MANAJEMEN MEDIA MASSA
TEKNOLOGI PENYIARAN INDONESIA MENUJU ERA DIGITAL Dosen Pengampu : Drs. Syafruddin Pohan M.Si. Ph.D Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Manajemen Media Massa
Disusun oleh : FEBY GRACE ADRIANY 147045003
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016
PENDAHULUAN
Digitalisasi merupakan terminologi untuk menjelaskan alih format media dari bentuk analog menjadi digital. Kebijakan pemerintah tentang perubahan sistem penyiaran televisi terestrial dari analog ke digital masih menjadi perdebatan seru. Begitupun arah kebijakan yang dinilai oleh sejumlah kalangan tidak adil, tidak transparan, cenderung otoriter dan manipulatif. Suatu perjanjian yang ditandatangani pada 16 Juni 2006 sebagai suatu keputusan
dalam
Regional
Radiocommunication
Conference
yang
diselenggarakan oleh International Telecommunication Union (ITU) di Genewa, telah menandai upaya internasional untuk melaksanakan pembangunan digitalisasi terhadap seluruh penyiaran radio dan televisi terestrial. Konferensi antar negara anggota ITU tersebut telah menargetkan pada tahun 2015 seluruh anggota dunia telah beralih ke sistem penyiaran digital. Indonesia sendiri pada awalnya menargetkan tahun 2017 sudah bisa sepenuhnya beralih ke sistem digital, namun masih banyak permasalahan regulasi yang belum tuntas karena belum sepenuhnya mengakomodasi pihak-pihak yang terkait dalam industri penyiaran. Selain kendala pada regulasi, permasalahan kesiapan berbagai pihak juga masih menjadi kendala dalam proses digitalisasi. Terutama kesiapan khalayak yang belum banyak mendapatkan informasi terkait sistem penyiaran digital di saat masa transisi seperti saat ini. Hal itulah yang menyebabkan permasahan migrasi sistem analog menuju digital ini masih belum sepenuhnya menemukan titik terang dalam pelaksanaannya. Padahal seharusnya sistem penyiaran digital memberikan efek yang sama-sama menguntungkan, baik bagi pemerintah selaku pembuat regulasi, stasiun televisi pelaku penyelenggara siaran dan masyarakat sebagai konsumen. Makalah ini akan memaparkan secara sederhana mengenai peralihan sistem penyiaran analog menuju digital disertai dengan hambatan dan potensi yang muncul dalam proses tersebut.
PEMBAHASAN
I.
PERALIHAN SISTEM PENYIARAN ANALOG MENUJU DIGITAL Salah satu isu yang dibahas cukup masif dalam industri penyiaran di tanah air dalam beberapa tahun terakhir adalah mengenai peralihan sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital. Secara resmi televisi digital di Indonesia mulai diperkenalkan kepada publik pada pertengahan Agustus 2008, tepatnya 13 Agustus 2008 di auditorium TVRI. Saat itu dilakukan softlaunching siaran televisi digital dengan pelaksana LPP TVRI bekerjasama dengan PT Telkom, BPPT, PT LEN Industri, PT INTI, Polytron dan RRI. Peluncuran ini menjadi pertanda dimulainya peralihan sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital di Indonesia. Rencana implementasi sistem penyiaran digital di Indonesia dianggap cukup terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama negara ASEAN. Dalam The 13th ASEAN Digital Broadcasting Meeting pada Agustus 2014 di Yogyakarta diketahui bahwa sebagian besar negara-negara di ASEAN telah merencanakan untuk melaksanakan Analogue Switch Off (ASO) sebelum tahun 2018. Bahkan negara Thailand merencanakan ASO pada tahun 2015. Indonesia sendiri memasang target merampungkan segala persiapan dan melaksanakan ASO pada tahun 20181 jika memungkinkan. Analogue Switch Off (ASO) adalah suatu periode dimana penyelenggaraan layanan siaran analog dihentikan / dimatikan dan diganti dengan layanan siaran digital2. Desakan untuk segera mengalihkan sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital antara lain dilakukan guna mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan
tingginya permintaan akan kanal saluran untuk
siaran. Sistem analog yang menggunakan gelombang UHF hanya mampu digunakan 14 kanal stasiun pemancar televisi. Jika dipaksakan menampung lebih akan terjadi interferensi yang membuat suara dan gambar yang 1
Artikel The 13th ASEAN Digital Broadcasting Meeting Tanggal 25-26 Agustus 2014. Diakses 24 Januari 2016 dari http://www.tvdigitaljogja.tv/2014/08/the-13th-asean-digital-broadcasting.html 2 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor : 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air)
ditampilkan menjadi rusak. Sementara dalam sistem digital, satu kanal bisa menampung beberapa saluran televisi. Selain itu, penggelaran infrastruktur penyiaran analog pun tidak efisien karena belum adanya konvergensi. Kondisi saat ini di penyiaran analog adalah
