MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS ASUHAN KEPERAWATAN PADA MIASTENIA GRAVIS
“
”
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis
Dosen Pembimbing : WIWIEK RETTI A. S.Kep.,Ns.,M.Kep S.Kep.,Ns.,M.Kep Oleh : KELOMPOK 1
Dhenel Gusfirnandou
(201601014)
Dini Harianawati
(201601019)
Febby Galih Saputri
(201601023)
Hediati Dwi N
(201601026)
Kresna Koeswardana
(201601031)
Liya Larassati
(201601033)
Novi Permatasari
(201601046)
Mohammad Supri Darmanto
(201601044)
Riyan Widiyanti
(201601054)
Tri Endah Lestari
(201601058)
Vina Meri A
(201601059) KELAS II A
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINAH KABUPATEN PONOROGO 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “ Asu A suha han n K eperawa rawatan pada Mi aste stenia G ravis ravis . ”
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Kritis. Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yakni Ibu Wiwiek Retti Andriani,S.Kep.,Ns M.Kep. yang telah banyak meluangkan waktu guna memberikan bimbingan kepada kami dalam penyusunan makalah ini. 2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara moril maupun materil selama proses pembuatan makalah ini. 3. Teman-teman mahasiswa tingkat IIA Program Studi DIII Keperawatan Pemerintah Kabupaten Ponorogo angkatan 2016/2017 yang selalu memberikan dukungan dan saran serta berbagi ilmu pengetahuan demi tersusunnya makalah ini. Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat, bagi penulis khususnya dan bagi bagi pembaca umumnya.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................
ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1 Pendahuluan ..............................................................................
1
1.2 Rumusan masalah .....................................................................
2
1.3 Tujuan masalah .........................................................................
3
1.4 Manfaat ....................................................................................
3
BAB II TINJAUAN TEORI .................................................................
4
2.1 Anatomi dan fisiologi neuromuscular junction.........................
4
2.2 Definisi miastenia gravis...........................................................
6
2.3 Etiologi miastenia gravis...........................................................
6
2.4 Patofisiologi miastenia gravis ...................................................
7
2.5 Manifestasi kinis Miastenia Gravis ...........................................
8
2.6 Tingkatan Miastenia gravis .......................................................
9
2.7 Pemeriksaan diagnostic miastenia gravis..................................
10
2.8 Penatalaksanaan miastenia gravis .............................................
12
2.9 Alogritma penanganan miastenia Gravis ..................................
13
2.10 Patway Miastenia Gravis ........................................................
14
BAB III KONSEP ASKEP ...................................................................
15
3.1 Pengkajian pada miastenia gravis .............................................
15
3.2 Diagonsa Keperawatan .............................................................
19
3.3 Intervensi keperawatan .............................................................
19
BAB IV PENUTUP ...............................................................................
25
4.1 Kesimpulan ...............................................................................
25
4.2 Saran .........................................................................................
23
