MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
BERBASIS PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu
Mata Kuliah Pendidikan IPS SD
Oleh:
RANI OCTAVIA KHOERUNNISA
12.22.1.0366
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS PENDIDIKAN DASAR
UNIVERSITAS MAJALENGKA
2013/2014
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
BERBASIS PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
Pandangan dari berbagai macam model pembelajaran bahwa dalam proses belajar siswa adalah pelaku aktif kegiatan belajar dengan membangun sendiri pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya.
Beberapa model pembelajaran yang didasarkan pada konstruktivisme:
1. Discovery Learning
Jerome Bruner (Slavin,1994), yaitu siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri. Siswa belajar aktif melalui aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mempunyai pengalaman-pengalaman dan menghubungkan pengalaman-pengalaman tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip bagi diri mereka sendiri. Discovery learning memiliki beberapa keuntungan dalam belajar, antara lain siswa memiliki kontroversi dari dalam diri sendiri untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai mereka menemukan jawaban-jawaban atas problem yang dihadapi mereka. Siswa juga belajar untuk mandiri dalam memecahkan problem dan memiliki ketrampilan berpikir kritis, karena mereka harus menganalisis dan mengelola informasi.
2. Reception Learning
David Ausable (Slavin, 1994) memberikan kritik terhadap discovery learning. Dia beragumen bahwa siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relevan, dan beberapa siswa membutuhkan motivasi eksternal untuk mempelajari apa yang diajarkan disekolah.
Walaupun peran guru dalam discovering learning dan receptioning berbeda, tapi keduanya memiliki kesamaan:
Antara reception learning dan discovery learning, sama-sama membutuhkan keaktifan siswa dalam belajar.
Kedua pendekatan tersebut menekankan cara-cara bagaimana pengetahuan siswa yang sudah ada menjadi bagian dari pengetahuan baru.
Kedua pendekatan sama-sama mengasumsikan pengetahuan sebagai suatu yang dapat berubah terus.
Teori resepsi ini menyatakan bahwa guru mempunyai tugas untuk menyusun situasi pembelajaran, memilih materi yang sesuai bagi siswa, kemudian merepresentasikan dengan baik pelajaran yang dimulai dari umum ke yang spesifik. Inti dari pendekatan reception learning adalah expository learning, yaitu perencanaan pembelajaran yang sistematis terhadap informasi yang bermakna.
Pengajaran ekspository (expository teaching) berisi tiga tahapan pembelajaran, yaitu:
Tahap pertama, advance organizer. Secara umum belajar secara maksimal terjadi bila ada potensi kesesuaian antara skema yang dimiliki siswa dengan materi atau informasi yang akan dipelajarinya. Agar terjadi kesesuaian tersebut, Ausabel (Woolfolk, 1995) menyarankan sebuah strategi yang disebut dengan advance organizer, yaitu sebuah statemen perkenalan yang menghubungkan antara skema yang sudah dimiliki oleh siswa dengan informasi baru yang akan dipelajari. Fungsi dari advance organizer ini adalah memberi bimbingan untuk memahami informasi yang baru. Dengan kata lain, advance organizer ini dapat menjadi jembatan antara materi pelajaran atau informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa. Tujuan advance organizer ada tiga: yaitu memberi arahan bagi siswa untuk mengetahui apa yang terpenting dari materi yang akan dipelajarinya; men-highlight di antara hubungan-hubungan yang akan dipelajari; dan memberikan penguatan terhadap pengetahuan yang diperoleh/dipelajari.
Tahap kedua, menyampaikan tugas-tugas belajar. Setelah pemberian advance organizer, langkah berikutnya adalah menyampaikan persamaan dan perbedaan dengan contoh yang sederhana. Untuk belajar sesuatu yang baru, siswa tidak harus melihat hanya persamaan antara materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Lebih dari itu, siswa juga perlu melihat perbedaannya. Dengan demikian tidak terjadi kebingungan ketika siswa mempelajari materi yang baru dengan pengetahuan yang sudah ada. Untuk membantu siswa memahami persamaan dan perbedaan ini dapat digunakan berbagai cara, antara lain cara ceramah, diskusi, film-film, atau tugas-tugas belajar.
Tahap ketiga, penguatan organisasi kognitif. Pada tahap ini, Ausabel menyatakan bahwa guru mencoba untuk menambahkan informasi baru ke dalam informasi yang sudah dimiliki oleh siswa pada awal pelajaran dimulai dengan membantu siswa untuk mengamati bagaimana setiap detail dari informasi berkaitan dengan informasi yang lebih besar atau lebih umum. Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pemahamannya tentang informasi apa yang baru mereka pelajari.
3. Assisted Learning
Assisted Learning mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan individu. Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui interaksi dan percakapan seorang anak dengan lingkungan di sekitarnya. Orang lain disebut sebagai pembimbing atau guru. Pada umumnya bimbingan ini dikomunikasikan melalui bahasa.
