Membangun Ruang Terbuka Hijau Dalam Ekosistem Perkotaan Oleh Dadan Ramdan1 Wilayah dan kehidupan perkotaan sebagai bagian dari satu kesatuan kehidupan wilayah dengan wilayah bukan perkotaan di sekitarnya di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir tumbuh dengan cepat baik di wilayah pegunungan, dataran rendah dan pesisir pantai. Pertumbuhan perkotaan terus berlangsung melahirkan peradaban baru dalam tatanan sosial, ekonomi dan politik kota. Dalam kebanyakan kasus, pertumbuhan perkotaan ini tidak terjadi secara alamiah dari perkembangan sosial masyarakatnya, beragam intervensi kebijakan pemerintah dan ekpansi kapital menjadi faktor utama dan pendorong kuat perkembangan dan pertumbuhan wilayah perkotaan di Indonesia. Pertumbuhan wilayah perkotaan ibarat dua mata uang yang tidak terpisahkan. Di satu sisi, pertumbuhan perkotaan memberikan kontribusi positif secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat, pemerintah serta pelaku usaha. Di sisi lain, pembangunan dan pertumbuhan di wilayah perkotaan menyisakan beragam masalah sosial, budaya dan lingkungan. Hari ini, kita bisa menyaksikan dan mengalami sendiri, perkembangan kota tidak bisa dipisahkan dari pertarungan dan perebutan ruang atau sengketa dan konflik ruang di dalamnya. Semua orang, semua pihak saling berebut tempat dan ruang. Dalam kebanyak kasus, ruang publik semakin sempit dan tersisihkan, ruang privat dan komersil semakin meluas dan berkuasa, pihak pemodal dan pelaku usaha properti tampil menjadi pemenang. Mall, hotel, apartemen, sarana perdagangan tumbuh subur, ruang terbuka dan lahan-lahan hijau semakin menyempit dan punah. Pertarungan dan perebutan ruang hidup di wilayah perkotaan adalah kenyataan sosial dan sejarah sekaligus masalah perkotaan yang harus dihadapi semua pihak. Dalam beberapa kasus, tidak sedikit, masyarakat setempat harus tersingkir dan terusir karena ekspansi bisnis properti, para pelaku usaha lokal pun semakin tersisih karena kalah bersaing. Perkembangan dan pertumbuhan wilayah perkotaan secara ekologis, selain mengubah rona dan wajah fisik perkotaan, telah memberikan dampak luar biasa pada penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan hidup perkotaan sebangun dengan aktivitas pembangunan ekonomi dan fisik perkotaan. Fenomena alih fungsi lahan, laju urbanisasi yang masif, pertambahan populasi sarana transportasi, polusi udara dan kebisingan yang terus meningkat, kawasan resapan air yang terus menghilang, banjir dan kekeringan air adalah kenyataan ekologis yang menambah derita kehidupan kota. Alam kota menjadi korban pertumbuhan, lahan hijau semakin terabaikan dan tersisihkan. . Ruang Terbuka Hijau Yang Terabaikan Secara ekologis, wilayah perkotaan adalah kesatuan ekosistem, dimana unsur-unsur di dalamnya satu sama lain saling mempengaruhi. Dalam pendekatan bioregionalism2, wilayah 1
Ditulis Oleh Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat Bioregionalisme mengenali, memelihara, mempertahankan dan mendeklarasikan bahwa ada hubungan kuat antara lokasi dimana kita berada dengan lahan, tanaman, binatang, sungai, danau, laut, udara, famili, teman, 2
1
perkotaan dan wilayah-wilayah lainnya merupakan satu kesatuan dalam hamparan daerah aliran sungai (DAS3) yang satu sama lain saling mengisi, melengkapi, membutuhkan, menopang keberlanjutan kehidupan dalam sebuah wilayah. Artinya, ketiadaan koridor ekologi sebagai paru-paru kota pasti akan memengaruhi kehidupan ekosistem dan keberlanjutan kehidupan ke depan. Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH4) di wilayah perkotaan adalah ruang publik sekaligus paru-paru kota yang akan menghidupkan kehidupan kota itu sendiri. Penyediaan ruang terbuka hijau adalah hak alamiah kota dan hak publik yang harus dijamin negara. Sebagai salahsatu kasus, hasil pemeriksaan menunjukan wilayah perkotaan /kota-kota yang tumbuh di Jawa Barat belum mampu memenuhi 30% kawasan lindung dari total wilayah kota. Rata-rata luasan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan di Jawa Barat mencapai sekitar 8%, masih jauh dari angka 30% ruang terbuka hijau yang harus dibangun, sebagaimana yang dimandatkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang. Gambaran prosentasi kuantitas luasan ruang terbuka hijau (di luar kawasan hutan) di wilayah perkotaan di Jawa Barat dapat dilihat sebagai berikut : Prosentasi Luasan RTH Dari Total Wilayah di Jawa Barat Tahun 2014 35 30 25 20 15 10 5 0
