Modul Belajar dan Pembelajaran Disusun Oleh: Novianti Mandasari, M.pd. Mat Untuk Mahasiswa STKIP PGRI Lubuk linggau
BAB I HAKEKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN A.
PENGERTIAN BELAJAR DAN PEMBELAJARAN 1.
Pengertian Belajar Pengertian belajar dapat kita temukan diberbagai sumber atau literatur. Meskipun kita melihat ada perbedaan-perbedaan di dalam rumusan pengertian belajar tersebut dari masing-masing ahli, namun secara prinsip kita menemukan kesamaan-kesamaannya. Burton, dalam sebuah buku “The Guidance of Learning Activities”, merumuskan pengertian belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam pengertian yang umum dan sederhana belajar seringkali diartikan sebagai aktivitas untuk memperoleh pengetahuan. Belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap. Kemampuan orang untuk belajar menjadi ciri penting yang membedakan jenisnya dari jenis-jenis makhluk yang lain. Dalam konteks ini seseorang dikatakan belajar bilamana terjadi perubahan, dari sebelumnya tidak mengetahui sesuatu menjadi mengetahui. Hampir semua ahli telah merumuskan dan membuat tafsirannya tentang “belajar”. Seringkali pula perumusan dan tafsirannya itu berbeda satu sama lain. Dalam uraian ini kita akan berkenalan dengan beberapa perumusan saja, guna melengkapi dan memperluas pandangan kita tentang mengajar. “belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman” (Hamalik, 2005:36). Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari pada itu, yaitu mengalami hasil
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
2
belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan. Sejalan dengan perumusan di atas, ada pula tafsiran lain tentang belajar, yang menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Dari beberapa pengertian tersebut, maka jelas tujuan belajar itu prinsipnya sama, yakni perubahan tingkah laku, hanya berbeda cara atau usaha yang dilakukan untuk pencapaiannya. Pengertian ini menitik beratkan pada interaksi antara individu dengan lingkungan. Di dalam interaksi inilah terjadi serangkaian pengalaman belajar. Sebagai landasan pembahasan mengenai apa yang dimaksud dengan
belajar,
berikut
ini
beberapa
definisi
belajar
yang
dikemukakan oleh Drs. M. Ngalim Purwanto (1996), yaitu: a.
Hilgard dan Bower, dalam buku Theories of Learning. “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaankeadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya)”.
b.
Robert M. Gagne, dalam buku The Conditions of Learning. “Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi”.
c.
Morgan, dalam buku Introduction to Psychology. “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman”.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
3
d.
H.C. Witherington, dalam buku Educational Psychology. Mengemukakan bahwa “Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru
dari
reaksi
berupa
kecakapan,
sikap,
kebiasaan,
kepribadian atau suatu pengertian”. Adapun pengertian belajar menurut beberapa para ahli yang lain (dikutip Bahri, 1999) di antaranya: a.
James O. Whittaker, “Belajar adalah Proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman”.
b.
Winkel, “Belajar adalah aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan
perubahan-perubahan
dalam
pengetahuan,
pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap”. c.
Cronchbach, “Belajar adalah suatu aktifitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman”.
d.
Howard L. Kingskey, “Belajar adalah proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan”.
e.
Drs. Slameto, “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri di dalam interaksi dengan lingkungannya”.
f.
R. Gagne, “Belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan dan tingkah laku”.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa: a.
Situasi belajar harus bertujuan dan tujuan-tujuan itu diterima baik oleh masyarakat. Tujuan merupakan salah satu aspek dari situasi belajar.
b.
Tujuan dan maksud belajar timbul dari kehidupan anak sendiri.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
4
c.
Di dalam mencapai tujuan itu, siswa senantiasa akan menemui kesulitan,
rintangan-rintangan
dan
situasi
yang
tidak
menyenangkan. d.
Hasil belajar yang utama adalah pola tingkah laku yang bulat.
e.
Proses belajar terutama mengerjakan hal-hal yang sebenarnya. Belajar apa yang diperbuat dan mengerjakan apa yang dipelajari.
f.
Kegiatan-kegiatan dan hasil-hasil belajar dipersatukan dan dihubungkan dengan tujuan dalam situasi belajar.
g.
Siswa memberikan reaksi secara keseluruhan.
h.
Siswa diarahkan dan dibantu oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan itu.
i.
Siswa diarahkan ke tujuan-tujuan lain, baik yang berkaitan maupun yang tidak berkaitan dengan tujuan utama dalam situasi belajar.
2.
Pengertian Pembelajaran Menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Prinsip dalam pembelajaran adalah memotivasi dan memberikan fasilitas kepada siswa agar dapat belajar sendiri. Semakin banyak alat deria atau indera yang diaktifkan dalam kegiatan belajar, semakin banyak informasi yang terserap (Gintings, 2010). Secara umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan pengertian demikian, maka pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik (Darsono, 2000: 24). Adapun yang dimaksud dengan proses pembelajaran adalah sarana dan cara bagaimana suatu generasi belajar, atau dengan kata lain bagaimana sarana belajar itu secara efektif digunakan. Hal ini
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
5
tentu berbeda dengan proses belajar yang diartikan sebagai cara bagaimana para pembelajar itu memiliki dan mengakses isi pelajaran itu sendiri (Tilaar, 2002: 128). Terlihat dari pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa pembelajaran membutuhkan hubungan dialogis yang sungguhsungguh antara guru dan peserta didik, dimana penekanannya adalah pada proses pembelajaran oleh peserta didik (student of learning), dan bukan pengajaran oleh guru (teacher of teaching) (Suryosubroto, 1997: 34). Konsep seperti ini membawa konsekuensi kepada fokus pembelajaran yang lebih ditekankan pada keaktifan peserta didik sehingga proses yang terjadi dapat menjelaskan sejauh mana tujuantujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh peserta didik. Keaktifan peserta didik ini tidak hanya dituntut secara fisik saja, tetapi juga dari segi kejiwaan. Apabila hanya fisik peserta didik saja yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya dengan peserta didik tidak belajar, karena peserta didik tidak merasakan perubahan di dalam dirinya (Fathurrohman & Sutikno, 2007: 9). Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dan tugas guru adalah mengkoordinasikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai usaha sadar pendidik untuk membantu peserta didik agar mereka dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. Disini pendidik berperan sebagai fasilitator yang menyediakan fasilitas dan menciptakan situasi yang mendukung peningkatan kemampuan belajar peserta didik. Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
6
yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga labolatorium. Material, meliputi buku-buku, papan tulis dan kapur, fotografi, slide dan film, audio dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian, dan sebagainya (Hamalik, 2005: 57). Rumusan tersebut tidak terbatas dalam ruang saja. Sistem pembelajaran dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, belajar di kelas atau di sekolah, karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara
berbagai
komponen
yang
saling
berkaitan,
untuk
membelajarkan peserta didik. B.
MAKNA BELAJAR DAN PEMBELAJARAN Dalam aktivitas kehidupan manusia sehari-hari hampir tidak pernah dapat terlepas dari kegiatan belajar, baik ketika seseorang melaksanakan aktivitas sendiri, maupun di dalam suatu kelompok tertentu. Dipahami ataupun tidak dipahami, sesungguhnya sebagian besar aktivitas di dalam kehidupan sehari-hari kita merupakan kegiatan belajar. Dengan demikian dapat kita katakan, tidak ada ruang dan waktu di mana manusia dapat melepaskan dirinya dari kegiatan belajar, dan itu berarti pula bahwa belajar tidak pernah dibatasi usia, tempat maupun waktu, karena perubahan yang menuntut terjadinya aktivitas belajar itu juga tidak pernah berhenti. Ada beberapa terminologi yang terkait dengan belajar yang seringkali menimbulkan keraguan dalam penggunaannya terutama di kalangan siswa atau mahasiswa, yakni terminologi tentang mengajar, pembelajaran dan belajar. Oleh karena itu, untuk mendalami hakikat belajar pada bagian ini ada baiknya terlebih dahulu kita bahas secara singkat beberapa istilah ini. Meskipun belajar, mengajar dan pembelajaran menunjuk kepada aktivitas yang berbeda, namun keduanya bermuara pada tujuan yang sama. Belajar
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
7
mungkin saja terjadi tanpa pembelajaran, namun pengaruh aktivitas pembelajaran dalam belajar hasilnya lebih sering menguntungkan dan biasanya lebih mudah diamati. Mengajar diartikan sebagai suatu keadaan atau suatu aktivitas untuk menciptakan suatu situasi yang mampu mendorong siswa untuk belajar. Situasi ini tidak harus berupa transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa saja, akan tetapi dapat dengan cara lain misalnya belajar melalui media pembelajaran yang sudah disiapkan. Dalam berbagai kajian dikemukakan bahwa instruction atau pembelajaran sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mendukung dan mempengaruhi terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Sepintas pengertian mengajar hampir sama dengan pembelajaran, namun pada dasarnya berbeda. Dalam pembelajaran, situasi atau kondisi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh guru. Yang penting kita cermati kembali dalam keseharian di sekolah-sekolah, istilah pembelajaran atau proses pembelajaran sering dipahami sama dengan proses belajar mengajar dimana di dalamnya terjadi interaksi guru dan siswa dan antara sesama siswa untuk mencapai tujuan yaitu terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku siswa. Pembelajaran berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum terdidik, menjadi siswa yang terdidik, siswa yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu, menjadi siswa yang memiliki pengetahuan. Demikian pula siswa yang memiliki sikap, kebiasaan atau tingkah laku yang belum mencerminkan eksistensi dirinya sebagai pribadi baik atau positif, menjadi siswa yang memiliki sikap kebiasaan dan tingkah laku yang baik. Sebenarnya belajar dapat saja terjadi tanpa pembelajaran, namun hasil belajar akan tampak jelas dari suatu aktivitas pembelajaran. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan terjadinya proses belajar dalam diri siswa. Seseorang dikatakan telah mengalami proses belajar apabila di dalam
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
8
dirinya telah terjadi perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran, hasil belajar dapat dilihat secara langsung. Oleh sebab itu agar dapat dikontrol dan berkembang secara optimal melalui proses pembelajaran di kelas, maka program pembelajaran tersebut harus dirancang terlebih dahulu oleh guru dengan memperhatikan berbagai prinsip yang telah terbukti keunggulannya secara empirik. Sebagaimana telah kita bahas bersama sebelumnya bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Definisi ini menyangkut tiga unsure, yaitu: 1)
Belajar adalah perubahan tingkah laku.
2)
Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena latihan atau pengalaman.
3)
Perubahan tingkah laku tersebut relatif permanen atau tetap ada untuk waktu yang cukup lama. Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di sekolah. Belajar
merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas belajar tersebut dapat di pandang dari dua subjek, yaitu dari siswa dan guru. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu proses. Siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar. Bahan belajar tersebut berupa keadaan alam, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia, dan bahan yang telah terhimpun dalam buku-buku pelajaran. Dari segi guru, proses belajar tersebut tampak sebagai perilaku belajar tentang sesuatu hal. Belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental, yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dari segi guru proses belajar tersebut diamati, akan tetapi dapat dipahami oleh guru. Proses belajar tersebut tampak melalui perilaku siswa mempelajari bahan belajar. Perilaku belajar tersebut merupakan respons siswa terhadap tindakan mengajar atau
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
9
tindakan pembelajaran dari guru. Perilaku belajar tersebut ada hubungannya dengan desain instruksional guru, karena di dalam desain instruksional, guru membuat tujuan instruksional khusus atau sasaran belajar. Untuk memahami secara spesifik tentang perubahan tingkah laku sebagai akibat terjadinya proses belajar ini, beberapa ahli memilah perilaku individu dalam tiga kawasan atau ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. 1.
Ranah kognitif, terdiri dari enam jenis perilaku, yaitu: a.
Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan tentang hal-hal yang telah dipelajari dan tersimpan di dalam ingatan. Pengetahuan tersebut dapat berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip, atau metode.
b.
Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap sari dan makna hal-hal yang dipelajari.
c.
Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode, kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Perilaku ini misalnya tampak dalam kemampuan menggunakan prinsip.
d.
Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.
e.
Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru, misalnya tampak di dalam kemampuan menyusun suatu program kerja.
f.
Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. Sebagai contoh kemampuan menilai hasil karangan.
2.
Ranah afektif, terdiri 5 jenis perilaku, yaitu: a.
Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dan kesediaan memperhatikan hal tersebut.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
10
b.
Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam suatu keadaan.
c.
Penilaian dan penetuan sikap, yang mencakup penerimaan terhadap suatu nilai, menghargai, mengakui, dan menentukan sikap.
d.
Organisasi, yang mencakup kemampuan membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan hidup.
e.
Pembentukan
pola
hidup,
yang
mencakup
kemampuan
menghayati nilai, dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi. 3.
Ranah psikomotor, terdiri dari tujuh perilaku atau kemampuan motorik, yaitu: a.
Persepsi, yang mencakup kemampuan memilah-milahkan (mendeskripsikan) sesuatu secara khusus dan menyadari adanya perbedaan antara sesuatu tersebut. Sebagai contoh pemilahan warna, pemilahan angka (6 dan 9), pemilahan huruf (b dan d).
b.
Kesiapan, yang mencakup kemampuan menempatkan diri dalam suatu keadaan dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan, kemampuan ini mencakup aktivitas jasmani dan rohani (mental), misalnya posisi start lomba lari.
c.
Gerakan terbimbing, mencakup kemampuan melakukan gerakan sesuai contoh, atau gerakan peniruan. Misalnya meniru gerakan tari, membuat lingkaran di atas pola.
d.
Gerakan terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakangerakan tanpa contoh. Misalnya melakukan lempar peluru, lompat tinggi, dan sebagainya dengan tepat.
e.
Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan gerakan atau keterampilan yang terdiri dari banyak tahap secara lancar, efisien dan tepat. Misalnya, bongkar pasang peralatan secara tepat.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
11
f.
Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berlaku. Misalnya kemampuan atau keterampilan bertanding dengan lawan tanding.
g.
Kreativitas, mencakup kemampuan melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru atas dasar prakarsa sendiri. Misalnya kemampuan membuat kreasi-kreasi gerakan senam sendiri, gerakan-gerakan tarian kreasi baru. Ketiga ranah tersebut sesungguhnya bukan merupakan bagian yang
terpisah, akan tetapi memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Masingmasing ranah tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam bagian-bagian yang lebih spesifik yang disebut hierarki perilaku belajar atau hierarki tujuan belajar. C.
CIRI-CIRI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN 1.
Ciri-ciri Belajar Berdasarkan pengertian belajar di atas, maka pada hakikatnya “Belajar menunjuk ke perubahan dalam tingkah laku si subjek dalam situasi tertentu berkat pengalamannya yang berulang-ulang, dan perubahan tingkah laku tersebut tak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan-kecenderungan respons bawaan, kematangan atau keadaan
temporer
dari
subjek
(misalnya
keletihan,
dsb)”,
dikemukakan oleh Hilgard dan Gordon (dikutip Hamalik, 2005). Dengan pengertian tersebut ternyata belajar sesungguhnya memiliki ciri-ciri (karakteristik) tertentu: a.
Belajar berbeda dengan kematangan Pertumbuhan merupakan saingan utama sebagai pengubah tingkah laku. Bila serangkaian tingkah laku matang melalui secara wajar tanpa adanya pengaruh dari latihan, maka dikatakan bahwa perkembangan itu adalah berkat kematangan dan bukan karena belajar. Bila prosedur latihan tidak secara
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
12
cepat mengubah tingkah laku, maka berarti prosedur tersebut bukan penyebab yang penting dan perubahan-perubahan tak dapat diklasifikasikan sebagai belajar. Memang banyak perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh kematangan, tetapi juga tidak sedikit perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh interaksi antara kematangan dan belajar, yang berlangsung dalam proses yang rumit. Misalnya anak mengalami kematangan untuk berbicara, kemudian berkat pengaruh percakapan masyarakat di sekitarnya, maka dia dapat berbicara tepat pada waktunya. b.
Belajar dibedakan dari perubahan fisik dan mental Perubahan tingkah laku juga dapat terjadi disebabkan oleh terjadinya perubahan pada fisik dan mental karena melakukan suatu perbuatan berulangkali yang mengakibatkan badan menjadi letih/lelah. Sakit atau kurang gizi juga dapat mempengaruhi tingkah laku atau karena mengalami kecelakaan tetapi hal ini tak dapat dinyatakan sebagai hasil perbuatan belajar. Gejala-gejala seperti kelelahan mental, konsentrasi menjadi berkurang, melemahnya ingatan, terjadinya kejenuhan, semua dapat menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku, misalnya berhenti belajar, menjadi bingung, rasa kegagalan, dan sebagainya. Tetapi perubahan tingkah laku tersebut tak dapat digolongkan sebagai belajar. Jadi, perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh perubahan fisik dan mental.
c.
Ciri belajar yang hasilnya relatif menetap Hasil belajar dalam bentuk perubahan tingkah laku. Belajar berlangsung dalam bentuk latihan dan pengalaman. Tingkah laku yang dihasilkan bersifat menetap dan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Tingkah laku itu berupa perilaku yang nyata dan dapat diamati. Misalnya, seseorang bukan hanya
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
13
mengetahui sesuatu yang perlu diperbuat, melainkan juga melakukan perbuatan itu sendiri secara nyata. Jadi, istilah menetap dalam hal ini, bahwa perilaku itu dikuasai secara menetap. Kemantapan ini berkat latihan dan pengalaman. 2.
Ciri-ciri Pembelajaran Ada tiga ciri khas yang terdapat dalam sistem pembelajaran, yaitu: a.
Rencana, ialah penataan ketenagaan, material, dan prosedur, yang merupakan unsur-unsur sistem pembelajaran, dalam suatu rencana khusus.
b.
Kesalingtergantungan, antara unsur-unsur sistem pembelajaran yang serasi dalam suatu keseluruhan. Tiap unsur bersifat esensial, dan masing-masing memberikan sumbangannya kepada sistem pembelajaran.
c.
Tujuan, sistem pembelajaran memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai. Ciri ini menjadi dasar perbedaan antara sistem yang dibuat oleh manusia dan sistem yang alami. Sistem yang dibuat oleh manusia, seperti: sistem transportasi, sistem komunikasi, sistem pemerintahan, semuanya memiliki tujuan. Sistem alami, seperti: sistem ekologi, sistem kehidupan hewan, memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain, disusun sesuai dengan rencana tertentu, tetapi tidak mempunyai tujuan tertentu. Tujuan sistem menuntun proses merancang sistem. Tujuan utama sistem pembelajaran agar siswa belajar. Tugas seorang perancang sistem ialah mengorganisasi tenaga, material, dan prosedur agar siswa belajar secara efisien dan efektif. Dengan proses mendesain sistem pembelajaran si perancang membuat rancangan untuk memberikan kemudahan dalam upaya mencapai tujuan sitem pembelajaran tersebut.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
14
Selanjutnya ciri-ciri pembelajaran lebih detail adalah sebagai berikut: a.
Memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk siswa dalam suatu perkembangan tertentu.
b.
Terdapat mekanisme, prosedur, langkah-langkah, metode dan teknik yang direncanakan dan didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
c.
Fokus materi ajar, terarah, dan terencana dengan baik.
d.
Adanya aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungya kegiatan pembelajaran.
e.
Aktor guru yang cermat dan tepat.
f.
Terdapat pola aturan yang ditaati guru dan siswa dalam proporsi masing-masing.
D.
g.
Limit waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
h.
Evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi produk.
TUJUAN BELAJAR DAN PEMBELAJARAN 1.
Tujuan Belajar Tujuan belajar pada hakekatnya adalah rumusan tentang perilaku hasil belajar (kognitif, psikomotor, dan afektif) yang diharapkan untuk dimiliki (dikuasai) oleh si pelajar setelah si pelajar mengalami proses belajar dalam jangka waktu tertentu. Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap yang baru, yang diharapkan tercapai oleh siswa. Tujuan belajar adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsungnya proses belajar. Tujuan belajar merupakan cara yang akurat untuk menentukan hasil pembelajaran. Tujuan pembelajaran dan tujuan belajar berbeda, namun saling berkaitan satu sama lain.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
15
Tujuan belajar terdiri dari tiga komponen, yaitu: a.
Tingkah laku terminal, adalah komponen tujuan belajar yang menentukan tingkah laku siswa setelah belajar. Tingkah laku itu merupakan bagian dari tujuan yang menunjuk pada hasil yang diharapkan dalam belajar, apa yang dapat dikerjakan/dilakukan oleh siswa untuk menunjukkan bahwa dia telah mencapai tujuan. Tingkah laku ini dapat diterima sebagai bukti bahwa siswa telah belajar.
b.
Kondisi-kondisi tes, menentukan situasi dimana siswa dituntut untuk mempertunjukkan tingkah laku terminal. Kondisi-kondisi tersebut perlu disiapkan oleh guru, karena sering terjadi ulangan/ujian yang diberikan oleh guru tidak sesuai dengan materi yang telah disampaikan sebelumnya, peristiwa ini terjadi akibat kelalaian guru yang tidak memiliki konsep yang jelas tentang cara menilai hasil belajar siswa sebelum dia melakukan pembelajaran.
c.
Ukuran-ukuran perilaku, merupakan suatu pernyataan tentang pikiran yang digunakan untuk membuat pertimbangan mengenai perilaku siswa. Suatu ukuran menentukan tingkat minimal perilaku yang dapat diterima sebagai bukti bahwa siswa telah mencapai tujuan, misalnya: siswa telah dapat memecahkan suatu masalah dalam waktu 10 menit, siswa dapat melakukan prosedur kerja tertentu, dan sebagainya. Ukuran perilaku tersebut
merupakan
kriteria
untuk
mempertimbangkan
keberhasilan pada tingkah laku terminal. 2.
Tujuan Pembelajaran Yang menjadi kunci dalam rangka menentukan tujuan pembelajaran adalah kebutuhan siswa, mata ajaran, dan guru itu sendiri. Berdasarkan kebutuhan siswa dapat ditetapkan apa yang
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
16
hendak dicapai, dan dikembangkan serta diapresiasikan. Berdasarkan mata ajaran yang ada dalam petunjuk kurikulum dapat ditentukan hasi-hasil pendidikan yang diinginkan. Guru sendiri adalah sumber utama tujuan bagi para siswa, dan dia harus mampu menulis dan memilih tujuan-tujuan pendidikan yang bermakna, dan dapat terukur. Tujuan (goals) adalah rumusan yang luas mengenai hasil-hasil pendidikan yang diinginkan. Di dalamnya terkandung tujuan yang menjadi
target
pembelajaran
dan
menyediakan
pilar
untuk
menyediakan pengaaman-pengalaman belajar. Contoh rumusan tujuan umum (goals): Siswa hendak mengembangkan keterampilan dasar matematika: siswa hendak mengembangkan apresiasi sajak. Kalau kita perhatikan, tujuan-tujuan tersebut memang berguna untuk merancang keseluruhan tujuan program pembelajaran, tetapi kurang spesifik dalam upaya pelaksanaan urutan pembelajaran. Karena tujuan tujuan yang dibutuhkan adalah yang jelas dan dapat diukur. Untuk merumuskan tujuan pembelajaran kita harus mengambil suatu rumusan tujuan dan menentukan tingkah laku siswa yang spesifik yang mengacu ke tujuan tersebut. Suatu tujuan pembelajaran seyogyanya memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
Tujuan itu menyediakan situasi atau kondisi untuk belajar, misalnya: dalam situasi bermain peran.
b.
Tujuan mendefinisikan tingkah laku siswa dalam bentuk dapat diukur dan diamati.
c.
Tujuan menyatakan tingkat minimal perilaku yang dikehendaki, misalnya: pada peta pulau jawa, siswa dapat mewarnai dan memberi label pada sekurang-kurangnya tiga gunung utama.
E.
PENTINGNYA TUJUAN BELAJAR DAN PEMBELAJARAN Tujuan penting dalam rangka sistem pembelajaran, yakni merupakan suatu komponen sistem pembelajaran yang menjadi titik tolak dalam
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
17
merancang sistem yang efektif. Secara khusus, kepentingan itu terletak pada: 1.
Untuk menilai hasil pembelajaran. Pengajaran dianggap berhasil jika siswa mencapai tujuan yang telah ditentukan. Ketercapaian tujuan siswa menjadi indikator keberhasilan sistem pembelajaran.
2.
Untuk membimbing siswa belajar. Tujuan-tujuan yang dirumuskan secara tepat berdaya guna sebagai acuan, arahan, pedoman bagi siswa dalam melakukan kegiatan belajar. Dalam hubungan ini, guru dapat merancang tindakan-tindakan tertentu untuk mengarahkan kegiatan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tersebut.
3.
Untuk merancang sistem pembelajaran. Tujuan-tujuan itu menjadi dasar dan kriteria dalam upaya guru memilih materi pelajaran, menentukan kegiatan belajar mengajar, memilih alat dan sumber, serta merancang prosedur penilaian.
4.
Untuk melakukan komunikasi dengan guru-guru lainnya dalam meningatkan proses pembelajaran. Berdasarkan tujuan-tujuan itu terjadi komunikasi antara guru-guru mengenai upaya-upaya yang perlu dilakukan bersama dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tersebut.
5.
Untuk melakukan kontrol terhadap pelaksanaan dan keberhasilan program pembelajaran. Dengan tujuan-tujuan itu, guru dapat mengontrol hingga mana pembelajaran telah terlaksana, dan hingga mana siswa telah mencapai hal-hal yang diharapkan. Berdasarkan hasil kontrol itu dapat dilakukan upaya pemecahan kesulitan dan mengatasi
masalah-masalah
yang
timbul
sepanjang
proses
pembelajaran berlangsung.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
18
BAB II TEORI-TEORI BELAJAR A.
Pengertian Teori Belajar Behaviorisme Para penganut teori behaviorisme meyakini bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya yang memberikan pengalaman-pengalaman tertentu kepadanya. Behaviorisme menekankan pada apa yang dilihat, yaitu tingkah laku, dan kurang memperhatikan apa yang ada dalam pikiran karena tidak dapat dilihat. Skiner beranggapan bahwa perilaku manusia yang dapat diamati secara langsung adalah akibat konsekuensi dari perbuatan sebelumnya (Semiawan, 2002: 3). Menurut aliran psikologi ini proses belajar lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi selama itu di dalam diri siswa yang belajar. Teori Belajar behaviorisme adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Behaviorisme merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih kepada sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspekaspek mental seperti kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Hal ini dapat dimaklumi karena behaviorisme berkembang melalui suatu penelitian yang melibatkan binatang seperti burung merpati, kucing, tikus, dan anjing sebagai objek. Peristiwa belajar semata-mata dilakukan dengan melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Para ahli behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat dari adanya interaksi antara stimulus (S) dengan respon (R). Menurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah adanya input berupa stimulus dan output yang berupa respon. Sebagaimana pada kebanyakan aliran psikologi belajar lainnya, behaviorisme juga melihat bahwa belajar adalah merupakan perubahan tingkah laku (Aunurrahman, 2012: 39). Ciri yang paling mendasar dari
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
19
aliran ini adalah bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi adalah berdasarkan paradigma S-R (Stimulus Respons), yaitu suatu proses yang memberikan respons tertentu terhadap sesuatu yang datang dari luar. Proses S-R ini terdiri dari beberapa unsur dorongan (drive). Pertama seseorang merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan tersebut. kedua, rangsangan atau stimulus. Kepada seseorang diberikan stimulus yang akan menyebabkannya memberikan respons. Ketiga, adalah respons, dimana seseorang memberikan reaksi atau respon terhadap stimulus yang dterimanya dengan melakukan suatu tindakan yang dapat diamati. Keempat, unsur penguatan atau reinforcement, yang perlu diberikan kepada seseorang agar ia merasakan adannya kebutuhan untuk memberikan respons lagi. B.
Teori Belajar Behaviorisme Menurut Para Ahli 1.
Edward Lee Thorndike Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa fikiran, perasaan, atau gerakan atau tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku-tingkah laku yang dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini disebut juga sebagai aliran
Koneksionisme (Connectionision). Ia merupakan orang
pertama yang menerangkan hubungan S-R ini. Teori ini didasarkan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
20
atas reaksi sistem tak terkontrol di dalam sisi seseorang dan reaksi emosional yang terkontrol oleh sistem urat syaraf otonom serta gerak refleks setelah menerima stimulus dari luar.
Stimulus tidak terkontrol atau tidak terkondisi (US) merupakan stimulus yang secara biologis dapat menyebabkan adanya respons dalam bentuk refleks (UR). Disini respons dapat terbentuk tanpa adanya proses belajar. 2.
Ivan Pavlov (Classic Conditioning) Teori pengkondisian klasik (Classic Conditioning) adalah perkembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme. Objek eksperimen Pavlov yaitu seekor anjing. Teori ini dilatarbelakangi oleh percobaan Pavlov tentang keluarnya air liur anjing. Air liur akan keluar, apabila anjing melihat atau mencium bau makanan. Terlebih dahulu Pavlov membunyikan bel sebelum anjing diberi makanan. Pada percobaan berikutnya begitu mendengarkan bel, otomatis air liur anjing akan keluar, walau belum melihat makanan, artinya perilaku individu dapat dikondisikan. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu. Hukum belajar yang dikemukakan Pavlov, yaitu: a.
Law of Respondent Conditioning, atau hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara serentak maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b.
Law of Respondent Extinction, atau hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
21
conditionig itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun. 3.
J.B. Watson Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike. J.B.Watson adalah orang Amerika yang pertama menerapkan percobaan Pavlov tentang clssical conditioning, dengan menggunakan binatang seekor tikus dan seorang anak bernama Albert. Watson percaya bahwa manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi emosional seperti cinta, kebencian, dan kemarahan. Walaupun tidak diturunkan hukum-hukum pembelajaran dari percobaannya, namun nama Watson dikenang karena dialah yang menggunakan untuk pertama kalinya istilah behaviorisme. Menurutnya belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namn stimulus dan respon yang diaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adannya perubahanperubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tidak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-peruahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena dapat diamati.
4.
Clark Hull Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evoluasi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis adalah penting dan menepati posisi sentral dalam
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
22
seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Namun teori ini masih sering dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboraturium. 5.
Edwin Guthrie Demikian juga dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan Hull. Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan sebagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcement) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.
6.
B.F. Skinner Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
23
secara lebih komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus
dan
respon
yang
terjadi
melalui
interaksi
dalam
lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tindakan sederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Dikatakannya bahwa respon yang diberikan oleh seseorang atau siswa tidaklah sesederhana itu. Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepeda seseorang akan saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan
respon
yang
dimunculkan
inipun
akan
mempunyai
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya
akan
mempengaruhi
atau
menjadi
pertimbangan
munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alamat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian dan seterusnya. Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru dan pendidik. Namun dari semua dukungan teori ini, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar beharioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan programprogram pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons
serta
mementingkan
faktor-faktor
penguat
(reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skiner.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
24
Menurut teori Skiner, setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang akan memberikan respons berdasarkan hubungan S-R. Respons yang diberikan in dapat sesuai “R” (benar) atau tidak sesuai “F” (salah) seperti apa yang diharapkan. Respon yang benar perlu diberikan penguatan (reinforcement) agar orang terdorong untuk melakukannya kembali. Karena itu pemberian penguatan terhadap respons dapat diberikan secara kontinu (contineous reinforcement), dan
dapat
dilakukan
secara
berselang-seling
(intermitten
reinforcement). Pemberian penguatan secara berkelanjutan biasanya dilakukan pada permulaan proses belajar, yaitu diberikan setiap kali seseorang memberikan respons yang benar atau sebagaimana yang diharapkan. Setelah selang beberapa waktu maka frekuensi pemberian penguatan perlu dikurangi dengan maksud agar orang-orang tersebut tetap tekun belajar dengan semakin tumbuhnya kesadaran dari dalam dirinya sendiri. Setelah melakukan sejumlah percobaan, Skinner menyimpulkan (dalam Aunurrahman, 2012: 41) bahwa dengan pemberian penguatan dapat diimplementasikan dalam proses belajar dan beberapa hal: a.
Tiap-tiap langkah di dalam proses belajar perlu dibuat secara singkat berdasarkan tingkah laku yang pernah dipelajari sebelumnya.
b.
Pada permulaan belajar perlu ada penguatan (misalnya pemberian
imbalan
atau
hadiah),
serta
perlu
adanya
pengontrolan secara hati-hati terhadap pemberian penguatan, baik yang bersifat kontinu maupun yang berselang-seling. c.
Penguatan harus diberikan secepat mungkin begitu terlihat adanya respons yang benar. Hal ini akan sangat berarti dalam rangka memberikan umpan baik bagi mereka yang belajar sehingga motivasinya diharapkan semakin meningkat karena
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
25
mereka mengetahui kemajuan yang telah dicapai didalam proses belajar. d.
Individu yang benar perlu diberikan kesempatan untuk mengadakan generalisasi karena hal ini akan memperbesar memungkinan adanya keberhasilan.
7.
Albert Bandura (Belajar Sosial/Social Learning) Teori ini disebut juga teori pembelajaran observasional, dikembangkan
oleh
Albert
Bandura.
Melalui
pembelajaran
observasional yang disebut modeling atau menirukan perilaku manusia model, Bandura mengembangkan teori belajar sosial. Perilaku siswa pengamat dapat dipengaruhi oleh perilaku model dalam bentuk akibat-akibat positif, maupun dalam bentuk akibat negatif. Proses modeling terjadi dengan beberapa tahapan berikut: a.
Atensi (perhatian), jika ingin mempelajari sesuatu harus memperhatikannya dengan seksama, berkonsentrasi, jangan banyak hal yang dipikirkan.
b.
Retensi
(ingatan),
kita
harus
mampu
mempertahankan,
mengingat apa yang telah diperhatikan. c.
Produksi, kita hanya perlu duduk dan berkhayal untuk menerjemahkan citraan atau deskripsi model ke dalam perilaku aktual.
d.
Motivasi, adanya dorongan atau alasan-alasan tertentu untuk berbuat atau meniru model. Pembelajaran
observasional
dapat
berdampak
pada
pembelajaran dalam hal berikut: a.
Kurikulum. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mengamati perilaku model yang memandu ke arah penguatan positif.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
26
b.
Pengajaran.
Pengajar
harusmenggalakkan
pembelajaran
kolaboratif, karena umumnya pambelajaran terjadi didalam konteks sosial dan lingkungan. c.
Penilaian. Perilaku belajar seringkali tidak dapat dilaksanakan kecuali tersedia lingkungan yang benar-benar cocok untuk itu.
C.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Behaviorisme 1.
Kelebihan Teori Behaviorisme a.
Membiasakan guru untuk bersikap jelih dan peka pada situasi dan kondisi belajar.
b.
Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakaan belajar mandiri. Jika menemukan kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang bersangkutan.
c.
Mampu membentuk suatu perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif yang didasari perilaku yang tampak.
d.
Dengan
melalui
berkesinambungan,
pengulangan dapat
dan
pelatihan
mengoptimalkan
bakat
yang dan
kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. e.
Bahan pelajaran yang disusun secara hierarkis dari yang sederhana
sampai
pada
yang
kompleks
dengan
tujuan
pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu menghasilkan suatu perilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu. f.
Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimulus yang lainnya dan seterusnya sanpai respons yang diinginkan muncul.
g.
Teori
ini
cocok
untuk
memperoleh
kemampuan
yang
membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan. h.
Teori behavioristik juga cocok diterapkan untuk melatih anakanak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa,
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
27
suka mengulangi, dan harus dibiasakan, suka meniru, dan senag dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung. 2.
Kekurangan Teori Behaviorisme a.
Sebuah konsekuensi bagi guru untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap.
b.
Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini.
c.
Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Sehingga inisiatif siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa.
d.
Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik itu justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
e.
Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru.
f.
Cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak produktif, dan mendudukaan siswa sebagai individu yang pasif.
g.
Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning) bersifat mekanistik dan hanya berorientasipada hasil yang dapat diamati dan diukur.
h.
Penerapan
metode
yang
salah
dalam
pembelajaran
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai centr, otoriter, komunikasi
berlangsung
satu
arah,
guru
melatih
dan
menentukan apa yang harus dipelajari murid. D.
Penerapan Teori Belajar Behaviorisme dalam Kegiatan Pembelajaran Teori behavioristik sering kali dikritik karena sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
28
hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang tidak dapat diubah sebagai sekedar hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorang siswa akan dapat belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi setelah diberi stimulus yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak mau belajar lagi. Di sinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan stimulus dan respon ini. Namun teori behavioristik dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimulus yang lainnya dan seterusnya hingga respon yang diinginkan muncul. Namun demikian, persoalannya adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya. Sebagai contoh motivasi sangat berpengaruh dalam proses belajar. Pandangan behavioristik menjelaskan bahwa banyak siswa termotivasi pada kegiatan-kegiatan di luar kelas (bemain video-game, berlatih atletik), tetapi tidak termotivasi mengerjakan tugas-tugas sekolah. Siswa tersebut mendapatkan pengalaman pengetahuan yang kuat pada kegiatan-kegiatan di luar pelajaran, tetapi tidak mendapatkan penguatan dalam kegiatan belajar di kelas. Implementasi penerapan prinsip-prinsip teori behaviorisme yang banyak digunakan di dalam dunia pendidikan adalah: 1) Proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila peserta didik ikut berpartisipasi secara aktif di dalamnya. 2) Materi pelajaran dikembangkan di dalam unit-unit dan diatur berdasarkan urutan yang logis sehingga mahasiswa mudah mempelajarinya. 3) Tiap-tiap respons perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga peserta didik dapat segera mengetahi apakah respons yang diberikan sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
29
4) Setiap kali peserta didik memberikan respons yang perlu diberikan penguatan. Penguatan positif terbukti memberikan pengaruh yang lebih baik dari pada penguatan negatif. Menurut Suprijono (2009:21), implikasi prinsip-prinsip behaviorisme pada kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut. 1)
Kegiatan belajar adalah kegiatan figuratif.
2)
Belajar menekankan perolehan informasi dan penambahan informasi.
3)
Belajar merupakan proses dialog imperaktif, bukan dialog interaktif.
4)
Belajar bukan proses organik dan konstruktif, melainkan proses mekanik.
5)
Aktivitas belajar didominasi oleh kegiatan menghafaldan latihan. Selain dari beberapa bentuk implementasi dari teori behaviorisme
dalam bidang pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, masih cukup banyak contoh-contoh lain dari penerapan teori ini di dalam kegiatan pendidikan. Contoh-contoh tersebut antara lain: pengajaran terprogram (Programmed Learning) dimana prinsip pengembangan pembelajarannya adalah dengan mengembangkan materi dalam bentuk unit-unit kecil yang memberi kemudahan untuk dipelajari oleh peserta didik. Dan setiap kali unit tertentu selesai dipelajari peserta didik segera mendapatkan umpan balik, dan respons yang benar diberikan penguatan yang umumnya berupa penguatan positif. Penerapan prinsip-prinsip behaviorisme juga dikembangkan di dalam bentuk prinsip belajar tuntas (mastery learning). Prinsip belajar tugas juga menekankan pada keharusan untuk memilah-milah materi pembelajaran ke dalam unit-unit yang harus dikuasai terlebih dahulu oleh peserta didik sebelum melanjutkan ke materi berikutnya. Pada setiap akhir unit diberikan umpan balik mengenai keberhasilan belajar yang telah dicapai yang juga sekaligus berfungsi sebagai penguat.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
30
Teori belajar behaviorisme tidak lepas dari sejumlah kritikan. Kritikan yang mendasar antara lain mempertanyakan kelayakan penggunaan hasil uji coba yang digunakan pada binatang serta keterbatasan-keterbatasan laboratorium. Apakah hasil-hasil penelitian tentang proses belajar terutama menyangkut S-R yang diperoleh dengan menggunakan binatang sesuai subyek uji coba dapat diterapkan oleh manusia., sebab binatang yang berlainan species saja akan memberikan respon lain apabila diberi bermacam-macam stimula dan penguatan. Hal ini tentu akan sangat berbeda lagi pada manusia. Pernyataan lain, apakah hasil-hasil penelitian di laboratorium akan relevan dengan hasil belajar yang sesungguhnya. Di laboraturium peneliti dapat mengatur dan mengukur pengaruh variabelvariabel yang ingin diteliti dengan mengontrol variabel-variabel yang lain. Eksperimen di laboraturium terlalu sederhana sifatnya untuk ukuran ilmuilmu sosial sehingga kompleksitas dan karakteristik belajar pada manusia seakan-akan diabaikan. Kritikan terhadap teori belajar behaviorisme juga diarahkan pada sejauh mana faktor-faktor sosial dalam penelitian eksperimen di laboratorium tersebut diperhatikan. Sebagaimana diketahui bahwa proses belajar pada manusia bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, karena begitu banyak faktor-faktor lingkunagn yang turut memberi pengaruh terhadap kegiatan maupun hasil belajar. Demikian juga nampak kecenderungan bahwa penelitian dilaboratorium mengesampingkan faktorfaktor
perkembangan
seperti
pengalaman-pengalaman
sebelumnya.
Perkembangan adalah pembentukan keterampilan-keterampilan baru dari keterampilan-keterampilan
yang
diperoleh
sebelumnya,
sehingga
pengalaman-pengalaman sebelumnya merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan pengaruhnya terhadap proses belajar Berikut ini kritikan atas teori behaviorisme di antaranya: 1.
Behaviorisme tidak beradaptasi dengan berbagai macam jenis pembelajaran, karena mengabaikan aktivitas pikiran.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
31
2.
Behaviorisme tidak mampu menjelaskan beberapa jenis pembelajaran, misalnya pengenalan terhadap pola-pola bahasa baru oleh anak kecil, karena di sini tidak ada mekanisme penguatan.
3.
Riset menunjukkan bahwa binatang mampu mngadaptasikan pola penguatan mereka terhadap informasi baru.
4.
Seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, karena banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan/belajar yang berperan terhadap perilaku siswa. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan S-R.
5.
Kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
6.
Tidak
memperhatikan
pengaruh
pikiran
atau
perasaan
yang
mempertemukan unsur-unsur yang dapat diamati sebagai akibat hubungan S-R. 7.
Cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, dan tidak produktif. Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Muncul perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Istilah-istilah seperti hubungan stimulus-respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
32
teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilakukan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Karena teori behavioristik ini telah memandang bahwa sebagai suatu yang ada di dunia nyata telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus diharapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang harus berprilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar adalah sebagai aktivitas
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
33
“metic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian bagian keseluruhan. Pelajaran mengikuti urutan mengikuti secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. pelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual. Secara umum langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001) dapat digunakan dalam merancang pembelajaran. Langkah-langkah tersebut meliputi: 1)
Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
2)
Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal (entry behavior) siswa.
3)
Menentukan materi pelajaran.
4)
Memecah materi pelajaran menjadi bagian-bagian kecil, meliputi pokok pembahasan, sub pokok pembahasan, topik, dan sebagainya.
5)
Menyajikan materi pelajaran.
6)
Memberikan stimulus, dapat berupa: pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes/kuis, latihan, atau tugas-tugas.
7)
Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
8)
Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
34
9)
Memberikan stimulus baru.
10)
Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
11)
Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman, serta evaluasi. Hal-hal
yang
harus
diperhatikan
dalam
menerapkan
teori
behavioristik adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya, yaitu sebagai berikut. 1)
Mementingkan pengaruh lingkungan.
2)
Mementingkan bagian-bagian.
3)
Mementingkan peranan reaksi.
4)
Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respons.
5)
Mementingkan
peranan
kemampuan
yang
sudah
terbentuk
sebelumnya. 6)
Mementingkan
pembentukkan
kebiasaan
melalui
latihan
dan
pengulangan. 7)
Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Contoh kasus pelaksanaan pembelajaran menurut teori behavioristik
yaitu penerapan teori behavioristik dalam pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan. Penerapan teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran penjaskes tergantung dari beberapa hal seperti: 1)
Tujuan pembelajaran
2)
Sifat materi pelajaran
3)
Karakteristik pembelajar
4)
Media
5)
Fasilitas pembelajaran yang tersedia Pembelajaran penjaskes
yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
35
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pembelajar. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, pembelajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Tujuan pembelajaran penjaskes menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas mimetic, menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Jadi, kesimpulan penerapan teori behaviorisme dalam pembelajaran penjaskes menurut penulis: penjaskes dirasakan kurang pas karena kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pembelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi,
dan
mengembangkan
kemampuannya.
Sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya, pembelajar penjaskes kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Padahal, pembelajaran penjaskes merupakan pembelajaran yang menomorsatukan gerak untuk berkreasi dan untuk mendapatkan kesehatan. E.
Pengertian Teori Belajar Kognitivisme Kognitivisme merupakan salah satu teori belajar yang dalam berbagai pembahasan juga sering disebut model kognitif (cognitive model) atau model perseptual (perseptual model). Menurut teori belajar ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi atau pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya. Karena itu belajar menurut kognitivisme diartikan sebagai perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman ini tidak selalu dapat dilihat sebagaimana perubahan tingkah laku. Teori ini menekankan bahwa bagian-
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
36
bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut. Karena teori ini lebih menekankan kebermaknaan keseluruhan sesuatu dari bagian-bagian, maka belajar dipandang sebagai proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengelolahan informasi, emosi dan faktor-faktor lain. Proses belajar disini mencakup antara lain pengaturan stimulasi yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Menurut Piaget, perkembangan intelektual melalui empat tahap-tahap berikut: 1)
Tahap sensori motor (0, 0 – 2, 0 tahun).
2)
Tahap pra-operasional (2,0 – 7, 0 tahun) .
3)
Tahap operasional konkret (7, 0 – 11, 0 tahun).
4)
Tahap operasional (11, 0 – keatas). Pada tahap sensori motor, anak mengenal lingkungan dengan
kemampuan sensorik dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan, dan penggerakannya. Pada tahap pra-operasional, anak mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakan simbol, bahasa, konsep sederhana, berparsitipasi, membuat gambar, dan menggolong-golongkan. Pada tahap operasi konkret anak dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis, walau kadang- kadang memecahkan masalah secara “trial and error”. Pada tahap operasi formal anak dapat berfikir abstrak seperti pada orang dewasa. Pengetahuan dibangun dalam pikiran. Setiap individu membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial. Dalam proses membangun pengetahuan melalui proses belajar tersebut meliputi tiga fase. Fase-fase itu adalah fase eksplorasi, fase
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
37
pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi, siswa mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Dalam fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Teori ini menekankan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut sebagai model perseptual. Teori ini berpandangan bahwa belajar adalah suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks. (Budiningsih, 2005 : 34). Penting untuk dipahami bahwa dua pemikiran pokok dari kognitivisme adalah teori pemrosesan informasi, dan teori skema. Menurut pendekatan kognitif, dalam kaitan teori pemrosesan dan informasi, unsur terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki setiap individu sesuai dengan situasi belajarnya. Di dalam pengolahan informasi terjadi interaksi antara kondisi-kondisi internal dengan kondisi eksternal individu. Kondisi internal adalah kondisi dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal serta proses kognitif yang terjadi dalam diri individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan luar yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Landasan kedua dari teori belajar berbasis kognitivisme adalah teori skema, teori ini amat erat hubungannya dengan teori pengolahan informasi. Skema merupakan suatu struktur pengetahuan internal. Informasi baru yang
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
38
masuk dan diterima pembelajar dibandingkan dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya yang dinamakan skema. F.
Pengertian Teori Belajar Kognitivisme menurut Para Ahli 1.
Teori Belajar Menurut Jean Piaget Teori perkembangan Piaget disebut pula teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan mental. Teori ini berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar yang dikemas dalam tahap-tahap perkembangan intelektual sejak lahir smpai dewasa. Menurut Piaget, perkembangan Piaget merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem saraf. Menurut Piaget, belajar akan lebih berhasil jika disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Menurut Piaget, penganut aliran kognitf yang kuat, proses belajar sebenarnya terjadi dari tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, ekilibrasi (penyeimbang). a)
Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
b)
Proses akomidasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
c)
Proses akulibrasi adalah penyesuaian berkesinambung antara asimilasi dan akomodasi. Piaget berpendapat bahwa proses belajar harus disesuaikan
dengan tahapan perkembangan kognitif yang dilalui siswa (Thobroni, 2015). Tahapan tersebut dibagi menjadi empat tahap, yaitu tahap
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
39
sensosi motor, tahap pra-oprasional, tahap oprasional konkret, dan tahap oprasional formal. a)
Tahap Sensor Motor Pada tahap sensori motor (0-2 tahun), seseorang anak belajar mengembangkan dan mengatur kegiatan fisik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna.
b)
Tahap Pra-oprasional Pada tahap pra oprasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indra sehingga ia belum mampu untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpilkan sesuatu secara konsisten.
c)
Tahap Oprasional Konkret Pada tahap oprasional konkret (7-11 tahun), seseorang anak dapat membuat kesimpulan dari sesuatu pada situasi nyata atau dengan
menggunakan
benda
konkret,
dan
mampu
mempertimbangkan dua aspek dari situasi nyata secara bersama-sama (misalnya, antara bentuk dan ukuran). d)
Tahap Operasional Formal Pada tahap operasional formal (11 tahun ke atas), kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Pada tahap ini kemampuan menalar secara abstrak meningkat sehingga seseorang mampu untuk berfikir secara bersama-sama. Umur yang dicantumkan pada setiap tahap tadi adalah hasil
penelitian Piaget di negaranya. Meskipun demikian, umur yang dicantumkan diatas bisa kita jadikan pedoman. Hal lain yang perlu diperlihatkan adalah seseorang siswa SMK yang sudahberada paha
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
40
tahap operasional formal sekalipun masih membutuhkan benda-benda nyata pada saat belajar, terutama pada situasi yang masih baru. Piaget juga brpendapat bahwa perkembangan kognitif seorang siswa adalah melalui suatu proses asimilasi dan akomodasi. Di dalam pikiran seseorang, sudah terdapat kognitif atau kerangka kognitif yang disebut skema. Setiap seseorang akan selalu berusaha untuk mencari keseimbangan, kesesuaian, atau ekuilibrium antara apa yang baru dialami (pengalaman barunya) dan apa yang ada pada struktur kognitifnya. 2.
Bruner Bruner mengusulkan teorinya yang disebut Free Discovery Learning (Thobroni, 2015). Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan eksempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebaginya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Misalnya, untuk memehami konsep kejujuran, siswa tidak menghafal didefinisi kata kejujuran, mempelajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh
itulah,
siswa
dibimbing
untuk
mendefinisikan
kata
“kejujuran”. Dasar dari teori Bruner adalah ungkapan Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktifsaat belajar dikelas, konsepnya adalah belajar dengan menemukan , siswa mengorganisasikan bahan pelajaran yang dipelajarinya dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan berpikir anak. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses penemuan personal, oleh setiap individu murid. Inilah tema pokok teori Bruner.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
41
Selain itu, Bruner mengemukakan perlu pembelajaran
yang
menjelaskan
asas-asas
adanya teori
untuk
merancang
pembelajaran yang efektif di kelas. Menurut Bruner (Thobroni, 2015) teori belajar bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran bersifat preskiptif.
Misalnya,
teori
belajar
memprediksi
berapa
usia
maksimum seorang anak untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran
menguraikan
bagaimana
cara-cara
mengajarkan
penjumlahan. Menurut Bruner, perkembangan kognitif seorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu sebagai berikut: a)
Tahap Enaktif Seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk
memahami
lingkingan
sekitanya.
Suatu
tahap
pembelajaran ketika materi pembelajaran yang bersifat abstrak dipelajari siswa dengan menggunakan benda-benda konkret. Dengan demikian, topik pembelajaran tersebut dipresentasikan atau diwujudkan dalam bentuk bentuk-bentuk nyata. b)
Tahap Ikonik Suatu tahap pembelajaran ketika materi pembelajaran yang bersifat abstrak, dipelajari siswa dengan menggunakan ikon, gambar, yang menggambarkan kegiatan nyata dengan benda-benda
yang
konkret.
Dengan
demikian,
topik
pembelajaran yang bersifat abstrak ini telah direpresentasikan atau diwujudkan dalam bentuk benda-benda nyata yang dapat diamati siswa, lalu direpresentasikan atau diwujudkan dalam gambar atau diagram yang bersifat semi-konkret. c)
Tahap Simbolik Seseorang telah mampu memiliki ide-ide abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
42
logika. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses instuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (discovery learning). 3.
David P. Ausubel Pernahkan anda mendapatkan seorang anak SD yang mampu berteriak-teriak, :ini Budi. Ini ibu Budi”. Tetapi ia tidak tahu mana yang suku kata “bu” dan mana suku kata “di”. Mungkin juga ada siswa sekolah menengah yang hafal rumus nilai akhir bunga majemuk. Cara belajar dengan membeo seperti yang telah dilakukan siswa SD dan siswa sekolah menengah tersebut disebut dengan belajar
hafalan
(rote
learning)
oleh
Ausubel
sebagaimana
pernyataannya berikut: “......if the learner’s intention is to memorise it verbatim as a series of arbitrarily related word, both the learning proscess and the learning outcome must necessarily be rote and meaningless (jika seseorang, contohnya si siswa tadi, berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya, maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya. “contoh lain yang dapat mengucapkan rumus suku ke-n suatu barisan aritmatika dengan lancar, namun ia sama sekali tidak mengerti arti lambang-lambang tersebut dan tidak dapat menggunakan. Kelemahan lain belajar hafalan adalah seseorang kemungkinan besar tidak dapat menjawab soal baru lainnya. Karena materi matematika bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah, namun merupakan suatu pengetahuan yang utuh dan saling berkait antara yang satu dan yang lainnya, setiap siswa harus menguasai beberapa konsep dan keterampilan dasar lebih dahulu. Setelah itu, siswa harus mampu mengaitkan antara pengetahuan yang baru dan pengetahuan yang sudah dipunyainya agar terjadi suatu proses pembelajaran
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
43
bermakna (meaning learning). Karenanya, Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Thobroni,(dalam Orton, 1987: 34), “if i had to reduce all of educational psychology to just one principle, i would say this: The most important single factor influencing learning is what the learning already knows. Ascertain this and teach him accordingly”. Jelaskan bahwa pengetahuan yang sudah diiliki siswa akan
sangat
menentukan
bermakna
tidaknya
suatu
proses
pembelajaran. Belajar hafalan (rote learning) akan terjadi jika para siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang lama. Tugas gurulah untuk memberi kemudahan bagi para siswanya sehingga mereka dapat dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan barunya dengan pengetahuan yang relevan yang sudah ada di dalam pikirannya atau dalam struktur kognitifnya. Belajar seperti itulah yang diharapkan dapat menjadi kelas-kelas di Indonesia, belajar bermakna yang telah digagas David P. Ausubel. Ausubel mengawali teorinya dengan melakukan kritik terhadap teori pembelajaran menurut konsep neobehaviorisme, karyanya difokuskan kepada pembelajaran verbal. Teorinya terkait dengan sifat-sifat makna, dan ia percaya bahwa dunia luar akan memberikan makna terhadap pembelajaran hanya jika berbagai konsep yang berasal dari dunia luar itu telah mampu diubah menjadi kerangka isi oleh siswa. Makna diciptakan melalui beberapa bentuk hubungan ekuivalen antara bahasa dan konteks mental, yang melibatkan dua proses: a)
Resepsi, yang ditimbulkan melalui pembelajaran verbal yang bermakna.
b)
Penemuan, yang terlibat dalam pembentukan konsep dan pemecahan masalah.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
44
Karya-karya Ausubel sering dibandingksn dengan karya Bruner. Keduanya memiliki kemiripan pandangan tentang sifat hierarkis dari pengetahuan, tetapi Bruner lebih menekankan kepada proses penemuan, sedangkan Ausubel lebih berfokus kepada metode pembelajaran verebal dalam berbicara, membaca dan menulis. Ausubel juga berpendapat bahwa pembelajaran berdasarkan hafalan tidak banyak membantu siswa di dalam memperoleh pengetahuan, pembelajaran oleh guru harus sedemikian rupa sehingga membangun pemahaman dalam struktur kognitifnya, pembelajaran haruslah bermakna
bagi
siswa
untuk
menyelesaikan
problem-problem
kehidupannya. G.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Kognitivisme 1.
Kelebihan Teori Belajar Kognitivisme a.
Menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri Dengan teori belajar kognitif siswa dituntut untuk lebih kreatif karena mereka tidak hanya merespon dan menerima rangsangan saja, tapi memproses informasi yang diperoleh dan berfikir untuk
dapat
pengetahuan.
menemukan Sedangkan
ide-ide membuat
dan siswa
mengembangkan lebih
mandiri
contohnya pada saat siswa mengerjakan soal siswa bisa mengerjakan
sendiri
karena
pada
saat
belajar
siswa
menggunakan fikiranya sendiri untuk mengasah daya ingatnya, tanpa bergantung dengan orang lain dengan. b.
Membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah Teori belajar kognitif membantu siswa memahami bahan ajar lebih mudah karena siswa sebagai peserta didik merupakan peserta aktif didalam proses pembelajaran yang berpusat pada cara peserta didik mengingat, memperoleh kembali dan menyimpan informasi dalam ingatannya. Serta Menekankan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
45
pada pola pikir peserta didik sehingga bahan ajar yang ada lebih mudah dipahami. 2.
Kelemahan Teori Belajar kognitivisme a.
Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan.
b.
Sulit dipraktikkan khususnya di tingkat lanjut.
c.
Beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.
H.
Penerapan Teori Kognitivisme dalam Kegiatan Pembelajaran Kognitivisme memberikan pengaruh dalam pengembangan prinsipprinsip pembelajaran sebagai berikut: 1.
Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu.
2.
Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks. Untuk dapat menyesuaikan tugas-tugas dengan baik peserta didik harus terlebih dahulu telah mengetahui tugas-tugas yang bersifat sederhana atau mudah.
3.
Belajar dengan memahami lebih baik dari pada hanya dengan menghafal, apalagi tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus disesuaikan dengan apa yang telah diketahui peserta diik sebelumnya. Karena itu tugas guru menunjukan hubungan antara apa yang akan dipelajari dengan apa yang telah diketahui sebelumnya.
4.
Adanya perbedaan individual pada peserta didik perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar peserta didik. Adapun prinsip-prinsip teori kognitivisme dalam pembelajaran
menurut Warsita (2008: 89), di antaranya: 1.
Pembelajaran merupakan suatu perubahan status pengetahuan.
2.
Peserta didik merupakan peserta aktif didalam proses pembelajaran.
3.
Menekankan pada pola pikir peserta didik.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
46
4.
Berpusat pada cara peserta didik mengingat, memperoleh kembali dan menyimpan informasi dalam ingatannya.
5.
Menekankan
pada
pengalaman
belajar,
dengan
memandang
pembelajaran sebagai proses aktif di dalam diri peserta didik. 6.
Menerapkan reward and punishment.
7.
Hasil pembelajaran tidak hanya tergantung pada informasi yang disampaikan guru, tetapi juga pada cara peserta didik memproses informasi tersebut Hakekat belajar menurut kognitif dijelaskan sebagai suatu aktivitas
belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi, perseptual, dan proses intenal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan ketertiban siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatannya mengikuti prisip-prinsip sebagai berikut: 1.
Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berfikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahaptahap tertentu.
2.
Anak usia pra-sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama juka menggunakan benda-benda kongkrit.
3.
Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4.
Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki belajar.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
47
5.
Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan bola atau logika tertentu, dan sederhana ke kompleks.
6.
Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
7.
Adanya perbedaan individual dalam diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mepengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya motivasi, persepsi, kemempuan berfikir, pengetahuan awal, dan sebagainya. Ketiga tokoh aliran kognitif secara umum memiliki pandangan yang
sama yaitu mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Menurut Piaget, hanya dengan mengaktifkan siswa secara optimal maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Sementara itu, Bruner lebih banyak memberikan kebebasan kepeda siswa untuk belajar sendiri melalui aktivitas menemukan (discovery). Cara demikian akan mengarah siswa pada bentuk belajar induktif, yang menuntut banyak dilakukan pengulangan. Hal ini tercermin dari model kurikulum spiral yang dikemukakannya. Berbeda dengan Bruner, Ausbel lebih mementingkan struktur disiplin ilmu. Dalam proses belajar lebih banyak menekankan pada cara berfikir deduktif. Hal ini tampak dari konsepsinya mengenai Advance Oganizer sebagai kerangka konseptual tentang isi pelajaran yang akan dipelajari siswa. Dari pemahaman di atas, maka langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh masing-masing tokoh tersebut berbeda. Secara garis besar langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh masingmasing tokoh tersebut berbeda. Secara garis besar langkah-langkah
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
48
pembelajaran yang dikemukakan oleh para ahli tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Langkah-langkah pembelajaran menurut Piaget, yaitu: a)
Menentukan tujuan pembelajaran.
b)
Memilih materi pembelajaran.
c)
Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara aktif. Misalnya penelitian, memecahkan masalah, diskusi, simulasi, dan sebagainya.
d)
Mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreatifitas dan cara berfikir siswa.
e)
Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa (Suciati & Irawan, 2001).
2.
Langkah-langkah pembelajaran menurut Bruner, yaitu: a)
Menentukan tujuan pembelajaran.
b)
Menentukan identifikasi karakteristik siswa (kemempuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
c)
Memilih materi pelajaran.
d)
Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh ke generalisasi).
e)
Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contohcontoh, ilustrasi, tugas, dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f)
Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik, sampai ke simbolik.
g)
Melakukan
penilaian
proses
dan
hasil
belajar
siswa
(Budiningsih, 2005: 50). 3.
Langkah-langkah pembelajaran menurut Ausubel, yaitu: a)
Menentukan tujuan pembelajaran.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
49
b)
Menentukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, motivasi, gaya belajar, dan sebagainya).
c)
Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam betuk konsep-konsep inti.
d)
Menentukan toik-topik dan menampilkannya daam bentuk advance organizer yang akan di pelajari siswa.
e)
Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/kontret.
f)
Melakukan penilaian proses dan hasil belajar.
Masih dalam sumber yang sama, Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan, yaitu sebagai berikut: 1.
Memusatkan perhatian kepada cara berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Gur harus mengalami proses yang digunakan
anank
sehingga
sampai
dikembangkan
dengan
memerhatikan tahap fungsi kognitif dan jika guru penuh perhatian terhadap pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksudkan. 2.
Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi (ready made knowlege) anak dorong menentukan sendiri penetahuan itu melalui intraksi spontan dengan lingkungan. Memaklumi akan adanya perbedaan individu dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan pada kecepatan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu, guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu-individu ke dalam bentuk kelompok-kelompok kecil siswa dari pada aktivitas dalam bentuk klasikal.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
50
3.
Mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran
gagasan-gagasan
tidak
dapat
dihindari
untuk
perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langung, perkembangnnya dapat diisimulasi. Contoh pelaksanaan pembelajaran menurut teori kognitif berikut ini dalam mata pelajaran Matematika di sebuah SMK nonteknik. 1.
Guru Matematika SMA nonteknik berusaha agar pegetahuan agar pengetahuan siswanya utuh, tidak pisah-pisah. Artinya, pengetahuan yang sau terkait denga pengetahuan lain. Sebagai contoh, konsep integral harus dikaitkan dengan konsep turunan.
2.
Agar lebih bermakna, pengetahuan yang baru diajarkan dihubungkan dengan situasi nyata. Misalnya, guru dapat menghubungkan himpunan kosong dengan buku kosong, yang satu tidak mempunyai anggota, yang satunya lagi belum ada tulisan di dalamnya.
3.
Pembelajaran Matematika di SMK nonteknik dimulai dari benda konkret, semi-kokret baru ke abstrak. Guru Matematika SMK nonteknik menyadari bahwa siswa yang sudah berada pada tahap oprasional
formal
sekalipun
akan
lebih
mudah
mempelajari
matematikaa jika dimulai dari sesuatu yang konkret ataupun yang bisa dipikirkan siswa. Misalnya, konsep turunan yang dimulai dari konsep kecepatan. 4.
Pada taraf tertentu, guru menggunakan alat peraga, seperti menggunakan model-model bangun ruang ketika membahas materi Dimensi Tiga.
5.
Guru mengajar Matematika dari hal yang mudah/sederhana ke yang sedang, kemudian ke yang sukar/rumit. Hal yang mudah/sederhana lebih gampang intuk dicerna oleh siswa. Dengan demikian, hal-hal yang sukar/rumit bisa dasimilasi dengan mudah kedalam kerangka kognitif yang sudah ada dibenaknya. Sebagai contoh guru meminta
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
51
siswa untuk menghitung 11 + 13 + 15 + ⋯ + 19 dengan berbagai cara, sebelum ia membahas rumus umumnya. 6.
Kesalahan yang sudah berbentuk di dalam benak siswa sangat sukar untuk
diperbaiki,
diperlukan
proses
akomodasi
untuk
memperbaikinya. Oleh karena itu, hanya memberi tahu saja bahwa ia salah adalah tidak cukup. Guru pertama kali harus memberikan contoh-contoh dan pertanyaan-pertanyaan yang dapat meyakinkan siswa bahwa ia salah. Setelah itu, guru mendiagnosis kesalahan siswanya. Berdasarkan hasil diagnosis itulah perbaikan dapat dilakukan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
52
BAB III TEORI-TEORI BELAJAR A.
TEORI BELAJAR KONTRUKTIVISME 1.
Pengertian Teori Belajar Kontruktivisme Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme paham atau aliran. Teori belajar konstruktivistik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan
dalam
menggali
pengetahuan
serta
upaya
dalam
mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat faktafakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
53
Konstruktivisme juga merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang baru. Dari keterangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa teori konstruktivisme memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya. Adanya motivasi unruk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa. Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan. Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
54
belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis titik dan komanya. Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar. Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa. Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif sedemikian rupa sehingga para siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya. Berdasarkan konstruktivisme, akibatnya orientasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa (student centered instruction). Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil pemberian dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari pemberian tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu. Jadi teori ini
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
55
mengaskan bahwa pengetahuan itu mutlak diperoleh dari konstruksi atau pembentukan pemahaman dalam diri seseorang terhadap bahan yang mereka pelajari dan juga melalui pengalaman yang diterima oleh panca indra. 2.
