Bahan kimia asam
Asam cenderung berikatan dengan protein
Menyebabkan koagulasi protein plasma
Koagulasi protein ini, sebagai barrier yang membatasi penetrasi dan kerusakan lebih lanjut
Luka hanya terbatas pada permukaan luar saja
Asam masuk ke bilik mata depan menimbulkan iritis dan katarak
Gangguan persepsi penglihatan
Bahan kimia alkali
Pecah atau rusaknya sel jaringan dan Persabunan disertai disosiasi asam lemak membran sel penetrasi lebih lanjut
Mukopolisakarida jaringan menghilang & terjadi penggumpalan sel kornea
Serat kolagen kornea akan membengkak & kornea akan mati
Edema terdapat serbukan sel polimorfonuklear ke dalam stroma, cenderung disertai masuknya pembuluh darah (neovaskularisasi)
Dilepaskan plasminogen aktivator & kolagenase (merusak kolagen kornea)
Terjadi gangguan penyembuhan epitel
Berkelanjutan menjadi ulkus kornea atau perforasi ke lapisan yang lebih dalam
50
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meskipun mata mempunyai sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga orbita, kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar, reflek memejam atau mengedip, mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar. (Ilyas, Sidarta, 2008)
Trauma pada mata dapat berupa trauma mekanik, kimia, dan trauma fisik. Salah satu jenis trauma mata adalah trauma kimia. Sebagian besar trauma kimia pada mata terjadi dalam dunia kerja. Industri menggunakan berbagai jenis bahan kimia setiap hari. Tetapi, trauma kimia juga sering terjadi di rumah tangga, sebagian besar dari produk-produk pembersih. Jenis trauma seperti ini dapat menjadi sangat berbahaya dan harus dirawat secara cepat dan tepat. Pada trauma kimia ini dapat disebabkan oleh trauma asam maupun basa. Pengaruh bahan kimia sangat bergantung pada pH, kecepatan dan jumlah bahan kimi tersebut mengenai mata. (Ilyas, Sidarta, 2008)
Di Indonesia, berdasarkan hasil RISKESDAS pada tahun 2013, trauma mata termasuk ke dalam 6 jenis trauma terbanyak yang terjadi di Indonesia dan menempati urutan kelima jenis trauma yang paling sering terjadi pada tahun 2013 di Provinsi Sumatera Barat.Banyak penelitian yang melaporkan prevalensi trauma mata yang lebihtinggi pada laki-laki dibanding perempuan. Hal inijuga senada dengan penelitian oleh Ali Tabatabaei pada tahun 2013 yangmemperoleh dominasi dari jenis kelamin laki-laki pada lebih dari tiga perempatpopulasi yang diteliti. Temuan ini diperkuat dengan ada keterlibatan yang lebihtinggi pada trauma ini di antara laki-laki karena laki-laki lebih aktif danumumnya lebih banyak terlibat aktivitas di luar ruangan dan lebih berisiko daripada perempuan. (RISKESDAS,2013)
Kemajuan mekanisasi dan teknik terlebih-lebih dengan bertambah banyaknya kawasan industri, kecelakaan akibat pekerjaan bertambah banyak pula, juga dengan bertambah ramainya lalu lintas, kecelakaan di jalan raya bertambah pula, belum terhitung kecelakaan akibat perkelahian, yang juga dapat mengenai mata. Pada anak-anak kecelakaan mata biasanya terjadi akibat kecelakaan terhadap alat dari permainan yang biasa dimainkan seperti panahan, ketapel, senapan angin, tusukan dari gagang mainan dan sebagainya. (Rodriguez, 2007) Dengan demikian, penulis berkeinginan untuk mengkaji tentang trauma mata khususnya mengenai gambaran trauma mata.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan dapat juga sebagai kasus polisi. Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata. Alat rumah tangga sering menimbulkan perlukaan atau trauma mata. (Ilyas, Sidarta,2008)
2.3 ANATOMI
2.3.1 Kelopak Mata
Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan komea. Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan bola mata. (Ilyas, Sidarta,2008)
Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan sedang di bagian belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal.1Gangguan penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya permukaan mata sehingga terjadi keratitis et lagoftalmos. (Ilyas, Sidarta,2008)
Pada kelopak terdapat bagian-bagian seperti Kelenjar seperti kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat, kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus ,Otot seperti M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo palpebra terdapat otot orbikularis okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M. orbikularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi N. facial M. levator palpebra, yang berorigo pada anulus foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian menembus M. orbikularis okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Otot ini dipersarafi oleh n. III, yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata. (Ilyas, Sidarta,2008)
Di dalam kelopak terdapat tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar di dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo palpebra.Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita merupakan pembatas isi orbita dengan kelopak depan.Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada seluruh lingkaran pembukaan rongga orbita. Tarsus (terdiri atas jaringan ikat yang merupakan jaringan penyokong kelopak dengan kelenjar Meibom (40 bush di kelopak atas dan 20 pada kelopak bawah).Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra. Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal N.V, sedang kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V. (Ilyas, Sidarta,2008)
Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat dilihat dengan melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup bulbus okuli. Konjungtiva merupakan membran mukosa yang mempunyai sel Goblet yang menghasilkan musin. (Ilyas, Sidarta,2008)
Gambar 1. Kelopak mata atas
2.3.2 Sistem Lakrimal
Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata. Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior. (Ilyas, Sidarta,2008)
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu sistem produksi/glandula lakrimal dan sistem ekskresi. (Ilyas, Sidarta,2008)
Glandula lakrimal terletak di temporo antero superior rongga orbita. Sedangkan Sistem ekskresi, yang terdiri atas pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal dan duktus nasolakrimal. Sakus lakrimal terletak dibagian depan rongga orbita. Air mata dari duktus lakrimal akan mengalir ke dalam rongga hidung di dalam meatus inferior. (Ilyas, Sidarta,2008)
Untuk melihat adanya sumbatan pada duktus nasolakrimal, maka sebaiknya dilakukan penekanan pada sakus lakrimal. Bila terdapat penyumbatan yang disertai dakriosistitis, maka cairan berlendir kental akan keluar melalui pungtum lakrimal. (Ilyas, Sidarta,2008)
Gambar 2. Sistem Saluran air mata
2.3.3 Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang.3 Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. (Ilyas, Sidarta,2008)
Selaput ini mencegah benda-benda asing di dalam mata seperti bulu mata atau lensa kontak (contact lens), agar tidak tergelincir ke belakang mata. Bersama-sama dengan kelenjar lacrimal yang memproduksi air mata, selaput ini turut menjaga agar cornea tidak kering. (Randleman,2009)
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus, konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. (Randleman,2009)
2.3.4 Bola Mata
Bola mata terdiri atas dinding bola mata dan isi bola mata. Dinding bola mata terdiri atas sclera dan kornea. Isi bola mata terdiri atas uvea, retina, badan kaca dan lensa.Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu sclera, jaringan uvea dan retina. (Randleman,2009)
Gambar 3. Penampang horizontal mata kanan
2.3.5 Sklera
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berjalan dari papil saraf optik sampai kornea. (Ilyas, Sidarta,2008) Sklera sebagai dinding bola mata merupakan jaringan yang kuat, tidak bening, tidak kenyal dan tebalnya kira-kira 1 mm. (Randleman,2009)
Sklera anterior ditutupi oleh 3 lapis jaringan ikat vaskular. Sklera mempunyai kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata.1 Dibagian belakang saraf optik menembus sklera dan tempat tersebut disebut kribosa. Bagian luar sklera berwarna putih dan halus dilapisi oleh kapsul Tenon dan dibagian depan oleh konjungtiva. Diantara stroma sklera dan kapsul Tenon terdapat episklera. Bagian dalamnya berwarna coklat dan kasar dan dihubungkan dengan koroid oleh filamen-filamen jaringan ikat yang berpigmen, yang merupakan dinding luar ruangan suprakoroid. (Randleman,2009)
Kekakuan sklera dapat meninggi pada pasien diabetes melitus, atau merendah pada eksoftalmos goiter, miotika, dan meminum air banyak. (Randleman,2009)
2.3.6 Kornea
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas lapis : (Randleman,2009)
2.3.6.1. Epitel
Tebalnya 50 pm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang sating tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.Pada sel basal Bering terlihat mitosis sel, dan sel muds ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan. (Randleman,2009)
Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel komea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi. (Randleman,2009)
Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. (Randleman,2009)
2.3.6.4. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma komea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan berkembang terns seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm. (Randleman,2009)
2.3.6.5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 pm. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbul Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi. (Randleman,2009)
Gambar 4. Penampang melintang kornea
2.3.7 Uvea
Uvea merupakan dinding kedua bola mata yang lunak, terdiri atas 3 bagian, yaitu iris, badan siliar, dan koroid. (Randleman,2009)
Pendarahan uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh 2 buah arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal dan nasal dekat tempat masuk saraf optik dan 7 buah arteri siliar anterior, yang terdapat 2 pada setiap otot superior, medial inferior, satu pada otot rektus lateral. Arteri siliar anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri sirkularis mayor pada badan siliar. Uvae posterior mendapat perdarahan dari 15 - 20 buah arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera di sekitar tempat masuk saraf optik. (Randleman,2009)
Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata dengan otot rektus lateral, 1 cm di depan foramen optik, yang menerima 3 akar saraf di bagian posterior yaitu Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar yang mengandung serabut sensoris untuk komea, iris, dan badan siliar. Kedua, Saraf simpatis yang membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis yang melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk dilatasi pupil. Dan ketiga Akar saraf motor yang akan memberikan saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil. (Randleman,2009)
2.3.8 Pupil
Pupil merupakan lubang ditengah iris yang mengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk. Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum berkembangnya saraf simpatis. Orang dewasa ukuran pupil adalah sedang, dan orang tua pupil mengecil akibat rasa silau yang dibangkitkan oleh lensa yang sclerosis. (Randleman,2009)
Pupil waktu tidur kecil, hal ini dipakai sebagai ukuran tidur, simulasi, koma dan tidur sesungguhnya. Pupil kecil waktu tidur akibat dari berkurangnya rangsangan simpatis dan kurang rangsangan hambatan miosis. (Randleman,2009)
Bila subkorteks bekerja sempurna maka terjadi miosis. Di waktu bangun korteks menghambat pusat subkorteks sehingga terjadi midriasis. Waktu tidur hambatan subkorteks hilang sehingga terjadi kerja subkorteks yang sempurna yang akan menjadikan miosis. (Randleman,2009)
Fungsi mengecilnya pupil untuk mencegah aberasi kromatis pada akomodasi dan untuk memperdalam fokus seperti pada kamera foto yang difragmanya dikecilkan. (Randleman,2009)
2.3.9 Sudut bilik mata depan
