BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) (industri) maupun di negara negara berkembang. Insidens kasus IMS diyakini pada banyak negara serta kegagalan dalam diagnosis dan memberikan pengobatan pada stadium dini dapat menimbulkan komplikasi serius atau berat dan berbagai gejala sisa lainnya, antara lain : infertilitas, akibat buruk pada bayi, kehamilan ektopik, kanker di daerah anogenital, kematian dini, serta infeksi baik pada neonatus maupun pada bayi. Di samping itu keberadaan IMS akan mengakibatkan biaya pengobatan yang sangat besar. 1 Infeksi menular seksual (IMS) selam dekade terakhir ini mengalami peningkatan insidensi yang cukup pesat di berbagai negara di seluruh dunia. WHO memperkirakan terdapat 340 juta kasus IMS baru yang terjadi terutama pada pria dan wanita berusia 15-49 tahun. Contoh peningkatan yaitu kasus baru gonore di Ameriksa Serikat pada tahun 1995 sebanyak 62.150.000 kasus meningkat menjadi 62.350.000 kasus pada tahun 1999. Pada tahun 2008, dilaporkan 1.210,523 kasus infeksi klamidia di Amerika Serikat. Jumlah ini meningkat sebanyak 9,2% dari data infeksi klamidia pada tahun 2007. Tidak hanya infeksi klamidia, insidensi sipilis pu mengalami peningkatan yang pesat yaitu sebanyak 67% sejak tahun 2004 dan memuncak pada tahun 2008 dengan jumlah 13.500 kasus termasuk kejadian sipilis primes dan sekunder. Di Indonesia sendiri, telah banyak laporan mengenai prevalensi infeksi menular seksual ini. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi antara tahun 1999 sampai 2001 menunjukkan prevalensi infeksi gonore dan klamidia yang tinggi antara 20-35%. Selain klamidia, infeksi HIV/AIDS saat ini juga menjadi perhatian karena peningkatan angka kejadiannya yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Berdasarkan dari hasil sebuah penelitian retrospektif deskriptif yang dilakukan di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Pusat Sanglah Denpasar periode Januari 1996 - Desember 2000 dikatakan ada lima kelompok IMS terbanyak yaitu cervicitis non-gonorrhea, non-gonorrhea, kondiloma akuminata, kandidosis vaginitis, sifilis dan gonorrhea dan gonorrhea..
1
Keberadaan virus Human Immunodeficiency dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) (AIDS) telah menarik perhatian dunia terhadap penanggulangan dan pemberantasan IMS. Terdapata kaitan erat antara penyebaran IMS dengan penularan HIV, baik IMS yang ulseratif maupun yang non-ulseratif, telah terbukti meningkatkan resiko penyebaran HIV melalui hubungan seksual. 1 Jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun ini. Data yang
dikeluarkan
Ditjen
Pengendalian
Penyakit
dan
Pengendalian
Lingkungan
Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa triwulan pertama tahun ini, kasus AIDS telah bertambah 351 kasus. Jumlah kasus HIV/AIDS meningkat setiap tahun karena kar ena masyarakat kurang menyadari risiko penularan.Banyak yang tertular virus ini baru menyadari saat dirinya sudah mengidap penyakit. 2 Di Indonesia, kasus AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1987. Seorang wisatawan berusia 44 tahun asal Belanda meninggal di Rumah Sakit Sanglah, Bali. Kematian lelaki asing itu disebabkan AIDS.3 Pada tahun 2012 dari data Direktorat P2PL, Kemenkes, didapatkan jumlah Kasus HIV sebanyak 9883 jiwa, jumlah kasus AIDS sebesar 3541 jiwa dan jumlah kematian karena AIDS sebanyak 514 jiwa. 4 HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. 5 Semarang, sebagai salah satu kota perdagangan dan ibukota propinsi Jawa Tengah, tidak luput dari ancaman infeksi menular seksual. Salah satu kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi tertular IMS adalah kelompok masyarakat yang tinggal atau yang memiliki aktivitas di lokalisasi Sunan Kuning. Seperti diungkapkan di atas, tidak semua IMS menimbulkan gejala, sehingga diperlukan suatu skrining untuk kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terkena IMS. Sebagai salah satu cara pengendalian penularan dan penemuan dini IMS, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PKBI Kota Semarang memiliki suatu program yang bergerak di bidang Keluarga Berencana (KB) , pencegahan IMS dan HIV/AIDS yang dikenal dengan sebutan Griya Asa Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kota Semarang. Fokus kerja Griya Asa salah satunya adalah di Resosialisasi Sunan Kuning. Skrining rutin telah dilakukan oleh Griya Asa tiap 2 minggu sekali untuk semua wanita pekerja seks (WPS) di Resosialisasi Sunan Kuning. 2
Skrining Griya Asa bertujuan untuk mengetahui penurunan insiden IMS di WPS terutama gonorrhoea (GO) /servisitis dan menentukan berapa kali episode GO / servisitis setiap WPS setahun, memberikan pengobatan pengobatan tepat, menjamin kesembuhan, mencegah mencegah resistensi pengobatan, mencegah drop out pengobatan, memberikan pelayanan rujukan ke rumah sakit serta bekerja sama dengan klinik VCT-CST. Skrining atau penapisan merupakan proses pelaksanaan pemeriksaan atau tes laboratorium untuk mendeteksi penyakit , pada orang yang tidak mengeluhkan tentang gejala penyakit tersebut, kegiatan tersebut harus dilakukan secara rutin, baik jika ada keluhan maupun tidak ada keluhan. Skrining di klinik Griya Asa mulai digalakkan sejak tahun 2004. Skrining atau penapisan merupakan proses pelaksanaan pemeriksaan atau tes laboratorium untuk mendeteksi penyakit , pada orang yang tidak mengeluhkan tentang gejala penyakit tersebut, kegiatan tersebut harus dilakukan secara rutin, baik jika ada keluhan maupun tidak ada keluhan. Skrining di klinik Griya ASA-PKBI Semarang mulai digalakkan sejak tahun 2004. Kegiatan skining yang dilakukan di klinik Griya ASA di Sunan kuning bukan hanya pemeriksaan kasus IMS di klinik tersebut, tapi juga pelatihan untuk para WPS yang dilakukan di gedung. Dikarenakan banyaknya para WPS di daerah tersebut, maka pelatihan dibagi menjadi empat kelompok, untuk kelompok hari Senin yaitu para WPS di wilayah RT 1,2, dan 3. hari Selasa yaitu WPS yang yang tinggal di kosan kosan dan freelance, dan untuk hari Kamis yaitu para WPS di wilayah RT 4, 5, dan 6. Ada pula kegiatan senam yang rutin dilakukan setiap minggu, yaitu setiap hari Jumat untuk WPS di RT 1, 2, 3 dan setiap hari Sabtu untuk WPS di RT 4, 5, 6. Di Griya ASA Total populasi WPS di wilayah Sunan Kuning sampai bulan November 2014 sebanyak 719 719 orang. Dari data yang diambil angka kejadian IMS di resosialisasi Sunan Kuning pada bulan Januari 2014 - November 2014 didapatkan jumlah yang terdiagnosa (+) IMS sebanyak 47,03 % dari 2371 kunjungan WPS yang melakukan skrining di Sunan Kuning Griya Asa. B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
: Mengetahui bagaimana cara mencegah transmisi kasus IMS
2. Tujuan khusus
: Menurunkan angka kejadian kasus IMS dan mencari penyebab tingginya IMS 3
C. MANFAAT - Mengetahui apa itu IMS, penyebab, cara penularan dan cara pencegahannya
-
Mengetahui penyebab utama penularan IMS
-
Mengetahui tanda-tanda klinis IMS yang didapatkan dari hasil skrining
-
Memahami tatacara diagnosa dan tatalaksana pasien dengan IMS
D. TARGET
-
Para WPS 100% menggunakan kondom setiap kali berhubungan berhubungan seksual
-
Para WPS 100% terbebas dari IMS
E. SASARAN -
WPS dengan riwayat IMS berulang sejak Januari 2014 – 2014 – Desember Desember 2014
-
WPS tanpa riwayat IMS sejak Januari 2014 - Desember 2014
F. STRATEGI
-
Para WPS diberi informasi serta diingatkan kembali mengenai pentingnya pemakaian kondom saat berhubungan seksual untuk mencegah penularan IMS dari Griya ASA dan konseling.
-
Mengikutsertakan peranan para mucikari agar senantiasa mengingatkan para WPS asuhannya untuk menggunakan kondom kondom saat berhubungan berhubungan seksual.
-
Menganjurkan WPS untuk rutin melakukan skrining dan VCT sesuai dengan jadwal yang ditentukan.