masing-masing
penyiarannya
lembaga
sendiri-sendiri
penyiaran
memiliki
menara
pemancar,
seperti
infrastruktur antena,
dan
sebagainya. Akibatnya adalah biaya pemeliharaan yang relatif mahal, pemakaian daya listrik yang besar, serta pemanfaatan lahan yang lebih boros. Di sisi penerimaan siaran pun akan terjadi masalah karena masyarakat mendapat kualitas penerimaan siaran yang tidak merata meski berada dalam wilayah layanan yang sama3. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan program pemerintah mentransformasikan teknologi analog ke digital harus berjalan demi dua rencana besar, yaitu internet cepat (broadband) dan tersedianya frekuensi untuk komunikasi di tengah bencana. Teknologi analog yang saat ini dipakai stasiun televisi di Indonesia memakan sumber daya yang besar pada spektrum 700 MHz. Jika digitalisasi dilakukan, diharapkan akan terdapat frekuensi kosong seluas 112 MHz yang disebut dengan digital devidend. Frekuensi kosong inilah yang akan digunakan untuk dua rencana besar, yaitu komunikasi saat terjadi bencana dan penyelenggaraan internet nirkabel berkecepatan tinggi 4G LTE. Blok frekuensi ini nantinya juga akan dilelang kepada perusahaan telekomunikasi4. Secara sifat, spektrum rendah seperti 700 MHz memiliki jangkauan lebih luas dan kapasitasnya dapat menembus tembok dan basement gedung. Walaupun belum resmi dimulai, namun sebanyak 18 lembaga penyiaran swasta (LPS) melakukan siaran televisi digital tahun 2015. Ke-18 LPS tersebut adalah TV Betawi, Republika TV, KTI, News TV, Gramedia TV, Warna TV, BBS TV, Tempo TV, SportOne, BNTV, Detik TV, Magna TV, City TV, JPTV Jakarta, Smile TV, RIM TV, Nusantara TV dan TVMU. 3
Siaran Pers No 58/DJPT.1/KOMINFO/5/2008 tentang Esensi dan Manfaat Sistem Penyiaran Digital. Diakses 24 Januari 2016 dari http://www.postel.go.id/info_view_c_26_p_716.htm 4 Artikel TV Digital Harus Jalan demi Dua Rencana Besar. Diakses 24 Januari 2016 dari https://tvdigital.kominfo.go.id/
Lembaga-lembaga penyiaran yang melakukan siaran uji coba tersebut telah mengantongi Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Prinsip yang berlaku satu tahun5.
Gambar : Rencana Jangkauan TV Digital di Indonesia
Pembahasan mengenai sistem penyiaran digital saat ini tengah dilakukan di DPR RI yang termuat dalam RUU Penyiaran. RUU ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. RUU yang merupakan usulan DPR ini nantinya akan menggantikan Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang masih berlaku hingga saat ini.
II.
SISTEM PENYIARAN DIGITAL Sistem penyiaran digital adalah penggunaan aplikasi teknologi digital pada sistem penyiaran televisi yang dikembangkan pertengahan tahun 90-an dan diujicobakan tahun 2000. Pada awal pengoperasian sistem digital ini umumnya dilakukan siaran televisi secara simulcast atau siaran bersama dengan siaran analog sebagai masa transisi sekaligus uji coba sistem tersebut
5
Artikel 18 Televisi Digital Mengudara Pada 2015. Diakses 24 januari 2016 dari http://www.antaranews.com/berita/470087/18-televisi-digital-mengudara-pada2015?utm_source=related_news&utm_medium=related&utm_campaign=news
sampai mendapatkan hasil penerapan siaran televisi digital yang paling ekonomis sesuai dengan kebutuhan dari negara yang mengoprasikan. Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan sejumlah televisi swasta nasional yang tergabung dalam Konsorsium TV Digital Indonesia (KDTI) yaitu SCTV, TVOne, ANTV, MetroTV dan TransCorp telah memanfaatkan sistem teknologi penyiaran dengan teknologi digital khususnya pada sistem perangkat
studio
untuk
memproduksi
program,
melakukan
editing,
perekaman dan penyimpanan data. Pengiriman sinyal gambar, suara dan data juga telah menggunakan sistem transmisi digital dengan menggunakan satelit yang umumnya dimanfaatkan sebagai siaran TV Berlangganan. Sistem transmisi digital melalui satelit ini menggunakan standar yang disebut dengan DVB-T (Digital Video Broadcasting Satellite). Saat ini dimana televisi yang digunakan oleh masyarakat mayoritas masih merupakan televisi analog maka untuk dapat menangkap siaran televisi digital harus menggunakan alat tambahan yang bernama set top box (decoder). Dari hasil uji coba siaran televisi digital, teknologi DVB-T mampu memultipleks beberapa program sekaligus. Enam program siaran dapat dimasukkan sekaligus ke dalam satu kanal televisi berlebar pita 8 MHz, dengan kualitas cukup baik. Di samping itu, penambahan varian DVB-H (handheld) mampu menyediakan tambahan sampai enam program siaran lagi, khususnya
untuk
penerimaan
bergerak
(mobile).
