LAPORAN PRAKTIKUM WORKSHOP GEOFISIKA ANALISIS DATA MAGNETOTELURIK PADA LAPISAN BAWAH PERMUKAAN DI DAERAH CANGAR, JAWA TIMUR
i
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Geofisika merupakan ilmu yang yang mempelajari tentang bumi menggunakan menggunakan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dari ilmu fisika. Penelitian Geofisika dilakukan untuk mengetahui kondisi di bawah permukaan bumi melibatkan pengukuran di atas permukaan bumi dari parameter-parameter fisik yang dimiliki oleh batuan di dalam bumi. Dari pengukuran ini dapat ditafsirkan bagaimana sifat-sifat dan kondisi di bawah permukaan bumi baik itu secara vertikal maupun horisontal. Metode geofisika sebagai pendeteksi perbedaan tentang sifat fisis di dalam bumi. Kemagnetan, kepadatan, kekenyalan, dan tahanan jenis adalah sifat fisis yang yang paling umum digunakan untuk mengukur penelitian yang memungkinkan perbedaan di dalam bumi untuk ditafsirkan kaitannya dengan struktur mengenai lapisan tanah, berat jenis batuan dan rembesan isi air, dan mutu air. Secara umum, metode geofisika dibagi menjadi dua kategori, yaitu metode pasif dan aktif. Metode pasif dilakukan dengan mengukur medan alami yang dipancarkan oleh bumi. Metode aktif dilakukan dengan membuat medan gangguan kemudian mengukur respon yang dilakukan oleh bumi. Medan alami yang dimaksud disini misalnya radiasi gelombang gempa bumi, medan gravitasi bumi, medan magnet bumi, medan listrik dan elektromagnetik bumi serta radiasi radiokativitas bumi. Medan buatan dapat berupa ledakan dinamit, pemberian arus listrik ke dalam tanah, pengiriman sinyal radar dan lain sebagainya. Secara praktis, metode yang umum digunakan di dalam geofisika adalah sebagai berikut.
Seismik
Gravity
Magnetik
Resistivitas
Elektromagnetik
Potensial diri
Magnetotelluric
1
Dari berbagai macam metode seperti yang disebut di atas, metode Magnetotelluric merupakan salah satu metode yang banyak digunakan saat ini. Oleh
karena
itu
perlu
adanya
pembahasan
khusus
mengenai
metode
Magnetotelluric ini.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang diangkat dalam laporan workshop geofisika menggunakan metode Magnetotelluric ini adalah : 1. Bagaimana
proses
akuisisi,
processing,
dan
interpretasi
dengan
menggunakan metode Magnetotelluric? 2. Bagaimana variasi batuan penyusun bawah permukaan area penelitian?
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah yang diterapkan dalam laporan ini dimaksudkan agar laporan menjadi lebih fokus dan data yang diproses lebih akurat adalah : 1. Cakupan data berada di wilayah Jawa Timur, Indonesia. 2. Objek area penelitian adalah lapangan di kawasan wisata pemandian air panas Cangar, Kota Batu.
1.4 Tujuan
Setelah dilakukan praktikum workshop geofisika mengenai metode magnetik ini, praktikan diharapkan mampu memahami dasar teori menggunakan metode Magnetotelluric, mampu membuat desain survey metode Magnetotelluric, serta mampu melakukan processing dan interpretasi data metode Magnetotelluric menggunakan alat Metronix Geophysics ADU-07e.
1.5 Manfaat Harapan setelah dilakukannya praktikum workshop geofisika mengenai
metode Magnetotelluric ini adalah dapat menambah pengetahuan dalam menerapkan teori dari metode Magnetotelluric secara real di lapangan. Sementara, hasil studi Magnetotelluric sendiri berguna sebagai tambahan informasi dalam rangka pendukung eksplorasi dari daerah penelitian.
2
BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Cangar Cangar merupakan daerah yang terletak di kompleks Arjuno-Welirang.