Teori Belajar Kontruktivisme Menurut Para Ahli Belajar penemuan (Discovery learning) dari Jerome Brunner adalah model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan kepada perbandingan kognitif tentang pembelajaran dan konstruktivisme, siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip untuk diri mereka sendiri. Tran Vui juga mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain. Sedangkan menurut Martin. Et. Al mengemukakan bahwa konstruktivisme
menekankan
mengkonstruksikan
pentingnya
pengetahuan
melalui
setiap
siswa
hubungan
aktif saling
mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru. Pada pengembangan model pengajaran kurikulum berbasis kompetensi, teori konstruktivisme ini banyak memberikan sumbangan terhadap pengembangan
model
pembelajaran
cooperative
dan
model
pembelajaran berdasarkan masalah. 3.
Tujuan Teori Belajar Kontruktivisme Tujuan dari teori belajar konstruktivisme yaitu sebagai berikut: a)
Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
56
b)
Mengembangkan
kemampuan
siswa
untuk
mengejutkan
pertanyaaan dan mencari sendiri pertanyaannya. c)
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
d)
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
e) 4.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Ciri-Ciri Teori Belajar Kontruktivisme Ciri-ciri teori belajar konstruktivisme di antaranya: a)
Memberi
peluang
pengetahuan
baru
kepada
pembelajar
untuk
melalui
keterlibatannya
membina
dalam
dunia
sebenarnya. b)
Mendorong ide-ide pembelajar sebagai panduan merancang pengetahuan.
c)
Mendukung pembelajaran secara koperatif.
d)
Mendorong dan menerima usaha dan hasil yang diperoleh pembelajar.
e)
Mendorong pembelajar mau bertanya dan berdialog dengan guru.
f)
Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
g)
Mendorong proses pembelajar melalui kajian dan eksperimen. Adapun karakteristik teori belajar konstruktivisme, di antaranya
sebagai berikut: a)
Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang dilihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah dimiliki.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
57
b)
Konstruksi arti merupakan proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, siswa akan selalu mengadakan rekonstruksi.
c)
Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan suatu proses pengembangan pemikiran dengan membentuk suatu pengertian yang baru. Belajar bukanlah suatu hasil perkembangan, melainkan perkembangan itu sendiri, yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d)
Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam kesenjangan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e)
Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungannya.
f)
Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui siswa, yaitu konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
5.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Kontruktivisme a.
Kelebihan Teori Belajar Konstruktivisme Pemecahan masalah dan penemuan memberikan pengetahuan yang dapat bertahan lama, mudah diingat. Dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir. Memberikan motivasi siswa untuk belajar secara terus-menerus sampai pertanyaan mereka terjawab.
b.
Kekurangan Teori Belajar Konstruktivisme Membutuhkan pemahaman guru yang konvensional yang menekankan belajar untuk mendapatkan jawaban yang benar, sehingga
menghilangkan
kreativitas
siswa
dalam
mengungkapkan pendapatannya. Sulit membangun kesadaran
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
58
pemahaman siswa untuk belajar. Belajar memecahkan masalah dan penemuan memerlukan waktu sehingga akan mengganggu struktur pembelajaran bidang lain. 6.
Penerapan Teori Belaar Kontruktivisme dalam Kegiatan Pembelajaran Menurut Suparno (2010) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi
secara
terus-menerus,
sehingga
terjadi
perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus. Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang ilmu unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu: a)
Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam
mengkonstruksi
pengetahuan
baru
dengan
memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
59
b)
Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar
dijadikan
bahan
pertimbangan
dalam
merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep. c)
Adanya lingkungan sosial yang kondusif Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinterksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
d)
Adanya dorongan agar siswa mandiri Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
e)
Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran
sains
juga
harus
bisa
melatih
dan
meperkenalkan siswa tentang kehidupan ilmuwan. Guru selain sebagai fasilitator dan mediator di dalam kelas juga berperan sebagai partner belajar siswa di kelas. Merancang lingkungan belajar di kelas, dimana siswa sebagai pusat kegiatan proses belajar mengajar. Ada beberapa hal yang
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
60
guru harus perhatikan dalam menerapkan pembelajaran konsruktivisme dalam kelas, di antaranya: 1.
Memberikan kebebasan terhadap siswa mengungkapkan dan mengembangkan ide-idenya masing-masing sesuai dengan persepsinya terhadap objek yang dipelajarinya.
2.
Kelompok-kelompok
siswa
perlu
dibangun
untuk
memberikan kesempatan kepada siswa berbagi dengan siswa lainnya tentang ide atau pengetahuan mereka satu sama lainnya sehingga tercipta pengetahuan baru dari hasil diskusi dan pemahaman dari setiap siswa. 3.
Menganggap proses pembelajaran yang sama pentingnya dengan hasil belajar.
4.
Membangun rasa ingin tahu siswa melalui kajian dan eksperimen. Pembelajaran konstruktivisme merupakan pembelajaran
yang cukup dimana siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti seperti pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran PKn, tentang tolongmenolong dan siswa ditugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati suatu lingkungan bagaimana sikap tolongmenolong terbangun, dan setelah itu guru memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih memahami makna ketimbang konsep. 7.
Kendala
dalam
Penerapan
Pembelajaran
Menurut
Kontruktivisme Konstruktivisme memberikan angin segar bagi perbaikan proses dan hasil belajar. Walaupun demikian, terdapat pula kendala yang muncul dalam penerapan pembelajaran menurut
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
61
konstruktivisme di kelas. Kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut: a)
Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru. Guru selama ini telah terbiasa mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional, mengubah kebiasaan ini merupakan suatu hal yang tidak mudah.
b)
Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan
pembelajaran
berbasis
konstruktivisme.
Guru
konstruktivis dituntut untuk lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih menggunakan media yang sesuai. c)
Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar. Guru khawatir target pencapaian kurikulum (TPK) tidak tercapai.
d)
Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir. Padahal yang terpenting dari suatu pembelajaran adalah proses belajarnya bukan hasil akhirnya.
e)
Besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diasuh, dan banyaknya pelajaran yang harus dipelajari siswa merupakan yang cukup serius.
f)
Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru. Siswa akan belajar jika ada transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari gurunya. Mengubah sikap “menunggu informasi” menjadi “pencari dan pengkonstruksi informasi” merupakan kendala itu sendiri.
g)
Adanya budaya negatif di lingkungan siswa. Salah satu contohnya di lingkungan rumah. Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, anak dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke sekolah. Siswa
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
62
terkondisi untuk “mengiakan” pendapat atau penjelasan guru. Siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan gurunya. B.
TEORI BELAJAR HUMANISME 1.
PENGERTIAN TEORI BELAJAR HUMANISME Teori humanisme merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Teori belajar humanistik sifatnya sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu. Teori belajar ini lebih banyak
berbicara
tentang
konsep-konsep
pendidikan
untuk
membentuk manusia yang bercita-citakan dan bertujuan untuk memanusiakan manusia itu sendiri serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Teori belajar humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Artinya peserta didik mengalami perubahan dan mampu memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Senada dengan pendapat di atas, belajar adalah pentingnya isi dari proses belajar bersifat elektrik, tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistik dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, dan membutuhkan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
63
keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Hal ini dapat diterapkan melalui kegiatan diskusi, membahas materi secara berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya masing-masing di depan kelas. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila kurang mengerti terhadap materi yang diajarkan. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi pola perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Mampu menerima dirinya sendiri, perasaan mereka dan lain-lain di sekitarnya. Untuk menjadi dewasa dengan aktualisasi dirinya, siswa perlu ruang kelas yang bebas yang memungkinkan mereka menjadi kreatif. Para teoritikus humanistik, seperti Carls Rogers dan Abraham Maslow menyakini bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik-konflik yang tidak disadari maupun sebagai hasil pengkondisian (conditioning) yang sederhana. Teori ini menyiratkan penolakan terhadap pendapat bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Sebaliknya, teori ini melihat manusia sebagai aktor dalam drama kehidupan, bukan reaktor terhadap instink atau tekanan lingkungan. Teori ini berfokus pada pentingnya pengalaman disadari yang bersifat subjektif dan self-direction. Awal timbulnya psikologi humanistis terjadi pada akhir tahun 1940-an yaitu munculnya suatu perspektif psikologi baru. Orangorang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam pengembangan ini. Misalnya: ahli-ahli psikologi klinik, pekerjapekerja sosial, konselor, bukan merupakan hasil penelitian dalam
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
64
bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenalkan dengan psikologi humanistis, eksternal, perseptual atau fenomenologikal.
Psikologi
ini
berusaha
memahami
perilaku
seseorang dari sudut perilaku (behavior), bukan dari pengamat observer. Dalam dunia pendidikan aliran humanisme muncul pada tahun 1960 sampai dengan 1970-an dan mungkin perubahanperubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir pada abad ke-20 ini pun juga akan menuju pada arah ini. Perhatian psikologi humanistik terutama tertuju pada masalah bagaimana tiaptiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistis penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Nilai-nilai
penting
yang
ditumbuh
kembangkan
dalam
pendidikan humanisme sebagai berikut: a)
Kejujuran (tidak menyontek, tidak merusak, dan bisa dipercaya).
b)
Menghargai hak orang lain (menerima dan menghormati perbedaan individu yang ada, mau mendengarkan orang lain, menolong orang lain, dan bisa berempati terhadap problem orang lain).
c)
Menjaga lingkungan (menghemat penggunaan listrik, gas, kayu, logam, kertas, dan lain-lain. Menjaga barang milik sendiri ataupun milik orang lain).
d)
Perilaku (mau berbagi, menolong orang lain, ramah terhadap orang lain, dan berlaku pantas didepan publik).
e)
Perkembangan
pribadi
(menjalankan
tanggung
jawab,
menghargai kesehatan dan kebersihan fisik, mengembangkan bakat yang dimiliki secara optimal.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
65
2
Pengertian Teori Belajar Humanisme Menurut Para Ahli a.
Teori Belajar Menurut Arthur Combs (1912-1999) Combs dan kawan-kawan menyatakan bahwa apabila kita ingin memahami perlaku orang kita harus mencoba memahami dunia persepsi
orang itu. Apabila kita ingin mengubah
keyakinan atau pandangan orang itu, perilaku dalamlah yang membedakan seseorang dan yang lain. Combs dan kawankawan selanjutnya mengatakan bahwa perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain halnya dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya. Apabila sesorang guru mengeluh bahwa siswanya tidak mempunyai
motivasi
untuk
melakukan
sesuatu,
ini
sesungguhnya berarti bahwa siswa itu tidak mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh guru itu. Apabila guru itu memberikan aktivitas yang lain, mungkin sekali siswa akan memberikan reaksi yang positif. Terdapat dua bagian pada learning, yaitu: 1)
Memperoleh informasi baru.
2)
Personalisasi informasi pada individu. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat
kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya. Combs memberikan lukisan persepsi diri dan presepsi dunia sesorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar adalah persepsi dunia. Makin
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
66
jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya
tergadap
perilakunya.
Jadi,
hal-hal
yang
mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan. b.
Teori Belajar Menurut Abraham Maslow Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal: 1)
Suatu usaha yang positif untuk berkembang.
2)
Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai
perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain sesorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri. Bila
seseorang
telah
dapat
memenuhi
kebutuhan
fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus di perhatian oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengingatkan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi. c.
Teori Belajar Menurut Carl Ransom Rogers Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu: 1)
Kognitif (kebermaknaan)
2)
Experientasi (pengalaman atau signifikansi)
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
67
Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki mobil. Experiential learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiental learning mencakup: keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa. Menurut Rogers, yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, sebagai berikut: a.
Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
b.
Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
c.
Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
d.
Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern belajar tentang proses. Dari bukunya freedom to learn, ia menunjukan sejumlah
prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting di antaranya sebagai berikut: a.
mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b.
Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan
murid
mempunyai
relevansi
dengan
maksud-
maksudnya sendiri. c.
Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
68
d.
Tugas-tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabika ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e.
Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f.
Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g.
Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.
h.
Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i.
Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri. Penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j.
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus-menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu. Berdasarkan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh
Rogers di atas, secara singkat inti prinsip belajar humanisme adalah sebagai berikut: a.
Hasrat untuk Belajar Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alamiah untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanisme. Di dalam kelas yang humanisme anakanak diberi kesempatan dan bebas untuk memuaskan dorongan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
69
ingin tahunya,
untuk memenuhi minatnya dan untuk
menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya. b.
Belajar yang Berarti Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya.
c.
Belajar tanpa Ancaman atau Hukuman Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman atau hukuman. Proses belajar akan berjalan lancar manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman kesalahan
tanpa
baru
mendapat
atau
membuat
kecaman
yang
kesalahanbiasanya
menyinggung perasaan. d.
Belajar atas Inisiatif Sendiri Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah-arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how to learn). Tidak perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar. Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas, tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
70
membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian. Dia juga lebih bergantung pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak lain. Di samping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan semua aspek pribadi, kognitif, maupun afektif. Rogers dan para ahli humanisme yang lain menanamkan jenis belajar ini sebagai whole-person learning belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Para ahli humanisme percaya, bahwa belajar dengan tipwe ini akan menghasilkan perasaan memiliki (feeling of belonging) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah untuk terus belajar. e.
Belajar dan perubahan Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa yang paling bermanfaat ialah belajar tentang proses belajar. Menurut Rogers, diwaktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat berubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah. Teori
Rogerss
dalam
bidang-bidang
pendidikan
dibutuhkan 3 (tiga) sikap oleh fasilitator belajar, yaitu: realitas di dalam fasilitator belajar, penghargaan, penerimaan dan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
71
kepercayaan, dan pengertian empati. Dari ketiga sikap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a.
Realitas di dalam fasilitator belajar Merupakan sikap dasar yang penting. Seorang fasilitator menjadi dirinya sendiri dan tidak menyangkal diri sendiri. Sehingga ia dapat masuk ke dalam hubungan dengan pelajar tanpa ada sesuatu yang ditutup-tutupi.
b.
Penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan Menghargai pendapat, perasaan, dan sebagainya membuat timbulnya
penerimaan akan satu dengan lainnya.
Dengan adanya penerimaan tersebut maka akan muncul kepercayaan akan satu dengan yang lainnya. c.
Pengertian yang empati Untuk mempertahankan iklim belajar atas dasar inisiatif diri, maka guru harus memiliki pengertian yang empati akan reaksi murid dari dalam. Guru harus memiliki kesadaran yang sensitif bagi jalannya proses pendidikan dengan tidak menilai atau mengevaluasi. Pengertian akan materi pendidikan dipandang dari sudut murid bukan guru.
3.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanisme a.
Kelebihan Teori Belajar Humanisme 1)
Pembelajaran dengan teori ini sangat cocok diterapkan untuk
materi-materi
pembelajaran
yang
bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. 2)
Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa me rasa
senang
bergairah,
berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola p ikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
72
3)
Siswa
diharapkan
menjadi
manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendap at orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara tan ggung
jawab
tanpa
mengurangi
hak-hak
-
orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, ata u etika yang berlaku. b.
Kekurangan Teori Belajar Humanisme 1)
siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.
2)
siswa yang tidak aktif dan malas belajar akan merugikan diri sendiri dalam proses belajar.
4.
Penerapan
Teori
Belajar
Humanisme
dalam
Kegiatan
Pembelaaran Penerapan teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan diterapkan (Soemanto, 1998: 235). Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik saat guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar
dalam
kehidupan
peserta
didik.
Guru
memfasilitasi
pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik
untuk
memperoleh
tujuan
pembelajaran
(Sukardjo
&
Komarudin, 2009: 64). Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah: a)
Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
73
b)
Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif.
c)
Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
d)
Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
e)
Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
f)
Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
g)
Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya.
h)
Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa. Guru yang baik menurut teori ini adalah: Guru yang memiliki
rasa
humor,
adil,
demokratis,
mampu
mudah
wajar. Ruang
dan
berhubungan kelas
menarik, dengan
siswa
lebih dengan
lebih terbuka dan mampu
menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentar yang menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada. Psikologi humanistik berharap bahwa guru sebagai fasilitator. Berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator, sebagai berikut: a)
Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
74
b)
Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c)
Fasilitator mempercayai adanya keinginan dan masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna.
d)
Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber untuk belajar yang paling luas dan paling mudah dimanfaatkan siswanya untuk mencapai tujuan mereka.
e)
Fasilitator menempatkan dirinya di suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f)
Di dalam menghadapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, guru menerima baik yang bersifat intelektual, sikap, perasaan dan menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual maupun bagi kelompok.
g)
Bilamana kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu seperti siswa yang lain.
h)
Fasilitator mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
i)
Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
75
BAB IV PERKEMBANGAN MORAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN A.
KONSEPSI MORALITAS Istilah moralitas sudah dikenal secara
luas dan biasa digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, namun sebenarnya ada berbagai konsepsi mengenai moralitas. Agar tidak terjadi salah paham, sebelum membahas teori perkembangan moral, perlu disepakati bersama konsep-kosep apa saja yang dimaksud. Hill (dalam Aunurrahman, 2012) mengidentifikasi empat konsepsi yang berbeda satu sama lain mengenai moralitas. Dari empat konsepsi inilah kemudian muncul berbagai teori tentang perkembangan moral. Keempat konsepsi tersebut ialah kepatuhan pada hukum moral (obedience to the moral law), konformitas pada aturan-aturan sosial (confomity to social rules), otonomi rasional dalam hubungan antar pribadi (rational autonomi in interpersional dealing), dan otonomi ekstensial dalam pilihan seseorang (exitensial autonomi in one’s choices). 1.
Kepatuhan pada Hukum Moral Konsepsi moralitas kepatuhan pada hukum moral mengandung tiga hal penting. Pertama, bidang moralitas berkisar pada tindakan manusia secara sukarela, yaitu tindakan yangn merupakan hasil dari keputusan secara sadar. Kedua, tindakan tersebut selaras dengan keyakinan seseorang tentang kewajiban yang harus diemban. Ketiga, kewajiban seseorang, atau apa yang benar dan baik adalah yang tidak melanggar hukum, dalam arti secara universal diatur oleh alam kehidupan manusia dan masyarakat. Konsepsi ini juga disebut konsepsi moralitas naturalistik. Konsepsi ini ditentang oleh Moore karena dianggap tidak valid. Menurutnya tidak logis, mengapa alasan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
76
dalam melakukan sesuatu hanya menunjukkan bahwa memang seharusnya begitu. 2.
Konformitas pada Aturan Sosial Konsepsi moralitas yang kedua berfokus pada cara manusia bertindak terhadap aturan-aturan sosial yang dipandang sangat serius. Konsepsi ini dapat dikatakan lebih kuno karena tidak membedakan moralitas dan kebiasaan sosial. Sebaliknya, konsepsi ini dapat dikatakan lebih modern karena munculnya ilmu-ilmu sosial telah mendorong banyak orang modern untuk mendukung relativisme kultural dalam moralitas, yang menghasilkan kepercayaan bahwa moralitas didasarkan pada kode tingkah laku apa pun yang disetujui oleh suatu masyarakat. Durkheim menyebut tradisi relativistik sosial sebagai the morality of our time, yaitu sistem aturan untuk bertindak yang mengatur perilaku yang bersifat lokal. Menurutnya, aturan-aturan ini tidak merupakan prinsip-prinsip universal. Adapun yang membedakan antara yang moral dan sosial hanya keseriusan melaksanakan aturan tertentu. Oleh karena itu, kriterianya bersifat psikologis bukan kriteria logis, dan filosofi yang mendasarinya disebut emotivisme.
3.
Otonomi Rasional dalam Hubungan Antar Pribadi Konsepsi moralitas ini disebut juga formalisme. Menurut pandangan ini, istilah moralitas merujuk pada bentuk wacana rasional tertentu dalam kehidupan manusia, digunakan untuk menentukan yang baik dan harus dikerjakan. Bermoral berarti siap memberikan alasan bagi suatu tindakan tertentu, terutama tindakan yang memengaruhi hasrat orang-orang lain. Landasan moralitas bergeser dari kebiasaan yang alamiah atau kebiasaan sosial menjadi wacana rasional. Inti moralitas adalah
metode,
bukan
isi;
otonomi,
bukan
kepatuhan
atau
konformitas. Bentuk penalaran moral individu ialah objektivitas rasional dan sikap tidak memihak. Frankena (1970) menghasilkan analis yang memperjelas konsepsi moralitas filosofis kontemporer.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
77
Dia menyatakan bahwa ada dua konsepsi utama moralitas. Pertama, bersifat material (berkenaan dengan subtansi tanggung jawab moral) dan sosial, yakni merujuk pada aturan moral tertentu. Kedua, bersifat formal, jika kita membedakan yang moral dan nonmoral. Konsepsi formal bersifat sangat individualistik. 4.
Otonomi Eksistensial dalam Pilihan Seseorang Formalisme dipandang hanya sebagai suatu inovasi yang canggih dari kerangka tradisional filosofi rasionalistik yang diduga keras merupakan bagian dari konsepsi universal. Konsepsi moralitas ini sangat mempertimbangkan persoalan pribadi dan menghargai keberadaan individu. Dalam pandangan personalistik, formalistik perlu diberi ucapan selamat karena menekankan otonomi, tetapi harus dikritik karena memandang rendah keputusan yang dibuat dalam situasi tertentu demi tuntutan intelektual untuk mencapai konsistensi rasional. Kaum rasionalis telah mengabaikan perasaan dan tujuan individu yang datang secara spontan pada saat khusus ketika mengahadapi tantangan moral. Keempat cara untuk memahami moralitas tersebut di atas belum dipadukan oleh suatu teori metaetis. Di samping itu, tiga konsepsi memunculkan makna yang berbeda mengenai istilah “pendidikan moral/nilai”. Tiga konsepsi menyatakan secara tidak langsung perbedaan paradigma penelitian, yang menghasilkan kesimpulan bahwa cara mendidik moralitas hanya valid jika menggunakan konsepsi moralitas tertentu yang disarankan.
B.
TEORI PERKEMBANGAN JEAN PIAGET Dalam proses pembelajaran guru sering kali dihadapkan dengan berbagai dinamika mengenai perkembangan peserta didik. Perubahanperubahan dari peserta didik ini harus mendapatkan perhatian dari guru, karena guru bisa memilih strategi yang sesuai dengan karakteristik peserta didik yang terlibat dalam proses pembelajaran. Dalam teorinya, Piaget mengemukakan bahwa secara umum semua anak berkembang melalui
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
78
urutan yang sama, meskipun jenis dan tingkat pengalaman mereka berbeda satu sama lainnya. Perkembangan mental anak terjadi secara bertahap dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Semua perubahan yang terjadi pada setiap tahap tersebut merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengubah ataau meningkatkaan tahap perkembangan moral berikutnya. Berkaitan dengan perkembangan moral, piaget mengemukakan dua tahap perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Tahap pertama disebut “Heterenomous” atau tahap “Realisme moral” dalam tahap ini seorang anak cenderung menerima aturan begitu saja. Tahap kedua disebut “Autonomous morality” atau “Independensi moral” dalam tahap ini seorang anak memandang perlu untuk memodifikasi aturan-aturan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Dalam pandangan Piaget tahap-tahap kognitif mempunyai kaitan yang sangat erat dengan empat karakteristik berikut: 1.
Setiap anak pada usia yang berbeda akan menempatkan cara-cara yang berbeda secara kualitatif, utamanya dalam cara berfikir atau memecahkan permasalahan yang sama.
2.
Perbedaan cara berfikir antara anak satu dengan yang lain seringkali dapat dilihat dari cara mereka menyusun kerangka berfikir yang saling berbeda. Dalam hal ini ada serangkaian langkah yang konsisten dalam kerangka berfikirnya, dimana tiap-tiap anak akan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan usianya.
3.
Masing-masing cara berfikir akan membentuk satu kesatuan yang terstruktur. Ini berarti pada tiap tahap yang dilalui seorang anak diatur sesuai dengan cara berfikir tertentu. Piaget mengakui bahwa cara-cara berfikir, atau struktur tersebut pada dasarnya mengendalikan pemikiran yang berkembang.
4.
Tiap-tiap urutan dari tahap kognitif pada dasarnya merupakan suatu integrasi hirarkis dari apa yang telah dialami sebelumnya. Seperti dikemukakan sebelumnya, Piaget mencoba mengkaji tingkah
laku anak melalui aktivitas bermainnya, karena ia ingin menguji bagaimana
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
79
anak-anak dapat menyesuaikan konsepnya terhadap berbagai tata aturan. Dari hasil pengamatannya, Piaget mengetahui bahwa anak-anak pada usia sekitar tiga tahun yang bermain kelereng dengan teman-temannya umumnya belum mengembangkan aturan permainan sendiri, atau ada kecenderungan mereka untuk bermain sendiri-sendiri tanpa adanya kerja sama yang lebih terencana. Pada umumnya anak-anak pada usia ini cenderung menganggap pendirian atau pendapatnya sebagai sesuatu yang paling benar. Dalam perkembangan berikutnya, ketika anak menginjak usia sekitar 7 atau 8 tahun mulai berkembang perhatian terhadap keuntungan imbal balik dan kecenderungan untuk menyeragamkan aturan permainan. Selanjutnya pada periode codificationof rules, yang biasanya mulai berkembang usia sekitar 11 atau 12 tahun, dimana pada masa ini anak mulai mampu menentukan aturan permainan secara lebih detail. Aturan-aturan permainan yang dihasilkan ini anak dianggap sebagai hukum yang dihasilkan dari kesepakatan bersama, walaupun menurut mereka aturanaturan tersebut masih dapat dmodifikasi. Dari hasil penelitiannya Piaget mengetahui anak-anak yang lebih muda
usiannya
cenderung
memilih
sesuatu
tindakan
berdasarkan
konsekuensi atau akibat materialnya. Misalnya, Jhon lebih nakal dari Hendri karena Jhon memecahkan piring dan gelas sementara Hendri memecahkan sebuah cangkir. Dalam hal keadilan, Piaget menguraikan tentang pentingnya keadilan distributif (distributive justice), utamanya menyangkut bagaimana cara melaksanakan hukuman dan ganjaran yang seharusnya diberikan kepada tiap-tiap anggota kelompok. Keadilan distributif ini menurutnya dibedakan antara yang ekualitas dan ekuitas. Ekuitas adalah pandangan di mana tiap-tiap orang harus diperlakukan secara sama. Sementara ekuitas juga memperhitungkan pertimbanganpertimbangan dari masing-masing individu. Kesimpulan mendasar dari hasil pengamatan Piaget adalah bahwa dapat diambil terdapat pola-pola yang konsisten pada perilaku anak yang
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
80
bergerak dari satu tahap ke tahap berikutnya. Pola-pola perubahan ini terkait secara langsung dengan tingkat usia anak. C.
TEORI PERKEMBANGAN MORAL KOHLBERG Menurut Kohlberg pendekatan yang baik yang harus dilakukan untuk memahami perilaku moral harus didasari pemahaman tentang tahapantahapan perkembangan moral. Dijelaskan pula bahwa tujuan pendidikan moral adalah untuk mendorong individu-individu untuk mencapai tahapantahapan moral selanjutnya. Dalam keadaan itu pendidikan moral harus memperhatikan kepribadian secara menyeluruh, khususnya berkaitan dengan interaksi kita dengan orang lain, perilaku atau etika kita. Dalam keadaan ini maka guru tidak hanya menyajikan materi pelajaran kepada siswa, akan tetapi secara terus-menerus harus dapat mendorong perkembangan berpikir dan perubahan-perubahan perilaku menuju tahap perkembangan yang lebih tinggi. Yang penting sebagai guru harus mengajarkan tentang nilai-nilai moral. Kohlberg mencoba merevisi dan memperluas teori perkembangan moral yang dijelaskan oleh Piaget. Dalam perluasan teori ini Kohlberg tetap menggunakan pendekatan dasar Piaget yaitu menghadapkan anak-anak dengan serangkaian cerita-cerita yang menyangkut tentang moral. Namun cerita-cerita yang di kembangkan Kohlberg kira-kira lebih kompleks dari cerita-cerita yang digunakan oleh Piaget. Searah dengan Piaget, Kohlberg bahwa para remaja menerapkan stuktur kognitif moral mereka. Mereka menafsirkan segala tindakan dan perilaku berkembang menurut struktur mereka sendiri. Dengan demikian Kohlberg menemukan bahwa: (1) penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional, (2) terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan Piaget, (3) penelitiannya membenarkan pendapat Piaget, bahwa sekitar usia 16 tahun, pada masa remaja merupakan tahap tertinggi dalam proses tercapainya pertimbangan moral.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
81
Pada awalnya Kohlberg berpendapat enam tahap perkembangan moral yang dilalui seorang anak untuk dapat sampai ke tingkat remaja atau tingkat dewasa. Keenam tahap tersebut masing-masing berada pada level tiga, dimana pada level pertama dan kedua berada pada level
Pre-
Conventional, tahap ketiga dan keempat berada pada level Conventional, dan tahap lima dan enam berada pada Post Conventional, Autonomous atau Pricipled Level. Masing -masing tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut ini: 1.
Pre-Conventional Level (Tingkat Sebelum Konvensional) Pada level ini anak-anak
memberikan respon terhadap kebiasaan
yang mereka ketahui. Mereka belum dapat mengetahui dan menentukan baik buruk atau benar salahnya. a.
The punishment and obedience orientasi (orientasi pada hukum dan kepatuhan) Pada tahap ini anak berperilaku baik bukan karena kesadaran diri, tetapai baik karena ada konsekuensi. Misalnya, anak akan selalu belajar jam 19.00 - 20.30 karena takut di hukum oleh ayahnya jika ia melanggarnya, karena sudah ada kesepakatan.
b.
The instrumental relativist orientation (orientasi minat pribadi) Pada tahap ini pandangan terhadap perbuatan yang baik apabila memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang dapat memuaskan kebutuhan orang lain. Dan dapat menyikapi hubungan antar manusia.
2.
Conventional Level (Tingkat Konvensional) Pada level ini tumbuh kesadaran dari individu keluarga atau kelompok. Tindakan tersebut dilakukan karena kesadaran dan tidak memikirkan akibat yang muncul. Baik akibat sekarang atau yang akan datang.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
82
a.
The interpersonal concordance of “good boy-nice girl” orientation (orientasi anak manis) Pada tahap ini perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan dapat membantu orang lain. Maka dari itu perilaku baik akan dipertahankan dan diterapkan pada lingkungan sekitar.
b.
The law and order orientation (orientasi pada perintah dan hukum) Pada tahap ini perilaku yang benar adalah perilaku yang
mentaati peraturan/hukum yang berlaku. Seseorang harus mempunyai moral yang baik dan bisa menghargai aturan-aturan yang diterapkan. 3.
Past-Conventional, Autonomous, or Principled Level (Masa Lalu Konvensional, Otonomi, atau Tingkat Keyakinan) Pada level ini seseorang sudah berusaha untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki kebenaran tidak terkait dengan aturan kelompok. Seseorang harus yakin dengan dengan prinsipnya dan tidak akan terpengaruh dengan orang lain. a.
The social contract legalistic orientation (orientasi kontrak sosial legalistik) Tahap ke lima ini seseorang mempunyai kesadaran yang cukup tinggi. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang telah diuji dan disepakati bersama dalam ukuran-ukuran yang standar. Dan pada tahap ini seseorang lebih memperhatikan aturan-aturan dan prosedur yang sudah disepakati. Seseorang akan lebih terdorong dalam perilaku yang lebih baik.
b.
The universal ethical principle orientation (prinsip orientasi etika universal) Pada tahap ini moral yang dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan sosial. Prinsip ini dibatasi oleh kata hati
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
83
dan kesadaran. Jadi prinsip ini mengajari rasa persamaan hak asasi manusia dan saling menghormati orang lain yang tumbuh dari kesadaran individu agar manusia lebih mempunyai martabat yang lebih baik. Teori yang dikemukakan oleh Kohlberg tidak terlepas dari kritik. Yang paling banyak mendapatkan sorotan adalah pandangannya yang memberikan tempat istimewa terhadap keadilan, sebagai tingkatan tertinggi atau tahap tertinggi dari konsep perkembangannya.berdasarkan kritikan-kritikan yang muncul akhirnya mendorong Kohlberg untuk merevisi konsep tahap-tahapnya (dari tahap keenam kelima), dan sekaligus meninjau kembali kecenderungan untuk menempatkan keadilan sebagai prinsip tertinggi. D.
PANDANGAN PSIKOLOGI SOSIAL ERIK H. ERIKSON Sepintas dapat dikemukakan bahwa Erik H. Erikson adalah salah satu dari kelompok Neo-Freodian dimana mereka yang bertitik tolak dari kerangka pemikiran Psikoanalisa Freud. Meski dalam hal terdapat perbedaan pandangan dengan Freud, antara lain menyangkut tentang konsep perkembangan moral. Pandangan Erik H. Erikson tentang perkembangan moral dikemukakan berikut ini: 1.
Trust vs Mistrust (dipercaya vs tidak dipercaya) Seorang anak bayi akan mengenal sesuatu yang dilihatnya pertama kali. Jadi lebih menyesuaikan melalui perasaan dan apa yang dilihatnya. Ini patut untuk dipercaya (trust). Misalnya, sorang bayi akan lebih mengenal ibunya daripada ayahnya, karena ibu lebih berperan aktif terhadap anak. . Trust dalam hubungan ini diartikan sebagai suatu kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan bayi dengan sekitarnya. Mistrust kemungkinan adanya bahaya, ancaman, atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Dari adanya rasa tidak percaya seorang anak akan lebih menumbuhkan kesiapan dengan belajar dari lingkungan. Erikson tidak melihat bahwa setiap tahap merupakan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
84
kunci untuk menguasai secara penuh kualitas sosial pada tahap berikutnya. Dari apa yang dikemukakan di atas nampak bahwa Erikson lebih cenderung mengembangkan suatu orientasi terhadap sifat dasar manusia. 2.
Auntonomy vs Doubt (otonomi vs malu dan ragu-ragu) Menurut Erikson tiap-tiap tahap dalam perkembangan seseorang distrukturkan melalui cara-cara yang sama. Dalam tahap kedua ini Erikson mengidealisasikan tumbuhnya sifat-sifat positif (auntonomi) dan sifat-sifat negatif (doubt) secara bersama-sama. Sebuah aturan memerlukan rasa percaya diri. Disini lingkungan salah satu faktor dalam perkembangan anak. Anak cenderung mempunyai emosi yang tinggi dan apa yang diinginkan selalu ingin terpenuhi. Emosi seorang anak juga harus seimbang antara ego dan akibat yang akan dihadapi. Jadi anak tidak akan menuntut hal yang berlebihan. Dalam hubungan ini Erikson melihat bahwa pertumbuhan Auntonomi pada dasarnya memerlukan pengembangan rasa kepercayaan diri. Kendati demikian satu hal yang patut untuk diperhatikan bahwa auntonomi yang berlebihan dapat membahayakan.
3.
Initiative vs Guilt (inisiatif vs rasa bersalah) Dalam pandangan Erikson konflik yang paling menonjol di tahap ketiga ini adalah perkembangan suatu initiative terhadap satu sasaran atau tujuan, dan kemungkinan tumbuhnya guilt dalam upayanya untuk mencapai sasaran atau tujuan yang lain. Seorang anak dapat mengembangkan menyelesaikan
inisiatifnya. masalah
yang
Dia
dapat
dihadapi
berfikir dengan
bagaimana
menggunakan
pemahamannya sendiri. Tetapi jika ada orang yang mencemooh atau memarahi tingkah lakunya anak itu akan merasa bersalah dan takut untuk mengembangkan inisiatifnya. Ketakutan dan rasa bersalah ini faktor penghambat inisiatif dalaam berfikir.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
85
4.
Industry vs inferiority (tekun vs rendah diri) Tahap ke empat ini, anak mulai mampu berfikir deduktif
dari
pengetahuan yang umum ke pengetahuan yang khusus. Anak akan tertarik dengan hal-hal yang baru dan ingin mengetahui serta mempelajarinya. Disini orang tua berperan aktif untuk membimbing anak. Jika orang tua tidak mendukung dan mencemooh maka anak itu tidak mempunyai rasa percaya diri. Hal ini tidak patut diterapkan pada anak. Anak diberi kebebasan untuk menentukan sesuatu yang disukainya dan didukung peran orang tua. 5.
Identity vs Role Confusion (identitas vs kebingungan identitas) Erikson memperluas konsep yang dikemukakan oleh Freud dimana proses identitas diri akan tumbuh dalam diri anak pada saat mereka sudah memasuki tahap phallic (sekitar usia 4-6 tahun) dimana pada saat itu anak-anak akan memperoleh kepuasan atau kekuasaan dengan jalan mengimajinasikan hubungan yang erat antara dirinya dengan orang tua atau orang lain yang mempunyai kelamin sejenis. Remaja harus bisa mengembangkan identitas dirinya. Identitas yang dikembangkan harus lebih baik daripada sebelumnya. Mereka harus bisa menempatkan posisi dirinya lebih berperan aktif dalam menyelesaikan masalah, bukan hanya mengendalikan dorongan seksualitasnya.
6.
Intimacy vs Isolation (keintiman vs keterkucilan) Menurut Ericson konflik yang paling menonjol di tahap enam adalah intimacy di satu pihak dan isolation di pihak lain. Pada tahap ini anak sudah mampu menentukan pertemanan dan persahabatan. Anak mampu berinteraksi dengan orang lain bahkan diperbolehkan untuk mengikat hubungan pernikahaan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
86
7.
Generativity vs Self-absorbtion (bangkit vs stagnan) Dalam sebuah perkawinan diharapkan dapat membangun keluarga yang sejahtera. Walaupun ada masalah yang sulit harus bisa menyelesaikan dengan bijaksana. Seseorang harus mempunyai wawasan yang luas untuk memenuhi kebutuhanya secara lahir batin.
8.
Integrity vs Despair (integritas vs putus asa) Seseorang mempunyai kemampuan untuk menyikapi kehidupannya dengan cara yang bijaksana dan tidak menganggap hidupnya sia-sia. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah mengakibaatkan kegagalan bagi dirinya. Integritas yang matang adalah adanya rasa percaya diri, otonomi, dan inisiatif yang mampu dikembangkan dan berubah menjadi yang lebih baik.
E.
MEMADUKAN
PANDANGAN
PIAGET,
KOHLBERG
DAN
ERIKSON Dari uraian yang dipaparkan terdahulu berkenaan dengan teori perkembangan moral yang dijadikan bahasa utama menurut Jean Piaget, Lawrence Kohlberg maupun kajian pembanding berdasarkan teori Psikososial Erik H. Erikson dapat dilihat beberapa kesamaan pandangan maupun perbedaan, utamanya berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan moral anak. Kesamaan pandangan yang paling nampak adalah pengakuan terhadap adanya tahap-tahap perkembangan anak dari tahap yang paling sederhana dan sangat realistik dalam memandang sesuatu sampai pada struktur yang lebih komplek dan semakin abstrak, walaupun jumlah dan sebutan untuk masing-masing tahap berbeda menurut hasil penelitian dan kajian mereka masing-masing. Di samping adanya bagian-bagian tertentu yang menunjukkan adanya kesamaan pandangan, juga terdapat perbedaan-perbedaan yang secara jelas terlihat dalam kajian yang mereka lakukan. Kesimpulan Jean Piaget yang mengatakan bahwa semua anak akan berkembang melalui urutan-urutan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
87
yang sama tanpa harus bergantung pada tingkat pengalaman, kondisi keluarga bahkan kebudayaan cenderung merupakan kesimpulan yang kurang proporsional. Hasil-hasil penelitian lain dan fakta empirik menunjukkan bahwa terutama fungsi keluarga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap proses perkembangan dan moral anak. Hal ini juga berarti bahwa kondisi keluarga untuk hal-hal tertentu dapat menyebabkan perbedaan di dalam urutan-urutan perkembangan anak. Bagi anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga dalam latar kondisi yang normal, kalaupun beda perbedaan, perbedaan itu merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini tidak akan menimbulkan pertentangan. Namun kenyataan juga menunjukkan bahwa tidak sedikit anak yang dibesarkan dalam iklim keluarga yang mungkin dapat dikatakan ekstrim. Dalam kondisi ini mungkin saja dapat menimbulkan proses perkembangan anak
menjadi
tidak dapat berlangsung secara normal. Mungkin dapat dikatakan bahwa secara umum memang anak akan berkembang menurut urutan yang sama, akan tetapi sangat sulit
untuk mengkondisikan keluarga yang akan
memungkinkan urutan perkembangan anak menjadi berbeda. Pandangan Piaget ini juga berbeda dengan pandangan Erik H. Erikson yang melihat bahwa perkembangan tiap-tiap tahap harus didukung oleh pranata-pranata budaya yang kuat, utamannya oleh orang tua dan berikutnya oleh berbagai unsur kemasyarakatan. Pandangan Piaget yang mengemukakan bahwa dalam tahap realisme moral, anak menerima saja sepenuhnya aturan-aturan yang diberikan oleh orang-orang yang berkompeten, mungkin kurang menyentuh hakikat psikologis anak. Sesungguhnya anak pada usia ini juga merasakan kesetujuan dan ketidaksetujuan terhadap sesuatu aturan yang ditetapkan untuk dirinya, namun reaksi ini sering kali kurang terlihat secara jelas melalui perilaku mereka sebagaimana terjadi pada anak-anak yang lebih tinggi tingkat perkembangannya. Sebagai contoh ketika seorang ibu harus mengharuskan seorang bayi atau anak tidur siang, sementara anak masih
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
88
asyik dengan permainannya. Atau mereka diharuskan makan, sementara mereka sebenarnya belum lapar. Reaksi yang muncul mungkin tidak dalam bentuk penolakan secara nyata dalam aturan tersebut, akan tetapi seringkali ditunjukkan dengan sikap cerewet ketika diberi makan atau ditidurkan oleh ibunya. Reaksi-reaksi psikologis seperti ini nampaknya kurang menjadi fokus perhatian Piaget dalam penarikan kesimpulannya. Keadilan distributif yang diungkapkan Piaget merupakan pandangan yang positif karena dia mempunyai pandangan tentang pentingnya keadilan ekualitas dan ekuitas, yakni pada satu sisi dia melihat bahwa setiap orang harus diperlukan secara sama, dan di sisi lain dia juga memandang bahwa dalam menetapkan hukuman dan ganjaran juga perlu memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan
dari
masing-masing
individu
Teori
perkembangan moral dari Kolhberg secara keseluruhan telah menguraikan secara lebih detail tentang tahap-tahap perkembangan moral, meskipun dalam pembahasan setiap tahap tersebut Kolhberg juga belum dapat memperhatikan secara menyeluruh realitas moral anak. Pada teori perkembangan
moral
Kolhberg,
perkembangan
moral
anak
lebih
didiominasi oleh perhatiannya pada faktor-faktor di dalam individu sendiri dan kurang melihat pentingnya faktor- faktor lingkungan dan sosial, serta sama sekali meniadakan faktor- faktor positif bawaan yang ada pada anak. Sebagai contoh pada perkembangan tahap pertama dikemukakan bahwa “perilaku baik “ yang muncul pada anak-anak bukan tumbuh sebagai suatu kesadaran akan kebaikan, akan tetapi hal itu muncul karena adanya konsekuensi terutama berupa hukuman. Bilamana hal ini dilihat secara seksama dalam realitas perilaku anak, sesungguhnya tidak semua perilaku yang baik
itu muncuk disebabkan karena adanya konsekuensi berupa
hukuman, akan tetapi telah ada (walaupun dalam kapasitas yang sederhana) dorongan-dorongan moral dalam diri anak untuk melakukan hal-hal yang baik yang tidak semata-mata karena konsekuensi hukuman. Oleh karena itu dalam konteks pembelajaran, pengembangan potensi- potensi positif dalam
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
89
diri anak dan upaya-upaya penyadaran akan perilaku positif jauh lebih penting daripada menetapkan sanksi dan hukuman, jika anak tidak melakukan sesuatu yang diharapkan. Dalam aspek-aspek moral yang lebih abstrak seperti rasa tanggung jawab dan percaya diri juga kurang menjadi perhatian dalam teori Kolhberg. Dalam pembahasan teori Erikson dikemukakan tentang pentingnya percaya diri dalam mendorong pertumbuhan autonomy. Namun apa yang dikemukakan bahwa mesti mempercayai dunia sekitar terlebih dahulu sebelum ia dapat mempercayai dirinya sendiri, merupakan penegasan yang perlu dikaji secara cermat, sebab di dalam penjelasan dari sudut pandang lain dikemukakan bahwa seseorang diharuskan ntuk mengenali dirinya sendiri terlebih dahulu baru ia dapat memahami hakikat dunia sekitarnya. Moral berkaitan dengan disiplin dan kemajuan kualitas perasaan, emosi, dan kecenderungan manusia, sementara aturan pelaksanaannya merupakan aturan praktis tingkah laku yang tunduk pada sejumlah pertimbangan dan konvensi lainya meskipun kadang-kadang sesuai dengan kriteria moral. Teori-teori perkembangan dan pertimbangan moral, baik yang diungkapkan oleh Piaget, Kohlberg maupun Erikson sebagai mana dipaparkan terdahulu dapat dijadikan sebagai pengetahuan dalam membuka pemahaman awal perkembangan moral. Walaupun terdapat sejumlah perbedaan pandangan dan kekurangan dari masing-masing teori yang dikemukakan, namun pada prinsipnya merupakan mereka telah muntuk membuka peluang pengkajian-pengkajian lebih lanjut ke arah pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam dari setiap tahap perkembangan tersebut. Satu hal yang paling nampak kesamaan dari beberapa pandangan ini adalah bahwa tiap-tiap perkembangan lebih lanjut dari setiap tahap perkembangan, ditentukan oleh tahap perkembangan sebelumnya.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
90
Beberapa hasil kajian Kohlberg yang mengungkapkan bahwa penilaian dan perbuatan moral bukanlah soal pada prinsipnya bersifat rasional, dan keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai memberikan kesan bahwa perhatiannya lebih banyak terarah pada perkembangan
kognitif.
Demikian
juga
banyaknya
kritikan
pola
pertimbangan moral pasca-konvesional yang kurang dibuktikan oleh datadata empiris penelitian lintas budaya, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan tentang pengaruh sosial budaya yang tidak diungkapkan oleh Kolhberg. Kajian yang dilakukan oleh Kohlberg maupun Piaget yang nampak lebih banyak terfokus pada perhatian perkembangan moral kognitif dilihat sebagai sisi yang lemah, akan tetapi selanjutnya kajian Erikson yang memberikan perhatian cukup proporsional terhadap besarnya peranan lingkungan sosial serta nilai-nilai budaya sehingga dapat melengkapi kekurangan itu walaupun masih belum komprehensif. Urain-uraian tersebut memberikan makna dan penegasan bahwa pemahaman terhadap suatu teori harus dikaji secara mendalam dan komprehensif, apalagi teori yang tidak bertolak dari nilai-nilai agama yang sifatnya sangat tentatif. Teori-teori tersebut dapat dijadikan sebagai pengetahuan dan penambahan wawasan, akan tetapi untuk kepentingan lebih jauh apalagi untuk dapat dijadikan pegangan harus dikaji melalui sudut pandang nilai-nilai dasar yang lebih diyakini kebenarannya. F.
IMPLEMENTASI KETERPDUAN DALAM PEMBELAJARAN Beberapa teori atau pandangan yang dikemukakan sebelumnya memberikan inspirasi
tentang pentingnya pemahaman guru terhadap
perkembangan dan eksistensi siswa, pemilihan bahan pembelajaran, penentuan strategi pembelajaran dalam upaya mewujudkan proses pembelajaran yang optimal.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
91
1.
Pemahaman Peserta Didik Pemahaman peserta didik merupakan faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Jika guru memahami peserta didik dengan baik, maka ia dapat memilih dan menentukan
sumber-sumber
belajar
yang
tepat,
pendekatan-
pendekatan yang sesuai, mampu mengatasi masalah- masalah pembelajaran sehari-hari dengan baik, sehingga potensi anak dapat didorong untuk mencapai perkembangan yang optimal melalui penyelenggaraan proses pembelajaran. Pemahaman potensi peserta didik merupakan kerangka dasar bagi pemahaman peserta didik secara keseluruhan. Kekeliruan pandangan terhadap eksistensi mereka seringkali menimbulkan dampak yang serius bagi anak. Sebagai contoh anak yang tinggal kelas sering dianggap sebagai anak bodoh. Ini tentu anggapan yang tidak tepat dan sangat merugikan anak, sebab kenyataannya banyak anak-anak yang mampu mencapai keberhasilan yang baik, sementara sebelumnya mereka pernah mengalami tinggal kelas. Seharusnya masalah-masalah ini dikaji dan dianalisis kasus per kasus. Dalam psikologi pendidikan dikatakan, anak- anak yang nunggak
alias
tinggal kelas umumnya tergolong anak yang underachiever atau tidak terpenuhi kebutuhannya. Conny Semiawan (2002), lebih jauh menjelaskan bahwa anak yang underachiever dalam kesehariannya kurang dapat pengarahan sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya saja, si anak senang sekali membaca tetapi di rumah tidak atau kurang disediakan sarana bacaan yang sesuai dengan usianya. Atau si anak gemar sekali dengan musik, namun orang tua tidak memperbolehkannya ikut les musik karena takut mengganggu pelajaran sekolahnya.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
92
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya pemahaman peserta didik mencakup memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, memahami peserta didik dengan
memanfaatkan
prinsip-prinsip
kepribadian,
dan
mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik. Berkenaan dengan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, guru perlu memahami periode perkembangan kognitif anak. Pakar psikolgis dari Swiss, Jean Piaget mengemukakan empat periode perkembangan kognitif anak yaitu: periode sensorimotorik, periode operasi awal, periode operasi kongkrit dan periode operasi formal (Kartadinata dan Dantes 1997: 60 ). a.
Periode Sensorimotorik Menurut Piaget, sampai usia kurang lebih delapan belas bulan perkembangan skema lebih terpusat kepada sensorimotorik. Bayi mengembangkan dan mengkoordinasikan sejumlah besar ragam keterampilan perilaku, namun perkembangan skema verbal
dan
kognitif
masih
sangat
miskin
dan
tidak
terkoordinasikan. Pembentukan konsep pada periode ini terbatas pada obyek permanen, yaitu obyek yang tampak dalam batas pengamatan anak. Perilaku obyektif secara perlahan-lahan berangsur bergerak ke arah kegiatan yang bertujuan. b.
Periode Operasi Awal Kurang lebih dari usia delapan belas bulan hingga kira-kira tujuh tahun, anak menginternalisasi skema sensorimotorik ke dalam bentuk skema kognitif (imajinasi dan pikiran). Seorang anak yang dihadapkan pada teka-teki, gambar atau menyusun balok, anak memulai kegiatannya dengan mengingat kembali pengalaman sebelumnya dalam situasi yang sama. Skema yang berkembang pada masa ini belum merupakan skema yang stabil.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
93
Anak belum banyak belajar menimbang sesuatu berdasarkan persepsi orang lain. Oleh sebab itu kecakapan yang berkembang dalam periode ini masih bersifat egosentrik. Artinya apa yang ia lakukan merupakan cara yang paling benar dan seolah-olah tidak ada alternatif lain. Di samping itu anak masih sangat mudah dibingungkan dengan keragaman obyek. Kemampuan anak membedakan obyek akan sangat tergantung pada ciri-ciri fisik permanen yang teramati. c.
Periode Operasi Kongkrit Sejak usia kurang lebih tujuh tahun sampai 12 tahun, perkembangan skema pada periode ini lebih berupa skema kognitif, terutama yang berkaitan dengan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah. Periode opersi kongkrit tidak hanya memungkinkan anak memecahkan masalah khusus, tetapi juga belajar untuk mempelajari keterampilan dan kecekapan berpikir logis yang membantu mereka memaknai pengalaman.
d.
Periode Operasi Formal Periode ini berlangsung pada usia 12 tahun ke atas. Ciri utama dari periode ini adalah perkembangan kecakapan berpikir simbolik dan pemahaman isi secara bermakna tanpa bergantung pada keberadaan objek fisik, atau bahkan dalam imajinasi masa lalu akan objek sejenis. Anak yang berada pada periode operasi formal mampu berpikir logis dan matematis, abstrak dan bahkan mampu memahami hal- hal yang secara teoritik mungkin terjadi akan tetapi dalam pernah terjadi dalam kenyataan. Pemahaman peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian juga merupakan komponen penting dalam upaya mewujudkan efektivitas proses pendidikan dan pembelajaran. Asrori (2003: 6) mengemukakan bahwa perkembangan berbagai karakteristik individu tampak dalam aspek-aspek yang ada pada setiap diri
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
94
individu yang meliputi perbedaan karakteristik individual: (a) aspek fisik, (b) aspek intelek, (c) aspek emosi, (d) aspek sosial, (e) aspek bahasa, (f) aspek bakat, (g) aspek nilai, moral dan sikap. Tiap-tiap aspek di atas menunjukkan karakteristik individual yang berbeda sehingga tiap individu sebagai kesatuan jasmani dan rohani mewujudkan dirinya secara utuh dalam keunikannya. Dalam keadaan itu, maka harus dapat memahami keunikan-keunikan
tersebut
sehingga
akan
membantu
memudahkan guru untuk memilih pendekatan yang sesuai dalam mendorong perkembangan peserta didik secara optimal. 2.
Mengaktualisasikan Potensi Siswa Upaya-upaya
pengembangan
peserta
didik
agar
mampu
mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya merupakan tanggung jawab seluruh guru. Dalam praktek pelaksaan pendidikan di sekolah masih seringkali terdapat persepsi yang keliru yang memisahkan tanggung jawab guru dalam batas-batas pengembangan potensi tertentu dari peserta didik. Kita sering mendengar misalnya pihak yang menyatakan bahwa upaya pengembangan aspek-aspek nilai/moral hanya merupakan kewajiban guru- guru bidang studi tertentu saja, sehingga ada guru-guru yang mengasuh bidang studi yang lain merasa bahwa mereka hanya bertanggung jawab mengajarkan materi pelajaran yang menjadi muatan bidang studi yang diajarkannya. Padahal sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan murid merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh semua sekolah dan guru, dan itu berarti sangat keliru jika guru hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pelajaran pada bidang studinya saja (Gordon, 1997 : 8). Guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui perkembangan kepribadian dan nilai- nilai yang diinginkan. Dari dimensi tersebut, peranan guru sulit
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
95
digantikan oleh yang lain. Karenanya dalam proses pembelajaran di kelas guru tidak cukup hanya berbekal pengetahuan berkenaan dengan bidang studi yang diajarkan, akan tetapi harus memperhatikan aspek-aspek pendidikan lainnya yang memiliki kedudukan sama pentingnya untuk mendukung terwujudnya proses pembelajaran yang diharapkan. Mungkin benar apa yang dikatakan Ara Tai, anak usia 12 tahun asal Slandia Baru tentang guru yang baik. “Guru yang baik itu suka bekerja keras yang disertai kasih sayang. Tanpa didasari kasih sayang kepada kami anak-anak, semua yang dilakukan oleh guru itu sia- sia belaka, “tulisnya dalam buku terbitan UNESCO, (Supriadi, 1998 : 2). 3.
Pemilihan Bahan Pembelajaran Untuk terwujudnya iklim dan proses pembelajaran yang kondusif perlu didukung oleh berbagai faktor, baik berkenaan dengan kemampuan guru, misalnya di dalam memilih bahan ajar, sarana dan fasilitas pendukung serta yang tidak kalah pentingnya kesiapan dan motivati siswa untuk belajar dan mencapai hasil belajar yang optimal. Dalam pemilihan bahan ajar ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran meliputi prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan. a)
Prinsip relevansi artinya, materi pembelajaran harus relevan atau ada kaitannya dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebagai misal, jika kompetensi yang diharapkan dikuasai siswa berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa fakta atau gubahan hafalan.
b)
Prinsip konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi dasar harus dikuasai siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam. Misalnya kompetensi dasar yang yang harus dikuasai siswa adalah
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
96
pengoperasian
bilangan
yang
meliputi
penambahan,
pengurangan, perkalian , dan pembagian, maka materi yang diajarkan juga harus meliputi teknik penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. c)
Prinsip kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak akan membuang waktu atau tenaga sementara hal itu diluar kemamuan anak. Dalam proses belajar mengajar, diharapkan tidak hanya
berlangsung interaksi intruksional, tetapi juga interaksi pedadog yang mengutamakan sentuhan-sentuhan emosional sehingga anak merasa senang belajar. Jean Piaget mengingatkan pentingnya metode mengjar anak yang seimbang dengan usia serta perkembangan fisik serta mental anak. Sebagai contoh anak usia 7 – 10 tahun berada pada stadium operasional kongkrit. Pada stadium ini anak sudah mampu melakukan aktivitas logis tertentu tetapi masih dalam situasi kongkret. Maksudnya, kalau anak dihadapkan suatu masalah secara verbal saja, tanpa
bahan
yang
kongkrit,
ia
akan
sulit
menuntaskan
permasalahannya secara baik. Bahan kongkrit ini bisa berupa alat peraga. Mereka akan lebih mudah belajar belajar menjumlahkan angka dengan menggunakan alat bantu sederhana seperti lidi atau batang korek api. Memberikan suatu pengertian bahwa sifat-sifat tertentu suatu objekakan tetap sama kendati ada transformasi pada objek
tersebut (konservasi), bisa diperagakan misalnya denag
segenggam tanah liat yang diubah-ubah bentuknya menjadi segitiga, segi empat atau bulat. Bentuknya berubah tapi beratnya tetap sama.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
97
Metode pembelajaran yang baik harus didukung oleh berbagai faktor penunjang seperti perhatian serta dukungan orang tua, keadaan lingkungan serta kesehatan yang baik dan gizi anak yang cukup. Langkah-langkah yang perlu untuk menjalankan siasat jangka panjang demi perkembangan prestasi anak antara lain adalah lebih sering mengamati
anak,
mendengarkan
obrolannya,
mau
berdialog
dengannya, mendampinginya membuat PR. Langkai ini ditempuh agar orang tua dapat masukan cukup yang diperlukan untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Kalau sekali waktu anak gagal meraih prestasi, atau pahitnya sampai tidak naik kelas, hendaknya disikapi dengan empati, bukannya dimarahi atau hukuman yang merendahkan harga diri si anak. Untuk memperbaiki prestasinya, hendaknya ditelusuri sebabnya. Kalau perlu, minta bantuan ahli atau guru kelasnya. Sebaliknya, berikan apresiasi (penghargaan misalnya pujian yang wajar, tidak harus dalam bentuk materi) setiap anak menunjukkan prestasi. Anak butuh kasih sayang dan perhatian dari orang-orang yang dekat dengannya, yaitu orang tua tentu juga guru.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
98
BAB V PRINSIP-PRINSIP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN A.
PENGERTIAN PRINSIP BELAJAR Prinsip Belajar Menurut Robert H Davies (dalam Pannen: 2003) adalah suatu komunikasi terbuka antara pendidik dengan peserta didik sehingga siswa termotivasi belajar yang bermanfaat bagi dirinya melalui contoh-contoh dan kegiatan praktek yang diberikan pendidik lewat metode yang menyenangkan siswa. Menurut Gestalt, prinsip belajar adalah suatu transfer belajar antara pendidik dan peserta didik sehingga mengalami perkembangan dari proses interaksi belajar mengajar yang dilakukan secara terus menerus dan diharapkan peserta didik akan mampu menghadapi permasalahan dengan sendirinya melalui teori-teori dan pengalaman-pengalaman yang sudah diterimanya. Berdasarkan Pendapat para Ahli, dapat disimpulkan bahwa prinsip belajar adalah landasan berpikir, landasan berpijak, dan sumber motivasi agar proses belajar dan pembelajaran dapat berjalan dengan baik antara pendidik dengan peserta didik.
B.
PRINSIP-PRINSIP BELAJAR Dalam
proses
pembelajaran,
guru
dituntut
untuk
mampu
mengembangkan potensi-potensi peserta didik secara optimal. Upaya untuk mendorong terwujudnya perkembangan potensi peserta didik tersebut tentunya merupakan suatu proses panjang yang tidak dapat diukur dalam periode tertentu, apalagi dalam waktu yang sangat singkat. Meskipun demikian indikator terjadinya perubahan ke arah perkembangan pada peserta didik dapat dicermati melalui instrumen-instrumen pembelajaran yang dapat digunakan guru. Oleh karena itu, seluruh proses dan tahapan pembelajaran harus mengarah pada upaya mencapai perkembangan potensipotensi anak tersebut. Agar aktivitas yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran terarah pada upaya peningkatan potensi siswa secara komprehensip, maka pembelajaran harus dikembangkan sesuai dengan Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
99
prinsip-prinsip yang benar, yang bertolak dari kebutuhan internal siswa
untuk
belajar.
Davies
(dalam
Aunurrahman,
2012:
113),
mengingatkan beberapa hal yang dapat menjadikan kerangka dasar bagi penerapan prinsip-prinsip belajar dalam proses pembelajaran, yaitu: 1)
Hal apapun yang dipelajari murid, maka ia harus mempelajarinya sendiri. Tidak seorang pun yang dapat melakukan kegiatan belajar tersebut untuknya.
2)
Setiap murid belajar menurut tempo (kecepatannya) sendiri dan untuk setiap kelompok umur, terdapat variasi dalam kecepatan belajar.
3)
Seorang murid belajar lebih banyak bilamana setiap langkah segera diberikan penguatan (reinforcement).
4)
Penguasaan secara penuh dari setiap langkah-langkah pembelajaran, memungkinkan murid belajar secara lebih berarti.
5)
Apabila murid diberikan tanggung jawab untuk mempelajari sendiri, maka ia lebih termotivasi untuk belajar, dan ia akan belajar dan mengingat lebih baik. Prinsip belajar menunjuk kepada hal-hal penting yang harus
dilakukan guru agar terjadi proses belajar siswa sehingga proses pembelajaran yang dilakukan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Prinsip-prinsip belajar juga memberikan arah tentang apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh guru agar para siswa dapat berperan aktif di dalam proses pembelajaran. Bagi guru, kemampuan menerapkan prinsipprinsip belajar dalam proses pembelajaran akan dapat membantu terwujudnya tujuan pembelajaran yang dirumuskan dalam perencanaan pembelajaran. Sementara bagi siswa prinsip-prinsip pembelajaran akan membantu tercapainya hasil belajar yang diharapkan. Dalam perencanaan pembelajaran, prinsip-prinsip belajar dapat mengungkap batas-batas kemungkinan dalam pembelajaran. Dalam melaksanakan pembelajaran, pengetahuan tentang teori dan prinsip-prinsip
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
100
belajar dapat membantu guru dalam memilih tindakan yang tepat (Dimyati & Mujiono, 2006: 41). Banyak teori dan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh para ahli yang satu dengan yang lain memiliki persamaan dan perbedaan. Dari berbagai prinsip belajar tersebut terdapat beberapa prinsip yang relatif berlaku umum yang dapat digunakan sebagai dasar dalam upaya pembelajaran. Prinsip-prinsip itu berkaitan dengan perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung/berpengalaman, pengulangan, tantangan, balikan atau penguatan, serta perbedaan indivual. 1.
Prinsip Perhatian dan Motivasi Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar. Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi dapat dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil. Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat terhadap sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya dan dengan demikian timbul motivasinya untuk mempelajari bidang studi tersebut. Motivasi dapat bersifat internal maupun eksternal. Motivasi dapat bersifat internal artinya datang dari dirinya sendiri, dapat juga bersifat eksternal yakni datang dari orang lain, dari guru, orang tua, teman dan sebagainya.
2.
Prinsip Keaktifan Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinnya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri. John Dewey mengemukakan bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
101
datang dari siswa sendiri. Guru sekedar pembimbing dan pengarah. Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang sangat aktif, jika mengolah informasi yang kita terima, tidak sekedar menyimpannya saja tanpa mengadakan transformasi. Thorndike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum “Law of Exercise” yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan.
Dalam
setiap
proses
belajar,
siswa
selalu
menampakkan keaktifan. Keantifan itu beraneka ragam bentuknya. Mulai dari kegiatan fisik yang mudah kita amati, misalnya membaca, menulis, berlatih keterampilan, dan sebagainya, serta sampai kegiatan psikis yang susah diamati, seperti membandingkan satu konsep dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan, dan kegiatan psikis lain. 3.
Prinsip Keterlibatan Langsung/Pengalaman Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa yang tidak hanya mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Sebagai contoh seseorang yang belajar membuat tempe, yang paling baik apabila ia terlibat secara langsung dalam pembuatan, bukan sekedar melihat bagaimana orang membuat tempe, apalagi sekedar mendengar orang bercerita bagaimana cara pembuatan tempe. Keterlibatan siswa di dalam belajar jangan diartikan keterlibatan fisik semata, namun lebih dari itu terutama adalah keterlibatan mental emosional, keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan pengetahuan, dalam penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan latihan-latihan dalam pembentukan keterampilan.
4.
Prinsip Pengulangan Pada teori Psikologi Asosiasi atau Koneksionisme mengungkapkan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
102
memperbesar peluang timbulnya respons benar. Pengulangan dalam belajar akan melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas
daya
mengamat,
menanggap,
mengingat,
mengkhayal,
merasakan, hingga berfikir yang akan membuat daya-daya tersebut berkembang. 5.
Prinsip Tantangan Teori Medan (Field Teory) dari Kurt Lwein mengemukakan bahwa siswa dalam situasi belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi belajar siswa menghadapi suatu tujuan tetapi selalu menghadapi hambatan yaitu mempelajari bahan pelajaran, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan tersebut telah diatasi artinya tujuan belajar telah tercapai maka ia akan memasuki dalam medan baru dan tujuan baru.
6.
Prinsip Balikan dan Penguatan Prinsip belajar yang berkaitan dengan balikan dan penguatan terutama ditekankan oleh teori belajar Operant Conditioning dari B. F. Skinner. Kalau pada teori Conditioning yang diberi adalah stimulusnya, maka pada Operant Conditioning yang diperkuat adalah responnya. Kunci dari teori belajar ini adalah law of effect-nya Thorndike. Siswa akan belajar lebih bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang balik. Hasil, apalagi hasil yang baik akan merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar. Namun dorongan belajar itu menurut B. F. Skinner tidak saja oleh penguatan yang menyenangkan tetapi juga yang tidak menyenangkan. Atau dengan kata lain penguatan yang positif maupun penguatan negatif dapat memperkuat belajar. Nilai yang baik merupakan operant conditionang atau penguatan positif, sebaliknya. Mendapat nilai jelek/buruk akan mendapatkan escape conditioning atau penguat negatif. Format sajian berupa tanya jawab, diskusi, eksperimen,
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
103
metode
penemuan
merupakan
cara
belajar
mengajar
yang
memungkinkan terjadinya balikan dan penguatan. 7.