Hal
ini
sangat
memungkinkan bagi penambahan siaran-siaran televisi baru.
Frekuensi Televisi Digital Secara teknik pita spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk televisi analog dapat digunakan untuk penyiaran televisi digital sehingga tidak perlu ada perubahan pita alokasi baik VHF maupun UHF (Ultra High Frequency). Sedangkan lebar pita frekuensi yang digunakan untuk analog dan digital berbanding 1 : 6, artinya bila pada teknologi analog memerlukan pita selebar 8 MHz untuk satu kanal transmisi, maka pada teknologi digital dengan lebar pita frekuensi yang sama dengan teknik multipleks dapat
digunakan untuk memancarkan sebanyak 6 hingga 8 kanal transmisi sekaligus dengan program yang berbeda tentunya. Selain ditunjang oleh teknologi penerima yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, televisi digital perlu ditunjang oleh sejumlah pemancar yang membentuk jaringan berfrekuensi sama atau SFN (single frequency network) sehingga daerah cakupan dapat diperluas. Produksi peralatan pengolah gambar yang baru (cable, satellite, VCR, DVD players, camcorders, video games consoles) adalah dengan menggunakan format digital. Untuk itu supaya pesawat analog masih dapat dipakai diperlukan inverter (set top box) yang dapat merubah signal digital ke analog sehingga dapat dilihat dengan menggunakan TV receiver biasa6.
Kelebihan Sistem Televisi Digital Teknologi digital efisien dalam pemanfaatan spektrum frekuensi. Ada satu penyelenggara televisi digital meminta spektrum dalam jumlah yang cukup besar, artinya tidak cukup hanya 1 (satu) kanal carrier melainkan lebih. Hal ini disebabkan dalam penyelenggaraannya nanti, penyelenggara hanya akan berfungsi sebagai operator penyelenggara jaringan yaitu untuk mentransfer program dari stasiun-stasiun televisi lain yang ada di dunia menjadi satu paket layanan sebagaimana penyelenggaraan televisi kabel berlangganan yang ada saat ini. Meningkatnya penyelenggaraan televisi dimasa depan dapat diantisipasi dengan suatu terobosan kebijakan dalam pemanfaatan spektrum frekuensi, misalkan penyelenggara televisi digital hanya berfungsi sebagai operator penyelenggara jaringan televisi digital multipleksing, sedangkan programnya dapat diselenggarakan oleh operator yang khusus menyelenggarakan jasa program televisi digital (operator lain). Dari aspek regulasi akan terdapat ijin penyelenggara jaringan dan ijin penyelenggara jasa sehingga dapat menampung sekian banyak perusahaan baru yang akan bergerak dibidang penyelenggaraan televisi digital. Dengan demikian akan dapat dihindari
6
Artikel TV Digital vs TV Analog, Apa Bedanya?. Diakses 24 Januari 2016 dari http://www.stmikbanjarbaru.ac.id/index.php/berita-dari-website-lain-1/316-tv-digital-vs-tv-analog-apa-bedanya
adanya monopoli penyelenggaraan televisi digital di Indonesia. Para penyelenggara siaran tidak akan dipusingkan dengan penyediaan infrastruktur seperti pemancar dan lain-lain karena sudah dibangun dan disediakan oleh penyelenggara multipleksing, penyelenggara siaran hanya perlu menyewa dari penyelenggara multipleksing. Selain peningkatan di sisi kuantitas program siaran yang dapat disalurkan dalam satu kanal frekuensi, teknologi penyiaran digital pun menawarkan kehandalan lain di sisi kualitas penerimaan yang jauh lebih baik dibandingkan penyiaran analog. Kualitas gambar akan jauh lebih baik, jernih, tajam dan tidak ‘bersemut’. Program siaran yang dapat disalurkan pun lebih bervariasi jenisnya. Yang tidak kalah pentingnya, teknologi penyiaran digital memungkinkan penggunaan menara pemancar bersama untuk menyalurkan semua program siaran pada suatu wilayah layanan. Sehingga akan tercapai suatu efisiensi infrastruktur yang sangat baik dan penerimaan siaran yang sampai di masyarakat pun akan merata.
