Memahami Cara Kerja Intuisi Oleh : Ubaydillah, AN Jakarta, 01 Februari 2010 Pengertian Istilah intuisi memiliki banyak pengertian. Ada yang mengartikannya sebagai kapasitas batin yang membuat kita mengetahui sesuatu ketika pikiran kita tidak mengetahuinya. mengetahuinya. Intuisi adalah kemampuan kemampuan untuk mengetahui sesuatu tanpa melalui proses reasoning atau conscious analyzing hingga analyzing hingga kita bisa menjawab menj awab "wh what at to do". Int Intuis uisii da dalam lam pe peng ngert ertian ian sep sepert ertii di ata atas, s, kat kata a ba banya nyak k ora orang ng ma mala lah h sebenarn sebe narnya ya sema semakin kin kita butu butuhkan hkan di era informasi informasi dan glo globali balisasi sasi ini. Lho Lho,, kok gitu? Bukannya Bukannya tekn te knol olog ogii su suda dah h se sema maki kin n ma mamp mpu u me memb mbua uatt ki kita ta me meng nget etah ahui ui se sesu suat atu u ya yang ng ot otak ak ki kita ta ti tida dak k mengetahuinya, seperti SMS, internet, dan seterusnya dan seterusnya? Di atas kertas putih, memang logika seperti itu bisa diterima. Tapi, kenyataan punya logika yang berbeda. Di era dimana informasi menjadi semakin berlimpah seperti sekarang ini, justru terkadang malah membuat kita semakin kurang informatif karena saking banyaknya informasi. Di samping itu, perubahan realitas yang dipicu oleh kemajuan teknologi, juga menuntut orang-orang tertentu harus mengambil keputusan cepat dan tepat. Untuk memutuskan sesuatu yang dasarnya informasi akurat secara seca ra inte internal rnal dan ekste eksternal rnal,, maka peranan peranan intu intuisi isi menj menjadi adi semakin besar. Apa gunanya gunanya kita mengetahui mengetah ui banyak berita tentang dunia ini melalui tivi , hape hape,, radio, internet, dan lain-lain, tetapi kita tidak tida k men mengeta getahui hui informasi informasi yang tepat, yang mem membuat buat kita tahu apa yang mesti kita laku lakukan? kan? Seperti itulah kira-kira argumen yang kerap muncul. Albert Einstein (1879-1955) mungkin punya argumen tersendiri saat mengatakan: "The only real valuable thing is intuition." intuition." Padahal, track record nya adalah ilmuwan, yang kalau menurut lazimnya, harus berbicara mengenai pentingnya pentingnya reasoning , analyzing, knowing by fact , dan seterusnya. Ada lagi yang mengartikannya sebagai cara belajar, lebih tepatnya tepa tnya adal adalah ah baga bagaima imana na sese seseoran orang g men mendapa dapatkan tkan info informas rmasii dan men mengam gambil bil kep keputusa utusan. n. Cara belajar yang intuitive, menurut Jean M. Kummerow, dkk (Work Types: 1997), berbeda dengan cara belajar yang sensitif sensitif (sensing: meraba materi). materi). Bentuk cara belajar belajar intuitive itu antara lain: abstrak, imajinatif, koleksi ide-ide, teoritis, dan original ( per perso sona nall uniq un ique uene ness ss ). Intuisi juga diartikan sebagai Alam Bawah Sadar (The Unconscious Mind) atau sesuatu yang kita lakukan laku kan tanp tanpa a prose proses s berp berpikir ikir seca secara ra sada sadarr atau sudah men menjadi jadi kebiasaan. kebiasaan. Ini sepe seperti rti layak layaknya nya seorang sopir kendaraan yang mengetahui sesuatu tentang kendaraannya di jalan secara otomatik tanpa proses menemukan menemukan fakta logis lebih dahulu, misalnya misalnya mengukur besar-kecilnya atau atau harus ke kanan atau kiri. Mendukunisasi Intuisi Ada lagi istil istilah ah lain untuk menjelaska menjelaskan n apa itu intu intuisi. isi. Istilah itu ada adalah lah kecerdasan kecerdasan hati ( heart intelligence). intelligence ). Hati kita lebih sering dapat mengetahui sesuatu secara lebih cepat ketimbang nalar. Karena itu, orang-orang tua sering menasehati "ikuti kata hatimu" saat kita t idak tahu apa yang harus kita lakukan. Dari sekian pengertian intuisi yang kelihatannya berbeda berbeda itu, ternyata dapat memberikan penjelasan penjelasa n yang sangat logis mengenai cara kerjanya. Intuisi adalah kapasitas atau kecerdasan yang diberikan Tuhan kepada kita, yang fungsinya adalah memberi tahu tentang " What to do" do" dan "What "What nott to do"sa no do"saat at kit kita a tid tidak ak pu punya nya be bekal kal pe peng ngeta etahu huan an ata atau u da dalam lam kon kondis disii tid tidak ak sem sempa patt me menca ncari ri pengetahuan. Seperti kita alami sehari-hari, dalam hidup ini sudah biasa kalau kita harus memberi response / jawaban terhadap persoalan, padahal kita tidak tahu atau belum sempat bertanya. Namanya juga perang, pera ng, tentu haru harus s ada pukulan pukulan yang tak bisa kita pred prediksi. iksi. Mungkin Mungkin atas dasar itulah Tuhan membekali kita dengan intuisi. Kan tidak lucu kalau kita selalu harus buka buku dulu setiap perlu mengambil keputusan dengan cepat? Nah, supaya kecerdasan intuisi itu lebih sanggup memberikan akurasi yang bagus, tentu perlu dilatih. Sayangnya, Sayangnya, tidak ada sekolah atau kursus untuk ini sehingga harus dari inisiatif sendiri. Salah satu caranya adalah dengan menjalankan intuitive learning , seperti yang yan g dis disara arank nkan an di mu muka. ka. La Latih tihan an ak akan an me membu mbuat at kit kita a da dapa patt me menga ngamb mbilil ke keput putusa usan n sec secara ara unconsciuous (tidak usah dipikir dulu).