Prinsip Perbedaan individual Tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan individu ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa (Kasyadi, dkk., 2014). Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran.
C.
IMPLIKASI
PRINSIP-PRINSIP
BELAJAR
DALAM
PEMBELAJARAN Berikut
ini
diuraikan
beberapa
prinsip
belajar
yang
dapat
dikembangkan dalam proses pembelajaran. 1.
Prinsip Perhatian dan Motivasi Perhatian dan motivasi merupakan dua aktivitas yang memiliki keterkaitan yang sangat erat. Untuk menumbuhkan perhatian diperlukan adanya motivasi. Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar pada umumnya meningkat jika anak memiliki motivasi yang kuat untuk belajar. Motivasi merupakan tenaga pendorong bagi seseorang agar memiliki energi atau kekuatan melakukan sesuatu dengan penuh semangat. Motivasi sebagai suatu kekuatan yang mampu mengubah energi dalam diri seseorang dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Oemar Hamalik (2001), mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan). Perubahan energi di dalam diri seseorang tersebut kemudian membentuk suatu aktivitas nyata dalam berbagai bentuk kegiatan. Motivasi terkait erat dengan kebutuhan. Semakin besar kebutuhan seseorang akan sesuatu yang ingin ia capai, maka akan semakin kuat motivasi untuk mencapainya. Kebutuhan yang kuat
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
104
terhadap sesuatu akan mendorong seseorang untuk mencapainya dengan sekuat tenaga. Hanya dengan motivasilah anak didik dapat tergerak hatinya untuk belajar bersama teman-temannya yang lain (Djamarah, 2006: 148). Dalam kegiatan belajar, peran guru sangat penting di dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa. Menyadari bahwa motivasi terkait erat dengan kebutuhan, maka tugas guru adalah meyakinkan para siswa agar tujuan belajar yang ingin diwujudkan menjadi suatu kebutuhan bagi setiap siswa. Guru hendaknya dapat meyakinkan siswa bahwa hasil belajar yang baik adalah suatu kebutuhan guna mencapai sukses yang dicita-citakan. Perilaku atau sikap yang terpuji adalah kebutuhan, karena seseorang kelak tidak mungkin dapat hidup harmonis dan diterima di lingkungan sosial masyarakat bilamana ia tidak dapat menunjukkan sikap atau perilaku yang baik. Keterampilan tertentu adalah kebutuhan, karena setiap pekerjaan membutuhkan keterampilan. Bilamana guru dapat merubah tujuan-tujuan belajar ini menjadi kebutuhan, maka siswa akan lebih mudah untuk terdorong melakukan aktivitas belajar. Motivasi dapat bersifat internal dan eksternal. Beberapa penulis atau ahli yang lain menyebutnya motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi internal atau motivasi instrinsik adalah dorongan dari dalam diri individu untuk melakukan suatu aktivitas. Sebagai contoh, seorang siswa mempelajari pelajaran Fisika dengan sungguh-sungguh karena terdorong untuk memperoleh pengetahuan atau mendalami mata pelajaran tersebut. Siswa yang lain mengerjakan lukisan-lukisan dengan cermat dan sungguh-sungguh karena tertarik dan menyenangi lukisan yang dibuatnya. Motivasi eksternal adalah dorongan yang berasal dari luar diri individu. Tono seorang murid sekolah dasar, berusaha belajar dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan nilai yang tinggi pada mata pelajaran Matematika misalnya, karena orang tuanya menjanjikan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
105
akan memberikan hadiah bilamana ia mendapatkan nilai yang tinggi pada mata pelajaran tersebut. Seorang atlit berusaha keras mencapai prestasi, karena ingin mendapatkan predikat juara dan memperoleh sejumlah hadiah yang dijanjikan. Tentu saja setiap siswa melakukan aktivitas belajar diharapkan didorong oleh motivasi internal, karena hal itu menjadi pertanda telah tumbuhnya kesadaran dari dalam diri siswa untuk belajar secara sungguh-sungguh. Namun demikian tidak berarti bahwa motivasi eksternal tidak memiliki posisi yang penting bagi para siswa, karena hasil-hasil penelitian juga banyak menunjukkan bahwa pemberian motivasi menjadi faktor yang memberi pengaruh besar bagi pencapaian hasil belajar atau kesuksesan seseorang. Motivasi eksternal melalui proses belajar dan interaksi individu dengan lingkungannya dapat berubah menjadi motivasi internal. Sebagai contoh, Rini, seorang murid sekolah dasar pada mulanya terdorong untuk mencapai prestasi atau hasil belajar yang baik tiap kali ulangan pada salah satu mata pelajaran karena didorong oleh adanya janji orang tuanya yang akan memberikan hadiah jika mencapai hasil belajar yang diharapkan. Dalam beberapa tahun terbukti Rini mampu mencapai hasil belajar yang diharapkan seperti keinginan orang tuanya. Sejalan dengan perubahan waktu, kesadaran akan pentingnya nilai atau hasil belajar yang baik kini tumbuh dalam diri Rini. Bahkan kini ia merasakan bahwa hasil belajar yang baik merupakan kebutuhan yang harus ia dapatkan. Ketika Rini lulus sekolah dasar dan memasuki sekolah menengah pertama, orang tuanya tidak lagi menjanjikan untuk memberikan hadiah, jika ia mencapai prestasi yang baik. Namun Rini tetap belajar giat karena ia menyadari bahwa hasil belajar yang baik adalah kebutuhannya sendiri, dan karenanya diberikan hadiah ataupun tidak hal itu harus ia raih. Contoh ini menunjukkan bahwa motivasi eksternal kini telah berubah menjadi motivasi internal. Proses perubahan dari motivasi
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
106
ekstrinsik menjadi motivasi intrinsik pada seseorang disebut “transformasi motif” (Dimyati & Mudjiono, 1994). Penerapan prinsip-prinsip motivasi dalam proses pembelajaran akan dapat berlangsung dengan baik, bilamana guru memahami beberapa aspek yang berkenaan dengan dorongan psikologis sebagai individu dalam diri siswa sebagai berikut: a.
Setiap individu tidak hanya didorong oleh pemenuhan aspekaspek biologis, sosial dan emosional, akan tetapi individu perlu juga dorongan untuk mencapai sesuatu yang lebih dari yang ia miliki saat ini.
b.
Pengetahuan tentang kemajuan yang dicapai dalam memenuhi tujuan mendorong terjadinya peningkatan usaha.
c.
Motivasi dipengaruhi oleh unsur-unsur kepribadian.
d.
Rasa aman dan keberhasilan dalam mencapai tujuan cenderung meningkatkan motivasi belajar.
e.
Motivasi bertambah bila para pelajar memiliki alasan untuk percaya bahwa sebagian besar dari kebutuhannya dapat dipenuhi.
f.
Kajian dan penguatan guru, orang tua dan teman seusia berpengaruh terhadap motivasi dan perilaku.
g.
Insentif dan hadiah material kadang-kadang berguna dalam situasi kelas, memang ada bahayanya bila anak bekerja karena ingin mendapat hadiah dan bukan karena memang ingin belajar.
h.
Kompetisi
dan
insentif
dalam
waktu
tertentu
dapat
meningkatkan motivasi. i.
Sikap yang baik untuk belajar dapat dicapai oleh kebanyakan individu dalam suasana belajar yang memuaskan.
j.
Proses belajar dan kegiatan yang dikaitkan kepada minat pelajar saat itu dapat mempertinggi motivasi. Agar motivasi belajar siswa dapat tumbuh dengan baik maka
guru harus berusaha:
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
107
a.
Merancang atau menyiapkan bahan ajar yang menarik.
b.
Mengkondisikan proses belajar aktif.
c.
Menggunakan
metode
dan
teknik
pembelajaran
yang
menyenangkan. d.
Mengupayakan pemenuhan kebutuhan siswa di dalam belajar (misalnya kebutuhan untuk dihargai, tidak merasa tertekan, dan sebagainya).
e.
Meyakinkan siswa bahwa mereka mampu mencapai suatu prestasi.
f.
Mengoreksi sesegera mungkin pekerjaan siswa dan sesegera mungkin pula memberitahukan hasilnya kepada siswa.
g.
Memberitahukan nilai dari pelajaran yang sedang dipelajari siswa dan menghubungkannya dengan kehidupan nyata seharihari.
2.
Prinsip Transfer dan Retensi Berkenaan dengan proses transfer dan retensi terdapat beberapa prinsip yaitu: a.
Tujuan belajar dan daya ingat dapat menguat retensi.
b.
Bahan yang bermakna bagi pelajar dapat diserap lebih baik.
c.
Retensi seseorang dipengaruhi oleh kondisi psikis dan fisik dimana proses belajar itu terjadi.
d.
Latihan yang terbagi-bagi memungkinkan retensi yang lebih baik.
e.
Penelaahan bahan-bahan faktual, keterampilan dan konsep dapat meningkatkan retensi.
f.
Proses belajar cenderung terjadi bila kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat memberikan hasil yang memuaskan.
g.
Proses saling mempengaruhi dalam belajar akan terjadi bila bahan baru yang sama dipelajari mengikuti bahan yang lalu.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
108
h.
Pengetahuan tentang konsep, prinsip, dan generalisasi dapat diserap dengan baik dan dapat diterapkan lebih berhasil dengan cara menghubung-hubungkan penerapan prinsip yang dipelajari dengan memberikan ilustrasi unsur-unsur yang serupa.
i.
Transfer hasil belajar dalam situasi baru dapat lebih mendapat kemudahan bila hubungan-hubungan yang bermanfaat dalam situasi yang khas dan dalam situasi yang agak sama dapat diciptakan.
j.
Tahap akhir proses belajar seyogyanya memasukkan usaha untuk menarik generalisasi, yang pada gilirannya nanti dapat lebih memperkuat retensi dan transfer.
3.
Prinsip Keaktifan Keaktifan anak dalam belajar merupakan persoalan penting dan mendasar yang harus dipahami, disadari, dan dikembangkan oleh setiap guru di dalam proses pembelajaran. Demikian pula berarti harus dapat diterapkan oleh siswa dalam setiap bentuk kegiatan belajar. Keaktifan belajar ditandai oleh adanya keterlibatan secara optimal, baik intelektual, emosional dan fisik jika dibutuhkan. Pandangan mendasar yang perlu menjadi kerangka pikir setiap guru adalah bahwa pada prinsipnya anak-anak adalah makhluk yang aktif. Individu merupakan manusia belajar yang aktif dan selalu ingin tahu. Daya keaktifan yang dimiliki anak secara kodrati itu akan dapat berkembang
ke
arah
yang
positif
bilamana
lingkungannya
memberikan ruang yang baik untuk tumbuh suburnya keaktifan itu. Keadaan ini menyebabkan setiap guru perlu menggali potensi-potensi keberagaman siswa melalui keaktifan yang mereka aktualisasikan dan selanjutnya mengarahkan aktivitas mereka ke arah tujuan positif atau tujuan pembelajaran. Hal ini pula yang mendasari pemikiran bahwa kegiatan pembelajaran harus dapat memberikan dan mendorong seluas-luasnya keaktifan. Ketidaktepatan pemilihan pendekatan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
109
pembelajaran sangat memungkinkan keaktifan siswa menjadi tidak tumbuh
subur,
bahkan
mungkin
justru
menjadi
kehilangan
keaktifannya. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran orang yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan. Bahkan bila seorang guru bermaksud mentransfer konsep, ide dan pengertian kepada seorang
murid,
pemindahan
itu
harus
diinterpretasikan
dan
dikonstruksikan oleh si murid lewat pengalamannya. Banyaknya siswa yang salah menangkap apa yang diajarkan atau dijelaskan oleh gurunya menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu saja dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan atau paling tidak diinterpretasikan sendiri oleh siswa. Uraian di atas memberikan gambaran betapa pentingnya keaktifan anak di dalam proses pembelajaran. Potensi-potensi anak hanya mungkin dapat dikembangkan, bilamana proses pembelajaran mampu melibatkan peran aktivitas intelektual, mental dan fisik anak secara optimal. Implikasi prinsip keaktifan atau aktivitas bagi guru di dalam proses pembelajaran adalah: a.
Memberi kesempatan, peluang seluas-luasnya kepada siswa untuk berkreativitas dalam proses belajarnya.
b.
Memberi kesempatan melakukan pengamatan, penyelidikan atau inkuiri dan eksperimen.
c.
Memberi tugas individual dan kelompok melalui kontrol guru.
d.
Memberikan pujian verbal dan non verbal terhadap siswa yang memberi
respons
terhadap
pertanyaan-pertanyaan
yang
diajukan. e.
Menggunakan multi metode dan multi media di dalam pembelajaran.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
110
4.
Prinsip Keterlibatan Langsung Keterlibatan langsung siswa di dalam proses pembelajaran memiliki intensitas keaktifan yang lebih tinggi. Dalam keadaan ini siswa tidak hanya sekedar aktif mendengar, mengamati dan mengikuti, akan tetapi terlibat langsung di dalam melaksanakan suatu percobaan, peragaan atau mendemonstrasikan sesuatu. Dengan keterlibatan langsung ini berarti siswa aktif mengalami dan melakukan proses belajar sendiri. Sejumlah hasil penelitian membuktikan lebih dari 60% sesuatu yang diperoleh dari kegiatan belajar didapatkan dari keterlibatan langsung. Keterlibatan langsung siswa memberi banyak sekali manfaat baik manfaat yang langsung dirasakan pada saat terjadinya proses pembelajaran tersebut, maupun manfaat jangka panjang setelah proses pembelajaran itu terjadi. Belajar pada hakikatnya adalah suatu perubahan. Perubahanperubahan sebagai hasil belajar sebagian dapat dilihat pada waktu yang relatif singkat, bahkan bersamaaan dengan kegiatan belajar itu sendiri. Namun sebagian besar perubahan hasil belajar tersebut dapat diamati atau perubahannya memerlukan waktu yang lama. Perubahan tingkah laku dalam waktu yang cepat sebagai akibat terjadinya proses belajar misalnya perubahan-perubahan motorik atau aspek-aspek keterampilan. Anak belajar cara memegang pensil yang benar, belajar merapikan buku, meraut pensil, membuat kapal-kapalan dari kertas, Ibu-ibu belajar membuat kue, memasak, menjahit pakaian. Berkenaan dengan aspek kognitif, misalnya anak belajar membaca, berhitung, menulis, dan sebagainya. Perubahan-perubahan sebagai hasil belajar berkenaan dengan aspek-aspek di atas, pada umumnya dapat dilihat dalam waktu yang singkat, meskipun proses menjadi yang lebih baik juga memerlukan waktu yang lama. Perubahan-perubahan tingkah laku yang memerlukan waktu lama, misalnya melatih kemampuan berpikir kritis, merubah sikap, pengembangan aspek-aspek emosional. Bilamana proses belajar untuk mencapai perubahan-perubahan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
111
tersebut melibatkan peran langsung siswa, maka akan terjadi perubahan-perubahan yang lebih cepat karena siswa terlibat di dalam mengalami sendiri, atau mempraktekkan sendiri dimensi-dimensi kemampuannya. Dengan demikian pula sekaligus siswa mengetahui kemampuan-kemampuan
dirinya,
sehingga
memungkinkan
tumbuhnya dorongan atau motivasi untuk mengembangkan diri. Implikasi prinsip keterlibatan langsung bagi guru adalah: a.
Mengaktifkan peran individual atau kelompok kecil di dalam penyelesaian tugas.
b.
Menggunakan media secara langsung dan melibatkan siswa di dalam praktik penggunaan tersebut.
c.
Memberi keleluasaan kepada siswa untuk melakukan berbagai percobaan atau eksperimen.
d.
Memberikan tugas-tugas praktik.
Bagi siswa, implikasi prinsip keterlibatan langsung ini adalah: a.
Siswa harus terdorong aktif untuk mengalami sendiri dalam melakukan aktivitas pembelajaran.
b. 5.
Siswa dituntut untuk aktif mengerjakan tugas-tugas.
Prinsip Pengulangan Teori belajar klasik yang memberikan dukungan paling kuat terhadap prinsip belajar pengulangan ini adalah teori psikologi daya. Berdasarkan teori ini, belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang meliputi daya berpikir, mengingat, mengamati, menghapal, menanggapi dan sebagainya. Melalui latihan-latihan maka daya-daya tersebut semakin berkembang. Sebaliknya semakin kurang pemberian latihan, maka daya-daya tersebut semakin lambat perkembangannya. Mengajar pada hakikatnya adalah membentuk suatu kebiasaan, sehingga melalui pengulangan-pengulangan siswa akan terbiasa melakukan sesuatu dengan baik sesuai perilaku yang diharapkan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
112
Agar kebiasaan itu menjadi efektif, maka seseorang terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan berkenaan dengan sesuatu yang dilakukan. Di samping itu akan sangat baik bilamana ia memahami alasan mengapa sesuatu itu penting untuk dilakukan. Memiliki pengetahuan dan alasan tentang sesuatu hal yang akan dilakukan dapat terlaksana dengan baik bilamana individu memiliki perangkat keterampilan bagaimana melakukannya. Suatu tindakan tertentu dapat tumbuh subur menjadi kebiasaan bilamana didukung dengan motivasi atau keinginan yang kuat untuk melakukan secara terus-menerus. Karena itu di dalam kegiatan pembelajaran, setiap guru di samping sangat penting memberikan pengetahuan dan alasan kepada siswa untuk melakukan sesuatu, tentu harus diiringi dengan cara melakukannya dengan baik. Kedua hal ini akan dapat efektif bilamana siswa memiliki keinginan atau dorongan untuk melakukannya menjadi suatu kebiasaan. Implikasi prinsip-prinsip pengulangan bagi guru adalah: a.
Memilah pembelajaran yang berisi pesan yang membutuhkan pengulangan.
b.
Merancang kegiatan pengulangan.
c.
Mengembangkan soal-soal latihan.
d.
Mengimplementasikan kegiatan pengulangan-pengulangan yang bervariasi. Sedangkan pada siswa sangat dituntut untuk memiliki kesadaran
yang mendalam agar bersedia melakukan pengulangan latihan-latihan baik yang ditugaskan oleh guru maupun atas inisiatif dan dorongan diri sendiri. 6.
Prinsip Tantangan Deproter (dalam Aunurrahman, 2012: 125) mengemukakan bahwa studi-studi menunjukkan bahwa siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang serta ramah, dan mereka
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
113
memiliki peran di dalam pengambilan keputusan. Bilamana anak merasa tertantang dalam suatu pelajaran, maka ia dapat mengabaikan aktivitas lain yang dapat mengganggu kegiatan belajarnya. Di dalam situasi belajar, siswa berhadapan dengan cita-cita yang ingin dicapainya, akan tetapi ia selalu dihadapkan pada hambatan yaitu mempelajari bahan belajar. Melalui motif dalam dirinya dan dorongan dari luar (termasuk guru) tumbuh dorongan untuk mempelajari bahan belajar tersebut. Bilamana hambatanhambatan belajar dapat diatasi dan tujuan belajarnya dapat tercapai, maka ia akan masuk dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Agar motif pada anak tumbuh dengan kuat guna mengatasi hambatan yang dihadapi, maka bahan belajar harus menantang. Dalam keadaan ini guru perlu sekali menemukan dan mempersiapkan bahan-bahan belajar yang menarik, baru dan mampu mendorong keikutsertaan siswa untuk mencermati dan memecahkan masalah. Bahan pelajaran yang diharapkan adalah yang sebesar mungkin memberi peluang dan dorongan bagi siswa untuk turut menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan generalisasi. Model-model pembelajaran yang menempatkan siswa hanya menerima saja apa yang diberikan atau disampaikan oleh guru, memiliki kadar keterlibatan mental yang sangat rendah. Dalam pendangan konstruktivisme semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri. Karena itu mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada orang lain. Dalam kaitan dengan prinsip-prinsip tantangan ini diharapkan guru secara cermat dapat memilih dan menentukan pendekatanpendekatan dan metode pembelajaran yang dapat memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar. Beberapa bentuk kegiatan berikut dapat dijadikan sebagai acuan bagi guru untuk menciptakan tantangan dalam kegiatan belajar, yaitu: a.
Merancang dan mengelola kegiatan dan eksperimen.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
114
b.
Memberikan tugas-tugas pemecahan masalah kepada siswa.
c.
Mendorong siswa untuk membuat kesimpulan pada setiap sesi pembelajaran.
d.
Mengembangkan bahan-bahan pembelajaran yang menarik.
e.
Membimbing siswa menemukan fakta, konsep, prinsip dan generalisasi.
f. 7.
Merancang dan mengelola kegiatan diskusi.
Prinsip Balikan dan Penguatan Di dalam proses pembelajaran sehari-hari sebagian besar guru seringkali
mengembalikan
berkas
pekerjaan
siswa
dengan
mencantumkan nilai atau skor tertentu dari hasil pekerjaannya. Sebagian guru yang lain tidak terbiasa mengembalikan pekerjaan siswa
beserta
hasil
koreksinya,
sehingga
siswa-siswa
tidak
mengetahui hasil yang mereka dapatkan. Padahal pemberitahuan kepada siswa tentang hasil yang mereka dapatkan sangat penting untuk menumbuhkan motivasi belajar mereka. Jika siswa tidak mendapatkan nilai yang baik, akan memberikan manfaat dalam rangka mendorong aktivitas belajar yang lebih giat lagi. Anak yang mendapatkan nilai yang jelek pada waktu ulangan akan merasa takut jika tidak naik kelas. Perasaan takut karena khawatir tidak naik kelas, maka anak terdorong untuk belajar lebih giat. Dalam kegiatan ini, rasa takut tidak naik kelas dapat mendorong anak belajar lebih giat, karena siswa mencoba menghindari peristiwa yang tidak menyenangkan. Memberikan penguatan dan balikan merupakan hal yang kedengarannya sederhana dan mudah, akan tetapi seringkali tidak terlalu mudah untuk dilakukan oleh setiap guru. Hambatannya bisa dalam berbagai bentuk yang berbeda. Beberapa orang guru mungkin belum terbiasa melakukannya, sangat mungkin karena anggapan mereka yang belum menempatkan penguatan sebagai sesuatu yang penting dalam proses pembelajaran. Karena itu perlu upaya-upaya
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
115
latihan agar keadaan tersebut menjadi terbiasa untuk dilakukan. Sumantri dan Permana (1999: 274) mengemukakan secara khusus beberapa tujuan dari pemberian penguatan, yaitu: a.
Membangkitkan motivasi belajar peserta didik.
b.
Merangsang peserta didik berpikir lebih baik.
c.
Menimbulkan perhatian peserta didik.
d.
Menumbuhkan kemampuan berinisiatif secara pribadi.
e.
Mengendalikan dan mengubah sikap negatif peserta didik dalam belajar ke arah perilaku yang mendukung belajar.
Terdapat beberapa jenis penguatan yang dapat dilakukan guru: a.
Penguatan verbal, yaitu penguatan yang diberikan guru berupa kata-kata atau kalimat yang diucapkan, seperti: bagus, baik, samart, tepat, dan sebagainya.
b.
Penguatan gestural, yaitu penguatan berupa gerak tubuh atau mimik muka yang memberi arti/kesan baik kepada peserta didik. Penguatan gestural dapat berupa: tepuk tangan, acungan jempol, anggukan, tersenyum, dan sebagainya.
c.
Penguatan dengan cara mendekati, yaitu perhatian guru terhadap perilaku peserta didik dengan cara mendekatinya. Penguatan dengan cara mendekati ini dapat dilakukan ketika peserta didik menjawab pertanyaan, bertanya, berdiskusi atau sedang melakukan aktivitas-aktivitas lainnya.
d.
Penguatan dengan cara sentuhan, yaitu penguatan yang dilakukan guru dengan cara menyentuh peserta didik, seperti menepuk pundak, menjabat tangan, mengusap kepala peserta didik, atau bentuk-bentuk lainnya.
e.
Penguatan
dengan
cara
memberikan
kegiatan
yang
menyenangkan. Memberikan penghargaan kepada kemampuan peserta didik dalam suatu bidang tertentu, seperti peserta didik
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
116
yang pandai bernyanyi diberikan kesempatan untuk melatih vokal pada temannya. f.
Penguatan berupa tanda atau benda, yaitu memberikan penguatan kepada peserta didik berupa simbol-simbol atau benda-benda. Penguatan ini dapat berupa komentar tertulis atas karya peserta didik, hadiah, piagam, lencana, dan sebagainya. Ketepatan
pemberian
dan
penggunaan
penguatan
harus
mendapat perhatian guru. Bilamana penguatan dipergunakan pada situasi dan waktu yang tidak tepat, maka hal itu dapat kehilangan keefektifannya. Sebaliknya bilamana penguatan itu dipergunakan secara tepat, maka akan memberikan pengaruh yang positif terhadap aktivitas belajar peserta didik. Berikut ini adalah beberapa di antara situasi yang cocok untuk diberikan penguatan: a.
Pada saat peserta didik menjawab pertanyaan, atau merespon stimulus guru atau peserta didik yang lain.
b.
Pada saat peserta didik menyelesaikan tugas.
c.
Pada saat peserta didik mengerjakan tugas-tugas latihan.
d.
Pada waktu perbaikan dan penyempurnaan tugas.
e.
Pada saat penyelesaian tugas-tugas kelompok dan mandiri.
f.
Pada saat membahas dan membagikan hasil-hasil latihan dan ulangan.
g.
Pada situasi tertentu tatkala peserta didik mengikuti kegiatan secara sungguh-sungguh.
Implikasi prinsip-prinsip balikan dan penguatan bagi guru antara lain: a.
Memberikan balikan dan penguatan secara tepat, baik, teknik, waktu maupun bentuknya.
b.
Memberikan kepada siswa jawaban yang benar.
c.
Mengoreksi dan membahas pekerjaan siswa.
d.
Memberikan catatan pada hasil pekerjaan siswa baik berupa angka maupun komentar-komentar tertentu.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
117
e.
Memberikan lembar jawaban atau kerja siswa.
f.
Mengumumkan
atau
menginformasikan
peringkat
secara
terbuka. g. 8.
Memberikan penghargaan.
Prinsip Perbedaan Individual Sebelum guru menentukan strategi pembelajaran, metode dan teknik-teknik evaluasi yang akan dipergunakan, maka guru terlebih dahulu dituntut untuk memahami karakteristik siswa dengan baik. Hal ini dikarenakan dari hasil sejumlah riset menunjukkan bahwa keberagaman faktor, seperti sikap siswa, kemampuan dan gaya belajar, pengetahuan serta kemampuannya dan konteks pembelajaran merupakan komponen yang memberikan dampak sangat penting terhadap apa yang sesungguhnya harus siswa-siswa pelajari. Pengenalan terhadap siswa dalam interaksi belajar mengajar, merupakan faktor yang sangat mendasar dan penting untuk dilakukan oleh setiap guru agar proses pembelajaran yang dilakukan dapat menyentuh kepentingan siswa, minat-minat mereka, kemampuan serta berbagai karakteristik lain yang terdapat pada siswa, dan pada akhirnya dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Pengenalan terhadap siswa mengandung arti bahwa guru harus dapat memahami dan menghargai keunikan cara belajar siswa dan kebutuhan-kebutuhan perkembangan mereka. Upaya-upaya mengenal dan memahami siswa merupakan kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus, karena kebutuhan siswa tidak bersifat menetap, akan tetapi
mengalami
perubahan
sesuai
dengan
tahap-tahap
perkembangannya. Bahkan seringkali perubahan-perubahan yang terjadi pada siswa berlangsung dengan cepat sehingga guru tidak jarang mengalami kesulitan untuk dapat mengenal dan memahaminya secara cermat. Di samping itu pula kebutuhan-kebutuhan mereka menggambarkan keberagaman intelegensial, kemampuan maupun
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
118
tidak kemampuannya. Bagi anak-anak yang memiliki kualitas intelegensi yang baik dan berada pada tahap atau masa perkembangan tertentu memiliki sejumlah kebutuhan yang berbeda dengan anakanak yang tergolong memiliki intelegensi yang rendah walaupun sama-sama berada pada tahap perkembangan tertentu. Terdapat tiga karakteristik atau modalitas belajar siswa yang perlu diketahui oleh setiap pendidik dalam proses pembelajaran, yaitu: a.
Orang-orang yang visual, yang ditandai suka mencoret-coret ketika berbicara di telepon, berbicara dengan tepat, lebih suka melihat peta dari pada mendengar penjelasan.
b.
Orang-orang yang auditorial, yang sering ditandai suka berbicara sendiri, lebih suka mendengarkan ceramah atau seminar dari pada membaca buku, lebih suka berbicara dari pada menulis.
c.
Orang-orang yang kinestetik, yang sering ditandai berpikir lebih baik ketika bergerak atau berjalan, banyak menggerakkan anggota tubuh ketika berbicara, sulit untuk duduk dan diam. Peserta didik adalah individual yang memiliki keunikan,
berbeda satu sama lain dan tidak satupun yang memiliki ciri-ciri persis sama meskipun mereka itu kembar. Setiap individu pasti memiliki karakteristik yang berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan individual ini merupakan kodrat manusia yang bersifat alami. Berbagai faktor dalam diri individu berkembang melalui caracara yang bervariasi dan oleh karena itu menghasilkan dinamika karakteristik individual yang bervariasi pula. Karakteristik individual yang berbeda sehingga tiap individu sebagai kesatuan jasmani dan rohani mewujudkan dirinya secara utuh dalam keunikannya. Keunikan dan perbedaan individual itu oleh perbedaan faktor pembawaan dan lingkungan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Perbedaan individual tersebut membawa implikasi Imperatif
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
119
terhadap
setiap
layanan
pendidikan
untuk
memperhatikan
karakteristik anak didik yang unik dan bervariasi tersebut. Menyamaratakan layanan pendidikan terhadap individu yang memiliki karakteristik berbeda satu sama lain berarti mengingkari hakikat dan kodrat kemanusiaannya sehingga akan berakibat diperolehnya hasil yang kurang memuaskan. Pembelajaran
yang
bersifat
klasikal
yang
mengabaikan
perbedaan-perbedaan individual dapat diperbaiki dengan beberapa cara. Cara-cara yang dapat ditempuh oleh guru antara lain penggunaan metode atau pendekatan secara bervariasi sehingga semakin besar memberikan peluang tumbuhnya perhatian siswa di dalam latar belakang perbedaan individual. Demikian pula dalam mengembangkan model-model instruksional yang dapat membantu melayani perbedaan-perbedaan individual siswa dalam belajar. Upaya lain yang dapat dilakukan guru adalah dengan menambah waktu belajar bagi siswa-siswa yang memiliki kemampuan rendah, atau memberikan pengayaan bagi siswa-siswa yang memiliki kemampuan lebih dari yang lain. Pemberian tugas-tugas hendaknya juga memperhatikan kemampuan siswa, sehingga siswa-siswa yang memiliki kemampuan kurang tidak merasa gagal
bahkan frustasi
dalam belajar. Implikasi prinsip-prinsip perbedaan individual ini adalah mengharuskan agar setiap guru memberikan perhatian secara sungguh-sungguh terhadap semua keunikan yang melekat pada diri siswa. Demikian pula guru harus dapat melayani siswa sesuai dengan karakteristik mereka masing-masing. Secara lebih spesifik berkenaan dengan implikasi atau penerapan
prinsip-prinsip
perbedaan
individual
dalam
proses
pembelajaran, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan guru sebagai berikut:
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
120
a.
Para siswa harus dapat dibantu untuk memahami kekuatan dan kelemahan dirinya untuk selanjutnya mendapat perlakuan dan layanan kegiatan belajar yang mereka butuhkan.
b.
Para siswa harus terus didorong untuk mampu memahami potensi dirinya dan untuk selanjutnya mampu merencanakan dan melaksanakan kegiatan.
c.
Peserta didik membutuhkan variasi layanan, tugas, bahan, dan metode yang selaras dengan minat, tujuan dan latar belakang mereka. Hal ini terutama disebabkan para peserta didik cenderung memilih kegiatan belajar yang sesuai dengan pengalaman masa lampau yang mereka rasakan bermakna untuk dirinya.
d.
Para siswa harus dapat dibantu untuk memahami kekuatan dan kelemahan dirinya serta pemenuhan kebutuhan belajar maupun bimbingan yang berbeda dengan siswa-siswa yang lain.
e.
Kesempatan-kesempatan yang tersedia untuk belajar dapat lebih diperkuat bilamana para siswa tidak merasa terancam oleh proses yang ia ikuti serta lingkungannya sehingga mereka memiliki keleluasaan untuk berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan belajar.
f.
Para siswa yang telah memahami kekuatan dirinya akan lebih cenderung memiliki dorongan dan minat untuk belajar secara lebih sungguh-sungguh.
Menurut Mudjiono dan Dimyati (2006), adapun implikasi prinsipprinsip belajar bagi siswa dan guru dirangkum dalam tabel berikut. Prinsip-prinsip
Implikasi bagi Guru
Implikasi bagi Siswa
Belajar Motivasi Perhatian
dan
Merangsang
atau
Siswa
dituntut
menyiapkan bahan ajar
memberikan
yang
terhadap
menarik.
Meng-
kondisikan proses belajar
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
untuk
perhatian semua
rangsangan yang meng-
121
aktif.
Mengupayakan
pemenuhan
arah
ke
arah
tujuan
kebutuhan
belajar. Adanya tuntutan
siswa di dalam belajar
untuk selalu memberikan
(misalnya
perhatian ini, menyebab-
untuk
kebutuhan
dihargai,
tidak
merasa tertekan)
kan siswa harus membangkitkan perhatiannya kepada segala pesan yang dipelajarinya.
Keaktifan
Memberikan kesempatan
Berwujud
melakukan pengamatan,
perilaku seperti mencari
penyelidikkan
atau
sumber informasi yang
inkuiri dan eksperimen.
dibutuhkan, menganalisis
Serta memberikan tugas
hasil percobaan, ingin
indivual dan kelompok
tahu
melalui kontrol guru.
reaksi kimia, karya tulis,
hasil
perilaku-
dari
suatu
membuat klipping dan perilaku lainnya. Keterlibatan
Menggunakan
Langsung
secara
media
langsung
Dengan
keterlibatan
dan
langsung ini secara logis
melibatkan siswa untuk
akan menyebabkan siswa
melakukan
berbagai
memperoleh
percobaan
atau
eksperimen.
pengalaman. Contohnya siswa melakukan reaksi kimia pada suatu zat.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
122
BAB VI MOTIVASI BELAJAR A.
DEFINISI MOTIVASI Belajar merupakan kegiatan sehari-hari bagi siswa sekolah. Kegiatan belajar tersebut ada yang dilakukan di sekolah, di rumah, di sawah, sungai, museum, perpustakaan, dan lain-lain. Berbicara mengenai pengertian motivasi sungguh sudah sangat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli psikologi, untuk itu mari kita lihat terlebih dahulu arti motivasi secara etimologinya. Secara etimologi, motif atau dalam bahasa Inggris “motive”, berasal dari “motion” yang berarti “gerakan” atau “sesuatu yang bergerak”. Jadi istilah motif erat berkaitan dengan gerak yakni gerakan yang dilakukan oleh manusia atau disebut juga perbuatan atau tingkah laku. Motif dari sisi psikologi berarti rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga untuk terjadinya suatu tingkah laku. Sebenarnya, motivasi merupakan istilah yang lebih umum yang menunjuk pada seluruh proses gerakan termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dari dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkannya, dan tujuan atau akhir dari gerakan atau perbuatan. Namun dengan demikian motivasi dapat diartikan sebagai: 1)
Dorongan yang timbul pada diri seseorang, secara disadari atau tidak disadari, untuk melakukan tindakan dengan tujuan tertentu.
2)
Usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang untuk bergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang diinginkan. Motif merupakan tenaga pendorong yang mendorong manusia untuk
bertindak atau suatu tenaga di dalam diri manusia, yang menyebabkan manusia bertindak atau melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri seseorang yang
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
123
menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai suatu tujuan. Menurut Wexley dan Yukl, motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif. Dapat pula diartikan sebagai hal atau keadaan yang menjadi motif. Menurut Mitchell (dalam Winardi, 2002) motivasi mewakili proses-proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan pada tujuan tertentu. Gray (dalam Winardi, 2002) mendefinisikan motivasi sebagai sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Soemanto (1987) secara umum mendefinisikan motivasi sebagai suatu perubahan tenaga yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi pencapaian tujuan. Karena perilaku manusia itu selalu bertujuan, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan tenaga yang memberi kekuatan bagi tingkah laku mencapai tujuan telah terjadi di dalam diri seseorang. Morgan (dalam Soemanto, 1987) mengemukakan bahwa motivasi berkaitan dengan 3 hal yang sekaligus merupakan aspek-aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah: 1)
Keadaan yang mendorong tingkah laku;
2)
Tingkah laku yang didorong oleh keadaan tersebut; dan
3)
Tujuan dari pada tingkah laku tersebut. Mc. Donald (dalam Soemanto, 1987) mendefinisikan motivasi
sebagai perubahan tenaga di dalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi mencapai tujuan. Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda satu sama lain. Hal ini berbeda karena setiap
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
124
anggota suatu organisasi adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006), motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia termasuk perilaku belajar. Sejalan dengan itu, Ratumanan (2002) mengatakan bahwa: “Motivasi adalah sebagai dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku”. Sedangkan motivasi belajar adalah “Keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai suatu tujuan”. Dari beberapa pengertian di atas dapat dikatakan bahwa motivasi memiliki 3 komponen, yaitu: 1)
Kebutuhan,
kebutuhan
terjadi
bila
individu
merasa
ada
ketidakseimbangan antara apa yang dimiliki dari apa yang ia harapkan. 2)
Dorongan, dorongan merupakan kegiatan mental untuk melakukan suatu.
3)
Tujuan, tujuan adalah hal yang ingin dicapai oleh individu. Seseorang yang mempunyai tujuan tertentu dalam melakukan suatu pekerjaan, maka ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan penuh semangat. Mc. Donald mengatakan bahwa, motivation is a energy change within
the person characterized by affective arousal and anticipatory goal reactions. Motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan (Hamalik, 1992: 173). Perubahan energi dalam diri seseorang itu berbentuk suatu kreativitas nyata berupa kegiatan fisik. Karena seseorang mempunyai tujuan tertentu dari aktivitasnya, maka seseorang mempunyai motivasi yang kuat untuk mencapainya dengan segala upaya yang dapat dia lakukan untuk mencapainya.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
125
Banyak para ahli yang sudah mengemukakan pengertian motivasi dengan berbagai sudut pandang mereka masing-masing, namun intinya sama, yakni sebagai suatu pendorong yang mengubah energi dalam diri seseorang ke dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses belajar motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. hal ini merupakan pertanda bahwa sesuatu yang akan dikerjakan itu tidak menyentuh kebutuhannya. Segala sesuatu yang menarik minat orang lain belum tentu menarik minat orang tertentu selama sesuatu itu tidak bersentuhan dengan kebutuhannya. B.
TEORI MOTIVASI 1.
Teori Motivasi Abraham Maslow Abraham Maslow (1943:1970) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Ia menunjukkan dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid. Manusia memulai dorongan dari tingkat terbawah. Lima tingkat kebutuhan tersebut dikenal sebagai Hirarki Kebutuhan Maslow, yang dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pokok tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a)
Kebutuhan fisiologis, (rasa lapar, rasa haus dan sebagainya).
b)
Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindungi, jauh dari bahaya).
c)
Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki).
d)
Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan serta pengakuan).
e)
kebutuhan aktualisasikan diri (kebutuhan kognitif: mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian,
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
126
keteraturan,
dan
keindahan;
kebutuhan
aktualisasi
diri:
mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya). 2.
Teori Motivasi Herzberg Menurut Herzberg (1966), ada dua jenis faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor tersebut adalah faktor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor instrinsik). Faktor
higiene
memotivasi
seseorang
untuk
keluar
dari
ketidakpuasan, termasuk di dalamnya hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk di dalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan dan sebagainya. Teori yang dikembangkannya dikenal sebagai “Model Dua Faktor” dari motivasi yaitu faktor motivasional dan faktor higiene atau pemeliharaan. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya instrinsik, yang bersumber pada diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor higiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang. Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Faktor higiene mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya hubungan seseorang dengan rekan-rekan kerjanya, teknik penelitian yang diterapkan oleh para penyedia, kebijakan organisasi, sistem
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
127
administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku. 3.
Teori Motivasi Dauglas McGregor Dauglas McGregor menemukan teori X dan Y setelah mengkaji cara para manajer berhubungan dengan para karyawan. Ada empat asumsi yang dimiliki oleh manajer dalam teori X, yaitu: a)
Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin berusaha untuk menghindarinya.
b)
Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dikendalikan atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
c)
Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari perintah formal (asumsi ketiga). Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas semua
faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi. Bertentangan dengan pandangan-pandangan negatif mengenai sifat manusia dalam teori X, ada empat asumsi positif yang disebutkan dalam teori Y, yaitu: a)
Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan seperti halnya istirahat atau bermain.
b)
Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan.
c)
Karyawan bersedia belajar untuk menerima, mencari dan bertanggung jawab.
d)
Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
128
4.
Teori Motivasi V-ROOM Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul Work and Motivation menjelaskan suatu teori yang disebutnya sebagai “Teori harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya tersebut. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan
jalan
tampaknya
tebuka
untuk
memperolehnya,
yang
bersangkutan akan berupaya mendapatkannya. Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan menggambarkan bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan
untuk
bersangkutan
memperoleh
akan
terdorong
sesuatu untuk
itu
cukup
besar,
yang
hal
yang
memperoleh
diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah. Teori dari Vroom (1964) tentang Cognitive of Motivation menjelaskan mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini tidak dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: a)
Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas.
b)
Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk mendapatkan outcome tertentu).
c)
Valensi, yaitu respons terhadap outcome seperti perasaan positif, netral, atau negatif. Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu yang melebihi harapan, sedangkan motivasi rendah jika usahanya menghasilkan kurang dari yang diharapkan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
129
5.
Achievement Theory McClelland Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Achievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi itu berbeda-beda sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi (2002) merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit; menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi objek-objek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin sesuai kondisi yang berlaku; mengatasi kendala-kendala dan mencapai standar yang tinggi; mencapai performa puncak untuk diri sendiri; mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain; meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil. McClelland (1961) menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia yaitu: a)
Need for achievement (kebutuhan akan prestasi).
b)
Need for affiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan social need yang dikemukakan Maslow).
c) 6.
Need for power (dorongan untuk mengatur).
Clayton Alderfer ERG Clayton Alderfer mengemukakan teori motivasi ERG yang didasarkan pada kebutuhan manusia akan keberadaan, hubungan, dan pertumbuhan. Teori tersebut sedikit berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Malow. Clayton Alderfer mengemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi, manusia akan kembali pada gerak yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi. ERG dalam teori Clayton Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah, yaitu: E = Existencen (kebutuhan akan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
130
eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain), dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan). C.
FUNGSI MOTIVASI Guru bertangung jawab melaksanakan sistem pembelajaran agar berhasil dengan baik. Keberhasilan ini bergantung pada upaya guru membangkitkan motivasi belajar siswanya. Secara garis besar Oemar Hamalik (1992) menjelaskan ada tiga fungsi motivasi, yaitu: 1)
Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan langkah penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
2)
Menentukan arah perbuatan yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
3)
Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Nampak jelas di sini bahwa motivasi berfungsi sebagai pendorong,
pengarah, dan sekaligus sebagai penggerak perilaku seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Selain itu ada juga fungsi lain yaitu motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi, karena secara konseptual motivasi berkaitan dengan prestasi dan hasil belajar. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain, adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya. Fungsi motivasi menurut Sadirman (2008) adalah sebagai berikut:
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
131
1)
Sebagai pendorong untuk berbuat sesuatu dari setiap aktivitas yang dilakukan.
2)
Penentu arah perbuatan yakni ke arah tujuan yang ingin dicapai.
3)
Pendorong usaha untuk mencapai prestasi.
4)
Motivasi adalah sesuatu yang paling mendasar yang harus ada dalam proses belajar karena hasil belajar akan optimal bila ada motivasi.
5) D.
Motivasi selalu berkaitan dengan suatu tujuan.
PENTINGNYA MOTIVASI DALAM BELAJAR Penelitian psikologi banyak menghasilkan teori-teori motivasi tentang perilaku. Para ahli berpendapat bahwa motivasi perilaku manusia berasal dari kekuatan mental umum, dorongan, kebutuhan, proses kognitif, dan interaksi. Perilaku yang penting bagi manusia adalah belajar dan bekerja. Belajar menimbulkan perubahan mental pada diri siswa. Bekerja menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi diri pelaku dan orang lain. Motivasi belajar dan motivasi bekerja merupakan penggerak kemajuan masyarakat. Kedua motivasi tersebut perlu dimiliki oleh siswa SLTP dan SLTA. Sedangkan guru SLTP dan SLTA, dituntut memperkuat motivasi siswa SLTP dan SLTA. Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru. Bagi siswa pentingnya motivasi belajar adalah sebagai berikut: 1)
Menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses, dan hasil akhir, contohnya setelah seorang siswa membaca tentang suatu bab buku bacaan, dibandingkan dengan temannya sekelas yang juga membaca bab tersebut, ia kurang berhasil menangkap isi, maka ia terdorong membaca lagi.
2)
Memotivasikan tentang kekuatan usaha belajar, yang dibandingkan dengan teman sebaya. Sebagai ilustrasi, jika terbukti usaha belajar seorang siswa belum memadai, maka ia berusaha setekun temannya yang belajar dan berhasil.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
132
3)
Mengarah kegiatan belajar. Sebagai ilustrasi, setelah ia diketahui bahwa dirinya belum belajar secara serius, terbukti banyak bersenda gurau misalnya, maka ia akan mengubah perilaku belajarnya.
4)
Membesarkan semangat belajar. Sebagai ilustrasi, jika ia telah menghabiskan dana belajar dan masih banyak adik yang dibiayai oleh orang tua, maka ia berusaha akan cepat lulus.
5)
Menyadarkan akan adanya perjalanan belajar dan kemudian belajar (di sela-selanya adalah istirahat atau bermain) yang bersinambungan insivisu dilatih untuk menggunakan kekuatannya sedemikian rupa sehingga dapat berhasil. Sebagai ilustrasi, setiap hari siswa diharapkan untuk belajar di rumah, membantu pekerjaan orang tua, dan bermain dengan teman sebaya; apa yang dilakukan diharapkan dapat berhasil memuaskan. Kelima hal tersebut menunjukan betapa pentingnya motivasi tersebut
disadari oleh pelakunya sendiri. Bila motivasi disadari oleh pelaku, maka suatu pekerjaan, dalam hal ini tugas belajar akan terselesaikan dengan baik. Motivasi belajar juga penting diketahui oleh seorang guru. Pengetahuaan dan pemahaman tentang motivasi belajar pada siswa bermanfaat bagi guru, manfaat itu sebagai berikut: 1)
Membangitkan, meningkatkan, dan memelihara semangat siswa untuk belajar sampai berhasil: membangkitkan bila siswa tidak semangat; meningkatkan,
bila
semangat
belajarnya
timbul
tenggelam;
memelihara, bila semangatnya telah kuat untuk mencapai tujuan belajar. dalam hal ini hadiah, pujian, dorongan, atau pemicu semangat dapat digunakan untuk mengobarkan semngat belajar. 2)
Mengetahui dan memahami motivasi belajar siswa di kelas beragamragam; ada yang acuh tak acuh, ada yang tak memusatkan perhatian, ada yang bermain, di samping yang bersemangat untuk belajar. Di antara yang bersemangat belajar, ada yang tidak berhasil dan berhasil.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
133
Dengan bermacam ragamnya motivasi belajar tersebut, maka guru dapat menggunakan bermacam-macam strategi belajar mengajar. 3)
Meningkatkan dan mengajarkan guru untuk memilih satu di antara bermacam-macam peran seperti sebagai penasihat, fasilitator, instruktur, teman diskusi, penyemangat, pemberi dasiah atau pendidik. Peran pedagogis tersebut sudah tentu sesuai dengan perilaku siswa.
4)
Memberi peluang guru unjuk kerja rekayasa pedagogis. Tugas guru adalah membuat semua siswa belajar sampai berhasil. Tantangan profesionalnya justru terletak pada mengubah siswa tidak berminat menjadi bersemangat belajar, mengubah siswa yang acuh menjadi bersemangat belajar.
E.
TUJUAN MOTIVASI Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan motivasi adalah untuk mengerakan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil dan mencapai tujuan tertentu. Bagi seorang guru tujuan motivasi adalah untuk menggerakan atau memacu para siswa agar mempunyai keinginan dan kemauannya
untuk
meningkatkan
prestasi
belajar
sehingga
tujuan pendidikan sesuai dengan yang diinginkan dan yang diharapkan serta apa yang telah ditetapkan dalam kurikulum sekolah. Tindakan motivasi akan dapat berhasil jika tujuannya jelas dan disadari oleh orang yang dimotivasi serta sesuai dengan orang yang dimotivasi. Oleh karena itu, setiap orang yang memberikan motivasi harus mengenal dan memahami latar belakang kehidupan, kebutuhan, dan kepribadian orang yang akan dimotivasi. F.
JENIS-JENIS MOTIVASI Motivasi sebagai kekuatan mental individu, memiliki tingkat-tingkat. Para ahli ilmu jiwa para ahli ilmu jiwa mempunyai pendapat yang berbeda tentang tingkat kekuatan tersebut. Perbedaan pendapat tersebut umumnya didasarkan pada penelitian tentang perilaku belajar pada hewan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
134
Meskipun mereka berbeda pendapat pada tingkat kekuatannya, tetapi mereka umumnya berpendapat bahwa motivasi tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu motivasi primer dan motivasi sekunder. Motivasi primer yaitu motivasi yang didasarkan pada motif-motif dasar. Motif dasar-dasar tersebut umumnya berasal dari segi biologis atau jasmani manusia. Manusia adalah makhluk berjasmani, sehingga pelakunya terpengaruh oleh insting atau kebutuhan jasmaninya. Mc Dougall misalnya, berpendapat bahwa tingkah laku terdiri dari pemikiran tentang tujuan, perasaan subjektif, dan dorongan mencapai kepuasan. Insting itu memiliki tujuan dan memerlukan pemuasan. Tingkah laku insting tersebut dapat diaktifkan, di modifikasi, dipicu secara spontan, dan dapat diorganisasikan. Di antara insting yang penting adalah memelihara, mencari makan, melarikan diri, berkelompok, mempertahankan diri, rasa ingin tahu, membangun dan lain-lain. Ahli lain, Freud berpendapat bahwa insting memiliki ciri, yaitu tekanan, sasaran, objek, dan sumber. Tekanan adalah kekuatan yang memotivasi individu untuk bertingkah laku. Semakin besar energi dalam insting, maka tekanan terhadap individu semakin besar. Sasaran insting adalah kepuasan atau kesenangan. Kepuasan tercapai, bila tekanan energi pada insting berkurang. Sebagai ilustrasi, keinginan makan berkurang bila individu masih kenyang. Objek insting adalah hal-hal yang memuaskan insting. Hal-hal yang dapat memuaskan insting ini dapat berupa dari luar individu dan dari dalam diri individu. Adapun sumber insting adalah keadaan kejasmanian individu. Segenap insting manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu insting kehidupan (life instincts) dan insting kematian (death instincts). Insting-insting kehidupaan terdiri dari insting yang bertujuan memelihara kelangsungan hidup. Insting kehidupan tersebut berupa makan, minum, istirahat, dan memelihara keturunan. Insting kematian tertuju pada penghancuran, seperti merusak, menganiaya, atau membunuh orang lain atau diri sendiri.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
135
Menurut Freud, energi bekerja memelihara keseimbangan fisik. Insting bekerja sepanjang hidup. Yang mengalami perubahan adalah cara pemuasan atau objek pemuasan. Tingkah laku individu yang memuaskan insting dapat secara langsung atau dengan menekan, penekanan insting tersebut
tidak
menghilangkan
energi.
Penekanan
insting
tersebut
diupayakan masuk ke dalam alam tidak sadar. Insting yang ditekan berkaitan dengan seksualitas dan agresifitas. Sedangkan, motivasi sekunder adalah motivasi yang dipelajari. Hal ini berbeda dengan motivasi primer. Sebagai ilustrasi, orang yang lapar akan tertarik pada makanan tanpa belajar. untuk memperoleh makanan tersebut orang harus bekerja terlebih dahulu. Agar dapat bekerja dengan baik, orang harus belajar bekerja. “Bekerja dengan baik” merupakan motivasi sekunder. Bila orang bekerja dengan baik, maka ia memperoleh gaji berupa uang. Uang tersebut merupakan penguat motivasi sekunder. Uang merupakan penguat umum, agar orang bekerja dengan baik.bila orang memiliki uang, setelah ia bekerja dengan baik maka ia dapat membeli makanan untuk menghilangkan rasa lapar (Suryabrata, 1991). Menurut beberapa para ahli, manusia adalah makhluk sosial. Perilakunya tidak hanya terpengaruh oleh faktor biologis saja, tetapi juga faktor-faktor sosial. Faktor manusia terpengaruh oleh tiga komponen penting seperti afektif, kognitif, dan konatif. Komponen afektif adalah aspek emosional. Komponen ini terdiri dari motif sosial, sikap dan emosi. Komponen kognitif adalah aspek intelektual yang terkait dengan pengetahuan. Komponen kognitif adalah terkait dengan kemauan dan kebiasaan bertindak (Suryabrata, 1991). Motivasi sosial atau motivasi sekunder memegang peranan penting bagi kehidupan manusia. Para ahli membagi motivasi sekunder tersebut menurut pandangan yang berbeda-beda, di antaranya yaitu:
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
136
1.
Thomas dan Znaniecki menggolong-golongkan motivasi sekunder menjadi keinginan-keinginan, yaitu:
2.
a)
Memperoleh pengalaman baru.
b)
Untuk mendapat respon.
c)
Memperoleh pengakuan.
d)
Memperoleh rasa aman.
Mc Cleland menggolongkannya menjadi kebutuhan-kebutuhan untuk: a)
Berprestasi seperti bekerja dan berkualitas berproduksi tinggi, dan memperoleh IPK 3,50 ke atas.
b)
Memperoleh kasih sayang seperti rela berkorban untuk sesama.
c)
Memperoleh
kekuasaan,
seperti
kesetiaan
pada
tujuan
perkumpulan. 3.
Maslow menggolongkannya menjadi kebutuhan-kebutuhan untuk: a)
Memperoleh rasa aman.
b)
Memperoleh kasih sayang dan kebersamaan
c)
Memperoleh penghargaan.
d)
Pemenuhan diri atau aktualisasi diri. Pemenuhan diri tersebut dilakukan dengan berbagai cara seperti ungkapan dalam kesenian, berdarmawisata, membentuk hubungan persahabatan, atau berusaha jadi teladan.
4.
Marx menggolongkan motivasi sekunder menjadi: a)
Kebutuhan organisme seperti motif ingin tahu, memperoleh kecakapan, berprestasi.
b)
Motif-motif sosial seperti kasih sayang, kekuasaan, dan kebebasan.
Pengaruh motivasi juga berpengaruh oleh adanya sikap. Sikap adalah suatu motif yang dipelajari. Ciri-ciri sikap, yaitu: 1)
Merupakan kecenderungan berfikir, merasa, kemudian bertindak.
2)
Memiliki daya dorong bertindak.
3)
Relatif bersifat tetap.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
137
4)
Berkecenderungan melakukan penilaian.
5)
Dapat timbul dari pengalaman dapat dipelajari dan berubah. Perilaku juga terpengaruh oleh emosi. Emosi menunjukan adanya
sejenis kegoncangan seseorang. Kegoncangan tersebut disertai proses jasmani, perilaku, dan kesadaran. Emosi memiliki fungsi sebagai berikut: 1)
Pembangkit energi, misalnya karena dicemooh orang menjadi berusaha keras sehingga berhasil.
2)
Pemberi informasi pada orang lain, seperti rasa sedih terlukis dalam wajah.
3)
Pembawa pesan dalam berhubungan dengan orang lain, seperti pembicara yang bersemangat menimbulkan semangat kerja.
4)
Sumber informasi tentang diri seseorang, seperti pemerolehan rasa sehat wal afiat. Emosi memiliki itensitas dan lama berlaku. Ada emosi yang ringan,
kuat, dan disintegratif. Emosi yang ringan berakibat meningkatkan perhatian pada objek yang dihargai. Misalnya, orang tertarik pada tontonan yang memikat. Emosi yang kuat disertai perubahan fisiologis yang kuat. Misalnya orang yang marah, maka detak jantung bertambah dan perbahasan meningkat. Emosi disintegratif terjadi bila kekuatan emosi memuncak, dan terjadi perubahan perilaku. Misalnya orang yang berada dalam perdebatan dapat berubah menjadi perkelahian. Dari segi lamannya berlaku, ada emosi yang berjalan sebentar, berjam-jam, atau bahkan beberapa hari. Bagi kepentingan tugas perkembangan maka yang diperlukan adalah emosi yang berlangsung dalam waktu beberapa hari, berminggu-minggu, bahkan sepanjang masa belajar. (Suryabrata, 1991). Perilaku juga terpengaruh oleh adanya pengetahuan yang dipercaya. Pengetahuan yang dipercaya tersebut ada kalanya berdasarkan akal, ataupun tak berdasarkan akal sehat. Pengetahuan tersebut dapat mendorong terjadinya perilaku. Sebagai ilustrasi, orang tetap merokok dengan motivasi
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
138
yang berbeda. Ada yang ingin menujukan kejantanan, ada yang mengisi waktu luang, ada pula yang ingin menimbulkan kreativitas. Walaupun mereka menyadari akan bahaya merokok. Perilaku juga dapat dipengaruhi oleh kebiasaan dan kemauan. Kebiasaan merupakan perilaku menetap dan berlangsung otomatis. Kemungkinan besar, perilaku tersebut merupakan hasil belajar. kemauan merupakan tindakan mencapai tujuan secara kuat. Kemauan seseorang timbul karena adannya: 1)
Keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan.
2)
Pengetahuan tentang cara memperoleh tujuan.
3)
Energi dan kecerdasan.
4)
Pengeluaran energi yang tepat untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, kebiasaan dan kemauan seseorang mempertinggi
motif untuk berperilaku. Motivasi belajar diperkuat dengan adannya sikap, emosi, kesadaran, kebiasaan, dan kemauan. (Suryabrata, 1991). Adapun dalam literatur lain 2 jenis motivasi, yaitu: 1.
Determinasi diri Dalam pandangan ini, murid ingin percaya bahwa mereka melakukan sesuatu karena kemauan sendiri, bukan karena kesuksesan atau imbalan eksternal. Di sini, motivasi internal dan minat intrinsik dalam tugas sekolah naik apabila murid punya pilihan dan peluang untuk mengambil tanggung jawab personal atas pembelajaran mereka.
2.
Pilihan personal Pengalaman optimal ini berupa perasaan senang dan bahagia yang besar. Pengalaman optimal ini kebanyakan terjadi ketika orang merasa mampu menguasai dan berkonsentrasi penuh saat melakukan suatu aktivitas. Pengalaman optimal ini terjadi ketika individu terlibat dalam tantangan yang mereka anggap tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu mudah.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
139
G.
SIFAT-SIFAT MOTIVASI Motivasi seseorang dapat bersumber dari dalam diri sendiri, yang dikenal sebagai motivasi internal dan dari luar yang dikenal sebagai motivasi eksternal. Ada dua macam model motivasi, yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah model motivasi dimana siswa termotivasi untuk mengerjakan tugas karena dorongan dari dalam dirinya sendiri, memberikan kepuasan tersendiri dalam proses pembelajaran atau memberikan kesan tertentu saat menyelesaikan tugas. Motivasi ekstrinsik adalah model motivasi dimana siswa yang terpacu karena berharap adanya imbalan atau untuk menghindari hukuman, misalkan untuk mendapatkan nilai, hadiah, ataupun untuk menghindari hukuman fisik. 1.
Motivasi Intrinsik Yang dimaksud dengan motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau fungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi instrinsik bila tujuannya inheren dengan situasi belajar bertemu dengan kebutuhan dan tujuan anak didik untuk menguasai nilai-nilai yang terkandung di dalam pelajaran itu. Anak didik termotivasi untuk belajar semata-mata untuk menguasai nilainilai yang terkandung dalam bahan pelajaran, bukan karena keinginan lain seperti ingin mendapat pujian, nilai yang tinggi atau hadiah dan sebagainya. Bila seseorang telah memiliki motivasi instinsik dalam dirinya, maka ia secara sadar akan melakukan suatu kegiatan yang tidak memerlukan motivasi dari luar dirinya. Dalam aktivitas belajar, motivasi instrinsik sangat diperlukan, terutama belajar sendiri. Seseorang yang tidak memiliki motivasi instrinsik sulit sekali melakukan aktivitas belajar secara terus-menerus. Seseorang yang memiliki motivasi instrinsik selalu ingin maju dalam belajar.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
140
keinginan itu di latar belakangi oleh pemikiran yang positif, bahwa semua mata pelajaran yang dipelajari sekarang akan dibutuhkan dan sangat berguna kini dan di masa yang akan datang. Seseorang yang memiliki minat yang tinggi untuk mempelajari suatu mata pelajaran, maka ia akan mempelajarinya dalam jangka waktu tertentu. Seseorang itu boleh dikatakan memiliki motivasi untuk belajar. motivasi ini muncul karena ia membutuhkan sesuatu dari apa yang dipelajarinya. Motivasi memang berhubungan dengan kebutuhan seseorang yang memunculkan kesadaran untuk melakukan aktivitas belajar. oleh karena itu, minat adalah kesadaran seseorang bahwa suatu objek, suatu soal atau suatu situasi ada sangkut paut dengan dirinya. Perlu ditegaskan, bahwa anak didik yang memiliki motivasi instrinsik cenderung akan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu. Gemar belajar adalah kegiatan aktivitas yang tidak pernah sepi dari kegiatan anak didik yang memiliki motivasi instrinsik. Dan memang diakui oleh semua pihak, bahwa belajar adalah suatu cara untuk mendapatkan sejumlah ilmu pengetahuan. Belajar bisa dikonotasikan dengan membaca. Dengan begitu membaca adalah pintu gerbang ke lautan ilmu pengetahuan. Kreativitas membaca adalah kunci inovasi dalam membina pribadi yang lebih baik. Tidak ada seorang pun yang berilmu tanpa melakukan aktivitas membaca. Evolusi pemikiran manusia yang semakin maju dalam rentangan masa tertentu karena membaca, hal ini tidak terlepas dari masalah motivasi sebagai pendorongnya, yang berhubungan dengan kebutuhan untuk maju, berilmu pengetahuan. Dorongan untuk belajar bersumber pada kebutuhan, yang berisikan keharusan untuk menjadi orang yang terdidik dan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
141
berpengetahuan. Jadi, motivasi instrinsik muncul berdasarkan kesadaran dengan tujuan esensial, bukan sekedar atribut dan seremonial. Menurut Abdul Majid (2013) mengemukakan bahwa faktor intrinsik dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya yaitu: a.
Adanya kebutuhan Menurut Ngalim Purwanto (1996), tindakan yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun psikis. Dari pendapat tersebut, ketika keluarga memberikan motivasi kepada anak haruslah diawali dengan berusaha mengetahui terlebih dahulu apa kebutuhan-kebutuhan anak yang akan dimotivasi. Memahami kebutuhan anak adalah semata-mata untuk memberi peluang pada anak memilih berbagai alternatif yang tersedia dalam suatu lingkungan yang kaya stimulasi.
b.
Persepsi individu mengenali diri sendiri Seseorang termotivasi atau tidak untuk melakukan sesuatu banyak bergantung pada proses kognitif berupa persepsi. Persepsi seseorang tentang dirinya sendiri akan mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang untuk bertindak.
c.
Harga diri dan prestasi Faktor ini mendorong atau mengarahkan individu (memotivasi) untuk berusaha agar menjadi pribadi yang mandiri, kuat, dan memperoleh kebebasan
serta mendapatkan status tertentu
dalam lingkungan masyarakat, serta dapat mendorong individu untuk berprestasi. d.
Adanya cita-cita dan harapan masa depan Cita-cita dan harapan merupakan informasi objektif dari lingkungan yang mempengaruhi sikap dan perasaan subjektif
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
142
seseorang. Harapan merupakan tujuan dari perilaku yang selanjutnya menjadi pendorong. Cita-cita mempunyai pengaruh besar. Cita-cita merupakan pusat bermacam-macam kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan itu biasanya direalisasikan disekitar citacita tersebut sehingga cita-cita tersebut mampu memberikan energi kepada anak untuk melakukan sesuatu aktivitas belajar. Jadi seorang anak harus mempunyai cita-cita. Pada umunya anak-anak pre-adolescent dan permulaan adolescent memiliki cita-cita yang tinggi dan mereka sering memberi respons dalam bentuk kerja sama permainan, kejujuran, dan kerajinan. Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa perlu pemberian motivasi yang tepat terhadap anak yang belum mengetahui pentingnya belajar yang menunjang terhadap pencapaian citacitanya. e.
Keinginan tentang kemajuan dirinya Menurut
Sadirman
(2008),
melalui
aktualisasi
diri
pengembangan kompetensi akan meningkatkan kemajuan diri seseorang. Keinginan dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan diri seseorang. Keinginan dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan bagi setiap individu. f.
Minat Motivasi muncul karena adanya kebutuhan, begitu juga minat sehingga tepatlah kalau minat merupakan alat motivasi yang pokok. Proses belajar akan berjalan kalau disertai dengan minat.
g.
Kepuasan Kinerja Kepusan kinerja merupakan suatu dorongan afektif yang muncul dalam diri individu untuk mencapai goal atau tujuan yang diinginkan dari suatu perilaku.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
143
2.
