Metode Bayani. Dalam perspekti Dalam perspektiff penemuan penemuan hukum hukum Islam Islam dikenal diken al juga juga dengan dengan istilah istilah metode metode penemuan hukum al-bayan al-bayan mencakup mencakup pengertian pengertian al-tabayun dan al-tabyin al-tabyin : yakni proses proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig).11 Dalam perkembangan hukum bayani atau setidaktidaknya mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna „mengartikan „mengartikan , „menafsirkan atau „menerjemah dan juga bertindak sebagai penafsir.12 Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi ketidakta ketidaktahuan huan menjadi mengerti, atau usaha mengalihka mengalihkan n diri dari bahasa asing yang maknanya masih masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas / konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir / muffasir. Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta wil (al-ta wil) sering kali disinonimkan pengertiannya pengertian nya ke dalam „penafsiran atau „penjelasa „penjelasan n . Al-Tafisr berkaitan dengan interpre inte rprestas stasii ekste eksterna rnall (exo (exoteri teric c exege exegese), se), seda sedangkan ngkan al-t al-ta a wil lebi lebih h meru merupaka pakan n interprestasi dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan penafsira penafsiran n metaforis terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu upaya untuk menyingkap sesuatu yang samar-sa samar-samar mar dan tersembunyi melalui mediator, sedangkan ta wil kembali ke sumber atau sampai pada tujuan, jika kembali kepada sumber menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif, maka makna sampai ke tujuan adalah gerak dinamis. Hermeneut Hermen eutika ika yan yang g da dalam lam ba baha hasa sa huk hukum um Isl Islam am mer merupa upakan kan il ilmu mu ata atau u sen senii menginprestasikan menginprest asikan (the art pf interprestation) interprestation) „teks atau memahami sesuatu sesuatu dalam pengertian memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan.dan kapasitasnya kapasitasn ya menjadi objek yang ditafsirkan ditafsirkan.. Kata sesuatu / teks di sini bisa berupa : teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-nas naskah-naskah kah kuno, ayat-aya ayat-ayatt ahkam dan kitab suci atapun atapun berupa pendapat pendapat dan hasil ijtihad para para ahli hukum (doktrin).15 Motode dan teknik menafsirka menafsirkannya nnya dilakukan secar a holistik dalam bingkai bing kai keter keterkait kaitan an antara antara teks teks,, konteks konteks dan dan kontekst kontekstuali ualisasi sasi.. Seca Secara ra filosof filosofis is metod metode e bayani baya ni memp mempunya unyaii tuga tugas s ontol ontologis ogis yait yaitu u meng menggamba gambarkan rkan hubu hubungan ngan yang tidak dapa dapatt dihidari dihi dari antara teks dan pembaca, pembaca, masa lalu dan sekarang sekarang yang memungkinka memungkinkan n untu untuk k memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaska membebaskan n kajian-ka kajian-kajian jian hukum dari otoritarian otoritarianisme isme para yuris positif yang elitis16 elitis16 tetapi tetapi juga dari kajian-kajia kajian-kajian n hukum kaum strukturalis strukturalis atau behavioralis behavioralis yang terlalu terl alu emperik emperik sifatnya. sifatnya. Sehi Sehingga ngga diharapka diharapkan n kaji kajian an tidak semata-mat semata-mata a berk berkutat utat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan / atau para pencari keadilan. Relevansi dari kajian penemuan penemuan hukum hukum bayani mempunyai mempunyai dua dua makna sekaligus : Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hokum atau metode memahami memahami terhadap suatu naskah normatif, normatif, di mana berhubungan berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidahkaidah dan fakta-fakta.