Gambar : Perbedaan Sistem Teknologi Siaran Analog dan Digital
III.
KELEMAHAN DAN KENDALA DALAM MASA TRANSISI Sistem penyiaran digital dipercaya menjadi solusi sejumlah persoalan yang dihadapi industri penyiaran tanah air, terutama dalam hal teknis. Namun
disamping itu, masa transisi dari sistem analog menuju digital perlu diantisipasi dan dipikirkan secara serius mengingat menimbulkan sejumlah ketidaknyamanan bagi khalayak sebagai pengguna dan pelaksana7. Pertama, perlu dilihat bagaimana kesiapan mayoritas khalayak televisi yang masih menggunakan televisi analog. Kebijakan siaran simulcast (siaran bersama analog dan digital) akan memakan waktu yang cukup lama. Lama jangka waktu simulcast harus dibedakan antara daerah yang cukup maju dengan daerah yang kurang maju karena pasti terdapat perbedaan kesiapan antara masyarakat di daerah-daerah tersebut. Walaupun pemerintah menargetkan ASO dilakukan tahun 2018, namun bila dipaksakan disaat kondisi khalayak belum sepenuhnya siap dan dengan literasi teknologi yang tidak seragam, dikhawatirkan akan terjadi kesenjangan baru. Jangan sampai masyarakat di pedalaman yang belum terjangkau digitalisasi menjadi tidak mendapatkan siaran televisi sama sekali, padahal penyiaran adalah hak seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Kedua, bagi lembaga pengelola penyiaran, dalam jangka pendek digitalisasi juga mengakibatkan kerugian secara teknis. Kerugian berasal dari pemancar televisi lama yang tidak digunakan. Pada sistem digital, seluruh materi siaran akan dipancarkan oleh lembaga penyiaran multipleksing, yang artinya pemancar televisi di berbagai daerah otomatis tidak digunakan lagi. Televisi lokal dan jaringan akan menangguk kerugian jika migrasi dilaksanakan. Ketiga, sistem penyiaran digital menuntut keahlian khusus penggunanya dalam mengoperasikan alat. Artinya sumber daya manusia yang menangani teknologi sistem ini juga dituntut harus bersinergi dengan digitalisasi. Operator-operator yang bekerja dengan sistem analog saat ini dan belum mengikuti kebaruan teknologi akan tersisih dan tidak dipakai lagi keahliannya. Dampak ini akan lebih dirasakan bagi institusi penyiaran kecil yang secara finansial belum siap mencari tenaga kerja baru maupun memberikan pelatihan pada operatornya.
7
Yusuf, Iwan A. 2012. Kelemahan Digitalisasi Penyiaran. Diakses 24 Januari 2016 dari https://bincangmedia.wordpress.com/tag/kelemahan-televisi-digital/
IV.
PELUANG INDUSTRI PENYIARAN DI ERA DIGITAL Peralihan sistem teknologi penyiaran di Indonesia dari sistem analog ke sistem digital tentu saja akan berdampak pada semakin berkembangnya industri penyiaran tanah air. Industri yang memang saat ini sudah berkembang pesat, mungkin saja akan tumbuh jauh lebih besar dengan peluang bisnis yang menggiurkan bagi para pelaku usaha. Bertambahnya kanal-kanal penyiaran baru, akan berimplikasi semakin bertambahnya stasiun-stasiun televisi yang akan menyelenggarakan siaran. Diperkirakan penambahan jumlah stasiun televisi mencapai lima kali lipat dari yang ada sekarang yang hanya sekitar 15-20 stasiun televisi. Tidak akan ada lagi antrian atau penolakan ijin terhadap rencana pendirian stasiun televisi karena keterbatasan frekuensi. Tifatul Sembiring pada 12 Februari 2014 yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kominfo telah menandatangani Keputusan Menteri Kominfo tentang Pengumuman Peluang Penyelenggaraan Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi Secara Digital Melalui Sistem Terestrial Pada Wilayah Layanan di sejumlah
provinsi.