Arjuno-Welirang sendiri merupakan salah satu area prospek panasbumi di Jawa Timur, yang terletak di wilayah Kabupaten Malang, Mojokerto, Pasuruan, dan Kota Batu. Daerah prospek ini berada di lingkungan geologi yang didominasi oleh batuan vulkanik berumur kuarter (Lita, 2012). Komplek G. Arjuno-Welirang mempunyai beberapa kerucut di puncaknya yaitu : Kerucut G. Arjuno (3339 mdpl., kerucut tertua), Kerucut G. Bakal (2960 mdpl), Kerucut G. Kembar II (3126 mdpl), Kerucut G. Kembar I (3030 mdpl), dan Kerucut G. Welirang (3156 mdpl). Kerucut-kerucut tersebut terbentuk akibat perpindahan titik erupsi yang membentuk kelurusan berarah tenggara-barat lau dan dikontrol oleh sesar normal. Selain kerucut-kerucut tersebut terdapat pula b eberapa kerucut parasit yang merupakan hasil letusan samping pada tubuh Kompleks G. Arjuno-Welirang. Kerucut parasit tersebut adalah G. Ringgit (2477 mdpl) di bagian timur laut, G.Pundak (1544 mdpl) dan G. Butak (1207 mdpl) di bagian utara, serta dua buah kerucut lainnya yaitu G. Wadon dan G. Princi yang terdapat pada tubuh bagian timur (VSI, 2014). Hampir seluruh daerah panasbumi Gunung Arjuno-Welirang merupakan batuan produk vulkanik Kuarter. Beberapa produk gunungapi di daerah ini terdiri dari aliran lava dan piroklastik. Komponen stratigrafi dan struktur geologi diperlihatkan pada gambar 2.1. Struktur yang berkembang di daerah ini cukup komplek diantaranya berupa sesar normal, sesar mendatar, rim kaldera, dan amblasan. Sesar-sesar ini secara umum memotong komplek Gunung ArjunoWelirang dan berarah utara-selatan, barat laut-tenggara, barat daya-timur laut, dan barat-timur. Rim kaldera terletak di bagian tengah komplek Gunung ArjunoWelirang, sedangkan sektor amblasan berada di bagian puncak Gunung ArjunoWelirang dengan bukaan ke arah tenggara dan timur laut (Tim Survey PSDG, 2010).
3
Gambar 2. 1. Peta Geologi Komplek Gunung Arjuno-Welirang (Tim Survey PSDG, 2014)
4
2.2 Metode Magnetotelurik Metode Magnetotellurik (MT) merupakan salah satu metode geofisika yang
dinilai paling baik digunakan dalam eksplorasi panas bumi karena kemampuannya untuk memetakan nilai resistivitas batuan di sistem panas bumi (Oskooi, 2005). Metode MT adalah metode elektromagnetik pasif yang melibatkan pengukuran fluktuasi medan listrik dan medan magnet alami yang saling tegak lurus di permukaan bumi yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai konduktivitas batuan di bawah permukaan bumi dari kedalaman beberapa meter hingga ratusan kilometer (Simpson & Bahr, 2005). Metode ini juga digunakan dalam eksplorasi panas bumi karena dapat menggambarkan kondisi bawah permukaan yang dalam (Daud, 2009). Bumi memiliki medan magnet yang konstan, tetapi yang dibutuhkan dalam metode MT bukanlah medan magnet yang konstan, melainkan medan magnet yang berubah-ubah terhadap waktu, karena medan magnet yang berubah-ubah terhadap waktu dapat membangkitkan medan listrik. Variasi medan elektromagnet dapat berasal dari petir ataupun interaksi dari solar wind dengan lapisan magnetosphere Bumi (Newman dkk, 2005). Medan elektromagnetik dengan frekuensi lebih dari 1 Hz berasal dari aktivitas meteorologi seperti lightening discharge (cahaya petir). Sinyal petir oleh cahaya dikenal sebagai sferics dan mencakup rentang frekuensi elektromagnetik. Sferic menjalar dalam waveguide sebagai gelombang listrik transversal (TE), magnetic transversal (TM), atau gelombang listrik dan magnetic transversal (TEM). Sedangkan interaksi antara solar wind dengan lapisan magnetosfer dan ionosfer Bumi menghasilkan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi kurang dari 1 Hz. Solar wind adalah suatu aliran yang kontinu dari plasma, memancarkan sebagian besar proton dan elektron dari matahari . Pada saat solar wind mengenai medan magnet terrestrial pada magnetopause, proton dan elektron akan berdefleksi kearah yang berlawanan sehingga menimbulkan medan listrik (Simpson & Bahr, 2005). Pada hakikatnya medan elektromagnetik (EM) akan merambat vertikal menuju bumi karena adanya kontras resistivitas yang besar pada lapisan udara bumi, yang menyebabkan terjadinya pembelokkan atau refraksi vertikal medan listrik dan medan magnet yang ditrasmisikan ke bumi. Kemudian medan magnet H akan menginduksi batuan konduktif dalam lapisan bumi dan menghasilkan medan 5
magnet sekunder B. Perubahan medan magnet horizontal akan menginduksi perubahan medan listrik yang horizontal, hasil interaksi ini yang akan diukur di permukaan oleh receiver , seperti tampak pada gambar 2.1.