Di bawah ini dapat kita lihat bagaimana proses penemuan hukum, yang dilakukan oleh ahli hukum dengan pendekatan metode bayani : 1. Penemuan hukum bayani oleh qadhi (hakim) : Sebelum mengambil putusan (ex ante) disebut “heuristika” yaitu proses mencari dan berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai ar gumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post) disebut “legitimasi” yang berkenan dengan pembenaran dari putusan yang sudah dimbil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suatu putusan hukum tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakini forum hukum tersebut agar putusan dapat diterima. Disnilah pentingnya penemuan hukum bayani oleh hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya penerapan undangundang dan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus pencipta hukum dan pembentuk hukum 2. Penemuan hukum bayani oleh badan legislasi. Metode penemuan hukum ini mempunyai peran penting bagi para pembuat undangundang dan peraturan kebijakan, sebab pembuatan hukum yang dimulai dari perencanaan, perancangan pembahasan, putusan, sampai dengan sosialisasi hukum itu sarat dengan pekerjaan interprestasi atau pemahaman hukum. Interperstasi itulah meruapakan ruh dari metode bayani. 3. Ilmuwan hukum / Fuqahak. Ilmuwan / fuqahak berperan dalam memberikan anotasi (pandangan dan penilaian hukum) atas suatu pristiwa hukum di masyar akat sehingga meningkatkan bobot dan kualitas hukum. Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan ke dalam sebelas macam yaitu : 1. Interprestasi Gramatikal (menurut bahasa). Penafsiran kata-kata dalam teks hukum sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Dengan mencoba menangkap arti sesuatu teks / peraturan menurut bunyi katakatanya dari hasil interprestasinya bisa lebih mendalam dari teks aslinya, sebuah kata dapat mempunyai berbagai arti, dalam bahasa fiqh dikenal dengan kata-kata „musytarak 2. Interprestasi historis. Setiap ketentuan hukum mempunyai sejarahnya sendiri, oleh karenaya harus menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran hukum itu dirumuskan. Dalam konteks ini dapat dilakukan dua bentuk, yaitu pertama, mencari maksud dari aturan hukum pembuat undang-undang (syari ) sehinggga kehendak pembuat hukum sangat menentukan. Kedua, sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya (rechthistorisch) adalah metode interprestasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khusunya yang tekait dengan kelembagaan
hukumnya. Maka dalam konteks sejarah Hukum Islam timbulnya hukum dalam penafsiran hukum Islam dapat dilihat dari asbabunul ayat atau asbabul wurud hadist. 3. Interprestasi sistematis. Penafsiran sebuah aturan hukum atau ayat sebagai bagian dari keseluruhan sistem, artinya aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu difahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya, seperti penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, hadis dengan ayat, hadis dengan hadis. 4. Interprestasi sosiologis atau teologis. Secara sosiologis / teologis apabila makna peraturan / ayat dietapkan berdasarkan tujuan kemaslahatan. Dalam interprestasi ini dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif hukum (rechtpositiviteit) dengan kenyataan hukum (rechtwerkejkheid) sehingga interprestasi sosialogis dan teologis sangat penting. Sebagai contoh penerapan hukum yang diterapkan oleh Umar bin Khathab tidak potong tangan bagi pencuri, postif hukum setiap pencuri potong tangan, namun kenyataan hukum tidak dilaksanakan karena situasi keadaan masyarakat. 5. Interprestasi komparatif. Dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina) berbagai sistem hukum baik dalam suat negara Islam ataupun membandingkan pendapat-pendapat imam mazhab. 6. Interperstasi futuristik. Disebut juga metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasan ketentuan hukum dengan berpedoman pada aturan yang belum mempunyai kekuatan hukum., karena peraturannya masih dalam rancangan. 7. Interperstasi restriktif. Metode interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika kata “tetangga” dalam fiqh mu amalah, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk penyewa dari perkarangan di sebelahnya, tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, ini berarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi restriktif. 8. Interprestasi ekstensif. Metode penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-batas hasil interprestasi gramatikal, seperti perkataan al-ba i dalam fiqh mu amalah oleh qadhi boleh di tafisrkan secara luas yaitu tidak saja jual beli termasuk segala peralihan hak. 9. Interprestasi otentik atau secara resmi. Dalam jenis interprestasi ini, qadhi tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selaian dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri. 10. Interperstasi interdisipliner. Bisa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disipilin ilmu hukum, di sini dipergunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum. Sebagai contoh, interprestasi atas pasal yang menyangkut kejahatan “kor upsi” hakim