Seperti yang sudah kita bahas di sini, ketika kita sudah sanggup melakukan sesuatu dengan cepat (tanpa perlu berpikir keras, panjang dan lama) dan tingkat akurasi yang tinggi (The unconsciously skilled), maka tingkat keahlian kita sudah tinggi levelnya. Stephen R. Covey, menyebutnya sebagai habit. Untuk melatih habit, maka syaratnya harus tiga, yaitu: a) mengasah ketrampilan, b) menambah pengetahuan, dan c) memiliki keinginan yang kuat.
(Stephen R. Covey, 7 Habits of Highly of Effective People: Simon & Schuster, Inc., 1993) Nah, sebagai kapasitas / kecerdasan yang menunggu sentuhan, maka akan lebih beruntung jika kita tidak selalu mendukunisasi intuisi. Dukunisasi dalam arti menghilangkan pemahaman yang berbasis akal sehat mengenai intuisi. Kita lebih sibuk memburu "orang pintar" yang dapat memberi jawaban instan tanpa latihan. Atau lebih sibuk kirim SMS ketimbang melatih proses. Memang, ada banyak jalan yang diturunkan Tuhan untuk mengetahui sesuatu, tanpa melalui proses reasoning , selain intuisi, dari mulai wangsit, bisikan jin, ilham, insting yang unik, dan seterusnya. Tetapi, secara fakta, tidak ada yang validitas, akurasi, dan kemanfaatannya melebihi proses yang berbasiskan akal sehat jika kepentingannya untuk mengetahui "what to do" atau "what not to do" . Bisa saja kita dapat informasi dari "orang pintar" bahwa bisnis kita itu harus mengandung air atau kayu. Tapi kalau latihannya tidak jalan untuk mengasah intuisi yang berbasiskan akal sehat, hampir dipastikan kinerjanya sangat rendah. Bisa-bisa kalah oleh ketakutan, suara egoisme, ambisi, atau kalah oleh khayalan. Mengelola Keleluasaan Dan Keterbatasan Tuhan memang menurunkan sekian keunikan kepada kita. Di samping memberi keleluasaan yang tak terbatas, kita pun dikasih keterbatasan. Agar kita bisa bergerak cepat saat tidak tahu harus kemana, Tuhan memberi kita intuisi. Tapi intuisi pun tak bisa menghilangkan keterbatasan, lebih-lebih menjadikan kita manusia yang tak pernah salah. Ini mustahil. Selain terkait dengan proses mengasah kecerdasan, dimana setiap orang punya bentuk keterbatasan yang berbeda-beda, akurasi dan validitas intuisi juga terkait dengan jam terbang, spesialisasi atau wilayah perjuangan hidup. Penulis punya intuisi yang lebih tajam untuk hal-hal yang terkait dengan tulisan, begitu juga dengan teknisi IT yang sudah bisa mengetahui sebelum tahu. Sama juga dengan pengusaha, politikus, dan lain-lain. Memang harus diakui, ada sebagian orang yang dikasih intuisi
hanya spesifik, sesuai bidangnya, dan ada yang dikasih ketajaman intuisi secara jenerik, dalam arti mampu melampaui bidangnya. Misalnya seorang guru yang bisa melihat muridnya secara intuitif. Itu sepertinya sudah merupakan hak veto Tuhan untuk membedakan dan menyamakan manusia. Keterbatasan lainnya adalah mengetahui suara intuisi yang pas untuk keadaan yang pas. Ini juga tidak seratus persen dapat kita jamah. Adakalanya intuisi itu tampil dalam bentuk blitz (cahaya) yang sudah langsung tergambar di otak dari hati, innate feeling (perasaan yang mengarahkan kita), kecondongan keyakinan, terulangnya kejadian yang kebetulan-tapi-tidak-kebetulan, dan lain-lain. Intinya, selain dikasih kapasitas untuk mengambil keputusan berdasarakan tool yang nyata, sepert pengetahauan, reasoning , dan seterusnya, Tuhan pun mengasih kita tool yang tidak nyata. Mulai dari intuisi, hidayah, ilham, feeling, insting, mimpi, dan seterusnya. Bedanya pada kualitas kinerja. Supaya