Motivasi Ekstrinsik Motivasi ekstrinsik adalah kebalikan dari motivasi instrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar. Motivasi belajar dapat dikatakan ekstrinsik bila anak didik menepatkan tujuan belajarnya di luar faktorfaktor situasi belajar (resides in some factors uotside the learning situation). Anak didik belajar karena hendak mencapai tujuan terletak di luar hal yang dipelajarinya. Misalnya, untuk mencapai angka tinggi, diploma, gelar, kehormatan, dan sebagainya. Motivasi ekstrinsik bukan berarti motivasi yang tidak diperlukan dan tidak baik dalam pendidikan. Motivasi ekstrinsik diperlukan agar anak didik mau belajar. Berbagai macam cara bisa dilakukan agar anak didik termotivasi untuk belajar. Guru yang berhasil mengajar adalah guru yang pandai membangkitkan minat anak didik dalam belajar, dengan memanfaatkan motivasi ekstrinsik dalam berbagai bentuknya, yang akan diuraikan pada pembahasan mendatang.
Kesalahan
penggunaan
bentuk-bentuk
motivasi
ekstrinsik akan sebagai pendorong, tetapi menjadikan anak didik malas belajar. karena itu, guru harus bisa dan pandai mempergunakan motivasi ekstrinsik ini dengan akurat dan benar dalam rangka menunjang proses instrinsik edukatif di kelas. Motivasi ekstrinsik tidak selalu buruk akibatnya. Motivasi ekstrinsik sering digunakan karena bahan pelajaran kurang menarik perhatian anak didik atau karena sikap tertentu pada guru atau orang tua. Baik motivasi ekstrinsik yang positif maupun motivasi yang negatif, sama-sama mempengaruhi sikap dan perilaku anak didik. Diakui, angka, ijazah, pujian, hadiah, dan sebagainya berpengaruh positif dengan merangsang anak didik untuk giat belajar. sedangkan ejekan, celaan, hukuman yang menghina, sindiran kasar, dan sebagainya berpengaruh negarif dengan renggangnya hubungan guru
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
144
dengan anak didik. Jadilah guru sebagai orang yang dibenci oleh anak didik. Efek pengiringnya, mata pelajaran yang dipegang guru itu tidak disukai oleh anak didik. Menurut Abdul Majid (2013) mengemukakan bahwa faktor ekstrinsik dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya yaitu: a.
Pemberian Hadiah Hadiah merupakan alat pendidikan yang bersifat positif dan fungsinya sebagai alat pendidik represif positif. Hadiah juga merupakan alat pendorong untuk belajar lebih aktif. Motivasi dalam bentuk hadiah ini dapat membuahkan semangat belajar dalam mempelajari materi-materi pelajaran.
b.
Kompetisi Saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong belajar anak, baik persaingan individu maupun kelompok dalam rangka meningkatkan prestasi belajar anak. Memang unsur persaingan itu banyak digunakan untuk meningkatkan kegiatan belajar anak.
c.
Hukuman Hukuman merupakan pendidikan yang tidak menyenangkan, alat pendidikan yang bersifat negatif. Namun demikian, hukuman dapat menjadi alat motivasi atau pendorong untuk mempergiat
belajar
anak.
Anak
akan
berusaha
untuk
mendapatkan tugas yang menjadi tanggung jawabnya agar terhindar
dari
hukuman.
Ishom
Ahmadi
menyebutkan
“Hukuman adalah termasuk alat pendidikan represif yang bertujuan menyadarkan anak didik agar melakukan hal-hal yang baik dan sesuai dengan tata aturan yang berlaku”. Sebelum hukuman diberikan, hendaknya pendidik atau orang tua harus mengetahui tahapan-tahapan seperti yang disebutkan oleh
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
145
Ishom Ahmadi, antara lain: pemberitahuan, teguran, peringatan, dan hukuman. d.
Pujian Menurut
Sadirman
(2008),
pujian
merupakan
bentuk
reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baikan. Apabila anak berhasil dalam kegiatan belajar, pihak keluarga perlu memberikan pujian pada anak. Positifnya pujian tersebut dapat menjadi motivasi untuk meningkatkan prestasi jika pujian yang diberikan untuk meningkatkan prestasi jika pujian yang diberikan kepada anak tidak berlebihan. e.
Situasi lingkungan pada umumnya Setiap individu terdorong untuk berhubungan dengan rasa mampunya dalam melakukan interaksi secara efektif dengan lingkungannya.
f.
Sistem imbalan yang diterima Imbalan merupakan karakteristik atau kualitas dari objek pemuas
yang
dibutuhkan
oleh
seseorang
yang
dapat
mempengaruhi motivasi atau dapat mengubah arah tingkah laku dari satu objek ke objek lain yang mempunyai nilai imbalan yang lebih besar. Sistem pemberian imbalan dapat mendorong individu untuk berperilaku dalam mencapai tujuan. Perilaku dipandang sebagai tujuan sehingga ketika tujuan tercapai, akan timbul imbalan. H.
HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI Motivasi siswa dalam belajar dipengaruhi oleh: 1)
Ketertarikan siswa pada mata pelajaran.
2)
Persepsi siswa tentang penting atau tidaknya materi tersebut.
3)
Semangat untuk meraih pencapaian.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
146
4)
Kepercayaan diri.
5)
Penghargaan diri siswa.
6)
Pengakuan orang lain.
7)
Besar kecilnya tantangan.
8)
Kesabaran.
9)
Ketekunan.
10)
Tujuan hidup yang hendak siswa capai. Menurut
Suciati
&
Prasetya
(2001),
beberapa
unsur
yang
mempengaruhi motivasi belajar adalah sebagai berikut: 1.
Faktor Internal a.
Cita-Cita dan Aspirasi Cita-cita merupakan faktor pendorong yang dapat menambah semangat sekaligus memberikan tujuan yang jelas dalam belajar. Sedangkan aspirasi merupakan harapan atau keinginan seseorang akan suatu keberhasilan atau prestasi tertentu. Aspirasi mengarahkan aktivitas peserta didik untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Cita-cita dan aspirasi akan memperkuat motivasi
belajar
intrinsik
maupun
ekstrinsik,
karena
terwujudnya cita-cita akan mewujudkan aktualisasi diri. Citacita yang bersumber dari diri sendiri akan membuat seseorang berupaya lebih banyak yang dapat diindikasikan dengan: 1)
Sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.
2)
Kreativitas yang tinggi.
3)
Berkeinginan untuk memperbaiki kegagalan yang pernah dialami.
4)
Berusaha agar teman dan guru memiliki kemampuan bekerja sama.
5)
Berusaha menguasai seluruh mata pelajaran.
6)
Beranggapan bahwa semua mata pelajaran penting
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
147
b.
Kemampuan Peserta Didik Kemampuan peserta didik akan mempengaruhi motivasi belajar. Kemampuan yang dimaksud adalah segala potensi yang berkaitan dengan intelektual atau inteligensi. Kemampuan psikomotor juga akan memperkuat motivasi.
c.
Kondisi Peserta Didik Kondisi yang mempengaruhi motivasi belajar peserta didik adalah kondisi secara fisiologis dan psikologis. Kondisi secara fisiologis yang mempengaruhi motivasi belajar yaitu: 1)
Kesehatan Kesehatan seseorang berpengaruh terhadap belajarnya. Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu juga akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, mengantuk sehingga seseorang untuk dapat belajar dengan baik harus mengusahakan badannya tetap terjamin dengan cara istirahat, tidur, makan seimbang, olahraga secara teratur, rekreasi dan ibadah yang teratur.
2)
Panca indera Panca indra yang berfungsi dengan baik terutama penglihatan dan pendengaran akan berpengaruh terhadap motivasi belajar seseorang. Keadaan Psikologis peserta didik yang mempengaruhi motivasi belajar yaitu: a)
Bakat
b)
Intelegensi
c)
Sikap
d)
Persepsi
e)
Minat
f)
Unsur-unsur dinamis dalam pembelajaran
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
148
2.
Faktor eksternal a.
Kondisi Lingkungan Belajar Kondisi lingkungan belajar dapat berupa lingkungan sosial dan lingkungan non sosial. 1)
Lingkungan sosial a)
Lingkungan Sosial Sekolah Lingkungan
sosial
sekolah
seperti
dosen,
administrasi dan teman-teman dapat mempengaruhi proses belajar. Hubungan harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi untuk belajar lebih baik di sekolah. Perilaku yang simpatik dan dapat menjadi teladan juga dapat menjadi pendorong peserta didik untuk belajar. b)
Lingkungan Sosial Masyarakat Lingkungan sosial masyarakat berpengaruh terhadap motivasi belajar peserta didik. Pengaruh itu terjadi karena
keberadaanya
peserta
didik
dalam
masyarakat yang meliputi kegiatan peserta didik dalam masyarakat, media massa, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat. c)
Lingkungan Sosial Keluarga Hubungan antar anggota keluarga yang harmonis, suasana
rumah
yang
tenang,
dukungan
dan
pengertian dari orang tua, kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam keluarga akan mempengaruhi motivasi belajar peserta didik.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
149
2)
Lingkungan non Sosial a)
Lingkungan Alamiah Lingkungan alamiah seperti kondisi udara yang sejuk, tidak panas, suasana yang tenang akan mempengaruhi motivasi belajar.
b)
Faktor Instrumental Sarana belajar seperti gedung sekolah, alat-alat belajar mempengaruhi kemauan peserta didik untuk belajar.
b.
Upaya Pengajar dalam Pembelajaran Pengajar atau dosen merupakan salah satu stimulus yang sangat besar pengaruhnya dalam memotivasi peserta didik untuk belajar.
I.
PRINSIP-PRINSIP DALAM MOTIVASI Aktivitas belajar bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan yang terlepas dari faktor lain. Aktivitas belajar merupakan kegiatan yang melibatkan unsur jiwa dan raga. Belajar tak akan pernah dilakukan tanpa suatu dorongan yang kuat baik dari dalam yang lebih utama maupun dari luar sebagai upaya lain yang tak kalah pentingnya. Faktor lain yang mempengaruhi aktivitas belajar seseorang dalam pembahasan disebut motivasi. Motivasi mempunyai peranan yang strategis dalam aktivitas belajar seseorang. Tidak ada seorang pun yang belajar tanpa motivasi. Tidak ada motivasi berarti tidak ada kegiatan belajar. Agar peranan motivasi lebih optimal, maka prinsip-prinsip motivasi belajar tidak hanya sekedar diketahui, tetapi harus diterangkan dalam aktivitas belajar mengajar. Beberapa prinsip motivasi yang diterapkan dalam belajar (Djamarah, 2002: 118), sebagai berikut: 1)
Motivasi sebagai dasar penggerak yang mendorong aktivitas belajar.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
150
2)
Motivasi intrinsik lebih utama daripada motivasi ekstrinsik dalam belajar.
3)
Motivasi berupa pujian lebih baik daripada hukuman.
4)
Motivasi berhubungan erat dengan kebutuhan dalam belajar.
5)
Motivasi dapat memupuk optimisme dalam belajar.
6)
Motivasi melahirkan prestasi dalam belajar. Kenneth H Hover (Oemar Hamalik, 2003:163) mengemukakan
prinsip- prinsip motivasi belajar sebagai berikut: 1)
Pujian akan lebih efektif daripada hukuman.
2)
Semua murid mempunyai kebutuhan-kebutuhan psikologis (yang mendasar) tertentu yang harus mendapat kepuasan.
3)
Motivasi yang berasal dari dalam individu akan lebih efektif daripada motivasi yang dipaksakan dari luar.
4)
Terhadap perbuatan yang serasi (sesuai dengan keinginan) perlu dilakukan usaha pemantauan.
5)
Motivasi itu mudah menjalar atau tersebar terhadap orang lain.
6)
Pemahaman yang jelas terhadap tujuan-tujuan akan merangsang motivasi.
7)
Tugas-tugas yang dibebankan oleh diri sendiri akan menimbulkan minat yang lebih besar untuk mengerjakan daripada apabila tugastugas tersebut dipaksakan oleh guru.
8)
Pujian-pujian yang datang dari luar kadang diperlukan dan cukup efektif untuk merangsang minat.
9)
Teknik dan proses belajar yang bervairasi cukup efektif untuk memelihara minat siswa
10)
Manfaat minat yang dimiliki oleh murid adalah bersifat ekonomis.
11)
Kegiatan-kegiatan yang kurang merangsang akan diremehkan oleh siswa yang tergolong pandai.
12)
Kecemasan yang besar akan menimbulkan kesulitan belajar.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
151
13)
Kecemasan dan frustasi yang lemah dapat menimbulkan kesulitan belajar.
14)
Apabila tugas tidak terlalu sukar dan apabila tidak ada maka frustasi secara cepat menuju ke demoralisasi.
15)
Setiap siswa memiliki tingkat frustasi yang berbeda.
16)
Tekanan kelompok kebanyakan efektif dalam motivasi daripada tekanan dari orang tua atau guru.
17) J.
Motivasi yang besar erat hubungannya dengan kreativitas murid.
STRATEGI DALAM MENUMBUHKAN MOTIVASI Dalam kegiatan belajar, motivasi peserta didik adalah salah satu tolak ukur menetukan keberhasilan dalam pembelajaran. Peserta didik yang tidak mempunyai motivasi belajar tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Tidak adanya aktivitas belajar tentu akan berdampak terhadap tujuan pembelajaran. Apabila tujuan pembelajaran tidak tercapai, mencerminkan kegagalan yang dilakukan pendidik. Untuk itu, pendidik perlu menciptakan strategi yang tepat dalam memotivasi belajar peserta didik. Menurut Pupuh Fathurrohman dan M. Sorby Sutikno (2010) bahwa motivasi dapat dibagi dua. Pertama motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang timbul dari dalam diri peserta didik tanpa ada paksaan dari dorongan orang lain. Kedua motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang timbul sebagai akibat pengaruh dari luar peserta didik. Hal ini bisa timbul karena ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain (pendidik) sehingga dengan keadaan tersebut peserta didik mau melakukan sesuatu atau belajar. Pendapat tersebut menegaskan bahwa dalam pembelajaran motivasi ektrinsik sangat dibutuhkan oleh peserta didik, seperti hadiah (reward), kompetensi sehat antar peserta didik, pemberian nasehat, dan pemberian hukuman (funishment). Adanya motivasi dari luar sebagai dorongan untuk diri peserta didik merupakan sebuah kemutlakan harus dilkukan guru jika
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
152
menginginkan peserta didiknya mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Lain halnya dengan peserta didik yang memiliki motivasi intrinsik karena mereka dengan kesadaran sendiri ingin belajar dan memperhatikan penjelasan guru dalam pembelajaran, karena keingintahuannya dalam pembelajaran tinggi sehingga sulit terpengaruh oleh gangguan yang ada di sekitarnya. Perilaku belajar merupakan salah satu perilaku. Seorang anak yang membaca iklan surat kabar dengan keinginan mencari sekolah yang baik akan memperoleh kepuasan karena ia memperoleh informasi yang benar. Keinginan belajar di sekolah tertentu dipusatkan dengan iklan yang benar. Membaca iklan tersebut memuaskan sebab ia membaca dengan motivasi mencari sekolah. Hal tersebut tidak dialami oleh anak yang lain yang membaca iklan secara iseng. Perilaku membaca pada anak pencari informasi sekolah berbeda dengan perilaku membaca anak yang iseng membaca iklan. Motif membaca kedua anak tersebut berbeda. Demikianlah halnya dengan motif belajar pada siswa yang sedang membaca buku pelajaran. Membaca dengan motivasi dengan mencari sesuatu lebih berarti bila dibandingkan dengan membaca tanpa mencari sesuatu. Guru di sekolah menghadapi banyak siswa dengan bermacam-macam motivasi belajar. oleh karena itu, peran guru cukup banyak untuk meningkatkan belajar. 1.
Optimalisasi Penerapan Prinsip Belajar Perilaku belajar di sekolah telah menjadi pola umum. Sejak usia enam tahun, siswa masuk sekolah selama lima-enam jam dalam sehari. Sekurang-kurangnya tiap siswa mengalami belajar selama sembilan tahun. Dari segi perkembangan, ada siswa yang semula hanya ikutikutan, suka bermain, belum mengerti faedah belajar. dengan tugastugas di sekolahnya, kemudian mereka mulai menyenangi belajar. bermain-main merupakan hal yang menyenangkan bagi sebagian besar siswa. Siswa akan menyadari bahwa bermain, belajar sungguhsungguh, pemberian motivasi belajar, belajar giat, istirahat, belajar
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
153
lagi, dan kemudian bekerja adalah pola perilaku kehidupan yang wajar bagi anggota masyarakat. Kehadiran siswa di kelas merupakan awal motivasi belajar. guru profesional tertarik perhatiannya pada membelajarkan siswa. Persoalan guru menghadapi siswa dikelas adalah apakah siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi? Apakah siswa yang memiliki belajar yang tinggi membutuhkan bahan pembelajaran
tertentu?
diberlakukan
oleh
apakah
guru
pada
motivasi setiap
belajar siswa?
yang
tinggi
Dalam
upaya
pembelajaran, guru berhadapan dengan siswa dan bahan belajar. Untuk dapat membelajarkan atau mengajarkan bahan pelajaran dipersyaratkan, yaitu: a.
Guru telah memplajari bahan pembelajaran.
b.
Guru telah memahami bagian-bagian yang mudah, sedang dan sukar.
c.
Guru telah mempelajari bahan pelajaran.
d.
Guru telah memahami sifat bahan pelajaran tersebut.
Sebagai ilustrasi guru mengajarkan lagu Indonesia Raya misalnya, harus memahami misi bahan, menguasai kata, nada, dan lagu, serta nuansa syair lagu tersebut. Upaya pembelajaran terkait dengan beberapa prinsip belajar. Beberapa prinsip belajar tersebut terkait, yaitu: a)
Belajar menjadi bermakna bila siswa memahami tujuan belajar, oleh karena itu guru perlu menjelaskan tujuan belajar secara heararkis. Tujuan belajar memahami dan menghafal syair lagu Indonesia Raya misalnya adalah agar siswa dapat menyanyikan lagu tersebut dengan baik.
b)
Belajar menjadi bermakna bila siswa dihadapkan pada pemecahan masalah yang menantang, oleh karena itu peletakan urutan masalah yang menantang harus disusun guru dengan baik.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
154
c)
Belajar menjadi bermakna bila guru mampu memusatkan segala kemampuan mental siswa dalam program kegiatan tertentu. Oleh karena itu, di samping mengajarkan bahan secara terpisahpisah, guru sebaiknya membuat pembelajaran dalam pengajaran unit atau proyek. Sebagai ilustrasi siswa kelas satu SMP diberi tugas mempelajari lalu lintas di kotanya. Pelajaran tentang lalu lintas tersebut sesuai dengan kebutuhan siswa tersebut.
d)
Sesuai dengan perkembangan jiwa siswa, maka kebutuhan bahan-bahan siswa semakin bertambah, oleh karena itu, guru perlu mengatur bahan dari yang paling sederhana sampai paling menantang. Seyogyanya bahan tersebut diatur dalam prinsip memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Sebagai ilustrasi, pada setiap akhir pelajaran bidang studi misalnya, setiap siswa diberi kesempatan menampilkan hasil karyanya. Pada pelajaran seni rupa misalnya diselenggarakan “pameran lukisan”, pada pelajaran bahasa diselenggarakan “pameran karangan”, atau lomba baca puisi.
e)
Belajar menjadi menantang bila siswa memahami prinsip penilaian dan faedah nilai belajarnya bagi kehidupan di kemudian hari. Oleh karena itu, guru perlu memberitahukan kriteria
keberhasilan
ilustrasinya,
siswa
atau
kegagalan
sekolah
menengah
belajar. perlu
sebagai
memahami
pentingnya bahasa inggris. Bila siswa tahu bahwa bahasa inggris penting untuk belajar di perguruan tinggi, maka ia akan belajar bahasa inggris dengan sungguh-sungguh. Sebab dengan angka sembilan untuk bahasa inggris, peluang belajar diperguruan tinggi makin terbuka. 2.
Optimalisasi Unsur Dinamis Belajar dan Pembelajaran Seorang siswa akan belajar dengan seutuh pribadinya. Perasaan, kemauan, pikiran, perhatian, fantasi, dan kemampuan yang lain
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
155
tertuju pada belajar. meskipun demikian ketertujuan tersebut tidak selamanya berjalan lancar. Ketidaksejajaran tersebut disebabkan oleh kelelahan jasmani atau mentalnya, ataupun naik turunya energi jiwa. Pada suatu saat perasaan siswa kecewa, ia dapat mengatasinya, dan kemauan dan semangat belajarnya yang diperkuat. Sebaliknya lingkungan seperti taman belajar, surat kabar, radio, majalah, televisi, guru, dan orang tua juga akan mempengaruhi. Ada teman belajar yang putus asa, ada pula yang tegar. Ada iklan yang menawarkan lapangan kerja yang menarik. Ada tayangan yang bertepatan dengan pengerjaan tugas pekerjaan rumah.kebetulan orang tua memberitahuakan tentang adanya tambahan beban hidup. Unsur-unsur lingkungan tersebut ada yang menorong, dan ada pula yang menghambat kegiatan belajar. keputusan belajar giat, ataupun menangguhkan belajar, ada pada diri siswa sendiri. Guru adalah pendidik dan sekaligus pembimbing belajar. guru lebih memahami keterbatasan waktu bagi siswa. Seringkali siswa lengah tentang nilai kesempatan belajar. oleh karena itu guru dapat mengupayakan optimalisasi unsur-unsur dinamis yang ada dalam diri siswa dan yang ada di lingkungan siswa. Upaya optimalisasi tersebut sebagai berikut: a)
Pemberian kesempatan pada siswa untuk mengungkap hambatan belajar yang dialaminya.
b)
Memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar, betapa lambat gerak belajar, guru tetap secara terus-menerus mendorong; dalam hal ini berlaku semboyan “lambat asal selamat, tak akan lari gunung dikejar”.
c)
Meminta kesempatan kepada orang tua siswa atau wali, agar memberi kesempatan kepada siswa untuk beraktualisasi diri dalam belajar.
d)
Memanfaatkan
unsur-unsur
lingkungan
yang
mendorong
belajar, misalnya surat kabar, dan tayangan televisi yang mengganggu pemusatan perhatian belajar agar dicegah.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
156
e)
Menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat
pada
perilaku
belajar,
pada
tingkat
ini
guru
memberlakukan upaya belajar merupakan aktualisasi diri siswa. f)
Guru merangsang siswa dengan penguatan memberi rasa percaya diri bahwa ia dapat mengatasi segala hambatan dan pasti berhasil, sebagai ilustrasi, siswa dibebaskan rasa harga dirinya dengan berbuat sampai berhasil.
3.
Optimalisasi Pemanfaatan Pengalaman dan Kemampuan Siswa Perilaku belajar siswa merupakan rangkaian tindak-tindak belajar setiap hari. Perilaku belajar setiap hari bertolak dari jadwal pelajaran sekolah. Untuk menghadapi hari pertama masuk sekolah guru telah membuat rancangan pengajaran. Sedangkan siswa telah terbiasa dengan membaca buku pelajaran. Siswa telah mengalami belajar yang berhasil atau belajar yang gagal sebelumnya. Siswa menghayati pahitnya kegagalan belajar, dan manisnya keberhasilan belajar. Oleh karena itu rancangan pengajaran satu tahun ajaran selalu diharapkan oleh seluruh siswa. Bagi siswa, rancangan tersebut ibarat “perjalanan tamasya ke gunung yang penuh liku-liku, yang sulit tetapi menggembirakan”. Kehadiran hari pertama yang penuh harap pada siswa perlu digunakan untuk membesarkan semangat belajar. Siswa mempelajari sebagai mata pelajaran selama dua puluh sampai tiga puluh jam pelajaran setiap minggu. jatah bahan pelajaran tiap tahun terdiri atas beberapa buah buku pelajaran. Dan buku-buku pelajaran tersebut dihitung dua ratus sampai tiga ratus halaman per buku. Setiap siswa memiliki kecepatan membaca buku sendiri, sebagai ilustrasi seorang siswa kelas lima SD menghabiskan waktu 30 menit untuk memahami bahan sejumlah enam halaman. Kecepatan membaca buku tersebut berpengaruh pada penyelesaian belajar tiap hari. Secara umum diketahui bahwa siswa SD memerlukan waktu membaca dua sampai tiga jam (120-180 menit) tiap hari. Diharapkan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
157
lama waktu baca tersebut menjadi kebiasaan siswa, dan makin tinggi jenjang siswa mengalami dan menemukan pengertian atau hal-hal yang susah, sedang, atau sukar. Pengalaman belajar tentang hal-hal yang mudah, atau yang sukar tersebut bermanfaat bagi pengelolaan belajar siswa. Guru adalah penggerak perjalanan belajar bagi siswa. Sebagai penggerak, maka guru perlu memahami dan mencatat kesukarankesukaran siswa. Sebagai fasilitator belajar, guru diharapkan memantau tingkat kesukaran pengalaman belajar, dan segera membantu
mengatasi
kesukaran
belajar.
Bantuan
mengatasi
kesukaran belajar perlu diberikan sebelum siswa putus asa guru wajib menggunakan pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam mengelola siswa belajar. upaya optimalsasi pemanfaatan pengalaman siswa tersebut dapat dilakukan sebagai berikut: a)
Siswa ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya, tiap membaca bahan belajar siswa mencatat hal-hal yang sukar, catatan hal-hal yang sukar tersebut diarahkan searah kepada guru.
b)
Guru mempelajari hal-hal yang sukar bagi siswa.
c)
Guru memecahkan hal-hal yang sukar, dengan mencari cara memecahkan.
d)
Guru
mengajarkan
cara
memecahkan
dan
mendidikkan
keberanian mengatasi kesukaran. e)
Guru mengajak serta siswa mengalami dan mengatasi kesukaran.
f)
Guru memberi kesempatan kepada siswa yang mampu memecahkan masalah untuk membantu rekan-rekannya yang mengalami kesukaran.
g)
Guru memberi penguatan kepada siswa yang berhasil mengatasi kesukaran belajarnya sendiri.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
158
h)
Guru menghargai pengalaman dan kemampuan siswa agar belajar secara mandiri.
4.
Pengembangan Cita-Cita dan Aspirasi Belajar Belajar di sekolah menjadi pola umum kehidupan warga masyarakat di Indonesia. Dewasa ini keinginan hidup lebih baik telah dimiliki oleh warga masyarakat. Belajar telah dijadikan alat hidup. Wajib belajar selama sembilan tahun merupakan kebutuhan hidup. Oleh karena itu, warga masyarakat mendambakan agar anak-anaknya memperoleh tempat belajar di sekolah yang baik. Sejak usia enam tahun siswa telah memperoleh kesempatan belajar di sekolah. Dengan belajar membaca, menulis, dan matematika di kelas rendah SD, siswa memiliki keterampilan dasar. Dengan keterampilan dasar tersebut, siswa dapat memuaskan rasa ingin tahunya lewat membaca, mengamati, dan bernalar. Pemerolehan pengetahuan awal ini menimbulkan rasa percaya diri. Keterampilan dasar 3M (membaca,
menulis,
matematika)
tersebut
memudahkan
dan
memperluas pergaulan. Guru adalah pendidik anak bangsa. Ia berpeluang merekayasa dan mendidikan cita-cita bangsa. Mendidikan cita-cita belajar pada siswa merupakan upaya memberantas kebodoham masyarakat. Upaya mendidikkan dan mengembangkan cita-cita belajar tersebut dapat dilakukan
dengan
berbagai
cara.
Cara-cara
mendidik
dan
mengembangkan yang dapat dilakukan antara lain adalah: a)
Guru menciptakan sussana belajar yang mengembirakan, seperti mengatur kelas dan sekolah yang indah dan tertib. Setiap siswa dapat merasa kerasan atau lebih betah tinggal di sekolah.
b)
Guru mengikutsertakan semua siswa untuk memelihara fasilitas belajar, sebagai ilustrasi, siswa diajak serta memelihara
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
159
ketertiban dan keindahan kelas, perpustakaan, alat-alat olahraga, halaman bermain, dan kebun di sekolah. c)
Guru mengajak serta siswa untuk membuat perlombaan untuk belajar, seperti lomba baca, lomba kerajinan. Siswa yang sudah cukup terampil juga diajak serta menjadi panitia lomba.
d)
Guru serta orang tua siswa untuk memperlengkap fasilitas belajar seperti buku bacaan, majalah, alat olahraga, dan kebun coba.
e)
Guru memberanikan siswa untuk mencatat keinginan-keinginan di notes pramuka, dan mencatat keinginan yang tercapai dan tidak tercapai, siswa diajak berdiskusi tentang keberhasilan atau kegagalan mencapai keinginan, selanjutnya siswa diminta merumuskan keinginan-keinginan yang baru dan diduga dapat tercapai.
f)
Guru bekerja sama dengan pendidik lain seperti orang tua, ulama, atau pendeta, pramuka dan para instruktur pendidik pemuda, untuk mendidikkan dan mengembangkan cita-cita belajar sepanjang hayat. Dalam rangka pengembangan cita-cita belajar tersebut, guru dan
pendidik lain dapat membuat program-program belajar. Programprogram dapat dilakukan bersama antara lain: a)
Program lomba baca yang diselenggarakan untuk menyambut hari kemerdekaan dalam hal ini di sekolah, masarakat desa, lembaga agama, pramuka, membuat kegiatan bersama.
b)
Program lomba karya tulis ilmiah, seni rupa, kerajinan, unjuk kreativitas seni, dan
c)
Program belajar kebaktian sosial bagi siswa dan karang taruna, dalam program ini diaktifkan adalah OSIS, pramuka, dan karang taruna. Guru dan pendidik yang lain berlaku “tut wuri handayani”.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
Secara
ringkas
dapat
dikemukakan
bahwa
160
pengembangan cita-cita belajar dilakukan sejak siswa masuk sekolah dasar. Pengembangan cita-cita belajar tersebut ditempuh dengan jalan membuat kegiatan belajar sesuatu. Penguat berupa hadiah diberikan pada setiap siswa yang berhasil. Sebaliknya, dorongan keberanian untuk memiliki cita-cita diberikan kepada setiap siswa yang berasal dari semua lapisan masyarakat.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
161
BAB VII MASALAH – MASALAH DALAM BELAJAR A.
PENGERTIAN MASALAH BELAJAR Banyak ahli mengemukakan pengertian masalah. Ada yang melihat masalah sebagai ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan, ada yang melihat sebagai tidak terpenuhinya kebutuhan seseorang, dan adapula yang mengartikannya sebagai suatu hal yang tidak mengenakan. Prayitno (1985) mengemukakan bahwa masalah adalah sesuatu yang tidak disukai adanya, menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri dan atau orang lain, ingin atau perlu dihilangkan. Sedangkan menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar dapat didefinisikan “Belajar ialah sesuatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. “Belajar adalah proses perubahan pengetahuan atau perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Pengalaman ini terjadi melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya” ( Anita E, Wool Folk, 1995 : 196 ). Dari definisi masalah dan belajar maka masalah belajar dapat diartikan atau didefinisikan “Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh siswa dan menghambat kelancaran proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan”. Kondisi tertentu itu dapat berkenaan dengan keadaan dirinya yaitu berupa kelemahan-kelemahan dan dapat juga berkenaan dengan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Masalah-masalah belajar ini tidak hanya dialami oleh siswa-siswa yang lambat saja dalam belajarnya, tetapi juga dapat menimpa siswa-siswa yang memiliki kemampuan diatas rata-rata normal, pandai atau cerdas. Masalah-masalah
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
162
dalam pembelajaran ini adalah sesuatu yang harus dipecahhkan oleh guru dan orang tua sehingga proses belajar anak bisa sesuai dengan tujuan yang pertama yaitu mencerdaskan anak bangsa yang berpendidikan dan mempunyai tingkah laku yang baik. Tanggung jawab seorang guru dalam mendidik anak bisa berjalan dengan baik jika masalah-masah dalam pembelajaran bisa dipecahkan secara bersama-sama. B.
JENIS – JENIS MASALAH DALAM BELAJAR Di dalam setiap kehidupan pasti akan ada yang namanya masalah, begitu juga masalah dalam pembelajaran yang membuat peserta didik tidak dapat secara maksimal untuk menyerap ilmu yang telah di sampaikan oleh tenaga didik. Berikut akan kami sampaikan beberapa masalah dalam pembelajaran yang perlu untuk ditanggulangi: a.
Berkurangnya motivasi para peserta didik untuk belajar atau berpartisipasi di dalam belajar.
b.
Semakin banyak siswa yang membolos pada saat jam pelajaran di mulai.
c.
Pada zaman yang berkembang ini juga banyak sekali perkelahian muncul di kalangan antar pelajar.
d.
Prestasi siswa yang semakin rendah dan mengalami kemerosotan nilai.
e.
Semakin menipisnya etika dan kesopanan di dalam belajar. Identifikasi penyebab masalah dalam pembelajaran mengenai
kurangnya motivasi belajar peserta didik di dalam melakukan pembelajaran antara lain adalah : 1.
Kurangnya sekolah menentukan guru yang kompetitif di dalam melakukan
pembelajaran
atau
terlalu
monotonnya
proses
pembelajaran di dalam sekolah. 2.
Kurangnya guru melakukan sebuah hubungan atau relasi dengan para murid yang menjadi peserta didiknya.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
163
3.
Kurang maksimalnya di dalam penggunaan alat ataupun media pembelajaran yang menjadi pendukung di dalam aktivitas belajar mengajar.
4.
Tidak adanya sebuah ide atau motivasi untuk membuat kelas yang hidup dan tidak berkesan kaku dan membosankan.
5.
Guru tidak melakukan upaya permasalahan kelas yang monoton yang membuat peserta didik menjadi malas untuk datang ke kelas.
6.
Kurangnya kemampuan para peserta didik untuk bekerja di dalam kelompok-kelompok kecil untuk melakukan diskusi ringan.
7.
Tidak adanya upaya para tenaga didik untuk memulai cara pembelajaran yang baru supaya para peserta didik dapat lebih aktif di dalam lingkup pembelajaran.Tidak adanya sebuah penghargaan ataupun imbalan yang di berikan kepada peserta didik yang memiliki kemampuan yang lebih. Diantara banyak peserta didik di sekolah ada siswa yang berprestasi,
namun banyak pula yang dijumpai siswa yang gagal. Secara umum, siswasiswa yang mengalami nilai dan angka rapor banyak rendah, tidak naik kelas, tidak lulus ujian akhir, dan sebagainya dapat dianggap sebagai siswa yang mengalami masalah belajar. Seseorang siswa dapat diduga mengalami kesulitan belajar, kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf kualifikasi
hasil
belajar
tertentu.
Selain
masalah-masalah
dalama
pembelajaran yang telah diungkapkan diatas, namun banyak sekali yang berbeda dan itu tergantung mereka menilai dari sudut pandang yang berbeda juga. Prayitno (Herman dkk, 2006:149-150) mengemukakan masalah belajar sebagai berikut : 1.
Keterampilan Akademik Keadaan siswa yang diperkirakan memiliki intelegensi yang cukup tinggi,
tetapi
tidak
dapat
memanfaatkannya
secara
optimal.
Seharusnya kegiatan exstra harus dimanfa’atkan secara baik oleh guru dan orang tua, karena ketrampilan setiap anak didik sangatlah
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
164
berbeda-beda,
sehingga
ketrampilannya
sejak
bisa dari
mengeluarkan kecil
dan
dan
memulai
diharapkan
bisa
mengembangkannya. 2.
Keterampilan dalam Belajar Keadaan siswa yang memiliki IQ 130 atau lebih tetapi masih memerlukan tugas-tugas khusus untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan belajar yang amat tinggi. Ketrampilan dalam belajar bisa menunjang prestasi belajar siswa karena siswa akan lebih banyak mendapatkan ilmu pengetahuan tambahan dari proses pembelajaran yang semestinya.
3.
Sangat Lambat dalam Belajar Keadaan siswa yang memiliki akademik yang kurang memadai dan perlu
dipertimbangkan
untuk
mendapatkan
pendidikan
atau
pengajaran khusus. Sebenarnya setiap siswa mempunyai akal yang sama, tetapi kemampuan setiap siswa yang satu dengan siswa yang lain sangatlah berbeda dan disinalah letak kerja exstra guru dalam memberikan pengajaran yang lebih agar siswa yang kurang mampu dalam menerima pelajaran tidak terlihat sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan siswa yang penerimaan pelajarannya sangat cepat. 4.
Kurang Motivasi dalam Belajar Keadaan siswa yang kurang bersemangat dalam belajar mereka seolah-olah tampak jera dan malas. Hal ini disebabkan dari beberapa sebab yang meliputi dari lingkungan sekolah, keluarga maupun dari lingkungan pergaulan anak, jika lingkungan anak memang sejak kecil diberi semangat belajar yang tinggi, pastinya siswa tersebut bisa termotivasi untuk menjadi anak yang pintar, namun sebaliknya kurangnya motivasi belajar siswa bisa mempengaruhi proses belajar dan akhirnya menjadi salah satu dari sekian banyak masalah-masalah dalam pembelajaran.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
165
5.
Bersikap dan Berkebiasaan Buruk dalam Belajar Kondisi siswa yang kegiatan atau perbuatan belajarnya sehari-hari antagonistic dengan yang seharusnya, seperti suka menunda-nunda tugas, mengulur waktu, membenci guru, tidak mau bertanya untuk hal-hal yang tidak diketahuinya dan sebagainya, maka sikap dan kebiasaan yang baik bisa menunjang kelancaran proses belajar anak. Hal ini disebabkan anak akan cenderung rajin belajar dari pada siswa yang mempunyai sikap dan kebiasaan yang buruk.
C.
FAKTOR – FAKTOR YANG MENJADI PENYEBAB MASALAH – MASALAH DALAM BELAJAR 1.
Faktor Internal dalam Belajar Dalam interaksi belajar-mengajar ditemukan bahwa proses belajar yang dilakukan oleh siswa merupakan kunci keberhasilan belajar. Proses belajar merupakan aktivitas psikis berkaitan dengan bahan belajar. Aktivitas mempelajari bahan belajar tersebut memakan waktu. Lama waktu mempelajari tergantung pada jenis dan sifat bahan. Lama waktu mempelajari juga tergantung pada kemampuan siswa. Jika bahan belajarnya sukar, dan siswa kurang mampu, maka dapat diduga bahwa proses belajar memakan waktu yang lama. Sebaliknya, jika bahan belajarnya mudah, dan siswa berkemampuan tinggi, maka proses belajar memakan waktu singkat. Aktivitas belajar dialami oleh siswa sebagai suatu proses, yaitu proses belajar sesuatu. Aktivitas belajar juga dapat diketahui oleh guru dari perlakuan siswa terhadap bahan belajar. Proses belajar sesuatu dialami oleh guru dan aktivitas belajar suatu dapat diamati oleh guru. Belajar merupakan hal yang kompleks. Siswalah yang menentukan terjadi atau tidak terjadi belajar. Untuk bertindak belajar siswa menghadapi masalah-masalah secara intern. Jika siswa tidak dapat mengatasi masalahnya, maka ia tidak belajar dengan baik.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
166
Faktor intern yang dialami dan dihayati oleh siswa yang berpengaruh pada proses belajar sebagai berikut. a.
Ciri Khas/Karakteristik Siswa Persoalan intern pembelajaran berkaitan dengan kondisi kepribadian siswa, baik fisik maupun mental. Berkaitan dengan aspek-aspek fisik tentu akan relative lebih mudah diamati dan dipahami, dibandingkan dengan dimensi-dimensi mental dan emosional. Sementara dalam kenyataannya, persoalan-persoalan pembelajaran lebih
banyak dengan dimensi mental atau
emosional. Masalah-masalah belajar yang berkenaan dengan dimensi siswa sebelum belajar pada umumnya berkenaan dengan
minat,
kecakapan
dan
pengalaman-pengalaman.
Bilamana siswa memiliki minat yang tinggi untuk belajar, maka ia akan berupaya mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang akan dipelajari dengan lebih baik. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kesediaan siswa untuk mencatat pelajaran, mempersiapkan buku, alat-alat tulis, atau hal-hal lain yang diperlukan. Namun bilamana siswa tidak memilki minat untuk belajar,
maka
siswa
tersebut
cenderung
mengabaikan
kesiapannya untuk belajar. Misalnya kurang peduli apakah ia membawa buku pelajaran atau tidak, tersedia tidaknya alat-alat tulis, apalagi mempersiapkan materi yang perlu untuk mendukung
pemahaman
materi-materi
baru
yang
akan
dipelajari. Demikian juga pengalaman siswa juga turut menentukan muncul tidaknya masalah belajar sebelum kegiatan belajar dimulai. Siswa-siswa yang memilki latar pengalaman yang baik yang mendukung materi pelajaran yang akan dipelajari, tidak memilki banyak masalah sebelum belajar dan dalam proses belajar selanjutnya. Namun bagi siswa yang kurang memiliki pengalaman yang terkait dengan mata
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
167
pelajaran atau materi yang akan dipelajari akan menghadapi masalah dalam belajar, terutama berkaitan dengan kesiapannya untuk belajar. b.
Sikap terhadap Belajar Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian. Adanya penilaian tentang sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak atau mengabaikan. Siswa memperoleh kesempatan belajar. Meskipun demikian, siswa dapat menolak, menerima, atau mengabaikan kesempatan belajar tersebut. sebagai ilustrasi, seorang siswa yang tidak lulus ujian matematika menolak ikut ulangan dikelas lain. Siswa tersebut bersikap menolak ulangan karena ujian ulang di kelas lain. Sikap menerima, menolak, atau mengabaikan suatu kesempatan belajar merupakan urusan pribadi siswa. Akibat penerimaan, penolakan, atau pengabaian kesempatan belajar tersebut akan berpengaruh pada perkembangan kepribadian. Oleh karena itu, ada baiknya siswa mempertimbangkan masak-masak akibat sikap terhadap belajar.
c.
Motivasi Belajar Motivasi belajar merupakan kekuatan yang dapat menjadi tenaga pendorong bagi siswa untuk mendayagunakan potensipotensi yang ada pada dirinya dan potensi di luar dirinya untuk mewujudkan tujuan belajar. Siswa yang memiliki motivasi belajar akan Nampak melalui kesungguhan untuk terlibat didalam proses belajar, antara lain Nampak melalui keaktifan bertanya, mengemukakan pendapat, menyimpulkan pelajaran, mencatat,
membuat
resume,
mempraktekkan
sesuatu,
mengerjakan latihan-latihan dan evaluasi sesuai dengan tuntutan pembelajaran. Di dalam aktivitas belajar sendiri, motivasi
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
168
individu dimanifestasikan dalam bentuk ketahanan atau ketekunan dalam belajar, kesungguhan dalam menyimak isi pelajaran, kesungguhan dan ketelatenan dalam mengerjakan tugas dan sebagainya. Sebaliknya siswa-siswa yang tidak atau kurang memiliki motivasi, umumnya kurang mampu bertahan untuk belajar lebih lama, kurang sungguh-sungguh di dalam mengerjakan tugas. Sikap yang kurang positif di dalam belajar ini semakin nampak ketika tidak ada orang lain(guru, orang tua) yang mengawasinya. Oleh karena itu, rendahnya motivasi merupakan masalah belajar, karena hal ini memberikan dampak bagi ketercapaian hasil belajar yang diharapkan. d.
Konsentrasi Belajar Konsentrasi belajar merupakan salah satu aspek psikologis yang sering kali tidak begitu mudah untuk diketahui oleh orang lain selain diri individu yang sedang belajar. Hal ini disebabkan kadang-kadang apa yang terlihat melalui aktivitas seseorang belum tentu sejalan dengan apa yang sesungguhnya individu sedang pikirkan. Sebagai contoh, ketika dihadapan siswa terdapat sebuah buku yang sedang terbuka, dan terlihat sepintas siswa seperti sedang mengamati atau membaca buku tersebut. akan tetapi benarkan siswa tersebut sedang memusatkan perhatian
(berkonsentrasi)
terhadap
isi
buku
yang
dihadapannya. Tentu perlu diperiksa, diteliti dan dipahami untuk menyimpulkannya. Ketika guru menjelaskan pelajaran, dan
sepintas
terlihat
siswa-siswa
di
kelas
tersebut
memperhatikan apa yang dijelaskan oleh guru. Dapatkah guru mejamin bahwa semua siswa sedang berkonsentrasi dengan apa yang Ia jelaskan?. Bilamana menurut keyakinan guru siswa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang dijelaskannya, maka umumnya guru merasa yakin pula bahwa siswa-siswa dapat
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
169
memahami dengan baik. Bagaimana jika yang terjadi tidak seperti yang diduga guru, karena ternyata separuh siswanya hanya diam, akan tetapi tidak berkonsentrasi dengan pelajaran yang disajikan guru?. hal-hal seperti ini layak dikaji secara cermat agar guru dapat memahami kondisi siswa sesungguhnya. Kesulitan berkonsentrasi merupakan indicator adanya msalah belajar yang dihadapi siswa, karena hal itu akan menjadi kendala didalam mencapai hasil belajar yang diharapkan. Untuk membantu siswa agar dapat berkonsentrasi dalam belajar memerlukan waktu yang cukup lama, di samping menuntut ketelatenan guru. Akan tetapi dengan bimbingan, perhatian serta bekal kecakapan yang dimiliki guru, maka secara bertahap hal ini akan dapat dilakukan. e.
Mengolah Hasil Belajar Mengolah bahan belajar dapat diartikan sebagai proses berpikir seseorang untuk mengolah informasi-informasi yang diterima sehingga menjadi bermakna. Dalam kajian konstruktivisme mengolah bahan belajar atau mengolah informasi merupakan kemampuan penting agar seseorang dapat mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri berdasarkan informasi yang telah ia dapatkan. Dalam proses pembelajaran, makna yang dihasilkan dari proses pengolah pesan merupakan hasil bentukan siswa sendiri yang bersumber dari apa yang mereka dengar, lihat, rasakan, dan alami. Secara substansial, belajar bukanlah aktivitas pengembangan pemikiran-pemikiran baru. Dalam keadaan ini, maka kemampuan siswa mengolah bahan belajar merupakan kemampuan yang harus terus didorong dan dikembangkan agar siswa semakin mampu mencapai makna belajar dan akan semakin mengarah pada perkembangan serta kemampuan berpikir yang sangat berguna untuk menghasilkan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
170
pengetahuan-pengetahuan baru. Bilamana dalam proses belajar siswa mengalami kesulitan didalam mengolah pesan, maka berarti ada kendala pembelajaran yang dihadapi siswa yang membutuhkan bantuan guru. Bantuan guru tersebut hendaknya dapat membantu siswa agar memilki kemampuan sendiri untuk terus mengolah bahan belajar, karena konstruksi merupakan suatu proses yang berlangsung secara dinamis. f.
Menggali Hasil Belajar Dalam kegiatan pembelajaran kita sering mendengar bahkan mengalami sendiri di mana kita mengalami kesulitan menggali kembali hasil belajar yang sebelumnya sudah kita temukan atau kita ketahui. Pesan yang sudah kita terima secara tidak otomatis dapat kita panggil kembali, karena di dalam mekanisme kerja otak ada suatu proses yang dilalui untuk dapat menggali kembali pesan-pesan yang telah diterima dan disimpan sebelumnya. Suatu proses mengaktifkan kembali pesan-pesan yang telah tersimpan dinamakan menggali hasil belajar. Kesulitan didalam proses menggali kembali pesan-pesan lama merupakan kendala di dalam proses pembelajaran karena siswa akan mengalami kesulitan untuk mengolah pesan-pesan baru yang memiliki keterkaitan dengan pesan-pesan lama yang telah diterima
sebelumnya.
Dalam
proses
pembelajaran
guru
hendaknya berupaya untuk mengaktifkan siswa melalui pemberian tugas, latihan-latihan menggunakan cara kerja tertentu,
rumus,
latihan-latihan
agar
siswa
mampu
meningkatkan kemampuannya di dalam mengolah pesan-pesan pembelajaran. g.
Rasa Percaya Diri Rasa percaya diri merupakan salah satu kondisi psikologis seseorang yang berpengaruh terhadap aktivitas fisik dan mental dalam proses pembelajaran. Rasa percaya diri pada umumnya
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
171
muncul ketika seseorang akan melakukan atau terlibat didalam suatu aktivitas tertentu dimana pikirannya terarah untuk mencapai
suatu
hasil
yang
diinginkan.
Dari
dimensi
perkembangan, rasa percaya diri dapat tumbuh dengan sehat bilamana ada pengakuan dari lingkungan. Itulah sebabnya maka di dalam proses pendidikan dan pembelajaran, baik di lingkungan rumah tangga, maupun sekolah, orang tua atau guru terhadap anak. Mendidik dengan memberikan penghargaan atau pujian jauh lebih baik daripada mendidik dengan mencemooh dan mencela. Bilamana orang tua ataupun guru berupaya untuk mendidik anak dengan pujian atau penghargaan maka anak akan tumbuh dengan percaya diri. Namun bilamana mereka dididik dengan celaan dan cemoohan maka ada kecenderungan anak menyesali diri dan merasa bersalah. Akibatnya anak-anak tidak memiliki kemampuan mengeksplorasi kemampuannya dan tidak memilki keberanian yang cukup untuk melakukan sesuatu, terlebih lagi bilamana sesuatu itu adalah hal-hal baru yang belum pernah ia lakukan. Bilamana siswa sering mencapai keberhasilan menyelesaikan
di
dalam suatu
melaksanakan
pekerjaan
apalagi
tugas,
di
diiringi
dalam adanya
pengakuan umum atas keberhasilan yang dicapai maka rasa percaya diri siswa akan semakin kuat. Sebaliknya bilamana kegagalan lebih sering dialami, terlebih lagi diiringi dengan penyesalan dan celaan dari lingkungan, maka siswa semakin merasa tidak percaya diri, bahkan dapat menimbulkan rasa takut belajar
atau
membenci
pelajaran
tertentu.
Pendekatan-
pendekatan emosional guru kepada siswa menjadi sangat penting dalam proses pembelajaran agar keberanian siswa dapat tumbuh dengan baik. Guru juga perlu memberikan pemahaman kepada siswa bahwa sukses dan gagal melakukan sesuatu adalah dua hal yang dialami setiap orang dalam proses pembelajaran.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
172
Hal-hal semacam ini bukan merupakan bagian terpisah dari proses belajar, akan tetapi merupakan tanggung jawab yang harus diwujudkan guru bersamaan dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan. h.
Kebiasaan Belajar Kebiasaan belajar adalah perilaku belajar seseorang yang telah tertanam dalam waktu yang relative lama sehingga memberikan ciri dalam aktivitas belajar yang dilakukannya. Ada beberapa perilaku yang menunjukkan kebiasaan tidak baik dalam belajar yang sering kita jumpai pada sejumlah siswa, seperti; 1)
Belajar tidak teratur.
2)
Daya tahan belajar rendah (belajar secara tergesa-gesa).
3)
Belajar bilamana menjelang ulangan atau ujian.
4)
Tidak memilki catatan pelajaran yang lengkap.
5)
Tidak terbiasa membuat ringkasan.
6)
Tidak memilki motivasi untuk memperkaya materi pelajaran.
7)
Senang menjiplak pekerjaan teman, termasuk kurang percaya diri di dalam menyelesaikan tugas.
8)
Sering datang terlambat.
9)
Melakukan
kebiasaan-kebiasaan
buruk
(misalnya
merokok). Jenis-jenis kegiatan belajar di atas merupakan bentuk-bentuk perilaku belajar yang tidak baik karena mempengaruhi aktivitas belajar siswa dan pada gilirannya dapat meyebabkan rendahnya hasil belajar diperoleh. Sejalan dengan pandangan di atas, Misunita (2008) mengemukakan bahwa kesukaran belajar dapat dikelompokkan berdasarkan tahapan-tahapan dalam pengolahan informasi, yaitu;
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
173
1)
Input; Kesukaran belajar pada kategori ini berkaitan dengan masalah penerimaan informasi melalui alat indera, misalnya persepsi visual dan auditory. Kesukaran dalam persepsi visual dapat menyebabkan masalah dalam mengenali bentuk, posisi atau objek yang dilihatnya.
2)
Integration; Kesukaran tahap ini berkaitan dengan memori/ingatan. Kebanyakan masalah dalam kategori ini berkaitan dengan short-term memori yang membuat seseorang
mengalami
kesulitan
dalam
mempelajari
kesukaran dalam memori visual mempengaruhi proses belajar dalam mengeja. 3)
Storage; tahap ini berkaitan dengan memori/ingatan. Kebanyakan masalah dalam kategori ini berkaitan dengan short-term memori yang membuat seseorang mengalami kesulitan dalam mempelajari materi tanpa banyak pengulangan. Misalnya kesukaran dalam memori visual mempenngaruhi proses belajar dalam mengeja.
4)
Output; Informasi yang telah diproses oleh otak akan muncul dalam bentuk respon melalui kata-kata, yaitu output bahasa, aktivitass otot, misalnya menulis, atau menggambar.
Kesulitan
dalam
output
bahasa
mengakibatkan masalah dalam bahasa lisan, misalnya menjawab pertanyaan yang diharapkan dimana seseorang harus menyampaikan kembali informassi yang disimpan, mengorganisasikan bentuk pikirannya dalam bentuk katakata. Hal yang serupa juga terjadi bila masalah menyangkut bahasa tulis. Kesulitan dalam kemampuan motoric menyangkut kemampuan motoric kasar maupun halus.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
174
Untuk dapat memahami kesulitan atau kesukaran belajar, hendaknya guru dan orang tua memahami dengan baik makna kesukaran belajar itu sendiri. Dari beberapa sumber dijelaskan pengertian kesukaran belajar: a.
Kesukaran
belajar
adalah
sekelompok
disorder
yang
mempengaruhi beberapa kemampuan akademis dan fungsional termasuk
kemampuan
membaca,
menulis,
untuk
mengeja,
berbicara, reason,
mendengarkan,
mengorganisasikan
informasi. Kesukaran belajar bukanlah indicator dari rendahnya intelegensi seseorang. Seseorang dengan kesukaran belajar terkadang sulit untuk mencapai tingkat intelektual sesungguhnya karena kelemahan dalam satu atau lebih proses informasi otak. b.
Istilah kesukaran belajar diberikan kepada siswa-siswa yang tidak mampu membuat peningkatan kemampuan yang berarti dalam menghadapi kurikulum sekolah, utamanya dalam kemampuan dasar seperti bahasa, sastra, dan matematika. Masalah-masalah yang mereka alami bisa terjadi hanya pada salah satu mata pelajaran namun dapat juga terjadi pada seluruh mata pelajaran dalam kurikulum sekolah. Karena berbagai alasan, siswa-siswa tersebut tidak mampu mengikuti pelajaran dengan mudah.
c.
Kesukaran belajar sebagai gangguan pada satu atau lebih proses dasar psikologis termasuk dalam memahami atau menggunakan bahasa tulis dan lisan, yang mana tampak dalam kemampuan menyimak,
berpikir,
berbicara,
membaca,
mengeja
dan
menyelesaikan hitungan matematis. Adapun yang termasuk dalam kesukaran pealajaran adalah perseptual disabilities, kerusakan otak, minimal brain dysfunction, dyslexia, dan aphasia. Masalah-masalah belajar yang berdasar dari visual, hearing, dan motoric disabilities, reterdasi mental, dan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
175
environmental, cultural, dan economic disadvantage tidak termasuk dalam kelompok ini. d.
Kesukaran belajar merujuk pada beberapa gangguan yang berdampak pada proses akuisisi, organisasi. Retensi, memahami penggunaan informasi secara verbal maupun non verbal.
2.
Faktor Eksternal dalam Belajar Keberhasilan belajar siswa di samping ditentukan oleh faktorfaktor internal juga turut dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Faktor eksternal adalah segala faktor yang ada di luar diri siswa yang memberikan pengaruh terhadap aktivitas dan hasil belajar yang dicapai siswa. Pada berbagai kegiatan pembelajaran lain kita dapat melihat berbagai contoh nyata, tidak sedikit siswa yang sebelumnya diketahui memilki hasil belajar yang relative rendah, akan tetapi karena guru mampu merencanakan kagiatan belajar dengan baik, menggunakan pendekatan dan strategi pembelajaran yan tepat, serta menerapkan Pendekatan-pendekatan bimbingan belajar yang sesuai dengan kondisi siswa, ternyata mamapu merubah hasil belajar siswa yang rendah menjadi lebih baik. Karena itu kita dapat memahami bahwa hasil belajar di samping ditentukan oleh faktor intern, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor ekstern. Faktor-faktor ekstern yang mempengaruhi hasil belajar siswa antara lain adalah: a)
Faktor Guru Dalam proses pembelajaran, kehadiran guru masih menempati posisi penting, meskipun di tengah pesatnya kemajuan teknologi yang telah merambah dunia pendidikan. Dalam berbagai kajian diungkapkan bahwa secara umum sesungguhnya tugas dan tanggung jawab guru mencakup aspek yang luas, lebih dari sekedar melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Parkey (1990: 3), mengemukakan bahwa guru tidak hanya sekedar sebagai guru di depan kelas, akan tetapi juga sebagai bagian
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
176
dari organisasi yang turut serta menentukan kemajuan sekolah bahkan di masyarakat. Dalam ruang lingkup tugasnya, guru dituntut untuk memilki sejumlah keterampilan terkait dengan tugas-tugas yang dilaksanakannya. Bila disimpulkan dari pendapat maka kita dapat menemukan beberapa faktor yang menyebabkan
semakin
tingginya
tuntutan
terhadap
keterampilan-keterampilan yang harus dikuasai dan dimilki oleh guru antara lain: Ø
Faktor pertama adalah karena cepatnya perkembangan dan perubahan yang terjadi saat ini terutama perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi. Implikasi bagi guru adalah di mana guru harus memilki keterampilanketerampilan yang cukup untuk memilih topic, aktivitas dan cara kerja dari berbagai kemungkinan yang ada. Guruguru juga harus mengembangkan strategi pembelajaran yang tidak hanya menyampaikan informasi, melainkan juga mendorong para siswa untuk belajar secara bebas dalam batas-batas yang ditentukan sebagai anggota kelompok.
Ø
Faktor kedua adalah terjadinya perubahan padangan di dalam masyarakat yang memilki implikasi pada upayaupaya pengembangan Pendekatan terhadap siswa. Sebagai contoh banyak guru yang memberikan motivasi seperti mendorong anak-anak bekerja keras di sekolah agar nanti mereka memperoleh suatu pekerjaan yang baik, tidak lagi menarik bagi mereka. Dalam konteks ini gagasan tentang keterampilan mengajar yang hanya menekankan transmisi pengetahuan dapat menjadi suatu gagasan yang miskin dan tidak menarik.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
177
Ø
Faktor ketiga adalah perkembangan teknologi baru yang mampu menyajikan berbagai informasi yang lebih cepat dan menarik. Perkembangan-perkembangan ini menguji fleksibilitas dan adaptabilitas guru untuk memodifikasi gaya mengajar mereka dalam mengakomodasi sekurangkurangnya sebagian dari perkembangan baru tersebut yang memiliki suatu potensi untuk meningkatkan proses pembelajaran.
3.
Lingkungan Sosial (termasuk teman sebaya) Sebagai makhluk social maka setiap siswa tidak mungkin melepaskan dirinya dari interaksi lingkungan, terutama sekali temanteman sebaya disekolah. Dalam kajian sosiologi, sekolah merupakan sistem sosial dimana diaman setiap orang yang ada didalamnya terikat oleh norma-norma dan aturan-aturan sekolah yang disepakati sebagai pedoman untuk mewujudkan ketertiban pada lembaga pendidikan tersebut. Disamping peraturan formal sekolah, para siswa biasanya juga memiliki norma-norma dan aturan-aturan yang lebih spesifik sebagai suatu konsensus bersama untuk ditaati oleh anggota kelompok masing-masing. Lingkungan sosial dapat memberikan pengaruh positif dan dapat pula memberikan pengaruh negative terhadap siswa. Ilustrasi berupa contoh seoran siswa bernama Rudi yang diungkapkan pada awal bagian ini merupakan salah satu bantuk lingkungan sosial berupa teman sebaya yang membawa rudi terpengaruh dengan kebiasaan rekan-rekannya sehingga mendatangkan dampak negative terhadap proses dan hasil belajar yang ia peroleh. Banyak contoh lain berupa lingkungan sosial yang tidak menguntungkan perkembangan siswa dan member pengaruh negative terhadap kegiatan belajar siswa. Tidak sedikit siswa yang sebelumnya rajin pergi ke sekolah, aktif mengikuti kegiatan-kegiatan sekolah, kemudian berubah menjadi siswa yang malas, tidak disiplin dan menunjukkan perilaku buruk dalam belajar.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
178
Hal-hal seperti diungkapkan diatas dapat menjadi factor yang menimbulkan masalah pada siswa dalam belajar. Pada sisi lain, lingkungan sosial tentu juga dapat memberikan pengaruh yang positif bagi siswa. Tidak sedikit siswa yang mengalami peningkatan hasil belajar karena pengaruh teman sebaya yang mampu memberikan motovasi kepadanya untuk belajar. Demikian pula banyak siswa yang mengalami perubahan sikap karena teman-teman sekoalah memiliki sikap positif yang dapat ia tiru dalam pergaulan atau interaksi sehari-hari. 4.
Kurikulum Sekolah Dalam rangkaian proses pembelajaran disekolah, kurikulum merupakan panduan yang dijadikan guru sebagai kerangka acuan untuk mengembangkan proses pembelajaran. Seluruh aktivitas pembelajaran, pemilihan
mulai
materi
dari
penyusunan
pembelajaran,
rencana
menentukan
pembelajaran,
pendekatan
dan
strategi/metode, memilih dan menentukan media pembelajaran, menentukan teknik evaluasi, kesemuanya harus berpedoman pada kurikulum. Karena kurikulum disusun berdasarkan tuntutan perubahan dan kemajuan masyarakat, sementara perubahan dan kemajuan adalah sesuatu yang harus terjadi, maka kurikulum juga harus mengalami perubahan. Oleh sebab itu sesungguhnya perubahan kurikulum adalah suatu keniscayaan. Sebab bilamana kurikulum tidak mengalami penyesuaian dan perubahan sementara kehidupan sosial, teknologi dan dimensi-dimensi kehidupan lainnya terus mengalami perubahan, maka dipastikan kurikulum tidak akan mampu memenuhi tuntutan perubahan. Hal itu juga berarti bahwa segala sesuatu yang diajarkan disekolah, akan tertinggal dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Perubahan kurikulum pada sisi lain juga menimbulkan masalah. Terlebih lagi bilamana dalam kurun waktu yang belum terlalu lama terjadi beberapa kali perubahan. Masalah-masalah itu adalah; (a)
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
179
tujuan yang akan dicapai mungkin berubah. Bilamana tujuan berubah, berarti pokok bahasan, kegiatan belajar mengajar, evaluasi juga akan berubah, dan dengan demikian kegiatan belajar mengajar paling tidak harus disesuaikan, (b) isi pendidikan berubah; akibatnya buku-buku pelajaran, buku-buku bacaan, dan sumber-sumber lainnya akan berubah. Hal ini tentunya akan berakibat perubahan anggaran pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, demikian pula beban orang tua siswa, (c) kegiatan belajr mengajar berubah; akibatnya guru harus mempelajari strategi, metode, teknik, dan pendekatan mengajar yang baru. Bilamana pendekatan belajar berubah, maka kebiasaan belajar siswa juga perlu dilakukan perubahan atau sekurangnya penyesuaian yang mungkin memerlukan waktu untuk proses penyesuaian, (d) evaluasi berubah; akibatnya guru harus mempelajari metode dan teknik evaluasi belajar yang baru. Bilamana teknik dan metode evaluasi guru mengalami perubahan, maka siswa harus mempelajari cara-cara belajar yang sesuai dengan tuntutan tersebut (Dimyati dan Mudjiono, 1994: 242). Hal ini semua akan berdampak terhadap proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. 5.
Sarana dan Prasarana Prasarana dan sarana pembelajaran merupakan faktor yang turut memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa. Keadaan gedung sekolah dan ruang kelas yang tertata dengan baik, ruang perpustakaan sekolah yang teratur, tersedianya fasilitas kelas dan laboratorium, tersedianya biki-buku pelajaran, media/alat bantu balajar merupakan komponen-komponen penting yang dapat mendukung terwujudnya kegiatan-kegiatan belajar siswa. Dari dimensi guru ketersediaan prasarana dan sarana pembelajaran akan memberikan kemudahan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Disamping itu juga akan mendorong terwujudnya proses pembelajaran yang efektif, karena guru dapat menggunakan alat-alat bantu pembelajaran dalam memperjelas materi pelajaran serta kelancaran kegiatan belajar
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
180
lainnya. Sedangkan dari dimensi siswa, ketersediaan prasarana dan sarana
pembelajaran
berdampak
terhadap
terciptanya
iklim
pembelajaran yang lebih kondusif, terjadinya kemudahan-kemudahan bagi siswa untuk mendapatkan informasi dan sumber belajar yang pada gilirannya dapat mendorong berkembangnya motivasi untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik. Bandingkan dengan keadaan gedung sekolah dan ruang kelas yang tidak tertata dengan baik, sumber-sumber belajar sangat terbatas, perpustakaan sekolah tidak dilengkapi dengan berbagai referensi, buku-buku pelajaran tidak lengkap, media pembelajaran tidak tersedia, kesemuanya ini tentu akan berdampak terhadap iklim pembelajaran serta motivasi balajar siswa. Oleh karena itu sarana dan prasarana menjadi bagian penting untuk dicermati dalam upaya mendukung terwujudnya proses pembelajaran yang diharapkan. D.
MENGENAL DAN CARA MENGATASI MASALAH BELAJAR SISWA Murid yang mengalami masalah belajar perlu mendapatkan bantuan agar masalahnya tidak berlarut-larut nantinya dan siswa yang mengalami masalah belajar ini dapat berkembang secara optimal. Masalah-masalah dalam pembelajaran harus segera dipecahkan karena itu bisa menjadi titik kelemahan lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidiakan di Indonesia. Pemecahan masalah ini bisa dilihat dari faktorfaktor yang mempengaruhi adanya masalah-masalah tersebut. Pembelajaran yang baik tentunya sangat memerlukan pengelolaan yang baik juga, dan untuk mencapainya harus dengan selalu intropeksi pada hal-hal yang menyebabkan timbulnya masalah itu. Menurut Prayitno (Herman dkk, 2006:159-160) masalah pembelajaran siswa dapat diatasikan melalui: 1.