Jerome Bruner menyebut bantuan orang dewasa dalam proses belajar anak dengan istilah scaffolding, yaitu sebuah dukungan untuk belajar dan memecahkan problem. Dukungan dapat berupa isyarat-isyarat, peringatan-peringatan, dorongan, memecahkan problem dalam beberapa tahap, memberikan contoh atau segala sesuatu yang mendorong seorang siswa untuk tumbuh dan menjadi pelajar yang mandiri dalam memecahkan problem yang dihadapinya.
Menurut Vygotsky, interaksi sosial dan bantuan belajar lebih dari sekedar metode mengajar, keduanya merupakan sumber terjadinya proses-proses mental yang lebih tinggi seperti misalnya memecahkan problem, mengarahkan memori dan perhatian, berpikir dengan simbol-simbol. Dia mengasumsikan bahwa pandangan tentang fungsi mental sepatutnya dapat diaplikasikan dalam kelompok seperti bentuk-bentuk aktifitas individual.
Dalam belajar dengan bantuan ini, guru adalah seseorang agen budaya yang dengan bimbingan dan pengajarannya siswa dapat menginternalisasi dan menguasai ketrampilan yang membutuhkan fungsi kognitif yang lebih tinggi. Secara teknis, scaffolding dalam belajar adalah membantu siswa pada awal belajar untuk mencapai pemahaman dan ketrampilan dan secara berlahan-lahan bantuan tersebut dikurangi sampai akhirnya siswa dapat belajar mandiri dan menemukan pemecahan bagi tugas-tugasnya.
4. Active Learning
Active learning artinya pembelajaran aktif. Menurut Melvin L. Silberman, belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. (Silberman, 1996).
Menurut Silberman, cara belajar dengan cara mendengarkan akan lupa, dengan cara mendengarkan da melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan melihat dan mendiskusikan dengan siswa lain siswa akan paham, dengan cara mendengar melihat diskusi dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan , dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan.
Hasil pengembangan dari pernyataan Confisius ini oleh Silberman diabadikan dengan kredo:
What I hear, I forget
What I hear and see, I remember a little
What I hear, see, and ask question about or discuss with someone else, I begin to understand
What I hear, see, discuss, and do, I acquire knowledge and skill
What I teach to another, I master
Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang hampir dapat diterapkan untuk semua pelajaran.
5. The Accelerated Learning
The Accelerated Learning adalah pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung sangat cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier, menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual artinya learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Namun, semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif (DePorter, Hemacki, 2000).
6. Quantum Learning
Quantum didefinisikan sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Semua kehidupan adalah energi. Sedang learning artinya belajar. Dengan demikian, Quantum learning adalah cara penggubahan bermacam-macam interaksi, hubungan, dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar (Bobby DePorter dan Mike Hernacki, 2000). Dalam prakteknya, quantum learnig menggunakan suggestologi, teknik pemercepatan belajar, dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu (Bobby DePorter dan Mike Hernacki,2000).
Quantum Learning mengasumsikan bahwa siswa, jika mampu menggunakan potensi nalar dan potensi yang tidak bisa terduga sebelumnya.
Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah bahwa belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih lebar dan terekam dengan baik.
Quantum learning memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi menjadi suatu yang integral.
Dalam praktik, quantum learning bersandang pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka. Dengan demikian, pembelajaran merupakan kegiatan full contact yang melibatkan sesuai aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) disamping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa depan. Semua ini harus dikelola sampai mencapai harmoni.
Setiap detail mencerminkan suatu lingkungan kelas yang bertaburan isyarat yang disadari atau tidak, akan diikuti oleh siswa.
7. Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari hari.
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi lebih dipentingkan daripada hasil (Nurhadi, Yasin, Burhan, Senduk, A Gerad, 2004).
Tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas.
Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivisme), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Pendekatan ini dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Penerapan CTL:
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya;
Langsungkan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik;
Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya;
Ciptakan 'masyarakat belajar' (belajar dalam kelompok-kelompok);
Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran;
Lakukan refleksi di akhir pertemuan;
Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Sekolah yang baik menurut Dryden dan Vos, adalah sekolah tanpa kegagalan. Semua siswa teridentifikasi bakat, ketrampilan, dan kecerdasannya, sehingga memungkinkan mereka menjadi apa saja yang mereka inginkan.
Setiap siswa memiliki gaya belajar yang unik, dan sekolah seharusnya dapat melayaninya.
Macam-macam gaya belajar: visual (melihat diagram dan gambar), sebagian menggunakan indera perasa (haptic), menggerakkan tubuh (kinestetik), orientasi membaca buku (teks tercetak), dan kelompok interaktif (berinteraksi dengan siswa yang lain).
Humanizing the classroom yang menghargai adanya perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh siswa, experiental learning (dikembangkan David Kolb) sangat memperhatikan adanya perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Experiental learning juga didasarkan pada pengalaman. Kedua model belajar tersebut mempunyai konsep bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dari memahami dan mentransformasi pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
G.P, Fransiska. (2011). Teori Belajar Kontruktivisme.
[Online] Tersedia : http://chezz-coco.blogspot.com/2011/03/teori-belajar-konstruktivisme.html
(18 April 2014)