BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia menerapkan berbagai macam sistem pemerintahan dan yang paling mengemuka adalah sistem demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. Indonesia memasuki masa demokrasi liberal pada awal pengakuan kedaulatan, masa ini berlaku antara tahun 1950-1959. Masa demokrasi liberal atau parlementer ditandai dengan tumbuh suburnya partai politik dan berlakunya kabinet parlementer. Prestasi politik dan kemelut politik merupakan hal yang terjadi pada masa demokrasi liberal. Prestasi politik berupa pemberlakuan sistem multipartai dan penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Kemelut politik berupa kabinet yang silih berganti dan perdebatan berkepanjangan dalam konstituante.
Perjalanan sejarah Indonesia pada masa demokrasi liberal diwarnai oleh pemerintahan dengan tujuh masa kebinet yang berbeda. Sistem pemerintahan pada masa demokrasi liberal menetapkan bahwa kabinet-kabinet ini bertanggung jawab secara langsung kepada parlemen. Kondisi Indonesia di masa demokrasi liberal sangatlah rentan karena dalam kurun pemerintahan ketujuh kabinet tersebut, kinerja kabinet sering mengalami deadlock dan ditentang oleh parlemen. Hal tersebut terjadi karena adanya kelompok oposisi yang kuat sehingga mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan dalam proses perumusan dan pembuatan kebijakan negara.
Demokrasi liberal mewariskan ketidakstabilan politik yang cukup parah dan membuahkan berbagai pergolakan serta pemberontakan dalam negeri yang mengancam persatuan bangsa. Melihat keadaan tersebut, Presiden Soekarno terdorong untuk menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistis yang berpusat di tangan presiden yang dikenal dengan Demokrasi Terpimpin ditandai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keputusan tersebut diambil atas pertimbangan menempatkan kesatuan bangsa sebagai yang utama.
Rumusan Masalah
Apa pengertian demokrasi liberal ?
Bagaimana sejarah demokrasi liberal di Indonesia ?
Apa sajakah hal-hal positif dan negatif selama berlakunya sistem demokrasi liberal ?
Bagaimanakah kehidupan politik Indonesia di masa demokrasi liberal ?
Bagaimanakah kehidupan ekonomi Indonesia di masa demokrasi liberal ?
Apa saja kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi pada masa demokrasi liberal ?
Bagaimanakah kehidupan pertahanan dan keamanan Indonesia di masa demokrasi liberal ?
Bagaimana akhir masa demokrasi liberal di Indonesia ?
Tujuan
Untuk mengetahui pengertian demokrasi liberal
Untuk mengetahui sejarah demokrasi liberal di Indonesia
Untuk mengetahui hal-hal positif dan negatif selama berlakunya sistem demokrasi liberal
Untuk mengetahui kehidupan politik Indonesia di masa demokrasi liberal
Untuk mengetahui kehidupan ekonomi Indonesia di masa demokrasi liberal
Untuk mengetahui kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah ekonomi pada masa demokrasi liberal
Untuk mengetahui kehidupan pertahanan dan keamanan Indonesia di masa demokrasi liberal
Untuk mengetahui akhir masa demokrasi liberal di Indonesia
Manfaat
Dapat mengetahui pengertian demokrasi liberal
Dapat mengetahui sejarah demokrasi liberal di Indonesia
Dapat mengetahui hal-hal positif dan negatif selama berlakunya sistem demokrasi liberal
Dapat mengetahui kehidupan politik Indonesia di masa demokrasi liberal
Dapat mengetahui kehidupan ekonomi Indonesia di masa demokrasi liberal
Dapat mengetahui kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah ekonomi pada masa demokrasi liberal
Dapat mengetahui kehidupan pertahanan dan keamanan Indonesia di masa demokrasi liberal
Dapat mengetahui akhir masa demokrasi liberal di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Demokrasi Liberal
Secara etimologis kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos atau cratein yang berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sementara liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa demokrasi liberal adalah sistem politik yang menganut kebebasan individu. Secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi. Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada abad pencerahan oleh penggagas teori kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau.