dapat menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum pidana, administrasi negara dan perdata. 11. Interprestasi multidisipliner. Seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lainlain disiplin ilmu. Metode Ta’lili Sebelumnya penulis akan menguraikan sekitar masalah „illat. Ulama Ushul Fiqh membicarakan masalah „illah ketika membahas qiyas (analogy). „Illah merupakan rukun qiyas dan qiyas tidak dapat dilakukan bila tidak dapat ditentukan „illahnya. Setiap hukum ada „illah yang melatarbelakanginya. „Illat sebagian ulama mendefenisikan sebagai suatu sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum. Defenisi lain dikemukakan oleh sebagaian ulama Ushul Fiqh : „ Illat ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar dalam penetapan hukum. Orang yag mengakui adanya „illat dalam nash, ber arti ia mengakui adanya qiyas. Para ulama Ushul Fiqh memandang masalah „illat menjadi 3 golongan :18 a. Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum pasti memiliki „illat, sesunggunya sumber hukum asal adalah „illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain. b. Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya „illat. c. Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang mengganggap tidak adanya „illat hukum. “Hukum itu berkisar bersama „illatnya, baik ada atau tidak adanya.20 Arti kaidah fiqih tersebut ialah setiap ketentan hukum berkaitan denga „illat (kausa) yang melatarbelakanginya ; jika „illat ada, hukum pun ada, jika „illat tidak ada, hukum pun tidak ada. Menentukan sesuatu sebagi „illat hukum merupakan hal yang amat pelik. Oleh karenanya, memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan untuk dapat menunjuk „illat hukum secara tepat. „Illat sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum dalam kasus baru sangat bergantung pada ada atau tidak adanya „illat pada kasus tersebut. Sehingga „illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara obyektif (zhahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith) dan sesuai dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum, dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. „Illat merupakan “tujuan yang dekat” dan dapat dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan hikmat merupakan “tujuan yang jauh” dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum. Sedangkan menurut al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan „illat adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat, yang berkaitan dengan ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, baik keduanya itu zhahir atau tidak, mundhabith atau tidak. 22 Jadi baginya „illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan
berdasarkan hikmat, tidak berdasarkan „illat. Sebenarnya hikmat dengan „illat mempunyai hubungan yang erat dalam rangka penemuan hukum.23 Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami, bahwa dalam qiyas penemuan „illat dari hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hukum. Dari sinilah dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara metode qiyas dengan maqashid al-syari at Dalam pencarian „illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat menjadi „illat adalah bahwa shifat tersebut munusabat, yakni sesuai dengan maslahat yang diduga sebagai tujuan disyariatkan hukum itu. Maslahat dalam „illat menjadi maslahat daruriyat, hajiyyat, dan takmiliyyat, dan dari sinilah muncul pengembangan prinsip dan teori maqashid al-syariat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang menjadi tujuan utama disyariatkan hukum Islam, merupakan faktor penentu dalam menetapkan hukum melalui jalur qiyas. „Illat adalah hal yang oleh syari (pembuat aturan) dijadikan tempat bersandar, tempat bergantung atau petunjuk adanya ketentuan hukum. „Illat pada pokoknya dapat dibagi menjadi 3 macam atas dasar sumber pengambilannnya, yaitu „illat diperoleh dengan dalil naqli, nas yang diperoleh dengan ijma dan „illat yang diperoleh dengan jalan istinbath (pemahaman kepada nash).24 „Illat yang diperoleh dengan dalil naqli dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu yang diperoleh dengan jelas disebutkan