Luasan Minimal RTH Sesuai Mandat UU 26 Tahun 2007 (%)
Luasan RTH Yang Tersedia (%)
Sumber : Data olahan Walhi Jawa Barat 2014
Sementara di perkotaan itu sendiri, kita sedang menghadapi persoalan dengan kualitas udara semakin kotor dan tercemar oleh emisi dan pencemaran aktivitas industri dan penambahan sarana transportasi yang setiap tahun meningkat. Berdasarkan status lingkungan hidup tahun-tahun sebelumnya, udara dan tetangga, serta sistem produksi dan perdagangan. Diperlukan waktu untuk mempelajari segala kemungkinan apa yang terjadi dengan lokasi kita berada. Semua itu sangat berguna bagi lingkungan hidup, sejarah dan aspirasi masyarakat untuk mengantarkan perjalanan menuju keselamatan masa depan dan keberlanjutan kehidupan 3 Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungaisungai kecil ke sungai utama (Asdak, 1995). 4 Dalam UU No 2 Tahun 2007 dan Permen PU No 5 Tahun 2008 menjelaskan ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sementara merujuk pada pada Permendagri tahun 2007, Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
2
perkotaan seperti Kota Bandung, Kota Bekasi, Depok sudah tercemar dengan kadar CO2, O3 , SO3, debu partikulat dan TSP di atas ambang batas. Selain itu, pada beberapa kasus, suhu udara di beberapa kota meningkat seperti di Bandung mencapai 36 derajat celcius dan di Kota Bekasi mencapai 40 derajat celcius. Penambahan transportasi di Jawa Barat dapat terlihat dalam bagan sebagai berikut: Jumlah Kendaraan di Jawa Barat (Buah) Publik
Privat/Pribadi 13,733,878.00 12,101,971.00
9,677,132.00
8,815,017.00
242,276.00
245,906.00
245,862.00
2010
2011
445,238.00
2012
2013
Sumber : Jawa Barat dalam Angka (2012,2013, 2014)
Selain itu, pembangunan perkotaan juga menghadapi perubahan alih fungsi lahan yang akan mengancam pada kawasan hijau, resapan dan publik. Penambahan kawasan terbangun terus meningkat. Dari kajian tata ruang dan wilayah di wilayah perkotaan yang berkembang pesat di Jawa Barat dapat disimpulkan bahwa kawasan terbangun rata-rata sudah di atas 60 % sd 70% dari total wilayah. Gambaran kawasan terbangun di beberapa perkotaan di Jawa Barat dapat dilihat dalam bagan berikut : Luasan Kawasan Terbangun (%)
Luasan Kawasan Belum Terbangun (%)
82 75
72
71
76
74 65
62
35 29
28
Bogor
Bekasi
25
38
26
24
18
Bandung
Sukabumi
Cirebon
Depok
Banjar
Cimahi
Sumber : Data Olahan Walhi Jawa Barat dari RTRW Kabupaten/Kota (2014)
Dari fakta dan kasus yang terjadi di Jawa Barat, dapat kita periksa bahwa penyediaan ruang terbuka hijau seperti taman-taman kota, hutan kota dan ruang terbuka hijau lainnya belum menjadi agenda penting pemerintah dalam pembangunan kota. Pembangunan ruang terbuka hijau masih terabaikan dan termarjinalkan dalam agenda pembangunan kawasan perkotaaan. Selain itu, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) menjadi sangat penting dan prasyarat layanan ekologis dalam ruang kehidupan perkotaan. Keberadaan dan fungsi hutan kota dapat memberikan kontribusi positif, keuntungan dan manfaat dalam mendukung kesimbangan dan 3