Sejarah Demokrasi Liberal di Indonesia
Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI melaksanakan demokrasi parlementer yang liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat, dan masa ini disebut masa demokrasi liberal. Indonesia dibagi 10 provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan UUDS 1950 yang juga bernafaskan liberal. Akibat pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Sistem politik pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya partai-partai politik, karena dalam sistem kepartaian menganut sistem multipartai.
Demokrasi liberal berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataannya rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem demokrasi liberal tidak cocok dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dektrit mengenai pembubaran konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 karena dianggap tidak cocok dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia.
Hal-hal Positif dan Negatif Selama Berlakunya Sistem Demokrasi Liberal
Menurut Herbert Feith, selama berlakunya sistem parlementer, terdapat hal-hal negatif yang terjadi, antara lain sebagai berikut.
Kebijakan pemerintahan jangka panjang banyak yang tidak dapat terlaksana akibat masa kerja kabinet rata-rata pendek.
Meningkatnya ketegangan sosial di masyarakat akibat masa kegiatan kampanye pemilu yang berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1953 hingga tahun 1955.
Kebijaksanaan beberapa perdana menteri yang cenderung menguntungkan partainya sendiri.
Herbert Feith juga mencatat beberapa hal positif dalam pelaksanaan demokrasi liberal pada masa 1950-1959, antara lain sebagai berikut.
Pemerintah berhasil melaksanakan program-programnya seperti dalam bidang pendidikan, peningkatan produksi, peningkatan tingkat ekspor, dan mengendalikan inflasi.
Kabinet dan ABRI berhasil mengatasi pemberontakan-pemberontakan, seperti Republik Maluku Selatan (RMS) dan DI/TII di Jawa Barat.
Pesatnya jumlah pertumbuhan sekolah-sekolah.
Indonesia mendapat nama baik di dunia internasional karena berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada April 1955.
Pers menikmati kebebasan yang cukup sehingga banyak variasi dalam pemberitaan, serta hadirnya kritik dari pers, terutama dalam kolom kartun dan pojok.
Badan-badan pengadilan menikmati kebebasan yang besar dalam menjalankan fungsinya.
Hanya terdapat sedikit ketegangan diantara umat beragama.
Minoritas Tionghoa mendapat perlindungan dari pemerintah.
Kehidupan Politik
Hasil Konferensi Meja Bundar pada 2 November 1949 di Den Haag melahirkan terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah itu, diangkatlah Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan perdana menteri yang pertama, dan dibentuk pula kabinet. Namun, pada Agustus 1950, RIS dibubarkan karena sebagian negara-negara federal Belanda membubarkan diri dan menginginkan kembali ke pengakuan Republik Indonesia. Kemudian pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menandatangani rancangan UUD NKRI (RI dan RIS) yang kemudian lebih dikenal dengan UUDS 1950 sehingga pada periode ini bentuk negara Indonesia yang semula federal beralih pada bentuk negara kesatuan dimana kekuasaannya dipegang oleh pemerintah pusat dan menganut sistem pemerintahan parlementer.
Tetapi, praktik sistem pemerintahan parlementer yang diterapkan pada masa berlakunya UUDS 1950 ini ternyata tidak membawa bangsa Indonesia ke arah kemakmuran, keteraturan, dan kestabilan politik. Hal ini tercermin dari jatuh bangunnya kabinet dalam kurun waktu antara 1950-1959, telah terjadi 7 kali pergantian kabinet, yaitu.
Kabinet Natsir (6 September 1950-18 April 1951)
Program kerja:
Meningkatkan keamanan dan ketertiban.
Menguatkan konsolidasi, penyempurnaan susunan pemerintahan.
Penyempurnaan angkatan perang.
Memperjuangkan masalah Irian Barat.
Meusatkan perhatian pada ekonomi rakyat sebagai fondasi ekonomi nasional.