Sudut bilik mata yang dibentuk jaringan korneosklera dengan pangkal iris. Pada bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Bila terdapat hambatan pengaliran keluar cairan mata akan terjadi penimbunan cairan bilik mata di dalam bola mata sehinga tekanan bola mata meninggi atau glaukoma. Berdekatan dengan sudut ini didapatkan jaringan trabekulum, kanal Schelmm, baji sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris. (Randleman,2009)
Sudut filtrasi berbatas dengan akar berhubungan dengan sklera kornea dan disini ditemukan sklera spur yang membuat cincin melingkar 360 derajat dan merupakan batas belakang sudut filtrasi Berta tempat insersi otot siliar longitudinal. Anyaman trabekula mengisi kelengkungan sudut filtrasi yang mempunyai dua komponen yaitu badan siliar dan uvea. (Randleman,2009)
Pada sudut fitrasi terdapat garis Schwalbe yang merupakan akhir perifer endotel dan membran descement, dan kanal Schlemm yang menampung cairan mata keluar ke salurannya. (Randleman,2009)
Sudut bilik mata depan sempit terdapat pada mata berbakat glaukoma sudut tertutup, hipermetropia, blokade pupil, katarak intumesen, dan sinekia posterior perifer. (Randleman,2009)
2.3.10 Retina
Retina adalah suatu membran yang tipis dan bening, terdiri atas penyebaran daripada serabut-serabut saraf optik. Letaknya antara badan kaca dan koroid.1,3 Bagian anterior berakhir pada ora serata. Dibagian retina yang letaknya sesuai dengan sumbu penglihatan terdapat makula lutea (bintik kuning) kira-kira berdiameter 1 - 2 mm yang berperan penting untuk tajam penglihatan. Ditengah makula lutea terdapat bercak mengkilat yang merupakan reflek fovea. (Randleman,2009)
Kira-kira 3 mm kearah nasal kutub belakang bola mata terdapat daerah bulat putih kemerah-merahan, disebut papil saraf optik, yang ditengahnya agak melekuk dinamakan ekskavasi faali. Arteri retina sentral bersama venanya masuk kedalam bola mata ditengah papil saraf optik. Arteri retina merupakan pembuluh darah terminal. (Randleman,2009)
Retina terdiri atas Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid. Lapis pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller Lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral diantaranya Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion, Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke arch saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca. (Randleman,2009)
Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid.1 Batang lebih banyak daripada kerucut, kecuali didaerah makula, dimana kerucut lebih banyak. Daerah papil saraf optik terutama terdiri atas serabut saraf optik dan tidak mempunyai daya penglihatan (bintik buta). (Randleman,2009)
Gambar 5. Fundus okuli normal
2.3.11 Badan kaca
Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak antara lensa dengan retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata. Mengandung air sebanyak 90% sehingga tidak dapat lagi menyerap air. Sesungguhnya fungsi badan kaca sama dengan fungsi cairan mata, yaitu mempertahankan bola mata agar tetap bulat. Peranannya mengisi ruang untuk meneruskan sinar dari lensa ke retina. Badan kaca melekat pada bagian tertentu jaringan bola mata. Perlekatan itu terdapat pada bagian yang disebut ora serata, pars plana, dan papil saraf optik. Kebeningan badan kaca disebabkan tidak terdapatnya pembuluh darah dan sel. Pada pemeriksaan tidak terdapatnya kekeruhan badan kaca akan memudahkan melihat bagian retina pada pemeriksaan oftalmoskopi. (Randleman,2009)
Struktur badan kaca merupakan anyaman yang bening dengan diantaranya cairan bening. Badan kaca tidak mempunyai pembuluh darah dan menerima nutrisinya dari jaringan sekitarnya: koroid, badan siliar dan retina. (Randleman,2009)
2.3.12 Lensa mata
Lensa merupakan badan yang bening, bikonveks 5 mm tebalnya dan berdiameter 9 mm pada orang dewasa. Permukaan lensa bagian posterior lebih melengkung daripada bagian anterior. Kedua permukaan tersebut bertemu pada tepi lensa yang dinamakan ekuator. Lensa mempunyai kapsul yang bening dan pada ekuator difiksasi oleh zonula Zinn pada badan siliar. Lensa pada orang dewasa terdiri atas bagian inti (nukleus) dan bagian tepi (korteks). Nukleus lebih keras daripada korteks. (Randleman,2009)
Dengan bertambahnya umur, nukleus makin membesar sedang korteks makin menipis, sehingga akhirnya seluruh lensa mempunyai konsistensi nucleus. Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu Kenyal, Jernih, Terletak di tempatnya. Keadaan patologik lensa ini dapat berupa Tidak kenyal pada orang dewasa yang akan mengakibatkan presbiopia, Keruh atau spa yang disebut katarak, tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi. Lensa orang dewasa di dalam perjalanan hidupnya akan menjadi bertambah besar dan berat. Fungsi lensa adalah untuk membias cahaya, sehingga difokuskan pada retina. Peningkatan kekuatan pembiasan lensa disebut akomodasi. (Randleman,2009)
2.3.13 Rongga Orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama-sama tulang palatinum dan zigomatikus. (Randleman,2009)
Rongga orbita yang berbentuk piramid ini terletak pada kedua sisi rongga hidung. Dinding lateral orbita membentuk sudut 45 derajat dengan dinding medialnya. Dinding orbita terdiri atas tulang Atap atau superior(os.frontal), Lateral ( os.frontal os. zigomatik, ala magna os. Fenoid), Inferior( os. zigomatik, os. maksila, os. Palatine), Nasal (os. maksila, os. lakrimal, os. Etmoid). Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf
optik, arteri, vena, dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus carotid. (Randleman,2009)
Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakrimal (V), saraf frontal (V), saraf troklear (IV), saraf okulomotor (III), saraf nasosiliar (V), abdusen (VI), dan arteri vena oftalmik.Fisura orbita inferior terletak di dasar tengah temporal orbita dilalui oleh saraf infra-orbita dan zigomatik dan arteri infra orbita. Fosa lakrimal terletak di sebelah temporal atas tempat duduknya kelenjar lakrimal. Rongga orbita tidak mengandung pembuluh atau kelenjar limfa. (Randleman,2009)
Otot Penggerak Mata
Otot ini menggerakkan mata dengan fungsi ganda dan untuk pergerakkan mata tergantung pada letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi otot.1 Otot penggerak mata terdiri atas 6 otot yaitu : Oblik inferior aksi primer (ekstorsi dalam abduksi), Oblik inferiors sekunder (elevasi dalam aduksi, abduksi dalam elevasi), Oblik superior aksi primer (intorsi pada abduksi), Oblik superior sekunder (depresi dalam aduksi, abduksi dalam depresi), Rektus inferior aksi primer (depresi pada abduksi), Rektus inferior sekunder (ekstorsi pada abduksi, aduksi pada depresi), Rektus lateral aksi (abduksi), Rektus medius aksi (aduksi), Rektus superior aksi primer (elevasi dalam abduksi) Rektus superior aksi sekunder (intorsi dalam aduksi, aduksi dalam elevasi). (Randleman,2009)
2.3.15 Otot Oblik Inferior
Oblik inferior mempunyai origo pada foss lakrimal tulang lakrimal, berinsersi pada sklera posterior 2 mm dari kedudukan makula, dipersarafi saraf okulomotor, bekerja untuk menggerakkan mata keatas, abduksi dan eksiklotorsi. (Randleman,2009)
2.3.16 Otot Oblik Superior
Oblik superior merupakan otot penggerak mata yang terpanjang dan tertipis.1Oblik superior berorigo pada anulus Zinn dan ala parva tulang sfenodi di atas foramen optik, berjalan menuju troklea dan dikatrol batik dan kemudian berjalan di atas otot rektus superior, yang kemudian berinsersi pada sklera dibagian temporal belakang bola mata. Oblik superior dipersarafi saraf ke IV atau saraf troklear yang keluar dari bagian dorsal susunan saraf pusat. (Randleman,2009)
Mempunyai aksi pergerakan miring dari troklea pada bola mata dengan kerja utama terjadi bila sumbu aksi dan sumbu penglihatan search atau mata melihat ke arch nasal. Berfungsi menggerakkan bola mata untuk depresi (primer) terutama bila mata melihat ke nasal, abduksi dan insiklotorsi.1Oblik superior merupakan otot penggerak mata yang terpanjang dan tertipis. (Ilyas, Sidarta, 2008)
2.3.17 Otot Rektus Inferior
Rektus inferior mempunyai origo pada anulus Zinn, berjalan antara oblik inferior dan bola mata atau sklera dan insersi 6 mm di belakang limbus yang pada persilangan dengan oblik inferior diikat kuat oleh ligamen Lockwood. Rektus inferior dipersarafi oleh n. III. Fungsi menggerakkan mata diantaranya depresi (gerak primer), eksoklotorsi (gerak sekunder) , aduksi (gerak sekunder). Rektus inferior membentuk sudut 23 derajat dengan sumbu penglihatan. (Ilyas, Sidarta, 2008)
2.3.18 Otot Rektus Lateral
Rektus lateral mempunyai origo pada anulus Zinn di atas dan di bawah foramen optik. Rektus lateral dipersarafi oleh N. VI. Dengan pekerjaan menggerakkan mata terutama abduksi. (Ilyas, Sidarta, 2008)
2.3.19 Otot Rektus Medius
Rektus medius mempunyai origo pada anulus Zinn dan pembungkus dura saraf optik yang sering memberikan dan rasa sakit pada pergerakkan mata bila terdapat neuritis retrobulbar, dan berinsersi 5 mm di belakang limbus. Rektus medius merupakan otot mata yang paling tebal dengan tendon terpendek. Menggerakkan mata untuk aduksi (gerak primer). (Ilyas, Sidarta, 2008)
2.3.20 Otot Rektus Superior
Rektus superior mempunyai origo pada anulus Zinn dekat fisura orbita superior beserta lapis dura saraf optik yang akan memberikan rasa sakit pada pergerakkan bola mata bila terdapat neuritis retrobulbar. Otot ini berinsersi 7 mm di belakang limbus dan dipersarafi cabang superior N.III. Fungsinya menggerakkan mata-elevasi, terutama bila mata melihat ke lateral adalah aduksi, terutama bila tidak melihat ke lateral dan insiklotorsi. (Ilyas, Sidarta, 2008)
2.3 EPIDEMIOLOGI
Dalam populasi perkotaan di India untuk kasus trauma mata dilaporkan sekitar 4% Tesfaye dan Bejiga pada tahun 2008 melaporkan prevalensi trauma mata di daerah pedesaan Ethiopia sebesar 3,5%. Negussie dan Bejiga pada tahun 2011 melaporkan bahwa trauma mata merupakan 75,6% dari seluruh kasus kedaruratan mata rumah sakit tersier di Addis Ababa. Data-data ini merupakan 3% dari seluruh kunjungan untuk perawatan mata di rumah sakit tersebut. (RISKESDAS, 2013)
Di Indonesia, berdasarkan hasil RISKESDAS pada tahun 2013, trauma mata termasuk ke dalam 6 jenis trauma terbanyak yang terjadi di Indonesia dan menempati urutan kelima jenis trauma yang paling sering terjadi pada tahun 2013 di Provinsi Sumatera Barat.Aktivitas olahraga dan rekreasi juga dapat menyebabkan trauma mata. Lebih dari 40.000 trauma mata terjadi setiap tahunnya. Sembilan puluh persen terjadi saat olahraga. Tiga puluh persen terjadi pada anak-anak yang berusia di bawah 16 tahun. (RISKESDAS, 2013)
2.4 ETIOLOGI
2.4.1 Trauma Tumpul
trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul seperrti pukulan tinju, bola pingpong,bola tenis,bola sepak maupun benturan kepala. (Vaughan DG, 2002)
2.4.2 Trauma tajam
Trauma akibat benda tajam yang dapat merusak sebagian atau seluruh ketebalan dinding luar bola mata dapat berupa titik sampai laserasi dan juga menembusi isi bagian-bagian dari mata. Seperti terkena pisau maupun kaca. (Vaughan DG, 2002)
Trauma Khemis
Trauma akibat zat asam yang PH <7 dan zat basa yang PH > 7 yang dapat menyebabkan kerusakan struktur bola mata. Yang bersifat asam seperti air aki (h2SO4) cuka air keras (HCl). Pada basa seperti semen dan kapur, sabun, sampo. (Vaughan DG, 2002)
Trauma Fisik
Trauma akibat sinar inframerah yang mengakibat lensa menjadi katarak dan juga keratitis superfisial, sinar ultraviolet seperti pada tukang las sehingga merusak epitelnya, sinar terionisasi dan sinar X yang dapat dibedakan bentuk sinar alfa, sinar beta, sinar gama dan sinar x. (Vaughan DG, 2002)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 MACAM-MACAM BENTUK TRAUMA:
3.1.1 Trauma Tumpul
3.1.1.1Definisi
Trauma tumpul mata adalah trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya. (Randleman JB, 2006)
3.1.1.2Anamnesis