-
Menghimbau kepada WPS yang memiliki gejala-gejala IMS untuk segera memeriksakan diri ke dokter
4
BAB II KEGIATAN SKRINING DAN IMS
A. DEFINISI SKRINING
Skrining adalah pemeriksaan pada orang yang tidak mengeluhkan gejala penyakit namun berada dalam resiko terkena penyakit (WPS, Waria, dan MSM) yang dilakukan secara berkala. Yang menjadi sasaran klinik IMS adalah kelompok resiko tinggi lokalisasi, kelompok resiko tinggi non lokalisasi yang meliputi panti pijat, pekerja seks panggilan dan pekerja seks jalanan, klien, dan ODHA. Target program skrining adalah 100% WPS melakukan skrining 2 minggu sekali, 100% WPS diperiksa secara laboratorium, dan 100% kasus IMS mendapat pengobatan yang tepat. Tujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksan laboratorium dengan reaksi cepat dan tepat, untuk memonitor pendampingan yaitu perubahan perilaku kelompok dampingan dengan turunnya angka IMS, HIV-AIDS. Prinsip pemeriksaannya adalah one day one service, pelayanan yang nyaman, rahasia, tidak lama. Target skrining untuk para WPS yaitu skrining setiap 2 minggu sekali, setiap kali WPS datang untuk skrining akan mendapatkan konseling.
B. KEGIATAN KLINIK 1. Alur Pemeriksaan IMS
Pada saat pasien datang ke klinik, pasien melakukan registrasi. Di meja registrasi dilakukan pendataan identitas pasien sekaligus dilakukan anamnesis terhadap pasien meliputi frekuensi kunjungan, alasan berkunjung, jenis kontak, hubungan sex terakhir yang dilakukan, pemakaian kondom, pemakaian antibiotik, pencucian vagina, keluhan IMS (duh tubuh, keputihan, gatal, kencing sakit, nyeri perut, lecet, luka/ulkus, jengger, dan lain-lain) dan keluhan yang mungkin dirasakan pasien. Khusus pekerja seks juga ditanyakan lama menjadi pekerja seks. Setelah itu pasien masuk ke ruang pemeriksaan. Di dalam ruang pemeriksaan dilakukan pemeriksaan pada daerah genitalia dan sekitarnya yang sebelumnya dilakukan informed concent . Pada pasien baru dilakukan pemeriksaan fisik head to toe, sedangkan pada pasien lama cukup dilakukan pemeriksaan genitalia. Saat pemeriksaan sebaiknya pemeriksa didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain. Pada pemeriksaan terhadap pasien wanita, pemeriksa didampingi oleh paramedis 5
wanita, sedangkan pada pemeriksaan pasien pria, dapat didampingi oleh tenaga paramedis pria atau wanita. Jika dari anamnesis terdapat keluhan yang mengarah adanya kemungkinan IMS, maka dilakukan pengambilan sekret pada saat pemeriksaan genitalia. Sekret yang telah diambil dikirim ke laboratorium untuk diperiksa. Jika hasilnya positif dilakukan terapi dan dikonseling untuk melakukan VCT. Ji ka hasilnya negatif pasien ditanyakan apakah pasien pernah terkena IMS atau tidak dan tetap dikonseling untuk melakukan VCT.
2. Definisi Infeksi Menular Seksual
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual yang mencakup infeksi yang disertai gejala-gejala klinis maupun asimptomatis.
Penyebab infeksi menular seksual ini sangat beragam dan
setiap penyebab tersebut akan menimbulkan gejala klinis atau penyakit spesifik yang beragam pula. Penyebab IMS dapat dikelompokkan atas beberapa jenis ,yaitu: 6 - bakteri ( diantaranya N.gonorrhoeae, C.trachomatis, T.pallidum) - virus (diantaranya HSV,HPV,HIV, Herpes B virus, Molluscum contagiosum virus), - protozoa (diantaranya Trichomonas vaginalis) - jamur (diantaranya Candida albicans) - ektoparasit (diantaranya Sarcoptes scabiei)
3. Epidemiologi
WHO memperkirakan telah terjadi 340 juta kasus baru Penyakit Menular Seksual (IMS) pada tahun 1999. Angka kejadian infeksi baru terbanyak terjadi di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara (151 juta kasus), yang diikuti oleh Afrika SubSahara (69 juta kasus) dan Amerika Latin (38 juta kasus) . Menurut Centers for Disease Control and Prevention tahun 2007, di Amerika Serikat kasus Klamidia dan Gonorrhea menempati urutan tertinggi IMS yang diderita remaja pada popolasi umum. Pada tahun 2006 kasus terbanyak didapati pada wanita usia 15-19 tahun (terdapat 648 kasus per 100000) dan pada pria usia 20-24 tahun (454 per 100000). 6
4. Penularan Infeksi Menular Seksual
Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan 6
eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang telah tertular. Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan seksual (vaginal, oral, anal). Penularan IMS juga dapat terjadi dengan media lain seperti darah melalui berbagai cara,yaitu:
Transfusi darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV
Saling bertukar jarum suntik pada pemakaian narkoba
Tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengaja/tidak sengaja
Menindik telinga atau tato dengan jarum yang tidak steril,
Penggunaan alat pisau cukur secara bersama-sama (khususnya jika terluka dan menyisakan darah pada alat).
Penularan juga pada terjadi dari ibu kepada bayi pada saat hamil, saat melahirkan dan saat menyusui. Penularan karena mencium atau pada saat menimang bayi dengan IMS kongenital jarang sekali terjadi.
5. Diagnosa Infeksi Menular Seksual
Pemeriksaan klinis pada IMS memiliki 3 prinsip yaitu anamnese, pemeriksaan fisik dan pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium. Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi penting terutama pada waktu menanyakan riwayat seksual. Hal yang sangat penting dijaga adalah kerahasiaan terhadap hasil anamnese pasien. Pertanyaan yang diajukan kepada pasien dengan dugaan IMS meliputi: - Keluhan dan riwayat penyakit saat ini. - Keadaan umum yang dirasakan. - Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun sistemik dengan penekanan pada antibiotik. - Riwayat seksual yaitu kontak seksual baik di dalam maupun di luar pernikahan, berganti-ganti pasangan, kontak seksual dengan pasangan setelah mengalami gejala penyakit, frekuensi dan jenis kontak seksual, cara melakukan kontak seksual, dan apakah pasangan juga mengalami keluhan atau gejala yang sama. - Riwayat penyakit terdahulu yang berhubungan dengan IMS atau penyakit di daerah genital lain. 7
- Riwayat penyakit berat lainnya. - Riwayat keluarga yaitu dugaan IMS yang ditularkan oleh ibu kepada bayinya. - Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi IMS, misalnya erupsi kulit, nyeri sendi dan pada wanita tentang nyeri perut bawah, gangguan haid, kehamilan dan hasilnya. - Riwayat alergi obat. Pemeriksaan fisik yang dilakukan kepada pasien harus memperhatikan hal penting seperti kerahasiaan pribadi pasien, sumber cahaya yang baik untuk dokter pemeriksa dan selalu harus menggunakan sarung tangan setiap kali meme riksa pasien. Pada pasien pria, organ reproduksi lebih mudah diraba. Mula-mula inspeksi daerah inguinal dan raba adakah pembesaran kelenjar dan catat konsistensi, ukuran, mobilitas, rasa nyeri, serta tanda radang pada kulit di atasnya. Pada waktu bersamaan, perhatikan daerah pubis dan kulit sekitarnya, adanya pedikulosis, folikulitis atau lesi kulit lainnya. Lakukan inspeksi skrotum, apakah asimetris, eritema, lesi superfisial dan palpasi isi skrotum dengan hati-hati. Dan akhirnya perhatikan keadaan penis mulai dari dasar hingga ujung. Inspeksi daerah perineum dan anus dengan posisi pasien sebaiknya bertumpu pada siku dan lutut. Berbeda dengan pasien pria, organ reproduksi wanita terdapat dalam rongga pelvik sehingga pemeriksaan tidak segampang pria. Pemeriksaan meliputi inspeksi dan palpasi dimulai dari daerah inguinal dan sekitarnya. Untuk menilai keadaan di dalam vagina, gunakan spekulum dengan memberitahukannya kepada pasien terlebih dahulu. Dan akhirnya lakukan pemeriksaan bimanual untuk menilai ukuran, bentuk, posisi, mobilitas, konsistensi dan kontur uterus serta deteksi kelainan pada adneksa. Diagnosis pasien IMS dapat ditegakkan berdasarkan pendekatan sindrom bagi sarana pelayanan kesehatan yang tidak memiliki fasilitas laboratorium, atau secara etiologis berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium sederhana.1 Pengambilan bahan duh tubuh uretra pria, dapat dilakukan dengan menggunakan sengkelit maupun lidi kapas yang dimasukkan ke dalam uretra. Sedangkan pengambilan duh tubuh genital pada wanita dilakukan dengan spekulum dan mengusapkan kapas lidi di dalam vagina dan kemudian dioleskan ke kaca objek bersih.