Hasil kerja:
Memetakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
Masukknya Indonesia menjadi anggota PBB.
Dilaksanakannya perundingan masalah Irian Barat dengan pihak Belanda.
Kegagalan:
Gagalnya perundingan dengan Belanda tantang masalah Irian Barat, mengakibatkan munculnya mosi tidak percaya pada kabinet Natsir di parlemen.
Kabinet Sukiman (26 April 1951-1952)
Program kerja:
Penerapan tindakan tegas untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Memperjuangkan keamanan dan kesejahteraan rakyat dengan memperbarui hukum agrarian untuk kesejahteraan petani.
Mempersiapkan segala usaha untuk pemilu.
Memperjuangkan Irian Barat dalam wilayah Indonesia.
Hasil Kerja:
Banyaknya hambatan dalam kabinet Sukiman membuat hasil kerja kabinet ini tidak maksimal. Hambatannya, antara lain kondisi keamanan negara yang belum stabil, adanya perseteruan antar berbagai elemen politik, dan adanya permasalah dengan politik luar negeri Indonesia.
Kegagalan:
Kegagalan kabinet ini, yaitu dalam penanganan masalah keamanan dalam negeri, memihaknya Indonesia kepada blok barat dengan menandatangani Mutual Security Act dengan pemerintah Amerika Serikat.
Kabinet Wilopo (19 Maret 1952-2 Juni 1953)
Program kerja:
Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu.
Meningkatkan taraf kemakmuran, pendidikan, dan keamanan rakyat.
Berusaha menyelesaikan masalah Irian Barat, memperbaiki hubungan dengan Belanda, dan konsisten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif.
Hasil kerja:
Kabinet ini menghadapi banyak hambatan dalam melaksanakan tugasnya, antara lain:
Munculnya sentimen kedaerahan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah.
Adanya konflik di tubuh angkatan darat yang mengakibatkan terjadinnya peristiwa 17 Oktober 1952.
Adanya peristiwa Tanjung Morawa di Sumatra Utara.
Kegagalan:
Dengan adanya hambatan tersebut, kabinet ini melahirkan mosi tidak percaya dari kelompok oposisi pemerintah bernama Sarekat tani Indonesia dan diakhiri dengan pengembalian mandat oleh Wilopo.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953-24 Juli 1955)
Program kerja:
Mempersiapkan penyelenggaraan pemilu yang rencananya diadakan pada tengah tahun 1955.
Mengatasi gangguan keamanan dan pemberontakan di daerah.
Melaksanakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan turut berperan dalam menciptakan perdamaian dunia.
Hasil kerja:
Disusunnya kerangka panitia pelaksanaan pemilu.
Suksesnya pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
Membaiknya hubungan dengan Cina.
Kegagalan:
Memperjuangkan Irian Barat ke dalam negara Indonesia.
Munculnya pemberontakan di berbagai daerah.
Masih berlanjutnya konflik di tubuh Angkatan Darat, yaitu dengan mundurnya A. H. Nasution yang digantikan oleh Bambang Sugeng.
Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-3 Maret 1956)
Program kerja:
Memerintahkan polisi militer untuk menangkap Mr. Djody Gondokusumo atas kasus korupsi di departemen kehakiman.
Melaksanakan pemilu secara baik, maksimal, dan secepat mungkin.
Mengangkat kembali A.H. Nasution sebagai KSAD pada 28 Oktober 1955.
Hasil kerja:
Diselenggarakannya pemilu tahun 1955.
Dibubarkannya Uni Indonesia-Belanda.
Berhasil menentukan sistem parlemen Indonesia.
Kegagalan:
Banyak perseteruan antara pemenang pemilu yang meyebabkan sidang parlemen menjadi deadlock.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-14 Maret 1957)
Program kerja:
Memperjuangkan masuknya Irian Barat ke Indonesia.
Mempercepat proses pembentukan daerah otonom di Indonesia.
