Makalah Sejarah Peradilan Agama di Indonesia SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A.
Latar
Belakang
Peradilan agama adalah kekuasan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili,
memutus,
dan
menyelesaikan
perkara-perkara
perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqah diantara orang-orang islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penyelenggaraan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama pada Tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada Tingkat Banding. Sedangkan pada tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Sebagai pengadilan negara tertinggi. Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokokpokok kekuasan kehakiman dan yang terakhir telah diganti dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, merupakan lembaga peradilan khusus yang ditunjukan kepada umat islam dengan lingkup kewenangan yang khusus pula,baik perkaranya ataupun para pencari keadilannya (justiciabel). Disamping peradilan Agama ada juga Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang termasuk peradilan khusus. B.
Rumusan
1.
Apa peradilan agama itu?
2.
Bagaimana akar historis hukum islam di indonesia ?
Masalah
3.
Bagaimana Eliminasi hukum perdata islam masa penjajah, era kolonial belanda, awal kemerdekaan sampai dengan pemerintah orde lama, orde baru, masa reformasi?
4.
Bagaimana aplikasi UU nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama?
5.
Bagaimana peradilan agama satu atap dibawah mahkamah agung?
BAB II PEMBAHASAN MASALAH A.
PENGERTIAN
PERADILAN
AGAMA
Didalam kamus besar bahasa indonesia Peradilan adalah “ segala sesuatu mengenai perkara pengadilan”. Dalam ilmu hukum, peradilan dijelaskan oleh para sarjana hukum indonesia sebagai terjemahan dari rechtspraak dalam bahasa belanda. Menurut Mahadi, Peradilan adalah suatu proses yang berakhir dengan memberi keadilan dalam suatu keputusan, proses ini diatur dalam suatu peraturan hukum acara.jadi peradilan tidak bisa lepas dari hukum
acara.
Menurut abdul gani abdullah menyimpulkan bahwa peradilan adalah kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas nama B.
hukum AKAR
Walaupun
demi HISTORIS
merupakan
bagian
tegaknya
hukum
HUKUM integral
dan
ISLAM
DI
syari’ah
Islam
keadilan. INDONESIA
dan
memiliki
peran signifikan, kompetensi dasar yang dimiliki hukum Islam, tidak banyak dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan oleh
kalangan
ahli
hukum
itu
sendiri.
Sebagian
besar
kalangan
beranggapan, tidak kurang diantaranya kalangan muslim, menancapkan
kesan kejam, incompatible dan of
to
Islam.Ketakutan
jelas
ini
akan
semakin
date
dalam konsep hokum
adanya
apabila
mereka
membincangkan hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong tangan, rajam, salab dan qisas telah of to date dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusian.
Bagaimana dengan perkembangan hukum pidana Islam di Indonesia? Pertanyaan ini sudah seharusnya diajukan sebab kedudukan hukum perdata Islam telah
terjalin
sebagai
unsur
agama
yang
secara
luas
dalam
yang mempengaruhi dirumuskan
hukum
atau
dalam
positif,
sebagai
peraturan
baik
hal
modifikasi
itu
norma
perundang-undangan
keperdataan, bahkan tercakup dalam lingkup hokum substansial dari UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama.Sedang hukum Islam dibidang kepidanaan-
untuk
menyebut
lain
dari
hukum
pidana
Islam-
belum
mendapat tempat seperti bidang hukum keperdataan Islam.Selain itu, berbagai
kajian
akademik
yang
ada
seringkali
bersifat
politis
dan
memperlebar jarak pemahaman hukum pidana positif dengan hukum Islam bidang
kepidanaan.
Dalam
perspektif
realitas
sejarah
makro-historis, yang
tidak
kemajemukan
dapat
hukum
dihindarkan.Mazhab
merupakan Posivisme
berpendapat, bahwa: the development of law formalized for the sake of the law only. Kalangan ini menolak keras campur tangan politik dalam hukum, hukum demi hukum, ilmu hukum berbentuk value-free science sedangkan ilmu politik apalagi jika dikaitkan dengan ilmu sosial berbentuk value-loaded science.Dalam pandangan kelompok ini prosedur penemuan, pembentukan, dan pelaksanaan hukum berjalan dalam bingkai aparat hukum an sich, hukum hanya dapat ditemukan melalui keputusan hakim saja.Adapun proses
pembentukan
hokum dibatasi pada produk legitimator yang
disahkan undang-undang . law
is
a
command
of the law giver .
Hubungan antara praktek hukum Islam dengan agama Islam dapat diibaratkan dengan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.Hukum Islam
bersumber dari ajaran Islam, sedangkan ajaran Islam adalah ajaran yang dipraktekkan
pemeluknya
perkembangan
hukum
.
Oleh
sebab
di
Indonesia
Islam
itu,
untuk
membicarakan
erat hubungannya dengan
penyebaran agama Islam di Indonesia.Oleh karena itu, amat wajar jika kajian kedudukan hukum Islam pra penjajahan dilakukan dengan asumsi bahwa tata hukum Islam Indonesia berkembang seiring dengan sampainya dakwah Islam C.
di PERADILAN
AGAMA
Indonesia.
DI
ERA
KOLONIAL
BELANDA
Dengan masuknya agama islam ke indonesia,maka tata hukum mengalami perubahan. Hukum islam tidak hanya menggantikan hukum hindu yang berwujud dalam hukum perdata tetapi juga memasukkan pengaruhnya kedalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Memasuki masa penjajahan, pada mulanya pemerintah belanda tidak mau mencampuri organisasi pengadilan agama. Disamping itu tiap-tiap pengadilan negeri diadakan pengadilan agama yang mempunyai daerah yang sama walaupun wewenang pengadilan agama baru yang disebut “ priesterraad “ ini dalam bidang perkawinan dan waris, sesungguhnya staatsblad ini merupakan pengakuan
dan
pengukuhan
terhadap
pengadilan
yang
telah
ada
sebelumnya. Menurut supomo, pada masa penjajahan belanda terdapat lima tatanan peradilan:
1.
Peradilan gubernemen terbesar diseluruh daerah Hindia-Belanda.
2.
Peradilan pribumi terbesar di luar jawa dan madura.
3.
Peradilan
swapraja,tersebar
hampir
kecuali di pakualaman dan pontianak.
diseluruh
daerah
swapraja,
4.
Peradilan agama terbesar didaerah-daerah tempat berkedudukan peradilan gubernemen, dan menjadi bagian dari peradilan pribumi atau didaerah-daerah swapraja menjadi bagian dari peradilan swapraja.
5.
Peradilan
desa
tersebar
didaerah-daerah
tempat
berkedudukan
peradilan gubernemen. Disamping itu ada juga peradilan desa yag merupakan bagian dari peradilan pribumi atau peradilan swapraja.
Dengan adanya ketetapan tersebut terdapat perubahan penting dalam pengadilan
agama
pada
waktu
itu
yaitu:
Reorganisasi pada dasarnya membentuk pengadilan agama yang baru disamping landraad (pengadilan negeri) dengan wilayah hukum yang sama, yaitu
rata-rata
seluas
wilayah
kabupaten.
Pengadilan itu menetapkan perkara-perkara yang dipandang masuk dalam lingkungan Pengadilan
kekuasaannya. agama
mendasarkan
keputusannya
kepada
hukum
islam
sedangkan landraad mendasarkan keputusannya kepada hukum adat. Wewenang pengadilan agama dijawa dan madura berdasarkan ketentuan baru dalam pasal 2a, yang meliputi perkara-perkara sebagai berikut: 1.
Perselisihan antara suami istri yang beragama islam.
2.
Perkara-perkara tentang, pernikahan, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang beragama islam yang memerlukan perantara hakim agama islam.
3.
Menyelenggaraka perceraian
4.
Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq al-thalaq) telah ada.
5.
Perkara mahar atau maskawin.
6.
Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakanoleh suami.
Namun
perkara
tersebut
tidak
sepenuhnya
menjadi
wewenang
dari
pengadilan agama. Dan dalam perkara-perkara tersebut apabila terdapat tuntutan untuk pembayaran dengan uang maupun harta benda ataupun dengan barang tertentu, maka harus diperiksa atau diputus oleh landraad (pengadilan D.
negeri).
ELIMINASI
HUKUM
PERDATA
ISLAM
MASA
PENJAJAH
Dalam banyak kajian, perkembangan hukum Islam pada masa penjajahan sangat
dipengaruhi
kedatangannya,
oleh
Belanda
politik telah
pemerintahan
melihat
Belanda.Pada
hukum
Islam
masyarakat nusantara, baik dalam peradilan, praktek keyakinan
hukum.Sikap
kepentingan
politik
perdagangan
VOC
terhadap
rempah-rempah
awal
dipraktekkan
harian
maupun
Islam dipengaruhi oleh
dan
perluasan
pasar
.
Oleh sebab itu, exsistensi hukum Islam pada awal kedatangan VOC nyaris tidak berubah seperti masa kerajaan Islam, rakyat berhak mempraktekkan hukum Islam dan wewenang
pemerintahan
kerajaan
Islam
masih
mempunyai
legislatif . Selain faktor di atas, penyebab utama kebijakan
toleransi praktek hukum Islam di Indonesia adalah,
perhatian
utama
kompeni terhadap Islam hanya bersifat temporal dan kasuistik, yaitu pada saat muncul alasan untuk mencemaskan pengacau ketertiban melalui peristiwa
keagamaan
yang
menyolok
.
Kebijakan hukum Deandles misalnya, sebagaimana yang tertuang dalam Charter voor de aziastisce bezittingen van de bataafsce republiek, Pasal 86 :“
De
rechtspleging
onder
den
Inlander
zal
blijven
geschieden
volgens hunne eigenne wetten en gewoonten.Het Indische bestuur zal door gepaste middelijn zoergen dat dezelve in die territoiren, welke onmiddelijk
staan onder de opperheerschappij van den staat, soveel mogelijk worde gezuiverd van ingenslopen misbruiken, tegen den inlandsche wetten of gebruiken strijdende, en het bekomen van spoedige en goede justitie,....” Sikap toleransi di atas, pelan tapi pasti kemudian berakhir seiring dengan diterimanya octrooi oleh VOC dari staten general pada tahun 1602. Dalam
pasal
mengangkat
35
octrooi
officieren
tersebut,
van
VOC
justitie.
mendapat
kekuasaan
waktu
pengangkatan
Pada
untuk dari
gouverneur general ( wali negeri ) yang pertama serta Dewan Hindia pada tanggal 27 November 1609.Dewan ini perkara
perdata
juga diperintahkan menengahi
maupun
pidana
.
Oleh sebab itu, beberapa wilayah VOC di nusantara memberlakukan unifikasi hukum walaupun pada perkembangan selanjutnya unifikasihukum tersebut gagal. Sebagai akibat dari kegegalan tersebut, pada tahun 1642 VOC mengukuhkan statuta Batavia dan memberikan legitimasi juridis praktek pembagian waris Islam masyarakat Indonesia . Pengakuan tersebut kemudian diikuti dengan pengakuan praktek hukum Islam di daerah lain, yaitu praktek hukum Islam masyarakat Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan . E.
PERADILAN
AGAMA
DENGAN
PADA
AWAL
KEMERDEKAAN
PEMERINTAH
ORDE
SAMPAI LAMA
Pada awal tahun 1946 dbentuklah kementrian agama. Departemen agama dimugkinkan melakukan konsolidasin atas seluruh administrasi lembagalembaga
islam
dalam
sebuah
badan
yang
bersifat
nasional.
Adapun kekuasaan pengadilan agama / mahkamah syar’iyah menurut ketetapan
pasal
4
PP
adalah
sebagai
berikut:
Pengadilan agama / mahkamah syar’iyah memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami isteri dan semua perkara yang menurut hukum yang
hidup
diputus
menurut
hukum
agama
islam.
Pengadilan agama / mahkamah syar’iyah tidak berhak memeriksa
perkara-perkara tersebutdalam ayat 1 jika untuk perkara berlaku lain dari pada
hukum
agama
islam.
Pada masa kemerdekaan, Pengadilan Agama atau Mahkamah Agung Islam Tinggi yang telah ada berlaku berdasarkan aturan peralihan. Selang tiga bulan berdirinya Departemen Agama yang dibentuk melalui keputusan pemerintah. Setelah Pengadilan Agama diserahkan pada Departemen Agama masih ada pihak tertentu yang berusaha menghapuskan keberadaan pengadilan agama. Pengadilan agama selanjutnya ditempatkan dibawah tanggung
jawab
jawatan
urusan
agama.
Dengan demikian secara singkat dapat disebutkan bahwa pada periode 1945 -
1966 terdapat empat lingkungan peradilan yaitu:peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usahan negara. Keempat lingkungan tersebut bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh,
melainkan
F.
PERADILAN
masih
dapat
AGAMA
intervensi PADA
dari
MASA
kekuasan ORDE
lain. BARU
Pada masa orde baru kekuasaan dari lembaga peradilan (yudikatif) mengalami perkembangan yang signifikan yaitu dengan diundangkannya undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang mana dalam undang-undang ini kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yang ada yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang G.
semuanya PERADILAN
berada AGAMA
dibawah PADA
Mahkamah MASA
Agung.
REFORMASI
Dalam pasal 1 Undang-Undang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi
terselenggaranyanegara
hukum
indonesia.
Penyelenggaraannya
sebagaimana dalam pasal 1 itu dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Tata Usaha Negara
oleh
sebuah
Mahkamah
Konstitusi.
Dengan demikian secara tegas dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan independensi kekuasaan kehakiman dengan tuntutan reformasi dibidang kekuasaan yang menghendaki kekuasaan kehakiman benar-benar merdeka bebas
dari
campur
tangan
kekuasaan
lain.
Dengan demikian pada Era Reformasi, khususnya setelah berlangsungnya proses amandemen terhadap UUD 1945 terdapat dua lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman (yudicial power) yaitu Mahkamah Agung dan H.
Mahkamah
Konstitusi.
UU NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA
Undang-Undang nomor 7 ini disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember Tahun 1989 ditempatkan dalam lembaran Negara RI nomor 49 tahun 1989 dan tambahan dalam lembaran negara nomor 3400. Isi dari undang-undang nomor 7 tahun 1989 terdiri atas tujuh Bab, meliputi 108 pasal. Ketujuh Bab tersebut adalah ketentuan umum, susunan pengadilan, kekuasaan pengadila, hukum acara, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan Perubahan
dan pertama,tentang
ketentuan dasar
hukum
penutup.
penyelenggaraan
peradilan,
sebelum UU nomor 7 tahun 1989 berlaku dasar penyelenggaraan peradilan braneka ragam. Sebagian merupakan produk pemerintahan belanda, dan sebagian
merupakan
produk
pemerintah
republik
indonesia.
Sejak
berlakunya UU nomor 7 tahun 1989 semua peraturan perundang-undangan dinyatakan
tidak
berlaku
lagi.
Perubahan kedua, tentang kedudukan pengadilan.. Berdasarkan UU Nomor 7 tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama sejajar dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan lainnya,khususnya dengan
pengadilan
dalam
lingkungan
peradilan
umum.
Perubahan ketiga, tentang kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), hakim diagkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara atas usul menteri agama berdasarkan persetujuan mahkamah agung. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat putusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya. Perubahan keempat, tentang wewenang pengadilan. Menurut ketentuan pasal 49 ayat (1), “pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus
dan
menyelesaikan
perkara-perkara
untuk
orang
Islam”.
Perubahan kelima, tentang hukum acara. Hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus
dalam
undang-undang-undang
ini.
Perubahan keenam, tentang penyelenggaraan administrasi peradilan. Di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama ada dua jenis administrasi yaitu,administrasi
peradilan
dan
administrasi
umum.
Perubahan ketujuh, tentang perlindungan terhadap wanita. Ketentuan tidak berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, dan tidak pula dihapuskan. I.
PERADILAN AGAMA SATU ATAP DIBAWAH MAHKAMAH AGUNG
(ONE Kekuasaan
ROOF eksekutif
organisatoris,
SYSTEM salah
administratif
satu dan
OF
contoh
bahwa
finansial
berada
JUDICIAL) pembinaan ditangan
secara
eksekutif.
Mahkamah Agung hanya melakukan pembinaan terhadap empat lingkungan
peradilan secara teknis justicial. Masuknya pihak eksekutif dalam kekuasaan kehakiman
disinyalir
sebagai
kehakiman
dinegeri
ini
salah
tidak
satu
sebab
independen
mengapa
sebagaimana
kekuasaan seharusnya.
Oleh karena itu banyak muncul tuntutan dari berbagai pihak agar kekuasaan kehakiman harus bersifat independen, salah satunya adalah dalam hal mekanisme pembinaannya. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
kekuasaan
menganut
1.
sistem
kehakiman dua
merupakan
atap
undang-undang
(double
roof
yang
system).
Sistem peradilan satu atap adalah suatu kebijakan yang potensial menimbulkan implikasi, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Implikasi yang perlu diantisipasi dengan adanya sistem antara lain:
2.
Ditinjau dari ajaran Trias politica dengan satu atap, pemisahan kekuasaan kehakiman dari kekuasaan legislatif dan eksekutif menjadi lebih murni.
3.
Satu atap juga dapat menimbulkan konsekuensi pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman, selain harus bertanggungjawab secara teknis yusticial juga secara administratif.
4.
Ada
kekhawatiran
sistem
satu
atap
justru
akan
melahirkan
kesewenang-wenangan pengadilan atau hakim, karena dengan satu atap tidak ada lagi lembaga lain yang mengawasi prilaku hakim. 5.
Dalam praktikmya pengawasan terhadap hakim yang nakal menjadi sulit karena urusan gaji dan administrasi berada didepartemen kehakiman. Sistem satu atap akan lebih baik ketika diiringi oleh keberadaan komisi yudisial.Satu
atap
akan
mempersingkat
berbagai
urusan
dan
memudahkan komunikasi.
Sementara terhadap Mahkamah Konstitusi segala hal yang terkait dengan
pelaksanaan tugas dan fungsinya menjadi wewenang secara internal. Adapun mengenai Mahkamah Konstitusi ini diatur dalam undang- undang Nomer
24
Tahun
2003
tentang
Mahkamah
Konstitusi.
Selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terdapat lembaga Negara lain yang berhubungan dengan kekuasan kehakiman yaitu komisi yudisial, yang mempunyai tugas dan kewenangan antara lain melakukan seleksi calon Hakim Agung dan menjadi pengawas terhadap kinerja hakim secara keseluruhan. Dengan
demikian
sistem
peradilan
yang
ada
di
negara
kita
telah
memadahi,sehingga yang terpenting untuk saat ini adalah membangun moral dari aparat penegak hukum itu sendiri. Termasuk di dalamnya dapat ditempuh melalui jalur pendidikan hukum yang menekankan pada aspek pengetahuan(know ledge),keahlian(skill),dan nilai(values). Sehingga para calon penegak hukum yang dihasilkan nantinya di samping memiliki keahlian di
bidang
hukum
juga
menjunjung
tinggi
moral
dan
etika
.
Termasuk dalam hal ini peradilan agama yang telah memiliki komptensi selain di bidang hukum keluarga juga hukum perdata lain dalam hal ini yang berkaitan dengan ekonomisyariah.Sehingga dengan sistem satu atap ini ,maka
diperlukan
menguasai
SDM
hakim
pengadilan
bidang
agama
Ekonomi
yang
benar-benar Syariah.
BAB III PENUTUP A.
KESIMPULAN Penyelesaian perselisihan dan persengketaan di dalam kehidupan
masyarakat itu sangat dbutuhkan. Adapun peradilan adalah kekuasaan
negara
dalam
menerima,
memeriksa,
mengadili,
memutus,
dan
menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penyelenggaraan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding. Sedangkan pada tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pada masa Kolonial Belanda tidak mau mencampuri organisasi Pengadilan Agama. Dan terdapat perubahan yang cukup peting yaitu Reorganisasi yang membentuk Pengadilan Agama yang baru disamping landraad dengan wilayah hukum yang sama dan Pengadilan yang menetapkan perkaraperkara yang masuk dalam lingkungan kekuasaannya. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mempunyai beberapa Bab yaitu Ketentuan Umum, Susunan pengadilan, Kekuasaan
Pengadilan,
dan
Ketentuan
Penutup.
Pada masa kolonial Belanda Pengadilan Agama disebut “ priesterraad”. Sistem Peradilan Agama Satu Atap Dibawah Mahkamah Agung (One Roof System
Of
Judicial)
----------------------------------DAFTAR
PUSTAKA
Amrullah, Ahmad, “Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional Indonesia”,
Jakarta:
Gema
Insani
Press
,
1996.
Ali, Muhammad Daud, “Hukum Islam dan Peradilan Agama”, Jakarta: Rajawali Press,
1997.
Ali, Muhammad Daud, “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam Taufiq Abdullah dan Syahron Siddiq, “Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara”, terj.Rohman Ahwan, Jakarta: LP3ES,
1988. Anshari, Abdul Ghofur, “Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (sejarah, kedudukan dan kewenangan)”, Yogyakarta: UII Press, tt. Arto,
Mukti,
“Mencari
Keadilan”,
Yogjakarta:
Pustaka
Pelajar,
2001.
Azra, Azyumardi, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantra Abad
XVII
dan
XVIII”,
Bandung:
Mizan,
1994.
Benda, Harry J., “Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan
Jepang”,
Jakarta:
Pustaka
Jaya,
1980.
Bisri, Hasan, “Peradilan Agama Di Indonesia”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada),
tt.
Douwes,
Dick
dkk,
“Indonesia
dan
Haji”,
Jakarta:
INIS,
1997.
Fajar, A. Malik (Menag.RI), “Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif dalam Naskah Seminar Nasional, Pidana Islam
di
Indonesia”,
Jakarta
;
Pustaka
Firdaus,
2001.
Hasyim, A., “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, Bandung:
Al-Ma’arif,
1989
Lukito, Ratno, “Islamic Law and Adat Encounter”, Jakarta: Logos, 2001. Mertokusumo,
Sudikno,
“Penemuan
Jogjakarta:
Hukum
:
Sebuah
Pengantar”,
Liberty,
1996.
Rahardjo, Satjipto, “Hukum dan Masyarakat”, Bandung: Angkasa 1988. Rahardjo, Satjipto, “Beberapa pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional”, Bandung: BPHN dan Alumni, 1985. Rasjidi, Suminto,
Lili, Aqib,
“Filsafat “Politik
Hukum”, Islam
Bandung:
Hindia
Remaja
Belanda”,
Jakarta:
Karya, LP3S,
1985. 1985.
Supomo, “Sejarah Politik Hukum Adat”, Jakarta: Pradya Paramita, Vol. I, 1982.
MAKALAH SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA SEBELUM MERDEKA SAMAPAI TAHUN 1989 Saturday, 30 May 20152comments
Oleh : Desbayy
PENDAHULUAN Berbicara sejarah peradilan agama yang ada di Indonesia berarti mengingatkan kita pada awal mula islam masuk di Indonesia yang untuk pertama kali pada abad pertama hijriah (1 H/ 7 M) yang dibawa langsung dari Arab oleh saudagar – saudagar dari Mekkah dan Madinah yang masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan agama Islam dalam kehidupan sehari – hari yang tersumber pada kitab fiqih. Seperti kita ketahui bersama bahwa Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai – nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang – undangan, bahkan sering kali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah. Sebelum Melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik dimasyarakat maupun dalam peraturan perundang – undangan negara.Kekerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melakukan hukum Islam dalam wilayah hukumnya masing – masing.Kerajaan Islam Pasal yang
berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan – kerjaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten.Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar.Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerjaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukan kerajaan – kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara.Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia. Peradilan Agama di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum kemerdekaan, sistem peradilan agama sudah lahir. Oleh karena itu, sebelum membahas tentang peradilan agama pada masa pra – kemerdekaan, selayaknya perlu untuk menarik sejarah ini jauh kebelakang sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tepatnya pada masa kerajaan dan akan dijbarkan terus oleh penulis sampai pada undang-udang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.
ISI Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan, yaitu Peradilan Pradata dan Peradilan Padu.Materi hukum Peradilan Pradata bersumber dari ajaran Hindhu dan ditulis dlam Papakem. Sedangkan Peradilan Padu menggunakan hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan – kebiasaan masyarakat. Dalam prateknya, Peradilan Pradata menangani persoalan – persoalan yang berhubungan dengan wewenang raja, sedangkan Peradilan Padu menangani perosalan – persoalan yang tidak berhubungan dengan wewenang raja. Keberadaan dua sistem peradilan ini berakhir setelah raja Mataram menggantikan dengan sistem Peradilan Serambi yang berasaskan Islam. Penggantian ini bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah kerajan Mataram. Peradilan Agama sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraan kenegaraan pernah mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I. Amangkurat I pernah menutup Peradilan Agama dan menghidupkan kembali Peradilan Pradata. Setelah masa ini Peradilan Agama eksis kembali. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah kitab hukum Islam “Shirath al – Mustaqin” yang ditulis Nurudin Ar – Raniri. Kitab ini menjadi rujukan para hakim di Indonesia. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Peradilan Agama mendapat pengakuan secara resmi. Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad No.152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi Peradilan Agama dan hukum Islam di Indonesia di wilayah Jawa dan Madura. Karena Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori reseptie (Prof. Crhristian Snouck hurgrounye), maka pada tahun 1937 keluarlah staatsblad 1937 No. 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah – masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa Peradilan Agama pada masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus dimintakan pegukuhan dari Peradilan Negeri.
Pengurangan terhadap kompetensi Peradilan Agama tersebut tentunya sangat mengecewakan masyarakat muslim Indonesia karena Peradilan Agama pada waktu itu betul – betul mereka anggap sebagai lembaga peradilan layaknya lembaga peradilan, bukan sebagai lembaga agama semata. Belum lagi pada masa ini Peradilan Agama hanya dapat menghidupi dirinya sendiri melalui ongkos perkara yang diterimanya. Hal ini dilakukan karena pemerintah kolonial tidak pernah mensubsidi Peradilan Agama untuk pengelolah administrasinya, termasuk tidak menggaji hakim dan pegawainya. Kenyataan bahwa hakim dan pegawai Peradilan Agama menerima uang dari mereka yang menggunakan jasa peradilan inilah yang belakangan dipakai sebagai alat oleh Belanda untuk mengatakan bahwa Paradilan Agama adalah sarang korupsi. Demikian liku – liku eksistensi Peradilan Agama pada masa kerajaan serta penjajahan Belanda. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang tidak ada perubahan signifikan tentang eksistensi Peradilan Agama sampai memasuki kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1.
Periode 1945 – 1957 Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari 1946, dibentuklah Kementiran Agama. Departemen Agama dimungkinkan konsolidasi atas seluruh administrasi lembaga – lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional. Berlakunya UU No. 22 tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud – maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh Indonesia di bawah pengawasan Departemen Agama sendiri. Pada masa ini, Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi yang telah ada tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan. Selang tiga bulan berdirinya Departemen Agama yang dibentuk melalui Keputusan Pemerintah Nomor 1, Pemerintah menegluarkan penetapan No. 5 tanggal 25 Maret 1946 yang memindahkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari Departemen Kehakiman kepada Departemen Agama. Sejak saat itulah peradilan agama menjadi bagian penting dari Departemen Agama. Setelah Pengadilan Agama diserahkan pada Departemen Agama, masih ada sementara pihak tertentu yang berusaha menghapuskan keberadaan Peradilan Agama. Usaha pertama dilakukan melalui Undang – Undang Nomor 19 Tahun 1948. Usaha kedua melalui Undang – Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Susunan Kekuasaan Peradilan Sipil. Usaha – usaha yang mengarah pada penghapusan Peradilan Agama ini menggugah minat untuk lebih memperhatikan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama selanjutnya ditempatkan dibawah tanggung jawab Jawatan Urusan Agama. Penetapan Pengadilan Agama di bawah Departemen Agama merupakan langkah yang menguntungkan sekaligus sebagai langkah pengamanan, karena meskipun Indonesia merdeka, namun pengaruh teori receptie yang berupaya untuk mengeliminir Peradilan Agama masih tetap hidup. Hal ini terbukti dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 19 Tahun 1948 yang menyatakan bahwa Peradilan Agama akan dimasukkan secara istimewa dalam susunan Peradilan Umum, yaitu bahwa perkara – perkara antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup (living law) harus dipatuhi menurut hukum Islam, harus diperiksa oleh badan Peradilan Umum dalam semua tingkatan Peradilan, terdiri dari seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua hakim ahli agama Islam sebagai anggota, yang diangkat oleh presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman. Dalam rentang waktu 12 tahun sejak proklamasi kemerdekaan RI (1945 – 1957) ada tujuh hal yang dapat di ungkapkan yang terkait langsung dengan peradilan agama di Indonesia:
a.