8
6. Jenis-jenis IMS
Beberapa jenis IMS yang paling umum ditemukan di Indonesia adalah: a. Gonore
Definisi Gonore merupakan semua penyakit yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang bersifat purulen dan dapat menyerang permukaan mukosa manapun di tubuh manusia Epidemiologi Di dunia, gonore merupakan IMS yang paling sering terjadi sepanjang abad ke 20, dengan perkiraan 200 juta kasus baru yang terjadi tiap tahunnya. Sejak tahun 2008, jumlah penderita wanita dan pria sudah hampir sama yaitu sekitar 1,34 tiap 100.000 penduduk untuk wanita dan 1,03 tiap 100.000 penduduk untuk pria . Sedangkan di Indonesia, dari data rumah sakit yang beragam seperti RSU Mataram pada tahun 1989 dilaporkan gonore yang sangat tinggi yaitu sebesar 52,87% dari seluruh penderita IMS. Sedangkan pada RS Dr.Pirngadi Medan ditemukan 16% dari sebanyak 326 penderita IMS. Etiologi dan morfologi Gonore disebabkan oleh gonokokus yang ditemukan oleh Neisser pada tahun 1879. Kuman ini masuk dalam kelompok Neisseria sebagai N.gonorrhoeae bersama dengan 3 spesies lainnya yaitu, N.meningitidis, N.catarrhalis dan N.pharyngis sicca. Gonokok termasuk golongan diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u dan pajang 1,6 u. Kuman ini bersifat tahan asam, gram negatif, dan dapat ditemui baik di dalam maupun di luar leukosit. Kuman ini tidak dapat bertahan hidup pada suhu 39 derajat Celcius, pada keadaan kering dan tidak tahan terhadap zat disinfektan. Gonokok terdiri atas 4 tipe yaitu tipe 1, tipe 2, tipe 3 dan tipe 4. Namun, hanya gonokok tipe 1 dan tipe 2 yang bersifat virulen karena memiliki pili yang membantunya untuk melekat pada mukosa epitel terutama yang bertipe kuboidal atau lapis gepeng yang belum matur dan menimbulkan peradangan. Gejala klinis Masa tunas gonore sangat singkat yaitu sekitar 2 hingga 5 hari pada 9
pria.Sedangkan pada wanita, masa tunas sulit ditentukan akibat adanya kecenderungan untuk bersifat asimptomatis pada wanita. Keluhan subjektif yang paling sering timbul adalah rasa gatal, disuria, polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen dari ujung uretra yang kadang-kadang dapat disertai darah dan rasa nyeri pada saat ereksi. Pada pemeriksaan orifisium uretra eksternum tampak kemerahan, edema, ekstropion dan pasien merasa panas. Pada beberapa kasus didapati pula pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral maupun bilateral. Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Pada wanita, gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan objektif. Adapun gejala yang mungkin dikeluhkan oleh penderita wanita adalah rasa nyeri pada panggul bawah, dan dapat ditemukan serviks yang memerah dengan erosi dan sekret mukopurulen.
b. Infeksi Genital Non-Spesifik (IGNS)
Definisi IGNS merupakan infeksi traktus genital yang disebabkan oleh penyebab yang
nonspesifik yang meliputi beberapa keadaan yaitu Uretritis Non-spesifik
(UNS), proktitis nonspesifik dan Uretritis Non-Gonore (UGN). Epidemiologi Di dunia, WHO memperkirakan terdapat 140 juta kasus yang terjadi akibat infeksi C.trachomatis. Terdapat 1,1 juta kasus dilaporkan di Amerika Serikat dengan prevalensi tertinggi terjadi pada wanita diusia 15-24 tahun pada tahun 2007. Sedangkan di Indonesia, dari data yang diambil dari poliklinik IMS RS dr.Pirngadi Medan didapatkan prevalensi UNG sebesar 54% pada tahun 19901991. Di RSUP Denpasar prevalensi UNG/IGNS sebesar 13,8% pada tahun 19931994. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan terhadap kelompok pramuwaria di Jakarta mendapatkan data prevalensi klamidia sebesar 35,48% dari 62 orang yang
diperiksa
sedangkan
pada
pemeriksaan
terhadap
WTS
di
Medan
menunjukkan prevalensi sebesar 45%. Etiologi dan morfologi Penyebab 30% hingga 50% kasus IGNS adalah Chlamydia trachomatis, sedangkan kasus selebihnya umumnya disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum. 10
Chlamydia trachomatis, imunotipe D sampai dengan K, ditemukan pada 35 – 50 % dari kasus uretritis non gonokokus. Klamidia yang menyebabkan penyakit pada manusia diklasifikasikan menjadi tiga spesies, yaitu:
Chlamydia psittaci, penyebab psittacosis.
trachomatis, termasuk serotipe yang menyebabkan trachoma infeksi alat kelamin, Chlamydia conjunctivitis dan pneumonia anak dan serotipe lain yang menyebabkan Lymphogranuloma venereum.
pneumoniae, penyebab penyakit saluran pernapasan termasuk pneumonia dan merupakan penyebab penyakit arteri koroner.
Gejala klinis Penting untuk mengetahui adanya koitus suspektus yang biasanya terjadi 1 hingga 5 minggu sebelum timbulnya gejala. Juga penting untuk mengetahui apakah telah melakukan hubungan seksual dengan istri pada waktu keluhan sedang berlangsung, mengingat hal ini dapat menyebabkan fenomena penularan pingpong. Menurut Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual Depkes RI, infeksi melalui hubungan seksual ini pada pria muncul sebagai uretritis dan pada wanita sebagai servisitis mukopurulen. Manifestasi klinis dari uretritis kadang sulit dibedakan dengan gonorrhea dan termasuk adanya discharge mukopurulen dalam jumlah sedikit atau sedang, terutama pada pagi hari (morning drops) dan dapat pula berupa bercak di celana dalam, gatal pada uretra dan rasa panas ketika buang air kecil. Infeksi tanpa gejala bisa ditemukan pada 1-25% pria dengan aktivitas seksual aktif. Pada wanita, manifestasi klinis mungkin sama dengan gonorrhea, dan seringkali muncul sebagai discharge endoservik mukopurulen, disertai dengan pembengkakan, eritema dan mudah mengakibatkan perdarahan endoservik disebabkan oleh peradangan dari epitel kolumner endoservik. Namun, 70 % dari wanita dengan aktivitas seksual aktif yang menderita klamidia, biasanya tidak menunjukkan gejala. Infeksi kronis tanpa gejala dari endometrium dan saluran tuba bisa memberikan hasil yang sama. Manifestasi klinis lain namun jarang terjadi seperti bartolinitis, sindroma uretral dengan disuria dan pyuria, perihepatitis (sindroma Fitz- Hugh-Curtis) dan proktitis. Infeksi yang terjadi selama kehamilan bisa mengakibatkan ketuban pecah dini dan menyebabkan terjadinya kelahiran prematur, serta dapat menyebabkan konjungtivitis dan radang paru pada bayi baru lahir. Infeksi klamidia endoserviks meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. 11
Infeksi klamidia bisa terjadi bersamaan dengan gonorrhea, dan tetap bertahan walaupun gonorrhea telah sembuh. Oleh karena servisitis yang disebabkan oleh gonokokus dan klamidia sulit dibedakan secara klinis maka pengobatan untuk kedua mikroorganisme ini dilakukan pada saat diagnosa pasti telah dilakukan. Namun pengobatan terhadap gonorrhea tidak selalu dilakukan jika diagnosa penyakit disebabkan C. trachomatis.
c. Sifilis
Definisi Sifilis adalah penyakit kelamin menular yang disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum. Epidemiologi Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin klasik yang dapat dikendalikan dengan baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis dan sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat sejak tahun 1986 dan berlanjut sampai dengan tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan ini terjadi terutama di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di kalangan anak-anak muda dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi adalah golongan usia muda berusia antara 20 – 29 tahun, yang aktif secara seksual. Adanya perbedaan prevalensi penyakit pada ras yang berbeda lebih disebabkan oleh faktor sosial daripada faktor biologis. Etiologi dan morfologi Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang merupakan spesies Treponema dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales. Treponema pallidum berbentuk spiral, negatif-Gram dengan panjang rata-rata 11 μm (antara 6-20 μm) dengan diameter 0,09 – 0,18 μm. Treponema pallidum mempunyai titik ujung terakhir dengan 3 aksial fibril yang keluar dari bagian ujung lapisan bawah. Treponema dapat bergerak berotasi cepat, fleksi sel dan maju seperti gerakan pembuka tutup botol. Gejala klinis Menurut hasil pemeriksaan histopatologis, perjalanan penyakit sífilis merupakan penyakit pembuluh darah dari awal hingga akhir. Dasar perubahan patologis sífilis adalah inviltrat perivaskular yang terdiri atas limfosit dan plasma sel. Hal ini merupakan tanda spesifik namun tidak patognomonis untuk sífilis. Sel 12
infiltrat tampak mengelilingi endotelial yang berproliferasi sehingga menebal. Penebalan ini mengakibatkan timbulnya trombosis yang menyebabkan fokus-fokus nekrosis kecil sebagai lesi primer.