Gambar 2. 1 Prinsip metode elektromagnetik (Widarto, 2010)
Sinyal yang ditangkap oleh alat MT merupakan sinyal yang berasal dari medan elektromagnetik total yaitu medan elektromagnetik yang berasal dari gelombang magnetik primer dan sekunder yang terjadi di permukaan bumi, bergantung dengan variasi waktu.
Sesuai
dengan
sifat
gelombang
elektromagnetik pada suatu medium penetrasi dari gelombang tersebut akan bergantung pada frekuensi dari gelombang tersebut dan resistivitas dari medium yang dilaluinya. Dalam memahami metode magnetotellurik, sumber gelombang yang datang ke bumi dianggap sebagai gelombang planar (bidang). Resistivitas Bumi jauh lebih rendah dari atmosfer, sehingga sinyal EM menjalar sebagai gelombang di udara dan berdifusi di Bumi (Sulistyo, 2011). 2.3 Persamaan Maxwell Penjalaran medan elektromagnetik dari atmosfer ke bumi dirumuskan oleh
Maxwell dalam persamaan diferensiasi sebagai berikut,
⃗∇ ×E⃗ = ⃗ ⃗∇ ×H⃗ = j + ∂D∂t⃗ ⃗∇ ⋅⃗ = ⃗∇ ⋅⃗ = 0 6
(2.1) (2.2) (2.3) (2.4)
⃗E adalah kuat medan listrik dalam V/m, ⃗H adalah kuat medan magnet ⃗ adalah fluks magnetik dalam W/m , adalah rapat muatan listrik ( / 2 ), ⃗ adalah perpindahan dalam C/m , adalah rapat arus dalam ( / ) dan dimana
2
3
listrik (Coloumb/m2). Persamaan (2.1) diturunkan Hukum Faraday yang menyatakan bahwa perubahan fluks magnetik menyebabkan medan listrik dengan gaya gerak listrik berlawanan dengan variasi fluks magnetik yang menyebabkannya. Persamaan (2.2) merupakan generalisasi teorema Ampere dengan memperhitungkan hukum kekekalan muatan. Persamaan tersebut menyatakan bahwa medan magnet timbul akibat fluks total arus listrik yang disebabkan oleh arus konduksi dan arus perpindahan. Persamaan (2.3) menyatakan hukum Gauss yaitu fluks elektrik pada suatu ruang sebanding dengan muatan total yang ada dalam ruang tersebut. Dengan asumsi hukum ohm berlaku dan medium dianggap linier isotropis
dan B = ), persamaan (2.3) dapat ditulis ⃗∇ × ⃗ = ⃗ + ⃗ (2.5) Dengan J rapat arus (A/m ), dan permebilitas magnet (H/m). Biasanya, digunakan nilai ruang hampa = 8,85x10 H/m, dan = 4x10 H/m. (J =
2
-11
-7
Persamaan 2.4 dan 2.5 digabungkan sehingga diperoleh
∇2⃗ = ⃗ + ⃗
(2.6)
Pada kasus lingkungan dielektrik, paling tidak terdapat arus konduksi dan pergeseran arus. Persamaan (2.6) dapat disederhanakan menjadi persamaan gelombang berikut:
∇2⃗ ⃗ = 0
(2.7)
Pada kasus lingkungan konduktif, arus konduksi dan pergeseran arus dapat diabaikan. Persamaan (2.6) dapat disederhanakan menjadi persamaan difusi:
∇2⃗ ⃗ = 0 7
(2.8)
Bumi dapat dianggap sebagai lingkungan konduktif, sehingga persamaan difusi dapat digunakan dalam analisis data MT. untuk gelombang EM dengan variasi waktu sinusoidal, kuat medan listrik dapat dituliskan dengan:
= −.
