MAKALAH HUBUNGAN PERBURUHAN DAN TAWAR MENAWAR YANG KOLEKTIF
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia yang dibimbing oleh bapak Arik Prasetya, S.Sos., M.Si dan M. Faisal Reza, S.Sos., M.Ab
Disusun oleh:
Ulya Hasna Wilujeng 125030300111035
Reva Hasna Nur Faza 125030300111047
Myrza Pahlevi 125030307111013
Nirmaya Candra Kirana 125030306111001
Bisnis Internasional A
Universitas Brawijaya
Malang
2014
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat dan karunianya kepada kami sehingga berhasil menyelesaikan makalah tentang "Hubungan Perburuhan dan Tawar Menawar yang Kolektif" tepat pada waktunya.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua mengenai ketenagakerjaan atau perburuhan beserta proses tawar menawar yang kolektif. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kamisampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyelesain makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan YME selalu merhidai segala usaha kita. Aamiin.
Malang, 25 Februari 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perburuhan atau ketenagakerjaan merupakan bagian yang erat kaitannya dengan seorang buruh dan majikannya. Hubungan yang terjalin tidak sebatas pada pengupahan namun juga cara-cara bekerja buruh untuk pekerjaan yang dijalaninya. Ketenagakerjaan juga mempengaruhi pembangunan nasional dan hal ini juga telah diatur dalam pancasila serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Tenaga kerja mempunyai perananan, kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan sasaran pembangunan nasional. Hak-hak tenaga kerja yang diatur dalam peraturan ketenagakerjaan Indonesia, yang didalamnya termasuk perlindungan tenaga kerja merupakan hal yang harus diperjuangkan agar harkat dan kemanusian tenaga kerja ikut terangkat. Perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar karyawan dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha nasional dan internasional.
Karena pentingnya peran tenaga kerja, maka untuk melindungi hak-hak para pekerja dibentuklah hukum perburuhan atau ketenagakerjaan. Hukum Perburuhan adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa. Iman Soepomo membuat rumusan tentang arti kata Hukum Perburuhan yaitu suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
Dalam makalah ini kami akan membahas secara lebih padat tentang sejarah perburuhan di Indonesia, Undang-undang ketenagakerjaan serta proses tawar menawar yang kolektif dalam serikat kerja.
Rumusan Masalah
1. Menjelaskan sejarah singkat gerakan buruh (tenaga kerja) di Indonesia
2. Mendiskusikan undang-undang ketenagakerjaan
3. Membuat contoh terkini apa yang diharapkan selama perjalanan pemilihan serikat pekerja
4. Menjelaskan lima cara untuk mengabaikan pemilihan NLRB
5. Membuat contoh tawar-menawar yang tidak beritikad baik
Tujuan
Mengetahui sejarah singkat gerakan buruh (tenaga kerja) di Indonesia
Mengetahui undang-undang ketenagakerjaan
Mengetahui contoh terkini yang diharapkan selama perjalanan pemilihan serikat pekerja
Mengetahui lima cara mengabaikan pemilihan NLRB
Mengetahui contoh tawar-menawar yang tidak beritikad baik
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah singkat gerakan buruh (tenaga kerja) di Indonesia
Sejarah gerakan Buruh Indonesia dapat dikelompokan sesuai dengan jaman/era dimana peristiwa itu terjadi, yaitu Jaman Pra Imperialis, Jaman Kolonial, dan Jaman Kemerdekaan.
Pada masa penjajahan Belanda saat berakhirnya zaman kapital industri yang berdasarkan persaingan bebas ekonomi yang kemudian disusul oleh zaman imperialisme, kedudukan Indonesia sejak tahun 1895 didalam hubungan ekonomi dunia ialah bahwa Indonesia dijadikan tempat sumber bahan mentah, tempat penanaman modal, tempat pemasaran hasil produksi kapitalis dunia serta sebagai sumber tenaga buruh yang sangat murah. Dengan lahirnya Imperialisme Belanda di Indonesia itulah, lahir dalam arti yang sebenarnya kaum buruh di Indonesia.