Periode inkubasi sifilis biasanya 3 minggu.
Fase sifilis primer ditandai dengan munculnya tanda klinis yang pertama yang umumnya berupa tukak baik tunggal maupun multipel. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras dan terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Pada pria biasanya disertai dengan pembesaran kelenjar limfe inguinal media baik unilateral maupun bilateral. Masuknya mikroorganisme ke dalam darah terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya ditandai dengan terjadinya pembesaran kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit, keras nonfluktuan. Infeksi juga dapat terjadi tanpa ditemukannya chancer (ulkus durum) yang jelas, misalnya kalau infeksi terjadi di rektum atau serviks. Tanpa diberi pengobatan, lesi primer akan sembuh spontan dalam waktu 4 hingga 6 minggu. Sepertiga dari kasus yang tidak diobati mengalami stadium generalisata, stadium dua, dimana muncul erupsi di kulit yang kadang disertai dengan gejala konstitusional tubuh. Timbul ruam makulo papuler bisanya pada telapak tangan dan telapak kaki diikuti dengan limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari sifilis yang akan menghilang secara spontan dalam beberapa minggu atau sampai dua belas bulan kemudian. Sifilis sekunder dapat timbul berupa ruam pada kulit, selaput lendir dan organ tubuh dan dapat disertai demam dan malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Pada kulit kepala dijumpai alopesia yang disebut moth- eaten alopecia yang dimulai di daerah oksipital. Dapat dijumpai plakat pada selaput lendir mulut, kerongkongan dan serviks. Pada beberapa kasus ditemukan pula splenomegali. Penularan dapat terjadi jika ada lesi mukokutaneus yang basah pada penderita sifilis primer dan sekunder. Namun jika dilihat dari kemampuannya menularkan kepada orang lain, maka perbedaan antara stadium pertama dan stadium kedua yang infeksius dengan stadium laten yang non infeksius adalah bersifat arbitrari, oleh karena lesi pada penderita sifilis stadium pertama dan kedua bisa saja tidak kelihatan. Lesi pada sifilis stadium dua bisa muncul berulang dengan frekuensi menurun 4 tahun setelah infeksi. Namun penularan jarang sekali terjadi satu tahun setelah infeksi. Dengan demikian di AS penderita sifilis dianggap tidak menular 13
lagi setahun setelah infeksi. Transmisi sifilis dari ibu kepada janin kemungkinan terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal namun infeksi dapat saja berlangsung selama stadium laten. Penderita stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang tidak diobati akan masuk kedalam fase laten selama berminggu minggu bahkan selama bertahun tahun. Fase laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis namun dengan pemeriksaan serologis yang reaktif. Akan tetapi bukan berarti perjalanan penyakit akan berhenti pada tingkat ini, s ebab dapat terjadi sifilis stadium
lanjut
berbentuk
gumma,
kelainan
susunan
syaraf
pusat
dan
kardiovaskuler. Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala meningitis sifilitik akut dan berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan akhirnya timbul paresis dan tabes dorsalis. Periode laten ini kadang kala berlangsung seumur hidup. Pada kejadian lain yang tidak dapat diramalkan, 5 – 20 tahun setelah infeksi terjadi lesi pada aorta yang sangat berbahaya (sifilis kardiovaskuler) atau gumma dapat muncul dikulit, saluran pencernaan tulang atau pada permukaan selaput lendir. Stadium awal sifilis jarang sekali menimbulkan kematian atau disabilitas yang serius, sedangkan stadium lanjut sifilis memperpendek umur, menurunkan kesehatan dan menurunkan produktivitas dan efisiensi kerja. Mereka yang terinfeksi sifilis dan pada saat yang sama juga terkena infeksi HIV cenderung akan menderita sifilis SSP. Oleh karena itu setiap saat ada penderita HIV dengan gejala SSP harus dipikirkan kemungkinan yang bersangkutan menderita neurosifilis (neurolues). Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal pada saat mengandung bayinya dan ini sering sekali terjadi sedangkan frekuensinya makin jarang pada ibu yang menderita stadium lanjut sifilis pada saat mengandung bayinya. Infeksi pada janin dapat berakibat terjadi aborsi, stillbirth atau kematian bayi karena lahir prematur atau lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) atau mati karena menderita enyakit sistemik. Bayi yang mempunyai lesi
mukokutaneus basah
menderita
sifilis
yang muncul lebih menyebar dibagian
tubuh lain dibandingkan dengan penderita sifilis dewasa. Lesi basah ini merupakan sumber infeksi yang sangat potensial. Infeksi kongenital dapat berakibat munculnya manifestasi klinis yang muncul kemudian berupa gejala neurologis terserangnya SSP. Dan kadangkala infeksi kongenital dapat mengakibatkan berbagai kelainan fisik yang dapat 14
menimbulkan stigmatisasi di masyarakat seperti gigi Hutchinson, saddlenose (hidung berbentuk pelana kuda), saber shins (tulang kering berbentuk pedang), keratitis interstitialis dan tuli. Sifilis kongenital kadang asimtomatik, terutama pada minggu-minggu pertama setelah lahir.
d. Herpes genitalis
Definisi Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekurens. Epidemiologi Data- data di beberapa RS di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi herpes genital rendah sekali pada tahun 1992 di RSUP dr.Moewardi yaitu hanya 10 kasus dari 9983 penderita IMS. Namun, prevalensi di RSUD Dr.Soetomo agak tinggi yaitu sebesar 64 dari 653 kasus IMS dan lebih tinggi lagi di RSUP Denpasar yaitu 22 kasus dari 126 kasus IMS. Etiologi dan morfologi Herpes Simplex Virus (HSV) dibedakan menjadi 2 tipe oleh SHARLITT tahun 1940 menjadi HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. Secara serologik, biologik dan fisikokimia, keduanya hampir tidak dapat dibedakan. Namun menurut hasil penelitian, HSV tipe 2 merupakan tipe dominan yang ditularkan melalui hubungan seksual genito-genital. HSV tipe 1 justru banyak ditularkan melalui aktivitas seksual oro-genital atau melalui tangan. Gejala klinis Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala awal biasanya berupa gatal, kesemutan dan sakit. Lalu akan muncul bercak kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar. Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng. Penderita bisa mengalami nyeri saat berkemih atau disuria dan ketika berjalan akan timbul nyeri. Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa meninggalkan jaringan parut. Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak membesar. Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan gejala berikutnya dan mungkin disertai dengan demam dan tidak enak badan. 15
Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis, termasuk kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan luka bisa terbentuk di vulva dan leher rahim. Jika penderita melakukan hubungan seksual melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa terbentuk di sekitar anus atau di dalam rektum. Pada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita infeksi HIV), luka herpes bisa sangat berat, menyebar ke bagian tubuh lainnya, menetap selama beberapa minggu atau lebih dan resisten terhadap pengobatan dengan asiklovir. Gejala-gejalanya cenderung kambuh kembali di daerah yang sama atau di sekitarnya, karena virus menetap di saraf panggul terdekat dan kembali aktif untuk kembali menginfeksi kulit. HSV-2 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf panggul. HSV-1 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf wajah dan menyebabkan fever blister atau herpes labialis. Tetapi kedua virus bisa menimbulkan penyakit di kedua daerah tersebut. Infeksi awal oleh salah satu virus akan memberikan kekebalan parsial terhadap virus lainnya, sehingga gejala dari virus kedua tidak terlalu berat.
7. Pencegahan IMS
Prinsip umum pengendalian IMS adalah: Tujuan utama: o
Memutuskan rantai penularan infeksi IMS
o
Mencegah berkembangnya IMS dan komplikasinya
Tujuan ini dicapai melalui: o
Mengurangi pajanan IMS dengan program penyuluhan untuk menjauhkan masyarakat terhadap perilaku berisiko tinggi
o
Mencegah infeksi dengan anjuran pemakaian kondom bagi yang berperilaku risiko tinggi
o
Meningkatkan kemampuan diagnosa dan pengobatan serta anjuran untuk mencari pengobatan yang tepat
o
Membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif baik untuk yang simptomatik maupun asimptomatik serta pasangan seksualnya. Menurut Direktorat Jenderal PPM & PL (Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan) Departemen Kesehatan RI, tindakan pencegahan dapat
16
dilakukan dengan beberapa tindakan, seperti: o
Mendidik masyarakat untuk menjaga kesehatan dan hubungan seks yang sehat,pentingnya menunda usia aktivitas hubungan seksual, perkawinan monogami, dan mengurangi jumlah pasangan seksual.
o
Melindungi masyarakat dari IMS dengan mencegah dan mengendalikan IMS pada para pekerja seks komersial dan pelanggan mereka dengan melakukan penyuluhan mengenai bahaya IMS, menghindari hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, tindakan profilaksis dan terutama mengajarkan cara penggunaan kondom yang tepat dan konsisten.
o
Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan untuk diagnosa dini dan pengobatan dini terhadap IMS. Jelaskan tentang manfaat fasilitas ini dan tentang gejala-gejala IMS dan cara-cara penyebarannya.