Trauma mata oleh benda tumpul merupakan peristiwa yang sering terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi akibat trauma demikian bervariasi mulai dari yang ringan hingga berat bahkan sampai kebutaan. Untuk mengetahui kelainan yang ditimbulkan perlu diadakan pemeriksaan yang cermat, terdiri atas anamnesis dan pemeriksaan.Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenaiProses terjadinya trauma, Benda apa yang mengenai mata tersebut, Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata itu.(Apakah dari depan, samping atas, samping bawah, atau dari arah lain)Bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata, Berapa besar benda yang mengenai mata, Bahan benda tersebut(Apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan lainnya). Apabila terjadi pengurangan penglihatan ditanyakan :Apakah pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan tersebut, Kapan terjadi trauma itu, Apakah trauma tersebut disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit, Apakah sudah pernah mendapatkan pertolongan sebelumnya. (Vaughan DG, Taylor A, 2000)
Pemeriksaan
Pemeriksaan subyektif
Pada setiap kasus trauma, kita harus memeriksa tajam penglihatan karena hal ini berkaitan dengan pembuatan visum et repertum. Pada penderita yang ketajaman penglihatannya menurun, dilakukan pemeriksaan refraksi untuk mengetahui bahwa penurunan penglihatan mungkin bukan disebabkan oleh trauma tetapi oleh kelainan refraksi yang sudah ada sebelum trauma. (Vaughan DG, 2002)
Pemeriksaan obyektif
Pada saat penderita masuk ruang pemeriksaan, sudah dapat diketahui adanya kelainan di sekitar mata seperti adanya perdarahan sekitar mata, pembengkakan di dahi, dipipi, hidung dan lain-lainnya.Pemeriksaan mata perlu dilakukan secara sistematik dan cermat.Yang diperiksa pada kasus trauma mata ialah Keadaan kelopak mata, Kornea, Bilik mata depan, Pupil, Lensa dan fundus, Gerakkan bola mata, Tekanan bola mata.Pemeriksaan segmen anterior dilakukan dengan sentolop loupe, slit lamp dan oftalmoskop. (Vaughan DG, Taylor A, 2000)
3.1.1.4 KELAINAN AKIBAT TRAUMA TUMPUL :
3.1.1.4.1 Kelainan PadaOrbita
Jarang sekali ditemukan kelainan orbita akibat trauma tumpul. Apabila terjadi kelainan orbita, maka gejala yang mudah tampak ialah adanya eksoftalmos dan gangguan gerakan bola mata akibat perdarahan di dalam rongga orbita. Kadang-kadang juga terjadi hematom kelopak mata dan perdarahan subkonjungktiva. (Vaughan DG, 2002)
Fraktur rima orbita dapat diperkirakan pada perabaan yang terasa sebagai tepi orbita yang tidak rata.Fraktur di bagian dalam orbita, akan menyebabkan emfisem atau terjadi enoftalmos bahkan mungkin disertai kerusakan pada foramen optik dan mengenai saraf optik dengan akibat kebutaan. Untuk memastikan adanya keretakan tulang orbita dilakukan pemeriksaan radiologi orbita. (Arthur Lim, Ian, 2005)
Kelainan Pada Kelopak Mata
Trauma kelopak mata merupakan kejadian yang sering. Oleh karena longgarnya jaringan ikat subkutan, maka adanya hematom dan edema kelopak mata kadang-kadang menunjukkan gejala yang berlebihan dan menakutkan, sehingga mendorong penderita untuk lekas-lekas minta pertolongan dokter. (Vaughan DG, 2002)
Hematoma palpebra yang merupakan pembengkakan atau penimbunan darah dibawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Hematoma kelopak merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma tumpul kelopak. Trauma dapat akibat pukulan tinju, atau benda-benda keras lainnya. Keadaan ini memberikan bentuk yang menakutkan pada pasien, dapat tidak berbahaya ataupun sangat berbahaya karena mungkin ada kelainan lain di belakangnya. (Vaughan DG, 2002)
Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk kacamata hitam yang sedang dipakai, maka keadaan ini disebut sebagai hematoma kacamata. Hematoma kacamata merupakan keadaan sangat gawat. Hematoma kacamata terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya a. oftalmika maka darah masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Akibat darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopak maka akan berbentuk gambaran hitam pada kelopak seperti seseorang memakai kacamata. (Vaughan DG, 2002)
Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk memudahkan absorbsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak mata. (Vaughan DG, 2002)
Pada setiap trauma kelopak mata perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti mengenai luas dan dalamnya lesi (luka), sebab lesi yang tampaknya kecil di kelopak mata kemungkinan disertai suatu lesi yang luas di dalam rongga orbita bahkan sampai ke dalam bola mata. (Vaughan DG, 2002)
3.1.1.4.3 Kelainan Pada Konjungtiva
3.1.1.4.3.1 Edema Konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip, maka keadaan ini telah dapat mengakibatkanedema pada konjungtiva. (Vaughan DG, Taylor A, 2000)
Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtiva.Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva.Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan disisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut. (Vaughan DG, 2002)
Hematoma Subkonjungtiva
Jika terjadi perdarahan subkonjungtiva (hematoma subkonjungtiva), maka konjungtiva akan tampak merah dengan batas tegas, yang pada penekanan tidak menghilang atau menipis. Hal ini penting untuk membedakannya dengan hiperemi atau hemangioma konjungtiva. Lama kelamaan perdarahan ini mengalami, perubahan warna menjadi membiru, menipis dan umumnya diserap dalam waktu 2- 3 minggu. (Vaughan DG, Taylor A, 2000)
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau di bawah kongjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Pecahnya pembuluh darah ini dapat akibat batuk rejan, trauma tumpul basis kranii (hematoma kaca mata), atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah. Pembuluh darah akan rentan dan mudah pecah pada usia lanjut, hipertensi, arteriosklerose, konjungtiva meradang (konjungtivitis), anemia, dan obat-obat tertentu. (Vaughan DG, 2002)
Bila perdarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan bahwa tidak terdapat robekan dibawah jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang hematoma subkonjungtiva menutupi keadaaan mata yang lebih buruk seperti perforasi bola mata. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli.
Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres air hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati.
Epitel konjungtiva mudah mengalami regenerasi sehingga luka pada konjungtiva penyembuhannya cepat. Robekan konjungtiva sebaiknya dijahit untuk mempercepat penyembuhannya. (Vaughan DG, Taylor A, 2000)
3.1.1.4.3 Kelainan Pada Kornea
Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan kelainan kornea mulai dari erosi kornea sampai laserasi kornea. Bilamana lesi letaknya di bagian sentral, lebih-lebih bila mengakibatkan kekeruhan kornea yang luas, dapat mengakibatkan pengurangan tajam penglihatan. Pada umumnya bilamana lesi kornea itu tidak sampai merusak membran bowman atau stromanya, maka kornea akan cepat sembuh tanpa meninggalkan sikatriks pada kornea. Pada lesi yang lebih dalam pada lapisan kornea, umumnya akan meninggalkan sikatriks berupa nebula, makula atau leukoma kornea. (Randleman, JB, 2006)
Edema Kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat mengakibatkan edema kornea malahan ruptur membran descement. Edema kornea akan memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh, dengan uji plasido yang positif. (Randleman, JB, 2006)
Edema korneayang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan sel radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea.
Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan garam hipertonik 2-8%, glukose 4% dan larutan albumin. (Randleman, JB, 2006)
Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan asetazolamida. Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa kontak lembek dan mingkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan edema kornea. (Randleman, JB, 2006)
Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan M. Descement yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan keluhan rasa sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat astigmatisme iregular. (Randleman, JB, 2006)
Erosi Kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekkan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut. (Randleman, JB, 2006)
Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan blefarospasme, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan akan tergantung oleh media kornea yang keruh. (Ilyas. S,2002)
Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi perwarnaan fluoresein akan berwarna hijau. Pada erosi kornea perlu diperhatikan adalah adanya infeksi yang timbul kemudian. (Ilyas. S,2002)
Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan rasa sakit yang sangat. Hati-hati bila memakai obat anestetik topikal untuk menghilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karena dapat menambah kerusakan epitel. (Ilyas. S,2002)
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikelupas. Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika seperti antibiotika spektrum luas neosporin, kloramfenikol dan sulfasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka diberikan sikloplegik aksi pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup bila dibebat selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam. (Ilyas. S,2002)
Erosi Kornea Rekuren
Erosi kornea rekuren, biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran basal atau tukak meraherpetik. Epitel yang menutup kornea akan mudah lepas kembali diwaktu bangun pagi. Terjadinya erosi kornea berulang akibat epitel tidak dapat bertahan pada defek epitel kornea. Sukarnya erpitel menutupi kornea diakibatkan oleh terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea tempat duduknya sel basal epitel kornea. Biasanya membran basal yang rusak akan kembali normal setelah 6 minggu. (Randleman, JB, 2006)
Pengobatan terutama bertujuan melumas permukaan kornea sehingga regenerasi epitel tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal kornea. Pengobatan biasanya dengan memberikan sikloplegik untuk menghilangkan rasa sakit ataupun untuk mengurangkan gejala radang uvea yang mungkin timbul. Antibiotik diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk mempercepat tumbuh epitel baru dan mencegah infeksi sekunder. Biasanya bila tidak terjadi infeksi sekunder erosi kornesa yang mengenai seluruh permukaan kornea akan sembuh dalam 3 hari. Pada erosi kornea tidak diberi antibiotik dengan kombinasi steroid. (Ilyas.S,2002)
Pemakaian lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren sangat bermanfaat, karena dapat mempertahankan epitel berada di tempat dan tidak dipengaruhi kedipan kelopak mata. (Randleman, JB, 2006)
Kelainan pada Uvea
Iridoplegia
Trauma tumpul pada uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sfingter pupil atau iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil. Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil ini tidak bereaksi terhadap sinar. (Randleman, JB, 2006)
Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah terjadinya kelelehan sfingter dan pemberian roboransia. (Randleman, JB, 2006)
Iridodialisis
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga bentuk pupil menjadi berubah. (Dua.H, S.King,2012)
Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya.Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama dengan terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.
(Dua.H, S.King,2012)
Hifema
Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. (Dua.H, S.King,2012)
Pasien akan mengeluh sakit, disertai dengan epifora dan blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul dibagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis. (Randleman, JB, 2006)
Pengobatan dengan merawat pasien dengan tidur di tempat tidur yang ditinggikan 30 derajatpada kepala, diberi koagulasi, dan mata ditutup. Pada anak yang gelisah dapat diberikan obat penenang. Asetazolamida diberikan bila terjadi penyulit glaukoma.