Meningkatkan kesejahteraan kaum buruh dan pegawai negeri serta menyehatkan dan menyeimbangkan anggaran belanja dan keuangan negara.
Mengganti sistem ekonomi kolonial menjadi sitem ekonomi nasional.
Hasil kerja:
Ditandatanganinya undang-undang pembatalan KMB oleh Presiden Soekarno.
Beralihnya perusahaan Belanda menjadi milik warga Tionghoa.
Kepentingan Belanda diperlakukan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Kegagalan:
Munculnya sentimen anti-Cina dalam masyarakat, munculnya kekecewaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, tidak stabilnya kondisi pemerintah dengan banyaknya partai politik, dan munculnya gerakan separatis di berbagai daerah.
Kabinet Djuanda atau Kabinet Karya (9 April 1957-10 Juli 1959)
Program kerja:
Pembentukan dewan nasional.
Normalisasi keadaan Republik.
Memperjuangkan lancarnya pelaksanaan pembatalan hasil KMB.
Memperjuangkan kembali Irian Barat ke wilayah Indonesia.
Mempercepat dan mengintensifkan program pembangunan.
Hasil kerja:
Dibentuknya dewan nasional untuk menampung aspirasi rakyat yang tergabung dalam nonpartai.
Pembersihan pejabta-pejabat yang melakukan korupsi.
Dilaksanakannya konsolidasi dengan daerah-daerah yang melakukan pemberontakan dengan tujuan agar dapat menormalisasi keamanan negara.
Ditetapkannya peraturan kelautan yang tertuang dalam Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957. Hal itu merupakan bukti keberhasilan diplomasi Indonesia dalam memperjuangkan wilayah teritorial laut Indonesia.
Kegagalan:
Terjadi banyak pemberontakan separatis di daerah-daerah.
Kehidupan Ekonomi
Pada masa Kabinet Sukiman, salah satu perubahan kehidupan ekonomi yang terjadi adalah adanya proses nasionalisasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah. Proses nasionalisasi ekonomi itu menyangkut tiga bidang, yaitu:
Pembentukan Bank Negara Indonesia
Sebelum dilaksanakan nasionalisasi de Javasche Bank, terjadi proses pembentukan Bank Negara Indonesia sebagai bank nasional pertama Indonesia dan dikukuhkan di dalam peraturan pemerintah pengganti UU No. 2/1946. Proses itu terjadi pada 5 Juli 1946.
Nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
Setelah Bank Negara Indonesia terbentuk pemerintah mengeluarkan UU No. 24/1951 yang berisi tentang pelaksanaan nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.. Undang-undang tersebut diperkuat dengan UU No. 11/1953 dan Lembaran Negara No. 40 yang menyatakan bahwa jabatan presiden Bank Indonesia berubah menjadi Gubernur Bank Indonesia. Menteri keuangan, menteri perekonomian, dan gubernur bank menjadi direksi yang berfungsi melancarkan percepatan peningkatan taraf ekonomi dan moneter negara.
Pemberlakuan Oeang Repoeblik Indonesia
Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi mata uang Republik Indonesia dengan menukar mata uang Jepang ke mata uang Indonesia yang disebut dengan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Proses itu terjadi pada 1 Oktober 1946 yang dikukuhkan dengan UU No. 17/1946 dan UU No. 19/1946. Kondisi masyarakat Indonesia pada masa awal kemerdekaan, berangsur-angsur membaik. Kebijakan pemerintah untuk mengajak rakyat Indonesia agar menabung di bank menjadi awal sehatnya kondisi perekonomian bangsa.
Pada masa demokrasi liberal, proses nasionalisasi ekonomi Indonesia tidak berjalan mulus karena konflik kepentingan politik antar kelompok didalam tubuh konstituante dan parlemen. Berbagai kebijakan pada masa dmeokrasi liberal menunjukkan hal itu. Contohnya, proyek nasionalisasi ekonomi pada masa kabinet Ali I yang menekankan nasionalisasi sektor perekonomian dan mendukung tumbuh kembangnya para pengusaha pribumi. Proses nasionalisasi sektor perekonomian itu merupakan salah satu upaya dari pemerintahan kabinet Ali I dalam meningkatkan taraf perekonomian bangsa Indonesia.