Berkaitan dengan penyerahan kementrian agama melalui penetapan pemerintah No.5 – SD tanggal 25 maret 1946.
b.
Lahirnya UU No.22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
c.
Lahirnya UU No.19/1948 tentang susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman.
d.
Masa Indonesia RIS (Republik Indonesia Serikat) tanggal 27 desember 1946 – 17 agustus 1950.
e.
Lahirnya UU darurat No.1/1951 tantang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara-acara pengadilan – pengadilan sipil.
f.
Lahirnya UU No.32/1954 tentang Nikah, Talak, dan Rujuk diluar Jawa dan Madura.
2.
Periode 1957 – 1974 Peradilan Agama dalam rentang waktu lebih kurang 17 tahun, yakni tahun 1957 – 1974 ada 4 hal yang perlu kita ketahui dengan kelahiran PP dan UU yakni PP No.29/1957 PP No.45/1957, UU No.19/1970 dan penambahan kantor dan cabang kantor peradilan agama .(Basiq Djalil, 2006:73) Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1964 disahkan UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok – Pokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut undang – undang ini, Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun tidak lama kemudian, undang – undang ini diganti dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok – Pokok Kehakiman karena sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dalam Undang – Undang baru ini ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Ditegaskan demikian karena sejak tahun 1945 – 1966 keempat lingkungan peradilan diatas bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh, melainkan disana sini masih mendapatkan intervensi dari kekuasaan lain. Undang – undang No. 14 tahun 1970 merupakan undang – undang organik, sehingga perlu adanya undang – undang lain sebagai peraturan pelaksanaannya, yaitu undang – undang yang berkait dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, termasuk juga Peradilan Agama.
3.
Periode 1974 – 1989 Dalam masa kurang lebih 15 tahun yakni menjelang disahkannya UU No.1/1974 tentang perkawinan sampai menjelang lahirnya UU No.7/1989 tentang peradilan agama. Ada dua hal yang menonjol dalam perjalanan peradilan agama di Indonesia: 1.
Tentang proses lahirnya UU No.1/1974 tentang pelaksanaannya PP No.9/1974
perkawinan dengan peraturan
2.
Tentang lahirnya PP No.28/1977 tentang perwakafan tanah milik, sekarang telah diperbaharui UU No.41/2004 tentang wakaf.
Terlepas dari itu semua, harus diakui bahwa UU No. 1 tahun 1974 ini sangat berarti dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, karena selain menyelamatkan keberadaan Peradilan Agama sendiri, sejak disahkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan Pelaksanaanya, maka terbit pulalah ketentuan Hukum Acara di Peradilan Agama, biarpun baru sebagian kecil saja. Ketentuan Hukum Acara yang berlaku dilingkungan Peradilan Agama baru disebutkan secara tegas sejak diterbitkan UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hukum Acara yang dimaksud diletakkan Bab IV yang terdiri dari 37 pasal. Terlepas dari gencarnya pro dan kontra perihal pengesahan UU No.7 tahun 1989 diatas, bahkan tak kurang dari empat ratus artikel tentang tanggapan pro dan kontra tersebut dimuat di media massa, namun akhirnya pada tanggal 27 Desember 1989 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan oleh DPR yang kemudian yang diikuti dengan dikeluarkannya Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan disahkan UU tersebut bukan saja menyejajarkan kedudukan Pradilan Agama dengan lembaga peradilan – peradilan lain, melainkan juga mengembangkan kompetensi Peradilan Agama yang dulu pernah dimilikinya pada zaman kolonial. Pasal 49 UU itu menyatakan bahwa Pradilan Agama bertugas danberwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang: a.
Perkawinan
b.
Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c.
Wakaf dan shodaqoh
Dalam pasal 49 ayat 3 dinyatakan bahwa: Bidang kewarisan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan siapa – siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian – bagian ahli waris dan melaksanakan pembagian pada harta peninggalan tersebut. Dalam ayat 3 diatas terlihat bahwa Pengadilan Agama memiliki kekuatan hukum untuk melaksanakan keputusannya sendiri, tidak perlu meminta executoir verklaring lagi dari Pengadilan Umum. PENUTUP Secara politis, pengakuan Peradilan Agama oleh negara juga merupakan lompatan seratus tahun sejak pertama kali peradilan ini di akui oleh pemerintah pada tahun 1882. Peradilan Agama adalah simbol kekuatan dan politik Islam Penyelesaian perselisihan dan persengketaan di dalam kehidupan masyarakat itu sangat dbutuhkan. Adapun peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pada masa Kolonial Belanda tidak mau mencampuri organisasi Pengadilan Agama. Dan terdapat perubahan yang cukup penting yaitu Reorganisasi yang membentuk Pengadilan Agama
yang baru disamping landraad dengan wilayah hukum yang sama dan Pengadilan yang menetapkan perkara-perkara yang masuk dalam lingkungan kekuasaannya. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mempunyai beberapa Bab yaitu Ketentuan Umum, Susunan pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, dan Ketentuan Penutup.
Daftar Pustaka http://dangstars.blogspot.com/2013/02/sejarah-peradilan-agama-di-indonesia.html, diunduh pada tanggal 30 Maret 2014, pukul 21.23 WIB http://gubukhukum.blogspot.com/2012/02/sejarah-peradilan-agama-di-indonesia.html, diunduh pada tanggal 30 Maret 2014, pukul 21.45 WIB http://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_agama, diunduh pada tanggal 30 Maret 2014, pukul 21.54 WIB http://www.referensimakalah.com/2012/01/wewenang-pengadilan-agama_1711.html, diunduh pada tanggal 30 Maret 2014, pukul 21.59 WIB http://kbpa-uinjkt.blogspot.com/2011/10/peradilan-agama-di-indonesia-lahirnya.html, diunduh pada tanggal 30 Maret 2014, pukul 22.10 WIB
TUGAS MAKALAH SEJARAH PERADILAN ISLAM SEJARAH PERADILAN ISLAM MULAI MASA AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI MASA REFORMASI HINGGA SAAT INI TUGAS MAKALAH SEJARAH PERADILAN ISLAM SEJARAH PERADILAN ISLAM MULAI MASA AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI MASA REFORMASI HINGGA SAAT INI
Dosen pengampu materi Drs. Rokhmat M.S.I Di susun Oleh:Zainal mustofa JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
TEMANGGUNG 2014
BAB I PENDAHULUAN
Bismillahirrokhmanirro khiim…. jika kita bicara sejarah peradilan,maka akan muncul di benak kita tentang bagaimana peradilan dan sistem hukum yang berlaku dari masa ke masa yang tentu tidak terlepas dari sejarah sebuah perubahan peradapan manusia di muka bumi ini,mulai dari awal munculnya permasalahan yang di alami oleh nabiullah Adam AS karena telah melakukan kesalahan dengan menerjang apa yang menjadi larangan allah swt yang pada ahirnya allah memberikan sebuah hukuman kepada nabi adam AS dengan menurunkanya ke muka bumi ini sebagai konskwensi atas apa yang telah di lakukan oleh nabiullah adam AS,yang pada khaqiqaktnya peristiwa itu adalah sebuah pembelajaran yang di berikan allah kepada seluruh mahluqnya termasuk manusia agar tau bahwa setiap perbuatan yang di lakukan pasti akan ada balasanya sebagai konsekwensinya,artinya memberikan pembelajaran agar kita menjadi mahluq yang bertanggung jawab. Artinya…. ‘’ dapat kita fahami bahwa sebuah hukum/kebijakan/aturan yang intinya untuk menumbuhkan keadilan dan rasa tanggung jawab sudah allah berikan pendidikan kepada seluruh mahluq di bumi ini mulai dari awalnya allah menciptakan nabi Adam AS hingga menjadi mata rantai dan rujukan adanya sebuah sistem peradilan yang di bangun dan di kembangkan sesuai perkembangan zaman hingga sampai saat ini. Kemudian apabila kita melihat dan membaca ke dalam ruang lingkup yang sempit yaitu ruang lingkup bangsa dan negara kita sendiri yaitu negara indonesia, maka kita akan tau bahwa bangsa kita adalah bangsa yang di dapatkan melalui sebuah perjuangan dan perebutan dari kekuasaan penjajah,mulai dari belanda dan jepang,dapat kita ketahui bahwa bangsa kita bangsa yang terlahir masih sangat muda dan baru 69 tahun bangsa ini berdiri dan menyatakan diri atas kemerdekaanya yaitu berawal pada 17 agustus thun 1945 yang di pelopori oleh soekarno hata atas nama bangsa indonesia yang sekaligus sebagai presiden dan wakil presiden indonesia yang pertama kali. Dari situlah mulai terlahir juga sebuah hukum di indonesia dan tatanan yang di sebut dengan undang-undang dasar 1945 yang menjadi raga dari PANCASILA yang di sini menjadi ruhnya,yang artinya di dalam undang-undang dasar 1945 yang sekarang sudah di amandeman, terdiri dari 16 bab- 37 pasal-49 ayat dan 4 pasal peralihan dan 2 ayat aturan tambahan yang semua itu harus selaras dan sesuai dengan pancasila sebagai pondasi dan cita-cita bangsa indonesia.
A. Latar Belakang Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke nusantara. Sejak agama Islam dianut oleh penduduk, hukum Islampun mulai diberlakukan dalam tata kehidupan
bermasyarakat.Perkembangan hukum Islam juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan kolonial Belanda, yang berusaha menghambat berlakunya hukum Islam dengan berbagai cara.Kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia mengalami pasang surut. Hukum Islam bukan satu-satunya sistem hukum yang berlaku, tetapi terdapat sistem hukum lain, yaitu hukum adat dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum ini saling pengaruh mempengaruhi dalam upaya pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, kedudukan hukum Islam mulai diperhitungkan dan diakui keberadaannya sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku. Pada masa berikutnya hukum Islam mulai mewarnai hukum nasional. Banyak peraturan perundang-undangan yang disusun berdasarkan ketentuan hukum Islam, baik yang berlaku nasional maupun khusus bagi umat Islam. Gejala mutakhir perkembangan hukum Islam adalah munculnya gerakan otonomisasi hukum Islam di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyaknya aturan perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait dengan penerapan hukum Islam. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Peradilan Islam Masa Awal Kemerdekaan ? 2. Bagaimana Peradilan Islam Masa Orde Baru ? 3. Bagaiman Peradilan Islam reformasi sampai sekarang ? C. Tujuan 1. Agar mengetahui peradilan islam masa awal kemerdekaan 2. Agar mengerti peradilan islam pada masa orde baru 3. Agar mengerti peradilan islam masa reformasi sampai sekarang.
BAB II PEMBAHASAN 1. Masa Awal Kemerdekaan Kedudukan hukum Islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang berarti.Lamanya Belanda menjajah mengakibatkan perubahan struktur politik dan sosial bangsa Indonesia. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi bukan hal yang mudah untuk memberlakukan hukum Islam di Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, atas usul Menteri Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan ketetapan pemerintah Nomor 5 tanggal 25 Maret 1946. Pada masa awal kemerdekaan, terjadi perubahan dalam pemerintahan, tetapi tidak tampak perubahan yang sangat menonjol dalam tata
peradilan, khususnya peradilan Agama di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena bangsa Indonesia dihadapkan kepada revolusi fisik dalam menghadapi Belanda yang kembali akan menjajah. Namun pada aspek jasa terdapat sebuah perubahan, yaitu sebelum merdeka pegawai Pengadilan Agama dan hakim tidak mendapat gaji tetap dari pemerintah, maka setelah merdeka anggaran belanja Pengadilan Agama disediakan pemerintah. Segera setelah melalui melalui perdebatan yang sengit dan panjang, akhirnya pada pasca kemerdekaan ditetapkan dasar Negara Indonesia berdasarkan pancasila tidak berlandaskan atas asas Negara Islam. Hal itu menyebabkan terjadi perubahan dalam pemerintahan (umum), tetapi tidak membawa perubahan yang menonjol dalam tata peradilan Islam. Hal itu disebabkan karena bangsa Indonesia dihadapkan kepada revolusi fisik dalam menghadapi Belanda yang kembali akan menjajah. Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor 1 dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembagalembaga Islam dalam sebuah wadah/badan yang besnat nasional. Dalam kubu Islam sendiri setidaknya ada dua persoalan yang muncul sehubungan didirikannya Departemen Agama tersebut. Pertama, terjadi persinggungan antara departemen itu sendiri dengan para pendukungnya, dan kedua, tentang hubungan departemen itu dengan masyarakat Islam seluruhnya. Departemen agama yang selama ini adalah hal yang unik dalam islam, usulan adanya departemen ini pernah di tolak dalam panitia persiapan, hanya enam dari dua puluh tujuh anggota yang menyetujuinya. Departemen agama ini telah menimbulkan pertentanganpertentangan di dalam islam sendiri, ada dua persoalan pokok yang muncul : Pertama, antara departemen itu sendiri dengan para pendukungnya, sedang yang lain adalah tentang hubungan departemen itu dengan masyarakat islam seluruhnya. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud-maksud untuk mempersatukan administrasi nikah, talak dan rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama. Eksistensi dari UU ini memberikan bias yang cukup besar terhadap perubahan hukum di negara baru, khususnya bagi umat Islam. Usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dari peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang pembentukan peradilan agama/mahkamah syar’iyyah di Aceh tanggal 6 Agustus 1957. Kemudian dilanjutkan dengan PP No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan pengadilan agama di luar Jawa dan Madura (kecuali Kalimantan Selatan) tanggal 5 Oktober 1957. Di sini
ada tiga bentuk peradilan agama yang memiliki dasar hukum yang berbeda berdasarkan daerahnya: Jawa dan Madura dengan sebutan peradilan agama untuk pengadilan tingkat pertama dan mahkamah islam tinggi untuk pengadilan tingkat banding (Stb. 1882 No. 152 jo Stb. 1937 No. 116 dan 610). Sebagian residensi Kalimantan Selatan dan Timur dengan sebutan Kerapatan Qadli untuk pengadilan tingkat pertama dan Kerapatan Qadli besar untuk pengadilan tingkat banding (Stb. 1937 No. 638 dan 639). Untuk daerah selain yang tersebut di atas, sebutannya adalah mahkamah syar’iyyah untuk pengadilan pertama dan mahkamah syar’iyyah propinsi untuk pengadilan tingkat banding (PP No. 45/1957). Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-Undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut: Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”; Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara; Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan. Susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undangundang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sama dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia. Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasal 12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam). Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya. Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagaimana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tugas raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti Kajeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905.
Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta’in Penghulu Tuban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 70-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati perguruan tinggi agama. 2. Masa Orde Baru Memasuki masa orde baru, pembangunan nasional dalam berbagai bidang terus diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara,yang merupakan haluan pembanguan nasional menghendaki terciptanya hukum baru Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan cita-cita hukum Pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Hukum baru Indonesia harus memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan hukum agama (termasuk hukum Islam) sebagi umsur utamanya. Inilah dasar yuridis bagi upaya formatisasi hukum Islam dalam hukum nasional. Formatisasi hukum Islam dilakukan dengan upaya mentransformasikan hukum Islam ke dalam aturan perudangan. Dalam peraturan perundang-undangan kedudukan hukum Islam semakin jelas. Dari sinilah kemudian muncul legislasi hukum Islam yang bersifat nasional, yaitu UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan Peraturan pemerintah No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Undang-undang ini berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975. Sebagai produk politik, undang-undang perkawinan ini merupakan kompromi berbagai kekuatan politik dengan aspirasi hukumnya masing-masing. Pasal 2 ayat (2) UU no.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Dengan ketentuan ini berarti terjadi perubahan hukum dari yang rasial etnis (pada masa kolonial) kepada hukum yang berdasar keyakinan agama. Institusi peradilan Islam juga menempati posisi yang kuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Jenis peradilan tersebut meliputi peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Penjelasan pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 menetapkan bahwa peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara merupakan peradilan khusus. Kompetensinya menangani perkara-perkara tertentu tau mengenai golongan-golongan tertentu. Dengan demikian peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan resmi yang dibentuk oleh pemerintah dan berlaku khusus untuk umat Islam. Keberadaan Peradilan Agama semakin jelas dengan ditetapkannya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama. Kompetensi Peradilan Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas dan bidang hukum perkara tertentu.Dalam Bab III pasal 49-53
kewenangan Peradilan Agama meliputi bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, serta wakaf dan sadakah. Dari bidang-bidang tersebut dapat dikatakan bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah bidang hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah). Berdasarkan kompetensinya, maka diperlukan hukum materiil sebagai pedoman bagi para hakim Peradilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Dalam menangani perkara, hakim Peradilan Agama menggunakan kitab fikih klasik sebagai dasar putusannya. Kitab fikih yang digunakan antara satu peradilan agama dengan peradilan agama yang lain tidak sama. Hal ini mengakibatkan adanya putusan yang berbeda dalam masalah yang sama. Kondisi ini memunculkan pemikiran untuk menyusun kodifikasi hukum Islam sebagai panduan dalam menangani perkara. Berdasarkan pertimbangan di atas, dikeluarkanlah putusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25 tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Pengembangan Hukum Islam. Proyek ini dikenal dengan Kompilasi hukum Islam di Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur kitab fikih, wawancara, jurisprudensi dan studi komparatif ke negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kitab-kitab fikih yang digunakan sebagai dasar putusan hakim dan menyesuaikannya dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional. Setelah draft disetujui, maka dikeluarkanlah Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 sebagai dasar penyebarluasannya. Inpres ini kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Format KHI teragi ke dalam tiga buku. Buku satu berisi tentang hukum perkawinan, buku dua tentang hukum kewarisan, dan buku tiga tentang hukum perwakafan. Keinginan umat Islam untuk memberlakukan hukum Islam semakin menguat dan melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat dan Makanan (LPPOM) Majlis Ulama Indonesia. Di samping itu juga muncul aksi-aksi sosial untuk menegakkan hukum Islam, seperti pelarangan SDSB, kebebasan berjilbab di sekolah dan kantor dan lain-lain. Disamping itu muncul perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum Islam, seperti UU No.17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi hukum agama Islam dalam hukum nasional dapat berupa hukum umum yang berlaku nasional atau menjadi hukum khusus yang berlaku bagi umat Islam saja. Hukum Islam yang berlaku nasional tercermin dalam UU No. 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan, dan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, di mana di dalamnya diakui keberadaan Bank Islam). Formatisasi yang berupa hukum khusus terlihat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No.17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. 3. Masa Reformasi Sampai Sekarang Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun 1998), keinginan mempositifkan hukum
Islam semakin kuat. Pada awalnya muncul pemikiran untuk menghidupkan lagi Piagam Jakarta. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa umat Islam adalah mayoritas di Indonesia, sehingga wajar jika hukum agamanya diberlakukan. Kondisi ini terjadi terutama di daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Nangroe Aceh Darussalam dan Makassar. Perkembangan hukum Islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum Islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No. 31 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum. Akibatnya bagi perkembangan hukum Islam adalah banyak daerah menerapkan hukum Islam. Secara garis besar, pemberlakuan hukum Islam di berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian. Penegakan hukum Islam sepenuhya dapat dilihat di provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Provinsi ini memiliki otonomi khusus dalam menyusun dan memberlakukan hukum Islam di wilayahnya .Penegakan model ini bersifat menyeluruh, karena bukan hanya menetapkan materi hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan adalah Sulawesi Selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam (KPPSI), dan Kabupaten Garut yang membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI). Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal, (1) penerapan syari’at Islam di seluruh aspek kehidupan beragama, (2) penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa mengabaikan kurikulum umum, (3) pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintahan desa, dan (4) pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Tindak lanjut dari undang-undang di atas adalah ditetapkannya Undang-undang Nomor 18/tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah Aceh kemudian menindaklanjuti dengan membuat peraturan daerah guna merinci pelaksanaan dari undangundang ini. Maka lahirlah empat perda, yaitu (1) Perda nomor 3 tahun 2000 tentang organisasi dan tata kerja Majelis Permusyawaratan Ulama, (2) Perda nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, (3) Perda nomor 6 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dan (4) Perda nomor 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat. Fenomena pelaksanaan hukum Islam juga merambah daerah-daerah lain di Indonesia, meskipun polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah maka muncullah perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I maupun tingkat II. Daerah-daerah tersebut antara lain: Provinsi Sumatera Barat, Kota Solok, Padang Pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tangerang, Cianjur, Gresik, Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih
banyak lagi.Pada umumnya perda-perda syari’ah yang ditetapkan oleh pemda mengatur tiga aspek, yaitu: (1) menghapus kejahatan sosial seperti prostitusi dan perjudian, (2) menegakkan ibadah ritual di kalangan muslim, seperti membaca Al-Qur’an, salat jum’at, dan puasa Ramadan, dan (3) mengatur tata cara berpakaian muslim/muslimah, khususnya penggunaan jilbab dalam wilayah publik. Materi perda syari’at Islam tidak bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut masalahmasalah luar saja. Jika dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-perda syari’at tersebut, maka isinya mencakup masalah: kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah, penggunaan busana muslimah, pelarangan peredaran dan penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran, dan sebagainya. Fenomena munculnya perda-perda syari’at di satu sisi menunjukkan arah baru perkembangan hukum Islam di Indonesia. Namun di sisi lain banyak ekses yang ditimbulkan terkait dengan munculnya perda-perda ini. Menurut Muhyar Fanani, keberadaan perda-perda syari’at ini tidak akan berlangsung lama. Hal ini dikarenakan oleh tiga hal, Pertama, perda-perda tersebut tidak menyentuh langsung kebutuhan mendesak masyarakat seperti pemberantasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan sebagainya. Kedua, perda-perda tersebut belum tampak efektif terutama menyangkut perilaku para pengelola pemerintahan. Ketiga, perda-perda tersebut tidak didukung oleh nalar publik. Aturan dalam perda lebih mengedepankan kulit dan tidak menyentuh substansi syari’at. Karena terjebak pada kulit sehingga menimbulkan polemik, termasuk di kalangan umat Islam sendiri.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dengan berbagai ragam pengadilan itu menunjukkan posisinya yang sama sebagai salah satu pelaksana kerajaan atau sultan. Disampin itu pada dasranya batasan wewenang agama meliputi bidang hukum keluarga, yaitu perkawinan kewarisan. dengan wewenang demikian, proses petumbuhan dan perkembangan pengadilan pada berbagai kesultanan memiliki keunikan masing-masing. Selanjutnya Peradilan Agama pada zaman Belanda yang mana para kolonialisme Belanda yang membawa misi tertrentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi. Awalnya mereka tau bahwa di tengah-tengah masyarakat indonesia itu berlaku hukum adat yang sudah terpengaruh oleh agama islam dan lebih condong pada unsur keagamaannya dari pada hukum adat itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA . Noeh, Zaini Ahmad, Peradilan Agama Islam di Indonesia,1980,Jakarta:PT. Intermasa,cet.Pertama
Santoso,Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda ,(Jakarta: Gema Insani Press, 2003) Yusril Ihza Mahendra, “Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama”, dalam Zulfran Sabrie (ed), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila (Jakarta: Pustaka Antara, 1992). Fanani, Membumikan Hukum Langit, Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009).
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI A.
Pendahuluan
Peradilan agama merupakan pranata sosioal hukum Islam. Keberadaannya telah ada jauh sebelum Negara Republik Indonesia merdeka. Meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan penamaan yang berbeda-beda, namun eksistensinya tetap dibutuhkan oleh masyarakat muslim Indonesia. Hal ini karena peradilan agama tidak hanya menjadi
jalan
masyarakat
terakhir
muslim,
dalam
namun
penyelesaian sekaligus
juga
suatu
sengketa
sebagai
yang
penjaga
terjadi
eksistensi
pada dan
keberlangsungan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia.
Meskipun
secara
normatif
keberadaannya merupakan
sebuah
keharusan
dalam
komunitas masyarakat muslim Indonesia, akan tetapi mengingat Indonesia bukan merupakan negara Islam, maka keberadaannya tidak dapat dilepaskan dengan paradigma sistem dan dinamika hukum yang terjadi serta berkembang di negara hukum Indonesia.
Meski faktor budaya masyarakat muslim lebih kuat pengaruhnya terhadap keberadaan peradilan agama, namun tetap saja faktor politik hukum tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang peradilan agama. Dinamika politik ini juga terjadi pada pertengahan tahun 1990-an, tepatnya ketika tahun 1998 terjadi reformasi, yakni beralihnya Orde Baru ke Era Reformasi. Sebagai bagian dari sistem hukum dan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, maka peradilan agama sudah barang tentu mendapat pengaruh dari dinamika politik tersebut.
Peradilan agama telah mengalami pasang surut sejak pembentukannya, yakni baik dari segi panamaan, status dan kedudukan, maupun kewenangannya. Begiru juga pada Era Reformasi. Untuk mengkaji peradilan agama pada Era Reformasi, maka dalam makalah ini akan diuraikan mengenai gambaran sosio-historis peradilan agama pada masa itu, status dan kedudukan, Serta kewenangannya, sarta isi dari perubahan yang terjadi.
B.
Peradilan Agama Era Reformasi
Era reformasi merupakan bentuk kesadaran dari semua elemen masyarakat yang sadar dan tergugah untuk kembali kepada hakikat sebenarnya dari bangsa/negara Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, yakni dihormatinya supremasi hukum dalam kehidupan masyarakat.
Reformasi di Indonesia muncul akibat terjadinya krisis multidimensi yang menimpa sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara. Tidak segera diselesaikannya krisis tersebut, muncullah gerakan reformasi tahun 1998. Meskipun awalnya reformasi terfokus pada tatanan politik, akan tetapi tidak bisa dipisahkan dengan aspek hukum.
Dalam ruang lingkup hukum, sasaran yang tepat dalam menerjemahkan makna reformasi adalah membentuk dan
melakukan pembaruan hukum (legal reform), di
mana hukum dapat memberikan perlindungan yang semestinya terhadap seluruh masyarakat.
Hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa. Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis dimana transparasi, supremasi hukum dan promosi, juga perlindungan HAM dikesampingkan.
Sebagaiman diketahui bahwa salah satu agenda reformasi adalah supremasi hukum, sebab lemahnya penegakan hukum dan ketidak mandirian lembaga peradilan yang terjadi pada era sebelumnya. Hal ini menghasilkan TAP MPR NOMOR X/MPR/1998 yang
menharuskan Pemerintah untuk segera meninjau ulang ketentuan yang telah membagu dua penanganan lembaga peradian antara institusi eksekutif di satu bidang dan institusi yudikatif pada bidang yang lain.
Yang menjadi sasaran utama TAP MPR tersebut adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentnag Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakima. Untuk itu, pada tahun 1999 Pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 sebagai amandemen tehadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Sebagai konsekuensi dari diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut, diletakkannya kebijakan bahwa, segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini dalam istilah populernya biasa disebut “kebijakan satu atap (one roof sysem)”.
Namun, seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di Negara Indonesia, Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut kemudian diubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Bahkan untuk mempercepat proses peralihan lembaga-lembaga peradilan tersebut, dipertegas lagi dalam ketentuan peralihan pasal 42 Undang-undang ini bahwa pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004, Peradilan Agama tanggal 30 Juni 2004 dan Peradilan Militer tanggal 30 Juni 2004.
Sedangkan untuk badan peradilan agama yang sejak lama berada di bawah Departemen
Agama,
bahkan
dalam
hal-hal
tertentu
tidak
dapat
dipisahkan
hubungannya dengan Departemen Agama secara khusus dan dengan umum termasuk majelis ulama. Maka, khusus untuk badan peradilan agama mengingat sejarah peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.