Pengajaran Perbaikan Pengajaran perbaikan merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok siswa yang mengalami
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
181
masalah-masalah
belajar
dengan
maksud
untuk
memperbaiki
kesalahan-kesalahan dalam proses dan hasil belajar siswa. Dengan pengajaran perbaikan ini, diharapkan bisa memecahkan masalahmasalah yang ada dalam pembelajaran siswa untuk meningkatkan prestasi siswa maupun prestasi sekolah tersebut. Saat ini, metode belajar yang populer di Indonesia yang dikenal dengan PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Aktif artinya ketika proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif untuk bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Inovatif artinya bagaimana guru menciptakan pembelajaran yang bisa membuat siswanya berpikir bahwa learning is fun, sehingga tertanam didalam pikiran siswanya tidak akan ada lagi perasaan tertekan dengan tenggat waktu pengumpulan tugas dan rasa bosan tentunya. Kreatif artinya agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Efektif artinya bagaimana guru mampu menciptakan apa yang harus dikuasai oleh siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung tanpa menyianyiakan waktu. Dan Menyenangkan artinya suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (“time on task”) tinggi. 2.
Program Pengayaan Kegiatan pengayaan merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan kepada seseorang atau beberapa orang siswa yang sangat cepat dalam belajar. Sebagai seorang pendidik kita tidak harus memperhatikan siswa yang kurang mampu saja, akan tetapi siswa yang cepat dalam belajar juga sangat penting untuk kita perhatikan, hal ini nantinya tidak ada kesenjangan satu dengan yang lain, harapannya siswa yang cepat dalam menerima pelajaran bisa
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
182
mengimbangi dan mungkin bisa membantu siswa yang kurang cepat dalam menerima pelajaran. 3.
Peningkatan Motivasi Belajar Guru bidang studi, guru pembimbing, dan staf sekolah lainnya berkewajiban membantu siswa meningkatkan motivasi dalam belajar. Salah satunya dengan cara menyesuaikan pengajaran dengan bakat, minat, dan kemampuan. Peningkatan motivasi belajar sangatlah penting untuk diberikan kepada semua siswa, hal ini bisa memberikan semangat belajar yang tinggi bagi semua siswa dalam hal mengeluarkan semua bakat dan minat siswa untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki secara individu maupun secara kelompok. Motivation is an essential condition of learning, sehubungan dengan hal tersebut ada tiga fungsi motivasi: a.
Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
b.
Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
c.
Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seseorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain kartu atau membaca komik, sebab tidak serasi dengan tujuan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
183
4.
Pengembangan Sikap dan Kebiasaan Belajar yang Baik Setiap siswa diiharapkan menerapkan sikap dan kebiasaan belajar yang efektif karena prestasi belajar yang baik diperoleh melalui usaha atau kerja keras. Kebiasaan belajar yang baik sangat menunjang dalam segala aspek pembelajaran siswa, ketika siswa sudah melaksanakan hal-hal yang baik, mulai dari pengembangan sikap, disiplin, rajin dan ada tanggung jawab bersama, maka proses pembelajaran akan berjalan sesuai dengan harapan bersama, dan bisa memberikan pengaruh yang besar dalam peningktan prestasi siswa. Mengajar
sebagai
proses
pemberian
atau
penyampaian
pengetahuan saja tidak cukup, tetapi harus diiringi dengan mendidik. Artinya guru secara tidak langsung harus dapat membimbing siswa untuk melakukan dan menyadari etika, budaya serta moral yang berlaku di tempat siswa tinggal. Guru bukan sebagai pemberi informasi sebanyak-banyaknya kepada para siswa, melainkan guru sebagai fasilitator, teman dan motivator. Oleh karena itu, pengajaran minimal harus dipandang sebagai suatu proses sistematis dalam merencanakan, mendesain, mempersiapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan pembelajaran secara efektif dalam jangka waktu yang layak. 5.
Layanan Konseling Individual Dalam hubungan tatap muka antara konselor dengan klien (siswa) pada kegiatan konseling diupayakan adanya pengentasan masalah-masalah klien yang telah disampaikan pada konselor. Sebagai seorang konselor sebaiknya bisa mengatasi masalah itu dari proses/sebab yang mempengaruhi adanya hal-hal yang bisa menyebabkan masalah-masalah pembelajaran. Adanya masalah itu pasti juga adanya sebab yang mempengaruhinya, maka layanan konseling diberikan kepada setiap siswa yang merasa dirinya kurang dalam aspek-aspek yang ada pada proses pembelajaran disekolah atau
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
184
diri sendiri. Guru Bimbingan Konseling juga memiliki peranan yang cukup besar dalam hal memotivasi siswa, guru secara berkelanjutan memberikan penyuluhan dan motivasi kepada siswa baik secara perorangan (individu) maupun secara kelompok.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
185
BAB VIII KONSEP DAN MAKNA PEMBELAJARAN A.
Konsep Dan Makna Pembelajaran 1.
Makna Pembelajaran Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut) ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an menjadi “pembelajaran”, yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material, meliputi buku – buku, papan tulis, kapur, fotografi, slide, film, audio dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdr dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual juga komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan sebagainya. Istilah
“pembelajaran”
sama
dengan
“instruction
atau
“pengajaran”. Pengajaran mempunyai arti cara mengajar atau mengajarkan. Dengan demikian pengajaran diartikan sama dengan perbuatan belajar (oleh siswa) dan Mengajar (oleh guru). Kegiatan belajar mengajar adalah satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah. Kegiatan belajar adalah kegiatan primer, sedangkan mengajar adalah kegiatan sekunder yang dimaksudkan agar terjadi kegiatan secara optimal. Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja. Tujuan pembelajaran dalam bukunya Sugandi, dkk (2000:25) adalah membantu siswa pada siswa agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu tingkah laku yang Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
186
dimaksud meliputi pengetahuan, ketrampilan, dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan prilaku siswa. Tujuan pembelajaran menggambarkan kemampuan atau tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai oleh siswa setelah mereka mengikuti suatu proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku dan tingkah laku yang positif dari peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, seperti: perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (over behaviour) yang dapat diamati melalui alat indera oleh orang lain baik tutur katanya, motorik dan gaya hidupnya. Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relative lama dan karena adanya usaha. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa komponen: a)
Siswa adalah seorang yang bertindak sebagai pencari, penerima, dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
b)
Guru adalah seseorang yang bertindak sebagai pengelola, katalisator,
dan
peran
lainnya
yang
memungkinkan
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif. c)
Tujuan adalah pernyataan tentang perubahan perilaku (kognitif, psikomotorik, afektif) yang diinginkan terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
d)
Isi Pelajaran adalah segala informasi berupa fakta, prinsip, dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
e)
Metode adalah cara yang teratur untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendapat informasi yang dibutuhkan mereka untuk mencapai tujuan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
187
f)
MediaBahan pengajaran dengan atau tanpa peralatan yang digunakan untuk menyajikan informasi kepada siswa.
g)
Evaluasi adalah cara tertentu yang digunakan untuk menilai suatu proses dan hasilnya. Ciri–ciri dari pembelajaran dalam bukunya Sugandi, dkk
(2000:25) antara lain: a)
Pembelajaran dilakukan secara sadar dan direncanakan secara sistematis.
b)
Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa dalam belajar.
c)
Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik dan menantang bagi siswa.
d)
Pembelajaran dapat menggunakan alat bantu belajar yang tepat dan menarik.
e)
Pembelajaran dapat menciptakan suasana belajar yang aman dan menyenangkan bagi siswa.
f)
Pembelajaran dapat membuat siswa siap menerima pelajaran baik secara fisik maupun psikologis.
2.
Konsep pembelajaran Ada banyak sekali konsep pembelajaran yang diterapkan khususnya di Indonesia. Salah satunya konsep pembelajaran konstekstual memenuhi
yang dipandang sebagai salah satu strategi yang prinsip
pembelajaran.
Konsep
pembelajaran
yang
konstekstual ini merupakan pembelajaran aktif antara guru dan siswa. Dan di dalam konsep pembelajaran konstekstual ada unsur-unsurnya. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut penjelasannya.
a)
Constructivisme Belajar adalah proses aktif mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman alami maupun manusiawi, yang dilakukan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
188
secara pribadi dan sosial untuk mencari makna dengan memproses informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimiliki. Belajar berarti menyediakan kondisi agar memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan belajar dikemas menjadi proses mengonstruksi pengetahu-an, bukan menerima pengetahuan sehingga belajar dimulai dari apa yang diketahui peserta didik. Peserta didik menemukan ide dan pengetahuan (konsep, prinsip) baru, menerapkan ide-ide, kemudian peserta didik mencari strategi belajar yang efektif agar mencapai kompetensi dan memberikan kepuasan atas penemuannya itu. b)
Inquiry Siklus inkuiri: observasi dimulai dengan bertanya, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, dan menarik simpulan. Langkahlangkah
inkuiri
melakukan
dengan
observasi,
merumuskan
analisis
data,
masalah, kemudian
mengomunikasikan hasilnya. Inquiri merupakan pembelajaran untuk dapat berpikir nyata dan kritis dalam menyikapinya. Biasanya untuk inkuiri ini berbentuk kasus untuk dianalisis berdasarkan teori yang ada. c)
Questioning Berguna bagi guru untuk: mendorong, membimbing dan menilai peserta
didik;
menggali
informasi
tentang
pemahaman,
perhatian, dan pengetahuan peserta didik. Berguna bagi peserta didik sebagai salah satu teknik dan strategi belajar. Jika pertanyaan bagus maka akan memberikan rasa ingin tahu kepada peserta didik. d)
Learning Community
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
189
Dilakukan melalui pembelajaran kolaboratif. Belajar dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil sehingga kemampuan sosial dan komunikasi berkembang. e)
Modelling Berguna sebagai contoh yang baik yang dapat ditiru oleh peserta didik seperti cara menggali informasi, demonstrasi, dan lainlain. Pemodelan ini dapat dilakukan oleh guru (sebagai teladan), peserta didik, dan tokoh lain.
f)
Reflection Yaitu tentang cara berpikir apa yang baru dipelajari. Sehingga ada respon terhadap kejadian, aktivitas/pengetahuan yang baru. Hasilnya nanti merupakan konstruksi pengetahuan yang baru. Bentuknya dapat berupa kesan, catatan atau hasil karya yang dapat memberikan imbal balik.
g)
Autentic Assesment Yaitu menilai sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Hal iuni berlangsung selama proses pembelajaran secara terintegras. Pada unsur ini dapat dilakukan melalui berbagai cara yaitu test dan non-test. Alternative bentuk yang dapat dilakukan kinerja, observasi, portofolio, dan/atau jurnal Seorang ahli yang bernama Carl R Rogers (1951) mengajukan
konsep pembelajaran laian daripada konsep pembelajaran konstektual yaitu “Student Centered Learning” yang intinya yaitu : 1.
Kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya.
2.
Seseorang akan belajar secarasignifikan hanya pada hal-hal yang dapat memperkuat/menumbuhkan “self”nya.
3.
Manusia tidak bisa belajar kalau berada dibawah tekanan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
190
4.
Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap peserta didik, dan adanya perbedaan persepsi/pendapat difasilitasi/diakomodir. Dari kedua konsep tersebut memang tidak ada yang salah dalam
pembelajaran. Biasanya yang terjadi kekeliruan adalah pada saat prakteknya. Banyak pengajar yang mempraktekkan sesuka dirinya sehingga jika dikatakan seorang pengajar itu hanya menggunakan satu konsep, itu merupakan pernyataan yang salah. Banyak para pengajar yang menggunakan kombinasi berbagai konsep. Hal ini agar menunjang pembelajaran yang baik dan agar bisa di mengerti oleh siswanya dengan baik. Ketika seorang pengajar menggunakan konsep terdiri hanya satu itupun sebenarnya tidak salah, karena banyak sekali pengajar yang mengajar dengan konsep sama tetapi terjadi perbedaan di teknik-teknik pembelajarannya. Maka haruslah dimengerti untuk konsep ini bebas dilakukan oleh pengajar apakah mimilih satu atau dua konsep (Slameto, 2003). B.
Prinsip Perencanaan Pembelajaran 1.
Prinsip Pembelajaran Prinsip dikatakan juga landasan. Prinsip pembelajaran menurut Larsen dan Freeman (1986 dalam Supani dkk. 1997) adalah represent the theoretical framework of the method. Prinsip pembelajaran adalah kerangka teoretis sebuah metode pembelajaran. Kerangka teoretis adalah teori-teori yang mengarahkan harus bagaimana sebuah metode dilihat dari segi: a)
Bahan yang akan dibelajarkan,
b)
Prosedur pembelajaran (bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru mengajarkan bahan),
c)
Gurunya, dan
d)
Siswanya.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
191
Prinsip-prinsip pembelajaran dalam bukunya Sugandi, dkk (2000:27) antara lain: a)
Kesiapan belajar Faktor kesiapan baik fisik maupun psikologis merupakan kondisi awal suatu kegiatan belajar. Kondisi fisik dan psikologis ini biasanya sudah terjadi pada diri siswa sebelum ia masuk kelas. Oleh karena itu, guru tidak dapat terlalu banyak berbuat. Namun, guru diharapkan dapat mengurangi akibat dari kondisi tersebut dengan berbagai upaya pada saat membelajarkan siswa.
b)
Perhatian Perhatian adalah pemusatan tenaga psikis tertuju pada suatu obyek.
Belajar
sebagai
suatu
aktifitas
yang
kompleks
membutuhkan perhatian dari siswa yang belajar. Oleh karena itu, guru perlu mengetahui barbagai kiat untuk menarik perhatian siswa pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung. c)
Motivasi Motif adalah kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut melakukan kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan. Motivasi adalah motif yang sudah menjadi aktif, saat orang melakukan aktifitas. Motivasi dapat menjadi aktif dan tidak aktif. Jika tidak aktif, maka siswa tidak bersemangat belajar. Dalam hal seperti ini, guru harus dapat memotivasi siswa agar siswa dapat mencapai tujuan belajar dengan baik.
d)
Keaktifan Siswa Kegiatan belajar dilakukan oleh siswa sehingga siswa harus aktif. Dengan bantuan guru, siswa harus mampu mencari, menemukan dan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya.
e)
Mengalami Sendiri
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
192
Prinsip pengalaman ini sangat penting dalam belajar dan erat kaitannya dengan prinsip keaktifan. Siswa yang belajar dengan melakukan sendiri, akan memberikan hasil belajar yang lebih cepat dan pemahaman yang lebih mendalam. f)
Pengulangan Untuk mempelajari materi sampai pada taraf insight, siswa perlu membaca, berfikir, mengingat, dan latihan. Dengan latihan berarti siswa mengulang-ulang materi yang dipelajari sehingga materi tersebut mudah diingat. Guru dapat mendorong siswa melakukan
pengulangan,
misalnya
dengan
memberikan
pekerjaan rumah, membuat laporan dan mengadakan ulangan harian. g)
Materi Pelajaran Yang Menantang Keberhasilan belajar sangat dipengaruhi oleh rasa ingin tahu. Dengan sikap seperti ini motivasi anak akan meningkat. Rasa ingin tahu timbul saat guru memberikan pelajaran yang bersifat menantang atau problematis. Dengan pemberian materi yang problematis, akan membuat anak aktif belajar.
h)
Balikan dan Penguatan Balikan atau feedback adalah masukan penting bagi siswa maupun bagi guru. Dengan balikan, siswa dapat mengetahui sejauh mana kemmpuannya dalam suatu hal, dimana letak kekuatan dan kelemahannya. Balikan juga berharga bagi guru untuk menentukan perlakuan selanjutnya dalam pembelajaran.
i)
Penguatan atau reinforcement adalah suatu tindakan yang menyenangkan dari guru kepada siswa yang telah berhasil melakukan
suatu
perbuatan
belajar.
Dengan
penguatan
diharapkan siswa mengulangi perbuatan baiknya tersebut.
j)
Perbedaan Individual
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
193
Masing-masing siswa mempunyai karakteristik baik dari segi fisik maupun psikis. Dengan adanya perbedaan ini, tentu minat serta kemampuan belajar mereka tidak sama. Guru harus memperhatikan siswa-siswa tertentu secara individual dan memikirkan model pengajaran yang berbeda bagi anak didik yang berbakat dengan yang kurang berbakat. 2.
Perencanaan Pembelajaran a.
Pengertian Perencanaan Pembelajaran Kaufman dalam buku perencanaan pembelajaran Harjanto tahun 2008 mengatakan “perencanaan pengajaran adalah suatu proyek
tentang apa yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan abstrak dan bernilai, didalamnya mencakup elemen-elemen: 1.
Mengidentifikasi dan mendokumentasikan kebutuhan.
2.
Menentukan
kebutuhan-kebutuhan
yang
perlu
diprioritaskan. 3.
Spesifikasi rinci hasil yang dicapai dari tiap kebutuhan yang diprioritaskan.
4.
Identifikasi persyaratan untuk mencapai tiap-tiap pilihan.
5.
Sekuensi hasi yang diperlukan untuk mencapai kebutuhan yang dirasakan.
6.
Identifikasi strategi alternative yang mungkin dan alat atau tool untuk melengkapi tiap persyaratan dalam mencapai tiap kebutuhan, termasuk didalamnya merinci keuntungan dan kerugian tiap strategi dan alat yang dipakai.
b. Konsep Perencanaan Pembelajaran Disebutkan bahwa konsep perencanaan pembelajaran dapat dilihat dari berbagai sudt pandang, diantaranya: 1.
Perencanaan
pembelajaran
sebagai
teknologi,
dimana
perencanaan pembelajaran akan mendorong penggunaan teknik-
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
194
teknik yang dapat mengembangkan tingkah laku kognitif dan teori-teori yang konstruktif terhadap pembelajaran. 2.
Perencanaan pembelajaran sebagai suatu sistem, dimana terdapat susunan sumber-sumber dan prosedur-prosedur untuk menggerakkan pembelajaran.
3.
Perencanaan pembelajaran sebagai sebuah disiplin ilmu, di mana perencanaan pembelajaran merupakan cabang dari suatu pengetahuan yang senantiasa menghasilkan proses yang secara sistemik diimplementasikan.
c.
4.
Perencanaan pembelajaran sebagai sebuah proses.
5.
Perencanaan pembelajaran sebagai suatu realitas.
Manfaat Perencanaan Pembelajaran Adapun manfaat perencanaan pembelajaran antara lain: 1.
Sebagai petunjuk atau arah dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
2.
Sebagai pola dasar dalam mengatus tugas dan wewenang bagi setiap unsur yang terlibat dalam proses pembelajaran.
3.
Sebagai alat ukur keefektifan kegiatan pembelajaran.
4.
Sebagai bahan dasar penyusunan data untuk memperoleh keseimbangan kerja.
5.
Untuk penghematan waktu, tenaga, biaya, alat, dsb. Perencanaan pengajaran mempunyai beberapa faktor yang
mendukung tujuan pembelajaran tercapai misalnya : 1.
Persiapan sebelum mengajar.
2.
Situasi ruangan dan letak sekolah dari jangkauan kendaraan umum.
3.
Tingkat intelegensi siswa.
4.
Materi pelajaran yang akan disampaikan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
195
d.
Masalah-masalah Pokok Dalam Perencanaan Pengajaran Hal-hal
yang
perlu
dipertanyakan
dalam
perencanaan
pengajaran adalah: 1. Tujuan dan fungsi pendidikan apa yang harus diprioritaskan dengan masing-masing subsistemnya. 2. Alternative apa yang terbaik yang mungkin untuk dilaksanakan untuk mencapai bermacan tujuan dan fungsi. 3. Seberapa jauh sumberdaya yang dimiliki oleh bangsa atau masyarakat yang akan diikut sertakan dalam pendidikan 4. Siapa yang akan membiayai. 5. Begaimana hendaknya sumber yang diperuntukkan bagi pendidik Terdapat 3 pendekatan terhadap perencanaan pengajaran, yakni: 1.
Pendekatan tuntutan social Tuntutan social diartikan sebagai kumpulan tuntutan umum untuk memperoleh pendidikan. Ada beberapa kritik terhadap pendekatan ini: a.
Pendekatan ini mengabaikan masalah alokasi sumber nasional dan menganggap bahwa tidak menjadi persoalan berapa
banyak
sumber
itu
dialokasikan
kesektor
pendidikan. b.
Tidak mempedulikan apakah tenaga kerja terdahulu banyak atau terlalu sedikit.
c.
Pendidikan menjadi suatu bentuk investasi modal yang kurang produktif.
d.
Menurunnya kualitas guru dan wibawa mereka secara drastis.
2.
Pendekatan tenaga kerja Pendekatan tenaga kerja melalui pendidikan merupakan syarat penting dalam investasi strategis terhadap pembangunan nasional, namun dalam pelaksanaannya terdapat kelemahan:
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
196
a.
Hanya mampu memberi bimbingan yang terbatas kepada para perencana.
b.
Klasifikasi pekerjaan dan perbandingan tenaga kerja antara profesi kurang sesuai dengan kebutuhan nyata.
c.
Mengingat cepatnya perubahan teknologi yang sekaligus menuntut kualifikasi tenaga yang berbeda-beda, sehingga tidak mungkin mengadakan estimasi yang akurat tentang kualifikasi tenaga kerja pada masa akan dating.
d.
Tenaga kerja terjerat dalam pola pikir yang sempit karna asumsi bahwa ekonomi menciptakan kebutuhan tenaga kerja sedangkan pendidikan bersifat pasif mengikutinya
3.
Pendekatan nilai imbalan Pendekatan ini mengatasi alokasi sumber dana nasional yang terjadi pada pendekatan social dan tenaga kerja. Masalah ini diatasi dengan mencari keseimbangan antara keuntungan dan kerugian dari alternative yang dipilih. Mencari alternative dan mengkaji tentang biaya dan manfaat yang diperoleh kemudian memilih alternative yang dirasa paling menguntungkan. Pendekatan ini mempunyai kelemahan: a.
Data dasar yang akurat untuk menghitung untung rugi dalam dunia pendidikan sangat sulit, terutama yang menyangkut taksiran biaya peserta didik.
b.
Sangat menghitung keuntungan yang diperoleh akibat pendidikan masa mendatang. Makin tinggi tambahan pendapat yang diperoleh dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan selama mengikuti pendidikan, maka alokasi semakin baik. Namun hal ini berakibat adanya perbedaan tingkat atau jenis pendidikan dimasa lalu dan masa mendatang
c.
Kemungkinan mereka tertarik pada analisis statistik akan mengatakan bahwa tambahan pendapatan yang diperoleh
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
197
diluar factor pendidikan dapat dipisahkan melalui penelitian itu dilakukan secara benar namun belum membri kepastian yang mutlak. e.
Proses Perencanaan 1.
Tahap perencanaan, meliputi: a.
Menciptakan atau mengadakan badan atau bagian yang
bertugas
dalam
melaksanakan
fungsi
perencanaan. b.
Menetapkan prosedur perencanaan.
c.
Mengadakan
reorganisasi
struktural
internal
administrasi agar dapat berpartisipasi dalam proses implementasinya. d.
Menetapkan mekanisme serta prosedur untuk mengumpulkan dan menganalisa data yang akan diperlukan dalam perencanaan.
2.
Tahap perencanaan awal Membandingkan output yang diharapkan dengan apa yang telah dicapai sekarang untuk mengetahui apakah rencana yang dilaksanakan relevan, efektif dan efesien.
3.
Tahap formulasi rencana, meliputi: a.
Menyiapkan seperangkat keputusan yang diambil oleh pemegang otoritas.
b.
Menyediakan pola dasar pelaksanaan yang menjadi pegangan berbagai unit organisasi yang bertanggung jawab dalam implementasi keputusan
4.
Tahap elaborasi rencana, meliputi: a.
Membuat
program
adalah
membagi
rencana
kedalam beberapa program pelaksanaan dengan tujuan spesifikasi masing-masing. b.
Identifikasi dan formulasi proyek adalah program terbagi
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
dalam
beberapa
proyek
yang
198
diidentifikasikan
secara
tuntas
agar
dapat
dilaksanakan. Formulasi proyek merupakan tugas merinci siapa pelaksana, berapa biaya, jangka waktu, dan hal-hal yang dianggap perlu. 5.
Tahap implementasi rencana Pada saat ini perencanaan bergabung dengan proses pelaksanaan atau menajemennya. Sumber-sumber daya manusia, dana, dan materil dialokasikan, jadwal dan waktu ditetapkan, pelaksanaan proyek, pemberian tugas dan sebagainya.
6.
Tahap evaluasi dan perencanaan ulang Evaluasi memberikan 2 makna: a.
Memberikan gambaran tentang kelemahan rencana.
b.
Sebagai bahan diagnosis dan sebagai bahan dalam membuat rencana ulang.
f.
Jenis perencanaan 1.
Menurut Besaran atau magnitude: a.
Perencanaan Makro Perencanaan yang mempunyai telaah nasional, yang menetapkan
kebijakan-kebijakan
yang
akan
ditempuh, tujuan yang ingin dicapai, dan cara-cara yang dicapai dalam mencapai tujuan tersebut. b.
Perencanaan Meso Kebijakan yang ditetapkan dalam perencanaan macro dijabarkan dalam program-program yang lebih kecil. Perencanaan ini bersifat operasional sesuai keadaan daerah, departemen dan unit lainnya.
c.
Perencanaan Mikro Perencanaan yang lebih spesifik dari perencanaan meso yang memperhatikan karakteristik lembaga pendidikan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
199
2.
Menurut Telaahnya: a.
Perencanaan Strategi Berkaitan dengan penetapan tujuan, pengalokasian sumber-sumber
dalam
mencapai
tujuan
dan
kebijakan yang dipakai sebagai pedoman. b.
Perencanaan Manajerial Perencanaan yang ditujukan untuk mengarahkan proses pelaksanaan agar tujuan dapat dicapai secara efektif dan efesien.
c.
Perencanaan Operasional Memusatkan
perhatian
pada
apa
yang
akan
dikerjakan pada tingkat pelaksanaan dilapangan dari rencana menejerial. 3
Menurut Jangka Waktunya: a.
Perencanaan Jangka Panjang: 10-25 tahun.
b.
Perencanaan Jangka Menengah: 4-10 tahun.
c.
Perencanaan Jangka Pendek: 1-3 tahun.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
200
BAB IX DESAIN PEMBELAJARAN A.
PENGERTIAN DESAIN PEMBELAJARAN Desain adalah sebuah istilah yang diambil dari kata design (Bahasa Inggris) yang berarti perencanaan atau rancangan. Ada pula yang mengartikan dengan “Persiapan”. Di dalam ilmu manajemen pendidikan atau ilmu administrasi pendidikan, perencanaan disebut dengan istilah planning yaitu “Persiapan menyusun suatu keputusan berupa langkahlangkah penyelesaian suatu masalah atau pelaksanaan suatu pekerjaan yang terarah pada pencapaian tujuan tertentu” (Rohani, 2004: 67). Herbert Simon, mengartikan desain sebagai proses pemecahan masalah.Tujuan sebuah desain adalah untuk mencapai solusi terbaik dalam memecahkan masalah dengan memanfaatkan sejumlah informasi yang tersedia. Dengan demikian, suatu desain muncul karena kebutuhan manusia untuk memecahkan suatu persoalan. Melalui suatu desain orang bisa melakukan langkah-langkah yang sistematis untuk memecahkan suatu persoalan yang dihadapi. Dengan demikian suatu desain pada dasarnya adalah suatu proses yang bersifat linear yang diawali dari penentuan kebutuhan, kemudian mengembangkan rancangan untuk merespons kebutuhan tersebut, selanjutnya rancangan tersebut diujicobakan dan akhirnya dilakukan proses evaluasi untuk menentukan hasil tentang efektivitas rancangan (desain) yang disusun (Sanjaya, 2011:65). Khususnya terdapat beberapa pendapat ahli (Prawiradilaga, 2008: 15) tentang pengertian desain pembelajaran yaitu: 1.
Rothwell dan Kazanas, merumuskan bahwa desain pembelajaran terkait dengan peningkatan mutu kinerja seseorang dan pengaruhnya terhadap organisasi. Bagai mereka, peningkatan kinerja berarti peningkatan kinerja organisasi. Desain pembelajaran dalam konteks ini, yakni melakukan kegiatan melalui suatu model kinerja manusia, rumusan ini bermanfaat apabila desain pebelajaran diterapkan pada suatu pusat pelatihan di organisasi tertentu.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
201
2.
Gagne, dkk. Megembangkan konsep desain pembelajaran dengan menyatakan bahwa desain pembalajaran memantu proses belajar seseorang, dalam proses belajar itu sendiri memiliki tahapan janka pendek (segera harus dilakukan) dan jangka panjang. Mereka percaya proses belajar terjadi karena adanya kondiri-kondisi belajar baik internal maupun eksternal. Kondisi internal adalah kemampuan dan kesiapan diri peserta didik, sedang kondisi eksternal adalah pengaturan lingkungan yang didesain, penyiapan kondisi eksternal belajar inilah yang disebut oleh mereka sebagai desain pembelajaran. Untuk itu, desain pembelajaran haruslah sistematis, dan menerapkan konsep pendekatan sistem agar berhasil meningkatkan mutu kinerja seseorang, mereka percaya bahwa proses belajar yang terjadi secara internal, dapat ditumbuhkan, diperkaya jika faktor eksternal dapat didesain dengan efektif.
3.
Reiser, mengemukakan bahwa desain pembelajaran berbentuk rangkaian prosedur sebagai suatu sistem untuk mengembangkan program pendidikan dan pelatihan dengan konsisten dan teruji. Desain pembelajaran juga sebagai proses yang rumit tapi kreatif, aktif, dan berulang-ulang. Definisi ini berakna sistem pelatihan yaitu pendidikan di organisasi, serta proses yang teruji dan dapat dikaji ulang penerapannya.
4.
Dick and Carey, pakar teknologi pendidikan ini menegaskan penggunaan konsep pendekatan sistem sebagai landasan pemikiran suatu desain pembelajaran umumnya pendekjatan sistem terdiri atas analisis, desain, pengembangan, implementasi, dan evaluasi. Desain pembelajaran mencakup seluruh proses yang dilaksanakan pada pendekatan pembelajaran
sistem.
Teori
merupakan
belajar, teori-teori
teori yang
evaluasi
dan
melandasi
teori desain
pembelajarn.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
202
Pada bukunya Hamzah Uno (2007) yang dikutip dari para ahli mengatakan beberapa pendapat tentang pengertian desain pembelajaran yaitu: 1.
Cunningham,
mengemukkan
desain
ialah
menyeleksi
dan
menghubungkan pengetahuan, fakta-fakta, imajinasi-imajinasi, dan asumsi-asumsi untuk masa yang akan datang dengan tujuan memvisualisasi dan memformulasi hasil yang diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang dapt diterima yang akan digunakan dalam penyelesaian. 2.
Stephen P. Robbins, memberikan definisi desain yaitu suatu cara untuk mengantisipasi dan menyeimbangkan perubahan. Dalam konteks pembelajaran, desain instruksional dapat diartikan
sebagai proses yang sistematis untuk memecahkan persoalan pembelajaran melalui proses perencanaan bahan-bahan pembelajaran beserta aktivitas yang harus dilakukan, perencanaan sumber-sumber pembelajaran yang dapat digunakan serta perencanaan evaluasi keberhasilan (Sanjaya, 2011: 66). Defenisi lain yaitu suatu cara yang memuaskan, untuk membuat suatu kegiatan dapat berjalan dengan baik, disertai dengan berbagai langkah asntisifatip guna memperkecil kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan tersebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Uno, 2014: 83). Desain pembelajaran adalah suatu pemikiran atau persepsi untuk melaksanakan tugas mengajar pengajaran untuk menerapkan prinsip-prinsip pengajaran serta melalui langkah-langkah pengajaran.Dengan demikian guru sebagai desainer pengajar sekaligus sebagai pengelola pengajaran, guru perlu memiliki keterampilan dan pengetahuan dalam menyusun desain pengajaran (Asmadawati, 2012: 1). Menurut Gagne, belajar seseorang dapat dipengaruhi oleh dua factor yakni faktor internal dan faktor eksternal. Factor internal adalah factor yang berkaitan dengan kondisi yang dibawa atau datang dari dalam individu
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
203
siswa, seperti kemampuan dasar, gaya belajar seseorang, minat dan bakat serta kesiapan setiap individu yang belajar. Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu, yakni berkaitan dengan penyediaan kondisi atau lingkungan yang didesain agar siswa belajar. Desain pembelajaran berkaitan dengan faktor eksternal ini, yakni pengaturan lingkungan dan kondisi yang memungkinkan siswa dapat belajar. Menurut Gagne, kondisi internal dapat dibangkitkan oleh pengaturan kondisi eksternal. Jadi dengan demikian, suatu desain pembelajaran diarahkan untuk menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran kemudian berupaya untuk membantu dalam menjawab kebutuhan tersebut. Dari beberapa pengertian di atas, maka desain instruksional berkenaan dengan proses pembelajaran yang dapat dilakukan siswa untuk mempelajari suatu materi pelajaran yang di dalamnya mencakup rumusan tujuan yang harus dicapai atau hasil belajar yang diharapkan, rumusan strategi yang dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan termasuk metode, teknik, dan media yang dapat dimanfaatkan serta teknik evaluasi untuk mengukur atau menentukan keberhasilan evaluasi untuk mengukur atau menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. B.
FUNGSI DESAIN PEMBELAJARAN Perencanaan pengajaran memaikan peran penting dalam memadu guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik dalam melayani kebutuhan belajar siswa. Terdapat beberapa manfaat desain pembelajaran dalam proses belajar mengajar (Asmadawati, 2012: 5-6), yaitu: 1.
Sebagai petunjuk arah kegiatan dalam mencapai tujuan
2.
Sebagai pola dasar dalam mengatur tugas dan wewenag bagi setiap unsure yang terlibat dalam kegiatan.
3.
Sebagai pedoman kerja bagi setiap unsure.
4.
Sebagai alat ukur efektif tidaknya suatu pengajaran.
5.
Untuk bahan penyusununan data agar terjadi keseimbangan kerja.
6.
Untuk menghemat waktu, tenaga, alat-alat dan biaya.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
204
C.
KOMPONEN DESAIN PEMBELAJARAN Esensi desain pembelajaran mengacu kepada empat komponen inti yaitu: 1.
Peserta didik Beberapa istilah yang berkembang diindonesia terkait dengan peserta didik, diantaranya mahasiswa, peserta didik, siswa, peserta pelatihan, dan seterusnya. Apapun desain desain mata mata pelajaran yang telah disampaikan, perlu diketahui bahwa sebenarnya dilakukan oleh para desainer adalah menciptakan situasi belajar yang kondusif sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dan peserta didik merasa nyaman dan termotivasi dalam proses belajarnya (Prawiradilaga, 2008).
2.
Tujuan Pembelajaran Setiap rumusan tujuan pembelajaran selalu dikembangkan berdasarkan kompetensi atau kinerja yang harus dimiliki oleh peserta didik jika ia selesai belajar. Seandainya tujuan pembelajaran atau kompetensi yang dinilai sebagai suatu yang rumit, maka tujuan pembelajaran tersebut dirinci menjadi subkompetensi yang dapat mudah dicapai.Desain pembelajaran memadukan pihak kebutuhan peserta didik dengan kompetensi yang harus dia kuasai nanti setelah selesai belajar dengan persyaratan tertentu dalam kondisi yang sudah ditetapkan.
3.
Metode Metode terkait dengan strategi pembelajaran yang sebaiknya diantara metode agar proses belajar berjalan dengan mulus. Metode adalah cara-cara atau teknik yang dianggap jitu untuk menyampaikan materi ajar. Langkah ini sangat penting karena metode inilah yang menentukan situasi belajar yang sesungguhnya. Kepiawaian seorang desainer pembelajaran juga terlihat dalam cara dia menentukan metode ini. Metode sebagai strategi pembelajaran biasa dikaitakan dengan media dan waktu yang tersedia untuk belajar.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
205
4.
Penilaian Konsep ini menganggap menilai hasil belajar peserta didik sangat penting.Indicator keberhasilan pencapaian suatu tujuan belajar dapat diamati dari penilaian hasil belajar ini.Seringkali penilaian diukur dengan kemampuan menjawab soal dengan benar.
D.
DESAIN MATERI PEMBELAJARAN 1.
Pengertian Materi Pembelajaran Sebelum guru memasuki kelas, ia harus merancang muatan tentang apa yang harus disampaikan kepada siswanya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dan pengalaman belajar siswa nantinya mengandung muatan pelajaran yang mencakup kebutuhan siswa itu sendiri. Muatan pelajaran adalah materi yang disusun oleh guru atau tenaga pengajar yang diambil dari sumber utama dan sumber penunjang. Atau dalam pengertian lain bahan atau materi pelajaran (learning materials) adalah segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum yang harus dikuasai oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar dalam rangka pencapaian standar kompetensi setiap mata pelajaran dalam satuan pendidikan tertentu. Materi pembelajaran atau materi ajar (instructional materials) adalah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standart kompetensi yang telah ditentukan. Materi pembelajaran pada hakikatnya merupakan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan sebagai isi dari suatu mata pelajaran yang diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sehingga dapat dikatakan bahwa materi pelajaran adalah berbagai pengalaman yang akan diberikan kepada siswa selama megikuti proses pendidikan atau proses pembelajaran. Bahan atau materi pembelajaran (learning materials) adalah segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum yang harus dikuasai oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar dalam rangka pencapaian
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
206
standar kompetensi setiap mata pelajaran dalam satuan pendidikan tertentu. Materi pelajaran merupakan bagian terpenting dalam proses pembelajaran, bahkan dalam pembelajaran yang berpusat pada materi pelajaran (subject-centered teaching), mater pelajaran merupakan inti dari kegiatan pembelajaran. Menurut subject sentered teaching keberhasilan suatu proses pembelajara ditentukan oleh seberapa banyak siswa dapat menguasai materi kurikulum. Materi pelajaran dapat dibedakan menjadi: a.
Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan menunjuk pada informasi yang disampaikan dalam pikiran
(mind)
siswa,
dengan
demikian
pengetahuan
berhubungan dengan berbagai informasi yang harus dihafal dan dikuasai oleh siswa, sehingga manakala diperlukan siswa dapat mengungkapkan kembali. b.
Keterampilan (skill) Menunjuk pada tindakan tindakan- tindakan (fisik dan non fisik) yang dilakukan seseorang dengan cara yang kompeten untuk mencapai tujuan tertentu.
c.
Sikap (attitude) Sikap menunjuk pada kecerdasan seseorang untuk bertindak sesuai dengan nilai dan norma yang diyakini keberadaannya oleh siswa.
2.
Prinsip-prinsip Pemilihan Materi Pembelajaran Ada
beberapa
prinsip
yang
perlu
diperhatikan
dalam
penyusunan bahan ajar atau materi pembelajaran. Prinsip-prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran meliputi prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan. a.
Prinsip relevansi Artinya keterkaitan. Materi pembelajaran hendaknya relevan atau ada kaitan atau ada hubungannya dengan pencapaian
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
207
standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebagai misal, jika kompetensi yang diharapkan dikuasai mahasiswa berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa fakta atau bahan hafalan. b.
Prinsip konsistensi Artinya keajegan. Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai mahasiswa empat macam, bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam. Misalnya, kompetensi dasar yang harus dikuasai mahasiswa adalah pengoperasian software yang meliputi pembukaan menu, pemasukan data, penyimpanan data, dan pemanggilan data maka materi yang diajarkan juga harus meliputi cara membuka menu, teknik pemasukan data dan penyimpanan serta pemanggilan data.
c.
Prinsip kecukupan Artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu mahasiswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai
standar
kompetensi
dan
kompetensi
dasar.
Sebaliknya, jika terlalu banyak akan membuang-buang waktu dan tenaga yang tidak perlu untuk mempelajarinya. 3.
Merancang dan Mengorganisir Materi Pelajaran Rencana pembelajaran ini dibuat oleh para guru untuk setiap kali pertemuan atau bisa juga untuk 4 atau 5 kali peremuan sekaligus. Dalam mendesain pembelajaran ada beberapa unsur yang terpenting yaitu: a.
Tujuan Instruksional
b.
Bahan Pengajaran
c.
Kegiatan Belajar
d.
Metode dan Alat Bantu Mengajar dan evaluasi.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
208
Untuk mendesain materi, langkah pertama sebelum seorang guru memulai mendesain materi-materi pembelajaran dalam bentuk apapun
adalah
mengumpulkan
sebanyak
mungkin
informasi-
informasi yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan mata pelajaran yang hendak diajarkan. Informasi-informasi itu mungkin didapatkan dalam bentuk hard copy, soft copy melalui perpustakaan, internet dan atau konsultasi dari beberapa sumber, di antaranya adalah: a.
Referensi baik yang utama atau sekunder
b.
Jurnal-jurnal ilmiah
c.
Hasil penelitian terbaru
d.
Buku ajar yang sudah dipakai sebelumnya
e.
RPP yang ada sebelumnya
f.
Silabus, kurikulum
g.
Konsultasi dengan guru senior
h.
Konsorsium keilmuan Tahap-tahap yang harus ditempuh oleh guru dalam pelaksanaan
kegiatan pembelajaran adalah: a.
Tahap Pra Instruksional, yaitu tahap yang ditempuh pada saat memulai proses pembelajaran adalah : 1)
Menanyakan kehadiran siswa.
2)
Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai bahan pelajaran yang belum dikuasai.
3)
Mengajukkan pertanyaan mengenai pelajaran yang telah dibahas.
4)
Mengulang pelajaran secara singkat, tapi mencakup semua bahan.
b.
Tahap Instruksional yaitu tahap pemberian bahan pelajaran meliputi : 1)
Menjelaskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai.
2)
Menjelaskan pokok materi yang akan dibahas.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
209
3)
Membahas pokok materi yang telah dituliskan.
4)
Memberikan contoh konkrit pada setiap pokok materi yang telah dibahas.
5)
Menggunakan media untuk mempermudah pemahaman siswa
6) c.
Menyimpulkan hasil bahasan
Tahap Evaluasi, ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan tahap Instruksional diantaranya : 1)
Mengajukkan
pertanyaan
kepada
beberapa
siswa
mengenai materi pelajaran yang telah dipelajari. 2)
Akhiri pelajaran dengan memberitahukan materi yang akan dibahas berikutya.
3)
Memberi tugas atau PR kepada siswa untuk memperkaya pengetahuan siswa mengenai yang telah dibahas.
4)
Bila pertanyaan yang diajukkan belum dapat dijawab oleh siswa (kurang dari 70 %) maka guru harus mengulang pelajaran (Uno, 2009).
Menurut konsep penyusunan desain instruksional secara sistematis, buku-buku teks hanyalah merupakan salah satu sumber untuk memilih materi (bahan) pelajaran. Materi yang harus diajarkan untuk suatu bidang studi adalah dinamis, dalam arti berubah dari waktu ke waktu, tidak statis seperti tercantum di dalam buku-buku teks. Oleh karena itu, para guru atau dosen di dalam memilih sumber materi perlu memperhatikan penerhitan-penerbitan berkala seperti majalah, jurnal, para konsultan yang berpengalaman, termasuk pengalaman praktek para guru/dosen sendiri di dalam mengadakan penelitian dan lain-lain sumber yang sesuai dengan bidang studi yang diajarkan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
210
Adapun
aspek-aspek
dalam
mendesain
suatu
materi
pembelajaran adalah sebagai berikut: a.
Fakta
b.
Konsep
c.
Prosedur
d.
Prinsip
e.
Nilai
f.
Keterampilan Cara yang paling mudah untuk mengetahui apakah materi yang
akan diajarkan termasuk fakta, konsep, prosedur atau prinsip ialah dengan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: a.
Apakah siswa diminta untuk mengingat nama suatu obyek, simbol atau suatuperistiwa? Kalau jawabannya "ya", maka materi pelajaran tersebut termasuk dalam kategori "fakta". Contoh: Seorang guru mengajarkan bentuk dan susunan negara RI, seorang guru SD mengajarkan nama-nama ibu kota propinsi di seluruh Indonesia.
b.
Apakah siswa diminta untuk menyatakan suatu definisi, menuliskan ciri khas sesuatu, mengklasifikasikan beberapa contoh sesuai dengan suatu definisi? Kalau "ya" berarti yang diajarkan tersebut adalah "konsep". Contoh: Seorang guru mengajarkan definisi atau pengertian mubtada’ dan khabar, kemudian member contoh sesuai definisi masing-masing.
c.
Apakah siswa diminta untuk menjelaskan langkah-langkah, prosedur secara urut, atau memecahkan suatu masalah atau membuat sesuatu? Bila "ya", maka materi pelajaran tersebut termasuk "prosedur" .Contoh: Seorang dosen mengajarkan bagaimana proses penyusunan undang-undang. Seorang guru mengajarkan bagaimana membuat magnit buatan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
211
d.
Apakah siswa diminta untuk mengemukakan hubungan antara beberapa konsep, atau menerangkan keadaan ataupun hasil hubungan antara berbagai macam konsep? Bila "ya", berarti materi pelajaran tersebut termasuk dalam kategori "prinsip". Contoh: Dosen menerangkan hubungan antara penawaran dan permintaan suatu barang dalam lalu lintas ekonomi. Guru menerangkan sebab-sebab terjadinya gerhana bulan atau matahari. Nilai akhir dari sebuah informasi terletak pada kegunaan
praktisnya. Karena itu tujuan utama sebagian besar program program pengajaran adalah menyiapkan siswa untuk menerapkan fakta dan konsep yang telah dipelajarinya. Persiapan ini dilakukan dengan meminta siswa untuk memecahkan masalah, menjelaskan situasi, mencari penyebab, meramalkan akibat, dan seterusnya. Istilah pemecahan masalah umumnya digunakan untuk menunjukkan jenis kegiatan ini sebagai tingkat tertinggi dalam kegiatan intelektual. Materi dikemas berdasarkan tujuan, kompetensi dan indikator belajar yang telah dikembangkan sebelumnya. Kesesuaian materi yang dikemas dengan tujuan, kompetensi dan indikator merupakan jaminan bagi tercapainya hasil belajar yang diharapkan, demikian juga sebaliknya, bila materi dikemas tidak merujuk pada tujuan, kompetensi dan indikator, maka akan menjauhkan kea rah capaian hasil belajar yang optimal. Dalam merancang materi pembelajaran terdapat beberapa kriteria khusus yang harus difahami oleh guru, yaitu: a.
Terdapat strategi belajar mengajar.
b.
Sesuai dengan kriteria tujuan instruksional.
c.
Materi pelajaran supaya terjabar.
d.
Relevan dengan kebutuhan siswa.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
212
e.
Kesesuaian dengan kondisi masyarakat.
f.
Materi pelajaran mengandung segi-segi etik.
g.
Materi pelajaran tersusun dalam ruang lingkup dan urutan yang sistematik dan logis.
h.
Materi pelajaran bersumber dari buku sumber yang baku, pribadi guru yang ahli, dan masyarakat. Bidang studi yang diajarkan terkait dengan ilmu yang
terstruktur. Pokok bahasan sajian akan membantu merumuskan tujuan instruksional sebagai patokan atau sarsaran yang harus dicapai oleh guru. Tujuan instruksional ini memang telah digariskan secara umum dalam GBPP pada setiap pokok pembelajaran, akan tetapi tujuan instruksional khusus atau tujuan secara terinci akan dirancang oleh guru yang mengajar. Alat dan sumber berupa buku pelajaran yang akan digunakan oleh guru sebagai rujukan harus disesuaikan dengan kurikulum. Muatan pelajaran biasanya selalu berubah-ubah karena diperkaya dengan infornasi yang komplek. Materi atau bahan pembelajaran merupakan bagian terpenting bagi terleksananya proses pembelajaran, yang tertuang dalam kurikulum yang harus dikuasai oleh guru dan peserta didik.Sumber-sumber materi pelajaran antara lain meliputi: a.
Tempat atau lingkungan.
b.
Orang atau narasumber.
c.
Objek.
d.
Bahan cetak dan non cetak. Materi pelajaran dapat dibedakan menjadi pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Pengetahuan menunjukkan kepada informasi yang disimpan dalam pikiran (mind) peserta didik, dengan demikian pengetahuan berhubungan dengan berbagai informasi yang harus difahami
dan
dikuasai
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
peserta
didik.
Keterampilan
(skill)
213
menunjukkan pada tindakan-tindakan(baik fisik maupun non fisik) yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang kompeten untuk mencapai tujuan tertentu. Sikap menunjukkan kepada kecenderungan seseorang untuk bertindak sesuai dengan nilai dan norma yang diyakini kebenarannya oleh peserta didik. Materi atau bahan pelajaran yang telah dirancang oleh guru harus sudah terseleksi dan terorganisir disesuaikan dengan tingkat kemampuan belajar siswa yang akan belajar, apakah muatan itu pada ranah pengetahuan pada tingkat rendah, menengah atau tinggi. Demikian juga ranah pemahaman dan ranah keterampilan. Guru memberi materi yang terstruktur mulai dari tingkat yang paling mudah sampai pada tingkat yang sulit. Dalam memperhatikan tujuan pembelajaran, guru mengkaji perilaku awal siswa yang akan dibawa sampai ke perilaku sesuai dengan tujuan, hal ini sisesuaikan dengan taksonomi Benyamin S. Bloom bahwa anak didik terdiri dari ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif mencakup pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi. Secara hierarkis guru memberikan pengetahuan kepada peserta didik dimulai dari jenjang awal yaitu pengetahuan. Pengetahuan ini sebagai dasar untuk mengembangkan informasi lebih lanjut,
sehingga
setelah
itu
siswa
dapat
meningkatkan
pemahamannya. Pengetahuan dan pemahaman digolongkan pada tingkat rendah. Sedangkan pengetahuan tingkat menengah siswa adalah ketika siswa mampu menerapkan dan menganalisis informasi. Siswa mampu melakukan pengetahuan tingkat menengah jika mereka telah
dibekali
pengetahuan
awal
atau
rendah.
Selanjutnya
pengetahuan tingkat tinggi adalah siswa dapat mensintesis dan mengevaluasi informasi. Sedangkan menurut Merril, berpikir kognitif mencakup ragam pengetahuan fakta, konsep, prosedur, dan prinsip. Ragam pengetahuan fakta hanya perluuntuk diingat saja. Sedangkan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
214
konsep, seperti rumus, dapat diingat atau dihafal, diterapkan dan ditemukan (rumus baru). Demikian pula halnya dengan prinsip dan prosedur (Prawiladilaga, 2007: 44). Ranah afektif mencakup menerima, menanggapi, berkeyakinan, penerapan, karya dan ketelitian. Ranah ini menyangkut sikap dan apresiasi. Ranah ini juga memperinci tujuan instruksional lebih sukar dalam istilah yang dapat diamati dan diukur. Misalnya bagaimana seseorang bisa mengukur sikap orang yang loyal kepada atasannya atau seseorang menghargai gagasan atau karya tulis orang lain. Ranah psikomotorik mencakup persepsi, kesiagaan, respon terarah, dan adaptasi. Demikian juga ranah ini tidak hirarkis, tetapi sekedar mengklasifikasi saja, sehingga gerakan seluruh badan tidak lebih tinggi dibanding dengan gerakan yang terkoordinasi komunikasi non verbal bukan lebih tinggi atau lebih rendah dibanding kebolehan dalam berbicara. 4.
Mengembangkan dan Memilih Materi Pembelajaran Setelah tahap perencanaan, hal yang dilkukan seorang guru adalah mengembangkan dan memilih materi pembelajaran. Dalam tahap ini Dick and Carey (1985) menyarakan ada tiga pola yang dapat diikuti oleh pengajar untuk merancang atau menyampaikan pembelajaran, yaitu: a.
Pengajar merancang bahan pembelajaran individual, semua tahap pembelajaran dimasukan kedalam bahan, kecuali pra tes dan pasca tes.
b.
Pengajar memilih dan mengubah bahan yang ada agar sesuai dengan strategi pembelajran. Peran pengajar akan bertambah dalam penyampaian pembelajaran. Beberapa bahan mungkin saja disampaikan tnpa bantuan pengajar, jika tidak ada, maka pengajar harus memberi penjelasan.
c.
Pengajar tidak memakai bahan, tetapi menyampaikan semua pembelajaran menurut strategi pembelajarannya yang telah
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
215
disusunnya. Pengajar menggunakan strategi pembelajaranya sebagai pedoman, termasuk latihan dan kegiatan kelompok. Kebaikan dari strategi ini adalah pengajar dapat dengan segera memperbaiki dan memperbarui pembelajran apabila terjadi perubahan isi. Sedangkan kerugiannya adalah sebagian besar waktu tersita untuk menyampaikan informasi sehingga sedikit sekali waktu untuk membantu anak didik (mahasiswa) (Uno, 2009: 97). E.
DESAIN KOMPETENSI PEMBELAJARAN 1.
Pengertian Kompetensi Pembelajaran Pengertian
kompetensi
berdasarkan
definisi
Mendiknas
(SK.04/U/ 2002), bahwa kompetensi merupakan seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki oleh seorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas dibidang tertentu. Pengertian dari Mendiknas ini mengandung tiga hal pokok yang menjadi potensi dalam kompetensi. Ketiga hal tersebut yaitu akal berpikir (mental) yang berupa seperangkat tindakan cerdas, potensi perasaan (emosi) berupa rasa penuh tanggung jawab, dan potensi untuk melaksanakan tugas-tugas. Menurut
R.M.
Guion
dalam
Spencer
and
Spencer
mendefinisikan kemampuan atau kompetensi sebagai karakteristik yang menonjol bagi seseorang dan mengindikasikan cara-cara berperilaku atau berpikir, dalam segala situasi dan berlangsung terus dalam periode waktu yang lama. Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kemampuan adalah merujuk pada kinerja seseorang dalam suatu pekerjaan yang bisa dilihat dari pikiran, sikap, dan perilakunya. Mereka juga mengkatagorikan kompetensi ke dalam dua bagian, yaitu Threshold Competences dan Differentianting Competence. Threshold Competences adalah karakteristik esensial (biasanya pengetahuan atau keterampilan dasar, seperti kemampuan membaca)
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
216
yang seseorang butuhkan untuk menjadi efektif dalam suatu pekerjaan, tetapi bukan untuk membedakan pelaku superior dari yang rata-rata. Contoh, pengetahuan pedagang tentang produk atau kemampuan
mengisi
faktur.
Differentiating
Competences
membedakan pelaku yang superior dari yang biasanya. Contoh orientasi prestasi yang diekspresikan dalam tujuan seseorang adalah lebih tinggi dari yang dikehendaki oleh organisasi. Dalam proses belajar mengajar, keberhasilan kompetensi peserta didik dalam menguasai kompetensi yang telah ditetapkan perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai sebagai wujud belajar. Dengan adanya desain kompetensi pembelajaran, penilaian pembelajaran yang berdasarkan kompetensi dapat dilakukan secara objektif berdasarkan hasil kerja dengan bukti penguasaan peserta didik terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. 2.
Karakteristik Kompetensi Pembelajaran Menurut Spencer and Spencer, kompetensi terdiri dari 5 karakteristik yaitu: a.
Motives Hal ini dimaksudkan bahwa seseorang secara konsisten berfikir sehingga ia melakukan tindakan. Misalnya seseorang memiliki motivasi berprestasi secara konsisten mengembangkan tujuan-tujuan yang memberikan tantangan pada dirinya sendiri dan bertanggungjawab penuh untuk mencapai tujuan tersebut serta mengharapkan semacam umpan balik untuk memperbaiki diri.
Jadi
kompetensi
pembelajaran
yang
baik
adalah
kompetensi yang dapat memberikan motivasi kepada peserta didik sehingga menghasilkan prestasi yang baik dan dapat memberikan tantangan untuk menjadi lebih baik.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
217
b.
Traits Traits adalah watak yang membuat orang untuk berperilaku atau bagaimana seseorang merespon. Kompetensi pembelajaran membuat peserta didik memiliki watak dimana watak tersebut dijadikan patokan dalam berperilaku sehingga kompetensi pembelajaran harus membuat peserta didik yang berwatak baik.
c.
Self concept Self concept adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Sikap dan nilai tersebut diukur melalui tes kepada responden untuk mengetahui nilai yang dimiliki seseorang dan apa yang menarik bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi kompetensi pembelajaran memuat penilaian peserta didik baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya.
d.
Knowledge Knowledge diartikan sebagai informasi yang dimiliki seseorang untuk bidang tertentu. Pengetahuan merupakan kompetensi
yang
sangat
kompleks.
Jadi
kompetensi
pembelajaran memuat pengetahuan yang akan diberikan kepada peserta didik. e.
Skills Skills adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu baik secara fisik maupun mental. Dalam kompetensi pembelajaran harus diketahui dengan jelas kemampuan apa yang akan didapatkan peserta didik.
3.
Unsur atau Elemen yang Terkandung dalam Konsep Kompetensi a)
Pengetahuan (knowlegde), yaitu kesadaran dibidang kognitif. Misalnya seorang guru mengetahui cara melaksankan kegiatan identifikasi, penyuluhan, dan proses pembelajaran terhadap warga belajar.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
218
b)
Pengertian (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan efektif yang dimiliki siswa. Misalnya seorang guru yang akan melaksanakan kegiatan harus memiliki pemahaman yang baik tentagn keadaan dan kondisi warga belajar di lapangan, sehingga dapat melaksanakan program kegiatan secara baik dan efektif.
c)
Keterampilan
(skill),
yaitu
kemampuan
individu
untuk
melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya, kemampuan yang dimiliki oleh guru untuk menyusun alat peraga pendidikan secara sederhana. d)
Nilai (value), yaitu suatu norma yang telah diyakini atau secara psikologis telah menyatu dalam diri individu.
e)
Minat (interest), yaitu keadaan yang mendasari motovasi individu,
keinginan
yang
berkelanjutan,
dan
orientasi
psikologis. Misalnya, guru yang baik selalu tertarik kepada warga belajar dalam hal membina, dan memotivasi mereka supaya dapat belajar sebagaimana yang diharapkan. 4.
Tujuan Pembelajaran Tujuan merupakan sesuatu yang diharapkan agar tercapai. Artinya bahwa tujuan menjadi pedoman yang memberi arah bagi segala aktifitas dan kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan kata lain tujuan merupakan standar usaha yang dapat dilakukan dan diupayakan agar dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan. Sedangkan pembelajaran dalam arti sempit adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Dalam arti luas pembelajaran adalah interaksi antara pendidik dengan peserta didik
dalam
rangka
memahami
mata pelajaran. Merujuk pada tulisan Hamzah B. Uno (2008) berikut ini dikemukakan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli. Robert F. Mager (1962) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
219
adalah perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu. Kemp (1977) dan David E Kapel (1981) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran merupakan suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Henry Ellington (1984)
bahwa
tujuan
pembelajaran
adalah
pernyataan
yang
diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar. Sementara itu Oemar Hamalik (2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu diskripsi mengenai tingkah laku yang
diharapkan
tercapai
oleh
siswa
setelah
berlangsung
pembelajaran. Meski para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi yang sama, bahwa: a.
Tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
b.
Tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.
c.
Memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa, sehingga siswa dapat melakukan perbuatan mengajarnya secara lebih mandiri.
d.
Memudahkan guru memilih dan menyusun bahan ajar.
e.
Membantu memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media pembelajaran.
f.
Memudahkan guru mengadakan penilaian. Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
tujuan pembelajaran merupakan suatu pernyataan tentang kecakapan, keterampilan atau kompetensi yang diwujudkan dalam bentuk tulisan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
220
untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan mampu dicapai oleh peserta didik sebagai hasil belajar. Upaya merumuskan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu, antara lain: a.
Waktu mengajar dapat dialokasikan dan dimanfaatkan secara tepat
b.
Guru dapat menetapkan berapa banyak materi yang akan disampaikan dalam setiap pelajaran
c.
Memudahkan guru untuk menetapkan urutan dan rangkaian materi pelajaran secara tepat
d.
Memudahkan guru untuk mengukur keberhasilan siswa dalam belajar
e.
Dapat menjamin bahwa hasil belajar siswa lebih baik dibandingkan dengan hasil
belajar tanpa tujuan yang
jelas. f.
Pokok bahasan dapat dibuat seimbang, sehingga tidak ada materi yang dibahas terlalu mendalam atau terlalu sedikit
g.
Guru dapat dengan mudah mempersiapkan berbagai keperluan peralatan maupun bahan dalam keperluan belajar
h.
Mempermudah guru untuk menetapkan dan mempersiapkan strategi belajar yang
5.
paling cocok dan menarik.
Ruang Lingkup Tujuan Pembelajaran Harjanto (dalam Asmawati, 2014: 4) menjelaskan bahwa tingkatan dan karakteristik tujuan pembelajaran meliputi: (1) tujuan pendidikan nasional, (2) tujuan institusional, (3) tujuan kurikuler, (4) tujuan pembelajaran umum, (5) tujuan pembelajaran khusus. a.
Tujuan pendidikan nasional Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan yang ingin dicapai dan didasari oleh falsafah Negara Indonesia (didasari oleh pancasila). Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan dari
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
221
keseluruhan satuan, jenis dan kegiatan pendidikan, baik pada jalur pendidikan formal, informal dan nonformal dalam konteks pembangunan nasional. Tujuan pendidikan nasional indonesia adalah untuk “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Bab II pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003). b.
Tujuan Institusional Tujuan institusional merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh
setiap
sekolah
atau
lembaga
pendidikan. Tujuan
institusional ini merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan sesuai dengan jenis dan sifat sekolah atau lembaga pendidikan. Oleh karena itu, setiap sekolah atau lembaga pendidikan memiliki tujuan institusionalnya sendiri-sendiri. Tidak seperti tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional lebih bersifat kongkrit. Tujuan institusional ini dapat dilihat dalam kurikulum setiap lembaga pendidikan. c.
Tujuan Kurikuler Tujuan kurikuler adalah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap bidang studi. Tujuan ini dapat dilihat dari GBPP (Garis garis Besar Program Pembelajaran) setiap bidang studi. Tujuan kulikuler merupakan penjabaran dari tujuan institusional sehingga akumulasi dari setiap tujuan kulikuler ini akan menggambarkan tujuan istitusional. Artinya, semua tujuan kulikuler yang ada pada suatu lembaga pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan institusional yang bersangkutan.
d.
Tujuan Pembelajaran Umum Tujuan pembelajaran umum adalah tujuan pembelajaran yang sifatnya masih umum dan belum dapat menggambarkan tingkah laku yang lebih spesifik. Tujuan pembelajaranumum ini
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
222
dapat dilihat dari tujuan setiap pokok bahasan suatu bidang studi yang ada di dalam GGBP, silabus atau RPP. Contoh: tujuan pembelajaran umum: Siswa mampu menjelaskan tentang Thaharah e.
Tujuan Pembelajaran Khusus Tujuan pembelajaran khusus merupakan penjabaran dari tujuan pembelajaran umum. Tujuan ini dirumuskan oleh guru dengan maksud agar tujuan pembelajaran umum tersebut dapat lebih
dispesifikasikan
dan
mudah
diukur
tingkat
ketercapaiannya. Contoh: tujuan pembelajaran khusus: siswa mampu menjelaskan pengertian thaharah, siswa mampu menyebutkan macam-macam thaharah f.
Taksonomi Tujuan Pembelajaran Taksonomi
tujuan
pembelajaran
merupakan
suatu
kategorisasi tujuan pembelajaran, yang umumnya digunakan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran. Untuk dapat menentukan tujuan pembelajaran yang diharapkan, pemahaman taksonomi tujuan atau hasil belajar menjadi sangat penting bagi seoarang guru. Dengan pemahaman ini guru akan dapat menentukan dengan lebih jelas dan tegas apakah tujuan intruksional pengajaran yang diasuhnya lebih bersifat kognitif, dan mengacu kepada tingkat intelektual tertentu, atau lebih bersifat afektif atau psikomotorik. Tujuan pembelajaran biasanya diarahkan pada salah satu kawasan dari taksonomi. Benyamin S. Bloom dan D. Krathwohl memilah taksonomi pembelajaran dalam tiga kawasan,yakni: kawasan (1) Kognitif, (2) Afektif, (3) Psikomotorik. a.
Kawasan Kognitif Kawasan kognitif adalah kawasan yang membahas tujuan pembelajaran berkenaan dengan proses mental yang berawal
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
223
dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang lebih tinggi yakni evaluasi. Kawasan kognitif ini terdiri atas 6 tingkatan yang secara hierarkis berurut dari yang paling rendah (pengetahuan) sampai ke yang paling tinggi (evaluasi) dan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1)
Tingkat
Pengetahuan
(knowledge):
mengingat,
menghafal. 2)
Tingkat Pemahaman (comprehension): menerjemahkan, menginterpretasi.
3)
Tingkat Penerapan (application): menggunakan konsep prinsip dan prosedur.
4)
Tingkat Analisis (analysis): memecahkan konsep menjadi bagian-bagian.
5)
Tingkat Sintesis (synthesis): menggabungkan bagianbagian menjadi satu kesatuan.
6)
Tingkat Evaluasi (evaluation): menggabungkan nilai-nilai, ide-ide dengan standar.
b.
Kawasan Afektif (Sikap dan Perilaku) Kawasan afektif adalah satu domain yang berkaitan dengan sikap, nilai-nilai interes, apresiasi (penghargaan) dan penyesuaian perasaan sosial. Tingkatan afeksi ini ada lima, dari yang paling sederhana ke yang kompleks adalah sebagai berikut; 1)
Kemauan Menerima
2)
Kemauan Menanggapi
3)
Berkeyakinan
4)
Penerapan Karya
5)
Ketekunan dan ketelitian
c.
Kawasan Psikomotor
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
224
Domain psikomotor mencakup tujuan yang berkaitan dengan keterampilan (skill) yang bersifat manual atau motorik. Sebagaimana kedua domain yang lain, domain ini juga mempunyai berbagai tingkatan. Urutan tingkatan dari yang paling sederhana sampai ke yang paling kompleks (tertinggi) adalah;
6.