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kasus ini pertama kali dilaporkan oleh seorang dokter dari Inggris yaitu Willis pada tahun 1672 kemudian pada tahun 1895 Jolly pertama kali menyebut penyakit ini dengan nama Myasthenia Gravis. ( Febriana, Esa, & Bahrun, 2015). Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak, orang dewasa, dan pada orang tua.. Myasthenia gravis atau selanjutnya disingkat MG merupakan suatu penyakit autoimun dari neuromuscular junction (NMJ) yang disebabkan oleh antibodi yang menyerang komponen dari membran post sinaptik, mengganggu transmisi neuromuskular, dan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot rangka. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan otot secara umum maupun dapat terlokalisasi pada suatu otot tertentu. Keterlibatan dari otot bulbar dan otot pernapasan dapat menyebabkan kematian. ( Chairunnisa, Zanariah, Saputra, & Karyanto, 2016) Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya 20 dalam100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umur diatas 50 tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun ( Arie , Adnyana, & Widyadharma, 2016) Departemen kesehatan Amerika Serikat mencatat jumlah pasien miastenia gravis diestimasikan sebanyak 5 sampai 14 dari 100.000 orang populasi pada seluruh etnis maupun jenis kelamin. Angka tersebut jauh berbeda dengan angka insidensi di wilayah Eropa seperti Inggris, Italia, dan Pulau Faroudi Islandia yaitu sebesar 21-30 per 1.000.000 populasi. Di Indonesia sendiri belum ditemukan data yang akurat terkait angka kejadian MG. YMGI (Yayasan Miastenia Gravis Indonesia) selaku support group utama sampai saat ini masih mengupayakan pendataan yang maksimal terkait
1
jumlah pasien MG di Indonesia. ( Putri, Kariasa, & Dahlia, 2016) jumlah penderita MG yang terdaftar di Indonesia saat ini sebanyak 226 orang, namun diperkirakan
jumlah
penderitanya
melebihi
dari
jumlah
itu.(
https://ymgi.or.id/) Myastania disebabkan karena penurunan jumlah reseptor asitecoilne di neuromuscular jungtion, penurunan reseptor ini berakibat adanya antibody terhadap
reseptor
aceticoline
atau
membrane
postsinap
sehimgga
menyebabkan gangguan transmisi neuromuskular dan berakibat pada terjadinya kelemahan pada kontraksi otot yang biasanya timbul pada sore hari ( Handayani & Indriati, 2015). miastenia gravis dapat diartikan sebagai kelainan autoimun pada sistem persarafan ditandai dengan rusaknya reseptor dari
Acetylcholine
oleh
proses
auto-antibodi
sehingga
transmisi
neurotransmitter di area neuromuskular terganggu sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan otot untuk berkontraksi. ( Putri, Kariasa, & Dahlia, 2016) Beberapa faktor (misalnya, tingkat keparahan, distribusi, kecepatan perkembangan penyakit) harus dipertimbangkan sebelum terapi dimulai atau diubah. Terapi Farmakologis termasuk obat antikolinesterase dan agen imunosupresif, seperti kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, plasmaferesis, dan immunoglobulin intravena ( Chairunnisa, Zanariah, Saputra, & Karyanto, 2016) dan di lakukan penatalaksanaan keperawatan tirah baring, pemantauan tanda tanda vital pasien pemberaian bantuan oksigen apabila pasien mengalami permasalahan pernafasan sehingga pasien dengan Miastenia gravis memerlukan pemantauan secara intensif karena apabila di biarkan akan menyebabkan terjadinya krisis miastenia atau terjadinya gagal nafas
(
Chairunnisa, Zanariah, Saputra, & Karyanto, 2016)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian
latar
belakang
diatas,
maka
kelompok
merumuskan masalah dalam makalah ini mengenai Asuhan keperawatan Pada Mistania Gravis” dalam konteks pembelajaran mahasiswa.
2
1.3 Tujuan Makalah
1) Mahasiswa mengetahui Anatomi Dan Fisiologi Neuromuscular Junction. 2) Mahasiswa mengetahui Definisi Miastena Gravis 3) Mahasiswa mengetahui Etiologi Miastena Gravis 4) Mahasiswa mengetahui Patofisiologi Miastena Gravis 5) Mahasiswa mengetahui Manifestasi Klinis Miastena Gravis 6) Mahasiswa mengetahui Tingkatan Miastenia Gravis 7) Mahasiswa mengetahui Pemeriksaan Diagnostic Miastena Gravis 8) Mahasiswa mengetahui Penatalaksanaan Miastena Gravis 9) Mahasiswa mengetahui Alogritma Penanganan Miastenia Gravis 10) Mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan Miastena Gravis
1.4 Manfaat Makalah
Manfaat makalah ini terbagi menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi mahasiswa keperawatan dan menambah kajian ilmu keperawatan khususnya mengenai “ Asuhan keperawatan dengan diagnosa misatania gravis ” untuk mengetahui secara mendalam. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak penulis itu sendiri dalam menempuh pembelajaran di Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Dan bagi pihak lain penulis juga mengharapkan dapat membantu pihak lain dalam penyajian informasi untuk yang lebih baik.