Perubahan perekonomian negara juga terlihat pada masa kabinet Ali II. Ditandatanganinya UU Pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) oleh Presiden Soekarno pada 3 Mei 1956 berakibat pada berpindahnya aset-aset modal yang dimliki para pengusaha Belanda ke tangan pengusaha nonpribumi. Hal itu berdampak pada munculnya kondisi sosial yang timpang.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pada 19 Maret 1956, Kongres Nasional Importir Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan yang dinamakan Gerakan Assaat. Gerakan itu mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang dapat melindungi pengusaha pribumi dalam berdaya saing terhadap pengusaha-pengusaha non pribumi.
Kebijakan Pemerintah Untuk Mengatasi Masalah Ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagi berikut.
Gunting syafruddin
Akibat dari perang kemerdekaan selama 5 tahun perekonomian di Indonesia terbelangkai dan kacau sehingga Menteri Keuangan Indonesia Syafruddin Prawiranegara mengeluarkan kebijakan sanering atau pengguntingan uang dengan tujuan menyehatkan keuangan negara. Dari kebijakan tersebut, uang kertas dengan nilai Rp 5.000 ke atas dinyatakan bernilai setengahnya. Sebagai tindak lanjut dari pengguntingan uang tersebut, dikeluarkan uang kertas baru berdasarkan undang-undang darurat No. 21 Th. 1950 tentang uang kertas baru. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Keuangan No. PU/1/19 Maret 1950, tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp 1,5 miliar. Melalui kebijakan ini jumlah uang yang beredar dapat dikurangi dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp 200 juta..
Sistem ekonomi gerakan benteng
Sistem ekonomi gerakan benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir dan direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (Menteri Perdagangan). Program ini bertujuan untuk menumbuhkan kelas pengusaha di kalangan bangsa Indonesia dengan memberi bimbingan, bantuan kredit, serta kesempatan bagi para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional. Program ini dimulai pada April 1950, hasilnya selama 3 tahun ± 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Namun, tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik dan mengakibatkan beban keuangan pemerintah makin besar.
Nasionalisasi De Javasche Bank
Pada akhir tahun 1951, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemrian kredit harus dikonsultasikan pada pemrintahan Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuan dari nasionalisasi De Javasche adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan.
Sistem Ekonomi Ali Baba
Pada pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954-Agustus 1955), Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Tjokroadisurjo memprakarsai sistem ekonomi yang dikenal dengan nama sistem Ali Baba. Sistem ini merupakan bentuk kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan pengusaha nonpribumi (khususnya Cina) yang diidentikkan dengan Baba. Sistem ekonomi ini bertujuan mendorong tumbuh dan berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi. Dalam pelaksanaannya, sistem ekonomi Ali Baba tidak berjalan seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan para pengusaha nonpribumi lebih berpengalaman daripada pengusaha pribumi. Akibatnya, para pengusaha pribumi hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha nonpribumi untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Devaluasi mata uang rupiah
Dalam usaha memperbaiki kondisi ekonomi, pada tanggal 24 Agustus 1959, pemerintah mendevaluasi mata uang Rp 1.000 dan Rp 5.00 menjadi Rp 100 dan Rp 50. Pemerintah juga melakukan pembekuan terhadap semua simpanan di bank-bank yang melebihi jumlah Rp 25.000. Tujuan kebijakan devaluasi ini adalah untuk meningkatkan nilai rupiah dan rakyat kecil tidak dirugikan. Namun, kebijakan pemerintah ini ternyata tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi secara keseluruhan.