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila berjalam penyakit tidak berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. (Randleman, JB, 2006)
Parasentesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan di lakukan pada pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang. (Randleman, JB, 2006)
Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang. (Randleman, JB, 2006)
Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata. Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akandapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan. Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukimia dan retinoblastoma. (Asbury,2000)
Perdarahan sekunder dapat terjadi sesudah hari ketiga terjadinya trauma. Hifema biasanya akan mengalami penyerapan spontan. Bila mana hifema penuh, dan penyerapannya sukar, dapat terjadi hemosiderosis kornea (penimbunan pigmen darah dalam kornea), atau glaukoma sekunder. (Asbury,2000)
Apabila hifema tidak mengurang dalam 5 hari dan tekanan bola mata meninggi, dilakukan tindakan pembedahan mengeluarkan darah dari bilik mata depan (parasentesis). (Asbury,2000)
Bedah Pada Hifema
Parasentesis : Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah atau nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut : dibuat incisi kornea 2mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologik.Biasanya luka incisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahit. (Asbury,2000)
Iridosiklitis
Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan iridosiklitis atau radang uvea anterior. Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adanya darah di dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan puil yang mengecil dengan tajam penglihatan menurun. Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik. Sebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa funduskopi dengan midriatika. (Asbury,2000)
Kelainan pada Lensa
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan subluksasi lensa atau luksasi lensa (lensa mengalami perpindahan tempat). Zonula Zinn dan badan kaca dapat menonjol ke dalam bilik mata depan sebagai hernia. Pada umumnya lensa yang mengalami dislokasi itu beberapa tahun kemudian akan mengalami katarak. (Asbury,2000)
Bilamana trauma tumpul menimbulkan ruptur yang tidak langsung pada kapsul lensa maka akan terjadi katarak. Baik subluksasi maupun luksasi lensa dapat menimbulkan glaukoma sekunder atau iritasi mata. (Asbury,2000)
Dislokasi lensa ataupun katarak akibat trauma tumpul dapat menyebabkan pengurangan tajam penglihatan sampai kebutaan, perlu penanganan dokter spesialis untuk dilakukan tindakan pembedahan katarak. (Asbury,2000)
Dislokasi lensa
Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang akan mengakibatkan kedudukan lensa terganggu. (Asbury,2000)
Subluksasi lensa
Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zunula zinn sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula zinn yang rapun (sindrom marphan). (Asbury,2000)
Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan menjadi cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilki mata tertutup. Bila sudtu bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaukoma sekunder. Subluksasi dapat mengakiatkan glaukoma sekunder dimana terjadi penutupan sudut bilik mata oleh lensa yang mencembung. Bila tidak terjadi penyulit subluksasi lensa seperti glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi yang sesuai. (Asbury,2000)
Luksasi lensa anterior
Bila seluruh zonula zinn disekitar ekuator putus akibat trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilk mata depan. Akibat lensa terletak di dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul glaukoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. (Asbury,2000)
Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi. (Asbury,2000)
Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien secapatnya dikirim pada dokter mata untuk dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu diberikan asetazolmida untuk menurunkan tekanan bola matanya. (Asbury,2000)
Luksasi lensa posterior
Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam didataran bawah polus fundus okuli. (Asbury,2000)
Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya akibat lensa mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12,0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada pada polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik. Bila luksasi lensa telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa. (Asbury,2000)
Katarak Trauma
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibta trauma perforasi ataupun tumpul terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dandapat pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius. (Randleman, JB, 2006)
Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan menutup dengan cepat akibat perforasi epitel sehinga bentuk kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata depan. (Randleman, JB, 2006)
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan bercampur makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis fakoanalitik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin Soemering atau bila epitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara Elsching. (Randleman, JB, 2006)
Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya.
Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinkan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer atau sekunder. (Randleman, JB, 2006)
Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis, dan lain sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis atau salah letak lensa. (Ilyas, Sidarta, 2004)
Cincin Vossius
Pada trauma lensa dapat terlihat apa yang disebut sebagai cincin Vossius yang merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa sesudah sesuatu trauma, seperti suatu stempel jari. (Randleman, JB, 2006)
Cincin hanya menunjukkan tanda bahwa mata tersebut telah mengalami suatu trauma tumpul. (Kuhn. F,2002)
Kelainan Pada Retina Dan Koroid
3.1.1.4.6.1Edema retina dan koroid
Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna retina yang lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi arteri retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali daerah makula, sehingga pada keadaan ini akan terlihat cherry red spot yang berwarna merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red spot. (Randleman, JB, 2006)
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema makula atau edema berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga seluruh polus posterior fundus okuli berwarna abu-abu. (Kuhn.F,2002)
Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunnya daerah makula oleh sel pigmen epitel. (Kuhn.F,2002)
Ablasi Retina
Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopia, dan proses degenerasi retina lainnya. (Kuhn.F,2002)
Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti tabir menganggu lapang pandangannya. Bila terkena atau tertutup daerah makula maka tajam penglihatan akan menurun. (Kuhn.F,2002)
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-kadang terlihat pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter mata. (Kuhn.F,2002)
Kelainan Pada Koroid
3.1.1.4.7.1 Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf optic. (Randleman, JB, 2006)
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam penglihatan akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorbsi maka akan terlihat bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid. (Randleman, JB, 2006)
Kelainan Pada Saraf Optik
Avulsi Papil Saraf Optik
Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk untuk dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya. (Randleman, JB, 2006)
Optik Neuropati Traumatik
Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah cidera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapang pandang. Papil saraf optik dapat normal beberapa minggu sebelum menjadi pucat. (Randleman, JB, 2006)
Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan pada kiasma optik. (Kuhn.F,2002)
Pengobatan adalah dengan merawat pasien waktu akut dengan memberi steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan. (Kuhn.F,2002)
Perubahan tekanan bola mata
Trauma mata dapat menyebabkan perubahan tekanan bola mata baik penurunan peninggian tekanan bola mata. Bila tekanan menjadi rendah, yang pada perabaan dengan jari terasa lunak sekali, menandakan adanya kerusakan dinding bola mata, yaitu terjadinya ruptur bola mata. (Kuhn.F,2002)
Pada umumnya letak ruptur itu di tempat yang lemah di bagian sklera yang agak menipis seperti di daerah badan siliar atau di kutub posterior bola mata. Bilamana tekanan bola mata naik, terjadilah glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder dapat timbul segera, yaitu beberapa saat setelah kejadian trauma disebabkan oleh banyaknya darah dalam bola mata atau hifema, dimana sel-sel darah itu menyumbat jaringan trabekel dan saluran keluarnya. (Kuhn.F,2002)
3.1.1.4.8.4 Kelainan gerakkan mata
Mata yang sehat dapat membuka dan menutup dengan mudah, sedangkan bola matanya dapat digerakkan ke segala arah. Pada trauma tumpul mata, ada kemungkinan terjadi gangguan gerakkan kelopak mata berarti kelopak mata itu tidak dapat menutup atau tidak dapat membuka dengan sempurna. Kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dinamakan lagoftalmos, disebabkan oleh kelumpuhan N VII. Kelopak mata yang tidak dapat membuka dengan sempurna disebut ptosis, hal ini disebabkan oleh adanya edema atau hematoma kelopak superior. (Kuhn.F,2002)
lagoftalmos
ptosis
Pada trauma tumpul mata dapat terjadi gangguan gerakkan bola mata yang disebabkan oleh perdarahan rongga orbita atau kerusakan otot-otot mata luar. (Kuhn.F,2002)
Penatalaksanaan
Prinsip penanganan trauma tumpul bola mata adalah apabila tampak jelas adanya ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat anestesi umum. Sebelum pembedahan, tidak boleh diberikan sikloplegik atau antibiotik topikal karena kemungkinan toksisitas obat akan meningkat pada jaringan intraokular yang terpajan. Antibiotik dapat diberikan secara parenteral spektrum luas dan pakai pelindung pada mata. Analgetik, antiemetik, dan antitoksin tetanus diberikan sesuai kebutuhan, dengan restriksi makan dan minum. Induksi anestesi umum harus menghindari substansi yang dapat menghambat depolarisasi neuromuskular, karena dapat meningkatkan secara transien tekanan bola mata, sehingga dapat memicu terjadinya herniasi isi intraokular. (Raja. SC, 2009)
Pada trauma yang berat, ahli oftalmologi harus selalu mengingat kemungkinan timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu berusaha melakukan pemeriksaan mata lengkap. Anestetik topikal, zat warna, dan obat lainnya yang diberikan ke mata yang cedera harus steril. Kecuali untuk cedera yang menyebabkan ruptur bola mata, sebagian besar efek kontusio-konkusio mata tidak memerlukan terapi bedah segera. Namun, setiap cedera yang cukup parah untuk menyebabkan perdarahan intraokular sehingga meningkatkan risiko perdarahan sekunder dan glaukoma memerlukan perhatian yang serius, yaitu pada kasus hifema. Kelainan pada palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul, seperti edema dan perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena akan menghilang sendiri dalam beberapa jam sampai hari. Kompres dingin dapat membantu mengurangi edema dan menghilangkannyeri, dilanjutkan dengan kompres hangat pada periode selanjutnya untuk mempercepat penyerapan darah. (Raja. SC, 2009)
Pada laserasi kornea, diperbaiki dengan jahitan nilon 10-0 untuk menghasilkan penutupan yang kedap air. Iris atau korpus siliaris yang mengalami inkarserasi dan terpajan kurang dari 24 jam dapat dimasukkan ke dalam bola mata dengan viskoelastik. Sisa-sisa lensa dan darah dapat dikeluarkan dengan aspirasi dan irigasi mekanis atauvitrektomi. Luka di sklera ditutup dengan jahitan 8-0 atau 9-0 interrupted yang tidak dapat diserap. Otot-otot rektus dapat secara sementara dilepaskan dari insersinya agar tindakan lebih mudah dilakukan. Prognosis pelepasan retina akibat trauma adalah buruk, karena adanya cedera makula, robekan besar di retina, dan pembentukan membran fibrovaskular intravitreus. Vitrektomi merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kondisi tersebut. (Raja. SC, 2009)
Pada hifema, bila telah jelas darah telah mengisis 5% kamera anterior, maka pasien harus tirah baring dan diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmentasi hemosiderin. (Raja. SC, 2009)
Penanganan hifema, yaitu (1) Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4-7 hari ) sampai hifema diserap.(2)Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi bebat tekan. (3) Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60º diberi koagulasi.(4) Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat. (asetasolamida).(5) Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari.(6) Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang (7) Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan bila adatanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bilasetelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang. (8) Asam aminokaproat oral untuk antifibrinolitik. (9) Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih 50 mmH selama 5 hari. (10) Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase kamar anterior. (11) Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian limbus. (Raja. SC, 2009)
Pada fraktur orbita, tindakan bedah diindikasikan bila pertama,Diplopia persisten dalam 30 derajat dari posisi primer pandangan, apabila terjadi penjepitan. Kedua, Enoftalmos 2 mm atau lebih. ketiga, Sebuah fraktur besar (setengah dari dasar orbita) yang kemungkinan besar akanmenyebabkan enoftalmos. (Raja. SC, 2009)
Penundaan pembedahan selama 1 – 2 minggu membantu menilai apakah diplopiadapat menghilang sendiri tanpa intervensi. Penundaan lebih lama menurunkan kemungkinankeberhasilan perbaikan enoftalmos dan strabismus karena adanya sikatrik. Perbaikan secarabedah biasanya dilakukan melalui rute infrasiliaris atau transkonjungtiva. Periorbita diinsisidan diangkat untuk memperlihatkan tempat fraktur di dinding medial dan dasar. Jaringanyang mengalami herniasi ditarik kembali ke dalam orbita, dan defek ditutup dengan implan. (Raja. SC, 2009)