3
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Anatomi dan fisiologi
Neuromuscular junction merupakan penghubung antara serabut saraf dan otot pada membran otot yang berfungsi mengubah impuls elektrik menjadi sinyal kimia untuk digunakan sebagai pencetus kontraksi otot. Neuromuscular junction terdiri dari membran presinaptik, celah sinaptik ( synaptic cleft ) dan membran post sinaptik. ( Febriana, Esa, & Bahrun, 2015)
Membran presinaptik terdiri dari nervus terminal yang merupakan tempat sintesis dan penyimpanan neurotransmitter asetilkolin (ACh). Celah sinaptik merupakan daerah yang memisahkan membran presinaptik dan post sinaptik dengan jarak ± 20 nm. Celah ini mengandung asetilkolin dan protein protein
proteoglikan
yang
berfungsi
untuk
menstabilkan
stuktur
neuromuscular junction. Membran post sinaptik merupakan daerah yang mengandung reseptor asetilkolin. Daerah post sinaptik ini dikarakteristikkan oleh adanya invaginasi dari membran plasma yang disebut “secondary synaptic fold/junctional fold”. Junctional fold ini berfungsi memperluas area post sinaptik dan merupakan tempat terpusatnya depolarisasi end plate. Reseptor asetilkolin terpusat pada bagian atas junctional fold . Rapsyn, muscle specific tyrosine kinase (MuSK) dan agrin merupakan protein yang terlibat
4
dalam clustering AchR. Transmisi di neuromuscular junction pada keadaan normal dimulai dengan sintesis asetilkolin (ACh) di terminal saraf motorik dan disimpan di dalam vesikel-vesikel. Potensial aksi akan merambat sepanjang saraf motorik dan mencapai terminal saraf tersebut yang akan menyebabkan ACh dari 150-200. vesikel dilepaskan ke celah sinaptik serta berdifusi ke membran post sinaptik. Asetilkolin akan melekat pada AChR yang banyak terdapat pada membran postsinaptik dan menyebabkan terbukanya berbagai saluran ion AChR sehingga memungkinkan berbagai kation terutama natrium (Na) masuknya ke otot yang kemudian menimbulkan depolarisasi end plate.3,10 Jika depolarisasi mencapai ambang batas, akan terjadi aksi potensial dan kontraksi otot. Asetilkolin kemudian mengalami reuptake dan hidrolisis oleh asetilkolinesterase (AChE) sehingga konsentrasi ACh berkurang. Mekanisme ini mencegah terjadinya aktivasi berulang dari AChR oleh Ach.
Jumlah asetilkolin yang dikeluarkan per impuls mengalami penurunan secara normal pada perangsangan berulang, hal ini disebut presynaptic rundown. ( Febriana, Esa, & Bahrun, 2015)
5
2.2 Definisi Miastenia Gravis
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas..Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. ( Arie , Adnyana, & Widyadharma, 2016) Miastenia Gravis (MG) I definisikan sebagai kelainan pada neuromuscular jugtion (NMJ) yang di tandai dengan menurunya kemampuan kontraksi otot. ( Putri, Kariasa, & Dahlia, 2016) Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai dengan kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau berulang-ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di neuromuskular juction berkurang. (Sherwood, 2012)
2.3 Etiologi Miastenia Gravis
a.
Autoimun Pada miastenia gravis, sistem kekebalan membentuk antibodi yang menyerang reseptor yang terdapat di sisi otot dari neuromuscular junction. Reseptor yang dirusak terutama adalah reseptror yang menerima sinyal saraf dengan bantuan asetilkolin (bahan kimia yang mengantarkan
impuls
saraf
melalui
junction
atau
disebut
juga
neurotransmiter). Apa yang menjadi penyebab tubuh menyerang asetilkolinnya sendiri, tidak diketahui. b.
Genetik pada kelainan kekebalan tampaknya memegang peran yang penting.Antibodi ini ikut dalam sirkulasi darah dan seorang ibu hamil
6
yang menderita miastenia gravis bisa melalui plasenta dan sampai ke janin yang dikandungnya. Pemindahan antibodi ini bisa menyebabkan miastenia neonatus, dimana bayi memiliki kelemahan otot yang akan menghilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah dilahirkan. Gangguan tersebut kemungkinan dipicu oleh : 1)
Infeksi,
2)
Operasi, atau penggunaan obat-obatan tertentu, seperti nifedipine atau verapamil (digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi), quinine (digunakan untuk mengobati malaria), dan procainamide (digunakan untuk mengobati kelainan ritme jantung).