Pemohon
(penyelenggara
siaran)
yang
terlah
mengajukan permohonan Izin Penyelenggaraan Penyiaran dan telah diterima sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri tersbut tidak perlu mengajukan kembali permohonannya dan akan diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan8. Munculnya stasiun-stasiun televisi baru baik nasional maupun daerah jelas akan berdampak pada semakin beragamnya jenis tayangan yang disajikan kepada khalayak. Dalam bidang ekonomi, momentum ini tentu saja membuka peluang terbukanya lapangan-lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat untuk bergerak di industri ini. Tak hanya sebagai pekerja di stasiun televisi, namun juga peluang rumah produksi, pembuatan aplikasi audio, video dan multimedia akan ikut bangkit dikarenakan pertambahan jumlah stasiun televisi harus diiringi dengan pertumbuhan industri kreatif dalam penyediaan konten 8
Artikel Pemerintah Buka Peluang Penyelenggaraan TV Digital. Diakses 24 Januari 2016 dari http://www.antaranews.com/berita/419962/pemerintah-buka-peluang-penyelenggaraan-tvdigital?utm_source=related_news&utm_medium=related&utm_campaign=news
siaran. Peralihan menuju sistem digital diperkirakan menambah lapangan pekerjaan baru mencapai 2-3 kali lipat. Penyerapan tenaga kerja yang cukup besar dalam industri penyiaran dipastikan akan ikut menggerakkan perekonomian daerah dan juga nasional. Masa transisi sistem analog dan digital juga membuka peluang secara ekonomi bagi pelaku industri elektronik untuk menyediakan perangkat pendukung. Salah satunya seperti yang sudah dilakukan oleh PT Hartono Istana Teknologi yang dikenal melalui produk bermerek Polytron. Perusahaan tersebut telah memproduksi TV Digital Polytron dan Polytron Set Top Box yang dibutuhkan oleh televisi analog agar dapat menangkap siaran digital. PT Hartono Istana Teknologi telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) yang merupakan konsorsium kerjasama enam stasiun televisi nasional Indonesia9. Langkah Polytron ini pun diikuti oleh LG yang memproduksi televisi penerima siaran digital yang melengkapi produknya dengan dua tuner penangkap siaran analog dan digital. Sasarannya jelas yaitu konsumen pemula jika migrasi ke siaran digital jadi dilaksanakan. Sementara itu terkait pembuatan set top box, dua industri lokal juga ikut bermain yaitu PT Panggung Elektronik dan PT INTI10 dengan merek Akari. Antusiasme para pelaku industri ini diluar perkiraan pemerintah ditengah rencana pemerintah set top box kepada masyarakat yang kurang mampu secara gratis. Pembagian set top box gratis ini untuk mendukung percepatan peralihan sistem analog menuju digital. Direncanakan total 8,7 juta unit akan dibagikan dengan rincian sekitar 6,9 juta unit berasal dari perusahaan televisi pemenang seleksi di zona layanan 4 (DKI Jakarta dan Banten), zona layanan 5 (Jawa Barat), zona layanan 6 (Jawa Tengah dan Yogyakarta), zona layanan 7 (Jawa Timur) dan zona layanan 15 9
Artikel Polytron Produksi Perangkat TV Digital dan Set Top Box. Diakses 24 Januari 2016 dari http://tekno.kompas.com/read/2009/03/03/21481686/polytron.produksi.perangkat.tv.digital.da n.set.top.box 10 Artikel Siaran TV Digital Belum Jelas, Produsen Sudah Ngebut. Diakses 24 Januari 2016 dari http://tekno.tempo.co/read/news/2009/10/29/072205218/siaran-tv-digital-belum-jelasprodusen-sudah-ngebut
(Kepulauan Riau). Kemudian 800.000 unit berasal dari pemenang seleksi untuk zona layanan 1 (Aceh dan Sumatera Utara) serta zona layanan 14 (Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan)11. Peluang usaha juga terbuka bagi distributor dan reseller set top box dimana jumlah yang dibutuhkan kurang lebih sebanyak 40 juta unit. Jika rata-rata satu unit dikalikan harga Rp. 300.000 maka nilai peluang ekonomi yang ada sebesar 12 triliun rupiah. Pada lingkup yang lebih besar, rentang pita sebesar 112 MHz di frekuensi 700 MHz yang kosong saat digitalisasi akan digunakan untuk alokasi jaringan 4G LTE di Indonesia. Bila dialihkan penggunaannya untuk layanan mobile broadband manfaatnya akan lebih optimal bagi perekonomian Indonesia. Seperti diketahui, spektrum frekuensi di 700 MHz telah lama dianggap sebagai frekuensi emas oleh operator untuk menggelar 4G LTE selain 1.800 MHz. Alasannya, karena spektrum ini memiliki coverage band lebih luas. Slot frekuensi yang kosong ini dapat dijual kepada pengelola data internet dengan harga yang cukup fantastis. Satu frekuensi bisa dijual senilai 12 triliun rupiah. Contoh bila di Surabaya yang memiliki 14 slot frekuensi digital dan hanya dibutuhkan 7 slot frekuensi saja, maka bisa dihitung berapa besar keuntungan negara dari penjualan slot frekuensi ini untuk seluruh wilayah Indonesia. Namun memang motif ekonomi ini masih dipertanyakan sejumlah pihak yang menuding pemerintah ‘ngotot’ ingin meraup untung besar lewat sistem digital12. Dalam kajian The Boston Consulting Group harmonisasi frekuensi 700 MHz di Indonesia setelah 2018 menyebabkan kerugian sebesar USD 16,9 miliar untuk GDP, USD 4,7 miliar untuk pajak, 79.000 usaha dan 152.000 lowongan kerja13.