17
BAB III HASIL PENGAMATAN
A. CARA PENAPISAN WPS AGAR TIDAK TERKENA IMS
Skrining (penapisan) di Sunan Kuning dilakukan secara berkala dan didata dengan menggunakan buku catatan medis bagi setiap WPS. Setiap WPS di Sunan Kuning diwajibkan untuk melakukan skrining yang dilakukan oleh Griya ASA setiap 2 minggu sekali. Dari skrining ini dapat diketahui apakah seorang WPS itu terkena IMS atau tidak, serta penyakit lainnya. Informasi mengenai penyakit-penyakit menular seksual maupun HIV/AIDS disampaikan melalui kegiatan sekolah. Setiap WPS wajib mengikuti sekolah yang dilakukan setiap hari Senin, Selasa dan Kamis. Setiap gang atau wilayah WPS tinggal memiliki jadwal hari sekolah yang berbeda sebagai berikut:
Senin : gang 1,2 dan 3
Selasa : kos dan freelance
Kamis : gang 4, 5, dan 6 skrining
Jumat dan Sabtu : senam
Kegiatan sekolah tersebut berisi penyampaian informasi/materi, pendataan, serta informasi tawaran keterampilan diluar lingkup Sunan Kuning. Materi yang diberikan saat sekolah salah satunya adalah mengenai kesehatan dan keterampilan. Pembahasan kesehatan lebih banyak membahas tentang penyakit menular seksual serta HIV/AIDS dari segala aspek mulai dari pengertian hingga dampak apa saja yang dapat ditimbulkan termasuk pencegahannya dengan mengikuti skrining yang dilakukan oleh petugas kesehatan. WPS diminta untuk mendaftarkan diri ke petugas administrasi, kemudian WPS diberikan kartu tanda periksa, formulir identitas dan catatan medis. WPS lalu masuk ke ruang pemeriksaan untuk dilakukan pengambilan sampel dari vagina. Sampel kemudian diperiksa di laboratorium. WPS dengan hasil pemeriksaan positif akan diberikan pengobatan dan konseling mengenai hasil pemeriksaannya dan dianjurkan untuk kontrol kembali 1 minggu kemudian. WPS dengan hasil negatif diberi konseling agar
18
mempertahankan kesehatan reproduksinya sehingga tidak terkena IMS. Informasi lain yang diberikan meliputi pendidikan pengembangan
keterampilan setiap WPS berupa
kecantikan, menjahit dan lain-lain.
B. TINDAKAN YANG DIBERIKAN PETUGAS KESEHATAN PADA HRM YANG POSITIF
Penularan IMS kemungkinan besar berasal dari HRM ( High Risk Man) yang merupakan pria yang memakai jasa dari WPS. HRM ini perlu mendapatkan skrining yang diikuti dengan pemberian informasi mengenai risiko tertular penyakit-penyakit menular seksual. Penangan jika terdapat HRM dengan hasil pemeriksaan positif maka petugas kesehatan akan memberikan konseling agar mau mengikuti pengobatan serta pencegahan penularan IMS dengan menggunakan alat pelindung saat berhubungan intim dengan pasangannya (baik WPS maupun pasangan lain).
C. SOP ADMINISTRASI KLINIK IMS
1. Alat dan bahan :
buku registrasi
formulir identitas
catatan medis
kartu pasien
slide
baki untuk menaruh slide stiker untuk menulis identitas
2. Prosedur : Pasien datang ke klinik IMS kemudian akan diterima dahulu oleh petugas administrasi. Pendataan identitas pasien secara lengkap dilakukan oleh petugas administrasi kemudian akan dilakukan anamnesis secara lengkap. 1. mengenalkan diri pada pasien dan menjelaskan tanggung jawabnya di klinik IMS 2. mengisi formulir identitas pasien 3. mencatat pasien dibuku register 19
4. melakukan anamnesis identitas pasien dari pemberian kode hingga baris ke 20 5. mencatat hasil anamnesis ke dalam catatan medis 6. memberikan kartu pasien pada pasien baru 7. menuliskan kode identitas pasien pada stiker dan menempelkan pada slide dibagian tepinya (pasien perempuan 2 slide, pasien MSM dan waria tergantung cara berhubungan seks reseptive dan insertive 2 slide) 8. pada pasien baru menjelaskan mengenai pemeriksaan darah dan meminta kesediaan pasien untuk diambil darahnya 9. mengantarkan slide dan CM ke ruang pemeriksaan 10. mengumpulkan dan menyimpan kembali CM setelah selesai dari ruang pengobatan dan konseling
3. Hasil pengamatan di lapangan: Petugas administrasi melakukan anamnesis dengan mengisi formulir dengan memberi kode hingga baris 20 (cuci vagina),mengisi buku registrasi namun hanya memberikan 1 buah slide untuk pemeriksaan REGISTER
RUANG PEMERIKSAAN PENGAMBILAN SEKRET
LABORATORIUM
HASIL
KLINIK (TERAPI dan KONSELING)
+
VCT
-
PERNAH IMS/TIDAK
20
Bagan 1. Alur Pemeriksaan IMS Adapun informed concent yang terdapat di Griya ASA seperti berikut :
GRIYA ASA PKBI KOTA SEMARANG Jalan Argorejo X/21 Kalibanteng kulon Semarang Telp. 50149 telp/Fax 024-7612948
INFORM CONSENT TINDAKAN Saya yang bertandatangan dibawah ini telah mengerti tentang penyakit yang saya derita, memahami prosedur pemeriksaan dan pengobatan yang akan diberikan dan tahu segala akibat yang mungkin timbul dari penyakit dan tindakan medis yang akan dilakukan terhadap saya, serta telah diberikan penjelasan dengan baik, maka saya : NAMA
:
ID LAMA
:
ID BARU
:
No
Tanggal
Bersedia/tidak tindakan medis
TTD Pasien
Petugas
Keterangan
kesehatan
1 2 3 4 5
21
D. SOP Pemeriksaan Klinis Prosedur pemeriksaan
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan melakukan informed consent meliputi jenis tindakan yang akan dilakukan, maksud dan tujuan tindakan, keuntungan dan kerugian dari tindakan medis yang akan dilakukan. Setelah pasien setuju dan bersedia pasien diminta menandatangani surat informed consent . 2. Pemeriksa ditemani paramedis menyediakan alat-alat yang dibutuhkan seperti spekulum, sarung tangan, lidi kapas steril, meja ginekolog, spatula/lidi kapas non steril, lampu pemeriksa dalam, baskom, coverslip, larutan chlorin 0,5 %, sabun cair dan sikat. 3. Pemeriksa mencuci tangan dan memakai sarung tangan. 4. Minta pasien untuk membuka pakaian dalamnya agar dapat dilakukan pemeriksaan genital (pada keadaan tertentu, kadang-kadang pasien harus membuka seluruh pakaiannya). 5. Setelah membuka pakaian dalam, pasien diminta untuk naik ke meja pemeriksaan. 6. Pada pasien wanita, diminta berbaring pada meja ginekologik dalam posisi litotomi, sedangkan pada pasien pria dapat dilakukan sambil duduk atau berdiri. 7. Saat dilakukan pemeriksaan, pasien diminta untuk tenang dan rileks. 8. Pada saat melakukan pemeriksaan fisik dengan cara inspeksi dan palpasi didaerah genitalia dan sekitarnya, pemeriksa harus selalu menggunakan sarung tangan. 9. Jika saat pemeriksaan genitalia terdapat tanda-tanda infeksi diberikan pengobatan. Obat untuk kondiloma ditetesi Podofilin, herpes diberi Acyclovir, dan bila ada erosi diberi albotil. 10. Pada saat pemeriksaan, dilakukan juga pengambilan spesimen/ bahan pemeriksaan. 11. Setelah selesai pasien diminta untuk memakai pakaiannya kembali. 12. Pasien diminta untuk menunggu hasil laboratorium. 13. Setelah hasil laboratorium keluar, pasien diminta menuju ke ruang dokter untuk mendapatkan terapi/ pengobatan serta konseling. Pengambilan spesimen
Pasien dengan gejala duh tubuh genital Pria 22
1. Jika ada duh tubuh uretra, sampel dapat langsung diambil dari duh tersebut. Jika tidak ada duh tubuh, maka dilakukan milking (pengurutan penis). 2. Pengambilan dengan cara milking , bisa dilakukan oleh pemeriksa atau jika pasien tidak mau, bisa dengan mendemonstrasikan cara tersebut dengan dildo, kemudian minta pasien untuk mempraktekkannya lagi. 3. Lalu masukkan lidi kapas steril kedalam uretra, putar lidi kapas searah jarum jam 2-3 kali untuk mendapatkan sampel yang cukup. 4. Tarik lidi kapas pelan-pelan. 5. Buat hapusan pada kaca objek untuk dilakukan pengecatan Methylen Blue. 6. Buang lidi kapas yang sudah digunakan kedalam tempat sampah infeksius. 7. Sampel dikirim ke laboratorium. 8. Pasien diminta untuk tidak kencing selama 3 jam sebelum pengambilan spesimen, bila tidak ditemukan duh tubuh walaupun telah dilakukan milking. Wanita ( pemeriksaan in spekulo)
Pada pasien wanita dengan status virgin atau belum menikah tidak dilakukan pemeriksaan dengan spekulum, karena akan merusak selaput daranya sehingga bahan spesimen hanya di ambil dengan sengkelit steril dari vagina dan uretra. Pada pasien dengan status sudah menikah dilakukan pemeriksaan in spekulo, kemudian dilakukan pengambilan bahan pemeriksaan : 1. Jelaskan kepada pasien tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan, serta pasien diminta untuk tenang dan tidak merasa takut. 2. Setiap pengambilan bahan untuk masing-masing pemeriksaan harus menggunakan spekulum/ sengkelit/ kapas lidi/ swab steril. 3. Masukan daun spekulum cocor bebek steril dalam keadaan tertutup dengan posisi tegak/ vertikal ke dalam vagina, dan setelah seluruhnya masuk kemudian putar pelan pelan sampai daun spekulum dalam posisi datar/ horizontal. Buka spekulum dan dengan bantuan lampu sorot vagina cari serviks. Kunci spekulum pada posisi itu sehingga serviks terfiksasi. 4. Setelah ini dapat dimulai pemeriksaan serviks, vagina dan pengambilan spesimen. 5. Ambil lidi kapas steril yang pertama 6. Bersihkan sekitar mulut serviks/ rahim dengan lidi kapas steril kemudian ke fornix posterior dan dinding vagina.