3.1.2 Trauma Tajam
3.1.2.1 Definisi
Trauma tajam mata didefinisikan sebagai suatu trauma akibat benda tajam yang merusak sebagian atau seluruh ketebalan dinding luar bola mata dapat berupa titik sampai laserasi dan juga menembus isi atau bagian-bagian dari mata. Trauma tajam mata dapat di klasifikasikan atas luka tajam tanpa perforasi dan luka tajam dengan perforasi yang meliputi perforasi tanpa benda asing intra okuler dan perforasi benda asing intra okuler. (Ilyas, Sidarta, 2008)
Trauma tembus mata (luka akibat benda tajam), dimana struktur okular mangalami kerusakanakibat benda asing yang menembus lapisan okular dan juga dapat tertahan atau menetap dalam mata. Baik trauma tajam yang penetratif atau trauma tumpul yang mengakibatkan tekanan kontusif dapat menyebabkan ruptur bola mata. Benda tajam atau benda dengan kecepatan tinggi dapat menyebabkan perforasi langsung. Benda asing dapat mempenetrasi mata dan tetap berada di bola mata. (Asbury. T,2000)
3.1.2.2 Epidemiologi
United States Eye Injury Registry (USEIR) merupakan sumber informasi epidemiologi yang digunakan secara umum di AS. Menurut data dari USEIR, rata-rata umur orang yang terkena trauma tajam okuli adalah 29 tahun, dan laki-laki lebih sering terkena dibanding dengan perempuan. Menurut studi epidemiologi internasional, kebanyakan orang yang terkena trauma tajam okuli adalah laki-laki umur 25 sampai 30 tahun, sering mengkonsumsi alkohol dan trauma terjadi di rumah. (Ilyas, Sidarta, 2008)
Lebih dari 65.000 trauma mata yang berhubungan dengan pekerjaan, menyebabkan morbiditas dan disabilitas, dilaporkan di Amerika Serikat setiap tahunnya. Lebih dari setengah trauma mata yang berhubungan dengan pekerjaan terjadi di pabrik, dan industri kontruksi. Delapan puluh satu persen trauma mata yang berhubungan dengan pekerjaan terjadi pada pria dan kebanyakan terjadi pada pekerja berusia 25 sampai 44 tahun. (Raja. SC, 2009)
3.1.2.3 Etiologi
Penyebab tersering adalah karena kecelakaan saat bekerja, bermain dan berolahraga. Luas cedera ditentukan oleh ukuran benda yang mempenetrasi, kecepatan saat impaksi, dan komposisi benda tersebut, benda tajam seperti pisau akan menyebabkan laserasi berbatas tegas pada bola mata. (Asbury. T,2000)
Luas cedera yang disebabkan oleh benda asing yang terbang ditentukan oleh energi kinetiknya. Benda tajam seperti pisau akan menimbulkan luka laserasi yang jelas pada bola mata. Berbeda dengan kerusakan akibat benda asing yang terbang, beratnya kerusakan ditentukan oleh energi kinetik yang dimilikinya. Contohnya pada peluru pistol angin yang besar dan memiliki kecepatan yang tidak terlalu besar memiliki energi kinetik yang tinggi dan menyebabkan kerusakan mata yang cukup parah. Kontras dengan pecahan benda tajam yang memiliki massa yang kecil dengan kecepatan tinggi akan menimbulkan laserasi dengan batas tegas dan beratnya kerusakan lebih ringan dibandingkan kerusakan akibat peluru pistol angin. (Asbury. T,2000)
3.1.2.4 Klasifikasi
The Ocular Trauma Classification Group telah membuat suatu sistem klasifikasi berdasarkan BETT dan gambaran luka pada bola mata pada saat pemeriksaan awal. Trauma mekanis pada mata dibagi menjadi dua yaitu luka tertutup bola mata dan luka terbuka bola mata. Karena kedua hal ini memiliki patofisiologi dan penanganan yang berbeda. Sistem ini membagi trauma berdasarkan 4 parameter : (1)Tipe, berdasarkan mekanisme terjadinya luka. Tipe luka harus diketahui berdasarkan riwayat seperti yang diceritakan oleh pasien atau saksi yang melihat terjadinya trauma tersebut. Bila pasien tidak sadar, maka penentuan tipe berdasarkan pemeriksaan klinis.(2) Grade, yang didasarkan atas pengukuran visus pada pemeriksaan awal. Hal ini dapat dilakukan dengan tabel Snellen atau kartu Rosenbaum. (3) Ada tidaknya APD (Afferent Pupillary Defect). Adanya APD, seperti yang dapat diukur dengan mengayunkan senter, merupakan petunjuk adanya penyimpangan saraf optik dan/atau fungsi retina. (4) Perluasan luka. Luka yang terdapat pada luka terbuka bola mata atau perluasan paling posterior dari kerusakan pada luka tertutup bola mata. (Asbury. T,2000)
Parameter
Klasifikasi
Tipe
Ruptur
Penetrasi
IOFB (Intra Ocular Foreign Bodies)
Perforasi
Campuran
Grade (Visus)
20/40
20/50 sampai 20/100
19/100 sampai 5/200
4/200 sampai Light Perception
No Light Perception
Pupil
Positif, APD relatif pada mata yang terluka
Negatif, APD relatif pada mata yang terluka
Zona
Kornea dan Limbus
Limbus sampai 5 mm posterior dari sklera
Posterior sampai 5 mm dari limbus
Tabel 2. Klasifikasi Luka Terbuka Bola Mata
Parameter
Klasifikasi
Tipe
Kontusio
Laserasi lamelar
Benda asing superfisial
Campuran
Grade (Visus)
20/40
20/50 sampai 20/100
19/100 sampai 5/200
4/200 sampai Light Perception
No Light Perception
Pupil
Positif, APD relatif pada mata yang terluka
Negatif, APD relatif pada mata yang terluka
Zona
Eksternal (terbatas pada konjungtiva bulbi, sklera, kornea)
Segmen anterior (termasuk struktur dari segmen anterior dan pars plikata)
Segmen posterior (semua struktur posterior internal sampai kapsul lensa posterior)
Tabel 3. Klasifikasi Luka Tertutup Bola Mata
3.1.2.5 Patofisiologi
Benda asing dengan kecepatan tinggi akan menembus seluruh lapisan sklera atau kornea serta jaringan lain dalam bulbus okuli sampai ke segmen posterior kemudian bersarang didalamnya bahkan dapat mengenai os orbita. Dalam hal ini akan ditemukan suatu luka terbuka dan biasanya terjadi prolaps (lepasnya) iris, lensa, ataupun corpus vitreus. Perdarahan intraokular dapat terjadi apabila trauma mengenai jaringan uvea, berupa hifema atau henophthalmia. (Raja. SC, 2009)
3.1.2.6 Berbagai Kerusakan Jaringan Mata akibat Trauma Tembus
Luka akibat benda tajam dapat mengakibatkan berbagai keadaan seperti berikut :
Trauma tembus pada palpebral (Raja. SC, 2009)
Mengenai sebagian atau seluruhnya, jika mengenai levator apaneurosis dapat menyebabkan suatu ptosis yang permanen.
Gambar. 3 Laserasi palpebra
Trauma tembus pada saluran lakrimalis (Raja. SC, 2009)
Dapat merusak sistem pengaliran air mata dari pungtum lakrimalis sampai kerongga hidung. Hal ini dapat menyebabkan kekurangan air mata.
Trauma tembus pada Orbita
Luka tajam yang mengenai orbita dapat merusak bola mata, merusak saraf optik, menyebabkan kebutaan atau merobek otot luar mata sehingga menimbulkan paralisis dari otot dan diplopia. Selain itu juga bisa menyebabkan infeksi, menimbulkan selulitis orbita, karena adanya benda asing atau adanya hubungan terbuka dengan rongga-rongga di sekitar orbita. (Ilyas. S,2004)
Gambar. 4 Trauma tembus orbita
Trauma tembus pada Kongjungtiva
Trauma dapat mengakibatkan robekan pada konjungtiva, sehingga dapat merusak dan ruptur pembuluh darah menyebabkan perdarahan sub konjungtiva. (Raja. SC, 2009)
Gambar. 5 Trauma tembus subkonjungtiva
Trauma tembus pada Sklera
Bila ada luka tembus pada sklera dapat menyebabkan penurunan tekanan bola mata dan kamera okuli jadi dangkal, luka sklera yang lebar dapat disertai prolap jaringan bola mata, sehingga bisa menyebabkan infeksi dari bagian dalam bola mata. (Ilyas. S,2004)
Trauma tembus pada Kornea
Bila luka tembus mengenai kornea dapat menyebabkan gangguan fungsi penglihatan karena fungsi kornea sebagai media refraksi. Bisa juga trauma tembus kornea menyebabkan iris prolaps, korpus vitreum dan korpus ciliaris prolaps, hal ini dapat menurunkan visus. (Ilyas. S,2004)
Gambar 6. Laserasi kornea
Trauma tembus pada Uvea
Bila terdapat luka pada uvea maka dapat menyebabkan pengaturan banyaknya cahaya yang masuk sehingga muncul fotofobia atau penglihatan kabur. (Ilyas. S,2004)
Trauma tembus pada Lensa
Bila ada trauma akan mengganggu daya fokus sinar pada retina sehingga menurunkan daya refraksi dan sefris sebagai penglihatan menurun karena daya akomodasi tidak adekuat. (Ilyas. S,2004)
Trauma tembus pada Retina
Dapat menyebabkan perdarahan retina yang dapat menumpuk pada rongga badan kaca, hal ini dapat muncul fotopsia dan ada benda melayang dalam badan kaca. (Ilyas. S,2004)
Trauma tembus pada corpus siliar
Luka pada corpus siliar mempunyai prognosis yang buruk, karena kemungkinan besar dapat menimbulkan endoftalmitis, panoftalmitis yang berakhir dengan ptisis bulbi pada mata yang terkena trauma. Sedangkan pada mata yang sehat dapat timbul oftalmia simpatika. Oleh karena itu, bila lukanya besar, disertai prolaps dari isi bola mata, sehingga mata mungkin tak dapat melihat lagi, sebaiknya di enukleasi bulbi, supaya mata yang sehat tetap menjadi baik. (Ilyas. S,2004)
3.1.2.7 Manifestasi Klinis
Trauma yang disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata, maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti tajam penglihatan yang menurun, laserasi kornea, tekanan bola mata rendah, bilik mata dangkal, bentuk dan letak pupil yang berubah, terlihat ruptur pada kornea atau sklera, terdapat jaringan yang prolaps seperti cairan mata, iris, lensa, badan kaca, atau retina, katarak traumatik, dan konjungtiva kemosis. (Ilyas. S,2004)
Pada perdarahan yang hebat, palpebra menjadi bengkak, berwarna kebiru-biruan, karena jaringan ikat palpebra halus. Ekimosis yang tampak setelah trauma menunjukkan bahwa traumanya kuat, sehingga harus dilakukan pemeriksaan dari bagian-bagian yang lebih dalam dari mata, juga perlu dibuat foto rontgen kepala. Perdarahan yang timbul 24 jam setelah trauma, menunjukkan adanya fraktur dari dasar tengkorak. (Ilyas. S,2004)
Gambar. 1 Lokasi cedera mata; tampak depan
Gambar. 2 Lokasi cedera mata; tampak samping
Sebagian besar cedera tembus menyebabkan penurunan penglihatan yang mencolok, tetapi cedera akibat partikel kecil berkecepatan tinggi yang dihasilkan oleh tindakan menggerinda atau memalu mungkin hanya menimbulkan nyeri ringan dan kekaburan penglihatan. Tanda-tanda lainnya adalah kemosis hemoragik, laserasi konjungtiva, kamera anterior yang dangkal dengan atau tanpa dilatasi pupil yang eksentrik, hifema, atau perdarahan korpus vitreus. Tekanan intraokuler mungkin rendah, normal, atau yang jarang sedikit meninggi. (Ilyas. S,2004)
3.1.2.8 Diagnosis
Diagnosis trauma tajam okuli dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, informasi yang diperoleh dapat berupa mekanisme dan onset terjadinya trauma, bahan/benda penyebab trauma dan pekerjaan untuk mengetahui penyebabnya. (Peate,2011)
Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progresif lambat atau berawitan mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraokuler apabila terdapat kegiatan memahat, mengasah atau adanya ledakan. Cedera pada anak dengan riwayat yang tidak sesuai dengan cedera yang di derita, harus dicurigai adanya penganiayaan pada anak. Riwayat kejadian harus diarah secara khusus pada detail terjadinya trauma, riwayat pembedahan okuler sebelumnya, riwayat penyakit sebelumnya dan energi. (Ilyas. S,2004)
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan ketajaman penglihatan. Apabila gangguan penglihatannya parah, maka periksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua titik, dan adanya defek pupil aferan. Periksa motilitas mata dan sensasi kulit periorbita, dan lakukan palpasi untuk mencari defek ada bagian tepi tulang orbita. (Ilyas. S,2004)
Pemeriksaan slit lamp juga dapat dilakukan untuk melihat kedalam cedera di segmen anterior bola mata. Tes fluoresein dapat digunakan untuk mewarnai kornea, sehingga cedera kelihatan dengan jelas. Pemeriksaan tonometri perlu dilakukan untuk mnegetahui tekanan bola mata. Pemeriksaan fundus yang di dilatasikan dengan oftalmoskop indirek penting untuk dilakukan untuk mengetahui adanya benda asing intraokuler. Bila benda asing yang masuk cukup dalam, dapat dilakukan tes seidel untuk mengetahui adanya cairan yang keluar dari mata. Tes ini dilakukan dengan cara memberi anestesi pada mata yang akan di periksa, kemudian diuji pada strip fluorescein steril. Penguji menggunakan slit lamp dengan filter kobalt biru, sehingga akan terlihat perubahan warna strip akibat perubahan pH bila ada pengeluaran cairan mata. (Ilyas. S,2004)
Pemeriksaan ct-scan dan USG B-scan digunakan untuk mengetahui posisi benda asing. MRI kontraindikasi untuk kecurigaan trauma akibat benda logam. Electroretinography (ERG) berguna untuk mengetahui ada tidaknya degenarasi pada retina dan sering digunakan pada pasien yang tidak berkomunikasi dengan pemeriksa. Bila dalam inspeksi terlihat ruptur bola mata, atau adanya kecenderungan ruptur bola mata, maka tidak dilakukan pemeriksaan lagi. Mata dilindungi dengan pelindung tanpa bebat, kemudian dirujuk ke spesialis mata. (Ilyas. S,2004)
3.1.2.9 Penatalaksanaan Trauma Tembus
Keadaan trauma tembus pada mata merupakan hal yang gawat darurat dan harus segera mendapat perawatan khusus karena dapat menimbulkan bahaya seperti infeksi, Siderosis, kalkosis dan oftalmika simpatika. (Peate,2011)
Pada setiap tindakan harus dilakukan usaha untuk mempertahankan bola mata bila masih terdapat kemampuan melihat sinar atau ada proyeksi penglihatan. Bila terdapat benda asing, maka sebaiknya dilakukan usaha untuk mengeluarkan banda asing tersebut. Sebaiknya dipastikan apakah ada benda asing yang masuk ke dalam mata dengan membuat foto. Benda asing yang bersifat magnetic dapat dikeluarkan dengan mengunakan magnet raksasa. Benda yang tidak magnetic dikeluarkan dengan vitrektomi. (Peate,2011)
Bila terlihat atau dicurigai adanya perforasi bola mata, maka secepatnya dilakukan pemberian antibiotik topical, mata ditutup, dan segera dikirim kepada dokter mata untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan luka tembus bola mata selamanya diberikan antibiotik sistemik berspektrum luas atau intravena dan pasien dipuasakan untuk rencana pembedahan. Pasien juga dapat diberikan analgetika, sedative dan profilaksis anti tetanus. (Peate,2011)
3.1.2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi setelah terjadinya trauma tembus adalah endoftalmitis, panoftalmitis, ablasi retina, perdarahan intraokular dan oftalmia simpatika. (Peate,2011)
Endoftalmitis dapat terjadi dalam beberapa jam hingga dalam beberapa minggu tergantung pada jenis mikroorganisme yang terlibat. Endoftalmitis dapat berlanjut menjadi panoftalmitis.
