kairo: Matba'ah 'Isa al-Babi al-
Halabi.
Khalil Abdul Karim, Syari'ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, 2003.
Yogyakarta: LKiS.
M.M. al-A'zamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi,
2005. Jakarta: Gema Insani.
Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, 1956, Oxford: Oxford University
Press.
Muhammad 'Abid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm, 2007. Beirut:
Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-'Arabīyah.
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, 2011.
Jakarta; Litera Antar Nusa.
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riadi, 2010, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
R.A Nicholson, A Literary History of The Arabs, 1997, Cambridge:
Cambridge University Press.
Syafiq A. Mughni, "Masyarakat Arab Pra Islam", dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, I, 2002, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
http://emhasemarangan.blogspot.com/2010/02/rahasia-sukses-dakwah-
rasulullah.html, diunduh 24 Maret 2014.
http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/masa-nabi-muhammad-saw-pada-
periode.html, diunduh 24 Maret 2014.
http://pandidikan.blogspot.com/2011/04/pendidikan-islam-pada-masa-
rasulullah.html, diunduh 24 Maret 2014.
http://sejarahperadabanislam77.blogspot.com/2013/05/kehidupan-bangsa-
arab-sebelum-datangnya.html, diunduh 24 Maret 2014.
http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html,
diunduh 24 Maret 2014.
-----------------------
[1] Al-Qur-an Surat al-Ahzab: 33.
[2]http://emhasemarangan.blogspot.com/2010/02/rahasia-sukses-dakwah-
rasulullah.html, diunduh 24 Maret 2014.
[3] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riadi, 2010, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, hal. 16.
[4] Fadil, SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah, 2008,
Malang: UIN Malang Press, hal. 26.
[5] Ibid, 43-44.
[6] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 1975, Kairo: Maktabah Najdah al-Misriyyah,
hal. 1-2.
[7] http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/masa-nabi-muhammad-saw-pada-
periode.html, diunduh 24 Maret 2014.
[8] Ahmad Mujahidin, Maret 2003, "Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan
Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya", Jurnal Akademika, Volume 12,
Nomor 2, hal. 4.
[9] Ali Mufrrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 1997, Jakarta: Logos,
hal. 5. Ras lain ialah Mongoloid, Negroid dan ras-ras khusus.
[10] Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 28.
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 2010, Jakarta: Rajawali Press,
hal. 11.
[12] http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/masa-nabi-muhammad-saw-pada-
periode.html, diunduh 24 Maret 2014.
[13] http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html,
diunduh 24 Maret 2014.
[14] A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi
Latief , 1983, Jakarta: Pustaka Al-Husna, hal. 29.
[15] Gustav Leboun, Hadarat al-'Arab, Kairo: Matba'ah 'Isa al-Babi al-
Halabi, hal. 72.
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hal. 12.
[17] http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/masa-nabi-muhammad-saw-pada-
periode.html, diunduh 24 Maret 2014.
[18] Syafiq A. Mughni, "Masyarakat Arab Pra Islam", dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, I, 2002, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 15.
[19] http://pandidikan.blogspot.com/2011/04/pendidikan-islam-pada-masa-
rasulullah.html, diunduh 24 Maret 2014.
[20] Burhan al-Din Dallu, #F L M m n s t z {
? ' " š ž Ÿ ± ² µ ¶ Ð Ñ
× Ø â ã é ê ð ñ \]cdjk{"Jazirat al-'Arab Qabl
al-Islam, 1989, Beirut, hal. 129-130.
[21] Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, 1956, Oxford: Oxford University
Press, hal. 2-3.
[22] Ahmad Mujahidin, "Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan
Negara-Negara Sekitarnya", Maret 2003, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor
2, hal. 12-13.
[23] Ibid, 13.
[24] 'Abd al-'Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tarīkh Ṣadr al-Islam, 2007,
Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-'Arabīyah, hal. 41.
[25] R.A Nicholson, A Literary History of The Arabs, 1997, Cambridge:
Cambridge University Press, hal. 83.
[26] http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html,
diunduh 24 Maret 2014.
[27] Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi,
Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri, 1994, Jakarta: Ilmu
Jaya, hal. 10.
[28]http://sejarahperadabanislam77.blogspot.com/2013/05/kehidupan-bangsa-
arab-sebelum-datangnya.html, diunduh 24 Maret 2014.
[29] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah,
2011. Jakarta; Litera Antar Nusa, hal. 19-20.
[30] M.M. al-A'zamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi,
2005. Jakarta: Gema Insani, hal. 23.
[31] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hal. 10-11. Lihat: Al-
Qur-an, 85 (al-Buruj): 4-6.
[32] Muhammad 'Abid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm, 2007.
Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-'Arabīyah, hal. 38-46.
[33] Ibid, 58.
[34] Ibid, 41-42.
[35] Khalil Abdul Karim, Syari'ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, 2003.
Yogyakarta: LKiS, hal. 15-16.