3) Neonatal myasthenia terjadi pada 12% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mengalami myasthenia gravis. Antibodi melawan acetylcholine, yang beredar di dalam darah, bisa lewat dari wanita hamil terus ke plasenta menuju janin. Pada beberapa kasus, bayi mengalami kelemahan otot yang hilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah lahir. Sisa 88% bayi tidak terkena. (Sherwood, 2012)
2.4 Patofisiologi
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Etipatogenesis proses autoimun pada Miastenia gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar 75 % pasien Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien
7
menunjjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10% berhubungan dengan timoma. (Sherwood, 2012)
2.5 Manifestasi Klinis
a) Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis MG. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepal a b) Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot okular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas. c) Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot okular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas. pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderitaminum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya. d) Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. Pasien myasthenic dengan insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas paten dikatakan krisis. Kelumpuhan vokal dapat menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran udara terhambat oleh sekresi pasien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk terlalu lemah ( Chairunnisa, Zanariah, Saputra, & Kar yanto, 2016)
8
Distribusi daerah yang mengalami kelemahan
2.6 Tingakat Keparahan Miastenia Gravis
Berdasarkan tingkat keparahan penyakit, gejala-gejala penyakit MG terbagi dalam lima ( Arpandy & Halim, 2013) 1) Level I merupakan tingkat yang sangat ringan dan hanya menyerang otot mata, seperti ptosis serta diplopia. 2)
Level II ditandai dengan kelemahan otot mata yang semakin parah dan mulai ada penyebaran ke otot rangka dan bola mata, tetapi belum menyebar sampai pada sistem pernapasan. Pada level II pasien akan merasakan kelelahan dalam beraktivitas.
3) Level III ditandai dengan kelemahan otot mata, otot bola mata, dan otot rangka yang lebih parah dibandingkan level II. Di samping itu, pada level III muncul pula gangguan dalam artikulasi, disfagia (sulit menelan), dan sulit mengunyah makanan. Pada level ini pasien mulai merasakan keterbatasan dalam beraktivitas sehari-hari.
9
4) Pada level IV, selain ditandai dengan kelemahan yang semakin berat pada otot bola mata dan otot rangka, juga disertai dengan mulainya terserang otot-otot pernapasan. Krisis myasthenia, yang merupakan kondisi hidup yang mengancam para pasien MG umumnya ditandai dengan kelemahan otot yang cukup parah bahkan sampai membutuhkan bantuan medis, dapat dialami oleh para pasien pada level IV). 5) Selanjutnya adalah level V, yang ditandai dengan adanya prognosis yang semakin memburuk dan ketidakmampuan pasien untuk dapat melakukan sesuatu sendiri sehingga membutuhkan keberadaan caregiver. Dengan demikian, semakin tinggi level penyakit MG maka akan semakin besar peluang bagi pasien MG untuk bisa mengalami krisis myasthenia bahkan kemungkinan yang terparah dapat mengakibatkan terjadinya
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis
dapat dibantu dengan meminta pasien
melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut: 1) Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit. 2) Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adalah sangat kecil.
10
3) Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yangjelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara
miastenia
gravis
yang
sesungguhnya
dengan
sindrom
miastenik.Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes,kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda,sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejalagejala sindrom miastenia.biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari
berhasil
diatasi.Tes
ini
dapatdikombinasikan
dengan
pemeriksaan EMG. 4) Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik. 5) Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
11
6) Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuscular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik (Sherwood, 2012)
2.8 Penatalaksaan
Manajemen terapi pada pasien Myasthenia Gravis harus disesuaikan dengan karakteristik dan berat ringannya penyakit yang dialami oleh pasien. Pendekatan managemen Myasthenia Gravis berdasarkan patofisiologinya yaitu dengan meningkatkan jumlah asetilkolin agar dapat berikatan dengan reseptor
di
daerah
post
sinaptik
dengan
menggunakan
inhibitor
asetilkolinesterase dan dengan menggunakan obat-obat immunosupresif sehingga menurunkan jumlah autoantibodi yang berikatan dengan reseptor asetilkolin. Empat prinsip dasar terapi Myasthenia Gravis yaitu: 1. Pengobatan
simptomatik
dengan
menggunakan
inhibitor
asetilkolinesterase. Obat lini pertama untuk pengobatan simptomatik adalah dengan menggunakan piridostigmin dengan dosis 15-30 mg setiap 4-6 jam, apabila tidak berespon dosis dapat ditingkatkan hingga 90 mg. 2. Pemberian immunomodulating jangka pendek dengan plasmapheresis dan immunoglobulin intravena. Terapi ini diberikan pada keadaan khusus yaitu pada krisis miastenik dan pada preoperatif timektomi atau operasi-operasi lain. Prinsip terapi dengan plasmapheresis adalah menghilangkan autoantibodi yang bersirkulasi, kompleks imun dan mediator-mediator inflamasi lainnya. Plasmapheresis dilakukan empat sampai enam kali setiap
selang
menginterferensi
sehari.