Oftalmia simpatika adalah inflamasi yang terjadi pada mata yang tidak cedera dalam jangka waktu 5 hari sampai 60 tahun dan biasanya 90% terjadi dalam 1 tahun.8 Diduga akibat respon autoimun akibat terekposnya uvea karena cedera, keadaan ini menimbulkan nyeri, penurunan ketajaman penglihatan mendadak, dan fotofobia yang dapat membaik dengan enukleasi mata yang cedera. (Berson. FG,1993)
3.1.2.11 Prognosis
Prognosis berhubungan dengan sejumlah faktor seperti visus awal, tipe dan luasnya luka, adanya atau tidak adanya ablasio retina, atau benda asing. Secara umum, semakin posterior penetrasi dan semakin besar laserasi atau ruptur, prognosis semakin buruk. Trauma yang disebabkan oleh objek besar yang menyebabkan laserasi kornea tapi menyisakan badan vitreus, sklera dan retina yang tidak luka mempunyai prognosis penglihatan yang baik dibandingkan laserasi kecil yang melibatkan bagian posteror. Trauma tembus akibat benda asing yg bersifat inert pun mempunyai prognosis yang baik. Trauma tembus akibat benda asing yang sifatnya reaktif magnetik lebih mudah dikeluarkan dan prognosisnya lebih baik. Pada luka penetrasi, 50-75% mata akan mencapai visus akhir 5/200 atau lebih baik. (Berson. FG,1993)
3.1.2.12 Pencegahan
Trauma mata dapat dicegah dan diperlukan penerangan kepada masyarakat untuk menghindari terjadinya trauma mata, seperti Trauma tajam akibat kecelakaan lalu lintas tidak dapat dicegah, kecuali trauma tajam perkelahian, Diperlukan perlindungan pekerja untuk menghindari terjadinya trauma tajam, Awasi anak yang sedang bermain yang mungkin berbahaya bagi matanya. (Berson. FG,1993)
Seseorang yang menggunakan lensa dari kaca atau plastik yang sedang bekerja dalam industri atau melakukan aktivitas atletik memiliki resiko terkena pecahan fragmen lensa. Kaca mata yang paling efektif untuk mencegah cedera terdiri dari lensa polikarbonat dalam rangka poliamida dengan tepi penahan di posterior. Sebaiknya digunakan bingkai pada wraparound (bukan bingkai berengsel) karena lebih dapat menahan pukulan dari samping. Pada atletik atau aktivitas rekreasi beresiko tinggi (misalnya perang-perangan dengan peluru hampa atau cat), pelindung mata tanpa lensa tidak selalu melindungi mata secara adekuat. Perlindungan mata yang sesuai terutama diindikasikan bagi mereka yang bermain bola raket, bola tangan, dan squash. Banyak kebutaan yang terjadi akibat olah raga ini, terutama akibat trauma kontusio pada mata yang tidak terlindung dengan baik. (Berson. FG,1993)
3.1.3 Trauma Kimia
3.1.3.1 Definisi
Trauma kimia pada mata merupakan salah satu keadaan kegawat daruratan oftalmologi karena dapat menyebabkan cedera pada mata, baik ringan, berat bahkan sampai kehilangan pengelihatan. Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat terpapar bahan kimia baik yang bersifat asam ataupun basa yang dapat merusak struktur bola mata tersebut. (Khun Frenc,2002)
Trauma kimia diakibatkan oleh zat asam dengan pH <7 ataupun zat basa pH >7 yang dapat menyebabkan kerusakan struktur bola mata. Tingkat keparahan trauma ditentukan dengan jenis, volume, konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi dari zat kimia tersebut. Mekanisme cedera antara asam dan basa sedikit berbeda. Trauma bahan kimia dapat terjadi pada laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian dan peperangan yang menggunakan bahan kimia, serta paparan bahan kimia dari alat alat rumah tangga. Setiap trauma kimia pada mata memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah yang terkena trauma kimia merupakan tindakan yang harus segera dilaksanakan. (Khun Frenc,2002)
3.1.3.2 Epidemiologi
Berdasarkan data dari Center of Disease Contol and Prevention (CDC) tahun 2000, sekitar 1 juta orang di Amerika Serikat mengalami gangguan pengelihatan akibat trauma mata. 75% dari kelompok tersebut buta pada satu mata, dan sekitar 50.000 orang menderita cedera serius yang mengancam pengelihatan setiap tahunnya. Setiap hari lebih dari 2000 pekerja di Amerika Serikat menerima pengobatan medis akibat trauma mata pada saat bekerja. Lebih dari 800.000 kasus trauma mata yang berhubungan dengan pekerjaan terjadi setiap tahunnya. (Khun Frenc,2002)
Dibandingkan dengan wanita, laki-laki memiliki rasio terkena trauma mata 4 kali lebih besar. Dari data World Health Organization (WHO) tahun 1998, trauma okular berakibat kebutaan unilateral terjadi pada 19 juta orang, 2,3 juta orang mengalami penurunan visus bilateral, dan 1,6 juta orang mengalami kebutaan bilateral akibat trauma mata. Sebagian besar kasus (84%) merupakan trauma kimia. Rasio frekuensi trauma kimia asam berbanding basa bervariasi, yaitu berkisar antara 1:1 sampai 1:4. Secara international, 80% dari trauma kimia dikarenakan oleh pajanan karena pekerjaan. Menurut United States Eye Injury Registry (USEIR), frekuensi kasus trauma kimia di Amerika Serikat mencapai 16 % dan meningkat di lokasi kerja dibandingkan dengan di rumah. Lebih banyak pada laki-laki (93 %) dengan umur rata-rata 31 tahun. (Khun Frenc,2002)
3.1.3.3Trauma Asam pada Mata.
Asam dipisahkan dalam dua mekanisme, yaitu ion hidrogen dan anion dalam kornea. Molekul hidrogen merusak permukaan okular dengan mengubah pH, sementara anion merusak dengan cara denaturasi protein, presipitasi dan koagulasi. Koagulasi protein umumnya mencegah penetrasi yang lebih lanjut dari zat asam, dan menyebabkan tampilan ground glass dari stroma korneal yang mengikuti trauma akibat asam. Sehingga trauma pada mata yang disebabkan oleh zat kimia asam cenderung lebih ringan daripada trauma yang diakibatkan oleh zat kimia basa. (Khun Frenc,2002)
Bahan kimia asam yang mengenai jaringan akan mengadakan denaturasi dan presipitasi dengan jaringan protein disekitarnya. Karena adanya daya buffer dari jaringan terhadap bahan asam serta adanya presipitasi protein, maka kerusakannya cenderung terlokalisir. Bahan asam yang mengenai kornea juga mengadakan presipitasi, sehingga terjadi koagulasi protein epitel kornea yang mengakibatkan kekeruhan pada kornea, kadang-kadang seluruh epitel kornea terlepas (Gambar 3). Biasanya kerusakan hanya pada bagian superfisial saja (Gambar 4). Bila trauma diakibatkan asam keras maka reaksinya mirip dengan trauma basa. (Khun Frenc,2002)
Bahan kimia yang bersifat asam contohnya asam sulfat, air accu, asam sulfit, asam hidroklorida, zat pemutih, asam asetat, asam nitrat, asam kromat, dan asam hidroflorida. Akibat ledakan baterai mobil, yang menyebabkan luka bakar asam sulfat, mungkin merupakan penyebab tersering dari luka bakar kimia pada mata. Asam hidroflorida dapat ditemukan di rumah pada cairan penghilang karat, pengkilap aluminum, dan cairan pembersih yang kuat. Asam hidroflorida adalah satu pengecualian. Asam lemah ini secara cepat melewati membran sel, seperti alkali. Ion fluoride dilepaskan ke dalam sel, dan memungkinkan menghambat enzim glikolitik dan bergabung dengan kalsium dan magnesium membentuk insoluble complexes. Nyeri lokal yang ekstrim bisa terjadi sebagai hasil dari immobilisasi ion kalsium, yang berujung pada stimulasi saraf dengan pemindahan ion potassium. Fluorinosis akut bisa terjadi ketika ion fluoride memasuki sistem sirkulasi, dan memberikan gambaran gejala pada jantung, pernafasan, gastrointestinal, dan neurologik. Beberapa bahan asam yang dapat menyebabkan trauma adalahSulfuric acid (H2SO4) pada aki mobil dan bahan pembersih industry,Sulfurous acid (H2SO3) pada pengawet sayur dan buah,Hydrofluoric acid (HF) efek sama dengan trauma basa, ditemukan pada pembersih karat, pengkilat aluminuium dan penggosok kaca,Acetic acid (CH3COOH) pada cuka, danHydrochloric acid (HCl) 31-38% zat pembersih. (Berson. FG,1993)
Gambar 3. Koagulasi protein yang berlaku pada mata akibat trauma asam, dan menimbulkan kekeruhan pada kornea, yang nantinya akan cenderung untuk masuk ke bilik depan mata dan bisa menimbulkan katarak. (Sumber: Vaughan DG, Taylor A, and Paul RE. Oftalmologi Umum.Widya medika. Jakarta. 2000.)
Gambar 4. Patofisiologi trauma asam pada mata.