Meskipun demikian, tatap saja sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial tersebut, semua pegawai Direktorat Badan Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Hal ini juga berlaku bagi pegawai yang menduduki jabatan structural Direktorat Badan Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pejabat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung.
Bila dilihat secara komprehensif, perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut di atas, sejalan dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia, yang bertujuan antara lain menempatkan hukum pada posisi yang paling tinggi dan yang sering disebut sebagai supremasi hukum.
Tonggak baru bagi badan peradilan agama pasca perubahan UUD 1945, selain sudah berada satu atap di bawah Mahkamah Agung sesuai perintah Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 jo. Undang-undnag Nomor 4 Tahun 2004, juga diberikan kewenangan baru bagi peradilan agama setelah dilakukaknnya amandemen terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yakni dengan keluarnya Undangundang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.
Bagi peradililan agama, amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak semata-mata berorientasi pada penambahan kewenangan pada bidang Ekonomi Syari’ah, akan tetapi, secara makro lebih disebabkan karena implikasi dari berubahnya sruktur hukum yang terkait dengan kekuasaan yudikatif, termasuk paradilan agama sebagai akibat dari adanya reformasi hukum di Indonesia.
Karena itu, berubahnya UUD 1945 memberikan implikasi pada perubahan Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Begitu pula halnya dengan undang-undang yang mengatur tentang peradilan agama, dengan adanya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, maka secara otomatis meniscayakan adanya perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Atas dasar inilah, kemudian lahir Undang-undang Nomor 6 Tahun 2006.
C.
Isi Perubahan UU Peradilan Agama
Perubahan yang dibawa oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 terhadap Undangundang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdiri dari 42 butir pada batang tubuh, meliputi 39 perubahan pasal dan penambahan 3 pasal baru. Sedang pada penjelasan terdapat 3 perubahan, yaitu 1 penghapusan dan 2 penambahan.
Dari perubahan 39 pasal tersebut, terdapat 6 perubahan yang kiranya perlu untuk digarisbawahi, yaitu:
1.
Perubahan Pasal 2 tentang pengahpuan kata “perdata”
2.
Perubahan Pasal 13 tentang persyaratan calon hakim dan persyaratan hakim
3.
Perubahan Pasal 18 tentang usia pension hakim
4.
Perubahan Pasal 44 tentang panitera tidak merangkap sekretaris
5.
Perubahan Pasal 49 tentang kewenangan peradilan agama
6.
Perubahan Pasal 50 tentang penyelesaian sengketa milik.
7.
Perubahan pada pasal-pasal lainnya pada umumnya perubahan dalam rangka menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi: “Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.”
Selain perubahan karena hal tersebut di atas juga perubahan karena pengurangan persyaratan masa kerja seperti untuk diangkat sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan tinggi agama, atau peningkatan persyaratan untuk diangkat sebagai panitera pengadilan agama, ayau perubahan teks redaksi sumpah hakim.
D.
Status dan Kedudukan Peradilan Agama
Secara yuridis konstitusional, di Indonesia dikenal adanya 4 lingkungan peradilan, yaitu lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, dan lingkungan Peradila Tata Usaha Negara. Oleh karena itu, berbicara mengenai peradlan agama berarti berbicara soal hukum, bukan berbicara soal agama, karena peradilan agama merupakan institusi yudisial, bukan institusi keagamaan. Hal ini dikonstruksi dari pemahaman yuridis, di mana peradila agama dalam UUD 1945 didudukkan pada BAB IX, di bawah judul Kekuasaan Kehakiman, bukan pada BAB XI di bawah judul Agama. Selain itu, dalam konsoderans Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) pada bagian mengingat, Pasal UUD 1945 yang dicantumkan antara lain Pasal 24 dan 25, yang nota bene mengatur mengenai kekuasaan kehaliman, bukan Pasal 29 yang mengatur mengenai agama. Status dan kedudukan peradilan agama pada mas areformasi sudah semakin kuat. Begitu pula halnya dengan kewenangan yang dimilikinya sudah semakin luas. Dari sisi status dan kedudukan, ia tidak lagi dibedakan dengan badan peradilan lain yang ada di Indonesia. Dalam hal-hal tertentu, misalnya menyangkut sengketa keperdataan antar orang Islam, sudah tidak lagi bersinggungan dengan peradilan umum, melainkan sudah bisa memutuskan secara langsung. Selain itu, dari segi kewengan yang dimiliki semakin luas, tidak lagi sebatas NTCR, tatapi sudah menyangkut persoalan sengketa bidang ekonomi syari’ah, zakat dan infak, serta memutuskan isbat rukyat hilal. Bahkan peradilan agama era reformasi juga dimungkinkan menyelesaikan persoalan menyangkut bidang pidana. Namun demikian, peradilan agama sebagai salah satu institusi peradilan yang juga berfungsi sebagai instrument untuk mewujudkan supremasi hukum pada masa reformasi ini, sesungguhnya masih menyisakan berbagai macam persoalan, baik menyangku tentang optimalisasi peran institusi/kelembagaan maupun menyangkut sumber daya manusia/hakim. Sehubungan dengan adanya kompetensi baru di bidang ekonomi syari’ah, termasuk masalah belum tersusunnya hukum materiil dalam bentuk undang-undang yang menyangkut tentang keseluruhan kewenangan peradilan agama, baik untuk ekonomi syari’ah maupun untuk bdang kewenangan lainnya. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan sumber hukum materiil peradilan agama, perlu dicari strategi yang teapat agar setiap keputuan hakim / peradilan agama memiliki dasar hukum dan/atau pertimbangan yang jelas.
Perubahan signifikan yang terjadi atas eksistensi peradilan agama dalam status dan kedudukannya sebagai bagian utuh pelaksana kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan nasional ini telah memiliki legitimasi konstitusional dan legal formal. Dengan artian bahwa eksistensi peradilan agama baik dari segi status dan kedudukan telah menjadi setara dengan badan peradilan lainnya.
E.
Kewenangan Peradilan Agama
Peradilan agama merupakan salah satu dari peradilan negara Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia. Berkaitan dengan Hukum Acara Perdata, kekuasaan dan kewenangan peradilan agama menyangkut dua hal, yaitu: kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut. Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalm perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan. Mengenai kekuasaan absolut, yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya. Kata wewenang atau kekuasaan pada umumnya dimaksudkan adalah kekuasaan absolute. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan kekuasaan absolute sering disingkat dengan kata kekuasaan saja. Disebutkan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan memutuskan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang berdasarkan hukum Islam, serta wakaf, dan sedekah. Pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, terdapat tambahan perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama, yakni ekonomi syari’ah. Sekalipun perkara yang diajukan termasuk kompetisi absolut lingkungan peradialn agama, belum tentu pengadilan agama yang menrima gugatan kompeten atau berwenang untuk memeriksa dan mengadili. Faktor yang menjadi pembatasan kewenangan relatif masing-masing peradilan pada setiap lingkungan peradilan adalah faktor wilayah hukum. Setiap pengadilan agama hanya berwnang mengadili perkara yang termasuk ke dalam kewenangan wilayah hukumnya. Seperti yang yang tercantum dalam Pasal 4 Undangundang Nomor 3 Tahun 2006, bahwa daerah hukum pengadilan agama meliputi wilayah
kabupaten/ kota. F.
Kesimpulan
Merujuk dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Lahirnya Udang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agma adalah dalam rangka memantapkan dan menegaskan kedudukan peradilan agama sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dan perkemabangan hukum nasional. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut, kewenangan Pengadilan Agama diperluas menjadi mempunya kewenangan absolute menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqah, dan ekonomi syari’ah. Perubahan yang dibawa oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 terhadap Undangundang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdiri dari 42 butir pada batang tubuh, meliputi 39 perubahan pasal dan penambahan 3 pasal baru. Sedang pada penjelasan terdapat 3 perubahan, yaitu 1 penghapusan dan 2 penambahan. DAFTAR PUSTAKA Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2008) Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, (Bandung: Bandar MAju, 2001) Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), cet 2 Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet. 4 Hasan, Hasbi, Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No. 73, 2011 Manaf, Abdul, Refleksi Beberapa Materi Cara Berbicara di Lingkungan Peradilan Agama, (Bandung: CV Mandar Maju, 2008) Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. 3 Rosyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, (Depok: Rajagrafindo Persada,
2013), cet. 15 Zarkasyi, Muchtar, Kumpulan Makalah Ekonomi Syari’ah, (MA RI; DJBPA, 2007)
MAKALAH HUKUM ISLAM Sejarah Perkembangan dan Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
ZHERLY AMALIA NINGZIH H1 A1 12 022 KELAS A REGULER PAGI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI TAHUN 2013
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala hikmat dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nyalah akhirnya makalah “Sejarah Perkembangan dan Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam di Universitas Haluoleo Kendari. Selain itu penulis mengharapkan agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mengalami kesulitan. Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun masih banyak kekurangannya. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna dimasa yang akan datang. Harapan penulis, mudah-mudahan makalah yang sederhana benar-benar membuktikan bahwa mahasiswa dapat lebih berperan serta dalam pembangunan masyarakat pada kenyataan sehari-hari dan bermanfaat bagi pembaca umumnya serta rekan mahasiswa khususnya. Amin. Kendari, Maret 2013
PENULIS
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku nasional di negara Republik Indonesia. sistem hukum Indonesia tersebut bersifat majemuk, karena sistem hukum yang berlaku nasional terdiri dari lebih satu sistem. Sistem – sistem tersebut adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Sebagai negara yang penduduknya terdiri dari berbagai macam ras dan suku bangsa, Indonesia menghormati kebebasan penduduknya memeluk agama masing – masing, sehingga tidaklah mungkin menerapkan hukum Islam secara penuh kepada setiap warga negara, meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Akan tetapi, agama Islam bersifat universal. Hukum Islam adalah bagian dari agama Islam, sehingga juga bersifat universal. pada hakikatnya hukum Islam merupakan keyakinan yang melekat pada setiap orang yang beragama Islam, tidak peduli kapan dan dimanapun. Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaats) sebagaimana tertuang dalam bunyi UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka menjadi suatu kewajiban bahwa setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahannya selalu berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Maka negara hukum yang dimaksud di sini bukan hanya merupakan pengertian umum yang dapat dikaitkan dengan berbagai konotasi. Maupun hanya rechstaat dan rule of law sebagaimana dipraktikkan di barat. Tapi juga nomokrasi Islam dan negara hukum Pancasila yang dipraktikkan di Indonesia. Namun, Indonesia juga bukan negara yang menganut paham teokrasi berdasarkan penyelenggaraan negaranya pada agama tertentu saja. Di mana, menurut paham teokrasi, negara dan agama dipahami sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Yakni dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Sehingga tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan dengan titah Tuhan dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, paham ini melahirkan konsep negara agama atau agama resmi, dan dijadikannya agama resmi tersebut sebagai hukum positif. Konsep
negara teokrasi ini sama dengan paradigma integralistik. Yaitu paham yang beranggapan bahwa agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pada tataran lain, negara Indonesia juga tidak menganut negara sekuler yang mendisparitas agama atas negara dan memisahkan secara diametral antara agama dengan negara. Paham ini melahirkan konsep agama dan negara yang merupakan dua entitas berbeda, dan satu sama lain memiliki wilayah garapan masing-masing. Sehingga, keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi.
Namun, relasi antara agama dan negara di Indonesia dikemas secara sinergis, bukan dikotomis yang memisahkan antara keduanya. Agama dan negara merupakan entitas yang berbeda. Namun, keduanya dipahami saling membutuhkan secara timbal balik. Yakni agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Sebaliknya negara juga membutuhkan agama. Sebab, agama pun membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualiatas. Pemahaman seperti ini disebut dengan paradigma simbiotik. Maka dalam konteks keIndonesia-an paradigma simbiotik ini, kedudukan hukum Islam menempati posisi strategis sebagai sumber legitimasi untuk menegakkannya dalam porsi yang proporsional. Bukan dengan formalisasi-legalistik melalui institusi negara sebagaimana disampaikan oleh Habib Riziq Shihab, ketua Front Pembela Islam. Namun sebagaimana dikemukakan oleh Bismar Siregar, yang menyatakan bahwa kewajiban menjalankan syariat tidak perlu diperintahkan secara formal berdasarkan undang-undang. Karena sekali orang menyatakan dirinya umat Muhammad, dengan ikrar dua kalimat syahadat, maka berlakulah menjalankan syariat atas dirinya. Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang bukan berdasar pada agama tertentu. Tetapi memberi tempat kepada agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber hukum atau memberi bahan hukum terhadap produk hukum nasional. Hukum agama sebagai sumber hukum di sini diartikan sebagai sumber hukum materiil (sumber bahan hukum) dan bukan harus menjadi sumber hukum formal (dalam bentuk tertentu) menurut peraturan perundang-undangan. Dalam konteks inilah, Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia memiliki prospek dalam pembangunan hukum nasional. Karena secara kultural, yuridis, filosofis maupun sosiologis, memiliki argumentasi yang sangat kuat.
Penerapan atau positivisme hukum Islam dalam sistem hukum nasional setidaknya melalui dua langkah. Yaitu proses demokrasi dan prolegnas (akademisi), bukan indoktrinasi. Dalam proses demokrasi ada musyawarah mufakat yang kemudian dituangkan dalam prolegnas (progam legislasi nasional). Yang selanjutnya untuk menjadi hukum positif diperlukan kajian lebih mendalam melalui naskah akademik karena menyangkut tinjauan dari berbagai macam aspek. Baik sosiologis, politis, ekonomis, maupun filosofis. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No. 10/2004 sebagaimana sudah diubah menjadi UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Seiring berjalannya waktu, ada beberapa norma-norma hukum Islam yang sudah menjadi hukum positif. Adalah, apabila berkaitan dengan akuntabilitas publik atau tanggung jawab public. Nah, berdasarkan uraian diatas, perlu kiranya membahas mengenai bagaimana Kedudukan Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas, muncul beberapa pertanyaan, antara lain adalah : 1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia? 2. Bagaimana kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional? 3. Apakah peran hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional? 4. Apa sajakah kontribusi hukum Islam terhadap perkembangan hukum nasional? C. TUJUAN Pembuatan makalah ini diharapkan dapat memberikan tujuan yang bermanfaat. 1. Tujuan Umum Tujuan umum dibuatnya makalah ini adalah agar para pembaca pada umumnya dan penulis khususnya dapat mengetahui bagaimana sejarah perkembangan dan kedudukan hukum Islam di Indonesia, apakah peran hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional serta apa sajakah kontribusi hukum Islam terhadap perkembangan hukum nasional. 2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tuntutan perkuliahan mata kuliah Hukum Islam yang sedang penulis jalani dalam semester 2 ini. D. MANFAAT Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini adalah :
a. Bagi Penulis Dapat mengetahui bagaimana sejarah perkembangan dan kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum positif Indonesia serta berharap agar makalah ini dapat memenuhi tuntutan perkuliahan yang sedang dijalani. b. Bagi Pembaca Dapat
memberikan
informasi
dan
penjelasan
mengenai
bagaimana sejarah
perkembangan dan kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum positif Indonesia. c. Bagi Masyarakat Dapat
memberikan
perkembangan
dan
informasi kedudukan
dan
penjelasan
hukum
Islam
mengenai dalam
bagaimana sejarah
sistem
hukum
positif
Indonesia serta dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN A. Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi perbedaan pendapat para ahli mengenai kapan pertama kali Islam measuk ke Nusantara. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan masehi. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi. Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir utara pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Pereulak Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudra Pasai, Aceh Utara. Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah, seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik Al-Zahir dalam berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan Ilmu Fiqh. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fukaha (ahli hukum yang mahir tentang hukum Islam). Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam Mazhab Syafi’i. Menurutt Hamka, dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i ke kerajaan – kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat. Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah besar. Kenyataan ini dilihat bahwa bila seorang saudagar Muslim hendak menikah dengan seorang
wanita
pribumi,
misalnya,
wanita
itu
diislamkan
lebih
dahulu
dan
perkawinannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan Hukum Islam. Setelah agama Islam berakar pada masyarakat, peranan saudagar dalam penyebaran Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal Hukum Islam. Salah satu contoh ulama yang terkenal adalah Nuruddin ArRaniri, yang menulis buku hukum Islam dengan judul Siratal Mustaqim pada tahun
1628. menurut Hamka, kitab Hukum Islam yang ditulis oleh Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi mufti di Banjarmasin, kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Kitab yang sudah diuraikan ini kemudian diberi nama Sabilal Muhtadin. Di daerah kesultanan Palembang dan Banten, terbit pula beberapa kitab Hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka ditulis oleh Syaikh Abdu Samad dan Syaikh Nawawi Al-Bantani. Dari uraian singkat di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara ini. Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia. Pada akhir abad keenam belas, VOC merapatkan kapalnya di Pelabuhan Banten, Jawa Barat. semula maksudnya adalah berdagang, tapi kemudian haluannya berubah menjadi menguasai kepulauan Indonesia. VOC memiliki dua fungsi, pertama sebagai pedagang, kedua sebagai badan pemerintahan. Dalam kata lain, Sebagai badan pemerintahan VOC menggunakan hukum Belanda yang dibawanya. Akan tetapi hukum Belanda tidak pernah bisa diterapkan seluruhnya, sehingga VOC kemudian membiarkan lembaga – lembaga asli yang ada di dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Pemerintah VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari – hari. Dalam statuta Jakarta (Batavia) tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari – hari. Berdasarkan pola pemikiran tersebut, pemerintah VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki dan disempurnakan
oleh para penghulu dan ulama Islam, ringkasan kitab hukum tersebut diterima oleh pemerintah VOC (1760) dan dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah – daerah yang dikuasai VOC. Selain Compendium Freijer, banyak lagi kitab hukum yang dibuat di zaman VOC, di antaranya ialah kitab hukum mogharraer untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum ini adalah kitab perihal hukum – hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab hukum Islam Muharrar karangan Ar-Rafi’i. Mogharraer memuat sebagian besar hukum pidana Islam. Posisi hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama lebih kurang dua abad. Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda menguasai sungguh – sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah. Perubahan ini khususnya tampak pada abad ke 19, dimana ketika itu banyak orang Belanda sangat berharap dapat segera menghilangkan pengaruh agama Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara, salah satunya adalah kristenisasi. Mereka berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk menjadi kristen akan menguntungkan negeri Belanda. Selain itu, pemerintah Belanda memiliki keinginan yang kuat untuk menata dan mengubah hukum di Indonesia menjadi hukum Belanda, karena adanya anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik daripada hukum yang telah ada di Indonesia. untuk melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda kemudian mengangkat suatu komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem yang bertugas untuk melakukan penyesuaian undang – undang Belanda itu dengan Indonesia. Mengenai kedudukan hukum Islam dalam usaha pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda, Scholten berpendapat bahwa hukum Islam sebaiknya tetap dibiarkan ada dalam masyarakat agar tidak terjadi hal – hal yang tidak menyenangan. Pendapat inilah yang mungkin menyebabkan pasal 75 RR menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan undang – undang agama dan lembaga – lembaga kebiasaan mereka bila golongan bumi putera bersengketa, sejauh undang – undang dan kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk
menyelesaikan perkara perdata antara sesama orang bumi putera. Inti wewenang Pengadilan Agama ini adalah kelanjutan praktik pengadilan dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam yang telah berlangsung sejak zaman pemerintahan VOC dan kerajaan – kerajaan Islam sebelumnya. Seorang ahli hukum Belanda bernama van den Berg mengatakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan: receptio in complexu. Pendapat ini kemudian ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje, ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum Adat. Pendapat ini kemudian terkenal dengan nama receptie theorie. Karena teori inilah pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau kembali wewenang Priesterraad atau Raad Agama di Jawa dan Madura yang tahun 1882 secara resmi berwenang mengadili perkara kewarisan orang – orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka melalui pasal 2a ayat (1) S. 1937 : 116 dicabutlah wewenang Raad atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan. Usaha giat raja – raja Islam di Jawa menyebarkan hukum Islam di kalangan rakyatnya distop oleh pemerintah kolonial sejak 1 April 1937. wewenang untuk mengadili perkara kewarisan pun dialihkan ke Landraad. Akan tetapi, Landraad ketika memutuskan perkara warisan dianggap sangat bertentangan dengan hukum Islam, sehingga menimbulkan reaksi dari berbagai organisasi Islam. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pun memprotes kehadiran S. 1937 : 116, karena staatsblad tersebut dianggap telah menggoyahkan kedudukan hukum Islam dalam masyarakat Muslim Indonesia. Meski begitu pemerintah Belanda tetap tidak menghiraukan protes tersebut. Usaha
untuk
mengendalikan
dan
menempatkan
hukum
Islam
dalam
kedudukannya semula (sebelum dikendalikan oleh Pemerintah Belanda) terus dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang terbuka. Salah satu contohnya adalah ketika sidang BPUPKI berhasil menghasilkan Piagam Jakarta (22 juni 1945) yang selanjutnya menjadi Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. di
dalam piagam ini, dinyatakan antara lain bahwa negara ‘berdasarkan pada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya’. Tujuh kata terakhir ini oleh PPKI diganti dengan kata ‘Yang Maha Esa’ dan ditambahkan pada ‘Ketuhanan’ sehingga berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Setelah kemerdekaan Indonesia, adanya UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, maka IS yang menjadi landasan legal teori resepsi sudah tidak berlaku lagi. Bagaimana posisi hukum Islam? Dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama, maka jelas hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum. Pengadilan bagi orang yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama kembali mempergunakan Hukum Islam, sekurang – kurangnya satu asas dalam menyelesaikan satu sengketa. Pengadilan Agama juga diperbolehkan menggunakan hukum adat asalkan tidak bertentangan dengan hukum Islam. B. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Kini, di Indonesia, hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang – undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum Adat. Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam. Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan hukum Adat dan hukum Barat, karena itu hukum Islam juga menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di samping hukum adat dan hukum barat yang juga tumbuh dan berkembang dalam negara Republik Indonesia. Berlakunya
hukum
Islam
di
Indonesia
dan
telah
mendapat
tempat
konstitusional menurut Abdul Ghani Abdullah berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan ini mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila; Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran
hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal. Menurut mantan Menteri Kehakiman Ali Said pada pidatonya di upacara pembukaan Simposium Pembaruan Hukum Perdata Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981 hukum Islam terdiri dari dua bidang, bidang ibadah dan bidang muamalah. Pengaturan hukum yang bertalian dengan ibadah bersifat rinci, sedang pengaturan mengenai muamalah tidak terlalu rinci. Yang ditentukan dalam bidang muamalah hanyalah prinsip – prinsipnya saja. Pengembangan dan aplikasi prinsip – prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara negara dan pemerintahan. Oleh karena hukum Islam memegang peranan penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi norma – norma hukum Islam ke dalam hukum nasional, sepanjang norma tersebut sesuai dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 serta relevan dengan kebutuhan hukum khusus umat Islam. Menurut Ali Said, banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang dapat digunakan dalam menyusun hukum nasional. Kutipan ini semakin menegaskan bahwa hukum Islam berkedudukan sebagai sumber bahan baku penyusunan hukum nasional. C. Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum Nasional Pada tahap perkembangan pembinaan hukum nasional sekarang, menurut Daud Ali, yang diperlukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah badan yang berwenang merancang dan menyusun hukum nasional yang akan datang adalah asas – asas dan kaidah – kaidah hukum Islam dalam segala bidang, baik yang bersifat umum maupun khusus. Umum adalah ketentuan – ketentuan umum mengenai peraturan perundang – undangan yang akan berlaku di tanah air kita, sedangkan khusus contohnya adalah asas – asas hukum perdata Islam terutama mengenai hukum kewarisan, asas – asas hukum ekonomi terutama mengenai hak milik, perjanjian dan
utang – piutang, asas – asas hukum pidana Islam, asas – asas hukum tata negara dan administrasi pemerintahan, asas – asas hukum acara dalam Islam dan lain – lain. Masalah utama yang dihadapi oleh lembaga pembinaan hukum nasional adalah merumuskan asas – asas dalam hukum Islam tersebut ke dalam kata – kata jelas yang dapat diterima oleh semua golongan di pelosok tanah air, bukan hanya orang Islam saja. Tim pengkajian Hukum Islam Babinkumnas telah berusaha menemukan asas – asas tersebut dan merumuskannya ke dalam kaidah – kaidah untuk dijadikan untuk dijadikan bahan pembinaan hukum nasional. Berbagai asas dapat dikembangkan melalui jurisprudensi peradilan agama, karena asas – asas ini dirumuskan dari keadaan konkret di tanah air kita, sehingga dapat lebih mudah diterima. Konsep pengembangan hukum Islam, secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya serta politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian, konsep tersebut lalu diubah arahnya yaitu secara kualitatif diakomodasikan dalam berbagai perundang – undangan yang dilegaslasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi hukum Islam ke dalam bentuk perundang – undangan. Transformasi hukum agama menjadi hukum nasional terjadi juga di beberapa negara muslim seperti Mesir, Syria, Irak, Jordania dan Libya. Yang berbeda adalah kadar unsur – unsur hukum Islam dalam hukum nasional negara – negara yang bersangkutan. Di negara – negara tersebut, hukum nasional mereka merupakan percampuran antara hukum barat dan hukum Islam, sementara di Indonesia, hukum nasional di masa yang akan datang akan merupakan perpaduan antara hukum adat, hukum Islam dan hukum eks-Barat. D. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.
Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional kita. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan hadis/sunnahNya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya. Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu sebagai perbenturan antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi,[1][48]seperti terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukurn Islam. Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu: a. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat dan UU Otonomi Khusus nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang
semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. b.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan
memberikan
pertimbangan
yang
signifikan
dalam
mengakomodasi
kepentingannya. c.
Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.
d.
Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia. Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh Hukum Islam:
a. Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun '1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019). b. Undang-Undang Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006. tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama
khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah. Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi tersebut. Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal. c. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasarn dengan dibentuknyaKomisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH]. Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik. d. Undang-Undang Pengelolaan Zakat Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885). e. Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh. Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3893). f. Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4134). g. Kompilasi Hukum Islam Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI. h. Undang-undang tentang Wakaf Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus
menghindari
berbagai
kemungkinan
perbedaan
penafsiran
terhadap
ketentuan yang berlaku. i. Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam
undang-undang
ini
meliputi
ibadah, al-ahwal
keluarga), muamalah (hukum
alsyakhshiyah (hukum perdata),jinayah (hukum
pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara
yang
meliputi
bidang al-ahwal
al-syakhshiyah (hukum
keluarga),muamalah (hukum perdata) tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at Islam. j. Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November
1998,
menandai
sejarah
baru
di
bidang
perbankan
yang
mulai
memberlakukan sistem ganda duel sistem banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akadakad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sejarah perbankan secara faktual telah mencatat bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1992 hingga Mei 2004 telah berkembang pesat perbankan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU No. 21 Tahun 2008) tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Akad-akad dimaksud antara lain adalah : wadi'ah, mudharabah, musyarakah, ijarah, ijarah muntahiya bit-tamlik, murabahah, salam, istishna'I, qardh, wakalah, atau akad lain yang sesuai dengan prinsip syariah.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik adalah hukum Islam bersifat universal, berlaku kepada setiap orang yang beragama Islam, dimanapun dan kapanpun ia berada. Oleh karena itu, hukum Islam juga berlaku terhadap umat Islam di Indonesia. hanya saja,
tidak semua peraturan dalam hukum Islam menjadi hukum nasional, dikarenakan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan karakter bangsa dan Undang – Undang Dasar 1945. Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan
yang
diterapkan
oleh
pemerintah.