Dengan adanya penanaman modal industri oleh imperialis dalam berbagai lapangan di Indonesia lahirlah golongan rakyat dalam masyarakat yang baru yaitu "kaum buruh", sebagai golongan yang menurut kedudukan sosialnya berkepentingan untuk menghapuskan sistem penghisapan dan penindasan yang dijalankan oleh kaum imperialis Belanda. Buruh yang menjual tenaga kerjanya untuk mendapat upah, muncul pada ekade-dekade terakhir abad XIX, terutama diperkebunan swasta yang berkembang di Jawa dan Sumatra.
Jaman Kolonial adalah jaman dimana munculnya buruh yang menjual tenaga kerja un tuk mendapatkan upah. Pada waktu itu buruh-buruh bekerja menjual tenaganya diberbagai bidang seperti: perkebunan, pelabuhan, penggadaian, transportasi, dan perkantoran. Seperti kondisi sekarang buruh-buruh waktu itu kondisi kerja dan kesejahteraannya tidak sesuai seperti: uaph yang sangat murah, jam kerja panjang, pajak yang sangat tinggi, kondisi kerja yang sangat buruk, dan tidak ada jaminan selama kerja.
Dengan kondisi kerja yang demikian para buruh mulai mengkonsolidasikan diri dengan buruh-buruh yang lain juga dengan orang-orang yang berpendidikan atau lebih dikenal sebagai tokoh-tokoh pergerakan dan menjadi pemimpin di organisasi modern seperti: Budi Utomo, Sarikat Islam, dan lain sebagainya.
Serikat buruh pertama di Jawa didirikan pada tahun 1905 oleh buruh-buruh kereta api dengan nama SS Bond. Kepengurusan organisasi ini sepenuhnya dipegang oleh orang-orang Belanda. Namun serikat buruh ini tidak pernah berkembang menjadi gerakan yang militan dan berakhir pada tahun 1912. Setelah itu bermunculan banyak gerakan perburuhan lain namun juga tetap tidak berkembang dan pada akhirnya berakhir juga. Dibeberapa kota seperti Semarang, Jakarta dan Bandung ada sekelompok kaum Tionghoa yang berhasil mendirikan Perkumpulan Kaum Buruh Tionghoa (PKBT) dan Serikat Buruh Tionghoa (SBT). Dalam sebuah konferensi tanggal 25 desember 1933 mereka mendirikan Federasi Kaum Buruh Tionghoa (FKBT). Kedatangan Direktur ILO Harold B Butler pada Oktober 1938 sebenarnya membawa harapan baru tapi seperti yang diamati kemudian tidak terjadi kemajuan yang berarti.
Pemerintah Hindia Belanda terusir dari indonesia dan rakyat indonesia mulai kehidupan babak baru dibawah kolonial Jepang. Pada masa pendudukan Jepang terjadi kemacetan dalam bidang politik termasuk gerakan buruh.
Pasca proklamasi kemerdekaan sejumlah tokoh gerakan buruh berkumpul di Jakarta tepatnya pada tanggal 15 September 1945 untuk membicarakan peranan kaum buruh dalam perjuangan kemerdekaan dan menentukan landasan bagi kaum buruh. Pada perttemuan tersebut berdirilah organisasi buruh yang diberi nama Barisan Buruh Indonesia ( BBI ), selain itu BBI juga menuntut Komite Nasional Indonesia untuk mengakui organisasi tersebut.
Pada bulan Oktober 1945 di Sumatera berdiri Satuan Pegawai Negeri Republik Indonesia (SPNRI). Dikalangan buruh perempuan mendirikan organisasi yang bernama Barisan Buruh Wanita (BBW) yang diketuai oleh SK Tri Murti. Kegiatannya ditujukan untuk memberi pendidikan dan kesadaran kepada buruh perempuan. Pada tanggal 01 Mei 1946 ( Hari Buruh ) BBW telah berhasil mengumpulkan calon pemimpin buruh perempuan. Banyak sekali organisasi buruh pada waktu itu dan sampai tahun 1950 an jumlah anggota yang terhimpun 3 sampai 4 juta orang yang tergabung dalam 150 serikat buruh nasional dan ratusan serikat buruh lokal.