11
Artikel Masyarakat Bakal Terima Set Top Box Gratis. Diakses 24 Januari 2016 dari http://industri.kontan.co.id/news/masyarakat-bakal-menerima-set-top-box-gratis 12 Artikel Kebijakan Pemerintah Tukar Frekuensi TV Digital Dipertanyakan. Diakses 25 Januari 2016 dari http://techno.okezone.com/read/2015/05/07/207/1145946/kebijakan-pemerintahtukar-frekuensi-tv-digital-dipertanyakan 13 Artikel TV Analog Simpan ‘Warisan’ Frekuensi 100 MHz Untuk 4G. Diakses 24 Januari 24 Januari 2016 dari http://www.tvdigitaljogja.tv/2015/03/tv-analog-simpan-warisan-frekuensi-100.html
V.
PENYIARAN DIGITAL DAN REGULASI PENYIARAN Masa depan penyelenggaraan sistem penyiaran digital setidaknya ditentukan oleh beberapa faktor : payung hukum berupa Revisi UU Penyiaran yang belum selesai dibahas, pengaturan regulasi dari kementerian terkait (Kominfo), penyelenggara siaran (stasiun televisi yang beroperasi saat ini), pemangku kepentingan (biro iklan, produsen pesawat televisi, pengiklan) dan masyarakat sebagai konsumen atau khalayak. UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran belum mengatur bagaimana sistem penyiaran digital diberlakukan. Sementara sejak UU Penyiaran tersebut diberlakukan, muncul sejumlah peraturan tambahan yang berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Kominfo (Permen) dan Keputusan Menteri (Kepmen) yang arahnya mengatur tata penyelenggaraan siaran televisi, yang bermuara pada sistem penyiaran digital. Selain meningkatkan kualitas teknik, digitalisasi penyiaran seharusnya juga
membuka kesempatan kepada banyak pihak menjadi pemain di
industri televisi. Ini berarti sekaligus memecah konsentrasi kepemilikan karena semakin banyaknya saluran yang bisa tertampung dalam satu kanal frekuensi. Namun Peraturan Menkominfo No 22 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Penyiaran
Televisi
Digital
Terestrial
justru
melanggengkan konsentrasi yang ada : menghilangkan peranan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan menjadikan pemerintah sebagai penguasa tunggal. Permen No 22 tahun 2011 tersebut membagi dua lembaga penyiaran, yaitu Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) yang menyalurkan program siaran. Bentuk ini tidak terdapat dalam Undang-undang Penyiaran. LPPPM dapat melayani tidak hanya satu zona, tetapi juga zona lainnya. Terdapat sekitar 15 zona di seluruh Indonesia, pada tiap zona ada enam kanal yang secara teknis bisa menyalurkan hingga 12 , yaitu 72 LPPPS. Artinya secara teoritis bisa terdapat lebih dari 1.000 LPPPS di Indonesia. Masing-masing zona melayani beberapa
wilayah yang diseluruh Indonesia berkisar 216 wilayah. Lembaga Penyiaran Publik TVRI diperkenankan menjadi LPPM hanya pada satu kanal dari enam kanal yang disediakan, sementara lima kanal lainnya diberikan kepada pihak swasta. Namun dalam perkembangannya muncul Peraturan Menkominfo tersebut digugat ke Mahkamah Agung oleh Institute of Community and Media Development (Incode), Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) didukung oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATLVI). Peraturan tersebut dianggap tidak memberikan kejelasan bagi lembaga penyiaran komunitas dan televisi lokal yang tidak mendapat kanal digital terestrial. MA pun mengabulkan uji material tersebut yaitu membatalkan Permen No 22 tahun 2011 tetapi tidak membatalkan seleksi televisi digital. Selanjutnya muncul Peraturan Menteri Kominfo No 32 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Multipleksing Melalui Sistem Terestrial sebagai pengganti Permen No 22 tahun 2011. Substansi yang diubah adalah mengubah zona yang kemudian menjadi provinsi. Kementerian Komunikasi dan Informatika akhirnya pun membatalkan deadline digitalisasi penuh (switch-off) penyiaran Indonesia yang semula dijadwalkan