Pasang
surut
tersebut
adalah
perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional. Sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang menjadi bukti bahwa sejak dahulu kala hukum Islam telah menjadi hukum yang sangat berpengaruh di Indonesia. Hukum Islam berkedudukan sebagai salah satu hukum yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum nasional. Beberapa hukum Islam yang telah melekat pada masyarakat kemudian dijadikan peraturan perundang – undangan. Dengan adanya peraturan – peraturan perundang – undang yang memiliki muatan hukum Islam maka umat muslim Indonesia pun memiliki landasan yuridis dalam menyelesaikan masalah – masalah perdata. Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prospek penerapan hukum Islam di Indonesia cukup cerah. Kesimpulan tersebut didasarkan pada berbagai kenyataan positif, antara lain: 1. Berbagai kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah selaku penyelenggara Negara yang memberi peluang bagi berperannya hukum Islam. 2. Telah terwujudnya berbagai peraturan dan perundang-undangan yang membuat hukum Islam menjadi lebih eksis sebagai sub sistem dalam sistem hukum nasional. 3. Adanya upaya yang cukup maksimal dari kalangan umat Islam dan pakar hukum Islam melalui dakwah dan pendidikan, sehingga selain dapat lebih meningkatkan kualitas iman juga kesadaran untuk melaksanakan secara hukum secara maksimal. Sekian semoga bermanfaat bagi semuanya, jazakumullah khairal jaza. B. Saran Sebagai saran, diharapkan untuk perkembangan hukum Islam selanjutnya dapat dikeluarkan lagi peraturan perundang – undangan mengenai apa yang belum ada
sebelumnya. Sebagai contoh, anak adopsi. Islam tidak mengenal adanya anak adopsi, yang ada hanyalah anak asuh. Yang mengenal soal pengangkatan anak hanyalah hukum barat dan hukum adat. Bila peraturan mengenai adopsi / asuh dikeluarkan menurut hukum Islam maka akan menimbulkan kepastian hukum bagi anak – anak asuh / adopsi maupun orangtuanya. Selanjutnya adalah mengenai perkawinan antar agama yang belum diatur dengan gamblang di Undang – Undang Perkawinan. Seharusnya, dimuat aturan yang jelas mengenai laki – laki muslim yang diperbolehkan menikah dengan perempuan non muslim, atau perempuan muslim yang diharamkan menikah dengan laki – laki non muslim. Selama ini karena peraturannya tidak ada maka banyak orang memilih untuk menikah di luar negeri. Bila peraturannya ada, maka batas antara larangan dan bukan akan terlihat jelas.
DAFTAR PUSTAKA Buku : Ali, Muhammad Daud, Penerapan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, Makalah disampaikan pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, tanggal 17 Mei 1995. _________________, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984). _________________, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Press, 1998). _________________, Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Jakarta: Rajawali Press, 1997).
Didi Kusnadi. Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum). Kuningan: Ebook, 2010. Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia (Cet I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995) Rasdiyanah, Andi, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah Disampaikan pada upacara Pembukaan Seminar Nasional tentang Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, UII-Yogyakarta, 2 Desember 1995. Speyoeti, Zarkowi, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Konsep Keadilan dalam Perspektif Hukum, IAIN Sunan Ampel Gunungjati-Bandung, 16 Mei 1994. Peraturan PerUndang-Undangan: UUD 1945. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan. Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 Jo UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Kompilasi Hukum Islam.
Makalah Sejarah Peradilan Islam Masa kolonial Belanda SEJARAH PERADILAN ISLAM DI INDONESIA MASA KOLONIAL BELANDA Makalah
Disusun Sebagai Tugas Pribadi oleh Dosen Pembimbing Mata Kuliah SejarahPeradilan Islam WAHIDULLAH, S.H.I., M.H.
Disusunoleh: Lia Apriliani (1213049)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA(UNISNU) JEPARA 2015
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr.Wb Alhamdulillah, Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidahnya Kami diberikan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Makalah ini. Shalawat beserta salam senantisa tercurah kepada Nabi Muhammad saw beserta para keluarga dan sohabatnya. Aamiin. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Individu mata kuliah Sejarah Peradilan Islam semester gasal, fakultas Syariah dan Hukum prodi Al-Ahwal Al-Syahsiyah Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara Dalam menyusun makalah ini, tentunya tidak mungkin terlaksana apabila tanpa semangat, dukungan, dari pemakalah dan seluruh elemen yang membantu dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, Kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Wahidullah, S.H.I., M.H. selaku dosen mata kuliah Sosiologi Hukum atas arahan yang diberikan dalam penyusunan makalah ini. 2. Kedua orang tua kami atas doa serta dukungan moril maupun materiil yang telah diberikan selama ini. 3. Sahabat-sahabati atas kerjasamanya dalam menyusun makalah ini. Semoga Allah SWT. Membalas dengan balasan yang setimpal. Saran dan kritik yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan substansi makalah ini. Wassalammu’alaikum Wr.Wb. Jepara, 06 Januari 2015
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dari waktu ke waktu lembaga peradilan indonesia mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman itu sendiri, baik dalam kelembagaannya maupun dalam sistem penegakan hukumnya, yang dalam kurun waktu tertentu di tandai dengan ciri-ciri tertentu pula. Hal ini dilakukan dalam upaya mencari dan menerapkan sistym yang cocok untuk bangsa Indonesia. Proses mencari bentuk yang tepat ini menurut satjipto Raharjo harus melalui proses panjang karna menyangkut perubahan perilaku, tatanan sosial, dan kultur. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam selalui berjalan beiringan tidak dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum islam itu sendiri. Jabatan hakim dalam Islam merupakan kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan kewajiban kolektif , yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimanapun juga. Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam. Peradilan yang telah lama ini mengakibatkan banyak mengalami pasang surut hingga sekarang, pada mulanya sederhana lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga dalam makalah ini kami akan membahas tentang peradilan islam pada saat belanda. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas Maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya: 1. Bagaimana peradilan islam pra hindia belanda. 2. Apa yang terjadi pada perkembangan sejarah lembaga peradilan di indonesia era Kolonial sampai di proklamirkan kemerdekaan. 3. Bagaimana hukum islam pada masa penjajahan belanda. C. TUJUAN PENULISAN Berdasarkan rumusan masalah diatas Maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Bagaimana peradilan islam pra hindia belanda. 2. Untuk mengetahui Apa yang terjadi pada perkembangan sejarah lembaga peradilan di indonesia era Kolonial sampai di proklamirkan kemerdekaan.
3. Untuk mengetahui hukum islam pada masa penjajahan belanda.
BAB II PEMBAHASAN
A. SEJARAH PERADILAN AGAMA PADA MASA KOLONIAL
1. Pra Pemerintahan Hindia Belanda Pada prapemerintahan hindia belanda di kenal dengan 3 (tiga) periode. Pertama, periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan perbenturan antara hak-hak dan kepentingan-kepentingan dalam tingkah laku mereka. Mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakat, misalnya seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya. Kedua, periode ahlul hilli wal aqdi. Mereka telah membai’at dan mengangkat seorang ulama islam dimana mereka yang dapat bertindak sebagai qadhi dapat menyelesaikan setiap perkara yang terjadi diantara mereka. Jadi, qadhi brtindak sebagai hakim. Ketiga, dikenal periode thauliyah. Secara filosofis dilihat pada periode ketiga ini telah mulai tampak pengaruh ajaran Trias Politica dari Montesquieau Prancis dan teori-teori sebelumnya seperti J.J. Rouseau, Thomas Hobbes, John Lock, dan lain-lain. Periode thauliyah dapat di identifikasikan sebagai delegation of authority, yaitu penyerahan kekuasaan (wewenang) mengadili, kepada suatu bahan judicative, tetapi tidak mutlak. Seperti di Minangkabau ada pucuk nagari yang menyelesaikan sengketa dan qadhi dalam masalah keagamaan. Kenyataan periodesasi ini dibuktikan dengan kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan islam untuk daerah Cirebon, semarang, bone, dan gowa (makassar) serta papakem Cirebon.[1] .kemudian, pada tanggal 4 Maret 1620 dikeluarkan intruksi agar di daerah yang di kuasai konpeni (VOC) harus diberlakukan Hukum sipil Belanda, antara lain dalam soal kewarisan. Intruksi tersebut tidak dapat dilksanakan karena mengalami kesulitan akibat perlawanan dari pihak Islam. Berlakunya Hukum perdata Islam diakui oleh VOC dengan Resolutie der idndische Regeling tanggal 25 Mei 1760, yaitu, berupa suatu kumpulan aturan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan menurut Hukum Islam, ataucompendium Freijer; untuk dipergunakan pada pengadilan VOC.[2] 2. Lembaga Peradilan Islam Pada Masa Kolonial Belanda Peradilan agama sebagai lembaga hukum yang berdiri sendiri dan mempunyai kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri, telah melaksanakan hukum islam dan melembagakan sistem peradilannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan keseluruhan sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya. Secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem keNegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan keputusan Raja Belanda (Konninkklijk Besluit), yakni raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 No. 24 yang di muat dalam staatsblad 1882 No. 152. Dimana di tetapkan suatu peraturan tentang peradilan Agama dengan nama “piesteraden” untuk Jawa dan Madura. Badan peradilan ini yang kemudian lazim disebut dengan Raad Agama dan terahir dengan pengadilan Agama. Keputusan Raja Belanda ini dinyatakan mulai berlaku 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam staatsblad 1882 No. 153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanggal kelahiran badan peradilan Agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882. [3] Pada tahun 1854 pemerintah belanda mengeluarkan pernyataan politik yang di tuangkan dalam “Reglement op het beleid der rengeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat
menjadi Regeering Reglement (RR) dan dimuat di dalam Stbl. Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat didalam Stbl. Hindia Belanda Tahun 1855 No, 2. Dalam pasal 75, 78, dan 109 Regeerings Reglement (RR) Stbl. 1855: 2 ditegaskan berlakunya undang-undang (Hukum) Islam bagi orang Islam di Indonesia. Tokoh yang mendukung kebijakan ini adalah Salomon Keyzer, LWC. Van den berg dan C. Frederik Winter., LWC. Van den berg mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam sebab ia telah memeluk Agama Islam, walaupun dalam pelaksanaan terdapat penyimpangan. pendapat atau teori ini disebut Receotio in complexu.[4] 3. Lembaga peradilan Islam Pada Masa Jepang Pada masa pemerintahan Jepang ini Lembaga Peradilan Agama yang sudah ada pada masa penjajahan Belanda, tetap berdiri dan dibiarkan dalam bentuknya semula. Perubahan yang dilakukan terhadap lembaga ini hanyalah dengan memberikan atau merubah nama saja, yaitu Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama). Meninjau secara ringkas tentang keadaan Peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang adalah sukar sekali, oleh karena daerah-daerah Indonesia pada zaman pendudukan Jepang di bagi-bagi dalam kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatra adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah daerah Angkata Laut yang berpusat di Makasar.[5] Pada masa pendudukan Jepang ini, kedudukan Pengadilan Agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (Guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka maksud Jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas Masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan Agama dalam Negara Indonesia kelak. Pada tanngal 14 April 1945 dewan memberikan jawaban sebagai berikut: “11 (F) urusan Pengadilan Agama. “ Dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan Peradilan Agama sebagai Pengadilan Istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli Agama”. Dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pertimbangan dewan Pertimbangan Agung bikinan Jepang itu mati sebelum lahir dan Peradilan Agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain. Dari uraian bab ini dapat disimpulkan bahwa dengan keluarnya Stbl. 1937 No. 116 tentang perubahan dan penambahan Staatsblad 1882 No. 152 tentang wewenang peradilan Agama di Jawa dan Madura. Kompetensi Peradilan Agama menjadi sempit yakni hanya dalam bidangbidang tertentu saja. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, Kedudukan Peradilan Agama pernah terancam dengan konsep dimana akan diserahkannya tugas peradilan Agama pada pengadilan biasa. Tetapi syukur aturan itu didahului oleh proklamasi Kemerdekaan. Ini yang disebut dengan mati sebelum lahir.[6]
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Peradilan agama sebagai lembaga hukum yang berdiri sendiri dan mempunyai kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri, telah melaksanakan hukum islam dan melembagakan sistem peradilannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan keseluruhan sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya. Pada prapemerintahan hindia belanda di kenal dengan 3 (tiga) periode. Pertama, periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan perbenturan antara hak-hak dan kepentingan-kepentingan dalam tingkah laku mereka. Mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakat, misalnya seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya. Kedua, periode ahlul hilli wal aqdi. Mereka telah membai’at dan mengangkat seorang ulama islam dimana mereka yang dapat bertindak sebagai qadhi dapat menyelesaikan setiap perkara yang terjadi diantara mereka. Jadi, qadhi brtindak sebagai hakim. Ketiga, dikenal periode thauliyah. Secara filosofis dilihat pada periode ketiga ini telah mulai tampak pengaruh ajaran Trias Politica dari Montesquieau Prancis dan teori-teori sebelumnya seperti J.J. Rouseau, Thomas Hobbes, John Lock, dan lain-lain. Meninjau secara ringkas tentang keadaan Peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang adalah sukar sekali, oleh karena daerah-daerah Indonesia pada zaman pendudukan Jepang di bagi-bagi dalam kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatra adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah daerah Angkata Laut yang berpusat di Makasar.[7] Dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pertimbangan dewan Pertimbangan Agung bikinan Jepang itu mati sebelum lahir dan Peradilan Agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Ed. Revisi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. 1., Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet I. A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet I.
1 Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Ed. Revisi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. 1., hlm. 39. [2]Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet I. Hal. 25-26. [3] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet I. Hal 47-48. [4]opcit, hal. 26-27. [5]Ibid, hal. 30. [6]A. Basiq Djalil, Opcit, hal. 59. [7]Ibid, hal. 30.
HUKUM ISLAM SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
OLEH : FIKRI ALMANSUR ASRI EVANGGELINE SILALAHI FALDI AHMAD JURIO DIAN HARTINA DWIKI WIRANTO AHMAD DANIEL
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS RIAU 2016
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, sangatlah penting untuk kita ketahui. Selain untuk memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah hukum Islam, namun yang paling penting adalah bagaimana kita bisa memahami sumber dan dasar hukum Islam itu sendiri, karena dengan mempelajari sejarah kita bisa merasakan betapa dekat dan besar perjuangan para ulama dahulu terhadap perkembangan hukum Islam sekarang dengan menggali ilmu-ilmu yang terkandung dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Kita tidak bisa menutup mata terhadap sejarah, kalau bukan karena ulama-ulama kita terdahulu yang mempelajari, mengajakan
serta menulis buku-buku tentang Islam atau sejarahnya, tidak mustahil kita tidak pernah merasakan manisnya hukum Islam itu sendiri. Adapun judul makalah yang kami bahas dalam makalah ini adalah Sejarah Hukum Islam. Dimana didalamnya membahas tentang perkembangan hukum Islam mulai pada zaman pra penjajahan belanda sampai sekarang ini. Dimana setiap periode mempunyai karakter tersendiri yang berbeda dengan periode-periode lainnya. kami sebagai pemakalah mohon maaf, apa bila didalam makalah ini ada kesalahan baik dalam pengutipan, penulisan dan penyusunannya, kemudian saya mengharapkan kritik dan saran dari kawan-kawan sekalian terutama bapak pembimbing mata kuliah ini, demi untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirnya hanya kepada Allah-lah kita mengharap ridho dan hidayahnya, mudah-mudahan makalah ini memberi manfaat bagi kta semua. Amiin.
B. Rumusan Masalah Kami mengambil suatu rumusan masalah, sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah perkembangan hukum islam di masa Prapenjajahan Belanda?
2.
Bagaimanakah perkembangan hukum islam pada masa Penjajahan Belanda?
3.
Bagaimanakah perkembangan hukum islam di masa Pendudukan Jepang?
4.
Bagaimanakah perkembangan hukum islam pada masa Kemerdekaan (1945)?
5.
6.
Bagaimanakah perkembangan hukum islam pada masa Era Orde Lama dan Orde Baru? Bagaimanakah perkembangan hukum islam pada masa Era Reformasi?
C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah : 1.
Untuk mengetahui perkembangan hukum islam di masa Prapenjajahan Belanda?
2.
Untuk mengetahui perkembangan hukum islam pada masa Penjajahan Belanda?
3.
Untuk mengetahui perkembangan hukum islam di masa Pendudukan Jepang?
4.
Untuk mengetahui perkembangan hukum islam pada masa Kemerdekaan (1945)?
5.
Untuk mengetahui perkembangan hukum islam pada masa Era Orde Lama dan Orde Baru?
6.
Untuk mengetahui perkembangan hukum islam pada masa Era Reformasi?
BAB II PEMBAHASAN A. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara. Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literaturliteratur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
B. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam. Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen
kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja. Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut : Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
C. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
D. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945) Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan
kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”. Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam. Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI. Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki
kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB. Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”. Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan. Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.
E. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian
menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi. Lalu bagaimana dengan hukum Islam? Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
F. Hukum Islam di Era Reformasi Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdarasrakan uraian dan penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa para sahabat dan ulama’-ulama terdahulu banyak berperan dalam proses perkembangan islam di Indonesia ini. Gerakan dakwah yang tak kenal lelah serta sikapnya yang mampu membaur dengan masyarakat dan mengakulturasikan antara budaya pribumi dengan ajaran dan Syariat Islam membuat kiprah dakwah mereka berhasil. Selain itu, sejarah perkembangan hukum islam di Indonesia telah melalui masa yang tidak sebentar karena telah melalui beberapa priode sejak Pra penjajahan belanda dan seterusnya hingga sekarang. Oleh karena itu kita harus menjaga hasil dari pemikiran-pemikiran para pendahulu kita yang mana pemikiran mereka tidak dilakukan dengan sembarangan melaikan dengan ijtihad yang tidak mudah. Selain
itu sekarang sudah banyak pemikiran-pemikiran yang sangat ekstrim sehingga kita harus berhati-hati akan pemikiran tersebut agar nanti kita tidak terjerumus ke dalam pemikiran yang sesat itu.
B. Saran Demikianlah makalah yang kami buat, mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan apabila ada pihak merasa tersinggung kami selaku penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Apabila ada kebaikan dan manfaat dalam tulisan ini maka itu datangnya dari Allah SWT dan apa bila ada salah ketik atau kekurangan dalam tulisan ini maka itu datangnya dari diri kami sendiri ( Al-insaanu makanul khoto’ wa annisyaan ).
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ali, Muhammad Daud. 2004. Hukum Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
[2] Dani, Dyla R. 2013. Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Hukum Islam. (http://cakupanhukum.blogspot.com/2013/05/sejarah-perkembangan-danpertumbuhan.html) diunduh pada tanggal 28 April 2016 pada pukul 11:00 WIB.
[3] Forus. 2012. Sejarah Perkembangan Hukum Islam. (http://forusjaw.blogspot.com/2012/10/sejarah-perkembangan-hukum-islam_30.html) diunduh pada tanggal 28 April 2016 pada pukul 11:00 WIB.
12
undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan dengan jiwa UUD ‟45. Dengan demikian,
teori receptie itu harus exit aliaskeluar dari tata hukum Indonesia merdeka.Teori Receptie harus keluar dari teori
hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD‟45 dan Pancasila serta bertentangan dengan al-
Qur‟an dan Sunnah. Secara tegas UUD ‟45 menyatakan bahwa“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara
menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanyamasingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Demikiandinyatak an dalam pasal 29 (1) dan (2).5.
Teori Receptie A ContrarioTeori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairindikemban gkan oleh Sayuti Thalib, S.H.
dengan memperkenalkan TeoriReceptie A Contrario. Teori Receptie A Contrario yang secara harfiahberarti lawan dari Teori
Receptie menyatakan bahwa hukum adat berlakubagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agamaIslam dan
hukum Islam. Dengan demikian, dalam Teori Receptie AContrario, hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan denganhukum
Islam. Teori ini sejiwa dengan teori para pakar hukum islam (fuqaha) tentang al „urf dan teori al -adah.Kalau Teori Receptie mendahulukan
berlakunya hukum adatdaripada hukum Islam, maka Teori Receptie A Contrario sebaliknya.Dalam Teori Receptie, hukum Islam
tidak dapat diberlakukan jikabertentangan dengan hukum adat. Teori Receptie A Contrariomendah ulukan berlakunya hukum Islam
daripada hukum adat, karenahukum adat baru dapat dilaksanakan jika tidak bertentangan denganhukum Islam.6.
Teori Hukum IslamTeori penataan kepada hukum bagi orang Islam terkandung dalam
sumber ajaran dan sumber hukum islam, yaitu: Alqur‟an dan Assunah. 13 BAB IIIPENUTUP KESIMPULAN
Hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup,berkembang , dikenal dan sebagiannya ditaati oleh
umat Islam di negara ini.Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam keIndonesia, yang menurut sebagian kalangan, telah
berlangsung sejak abad VIIatau VIII M. Sementara itu, hukum Barat baru diperkenalkan oleh VOC pada awalabad XVII M.Dengan demikian, di era
reformasi ini hingga sekarang, terbuka peluangyang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi
hukum diIndonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkanpembentuk an hukum baru yang bersumber dan
berlandaskan sistem hukum Islam,untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalamhukum
Nasional kita.Dalam proses berlakunya hukum Islam di Indonesia, terdapat beberapa teori yangmendampingi nya,
diantaranya :1. Teori Kredo atau Syahadat (teori ajaran islam)2. Teori Receptio in Complexu atau Penerimaan Hukum Islam
Sepenuhnya3. Teori Receptie atau Penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat4. Penerimaan Hukum Islam Sebagai
Sumber Persuasif 5. Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Otoritatif 6. Teori penerimaan autoritas hukum
14 DAFTAR PUSTAKA
Nuruddin, A. dan Tarigan, A.A., 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia
, edisipertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.Zein, S.E.M., 2001, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
edisipertama, Ken cana Prenada Media Group, Jakarta.Sjadzali, M., Djatnika, R., Anshari, E.S., Suny, I., Ichtijanto, 1991, Hukum Islamdi
Indonesia, Remaja Rosdakarya, Jakarta.Wahid, A., Siregar, B., Djazuli, A., Praja., J.S., Ali, M.D., Adam, M., Manan, B.,Abubakar A.Y.,
1994, Hukum Islam di Indonesia, Remaja Rosdakar ya, Jakart SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA MATA KULIAH : FIQH & USHUL FIQH DOSEN PENGAMPU : FATMA AMILIA, S.Ag, M.Si
Disusun Oleh: Evy Hidayani
15830016
Kustanti Nurul Ulva
15830024
Inas Rifqa N
15830040
Kholifatul Itsna H
15830051
Riska Yanty
15830074
PROGRAM STUDI KEUANGAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2015/2016
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Ajaran islam populer juga disebut dengan dienul-Islam merupakan salah satu ajaran Agama somawi (langit), jika tidak mau dikatakan sebagai kelanjutan agama – agama samawi sebelumnya. Selain memiliki karakteristik yang berbeda dengan sejumlah agama yang berkembang di dunia yang biasa dikenal dengan agama dunia. Karakteristik Islam demikian itu dipertegas dalam Alqur’an, wama arsalnaka ila rahmatan lilamin ( tiadalah risallah Islam ini diturunkan melainkan untuk kepentingan seluru alam semesta). Tentunya ajaran islam memiliki sumber-sumber atau dari mana asal muasal dari ajaran islam tersebut. Ajaran islam juga sebagai ajaran penutup dari ajaran – ajaran sebelumnya memiliki berbagai dinamika. Khususnya di Indonesia ajaran islam memiliki beberapa fase mulai dari masa penjajahan, pasca kemerdekaan dan juga saat sekarang ini serta peranan Ajaran Islam dalam pembangunan Nasional. Sehubungan dengan hal tersebut dalam makalah ini akan dibahas tentang “SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA”.
B.
Batasan dan Perumusan Masalah 1.
Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas terdapat beberapa masalah yang akan dibahas. Tapi masalah tersebut harus mempunyai batasan batasan. Adapun batasan – batasan tersebut sebagai berikut : a.
Pengajaran dan Eksistensi Hukum islam di Indonesia
b.
Sumber-Sumber Hukum Islam
c.
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
d.
Hukum islam dan peranannya dalam pembangunan nasional.
2.
Perumusan Masalah
Dari Batasan – Batasan Masalah tersebut diatas maka perumusan masalah dapat dirumuskan sebagai berikut : a.
Bagaimana Pengajaran dan Eksistensi Hukum islam di Indonesia?
b.
Dari mana Hukum Islam itu ditemukan ?
c.
Bagaimana perkembangan hukum islam ?
d.
Apa – apa saja peranan hukum islam dalam pembangunan nasional ?
C. Tujuan Penulisan Makalah Penulisan makalah ini bertujuan untuk membahassecara teoritis tentang perjalanan panjang Rasul dalam menegakkan agama Islamsebagai agama yang diredhai Allah.Kegunaan makalah ini adalah untuk memberitahukan kepada semuaorang tentang perjuangan Rasul untuk dapat menegakkan agama Islam, sehinggasekarang ini kita dapat mereguk nikmatnya beribadah dijalan yang benar yaitu dalam Islam.
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian [1]Sumber adalah asal sesuatu. Sumber hukum islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum islam. Dalam kepustakaan hukum islam di Indonesia, sumber hukum islam kadang-kadang disebut dalil hukum islam atau asas hukum islam. Adapun sumber hukum islam adalah alQuran, Al Hadist dan Ar Ro’yu atau penalaran.
B.
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia [2]Perkembangan/pertumbuhan hukum islam di Indonesia sejak mulai masuknya agama islam sampai menjadi salah satu sistem hukum yang banyak penganutnya, dapat dibagi tiga pembahasan.
1.
Masa Kedatangan Islam di Indonesia Berbicara pada pertumbuhan hukum islam di Indonesia, kita tidak dapat melepaskan diri dari persoalan kapan dan bagaimana masuknya agama Islam di Indonesia. Hal ini penting dikemukakan agar kita dapat memperoleh gambaran betapa bangsa kita menyambut agama ini sampai menjadi agama dengan penganut yang terbesar. Persoalan kapan dan bagaimana masuknya agama islam di Indonesia ini terdapat dua pendapat yaitu : Pendapat Pertama bahwa masuknya agama islam di Indonesia pada permulaan abad XIII M yang dibawa oleh orang – orang Persi ke Gujarat India kemudian pedagang Gujarat India membawa ke Tanah Air kita. Sebagai buktinya bahwa bentuk, bahan dan tulisan yang terdapat pada makam Maulana Malik Ibrahim mirip dengan bentuk, bahan dan galian yang terdapat pada makam raja – raja Hindustan. Pendapat Kedua bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dibawa langsung dari negeri Arab oleh bangsa Arab sendiri pada abad VII masehi. Sejarah telah membuktikan bahwa mulanya proses pengislaman di Indonesia berlangsung tanpa disadari, tiba - tiba mengalami perkembangan yang pesat dan
cepat walaupun harus diakui waktu itu memang sudah ada isme-isme yang menguasai alam pikiran bangsa Indonesia misalnya isme tradisional dan agama hindu. [3]Perkembangan yang pesat dan dinamis ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menentukan antara lain : 1.
Adanya sifat demokratis agama islam itu sendiri
2.
Prosendur untuk menjadi pemeluk agama islam tidak berbelit – belit
3.
Agama Islam mudah menyesuaikan diri
4.
Pribadi dan Akhlak orang islam sangat tinggi.
Penyebaran islam pada mulanya hanya pada dua titik yaitu Sumatra Utara ( Aceh ) dan pesisir pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur ( Rembang, Tubanng, dan Gresik). Dari Sumatra Utara ini Islam menyebar ke Pedalaman Minangkabau sementara di Sumatra Selatan Agama Islam berkembang melalui Banten. Di Pulau Jawa, Agama islam berkembang dan menyebar melalui kelompok orang – orang penyebar agama Islam yaitu para wali, yang biasa dikenal dengan sebutan Walisongo(Wali Sembilan). Dengan perantara mereka inilah Islam di Demak, Pajang Mataram dan Banten, akhirnya sampai merata di Pulau jawa. Dengan Masuknya agama Islam di Tanah Air maka hukum- hukumnya juga turut serta didalamnya. Hukum Islam terdiri dari tiga aspek yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan. Ketiga aspek yang dimaksud adalah, aspek akidah, aspek syariat, dan aspek filsafat. Di antara ketiga aspek tersebut yang paling penting adalah aspek syariatnya/ aspek hukumnya, oleh karena aspek hukum tersebut merupakan jiwa agama islam. 2.