kinerjanya bagus, harus dilatih. Supaya latihannya jalan, memang harus ada connectedness . Sangkan Paraning Dumadi Di tradisi spiritual kita ada istilah Sangkan Paraning Dumadi atau anjuran untuk mengetahui darimana dan mau kemana kita ini. Secara makro, pasti kita sudah tahu bahwa istilah itu mengajarkan kita untuk mengetahui Tuhan. Kita berasal dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan juga. Yang kerap kita lupakan adalah menggeret penerapannya ke ruang lingkup yang paling mikro, yaitu mengetahui diri kita. Padahal, pengetahuan diri merupakan kunci untuk mengetahui Tuhan. Walaupun kita sudah diajari mengenal Tuhan, tapi kalau belum mengenal diri, bisa-bisa pengetahuan kita tentang Tuhan baru di tingkat normatifnya, yang baru bagus untuk menjawab ujian sekolah, tapi kerap gagal untuk menjawab ujian kehidupan. Cara yang diajarkan untuk mengenal diri, dari sejak turunnya para Nabi sampai ke temuan spiritual modern, adalah membangun komunikasi dengan diri agar tercipta connectedness (keterhubungan) antara kita dengan diri kita, dari yang sifatnya paling global sampai ke yang paling detail, dari yang paling makro sampai ke yang paling mikro. Ini misalnya saja mengenal dimana wilayah / bidang kita, mengenal kelebihan dan keunikan kita, mengenal visi dan nilai yang kita perjuangkan, atau mengenal Sangkan Paraning Dumadi kita sebagai hamba Tuhan yang harus tunduk dan sebagai khalifah Tuhan yang harus kreatif dengan kebebasan. Intensitas dan kualitas komunikasi (connectedness) kita dengan diri sangat terkait dengan kinerja intuisi, entah yang spesifik atau yang generik, jika dikaitkan dengan bagaimana keputusan akan kita ambil, "what to do"dan "what not to do". Untuk sebagai monitor, kita bisa mengecek bagaimana proses pengambilan keputusan itu melalui pertanyaan di bawah ini: 1. Apakah kita sudah sering mengambil keputusan secara spontan lalu bekerja untuk menjalankan keputusan itu dan hasilnya lebih sering OK-nya? 2. Apakah kita terbiasa mengambil keputusan melalui proses “pikir-pikir” dulu, menimbang salah-benarnya, lamban bertindak, dan hasilnya terkadang OK dan terkadang TIDAK OK? 3. Apakah kita terbiasa mengambil keputusan melalui penolakan dulu, lari ke argumen moral dan retorika norma, tidak bersikap, tidak bertindak, dan hasilnya tidak mengubah apa-apa? Jika yang sering kita lakukan nomor (1), maka intuisi kita sudah bekerja lebih bagus karena connectedness kita sudah lebih intens. Kita sudah tahu lebih cepat what to do dan what not to do. Tapi kalau yang nomor (2), intensitas komunikasi kita masih lebih sering pada teori atau logika umum yang kita hafal sehingga kita butuh waktu atau butuh buka buku dulu. Sedangkan untuk nomor (3), bisa ada dua kemungkinan. Mungkin kita lebih intens dengan nafsu egoisme kita sehingga sering menolak apa yang terjadi (bukan menyikapi atau work on terhadap apa yang terjadi) atau mungkin lebih intens dengan khayalan kita sehingga lebih sering mengidealisasikan kenyataan, bukan menghadapi kenyataan. Latihan Bersikap Setiap hari, Tuhan melatih kita untuk menggunakan berbagai kapasitas, misalnya dengan memberi kejutan buruk, memberi pengalaman, atau pilihan dan puzzle. Terkadang, lebih sering kita menolak secara batin atau membiarkannya begitu saja. Padahal, kalau kita sikapi secara cepat, ini bisa melatih ketajaman intuitif, entah yang spesifik atau yang jenerarl. Bahwa untuk awal-awal ada banyak kesalahan, namanya juga belajar. Semoga bermanfaat.