Mengeluarkan deklarasi ekonomi
Deklarasi ekonomi (dekon) dikeluarkan pada tanggal 26 Mei 1963. Pemerintah menganggap bahwa untuk menanggulangi kesulitan ekonomi, satu-satunya jalan adalah dengan sistem ekonomi terpimpin. Namun, dalam pelaksanaan ekonomi terpimpin, pemerintah lebih menonjolkan unsur terpimpinnya daripada unsur ekonomi efisien. Sektor ekonomi ditandatangani langsung oleh presiden. Akibatnya, kegiatan ekonomi sangat bergantung pada pemerintah pusat dan kegiatan ekonomipun mengalami penurunan.
Rencana pembangunan lima tahun (RPLT)
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun RPLT yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui oleh DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap), pembiayaan RPLT diperkirakan Rp 12,5 miliar. RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena:
Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Musyawarah nasional pembangunan
Masa kabinet Djuanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakannya Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:
Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
Terjadi ketegangan politik yang tidak dapat diredakan.
Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI atau Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia.
Memuncaknya ketegangan politik Indonesia-Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrotansi bersenjata.
Kehidupan Bidang Pertahanan dan Keamanan
Masalah-Masalah Angkatan Perang
Peristiwa 17 Oktober 1952
Pada hakikatnya, peristiwa 17 Oktober 1952 mempunyai fator-faktor penyebab pada masa-masa sebelumnya. Setelah perag kemerdekaan berakhir, Indonesia menghadapi banyak persoalan antara lain:
Keadaan sosial ekonomi yang semakin memburuk dan korupsi yang semakin meluas.
Keadaan politik yang labil dengan sistem yang liberal model Eropa Barat (khususnya Belanda).
Persoalan pembebasan Irian Barat yang tidak cepat selesai.
Kemorosotan integritas dan kemampuan aparatur pemerintah akibat pertentangan antar dan intern partai-partai serta pergolakan intern angkatan perang.
Akibat peristiwa 17 Oktober ini AD mengalami perpecahan yang memerlukan waktu beberapa tahun untuk mengatasinya. KSAP Jenderal Mayor T.B Simatupang diberhentikan dan jabatan KSAP (kepala staf angkatan perang) dihapuskan, sedangkan KSAD (kepala staf angkatan darat) Kolonel A.H.Nasution mengajukan permintaan berhenti, sebagai pertanggungjawaban atas terjadinya peristiwa tersebut. Ia digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng. Pemerintah pada tanggal 22 November 1952 mengeluarkan keterangan bahwa pada tanggal 17 Oktober tidak terjadi coup atau percobaan coup.
Masalah Intern Angkatan Darat
Peristiwa yang hampir serupa dengan yang terjadi di Angkatan Darat pada tanggal 27 Juni 1955 terjadi pula di Angkatan Udara. Di pangkalan Udara Cililitan (Halim Perdanakusuma) pada tanggal 14 Desember 1955 terjadi keributan menjelang dilantiknya wakil kepala staf angkatan udara komodar muda Hubertus Suyono. Tidak lama sebelum komodar Suyono dilantik, secara tiba-tiba 25 orang prajurit dari pasukan kehormatan pembawa panji-panji AU bersama-sama maju serta berteriak, "tidak setuju".
Secara beramai-ramai mereka meninggalkan barisan, upacara pelantikan mengalami kegagalan karena Menteri Pertahanan Burhanudin Harahap menolak melantik Komodar Suyono tanpa panji-panji. Sementara itu, pada tanggal 2 Juli dan 12 Juli 1952 di Pangkalan Cililitan diselenggarakan rapat yang membahas masalah pendidikan dan penerbangan yang dipimpin oleh Komodar Muda Suyono. Terjadinya rentetan rapat-rapat itu menunjukkan bahwa dikalangan perwira AURI terdapat dua kelompok, sebagian mendukung KSAU dan sebagian lagi menentang kebijakan KSAU.