Dengan mensubstitusikan ke dalam persamaan (2.8), maka persamaan menjadi:
∇2⃗ +⃗ = 0
(2.9)
Diketahui bahwa energi elektromagnetik bertransformasi menjadi panas sehingga kuat medan berkurang secara eksponensial terhadap kedalaman. Dianggap bahwa gelombang merambat di bumi dengan peluruhan amplitudo secara eksponensial pada arah z, persamaan (2.9) dapat dituliskan dengan:
⃗2 +⃗ = 0
(2.10)
Persamaan disusun kembali menjadi:
⃗2 +=0
Sehingga penyelesaian dari :
=±1 2
(2.11)
Disini adalah bilangan gelombang kompleks dari suatu medium,
adalah
medan listrik horizontal pada permukaan. Sehingga, penjalaran medan di bumi dapat dituliskan sebagai berikut:
⃗ = ⃗− Pada persamaan 2.12, kondisi eksponensial
(2.12)
menunjukkan
. Skin depth didefinisikan sebagai jarak ( ) dimana kuat medan listrik melemah sebesar 1/ dari
peluruhan amplitudo sebagai perambatan gelombang ke arah
kuat medan sebenarnya. Oleh karena
Lalu skin depth dapat dituliskan sebagai: 8
= −
(2.13)
= 2
(2.14)
Penyusunan kembali persamaan (2.14), dapat ditunjukkan sebagai:
≈503 (2.15) Dimana, skin depth (km), resistivitas batuan (ohm meter), dan T periode gelombang (detik). 2.4 Pemodelan MT Distribusi resistivitas medium yang dilaui gelombang elektromagnetik
dapat dimodelkan dalam beberapa dimensi yaitu 1-Dimensi, 2-Dimensi dan 3Dimensi. Dalam penelitian ini hanya dilakukan pemodelan 1-Dimensi dan 2Dimensi saja. 2.4.1 Pemodelan 1-Dimensi Dalam pemodelan 1-Dimensi, distribusi resistivitas medium hanya
bergantung pada kedalaman. Distribusi resistivitas tersebut didapatkan dari perbandingan antara medan listrik dan medan magnet yang menjalar tegak lurus di bawah permukaan bumi pada arah osilasi yang konstan. Adapun medan listrik dan medan magnet dipermukaan dapat dituliskan sebagai berikut:
⃗ = ⃗− − ⃗ = ⃗− −
(2.16) (2.17)
Untuk pengukuran dengan E tegak lurus terhadap H maka akan didapatkan informasi mengenai resistivitas semu pada bumi pada permukaan dengan melihat rasio antara medan listrik dan medan magnet yang disebut sebagai impedansi (z), dengan persamaan,
= ⃗⃗ Dengan melihat persamaan (2.16) dan (2.17), maka impedansi
⃗ = ⃗⃗ = − √ 2 9
(2.18)
menjadi, (2.19)
Resistivitas semu atau apparent resistivity dapat diperoleh dari persamaan (2.19) (Xiao, 2004),
2 ⃗ = |⃗|
(2.20)
dan fase dari gelombang tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut,
=( )
(2.21)
Besarnya nilai fase yang diperoleh merupakan besarnya sudut fase antara medan listrik (
⃗) dan medan magnet (⃗).