Diantara ratusan serikat buruh itu hanya 4 Federasi serikat Buruh yang sangat besar yaitu:
1. Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dengan jumlah anggota sekitar 60% dari jumlah buruh yang terorganisir. Organisasi ini berdiri tahun 1946. organisasi ini memiliki hubungan erat dengan partai komunis indonesia (PKI) yang ikut pemilu tahun 1951. SOBSI terdiri dari 39 serikat buruh Nasional dan sekitar 800 serikat buruh lokal dari berbagai sektor seperti : perhutanan, transportasi, pelabuhan, pertambangan, media, dll.
2. Kongres Seluruh Buruh Indonesia (KSBI) berdiri pada tanggal 12 Mei 1953 terdiri dari serikat-serikat buruh non komunis. Kegiatan organisasi ini lebih banyak pada hal-hal yang berhubungan dengan keadilan sosial.
3. SBII berdiri bulan November 1948 oleh tokoh-tokoh partai islam yang menyadari pentingnya gerakan buruh sebagi basis pendukung partai.
4. Kesatuan Buruh kerakyatan Indonesia (KBKI) didirikan pada tanggal 10 Desember 1952 organisasi ini semula bernama Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia dia memiliki hubungan erat dengan partai Indonesi. Azas yang melandasi orgnisasi ini adalah marhaenisme (ajaran Soekarno).
SOBSI adalah salah satu Federasi yang menunjang kemenangan PKI dalam 5 besar pada pemilu yang diadakan pertama kali di Indonesia pada tahun 1955. berkat kemenangan pemilu tersebut banyak tokoh SOBSI yang duduk di parlemen sehingga ada beberapa kebijakan politik yang berpihak kepada buruh seperti lahirnya undang-undang penyelesaian perselisihan perburuhan ( UU No. 22 Tahun 1957 ) dan undang-undang tentang pemutusan hubungan kerja ( UU No. 12 Tahun 1964 ), kedua undang-undang tersebut merupakan undang-undang perburuhan terbaik di Asia.
Undang-Undang Ketenagakerjaan
Hingga sekitar tahun 1930, tidak ada UU pekerja yang khusus. Para pengusaha tidak diharuskan terlibat dalam persetujuan kolektif dengan karyawan dan hampir tidak ada batasan utuk perilaku pengusaha terhadap karyawan seperti penggunaan mata-mata, daftar hitam, dan memecat penggerak serikat kerja. Hingga pada akhirnya Undang-undang pekerja mengalami tiga periode yaitu periode dorongan kuat, modifikasi dorongan bersama dengan peraturan, sampai menjadi peraturan detail masalah serikat pekerja internal.
Periode Dorongan Kuat: UU Norris-Laguardia (1932) dan National Labor Relations atau Wagner Act (1935)
UU Norris-Laguardia dan UU Wagner Act menandai sebuah perubahan dalam undang-undang pekerja dari represi menjadi dorongan kuat akan aktivitas serikat pekerja. Mereka melakukan ini dengan melarang jenis tertentu praktik pekerja yang tidak adil, dengan menyediakan pemilihan surat rahasia, dan dengan menciptakan Dewan Hubungan Pekerja Nasional.
Periode modifikasi dorongan bersama dengan peraturan: UU Taft-Hartley Act (1947)
UU Taft-Hartley mencerminkan periode dorongan termodifikasi yang disertai dengan regulasi. UU ini menyebutkan hak-hak karyawan dengan memerhatikan serikat pekerja mereka, meyebutkan hak-hak pengusaha, dan mengizinkan Presiden AS untuk secara sementara melarang pemogokan darurat nasional. Diantaranya, UU ini juga menyebutkan beberapa praktik pekerja yang tidak adil. Dan pengusaha secara eksplisit diberikan hak untuk memperlihatkan pandangan mereka atas organisasi serikat pekerja.