Gambar 5. Mata yang pada bagian konjungtiva bulbi yang hiperemis dan pupil yang melebar karena peningkatan tekanan intraocular. (Sumber: Vaughan DG, Taylor A, and Paul RE. Oftalmologi Umum.Widya medika. Jakarta. 2000.)3
3.1.3.4 Trauma Basa pada Mata
Trauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua sifat, yaitu hidrofilik dan lipolifik, yang dapat secara cepat penetrasi sel membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina.Trauma basa akan memberikan iritasi ringan pada mata apabila dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata, trauma basa ini mengakibatkan suatu kegawat daruratan. Basa akan menembus kornea, kamera okuli anterior sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan menimbulkan proses saponifikasi, disertai dengan dehidrasi. (Khun Frenc,2002)
Bahan alkali atau basa akan mengakibatkan pecah atau rusaknya sel jaringan. Pada pH yang tinggi, alkali akan mengakibatkan saponifikasi disertai dengan disosiasi asam lemak membran sel. Akibat saponifikasi membran sel, penetrasi lebih lanjut zat alkali akan lebih mudah. Basa menyebabkan hilangnya mukopolisakarida jaringan dan terjadinya penggumpalan sel kornea atau keratosis. Serat kolagen kornea akan bengkak dan stroma kornea akan mati. Akibat edema kornea, akan terdapat serbukan sel polimorfonuklear ke dalam stroma kornea. Serbukan sel ini cenderung disertai dengan pembentukan pembuluh darah baru atau neovaskularisasi. Akibat membran sel basal epitel kornea rusak, sel epitel diatasnya mudah lepas. Sel epitel yang baru terbentuk akan berhubungan langsung dengan stroma dibawahnya melalui plasminogen aktivator. Bersamaan dengan dilepaskan plasminogen aktivator dilepas juga kolagenase yang akan merusak kolagen kornea. (Khun Frenc,2002)
Selain itu, gangguan penyembuhan epitel yang berkelanjutan dapat menyebabkan ulkus kornea menjadi perforasi kornea. Kolagenase ini mulai dibentuk 9 jam sesudah trauma dan puncaknya terdapat pada hari ke 12 hingga 21. Biasanya ulkus pada kornea mulai terbentuk 2 minggu setelah trauma kimia. Pembentukan ulkus berhenti hanya bila terjadi epitelisasi lengkap atau vaskularisasi telah menutup dataran depan kornea. Bila alkali sudah masuk ke dalam bilik mata depan maka akan terjadi gangguan fungsi korpus siliaris. Cairan mata susunannya akan berubah, yaitu terdapat kadar glukosa dan askorbat yang berkurang. Kedua unsur ini memegang peranan penting dalam pembentukan jaringan kornea. (Khun Frenc,2002)
Bahan kimia bersifat basa contohnya NaOH, CaOH, amoniak, Freon/bahan pendingin lemari es, sabun, shampo, kapur gamping, semen, tiner, lem, cairan pembersih dalam rumah tangga, dan soda kuat. Bahan alkali yang biasa menyebabkan trauma kimia adalah Amonia (NH3), zat ini biasa ditemukan pada bahan pembersih rumah tangga, zat pendingin, dan pupuk. NaOH, sering ditemukan pada pembersih pipa. Potassium Hydroxide (KOH), seperti caustic potash. Magnesium Hydroxide (Mg(OH)2), seperti pada kembang api, danLime (Ca(OH)2), seperti pada perekat, mortar, semen, dan kapur. (Berson. FG,1993)
Proses perjalanan penyakit pada trauma kimia ditandai oleh 2 fase, yaitu fase kerusakan yang timbul setelah terpapar bahan kimia serta fase penyembuhan. (Khun Frenc,2002)
Kerusakan yang terjadi pada trauma kimia yang berat dapat diikuti oleh hal-hal sebagai berikut:(1)Terjadi nekrosis pada epitel kornea dan konjungtiva disertai gangguan dan oklusi pembuluh darah pada limbus. (2) Hilangnya stem cell limbus dapat berdampak pada vaskularisasi dan konjungtivalisasi permukaan kornea atau menyebabkan kerusakan persisten pada epitel kornea dengan perforasi dan ulkus kornea bersih. (3) Penetrasi yang dalam dari suatu zat kimia dapat menyebabkan kerusakan dan presipitasi glikosaminoglikan dan opasifikasi kornea.(4)Penetrasi zat kimia sampai ke kamera okuli anterior dapat menyebabkan kerusakan iris dan lensa.(5)Kerusakan epitel siliar dapat mengganggu sekresi askorbat yang dibutuhkan untuk memproduksi kolagen dan memperbaiki kornea.(6)Hipotoni dan phthisis bulbi sangat mungkin terjadi. (Berson. FG,1993)
Penyembuhan epitel kornea dan stroma diikuti oleh proses-proses berikut: (a)Terjadi penyembuhan jaringan epitelium berupa migrasi atau pergeseran dari sel-sel epitelial yang berasal dari stem cell limbus (b)Kerusakan kolagen stroma akan difagositosis oleh keratosit terjadi sintesis kolagen yang baru. (Berson. FG,1993)
Gambar 6. Patofisiologi trauma basa yang merusak mata.
Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan dalam: (Berson. FG,1993)
Derajat 1: kornea jernih dan tidak ada iskemik limbus (prognosis sangat baik),
Derajat 2: kornea berkabut dengan gambaran iris yang masih terlihat dan terdapat kurang dari 1/3 iskemik limbus (prognosis baik),
Derajat 3: epitel kornea hilang total, stroma berkabut dengan gambaran iris tidak jelas dan sudah terdapat ½ iskemik limbus (prognosis kurang), dan
Derajat 4: kornea opak dan sudah terdapat iskemik lebih dari ½ limbus (prognosis sangat buruk).
Gambar 7. Klasifikasi trauma kimia: (a) derajat 1, (b) derajat 2, (c) derajat 3, (d) derajat 4.
Klasifikasi ini juga bertujuan untuk penatalaksaan yang sesuai dengan kerusakan yang muncul serta indikasi penentuan prognosis. Klasifikasi ditetapkan berdasarkan tingkat kejernihan kornea dan keparahan iskemik limbus.Menurut klasifikasi Hughes: (Berson. FG,1993)
Ringan
Prognosis baik, Terdapat erosi epitel kornea, Kekeruhan yang ringan pada kornea, Tidak terdapat iskemia dan nekrosis kornea ataupun konjungtiva.
Sedang
Prognosis baik, Kornea keruh, sehingga sukar melihat iris dan pupil secara terperinci. Terdapat nekrosis dan iskemi ringan pada konjungtiva dan kornea
Berat
Prognosis buruk, Akibat kekeruhan kornea, pupil tidak dapat dilihatKonjungtiva dan sklera pucat.
3.1.3.4.5 Diagnosis dan Penanganan Trauma Kimia pada Mata
Diagnosis pada trauma mata dapat ditegakkan melalui gejala klinis, anamnesis dan pemeriksaan fisik dan penunjang. Namun hal ini tidaklah mutlak dilakukan dikarenakan trauma kimia pada mata merupakan kasus gawat darurat sehingga hanya diperlukan anamnesa singkat. (Khun Frenc,2002)
3.1.3.4.5.1. Gejala Klinis
Terdapat gejala klinis utama yang muncul pada trauma kimia, yaitu epifora, blefarospasme, dan nyeri berat. Trauma akibat bahan yang bersifat asam biasanya dapat segera terjadi penurunan penglihatan akibat nekrosis superfisial kornea. Sedangkan pada trauma basa, kehilangan penglihatan sering bermanifestasi beberapa hari sesudah kejadian. Namun sebenarnya kerusakan yang terjadi pada trauma basa lebih berat dibanding trauma asam. (Berson. FG,1993)
3.1.3.4.5.2. Anamnesis
Pada anamnesis, sering sekali pasien menceritakan telah tersiram cairan atau tersemprot gas pada mata atau partikel-partikelnya masuk ke dalam mata. Perlu diketahui apa persisnya zat kimia dan bagaimana terjadinya trauma tersebut (misalnya tersiram sekali atau akibat ledakan dengan kecepatan tinggi) serta kapan terjadinya trauma tersebut. (Berson. FG,1993)
Perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera atau saat cedera terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau terjadi secara tiba-tiba. Nyeri, lakrimasi, dan pandangan kabur merupakan gambaran umum trauma. Harus pula dicurigai adanya benda asing intraokular apabila terdapat riwayat trauma akibat ledakan. (Berson. FG,1993)
3.1.3.4.5.3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang seksama sebaiknya ditunda sampai mata yang terkena zat kimia sudah terigasi dengan air dan pH permukaan bola mata sudah netral. Obat anestesi topikal atau lokal sangat membantu agar pasien tenang, lebih nyaman, dan kooperatif sebelum dilakukan pemeriksaan. Setelah dilakukan irigasi, pemeriksaan dilakukan dengan perhatian khusus untuk memeriksa kejernihan dan keutuhan kornea, derajat iskemik limbus, tekanan intra okular, konjungtivalisasi pada kornea, neovaskularisasi, peradangan kronik, dan defek epitel yang menetap dan berulang. (Khun Frenc,2002)
Hasil pemeriksaan fisik yang sering muncul :
3.1.3.4.5.3.1 Defek epitel kornea
Kerusakan epitel kornea dapat bervariasi mulai keratitis epitel punctata yang ringan sampai defek kornea yang menyeluruh. Apabila dicurigai ada defek epitel namun tidak ditemukan pada pemeriksaan awal, mata tersebut harus di periksa ulang setelah beberapa menit. (Berson. FG,1993)
Stroma yang kabur
Kekaburan stroma bervariasi, mulai dari ringan sampai opasifikasi menyeluruh sehingga tidak bisa melihat kamera okuli anterior (KOA).
Perforasi kornea
Perforasi kornea lebih sering dijumpai beberapa hari sampai minggu setelah trauma kimia yang berat.
Reaksi inflamasi KOA
Tampak gambaran flare dan sel di KOA. Reaksi inflamasi KOA lebih sering terjadi pada trauma alkali / basa.
Peningkatan TIO
Terjadi peningkatan TIO tergantung kepada tingkat inflamasi pada segmen anterior dan deformitas jaringan kolagen kornea. Kedua hal tersebut menyebabkan penurunan outflow uveoscleral dan peningkatan TIO.
Kerusakan kelopak mata
Jika kerusakan kelopak mata menyebabkan mata tidak bisa ditutup maka akan mudah iritasi.
Inflamasi konjungtiva
Dapat terjadi hiperemi konjungtiva.
Penurunan ketajaman penglihatan
Terjadi karena defek epitel atau kekeruhan kornea, meningkatnya lakrimasi atau ketidaknyamanan pasien.
Gambar 8. Trauma kimia karena jeruk lemon. Vaskularisasi kornea terlihat jelas, dan mata menjadi kering akibat kehilangan sebagian besar sel goblet.
3.1.3.4.5.9 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam kasus trauma kimia mata adalah pemeriksaan pH bola mata secara berkala dengan kertas lakmus. Irigasi pada mata harus dilakukan sampai tercapai pH normal. Pemeriksaan bagian anterior mata dengan lup atau slit lamp bertujuan untuk mengetahui lokasi luka. Pemeriksaan oftalmoskopi direk dan indirek juga dapat dilakukan. Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan tonometri untuk mengetahui tekanan intraokular. (Khun Frenc,2002)
3.1.3.4.5.10Penatalaksanaan
Tatalaksana Emergensi (Arthur Lim, 2005)
Irigasi
Merupakan hal yang krusial dan harus dilakukan sesegera mungkin untuk meminimalkan durasi kontak mata dengan bahan kimia dan untuk menormalisasi pH pada saccus konjungtiva. Larutan normal saline (atau yang setara) harus digunakan untuk mengirigasi mata selama 15-30 menit sampai pH mata menjadi normal (7,3). Pada trauma basa hendaknya dilakukan irigasi lebih lama, paling sedikit 2.000 ml dalam 30 menit. Makin lama makin baik.Jika perlu dapat diberikan anastesi topikal, larutan natrium bikarbonat 3%, dan antibiotik. Irigasi dalam waktu yang lama lebih baik menggunakan irigasi dengan kontak lensa (lensa yang terhubung dengan sebuah kanul untuk mengirigasi mata dengan aliran yang konstan.
Doubleeversi pada kelopak mata
Dilakukan untuk memindahkan material yang terdapat pada bola mata. Selain itu tindakan ini dapat menghindarkan terjadinya perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks.