Immunoglobulin
ikatan Fc
reseptor
intravena dengan
bekerja
makrofag,
dengan reseptor
immunoglobulin dengan sel B dan pengenalan antigen oleh sel T. Immunoglobulin diberikan selama lima hari dengan dosis 0,4g/kg/hari. 3. Pemberian immunomodulating jangka panjang dengan glukokortikoid dan obat-obat immunosupresif lainnya. Prednison merupakan obat yang paling sering digunakan dengan dosis 0,75-1 mg/kg/hari atau dapat diberikan 60-
12
100 mg setiap selang sehari (alternate days). Dosis prednison pada Myasthenia Gravis okuler lebih rendah yaitu 20-40 mg .per hari. Obat immunosupresif lain yang dapat digunakan antara lain azathioprine, ciclosporin, cyclophosphamide, methrotrexate, mycophenolate mofetil, rituximab dan tacrolimus. 4. Terapi pembedahan (timektomi), penatalaksanaan ini dianjurkan pada pasien dengan timoma.
5. Penatalaksanaan nonfarmakologik pada pasien Myasthenia Gravis juga penting dilakukan yaitu dengan menghindari keadaan dan obat-obatan yang dapat mencetuskan Myasthenia Gravis. Rehabilitasi juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasti ( Febriana, Esa, & Bahrun, 2015)
2.9 Alogaitma Penanganan Miastenia Gravis ( Febriana, Esa, & Bahrun, 2015)
BAB III
13
2.10 Patway Miastenia Gravis
Gangguan autoimun, yang merusak rese tor asetilkolin, factor enetic/herediter Jumlah asetikolin pada membrane berkurang pada membrane Kerusakan pada transisi impuls saraf menuju sel sel otot karena kehilangan kemampuan dan hilangnya reseptor normal. MIASTENIA GRAVIS
Penurunan hubungan antar neuromuscular dan kelemahan pada otot
B1 (Breathiing)
B2 (Blood)
B3 (Brain)
B4 (Bledder
Kemampuan batuk efektif, terakumulasinya sputum
Terjadi peningkatan tekanan darah dan perubahan nadi
Terjadi gangguan pada 12 saraf kranial, reflek sensorik dan motorik
Terjadi penurunan pada produkdi urine
1.Ketidakefe ktifan bersihan jalan nafas
1. Resiko penurunan curah jantung
1.Kerusakank
retensi
omunikasi
urine
verbal
gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari
2. Disfagia
kebutuhan 3.gangguanp
2.Ketidakefe ktifan pola nafas
B5 (Bowel) Terjadina gangguan pada status nutrisi akibat keleman otot saat menelan terjadinya reflek muntah
2.intoleransi
resepsi
aktivitas
sensorik 4.ganggaun
citra tubuh
14
tubuh
B6 (Bone) Terjadi kelemahan pada otot2 ektermitas
Hamabatan mobilitas fisik
BAB IV KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1) Identitas klien Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun ( Arie , Adnyana, & Widyadharma, 2016) Usia perempuan memiliki presentase kejadian 73,3% sedangkan pada wanita 26,7%. dalam hal pekerjaan pasien dengan pengasilan di atas UMR sebnayak 57,3% sesuai UMR 25,3% dan di bawah UMR sebanyak 17,3%. ( Putri, Kariasa, & Dahlia, 2016) 2) Keluhan utama Yang sering menyebabkan miastenia gravis meminta pertolongan kesehatan sesuai dengan kondisi dari adanya penurunan atau kelemahan otot-otot dengan manifestasi diplopia (penglihatan ganda), ptosis (jatuhnya kelopoak mata,merupakan keluhan utama dari 90% klien miastenia gravis, disfonia (gangguan suara), masalah menelan, dan mengunyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utama biasanya adalah ketidak mampuan batuk efektif, dan dispnea. 3) Riwayat penyakit saat ini Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan klien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung.Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan lien tidak lagi membersihkan lendir dari trachea dan cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang dan terjadi kelemahan semua otot-otot rangka. Biasanya
gejala-gejala
miastenia
gravis
dapat
beristirahat dan memberikan obat anti kolinesterase.