Masa Pemerintahan Hindia Belanda Pada masa pemerintahan Hindia Belanda mulai berkuasa di Tanah Air kita, hukun islam telah berkembang sedemikian pesatnya. Hal ini dapat dilihat bahwa di daerah-daerah yang masyarakatnya mayoritas agama Islam pengaruhnya sangat menonjol. Di samping hukum Islam, Hukum adat sebagai suatu sistem hukum juga berlaku ditengah-tengah masyrakat sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang berdasrkan alam fikiran bangsa Indonesia. Antara kedua sistem hukum itu dalam
perkembangannya saling mempengaruhi, seolah –olah diantara keduanya terjadi singkronisasi. Dengan berdasarkan pada teori pemerintahan Hindia belanda berhasil memperkecil peranan Hukum Islam dalam hukum positif, sehingga hanya terbatas pada hukum perkawinan dan perceraian serta mengenai badan hukum yang berbentuk wakaf, Hibah, Wasiat dan Shadakah. Sebagai konsekuensi diakuinya Hukum Islam dalam peraturan peraundang– undangan Hindia Belanda sebagimana tercantum dalam beberapa pasal RR dan IS. 3.
Masa Sesudah Kemerdekaan Sesudah proklamasi kemerdekaan, perkembangan hukum islam lebih maju lagi dibandingkan dengan keadaannya pada tahun – tahun sebelum kemerdekaan. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan Bahwa Negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap – tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu. Sebagai salah satu bentuk dari kemerdekaan beragama sebagai mana terantum dalam pasal 29 ayat (2) tsb, maka pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama yang bertugas mengurus berbagai urusan yang menyangkut masalah – masalah keagamaan ( termasuk hukum agama ) di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya beberapa bidang hukum islam telah dinyatakan diterima dalam hukum nasional sebagai hukum positif seperti Hukum Perkawinan dalam UU No 1 Tahun 1874. Pembentukan berbagai pesantren dan madrasah-madrasah islamiyah bernafaskan Islam turut menjadi warna tersendiri terhadap perkembangan Hukum Islam di Indonesia.
4.
Hukum Islam di Era Reformasi Hingga Sekarang Setelah lengsernya pemeritahan Suharto. Gemuruh demokrasi dan kebebasan semakin meningkat di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan. Lahirnya Ketetapan MPRNo. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat
umum.Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud Undang-Undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Bukti nyata adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 2006 berkaitan dengan perubahan atas undang-undang No.7 tahun 1989. 5.
Hukum Islam dalam tata hukum dan Pembinaan Hukum Nasional di Indonesia Umat Islam merupakan slah satu keompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman seczra hukum ketatanegaraan di Indonesia. Oleh karena itu, umat Islam tidak dapat dicerai pisahkan dengan hukim islam yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di Indonesia bila dilihat dari aspek perumusan dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yaitu para pemimpin Islma berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariatsyariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa”. Penggantian kata ini, dimaksudkan menurud Hazairin mengandung norma garis hukum yang diatur dalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 bahwa negara Republik Indonesia bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di negar Republik Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tentang peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 38 tentang Pegelolaan Zakat dan beberapa instruksi pemerintah yang berkaitan dengan Hukum Islam. Demikian juga munculnya kompilasi hukum Islam yang menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus (peradilan Agama) di Inonesia. Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma hukum Islam secara ketatanegaraan di negara republik Indonesia adalah Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.
6.
Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional
Pemikiran hukum Islam dalam sejarah perilaku umat islam dalam melaksanakan hukum Islam di Indonesia yaitu, syariah, fikih, fatwa ulama/hakim, keputusan pengadilan dan perundang-undangan. Syariah, jalan hidup yang wajib ditempuh oleh setiap umat Islam. Syariah memuat ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya baik berupa larangan maupun perintah. Fikih, hukum Islam yang berdasarkan pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil, ayat, nash al-Qur’an dan atau hadits Nabi Muhammad. Fatwa, hukum Islam yang dijadikan jawaban oleh seseorang dan atau lembaga atas adanya pertanyaan yang diajukan kepadanya. Keputusan pengadilan agama, keputusan yang dikeluarkan oleh Peradilan Agama atas adanya permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan. Perundang-undangan Indonesia, bersifat ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya lebih luas.
mengikat
secara
hukum
C. Urgensi Sumber – Sumber Hukum Islam [4]Pada semua sistem hukum telah memiliki sarana yang disebut dengan sumber-sumber hukum yang berperan untuk memberikan solusi untuk menjadikan sistem tersebut aksereratif dengan segala peristiwa dan pembuat sistem tersebut semakin berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan dan peradaban manusia. Sumber dari sesuatu peraturan hukum adalah sangat penting untuk diketahui oleh karena dari sumber itu dapat diketahui dari mana asalnya peraturan itu. Dalam garis besarnya Sumber Hukum Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : 1.
Sumber Naqly, adalah sumber hukum dimana seorang mujtahid tidak mempunyai peranan dalam pembentukannya karena memeng sumber hukum tersebut telah tersedia.
2.
Sumber Aqly, adalah sumber hukum dimana seorang mujtahid dapat berperan dalam pembentukannya. Misalnya : Qias, Istishan, Istislah muslahat-muslahat dan istishab.
Selain daripada pembagian tersebut di atas, sumber hukum islam secara besar dapat pula dibagi menjadi: Sumber Hukum Ashliah yang didalamnya adalah AlQur’an dan Hadis/sunnnah dan sumber hukum Tarbaiyah yang mencakup Ijma, Qaul, Sahabat, Qias, Istishan, Muslahat-Muslahat, Urf, Syariat Umat Terdaulu dan Istishab. Berikut ini akan dijelaskan tentang sumber hukum tersebut di atas. 1.
Sumber Hukum Ashliyah [5]Yang dimaksud dengan Sumber Hukum Ashliyah ialah sumber hukum yang penggunaannya tidak bergantung pada sumber hukum yang lain. Sumber hukum ini adalah yang paling utama diantara sumber – sumber Hukum Islam lainnya, oleh karena keduanya adalah sumber wahyu.
a)
Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kumpulan wahyu ilahi yang disampaikan kepada Nabi Muhammmad s.a.w dengan perantaraan malaikat Jibril untuk mengatur hidup dan kehidupan umat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam “Lailatul Qadr”, yaitu suatu malam kebesaran yang jatuh pada malam ke tujuh belas Ramadhan. Pada malam tujuh belas ramadhan tahun ke 41 dari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w tatkala beliau bersemedi di Gua Hira, turunlah ayat pertama seperti yang tercantum dalam surat/surah Al-Alaq yang Artinya “bacalah ya muhammad dengan nama Tuhanmu yang maha Budiman yang telah mengajar manusia dengan qalam, telah mengajar manusia tentang apa-apa yang belum diketahuinya. Dari ayat pertama sampai kepada ayat yang terakhir tidaklah diturunkan seklaigusm melainkan secara berangsur angsur sesuai dengan kebutuhan, misalnya apabila ada kejadian – kejadian yang perlu dipecahkan oleh nabi atau ada pertanyaan – pertanyaan yang diajukan kepada nabi yang perlu segera mendapat jawaban. Ayat – ayat Al-Qur’an turun dalam kurung waktu 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hariyang dibagi atas dua periode yaitu periode Mekah/Makyah dan periode Madinah/Madaniyah. Al-Qur’an terdiri dari 30 Juz,114 surah dengan jumlah ayat seluruhnya 6342,ayat (Hanafi 1984 : 55) atau 6666 ayat (Rasyidi, 1980 :21) atau 6236 ayat (Ridwan Saleh, Bahan Kuliah). Sebagai pegangan kita ambil jumlah 6236 ayat dan
daripadanya hanyalah terdapat 228 ayatul ahkam/ ayat-ayat hukum dengan rincian sebagai berikut :
70 ayat mengenai hidup kekeluargaan, perceraian, waris-mewaris dan sebagainya;
70 ayat mengenai perdagangan, perekonomian, seperti jual-beli dan sebagainya
30 ayat mengenai soal – soal kriminal;
25 ayat mengenai hubungan antara orang islam dan bukan islam;
10 ayat mengenai hubungan antara orang kaya dan orang miskin;
13 ayat mengenai hukum acara;
10 ayat mengenai soal – soal kenegaraan. Al-Qur’an hanya memberikan dasar atau patokan yang umum untuk membimbing manusia kearah kesempurnaan hidup yang selaras antara kehidupan dunia dengan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat; antara lahir dan batin; antara individu dengan masyarakat bahkan antara manusia dengan alam sekitarnya. Prinsip penetapan hukum yang bersifat perubahan yang tidak mempunyai daya surut berlakunya ini sangat penting demi menjamin adanya kepastian hukum dalam hukum islam. Mengenai substansi hukum yang diatur dalam Al-Qur’an adalah : 1.
Ayat hukum yang mengatur masalah i’tiqadiyyah ( keyakinan dan keimanan )
2.
Ayat hukum mengenai khuluqy, pola perilaku manusia yag berakhlak mulia.
3. Ayat hukum mengenai amaly, yang berkaitan dengan perbuatan manusia baik ibadah maupun muamalah. b)
Hadis atau Sunnah Rasulullah Hadis/Sunnah adalah segala apa yang datangnya dari Nabi Muhammad s.a.w, baik berupa segala perkataan yang telah diucapkan, perbuatan yang perbah diperbuat dimasa hidupnya ataupun segala yang dibiarkan berlaku. Berdasarkan pengertian tersebut di atas hakekatnya dapat dibedakan atas tiga macam :
maka
Hadis/Sunnah
pada
1)
Hadis/Sunnah Qauliyah yaitu Hadis / Sunnah yang berupa segala apa yang telah diucapkan oleh Nabi Muhammad sebagai suatu penjelasan terhadap sesuatu.
2)
Hadis/Sunnah Fi’iliyah yaitu Hadis berupa segala apa yang pernah diperbuat oleh Nabi Muhammad semasa hidupnya atau tindakan nyata yang telah diperbuat semasa hidupanya.
3)
Hadis/Sunnah Taqiriyah, Yaitu hadis yang berupa apa yang dibiarkan berlaku oleh Nabi Muhammad baik yang berwujud tindakan atau pembicaraan,dirasakan sendiri atau berupa berita yang diterima lalu Nabi Muhammad tidak melarangnya dan tidak pula menyuruh lakukan.
2.
Sumber Hukum Tabaiyah [6]Sumber hukum tabaiyah adalah kebalikan dari sumber ashliyah. Yang dimaksudkan dengan sumber hukum tabaiyah adalah sumber hukum yang penggunaanya masih bergantung pada sumber hukum yang lain. Sumber hukum ini jumlahnya banyak, tapi yang umum digunanakan / banyak digunakan terbatas padaIjma, Qaul, (Pendapat) sahabat Qias, Istihsan, Istihshalah, dan Urf, disamping Al-Qur’an dan hadis.
a)
Ijma Ijma adalah persesuaian paham atau pendapat diantara para ulama mujtahidin pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Nabi Muhammad s.a.w untuk menentukan hukum suatu masalah yang belum ada ketentuan hukumnya.
b)
Qaul Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman pula. Oleh karena itu orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad tapi belum beriman bukan sahabat nabi.
c)
Qias Qias adalah perbandingan atau mempersamakan atau menerapkn hukum dari suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya terhadap suatu perkara yang lain yang belum ada ketentuan hukumnya oleh karena keduanya yang bersangkutan memiliki unsur – unsur kesamaan.
d)
Istihsan
Istihsan adalah memindahkan atau mengecualikan hukum dari suatu peristiwa dari hukum peristiwa lain yang sejenis dan memberika kepadanya hukum yang lain karena ada alasan yang kuat bagi pengecualian itu. e)
Istishlah Istishlah adalah penetapan hukum dari suatu perkara berdasar pada adanya kepentingan umum atau kemashlahatan umat
f)
Urf Secara umum Urf adalah kebiasaan umum yang berasal dari kebiasaan masyarakat Arab pra Islam yang diterima oleh Islam oleh karena tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuannya.
g)
Istishab Istishab adalah memahami atau membarengi apa yang telah terjadi di masa lalu.
D. Peranan Hukum Islam di Indonesia [7]Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang juga berlaku di Indonesia mempunyai kedudukan dan arti yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan pembangunan manusia seutuhnya yakni baik pembangunan dunia maupun pembangunan akhirat, dan baik dibidang materil, maupun dibidang mental-spiritual. Di dalam Al-Quran dan hais, ada beberapa ayat yang memberikan isyarat untuk melaksanakan pembangunan itu, antara lain : a.
Al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 148 yang artinya : Hendaklah kamu berlomba-lomba dalam kebaikan;
b.
Al-Quran, Surat Ar-Ra’du ayat 11 yang artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu umat kecuali dirinya sendirilah yang merubahnya.
c.
Al-Quran, Surat Al-Mujadah ayat 11 yang artinya : Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dari kamu sekalian dan begitu juga orang-orang yang berilmu pengetahuan.
d.
Hadis, riwayat Abu Na’im yang artinya :
Kekafiran dapat membawa seseorang kepada kekufuran e.
Hadis, riwayat Imam Buchary yang artinya : Seseungguhnya dirimu mempunyai hak atasmu, dan badanmu hak atasmu.
f.
Hadis, riwayat Abu zakir yang artinya : Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati pada hari esok. Dari beberapa ayat Al-Quran dan Hadis tersebut di tas, kita dapat maengetahui bahwa agama Islam menghendaki agar pembangunan itu dilaksanakan, baik pembangunan manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat, baik dalam bidang materil maupun dalam bidang mental spiritual.
E.
Berbagai Sistem Hukum Di Indonesia [8]Negara Republik Indonesia menganut berbagai sistem hukum yaitu sistem hukum adat, sistem hukum islam, dan sistem hukum eks Barat. Ketiga sistem dimaksud, berlaku di negara Republik Indonesa sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka ketiga sistem hukum dimaksud, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia. Didunia ini sekurang-kurangnya ada lima sistem hukum yang besar, yang hidup dan berkembang, yaitu :
1.
Sistem common law yang di anut di Ingggris dan bekas jajahannya yang saat ini pada umumnya, bergabung dalam negara persemakmuran.
2.
Sistem civil law yang berasal dari hukum Romawi, yang dianut di eropa barat kontinental dan dibawa kenegara jajahan atau bekas jajahannya oleh pemerintah Kolonial Barat dahulu.
3.
Sistem hukum adat di Negara Asia dan Afrika
4.
Sistem hukum islam yang dianut oleh orang islam dimana pun mereka berada, baik di negara islam maupun di negara lain yang penduduknya negara islam: di Afrika, Timur, di Timur Tengah dan Asia termasuk Indonesia.
5.
Sistem hukum komunis/sosialis yang dilaksanakan dinegara negara komunis / sosialis seperti Uni Soviet dan kroninya atau satelitnya.
Jika membicarakan sistem hukum Indonesia perlu mengetahui dan memahami bahwa sistem hukum yang dimaksud adalah yang berasaskan Pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman dan bintang pemandu terhadap UUD 1945, UU dan peraturan lainnya.
F.
Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia [9]Sejarah Indonesia yang diwarnai penjajahan Belanda mengenal sikap dan politik hukum penjajahan Belanda di Indonesia. Pada awalnya VOC menganut paham pernyataan hukum dalam masyarakat bahwa orang Islam menaati hukum islam, bagi orang islam berlaku hukum islam. Setelah 3 abad lebih berkuasa di Indonesia, Belanda ingin memantapkan penjajahannnya dan berusaha menjauhkan hukum islam dari masyarakat islam dengan menimbulkan dan menerapkan teorireceptie. Dalam perkembangan pengkajian hukum islam di Indonesia kita lihat ada teori-teori tentang berlakunya hukum islam di Indonesia. Tergambarkan ada 6 teori yaitu:
a.
Ajaran islam tentang penataan hukum.
b.
Teori penerima autoritas hukum. H.A.R. Gibb dalam bukunya, The modern Terns of Islam menyatakan bahwa kalau orang islam telah menerima islam sebagai agamanya maka ia menerima autoritas hukum islam terhadap dirinya.
c.
Teori receptie incomplectsu, teori yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat pribumi adalah hukum agamanya.
d.
Teori receptie, teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat jajahan (pribumi) adalah hukum adat. Hukum islam menjadi hukum kalau telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.
e.
Teori receptie exit, adalah teori receptie harus keluar dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 serta bertentangan dengan Alquran dan As Sunnah Rosul.
f.
Teori receptie a countrario menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya, hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum agama.
G. Perbandingan Antara Sistem Hukum Islam Dengan Sistem Hukum Lainnya 1.
Keadaannya [10]Ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia dimaksud, walaupun keadaan dan saat mulai berlakunya tidak sama baik pendekatan yuridis normatif maupun pendekatan yuridis empiris. Hukum adat telah lama berlaku di nusantara ini. Namun keberlakuannya tidak dapat diketahui secara pasti, melainkan dapat dikatakan bahwa, jika dibandingkan dengan kedua sistem hukum lainnya, hukum adat-lah yang tertua umurnya. Sebelum tahun 1927 keadaanya biasa saja, hidup dan berkembang dalam masyarakat indonesia. Hukum islam mulai dikenal oleh penduduk yang mendiami nusantara ini setelah agama islam disebarkan di Indonesia. Namun, belum ada kesepakatan para ahli sejarah Indonesia mengenai waktu mulainya masuk agama islam ke Indonesia. Ada yang berpendapat pada abad ke 1 H / 7M, islam baru masuk ke nusantara ini. Selain itu, ada yang berpendapat abad ke 13 M. Walaupun para ahli berbeda pendapat mengenai masuknya islam ke Indonesia. Namun dapat dikatakan bahwa setelah penduduk yang mendiami nusantara ini memeluk agama islam, hukum islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Hukum eksbarat adalah yang berasal dari hukum Romawi yang dianut orang Eropa Barat kontinental. Hukum dimaksud diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika berdagang di Indonesia. Hukum Barat itu, mula mula hanya di berlakukan kepada orang Belanda kepada orang Eropa saja, lambat laun melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan (pernyatraan berlaku, penundukan dengn sukarela, pemilihan hukum, dsb) hukum Barat itu dinyatakan berlaku juga bagi mereka yang disamakan dengan Eropa, orang Timur Asing (terutama orang Cina) dan orang Indonesia. Hukum adat dan hukum islam adalah hukum bagi orang-orang indonesia asli (bumi putra) dan mereka yang disamakan dengan penduduk bumi putra. Keadaan itu di atur oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu sejak tahun 1854-mereka meninggalkan nusantara ini pada tahun 1942.
2.
Bentuknya [11]Pada dasarnya hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis. Ia tumbuh dan berkembang dan / atau hilang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat. Pada zaman itu, sedang diadakan usaha-usaha untuk mengangkat hukum adat menjadi hukum perundang-undangan dan dengan begitu diusahakan memperoleh bentuk tertulis. Sebagai contoh Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. Namun, hukum adat yang telah menjadi hukum tertulis menjadi lain bentuknya dari hukum adat sebelumnya. Ia menjadi hukum dalam bentuk perundang-undangan. Hukum islam dalam bentuknya : a.
Hukum islam dalam hal tertentu dapat bermakna syariat islam
b.
Hukum islam dalam hal lain dapat bermakna fiqh yang biasa disebut hukum fiqh.
c.
Hukum islam dalam hal yang lain dapat bermakna tidak tertulis, dalam pengertian tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti halnya hukum adat. Hukum islam dalam pengertian syariah , fiqh dan tidak tertulis dipatuhi oleh sebagian besar umat islam Indonesia berdasarkan kesadaran dan keyakinan mereka bahwa hukum islam itu adalah hukum yang bersumber dari wahyu ilahi dan hadist Nabi Muhammad Saw sehingga wajib dijadikan pedoman oleh umat islam. Hukum eks Barat, yang dibandingkan dalam hal ini adalah aspek keperdataan, hukum tertulis dalam bahasa belanda di dalam perundang-undangan atau kitab UU seperti misalnya Burgeijk Wetbok (BW). Namun karena bahasa yang dipakai hukum tersebut telah menjadi rintangan bagi berlakunya hukum itu sebagai hukum yang tertulis dalam perundang-undangan aslinya, maka hukum eks Barat itu, kini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, misalnya BW dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 1. Alasan – Alasan dari pengajaran hukum islam di indonesia : 1. Alasan sosiologis, alasan berdasarkan kemasyarakatan 2. Alasan Historis, alasan berdasarkan sejarah 3. Alasan Yuridis, alasan berdasarkan hukum.. 2. Sumber hukum islam secara besar dapat pula dibagi menjadi: Sumber Hukum Ashliah yang didalamnya adalah Al-Qur’an dan Hadis/sunnnah dan sumber hukum Tarbaiyah yang mencakup Ijma, Qaul, Sahabat, Qias, Istishan, Muslahat-Muslahat, Urf, Syariat Umat Terdaulu dan Istishab. 3. Perkembangan/pertumbuhan hukum islam di Indonesia sejak mulai massuknya agama islam sampai menjadi salah satu sistem hukum yang banyak penganutnya, dapat dibagi tiga pembahasan. 1. Masa kedatangan Islam di Indonesia 2. Masa Pemerintahan Hindia Belanda 3. Masa sesudah kemerdekaan 4. Di dalam Al-Qur’an dan hadis ada beberapa ayat yang memberikan isyarat untuk melaksanakan pembangunan itu antara lain : 1. Al-Qur’an, Surah Al Baqarah ayat 148 yang artinya: hendaklah kamu berlomba – lomba dalam kebaikan. 2. Al-Qur’an, Surah Ar Ra’du ayat 11 yang artinya : sesungguhnya ALLAH tidak akan merubah nasib sesuatu umat kecuali dirinya sendiri yang merubahnya. 3. Al-Qur’an, Surah Al mudjadah ayat 11 yang artinya :Allah mengngkat derajat orang – orang yang beriman dari kamu sekalian dan begitu juga dengan orang yang berilmu pengetahuan.
4. Hadis Riwayat Abu Na’im yang artinya : kekafiran dapat membawa seorang kepada kekufuran.
DAFTAR PUSTAKA
Hamid, M. Arfin. 2011. Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan (Sebuah Pengantar dalam Memahami Realitasnya di Indonesia). Makassar: PT. UMITOHA. Ali, Zainuddim. 2006. Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Praja, Juhaya. 1991. Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. 1. Praja, Juhaya. 1991. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Peranan Hukum Islam di Indonesia, http://fhiqar.blogspot.co.id/2012/04/peranan-hukumislam-di-indonesia.html Hukum Islam di Indonesia, http://nartohukum.blogspot.co.id/2012/01/hukum-islam-diindonesia.html
[1]
[2] Hukum Islam di Indonesia, http://nartohukum.blogspot.co.id/2012/01/hukum-islam-diindonesia.html, diakses pada tanggal 15 Mei 2016 [3] Hukum Islam di Indonesia, http://nartohukum.blogspot.co.id/2012/01/hukum-islam-
di-indonesia.html, diakses pada tanggal 15 Mei 2016 [4] Hukum Islam di Indonesia http://nartohukum.blogspot.co.id/2012/01/hukum-islam-diindonesia.html, diakses pada tanggal 15 Mei 2016
[5] Hukum Islam di Indonesia http://nartohukum.blogspot.co.id/2012/01/hukum-islam-diindonesia.html, diakses pada tanggal 15 Mei 2016
[6] Hukum Islam di Indonesia http://nartohukum.blogspot.co.id/2012/01/hukum-islam-diindonesia.html, diakses pada tanggal 15 Mei 2016 [7]Peranan Hukum Islam di Indonesia, http://fhiqar.blogspot.co.id/2012/04/peranan-hukum-islamdi-indonesia.html, diakses pada tanggal 15 Mei 2016
[8]
[9] DR. Juhaya S. Praja, 1991, Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 100.
MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA PADA MASA KEMERDEKAAN SAMPAI SEKARANG
DosenPengampu:Ihyak,SHI,MHI DisusunOleh:Achmad Syarifudin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM YOGYAKARTA WONOSARI KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT.atas segala rahmat dan hidayahNya,sehigga makalah Sejarah Perkembangan Hukum Isalm di Indonesia Pada Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang dapat terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa pnyusun makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagi pihak yeng terkait secara langsung maupun tidak langsung.Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada. 1. Ihyak,SHI,MHI Dosen mata kuliah Sejarah Hukum Islam 2. Semua pihak yang terkaitdalam penulisan makalah ini Penyusun menyadari bahwa makalah ini bukanlah sebuah proses akhir dari segalanya,melainkan langkah awal yang masih memerlukan banyak koreksi,oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhirya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat kepada semua pihak pada umumnya dan pada penulis khususnya. Wassalamualaikum Wr.Wb Rongkop,2 April 2016 Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkandari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya denganmembicarakan Islam sebagai sebuah agama. Benarlah apa yang dikatakan olehJoseph Sacht, tidak mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam.Ini menunjukkan bahwa hukum sebagai sebuah institusi agama memilikikedudukan yang sangat signifikan. Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 Hijriah atau VII Masehi yangdibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Tidak berlebihan jika era ini adalah eradimana hukum Islam untuk pertama kalinya masuk ke wilayah Indonesia. Namunpenting untuk dicatat, seperti apa yang
dikatakan oleh Martin van Bruinesen,penekanan pada aspek fiqih sebenarnya adalah fenomena yang berkembangbelakangan. Pada masa-masa yang paling awal berkembangnya Islam di Indonesiapenekanannya tampak pada tasawuf. Kendati demikian hemaat penulis pernyataanini tidaklah berarti fiqih tidak penting mengingat tasawuf yang berkembang diIndonesia adalah tasawuf sunni yang menempatkan fiqih pada posisi yangsignifikan dalam struktur bangunan sunni tersebut. Beberapa ahli menyebut bahwa hukum Islam yang berkembang di Indonesia bercorak syafi‟iyyah. Ini ditunjukan dengan bukti-bukti sejarahdiantaranya, Sultan Malikul Zahir dari Samudra pasai adalah seorang ahli agamadan hukum Islam terkenal pada pertengahan abad ke XIV Masehi B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas, muncul beberapa pertanyaan, antara lainadalah: 1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia? 2. apakah teori berlakunya hukum islam di Indonesia?
C. Tujuan 1. Agar mampu memahami tentang perkembangan hukum islam pada masa kerajaan Islam di Indonesia. 2. Agar mampu memahami tentang perkembangan hukum islam pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. 3. Agar mampu memahami tentang perkembangan hukum islam pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
BAB II PEMBAHASAN A.PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM Hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasanwilayah Islam serta hubungannya denga budaya dan umat lain.Perkembangan itu tampak sekali pada awal periode empat khalifah pertamayang disebut al-Khulafaur Rasyidin ( 11-14 H). Pada zaman ini wahyu telahterhenti semantara berbagai peristiwa hukum bernunculan di sana- sinisehingga memerlukan penyelesaian hukum.Memasuki era kemapanan, fikih sangat diperlukan bukan semata-matauntuk mengatur ibadah saja, melainkan juga meliputi bidang-bidangkehidupan lainnya seperti hubungan antar negara, hukum ketatanegaraan danadministrasi pemerintahan, hukum pidana, dan peradilan. Terdorong olehkebutuhan akan aturan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakatitulah mulai dilakukan kodifikasi hadis yang disusul lahirnya ilmuilmu hadisdan ilmu-ilmu tafsir yang menjadi landasan utama bagi tumbuhnya ilmu fikihsehingga muncullah imam-imam mazhab besar. Itulah sebabnya Mc Donald menggambarkan hukum islam itu sebagai “ pengetahuan tentang semua hal,baik yang bersifat manusiawi maupun ketuhanan”. Kedudukan hukum Islammenjadi amat penting dan menentukan pandangan hidup serta tingkah lakupara pemeluk agama Islam, bahkan menjadi penentu utama pandanganhidupnya itu.Berikut ini dijelaskan tentang perkembangan hukum Islam di Indonesiadari masa kemerdekaan hingga sekarang.[1] 1. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945) Pada zaman kemerdekaan, hukum Islam melewati dua periode.Pertama, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif.Kedua, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoritatif.Sumber persuasif dalam hukum konstitusi ialah sumber hukum yang baru diterima orang apabila ia telah diyakini. Dalam konteks hukum Islam,piagam Jakarta sebagai slah satu hasil sidang BPUPKI merupakan sumberpersuasif dari UUD 1945 selama 14 tahun.[2] Hukum Islam baru menjadisumber autoritatif (sumber hukum yang telah mempunyai kekuatanhukum) dalam hukum tata negara ketika ditempatkannya Piagam Jakartadalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana dapat disimak dalam konsideran Dekrit tersebut berikut ini: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.” Kata “menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat aturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islambagi pemeluk-pemeluknya. Secara positif beraarti bahwa pemeluk Islamdiwajibkan menjalankan syariat Islam. Oleh karena itu harusdibuat UU yang akan memberlakukan hukum Islam dalam hukum nasional.Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalamanbaru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya,
seiringdengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perangyang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaanIndonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya.[3] Mereka mulai“menengok” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti DewanPenasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komiteyang terdiri dari 62orang ini, hanya 11 diantaranya yang mewakilikelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwaBPUPKI :“Bukan badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”. Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudianberakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta.Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.[4] Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yangmengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakanSyariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis PiagamJakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18Agustus 1945 oleh PPKI. Ada beberapa faktor berkenaan dengan masalah ini. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yangmenyampaikan keberatan golongan Kristen di IndonesiaTimur. Hattamengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatanlaut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol ShegetaNishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itumenyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yangmenyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perludipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorangtokoh Kristen dari Indonesia Timur BPUPKI.Pada periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar.Karena UmatIslam lainnya- telah menyetujui rumusankompromi itu saat sidang sendiri masih merasakan adanya suatu permainan politik, yangberpotensi besar pada ketentuan yang dicita-citakan umat Islam.. 2. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi HinggaKeluarnyaDekrit Presiden 5 Juli 1950Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan,Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembalimenduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belandaberhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudianmendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepungRepublik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apayang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27Desember 1949.Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yangmerupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagaikonstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam.
