MAKALAH TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Disusun oleh:
1. Agnelia Andini (205170141)
2. Laaesa Nur Prama (205170150)
3. Novi Christi (205170191)
4. Sabrina Sana'a Husna (205170248)
5. Yunita Wahyu Medyawati (205170241)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan makalah tentang "Pertanggungjawaban Pidana" dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan kami ucapkan terima kasih kepada Bapak R. Rahaditya SH.,M.H. yang telah membimbing dan memberikan tugas ini.
Kami sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat untuk memberikan edukasi agar terhindar dari tindak pidana yang dapat merugikan korban dan diri sendiri. Juga dapat mengetahui bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hokum pidana positif. Namun dalam pembuatan makalah ini tentu masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan makalah kami dimasa yang akan datang.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, Saran dan kritik dari pembaca sangat kami butuhkan untuk memperbaiki makalah ini nantinya.
Jakarta, Maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability ,vicarious liability, erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon, culpa in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana. Maka dari itu ada pula ketentuan tentang subjek berupa korporasi. Semua asas itu belum diatur dalam KUHP (Wvs).
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada "apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan", yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : " tidak dipidana jika tidak ada kesalahan ". Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.
B. Rumusan Permasalahan
1. Apa definisi dari pertanggungjawaban pidana itu?
2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini?
BAB II
PEMBAHASAN
Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.
A. Definisi Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak[1].
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.[2]
Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.[3]
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.[4]
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.[5]
Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.[6]
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternative.
Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dpat dilepaskan dari berbagai pertimbahangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat.
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut :
"Berbicara tentang konsep liability atau "pertanggungjawaban" dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya "I …. Use the simple word "liability" for the situation whereby one exact legally and other is legally subjected to the exaction[7]
Bertitik tolak pada rumusan tentang "pertanggungjawaban" atau liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama, menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah "dirugikan" . Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa "pembalasan" sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran "ganti rugi" bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu "hak istimewa" kemudian menjadi suatu "kewajiban". Ukuran "ganti rugi" tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus "dibeli", melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[8]
B. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur " tindak pidana" dan "pertanggungjawaban pidana" harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:
TINDAK PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN = PIDANA
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).
a). Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP.
Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
b). Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP
Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem
pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, seperti contoh dalam perundang-undangan dibawah ini :
a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan.
Dari masing-masing undang- undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan.
Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.[9]
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.
Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.[10]
Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.[11]
Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas "kesepakatan menolak" suatu perbuatan tertentu.
Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu, secara subyektif harus dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya.
Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan:
a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan.
b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
a. Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;
b. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Kesengajaan dan kelalaian merupakan unsur kesalahan, jika tidak ada salah satunya maka
terdakwa tidak dipidana apabila seseorang sudah dituduh melakukan perbuatan pidana, maka harus
diselidiki apakah ada atau tidak dari kedua unsur tersebut
Pembuktian tentang kesengajaan dapat menempuh dua jalan:
a. Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan.
b. Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Yang dimaksud dengan poging adalah pelaksanaan awal suatu kejahatan yang tidak diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Moeljatno, Prof. SH. 2008, Asas Asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta; Rineka Cipta
Hatrik, Hamzah, SH. MH. 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo.
Huda, Choerul, Dr.SH. MH. , 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana.
Prakoso, Djoko, SH. 1987, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
http://princemalekrove.blogspot.co.id/2012/05/pertanggungjawaban-pidana.html
http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/12/makalah-hukum-pidana-pertanggungjawaban.html