Gambar 2. 2 Pemodelan 1-Dimensi dari besar nilai resistivitas semu dan fase dari data MT (Xiao, 2004)
Demikian juga pada kurva fase, pada frekuensi awal fase gelombang diketahui sebesar 450 dan ketika penetrasi gelombang sudah mencapai batas medium yang mempunyai nilai resistivitas lebih tinggi, fase gelombang tersebut mengalami penurunan hingga mendekati 10 0, dan semakin lama meningkat kembali dan mulai kembali stabil pada sudut 45 0 pada frekuensi yang sangat rendah atau ketika penetrasi gelombang sangat tinggi. Hal tersebut membuktikan bahwa fase gelombang tersebut saling tegak lurus antara gelombang magnetik dan gelombang listrik ketika berada pada satu medium yang homogen, dan ketika medium tersebut
10
melewati medium yang lebih tinggi nilai resistivitasnya dibandingkan medium sebelumnya maka fase gelombang tersebut akan menurun, begitu pula sebaliknya ketika melewati medium yang lebih rendah nilai resistivitasnya dari medium sebelumnya, maka fase gelombangnya menjadi lebih tinggi dari 45 0 (Xiao, 2004). 2.4.2 Pemodelan 2-Dimensi Struktur bumi yang anisotropik menyebabkan nilai resistivitas semu pada
kasus 2-D akan berbeda dengan nilai resistivitas s emu yang berasal dari komponen medan magnetik dan medan listrik dalam arah yang berbeda. Pada kasus 1-Dimensi hal ini dapat mengakibatkan hasil yang diperoleh menjadi tidak tepat (Unsworth, 2008). Pada pemodelan 2-D seperti gambar dibawah digambarkan bahwa kondisi geologi suatu model yang jika didalamnya terdapat 2 nilai resistivitas yang berbeda, yang mana arah struktur utama tersebut sejajar dengan bidang arah x, yang berarti variasi nilai resistivitasnya hanya pada pada bidang sumbu y dan z.
Gambar 2.3 Konfigurasi medan elektromagetik untuk struktur 2-D (Xiao, 2004)
Persamaan Maxwell seperti pada persamaan (2.1) dan (2.2), dapat diseparasi pada tiap-tiap komponen x, y dan z -nya, tetapi dalam pemodelan 2-D variasi resistivitas hanya berada pada komponen y dan z saja, sehingga separasi persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut,
11
⃗ ⃗ =⃗ ⃗ =⃗ ⃗ =⃗ ⃗ ⃗ =⃗ ⃗ =⃗ ⃗ =⃗
(2.22)
(2.23)
(2.24)
(2.25)
(2.26)
(2.27)
Dalam metode pengukuran Magnetotellurik (MT) terdapat dua mode pengukuran. Hal ini didasarkan dari konfigurasi pengukuran metode MT, yang mana peletakkan sensor magnetik dan sensor elektrik menghasilkan 2 mode pengukuran, yaitu Transverse Electric (TE) Mode dan Transverse Magnetic (TM) Mode (Unsworth, 2008). a. TE (Transverse Electric) Mode Pada mode ini, komponen medan listrik sejajar dengan arah struktur utama (arah x) dan komponen medan magnet tegak lurus dengan arah struktur utama (arah sumbu y dan z), seperti yang terlihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.4 TE Mode
Dalam mode TE, arus listrik tidak akan mengalir melewati batas antara daerah yang memiliki nilai resistivitas yang berbeda. Komponen
12
akan kontinu
terhadap bidang sumbu y, demikian juga dengan
yang akan kontinu terhadap
bidang sumbu y. Mode ini sangat baik jika masih menggunakan analisa 1-dimensi. Arus listrik akan menginduksi bagian yang lebih konduktif dan tidak pada bagian yang lebih resistif. Hal tersebut karena munculnya efek konduktif pada arus. Respon resistivitas semu pada bagian konduktif akan hilang pada frekuensi rendah. Hal ini dapat terjadi karena induksi akan lebih sensitif pada perubahan medan magnet. b. TM (Transverse Magnetic) Mode Pada mode ini, komponen medan magnet sejajar dengan arah struktur utama (arah x) dan komponen medan listrik tegak lurus dengan arah struktur utama (arah sumbu y dan z), seperti yang terlihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.5 TM Mode
Dalam mode TM, arus listrik akan melewati batas antara bagian yang memiliki perbedaan resistivitas. Pada TM mode akan dijumpai adanya efek statik yang disebabkan oleh adanya heterogenitas permukaan akibat muatan-muatan yang terkumpul pada batas medium tersebut. Adanya efek statik tersebut juga dapat menyebabkan nilai resistivitas semu pada frekuensi rendah tetap terlihat. Mode ini akan baik digunakan untuk menganalisa daerah yang memiliki kontras nilai resistivitas yang jelas.