tahun 2018. Juli 2014 Menkominfo kembali mengeluarkan keputusan No 729/2014 dan No 730/2014 tentang peluang usaha penyelenggaraan penyiaran multipleksing melalui sistem terestrial. Ketentuan ini meliputi wilayah layanan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Kepmen Kominfo No 729 / 2014) dan di Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, lampung, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Kepmen Kominfo No 730 / 2014). Kedua Kepmen ini juga mengundang pertanyaan karena hanya berlaku selama dua bulan sejak 25 Juli 2014 atau sebelum terjadi pergantian kabinet. Terkait Kepmen tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika akan segera
mengeluarkan surat
keputusan
pemenang tambahan
penyelenggaraan multipleksing di wilayah Jabodetabek, yaitu Rajawali Televisi (RTV) dan RCTI sebagai pemenang tender. Menurut Kasubdit TV Digital Kominfo, Anang Latif, salah satu pertimbangan menambah alokasi LPPPM di Jabodetabek lantaran membludaknya peminat dari lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi. Seharusnya secara sistematis negara mengatur masalah ini, termasuk rencana meningkatkan dan memaksimalkan penghasilan untuk negara. Peraturan seharusnya memberi peluang kepada semua pihak secara terbuka dan adil menjadi pemain di industri penyiaran. Konsentrasi kepemilikan harus dipecah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus diberi peran penting. Digitalisasi sistem penyiaran seharusnya diatur oleh Undangundang. Gagasan mengenai sistem penyiaran yang demokratis harus meliputi : (1) independensi dalam penyelenggaraan penyiaran, baik isi, regulasi dan perijinan teknis; (2) pluralitas kepemilikan media yakni media publik, komersial dan komunitas; (3) desentralisasi atau penguatan peran lokal dalam berbagai bentuk (Yuniarto, 2014). Dalam membangun sistem penyiaran yang demokratis, yang tidak hanya menjamin kebebasan berbicara, berpendapat dan kemerdekaan pers tetapi juga menjamin adanya keanekaragaman kepemilikan dan isi. Penerapan Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran seharusnya bisa secara tegas dilakukan, walaupun saat ini rancangan revisi UU tersebut masih terus dalam pembahasan di DPR RI dan tidak jelas kapan akan selesai. Banyak pihak berharap bahwa perubahan pada UU No 32 tahun 2002 memberikan kewenangan lebih besar pada Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator utama dan bukan hanya sebagai pengawas yang bahkan tidak digubris oleh korporasi-korporasi besar dalam industri penyiaran. Banyaknya kanal dalam sistem digital dikhawatirkan belum akan menjamin keberagaman konten dan kepemilikan. Secara ekonomi apakah nantinya pembagian kue iklan akan adil dan mengalir kepada televisi lokal dan komunitas? Karena diketahui untuk saat ini aliran iklan masih
terkonsentrasi pada pemain lama yang saat ini berperan sebagai multiplekser. Televisi lokal yang melakukan siaran digital harus bertempur mendapatkan jatah iklan melawan raksasa korporasi media televisi yang sama-sama bersiaran dalam satu zona wilayah. Regulasi penyelenggaraan sistem penyiaran digital di Indonesia memang kurang kuat jika yang digunakan sebagai payung hukum adalah Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Idealnya harus ada peraturan setingkat Undang-undang yang menjamin pelaksanaan digitalisasi siaran televisi yang mengedepankan keberagaman kepemilikan dan keberagaman konten siaran. Revisi Undang-undang Penyiaran yang masih dibahas di DPR seharusnya menempatkan pengaturan sistem digital dengan mengutaman kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan pemilik modal. Jika kepentingan segelintir pihak yang diutamakan maka akan menjadi snagat rawan karena bisa disalahgunakan untuk kepentingan lain misalnya kepentingan ekonomi dan politik.