1)
Persepsi
2)
Kesiapan melakukan suatu kegiatan
3)
Mekanisme
4)
Respons terbimbing
5)
Kemahiran
6)
Adaptasi
7)
Originasi
Indikator Pembelajaran Indikator merupakan rumusan kompetensi yang lebih spesifik yang menunjukan ciri-ciri penguasaan suatu kompetensi dasar atau sub kompetensi. Sebuah kompetensi dasar memiliki beberapa bukti atau tanda penguasaan. Menurut E. Mulyasa, indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang menunjukkan tanda-tanda perbuatan dan respon yang dilakukan atau ditampilkan oleh peserta didik. Idikator juga dikembangkan sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan potensi daerah dan peserta didik dan juga dirumuskan dalam rapat kerja operasional yang dapat diukur dan diobservasi sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam penyusunan alat penilaian. Sedangkan menurut Darwin Syah indikator pembelajaran adalah karakteristik, ciri-ciri, tanda-tanda perbuatan atau respon yang dilakukan siswa, untuk menunjukkan bahwa siswa memiliki kompetensi dasar tertentu. Jadi indikator adalah kompetensi dasar secara spesifik yang dapat dijadikan untuk menilai ketercapaian hasil
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
225
pembelajaran dan juga dijadikan tolak ukur sejauh mana penguasaan siswa terhadap suatu pokok bahasan atau mata pelajaran tertentu. Adapun
dalam
mengembangkan
indikator
perlu
mempertimbangakan beberapa hal sebagai berikut: a.
Tuntutan kompetensi yang dapat dilihat melalui kata kerja yang digunakan dalam kompetensi dasar.
b.
Karakteristik mata pelajaran, peserta didik dan sekolah .
c.
Potensi dan kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan lingkungan atau daerah. Dalam merumuskan indikator perlu diperhatikan beberapa
ketentuan sebagai berikut: a.
Setiap KD dikembangkan sekurang-kurangnya menjadi 3 indikator.
b.
Keseluruhan indikator memenuhi tuntutan kompetensi yang tertuang dalam kata kerja yang digunakan dalam SK dan KD. Indikator harus mencapai tingkat kompetensi minimal KD dan dapat dikembangkan melebihi kompetensi minimal sesuai dengan potensi dan kebutuhan peserta didik.
c.
Indikator yang dikembangkan harus menggambarkan hirarki kompetensi.
d.
Rumusan indikator sekurang-kurangnya mencangkurp 2 aspek, yaitu tingkat kompetensi dan materi pembelajaran.
e.
Indikator harus dapat mengakomodir karakteristik mata pelajaran, sehingga menggunakan kata kerja operasional yang sesuai.
f.
Rumusan indikator dapat dikembangkan menjadi beberapa indikator penilaian yang mencangkup ranah kognitif, afektif, dan atau psikomotorik.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
226
7.
Penyusunan Desain Kompetensi dan Tujuan Pembelajaran Sebelum dilakukan penyusunan desain kompetensi dan tujuan pembelajaran, terlebih dahulu harus dipertimbangkan beberapa aspek terkait
proses
pembelajaran
tersebut.
Penyusunan
ini
harus
disesuaikan dengan tabiat ilmu yang akan dikembangkan. Selain itu, disesuaikan pula dengan desain kurikulum yang ada dengan mempertimbangkan visi, misi dan tujuan lembaga penyelenggara pembelajaran tersebut serta program studi atau jurusan yang ada. Desain
kompetensi
yang
berdasarkan
visi
sekolah
dalam
menghasilkan lulusan yang sesuai dengan idealisme pendiri dan harapan stakholder. Selain pertimbangan kurikulum, adanya profil lulusan program studi juga membantu untuk mempermudah dalam mendesain kompetensi. Hal ini lantaran materi pada profil akan terlihat tingkat harapan lulusan kompetensi utama dan kompetensi pendukung program studi. Oleh karena itu, profil ini akan dapat menuntun penyusunan desain kompetensi dengan lebih mudah dan terarah sesuai dengan arah tujuan suatu program studi. 8.
Hubungan
Kompetensi
Pembelajaran
dengan
Tujuan
Pembelajaran Dalam
kurikulum
yang
berorientasi
pada
pencapaian
kompetensi, tujuan yang harus dicapai oleh siswa dirumuskan dalam bentuk
kompetensi.
pengembangan
Dalam
pembangunan
konteks
kurikulum, kompetensi adalah perpaduan dari
pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Seseorang yang telah memiliki kompetensi dalam bidang tertentu bukan hanya mengetahui, tetapi juga memahami dan menghayati bidang tersebut yang tercermin dalam dalam pola prilaku sehari-hari. Dalam kurikulum, kompetensi sebagai tujuan pembelajaran dijadikan sebagai standar dalam pencapaian tujuan kurikilum. Baik guru dan siswa perlu memahami
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
227
kompetensi yang harus dicapai dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Pemahaman ini diperlukan untuk memudahkan dalam merancang strategi keberhasilan. Dalam kompetensi sebagai tujuan, di dalamnya terdapat beberapa aspek, yaitu: a.
Pengetahuan (knowledge)
b.
Pemahaman (undestanding)
c.
Kemahiran (skill)
d.
Sikap (attitude)
e.
Minat (interest) Sesuai dengan aspek-aspek di atas, maka tampak bahwa
kompetensi sebagai tujuan dalam kurikulum itu bersifat kompleks. Artinya bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kecakapan, nilai, sikap dan minat siswa agar mereka dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran disertai rasa tanggung jawab. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai dalam kompetensi ini adalah bagaimana memberikan pemahaman dan penguasaan materi agar dapat mempengaruhi cara bertindak dan berpikir dalam kehidupan sehari-hari. 9.
Kompetensi Guru dan Kompetensi Siswa Kompetensi seorang guru yang baik itu adalah sebagai berikut: a.
Kompetensi Pedagogik Kompetensi pedagogic atau akademik ini menunjukkan kepada kemampuan guru untuk mengelola proses belajar mengajar, termasuk di dalamnya perencanaan dan pelaksanaan, evaluasi hasil belajar mengajar dan pengembangan siswa sebagai individu-individu. Kompetensi pedagogik meliputi: 1)
Menguasai karakteristik siswa dari aspek fisik, moral, social, cultural, emosional, dan intelektual.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
228
2)
Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
3)
Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu.
4)
Menyelenggarakan
kegiatan
pengembangan
yang
mendidik. b.
Kompetensi Pribadi Kompetensi ini mengkaji dedikasi dan loyalitas guru. Mereka harus tegar, dewasa, bijak tegas, dapat menjadi contah bagi para siswa dan memilki kepribadian mulia. Kompetensi pribadi meliputi: 1)
Bertindak sesuai dengan norma agama, hokum, social, dan kebudayaan nasional Indonesia.
2)
Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berahklak mulia, dan teladan bagi siswa dan masyarakat.
3)
Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantab, stabil dan dewasa, arif dan berwibawa.
4)
Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.
5) c.
Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Kompetensi Professional Kompetensi ini menunjukkan kemampuan guru untuk menguasai
materi
pembelajaran.
Guru
harus
memiliki
pengetahuan yang baik mengenai subyek yang di ajarkan, mampu mengikuti kode etik professional dan menjaga serta mengembangkan kemampuan profesionalnya. Kompetensi ini meliputi: 1)
Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola piker keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
2)
Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
229
3)
Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu seara kreatif.
4)
Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
5)
Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
d.
Kompetensi Sosial Kompetensi ini menunjukkan kepada kemampuan guru untuk menjadi bagain dari masyarakat, berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan para siswa, para guru lain, staf pendidikan lainnya, orang tua dan wali siswa serta masyrakat. Kompetensi ini meliputi: 1)
Berkomunikasi secara efektif, empati, dan santun dengan sesame pendidik, tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat.
2)
Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indinesia yang memiliki keragaman social budaya.
3)
Berkomunikasi dengan komunitas profesi dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. Sedangkan Kompetensi yang dimiliki oleh Siswa adalah
sebagai berikut:
10.
a.
Kompetensi Akademik
b.
Kompetensi Personal
c.
Kompetensi Vokasional
d.
Kompetensi Sosial
Cara Mendesain Kompetensi Pembelajaran a.
Spesifikasi asumsi-asumsi atau preposisi yang mendasar.
b.
Mengidentifikasi kompetensi pembelajaran.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
230
Penyusunan rencana pembelajaran perlu memperhatikan kompetensi pembelajaran. Kompetensi harus dijabatkan secara khusus yang telah divalidasikan serta di tes sejauhmana kontribusinya terhadap keberhasilan dan efektifitas belajar mengajar. Dalam mengidentifikasi kompetensi, dapat dilakukan dengan: 1)
Pendekatan analisis tugas untuk menentukan daftar kompetensi. Berdasarkan analisis tugas-tugas yang harus dilakukan oleh guru yang kemudian dapat diketahui apakah peserta didiknya telah melakukan tugasnya sesuai dengan kompetensi yang ditentukan atau belum.
2)
Pendekatan memusatkan perhatian pada kebutuhan-kebutuhan siswa disekolah. Langkah pertama pada langkah ini bertitik tolak pada ambisi, nilai-nilai dan pandangan siswa. Ketiga langkah tersebut menjadi landasan untuk mengidentifikasi kompetensi yang berasumsi bahwa terdapat hubungan yang erat antara persiapan guru dan hasil yang diinginkan siswa.
3)
Pendekatan berdasarkan asumsi kebutuhan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan menspesipikasikan kebutuhan masyarakat terutama masyarakat sekolah maka selanjutnya disusun program pendidikan. Pendekatan ini berasumsi bahwa pengetahuan tetang masyarakat yang nyata dan penting dapat menjadi program sekola yang dituangkan dalam program pembelajaran. Kelemahan pendekatan ini ialah sangat sulit menemukan kebutuhan masyarakat yang tepat, tepat, dan lengkap karena kebutuhan masyrakat selalu berubah.
c.
Menggambarkan secara spesifik kompetensi-kompetensi Dalam
langkah
ini
kompetensi-kompetensi
yang
telah
ditentukan diperkhusus dan dirumuskan menjadi eksplisit dan dapat diamati. Dipertimbangkan juga masalah target populasi
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
231
dalam konteks pelaksanaannya, hambatan, waktu pelaksanaan dan pameter sumber. d.
Menentukan tingkat-tingkat kriteria dan jenis assessment Penentuan jenis-jenis penilaian yang digunakan dimaksudkan untuk mengukur ketercapaian kompetensi.
e.
Pengelompokkan dan penyusunan tujuan pembelajaran Pada langkah ke lima ini dilakukan penyusunan sesuai dengan urutan maksud-maksud intruksional.
f.
Desain strategi pembelajaran
g.
Mengorganisasikan sistem pengolahan
h.
Melaksanakan percobaan program
i.
Menilai desain pembelajaran
j.
Memperbaiki program Menurut Jamil S. (2014, 115), alternatif pertama mendesain
kompetensi atau tujuan pembelajaran pada suatu mata pelajaran berdasarkan KBK (kurikulum berbasis kompetensi), lazimnya ada tiga komponen yang harus dirumuskan khususnya dalam KBK, yaitu: a) standar kompetensi, b) kompetensi dasar, c) indikator pencapaian. a.
Standar kompetensi, adalah kualifikasi kemamapuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan mampu dicapai tiap semester pada suatu mata pelajaran. Dengan kata lain Standar Kompetensi adalah sebuah keutuhan prestasi terbesar dari mata pelajaran yang diperoleh peserta didik
setelah
mengalami
proses pembelajaran dalam satu semester. b.
Kompetensi dasar, adalah jabaran dari standar kompetensi yaitu sejumlah
kemampuan
yang
harus
dikuasai
siswa
atau
mahasiswa dalam suatu mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan standar kompetensi dalam suatu pelajaran. Dengan kata lain, kompetensi dasar adalah kompetensi-kompetensi
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
232
pendukung atau penentu keberhasilan tercapainya standar kompetensi. Tanpa penguasaan kompetensi dasar mahasiswa atau siswa tidak akan mungkin berhasil dengan utuh atau sempurna akan tercapainya standar kompetensi sebagai hasil prestasi terbesar sebagai sebuah totalitas. c.
Indikator pencapaian, adalah perilaku yang dapat diukur dan diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
F.
DESAIN STRATEGI PEMBELAJARAN 1.
Pengertian Desain Strategi Pembelajaran Desain dapat diartikan keseluruhan, struktur, kerangka ataupun outline. Desain menurut Smith dan Ragan merupakan proses perencanaan yang sistematis yang dilakukan sebelum tindakan pengembangan atau pelaksanaan sebuah kegiatan atau proses sistematis yang dilakukan dengan menterjemahkan prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran menjadi rancangan yang diimplementasikan dalam bahan dan aktivitas pembelajaran. Desain yakni suatu cara yang memuaskan untuk membuat suatu kegiatan dapat berjalan dengan baik, disertai dengan berbagai langkah yang antisipasif guna memperkecil kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan tersebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Desain pembelajaran didefinisikan sebagai prosedur yang terorganisasi
dimana
tercangkup
langkah-langkah
dalam
menganalisis, mendesain, mengembangkan, mengimplementasikan, dan mengadakan evaluasi. Desain pembelajaran lebih memerhatikan pada pemahaman, pengubahan, dan penerapan metode-metode pembelajaran. Hal ini mengarahkan untuk memilih dan menentukan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
233
metode apa yang dapat digunakan untuk mempermudah penyampaian bahan ajar agar dapat diterima dengan mudah oleh siswa (Riyanto, 2009: 20-21). Sedangkan strategi, secara bahasa, strategi bisa diartikan sebagai “siasat”, ”kiat”, ”trik”, atau “cara”. Sedang secara umum strategi ialah suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Strategi belajar mengajar bisa diartikan sebagai pola umum kegiatan murid-guru dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan atau sejumlah langkah yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu (Fathurrohman, 2007: 3). Menurut Dick and Carey (1990) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran terdiri atas seluruh komponen materi pembelajaran dan prosedur atau tahapan kegiatan belajar yang atau digunakan oleh guru dalam rangka membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Menurut mereka strategi pembelajaran bukan hanya terbatas prosedur atau tahapan kegiatan belajar saja, melainkan termasuk juga pengaturan materi atau paket program pembelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Jadi, perencanaan
desain
strategi
yang
sistematis
pembelajaran atas
seluruh
merupakan
proses
komponen
materi
pembelajaran dan prosedur atau tahapan kegiatan belajar yang atau digunakan oleh guru dalam rangka membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran tertentu, bukan hanya terbatas prosedur atau tahapan kegiatan belajar saja, melainkan termasuk juga pengaturan materi atau paket program pembelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. 2.
Kedudukan Strategi Pembelajaran Strategi pembelajaran merupakan rencana, aturan-aturan, langkah-langkah serta sarana yang prakteknya akan diperankan dan akan dilalui dari pembukaan sampai penutupan dalam proses
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
234
pembelajaran di dalam kelas guna merealisasikan tujuan (Mustofa, 2012: 67). Karena strategi mengajar merupakan operasionalisasi metode, maka akan memuat gaya yang dilakukan guru dalam menyusun pelajaran, seni yang ditampilkan guru dalam proses pembelajaran serta media dan sarana dalam berbagai bentuknya yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Pengaturan, penyusunan, dan gaya mengajar sangat tergantung pada guru serta keterampilannya dalam mengelola kelas, serta sangat dipengaruhi oleh perbedaan situasi, kondisi dan karakteristik siswa. oleh sebab itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa seluruh strategi tertentu yang terbaik dan paling cocok untuk segala situasi dan kondisi pembelajaran. Perbedaan tujuan, materi, karakteristik siswa serta perbedaan guru membutuhkan strategi yang berbeda dalam prateknya. Strategi pembelajaran adalah cara/metode yang akan dilakukan oleh pengajar supaya tercapai tujuan pembelajaran atau sebagai kunci peningkatan jaminan kualitas pembelajaran. Kedudukan strategi pembelajaran: a.
Interaksi Kedudukan strategi pembelajaran dalam interaksi yakni proses interaksi atau proses saling berhubungan yang dilakukan antar pendidik dengan peserta didik dalam proses pembelajaran. Interaksi tersebut harus dilakukan oleh pendidik dengan peserta didik dengan selalu memiliki banyak cara dan trik yang jitu. Pendidik harus memiliki keahlian dalam membaca situasi dan kondisi peserta didik harus cepat dan tepat. Pendidik harus merancang prosedur untuk melakukan interaksi dengan peserta didik.
b.
Pembelajaran Pembelajaran merupakan serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memdahkan terjadinya proses
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
235
belajar. Strategi pembelajaran merupakan rencana, aturanaturan, langkah-langkah serta sarana yang prakteknya akan diperankan dan akan dilalui dari pembukaan sampai penutupan dalam proses pembelajaran di dalam kelas guna merealisasikan tujuan. Jadi, pembelajaran termasuk di dalamnya startegi pembelajaran. c.
Materi Strategi pembelajaran merupakan suatu proses yang sangat terkait dengan penyampaian materi dalam upaya mencapai kompetensi. Dalam menentukan strategi pembelajaran perlu memperhatikan dua hal yaitu : 1) jenis kompetensi 2) jenis materi yang diajarkan. Untuk mengajarkan kompetensi yang berjenis kognitif, atau kompetensi berjenis psikomotor, atau kompetensi yang berjenis afektif pasti akan membutuhkan strategi pembelajaran yang berbeda. Demikian pula jika mengajarkan materi dari jenis materi yang berbeda pasti akan memerlukan strategi pembelajaran yang berbeda pula.
d.
Hasil belajar Belajar merupakan proses aktivitas yang memiliki keterukuran secara jelas. Ukuran keberhasilan belajar dalam pengertian yang operasional
adalah
penguasaan
dinyatakan
tujuan
pembelajaran
suatu
bahan
khusus
dan
ajar
yang
memiliki
konstribusi bagi tujuan di atasnya. Keberhasilan atau kegagalan dalam proses belajar mengajar merupakan sebuah ukuran atas proses pembelajaran. Strategi pembelajaran yang didalamnya termasuk terjadinya interaksi antara pendidik dan peserta didik merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam pemebelajaran. 3.
Kesesuaian antar Kompetensi dan Aktivitas dengan Strategi Pembelajaran Kompetensi dasar merupakan penjabaran Standar Kompetensi yang cakupan materinya lebih sempit dibanding dengan standar
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
236
kompetensi. Standar kompetensi sendiri adalah ukuran kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan siakp yang harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap tingkatan dari suatu materi yang diajarkan. Kompetensi dasar diturunkan menjadi indikator, dari indikator digunakan untuk menyusun tujuan pembelajaran. Evaluasi pembelajaran didasarkan pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, dari evaluasi inilah dapat diketahui hasil belajar peserta didik. Strategi pembelajaran merupakan suatu proses yang sangat terkait
dengan
kompetensi.
penyampaian
Dalam
materi
menentukan
dalam
strategi
upaya
mencapai
pembelajaran
perlu
memperhatikan dua hal yaitu : 1) jenis kompetensi 2) jenis materi yang diajarkan. Untuk mengajarkan kompetensi yang berjenis kognitif, atau kompetensi berjenis psikomotor, atau kompetensi yang berjenis afektif pasti akan membutuhkan strategi pembelajaran yang berbeda. Demikian pula jika mengajarkan materi dari jenis materi yang berbeda pasti akan memerlukan strategi pembelajaran yang berbeda pula. Terdapat dikembangkan
berbagai dalam
strategi
upaya
pembelajaran
mencapai
yang
kompetensi.
dapat Strategi
pembelajaran pada dasarnya digunakan untuk mencapai kompetensi siswa secara tepat dalam waktu dan biaya yang seefisien mungkin (Prabowo, 2010: 106-107). a.
Dalam proses pembelajaran yang bersifat kognitif adalah upaya menanamkan materi pembelajaran dalam memori di otak siswa. materi-materi
pada
kompetensi
yang
bersifat
kognitif
merupakan materi yang berjenjang dari sesuatu yang kongkrit kepada sesutau yang bersifat abstrak. Pada aspek kognitif ini proses pembelajaran akan berusaha untuk menjadikan sesuatu yang bersifat abstrak kepada sesuatu yang bersifat kongkrit. Proses ini tentu bukanlah sesuatu yang mudah, untuk itulah
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
237
kemudian
dikembangkan
strategi
pembelajaran.
Dengan
demikian, strategi pembelajaran dalam aspek kognitif pada dasarnya adalah untuk memudahkan penerimaan siswa dengan cara merubah dari sesuatu yang bersifat abstrak menuju ke arah yang kongkrit. Perubahan tersebut dengan harapan akan dapat memudahkan
siswa
untuk
memahami
dan
kemudian
menyimpannya di dalam memorinya dalam waktu yang lama. b.
Pada aspek psikomotorik, strategi pembelajaran digunakan untuk
menanamkan
kemahiran
kepada
siswa
terhadap
keterampilan yang hendak dikuasai. Strategi pembelajaran pada aspek ini digunakan untuk membuat sederhana berbagai gerakan yang kompleks yang harus diajarkan oleh guru kepada siswa, sehingga kemudian siswa dapat melakukannya dengan lebih mudah. Misalnya untuk dapat mengajarkan kepada siswa suatu keterampilan “memasang” atau “membongkar” maka guru harus memiliki strategi yang tepat agar teknik “memasang” atau “membongkar” tersebut dapat mudah dipahami oleh siswa, dan kemudian dapat ditirukannya dengan mudah atau bahkan dapat dimodifokasinya menjadi keterampilan yang lebih baik lagi. c.
Sedangkan pada aspek afektif, strategi pembelajaran digunakan untuk menjadikan aspek-aspek nilai sebagai pembentuk sikap menjadi sesuatu yang diimplementasikan dalam kehidupan siswa dalam keseharian, menjadi pola hidup dalam kehidupan siswa sehari-hari. Misalnya untuk dapat mengajarkan kepada siswa
tentang
peduli
sesama
maka
siswa
harus
diinternalisasikan nilai-nilai tersebut atau disadarkan pentingnya nilai-nilai
tersebut
menginternalisasikan
dalam
kehidupan
nilai-nilai
sehari-hari.
tersebut
siswa
Untuk harus
ditunjukkan contoh-contoh dari perilaku yang mengadopsi nilainilai tersebut dan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh dengan diimplementasikannya nilai-nilai tersebut. Pemberian
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
238
contoh-contoh perilaku dapat dilakukan dengan berbantuan media pembelajaran. Selain itu contoh-contoh perilaku dapat diajarkan dengan menggunakan strategi pembelajaran sosio drama atau strategi pembelajaran yang memberikan tugas kepada siswa untuk mengamati perilaku pada tokoh tertentu. Namun demikian, akan sangat tepat jika pemberian contohcontoh tersebut melalui pemberian keteladanan oleh guru dalam perilaku sehari-hari. Dengan keteladanan tersebut itulah diharapkan kemudian siswa akan menirukan apa yang telah dilakukan oleh guru. Dengan demikian jelaslah bahwa strategi pembelajaran dapat digunakan sebagai upaya mencapai kompetensi siswa yang telah direncanakan secara efektif san efisien. Berikut akan dipaparkan
berbagai
strategi
pembelajaran
yang
dapat
digunakan untuk mencapai kompetensi sisiwa dalam berbagai jenis, menginternalisasikan berbagai kecakapan hidup, dan memberikan variasi belajar. Contoh: Nama sekolah
: SMP/MTs
Mata pelajaran
: Aqidah Akhlak
Kelas/semester
: IX / ganjil
Alokasi waktu
: 12 X 40 menit
Standar kompetensi
: memahami akhlak terpuji terhadap lingkungan social.
Kompetensi dasar
: menjelaskan tentang akhlak terpuji terhadap sesama manusia
Indikator a.
:
Menjelaskan pengertian akhlak terpuji terhadap sesama manusia
b.
Menyebutkan macam-macam akhlak terpuji terhadap sesama manusia
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
239
c.
Menjelaskan
pengertian
ta’aruf,
tafahum,
ta’awun,
tasamuh, jujur, adil, amanah, dan menepati janji Metode pembelajaran a.
Ceramah
b.
Tanya jawab
c.
Demonstrasi
Langkah pembelajaran a.
:
:
Kegiatan awal 1)
Siswa membaca kemudian guru menerangkan
2)
Siswa mengartikan sifat-sifat terpuji
3)
Siswa menyebutkan macam-macam sifat terpuji
4)
Siswa membedakan antara sifat terpuji dengan sifat tercela
b.
Kegiatan inti 1)
Eksplorasi
2)
Guru menjelaskan kepada siswa tentang materi yang akan diajarkan
3)
Siswa memperhatikan dan mengajukan beberapa pertanyaan yang kurang jelas
c.
Konsolidasi pembelajaran Siswa menjawab pertanyaan dari guru tentang materi tersebut
d.
Kegiatan akhir Mengingatkan kembali agar siswa dapat mempelajari dan mengulang kembali pelajaran tersebut
4.
Beberapa Strategi yang Sesuai dengan Tingkat Hasil Belajar Strategi pembelajaran yang akan digunakan dalam proses pembelajaran harus berorientasi pada tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Selain itu, juga harus disesuaikan dengan jenis materi,
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
240
karakteristik peserta didik, serta situasi atau kondisi dimana proses pembelajaran tersebut akan berlangsung. Strategi dapat di klasifikasikan menjadi 4, yaitu: a.
Strategi pembelajaran langsung Strategi pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang banyak diarahkan oleh guru. Strategi ini efektif untuk menentukan informasi atau membangun keterampilan tahap demi
tahap.
Pembelajaran
deduktif.Kelebihan
strategi
langsung ini
biasanya
adalah
mudah
bersifat untuk
direncanakan dan digunakan, sedangkan kelemahan utamanya dalam
mengembangkan
kemampuan-kemampuan,
proses-
proses, dan sikap yang dipergunakan untuk pemikiran kritis dan hubungan interpersonal serta belajar kelompok. Agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan pemikiran kritis, strategi pembelajaran langsung perlu dikombinasikan dengan strategi pembelajaran yang lain. b.
Strategi pembelajaran tak langsung Strategi pembelajaran tak langsung sering disebut induktif. Berlawanan dengan strategi pembelajaran langsung. Pembelajaran tak langsung umumnya berpusat pada peserta didik, meskipun kesempatan peserta didik untuk bereaksi terhadap gagasan, pengalaman, pendekatan, dan pengetahuan guru atau temannya dan untuk membangun cara alternatif untuk berfikir dan merasakan.
c.
Strategi pembelajarn empirik Strategi pembelajaran empirik berorientasi pada kegiatan induktif, berpusat pada peserta didik, dan berbasis aktivitas. Refleksi pribadi tentang pengalaman dan formulasi perencanaan menuju penerapan pada konteks yang lain merupakan faktor kritis dalam pembelajaran empirik yang efektif.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
241
d.
Strategi pembelajaran mandiri Belajar mandiri merupakan strategi pembelajaran yang bertujuan untuk membangun inisiatif individu, kemandirian, dan peningkatan diri. Fokusnya adalah pada perencanaan belajar mandiri oleh peserta didik dengan bantuan guru. Belajar mandiri juga bisa dilakukan dengan teman atau sebagai bagian dari kelompok kecil. Dua strategi tersebut dapat saling melengkapi. Peranan guru bergeser dari seorang penceramah menjadi fasilitator. Guru mengelola lingkungan belajar dan memberikan kesempatan peserta didik untuk terlibat. Macam-macam strategi yang dapat digunakan dalam proses
pembelajaran (Prabowo, 2010: 108-114), yaitu: a.
Example non example 1)
Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai.
2)
Guru menempelkan gambar dipapan atau ditayangkan lewat proyektor.
3)
Guru memberi petunjuk dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan dan menganalisis gambar.
4)
Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas
5)
Tiap kelomspok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
6)
Mulai dari komentar atau hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
7)
Penarikan kesimpulan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
242
b.
Learning start with question 1)
Bagikan bahan belajar, kemudian mintalah mereka untuk mencari pasangan dan kemudian berikanlah tugas kepada mereka untuk belajar berpasangan
2)
Mintalah kepada siswa untuk membuat pertanyaanpertanyaan terhadap hal-hal yang belum dimengerti
3)
Kumpulkan semua pertanyaan dan kelompokkan jenisnya atau yang paling banyak diperlukan siswa
4)
Mulailah pelajaran dengan menjawab dan menjelaskan hal-hal yang mereka tanyakan
c.
Everyone is a teacher here 1)
Bagikan kertas kepada siswa dan mintalah mereka untuk menuliskan pertanyaan tentang hasil belajar dan materi yang harus dikuasai
2)
Kumpulkan kertas-kertas tersebut, kocok dan bagikan kembali kepada siswa secara acak
3)
Undang
sukarelawan
membacakan
untuk
pertanyaan,
maju
ke
serta
depan
dan
memberikan
jawaban/tanggapan atas pertanyan tersebut
d.
4)
Kembangkan diskusi
5)
Klasifikasikan hasil belajar
The power of two 1)
Ajukan
satu
atau
dua
pertanyaan/masalah
yang
membutuhkan perenungan dan pemikiran 2)
Siswa diminta menjawab tertulis secara perorangan
3)
Kelompokkan mereka secara berpasang-pasang (dua-dua)
4)
Mintalah mereka saling menjelaskan dan mendiskusikan jawaban baru
5)
Brainstorming (panel) membandingkan diskusi kecil antar kelompok
6)
Klarifikasikan dan kesimpulan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
243
e.
Information search 1)
Bagikan sumber daya yang akan digunakan sebagai materi pembelajaran (bacaan, text book, handouts, dokumen dll.)
2)
Susunlah sebuah pertanyaan yang jawabannya dapat dicari di sumber daya yang ada
3)
Untuk menumbuhkan persaingan, bagilah siswa dalam kelompok kecil
f.
4)
Presentasikan hasil diskusi
5)
Klarifikasi hasil belajar
Snowballing 1)
Ajukanlah pertanyaan atau permasalahan
2)
Adakan grouping (pengelompokan) yang terdiri atas dua atau tiga orang siswa
3)
Gabungkanlah dua kelompok menjadi satu kelompok baruu
4)
Pada group yang baru ini, mintalah untuk melakukan sharing merumuskan jawaban baru yang disepakati bersama
5) g.
Klarifikasi hasil belajar (guru)
Jigsaw learning 1)
Bagikan semua bahan untuk mencapai kompetensi/hasil belajar secara utuh
2)
Adakan grouping (sesuai hasil belajar yang dipelajari)
3)
Diskusi dan membuat resume hasil belajar secara individu
4)
Grouping, acak dari masing-masing anggota untuk saling menjelaskan dan merumuskan hasil belajar secara utuh
h.
5)
Presentasi hasil belajar
6)
Klarifikasi dan kesimpulan
Debat yang efektif 1)
Kembangkan suatu kasus yang kontroversional dalam suatu topik pembelajaran
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
244
2)
Bagi kelas menjadi dua grup. “pro” dan “kontra”
3)
Minta setiap grup untuk menunjuk wakil mereka : 2-3 orang
4)
Awali debat ini dengan meminta juru bicara untuk mengemukakan pendapatnya secara bergantian
5)
Setelah itu, juru bicara ini akan kembali ke grupnya dan mengatur strategi untuk membuat bantahn grup lainnya
6)
Bilamana dirasa cukup, hentikan debat tersebut dengan tetap menyisakan follow up dari kasus yang diperdebatkan
7) i.
Klarifikasi dan kesimpulan
Card sort 1)
Bagikan kertas yang berisi informasi atau contoh atau langkah-langkah dalam satu kategori tertentu atau lebih
2)
Minta siswa untuk mencari kawan yang memiliki kertas dengan kategori yang sama
3)
Setelah siswa menemukan kawan-kawan dalam satu kategori, minta mereka menjelaskan kategori tersebut ke seluruh kelas
4)
Setelah semua kategori dijelaskan, beri penjelasan tentang hal-hal yang masih dianggap perlu
j.
Synergetic teaching 1)
Bagi kelas menjadi 4 kelompok
2)
Bagi tugas belajar masing-masing kelompok untuk menyelesaikan suatu permasalahan
3)
Kel.
1
mencari
informasi
tentang
pentingnya
permasalahan 4)
Kel. 2 menjelaskan kebijakan / pemecahan saat ini dan alternatif yang diusulkan
5)
Kel. 3 membuat satu usulan kebijakan / pemecahan untuk mengatasi masalah (bisa dukung kelm 2, modifikasi, baru)
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
245
6)
Kel. 4 membuat suatu rencana tindakan pemecahan yang dapat diterima dan dilakukan semua pihak
7)
Pertemukan/gabung masing-masing kelompok dengan anggota kelompok yang lain dan suruh mereka membuat tayangan hasilnya secara utuh yang mereka pelajari
8) k.
Buatlah show case portofolio
Giving question and getting answer 1)
Bagikan dua potongan kertas
2)
Mintalah siswa untuk melengkapi pertanyaan
3)
a)
Kertas 1 : saya masih punya pertanyaan
b)
Kertas 2 : bisa menjawab tentang
Buat kelompok-kelompok kecil dan mintalah mereka untuk memilih pertanyaan dan jawaban yang paling penting
4)
Mintalah masing-masing kelompok untuk melaporkan pertanyaan yang dipilih. Carilah sekiranya ada siswa yang dapat menjawab, jika tidak ada, maka guru harus menjawabnya
5)
Minta masing-masing kelompok untuk jawaban yang dipilih,
kemudian
minta
anggota
kelompoknya
menjelaskan jawaban kelompok kepada kelompok lainnya l.
Tim Pendengar 1)
Bagi kelas menjadi empat kelompok dan berikan tugas
2)
Sampaikan materi anda dengan teknik lecturing, setelah itu beri siswa waktu untuk menyelesaikan tugas
3)
Mintalah
masing-masing
kelompok
untuk
bertanya
menyetujui, menolak, atau memberi contoh sesuai dengan tugasnya
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
246
m.
Point counterpoint 1)
Pilih satu topik yang memiliki dua pandangan atau lebih
2)
Bagi kelas menjadi beberapa kelompok sesuai dengan pandangan yang ada
3)
Pastikan bahwa masing-masing kelompok duduk terpisah
4)
Beri kesempatan salah satu kelompok untuk memulai debat. Setelah itu, undang anggota kelompok lain untuk menyampaikan pandangan yang berbeda
5)
Berilah kesimpulan dengan membandingkan isu-isu yang terlihat
n.
Tim quiz 1)
Pilih topik yang dapat disampaikan dalam tiga segmen.
2)
Bagi siswa menjadi 3 kelompok.
3)
Jelaskan format sessi yang akan disampaikan dan mulai penyampaian materi. Batasi hingga 10 menit.
4)
Intalah tim A untuk membuat quis jawaban ringkas. Sementara tim B dan C mereview catatan mereka.
5)
Tim A memberi pertanyaan pada tim B. Apabila tidak bisa, pertanyaan pindah ke tim C.
6)
Tim A mengajukan pertanyaan ke tim C, apabila tidak bisa, maka pertanyaan pindah ke tim B.
7)
Lanjutkan penyampaian materi segmen ke dua dan tunjuk tim B sebagai pemandu quis.
8)
Setelah tim B selesai, lanjutkan penyampaian materi dan tunjuk tim C sebagai pemandu quis.
o.
Listening team 1)
Overview a)
Aktivitas ini digunakan untuk membantu siswa memfokuskan pembelajaran sejak awal.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
247
b)
Listening teams juga digunakan untuk menciptakan kelompok
kecil
bertanggung
jawab
dalam
pengklarifikasi pembelajaran. 2)
Langkah-langkah : a)
Bagi kelas menjadi 3-4 kelompok dan beri tugas masing-masing.
b)
Sampaikan materi dengan teknik lecturing, dan beri waktu pada siswa agar menyelesaikan tugasnya.
c)
Panggil masing-masing kelompok untuk bertanya, menyetujui, menentang, dan memberi contoh.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
248
BAB X MODEL MENGAJAR DALAM PEMBELAJARAN A.
ARTI MODEL MENGAJAR DALAM PEMBELAJARAN Istilah model sering anda jumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti model baju, model sepatu, model rumah, dan yang lain. Dalam ilmu matematika juga terdapat materi model matematika, yang semuanya adalah bertujuan untuk memvisualisasikan benda peristiwa bisa yang bersifat mikroskopis maupun bersifat makroskopis. Model juga biasa dikenal dengan istilah pola. Model atau pola biasanya digunakan sebagai acuan atau pedoman untuk membuat, merancang, atau melaksanakan sesuatu kegiatan agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar juga diperlukan suatu model agar pelaksanaan dan hasilnya efektif dan efisien. Model ini kita sebut sebagai model pembelajaran. Sebelum anda memahami apa itu model pembelajaran, anda perlu memahami beberapa komponen proses dalam kegiatan belajar mengajar.
B.
KOMPONEN
PROSES
DALAM
KEGIATAN
BELAJAR
MENGAJAR Dalam setiap kegiatan belajar mengajar ada hubungan hirarkis antara komponen proses pembelajaran, yaitu komponen pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik. Hubungan proses tersebut dapat dibagankan seperti Gambar 1.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
249
Gambar 1 menunjukkan bahwa arah panah ke bawah menggambarkan kegiatan semakin operasional atau semakin konkret, sebaliknya semakin ke atas semakin abstrak atau cenderung bersifat teoretik. Semua komponen proses dalam kegiatan belajar mengajar tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1.
Pendekatan Pembelajaran Dalam kegiatan belajar mengajar, pendekatan pembelajaran dapat dimaknai sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses pembelajaran yang sifatnya masih sangat umum. Pendekatan pembelajaran dapat secara teoretis mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran. Misalnya pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa atau biasa dikenal Student Centered Learning (SCL) atau dikenal dengan SCL approach, metode yang digunakan pasti dipilih yang mengarah agar siswa aktif belajar, yang menuntut untuk menggunakan beberapa metode. Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), metode yang digunakan tentu tidak cukup dengan ceramah atau tanya jawab, tetapi perlu metode diskusi atau mungkin dengan demonstrasi. Roy Kallen (1998) mencatat bahwa terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (centered approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student centered approaches). Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran inkuiri dan diskoveri serta pembelajaran induktif.
2.
Strategi Pembelajaran Strategi
menurut
Kemp
(1995)
adalah
suatu
kegiatan
pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efesien. Senada dengan pendapatnya Kemp, Dick and Carey (1985) juga menyebutkan bahwa strategi pembe;ajaran itu adalah sustu perangkat materi dan prosedur
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
250
pembelajaran
yang
digunakan
secara
bersama-sama
untuk
menimbulkan hasil belajar pada peserta didik atau siswa. Upaya mengimplementasikan rencana pembelajaran yang telah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun dapat tercapai secara optimal, maka diperlukan suatu metode yang digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetepkan. Dengan demikian, bisa terjadi suatu strategi pembelajaran menggunakan beberapa metode. Misalnya untuk melaksanakan strategi ekspositori bisa digunakan metode ceramah sekaligus metode tanya jawab atau bahkan diskusi dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia termasuk menggunakan media pembelajaran. Oleh sebab itu, strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjukan pada sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi. Dengan kata lain, strategi adalah a plan of operation achieving somothing, sedangkan metode adalah a way in achieving somothing. Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien (Senjaya, 2008). Seperti pendekatan, strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual, artinya keputusankeputusan yang diambil untuk melaksanakan pembelajaran masih berupa rencana yang belum dapat dioperasikan secara langsung. Misalnya strategi pembelajaran kelompok, strategi pembelajaran individual,
dan
strategi
pembelajaran
induktif,
dan
strategi
pembelajaran deduktif. Dalam implementasinya, strategi masih memerlukan
metode-metode
pembelajaran.
Misalnya
strategi
pembelajaran kelompok, dalam pelaksanaannya mungkin perlu metode diskusi, metode tugas, dan metode eksperimen. 3.
Metode Pembelajaran Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
strategi
pembelajaran
yang
sudah
251
direncanakan atau disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran (Senjaya, 2008). Beberapa metode pembelajaran akan Anda pelajari lebih luas pada modul berikutnya. Dalam mengimplementasikan suatu metode, setiap orang bisa berbeda tergantung pada teknik dan gaya masing-masing orang. Misalnya A berceramah ada yang senang tanpa menggunakan pengeras suara, di lain pihak B lebih suka menggunakan pengeras suara mungkin tidak bisa bicara dengan suara keras maka perlu alat bantu seperti speaker atau yang lain. 4.
Teknik pembelajaran Teknik pembelajaran adalah cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan mengajar dengan metode diskusi untuk jumlah siswa yang sebagian besar aktif berbeda dengan teknik untuk jumlah siswa yang sebagian besar kurang aktif. Begitupula berceramah pada jumlah siswa besar berbeda dengan berceramah pada jumlah siswa yang kecil. Hal ini menggambarkan bahwa dengan metode yang sama, guru bisa menggunakan teknik yang berbeda-beda tergantung pada kondisi siswa, lingkungan, sarana-prasarana, dan yang penting lagi adalah tergantung
pada
menggunakan
kemampuan
teknik
individu
pembelajaran
guru
tertentu.
sendiri Hal
ini
dalam sudah
dicontohkan dalam komponen metode. Untuk itu, coba berdasarkan pengalaman yang udah anda miliki berikan contoh kegiatan pembelajaran dengan metode yang sama bisa dilakukan oleh orang lain dengan cara yang berbeda. 5.
Taktik Pembelajaran Taktik adalah gaya seseorang dalam menggunakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang bersifat individual. Misalnya, dua orang berbeda sama-sama menggunakan metode demonstrasi, penyajiannya bisa dilakukan gaya atau yang berbeda, mungkin yang satu melakukan demonstrasi dengan gaya duduk, sedangkanyang lain
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
252
dengan gaya berdiri. Contoh yang lain, seseorang menggunakan metode ceramah dengan gaya cenderung banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang itu, bahkan ada yang melakukan dengan membaca catatan atau hand-out. Taktik atau gaya pembelajaran setiap guru tersebut akan dipengaruhi oleh kemampuan, pengalaman, dan tipe kepribadiannya. Dengan demikian akan tampak bahwa gaya pembelajaran akan menunjukan keunikan atau kekhasan dari setiap individu, bahkan taktik pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu dan sekaligus sebagai seni atau kiat seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran. Taktik ini biasanya bisa membuat siswa menyukai atau semangat belajarnya menjadi meningkat. Berdasarkan Gambar 6, kita dapat menunjukkan bahwa di dalam model pembelajaran tentu memuat semua komponek proses yang telah dijelaskan, yaitu pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik. Untuk menunjukkan keterkaitan antara komponen proses tersebut dengan model pembelajaran dapat Anda pelajari uraian tentang hakikat model pembelajaran. C.
HAKIKAT MODEL PEMBELAJARAN Pada hakikatnya, model mengajar dalam pembelajaran adalah model yang digunakan oleh guru atau instruktur untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar, yang memuat kegiatan guru dan siswa dengan memperhatikan lingkungan dan sarana prasarana yang tersedia di kelas atau tempat
belajar.
Dan
mengajar
itu
merupakan
kegiatan
untuk
mengimplementasikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dalam RPP biasanya memuat beberapa tujuan pembelajaran dan untuk mencapai tujuan tersebut perlu komponen proses pembelajaran. Model pembelajaran adalah salah satu komponen proses yang memuat komponen-komponen proses lain (pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik). Untuk lebih
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
253
lengkapnya dalam memahami hakikat model pembelajaran, maka berikut ini akan diuraikan mengenai pengertian model pembelajaran dan fungsi model pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar. D.
PENGERTIAN MODEL MENGAJAR DALAM PEMBELAJARAN Model dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) diartikan sebagai pola dari sesuatu yang akan dihasilkan atau dibuat. Secara kaffah model dimaknai sebagai suatu obyek atau konsep yang digunakan untuk merepresentasikan sesuatu hal yang nyata dan dikonversi menjadi sebuah bentuk yang lebih komprehensif (Meyer, 1985). Model mengajar dalam pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Oleh karena itu, anda sebagai calon guru atau instruktur yang sekaligus sebagai perancang dan pelaksana aktivitas pembelajaran harus mampu memahami model-model mengajar dalam pembelajaran dengan baik agar pembelajaran dapat terlaksana dengan efektif dan efisien.
E.
FUNGSI MODEL DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR Banyak model mengajar dalam pembelajaran yang telah ditemukan atau dikembangkan oleh para pakar pendidikan dan pembelajaran. Agar anda dapat menjadi seorang guru yang profesional, pengetahuan tentang model-model pembelajaran harus anda miliki dengan baik. Sebab, model pembelajaran
memiliki
beberapa
fungsi
dalam
kaitannya
untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Secara umum model mengajar dalam pembelajaran berfungsi untuk membantu dan membimbing guru untuk memilih komponen proses dalam pembelajaran teknik, strategi, dan metode pembelajaran agar tujuan pembelajaran tercapai. Seperti telah anda pelajari sebelumnya bahwa model pembelajaran pada dasarnya memuat metode, strategi, teknik, dan taktik pembelajaran. Untuk itu, ketika
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
254
anda menggunakan model pembelajaran tertentu secara otomatis anda akan mengetahui taktik, strategi, dan metode mengajar dalam pembelajaran yang akan anda lakukan. Adapun secara khusus model pembelajaran memiliki beberapa kegunaan dalam menerapkan model mengajar dalam pembelajaran diantaranya, yaitu: 1.
Membantu guru menciptakan perubahan perilaku peserta didik yang diinginkan. Anda telah mengetahui bahwa model mengajar dalam pembelajaran digunakan untuk merealisasikan target pembelajaran atau tujuan pembelajaran dalam RPP dan implementasinya dalam pembelajaran. Bentuk perubahan perilaku yang ditargetkan pada peserta didik sebenarnya termuat dalam rumusan tujuan pembelajaran (ingat rumus tujuan pembelajaran ABCD). Oleh karena itu, model pembelajaran dapat membentuk atau menciptakan tercapainya tujuan pembelajaran atau menciptakan perubahan perilaku pada peserta didik. Perubahan-perubahan perilku tersebut oleh Bloom dan kawankawan dikelompokkan dalam tiga ranah, yaitu: ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Untuk ranah kognitif, misalnya: siswa dapat menulis rumus gaya, siswa dapat menghitung kuat arus listrik, dan lain-lain. Pada ranah afektif, misalnya siswa menjadi kritis, siswa menjadi tanggung jawab, siswa menjadi teliti, dan lainlain. Untuk ranah psikomotorik, misalnya siswa dapat mengukur volume benda, siswa dapat merakit percobaan, siswa dapat mengoperasikan osiloskop, dan lain-lain.
2.
Membantu guru dalam menentukan cara dan sarana untuk menciptakan lingkungan yang sesuai untuk melaksanakan pembelajaran. Ketika anda menetapkan untuk menggunakan model mengajar dalam pembelajaran tertentu, secara otomatis anda harus menentukan cara dan sarana agar tercipta lingkungan seperti yang dihendaki dalam model
pembelajaran
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
yang
anda
pilih.
Misalnya
cara
255
mendemonstrasikan konsep tekanan dengan media atau alat peraga yang diperlukan. Misalnya cara memegang alat, cara menunjukkan konsep-konsep besaran yang ada pada konsep tekanan (gaya dan luas) pada peserta didik. Sarana misalnya, menggunakan benda nyata, visualisasi, atau menggunakan analogi untuk demonstrasi tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penggunaan model pembelajaran
dapat
secara
langsung
membantu
guru
untuk
menentukan cara dan sarana agar tujuan pembelajaran tercapai. 3.
Membantu menciptakan interaksi antara guru dan peserta didik yang diinginkan selama proses pembelajaran berlangsung. Dengan model mengajar dalam pembelajaran, anda dapat mempunyai pedoman untuk berinteraksi dengan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung. Misalnya cara mengkomunikasikan informasi, cara memunculkan masalah, cara menghadapi pertanyaan atau jawaban peserta didik, cara membangkitkan semangat peserta didik dan lain-lain.
4.
Membantu guru dalam mengkonstruk kurikulum, silabus, atau konten dalam suatu pelajaran atau mata kuliah. Dengan
memahami
model-model
mengajar
dalam
pembelajaran, dapat membantu anda untuk mengembangkan dan mengkonstruk kurikulum atau program pembelajaran pada suatu mata pelajaran atau mata kuliah. 5.
Membantu
guru
atau
instruktur
dalam
memilih
materi
pembelajaran yang tepat untuk mengajar yang disiapkan untuk kuliah atau dalam kurikulum. Dengan memahami model mengajar dalam pembelajaran yang baik, anda akan terbantu dalam menganalisis dan menetapkan materi yang dipikirkan sesuai untuk pebelajar. 6.
Membantu guru dalam merancang kegiatan pendidikan atau pembelajaran yang sesuai. Oleh karena dalam model mengajar dalam pembelajaran ada
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
256
sintakmatik atau fase-fase kegiatan belajar mengajar, maka dengan model pembelajaran yang telah anda pilih, anda akan terpandu dalam merancang kegiatan-kegiatan yang akan anda lakukan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. 7.
Memberikan bahan prosedur untuk mengembangkan materi dan sumber belajar yang menarik dan efektif. Dalam setiap model pembelajaran ada sistem pendukung. Dengan sistem pendukung pada model pembelajaran tertentu, anda akan terbimbing untuk mengembangkan materi dan sumber belajar, misalnya membuat handout, modul, diktat, dan lain-lain.
8.
Merangsang
pengembangan
inovasi
pendidikan
atau
pembelajaran baru. Dengan
memahami
dan
menerapkan
model-model
pembelajaran, anda mungkin menemukan beberapa kendala. Jika kendala-kendala yang anda temukan kemudian anda carikan solusinya, maka akan memunculkan ide model atau strategi pembelajaran baru. 9.
Membantu
mengkomunikasikan
informasi
tentang
teori
mengajar. Setiap model mengajar dalam pembelajaran tentu memerlukan teori-teori mengajar berupa pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik.
Oleh
karena
itu,
ketika
anda
menggunakan
model
pembelajaran tertentu secara otomatis anda mengkomunikasikan teori-teori pembelajaran yang ingin anda sampaikan. 10.
Membantu membangun hubungan antara belajar dan mengajar secara empiris. Ketika anda menerapkan model mengajar dalam pembelajaran tertentu, anda akan mengamati aktivitas belajar dan mengajar dalam suatu kegiatan pembelajaran. Dalam proses pembelajaran dengan model pembelajaran tertentu anda dapat terpandu untuk membangun hubungan antara kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar (siswa) dan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
257
kegiatan yang dilakukan oleh pengajar (guru). F.
CIRI-CIRI MODEL MENGAJAR DALAM PEMBELAJARAN Model mengajar dalam pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1.
Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai contoh, model penelitian kelompok disusun oleh Hebert Thelen dan berdasarkan teori John Dewey. Model ini dirancang untuk melatih parsitipasi dalam kelompok secara demokratis.
2.
Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertenu, misalnya model di kelas,
misalnya
model
berfikir
induktif
dirancang
untuk
mengembangkan proses berfikir induktif. 3.
Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas, misalnya model, Synetic dirancang untuk memperbaiki kreativitas dalam pelajaran mengarang.
4.
Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: a.
Urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax).
b.
Adanya prinsip-prinsip reaksi.
c.
Sistem sosial.
d.
Sistem pendukung.
Ke-empat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pmbelajran. 5.
Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak tersebut memiliki:
6.
a.
Dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat diukur..
b.
Dampak pengiring, yaitu hasi belajar jangka panjang.
Membuat persiapan mengajar (desain intruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.
G.
PENDEKATAN
DAN
MODEL
MENGAJAR
DALAM
PEMBELAJARAN Telah dijelaskan diatas, bahwa pendekatan adalah titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
258
pandangan tentang terjadinya suatu proses pembelajaran yang sifatnya masih sangat umum. Pendekatan pembelajaran dapat secara teoretis mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran. Menurut Sanjaya (2008: 127) “Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Intilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum.” Berdasarkan kajian terhadap pendapat ini merupakan langkah awal pembentukan suatu ide dalam memandang suatu masalah atau objek kajian. Pendekatan ini akan menentukan arah pelaksanaan ide tersebut untuk menggambarkan perlakuan yang diterapkan terhadap masalah atau objek kajian yang akan ditangani. 1.
Pendekatan Mengajar dalam Pembelajaran Variabel utama dalam kegiatan pembelajaran adalah guru dan siswa. Tidak akan terjadi kegiatan pembelajaran apabila kedua variabel ini tidak ada. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam pembelajaran secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu pendekatan pembelajaran berorientasi pada guru (Teacher centered approaches) dan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa (student centered approaches). Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Killen, Roy dalam bukunya yang berjudul Effective Teaching
Strategies
(1998)
mengemukakan
bahwa
ada
dua
pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, yaitu: a.
Pendekatan Pembelajaran yang Berorientasi pada Guru (Teacher Centered Approaches) Pendekatan
pembelajaran
berorientasi
pada
guru
yaitu
pembelajaran yang mendapatkan siswa sebagai objek dalam belajar dan kegiatan belajar bersifat klasik. Dalam pendekatan ini guru mendapatkan diri sebagai orang yang serba tahu dan sebagai satu-satunya sumber belajar. Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru memiliki ciri bahwa manajemen dan penggelolahan pembelajaran ditentukan sepenuhnya oleh guru.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
259
Peran siswa pada pendekatan ini hanya melakukan aktifitas sesuai dengan petunjuk guru. Siswa tidak hampir memiliki kesempatan untuk melakukan aktivitas sesuai dengan minat dan keinginannya. Selanjutnya pendidikan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran eksplositori. Pada strategi ini peran guru sangat menentukan baik dalam pemilihan isi atau materi pembelajaran maupun penentuan proses pembelajaran. b.
Pendekatan
Pembelajaran
Beriorentasi
pada
Siswa
(Strudent Centered Approaches) Pendekatan pembelajaran berorienasi pada siswa adalah pendekatan pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek belajar dan kegiatan belajar bersifar modern. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa, manajemen, dan pengelolahannya ditentukan oleh siswa. Pada pendekatan siswa memiliki kesempatan yang terbuka untuk melakukan kreativitas dan mengembangkan potensinya melalui aktivitas secara langsung sesuai dengan minat dan keinginannya. Pendekatan ini, selanjutnya menurunkan strategi pembelajaran discovery dan
inkury
serta
strategi
pembelajaran
induktif,
yaitu
pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada strategi ini peran guru lebih menepatkan diri sebagai fasilitator, pembimbing sehingga kegiatan belajar siswa menjadi lebih terarah. Dalam mengajar, guru harus pandai menggunnakan pendekatan secara arif dan bijaksana,bukan sembarang yang bisa merugikan anak didik. Pandangan guru terhadap anak didik. Pandangan guru terhadap anak didik akan menentukan sikap dan perbuatan. Setiap guru tidak selalu mempunyai pandangan yang sama dalam menilai anak didik. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
yang
guru
ambil
dalam
pengajaran.
Guru
260
merupakan
salah
satu
faktor
penting
dalam
proses
pembelajaran. Bagaimana pun idealnya suatu kurikulum tanpa ditunjang
oleh
kemampuan
guru
untuk
mengimplementasikannya,maka kurikulum itu sebagai suatu alat pendidikan (Getteng, 2009: 8). Guru yang memandang anak didik sebagai pribadi yang berbeda dengan anak didik yang lainnya akan berbeda dengan guru yang memandang anak didik sebagai makhluk yang sama dan tidak ada perbedaan dalam segala hal. Maka adalah penting meluruskan pandangan yang keliru dalam menilai anak didik. Sebaiknya guru memandang anak
didik
sebagai
sebagai
perbedaan,sehingga mudah
individu
dengan
segala
melakukan pendekatan dalam
pengajaran. Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh guru untuk membantu memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar, yaitu: a.
Pendekatan individual Perbedaan individual anak didik tersebut memberikan wawasan kepada guru bahwa strategi pengajaran harus memperhatikan
perbedaan
anak
didik
pada
aspek
individual ini. Dengan kata lain,guru harus melakukan pendekatan individual dalam strategi belajar mengajarnya. Bila tidak,maka strategi belajar tuntas yang menuntut penguasaan penuh kepada anak didik tidak pernah menjadi kenyataan. b.
Pendekatan Kelompok Dengan
pendekatan
kelompok
diharapkan
dapat
ditumbuh-kembangkan rasa sosial yang tinggi pada diri setiap anak didik. Mereka dibina untuk mengendali kan rasa egois yang ada dalam diri mereka masingmasing,sehingga terbina sikap kesetiakawanan sosial di kelas.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
261
c.
Pendekatan Bervariasi Dalam mengajar,guru yang hanya menggunakan satu metode biasanya sukar menciptakan suasana kelas yang kondusif dalam waktu yang relatif lama. Bila terjadi perubahan kelas,sulit menormalkannya kembali. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru bisa saja membagi anak didik ke dalam beberapa kelompok belajar. Tetapi dalam hal
ini,terkadang
diperlukan
juga
pendapat
dan
kemauanan anak didik. Baagaimana keinginan mereka masing-masing. Boleh jadi dalam satu pertemuan ada anak didik yang suka belajar kelompok,tetapi ada juga anak didik yang senang belajar sendiri. Bila hal ini terjadi,maka ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu, belajar dalam kelompok dan belajar sendiri,terlepas dari kelompok tetapi masih berada pada pengawasan dan bimbingan guru. d.
Pendekatan Edukatif Guru yang hanya mengajar di kelas,belum dapat menjamin terbentuknya kepribadian anak didik yang berakhlak mulia.
Demikian juga halnya guru yang
mengambil jarak dengan anak didik. Kerawanan hubungan guru dengan anak didik disebabkan kemunikasi antara guru dengan anak didik kurang berjalan harmonis. Kerawanan hubungan ini menjadi kendala bagi guru untuk melakukan pendekatan edukatif kepada anak didik yang bermasalah (Zain, 2006: 54). Pengajaran efektif bisa dirumuskan
sebagai
pengajaran
yang
berhasil
mewujudkan pembelajaran oleh para murid sebagaimana dikehendaki oleh guru.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
262
2.
Model Mengajar dalam Pembelajaran Sedangkan model mengajar dalam pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa biasannya disusun berdasarkan berbagai prinsip atau teori belajar. para ahli menyusun model pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran, teori-teori psikologis, sosiologis, analisis sistem, atau teori-teori lain yang mendukung (Joyce & Weil, 1980). Joyce & Weil mempelajari model-model mengajar
dalam
pembelajaran
berdasarkan
teori
yang
telah
dikelompokan menjadi empat kelompok rumpun model mengajar dalam pembelajaran, yaitu: a.
Rumpun Model Pemrosesan Informasi (The Information Processing Model Family). Pada dasarnya rumpun Model Pengolahan Informasi menitikberatkan pada dorongan-dorongan internal (dari dalam diri) manusia untuk memahami dunia (sebagai sumber informasi) dengan cara menggali dan mengorganisasikan informasi sebagai data, sehingga pebelajar akan merasakan adanya masalah dan mencarikan cara pemecahannya, dan akan mengembangkan bahasa untuk mengungkapkannya. Beberapa model yang termasuk rumpun Model Pengolahan Informasi adalah: 1)
Model Pencapaian Konsep (Concept Attainment Model)
2)
Model Berpikir Induktif (Inductive Thinking Model)
3)
Model Latihan Penelitian (Inquiry Training Model)
4)
Model Pemandu Awal (Advance Organizers Model)
5)
Model Memorisasi (Memorization Model)
6)
Model Pengembangan Intelek (Developing Intellect Model)
7)
Model Penelitian Ilmiah (Scientific Inquiry Model) Berdasarkan
kriteria
yang
ditentukan
oleh
model
Pengolahan Informasi di atas anda dimungkinkan dapat
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
263
merancang dan mengembangkan suatu model pembelajaran melalui kegiatan penelitian dan pengembangan. Dengan demikian, anda akan menambah jumlah kelompok model ini dan jumlah kelompok model ini tidak hanya tujuh, tetapi menjadi delapan, sembilan, dan seterusnya. Selain itu, anda juga dapat mengembangkan model pembelajaran dengan cara menggabungkan beberapa model pembelajaran yang sudah ada sesuai dengan target dan kondisi yang ada dalam kelas anda.. b.
Rumpun Model Personal (The Personal Model Family) Rumpun Model Personal dikembangkan berdasarkan pandangan tentang ‘kedirian’ (selfhood) dari individu. Dimana hal ini menuntut siswa untuk aktif dalam memilih dan mengebangkan materi yang ingin dipelajari. Setiap proses pendidikan diupayakan agar memungkinkan seseorang dapat memahami diri sendiri dengan baik, sanggup memikul tanggung jawab untuk pendidikan dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Beberapa model pembelajaran yang termasuk rumpun Model Personal ada empat, yaitu: 1)
Model
Pembelajaran
Tanpa
Arahan
(Non-Directive
Teaching) Model Pembelajaran Tanpa Atarahan (Non-Directive Teaching) dikembangkan berdasarkan karya Carl Rogers (Joyce & Weil, 2004), yang menyatakan bahwa terapi dapat dipandang sebagai suatu model belajar untuk pendidikan. Dia meyakini bahwa hubungan antar manusia yang positif dapat menjadikan manusia itu tumbuh. Oleh karena itu, pembelajaran seharusnya didasarkan pada konsep
hubungan
matapelajaran,
manusia
proses
berpikir
bukan atau
pada
konsep
sumber-sumber
intektual lain.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
264
2)
Model Sinektik (Synectic Model) Model Sinektik (Synectic Model) merupakan model pembelajaran yang dirancang untuk mengembangkan kreativitas
pebelajar.
Model
ini
dikembangkan
berdasarkan hasil kerja William J. J. Gordon dan kawankawannya (Joyce & Weil, 2000). Gordon mendasarkan sinektik pada empat ide yang menentang pandangan kreativitas konvensional. Pertama, kreativitas penting dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, proses kreatif tidak semuanya misterius. Ketiga, penemuan kreatif (creative invention) untuk semua bidang adalah mirip (similar), yaitu menggunakan metode ilmiah. Keempat, Gordon berasumsi bahwa penemuan individu atau kelompok (creative thinking) dapat membangkitkan ide-ide dan memproduk pandangan yang sama. 3)
Model Latihan Kesadaran (Awarness Training Model) Model Latihan Kesadaran (Awarness Training Model) dikembangkan berdasarkan hasil kerja Fritz Perls William Schutz (Joyce & Weil, 2000). Metode Schutz tentang pertemuan dan latihan kesadaran dirancang untuk membantu individu mengenali perasaan mereka dan cara berprilaku yang berhubungan dengan inklusi, kontrol, dan kasih sayang. Untuk membantu mereka mengatasi masalah mereka sendiri tentang perkembangan dan partisipasinya dalam kelompok sosial dalam kaitannya dengan kebutuhan dasar, terutama untuk meningkatkan kesadaran, mengalami mengatakan yang sebenarnya, dan memahami tentang tanggung jawab diri dan pilihan. Jadi model latihan kesadaran ini dapat dikatakan untuk meningkatkan
kesadaran
manusia
dan
bertujuan
membentuk kemampuan individu untuk menjajagi dan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
265
menyadari pemahaman tentang dirinya sendiri. 4)
Model Pertemuan Kelas (Classroom Meeting Model) Model Pertemuan Kelas (Classroom Meeting Model) dikembangkan berdasarkan hasil kerja William Glasser (Joyce & Weil, 2004). Glasser menyatakan bahwa hampir semua masalah manusia adalah kegagalannya tentang pemfungsian sosial yang didasarkan pada keyakinannya bahwa setiap manusia mempunyai dua kebutuhan dasar, yaitu cinta (love) dan harga diri (self-worth). Individu mempunyai masalah karena dia telah gagal untuk memuaskan kebutuhan dasarnya untuk cinta dan harga diri. Oleh karena itu, terapi atau bantuan harus disambungkan melalui suatu medium sosial seperti melalui kelompok. Glasser menerapkan prinsip-prinsip itu melalui
mekanisme
pertemuan
kelas
(Classroom
Meeting), pada periode waktu 30 sampai 45 menit ketika pebelajar dan pembelajar berada dalam kegiatan belajar mengajar (pembelajaran berlangsung), untuk terlibat dalam berpikir atau berpandangan secara terbuka, tidak menghakimi diskusi tentang masalah (pribadi, perilaku, atau akademik) yang menjadi kepedulian mereka dalam upaya untuk mencari solusi secara bersama. c.
Rumpun Model Sosial (The Social Family) Model-model pembelajaran yang termasuk dalam rumpun Model Sosial ini menekankan pada hubungan antara individu dengan masyarakat atau antara individu dengan orang lain. Model-model ini memfokuskan pada proses bahwa realitas adalah negosiasi sosial. Model-model pembelajaran dalam kelompok
ini
memberikan
prioritas
pada
peningkatan
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain, untuk meningkatkan proses demokratis, dan untuk belajar dalam
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
266
masyarakat secara produktif. Model-model pembelajaran yang termasuk dalam rumpun Model Sosial adalah: 1)
Model kerja kelompok (Group Investigation Model) Model kerja kelompok (Group Investigation Model) dikembangkan berdasarkan teori John Dewey dan Herbert Thelen (Joyce & Weil, 2000). Dewey menyatakan bahwa di dalam sekolah terorganisir sebagai suatu demokrasi miniatur.
Pembelajar
(siswa)
berpartisipasi
dalam
pengembangan sistem sosial dan melalui pengalaman, berangsur-angsur belajar cara menerapkan metode ilmiah untuk meningkatkan menjadi manusia sosial. Model kerja kelompok dari Thelen merupakan model pembelajaran yang mengkombinasikan bentuk dan dinamika strategi pembelajaran tentang proses demokrasi dengan proses penemuan akademik (academic inquiry). Jadi model kerja kelompok merupakan model yang dapat mengembangkan keterampilan untuk berperan dalam kelompok yang menekankan pada keterampilan komunikasi interpersonal dan
keterampilan
inkuari
ilmiah.