dalam nash yang disebut sharih, yang diperoleh hanya dengan isyarat, yang disebut ima, dan yang diperoleh dari adanya petunjuk sebab.25 „Illat yang diperoleh dengan jalan istinbath merupakan hal yang amat pelik. Untuk menentukan „illat dengan jalan istinbath diperlukan ketajaman pemikiran. Sifat pemikiran kefilsafatan dalam menentukan „illat dengan jalan istinbath ini amat nyata. Untuk menentukan „illat dengan jalan istinbath ditempuh dua macam cara, yaitu : 1. Jika di dalam sesuatu ketentuan hukum terdapat beberapa hal yang dirasakan sesuai benar sebagai „illat hukum, untuk menentukan mana di antara hal itu yang benar -benar sebagi „illat dilakukan taqsim dan sabr. Taqsim ialah membatasi hal yang dirasakan sesuai sebagai „illat hukum, dan sabr adalah meneliti hal yang telah dibatasi dan dirasakan sesuai sebagi „illat hukum itu sehingga dapat diketahui mana yang harus disisihkan sebagai „illat dan mana yan harus diamblil atau ditetapkan. Cara ini merupakan peluang amat luas untuk berijtihad dan amat memungkinkan terjadi perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid. 2. Menetapkan kesesuaian „illat bagi sesuatu ketentuan hukum dengan mengkaji „illat yang sesuai dengan hukum, kemudian menetapkan berlakunya „illat itu terhadap hukum bersangkutan. „ Illat yang sesuai dengan ketentuan hukum itu disebut al-„illah al-munasibah.26 Al-„illah al-munasibah ada empat macam, yaitu : „illat muatstsirah (membekas), „illat mula-imah (sejalan), „illat gharibah (asing) dan „illat mursalah (lepas, bebas).27 , di bawah ini akan dibahas tentang empat „illat itu : a.
al-„illah al-munasab.
Illat yang secara jelas dapat diperoleh dari nash atau „ijma dan diketahui membekas pengaruhnya terhadap ketentuan hukum. Misalnya perwalian yang ditetapkan atas anak di bawah umur, yang dipandang „illatnya adalah keadaan di bawah umur. b. „illat mula-imah. „Illat yang diperoleh dari nash, tetapi agak jelas membekas pengarunya terhadap hukum karena nash yang mengandung hukum memang tidak memberikan kejelasan mengenai „illatnya. Namun „illat itu dapat dipeoleh dari sejumlah nash lain mengenai masalah
yang sejenis yang dapat dipandang ada kesejalananya untuk dijadikan „illat hukum yang bersangkutan. c. illat gharibah Illat yang diperoleh dari nash, tetapi tidak jelas bahwa „illat itu membekas pengaruhnya terhadap hukum dan tidak ketahui dengan jelas kesejalanannya dengan hukum bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang sejenis. Namun „illat yang diperoleh dari nash itu sendiri dipandang sesuai dengan hukum yang diakandungnya. d.„illat mursalah Illat yang tidak terdapat pendukungnya dari nash, tetapi dapat diketahui dari jiwa ajaran Islam pada umumnya. „Illat macam inilah yang merupakan hal yang amat pelik. Untuk menetapkannya diperlukan ketajaman pandangan dan keluasan cakrawala pemikiran tentang tujuan dan rahasia hukum Islam khususnya dan ajaran Islam umumnya. Oleh karenanya „illah adalah sifat yang jelas dan ada tolak ukurnya, yang di dalamnya terbukti adanya hikmah pada kebanyakan keadaan. Maka „illah ditetapkan sebagi bertanda (madzinnah) yang dapat ditegaskan dengan jelas bagi adanya hikmah.28 Hikmah itu bersifat implisit di dalam „illah dan tidak terpisah dengannya, karena hikmah tidak ada jika „illah tidak ada. Di samping itu, „illah adalah dasar perbuatan. Jika „illah ada tanpa adanya hikmah, maka „illah tidak dapat dianggap berasal dari hukum. Jika „illah itu jelas, tidak ada kesulitan, namun apabila „illah itu tidak jelas, para ahli Ushul Fiqh berbeda pendapat. Ada yang mengambil jalan takwil dan mencoba menggali „illah berkenaan dengan kata-kata nash yang implisit. Sedangkan yang lainnya mengambil metode interprestasi nash sesuai dengan akal berkenaaan dengan kepentingan masyarakat (social utility). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa „illah merupakan “sebab” atau “tujuan” ditetapkan hukum. Adakalanya langsung disebut dalam nash (manshushah) dan adakalanya tidak (muntanbathah).29 Metode Istislahi Sebagaimana halnya metode ijtihad lainya, al-maslahat al-mursalah juga merupakan metode penemuan hukum yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit dalam Al Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam maslahat, yakni maslahat mu tabarat, maslahat mulghat dan maslahat mursalat. Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran maupun dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.30 Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahat al-mursalat .31 Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut :32 a. Maslahat tersebut bersifat reasonable (ma qul) kasus hukum yang ditetapkan.