MukaddimahKonstitusi ini misalnya, sama sekali tidak menegaskan posisi hukum Islamsebagaimana rancangan UUD‟45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberalyang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan DeklarasiHAM versi PBB.Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisatiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur,salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut.[5] Akhirnya, pada tanggal 19 Mei1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, KonstitusiRIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan initidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasanposisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batangtubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannyasama dengan pasal29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yangmenunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluanguntuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islamsaat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan UmatIslam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undangbaru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUDSementara 1950 itu dengan undangundang yang bersifat tetap.Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk MajlisKonstituante pada akhir tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itukemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956.[6] Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis inidibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengankonstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD. Akan tetapi dalam tataran aplikasinya faktorpolitik penentu utama dalam hal ini.Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori olehKartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telahmemproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabungdengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnyasemakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelahdiproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, iapun
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat25.000 korban tewas itu.3.[7] Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde BaruMungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lamaadalah era kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di eraini perlu sedikit bersabar dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satupartai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harusdibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasantokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).Sementara NU yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarnobersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPRGotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalahtentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yangselama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebutmembuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimanamestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin suram. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya OrdeBaru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapanbesar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimanamestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yangsebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkandi awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujuiupaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumberhukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkanoleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU,yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan UmatIslam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancanganhukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UUNo.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badanperadilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengansendirinya hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukumyang berdiri sendiri.Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketikaUU No. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal inikemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikanhukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasilsaat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasilkompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada MenteriAgama.[8] 3. Hukum Islam Pada Masa Reformasi Hukum Islam di Era Reformasi Hingga SekarangSetelah lengsernya pemeritahan Suharto. Gemuruh demokrasi dankebebasan makin meningkat di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulaimenempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPRNo. III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan padakondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.[9] Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upayakongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang danperaturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Bukti nyataadalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Undang-undang Republik Indonesia No.3 Tahun 2006berkaitan dengan perubahan atas undang-undang No.7 tahun 1989.Sertabeberapa UU lainnya yang seperti sengketa bank syari`ah yang pada kaliini ditangani langsung oleh Pengadilan Agama itu sendiri.[10] B. TEORI TENTANG BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA Hukum Islam mulai memasuki Indonesia ketika Indonesia banyak di datangi oleh para pedagang yang datang dari berbagai daerah. Dalam proses berlakunya hukum Islam di Indonesia, terdapat beberapa teori yang mendampinginya, diantaranya : 1.Teori Kredo atau Syahadat Teori kredo atau syahadat ialah teori yang mengharuskanpelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai konsekuensi logis dari pengucapan kredonya.Teori ini sesungguhnya kelanjutan dari prinsip tauhid dalamfilsafat hukum Islam. Prinsip tauhid yang menghendaki setiap orang yangmenyatakan dirinya beriman kepada keMaha Esaan Allah swt., maka iaharus tunduk kepada apa yang diperintahkan Allah swt. Dalam hal ini taat kepada perintah Allah swt. dan sekaligus taat kepada Rasulullah saw. dansunnahnya. [11] Teori Kredo ini sama dengan teori otoritas hukum yang dijelaskanoleh H.A.R. Gibb (The Modern Trends in Islam, The University of Chicago Press, Chicago, Illionis, 1950). Gibb menyatakan bahwa orangIslam yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telahmenerima otoritas hukum Islam atas dirinya.Teori Gibb ini sama dengan apa yang telah diungkapkan oleh imam madzhab seperti Imam Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah ketika mereka menjelaskan teori mereka tentang Politik Hukum InternasionalIslam (Fiqh Siyasah Dauliyyah) dan Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah).Mereka mengenal teori teritorialitas dan non teritorialitas. Teori teritorialitas dari Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa seorang muslimterikat untuk melaksanakan hukum Islam sepanjang ia berada di wilayahhukum di mana hukum Islam diberlakukan. Sementara teori non teritorialitas dari Imam Syafi‟i menyatakan bahwa seorang muslim selamanya terikat untuk melaksanakan hukum Islam di mana pun iaberada, baik di wilayah hukum di mana hukum Islam diberlakukan,maupun di wilayah hukum di mana hukum Islam tidak diberlakukan.Sebagaimana diketahui bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut madzhab Syafi‟i sehingga berlakunya teori syahadat ini tidak dapat disangsikan lagi. Teori Kredo atau Syahadat ini berlaku diIndonesia sejak kedatangannya hingga kemudian lahir Teori Receptio inComplexu di zaman Belanda.[12] 2.Teori Receptio in Complexu
Teori receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi orang Islamberlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islamwalaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.Teori ini berlaku di Indonesia ketika teori ini diperkenalkan oleh Prof. Mr.Lodewijk Willem Christian van den Berg. Teori Receptio in Complexu initelah diberlakukan di zaman VOC sebagaimana terbukti dengan dibuatnya berbagai kimpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyeleaikanurusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayahkekuasaan VOC yang kemudian dikenal senagai Nederlandsch Indie.Hukum kekeluargaan Islam khususnya hukum perkawinan dan waris tetapdiakui oleh Belanda. Bahkan VOC mengakuinya dalam bentuk peraturanResolutie der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760 yang kemudianoleh Belanda diberi dasar hukum Regeering Reglemen (RR) tahun 1885.[13] 3.Teori Receptie Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi padadasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumikalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagaihukum adat. Teori ini diberi dasar hukum dalam undang-undang dasarhindia belanda yang menjadi pengganti RR, yaitu Wet op deStaatsinrichting van Nederlands Indie (IS). Teori Receptie dikemukakanoleh Prof. Christian Snouck Hurgronye dan kemudian dikembangkan olehvan Vollenhoven dan Ter Haar. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegangajaran Islam dan hukum Islam. . Jika mereka berpegang terhadap ajarandan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dandipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Ia pun khawatir hembusan Pan Islamisme yang ditiupkan oleh Jamaluddin Al-Afgani berpengaruh diIndonesia.Teori Receptie ini amat berpengaruh bagi perkembangan hukumIslam di Indonesia serta berkaitan erat dengan pemenggalan wilayahIndonesia ke dalam sembilan belas wilayah hukum adat. Teori Receptieberlaku hingga tiba di zaman kemerdekaan Indonesia.[14] 4.Teori Receptie Exit Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh Prof. Dr. Hazairin, S.H.Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah ProklamasiKemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikanUndang-Undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan perundangundangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan dengan jiwa UUD‟45. Dengan demikian,teori receptie itu harus exit aliaskeluar dari tata hukum Indonesia merdeka.Teori Receptie harus keluar dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD‟45 dan Pancasila serta bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah. Secara tegas UUD ‟45 menyatakan bahwa“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanyamasing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Demikiandinyatakan dalam pasal 29 (1) dan (2). 5.Teori Receptie A Contrario Teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti Thalib, S.H. dengan memperkenalkan Teori Receptie A Contrario. Teori Receptie A Contrario yang secara harfiahberarti lawan dari Teori Receptie menyatakan bahwa hukum adat berlakubagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agamaIslam dan hukum Islam.
Dengan demikian, dalam Teori Receptie AContrario, hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan denganhukum Islam. Teori ini sejiwa dengan teori para pakar hukum islam (fuqaha) tentang al „urf dan teori al-adah. Kalau Teori Receptie mendahulukan berlakunya hukum adatdaripada hukum Islam, maka Teori Receptie A Contrario sebaliknya.Dalam Teori Receptie, hukum Islam tidak dapat diberlakukan jikabertentangan dengan hukum adat. Teori Receptie A Contrariomendahulukan berlakunya hukum Islam daripada hukum adat, karenahukum adat baru dapat dilaksanakan jika tidak bertentangan denganhukum Islam.[15]
6.Teori Hukum Islam Teori penataan kepada hukum bagi orang Islam terkandung dalam sumber ajaran dan sumber hukum islam, yaitu: Alqur‟an dan Assunah[16]
BAB III KESIMPULAN Hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup,berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini.Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia, yang menurut sebagian kalangan, telah berlangsung sejak abad VIIatau VIII M. Sementara itu, hukum Barat baru diperkenalkan oleh VOC pada awalabad XVII M.Dengan demikian, di era reformasi ini hingga sekarang, terbuka peluangyang luas bagi sistem
hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum diIndonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkanpembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam,untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalamhukum Nasional kita.Dalam proses berlakunya hukum Islam di Indonesia, terdapat beberapa teori yang mendampinginya, diantaranya :1. Teori Kredo atau Syahadat (teori ajaran islam)2. Teori Receptio in Complexu atau Penerimaan Hukum Islam Sepenuhnya3. Teori Receptie atau Penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat4. Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Persuasif 5. Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Otoritatif 6. Teori penerimaan autoritas hukum
DAFTAR PUSTAKA Nuruddin, A. dan Tarigan, A.A., 2004,Hukum Perdata Islam di Indonesia, edisipertama. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Zein, S.E.M., 2001, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, edisipertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Sjadzali, M., Djatnika, R., Anshari, E.S., Suny, I., Ichtijanto, 1991, Hukum Islamdi Indonesia, Remaja Rosdakarya, Jakarta. Wahid, A., Siregar, B., Djazuli, A., Praja., J.S., Ali, M.D., Adam, M., Manan, B.,Abubakar A.Y., 1994, Hukum Islam di Indonesia, Remaja Rosdakarya, Jakarta.
[1] Sjadzali, M., Djatnika, R., Anshari, E.S., Suny, I., Ichtijanto, 1991, Hukum Islamdi
Indonesia, Remaja Rosdakarya, Jakarta. [2] Ibit hal 2
[3] Sjadzali,
M., Djatnika, R., Anshari, E.S., Suny, I., Ichtijanto, 1991, Hukum Islamdi Indonesia, Remaja Rosdakarya, Jakarta. [4] Ibit hal.6
[5] Wahid, A., Siregar, B., Djazuli, A., Praja., J.S., Ali, M.D., Adam, M., Manan, B.,Abubakar
A.Y., 1994, Hukum Islam di Indonesia, Remaja Rosdakarya, Jakarta.hal.9 [6] Nuruddin, A. dan Tarigan, A.A., 2004,Hukum Perdata Islam di Indonesia, edisipertama, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.hal.12 [7] Wahid, A., Siregar, B., Djazuli, A., Praja., J.S., Ali, M.D., Adam, M., Manan, B.,Abubakar A.Y., 1994, Hukum Islam di Indonesia, Remaja Rosdakarya, Jakarta.hal.12 [8] Nuruddin, A. dan Tarigan, A.A., 2004.Hukum Perdata Islam di Indonesia edisipertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.hal.20 [9] Zein, S.E.M., 2001, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, edisipertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.hal.23 [10] Ibid hal.25 [11] Sjadzali, M.,
Djatnika, R., Anshari, E.S., Suny, I., Ichtijanto, 1991, Hukum Islamdi Indonesia, Remaja Rosdakarya, Jakarta.hal.30 [12] Ibid hal.34 [13] Ibid hal.36 [14] Ibid hal.37 [15] Ibid hal 37-40 [16] Ibid hal.41
MAKALAH SEJARAH HUKUM ISLAM
sejarah hukum islam (Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mandiri Pada Mata Kuliah Tarikh Tasyri’) DOSEN PENGAMPU : ABDUL SYAHID
OLEH IZA ZUZANA Nim : 12091106302 MAHASISWA SEMESTER V/B PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN T.A 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam adalah ajaran yang menyeluruh dan terperlu, ia mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik dalam urusan-urusan keduniaan maupun yang menyangkut hal-hal keakhiratan. Pendidikan hal yang tidak terpisahkan dari ajaran islam, ia merupakan bagian terpadu dari ajaran Islam. Sejarah pendidikan islam telah menunjukkan kepada kita bahwa sejak perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat muslim Indonesia. Di samping besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati masih dalam sistem yang sederhana, di mana pengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat ibadah semacam mesjid, mushallah bahkan juga di rumah ulama. Perkembangan pendidikan memotivasi dan mendorong para cendekiawan muslim (ulama) untuk membentuk lembaga organisasi keagamaan demi menyelamatkan umat dari ketertindasan dan kebodohan serta mengantar umat islam ke arah yang lebih layak dengan tatanan nilai-nilai hukum Islam. B. Rumusan Masalah 1. Sejarah hukum Islam pada zaman kerajaan 2. Sejarah hukum Islam pada zaman VOC 3. Sejarah hukum Islam pada zaman penjajahan 4. Sejarah hukum Islam pada zaman kemerdekaan C. Tujuan 1. Mengetahui sejarah hukum Islam pada zaman kerajaan 2. Mengetahui sejarah hukum Islam pada zaman VOC 3. Mengetahui Sejarah hukum Islam pada zaman penjajahan 4. Mengetahui sejarah hukum Islam pada zaman kemerdekaan
BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah hukum Islam pada zaman kerajaan Perkembangan hukum islam Indonesia sebeluma abad ke 20 M, memang dalam wacana Syafi’iyah, hal ini terjadi karena proses islamisasi di Indonesia sejak abad 12 dan 13 merupakan saat saat dimana perkembangan hukum islam berada pada masa krisis dengan penutupan pintu ijtihad sebagai titik terendahnya,walaupun pada fase berikutnya banyak tokoh yang menggugat hal tersebut. Namun pada awal abad ke 20 muncul gerakan pembaharuan islam. Pemikiran hukum islam di Indonesia dapat terlihat mulai Abad ke 17 M., Pemikiran ini berada dalam keseimbangan baru tasawuf-fiqh, dan wacana syafi’yah, hal ini terjadi karena pemikiran hukum merupakan perwujudan dari gerakan pemikiran tasawuf yang telah dahulu ada dan akibat langsung dari keberadaan mazhab syafi’i yang dianut oleh penyebar islam pertama di Nusantara abad ke 12 dan 13 M. dua karakteristik espimologi inilah yang menjadi langgam yang menonjol bagi gerakan pemikiran hukum islam di Indonesia ketika itu. Tidak adanya karya yang dibilang original dan otentik yang terlahir daripara pemikir disebabkan oleh situasi yang kurang menguntungkan dari proses, waktu dan karakter islam pertama tersebut. 1. Abad ke 17 M. Sesuai dengan kebijakan Sultan Iskandar Muda Mahlota Alam Syah dan Sultan sesudahnya sangat antusias menndatangkan Ulama untuk usaha dakwahnya pada abad ke 17. Menurut catatan Qurais Shihab, setidaknya terdapat empat ulama besar yang berhasil memperkaya pemikiran keislaman di Indonesia mereka adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin asSumatranii, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf as-Sinkili.
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani adalah dua orang murid dan guru yang merupakan pelopor tasawuf Panteisme. Mereka cukup kuat pengaruhnya lewat karya tulisnya baik dalam bahasa arab maupun bahasa melayu. Dibawah pengaruh dan dominasi intelektual assumatrani sebagai mufti dan penasehat sultan, aliran panteisme tumbuh dan berkembang pesat. Namun dengan meninggalnya as-sumatrani dan juga sultan maka berakhirlah tasawuf panteisme (falsafati).
Nuruddin ar-Raniri Seiring dengan naiknya Sultan iskandar II sebagai penguasa, Nuruddin ar-Raniri yang telah menjalin hubungan baik dengan sultan akhirnya diangkat menjadi mufti kerajaan, usaha pertama yang dilakukan adalah melancarkan kampanye pemberantasan terhadap apa yang disebut tasawuf
wujudi. Melalui berbagai sarana baik melalui tulisan maupun diskusi ilmiah, ar-raniri mencoba berdebat dengan pengikut Hamzah Fansuri dan as-sumatrani. Dari sini kemudian ia mengeluarkan fatwa akan sesatnya paham panteisme, para pengikutnya murtad dan apabila tidak segera bertaubat maka menurut hukum, mereka halal di perangi. Fatwa yang dikeluarkan oleh arRaniri ini memiliki implikasi yang luar biasa dahsyatnya karya-karya Fansuri dan as-Sumatrani di bakar dan para pengikutnya dikejar-kejar dan dibunuh, termasuk saudara sultan sendiri. Ar-Raniri sendiri sebenarnya lebih dikenal sebagai ahli tasawuf daripada ahli fiqh. Karyanya kurang lebih berjumlah 30 buku terutama menyangkut polemiknya dengan paham panteisme. Disamping itu iya juga dikenal sebagai penganut tarekat Qadariyah, Rifa’iyah dan alaudarusiyah. Keadaan ini menjadikan pemikiran hukum islamnya bernuansa sufistik dan pemikiran tasawufnya bernuansa fiqh. Dalam konteks demikian maka dapat di baca bahwa kritik-kritik tajamnya terhadap paham panteisme adalah semata mata diorientasikan untuk mengharmoniskan antara dimensi syariah dan tasawuf dalam ajaran agama.
Karya terbesar ar-Raniri adalah buku yang berjudul Shirath al-Mustaqim yang ditulis pada tahun 1634 M dan selesai pada 1644 M, terdapat beberapa pemikiran hukum yang menunjukkan adanya: tidak syahnya shalat seseorang jika menjadi makmum penganut paham panteisme, istinja harus menggunakan barang secara jelas tidak di larang oleh syara.’ Abdurrauf as-Sinkili Abdurrauf as-Sinkili adalah seorang ulama yang berpikir meoderat, kompromis dan akomodatif. Petualangannya yang cukup lama di timur tengah (menetap di tanah Haramain selama 9 Tahun) telah membentuk karakter yang membedakan dirinya dengan ar-Raniri di antara 22 karyanya yang ditulis dalam bahasa arab dan melayu, terdapat sebuah karya penting dalam bidang hukum islam yaitu: Mir’at ath-Thullab Fi Tasyi al-Ma’rifah al-Ahkam asy-Syar’yah li al-Malik yang merupakan karya yang lahir atas permintaan sultan perempuan Aceh, Sayyidat ad-Din. Sikap moderat as-Sinkili ternyata membuatnya gagap ketika harus menjawab pertanyaan tentang status hukum perempuan yang menjadi penguasa. Terlepas dari sikap moderat dan akomodatif yang dimilikinya, kenyataan ini mengundang kontroversi dan kritik tajam dari para pengamat. Azyumardi Azra misalnya, menuduh as-Singkili telah mengorbankan integritas intelektualnya, bukan hanya karena iya menerima perintah dari seorang wanita, melainkan karena hal itu ternyata tidak memecahkan masalah secara iqrar. Walaupun as-Sinkili juga tidak bisa keluar dari asas epistemology tasawuf sehingga ajarannya masuk katagori neosufisme, namun pemikiran hukumnya tampak fleksibel, partisipatoris dan jauh dari sifat konfrontatif.
2. Abad ke 18 M. Memasuki abad ke 18 M, tokoh tokoh yang cukup terkenal adalah:
Muhammad Arsyad al-Banjari Dengan karyanya yang terkenal adalah Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh fi Amr ad-Din. Karya ini merupakan anotasi dari kitab Shirath al-Mustaqim karya ar-Raniri. Kedudukannya sebgai kitab anotasi (syarah), merupakan satu phenomena tersendiri yang cukup menarik dicermati, bukan karena anotasinya banyak yang berbeda dengan kitab pertama tetapi didalamnya juga terdapat beberapa pemikiran yang futuristic, spekulatif dan dalam batas tertentu tidak berangkat dari realitas masyarakat banjar. Kitab Sabil al-Muhtadin di tulisnya pada tahun 1779 – 1781 M, tepatnya ketika kesultanan Banjar diperintah oleh Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah. sebagai tokoh yang bukan saja ahli dalam memberikan fatwa hukum yang humanis, beliau juga seorang pakar ilmu falak. Al-Banjari telah memperbaiki beberapa arah kiblat masjid, diantaranya adalah
3.
masjid Jembatan Lima Jakarta, yang ia lakukan saat pulang dari mekkah dan singgah di Batavia pada tahun 1773 M. Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh meninggalkan risalah kecil pemikiran hukum yaituKasyf al-Kiram fi bayan an-Nihayat fi Takbirat al-ihram, Faraid al-Qur’an dan Takhsish al-Fallah fi Bayan Ahkam ath-Thalaq wa an Nikah. Secara umum dapat kita sarikan bahwa dinamika pemikiran hukum islam yang terjadi abad ke 17 dan 18 M disamping bernuansa sufistik, suasana dakwah agama turut mempengaruhi corak pemikiran hukum islam di Indonesia. Abad ke 19 M. Pada abad ke 19 M, Indonesia banyak melahirkan pemikir yang diantarnya mempunyai reputasi dunia, diantanya:
Ahmad Rifa’i Kalisahak Ahmad Rifa’I Kalisahak seorang ulama besar yang pernah tinggal di mekkah sekitar delapan tahun dan sekaligus pencetus gerakan rifa’iyah adalah Ahmad rifa’I Kalisahak (1786-1876 M). Beliau adalah seorang tokoh yang tidak saja mumpuni di bidang keilmuan islam, akan tetapi juga produktif dalam menuliskan gagasan-gagasannya tentang berbagai persoalan keislaman, karyanya berjumalh 53 judul, menjangkau hamper semua persoalan agama mulai dari akidah, syari’ah hingga tasawuf. Diantara karyanya dalam bidang hukum islam adalah Tarjuman, Tasyrihat al-Muhtaj, Nazham at Tasfiyah, Ahyan al-Hawaij, Asnhaf al-Miqshad dan Tabyin alIslah. Pemikiran hukum islam Ahmad Rifai mempunyai karakter yang tidak jauh berbeda dengan para pemikir sebelumnya, yakni sekedar menyelaraskan doktrin aturan hukum islam yang tertuang dalam fiqh mazhab Syafi’I dengan realitas kehidupan saat itu. Pola yang digunakan adalah merekontruksikan doktrin yang ada dalam kitab fiqh mazhab Syafi’I dan membahasakannya dengan bahasa daerah Jawa dan melayu. Nawawi al-Bantani cukup produktif menulis yang lahir di Serang Banten pada tahu 1813 M dan meninggal pada tahun 1898. Salah satu karyana Beliau seorang ulama yang yang terpenting adalah kitab Uqud al-Lujain. Muhammad Ibn ‘Umar Yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai Saleh Darat Semarang seorang Ulama besar yang pernah bermukim di mekkah, komitmen dan kepeduliannya sangat tinggi terhadap problematika keadaan masyarakat awam diantara 12 karyanya terdapat sebuah kitab yang menggambarkan komitmen keagamaannya yakni kitab yang berjudul Majmu at-Syariat al-Kafiyah li al-Awam. Kitab Jawa-Arab Pegon ini membicarakan hal kontekstual masalah hukum. Dengan mencermati berbagai pemikir abad ke 17 – 19 M, bisa dikatakan tidak ada gelombang pemikiran dan tawaran konsep besar yang telah di hasilkan para pemikir tersebut. Secara metodelogis, mereka bahkan menegaskan pentingnya berpegang pada mazhab hukum yang telah ada, yang dalam tatataran tertentu bisa di nilai telah mematikan proses kerativitas seseorang dalam menetapkan hukum.
B. Sejarah hukum Islam pada zaman VOC
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi”yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu : - Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam. - Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. - Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam. Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut : Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembagalembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
Pengadilan agama dengan segala kekurangan dan kesederhanaan ada sesuatu yang tidak dapat dipungkiri yaitu berlakunya hukum Islam di Indonesia. Menurut Doktrin hukum hanya akan berlaku apabila ditopang oleh tiga pilar yaitu aparat hukum yang handal, peraturan hukum yang jelas, kesadaran hukum masyarakat yang tinggi, dengan tingginya kesadaran hukum masyarakat ketika itu walaupun dengan agak tersendat, mereka berhasil memancangkan tonggak sejarah. Sejarah hukum pada zaman Hindia Belanda mengenai kedudukan hukum Islam dapat di bagi atas dua periode : pertama, penerimaan hukum Islam, yaitu periode berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam. Apa yang telah berlaku sejak adanya kerajaan Islam di nusantara hingga zaman VOC, hukum kekeluargaan tetap di akui oleh Belanda. Kedua, periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat, teori ini menjadi hukum dasar dalam undang-undang dasar Hindia Belanda, oleh karena itu pada tahun 1929 hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Belanda ingin menguatkan kekuasaannya di bumi Indonesia serta berusaha menjauhkan hukum Islam dari masyarakat Islam dengan dasar tersebut. Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VOC yang merupakan perserikatan dagang Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham. Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara. VOC terdiri 6 Bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk Zeeland), Enkhuizen, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini berkumpul sebagai Heeren XVII (XVII Tuan-Tuan). Kamers menyumbangkan delegasi ke dalam tujuh belas sesuai dengan proporsi modal yang mereka bayarkan delegasi Amsterdam berjumlah delapan. Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk: 1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda; 2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan 3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa. Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu. Di Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni. Istilah ini diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda. Kedudukan VOC pada waktu itu : 1. Sebagai pengusaha perniagaan 2. Sebagai penguasa pemerintahan
guna menjaga kepeningan VOC di india belanda, tahun 1609 staten general (perwakilan rakyat), belanda memberikan kuasa kepada pengurus VOC untuk membentuk sendiri. Adapun hukum yang ditetapkan pada waktu itu adalah adalah hukum VOC yang terdiri dari unsur-unsur : - hukum romawi - asas-asa hukum belanda kuno - statuta betawi Statuta Betawi dibuat oleh Gubernur Jenderal Van Diemen yang berisikan kumpulan plakatpalakat dan pengumuman yang dikodifikasikan. Menurut Van Vollenhoven : Kebijakan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut disebutnya “Cara mempersatukan hukum yang sederhana” Dalam praktek/kenyataannya, peraturan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut tidak dapat dijalankan,sebab: 1. Ada hukum yang berlaku di dalam pusat pemerintahan VOC, yaitu dalam kota Betawi/Batavia. 2. Ada hukum yang berlaku di luar pusat pemerintahan VOC, yaitu di luar kota Betawi/Jakarta. Menurut Utrecht : Hukum yang berlaku untuk penduduk asli adalah hukum adat. kecuali untuk daerah Betawi/Jakarta Sebab 1.kesulitan sarana transportasi waktu itu. 2.kurangnya alat pemerintah. Sebagai jalan keluarnya, maka dikeluarkan resolutie 21-12-1708 Sebagian Priangan (barat, tengah dan timur) diadili oleh Bupati dengan ombol-ombolnya dalam perkaraperdata dan pidana menurut hukum adat. Perhatian terhadap hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada beberapa tulisan-tulisan baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan, diantaranya : 1. Confendium (karangan singkat) dari D.W. Freijer Memuat tentang peraturan hukum Islam mengenai waris, nikah dan talak. 2. Pepakem Cirebon. Dibuat oleh Mr. P.C. Hasselar (residen Cirebon). Membuat suatu kitab hukum yang bernama “pepakem Cirebon” yang diterbitkan oleh Hazeu. Isinya merupakan kumpulan dari hukum adat Jawa yang bersumber dari kitab kuno antara lain : UU Mataram, Kutaramanawa, Jaya Lengkaran, dan lain-lain. Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang hakim yang dikehendaki oleh hukum adat : a. Candra : bulan yang menyinari segala tempat yang gelap b. Tirta : air yang membersihkan segala tempat yang kotor c. Cakra : dewa yang mengawasi berlakunya keadaan Sari : bunga yang harum baunya
Penilaian VOC terhadap hukum adat : 1.Hukum adat identik dengan hukum agama 2. Hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum. 3.Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan) 4. Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa. Berikut ini para Pejuang Penentang VOC pada masa Kerajaan Islam : 1. Sultan Agung Dari kerajaan Mataram, berjuang melawan VOC dengan me-lakukan serbuan ke Batavia sampai dua kali, tahun 1628 dan 1629. 2. Hitu Kakiali Dari Ambonia, bdrjuang melawan Belanda sejak tahun 1635. Beliau tewas dalam pertempuran yang berlangsung tahun 1637 – 1638. 3. Telukabesi Dari Ambonia, yang meneruskan perjuangan Hitukakiali hingga tahun 1646. 4. Saidi Dari Ternate, yang berjuang melawan VOC selama enam tahun sejak tahun 1650. Akhirnya beliau tertangkap dan dihukum mati. 5. Pangeran Wijayakrama Dari Jakarta, yang melawan VOC pada masa dipegang oleh JP. Coen. Pangeran Wijayakrama kalah sehingga Jakarta di- ubah namanya oleh JP. Coen menjadi Batavia tahun 1619. 6. Sultan Hasanuddin Dari Makasar, berjuang melawan VOC tahun 1667 — 1669. Akhirnya beliau kalah dan terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya. 7. Trunajaya Bangsawan dari Madura yang berhasil menguasai Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah yang menjadi wilayah Sunan Amangkurat II dari Mataram. Beliau mengadakan perlawanan terhadap VOC dari tahun 1674 – 1679. 8. Sultan Ageng Tirtayasa Dari Banten, yang berjuang melawan VOC pada tahun 1682 – 1683. Akhirnya beliau tertangkap dan wafat tahun 1692. 9. Untung Surapati Berasal dari Bali dan menjadi militer Kompeni hingga men-dapat pangkat letnan. Perlawanannya terhadap VOC sam- pai ke Kartasura dan akhirnya membentuk pemerintahan kecil di Pasuruan. Beliau berjuang mulai tahun 1685 hingga gugur di Bangil tahun 1706.