23
7. Dari lidi kapas pertama ini buatlah apusan berupa dua buah lingkaran kecil pada sisi kanan dan kiri slide untuk pemeriksaan sediaan basah, olesan jangan terlalu tebal atau tipis. 8. Lakukan pemeriksaan keasaman vagina dengan menempelkan lidi kapas yang telah digunakan untuk mengambil sediaan dari forniks dan dinding vagina pada kertas pH 9. Buang lidi kapas yang sudah digunakan ke dalam tempat sampah infeksius 10. Ambil lidi kapas steril kedua 11. Masukkan lidi kapas steril ke dalam saluran endoserviks sedalam 1-1,5 cm, putar lidi kapas searah jarum jam 2-3 kali untuk mendapatkan sampel yang cukup 12. Tarik lidi kapas pelan-pelan tanpa menyentuh dinding vagina 13. Buat hapusan pada kaca objek kedua dengan cara menggulirkan lidi kapas dengan berhati-hati untuk dilakukan pengecatan Methylen blue 14. Pembuatan hapusan usahakan satu kali jadi. Jika tidak, mulai dari arah yang sama dan tidak boleh bolak-balik arah 15. Hapusan jangan terlalu tebal atau terlalu tipis 16. Lidi kapas yang sudah terpakai dibuang ketempat sampah infeksius 17. Keluarkan spekulum dan teteskan KOH ke cairan yang ada di bagian ujung spekulum 18. Segera identifikasi apakah ada bau amis yang keluar 19. Masukan spekulum bekas ke dalam ember yang berisi larutan chlorin 0,5 %.
Pengambil Sampel dan Pembuatan Sediaan dari Uretra Alat dan bahan : 1. Lidi kapas 2. Slide Prosedur : 1. Meminta pasien untuk membuka celananya 2. Pemeriksaan dapat dilakukan pada posisi berdiri atau tidur 3. Inspeksi dan palpasi daerah inguinal, skrotum, penis 4. Catat : kelainan berupa luka, pembengkakkan, vegetasi 5. Jika ada duh tubuh uretra, sampel dapat langsung diambil dari duh tersebut. Jika tidak ada duh tubuh, maka dilakukan milking 6. Pengambilan dengan cara milking, bisa dilakukan oleh pemeriksa, atau jika pasien tidak mau, bisa mendemonstrasikan cara tersebut dengan dildo, kemudian minta pasien untuk mempraktikkannya lagi 24
7. Pasien diminta untuk tidak kencing selama 3 jam sebelum pengambilan spesimen, bila tidak ditemukan duh tubuh walaupun telah dilakukan milking 8. Masukkan lidi kapas steril ke dalam uretra, putar lidi kapas searah jarum jam 2-3 kali (10-30 detik) untuk mendapatkan sampel yang cukup 9. Tarik lidi kapas pelan-pelan 10. Buatlah hapusan pada kaca objek untuk dilakukan pengecatan Methylen Blue 11. Buang lidi kapas yang sudah digunakan kedalam tempat sampah infeksius 12. Sampel dikirim ke laboratorium, pasien diminta kembali memakai pakaian dalamnya
Sediaan dari uretra Pengambilan Sampel dan Pembuatan Sediaan dari Anus Alat dan bahan : 1. Lidi kapas 2. Slide 3. Anuskopi Prosedur : 1. Meminta pasien melepaskan celana/rok dan pakaian dalam, posisi tidur terlentang 2. Inspeksi mulut, tenggorok, tangan, dan telapak tangan 3. Palpasi kelenjar submandibula, post aurikuler 4. Inspeksi dan palpasi penis sama dengan pemeriksaan fisik pada pria 5. Minta pasien untuk membuka celana dan berbaring di meja pemeriksa dengan posisi miring. Salah satu lutut ditekuk 6. Minta tolong asisten membuka bokong pasien 7. Masukkan anuskopi yang telah steril dan diberi lubrikan 8. Ambil lidi kapas steril 9. Masukkan lidi kapas steril kedalam anus, putar lidi kapas searah jarum jam 2-3 kali (10-30 detik) untuk mendapatkan sampel yang cukup 10. Tarik lidi kapas pelan-pelan 11. Butlah hapusan pada kaca objek dengan cara menggulirkan lidi kapas untuk dilakukan pengecetan Metilen Blue 12. Pembuatan asupan usahakan satu kali jadi. Jika tidak mulai dari arah yang sama dan tidak boleh bolak-balik arahnya 13. Hapusan jangan terlalu tebal atau terlalu tipis 25
14. Lidi kapas yang sudah terpakai dibuang ke tempat sampah infeksius 15. Keluarkan anuskopi, sambil melihat dinding anus. Adakah darah atau nanah 16. Anuskopi dimasukkan dalam ember yang sudah berisi chlorin dan sabun di dalamnya 17. Lakukan pemeriksaan rectal toucher untuk mengetahui pembesaran prostat
Sediaan dari anus E. Profilaksis Pasca Pajanan
1. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir 2. Lapor ke dokter penanggung jawab di klinik 3. Tes HIV baik sumber maupun orang yang terpajan 4. Obat ARV harus diberikan dalam waktu kurang dari 4 jam 5. Termasuk di dalamnya pajanan terhadap darah, LCS, semen, cairan vagina, cairan sinovial/pleura/perikardial/peritonial/amnion
Status HIV Pasien Pajanan
Tidak
Positif
diketahui Kulit utuh
Tidak perlu
Positif resiko
Rejimen
tinggi Tidak perlu PPP
Tidak perlu PPP
PPP Mukosa atau
Pertimbangka
Berikan rejimen
Berikan rejimen
AZT 300 mg/12 jam
kulit yang
n rejimen 2
2 obat
2 obat
x 28 hari 3TC150
tidak utuh
obat
mg / 12 jam x 28 hari
Tusukan
Berikan
Berikan rejimen
Berikan rejimen
AZT 300 mg/12 jam
(benda tajam
rejimen 2 obat
2 obat
3 obat
x 28 hari 3TC150
solid)
mg / 12 jam x 28 hari
Tusukan
Berikan
Berikan rejimen
Berikan rejimen
Lop/r 400/100
(benda tajam
rejimen 2 obat
3 obat
3 obat
mg/12 jam x 28 hari
berongga)
26
Faktor risiko yang meningkatkan serokonversi : 1. Pajanan darah atau cairan tubuh dalam jumlah besar ditandai dengan :
Luka yang dalam
Terlihat jelas darah
Prosedur medis yang menggunakan jarum
2. Sumber pajanan adalah pasien stadium AIDS perlu dilakukan monitoring sebagai berikut:
Profilaksis harus diberikan selama 28 hari
Dibutuhkan dukungan psikososial
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui infeksi HIV dan untuk memonitor toksisitas obat
Tes HIV diulang setelah 6 minggu, 3 bulan, dan 6 bulan
F. Perbedaan antara dekontaminasi dan desinfeksi tingkat tinggi
a. Dekontaminasi Tingkat Tinggi (DTT) Setelah melakukan pemeriksaan alat-alat yang telah digunakan dilakukan DTT, alat yang dapat digunakan berulang kali direndam kedalam larutan Chlorin 0,5% sedangkan untuk alat-alat sekali pakai dapat dibuang ke tempat sampah infeksius. Setelah alat-alat tersebut direndam lalu dimasukkan ke sterilisator selama 20 menit. b. Dekontaminasi Merupakan langkah pertama menangani peralatan, perlengkapan, sarung tangan, dan benda – benda lainnya yang terkontaminasi. Proses yang membuat benda mati lebih aman untuk ditangani staf sebelum dibersihkan (menginaktivasi HBV, HBC, dan HIV) dan