dan relevan (munasib) dengan
b. Maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan kesulitan (raf u al-haraj), dengan cara menghilangkan masyaqqat dan madharrat. c. Maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyari atkan hukum (maqashid alsyari at) dan tidak bertentangan dengan dalil syara yang qahti . Sementara itu Al Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan sebagai penemuan hukum.33 1. Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyat. Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut. 2. Kemaslahatan itu bersifat qath i, artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut bena-benar telah diyakini sebagai maslahat tidak didasarkan pada dugaan (zhan) semata-mata. 3. Kemaslahatan itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu bersifat individual maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqashid al-syari at. Berdasarkan ungkapan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa antara metode penemuan hukum istislahi sangat erat kaitaannya dengan maslahat. Sebagaimana yang diungkpkan oleh Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan segala bentuk kesulitan. Bentuk penemuan hukum berdasarkan istislahi suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari at dan tidak ada „illat yang keluar dari syara yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara , yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu mamfaat, maka kejadian tersebut dinamakan istislahi. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahat yang ditunjukan oleh khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu bagian tujuan syara . Proses seperti itu disebut istislah (menggali dan menetapkan suatu masalah).34 Walaupun para ulama berbeda dalam memandang metode ini, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap mamfaat yang di dalamnya terdapat tujuan secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya. Sedangkan menurut Al Ghazali istislahi menurut pandangannya adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara , tetapi ia tidak keluar dari nash syara . Menurut pandangannya, ia merupakan hujjah qathi iyyat selama mengandung arti pemeliharaan maskud syara , walaupun dalam penetapannya zhani. 35 Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i tibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal iu tidak dijelaskan oleh nash dan
ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al Quran.36 Dari uraian di atas jelaslah bahwa istislahi merupakan cara penemuan hukum yang berdiri sendiri, yang beramal dengan al-maslahat al-mursalat, ijmak, „urf dan kaidah raf al-harj wa al-masyaqqat. ijtihad adalah memberi segala daya kemampuan dalam usaha mengetahui sesuatu hukum syara’. Dari segi teknik, ijtihad dibedakan menjadi tiga: 1. Ijtihad bayani yaitu ijtihad yang berhubungan dengan penjelasan kebahasaan yang terdapat di al-Qur’an dan Sunnah 2. Ijtihad qiyasi yaitu ijtihad untuk menyelesaikan suatu sengketa atau persoalan yang di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang tidak ada ketentuan hukumnya, dan ulama menyelesaikan dengan cara qiyas atau istihsan. 3. Ijtihad istishlahi yaitu ijtihad dengan menggunakan ra’y (akal) yang tidak menggunakan ayat-ayat al-Qur’an atau hadits tentang secara khusus.[1] Ijtihad pada dasarnya adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam memahami maksudmaksud Allah. Oleh karena itu ijtihad pasti menggunakan akal (ra’y).