Aspek-aspek
pengembangan pribadi merupakan hal yang penting dari model ini. 2)
Model Inkuari Sosial (Social Inquiry Model) Model
Inkuari
Sosial
(Social
Inquiry
Model)
dikembangkan berdasarkan kajian Byron Massialas dan Benyamin Cox (Joyce & Weil, 2000). Ada tiga karakteristik penting dari kelas reflektif yang dieksplorasi oleh Massialas dan Cox. Mereka menekankan pertama bahwa aspek sosial kelas sangat penting, dan iklim diskusi terbuka diperlukan. "Semua titik pandang dan pernyataan dikumpulkan dan diterima sebagai proposisi yang layak untuk pengujian”. Karakteristik kedua dari kelas reflektif
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
267
adalah ditekankan pada hipotesis sebagai fokus inkuari. Pengetahuan (knowledge) dipandang sebagai hipotesis yang diuji dan dites secara kontinu. Aspek ketiga yang membedakan kelas reflektif adalah penggunaan fakta sebagai bukti kelas diakui sebagai tempat penyelidikan ilmiah. “Di dalam kelas, vasilidas dan reliabilitas fakta dianggap sekaligus sebagai pengujian hipotesis. Hal ini merupakan validasi fakta yang diberikan pertimbangan paling besar. Massialas dan Cox menjelaskan fase-fase untuk melakukan penelitian atau penyelidikan di kelas Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Fase-fase tersebut meliputi; orientasi (orientation), hipotesis (hypothesis), definisi (definition), eksplorasi (exploration), pembuktian (evidencing), dan generalisasi (generalization). 3)
Model Jurisprudensial (Jurisprudential Model) Model
Jurisprudensial
(Jurisprudential
Model)
dikembangkan oleh Donald Oliver dan James P. Shaver (Joyce & Weil, 2000). Mereka menciptakan Model Inkuari Jurisprudential adalah untuk membantu pebelajar belajar
berpikir
secara
sistematik
tentang
isu-isu
kontemporer. Model ini didasarkan pada konsepsi tentang masyarakat di mana orang berbeda dalam pandangan dan prioritas dan di mana nilai-nilai sosial bertentangan satu dengan yang lain. Untuk mengatasi isu-isu kontroversial yang kompleks dalam konteks tatanan sosial yang produktif membutuhkan warga negara yang dapat berbicara satu sama lain dan berhasil menegoisasikan perbedaan-perbedaan diantara mereka. 4)
Model Bermain peran (Role playing Model) Model
Bermaian
peran
(Role
playing
Model)
dikembangkan oleh Fannie dan George Shaftel dan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
268
dipadukan dengan ide Mark Chesler dan Robert Fox (Joyce & Weil, 2000). Bermain peran sebagai model pembelajaran
memiliki
dua
akar
dalam
dimensi
pendidikan berupa pribadi dan sosial. Model ini berupaya untuk membantu individu menemukan makna pribadi dalam dunia sosial dan memecahkan dilema pribadi dengan bantuan kelompok sosial. Dalam dimensi sosial, memungkinkan individu untuk bekerja sama dalam menganalisis
situasi
sosial,
terutama
masalah
interpersonal, dan dalam mengembangkan cara yang layak dan demokratis untuk mengatasi situasi ini. Model ini dikelompokkan dalam “Kelompok Model Sosial” karena kelompok
sosial
berperan
sangat
penting
dalam
pengembangan manusia dan karena kesempatan yang unik bahwa bermain peran menawarkan untuk menyelesaikan dilema antarpribadi dan sosial. 5)
Model Simulasi Sosial (Social Simulation Model) Model Simulasi Sosial (Social Simulation Model). Simulasi ini telah diterapkan dalam pendidikan beberapa puluh tahun yang lalu. Tokoh yang mempelopori simulasi adalah Serene Boocock dan Harold Guetzkow (Joyce & Weil, 2000). Model ini bukan asli dari bidang pendidikan, tetapi merupakan aplikasi dari prinsip cybernetics, yaitu suatu cabang dari psikologi. Ahli Psikologi cybernetic membuat
analogi
antara
manusia
dengan
mesin,
memaknai pebelajar (siswa) sebagai sistem yang dapat mengendalikan umpan balik sendiri (a self-regulating feedback system). Sistem kendali umpan balik ini, baik pada manusia maupun mesin (seperti komputer) memiliki tiga fungsi, yaitu: a)
Menghasilkan gerakan atau tindakan sistem terhadap
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
269
target yang diinginkan (untuk mencapai tujuan tertentu sesuai yang diinginkan). b)
Membandingkan dampak dari tindakan tersebut apakah sesuai atau tidak dengan jalur atau rencana yang seharusnya (mendeteksi kesalahan).
c)
Memanfaatkan
kesalahan
untuk
mengarahkan
kembali ke jalur yang seharusnya. d.
Rumpun Model Sistem Perilaku (The Behavioral System Family) Rumpun model mengajar dalam pembelajaran Sistem Prilaku ini didasarkan pada the body of knowledge yang kita sebut teori prilaku (behavior theory). Istilah-istilah lain seperti teori belajar, teori belajar sosial, modifikasi perilaku, atau perilaku terapi digunakan oleh para ahli yang merujuk pada setiap model dalam kelompok ini. Pada dasarnya model-model pelajaran rumpun ini mementingkan penciptaan lingkungan belajar yang memungkinkan memanipulasi penguatan perilaku secara efektif sehingga terbentuk pola perilaku pebelajar yang dikehendaki.
Adapun
yang
termasuk
rumpun
model
pembelajaran prilaku adalah: 1)
Model
Manajemen
dari
Akibat
Hasil
Perlakuan
Akibat
Hasil
Perlakuan
(Contingency Management Model
Manajemen
dari
(Contingency Management). Prinsip yang digunakan dalam model ini adalah pengondisian operan (Operant Conditioning). Menurut para ahli teori prilaku, prilaku manusia dapat dipersepsikan sebagai suatu fungsi dari lingkungan terdekat, khususnya untuk memunculkan dan menguatkan rangsangan (stimulus). Ciri pokok dari model ini adalah hubungan antara respon dan penguatan rangsangan (stimuli). Apabila penguatan diberikan jika
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
270
dan hanya jika respon itu muncul, maka penguatan itu merupakan contingent. Jadi Contingency Management adalah kontrol sistemik penguatan rangsangan yang disajikan pada waktu-waktu yang dipilih dan setelah respon yang diinginkan diberikan. 2)
Model Kontrol Diri (Self Control Model) Model Kontrol Diri (Self-Control Model). Seperti halnya model Contingency Management, model kontrol diri juga menggunakan prinsip Operant Conditioning, terutama pada kontrol stimulus dan penguatan positif. Namun demikian, aspek dari model ini secara total ada di tangan peserta. Alasan utama berpindah ke model pengendalian diri adalah banyak prilaku yang lingkungan tidak memberikan nilai dan waktu, yang sebenarnya individu membutuhkan mereka untuk mengembangkan prilaku baru. Misalnya, belajar, berolah raga, berlatih piano, dan prilaku sosial yang mengarah pada anggota lawan jenis. Akibatnya, penting bagi seseorang memiliki cara untuk menghadiahi dirinya sendiri. Masalah kontrol diri hampir selalu melibatkan orang lain dengan kepuasan positif jangka pendek dan akibat negatif untuk jangka panjang. Misalnya perokok, jangan merasa efek potensial jangka sejelas yang mereka alami untuk keputusan jangka pendek lebih dari hanya sebatang rokok. Membuat orang menyadari efek respon jangka pendek dan jangka panjang yang memelihara perilaku mereka adalah langkah pertama untuk membantu mereka dalam memilih penguatan baru.
3)
Model Releksasi (Relaxation Model) Model Pengurangan Stres dan Model Relaksasi (Stress Reduction Model and Relaxation Model). Model ini merupakan suatu prosedur dasar untuk mengurangi
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
271
kecemasan. Kita percaya bahwa stres tidak hanya sebuah fenomena untuk orang dewasa dan kontrol stres tidak "untuk orang dewasa saja". Bahkan, beberapa tahapan yang paling stres dalam siklus hidup terjadi selama masa kanak-kanak dan anak muda, terutama remaja. Kita menekankan bahwa kegiatan-kegiatan reduksi stres adalah bagian dari kebiasaan sehari-hari setiap orang. Ada teknik-teknik tentang reduksi stres yang tidak melibatkan sejumlah waktu yang dapat diapresiasi dan ada bentuk relaksasi yang lebih dikembangkan yang disebut sebagai suatu model pembelajaran. Tipe relaksasi didasarkan pada metode
disebut
Sebaliknya,
sebagai
teknik-teknik
moving untuk
focus
relaxation.
menegangkan
otot
sebelum merelaksasikan mereka, moving focus tidak memerlukan penegangan, secar sederhana a letting-go and relaxing. Akhir dari model dengan penegangan dan relaks otot masih ada tegangan pengurangan. Robet Decker (Joyce & Weil, 2000) menyatakan bahwa orang tidak perlu menegangkan ototnya untuk mencapai suatu keadaan relaks. 4)
Model Desensitization Model Desensitization adalah salah satu model sistem prilaku yang betujuan untuk menggantikan kecemasan dengan rileksasi. Beberapa orang mengalami cemas dalam beberapa tugas atau situasi, dan pada saat-saat cemas beberapa cukup untuk mencegah prilaku pemecahan masalah yang efektif. Cemas yang akut akan merintangi performansi efektif dalam tugas-tugas seseorang, seperti mengikuti
tes,
dan
situasi
sosial
umum
seperti
mengekspresikan ketidaksetujuan sesorang dengan ide orang lain. Menurut aliran terapi prilaku tentang psikologi
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
272
klinis, semua prosedur umum yang berhubungan langsung dengan stres disebut desensilitasi (desentilization). 5)
Model Latihan atau Tugas (Assertive Training Model) Model latihan (Training Model), model ini digunakan untuk merancang, demonstrasi, praktek, dan umpan balik. Ada empat aliran yang mendasari pemikiran model ini, yaitu: psikologi training (training psychology), psikologi sibernetik (cybernetic psychology), analisis sistem (system analysis), dan psikologi prilaku (behavior psychology). Semua aliran ini berpendapat bahwa orang dapat dideskripsikan berdasarkan perilakunya yang muncul, setiap usaha untuk mengubah perilaku individu yang tampak bekaitan dengan suatu domain pemfungsian khusus, seperti memecahkan masalah fisika, memecahkan masalah matematika, membaca, menulis, mengajar, dan yang lain. Setiap aliran menggunakan pendekatan tugas untuk merancang program training dari ide awal yang berbeda, berfokus pada aspek proses training yang berbeda, dan menekankan perbedaan ciri-ciri dari program perubahan prilaku. Psikologi training berfokus pada kegiatan-kegiatan orang yang menunjukkan fungsi-fungsi yang perlu untuk diekskusi dengan ketepatan yang dapat dipertimbangkan dan harus dihubungkan secara tepat dengan yang lain. Psikologi sibernetik didasarkan pada konseptualisasi manusia dalam istilah-istilah pada mesin. Manusia disamakan dengan mesin listrik, “cybernetic system” yang menggunakan proses-proses umpan balik panca indra untuk mengontrol dan memodifikasi prilakunya sendiri. Desain sistem berhubungan erat dengan psikologi training dan sibernetik yang disebut dengan pengembangan sistem
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
273
(system development). Para perencana psikologis, militer, industri, pendidikan dan perancang alat menyadari bahwa setiap prilaku manusia beroperasi sebagai bagian dari sistem organisasi. Sistem ini tidak hanya meliputi manusia yang berprilaku, tetapi juga organisasi yang merupakan bagiannya, mesin dan sistem komunikasi yang membuat organisasi itu, caracara pribadi disebarkan, dan jenis-jenis training yang digunakan. Esensi dari analisis sistem adalah pembuatan suatu model untuk menjelaskan suatu keseluruhan organisasi. Dalam merencanakan perencanaan sistem yang pertama adalah mengembangkan identifikasi umum sistem dan sub-sistem dan fungsinya, dan membangun secara rinci sistem itu, meliputi spesifikasi pada jenisjenis khusus sistem manusia-mesin (man-machine system) untuk berfungsi dengan sistem yang lebih besar. Hasil kerja keempat yang melandasi masalah training adalah teknik-teknik pemodelan para ahli psikologi prilaku. Ciri pokok dari pemodelan ini adalah pengungkapan traini untuk hidup atau demonstrasi simbolik prilaku baru dan praktik
prilaku-prilakunya
dengan
bimbingan
dari
instruktur. Meskipun kajian ini telah menunjukkan bahwa observasi
sendiri
sedikit
bermanfaat
dalam
mengembangkan prilaku-prilaku baru, yang paling efektif adalah pemodelan (demonstrasi) dengan informasi dan praktek. Tiga model pertama (1 sampai 3) utamanya menggunakan prinsip operant conditioning, sedangkan tiga model terakhir didasarkan pada prinsip counter-conditioning. Tokoh yang berprinsip pada teori operant conditioning adalah Skinner, sedangkan tokoh yang berprinsip pada
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
274
counter-conditioning adalah Wolpe (Joyce & Weil, 2000). Prinsip operant conditioning menekankan pada peranan penguatan
(reinforcement)
(reward)
dan
hukuman
khususnya
pada
(punishment).
hadiah Counter-
conditioning menekankan pada prosedur untuk mengganti respon adaftif (adaptive) pada respon tidak adaptif (maladaptive). Misalnya mengetuk-ngetuk meja dengan satu jari digantikan dengan menggigit kuku.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
275
BAB XI PEMBELAJARAN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM A.
PENGERTIAN PENGEMBANGAN KURIKULUM Dalam kamus bahasa Indonesia kata ”pengembangan” secara etimologi yaitu berarti proses/cara, perbuatan mengembangkan. Secara istilah,
kata
pengembangan
menunjukkan
pada
suatu
kegiatan
menghasilkan suatu alat atau cara yang baru, dimana selama kegiatan tersebut penilaian dan penyempurnaan terhadap alat atau cara tersebut terus dilakukan.
Bila
setelah
mengalami
penyempurnaan-penyempurnaan
akhirnya alat atau cara tersebut dipandang cukup mantap untuk digunakan seterusnya, maka berakhirlah kegiatan pengembangan tersebut. Pengertian pengembangan di atas, berlaku pula dalam bidang kajian “kurikulum”, kegiatan pengembangan kurikulum mencakup penyusunan kurikulum itu sendiri, pelaksanaan di sekolah-sekolah yang disertai dengan penilaian
yang
intensif,
dan
penyempurnaan-penyempurnaan
yang
dilakukan terhadap komponen-komponen tertentu dari kurikulum tersebut atas dasar hasil penilaian. Bila kurikulum itu sudah cukup dianggap mantap, setelah mengalami penilaian dan penyempurnaan, maka berakhirlah tugas pengembangan kurikulum tersebut untuk kemudian dilanjutkan dengan tugas pembinaan. Hal ini berlaku pula untuk setiap komponen kurikulum, misalnya pengembangan metode mengajar, pengembangan alat pelajaran dan sebagainya. Ahmad
dan
kawan-kawannya
dalam
buku
”Pengembangan
Kurikulum” yang mengatakan bahwa pengembangan kurikulum merupakan suatu proses merencanakan, menghasilkan suatu alat yang lebih baik yang didasarkan dengan hasil penialaian terhadap kurikulum yang telah berlaku, sehingga dapat memberikan kondisi belajar mengajar yang lebih baik. Dengan kata lain, pengembangan kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode waktu
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
276
tertentu. Kedua pendapat di atas apabila dikalsifikasi meliputi beberapa unsur: 1)
Perencanaan
2)
Penyusunan
3)
Pelaksanaan
4)
Penilaian
5)
Usaha penyempurnaan Berpijak pada unsur-unsur ini, dapatlah peneliti simpulkan bahwa
pengembangan kurikulum adalah suatu proses perencanaan dan penyusunan kurikulum sekolah, kemudian diaplikasikannya ke dalam kelas sebagai wujud proses belajar mengajar disertai dengan penilaian-penilaian terhadap kegiatan tersebut, sebagai langkah penyempurnaan sehingga memperoleh hasil yang lebih baik dan bagus. Pengembangan kurikulum suatu proses siklus, yang tidak pernah ada starting dan tidak pernah berakhir. Hal ini desebabkan pengembangan kurikulum itu merupakan suatu proses yang tertumpu pada unsur-unsur dalam kurikulum, yang di dalamnya meliputi tujuan, isi (materi), metode, organisasi dan penilaian itu sendiri. B.
KURIKULUM DAN LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM Dalam Pengembangan kurikulum, banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum mengambil suatu keputusan. Apapun jenis kurikulumnya pasti memerlukan asas-asas yang harus dipegang. Asas-asas tersebut cukup kompleks dan tidak jarang memiliki hal-hal yang bertentangan, karenanya harus melakukan seleksi. Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
277
Pengembangan kurikulum mengacu pada tiga unsur, yaitu: (1) nilai dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya; (2) fakta emperik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum, baik berdasarkan penilaian kurikulum, studi, maupun survei lainnya; dan (3) landasan teori yang menjadi arahan pengembangan dan kerangka penyorotnya. Pengembangan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Kalau landasan pembuatan sebuah gedung tidak kokoh yang akan ambruk adalah gedung tersebut, tetapi kalau landasan pendidikan, khususnya kurikulum yang lemah, yang akan ambruk adalah manusianya. Untuk itu dalam pengembangan kurikulum ada Landasan dalam mengembangkan kurikulum. Masing-masing landasan sangat berperan dalam langkah pengembangan kurikulum. 1.
Landasan Filosofi Filsafat boleh juga didefinisikan sebagai sebuah studi tentang: hakikat realitas, hakikat ilmu pengetahuan, hakikat sistem nilai, hakikat nilai kebaikan, hakikat keindahan, dan hakikat pikiran. Landasan filosofis pengembangan kurikulum di Indonesia secara cepat dan tepat kita dipastikan, yakni nilai dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya yakni Pancasila. Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang di interaksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana
proses
interaksi
pendidikan
tersebut,
merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis. Filsafat pada dasarnya adalah suatu pandangan hidup yang ada pada setiap orang. Dengan kata lain bahwa setiap orang mempunyai filsafat dalam arti pandangan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
278
hidup pada dirinya. Berkenaan dengan pendidikan, setiap orang mempunyai pandangan tertentu mengenai pendidikan. Berdasarkan pandangan hidup manusia itulah tujuan kurikulum dirumuskan. Walaupun pemikiran filosofis ini dikenal dengan sebutan yang berbeda, dan dalam sekolah juga terdapat falsafah pendidikan, pada umumnya
terdapat
empat
falsafah
yaitu,
rekonstruksisme,
penerialisme, esensialisme, dan proresivisme. Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model
Kurikulum
progresivisme
Subjek-Akademis.
memberikan
dasar
bagi
Sedangkan,
filsafat
pengembangan
Model
Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak
diterapkan
dalam
pengembangan
Model
Kurikulum
Interaksional. Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara elektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati, di bawah ini diuraikan tentang isi dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum. a.
Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
279
universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu. b.
Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c.
Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
d.
Progresivisme
menekankan
pada
pentingnya
melayani
perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif. e.
Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan
individual
seperti
pada
progresivisme,
rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses. 2.
Landasan Psikologi Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
280
pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji
tentang
hakekat
perkembangan,
aspek-aspek
perkembangan, perkembangan,
pentahapan tugas-tugas
perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya
dapat
dijadikan
sebagai
bahan
pertimbangan
sekaligus mendasari pengembangan kurikulum. Di antara cabang-cabang psikologi yang paling penting diperhatikan bagi landasan pengembangan kurikulum adalah psikologi perkembangan, dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam penetapan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan
kedalaman
bahan
pelajaran
sesuai
dengan
taraf
perkembangaan anak. Psikologi belajar digunakan sebagai landasan dalam menscreen tujuan pembelajaran umum/standar kompetensi/SK (tentative general objective) yang sudah dirumuskan untuk merumuskan precise education (kompetensi dasar/KD), dan menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar yang akan dirumuskan dalam kurikulum. Sedangkan psikologi perkembangan
lebih
berperan
dalam
pengorganisasian
pengalaman-pengalaman belajar, yaitu pada tingkat pendidikan mana atau pada kelas berapa suatu pengalaman belajar tertentu harus diberikan karena harus sesuai dengan perkembangan jiwa
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
281
anak. Pada dasarnya dua landasan psikologi tersebut sangat diperlukan dalam pengebangan kurikulum yaitu pada langkah merumuskan
tujuan
pembelajaran,
menyeleksi
serta
mengorganisasi pengalaman belajar. 3.
Landasan Sosiologi Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai gejala sosial hubungan antara individu dengan individu, antar golongan, lembaga sosial yang disebut juga ilmu masyarakat. Di dalam kehidupan sehari-hari anak selalu bergaul dengan lingkungan atau dunia sekitar. Dunia sekitar merupakan lingkungan hidup bagi manusia. Jadi sosiologi mempelajari bagaimana manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan bagaimana susunan unit-unit masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain. Dengan kata lain sosiologi berkaitan dengan aspek sosial atau masyarakat. Kurikulum
dapat
dipandang
sebagai
suatu
rancangan
pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita ketahui bahwa pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan,
tetapi
memberikan
bekal
pengetahuan,
keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan bagi kehidupan dalam masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya, menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dalam merumuskan tujuan kurikulum harus memahami tiga sumber kurikulum yaitu siswa (student), masyarakat
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
282
(society),
dan
konten
(content).
Sumber
siswa
lebih
menekankan pada kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan siswa pada
tingkat
pendidikan
tertentu
yang
sesuai
dengan
perkembangan jiwa atau usianya. Sumber masyarakat lebih melihat kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, sedangkan sumber konten adalah berhubungan
dengan
konten
kurikulum
yang
akan
dikembangkan pada tingkat pendidikan yang sesuai. Dengan kata lain landasan sosiologi digunakan dalam pengembangan kurikulum dalam merumuskan tujuan pembelajaran dengan memperhatikan sumber masyarakat (society source) agar kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. 4.
Landasan Sosial-Budaya-Agama. Nilai-nilai
keagamaan
berhubungan
erat
dengan
kepercayaan masyarakat terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang mereka anut. Nilai sosial budaya masyarakat bersumber pada hasil karya budi manusia, sehingga dalam menerima , menyebarluaskan, manusia
melestarikan,
menggunakan
dan
akalnya.
atau
melepaskannya
Untuk
melaksanakan
penerimaan, penyebarluasan, pelestarian, atau penolakan dan pelepasan nilai-nilai sosial-budaya-agama, maka masyarakat memanfaatkan pendidikan yang dirancang melalui kurikulum. 5.
Landasan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni. Nana Sy. Sukmadinata (1988:82) mengemukakan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung akan menjadi isi/materi pendidikan. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
283
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu,
kurikulum
seyogyanya
dapat
mengakomodir
dan
mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia. 6.
Landasan Kebutuhan Masyarakat. Adanya falsafah hidup, perubahan sosial budaya agama, perubahan iptek dalam suatu masyarakat akan merubah pola kebutuhan
masyarakat.
Sehingga
salah
satu
landasan
pengembangan kurikulum adalah kebutuhan masyarakat yang dilayani melalui kurikulum yang dikembangkan. 7.
Landasan Perkembangan Masyarakat. Salah sau ciri dari masyarakat adalah selalu berkembang. Mungkin pada masyarakat tertentu perkembangan sangat lambat, tetapi masyarakat lainnya cepat bahkan sangat cepat (Nana Sy. Sukmadinata, 1988 : 66). Proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan rancangannya
berupa
kurikulum
yang
landasan
pengembangannya berupa perkembangan masyarakat itu sendiri. C.
KOMPONEN KURIKULUM Herrick mengemukakan 4 elemen yakni: tujuan (objectives), mata pelajaran
(subject
matter),
metode
dan
organisasi
(method
and
organization), dan evaluasi (evaluations). 1.
Tujuan. Tujuan sebagai sebuah komponen kurikulum merupakan kekuatan-kekuatan fundamental yang peka sekali, karena hasil kurikuler yang diinginkan tidak hanya sangat mempengaruhi bentuk
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
284
kurikulum, tetapi memberikan arah dan fokus untuk seluruh program pendidikan. 2.
Materi/pengalaman belajar. Kurikulum pendidikan formal adalah memilih dan menyususn isi (komponen kedua dari kurikulum) supaya keinginan tujuan kurikulum dapat dicapai dengan cara paling efektif dan supaya pengetahuan paling penting yang diinginkan pada jalurnya dapat disajkan secara efektif. Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk: a.
Teori: seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan-hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
b.
Konsep: suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan,
merupakan
definisi
singkat
dari
sekelompok fakta atau gejala. c.
Generalisasi: kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
d.
Prinsip: yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
e.
Prosedur: yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik
f.
Fakta: sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
285
g.
Istilah: kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
h.
Contoh/ilustrasi: yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
i.
Definisi: yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
j.
Preposisi: yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
3.
Organisasi Kurikulum. Jika kurikulum merupakan suatu rencana untuk belajar maka isi dan pengalaman belajar membutuhkan pengorganisasian sedemikian rupa sehingga berguna bagi tujuan-tujuan pendidikan. Beragamnya kurikulum
pandangan
memunculkan
yang
mendasari
terjadinya
pengembangan
keragaman
dalam
mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu: a.
Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
b.
Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk
mengurangi
kelemahan-kelemahan
sebagai
akibat
pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu. c.
Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan)
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
286
dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan
“core
subject”,
dan
mata
pelajaran
lainnya
dikorelasikan dengan core tersebut. d.
Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatankegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
e.
Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
f.
Ecletic
Program,
yaitu
suatu
program
yang
mencari
keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik. 4.
Evaluasi. Evaluasi ditujukan untuk melakukan evaluasi terhadap belajar siswa (hasil dan proses) maupun keefektifan kurikulum dan pembelajaran. Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian
terbatas,
evaluasi
kurikulum
dimaksudkan
untuk
memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
287
D.
PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM Kurikulum merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang dicetuskan dan ditetapkan oleh sekolah secara dinamis dan progresif. Hal ini berarti, bahwa kurikulum harus selalu dikembangkan dan disempurnakan agar sesuai dengan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta masyarakat yang sedang membangun. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum harus mengacu dan berdasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar hasil pengembangan kurikulum tersebut sesuai dengan minat, bakat, kebutuhan peserta didik, lingkungan, dan kebutuhan daerah, serta kebutuhan bangsa itu sendiri, sehingga terwujudlah tujuan dan cita-cita kita bersama, mulai tingakat yang mendasar sampai pada skala nasional. Ada beberapa prinsip pengembangan kurikulum secara umum yang perlu dibahas terlebih dahulu sebelum mengakaji prinsip pengembangan secara khusus, sebagai berikut : 1.
Prinsip Relevansi Relevansi mempunyai kedekatan hubungan sesuatu dengan apa yang terjadi. Apabila dikaitkan dengan pendidikan, berarti perlunya kesesuaian antara program pendidikan dengan tuntutan kehidupan masyarakat. Pendidikan dikatakan relevan bila hasil yang diperoleh akan berguna bagi kehidupan seseorang. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki dalam program kurikulum : a.
Relevansi keluar, yaitu : Ø
Kesesuaian atas keserasian antara pendidikan dengan lingkungan hidup siswa
Ø
Kesesuaian antara pendidikan dengan kehidupan anak didik disaat sekarang dan yang akan datang.
Ø
Kesesuaian antara pendidikan dengan tuntutan dunia kerjanya bagi siswa.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
288
Ø
Kesesuaian antara pendidikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b.
Relevansi ke dalam, yaitu : Kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam yaitu ada kesesuaian
atau
konsistensi
antara
komponen-komponen
kurikulum. yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian.
Relevansi
internal
ini
menunjukkan
suatu
keterpaduan kurikulum. 2.
Prinsip Fleksibelitas Fleksibelitas berarti tidak kaku, dan ada semacam ruang gerak yang memberikan kebebasan dalam bertindak. Di dalam kurikulum, fleksibelitas dapat di bagi menjadi dua macam, yakni: a.
Fleksibelitas dalam memilih program pendidikan. Fleksibelitas di sini maksudnya adalah bentuk pengadaan program-program pilihan yang dapat berbentuk jurusan, program spesialisasi, ataupun program-program pendidikan keterampilan yang dapat dipilih murid atas dasar kemampuan dan minatnya.
b.
Fleksibelitas dalam pengembangan program pengajaran. Fleksibelitas memberikan
di
sini
maksudnya
kesempatan
adalah
kepada
dalam
pendidik
bentuk dalam
mengembangkan sendiri program-program pengajaran dengan berpatok pada tujuan dan bahan pengajaran di dalam kurikulum yang masih bersifat umum. Memberi kebebasan terhadap ruang gerak peserta didik dan pendidikan dalam bertindak di lapangan. Hal ini dikarenakan dalam diri anak didik terdapat banyak
perbedaan-perbedaan
dalam
segala
hal,
bakat,
kemampuan membaca, menulis (belajar), keterampilan, dan sebagainya. Dengan demikian sekolah dapat membeli fasilitas yang luas terhadap siswa. Dengan terbentuknya pengadaan program pilihan, jurusan, program spesialisasi, program
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
289
pendidikan keterampilan dalam program-program lain yang dapat dipilih siswa atas dasar kemampuan, kemauan serta minat dan bakat yang dimilikinya. Begitu juga seorang guru sedapat mungkin
mengembangkan
sendiri
program-program
pengajarannya. Dengan berpatokan dan berpegang teguh pada tujuan dalam pengajaran di dalam kurikulum yang masih bersifat umum. Upaya-upaya di atas dilakukan agar rancangan kurikulum dan pengembangannya serta prakteknya di lapangan dapat akomodatif di setiap saat dan kesempatan yang ada di sekolah. 3.
Prinsip kontinyuitas Prinsip Perkembangan
ketiga dan
adalah proses
kotinuitas belajar
yaitu
anak
kesinambungan.
berlangsung
secara
berkesinambungan, tidak terputus-putus atau tidak berhenti-henti. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas, dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya, juga antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan secara serempak bersama-sama, perlu selalu ada komunikasi dan kerja sama antara para pengembang kurikulum sekolah dasar dengan SMTP, SMTA, dan Perguruan Tinggi. Bahkan kesinambungan antara satu bidang studi dengan berbagai bidang studi lainnya untuk menghindari tumpang tindihnya materi pelajaran yang dilaksanakan pada satuan pendidikan. Prinsip kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menunjukkan adanya saling terkait atara tingkat pendidikan, jenis program
pendidikan,
dan
bidang
studi.
Minimal
ada
dua
kesinambungan dalam pengembangan kurikulum ini:
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
290
a.
Kesinambungan di antara berbagai tingkat sekolah: Ø
Bahan pelajaran (subject matters) yang diperlukan untuk belajar lebih lanjut pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi hendaknya sudah diajarkan pada tingkat pendidikan sebelumnya atau di bawahnya.
Ø
Bahan pelajaran yang telah diajarkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah tidak harus diajrakan lagi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga terhindar dari tumpang tindih dalam pengaturan bahan dalam proses belajar mengajar.
b.
Kesinambungan di antara berbagai bidang studi: Ø
Kesinambungan
di
antara
berbagai
bidang
studi
menunjukkan bahwa dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan hubungan antara bidang studi yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, untuk mengubah angka temperatur dari skala Celcius ke skala Fahrenheit dalam IPA diperlukan keterampilan dalam pengalian pecahan.
Karenanya,
pelajaran
mengenai
bilangan
pecahan tersebut hendaknya sudah diberikan sebelum anak didik mempelajari cara mengubah temperatur itu. 4.
Prinsip praktis Prinsip
keempat
adalah
praktis,
mudah
dilaksanakan,
menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efesiensi. Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan peralatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum itu tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Prinsip efisiensi sering kali dikonotasikan dengan prinsip ekonomi, yang berbunyi: “Dengan modal atau biaya, tenaga, dan waktu yang sekecil-kecilya akan dicapai hasil yang memuaskan”. Efesiensi proses belajar mengajar akan tercipta, apabila usaha, biaya,
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
291
waktu, dan tenaga yang digunakan untuk menyelesaikan program pengajaran tersebut sangat optimal dan hasilnya bisa seoptimal mungkin, tentunya dengan pertimbangan yang rasional dan wajar. Dalam pengembangan kurikulum, prinsip efisiensi harus mendapat perhatian termasuk efisiensi segi waktu, tenaga, peralatan dan biaya. Efisiensi waktu perlu direncanakan kegiatan belajar siswa agar tidak banyak membuang waktu di sekolah. Efisiensi penggunaan tenaga dan peralatan perlu ditetapkan jumlah minimal siswa yang harus dipenuhi oleh sekolah dan cara menentukan jumlah guru yang dibutuhkan. Dengan mengusahakan tercapainya berbagai segi efisiensi di atas, diharapkan dapat dicapai efisiensi-efisiensi di atas, diharapkan dicapai efisiensi dalam pembiayaan pendidikan. 5.
Prinsip Efektifitas Efektifitas dalam kegiatan berkenaan dengan sejumlah apa yang direncanakan atau diinginkan dapat dilaksanakan dan dicapainya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program pendidikan dan proses belajar mengajar yaitu berkenaan dengan masalah efektifitas mengajar guru dan efektifitas belajar siswa. Efektifitas mengajar guru berkaitan dengan sejauh mana kegiatan belajar mengajar yang telah direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik. Efektifitas belajar siswa, berkaitan dengan sejauh mana tujuan-tujuan pelajaran yang diinginkan telah dapat dicapai melalui kegiatan belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Efektifitas belajar mengajar dalam dunia pendidikan mempunyai keterkaitan erat antara guru dan siswa kepincangan salah satunya akan membuat terhambatnya pencapaian tujuan pendidikan. Prinsip pengembangan kurukulum yang lebih khusus berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi, pengalaman belajar dan penilaian. Interaksi antara keempat komponen tersebut selalu mendapat
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
292
perhatian dalam pengembangan kurikulum. Berikut ini diuraikan dengan lebih mendetail tentang prinsip-prinsip khusus di atas. a.
Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan Tujuan menjadi pusat dan arah semua kegiatan pendidikan. Tujuan tersebut hendaknya dirumuskan secara spesifik dan operasional seluruh kegiatan belajar mengajar berlangsung. Di samping itu, tujuan pendidikan mencakup pada tujuan yang bersifat umum atau berjangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan khusus). Perumusan tujuan pendidikan bersumber pada : 1)
Ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah yang dapat ditemukan dalam dokumen lembaga negara mengenai tujuan dan strategi pembangunan termasuk di dalamnya pendidikan.
2)
Survei mengenai persepsi orang tua siswa / masyarakat tentang kebutuhan mereka yang dikirimkan melalui angket atau wawancara dengan mereka.
3)
Survei tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu dihimpun melalui angket atau wawancara, observasi dan dari berbagai media massa.
4)
Survei tentang man power.
5)
Pengalaman Negara-negara lain dalam masalah yang sama.
6) b.
Penelitian
Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan Isi pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah materi kurikulum yang disusun oleh seorang guru. Dalam undangundang pendidikan tentang sistem pendidikan nasional dalam bab IX pasal 39 telah ditetapkan bahwa: isi kurikulum merupakan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
293
penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya mencapai tujuan pendidikan nasional. Sesuai dengan rumusan tersebut isi kurikulum dikembangkan dan disusun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1)
Materi kurikulum berupa bahan pembelajaran yang terdiri dari bahan kajian atau topik-topik pelajaran yang dapat dikaji oleh siswa dalam proses belajar dan pembelajaran.
2)
Materi kurikulum mengacu pada pencapaian tujuan masing-masing satuan pelajaran. Perbedaan dalam ruang lingkup dan urutan bahan pelajaran disebabkan oleh perbedaan tujuan satuan pendidikan tersebut.
3)
Materi kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini, tujuan pendidikan nasional merupakan target tertinggi yang hendak dicapai melalui penyampaian materi kurikulum. Memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang telah ditentukan para perencana kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa hal. i.
Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana. Makin umum suatu perbuatan hasil belajar dirumuskan semakin sulit menciptakan pengalaman belajar.
ii.
Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap dan keterampilan
iii.
Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis . Ketiga ranah belajar, yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan diberikan secara simultan dalam urutan situasi belajar. Untuk hal tersebut diperlukan buku
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
294
pedoman guru yang memberikan penjelasan tentang organisasi bahan dan alat pengajaran secara lebih mendetail. c.
Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar Pemilihan proses belajar mengajar digunakan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1)
Apakah metode atau tekhnik belajar mengajar yang digunakan cocok untuk mengajar bahan pelajaran?
2)
Apakah metode atau tekhnik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa?
3)
Apakah metode atau tekhnik tersebut memberikan uraian kegiatan yang bertingkat-tingkat?
4)
Apakah
metode
menciptakan
atau
kegiatan
tekhnik untuk
tersebut mencapai
dapat tujuan
kognitif, afektif dan psikomotorik? 5)
Apakah
metode
atau
tekhnik
tersebut
lebih
mengaktifkan siswa atau mengaktifkan guru atau kedua-duanya? 6)
Apakah metode atau tekhnik tersebut mendorong berkembangnya kemampuan baru?
7)
Apakah metode atau tekhnik tersebut menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah dan di rumah juga mendorong penggunaan sumber yang ada di rumah dan di masyarakat?
8)
Untuk belajar keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang menekankan pada ”learning by doing?” di samping ”learning by seeing and knowing?”.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
295
E.
MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM Kegiatan pengembangan kurikulum sekolah memerlukan suatu model yang dijadikan landasan teoritis untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Model atau konstruksi merupakan alasan teoritis tentang suatu konsepsi dasar. Dalam kegiatan pengembangan kurikulum model merupakan ulasan teoritis tentang proses pengembangan kurikulum. Secara menyeluruh atau dapat pula hanya merupakan ulasan tentang salah satu komponen kurikulum. Ada suatu model yang memberikan ulasan tentang keseluruhan proses kurikulum, tetapi ada pula yang hanya menekankan pada mekanisme pengembangannya saja, dan itupun hanya berupa uraian tentang pengembangan organisasinya. Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan
kurikulum.
Pemilihan
suatu
model
pengembangan
kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya
sentralisasi
berbeda
dengan
yang
desentralisasi.
Model
pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis dan rekonstruksi sosial. Model yang dipergunakan dalam proses pengembangan kurikulum dapat dikemukakan oleh para ahli pendidikan mulai dari suatu model yang sederhana sampai dengan model yang paling sempurna di antaranya adalah: 1.
Model Pengembangan Kurikulum Administratif Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, administrator pendidikan (apakah dirjen, direktur atau kepala kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan)
membentuk
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
suatu
komisi
atau
tim
pengarah
296
pengembangan kurikulum. Model administratif sering pula disebut sebagai model garis dan staf atau dikatakan pula sebagai model dari atas ke bawah. Kegiatan pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat pendidikan yang berwenang membentuk panitia pengarah, yang biasanya terdiri dari pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan staf pengajar kita. Panitia pengarah tersebut diberi tugas untuk merencanakan,
memberikan
pengarahan
tentang
garis
besar
kebijaksanaan, menyiapkan rumusan falsafah dan tujuan umum pendidikan. Setelah kegiatan tersebut selesai, kemudian panitia menunjuk atau membentuk kelompok-kelompok kerja sesuai degan keperluan yang para anggotanya biasanya terdiri dari staf pengajar dan spesialisasi kurikulum. Kelompok-kelompok kerja tersebut bertugas untuk menyusun tujuan-tujuan khusus pendidikan, garis besar pengajaran, dan kegiatan belajar, hasil kerja kelompok tersebut direvisi oleh panitia pengarah dan kemudian dilakukan uji coba jika dipandang perlu, walau hal ini jarang dilakukan. Dilakukan uji coba untuk
mengetahui
efektivitas
dan
kelayakan
pelaksanaannya.
Pelaksana uji coba rancangan kurikulum tersebut adalah sebuah komisi yang ditunjuk oleh para panitia pengarah yang para anggotanya sebagian besar terdiri dari pihak sekolah. Setelah penelitian uji coba selesai, panitia pengarah menelaah atau mengevaluasi sekali lagi rancangan kurikulum tersebut, baru kemudian memutuskan pelaksanaannya. 2.
Model Pengembangan Kurikulum dari Bawah (Grass Roots) Model pengembangan kurikulum ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau komponen sekolah. Jika pada model administratif kegiatan pengembangan kurikulum berasal dari atas, model yang kedua ini inisiatifnya justru berasal dari bawah, yaitu dari pengajar yang merupakan para pelaksana kurikulum
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
297
di sekolah-sekolah. Model ini berdasarkan pada anggapan bahwa penerapan suatu kurikulum akan lebih efektif jika para pelaksananya di sekolah sudah diikutsertakan sejak semula kegiatan pengembangan kurikulum itu. Pengembangan kurikulum dari bawah ini menuntut adanya kerja antar guru, antar sekolah secara baik, di samping harus ada juga kerjasama dengan pihak luar sekolah, khususnya orang tua murid dan masyarakat. Pada pelaksanaannya para administrator cukup memberikan bimbingan dan dorongan kepada para staf pengajar. Setelah menyelasikan tahap tertentu, biasanya diadakannya lokakarya untuk
membahas
hasil
yang
telah
dicapai,
dan
sebaliknya
merencanakan kegiatan yang akan dilakukan selanjutnya. Pengikut lokakarya di samping para pengajar dan kepala sekolah, juga melibatkan orang tua dan anggota masyarakat, serta para konsultan dan para nara sumber yang lain. Dalam pengembangan kurikulum yang bersifat Grass Roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila
kondisinya
kemampuan
telah
guru-guru,
memungkinkan,
fasilitas,
biaya
baik
maupun
dilihat
dari
bahan-bahan
kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass roots, akan lebih baik. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikum bagi kelasnya. 3.
Model Pengembangan Kurikulum Hilda Taba Model pengembangan kurikulum yang ditemukan oleh Hilda Taba ini berbeda dengan cara yang lazim yakni yang bersifat deduktif karena caranya bersifat induktif. Itulah sebabnya model ini disebut model
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
298
terbalik. Pengembangan model ini diawali dengan melakukan percobaan, penyusunan teori dan kemudian penerapannya, hal itu dimaksudkan untuk mempertemukan antara teori dan praktek serta menghilangkan sifat keumuman dan keabstrakan pada kurikulum yang terjadi tanpa percobaan. 4.
Model Pengembangan Kurikulum Rogers Menurut Rogers manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing, changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi karena ada hambatanhambatan tertentu ia membutuhkan orang lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Pendidikan juga tidak lain merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya bukan member informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan pemelancar perkembangan anak. Menurut Rogers
kurikulum
yang
dikembangkan
hendaknya
dapat
mengembangkan individu secara fleksibel terhadap perubahanperubahan
dengan
cara
melatih
diri
berkomunikasi
secara
interpersonal. Langkah-langkahnya sebagai berikut: a.
Diadakannya kelompok untuk dapatnya hubungan interpersonal di tempat yang tidak sibuk. Di dalam penentuan target ini satusatunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif. Selama satu minggu para pejabat pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana yang rileks, tidak formal.
b.
Kurang lebih dalam satu minggu para peserta mengadakan saling bertukar pengalaman, di bawah pimpinan staf pengajar. Sama seperti yang dilakukan para pejabat pendidikan, guru juga turut serta dalam kegiatan kelompok. Keikutsertaan guru dalam
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
299
kelompok tersebut sebaiknya bersifat sukarela, lama kegiatan kalau bisa satu minggu lebih baik, tetapi dapat juga kurang dari satu minggu. c.
Kemudian diadakan pertemuan dengan masyarakat yang lebih luas lagi dalam satu sekolah, sehingga hubungan interpersonal akan menjadi lebih sempurna. Yaitu hubungan antara guru dengan guru, guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik dalam suasana yang akrab. Langkah ketiga ini dalam rangka pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau satu unit pelajaran. Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator para guru atau administrator atau fasilitator dari luar.
d.
Selanjutnya pertemuan diadakan dengan mengikutsertakan anggota yang lebih luas lagi, yaitu dengan mengikut sertakan para pegawai administrasi dengan orang tua peserta didik. Dalam situasi yang demikian diharapkan masing-masing person akan saling menghayati dan lebih akrab, sehingga memudahkan berbagai pemecahan problem sekolah yang dihadapi. Dalam langkah keempat ini partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan ini dapat dikoordinasi oleh komite madrasah
di
masing-masing
madrasah.
Lama
kegiatan
kelompok dapat dilakukan tiga jam setiap sore selama satu minggu atau 24 jam secara terus menerus. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkaya orang-orang dalam dengan hubungannya dengan sesama orang tua, dengan anak, dan dengan guru. Rogers juga menyarankan, kalu mungkin ada pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat campuran. Kegiatan merupakan kulminasi dari semua kegiatan kelompok di atas.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
300
5.
Model Beuchamp Peran guru dalam pengembangan kurikulum diwujudkan dalam bentuk-bentuk kegiatan berikut: 1.
Merumuskan tujuan khusus pengajaran berdasarkan tujuantujuan kurikulum diatasnya dan karakteristik pebelajar, mata pelajaran/bidang
studi,
dan
karakteristik
situasi
kondisi
sekolah/kelas. 2.
Merencanakan kegiatan pembelajaran yang dapat secara efektif membantu pebelajar mencapai tujuan yang ditetapkan.
3.
Menerapkan rencana/program pembelajaran yang dirumuskan dalam situasi pembelajaran yang nyata.
4.
Mengevalusi hasil dan proses belajar pada pebelajar.
5.
Mengevaluasi interaksi antara komponen-komponen kurikulum yang dimplementasikan.
F.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN KURIKULUM Berikut ini akan kami paparkan beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum di sekolah. 1.
Perguruan Tinggi Kurikulum minimal mendapat dua pengaruh dari perguruan tinggi. Pertama, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Kedua, dari pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru di Perguruan Tinggi Keguruan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Kurikulum perguruan tinggi keguruan sangat mempengaruhi kompetensi guru yang dihasilkannya. Kompetensi guru ini akan mempengaruhi pelaksanaan pengembangan kurikulum di sekolah. Penguasaan ilmu, baik ilmu pendidikan maupun bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru-guru akan sangat mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
301
sekolah. Guru-guru yang mengajar pada berbagai jenjang dan jenis sekolah yang ada dewasa ini umumnya disiapkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan. 2.
Masyarakat Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak untuk kehidupan di masyarakat. Sebagai bagian dan agen dari masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dimana sekolah itu berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan dan memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat yang ada di sekitar sekolah mungkin merupakan masyarakat homogen atau hetrogen, masyarakat kota atau desa, petani, pedagang, pengawai, dan sebagainya. Sekolah harus melayani aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan dunia usaha yang ada di masyarakat mempengaruhi pengembangan kurikulum sebab sekolah bukan hanya mempersiapkan anak untuk hidup, tetapi juga untuk bekerja dan berusha. Jenis pekerjaan dan perushaan yang ada di masyarakat menuntut persiapannya di sekolah
3.
Sistem Nilai Dalam kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral, nilai sosial maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan penerusan nilai-nilai berkembang. Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasi dalam kurikulum. Masalah utama yang dihadapi pengembang kurikulum dalam menghadapi nilai ini adalah bahwa dalam masyarakat nilai itu tidak hanya satu. Masyarakat umumnya hetrogen dan multifaset. Masyarakat meiliki kelompok-kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, spiritual dan sebagainya yang tiap kelompok sering memiliki nilai yang berbeda. Dalam masyarakat juga terdapat aspek-
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
302
aspek sosial, ekonomi, politik, fisik, estetika, etika, relegius, dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut sering juga mengandung nilai-nilai yang berbeda. Ada beberapa hal yang harus diperhatiakan guru dalam mengajarkan nilai: a.
Guru hendaknya mengetahui dan memperhatikan semua nilai yang ada dalam masyarakat,
b.
Guru hendaknya berpegang pada prinsip demokrasi, etis, dan moral,
c.
Guru berusaha menjadikan dirinya sebagai teladan yang patut ditiru,
G.
d.
Guru menghargai nilai-nilai kelompok lain,
e.
Guru memahami dan menerima keragaman kebudayaan sendiri.
FAKTOR
YANG
MENGHAMBAT
PENGEMBANGAN
KURIKULUM Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan pertama terletak pada guru. Guru kurang berpartispasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, kurang waktu selama ini banyak guru di samping berprofesi sebagai tenaga pengajar juga mempunyai pekerjaan sampingan di luar profesinya itu pekerjaan sampingan ini terpaksa dilakukan oleh seorang guru dengan alasan untuk memenuhi beban biaya kebutuhan hidup keluarganya. Sehingga dengan profesi sampingannya ini seorang guru tidak punya banyak waktu untuk berfikir dan fokus terhadap profesinya sebagai tenaga pengajar yang seharusnya seorang guru memfokuskan terhadap materi pengajaran dan mengolah kurikulum serta mengembangkannya. Kedua, kekurang sesuaian pendapat baik antara sesama guru maupun dengan kepala sekolah dan administrator. Perbedaan , pengalaman, dan disiplin ilmu yang mereka tekuni menyebabkan terjadinya beda pendapat sehingga bila perbedaan ini tidak dapat disatukan/dipertemukan sulit bagi suatu lembaga untuk melakukan pengembangan kurikulum. Ketiga, karena
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
303
kemampuan dan pengetahuan guru itu sendiri. Kemampuan keilmuan dari masing-masing guru, kepala sekolah, administrator berbeda dan terbatas. Sumber Daya Manusia di suatu lembaga menjadi faktor utama dalam kemajuan lembaga tersebut. Jika SDM nya rendah sulit bagi lembaga tersebut untuk maju dan mengembangkan lembaganya. Salah satu faktor yang menghambat pengembangan kurikulum adalah keterbatasan sumber daya manusia. Hal ini terjadi pada saat pemerintah memberikan
wewenang
mengembangakan
kepada
semua
lembga
kurikulumnya
sendiri
sesuai
pendidikan dengan
untuk
kebutuhan
lingkungannya yang banyak terjadi adalah ketidak mampuan SDM nya. Hambatan lain datang dari masyarakat. Untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap sistem pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. Masyarakat adalah sumber input dari sekolah. Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat. Jika suatu lembaga tidak tanggap dan kurang memberdayakan masyarakat maka lembaga tersebut bersiap-siaplah untuk gulung tikar dalam artian akan ditinggalkan oleh Masyarakat. Hambatan lain yang dihadapi oleh pengembang kurikulum adalah masalah biaya. Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan eksperimen baik metode, isi atau sistem secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering tidak sedikit. Harapan dari pengelola pendidikan dengan terealisasinya anggaran pendidikan 20% kebutuhan pembiayaan pendidikan bisa terpenuhi dengan baik. H.
PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM Peran guru dalam pengembangan kurikulum diwujudkan dalam bentuk-bentuk kegiatan berikut:
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
304
1.
Merumuskan tujuan khusus pengajaran berdasarkan tujuan-tujuan kurikulum
di
atasnya
dan
karakterstik
pebelajar,
maka
pelajaran/bidang studi, dan karakteristk situasi kondisi sekolah/kelas. 2.
Merencanakan kegiatan pembelajaran yang dapat secara efektif membantu pebelajar mencapai tujuan yang ditetapkan.
3.
Menerapkan rencana/program pembelajaran yang dirumuskan dalam situasi pembelajaran yang nyata.
4.
Mengevaluasi hasil dan proses belajar dan pebelajar
5.
Mengevaluasi nterksi antara komponen-komponen kurikulum yang diimplementasikan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
305
BAB XII PENDEKATAN PEMBELAJARAN A.
PENGORGANISASIAN SISWA Guru kelas satu SMP membagi buku bacaan merata ke semua siswa di kelasnya. Siswa diminta membaca dalam hati selama lima menit. Topik yang dibaca tentang Gunung Kelud meletus. Kemudian siswa diberi tugas berikut, (i) tiap siswa mencatat kata-kata sulit yang ditemukan dibacaan, (ii) tiap siswa diminta mengemukakan peristiwa Gunung Kelud meletus dengan kalimat sendiri. Setelah selesai, catatan “kata-kata sulit” dikumpulkan guru. Guru diminta empat siswa membaca hasil kerjanya. Setiap siswa mengemukakan hasil tugas, “guru memperbaiki “tanggapan isi bacaan” dan kalimat-kalimat siswa. Kemudian guru kelas satu SMP tersebut menulis delapan karangan judul di depan kelas. Tiap siswa diminta memilih satu diantara delapan buah judul karangan. Kemudian, siswa menulis karangan selama tiga puluh lima menit. Guru berkeliling kelas, membantu siswa yang memperoleh kesukaran dalam menulis karangan. Setelah selesai, karangan siswa dikumpulkan oleh guru. Guru memeriksa karangan, dan membuuhkan catatan perbaikan di karangan siswa. Guru juga memberikan komentar yang memberanikan siswa mengungkapkan buah pikirannya. Keesokan harinya, guru membagikan karangan siswa kembali. Siswa diberi kesempatan untuk menanyakan tata-cara menulis karangan. Guru juga menjelaskan kata-kata yang sulit ditemukan dalam bacaan. Disamping itu guru juga menunjukan kamus bahasa Indonesia, dan menjelaskan bagaimana penggunaan kamus. Guru kelas dua SMP membagi siswa dikelasnya menjadi delapan kelompok. Tiap kelompok terdiri dari lima orang siswa. Guru memberikan sebuah bejana, sebuah tabung yang terbuka ujungnya, dan sebuah garpu tala kepada setiap kelompok. Tiap kelompok diberi tugas sama tentang resonasi udara. Pada tiap kelompok siswa mempunyai tugas tertentu. Seorang siswa mengisi bejana dengan air. Seorang siswa lain memegang tabung terbuka, memasukan dan mengangkat tabung tersebut dalam bejana air. Seorang
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
306
siswa memegang dan mendengarkan gaerpu tala. Dua siswa lain bertindak mengobservasi dan membuat catatan kelompok. Pada saat tabung terbuaka diangkat atau dimasukan kedalam bejana, garpu tala tersebut dibunyikan. Pengamat mengukur dan mencatat panjang tabung diatas permukaan air. Guru berkeliling kelompok, memberi komentar dan memperbaiki cara kerja kelompok melakukan cara kerja resonasi. Tiap kelompok diminta menarik kesimpilan. Ada kelompok yang menyimpulkan bahwa bunyi makin keras terdengar, bila panjang tabung diatas air semakin panjang. Ada kelompok yang menyimpulkan bahwa bunyi semakin lemah terdengar, bila panjang tabung semakin pendek. Guru kelas satu SMA menerangkan peran di Diponegoro. Ia meletakan peta peperangan Diponegoro di pepen tulis. Beberapa foro dan lukisan berhubungan dengan perang Diponegoro tersedia. Peta Jawa, Sulawesi, dan Indonesia tersedia. Tiruan terjemahan perjanjian dengan Belanda tersedia. Guru menjelaskan situasi sebelum perang, sebab-sebab terjadinya perang, watak tokoh-tokoh, jalannya peperangan, dan akhirnya perang. Segala media dan sumber belajar digunakan. Siswa memperoleh kesempatan melihat foro, gambar, dan membaca tiruan terjemahan dokumen sehubungan dengan perang Diponegoro. Siswa diberi kesempatan bertanya sebanyak-banyaknya. Guru menjelaskan secara rinci berkenaan dengan perang beserta akibat perang. Guru bertintak sebagai penceramah tunggal, ttapi siswa diberi peran belajar aktif. Pada akhir pelajaran, guru membuat ikhtisar dan melakukan tanya jawab. Dalam tanya jawab tersebut guru berusaha memperoleh kesan umum tentang perolehan hasil belajar siswa selama jam pelajaran. Sebagai penutup, guru mengharapkan agar siswa mempelajari bahan tersebut lebih lanjut. Ketiga lukisan perilaku mengajar diatas, menggambarkan pengorganisasian siswa belajar. guru kelas satu SMP memerankan pelajaran individual. Guru kelas dua SMP memerankan pembelajaran kelas berkelompok. Guru
kelas satu SMA
memerankan pembelajaran kelas. Ketiga pembelajaran tersebut memiliki tujuan prinsip, dan tekanan utama yang berbeda-beda.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
307
1.
Pembelajaran Secara Individual Pembelajaran secara individual adalah kegiatan mengajar guru yang menitik beratkan pada bantuan dan bimbingan belajar kepada masing-masing individu. Bantuan dan bimbingan belajar kepada individu juga ditemukan pada pembelajaran klasikal, tetapi prinsipnya berbeda. Pada pembelajaran indiviual, guru memberi bantuan pada masing-masing pribadi. Sedangkan pada pembelajaran klasikal, guru memberi bantuan individual secara umum. Sebagai ilustrasi bantuan kelas tiga kepada siswa yang membaca dalam hati dan menulis karangan adalah pembelajaran individual. Pada membaca dalam hati secara individual siswa menemukan kesukaran sendiri-sendiri. Ciriciri yang menonjol pada pembelajaran individual dapat ditinjau dari segi, diantaranya yaitu: a.
Tujuan Pengajaran pada Pembelajaran Secara Individual Perilaku belajar mengajar disekolah menganut sistem klasikal tampak serupa. Dalam kelas terdapat siswa yang rata-rata berjumlah empat puluh orang. Guru membantu siswa yang menghadapi kesukaran. Adapun tujuan yang menonjol adalah: 1)
Pemberian kesempatan dan keleluasaan siswa untuk belajar
berdasarkan
pengajaran
klasikal
kemampuannya guru
sendiri,
menggunakan
dalam ukuran
kemampuan rata-rata kelas. Dalam pengajaran individual awal pelajaran adalah kemampuan tiap individual, sedangkan berdasarkan
pada
pelajaran
kemampuan
klasikal rata-rata
awal kelas.
pelajaran Siswa
menyesuaikan diri dengan kemampuan rata-rata kelas. 2)
Pengembangan kemampuan tiap individual seara optimal, tiap individu memiliki paket belajar sendiri-sendiri, yang sesuai dengan tujuan belajarnya secara individual juga.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
308
b.
Siswa menjadi Subjek yang Belajar Kedudukan siswa dalam pembelajaran individual bersifat sentral. Pembelajar merupakan pusat layanan pengajaran. Berbeda
dengan
layanan
pengajaran.
Berbeda
dengan
pengajaran klasikal, maka siswa memiliki keleluasaan berupa: 1)
Keleluasaan belajar berdasarkan kemampuan sendiri.
2)
Kebebasan menggunakan waktu belajar, dalam hal ini siswa bertanggung jawab atas semua kegiatan yang dilakukan.
3)
Keleluasaan dalam mengntrol kegiatan, kecepatan, dan intensitas belajar, dalam rangka mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan.
4)
Siswa melakukan penilaian sendiri atas hasil belajar.
5)
Siswa dapat mengetahui kemampuan dan hasil belajar sendiri.
6)
Siswa memiliki kesempatan unuk menyusun program belajarnya sendiri.
Keenam jenis kedudukan siswa tersebut berakibat pada adanya perbedaan tanggung jawab belajar mengajar. Pada pembelajaran klasikal tanggung jawab guru dalam pembelajaran siswa cukup besar. Pada pembelajaran individual, taggung jawab siswa untuk belajar sendiri sangat besar. Pembelajar bertanggung jawab penuh untuk belajar sendiri. c.
Guru sebagai Pembelajar Kedudukan guru dalam pembelajaran individual bersifat membantu.
Bantuan
guru
berkenaan
dengan
konponen
pembelajaran berupa: 1)
Perencanaan kegiatan belajar.
2)
Pengorganisasian kegiatan belajar.
3)
Penciptaan pendekatan terbuka antara guru dan siswa.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
309
4)
Fasilitas yang mempermudah belajar.
Dalam pembelajaran klasikal pada umumnya peran guru dalam merencanakan kegiatan pembelejalaran sangat besar. Hal ini tidak terdadi dalam pembelajaran individual. Peranan guru dalam merencanakan kegiatan sebagai berikut: 1)
Membantu merencanakan kegiatan belajar siswa dengan musyawarah guru membantu siswa menetapkan tujuan belajar, membuat program belajar sesuai kemampuan siswa.
2)
Membicarakan
pelaksanaan
belajar,
mengemukakan
kriteria keberhasilan belajar, menentukan waktu dan kondisi belajar. 3)
Berperan sebagai penasihat atau pembimbing.
4)
Membantu siswa dalam penilaian hasil belajar dan kemajuan sendiri. Sebagai ilustrasi, guru membantu memilih program belajar dengan suatu modul. (Tjipto Utomo & Kees, Ruijter, 1990: 69-83).
Peran guru dalam pengorganisasian kegiatan belajar adalah mengatur dan memonitor dala kegitan belajar sejak awal sampai akhir. Sebagaimana peran guru sebagai berikut: 1)
Memberikan orientasi umum sehubungan dengan belajar topik tertentu.
2)
Membantu variasi kegiatan belajar agar tidak terjadi kebosanan.
3)
Mengkoordinasikan
kegiatan
dengan
memperhatikan
kemajuan, materi, media, dan sumber. 4)
Membagi perhatian pada sejumlah pembelajar, menurut tugas, dan kebutuhan pembelajar.
5)
Memberikan balikan kepada setiap pembelajar.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
310
6)
Mengakhiri kegiatan belajar dalam suatu unjuk hasil belajar berupa laporan atau pameran hasil kerja, untuk kerja hasil belajar tersebut umumnya diakhiri dengan evaluasi kemajuan belajar.
Peran guru dalam penciptaan hubungan terbuka dengan siswa bertujuan
menimbulkan
perasaan
bebas
dalam
belajar.
hubungan terbuka tersebut dilakukan dengan cara-cara sebagai berkut: 1)
Membuat hubungan akrab dan peka terhadap kebutuhan siswa.
2)
Mendengarkan secara simpatik terhadap segala ungkapan jiwa siswa.
3)
Tanggap dan memberikan reaksi positif pada siswa.
4)
Membina
suasana
bereksplorasi,
aman
memberi
sehingga
siswa
kemungkinan
leluasa
penemuan-
penemuan, dan mendorong terjadinya emansipasi dengan penuh tanggung jawab. Peran guru sangat penting dalam menjadi fasilitator belajar. tujuannya dalah mempermudah proses belajar. cara yang dilakukan oleh guru yaitu: 1)
Membimbing siswa belajar.
2)
Menyediakan media dan sumber belajar.
3)
Memberi penguatan belajar.
4)
Menjadi teman dalam mengevaluasi pelaksanaan, cara, dan hasil belajar.
5) d.
Memberi kesempatan siswa untuk memperbaiki diri.
Program Pembelajaran Program pembelajaran individual adalah usaha memperbaiki kelemahan
pengajaran
klasikal.
Dari
segi
kebutuham
pembelajar, program pembelajaran individual lebih efektif,
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
311
sebab siswa belajar dengan programnya sendiri. Dari segi guru yang terkait dengan jumlah pembelajar, tampak kurang efesien. Jumlah siswa sebesar empat puluh orang meminta perhatiang besar guru, dan hal ini akan melelahkan guru. Dari segi usia perkembangan pembelajar, maka program belajar individual cocok bagi siswa SLTP ke atas. Hal ini disebabkan oleh: 1)
Umumnya siswa sudah dapat membaca dengan baik.
2)
Siswa mudah memahami petunjuk atau perintah dengan baik.
3)
Siswa dapat bekerja mandiri dan bekerja sama dengan baik.
Dari segi bidang studi, maka tidak semua bidang studi cocok untuk diprogramkan secara individual. Bidang studi yang dapat diprogramkan secara individual adalah pengajaran bahasa, matematika, IPA, IPS, da berbagai bahan ajar tertentu. Bagi bidang studi musik, kesenian, dan olahraga yang bersifat perorangan, juga cocok untuk program pembelajaran individual. Program pembelajaran individual dapat dlaksanakan secara efektif, bila mempertimbangkan hal-hal berikut:
e.
1)
Disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa.
2)
Ujuan pembelajaran dibuat dan dimengerti oleh siswa.
3)
Prosedur dan cara kerja dimengerti oleh siswa.
4)
Kriteria keberhasilan dimengerti oleh siswa.
5)
Keterlibatan guru dalam evaluasi dimengerti siswa.
Orientasi
dan
Tekanan
Utama
dalam
Pelaksanaan
Pembelajaran Program pembelajaran individual berorientasi pada pemberian bantuan kepada setiap siswa agar ia dapat belajar secara mandiri. Kemandirian belajar tersebut merupakan tuntutan perkembangan individu. Dalam menciptakan pembelajaran
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
312
individual, rencana guru berbeda dengan pembelajaran klasikal. Dalam
pelaksanaan
guru
berperan
sebagai
fasilitator,
pembimbing, pendiagnosis kesukaran belajar, dan rekan diskusi. Guru berperan sebagi pendidik, bukan instruktur. 2.
Pembelajaran Secara Kelompok Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas adakalanya guru membentuk kelompok kecil. Kelompok tersebut umumnya terdiri dari 3-8 orang siswa. Dalam pembelajaran kelompok kecil, guru memberikan bantuan atau bimbingan kepada tiap anggota kelompok lebih intensif. Hal ini dapat terjadi sebab: a)
Hubungan antara guru-siswa menjadi lebih sehat dan akrab.
b)
Siswa memperoleh bantuan, kesempatan, sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan minat.
c)
Siswa dilibatkan dalam penentuan tujuan belajar, cara belajar, kriteria keberhasilan.
Ciri-ciri yang menonjol pada pembelajaran secara kelompok dapat ditinjau dari segi: a.
Tujuan Pengajaran pada Kelompok Kecil Pembelajaran kelompok kecil merupakan perbaikan dari kelemahan pelajaran klasikal. Adapun tujuan pengajaran pada pembelajaran kelompok kecil adalah: 1)
Memberi
kesempatan
mengembangkan
kepada
kemampuan
setiap
siswa
memecahkan
untuk masalah
secara rasonal. 2)
Mengemangkan sikap rsosial dan semangat bergotongroyong dalam kehidupan.
3)
Mendinamiskan
kegiatan
kelompok
dalam
belajar
sehingga tiap anggota merasa dari sebagai bagian kelompok yang bertanggung jawa.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
313
4)
Mengembangkan
kemampuan
kepemimpinan-
kepemimpinan pada tiap anggota kelompok dalam pemecahan masalah kelompok. Sebagai salah satu ilustrasi yaitu lomba karya tulisa ilmiah kelompok di SMA menimbulkan kerja sama tim, dan sekaligus kompetisi sehat antar-kelompok. b.