15
diredakan
dengan
4) Riwayat penyakit dahulu Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang memper berat kondisi miastenia gravis seperti hipertensi dan diabetes militus. 5) Riwayat penyakit keluarga Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan dengan keluhan klien saat ini. 6) Pengkajian psiko-sosio- spiritual Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya kelemahan pada kelopak mata (ptosis), diplopia, dan kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri. 7) Pemeriksaan fisik Seperti telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisasi pada sekelompok otot tertentu saja. Karena perjalanan penyakitnya sangat berbeda pada masing-masing klien, maka, prognosisnya sulit ditentukan. a) B1 ( BREATHING) Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif,produksi sputum, sesak napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan sering didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan.Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi atau stridor pada klien menandakan adanya akumulasi sekret pada jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan. b) B2 (BLOOD) Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama
16
denyut nadi dan tekanan darah yang secara progrsif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya status pernapasan. c) B3 ( BRAIN ) Pengkajian B3 ( Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya. I. Tingkat kesadaran Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik. II. Fungsi serebral Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik yang mengalami perubahan seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi
Pemeriksaan saraf cranial i.
Saraf I. Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan
ii.
Saraf II. Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya penglihatan ganda.
iii. Saraf III, IV, dan VI. Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia mimik dari pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada saraf VI. iv.
Saraf V. Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah.
v.
Saraf VII. Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan motorik lidah / triple-furrowed lidah
vi.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
vii.
Saraf IX dan X. Ketidakmampuan dalam menelan.
17
viii. Saraf XI. Tidak ada otrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. ix.
Saraf XII. Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot motorik pada lidah / triple-furrowed lidah
III. Sistem motoric Karakteristek utama miastenia gravis adalah kelemahan dari systemMotorik. Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi aktivitas klien. IV. Pemeriksaan refleks Pemeriksaan refleks dalam, pengetuka pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respons normal. V. Sistem sensorik Pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan Tubuh. d) B4 ( BLADDER) Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. e) B5 ( BOWEL) Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan f)
B6 ( BONE ) Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri.
18
3.2 Diagnosa Keperawatan
1.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan secret
2.
Ketidakefektifan
pola
nafas
berhubungan
dengan
gangguan
neuromuscular 3.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
4.
Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan fisiologis
5.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh
3.3 Intervensi Keperawatan.
No
1.
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria
Intervensi ( NIC)
Keperawatan
Hasil(NOC)
Ketidakefektif
Tujuan :
an bersihan
Setelah di lakuakan
1. Pantau frekuensi
jalan nafas
tindakan keperawatan
kedalaman dan irama
berhubungan
selama.1.x 24 jam di
respirasi
dengan
harapkan jalan nafas
2. Monitor pola nafas
penumpukan
dapat paten.
pasien missal (bradypnea,
secret
Kriteria Hasil :
takiypnea)
Monitor pernafasan :
Status Pernafasan :
Manajemen jalan nafas:
Kepatenan jalan nafas.
.
Frekuensi dan irama
suara nafas tambahan
pernafasan dalam batas
.
normal
memaksimalkan ventilasi
Kemampuan untuk
yaitu semifowler.
mengeluarkan secret
.
Tidak ada suara nafas
pemberian bronkodilator.
tambahan
.