Dengan pendekatan lafazh dan makna, Abd al-Majid Shubh membedakan ijtihad menjadi dua : ijtihad yang mengutamakan kata (susunan dan relasinya) yang utamanya disebut ash hab al lafazh; dan ijtihad yang mengutamakan “ideal moral” atau ( ءءء ءءءء ءءءء )ءyang kemudian utamanya disebut ash hab al-ma’na. Ijtihad adalah suatu usaha darurat di dalam sejarah perkembangan syariat, karena ijtihad jalan untuk mengistimbathkan hukum dari dalil, baik yang naqli maupun yang aqli.[2] Orang yang mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan hukum atas dasar fardlu kifayah. Ada ulama yang berkata : kita perlu membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi lalu kita bahas hukumnya, agar ketika terjadi hal-hal itu hukum telah ada. Inilah jalan yang ditempuh oleh fuqaha akhir ra’yi dan golongan Hanafiyah. Dan haram berijtihad pada masalah-masalah yang telah terjadi ijma’.[3] Batas berlakunya hukum yang diperoleh dari ijtihad: 1. Hukum yang diperoleh dari ijtihad hanya harus dipakai oleh mujtahid sendiri dan oleh orang yang meminta fatwa kepadanya, tak dapat dimestikan seseorang mengikuti dan melaksanakannya. 2. Hukum yang diijtihadkan itu, tak dapat diyakini bahwa dia hukum syara’. 3. Hukum yang diperoleh dari ijtihad, merupakan hujah bagi seseorang yang meminta fatwa, tak perlu orang yang meminta fatwa itu mengetahui dalil, karena mujtahid itu merupakan dalil bagi hukum itu. Dalam bidang yang telah ada nash yang qath’i tersebut dan dalalahnya naik dari Kitabullah maupun sunnah mutawatir, tidak dapat dilakukan ijtihad lagi, demikian pula dalam bidang yang sudah ada batasan-batasannya dalam syara’, seperti bilangan rakaat, waktu sembahyang dan amalan-amalan haji.
ð Ijtihad fardi adalah : Setiap ijtihad yang dilakukan oleh orang seseorang atau beberapa orang, tak ada keterangan bahwa seluruh mujtahid yang belum menyetujuinya. ð Ijtihad jama’i Ijtihad terhadap sesuatu masalah yang disepakati oleh semua mujtahid HADITS MUSYTAROK ANTARA SAHIH, HASAN DAN DLA’IF A.
DEFINISI
Hadits musytarak adalah hadits yang bersetatus banyak. Untuk menentukan apakah sahih, hasan ataupun dha’if diperlukan penelitian lebih lanjut. Status kehujahan hadits musytarak juga masih belum dipastikan. [1] B.
PEMBAGIANNYA
Mahmud ath-Thahan membagi hadits musytarak menjadi dua:[2] 1.
Ditinnjau dari segi kepada siapa hadits itu disandarkan di bagi menjadi empat, yaitu:
a.
Hadits Qudsi,
yaitu hadits yang disampaikan kepada kita dari Nabi Muhammd dan Nabi menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain hadits yang lafalnya dari Nabi SAW sedangkan maknanya dari Allah SWT yang didapat melalui ilham atau mimpi. Perbedaaan antara hadits Qudsi dan Al-Qur’an:[3] 1) Al-Qur’an lafadz dan maknanya dari Allah, sedangkan hadits Qudsi maknanya saja yang dari Allah sedang lafadnya dari Rasulullah SAW. 2) Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir sehingga kepastinya mutlak, sedang hadits Qudsi kebanyakan khabar ahad sehingga kepastianya masih dzhan. 3) Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah sehingga dibaca dalam shalat,sedangkan hadits Qudsi tidak. Perbedaan hadits Qudsi dengan hadits Nabawi adalah biasanya hadits Qudsi dalam 3. Lafad-lafad lain yang semakna dengan apa yang disebut di atas. Sedangkan meriwayatkan hadits Nabawy tidak ada ketentuan tersebut. b.
Hadits Marfu’,
yaitu hadits yang disandarkan pada shahabat atau yang lainya kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, muttasil maupun munqathi’. Contoh: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda…. c.