PENUTUP
A. KESIMPULAN Rencana migrasi teknologi sistem penyiaran di Indonesia dari sistem analog dan sistem digital diyakini memiliki tujuan besar untuk perbaikan industri penyiaran tanah air. Selain memperbaiki kualitas tayangan yang bisa disaksikan khalayak, tersedianya alternatif pilihan dan keberagaman dalam konten, dan pemanfaatan sisa spektrum yang tidak terpakai untuk kebutuhan internet cepat serta komunikasi saat bencana. Apalagi saat ini Indonesia terhitung cukup terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia terutama kawasan ASEAN. Namun untuk menuju ke tahap tersebut ternyata carut-marut terkait regulasi penyiaran digital belum menemukan titik temu. Undang-undang Penyiaran sampai saat ini masih dalam pembahasan di Komisi I DPR RI dan belum diketahui kapan akan selesai. Sementara payung hukum yang mengatur pelaksanaan sistem digital hanyalah sebatas Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Selain itu terkait kesiapan teknis juga nampaknya harus dikebut, baik dari segi pengadaan alat maupun kesiapan literasi teknologi khalayak yang belum merata. Namun para produsen pun tak berani mengambil langkah terlalu jauh mengingat belum jelasnya pelaksanaan sistem digital ini. Padahal jangan sampai sistem digital ini hanya dinikmati oleh masyarakat perkotaan saja melainkan merata hingga ke pelosok. Sistem penyiaran harus berorientasi pada keadilan kepada seluruh masyarakat sebagai khalayak.
B. SARAN Berdasarkan pemaparan tersebut maka penulis menyarankan adanya desakan dan pengawasan yang ketat atas pembahasan Undang-undang Penyiaran di DPR RI agar menjadi payung hukum yang jelas dalam pelaksanaan digitalisasi penyiaran di Indonesia. Termasuk juga dalam penambahan wewenang KPI untuk menjadi regulator utama agar menjamin penyiaran yang beragam dan terarah dari segi konten.
DAFTAR REFERENSI
Amarullah, A. (2015). Kebijakan Pemerintah Tukar Frekuensi TV Digital Dipertanyakan. Diakses 25 Januari 2016 dari http://techno.okezone.com/read/ 2015/05/07/207/1145946/kebijakan-pemerintah-tukar-frekuensi-tv-digitaldipertanyakan Masyarakat Bakal Terima Set Top Box Gratis. Diakses 24 Januari 2016 dari http://industri.kontan.co.id/news/masyarakat-bakal-menerima-set-top-boxgratis Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor : 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air) Pinardi, S. (2014). 18 Televisi Digital Mengudara Pada 2015. Diakses 24 januari 2016
dari
http://www.antaranews.com/berita/470087/18-televisi-digital-
mengudarapada2015?utm_source=related_news&utm_medium=related&utm_ campaign=news Polytron Produksi Perangkat TV Digital dan Set Top Box. Diakses 24 Januari 2016
dari
http://tekno.kompas.com/read/2009/03/03/21481686/polytron.
produksi.perangkat.tv.digital.dan.set.top.box Rahman, A. F. (2016) TV Analog Simpan ‘Warisan’ Frekuensi 100 MHz Untuk 4G. Diakses 24 Januari 24 Januari 2016 dari http://www.tvdigitaljogja. tv/2015/03/tv-analog-simpan-warisan-frekuensi-100.html Siaran Pers No 58/DJPT.1/KOMINFO/5/2008 tentang Esensi dan Manfaat Sistem Penyiaran
Digital.
Diakses
24
Januari
2016
dari
http://www.postel.go.id/info_view_c_26_p_716.htm Sofia, H. (2014). Pemerintah Buka Peluang Penyelenggaraan TV Digital. Diakses 24 Januari 2016 dari http://www.antaranews.com/berita/419962/pemerintah-
buka-peluang-penyelenggaraan-tvdigital?utm_source=related_news&utm_medium= related&utm_campaign=news The 13th ASEAN Digital Broadcasting Meeting Tanggal 25-26 Agustus 2014. Diakses 24 Januari 2016 dari http://www.tvdigitaljogja.tv/2014/08/the-13thasean-digital-broadcasting.html TV Digital Harus Jalan demi Dua Rencana Besar. Diakses 24 Januari 2016 dari https://tvdigital.kominfo.go.id/ TV Digital vs TV Analog, Apa Bedanya?. Diakses 24 Januari 2016 dari http://www.stmik-banjarbaru.ac.id/index.php/berita-dari-website-lain-1/316tv-digital-vs-tv-analog-apa-bedanya Yuliastuti, D. (2009) Siaran TV Digital Belum Jelas, Produsen Sudah Ngebut. Diakses
24
Januari
2016
dari
http://tekno.tempo.co/read/news/
2009/10/29/072205218/siaran-tv-digital-belum-jelas-produsen-sudah-ngebut Yuniarto, T. (2014). Masa Depan Penyiaran Digital. Masa Depan Komunikasi, Masa Depan Indonesia : Dinamika Media Penyiaran. Jakarta: ISKI Yusuf, Iwan A. (2012). Kelemahan Digitalisasi Penyiaran. Diakses 24 Januari 2016 dari https://bincangmedia.wordpress.com/tag/kelemahan-televisi-digital/