Efek Statik
Heterogenitas sifat resistivitas batuan pada lingkungan bawah permukaan yang dangkal dan faktor topografi dapat menimbulkan distorsi pada data magnetotellurik. Adanya akumulasi muatan listrik pada batas konduktivitas
13
medium menimbulkan medan listrik sekunder yang tidak bergantung pada frekuensi (Hendro dan Grandis, 1996). Oleh sebab itu, kurva resistivitas semu data MT mengalami pergeseran ke atas atau ke bawah terhadap harga resistivitas regional sebenarnya. Pemodelan data MT yang mengalami distorsi akan menghasilkan parameter model yang kurang tepat. Sehingga, dilakukan koreksi statik untuk mengoreksi efek statik dengan suatu metode yaitu metode TDEM.
2.5 Koreksi Statik dengan Data Time Domain Electromagnetic (TDEM)
Metode lain yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah efek stati k ini adalah dengan mengkonversi data dari metode Time Domain Electromagnetic (TDEM), metode geofisika yang melibatkan pengukuran medan magnet sekunder dari akibat induksi medan magnet primer yang diberikan, sehingga data dari metode TDEM ini relatif tidak terpengaruh oleh anomali resistivitas lokal di dekat permukaan (Hendro dan Grandis, 1996). Cara ini didasarkan pada ekivalensi kedalaman penetrasi gelombang EM yang didefinisikan menjadi: MT:
≈503
TDEM:
′ ≈ 36
Pada penetrasi kedalaman ( skin depth) yang sama dapat diasumsikan bahwa delay time (t) akan sama dengan periode (T). Dari kedua persamaan tersebut maka akan diperoleh faktor konversi berupa pergeseran waktu sehingga pembagian t dengan 195 akan menghasilkan periode (Hendro dan Grandis, 1996). Data TDEM 1-dimensi ini kemudian akan dibuat forward modelling terhadap kurva MT, sehingga nantinya pada kurva data MT akan disesuaikan dengan kurva forward modeling tersebut sehingga masalah mengenai pergeseran secara vertikal tersebut dapat diatasi.
2.6 Sistem Panas Bumi
Energi panas bumi merupakan energi panas yang tersimpan dalam batuan di bawah permukaan bumi dan fluida yang terkandung di dalamnya (Saptadji, 2009).