mengurangi
tapi
tidak
menghilangkan
jumlah
mikroorganisme
yang
menkontaminasi. Bahan – bahan dekontaminasi : a) Larutan Klorin 0,5 % dan 0,1%. b) Etil 70 % c) Alkohol d) Bahan fenolic / karbol 0,5-3% Bahan klorin mempunyai daya kerja yang cepat untuk mematikan virus Hepatitis B dan HIV, bila benda - benda yang terkontaminasi direndam dalam larutan klorin selama 10
27
menit. Namun daya kerja tersebut akan cepat mengalami penurunan sehingga larutan tersebut harus diganti paling sedikit setiap 24 jam atau lebih cepat bila terlihat lebih keruh/kotor. SOP Dekontaminasi a. Tujuan: memberikan pedoman bagi pelaksanaan klinik IMS mengenai dekontaminasi b. Tanggung Jawab : a) paramedis b) laboran c) janitor c. Alat dan bahan : a) Chlorine 0,05% b) Air c) Ember d) Sarung tangan e) Wadah takar / botol takar d. Cara melakukan dekontaaminasi bedgyn dan meja instrumen : a) Siapkan larutan chlorine 0,05%, cara : dari larutan chlorine 0,5% yang baru disiapkan, ambil satu bagian, campurkan lagi dengan 9 bagian air (gunakan
wadah yang sama
untuk mengambil bagian chlorine dan air) b) Gunakan sarung tangan c) Bersihkan seluruh permukaan dengan larutan ini d) Lap dengan lap bersih e) Buka sarung tangan f) Cuci tangan.
SOP DTT dengan merebus a. Tujuan : a) Memberikan pedoman bagi pelaksana klinik ims mengenai standard precaution b) Menghindari penularan infeksi dari pasien ke pasien dan dari pasien ke petugas kesehatan b. Tanggung jawab : Paramedis c. Alat dan bahan : a) Panci tertutup 28
b) Air c) Kompor d) Tromol / bak steril d. Cara melakukan desinfeksi tingkat tinggi dengan merebus a) Isi panci dengan air b) Masukan spekulum dan anuskopi hingga terendam seluruhnya (supaya air dapat mengenai semua pemukaan alat) di dalam air c) Tutup panci, dan panaskan hingga mendidih d) Ketika air mulai mendidih, catatwaktu, tunggu hingga 20 menit, dilarang menambahkan spekulum, anuskopi atau air e) Keluarkan spekulum dan anuskopi dengan kurentang yang bersih yang telah di DTT sebelumnya. f) Taruh peralatan di wadah yang telah di DTT.Biarkan kering di udara sebelum disimpan. Jangan biarkan spekulum dingin di dalam panci berisi air, karena bisa menyebabkan rekontaminasi g) Gunakan peralatan yang telah disimpan di dalam wadahdalam keadaan kering dan tertutup paling lama satu minggu
G. SOP Pemeriksaan Sediaan Metilen Blue untuk identifikasi Diplococcus intra seluler dan PMN
a. Tujuan Pemeriksaan ini ditujukan agar petugas laboratorium dapat melakukan pengecatan metilen blue, pembacaan hasil, dan interpretasi hasil serta mencatat hasil pemeriksaan metilen blue pada catatan medis dan buku register. b. Penanggung jawab Pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan oleh petugas laboratorium yang sudah mendapatkan pelatihan manajemen klinik infeksi menular seksual.
Peralatan
Mikroskop dengan pembesaran objektif 100 x
Rak pewarnaan
Lampu spiritus
Pipet tetes
Kertas tissue halus 29
Korek api
Botol semprot
c. Reagen
Metilen blue 0,3-1 %
Minyak emersi dalam xylene
Spiritus
d. Bahan pemeriksaan
Hapusan cerviks, hapusan rektal, hapusan urethral
Bahan pemeriksaan diterima dari ruang pemeriksaan
e. Prosedur kerja
penerimaan sediaan dari ruang pengambilan spesimen o
Sediaan harus diterima bersama dengan formulir catatan medisnya
o
Cocokkan nomor sediaan dengan nomor di catatan medis
o
Sediaan berisi satu hapusan
Keringkan sediaan di udara
Fiksasi dengan melewatkannya di atas api sebanyak 7 x
Genangi / tetesi sediaan dengan metilen blue 0,3-1% selama 2 – 3 menit
Cuci dengan air mengalir
Keringkan sediaan
Periksa sediaan di bawah mikroskop dengan lensa objektif 100 x menggunakan minyak emersi untuk melihat adanya leukosit PMN dan diplococcus intraselluler
Periksa seluruh sediaan dari sediaan tebal lalu sediaan tipis
Setelah selesai melakukan pemeriksaan ambil preparat letakkan di atas tissue halus dengan posisi yang terkena minyak emersi menempel di tissue.
Catat hasil pemeriksaan pada catatan medis dan buku register laboratorium IMS.
Berikan lembar catatan medis pada ruangan konselling dan pengobatan
Interpretasi hasil identifikasi Diplococcus intraseluler dan PMN 1. Lekosit PMN positif, bila :
Ditemukan ≥ 30 PMN/LPB (serviks/wanita)
Ditemukan ≥ 5 PMN/LPB (uretra/pria)
Ditemukan ≥ 5 PMN/LPB (anus) 30
2. Diplococcus positif, bila : Ditemukan ≥ 1 Diplococcus intrasel/ 100 LPB Hal yang perlu diingat jika ditemukan Diplococcus intrasel dari sediaan serviks, maka tidak bisa langsung didiagnosis sebagai Gonorhoe, sebab untuk mendiagnosis Gonorhoe pada wanita diperlukan pemeriksaan lain yaitu kultur dan gene probe.
31
BAB IV HASIL WAWANCARA RESPONDEN
A. Data WPS Nama
V
N
Asal, Umur
1 tahun 5
Sumarsih
tahun
bulan
(Gang V)
Wonosobo, 24
1 tahun 2
tahun
bulan
tahun
A
N
Kerja
Wisma
Boyolali, 33
Wonosobo, 35
E
Masa
2 tahun
Wonosobo, 32
1 tahun
tahun
3 bulan
Jepara , 23 tahun
7 bulan
Pemakaian
Skrining
Hasil
Bilas
Kondom
Terakhir
Skrining
Vagina
-/-/-
+
-
-
-/-/-
+
-
-
+/-/+
+
+
DTS (+)
-/-/+
+
+
DTS (+)
-/-/+
+
+
DTS (+)
Sering
Ayu (Gang
Sering
IV) -
Jarang
-
Jarang
-
Jarang
04 Desember 2014 04 Desember 2014 04 Desember 2014 04 Desember 2014 04 Desember 2014
Keluhan
Tanda Klinis IMS
Dari hasil survei yang kami lakukan terhadap 5 WPS yang dipilih berdasarkan data hasil skrining terakhir, diperoleh korelasi jelas antara tingginya angka IMS dengan pemakaian kondom. Semakin sering menggunakan kondom, semakin rendah angka kejadian IMS. Dari 3
32
WPS yang menderita IMS, semua jarang menggunakan kondom. Sementara dari 2 WPS tanpa IMS, 100 % menggunakan kondom secara rutin.
B. Rekapitulasi Hasil Wawancara 1. Wawancara Perilaku Sex Sehat Responden No.
Pertanyaan 1
2
3
4
5
%
Perilaku
1.
Apakah Anda rutin melakukan skrining?
Y
Y
Y
T
T
60
2.
Apakah anda rutin menggunakan kondom?
Y
Y
T
T
T
40
3.
Apakah anda selalu menbilas vagina sesudah berhubungan intim?