Siswa dalam Pembelajaram Kelompok Kecil Siswa dalam kelompok kecil adalah angota kelompok yang belajar ntuk memecahkan masalah kelompok. Kelompok keci merupakan satuan kerja yang kompak dan kohesif. Ciri-ciri kelompok kecil yang menonjol sebagai berikut: 1)
Tiap siswa merasa sadar diri sebagai anggoa kelompok.
2)
Tiap siswa merasa diri memiliki tujuan bersama berupa tujuan kelompok.
3)
Memiliki rasa saling membutuhkan dan saling tergantung.
4)
Ada interaksi dan komunikasi antaranggota.
5)
Ada tindakan bersama sebagai perwujudan tanggung jawab kelompok.
Dari segi individu, keanggotaan siswa dalam kelompok kecil merupakan pemenuhan kebutuhan bersosialisasi. Tiap siswa dalam kelompok kecil menyadari bahwa kehadiran kelompok diakui bila kelompok berhasil memecahkan tugas yang dibebankan. Dalam hal ini timbullah rasa bangga dan rasa memiliki kelompok pada tiap anggota kelompok. Siswa berbagai tugas, tetapi merasa satu dalam semangat kerja. Siswa dalam kelompok kecil berperan serta daam tugas-tugas kelompok. c.
Guru sebagai Pembelajaran dan Pembelajaran Kelompok Pembelajaran kelompok bermaksud menimbulkan dinamika kelompok agar kualitas belajar meningkat. Dalam pembelajaran
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
314
kelompok jumlah siswa yang bermutu diharapkan menjadi lebih banyak. Bila perhatian guru dalam pembelajaran individual tertuju pada tiap individu, maka perhatian guru dalam pembelajaran kelompok tertuju pada semangat kelompok dalam memecahkan masalah. Anggota kelompok yang berkemampuan tinggi dijadikan motor penggerak pemecah masalah kelompok. Peran guru dalam pembelajaran kelompok terdiri dari: 1)
Pembentukan kelompok.
2)
Perencanaan tugas kelompok.
3)
Pelaksanaan.
4)
Evaluasi hasil belajar kelompok.
Pembentukan kelompok kecil merupakan kunci keberhasilan belajar kelompok. Tidak ada pedoman khusus tentang pembentukan kelompok yang jelas. Meskipun demikian ada hal yang patut dipertimbangkan. Pertimbangan pembentukan kelompok belajar kecil adalah: 1)
Tujuan yang akan diperoleh siwa dalam berkelompok, sebagai ilustrasi untuk meningkatkan kualitas hasil belajar, pembinaan disiplin kerja beregu, peningkatan kecepatan dan ketetapan kerja, latihan gotong royong.
2)
Latar belakang pengalaman siswa.
3)
Minat atau pusat perhatian siswa. Dalam kerangka pencapaian
tujuan
pendidikan,
maka
guru
dapat
merekayasa kelompok kecil sebagai alat mendidik tiap anggota kelompok. 3.
Pembelajaran Secara Klasikal Pembelajaran klasikal merupakan kemampuan guru yang utama. Hal ini disebabkan oleh pengajaran klasikal merupakan kegiatan mengajar yang tergolong efisien. Secara ekonomis, pembiayaan kelas lebih murah. Oleh karena itu ada jumlah minimum siswa dalam kelas. Jumlah siswa tiap kelas ada pada umumnya berkisar dari 10-45 orang.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
315
Dengan cara tersebut seorang guru masih dapat membelajarkan siswa secara berhasil. Pembelajaran dikelas berarti melaksanakan dua kegiatan sekaligus, yaitu: a.
Pengelolaan Kelas Pengelolaan
kelas
adalah
penciptaan
kondisi
yang
memungkinkan terselenggarannya kegiatan belajar dengan baik. Dalam pengelolaan kelas dapat terjadi masalah yang bersumber dari kondisi tempat belajar dan siswa yang terlibat dalam belajar. kondisi tempat belajar yang berupa ruang kotor, papan tulis rusak, meja-kursi rusak misalnya, dapat mengganggu belajar. sedangkan masalah siswa dapat berupa masalah individual atau kelompok. Gangguan belajar dikelas dapat berasal dari seorang siswa atau sekelompok siswa. Sudah tentu, guru dituntut berketerampilan mengatasi gangguan belajar dari siswa. Dalam hal ini, guru dapat menggunakan teknik-teknik penguatan agar ketertiban belajar terwujud. b.
Pengelolaan Pembelajaran Pengelolaah pembelajaran bertujan mencapai tujuan belajar. peran guru dalam pembelajaran secara individual dan kelompok kecil berlaku dalam pembelajaran secara
klasikal. Tekanan
utama pembelajaran adalah seluruh anggota kelas. Disamping penyusunan
desain
instruksional
yang
dibuat,
maka
pembelajaran kelas dapat dilakukan dengan tindakan sebagai berikut: 1)
Penciptaan tertib belajar di kelas.
2)
Penciptaan suasana senang dalam belajar.
3)
Pemusatan perhatian pada bahan ajar.
4)
Mengikutsertakan siswa belajar aktif.
5)
Pengorganisasian belajar sesuai dengan kondisi siswa.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
316
Tabel 5.1 Pengorganisasian Siswa dalam Pembelajaran Organisasi Siswa Pembelajaran Secara Individual Uraian-Uraian Penyusunan
program
belajar. Faedah
Ahli
pengajaran
Pembelajaran
Pembelajaran
Secara
Secara
Kelompok
Klasikal
Guru
Guru
Untuk
Untuk kelas
atau guru program-
Untuk individu
belajar.
kelompok
Kegiatan belajar.
Individual
Perilaku utama belajar.
Siswa
secara
individual
Kelompok
Kelas
Kelompok
Kelas
siswa
bawah
di
pimpinan guru Disiplin belajar.
Individul dengan
Disiplin
tekanan
kelompok
Disiplin kelas
kemandirian siswa Waktu belajar.
Peranan guru.
Kebaikan.
Sesuai
Menyesuaikan
Siswa
kemampuan
diri
menyesuaikan
individual
kegiatan kerja
diri
kelompok
program guru
Sebagai fasilitas
Sebagai
Sebagai
pembimbing
pembimbing
pengajar yang
belajar
belajar
mendidik
Siswa terampil
Bahan
bekerja sama
pengajaran
Siswa
dengan
belajar
mandiri sejak dini
dengan
dengan guru
yang terselesaikan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
317
B.
POSISI GURU DAN SISWA DALAM PENGELOLAAN PESAN Dalam kegiatan belajar-mengajar guru berusaha menyampaikan sesuatu hal yang disebut “pesan”. Sebaliknya, dalam kegiatan belajar siswa juga berusaha memperoleh sesuatu hal. Pesan atau sesuatu hal tersebut dapat berupa pengetahuan, wawasan, keterampilan, atau isi ajaran yang lain seperti kesenian, kesusilaan, dam agama. Guru kelas satu SMP kelas satu di ota A mengajar pokok bahasan ekonomi rumah tangga. Ia membuat desain pengajaran atau persiapan mengajar. Dalam desain pengajaran dirumuskan tujuan instruksional khusus. Dalam uraian pengajaran direncanakan pengajaran tentang pengertian konsumsi, barang konsumsi, barang produksi, barang produksi, penerimaan rumah tagga, pengeluaran rumah tangga, dan skala kebutuhan rumah tangga. Guru telah menyiapkan media pembelajaran yang berupa rumusan pengertian, contoh barang-barang, contoh-contoh perimbangan kebutuhan rumah tanga. Setelah selesai pemberian informasi, guru menadakan tanya jawab yang berkenaan dengan ekonomi rumah tangga. Guru kelas satu SMP di kota B juga mengajar pokok bahasan ekonomi rumah tangga. Ia juga membuat desain isntruksional. Dalam desain tersebut guru menugaskan siswa untuk melakukan wawancara dan observasi tentang kebutuhan hidup rumah tangga. Kelas dibagi menjadi delapan kelompok kecil. Ada kelompok yang mewawancarai penduduk di sekitar sekolah, penjual makanan sehari-hari, pembuat alat rumah rangga, dan penjual alat-alat sekolah. Diantara penduduk yang diwawancarai ada yang menjadi petani, pedagang, pegawai, negeri, dokter, hakim, ulama, dan anggota ABRI. Tiap kelompok mendiskusikan hasil tugasnya, dan melaporkan penerimaan dan pengeluaran rumah tangga penduduk di sekitar sekolah. Dalam diskusi kelas guru membimbing siswa untuk menarik rumusan tentang pengertian-pengertian ekonomi sehubungan dengan ekonomi rumah tangga. Kedua perilaku belajar mengajar tersebut merupakan contoh pengelolaan pesan. Perilaku guru SMP kelas satu di kota A tergolong
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
318
strategi ekspositori. Sedangkan perilaku guru SMP kelas satu di kota B tergolong strategi heuristik yang inkuri. Perilaku belajar mengajar ekspoisitori merupakan pengajaran yang berpusat pada guru. Sedangkan perilaku belajar-mengajar heuristik dapat dibedakan menjadi penemuan (discovery) dan inkuiri (inquiry). Perilaku belajar-mengajar inkuiri dan penemuan tersebut merupakan pengajaran yang terpusat pada siswa. 1.
Pembelajaran dengan Strategi Ekspositori Perilaku mengajar dengan strategi ekspositori juga dinamakan model eksplositori. Model pengajaran eksplositori merupakan kegiatan mengajar yang terpusat pada guru. Guru aktif memberikan penjelasan atau informasi terperinci tentang bahan pengajaran. Tujuan utama pengajaran
eksploisitori
adalah
“memindahkan”
pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai kepada siswa. Hal yang esensial pada bahan pengajaran harus dijelaskan kepada siswa. Peran guru yang penting adalah sebagai berikut: a)
Penyusunan program pembelajaran.
b)
Pemberi informasi yang benar.
c)
Pemberi fasilitas belajar yang baik.
d)
Pembimbing siswa yag dalam pemerolehan informasi yang benar.
e)
Penilaian pemerolehan informasi.
Peranan siswa yang penting adalah: a)
Pencari informasi yang benar.
b)
Pemakai media dan sumber yang benar.
c)
Menyelesaikan tugas sehubungan dengan penilaian guru.
Adapun hasil belajar yang dievaluasi adalah luas dan jumlah pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang diakui siswa. Pada umumnya alat evaluasi hasil belajar yang digunakan adalah tes yang telah dibakukan atau tes buatan guru.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
319
2.
Pembelajaran dengan Strategi Inkuiri Perilaku mengajar dengan strategi inkuiri juga disebut sebagai model inkuiri. Model inkuiri merupakan pengajaran yang mengharuskan siswa
mengolah
pesan
sehingga
memperoleh
pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai. Dalam model inkuiri siswa dirancang untuk terlibat dalam melakukan inkuiri. Model pengajaran inkuiri ini merupakan pengajaran yang berpusat pada siswa. Dalam pengajaran ini siswa menjadi aktif belajar. tujuan utama model inkuiri adalah mengembangkan keterampilan intelektual, berfikir kritis, dan mampu memecahkan masalah secara ilmiah. Tekanan utama pembelajaran dengan strategi inkuiri adalah: a)
Pengembangan kemampuan berfikir individual lewat penelitian.
b)
Peningkatan kemampuan mempraktekan metode dan teknik penelitian.
c)
Latihan keterampilan intelektual khusus, yang sesuai dengan cabang ilmu tertentu.
d)
Latihan menemukan sesuatu, seperti “belajar bagaimana belajar sesuatu”.
Peran guru yang penting adalah a)
Menciptakan
suasana
bebas
berfikir
sehingga
berani
bereksplorasi dalam penemuan dan pemecahan masalah. b)
Fasilitator dalam penelitian.
c)
Rekan diskusi dalam klarifikasi dan pencarian alternatif pemecahan masalah.
d)
Pembimbing peneitian, pendorong keberanian berfikir alternatif dalam pemecahan masalah.
Strategi pembimbing proses berfikir, guru menyampaikan banyak pertanyaan. Peran membimbing tersebut menonjol pada strategi guided inquiry, dimana kemungkinan penentuan telah diperhitungkan sebelumnya oleh guru. Peranan siswa yang penting adalah
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
320
a)
Mengambil prakarsa dalam pencarian masalah dan pemecahan masalah.
b)
Pelaku aktif dalam belajar melakukan penelitian.
c)
Penjelajah tentang masalah dan metode penelitian.
d)
Penemu pemcah masalah.
Evaluasi hasil belajar pada model inkuiri meliputi: a) Keterampilan pencarian dan perumusan masalah. b) Keterampilan pengumpulan data atau informasi. c) Keterampilan meneliti tentang objek, seperti benda, sifat benda, kondisi, atau peristiwa dan pelaku. d) Keterampilan menarik kesimpulan. e) Laporan. C.
KEMAMPUAN YANG AKAN DICAPAI DALAM PEMBELAJARAN Siswa yang belajar akan mengalami perubahan. Bila sebelum belajar, kemampuannya hanya 25% misalnya, maka setelah mereka belajar selama lima bulan maka pengetahuan mereka menjagi 98%. Hasil belajar tersebut meningkatkan kemampuan mental. Pada umumnya hasil belajar tersebut meliputi ranah-ranah kognitif, efektif, dan psikologis. Secara umum kegiatan belajar tersebut meliputi fase-fase, yaitu: 1)
Motivasi, yang berarti siswa sadar mencapai tujuan dan bertindak mencapai tujuan belajar.
2)
Konsentrasi, yang berarti siswa memusatkan perhatian pada bahan ajar.
3)
Mengelolah pesan, yang berarti siswa mengelolah informasi dan mengambil makna tentang apa yang ipelajari.
4)
Menyimpan, yang berarti siswa menyimpan dalam ingatan, perasaan dan kemampuan motoriknya.
5)
Menggali, dalam arti menggunakan hal yang dipelajari yang akan digunakan untuk suatu pemecahan-pemecahan.
6)
Prestasi, dalam arti menggunakan bahan ajar untuk unjuk kerja.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
321
7)
Umpan balik, dalam arti siswa melakukan pembenaran tentang hasil belajar atau prestasi. Kegiatan belajar di sekolah, menurut Biggs dan Telfer, pada
umumnya dapat dibedakan menjadi empat hal yaitu: 1)
Belajar yang kognitif seperti perolehan pengetahuan.
2)
Belajar yang efektif seperti belajar tentang perasaan, nilai-nilai dan emosi.
3)
Belajar yang berkenaan dengan isi ajaran, seperti yang ditentukan dalam silabus semaca pokok-pokok bahasan.
4)
Belajar yang berkenaan dengan proses, seperti bagaimana suatu hasil dapat diperoleh. Dari segi ranah yang dikembangkan meliputi ranah kognitif, efektif,
dan psikomotorik. Menurut Biggs dan Telfer belajar di sekolah dapat dilukiskan dalam tabel 5.2, sebagai berikut. Tabel 5.2 Tujuan Pengajaran dengan Didikan Ranah-Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik Tujuan
Isi
Pengajaran
Proses
Ranah
Mata pelajaran sekolah
Pendekatan
Kognitif
dan
seperti pemecahan masalah,
disiplin
pemerolehan
pengetahuan.
penemuan, dan sebagainya.
Ranah
Pendidikan nilai dengan
Kejelasan
Afektif
sengaja.
dengan perasaan dan sikap.
Ranah
Pendidikan
Kejelasan
Psikomotorik
keterampilan
dengan
nilai
berkenaan kecekatan
psikomotorik dengan gerak.
sengaja. Dari tabel diatas diperoleh bahwa, pelajaran ranah disesuiakan dengan pengajaran, yaitu mementingkan isi bahan ajar atau proses pemerolehan. Pembelajaran ranah-ranah itu masih bertingkat-tinkat. Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
322
Sebagai ilustrasi, mengutamakan fakta, konsep, teori dalam mata pelajaran tertentu. Atau mengutamakan cara pemecahan masalah seperti penggunaan rumus, alat-alat pelajaran, penemuan dalam pendekatan keterampilan khusus. Pembelajaran ranah kognitif terlaksana dengan pengajaran cabang pengetahuan di sekolah, dan cara-cara pemerolehan. Pembelajaran efektif berkenaan dengan didikan sengaja tentang nilai seperti keadilan, dan keterampilannya seperti membagi adil, atau berbuat sopan. Pembelajaran psikomotorik berkenaan dengan keterampilan tangan atau olahraga, seperti latihan-latihan tertentu. D.
PROSES PENGOLAHAN PESAN Pemerolehan pengalaman, peningkatan jenis ranah tiap siswa tidak sama. Hal itu disebabkan oleh proses pengolahan pesan. Ada dua jenis pengolahan pesan, yaitu secara deduktif dan induktif. 1.
Pengolahan Pesan secara Deduktif Guru krelas satu SMP dikota A mengajar pokok bahasan “FaktorFaktor Produksi dan Cara Memperbesar Produksi”. Ia menjelaskan bahwa faktor produksi terdiri dari faktor produksi alam, tenaga, modal,
dan
organisasi.
Ia
menerangkan
pengrtian-pengertian
bergenaan faktor-faktor produksi tersebut. Sebagai ilustrasi, ia mengemukakan bahwa “Faktor-faktor alam adalah produksi asli yang merupakan sumber pokok yang memenuhi kebutuhan. Faktor-faktor produksi alam tersebut terdiri dari tanah, kekayaan alam, dan tenaga alam.” Kemudian ia memberi contoh tenetang hal-hal yang tercakup dalam pengertian tertentu; sebagai ilustrasi, yang tergolong dalam kekayaan alam adalah hewan, tumbuh-tumbuhan, barang tambang. Atas dasar pengertian tersebut guru mengajak siswa untuk mempelajari faktor-faktor produksi dikabupaten A. Guru tersebut memulai dengan satu pertanyaangeneralisasi “Suatu kabupaten akan menghasilkan produksi tinggi, jika faktor-faktor produksi memenuhi persyaratan untuk berproduksi tinggi.” Kemudian berdasarkan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
323
pengertian yang ada, guru meminta siswa untuk mempelajari kabupaten A dengan panduan pertanyaan guru. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengolahan pesan secara deduktif dimulai dari: a)
Guru mengemukakan generalisasi.
b)
Penjelasan berkenaan dengan konsep-konsep.
c)
Pencarian data yang dilakukan oleh siswa.
Pengumpulan data tersebut berguna
untuk menguji kebenaran
generalisasi. Dalam kegiatan ini siswa juga mengaplikasikan konsep terhadap data tertentu. 2.
Pengolahan Pesan Secara Induktif Secara umum perilaku pengolahan pesan secara induktif dapat dilukiskan sebagai berikut. Tahap satu
:Pendahualuan pembelajaran.
Tahap dua
:Pengumpulan
data.
Guru
meminta
siswa
mengumpulkan data sehubungan dengan topik yang dipelajari.
Sebaiknya
lembarkerja. sebainya
Dalam
siswa
guru
telah
pembuatan
juga
diajak
menyiapkan lembar
serta.
kerja
Pekerjaan
pengumpulan data dapat dilakukan beberapa tahap, sesuai dengan masalah yang dipelajari. Tahap tiga
:Analisis
data.
mempelajari
Guru data,
meinta
siswa
untuk
menggolong-golongkan,
membandingkan, menguji kebenaran data, dan menyimpulkan sementar. Tahap empat
:Perumusan dan pengujian hipotesis. Hipotesis disusun berdasarkan teori yang ada atau prinsip yang benaar. Data yang ditemukan dapat digunakan untuk uji hipotesis. Hipotesis dapat diterima atau ditolak.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
324
Tahap lima
:mengaplikasikan generalisasi. Pada tahap ini guru meminta siswa untuk menerapkan generalisasi pada data lain.
Tahap enam
:Evaluasi hasil dan proses belajar. Guru memberi nilai pada proses pemerolehan, pengolahan, analisis, penarikan generalisasi, rumusan generalisasi, dan uji hipotesis.
Pengolahan pesan secara induktif bermula dari: a.
Fakta atau peristiwa khusus.
b.
Penyusunan konsep berdasarkan fakta-fakta.
c.
Penyusunan generalisasi berdasarkan konsep-konsep. Bila sudah ada teori yang benar, pada umumnya dirumuskan hipotesis.
d.
Terapan generalisasi pada data baru, atau uji hipotesis.
e.
Penarikan kesimpulan lanjut.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
325
BAB XIII KONSEP EVALUASI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN A.
Pengertian Evaluasi Menurut bahasa, kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris “evaluation” yang berarti penilaian/penaksiran. Evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek yang menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan. Evaluasi harus dilakukan dengan pertimbanganpertimbangan yang arif dan bijaksana, sesuai dengan hasil kemajuan belajar yang ditujukan oleh anak didik. Dengan demikian, evaluasi adalah suatu tindakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang arif dan bijaksana untuk menentukan nilai sesuatu, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Menurut istilah para pakar kependidikan berbagai macam redaksi, yaitu: 1.
Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.
2.
Evaluasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan suatu tolak ukur untuk memperoleh suatu kesimpulan.
3.
Evaluasi adalah proses untuk melihat apakah perencanaan yang sedang di bangun berhasil, sesuia dengan harapan awal atau tidak.
4.
Evaluasi adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan menentukan kualiatas (nilai atau arti) daripada sesuatu berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu.
5.
Evaluasi adalah suatu proses yang sangat penting dalam pendidikan guru, tetapi pihak-pihak yang terkait dalam program itu seringkali melalaikan atau tak menghayati sungguh-sungguh proses evaluasi tersebut.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
326
Dari beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan, bahwa Evaluasi adalah
sesuatu proses kegiatan yang terencana dan sistematis
untuk
menilai suatu objek berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu. Sedangkan Pengajaran/pembelajaran menurut pakar pendidikan adalah kegiatan pembinaan yang terikat dengan tujuan agar siswa lebih cerdas, banyak pengetahuan, berpikir kritis, sistematis dan objektif. Untuk ranah psikomotorik dengan tujuan terampil melaksanakan sesuatu, seperti membaca, menulis menyanyi, berhitung, lari cepat, berenang dan lain-lain. Dapat disimpulkan bahwa evaluasi pembelajaran adalah tindakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang arif dan bijaksana untuk menentukan nilai suatu pembelajaran agar tercapainya suatu tujuan dari pembelajaran tersebut. B.
Prinsip-prinsip Evaluasi Agar penilaian pendidikan dapat mencapai sasarannya dalam mengevaluasi pola tingkah laku yang dimaksudkan, maka harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut: 1.
Evaluasi harus dilaksanakan secara kontinyu Evaluasi harus dilaksanakan secara kontinyu artinya evaluasi harus dilaksanakan secara terus menerus pada masa-masa tertentu. Hal ini dimaksudkan agar penilai memperoleh kepastian atau kemantapan dalam mengevaluasi. Bila ditinjau dari kapan atau di mana kita harus mengadakan evaluasi,dan dimaksudkan untuk apa evaluasi tersebut diadakan dalam keseluruhan proses pendidikan, maka evaluasi meliputi : a.
Evaluasi formatif yaitu penilaian yang dilakukan selama dalam perkembangan dan proses pelaksanaan pendidikan. Karena itu evaluasi formatif dikenal juga dengan evaluasi proses. Tujuan evaluasi formatif ialah agar secara tepat dan cepat dapat membetulkan setiap proses pelaksanaan yang tidak sesuai dengan rencana.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
327
b.
Evaluasi sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan pada akhir pelaksanaan proses pendidikan. Evaluasi ini disebut evaluasi terhadap hasil pendidikan yang telah dilakukan oleh siswa atau evaluasi produk.
2.
Evaluasi harus dilaksanakan secara komprehensif Evaluasi yang mampu memahami keseluruhan aspek pola tingkah laku yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan adalah makna evaluasi secara komprehensif Untuk dapat melaksanakan evaluasi secara komprehensif maka setiap tujuan pendidikan haru dijabarkan sejelas mungkin sehingga dapat dijadikan pedoman untuk melakukan pengukuran. Pengukuran di sini harus mampu mencerminkan butirbutir soal yang representatif terhadap tujuan pendidikan yang telah dijabarkan secara tuntas.
3.
Evaluasi harus dilaksanakan secara obyektif Pelaksanaan evaluasi harus obyektif artinya dalam proses penilaian hanya menunjuk pada aspek-aspek yang dinilai sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Jadi dalam menilai hasil pendidikan, penilai tidak boleh memasukkan faktor-faktor subyektif dalam memberikan nilai kepada siswa. Dengan kata lain, evaluasi dikatakan obyektif apabila penilai dalam memberikan penilaian terhadap suatu obyek hanya ada satu interpretasi.
4.
Dalam
melaksanakan
evaluasi
harus
menggunakan
alat
pengukur yang baik Agar evaluasi yang dilaksanakan itu obyektif, diperlukan informasi atau bahan yang relevan. Untuk memperoleh informasi atau bahan yang relevan diperlukan alat pengukur atau instrumen yang dapat dipertanggung jawabkan atau memenuhi syarat. Alat pengukur yang baik adalah alat pengukur yang memenuhi persyaratan validitas, reliabilitas, dan daya pembeda.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
328
a.
Alat pengukur harus valid Validitas alat pengukur ialah kadar ketelitian alat pengukur untuk dapat memenuhi fungsinya dalam menggambarkan keadaan aspek yang diukur dengan tepat dan teliti. Sesuai dengan
pengertian
tersebut
Sutrisno
Hadi
(1997)
juga mengemukakan bahwa mengenai masalah validitas ada dua unsur yang tidak dapat dipisahkan yaitu kejituan dan ketelitian. Jadi sesuai dengan pengertian validitas tersebut di atas ada dua macam problem validitas yaitu: 1)
Problem kejituan atau ketepatan, suatu alat pengukur dikatakan jitu atau tepat bila ia dengan jitu mengena pada sasarannya. Atau dengan kata lain seberapa jauh suatu alat pengkur dapat mengungkap dengan jitu gejala atau bagian-bagian
gejala
yang
hendak
diukur. Dengan
demikian alat pengukur dianggap memiliki kejituan apabila alat pengukur tersebut dapat mengerjakan dengan tepat fungsi yang diserahkan kepadanya, fungsi apa alat itu dipersiapkan. 2)
Problem ketelitian, suatu alat pengukur dikatakan teliti jika ia mampu dengan cermat menunjukkan ukuran besarkecilnya
gejala
atau
bagian-bagian
gejala
yang
diukur. Dengan kata lain seberapa jauh alat pengukur dapat
memberikan
"reading"
yang
teliti,
dapat
menunjukkan denga sebenamya status atau keadaan gejala atau bagian-bagian gejala yang diukur, misaInya meteran dapat dikatakan teliti jika suatu benda yang panjangnya 10 meter ia katakan 10 meter, bukan kurang atau lebih dari 10 meter. b.
Alat pengukur harus reliabel Pembicaraan reliabilitas alat pengukur berdasar pada seberapa jauh suatu alat pengukur dapat menunjukkan kestabilan,
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
329
kekonstanan, atau keajegan hasil pengukuran. Suatu alat pengukur
dikatakan
reliabel
bila
alat
pengukur
tersebut dikenakan terhadap subyek yang sama tetapi pada saat yang berlainan atau kalau orang yang memberikan alat pengukur itu berbeda hasilnya akan tetap sama. Sebagai contoh suatu meteran yang dipergunakan untuk mengukur panjang suatu benda. Meteran tersebut dapat dikatakan reliabel bila ia dipergunakan untuk mengukur benda (X) menunjukkan hasil yang sama walaupun saat pengukurannyaberbeda dan orang yang melakukan pengukuran juga berbeda. c.
Alat pengukur harus memiliki daya pembeda (diskriminatif) Daya
pembeda
atau "discriminating
power" soal
adalah
seberapa jauh suatu butir soal mampu membedakan tentang keadaan aspek yang diukur apabila keadaannya memang berbeda.
Misalnya
tes
hasil
belajar
dapat
diketahui
daya pembedanya bila tes tersebut mampu membedakan antara dua orang atau lebih yang memang memiliki kemampuan belajar yang berbeda. Dengan kata lain tes yang baik harus dapat
membedakan
kemamapuan
anak
sesuai
dengan
tingkat kepandaian mereka. Suatu butir soal yang sangat sukar, sehingga semua siswa tidak dapat mengerjakannya dengan benar, berarti butir soal tersebut tidak memiliki dayapembeda. Begitu pula sebaliknya butir soal yang sangat mudah sehingga semua siswa dapat mengerjakan dengan benar, butir soal tersebut juga tidak memiliki daya pembeda. Di samping ketiga syarat pokok alat pengukur yang baik di atas, masih ada syarat lain yaitu alat pengukur harus komprehensif, obyektif, terstandar, dan praktis.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
330
C.
Manfaat Evaluasi 1.
Manfaat bagi siswa a.
Hasil evaluasi tidak memuaskan Apabila ternyata hasil evaluasi menunjukkan siswa ini belum mencapai tujuan instruksional yang diinginkan, ia dapat dimotivasi untuk belajar lebih giat lagi dan mencari upaya untuk menutup kekurangannya itu.
b.
Hasil evaluasi memuaskan Apabila hasil evaluasi memuaskan siswa, siswa terdorong untuk mengualang atau bahkan memperbaiki hasilnya supaya dapat memperoleh kepuasan yang serupa di waktu yang akan datang.
2.
Manfaat bagi Pendidik a.
Keadaan siswa Hasil evaluasi memberikan informasi kepada pendidik tentang belajar tiap siswa berikut letak kesulitan belajar yang dialami oleh mereka.
b.
Keadaan materi pengajaran Hasil evaluasi pun dapat memberikan gambaran bagi pendidik tentang daya serap siswa atas materi pengajaran yang disajikannya.
c.
Keadaan metode pengajaran Hasil evaluasi dapat menunjukan tepat tidaknya metode mengajar
yang
dipergunakan
oleh
pendidikan
dalam
menyajiakan suatu materi. 3.
Manfaat bagi Pembimbing/Penyuluh Akan lebih terarah kepada tujuannya apabila ditunjang oleh informasi yang akurat tentang keaaan siswa, baik dari segi intelektualnya maupun dari segi emosionalnya.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
331
4.
Manfaat bagi Sekolah Hasil evaluasi dapat dipakai sekolah untuk mengintrospeksi diri untuk melihat sejau mana kondisi belajar yang diciptakannya membantu terselenggarakannya pengajaran dengan baik.
5.
Manfaat bagi Orangtua Siswa Sekolah
akan
memberikan
laporan
kemajuan
siswa
kepada
orangtuannya dalam bentuk buku rapor. D.
Tujuan Evaluasi 1.
Membuat kebijaksanaan dan keputusan
2.
Menilai hasil yang dicapai para pelajar
3.
Menilai kurikulum
4.
Memberi kepercayaan kepada sekolah
5.
Memperbaiki materi dan program pendidikan.
6.
Untuk mengetahui kadar pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran
7.
Untuk melatih keberanian dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang disajikan.
8.
Untuk mengetahui tingkat perubahan prilakunya
9.
Untuk mengetahui siapa di antara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga yang lemah diberi perhatian khusus agar ia dalam mengejar kekurangannya. Oleh karena itu, sasaran dari evaluasi bukan saja peserta didik tetapi mencakupi pengajarnya( guru).
Tujuan utama melakukan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa sehingga dapat diupayakan tindak lanjutnya. E.
Fungsi Evaluasi 1.
Fungsi Proknostik, Untuk mengetahui kondisi obyektif dari pembelajran. Juga berguna untuk memprediksikan kompetensi lanjutan yang mungkin dapat dicapai oleh pembelajaran.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
332
2.
Fungsi diagnosis, Membantu peserta didik bagaimana supaya mampu memiliki kompetensi sesuai yang diharapkan . tujuan utamanya adalah membantu pencapaian tujuan pembelajaran itu sendiri.
3.
Fungsi Sertifikasi, Menyatakan status dan mendapatkan lapotan hasil belajar atau sertifikat.
F.
Kedudukan Evaluasi dalam Proses Pendidikan Proses pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia, dimana di dalamnya terjadi proses membudayakan dan memberadabkan manusia. Transformasi dalam proses pendidikan adalah proses untuk membudayakan dan memberadabkan siswa. Unsur-unsur transformasi proses pendidikan, meliputi : 1)
Pendidik dan personal lainnya
2)
Isi pendidikan
3)
Teknik
4)
Sistem evaluasi
5)
Sarana pendidikan, dan
6)
Sistem administrasi. Keluaran dalam proses pendidikan adalah siswa yang semakin
berbudaya dan beradab sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Umpan balik dalam proses pendidikan adalah segala informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses. G.
Syarat-Syarat Umum Evaluasi 1.
Kesahihan Kesahihan menggantikan kata validitas (validity) yang dapat diartikan sebagai ketepatan evaluasi mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Dapat diterjemahkan pula sebagai kelayakan interpretasi terhadap hasil dari suatu instrument evaluasi atau tes, dan tidak terhadap instrument itu sendiri (Gronlund, 1985:57). Kesahihan juga dapat dikatakan lebih menekankan pada hasil/ perolehan evaluasi,
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
333
bukan pada kegiatan evaluasinya. Kesahihan instrument evaluasi diperoleh melalui hasil pengalaman. Dari dua cara tersebut, diperoleh empat macam kesahihan yang terdiri dari: a.
kesahihan isi (content validation).
b.
kepentingan konstruksi (construction validity).
c.
kesahihan ada sekarang (concurrent validity), dan.
d.
kesahihan prediksi (prediction validity) (Arikunto, 1990:64).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesahihan hasil evaluasi meliputi: a.
Faktor instrumen evaluasi itu sendiri. Hal-hal yang barangkali menyebabkan atau mempengaruhi kesahihan hasil evaluasi yang ada dalam instrumen evaluasi, diantaranya ketidakjelasan petunjuk, tingkat kesulitan kosa kata dan struktur kalimat instrumen evaluasi, ketidaklayakan tingkat kesulitan item evaluasi, susunan item evaluasi yang kurang baik, item evaluasi yang terlalu pendek, dan dapat dikenalinya pola jawaban instrumen evaluasi.
b.
Faktor-faktor
administrasi
evaluasi
dan
penskoran
juga
merupakan faktor-faktor yang mempunyai suatu pengaruh yang menganggu kesahihan interpretasi hasil evaluasi. Dalam kasus instrumen evaluasi guru, faktor-faktor tersebut diantaranya berupa waktu yang tidak cukup untuk menyelesaikan evaluasi, mencontek saat ujian. c.
Faktor-faktor dalam respons-respons siswa merupakan faktorfaktor yang lebih banyak mempengaruhi kesahihan daripada faktor
yang
ada
instrumental
evaluasi
atau
pengadministrasiannya. 2.
Keterandalan Keterandalan evaluasi berhubungan dengan masalah kepercayaan, yakni tingkat kepercayaan bahwa suatu instrument evaluasi mampu memberikan hasil yang tepat (Arikunto, 1990:81). Keterandalan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
334
menunjukan kepada konsistensi (keajegan) pengukuran yakni bagaimanakah keajegan skor tes atau hasil evaluasi lain yang berasal dari pengukuran yang satu ke pengukuran yang lain. Juga berhubungan
erat
dengan
kesahihan,
karena
keterandalan
menyediakan (Arikunto, 1990: 81; Gronlund, 1985:87). Tidak selalu menjamin bahwa hasil evaluasi yang andal (reliable) akan selalu menjawab bahwa hasil evaluasi sahih (valid). Untuk memperjelas tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keterandalan
akan
diuraikan berikut ini: a)
Panjang tes (length of test) Panjang tes berhubungan dengan banyaknya butir tes, pada umumnya lebih banyak butir tes lebih tinggi keterandalan evaluasi. Tes ini dilakukan dengan tidak banyak menebak, maka keterandalan hasil evaluasi semakin tinggi.
b)
Sebaran skor (spread of scores) Besarnya sebaran skor akan membuat perkiraan keterandalan yang lebih tinggi akan terjadi menjadi kenyataan. Karena koefisien keterlandan yang lebih besar dihasilkan pada saat orang perorang tetap pada posisi yang relative sama dalam satu kelompok dari satu pengujian ke pengujian lainnya, itu berarti selisih yang dimungkinkan dari perubahan posisi dalam kelompok
juga
menyumbang
memperbesar
koefisien
keterandalan. c)
Tingkat kesulitan tes (difficulty of tes) Tes acuan norma (norm reference test). Tingkat kesulitan tes yang ideal untuk meningkatkan koefisien keterandalan adalah tes yang menghasilkan sebaran skor berbentuk atau kurva normal.
d)
Objektivitas (objectivity) Objektivitas
suatu
tes
menunjuk
kepada
tingkat
skor
kemampuan yang sama (yang dimiliki oleh siswa satu dengan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
335
siswa yang lain) memperoleh hasil yang sama dalam mengerjakan tes. 3.
Kepraktisan Kepraktisan evaluasi dapat diartikan sebagai kemudahan-kemudahan yang ada pada instrument evaluasi baik dalam mempersiapkan, menggunakan,
menginterpretasi/memperoleh
hasil,
maupun
kemudahan dalam menyimpannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepraktisan instrument evaluasi meliputi:
H.
a.
Kemudahan mengadministrasi.
b.
Waktu yang disediakan untuk melancarkan evaluasi.
c.
Kemudahan menskor.
d.
Kemudahan interpretasi dan aplikasi.
e.
Tersedianya bentuk instrument evaluasi yang ekuivalen
Alat Penilaian Pembelajaran 1.
Teknik Non Tes Teknik non tes merupakan alat penilaian yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi tentang keadaan peserta didik atau peserta tes tanpa melalui tes dengan alat tes. Sebagaimana diketahui bahwa informasi tentang peserta didik yang dibutuhkan untuk menilai hasil belajar tidak semuanya harus berupa skor hasil pengukuran yang salah satunya lewat tes. Ada sejumlah teknik nontes yang dapat dipergunakan yaitu : a.
Kuesioner. Kuesioner atau angket merupakan daftar pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada peserta didik dalam penelitian mengenai masalah-masalah tertentu, yang bertujuan untuk mendapatkan tanggapan dari peerta didik tersebut.
b.
Pengamatan. Pengamatan atau observasi merupakan cara untuk mendapatkan informasi dengan cara mengamati objek secara cermat dan terencana. Objek yang dimaksud di sini dapat berwujud orang , kegiatan, keadaan, benda dan lain-lain.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
336
c.
Wawancara. Wawancara atau interview merupakan suatu cara yang
dipergunakan
untuk
mendapatkan
informasi
dari
responden (peserta didik) dengan melakukan Tanya jawab sepihak. Artinya dalam kegiatan wawancara itu pertanyaan hanya verasal dari pihak pewawancara, sedang responden yang menjawab pertanyaan-pertanyaan saja. d.
Penugasan. Penugasan merupakan salah satu cara untuk memeroleh informasi tentang kompetensi peserta didik dengan cara pemberian tugas-tugas tertentu yang dirancang secara sistematis dan berkelanjuata. Maksudnya, pemberian tugas harulah direncankakan dengan baik dan dilakukan secara berkelanjutan.
e.
Portofolio. Penilaian hasil belajar peserta didik dengan memergunakan model portofolio menjadi terkenal sejak era KBK/KTSP yang mulai diberlakuakan di dunia pendidikan di Indonesia tahun 2004/2005. Tampaknya, tidak berlebihan bahwa salah satu kekhasan kurikulum tersebut adalah penerapan model penilaian portofolio itu. Portofolio merupakan kumpulan dokumen yang dijadikan objek penilaian. Sebelum dibawa masuk ke dunia pendidikan., penilaian portofolio lebih banyak dikenal di dunia usaha, misalnya dipakai untuk menilai kinerja sebuah usaha selama ini.
2.
Teknis Tes Tes merupakan sebuah instrument atau prosedur yang sistematis untuk mengukur suatu sampel tingkah laku, misalnya untuk menjawab pertanyaan “seberapa baik (tinggi) kinerja seseorang” yang jawabnya berupa angka. Jenis tes sebagai berikut : a)
Tes buatan guru Tes buatan guru adalah tes yang dibuat oleh guru-guru kelas itu sendiri. Tes tersebut dimaksudkan untuk mengukur tingkat
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
337
keberhasilan peserta didika mencapai kompetensi setelah berlangsungnya proses pembelajaran yang dikelola oleh guru kelas yang bersangkutan. b)
Tes standar Tes standar kebalikan tes buatan guru adalah tes yang telah distandarkan. Tes standar sebenarnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yatiu tes bakat (aptitude test) dan tes prestasi (achievement test), walau keduanya mengandung unsure ketumpangtindihan, tes standar yang akan dibicarakan berikut adalah tes standar yang berupa tes prestasi.
I.
Jenis-jenis Evaluasi Dilihat dari fungsinya, penilaian terdiri atas beberapa macam yakni penilaian formatif, penilaian sumatif, penilaian diagnostik, penilaian selektif dan penilaian penempatan. 1.
Penilaian Formatif Adalah
penilaian
yang
dilaksanakan
pada
akhir
program
belajar mengajar untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar mengajar itu sendiri. Penilaian formatif berorientasi pada proses, yang akan
memberikan
informasi kepada guru apakah program atau
proses belajar mengajar masih perlu diperbaiki. 2.
Penilaian Sumatif Adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir unit program misalnya penilaian yang dilaksanakan pada akhir caturwulan, akhir semester atau akhir tahun.Tujuan penilaian ini adalah untuk mengetahui hasil yang dicapai oleh para siswa, yakni seberapa jauh siswa telah mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum. Penilaian ini berorientasi pada produk/hasil.
3.
Penilaian Diagnostik Adalah penilaian yang bertujuan untuk mengetahui kelemahankelemahan siswa serta faktor-faktor penyebabnya. Pelaksanaan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
338
penilaian semacam ini biasanya bertujuan untuk keperluan bimbingan belajar, pengajaran remedial, menemukan kasus-dasus dan lain-lain. 4.
Penilaian Selektif Adalah penilaian yang dilaksanakan dalam rangka menyeleksi atau menyaring. Memilih siswa untuk mewakili sekolah dalam lombalomba tertentu termasuk jenis penilaian selektif. Untuk kepentingan yang lebih luas penilaian selektif misalnya seleksi penerimaan mahasiswa baru atau seleksi yang dilakukan dalam rekrutmen tenaga kerja.
5.
Penilaian Penempatan Adalah penilaian yang bertujuan untuk mengetahui keterampilan prasyarat yang diperlukan bagi suatu program belajar dan penguasaan belajar seperti yang diprogramkan sebelum memulai kegiatan belajar untuk program itu. Sedangkan Jenis evaluasi berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran
adalah : 1.
Evaluasi program pembelajaran adalah Evaluasi yang mencakup terhadap tujuan pembelajaran, isi program pembelajaran, strategi belajar mengajar, aspek-aspek program pembelajaran yang lain.
2.
Evaluasi proses pembelajaran adalah Evaluasi yang mencakup kesesuaian antara peoses pembelajaran dengan garis-garis besar program pembelajaran yang ditetapkan, kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti prosespembelajaran.
3.
Evaluasi hasil pembelajaran adalah Evaluasi hasil belajar mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan pembelajaran yang ditetapkan, baik umum maupun khusus, ditinjau dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
339
J.
Evaluasi Hasil Belajar 1.
Pengertian Evaluasi Hasil Belajar Evaluasi hasil belajar peserta didik adalah suatu proses menentukan nilai prestasi belajar peserta didik dengan menggunakan patokanpatokan tertentu guna mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya.
2.
Tujuan Hasil Belajar Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran, dimana tingkat keberhasilan tersebut kemudian ditandai dengan skala nilai berupa huruf atau kata atau symbol. Apabila tujuan utamanya kegiatan evaluasi hasil belajar ini sudah terealisasi, maka hasilnya dapat difungsikan dan ditujukan untuk berbagai keperluan.
3.
Fungsi Hasil Belajar a.
Untuk memberikan motivasi terhadap hal belajar mengajar.
b.
Untuk melengkapi informasi mengenai kemajuan belajar dan kemunduran
murid, dapat
pula
berfungsi
sebagai
bahan
pertimbangan untuk menentukan kenaikan siswa. c.
Untuk menentukan murid dalam suatu kemajuan tertentu.
d.
Untuk memperoleh data bagi pekerjaan bimbingan dan penyuluhan.
e.
Untuk memberikan informasi kepada guru, murid dan orang tua tentang apa dan sampai dimana hasil kemajuan yang dicapai.
Hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar pada akhirnya difungsikan dan ditujukan untuk keperluan berikut ini: a.
Untuk diagnostik dan pengembangan, yang dimaksudkan dengan hasil dari kegiatan evaluasi untuk diagnostik dan pengembangan adalah penggunaan hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar sebagai dasar pendiagnosisan kelemahan keunggulan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
siswa
beserta
sebab-sebabnya,
dan
berdasarkan
340
pendiagnosisan
inilah
guru
mengadakan
pengembangan
kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa. b.
Untuk seleksi, hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar seringkali digunakan sebagai dasar untuk menentukan siswasiswa yang paling cocok untuk jenis jabatan atau jenis pendidikan tertentu.
c.
Untuk kenaikan kelas, berdasarkan hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar siswa mengenai sejumlah isi pelajaran yang telah disajikan dalam pembelajaran, maka guru dapat dengan mudah membuat keputusan kenaikan kelas berdasarkan ketentuan yang berlaku.
d.
Untuk penempatan, agar siswa dapat berkembang sesuai dengan tingkat kemampuan dan potensi yang mereka miliki, maka perlu dipikirkan ketepatan penempatan siswa pada kelompok yang sesuai.
4.
Sasaran Evaluasi Hasil Belajar Sebagai
kegiatan
yang
berupaya
untuk
mengetahui
tingkat
keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, maka evaluasi hasil belajar memiliki sasaran berupa ranah-ranah yang terkandung
dalam
tujuan.
Ranah
tujuan
pendidikan
adalah
berdasarkan hasil belajar siswa secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni: ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik (Davies, 1986:97; Jarolimek dan Foster, 1981:1981; 148). Taksonomi tujuan ranah kognitif dikemukakan oleh Bloom (1956), merupakan hal yang amat penting diketahui oleh guru sebelum melaksanakan evaluasi. Ranah afektif dari taksonomi tujuan pendidikan dikemukakan pada tahun 1964 oleh Krathwohl, Bloom, dan Masia.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
341
5.
Prosedur Evaluasi Hasil Belajar Berdasarkan pengertian evaluasi hasil belajar kita mendapatkan bahwa hasil belajar merupakan suatu proses yang sistematis. Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing tahapan prosedur evaluasi hasil belajar. a)
Persiapan Pada tahapan persiapan ini terdapat tiga kegiatan yang harus dilakukan evaluator, yakni : 1)
Menetapkan
pertimbangan
dan
keputusan
yang
dibutuhkan. 2)
Menggambarkan informasi yang dibutuhkan.
3)
Menetapkan informasi yang sudah tersedia.
4)
Penyusunan Insrumen Evaluasi
Berikut ini akan diuraikan prosedur penyusunan alat penilaian secara garis besar. Prosedur yang perlu ditempuh untuk menyusun alat penilaian tes adalah sebagai berikut: 1)
Menentukan bentuk tes yang akan disusun, bentuk tes ada dua yakni tes objektif dan tes esai (tes subjektif).
2)
Membuat kisi-kisi butir soal, terdiri dari ruang lingkup isi pelajaran, proposi jumlah item dan tiap-tiap sub-isi pelajaran, aspek intelekttual, dan bentuk soal.
3)
Menulis butir soal, yakni kegiatan yang dilaksanakan evaluator setelah membuat kisi-kisi soal.
b)
Pelaksanaan Pengukuran Pelaksanaan pengukuran untuk teknik tes maupun teknik non tes hampir sama, oleh karena itu akan diuraikan pelaksanaan secara umum. Adapun prosedur pelaksanaan pengukuran adalah sebagai berikut: 1)
Persiapan tempat pelaksanaan pengukuran, yakni suatu kegiatan untuk mempersiapkan ruangan yang memenuhi
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
342
syarat-syarat pelaksanaan pengukuran yang meliputi syarat penerangan, luas ruangan, dan tingkat kebisingan. 2)
Melancarkan pengukuran.
3)
Menata dan mengadministrasikan lembar soal dan lembar jawaban siswa untuk memudahkan penskoran.
c)
Pengolahan Hasil penilaian Kegiatan mengolah data yang berhasil dikumpulkan melalui kegiatan penilaian inilah yang disebut kegiatan pengolahan hasil penilaian. Prosedur pelaksanaan pengolahan hasil penilaian adalah sebagai berikut : 1)
Menskor, yakni kegiatan memberikan skor pada hasil penilaian yang dapat dicapai oleh responden (siswa).
d)
2)
Mengubah skor mentah menjadi skor standar.
3)
Mengkonversikan skor standar ke dalam nilai.
Penafsiran Hasil Penilaian Penafsiran terhadap hasil penilaian individual dapat kita bedakan menjadi dua, yakni penafsiran yang bersifat individual dan penafsiran yang bersifat klasikan (Nurkancana, 1986: 113). Penafsiran hasil penilaian yang bersifat individual yakni penafsiran terhadap keadaan/kondisi seorang siswa berdasarkan perolehan penilaian hasil belajarnya. Ada tiga jenis penafsiran penilaian hasil belajar yang bersifat individual, yakni : 1)
Penafsiran tentang tingkat kesiapan, yakni tentang kesiapan siswa untuk mengikuti pelajaran yang berikutnya untuk naik kelas atau untuk lulus.
2)
Penafsiran tentang kelemahan individual yakni tentang kelemahan seorang siswa pada subtes tertentu, pada suatau mata pelajaran atau keseluruhan mata pelajaran.
3)
Penafsiran tentang kemajuan belajar individual yakni tentang kemajuan seoarang siswa pada satu periode pembelajaran atau pada satu periode kelas atau pada satu
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
343
periode sekolah. Adapun penafsiran yang bersifat klasikal terdiri dari :
e)
1)
Penafsiran tentang kelemahan-kelemahan kelas.
2)
Penafsiran tentang prestasi kelas.
3)
Penafsiran tentang perbandingan anatarkelas.
4)
Penafsiran tentang susunan kelas.
Pelaporan dan Penggunaan Hasil Evaluasi Pelaporan ini dimaksudkan untuk memberikan umpan balik kepada semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran secara langsung maupun tidak langsung. Pihak-pihak yang perlu memperoleh laporan tentang hasil belajar siswa adalah seperti siswa, guru yang mengajar, guru lain, petugas lain di sekolah, orang tua siswa, dan pemakai lulusan (Arikunto, 1990:289). Secara umum dapat ditandai bahwa penggunaan hasil evaluasi meliputi: 1)
Untuk menentukan kenaikan kelas atau kelulusan seoarang siswa yang terlibat dalam evaluasi hasil belajar tersebut.
2)
Untuk mengadakan diagnosis dan remedial terhadap siswa yang membutuhkan.
3)
Untuk menentukan perlu tidaknya suatu penyajian isi pelajaran/ sub-isi pelajaran ternteu diulang.
4)
Untuk menentukan pengelompokkan dan penempatan dan penempatan pada siswa.
5) 6.
Untuk membuat laporan hasil belajar.
Kriteria Evaluasi Hasil Belajar Peserta Didik Yang dimaksud kriteria adalah acuan- acuan yang diberikan dalam memberikan penilaian terhadap peserta didik.Acuan demikian perlu ditetapkan,agar dapat menjadikan sebagai pedoman oleh para pendidik dalam membuat keputusan sehubungan dengan peserta
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
344
didik. Ada dua kriteria penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik yaitu: a.
Kriteria acuan patokan Menurut kriteria ini peserta didik dinilai baik dan memenuhi syarat untuk dinaikan, diluluskan atau dipromosikan, jika yang bersangkutan memenuhi standar yang ditetapkan sebelumnya oleh pendidik. Konskuensinya adalah jika seluruh peserta didik berada diatas standar ,akan dinaikan semua, dipromosikan semua atau diluluskan semua. Sebaliknya jika dibawah standar maka tidak dinaikan, tidak dipromosikan dan tidak diluluskan.
b.
Kriteria acuan norma Kriteria ini mengharuskan pendidik mendasarkan tafsiran penilaian pada keberhasilan rata- rata peserta didik di dalam kelas. Yang dijadikan pembanding keberhasilan adalah nilai peserta didik dalam kelas.Jika salah seorang peserta didik ternyata diatas rata- rata ,maka diidentifikasikan sebagai berhasil. Maka sebaliknya yang berada dibawah rata-rata kelas,dianggap belum berhasil.
K.
Evaluasi Pembelajaran 1.
Pengertian Evaluasi Pembelajaran Evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses untuk menentukan jasa, nilai atau manfaat kegiatan pembelajaran melalui kegiatan penilaian dan atau pengukuran. Pembahasan evaluasi pembelajaran dalam uraian berikut ini akan dibatasi pada fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran, sasaran evaluasi pembelajaran, dan prosedur evaluasi pembelajaran.
2.
Fungsi dan Tujuan Evaluasi Pembelajaran. Sejumlah informasi atau data yang diperoleh melalui evaluasi pembelajaran inilah yang kemudian difungsikan dan ditujukan untuk pengembangan pembelajaran dan akreditasi.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
345
a.
Fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran untuk pengembangan. Fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran untuk pengembangan pembelajaran dilaksanakan apabila hasil kegiatan evaluasi pembelajaran
digunakan
sebagai
dasar
pengembangan
pembelajaran. b.
Fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran untuk akreditasi Pengertian akreditasi sebagai suatu penilaian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sekolah swasta untuk menentukan peringkat
pengakuan
pemerintah
pengakuan
pemerintah
terhadap sekolah tersebut (Arikunto, 1990 : 186). Juga dapat diartikan sebagai suatu proses dengan mana suatu program atau institusi (lembaga) diakui sebagai badan yang sesuai dengan beberapa standar yang telah disetujui (Scravia B. Anderson dalam Arikunto, 1990 : 186). 3.
Sasaran Evaluasi Pembelajaran Sasaran evaluasi pembelajaran adalah aspek-aspek yang terkandung dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian sasaran evaluasi pembelajaran
meliputi
tujuan
pengajaran,
unsur
dinamis
pembelajaran, pelaksanan pembelajaran, dan kurikulum. a.
Tujuan pembelajaran Hal-hal yang perlu dievaluasi pada tujuan pengajaran adalah penjabaran tujuan pengajaran, rumusan tujuan pengajaran, dan unsur-unsur tujuan pengajaran. Penjabaran dimulai dari tujuan pengajaran tertinggi sampai tujuan pengajaran yang terendah seringkali disebut hieraki tujuan. Tujuan pengajaran yang tertinggi
adalah
tujuan
pendidikan
nasional.
Tujuan
kelembagaan, tujuan kurikuler, tujuan umum pengajaran, dan terakhir tujuan khusus pengajaran, semakin kebawah semakin rinci unsur-unsur yang ada dirumusan tersebut.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
346
b.
Unsur dinamis pembelajaran Yang dimaksud dengan unsur dinamis pembelajaran adalah sumber belajar atau komponen sistem instruksional yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Sumber belajar meliputi: pesan orang, bahan, alat, teknik, dan latar. Sumber-sumber belajar dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sumber belajar yang dirancang yakni sumber belajar yang secara khusus telah dikembangkan
sebagai
komponen
pembelajaran
untuk
memberikan kemudahan /fasilitas belajar yang terarah dan bersifat normal, dan sumber belajar karena dimanfaatkan yakni sumber belajar yang tidak secara khusus dirancang untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan diterapkan, dan digunakan untuk keperluan belajar. c.
Pelaksanaan pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran diartikan sebagai interaksi antara sumber belajar dengan siswa. Sasarn evaluasi pembelajaran dalam pelaksanaan pembelajaran secara lebih terperinci diantaranya adalah: 1)
Kesesuaian pesan dengan tujuan pengajaran.
2)
Kesesuaian sekuensi penyajian pesan kepada siswa.
3)
Kesesuaian bahan dan alat dengan pesan dan tujuan pengajaran.
4)
Kemampuan guru menggunakan bahan dan alat dalam pembelajaran.
5)
Kemampuan guru menggunakan teknik pembelajaran.
6)
Kesesuaian teknik pembelajaran dengan pesan dan tujuan pengajaran.
7)
Interaksi siswa dengan siswa lain.
8)
Interaksi guru dengan siswa.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
347
d.
Kurikulum Kurikulum
dipandang
sebagai
rencana
tertulis
yakni
seperangkat komponen pembelajaran yang diuraikan secara tertulis pada bahan tercetak atau buku. Kurikulum sebagai sasaran evaluasi pembelajaran akan meliputi: 1)
Tersedianya
dan
sekaligus
kelengkapan
komponen
kurikulum. 2)
Pemahaman terhadap prinsip-prinsip pengembangan dan pelaksanaan kurikulum.
3)
Pemahaman terhadap tujuan kelembagaan atau tujuan institusional sekolah.
4.
4)
Pemahaman terhadap strukur program kurikulum.
5)
Pemahaman terhadap GBPP.
6)
Pemahaman terhadap teknik pembelajaran.
7)
Pemahaman terhadap sistem evaluasi.
8)
Pemahaman terhadap pembinaan guru.
9)
Pemahaman terhadap bimbingan siswa.
Prosedur Evaluasi Pembelajaran Evaluator dalam evaluasi pembelajaran adalah suatu tim yang mempunyai peran penting dalam memberikan informasi mengenai keberhasilan pembelajaran (Arikunto, 1988:7) yang berhak menjadi evaluator adalah orang-orang yang telah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan. Adapun lima tahapan prosedur evaluasi pembelajaran sebagai berikut: a.
Penyusunan Rancangan Desain evaluasi pembelajaran berisi hal-hal yang sama dengan yang tertera dalam desain penelitian yakni meliputi latar belakang, problematika, tujuan evaluasi, populasi, dan sampel, instrument dan sumber data serta teknik analisis data (Arikunto, 1988 : 44). Ada beberapa langkah-langkah kegiatannya:
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
348
1)
Menyusun latar belakang yang berisikan dasar pemikiran dan atau rasional penyelenggara evaluasi
2)
Problematika
berisikan
rumusan
permasalahan/problematika yang akan dicari jawabannya baik secara umum maupun terperinci 3)
Tujuan evaluasi merupakan rumusan yang sesuai dengan problematika evaluasi pembelajaran
b.
4)
Populasi dan sampel
5)
Instrumen
6)
Teknik analisis data
Penyusunan Instrumen Menurut Arikunto (1988 : 88-89) langkah-langkah penyusunan instrumen adalah: 1)
Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan instrumen yang akan disusun.
2)
Membuat kisi-kisi yang mencanangkan tentang perincian variabel dan jenis yang akan digunakan untuk mengukur bagian variebel yang bersangkutan.
3)
Membuat butir-butir instrumen evaluasi pembelajaran yang dibuat berdasarkan kisi-kisi.
4) c.
Menyunting instrument evaluasi pembelajaran.
Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data dapat diterapkan berbagai teknik pengumpulan data diantaranya adalah sebagai berikut : 1)
Kuesioner yakni seperangkat pertanyaan tertulis yang diberikan kepada seseorang untuk mengungkap pendapat, keadaan, kesan yang ada pada diri orang tersebut maupun diluar dirinya (Arikunto, 1988 : 53).
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
349
2)
Wawancara yakni suatu teknik pengumpulan data yang menuntut adanya pertemuan langsung atau komunikasi langsung antara evaluator dengan sumber data.
3)
Pengamatan yakni teknik pengumpulan data melalui kegiatan mengamati yang dilakukan oleh evaluator terhadap kegiatan pembelajaran.
4)
Studi kasus yakni teknik pengumpulan data berdasarkan kasus-kasus yang ada dan didokumentasikan.
d.
Analisis Data Analisis
data
dapat
dilakukan
secara
individual
dan
berkelompok. Apabila data diolah dan dianalisis secara individual maka hasilnya menunjuk kepada seseorang atau suatu keadaan. Sedangkan pengolahan dan penganalisisan secara kelompok , hasilnyta menunjuk kepada suatu bagian data atau keseluruhan. e.
Penyusunan Laporan Dalam laporan evaluasi pembelajaran harus berisikan pokokpokok berikut: 1)
Tujuan evaluasi, yakni didahului dengan latar belakang dan alasan dilaksanakannya evaluasi.
2)
Problematika berupa pertanyaan-pertanyaan yang telah dicari
jawabnya
melalui
pengetahuan
evaluasi
pembelajaran. 3)
Lingkup dan metodologi evaluasi pembelajaran yang dicantumkan di sini adalah unsur-unsur yang dinilai dan hubungan antarvariabel, metode pengumpulan data, instrument pengumpulan data, teknik analisis data.
4)
Pelaksanaan evaluasi pembelajaran.
5)
Hasil
evaluasi
pembelajaran
yakni
berisi
tujuan
pengajaran, tolak ukur, data diperoleh, dan dilengkapi dengan sejumlah informasi yang mendorong penemuan
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
350
evaluasi pembelajaran sehingga dengan mudah pembuat keputusan
dapat
memahami
tingkat
keberhasilan
pembelajaran (Arikunto, 1988: 117-118). L.
Penilaian Berbasis Kelas Penilaian berbasis kelas merupakan bagian integral dalam proses pembelajaran yang
dilakukan
sebagai
proses
pengumpulan
dan
pemanfaatan informasi yang menyeluruh tentang hasil belajar yang diperoleh
siswa
untuk
menetapkan
tingkat
pencapaian
dan
penguasaan kompetensi seperti yang ditentukan dalam kurikulum dan sebagai umpan balik perbaikan proses pembelajaran. M.
Guru Sebagai Evaluator Evaluasi merupakan salah satu komponen yang memiliki peran yang sangat penting dalam suatu rangkai kegiatan pembelajaran. Melalui evaluasi bukan saja guru dapat mengumpulkan informasi tentang berbagai kelemahan dalam proses pembelajaran sebagai umpan balik untuk memperbaiki selanjutnya, akan tetapi dapat melihat sejauh mana kemampuan peserta didik. Beberapa hal yang cukup penting dalam melaksanaan fungsi evaluator bagi guru adalah: 1)
Evaluasi harus dilaksanakan terhadap semua aspek perkembangan siswa, baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Hal ini sangat penting , oleh sebab pencapaian manusai seutuhnya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan dan atau proses pembelajaran.
2)
Evaluasi harus dilakukan secara terus-menerus,dengan menekankan kepada evaluasi hasil dan evaluasi proses.
3)
Evaluasi dilakukan
dengan
menggunakan
berbagai
intrumen
penilaian. Guru banyak yang beranggapan bahwa evaluasi identik dengan melaksanakan tes. Padahal tidak demikian, tes hanya sebagai salah satu instrumen untuk melaksanakan evaluasi. 4)
Evaluasi harus dilaksanakan secara terbuka dengan melibatkan siswa sebagai evaluan.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
351
Untuk melaksanakan ke-empat hal di atas, Guru perlu memahami teori dan teknik penilaian, seperti: 1)
Guru
perlu
memiliki
kemampuan dalam merancang
berbagai instrumen evaluasi, misalnya kemampuan guru menyusun angket, wawancara, observasi dan lain-lain. 2)
Guru perlu memiliki kemampuan dalam mengolah data sebagai bagian dari proses evaluasi yang dilakukannya.
3)
Guru harus memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan yang tepat berdasarkan data hasil evaluasi.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
352
DAFTAR PUSTAKA AECT. 1986. Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Arikunto, Suharsimi. 1988. Penilaian Program Pendidikan. Jakarta : Depdikbud. . 1990. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Ahmadi, A., & Widodo Supriyono. (2004). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Bell, Margareth E. 1994. Belajar dan Pembelajarkan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Budiningsih, C. Asri. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Darsono, Max, dkk. (2000). Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press. Davies, Ivor K. Penterjemah Sudarsono S. Dkk. 1986. Pengelolaan Belajar. Jakarta: PAU UT dan CV Rajawali. Dimyati, Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta. . 2013. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Djamarah, Syaiful Bahri. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. E. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. Fathurrohman, Pupuh (2007). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Refika Aditam. Gordon, T. & Burch, N. (1997). T.E.T: Menjadi Guru yang Efektif. Jakarta: Depdiknas Proyek Pengembangan Buku Sekolah Dasar.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
353
Haling, Abdul. 2007. Belajar dan Pembelajaran. Makassar : Badan Penerbit UNM. Hamalik, Oemar. 2009. Pendidikan guru berdasarkan pendekatan kompetens. Jakarta: PT.Bumi Aksara. Hamid Syarif, A. 1993. Pengembangan Kurikulum. Surabaya: Bina ilmu. Idi, Abdullah. 2010. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik . Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Indung, A. Saleh dkk. 1992. Evaluasi dan Penelitian Pendidikan. Malang: FIPIKIP Malang. Kartadinata & Dantes. (1997). Landasan-landasan Pendidikan Sekolah Dasar. Jakarta: Depdikbud. Kasyadi, Soeparlan, dkk. (2014). Strategi Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Pustaka Mandiri. Makmun, Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja. Nurgianto,
Burhan.
2011
. Penilaian
Pembelajaran
Bahasa
Berbasis
Kompetensi. Yogyakarta : BPFE YOGYAKARTA. Nurkancana, Wayan dan Sumartana. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Rusyan,T. 1993. Evaluasi Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bina Budaya. Prabowo, Sugeng L. (2010). Perencanaan Pembelajaran. Malang: UIN-Malang Press. Prawiladilaga, Dewi S. (2007). Prinsip Desain Pembelajaran Cetakan kedua. Jakarta: Prenada Media Group.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
354
. (2008). Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Riyanto, Yatim. (2009). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Rohani, Ahmad. (2004). Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada Group. Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. Keempat Subandiyah .1993. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: Grafindo Persada. Syaodih Sukmadinata, Nana. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. Uno, Hamzah B. (2009). Model Pembelajaran Cetakan kelima. Jakarta: Bumi Aksara. . (2012). Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif. Dan Efektif. Jakarta: PT Bumi Aksara. . (2014). Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Utomo, Tjipto & Ruijter, Kees. 1991. Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Warsita, Bambang. 2008. Teknologi Pembelajaran, Landasan dan Aplikasinya. Jakarta : Rineka Cipta Winardi. (2002). Manajemen Perilaku Organisasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Yamin, M., & Maisah. (2009). Manajemen Pembelajaran Kelas (Strategi Meningkatkan Mutu Pembelajaran). Jakarta: Gaung Persada Press.
Novianti Mandasari, M.Pd. Mat
355