Tidak ada akumulasi
dada claping/ vibrasi
Auskultasi adanya
Berikan posisi untuk
Kolaborasi dalam
Lakukan fisioterapi
Manajemen ventilasi
sputum
Mekanik : Non I nvasif
19
1. Monitor kondisi yang memerlukan dukungan ventilasi Non Invasif 2. Konsultasikan dengan
tim medis professional lain dalam pemilihan jenis ventilatoryang sesuai dengan pasien 3. Mulai penggunaan ventilator 4. Observasi klien secara berkelanjutan pada jam pertama pengunaan ventilator untuk mengkaji toleran klien 5. pastikan alaram ventilator dalam keadaan hidup 6. Monitor aliran ventilator secara rutin termasuk suhu dan humidifayer udara 7. Periksa koneksi ventilator secara teratur 8.monitor efektifitas pemberian ventilator mekanik terhadap fisiologif pasien. 2
Ketidakefektif
Tujuan :
Terapi oksigen :
an pola nafas
Setelah di lakuakan
1.
berhubungan
tindakan keperawatan
oksigen dan berikan
dengan
selama1..x 24 jam di
melalui sistem
gangguan
harapkan pola nafas
humudifier
20
Siapkkan peralatan
neuromuskular
efektif
2.
Kriteria Hasil :
Berikan oksigen tambahan sesuai yang
Status pernafasan Frekuensi irama dan
diperintahkan. 3.
oksigen
kedalaman pernafasan 4.
secara normal
Monitor efektifitas terapi oksigen.
Jalan nafas paten Tidak adanya retraksi
Monitor aliran
5.
Pertahanakan kepatenan jalan nafas
dinding dada. Tidak ada dipneu dsaat
Phlebotomi :sample darah
istirahat ataupun istirahat
arteri
ringan.
1. Raba nadi
Tidak ada penggunaan
brakial/radialis
otot bantu nafas
2.Lakukan tes Allen
Tidak adanya pernafasan
sebelum pungsi nadi radial
cuping hidung.
3.bersihkan daerah dengan cairan antiseptic 4.Tarik sejumlah kecil cairan heparin dalam spuit 5.dapatkan 3-5 ml spesmen darah 6. labeli sample darah 7.Atur transpot ke laboratorium
3
Manajemen nutrisi :
Ketidakseimba
Tujuan :
ngan nutrisi
Setelah di lakuakan
. Kaji status nutrisi pasien
kurang dari
tindakan keperawatan
. Jaga kebersihan mulut
kebutuhan
selama..x 24 jam di
tubuh
harapkan kebutuhan
berhubungan
nutrisi terpenuhi.
tepat mengenai
dengan
Kriteria Hasil :
kebutuhan nutrisi pasien
ketidakmampu Status nutri si :
pasien . Berikan informasi yang
kepada keluarga
21
an mencerna
Intake nutrisi pasien
anajemen gangguan
makanan
tercukupi
akan. . Monitor intakedan output pasien secara tepat . Monitor berat badan pasien secara berkala . Diskusikan kepada pasien dan keluarga mengenai makanan yang di sukai . Kolaborasi dengan tim ahli gizi mengenai makanan yang sesuai dengan pasien. . Lakukan pemasangan NGT( Naso gastrig Tube) bila diperlukan.
4
Hambatan
Tujuan :
Peningkatan komunikasi
komunikasi
Setelah di lakuakan
: kurang bicara .
verbal
tindakan keperawatan
1. Monitor kecepatan
berhubungan
selama.2.x 24 jam di
bicara, tekanan ,
dengan
harapkan pasien dapat
kecepatan ,dan
gangguan
berkomunikasi dengan
kuantitas , volume
fisiologis
baik.
suara.
Kriteria Hasil :
2. Sediakan metode
Komunikasi :
alternatif menulis atau
mengekpresikan :
membaca dengan cara
Dapat menggunakan
bahasa non verbal.
Dapat berbicara dengan
yang tepat. 3. Intruksikan pasien untuk bicara pelan. 4. Modifikasi lingkungan
jelas.
22
Dapat mengguanakn
untuk bisa menimalkan
bahasa isyarat.
kebisingan yang
berlebihan.
Komunikasi :
5. Kolaborasi bersam
penerimaan
Dapat
keluarrga dan ahli
menginterpretasi
terapis.
bahasa isyarat .
6. Ulangi apa yang
Dapat mengenali
disampaikan pasien
pesan yang diterima.
untuk menjamin akurasi 7. Gunakan penerjamah jika dibutuhkan.