Periode Regulasi Rinci atas masalah Serikat Pekerja Internal: Landrum-Griffin Act (1959)
UU Landrum-Griffin mencerminkan periode rincian regulasi dari hubungan serikat pekerja internal. UU ini tumbuh dari penemuan perbuatan yang menyimpang baik di pihak kepemimpinan manajemen dan serikat pekerja dan berisi rancangan undang-undang hak bagi para anggota serikat pekerja.
Undang-Undang ketengakerjaan di Indonesia diatur dalam UU no.13 tahun 2003. Ketengakerjaan sebagai aspek penting dalam pembangunan nasional disesuaikan dengan Undang-Undnag Dasar 1945 dan Pancasila sebagai acuan jika dalam serikat kerja terjadi perselisihan maka diharapkan diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun pada tahun 2010 undang-undang ketenagakerjaan ini dipereteli lagi. Kali ini pengajuan dilakukan Serikat Pekerja Bank Central Asia (SP BCA). Hasilnya Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU ketenagakerjaan yang mengatur soal syarat perundingan Perjanjian Kerja Bersama dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Kemudian pada akhir tahun 2011, sejumlah pekerja mengajukan Pasal 155 ayat (2) tentang upah proses untuk diuji dan dikabulkan MK sebagian. Terakhir adalah putusan MK di awal tahun 2012 yang mengabulkan permohonan Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik Didik Suprijadi terkait pasal yang mengatur mengenai outsourcing. MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat. Pemerintah sebenarnya sadar UU Ketenagakerjaan sudah tak utuh lagi. Makanya Menteri Tenaga dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengatakan UU Ketenagakerjaan layak untuk disempurnakan.
Bicara UU Ketenagakerjaan berarti akan berbicara pula setidaknya dua kepentingan, yaitu kepentingan pekerja dan pengusaha. Karena dua kepentingan ini yang kerap bertolakbelakang dan bahkan cenderung menegasikan. Pekerja menuntut kesejahteraan setinggi-tingginya sedangkan pengusaha ingin untung sebesar-besarnya. Ini pula yang mengakibatkan penyusunan maupun perubahan UU Ketenagakerjaan menjadi berlarut-larut. Perbedaan mengenai perlu tidaknya revisi UU Ketenagakerjaan ternyata juga terjadi di kalangan buruh. Wakil Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Sahat Butar Butar menuturkan ada pro-kontra di tingkat buruh mengenai revisi UU Ketenagakerjaan ini.
UU No.13/2003 pada Bab X tentang Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan dalam faktanya masih jauh dari peraturan yang telah ditulis serta mengikat bagi siapa pun yang menjadi tanggungjawab menjalankannya. Untuk masalah pengupahan saja, para pengusaha di Indonesia masih menggeneralisasi tentang kenaikan UMP yang sama dengan kenaikan gaji. Gaji semestinya terdiri dari UMP ditambah dengan tunjangan-tunjangan yang sifatnya tetap. Hal ini, (saya melihat) disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: UMP yang telah ditetapkan melalui SK pemerintah yang tidak pernah dikawal, baik oleh pemerintah sendiri khususnya Disnakertrans dan juga tidak dikawal oleh para pekerja baik yang sudah tergabung dalam asosiasi maupun yang belum. Perusahaan di daerah Bandung pun masih mendiskreditkan tentang masalah pengupahan yang telah diatur pada pasal 93 yang menyatakan wajib bagi para pengusaha untuk memberikan upah bagi pekerjanya yang sakit selama 12 bulan sebelum pemutusan hak kerja.
Masalah kesejahteraan bagi para pekerja oleh UU No.13/2003 masih kurang lengkap dibahas secara mendetail, sebab kesejahteraan pekerja adalah hal yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah dan pengusaha. Seperti yang tercantum pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28H ayat (3): "Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat" dan Pasal 34 ayat (2): "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan."