Hadits Mauquf
yaitu sesuatu (hadits) yang disandarkan kepada sahabat berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, muttasil maupun munqathi’ sanadnya. Contoh hadits mauquf: Seorang perawi mengatakan,”Ali bin Abi Thalib berkata begini….”. Hadits mauquf tidak bisa dijadikan hujjah karena berupa perkataan, perbuatan atau taqriri sahabat.
d. Hadits maqtu’ yaitu hadits yang disandarkan kepada Tabi’in atau orang sesudahnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Hadits maqtu’ berbeda dengan hadits munqathi’ karena hadits maqtu’ adalah tinjauan dari segi matan, sedangkan hadits munqathi’ tinjauan dari segi sanad. Mengenai status hukumnya, hadits maqtu’ tidak dapat dijadikan hujjah dalam hal hokum syar’i walaupun ia shahih, sebab itu adalah perkataan seorang muslim saja. Tetapi jika ada qarinah yang menunjukkan kemarfu’annya seperti pendapat sebagian perawi tentang tabi’in yang berkata: “Sami’tu Rasulallah”, maka dapat dihukumi marfu’ mursal. 2. [4]
Jenis-jenis lain yang berada di antara status maqbul dan mardud, di antaranya adalah:
a.
Hadits muttasil atau hadits maushul
yaitu hadits yang sanadnya bersambung baik marfu’ sampai pada Nabi maupun mauquf hanya sampai sahabat. Contoh hadits muttasil marfu’: “Malik dari Ibnu Shihab dari Salim bin Abdullah dari ayahnya dari Rasulallah, beliau bersabda: begini, begini….”, contoh hadits muttasil mauquf: “Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar dia berkata: begini, begini….” Kalau sanadnya muttasil sampai tabi’in disebut maqtu’. b.
Hadits musnad
yaitu hadits yang sanadnya bersambung dan marfu’ sampai kepada Nabi saw. Bedanya dengan hadits marfu’ dan muttasil. Hadits marfu’ belum tentu muttasil demikian pula hadits muttasil belum tentu marfu’. Tapi kalau hadits musnad adalah hadits yang marfu’ sekaligus muttasil. Misalnya: “Dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Abu Zanad dari al-A’raj dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Jika ada seekor anjing yang minum dari bejanamu maka cucilah bejanamu tujuh kali.” c.
Hadits mu’an’an
yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para perawi dengan menggunakan sighat ‘an. Ulama’ berbeda pendapat dalam hadits ini, apakah termasuk hadits muttasil atau munqathi’:
Hadits Musytarak antara shahih, hasan dan dlaif adalah suatu terminology bagi hadits –yakni jenis-jenis hadits menurut terminology ulama hadits- yang bersifat komplementer antara shahih, hasan dan dlaif. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad , termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani : yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda , atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah Iraq, Iran , Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan “Khoroj” dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin , dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua : Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di jelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal ) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang
tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat , demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti ; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil- dalil Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah ) Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah Di Dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Qur'an dan as-Sunnah ash-Shahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta'abbudi, dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya secara langsung. Dalam memutuskan suatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad digunakan sistem ijtihad jama'i. Dengan demikian pendapat perorangan dari majelis tidak dapat dipandang kuat. Tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa alQur'an dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. Berprinsip terbuka dan toleran, dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang lebih kuat. Dan koreksi dari siapapun akan diterima sepanjang dapat memberikan dalil-dalil yang lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis tarjih akan mempertimbangkan untuk mengubah keputusan yang telah ditetapkan. Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawattir. Tidak menolak ijma' sahabat, sebagai dasar suatu keputusan. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta'arud dipergunakan cara: al-jam'u wa'ltawfiq. Dan kalau tidak dapat, baru dilakukan tarjih. Menggunakan asas sadd-u'l-dzara'i untuk menghindari terjadinya fitnah dan masfsadah. Menta'lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur'an dan asSunnah sepanjang sesuai dengan tujuan syari'ah. Adapun qaidah: a-hukmu yadiru ma'a illatihi wujudan wa'adaman dalam hal-hal tertentu dapat berlaku. Dalil-dalil umum al-Qur'an dapat ditakhsis dengan hadits ahad kecuali dalam bidang aqidah. Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Qur'an dan as-Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal, sepanjang diketahui latar belakang dan
tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi. Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat dapat diterima.