5
Gangguan citra
Tujuan :
Peningkatan citra tubuh :
tubuh
Setelah di lakuakan
. Membantu pasien untuk
berhubungan
tindakan keperawatan
mendiskusikan
dengan
selama.3.x 24 jam di
perubahan perubahan
perubahan
harapkan pasien dapat
(bagian tubuh)
fungsi tubuh.
beradaptasi terhadap
disebabkan adanya
perubahan fisik yang
penyakit atau
dialami.
pembedahan, dengan
Kriteria Hasil :
cara yang tepat.
Adaptasi terhadap disabilitas fisik :
. Mebantu pasien untuk mengidentifikasi bagian
Beradaptasi terhadap
dari tubuhnya yang
keterbatasan secara
memiliki persepsi positif
fungsional.
terkait dengan tubuhnya.
Menggunakan strategi
. Membantu pasien untuk
untuk mengurangi
mengidentifikasi
stress yag
tindakan tindakan yang
berhubungan dengan
akan meningkatkan
disabilitas.
penampilan. . Menentukan persepsi
Melaporkan
23
peningkatan dalam
pasien dan keluarga
kenyamanan
terkait dengan perubahan
psikologis.
citra diri dan realitas.
Menyampaikan secara lisan kemampuan untuk menyesuaikan terhadap disabilitas .
(Herdman & Kamitsuru, 2015) (Bulechek, Dochterman, Butcher, & Wagner, 2013) (Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2013)
24
BAB 1V PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang bekerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter). Karekteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umunya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial. Miastenia gravis di sebabkan oleh gangguan autoimun dan gangguan genetic.Miastenia gravis di klasifikasikan menjadi 4 macam. Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu: krisis miastenik dan krisis kolinergik. Manifestasi klinis yang muncul pada miastenia gravis yaitu ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan. Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari, untuk menegakakn diagnose dapat di lakukan pemeriksaan diagnostik berupa: Antibodi anti-reseptor asetilkolin, Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi), Tes tensilon (edrofonium klorida), Tes Wartenberg, Tes prostigmin, Penatalaksasanaan yang di lakukan
yaitu
Antikolinesterase, Steroid, Azatioprin, dan Timektomi, Plasmaferesis.
4.2 Saran
Seperti pada makalah lainnya pada umumnya sudah pasti tidak lepas dari yang namanya kritik dan kesalahan dalam pembuatan dan penulisannya. Ini semua dikarenakan keterbatasan kemampuan penyusun dalam menyusun makalah
ini.
Namun
penyusun
akan
berjanji
dan
berusaha
untuk
memperbaikikesalahan dalam pembuatan makalah. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dalam pembuatan makalh yang selanjutnya dapat lebih baik lagi. Penyusun siap menerima kritik dan saran yanng diberikan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Arie , A. G., Adnyana, M. O., & Widyadharma, I. P. (2016). DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA MIASTENIA GRAVIS. Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran. Arpandy, G. A., & Halim, M. (2013). GAMBARAN ASPEK KOGNITIF DAN KEPRIBADIAN PASIEN MYASTHENIA GRAVIS. Jurnal Psikogenesis. Vol. 2, No. 1. Chairunnisa, N. H., Zanariah, Z., Saputra, O., & Karyanto. (2016). Myasthenia gravis pada Pasien Laki-laki 39 Tahun dengan Sesak Napas. J Med ula Unila|Volume 6|Nomor 1|. Febriana, S., Esa, T., & Bahrun, U. (2015). MYASTHENIA GRAVIS. Referat Imunologi. Handayani, S. R., & Indriati, A. K. (2015). KARAKTERISTIK KLINIS PASIEN MYASTHENIA GRAVIS DI PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO. Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran. Putri, T. A., Kariasa, M., & Dahlia, D. (2016). GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN MIASTENIA GRAVIS DI PULAU JAWA. Jurnal Kesehatan Bakti Husada Vol 3 No 1. Bulechek, G. M., Dochterman, J. M., Butcher, H. K., & Wagner, M. C. (2013). Nursing Interventions Classification. Indonesia: Mocomedia. Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). Indonesia: Mocomedia. Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia Neuromuskular. Jakarta: EGC.
dari
sel
ke
sistem
In:Taut