Gangguan keamanan
Kembalinya ke Negara Kesatuan juga berdampak pada sebagian tokoh dari negara bagian ingin tetap mempertahankan sebagai sebuah negara yang berdiri sendiri dengan cara mengadakan pemberontakan-pemberontakan. Sehingga hal ini menjadi gangguan dan ancaman keamanan dalam negeri. Adapun pemberontakan-pemberontakan itu antara lain:
Pemberontakan APRA
Pemberontakan Andi Aziz
Pemberontakan RMS
Pemberontakan DI/TII
Akhir Masa Demokrasi Liberal Di Indonesia
Kegagalan konstituante menetapkan UUD membawa Indonesia ke tepi jurang kehancuran. Keadaan negara yang telah dirongrong sejumlah pemberontakan menjadii tambah gawat. Faktor-faktor utama yang menjadi penyebab kegagalan konstituante dalam merancang sebuah UUD bagi Indonesia adalah terdapatnya sikap mementingkan kepentingan golongan atau partai politik yang berada didalam konstituante, selain itu terdapat pula berbagai peristiwa politik yang merembet pada konflik kepentingan masing-masing kelompok politik di dalam tubuh konstituante. Atas dasar pertimbangan menyelamatkan negara dari bahaya, Presiden Soekarno terpaksa melakukan tindakan inkonstitusional. Tindakan presiden tersebut berupa pengeluaran dekrit yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tindakan itu terutama didukung oleh kalangan militer. Dukungan kalangan militer terhadap Dekrit Presiden tersebut karena sudah direpotkan oleh sejumlah pemberontakan akibat krisis politik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berisi beberapa keputusan, yaitu:
Konstituante dibubarkan.
UUD 1945 berlaku kembali sebagai UUD Republik Indonesia.
Membentuk MPRS dan DPAS dalam waktu singkat.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka masa demokrasi liberal atau parlementer di Indonesia berakhir dan beralih pada demokrasi terpimpin.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada akhir Desember 1949 secara hukum internasional Indonesia memiliki prospek sebagai Negara yang dapat menentukan masa depannya sendiri dan pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menandatangani rancangan UUD NKRI yang dikenal dengan UUDS 1950 yang kemudian mulai diberlakukan tanggal 17 Agustus 1950.
Dengan diberlakukannya UUDS 1950 Indonesia menerapkan sistem Demokrasi Liberal sejak tahun 1950 sampai tahun 1959. Pada masa Demokrasi Liberal banyak terjadi kemelut politik salah satunya adalah silih bergantinya kabinet selama 9 tahun. Selain itu, juga terjadi prestasi politik yang gemilang seperti terlaksananya Konferensi Asia Afrika pada masa kerja kabinet Ali Sastroamidjojo I dan terlaksananya pemilu yang pertama.
Namun, kekacauan politik yang terjadi pada masa Demokrasi Liberal tidak kunjung usai hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 akibat kegagalan konstituante dalam menetapkan UUD. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandakan berakhirnya masa Demokrasi Liberal dan berlakunya masa Demokrasi Terpimpin
Saran
Dari sejarah berlakunya masa Demokrasi Liberal semoga kita mendapat pelajaran dan hikmah dari apa yang telah terjadi juga bisa memperbaiki kesalahan yang ada untuk kebaikan masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Magdalia, dkk.2007.SEJARAH: untuk SMA dan MA Kelas XII Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Erlangga.
Alfian, Magdalia, dkk.2007.SEJARAH: untuk SMA dan MA Kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Erlangga.
Matroji. 2007. SEJARAH: untuk SMP Kelas IX. Jakarta: Erlangga.
Hapsari, Ratna dan Adil, M. 2015. Sejarah untuk SMA/MA kelas XII Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga.
Kardiman, Yuyus, dkk.2015. Mandiri Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA dan MA Kelas XII. Jakarta: Erlangga.
Kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia. 2015. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta: Kemdikbud.
http://ariskaputri88.blogspot.co.id/2014/03/kehidupan-politik-ekonomi-sosial-budaya.html
http://awalilmu.blogspot.co.id/2015/12/masalah-ekonomi-masa-demokrasi-liberal-terpimpin-upaya-mengatasi.html
14