Secara garis besar Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 sudah hampir tercukupi, namun ada beberapa pasal atau pembahasan suatu ketenagakerjaan yang harus dibuat secara terperinci. Agar hubungan antara pekerja dan para pengusaha lebih detail dan jelas porsi-porsinya sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan karena semua peraturan telah ditulis secara gamblang dan jelas.
Contoh Terkini yang Diharapkan Selama Pemilihan Serikat Pekerja
Serikat pekerja menjadi perwakilan karyawan jika mereka memenangkan pemilihan. Dan memenangkan berarti mendapatkan mayoritas suara yang diberikan, bukan mayoritas dari total pekerja dalam unit persetujuan. Sebagai perwakilan dari karyawan, para penyelia harus berhati-hati agar tidak melakukan praktik yang tidak adil. Beberapa hal memengaruhi apakah serikat pekerja memenangkan pemilihan sertifikasi. Serikat pekerja memiliki kemungkinan keberhasilan yang lebih tingi dalam daerah geografis yang memiliki presentase pekerja serikat yang tinggi, sebagian karena karyawan serikat pekerja menikmati upah dan tunjangan yang lebih tinggi.
Yang diharapkan karyawan selama pemilihan serikat pekerja adalah suara mayoritas dapat diberikan pada mereka yang mampu menjadi jembatan antara pengusaha dan karyawan sehingga mampu menjadi penyampai informasi yang baik dari pengusaha ke karyawan maupun sebaliknya. Selain itu dapat menyampaikan aspirasi-aspirasi kepada pengusaha.
Serikat pekerja diharapkan mampu menciptakan praktik kerja yang adil dan melakukan negosiasi yang menguntungkan kedua belah pihak. Serikat pekerja terpilih juga seharusnya bisa membuat persetujuan-persetujuan diawal sebelum praktik kerja dan tidak mengabaikannya. Hal ini diharapkan mampu mensejahterkan karyawan dan meningkatkan loyalitas serta semangat pekerja.
Dengan demikian diharapkan tidak akan ada konvoi-konvoi dan unjuk rasa buruh atau pekerja yang ditujukan kepada pengusaha atau instansi terkait.
Agar kalah dalam NLRB
National Labor Relations Board (NLRB) merupakan suatu dewan yang bertugas untuk menyelidiki tuntutan praktik pekerja yang tidak adil dan menyediakan surat-surat rahasia untuk pemilihan dan menetapkan suara terbanyak untuk menetukan apakah karyawan sebuah perusahaan ingin membuat serikat atau tidak.
Tidak ada cara pasti di mana pengusaha dapat memenangkan pemilihan. Tapi, di bawah ini ada lima cara pasti agar kalah dalam pemilihan NLRB:
Tidak Menyadari Perubahan : Dalam sebuah studi, 68% perusahaan yang kalah dari serikat pekerja, ternyata para eksekutifnya tidak menyadari keadaan. Dalam perusahaan ini, pergantian dan absennya pekerja meningkat, produktivitasnya tidak stabil, dan keamanannya buruk. Prosedur keluhan jarang terjadi. Saat laporan kartu otorisasi pertamsa mulai masuk ke manajer puncak, biasanya mereka merespons dengan serbuan surat yang menggambarkan bagaimana perusahaan merupakan "satu keluarga besar" dan menghentikam "usaha-usaha kelompok". Seperti yang diamati Goodfellow, "Namun, strategi yang terbaik adalah sadar sejak awal: secara keseluruhan kebijaksanaan menyatakan bahwa manajemen meluangkan waktu dan usaha bahkan saat suasananya tenang melakukan pengetesan tentang keadaan sentimn karyawan dan menemukan cara untuk menghilangkan hal-hal yang mengganggu. Melakukan hal tersebut berarti nengurangi ekmungkinan bahwa sebuah pemilihan akan pernah terjadi."