keberlanjutan lingkungan hidup perkotaan, dan pemenuhan hak atas ruang publik bagi warga kota. Urgensi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dan Peraturan Pemerintah N0 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang mengamanatkan bahwa perencanaan tata ruang wilayah perkotaan harus menyediakan ruang terbuka hijau minimal 30% dari total wilayah dimana proporsi ruang terbuka hijau publik minimal 20% dari total wilayah dan dan ruang terbuka hijau privat minimal 20% dari total luasan wilayah. Ruang terbuka hijau bisa berbentuk taman kota tematik, taman wisata kota, kebun kota, hutan kota, taman-taman bermain, lapangan terbuka, kawasan lindung sempadan sungai, situ, pantai dll. Merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 5 tahun 2008, penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan Perkotaan bertujuan: a. menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air; b. menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara c. lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat; d. meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih. Dalam pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi: a. kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis; b. kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi; c. area pengembangan keanekaragaman hayati; d. area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan; e. tempat rekreasi dan olahraga masyarakat; f. tempat pemakaman umum; g. pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan; h. pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis; i. penyediaan RTH yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta kriteria j. pemanfaatannya; k. area mitigasi/evakuasi bencana;
Dari aspek keseimbangan dan keberlanjutan lingkungan hidup, keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan sangat signifikan dalam memberikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam menopang kehidupan perkotaan. Dari pengalaman dan penelitian yang dilakukan, keberadaan ruang terbuka hijau seperti hutan kota dapat berfungsi dan memberikan manfaat diantaranya menjadi ciri identitas kota, menambah nilai estetika, pelestarian air tanah dan mata air, penyerap karbondioksida dan zat timbal dan partikel polutif lainnya, penahan angin, pengatur dan penyeimbang iklim mikro (ameliorasi iklim), habitat hidupan liar dan pelestarian keanekaragaman hayati perkotaan. Keberadaan ruang terbuka hijau sebagai bagian dari ruang publik (open spaces) dari aspek kepentingan publik adalah perwujudan negara menjamin, memenuhi dan melindungi hak warga negara atas ruang publik. Selain itu, keberadaan ruang terbuka hijau dapat memberikan manfaat secara sosial dan budaya yang dirasakan langsung oleh publik (warga kota).
4
Ruang terbuka hijau bisa dijadikan wahana untuk pengembangan pendidikan, kepentingan studi dan penelitian, sumber balajar mahasiswa dan pelajar di kota untuk mengenal dan memahami hutan, ruang bermain, kepentingan rekreasi yang dapat dijangkau warga serta ruang ekspresi dan aktualisasi bagi para pegiat seni dan budaya yang tumbuh dan berkembang di kota. Dalam perspektif hak alamiah, keberadaan ruang terbuka hijau pun menjadi hak bagi wilayah kota. Artinya, keberadaan ruang terbuka hijau kota menjadi hak kota (alam) yang harus dipenuhi oleh manusia. Dari sudut pandang spiritualitas dan etika ekologis telah mengajarkan kepada manusia, bahwa hak alam dan mahluk hidup lainnya juga penting untuk dilindungi. Manusia tidak diijinkan untuk semena-mena, serakah, dan rakus mengelola sumber kehidupan di bumi sesuai dengan hasrat dan nafsu kemanusiaannya. Spiritualitas dan etika ekologis memberikan pedoman bahwa alam ini bukan hanya untuk generasi sekarang belaka, namun jauh lebih penting bagaimana generasi mahluk hidup ke depan pun perlu diselamatkan. Kemudian, dari beberapa pengalaman pengelolaan ruang terbuka hijau termasuk hutan kota di dalamnya di berbagai negara, keberadaan hutan kota pun bisa memiliki nilai ekonomi tanpa harus melakukan pembangunan fisik yang mengubah fungsi pokok ruang terbuka hijau itu sendiri. Aspek ekonomi ini bisa diperoleh dari jasa wisata alam dalam hutan dan hasil hutan kota itu sendiri seperti bunga, buah, pohon atau pun getah pepohonan. Nilai ekonomi ini bukan saja bisa digunakan untuk mengelola dan merawat hutan kota tetapi juga bisa menjadi sumber pendapatan bagi warga yang berdagang, petugas pemandu wisata, biro perjalanan wisata, pengelola hutan kota sendiri bahkan bisa menjadi sumber pendapatan daerah/kota itu sendiri.