10. Mangkubumi Dari Mataram, yang kemudian beliau bergelar Hamengkubua- na I setelah menjadi sultan di Yogyakarta. Perlawanannya terhadap Belanda dari tahun 1749 — 1757. 11. Sultan Nuku Dari Tidore, berjuang melawam Belanda hingga dapat merebut kerajaan Tidore tahun 1779. Beliau adalah putera Sultan Jamaluddin dari Tidore. 12. Pattimura Dari Saparua, yang berjuang melawan Pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1817 bersamasama dengan Christina Martha Tiahahu. Akhirnya beliau tertangkap dan dihukum mati di benteng Victoria. 13. Sultan Badaruddin Dari Palembang, yang berjuang bersama-sama dengan adiknya yang bernama Nazamuddin melawan Belanda sejak tahun 1811 – 1825. 14. Pangeran Diponegoro Beliau adalah seorang pangeran dari Kerajaan Mataram. Ke-benciannya terhadap Belanda mengakibatkan meletusnya Pe- rang Diponegoro dari tahun 1825 – 1830. Karena kelicikan Belanda akhirnya beliau ditangkap dan dibuang ke Menado lalu dipindahkan ke Makasar sampai wafat 18 Januari 1855. 15. lmam Bonjol Dari Bonjol, Sumatera barat. Beliau berjuang melawan Belanda hingga berkobar Perang Padri tahun 1821 – 1837. 16. Teuku Umar Beliau adalah pejuang dari Aceh yang meneruskan perjuangan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda. Bersama- sama dengan Tengku Cik di Tiro, Panglima Polim, Cut Nya’ Din (isteri Teuku Umar) dan Cut Mutia, Teuku Umar terus berjuang mengobarkan perang Aceh dari tahun 1873 1904. 17. Pangeran Antasari Dari Banjarmasin, yang berjuang melawan Belanda mulai tahun 1859. Pada bulan Oktober 1862 beliau wafat di Hulu Ta- weh. Namun perlawanan terhadap Belanda terus berjalan sampai tahun 1865. 18. Si Singamangaraja Dari Tapanuli, yang berjuang melawan Belanda dari tahun 1878 i 1907. Akhirnya beliau gugur dalam pertempuran di Pakpak dan dimakamkan di Taruntung. C. Sejarah hukum Islam pada zaman penjajahan
Pada masa penjajahan ini dibagi menjadi 2 masa, yakni masa penjajahan Belanda dan masa penjajahan Jepang. 1. Masa penjajahan Belanda. a. Rekayasa Kolonial tentang Berlakunya Hukum Islam di Indonesia. Dengan bubarnya VOC pada pergantian abad ke-18, kekuasaan Indonesia secara resmi dipindahkan ke tangan pemerintah kolonial Belanda. Sejak pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah. Sikap yang semula toleran terhadap hukum Islam bagi pribumi, secara-berangsur-angsur mulai dibatasi. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Belanda karena mereka khawatir hukum Islam ini akan membentuk kekuatan tersendiri antara kaum pribumi yang akhirnya kekuatan itu dipakai untuk mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mulai membentuk berbagai peraturan dengan tujuan untuk menghilangkan hukum Islam yang berlaku di kalangan masyarakat. Untuk membatasi ruang gerak ulama dalam mengembangkan hukum Islam, dikeluarkan Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 No.78 yang menugaskan Gubernur Jenderal untuk mencampuri masalah agama. Bahkan harus mengawasi gerak gerik para ulama bila dipangdang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan. Pemerintah Belanda juga mengeluarkan ordinasi yang mengatur masalah ibadah haji lebih ketat dari sebelumnya. Hal ini diduga karena kekhawatiran pemerintah Belanda akan timbulnya pemberontakan. Bersamaan dengan berlakunya ordinasi tersebut, pemrintah Belanda juga tengah gencar-gencarnya melakukan kristenisasi, dengan tujuan agar para penduduk pribumi akan menjadi loyal terhadap pemerintahan Belanda. Namun, hal tersebut tidak berjalan dengan lancar. Yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat pribumi menjadi semakin bertambah tingkat ketaatannya terhadap hukum Islam. Sejak tahun 1820 di dunia peradilan pemerintah Belanda sudah ikut campur tangan. Dalam instruksi bupati-bupati pada pasal 13, antara lain disebutkan bahwa perselisihan mengenai pembagian waris di kalangan rakyat hendaknya diserahkan pada para alim ulama Islam. Dalam Stbl 1835 No. 58 ditegaskan tentang wewenang peradilan agama di Jawa dan Madura yang isinya perselisihan di antara orang Jawa dan Madura tentang p `erkara perkawinanan dan pembagian harta benda dan sebagainya yang harus diputuskan menurut syariat Islam harus diselesaikan oleh ahli hukum Islam. Akan tetapi, segala persengketaan tersebut harus dibawa ke pengadilan biasa. Pengadilan itulah yang akan menyelesaikan perkara itu dengan mengingat putusan ahli agama dan supaya putusan itu dijalankan. Waktu itu, peradilan agama belum terbentuk sebagai lembaga institusi, melainkan masih bersifat perorangan, ketika para hakim dipegang oleh penghulu/ahli agama. Peradilan agama menjadi suatu institusi setelah diputuskan oleh raja Belanda No. 24 tertanggal 19 Januari 1882 yang dimuat dalam Stbl 1882 No. 152, tentang pembentukan peradilan agama di Jawa dan Madura. 1. Pengaruh Politik Islam Snouck Hurgronje Terhadap perkembangan Hukum Islam di Tanah Air. Kedatangan Cristan Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan hukum Islam pada masa-masa berikutnya. Dia juga membuat tesis yang dikenal dengan teori Receptie yang berisi bahwa hukum yang berlaku di kedua daerah itu yakni hukum adat, bukan hukum Islaam. Dalam hukum adat itu memang telah masuk pengaruh hukum Islam.
Di samping menggencarkan teori Receptienya, Snouck juga menerapkan sikap politik Islmnya yang mempersempit peluang bagi orang Islam untuk bangkit menyingkirkan penjajah. Sikap politik itu sebagai berikut: i. Dalam bidang ibadah, pemerintah Hindia Belanda memberikan kebebasan kepada orang Islam Indonesia untuk meakukannya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah. ii. Dalam urusan mu’amalah, pemerintah Hinida Belanda harus menghormati lembaga-lembaga yang telah ada sambil memberikan kesempatan kepada orang-orang Islam beralih ke lembagalembaga Belanda secara berangsur-angsur. iii. Dalam bidang politik, pemerintah Hindia Belanda tidak member peluang kepada orang-orang Islam untuk melakukan gerakan Islam. Kebijaksanaan berikutnya, pendidikan Islam di sekolah-sekolah diawasi dengan ketat, karena pemberontakan para petani di Banten ditengarai sebagai gerakanyang dimotori oleh para haji dan guru agama. Akhirnya terjadilah pemburuan terhadap guru agama di Pulau Jawa. Kebijaksanaan pemerintah Belanda di bidang hukum Islam selalu diarahkan pada upaya pelumpuhan dan penghambatan bagi pelaksanaan hukum Islam di Indonesia antara lain: 1. Tidak memasukkan masalah hudud dan qishas dalam lapangan hukum pidana. 2. Ajaran Islam yang menyangkut hukum tata Negara tidak boleh diajarkan. 3. Mempersempit hukum Mu’amalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Khusus hukum kewarisan diusahakan tidak berlaku. Namun, meskipun hal tersebut diberlakukan oleh pemerintah Belanda akan tetapi masyarakat tetap berbondong-bondong membawa perkaranya kepada keadilan beragama sehingga keberadaan peradilan agama tersebut tetap terjamin. Begitu juga dengan masalah waris, meskipun secara resmi pengadilan agama sudah kehilangan wewenangnya sejak tahun 1937. Mengingat putusan masalah waris ini tidak berada di dalam kewenangan pengadilan agama, maka jalan keluar yang ditempuh yakni memajukan fatrwa tersebut ke pengadilan negeri untuk mendapatkan pengukuhan sebagai suatu akta perdamaian. Pelaksana fatwa waris di dalam masyarakat berjalan cukup efektif. 1. Gerakan Pembaru Islam Karena penjajahan Belanda tersebut akhirnya muncullah kelompok-kelompok masyarakat Islam yang berjuang untuk menegakkan hukum Islam dan juga unutk merebut kembali kemerdekaan Indonesia. Dalam bidang sosial, muncullah gerakan-gerakan sosial dengan tujuan utama untukmenegakkan hukum Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Di antara gerakan sosial pembaru Islam adalah sebagai berikut: a.
Sekolah Adabiyah
b. Jami’at Al-Khair c.
Al-Irsyad
d. Muhammadiyah e.
Persatuan Islam (Persis)
f.
Nahdlatul Ulama.
Gerakan pembaru Islam bukan hanya dibidang sosial, namun juga ada gerakan politik yang memiliki tujuan utama disamping untuk menegakkan hukum Islam, tetapi juga merebut kembali kemerdekaan bangsa Indonesia yang sudah direbut oleh para penjajah (Belanda). Berikut ini adalah beberapa gerakan pembaru Islam di bidang politik antara lain: 1. 2. 3. 4.
Serikat Islam Persatuan Muslimin Indonesia Partai Islam Indonesia Majelis Islam A’la Indonesia 2. Masa penjajahan Jepang. Pada tahun 1942 Belanda meninggalkan bumi Indonesia sebagai akibat dari pecahnya perang pasifik. Kedatangan Jepang mula-mula disambut dengan senang hati dan penuh harapan oleh bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar umat Islam. Sebagai aggressor, baik Belanda maupun Jepang sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin mengeksploitasi umat Islam sebagai penduduk mayoritas untuk mempercepat maksud mereka menguasai bumi nusantara ini. Akan tetapi, keduanya memiliki kebijakan yang berbeda, terutama dalam menghadapi hukum Islam dan para pelaku hukum Islam. Berbeda dengan kebijakan Belanda yang tidak memberi peluang terhadap orang-orang Islam untuk bergerak dalam bidang politik, hukum, dan peradilan dengan berbagai peraturan yang telah dibuat. Kebijakan Jepang yang ditempuh adalah dengan merangkul pemimpin Islam untuk diajak bekerjasama. Karena itu, para pemimpin Islam banyak yang dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintah dan latihan-latihan militer. Hal itu sangat menguntungkan umat Islam dan bangsa Indonesia. Kebijakan Jepang yang lain adalah mengakui kembali organisasi-organisasi Islam yang sebelumnya dibekukan. Kebijakan Jepang untuk merestui dan mengesahkan berdirinya berbagai organisasi Islam ini memiliki tujuan politik untuk kepentingan jajahannya. Namun, di sisi lain hal ini adalah peluang bagi organisasi-organisasi Islam untuk menyebarkan hukum Islam kepada para anggotanya. Yang pada akhirnya terbentuklah pengajian-pengajian baik di langgar, masjid, maupun lapangan yang biasanya mendatangkan para kiai terkenal. Kemudian pada masa menjelang kemerdekaan, Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia) untung menyusun UUD Negara, para pemimpin Islam menuntut agar ditegaskan bahwa Negara yang akan dibentuk harus mendukung kedudukan (hukum) Islam. Namun tuntutan ini ditolak, akhirnya disetujui rumusan kompromi yang dituangkan dalam Piagam Jakarta. Dalam piagam Jakarta, wakil dari golongan Islam yang hanya terdiri dari 20% dari keseluruhan anggota BPUPKI setidaknya berhasil member tambahan rumusan sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun dalam pembentukan PPKI (Panitia Pesiapan Kemerdekaan Indonesia) rumusan sila tersebut gagal dipertahankan yang akhirnya berganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, golongan Islam menganggap kata tersebut sebagai nama lain dari Tauhid menurut Islam.
D. Sejarah hukum Islam pada zaman kemerdekaan
Perjuangan umat Islam yang amat panjang dan penuh pengorbanan akhirya telah berhasil membentuk suatu Negara yang merdeka. Tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB, bertempat di jalan Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta, kemerdekaan Replubik Indonesia diproklamasikan. Dari rangkaian sejarah perjuangan umat Islam, baik yang dilakukan secara individu maupun melalui organisasi sosial politik, karena peranan umat Islam sangat besar dalam mewujudkan kemerdekaan. Karena itu para pemimpin Islam yang ada di lembaga perwakilan menginginkan agar Negara merdeka yang telah terbentuk memberikan tempat yang terhormat bagi berlakunya hukum islam. Namun, kelompok umat Islam waktu itu tidak berhasil mewujudkan keinginannya, bahkan dapat dikatakan mengalami suatu kekalahan. Kekalahan kelompok umat Islam dalam percaturan politik, khususnya dalam penentuan dasar Negara, tidak membuat kelompok umat Islam kecil hati dan putus asa untuk memperjuangkan tegaknya hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia. Melalui berbagai kesempatan, meskipun kadang kala mengalami suasana ketegangan (konflik), kelompok umat Islam selalu berupaya agar asas-asas Islam tetap menjadi landasan baik bagi kehidupan kenegaraan maupun kehidupan kenegaraan maupun kehidupan kemasyarakatan. Dalam waktu kurun waktu tahun 1945-1950 merupakan kesempatan yang sangat baik bagi umat Islam untung berjuang, karena saat itu dinilai sebagai suatu periode yang secara relative terdapat persatuan dan perjuangan. Momentum baik itu digunakan oleh kelompok Islam untuk berjuang menegakkan hukum Islam di dalam tata hukum Indonesia.. langkah konkretnya yakni pada tanggal 7-8 November 1945 melalui sebuah kongres umat Islam di Yogayakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Kehadirin Masyumi mendapat dukungan dan sambutan yang luar biasa dari umat Islam, karena partai tersebut dianggap mewakili aspirasi seluruh umat Islam di berbagai organisasi dan perorangan. Dilihat dari segi tujuan dan gerak langkahnya, sebenarnya telah terbukti Masyumi mengarahkan masyarakat untuk membangun di berbagai sector kehidupan dengan tetap berlandaskan pada asas-asas agama. Peran Masyumi dalam hukum Islam sangatlah berarti. Bukan saja mengusahakan berlakunya hukum Islam dalam kehidupan perorangan, kemasyarakatan, dan kenegaraan tetapi juga melakukan pembaharuan hukum Islam yang ada disesuaikan dengan konteks kebutuhan zamannya. Meskipun para tokoh Masyumi telah melakukan pembaharuan di bidang hukum Islam, namun pada waktu itu belum mampu mempengaruhi legislative untuk membentuk hukum positif (islam). Di dalam perkembangannya, partai Masyumi yang memiliki peran penting dalam penegakkan hukum Islam di Indonesia ini mengalami perpecahan. Bulan Juli 1947 PSII meninggalkan Masyumi kemudian disusul dengan keluarnya NU pada tahun 1952, dan menyatakan perubahan organisasinyaa dari jam’iyyah (gerakan sosial keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Namun keluarnya NU dari Msyumi dan berubah menjadi partai politik, tidak mengubah perjuangan keduanya untuk menegakkan hukum Islam di bumi nusantara. Kemudian periode awal kemerdekaan ini, hukum Islam mendapatkan dukungan dari struktur pemerintahan, yaitu dengan lahirnya departemen agama pada tahun 1946. Tujuan dan tugas departemen agama memang tidak hanya menngani masalah-masalah yang menyangkut ajaran agama Islam. Namun, dari rumusan tujuannya terlihat bahwa selain tugas-tugas yang
bersifat umum (menyangkut semua agama di Indonesia) secara khusus menangani masalahmasalah keimanan. Pada waktu itu Hazairin seorang ahli hukum Islam dan hukum adat dari Universitas Indonesia berpendapat bahwa untuk mengembangkan hukum Islam di Indonesia menjadi hukum positif melalui undang-undang kemungkinan amat ssulit, karena konstelasi politik yang ada dalam lembaga pembentuk undang-undang (pada waktu itu) tidak memungkinkan memproduksi hukum Islam. Hukum islam merupakan bagian dari agama islam yang pelaksanaanya diatur berdasarkan syari’at islam. Syari’at sebagaimana dijelaskan pada lembaran awal, adalah mengatur mengatur mengenai hubungan manusia dengan tuhan dan manusia dengan sesama. Oleh karena hukum tidak mengenal pengaturan lahiriyah antara manusia dengan tuhan ( ibadat ) bila dilihat dari ilmu fiqh, maka yang dapat dimasukkan kedalam hokum islam itu adalah bagian muammalat dari syariat.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dengan mencermati berbagai pemikir abad ke 17 – 19 M, bisa dikatakan tidak ada gelombang pemikiran dan tawaran konsep besar yang telah di hasilkan para pemikir tersebut. Secara metodelogis, mereka bahkan menegaskan pentingnya berpegang pada mazhab hukum yang telah ada, yang dalam tatataran tertentu bisa di nilai telah mematikan proses kerativitas seseorang dalam menetapkan hukum. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu: 1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam. 2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Pada zaman penjajahan, perkembangan hukum Islam dibagi menjadi dua fase. Fase penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Belanda, hukum Islam ditekan agar tidak bisa berkembang di kalangan masyarakat karena pemerintah Belanda takut jika hukum Islam terus berkembang maka akan menjadi faktor timbulnya pemberontakan. Namun, masyarakat tetap menggunakan hukum Islam untuk menyelesaikan masalah mereka karena hukum Islam sudah mempengaruhi kebudayaan penduduk Indonesia. Bahkan pada zaman penjajahan belanda ini banyak muncul organisasi-organisasi pembaru Islam yang menentang kebijakan Belanda berbeda lagi pada fase kedua (Masa Penjajahan Jepang), hukum Islam di sini justru berkembang pesat. Karena pmerintah Belanda ingin mencari bala bantuan untuk mempercepat tujuannya dengan merangkul para ulama untuk diajak bekerja sama dalam mensukseskan tujuan Jepang. Perjuangan umat Islam yang amat panjang dan penuh pengorbanan akhirya telah berhasil membentuk suatu Negara yang merdeka. Dari rangkaian sejarah perjuangan umat Islam, baik yang dilakukan secara individu maupun melalui organisasi sosial politik, karena peranan umat Islam sangat besar dalam mewujudkan kemerdekaan. Karena itu para pemimpin Islam yang ada di lembaga perwakilan menginginkan agar Negara merdeka yang telah terbentuk
memberikan tempat yang terhormat bagi berlakunya hukum islam. Namun, kelompok umat Islam waktu itu tidak berhasil mewujudkan keinginannya, bahkan dapat dikatakan mengalami suatu kekalahan. Kekalahan kelompok umat Islam dalam percaturan politik, khususnya dalam penentuan dasar Negara, tidak membuat kelompok umat Islam kecil hati dan putus asa untuk memperjuangkan tegaknya hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia. Melalui berbagai kesempatan, meskipun kadang kala mengalami suasana ketegangan (konflik), kelompok umat Islam selalu berupaya agar asas-asas Islam tetap menjadi landasan baik bagi kehidupan kenegaraan maupun kehidupan kenegaraan maupun kehidupan kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA http://nawar-paloh-blogspot.com/2011/10/hukum-islam-sesudah-kemerdekaan.html
http://artikelkomplit2011.blogspot.com/2011/11/perkembangan-hukum-islam-di-indonesia.html Utus Hardiono,2002,sejarah peradaban islam. Sumitro, S.H., MH., Warkum. 2005. Perkembangan Hukum Islam, Malang: Bayumedia PublishingMahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, (Jokjakarta: LKIS, 2005.) http://pusat-hukum.blogspot.com/2011/01/sejarah-perkembangan-hukum-islam-di.html http://nawar-paloh-blogspot.com/2011/10/hukum-islam-sesudah-kemerdekaan.html
sejarah perkembangan hukum islam BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Periodisasi sejarah hukum islam Pada dasarnya, sejarah merupakan penafsiran terhadap peristiwa dimasa lampau yang dipelajari secara kronologis. Ulama berbeda-beda pendapat dalam menentukan periodisasi sejarah hukum islam diantara mu’arikh hukum islam yang menentukan periodisasi sejarah hukum islam adalah Muhammad A’ali Al-Sayyis, Muhammad Khudlari Byek, ‘Abd Wahhab Khallaf, Musthafa Sa’id Al-Khinn,’Umar Sulaiman Al-Asyqar, Dan T.M Hasbi As-Shiddiqi. Muhammad A’ali Al-Sayyis berpendapat bahwa periodisasi hukum islam adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hukum islam zaman rasul Hukum islam zaman khulafa. Hukum islam zaman pasca-khulafa hingga awal abad II H. Hukum islam zaman awal abad II H. hingga pertengahan abad IV H. Hukum islam zaman pertengaha abad IV H. hingga Baghdad hancur. Hukum islam zaman sejak kehancuran Baghdad hingga kini. Menurut Muhammad Khudlari Byek , periodisasi sejarah hukum islam adalah Hukum islam zaman rasul Hukum islam zaman sahabat besar Hukum islam zaman sahabat kecil. Hukum islam zaman fikih menjadi ilmu yang mandiri. Hukum islam zaman perdebatan untuk membela imam masing-masing. Hukum islam zaman taklid.
sebagai berikut:
1. 2. 3. 4.
Pembagian yang lebih sederhana dikemukakan oleh abd al wahab khallaf. Ia menetapkan bahwa periodisasi sejarah hukum islam adalah sebagai berikut: Hukum islam zaman rasul Hukum islam zaman sahabat Hukum islam zaman pendiri mazhab Hukum islam zaman statis (jumud)
1. 2. 3. 4. 5.
Mustafa sa’id al-khinn berpendapat bahea periodisasi hukum islam adalah berikut ini: Hukum islam zaman rasul Hukum islam zaman sahabat Hukum islam zaman tabi’in Hukum islam zaman taklid Hukum islam zaman sekarang[1]
1. 2. 3. 4. 5. 6.
1. 2. 3. 4. 5.
‘umar sulaiman al-asqar berpendapat bahwa periodisasi hukum islam adalah sebagai berikut: Hukum islam zaman rasul Hukum islam zaman sahabat Hukum islam zaman tabi’in Hukum islam zaman pendiri mazhab Hukum islam zaman statis Hukum islam zaman sekarang Ulama Indonesia pun ada turut menjelaskan periodisasi sejarah hukum islam, diantaranya T.M hasbi alshiddiqi memaparkan periodisasi sejarah hukum islam sebagai berikut: Hukum islam zaman pertumbuhan Hukum islam zaman sahabat dan tabi’in Hukum islam zaman kesempurnaan Hukum islam zaman kemunduran Hukum islam zaman kebangkitan
Hukum islam dalam artian fikih,fatwa,atau ketetapan adalah produk pemikiran ulama secara individual. Oleh karena itu, mempelajari fikih atau fatwa berarti mempelajari pemikiran ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Mempelajari pokok pemikiran ulama dan langkah ijtihadnya menjadi penting, karena merupakan upaya konstruktif dalam memahami produk pemikiran dan pola yang digunakannya. Dalam salah satu kaidah dikatakan bahwa salah satu tugas kita adalah memelihara produk pemikiran ulama dan langkah-langkah ijtihadnya serta mengembangkannya sehingga lebih maslahat (al-muhafazhat ‘aala al-qadim al-shlih wa al-ahdz bi al-jadid alashlah). Dengan demikian,mempelajari sejarah hukum islam berarti melakukan langkah awal ijtihadnya untuk ditransmisikan sehingga kemaslahatan manusia senantiasa terpelihara. Dengan demikian, di antara kegunaan mempelajari sejarah hukum islam, paling tidak, adalah dapat melahirkan sikap hidup yang toleran, dan dapat mewarisi pemikiran ulam klasik dan langkah-langkah ijtihadnya serta dapat mengembangkan gagasannya.[2] B. Rumusan masalah 1. Untuk megetahui fatwa di zaman rasulullah 2. Untuk mengetahui fatwa di zaman shahabat
3.