Menunjuk sebuah Komite : Dai perusahaan yang kalah, 36% membentuk sebuah komite untuk mengatur kampanye. Menurut para pakar, ada tiga masalah dalam hal ini: 1) Ketepatan waktu sangat penting dalam situasi pemilihan, dan komite terkenal lamban. 2) Kebanyakan anggota komite adalah orang baru NLRB. Karena itu pandangan mereka sebagian besar merupakan cerminan dari harapan, dan bukan pengalaman. (3) Keputusan sebuah komite biasanya merupakan sebuah kompromi. Hasilnya sering mendekati opini konservatif. Tetapi, tidak selalu merupakan opini yang paling berdasarkan pemahaman atau yang paling efektif. Para pakar ini menyarankan untuk memberikan tanggung jawab penuh kepada seorang eksekutif pengambil keputusan. Seorang direktur sumber daya manusia dan seorang konsultan atau penasihat dengan pengalaman yanf luas dalam hubungan pekerja harus bergiliran membantu orang ini.
Berkonsentrasi pada Uang dan Tunjangan: Dari 54% pemilihan yang yang dipelajari, perusahaaan kalah karena manajemen puncak berkonsentrasi pada permasalahan yang salah: uang dan tunjangan. Seperti yang diktakan pakar: "Karyawan mungkin mengingnkan uang yan g lebih banyak, tetpi seringkali mereka puas dengan tarif dan tunjangan kompetitif yang wajar jika mereka merasa perusahaan memperlakukan mereka dengan adli, sopan, dan jujur. Namun, saat mereka merasa diabaikan, tidak diperhatikan, dan tidak dianggap, maka uang menjadi masalah besar untuk memperlihatkan ketidakpuasan mereka."
Titik lemah industri: Para peneliti menemukan bahwa dalam beberapa industri, para karyawan lebih merasa diabaikan dan tidak diangap daripada dalam industri lainnya. Dalam industri yang amat otomatis(seperti pabrik kertas dan mobil), ada kecenderungan dari para eksekutif untuk mengabaikan karyawan yang dibayar per jam, walaupun saat ini kondisi berubah ketika perusahaan menerapkan lebih banyak program perbaikan kualitas. Dalam hal ini(seperti alasan 3), solusinya adalah memberikan lebih banyak perhatian pada kebutuhan dan sikap para karyawan.
Mendelegasikan terlalu banyak tanggung jawab terhadap divisi : Untuk perusahaan dengan pabrik yang tersebar di seluruh negara, mengelola beberapa pabrik akan memberikan desakan kepada serikat pekerja untuk menggoda para pekerja pabrik lainnya. Membuat serikat pekerja pada satu pabrik atau lebih akan mengarah kepada pembuatan serikat pekerja di pabrik lainnya. Sebagian solusinya adalah mengingat empat alasan yang telah dikatakan di atas, jadi mengurangi kemampuan kemampuan serikat pekerja untuk mengelola beberapa pabrik pertama tadi. Juga, jangan melepaskan tanggung jawab semua hubungan personalia dan industri kepada para manajer pabrik. Dengan menghadapi serikat pekerja secara efektif, yaitu mengawasi sikap para karyawan, bersikap sepantasnya saat serikat pekerja muncul, dan seterusnya, maka umumny membutuhkan bimbingan terpusat dari kantor pusat dan SDM-nya.
Tawar menawar dengan itikad yang tidak baik
Persetujuan dengan maksud yang baik adalah batu-pertama dari sebuah hubungan pekerja-mananejemen yang efektif. Kedua belah pihak membuat usaha yang wajar untuk sampai pada sebuah kesepakatan. Usulan yang ada dicocokkan dengan usulan lainnya.
Persetujuan atau negosiasi yang tidak beritikad baik merupakan pelanggaran persyaratan persetujuan . Hal-hal tersebut dapat meliputi:
Persetujuan permukaan. Melalui mosi persetujuan tanpa adanya maksud nyata menyelesaikan sebuah kesepakatan formal
Konsesi yang tidak memadai. Tidak bersedia berkompromi, walaupun tidak ada yang diminta membuat konsensi
Usulan dan permintaan yang tidak memadai. NRLB menganggap kemajuan usulanmenjadi sebuah faktor yang positif dalam menentukan keseluruhan maksud baik
Taktik memperlambat. UU meminta pihak-pihak untuk bertemu dan "berunding pada waktu dan interval yang wajar". Jelaslah, penolakan untuk bertemu dengan serikat pekerja tidak memenuhi kewajiban positip yang dikenakan pada pengusaha.