Model Perhitungan Luasan RTH Secara teknis, perhitungan luasan ruang terbuka hijau bisa menggunakan dua pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan penduduk kota, diantaranya : 1. Pendekatan gerakis dengan melalui perhitungan kebutuhan oksigen (O2) Sebagai contoh, hasil penelitian di sebuah kota dengan luas 431 km2, jumlah penduduk 2,6 juta jiwa, jumlah kendaraan bermotor 200.000, maka: Kebutuhan O2 = 5,352 X 10 gram atau setara 5.709 X 10 gram berat kering tanaman, Untuk memproduksi oksigen oleh kelompok tanaman sebesar jumlah tersebut perlu dibuat: (5.709 X 10) : 24 = 105.7 km2 atau 24.6% luas kota adalah RTH Dengan catatan asumsi bahwa setiap meter persegi (m2) tanaman menghasilkan 54 gram bahan kering. 2. Pendekatan berdasarkan perhitungan kebutuhan air Kebutuhan air dalam kota tergantung dari faktor: a. Kebutuhan air bersih per tahun b. Jumlah air yang dapat disediakan oleh PAM c. Potensi air saat ini 5
d. Kemampuan hutan menyimpan air Faktor-faktor di atas dapat ditulis dalam persamaan : L = (Po.K (1 + r - c) t - PAM – Pa) z Keterangan: L = Luas hutan yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air (dalam Ha) Po = umlah penduduk kota pada tahun ke O K = Konsumsi air per kapita (liter/hari) R = Laju kebutuhan air bersih (biasanya seiring dengan laju pertambahan penduduk kota setempat T = tahun C = faktor koreksi (besarnya tergantung dari upaya pemerintah dalam penurunan laju pertumbuhan penduduk) PAM = kapasitas suplai air oleh PAM (dalam M3/tahun) Pa = potensi air tanah saat ini Z = kemampuan lahan menyimpan air (M3/Ha/tahun) Strategi Pembangunan RTH di Daerah Pembangunan ruang terbuka hijau harus menjadi komitmen dan agenda pemerintah daerah, masyarakat dan pelaku usaha. Pembangunan ruang terbuka hijau mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan dan pengendalian ruang terbuka hijau. Dalam perencanaan dan pelaksanaanya, rencana pembangunan ruang terbuka hijau publik dilaksanakan berdasarkan tifologi kota, terdistribusi sesuai hierarki tingkat pelayanan kota, peruntukan lahan, dan kebutuhan fungsi tertentu. Beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan ruang terbuka hijau diantaranya seperti tertera dalam tabel berikut Aspek Subtansi Kebijakan Tata - Terakomodasi dalam kebijakan RTRW dan RDTRK Ruang dan Wilayah - Dibuat Masterplan perlindungan dan pengelolaan RTH (RTRW) - Penyediaan lahan RTH harus terencanakan baik lokasi dan luasannya - Penyediaan ruang terbuka hijau tidak menggusur tempat dan lahan warga Kelembagaan dan - Pengembangan pola kerja sama kemitraan yang adil Kerjasama dengan masyarakat dalam meningkatkan penyediaan ruang terbuka hijau publik - Dibuat kelembagaan bersama dalam pengelolaan RTH antara pemda dan masyarakat Anggaran - Pengalokasian anggaran secara bertahap untuk melaksanakan penyediaan ruang terbuka hijau publik - Pengalokasian anggaran dalam perlindungan dan pengelolaan RTH yang sudah dibangun - Pengalokasian anggaran untuk pengendalian, pengawasan pengelolaan RTH Partisipasi - Warga dan komunitas kota perlu dilibatkan dalam Publik/Warga pembangunan ruang terbuka hijau 6
Aspek -
Partisipasi Usaha
Pelaku -
Alokasi Lahan RTH
-
-
Subtansi Partisipasi warga bisa dilakukan sejak perencanaan hingga pengawasan Warga memiliki kewajiban untuk menyediakan RTH privat Komunitas bisa berpartisipasi mengelola RTH Pelaku usaha memiliki kewajiban mendukung pembangunan RTH Salahsatu kewajiban pelaku usaha adalah menyediakan RTH minimal sebesar 10 % Pelaku usaha bisa membangun kerjasama dengan pemda dalam penyediaan RTH Pelaku usaha bisa berpartisipasi dalam mengelola ruang terbuka hijau bersama pemerintah dan komunitas pemanfaatan lahan terlantar publik, pemulihan kembali fungsi-fungsi ruang terbuka, dan pengadaan tanah lahan-lahan perkotaan yang bisa digunakan sebagai RTH disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi lahan yang ada lahan-lahan RTH bisa aset publik yang terlantar, sempadan jalan, sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan danau atau situ-situ yang ada, taman-taman RW yang ada dll
Membangun dan merawat kota adalah tugas bersama, semua pihak yang hidup dan mengambil manfaat dari kehidupan kota. Jika semua pihak memiliki kesadaran yang sama, bahwa kebutuhan ruang terbuka hijau bagi kepentingan publik dan kepentingan keseimbangan layanan alam yang lebih luas merupakan bagian dari pembangunan kota maka visi kota yang berkeadilan, beradab dan berkelanjutan dapat kita wujudkan. Selain itu, pembangunan ruang terbuka hijau yang terencana dan terkelola dengan baik secara estetika akan menambah kenyamanan, kesejukan, pesona dan daya tarik kota itu sendiri.
7