Untuk mengetahui fatwa di zaman/ dikalangan ulama mazhab BAB II PEMBAHASAN
A. Fatwa pada masa rasulullah Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad nabi Muhammad saw. Terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari allah. Sebagian ulama asy’ariah dan kebanyakan ulama mu’tazilah berpendapat bahwa nabi Muhammad saw tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan dengan amaliah tentang halal dan haram. Sedangkan ulama ushul, diantaranya abu yusuf al-hanafi dan al-syafi’I membolehkannya. [3] Sebagian sahabat al-syafi’I, al-qadli ‘abd al jabar, dan abu hasan al-bashri berpendapat bahwa nabi Muhammad saw melakukan ijtihad dalam berperang, bukan dalam bidang ilmu hukum. Menurut sebagian ulama, nabi saw tidak berijtihad sebab perkataan, perbuatan, dan ketetapannya adalah al-sunnah juga berdasarkan firman allah:
Artinya: “dan tiadalah yang di ucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS.Al-najm: 3-4) Ibnu hazm, ibnu taimiyah, ibnu khaldun, dan kamal ibn al-hamam berpendapat bahwa nabi Muhammad saw melakukan shalat. Salah satu contoh intihadnya adalah tentang panggilan dan pemberintahuan untuk melakukan shalat. Sebagian sahabat berpendapat, sebaiknya menggunakan lonceng (nuqus) seperti lonceng nashara; sebagian menganjurkan untuk menggunakan terompet (bauq) seperti terompet yahudi. Kemudian umar bertanya kepada nabi saw:”mengapa tuan tidak mengutus seseorang untuk mengajak shalat?” nabi Muhammad bersabda :”hai bilal, berdirilah dan ajaklah shalat.”. ‘Abd Jalil ‘Isa mengungkapkan beberapa contoh ijtihad Nabi: 1. Cara memperlakukan anak-anak musyrikin yang ikut berperang, Nabi menjawab, “seperti bapak-bapaknya”. 2. Qiblat ke Bait al-Maqdis (16-17 bln) sebelum ditetapkan ke arah Ka’bah 3. Abdullah ibn Ubai (tokoh munafik) yang meminta Nabi memintakan ampun, Nabi menyanggupi dan memohon agar ia diberi petunjuk, tapi kemudian malah turun at-Tawbah (9): 80[4] 4. Khawalah binti Tsa’labah bertanya tentang suaminya (Aus ibn Shamit) yang telah zhihar, Nabi menjawab: “kamu haram bagi suamimu yang telah zhihar”, berarti zhihar = cerai. Kemudian Allah turunkan al-Mujadilah (28): 1-4. Zhihar tidak termasuk talak, tetapi yang bersangkutan harus melakukan kafarat zhihar, yaitu memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang fakir miskin, sebelum bercampur kembali dengan isterinya.[5] Ijtihad Sahabat pada Masa Nabi
Sahabat yang melakukan ijtihad adalah mereka yang diutus menjadi qadli atau hakim, yaitu Ali ibn Abi Thalib (ke Yaman), Mu’adz ibn Jabal (Yaman), dan Khudzaifah al-Yamani yang diutus Nabi untuk menyelesaikan sengketa dinding antara tetangga yang sama-sama mengakui miliknya. Ijtihad Sahabat pada masa Nabi antara lain: 1. Suatu hari para Sahabat berkunjung ke Bani Quraizhah. Nabi berpesan” la yushalliyanna ahadukum al-ashra illa fi bani quraizhah-jangan sekali-kali kamu melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”, ternyata belum sampai, waktu ashar hampir habis. Ada yang shalat di jalan, ada yang tetap dengan pesan Nabi (shalat di Bani Quraizhah). Ketika berita ikhtilaf tersebut disampaikan kepada Nabi, beliau membenarkan keduanya. 2. Dua orang sahabat melakukan perjalanan. Waktunya shalat tidak ada air.mereka tayamum dan shalat. Setelah shalat mereka mendapatkan air. Seorang berwudhu dan mengulang shalat, sedang yang seorang lagi tidak. Mereka lalu menghadap Nabi, Nabi berkata kepada yang tidak mengulangi shalat “Ashabta as-Sunnah, Engkau mengerjakan sesuai sunnah”, sedang kepada yang mengulangi shalat, Nabi bersabda: “al-Ajr marratain, Engkau dapat pahala dua kali”.[6] B. fatwa pada masa sahabat (11-40 H/632-661 M) 1. Kedudukan Fatwa Dan Hukum Islam Perlu diketahui bahwa fatwa berpengaruh besar terhadap perkembangan hukum pada masa sahabat. beberapa persoalan penting yang dihadapi oleh para sahabat, diantaranya: a. sahabat khawatir akan kehilangan Al-qur’an karena banyaknya sahabat yang hapal al-qur’an meninggal dunia dalam perang Yamamah . b. sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap sunnah Rasulullah saw. c..Sahabat khawatir umat islam akan menyimpang dari hukum islam. d. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syari’at islam karena hal tersebut belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-qur’an dan sunnah Dalam menghadapi kekhawatiran –kekhawatiran diatas, Abu Bakar, atas usul umar, mengumpulkan Al-qur’an berdasarkan bahan-bahan yang ada, yaitu hapalan dan catatan. Sahabat yang paling intens keterlibatannya dalam pengumpulan Al-qur’an adalah Zaid bin Tsabit karena beliau adalah sekretaris Nabi Muhammad saw. Disamping berkenaan dengan al-qur’an, persoalan yang dihadapi saat itu juga berkenaan dengan sunnah. Persoalaannya muncul dari dua arah, dari umat islam itu sendiri dan dari kaum munafiq. Umat islam telah melakukan kesalahan dan perubahan dalam sunnah tanpa bermaksud mengubahnya karena lupa atau keliru dalam menerima atau menyampaikannya. Sedangkan orang-orang munafiq sengaja melakukan pendustaan dan kebathilan dalam sunnah dengan maksud merusak agama islam. Tindakan yang dilakukan para sahabat dalam periwayatan hadis adalah “kehati-hatian” dalam meriwayatkannya.Abu Musa pernah dimintai bukti (saksi) dalam meriwayatkan hadis oleh Umar bin Khattab.Selain hati-hati,sahabat juga melakukan “cegahan” penulisan hadis kepada rekan-rekannya,karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an. Sahabat,terutama khalifah adalah pengganti Nabi dalam memimpin negara dan agama.Karena itu,mereka sering dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang dalam AlQur’an dan Sunnah belum ada ketentuannya. Di bawah ini adalah salah satu wasiat Umar r.a. kepada seorang qadli (hakim) pada zamannya,yaitu Syuraih. a. Berpeganglah kepada Al-Qur’an dalam menyelesaikan kasus.
b. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an,hendaklah engkau berpegang kepada Sunnah. c. Apabila tidak didapatkan ketentuannya dalam Sunnah,berijtihadlah. Dari beberapa temuan diatas,dapat diketahui bahwa pengaruh fatwa terhadap perkembangan hukum islam adalah sebagai berikut : Pertama, sahabat melakukan penelaahan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan suatu kasus.Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah,mereka melakukan ijtihad. Kedua, sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan kasus yang dihadapi. [7] 3. Sumber-sumber hukum islam pada zaman sahabat Sumber atau dalil hukum islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah Al-qur’an, AsSunnah dan ijtihad. Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan suatu kasus hukum . hasil musyawarah sahabat disebut ijmak. Mengenai fatwa sahabat pada waktu Rasulullah masih hidup, menurut pengklasifikasian Hasan Ahmah Mar’i dalam bukunya yang khusus membahas Al –Ijtihad fi syari’ah al – Islamiah terdapat tidak kurang dari enam pendapat yang berkembang di kalangan ulama. Keenam pendapat itu ditinjau dari sudut kemungkinannya secara aqli (teoritis). Deskripsi berikut ini akan memaparkan pendapat – pendapat yang berkembang secara ringkas, sehingga terlihat argumentasi yang bervariasi, dan sebagiannya terasa agak dipaksa – paksakan.[8] 1. Pendapat yang didukung oleh sebagian besar ulama dari berbagai mazhab seperti al-Ghazali, imam al –Razi, Ibnu Taimiyah, al-Baidawi, dan al-Qadi ‘Abd Al-Jabbar mengatakan bahwa fatwa sahabat dimungkinkan (Al – Jawas) secara mutlak, baik dihadapan Rasulullah maupun di belakangnya. 2. Bertolak belakang dengan pendapat pertama ialah pendapat yang didukung oleh sekelompok kecil ulama, sebagai dikemukakan oleh Hasan Ahmad Mar’i, yang mengatakan bahwa fatwa sahabat terhalang (al –man’a) sama sekali pada waktu hidup Rasulullah. Alasannya ialah bahwa para sahabat dianggap mampu untuk berhubungan langsung dengan Rasululah untuk mendapatkan keyakinan dengan ketegasan nash dari Rasulullah. Dan selama ada yang yakin (mutlak/absolut) tidak boleh berpindah kepada yang zhan (relatif). 3. Sahabat boleh berfatwa mana kala mereka berjauhan dengan Rasulullah, dengan syarat ada penunjukan atas diri mereka sebagai qadhi atau wali (penguasa). Sahabat – sahabat yang ternyata tidak mendapat mandat untuk jabatan seperti itu tidak boleh berfatwa. Pendapat ini dikemukakan oleh al – Amidi dan dianggap sebagai salah satu pendapat yang berkembang tentang kebolehan fatwa sahabat. Hadis Mu’adz Ibn Jabal yang menceritakan penunjukan Rasulullah atau Mu’adz ke Yaman sebagai Qadhi dijadikan oleh mereka sebagai alasan.[9] 4. Ibn Subki menukilkan pendapat suatu kaum yang memandang bahwa kebolehan fatwa bagi sahabat yang berjauhan dengan Rasulullah berlaku secara mutlak, artinya tanpa di batasi oleh adanya penunjukkan dari Rasulullah. Orang-orang yang berjauhan dengan Rasulullah dianggap sebagai orang yang tidak bisa sampai ke tingkat yakin, karena sulit untuik berjumpa dengan Rasulullah. 5. Pendapat yang dipilih oleh Abu al-Husein al-Bashri dan Abu al-Khathib dari Hanabilah ialah kebolehan fatwa bagi sahabat baik di hadapan Rasulullah atau dibelakang Rasulullah dalam kondisi-kondisi tertentu. Mereka boleh berfatwa setelah ada permintaan atau izin dari Rasulullah
atau dalam kasus yang memerlukan keputusan hukum sesegera mungkin, sementara waktu yang tersedia relatif singkat untuk berhubungan dengan Rasulullah. 6. Pendapat yang terakhir ini juga menekankan harus ada keizinan Rasulullah. Bagi mereka yang telah mendapat izin boleh melakukan fatwa dimana dan kapan saja. Karena fatwa tanpa ada keizinan khusus dari rasullullah dapat diartikan sebagai pendapat liar yang tidak mempunyai alasan, yang pada gilirannya akan melahirkan berbagai fatwa atas nama Nabi. Tindakan yang terakhir ini jelas tidak dapat di tolerir sama sekali.[10] Dari ke enam pendapat yang berkembang dikalangan ulama itu nampaknya dapat disederhanakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memandang bahwa fatwa sahabatsahabat tidak mungkin ada pada waktu hidup Rasulullah dan pendapat semacam ini didukung oleh sekelompok kecil ulama. Sedang kelompok kedua memandang adanya peluang bagi sahabat-sahabat untuk berfatwa pada masa Rasulullah, kendatipun dengan berbagai persyaratan dan pembatasan yang mereka buat, seperti tampak pada lima dari enam pendapat yang telah disebutkan diatas. Contoh Fatwa Sahabat Yang Dilakukan Di Hadapan Rasulullah, Antar Lain : a. Diriwayatkan bahwa rasulullah pada suatu hari berkata kepada ‘Amr Ibn al-‘Ash, katanya: berilah hukum terhadap kasus ini. Mendengar perintah rasulullah itu ‘Amr Ibn al-‘Ash kembali bertanya: apakah aku akan berfatwa padahal engkau ada hadir (disini)? Lalu rasulullah menjawab : Ya, jika engkau betul, maka engakau mendapat dua pahala dan jika engkau salah, engkau mendapat satu pahala.[11] b. Selain dari peristiwa di atas, Sayyid Musa juga menunjuk berbagai macam pendapat dan fatwa Umar Ibn al-Khattab, yang menurut perhitungannya mencapai lima belas peristiwa, yang diantaranya mendapat konfirmasi al-Qur’an seperti yang telah di kemukakan pada pembicaraan terdahulu. Oleh karena itulah, menurut Sayyid Musa, Rasulullah mengatakan: bahwa sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran melalui lidah dan hati Umar. [12] Contoh Fatwa Sahabat Yang Dilakukan Di Belakang Rasulullah, Antar Lain: a. Di waktu Ali bertugas di yaman, datang kepadanya tiga orang yang bersengketa tentang seorang anak. Masing-masing mengakui bahwa anak itu adalah anaknya. Untuk menyelesaikan persengketaan itu, Ali mempergunakan undian. Ali menyerahkan anak itu kepada yang menang dalam undian serta membebankan 2/3 diyat harus diberikannya kepada dua orang yang lain, yang ternyata kalah dalam undian. Mendengar keputusan itu, rasulullah tersenyum dan gembira atas tindakan yang diambil oleh Ali.[13] b. Dua orang sahabat sedang dalam perjalanan. Ketika waktu sholat datang, keduanya tidak menjumpai air untuk berwudhu. Namun demikian, keduanya tetap mengerjakan sholat tidak selama setelah itu, kedua sahabat itu menemukan air. Karena masih dalam waktu, maka seorang mengulang sholatnya kembali, sementara yang alin tidak mengulangnya.setelah peristiwa itu diketahui oleh Rasulullah, kedua perbutan itu dibenarkan oleh beliau, sambil berkata kepada yang tidak mengulang: engkau telah berbuat sesuai dengan sunnah dan sholat mu sudah cukup. kepada yang mengulang, Rasulullah berkata : untuk mu dua pahala.[14] C. Fatwa Pada Masa Tabi’in / ulama mazhab (Bani Umayyah, 661-750M). Periode ini berlangsung pembinaan hukum islam dilakukan pada masa pemerintahan khalifah “Umayyah” (662-750) dan khalifah “Abbasiyah” (750-1258). Di masa inilah (1) Lahir para ahli
hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum fikih Islam; (2) muncul berbagai teori hukum Islam yang masih digunakan sampai sekarang.[15] Masa tabi’in adalah suatu masa setelah masa sahabat dan merupakan kelanjutan dari masa sahabat tersebut. Mereka sebenarnya telah lahir pada masa sahabat Rasulullah SAW. Para tabi’in telah mewarisi riwayat, hukum, fatwa, ijtihad, dan metode istinbat dari para sahabat. Mereka telah memahami illat-illat maqashidiyahdan maslahiyah mereka dan sebagainya. Hal itu dapat membantu mereka untuk mengikuti jejak para sahabat dan memudahkan mereka untuk menjelaskan beraneka ragam hukum yang berbeda-beda. Para tabi’in telah mendapatkan kekayaan riwayat dan ijtihad dari para sahabat, sehingga mereka mempunyai dua tugas penting, yaitu[16]: 1. Menggabungkan dua kekayaan itu. Para tabi’in harus mengumpulkan riwayat-riwayat dari hadits-hadits Rasul SAW, lalu mengumpulkan perkataan-perkataan para sahabat dan ijtihadijtihad mereka. Ini tergolong mudah karena setiap tabi’in itu merupakan murid dari para sahabat atau kebanyakan orang itu biasanya mentransfer ilmunya kepada generasi setelahnya. Di antara para sahabat itu ada yang mempunyai beberapa murid, seperti Abdullah bin Umar yang juga telah mengeluarkan beberapa murid, diantaranya Sa’id bin Musayyab, Nafi’ yang merupakan keluarganya, dan Salim anaknya sendiri, dan seterusnya. Setiap sahabat itu ada orang yang khusus mempelajari ilmu mereka dan kebanyakan murid-murid mereka itu adalah dari anak keturunnya mereka sendiri, bukan dari orang-orang Arab. Para tabi’in itulah yang menjadi murid-murid dan menempati posisi para sahabat dalam perjumpaan dengan Rasul SAW. Mereka menjadikan perkataan-perkataan sahabat itu sebagai hujjah. 2. Mereka harus berijtihad terhadap suatu perkara yang belum diketahui penjelasannya dari para sahabat, tidak terdapat suatu nash pun dari Al-Qur’an dan sunnah yang membahas perkara itu. Maka mereka punya hak untuk berijtihad setelah mempertimbangkan hadits-hadits dan fatwafatwa, serta mereka tidak boleh keluar dari manhaj sahabat yang telah menggambarkannya kepada mereka dan kepada orang-orang yang datang setelah mereka. Menurut ahli seorang anggota Majma' Al-Buhust Al-Islamiyah Universitas Al-Azhar, ijtihad yang terjadi pada masa tabi'in adalah ijtihad mutlak yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan seorang mujtahid terlebih dahulu dan yang secara langsung diarahkan untuk membahas, meneliti, dan memahami yang benar. Di antara tabi’in yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyab (15H – 94H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27H – 114H) di Mekah, Ibrahim An-Nakha’i (w. 76H) di Kufah, Al-Hasan AlBasri (21H/642 M – 110H/728 M) di Basrah, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat.[17] Para tabi’in ini selanjutnya diikuti juga oleh generasi penerusnya yaitu para tabi’ tabi’in. Para tabi’ tabi’in ini mengambil dan menerima pengetahuan dari para tabi’in sebagaimana halnya yang mereka terima dari para sahabat, yaitu mengenai al-Qur’an dan tafsirnya, hadits, fiqih, dan rahasia-rahasia tasyri’ (hukum Islam) serta metodenya. Kemudian selanjutnya pada generasi tabi’ tabi’in sebagai tempat belajar dan menerima informasi oleh generasi imam-imam mujtahid yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal) dan tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang hidup sezaman dengan mereka.[18] Ketika tokoh-tokoh tasyri’ dari kalangan sahabat telah wafat dan berakhir periodenya, maka kekuasaan tasyri’ diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka yaitu para
tabi’in. Kemudian setelah periode tabi’in juga berakhir, maka pemegang peranan pengembangan hukum Islam diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka yaitu tabi’ tabi’in. Selanjutnya, sesudah masa tabi’ tabi’in ini juga berakhir, maka para imam mujtahid yang empat bersama tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang memegang kekuasaan peran dalam mengembangkan hukum Islam. . Faktor Yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam Diantara faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam antara lain adalah: 1. Perluasan Wilayah Sebagaimana diketahui dalam sejarah, ekspansi dunia Islam dilakukan sejak zaman khalifah. Langkah awal yang dilakukan Mu’awiyah dalam rangka menjalankan pemerintahan adalah memindahkan ibu kota negara, dari Madinah ke Damaskus. Mu’awiyah kemudian melakukan ekspansi ke barat hingga dapat menguasai Tunisia, Aljazair, dan Maroko sampai ke pantai samudra Atlantik. Penaklukan ke Spanyol dilakukan pada zaman pemerintahan Walid ibn Abd al-malik (705-715 M). Banyaknya daerah baru yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang dihadapi oleh umat Islam, persoalan tersebut perlu diselesaikan berdasarkan Islam. Karena ini merupakan petunjuk dari manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam; karena semakin luas wilayah yang dikuasai berarti semakin banyak penduduk di negeri muslim, dan semakin banyak penduduk, semakin banyak pula persoalan hukum yang harus diselesaikan. 2. Perbedaan Penggunaan Ra’yu Pada zaman ini, fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab atau aliran hadits dan aliran ra’yu.aliran hadits adalah golongan yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat “Hatihati” dalam penggunaan ra’yu, sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan aliran hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum Islam itu semakin mendorong perkembangan iktilaf, dan pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan hukum Islam.[19] 4. Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat digunakan sebagai landasan untuk membangun serta mengembangkan fikih islam. 5. Telah tersedia para ahli hukum yang mampu berijtihad untuk memecahkan berbagai masalah hukum dalam masyarakat.[20] Sumber-sumber hukum islam (fatwa) zaman tabi’in Secara umum, tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan dan penerapan hukum yang telah dilakukan sahabat dalam istinbath al-ahkam. Langkah- langkah yang mereka lakukan adalah sebagai berikut: a. Mencari ketentuan dalam al-quran b. Apabila ketentuan itu tidak didapatkan dalam alquran, mereka mencarinya dalam as-sunnahh c. Apabila tidak didapatakan dalam al-quran dan sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat. d. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad. Dengan demikian, sumber-sumber atau dasar-dasar hukum islam pada masa periode ini adalah (1) al-quran, (2) as-sunnah, (3) ijmak dan pendapat sahabat, (4) ijtihad.[21]
1.
2.
3.
4.
Pada periode inilah muncul para mujtahid yang sampai sekarang masih berpengaruh dan pendapatnya diikuti oleh umat Islam diberbagai belahan dunia. Mereka itu diantaranya adalah: Imam Abu Hanifah (Al-Nukman ibn Tsabit) : 700-767 M Ia lahir di Kufah pada tahun 80 H dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H. Sebagaimana ulama yang lain, Abu Hanifah memiliki banyak halangan untuk berdiskusi berbagai ilmu agama. Semula materi yang sering di diskusikan adalah tentang ilmu kalam yang meliputi al-Qada dan Qadar. Kemudian ia pindah ke materi-materi fiqh Al-Khatib al-Bagdadi menuturkan bahwa Abu Hanifah tadinya selalu berdiskusi tentang ilmu kalam. Sebagaimana ulama lain, sumber syariat bagi Abu Hanifah adalah Al-Qur’an dan AlSnnah, akan tetapi ia tidak mudah menerima hadiah yang diterimanya. Lahannya menerima hadis yang diriwayatkan oleh jama’ah dari jama’ah, atau hadist yang disepakati oleh fuqaha di suatu negeri dan diamalkan; atau hadist ahad yang diriwayatkan dari sahabat dalam jumlah yang banyak (tetapi tidak mutawatir) yang di pertentangkan. Abu Hanifah dikenal sebagai imam ahlul al-ra’yu, dalam menghadapi nas al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka ia dikenal sebagai ahli di bidang ta’lil al-ahkam dan qiyas. Malik Bin Anas: 713-795 M Ia lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Malik bin Anas tinggal di Madinah dan tidak pernah kemana-mana kecuali beribadah Haji ke Mekkah. Imam Malik menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama, kemudian al hadist sedapat mungkin hadist yang mutawatir atau masyhur. Muhammad Idris Al-Syafi’i: 767-820 M Ia lahir di Ghazah atai Asqalan pada tahun 150 H. Ia berguru kepada Imam Malik di Madinah. Kesetiannya kepada Imam Malik ditunjukkan dengan nyantri di tempat sang guru hingga sang guru wafat pada tahun 179 H. Imam Syafi’i pernah juga berguru kepada muridmurid Abu Hanifah. Ia tinggal di Bagdad selama dua tahun, kemudian kembali ke Mekkah. Akan tetapi tidak lama kemudian ia kembali ke Irak pada tahun 198 H, dan berkelana ke Mesir.[22] Dalam pengembaraannya, ia kemudian memahami corak pemikiran ahl al-ra’yu dan ahl al-Hadis. Ia berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik diambil sama halnya tidak seluruh metode ahl al-Hadis harus diambil. Akan tetapi menurutnya tidak baik pula meninggalkan seluruh metode berpikir mereka masing-masing. Dengan demikian Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap salah satu mazhab, bahkan berusaha menempatkan diri sebagai penegah antara kedua metode berpikir yang ekstrim. Ia berpendapat bahwa qiyas merupakan metode yang tepat untuk menjawab masalah yang tidak manshus. Menurut Imam Syafi’i tata urutan sumber Hukum Islam adalah: Al Qur’an dan Al-Sunnah Bila tidak ada dalam Al Qur’an dan Al Sunnah, ia berpindah ke Ijma. Ahmad Bin Hambal (Hanbal): 781-855 M Ia lahir di Bagdad pada tahun 164 H. Ia tinggal di Bagdad sampai akhir hayatnya yakni tahun 231 H. Negeri-negeri yang pernah ia kunjungi untuk belajar antara lain adalah Basrah, Mekkah, Madinah, Syam dan Yaman. Ia pernah berguru kepada Imam Syafi’i di Bagdad dan menjadi murid Imam Syafi’i yang terpenting, bahkan ia menjadi mujtahid sendiri. Menurut Imam Ahmad, sumber hukum pertama adalah Al-Nushush, yaitu Al Qur’an dan Al Hadist yang marfu. Apabila persoalan hukum sudah didapat dalam nas-nas tersebut, ia tidak beranjak ke sumber lain, tidak pula menggunakan “metode ijtihad”. Apabila terdapat perbedaan
pendapat di antara para sahabat, maka Imam akan memilih pendapat yang paling dekat dengan Al Qur’an dan Al Sunnah.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Fatwa pada masa rasulullah Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad nabi Muhammad saw. Terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari allah. Sebagian ulama asy’ariah dan kebanyakan ulama mu’tazilah berpendapat bahwa nabi Muhammad saw tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan dengan amaliah tentang halal dan haram. Sedangkan ulama ushul, diantaranya abu yusuf al-hanafi dan al-syafi’I membolehkannya Fatwa pada masa sahabat Perlu diketahui bahwa fatwa berpengaruh besar terhadap perkembangan hukum pada masa sahabat. beberapa persoalan penting yang dihadapi oleh para sahabat, diantaranya: a. sahabat khawatir akan kehilangan Al-qur’an karena banyaknya sahabat yang hapal al-qur’an meninggal dunia dalam perang Yamamah . b. sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap sunnah Rasulullah saw. c..Sahabat khawatir umat islam akan menyimpang dari hukum islam. e. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syari’at islam karena hal tersebut belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-qur’an dan sunnah Fatwa masa tabi’in/ulama mazhab Periode ini berlangsung pembinaan hukum islam dilakukan pada masa pemerintahan khalifah “Umayyah” (662-750) dan khalifah “Abbasiyah” (750-1258). Di masa inilah (1) Lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum fikih Islam; (2) muncul berbagai teori hukum Islam yang masih digunakan sampai sekarang.[23] Masa tabi’in adalah suatu masa setelah masa sahabat dan merupakan kelanjutan dari masa sahabat tersebut. Mereka sebenarnya telah lahir pada masa sahabat Rasulullah SAW. Para tabi’in telah mewarisi riwayat, hukum, fatwa, ijtihad, dan metode istinbat dari para sahabat. Mereka telah memahami illat-illat maqashidiyahdan maslahiyah mereka dan sebagainya. Hal itu dapat membantu mereka untuk mengikuti jejak para sahabat dan memudahkan mereka untuk menjelaskan beraneka ragam hukum yang berbeda-beda.
[1] Jaih mubarok,sejarah dan perkembangan hukum islam, (bandung : PT. remaja rosdakarya . 2000)hal.13 [2] ibid hal.16
[3] Jaih mubarok,sejarah dan perkembangan hukum islam, (bandung : PT. remaja rosdakarya .2000)hal.30 [4] ibid hal.32 [5] Ibid hal.32 [6] Ibid hal 34 [7]Hasby Ash-Shiddiqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum islam,(Jakarta : Bulan Bintang, 1971 )hal.83 [8] Amiur nuruddin, ijtihad umar bin khattab, (Yogyakarta: rajawali pers .1991) hal. 85 [9] ibid hal.86 [10] Amiur nuruddin, ijtihad umar bin khattab, (Yogyakarta: rajawali pers .1991) hal. 87 [11] Ibid hal.90 [12] Ibid hal 92 [13] Ibid hal. 94 [14] Ibid hal 95 [15]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal. 182 [16]Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, hal. 29 [17] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 84. [18] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, terj. Wajdi Sayadi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 74-75. [19] Jaih mubarok hal. 54 [20]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal.165 [21]Jaih mubarok hal.56
[22]Jaih mubarok,sejarah dan perkembangan hukum islam. hal.98 [23]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal. 182
Perkembangan Hukum Islam Dalam Sejarah Bagian I PENDAHULUAN 1.
A. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengahtengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air ? Maka dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakankebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika. 1.
B. Maksud dan Tujuan
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam yang ada di pada Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana, yang kemudian penulisan makalah ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta dapat dan bisa memeberikan manfaat baik untuk almamater perguruan tinggi maupun bagi dunia ilmu pengetahuan pada umumnya. walaupun tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini. 1.
C. Identifikasi Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut diatas maka ada beberapa pengidentifikasian masalah mengenai hal itu yaitu bagaimana perkembangan serta keberadaan Hukum Islam pada : 1.
Masa Prapenjajahan Belanda
2.
Masa Penjajahan Belanda
3.
Masa Pendudukan Jepang
4.
Masa Kemerdekaan (1945)
5.
Era Orde Lama dan Orde Baru
6.
Era Reformasi Bagian II PEMBAHASAN
Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu: –
Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum
kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam. –
Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat.
Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. –
Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa
dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari alMuharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam. Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam
yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja. Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :
Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang
Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda
menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda
pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).
Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling
(yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda. Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah: –
Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama
mayoritas penduduk pulau Jawa. – sendiri.
Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia
–
Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
–
Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
–
Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya
PETA. –
Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan
Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945) Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”. Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam. Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia
Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI. Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB. Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undangundang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.
Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap. Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”. Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan. Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan citacitanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi. Lalu bagaimana dengan hukum Islam? Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama. Hukum Islam di Era Reformasi Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.
Bagian III PENUTUP Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam. Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita. Referensi Bahtiar Effendy, Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia), Paramadina, Jakarta, Oktober 1998. Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, September 2000. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.