Debridemen
Pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik dapat terjadi re-epitelisasi pada kornea. Trauma kimia ringan (derajat 1 dan 2) dapat diterapi dengan pemberian obat-obatan seperti steroid topikal, sikloplegik, dan antibiotik profilaksis selama 7 hari. Sedangkan pada trauma kimia berat, pemberian obat-obatan bertujuan untuk mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel dan mencegah terjadinya ulkus kornea.
Medikamentosa
Steroid
Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan sintesis kolagen dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu steroid hanya diberikan secara inisial dan di-tappering off setelah 7-10 hari. Deksametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1% ED diberikan setiap 2 jam. Bila diperlukan dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg.
Sikloplegik
Siklopegik diberikan untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis, dan sinekia posterior. Atropin 1% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
Asam askorbat
Asam askorbat dapat mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan meningkatkan penyembuhan luka dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblas kornea. Natrium askorbat 10% topikal diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sitemik dapat diberikan sampai dosis 2 gr.
Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor
Beta blokter digunakan untuk menurunkan tekanan intra okular dan mengurangi resiko terjadinya glaukoma sekunder. Diberikan secara oral asetazolamid (diamox) 500 mg.
Antibiotik
Antibiotikprofilaksis diberikan untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis. Tetrasiklin efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas netrofil, dan mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topikal dan sistemik (doksisiklin 100 mg).
Pembedahan (Berson FG, 1993)
Pembedahan Segera
Sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus, mengembalikan populasi sel limbus, dan mengembalikan kedudukan forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk pembedahan:
Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus, bertujuan untuk mengembalikan vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus kornea.
Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau dari donor (allograft), bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea menjadi normal.
Graft membran amnion, untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis
2. Pembedahan Lanjut
Pada tahap lanjut dapat menggunakan metode berikut:
Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands dan simblefaron.
Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.
Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.
Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik. Hal ini untuk memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.
Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat dikarenakan hasil dari graft konvensional sangat buruk.
3.1.3.4.5.7 Komplikasi
Komplikasi dari trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma, dan jenis trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma basa pada mata antara lainSimblefaron (Gambar 9), adalah gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga kornea dan penglihatan terganggu. Kedua, Kornea keruh, edema, neovaskuler. Ketiga, Sindroma mata kering.keempat, Katarak traumatik, trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak. Komponen basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan pHcairan akuos dan menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi akut ataupun perlahan-lahan. Trauma kimia asam sukar masuk ke bagian dalam mata maka jarang terjadi katarak traumatik. Kelima, Glaukoma sudut tertutup, atauEntropion dan ptisis bulbi (Gambar 10). (Berson. FG,1993)
Gambar 9. Simblefaron.
Gambar 10. Ptisis bulbi.
3.1.3.4.5.8 Prognosis
Prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab trauma tersebut. Derajat iskemik pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva merupakan salah satu indikator keparahan trauma dan prognosis penyembuhan. Iskemik yang paling luas pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva memberikan prognosis yang buruk. Bentuk paling berat pada trauma kimia ditunjukkan dengan gambaran "cooked fish eye" yang memiliki prognosis paling buruk, dapat terjadi kebutaan (Gambar 11). (Berson. FG,1993)
Gambar 11. Cooked fish eye.
Trauma kimia sedang sampai berat pada konjungtiva bulbi dan palpebra dapat menyebabkan simblefaron (adhesi anatara palpebra dan konjungtiva bulbi). Reaksi inflamasi pada kamera okuli anterior dapat menyebabkan terjadinya glaukoma sekunder. (Berson. FG,1993)
3.1.4 Trauma Radiasi
Trauma radiasi yang sering ditemukan adalah akibat :
Sinar inframerah
Akibat sinar infrared dapat terjadi pada saat mentap gerhana matahari dan pada saat bekerja dipemanggangan. Kerusakan ini dapat terjadi akibat terkonsentrasinya sinar infrared terlihat. Kaca yang mencair seperti yang ditemukan ditempat pemanggangan kaca akan mengeluarkan sinar infrared. (Rodriguez, 2007)
Akibat sinar ini pada lensa maka katarak mudah terjadi pada pekerja industri gelas dan pemanggangan logam. Sinar infarared ini akan mengakibatkan keratitis superfisial, katarak anterior – posterior dan koagulasi pada koroid. (Rodriguez, 2007)
Tidak ada pengobatan terhadap akibat sinar ini kecuali mnecegah terkenanya mata oleh sinar infrared ini. Steroid sistemik dan lokal diberikan untuk mencegah terbentuknya jarinagn parut pada makula atau untuk mencegah terbentuknya jaringan parut pada makula atau untuk mengurangi gejla radang yang timbul. (Rodriguez, 2007)
Sinar ultraviolet ( sinar las )
Sinar ultraviolet merupakan sinar gelombang pendek yang tidak terlihat, mempunyai panjang gelombang antara 350 – 295 Nm. Sinar ultraviolet banyak terdapat pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari atau pantulan sinar matahari diatas salju. Sinar ultraviolet akan merusak epitel dan kornea. (Rodriguez, 2007)
Sinar ultraviolet biasanya memberikan kerusakan terbatas pada kornea sehingga kerusakan pada lensa dan retina tidak akan nyata terlihat. Kerusakan ini akan segera baik kembali setelah beberapa waktu , dan tidak akan memeberikan gangguan tajam penglihatan yang menetap. (Rodriguez,2007)
Pasien yang telah terkena sinar ultraviolet akan memberikan keluhan selama 4 – 10 jam setelah trauma. Pasien akan merasa sangat sakit, mata seperti kelilipan atau kemasukan pasir, fotofobia, blefarospasme dan konjungtiva kemotik. (Rodriguez, 2007)
Kornea akan menunjukkan adanya infiltrat pada permukaannya, yang kadang – kadang disertai dengan kornea yang keruh dengan uji fluoresein positif. Keratitis terutama terdapat pada fisura palpebra. Pupil akan terlihat miosis. Tajam penglihatan akan terganggu. (Rodriguez, 2007)
Pengobatan yang diberikan; siklopegia, antibiotika lokal, analgetika dan mata ditutp selam 2-3 hari. Biasanya sembuh setelah 48 jam. (Rodriguez, 2007)
Sinar Terionisasi dan sinar X
Sinar ionisasi dibedakan dalam bentuk Sinaf alfa yang dapat diabaikan, Sinar beta yang dapat menembus 1cm jaringan, Sinar gama, danSinar X. Sinar ionisasi dan sinar X dapat mengakibatkan katarak dan rusaknya retina. Sinar X merusak retina dengan gambaran seperti kersakan yang diakibatkan DM berupa dilatasi kapiler, perdarahan, mikroaneurismata dan eksudat. (Rodriguez, 2007)
Luka bakar akibat sinar X dapat merusak kornea yang mangkibatkan kerusakan permanen yang sukar diobati. Pada keadaan yang berat akan mengakibatkan parut konjungtiva atrofi sel goblet yang akan mengganggu fungsi air mata. (Rodriguez, 2007)
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika topikal dengan steroid 3kali sehari dan sikloplegik 1x sehari. Bila terjadi simblefaron pada konjungtiva dilakukan tindakan pembedahan. (Rodriguez, 2007)
BAB IV
PENUTUP
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata. Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata.
Trauma mata dibagi menjadi beberapa macam yaitu Fisik atau Mekanik(Trauma Tumpul,Trauma Tajam), Khemis(Trauma basa, Trauma asam), Trauma Radiasi Elektromagnetik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada trauma mata yaitu : pemeriksaan radiologi, pemeriksaan "Computed Tomography" (CT), pengukuran tekanan iol dengan tonography, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan kultur.
Trauma mata dapat dicegah dan diperlukan penerangan kepada masyarakat untuk menghindarkan terjadinya trauma pada mata, seperti :Trauma tumpul akibat kecelakaan tidak dapat dicegah, kecuali trauma tumpul perkelahian.Diperlukan perlindungan pekerja untuk menghindarkan terjadinya trauma tajam. Setiap pekerja yang sering berhubungan dengan bahan kimia sebaiknya mengerti bahan apa yang ada ditempat kerjanya.Pada pekerja las sebaiknya menghindarkan diri terhadap sinar dan percikan bahan las dengan memakai kaca mata.Awasi anak yang sedang beramain yang mungkin berbahaya untuk matanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2008.
RISKESDAS. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta. 2013.
Randleman, J.B. Bansal, A. S. Burns Chemical. eMedicine Journal. 2009.
Vaughan DG, Taylor A, and Paul RE. Oftalmologi Umum.Widya medika. Jakarta. 2000.
Arthur Lim Siew Ming and Ian J. Constable. Color Atlat of Ophthalmology Third Edition. Washington. 2005.
Randleman JB.2006. Chemical department of ophtalology.
Ilyas S. 2002 . Ilmu penyakit mata edisi ketiga. Jakarta : FK UI Center of Disease contol and
prevention. Work related eye injuries. American College of Emergency Phycisians. Management of Ocular Complaints.
Dua, H. S., King, A.J., Joseph, A. 2008 New classification for ocular surface burns, 85:
1379-1383, British Journal of Ophthalmology. Diakses 28 Juni 2012, dari http://bjo.bmj.com/content/85/11/1379.full.pdf new classification.
Asbury T, Sanitato JJ. Trauma. Dalam : Vaughn DG, Asbury T, Riordan-Eva P (eds).
Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit Widya Medika; 2000
Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. FKUI, Jakarta: 2004; 192-8.
Kuhn F, Morris R, Witherspoon CD. BETT: The Terminology of Ocular Trauma. In : Kuhn
F, Pieramici DJ (eds). Ocular Trauma. New York: Thieme Medical Publisher,Inc; 2002
Raja SC, Pieramici DJ. Classification of Ocular Trauma. In : Kuhn F, Pieramici DJ (eds).
Ocular Trauma. New York: Thieme Medical Publisher,Inc; 2009
Lindsey JL, Hamill MB. Scleral and Corneoscleral Injuries. In : Kuhn F, Pieramici DJ (eds).
Ocular Trauma. New York: Thieme Medical Publisher,Inc; 2002
Asbury, Taylor. Trauma Mata. Dalam: Vaughan. Oftalmologi Umum Edisi XVII. Jakarta:
Widya Medika. 2008; 373-80.
Wijana, Nana. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: EGC. 1993; 312-26.
Peate, W. F, Work Related Eye Injuries And Illness. Available at: www.aafp.org. January
15, 2011.
Soeroso, A. Perdarahan Bilik Depan Bola Mata Akibat Ruda Paksa. www.portalkalbe.com.
Diunduh pada 12 Agustus 2017
Chew, Chris. Trauma. Dalam : James. Lecture Notes : Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2006;
176 – 85.
Berson, FG. Ocular and Orbital Injuries. In : Basic Ophtalmology. 6th ed. American
Academy of Ophtalmology. 1993; 82-87.
Khun Frenc, Piramici J Dante. In : Emergensi Management Of Trauma Ocular,. Department
of OphthalmologyUniversity of Pécs. Hungary. 2002; 71-86.
Rodriguez, Jorge. Prevention And Treatment Of Common Eye Injuries In Sport. August 10,
2017.
Bahan kimia alkali
Pecah atau rusaknya sel jaringan dan Persabunan disertai disosiasi asam lemak membran sel penetrasi lebih lanjut
Mukopolisakarida jaringan menghilang & terjadi penggumpalan sel kornea
Serat kolagen kornea akan membengkak & kornea akan mati
Edema terdapat serbukan sel polimorfonuklear ke dalam stroma, cenderung disertai masuknya pembuluh darah (neovaskularisasi)
Dilepaskan plasminogen aktivator & kolagenase (merusak kolagen kornea)
Terjadi gangguan penyembuhan epitel
Berkelanjutan menjadi ulkus kornea atau perforasi ke lapisan yang lebih dalam
Bahan kimia asam
Asam cenderung berikatan dengan protein
Menyebabkan koagulasi protein plasma
Koagulasi protein ini, sebagai barrier yang membatasi penetrasi dan kerusakan lebih lanjut
Luka hanya terbatas pada permukaan luar saja
Asam masuk ke bilik mata depan menimbulkan iritis dan katarak
Gangguan persepsi penglihatan