Kondisi pembebanan. Usaha untuk membebankan kondisi yang begitu berat atau tidak wajar untuk menunjukkan maksud buruk.
Membuat perubahan sepihak dalam persyaratan. Sebuah Indikasi kuat bahwa pengusaha tidak membuat persetujuan dengan maksud yang diminta untuk mencapai sebuah kesepakatan.
Memotong perwakilan. Kewajiban manajemen untuk membuat persetujuan dengan maksud baik meliputi, minimum, pengakuan bahwa perwakilan serikat pekerja adalah pihak yang harus dihadapi pengusaha dalam melakukan negosiasi.
Melakukan praktik pekerja yang tidak adil selama negosiasi. Praktik demikian bisa mencerminkan maksud buruk dari pihak yang bersalah.
Menahan informasi. Saat diminta, pengusaha harus menyediakan informasi kepada serikat pekerja agar mereka mampu memahami dan secara cerdas membahas permasalahan yang muncul dalam pembuatan persetujuan tersebut.
Mengabaikan hal-hal persetujuan. Penolakan untuk membuat persetujuan atas hal-hal yang bersifat memberi wewenang (orang harus melakukan persetujuan atas hal ini) atau desakan pada hal yang permisif (orang bisa melakukan persetujuan atas hal ini).
10 poin diatas mengindikasikan bahwa adanya tawar-menawar atau negosiasi yang tidak beritikad baik karena dapat merugikan salah satu pihak. Salah satu contoh nyatanya adalah adanya ketidaksesuaian antara sesuatu yang diterima oleh pekerja dengan kesepakatan yang telah ditentukan diawal dengan pengusaha. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha mengabaikan hal-hal persetujuan dan melakukan praktik negosiasi yang tidak adil dan merugikan pihak pekerja.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Gerakan perburuhan atau tenaga kerja muncul sejak jaman imperialis Belanda. Pada saat itu perburuhan telah populer di kalangan Eropa dan saat penjajahan Indonesia oleh Belanda hal ini juga terjadi namun orientasi perburuhan pada saat itu adalah penindasan atau pemerasan tenaga serta pengupahan. Hingga pada akhirnya setelah pasca kemerdekaan perburuhan di Indonesia mulai memiliki kedudukan dan memiliki serikat kerja yang mampu menjadi jembatan antara pekerja dengan pengusaha.
Untuk legalitas dan perlindungan ketenagakerjaan diIndonesia disusun pula undang-undang ketenagakerjaan yang berlandaskan UUD 1945 serta pancasila sebagai dasar negara Indonesia yaitu Undang-Undang no.13 tahun 2003. Walaupun didalamnya masih ada pasal-pasal yang harus lebih diperinci untuk lebih memperjelas hak-hak yang diterima tenaga kerja.
Pemilihan serikat kerja sebagai perwakilan dari karyawan yang menghubungkan antara pekerja dan pengusaha diharapkan dilakukan dengan maksud yang baik. Dan serikat kerja terpilih mampu melaksanakan fungsinya sehingga tidak mengecewakan para buruh atau tenaga kerja.
Tawar-menawar atau negosiasi untuk persetujuan kerja antara karyawan dan pengusaha diharapkan juga dapat dilakukan dengan itikad baik sehingga tercapai hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dan mampu mensejahterakan karyawan.
DAFTAR PUSTAKA
Desler, Gary. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Indeks
http://sherinswary.blogspot.com/2013/04/analisis-undang-undang-ketenagakerjaan.html
http://desrawordpress.com/2012/gerakan-buruh-indonesia.html