Y
Y
Y
Y
Y
100
%
100 100 66,67
33,33 33,33
Kriteria :
Perilaku baik bila skor > 70%
Perilaku kurang baik bila skor < 70%
Keterangan : Y = Ya ; T = Tidak Dari 5 responden yang kami wawancarai terdapat 3 orang yang memiliki perilaku kurang baik terhadap perilaku seks bersih dan sehat.
33
2. Wawancara pengetahuan tentang sex sehat
Responden No.
Pertanyaan 1
2
3
4
5
%
Pengetahuan
1.
Apakah anda mengetahui arti skrining IMS?
Y
Y
T
T
Y
60
2.
Apa anda paham tujuan dan manfaat skrining?
Y
Y
T
T
Y
60
3.
Apakah anda tahu apa saja yang diperiksa saat skrining?
Y
Y
T
T
Y
60
4.
Apakah anda tahu gejala-gejala pada IMS?
Y
Y
T
Y
T
60
5.
Apakah anda tahu siapa saja yang memiliki resiko besar IMS?
Y
Y
T
Y
Y
80
6.
Apakah anda tahu bagaimana cara penularan IMS?
Y
Y
Y
Y
Y
80
7.
Apakah anda paham cara pencegahan untuk IMS?
Y
Y
Y
Y
Y
100
%
100 100 28,5
71,4 85,7
Kriteria :
Tingkat pengetahuan baik bila skor > 75%-100%
Tingkat pengetahuan cukup bila skor 60%-75%
Tingkat pengetahuan kurang bila skor < 60% 34
Dari 5 responden yang kami wawancarai didapatkan ada WPS yang memiliki pengetahuan baik ada 3 orang, dan yang memiliki pengetahuan cukup ada 1 orang dan pengetahuan kurang ada 1 orang.
35
C.
HASIL WAWANCARA DAN PEMERIKSAAN DENGAN SALAH SATU RESPONDEN
1.
Identitas Responden
Nama
: Nn. A
Alamat
:-
Alamat Asal
: Wonosobo
Usia
: 32 tahun
Status
: Belum menikah
Jumlah anak
: (-)
Lama bekerja : 2 tahun
Pendidikan
: SMP
Agama
: Islam
2. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 04 Desember 2014 pada pukul 10.00 s/d 10.30 WIB
3. Keluhan Utama :
Keputihan sejak 2 hari yang lalu 4. Keluhan tambahan:
Tidak ada
5. Riwayat Penyakit Sekarang :
Os datang dengan keluhan keputihan sejak 2 hari yang lalu, Keputihan berwarna bening kekuningan seperti lendir, tidak berbau, dan tidak menimbulkan gatal. Saat ini nyeri perut, demam, nyeri saat BAK, nyeri saat berhubungan seks disangkal oleh Os. Os baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Keluhan seperti ini awalnya yang dirasakan tidak hanya keputihan, namun disertai rasa nyeri yang minimal. Keluhan tersebut timbul, setelah pasien berhubungan dengan pelanggannya. Pasien saat itu, tidak ke dokter. Namun hanya mengkonsumsi obat dari apotek yang direkomendasikan oleh temannya berupa antibiotik sebanyak 2 kali sehari. Keluhan berangsur-angsur berkurang, sampai akhirnya datang ke gedung untuk pemeriksaan skrining rutin pada tanggal 04 Desember 36
2014 untuk melakukan skrining dengan keluhan hanya berupa keputihan. Pasien pada tahun 2014 ini baru bekerja selama 2 tahun di Sunan Kuning. 6. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami hal ini sebelumnya.
7.
Riwayat Perilaku dan Kebiasaan
1. Kebiasaan memakai kondom : Os jarang menggunakan kondom saat melayani tamu, apabila ditawarkan dengan harga yang lebih tinggi Os setuju untuk berhubungan seks tanpa kondom. Dan dengan pelanggan setianya Os j arang menggunakan kondom. 2. Bilas vagina : Pasien biasanya mencuci vagina setelah berhubungan seksual dengan cara dikorek. 3. Mengikuti Skrining : Os sudah sering mengikuti Skrining. saat Os pertama kali kerja di Sunan Kuning, Os tidak pernah mengikuti skrining karena Os takut untuk mengetahui hasil skrining, walaupun ibu asuh sering mengingatkan Os. 4. Menurut Os, Os hanya berhubungan intim melalui vagina, pernah melakukan oral sex namun jarang, Os tidak pernah melakukan anal sex, tamu yang dilayani hanya yang berjenis kelamin laki-laki. 5. Pemakaian antibiotik : Pasien mengaku sebelumnya pernah meminum antibiotik yang dibeli di apotek yang disarankan oleh temannya, kemudian setelah berobat ke dokter baru kemudian pasien meminum antibiotik dari dokter. 6. Pemakaian KB : Pasien tidak menggunakan kontrasepsi.
8.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Inspekulo : Didapatkan Duh Tubuh Serviks (+)
37
BAB V ANALISIS MASALAH
Os adalah seorang WPS berusia 32 tahun, yang sudah bekerja di sunan kuning selama 2 tahun, dengan pendidikan akhir SMP, dan belum menikah. Os bekerja sebagai WPS dikarenakan tuntutan ekonomi. Os jarang menggunakan kondom saat melayani tamu, apabila ditawarkan dengan harga yang lebih tinggi Os setuju untuk berhubungan seks tanpa kondom. Os Jarang melakukan oral sex ataupun anal sex de ngan tamu. Tamu-tamunya adalah laki-laki. Os tidak pernah menggunakan kondom saat melakukan hubungan seks dengan pelanggan tetapnya Dari hasil wawancara yang dilakukan, Os memiliki cukup pengetahuan tentang IMS yang meliputi penyebabnya, bagaimana penularannya, gejala dan komplikasinya telah diketahui oleh pasien. Selain itu, Os sudah sering mengikuti skrinning untuk mengetahui tentang kesehatan sistem reproduksinya. Os datang dengan keluhan keputihan sejak 2 hari yang lalu, Keputihan berwarna bening kekuningan seperti lendir, tidak berbau, dan tidak menimbulkan gatal. Saat ini nyeri perut, demam, nyeri saat BAK, nyeri saat berhubungan seks disangkal oleh Os. Os baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Keluhan seperti ini awaln ya yang dirasakan tidak hanya keputihan, namun disertai rasa nyeri yang minimal. Keluhan tersebut timbul, setelah pasien berhubungan dengan pelanggannya. Pasien saat itu, tidak ke dokter. Namun hanya mengkonsumsi obat dari apotek yang direkomendasikan oleh temannya berupa antibiotik sebanyak 2 kali sehari. Keluhan berangsur-angsur berkurang, sampai akhirnya datang ke gedung untuk pemeriksaan skrining rutin pada tanggal 04 Desember 2014 untuk melakukan skrining dengan keluhan hanya berupa keputihan. Pasien pada tahun 2014 ini baru bekerja selama 2 tahun di Sunan Kuning. Keluhan tersebut bisa diakibatkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah karena rendahnya harga tawar Os dalam penggunaan kondom dengan pelanggan, walaupun Os sudah mengetahui bahaya tentang IMS dan Os selalu melakukan hubungan seks dengan pelanggan tetapnya tanpa kondom.
38
BAB VI PEMECAHAN MASALAH
1. Peningkatan kemampuan komunikasi para WPS untuk mengajak tamu agar mau menggunakan kondom, kemudian apabila tamu tidak mau menggunakan kondom WPS disarankan untuk menolak tamu tersebut. 2. Monitoring dan evaluasi terhadap kualitas kondom yang dibagikan kepada WPS. 3. Mengoptimalkan perhatian para pengasuh mengenai IMS dan HIV/AIDS serta membina pengasuh untuk memotivasi anak asuhnya agar selalu menggunakan kondom tiap kali berhubungan seks dengan tamu. 4. Meningkatkan pemahaman dan perhatian WPS mengenai IMS dan H IV/AIDS.
39
BAB VII PENUTUP
A. KESIMPULAN
Skrining IMS yang meliputi anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, penyuluhan, konseling dan penatalaksanaan mitra seksual terhadap pasien IMS mempunyai peranan yang penting dalam menanggulangi epidemik HIV. Selain itu masih adanya perilaku rendahnya harga tawar WPS dalam penggunaan kondom dengan pelanggan harus diubah untuk dapat terus menekan penyebaran IMS di masyarakat.
B. SARAN
1.
Program skrining yang selama ini telah berjalan di Griya ASA diharapkan terus berjalan di Sunan Kuning.
2.
Peningkatan penyuluhan dan informasi kepada WPS untuk rutin mengikuti skrining.
3.
Meningkatkan pengetahuan WPS dengan memberikan penyuluhan kepada seluruh WPS di sunan kuning.
4.
Memperketat kepatuhan WPS penggunaan kondom pada setiap pelanggan yang datang ke Sunan Kuning dengan memberikan penyuluhan.
40