14
Hasil survei dilaporkan bahwa Indonesia mempunyai 217 prospek panas bumi di sepanjang jalur vulkanik dari bagian barat Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan membelok ke arah utara melalui Maluku dan Pulau Sulawesi. Survei selanjutnya telah berhasil menemukan daerah baru sehingga jumlahnya meningkat menjadi menghasilkan 256 prospek, yaitu 84 prospek di Sumatera, 76 prospek di Jawa, 51 prospek di Sulawesi, 21 prospek di Nusa Tenggara, 3 prospek di Irian, 15 prospek di Maluku dan 5 prospek di Kalimantan (Saptadji, 2003). Sistem panas bumi dapat digambarkan sebagai konveksi fluida pada kerak bumi teratas, dimana dalam ruang terperangkap, transfer panas dari sumber panas (heat source) ke penyimpan panas dalam keadaan permukaan yang bebas ( free surface). Sistem panas bumi sendiri umumnya dibangun atas lima elemen utama, yaitu: heat source, reservoir, lapisan penudung, struktur geologi yang biasanya merupakan patahan dan terakhir adalah fluida yang merupakan pembawa panas (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Skema Sistem Panas bumi Ideal (Dickson, 2004)
Heat source merupakan sumber panas dari sistem panas bumi. Heat source
°
bisa merupakan intrusi magmatik yang memiliki suhu yang sangat tinggi (>600 C) dimana kedalamannya yang relatif dangkal (3 – 5 km). Reservoir merupakan volume dari hot permeable rocks, tempat menyimpan panas dan tempat sirkulasi fluida yang mengekstrak panas. Di atas reservoir terdapat lapisan penudung atau biasa di sebut cap rocks yang merupakan lapisan clay. Lapisan clay merupakan lapisan impermeabel yang berfungsi untuk menjaga panas agar tetap terakumulasi
15
di dalam zona reservoir. Fluida panas bumi adalah air, sebagian besar merupakan air meteoric. Sedangkan struktur geologi yang dimaksud merupakan rekahan atau patahan yang akan menjadi jalur dilaluinya fluida/air dari permukaan menuju reservoir atau jalur yang akan dilalui uap panas atau fluida panas dari reservoir menuju permukaan dalam bentuk manifestasi permukaan. Terakhir adalah fluida dalam hal ini merupakan air merupakan media penyimpan panas (Kadir, 2011). Manifestasi permukaan merupakan tanda-tanda di permukaan bumi yang mengindikasikan adanya sistem panas bumi di bawah permukaan di sekitar kemunculannya. Manifestasi tersebut dapat muncul secara langsung ( direct discharge) seperti mata air panas dan fumarole. Manifestasi permukaan juga dapat muncul secara terdifusi seperti tanah beruap ( steaming ground ) dan tanah hangat (warm ground ), juga dapat muncul secara intermittent seperti manifestasi geyser, dan secara sembunyi seperti rembesan di sungai (Supriyanto, 2009). Berdasarkan kriteria geologi, geofisika, hidrologi, dan engineering , Goff & Catty (2000) membagi sistem panas bumi menjadi 5 tipe dasar. Kelima sistem panas bumi tersebut adalah sebagai berikut. 1. Young igneous system berhubungan dengan quarternary volcanism dan intrusi magma. Sekitar 95% dari aktifitas vulkanik terjadi sepanjang batas lempeng dan di hot spot . Sistem panas bumi ini umumnya yang paling panas ( dengan kedalaman reservoir
≤370°C)
≤1,5 km, walaupun ada beberapa yang lebih
dalam. 2. Tectonic system berhubungan dengan adanya pergerakan lempeng. Sistem ini terdapat di lingkungan backarc, daerah rekahan, zona subduksi, dan sepanjang zona patahan. Sistem tektonik biasanya memiliki temperature reservoir dan terdapat pada kedalaman
≥1,5 km.
≤250°C
3. Geopressure System ditemukan di sedimentary basin dimana terbentuk subsidence dan reservoirnya disebut sebagai “overpressured” reservoirs. Sistem geopressure seringkali membutuhkan pengeboran yang lebih dalam daripada young igneous system dan tectonic system. Kedalamannya 1,5 hingga
°
3 km dan temperaturnya 50 hingga 190 C.
16
4. Hot dry rock system mengandung panas yang tersimpan di porositas rendah atau batuan impermeabel pada kedalaman dan temperatur yang bervariasi. Air dari permukaan di pompa turun melalui sumur produksi. Temperatur pada
°
reservoir 120 - 250 C dengan kedalaman 2 – 4 km. 5. Magma tap system melibatkan pengeboran di shallow magma bodies, menerapkan pertukaran panas, dan sirkulasi fluida yang mana temperatur magma
≤1200°C.
Secara garis besar, Marini (2001) mengelompokkan model geologi daerah panas bumi di dunia menjadi dua, yaitu sistem magmatik vulkanik akif dan sistem magmatik non-vulkanik aktif. Sistem magmatik vulkanik aktif yang bertemperatur tinggi umumnya terdapat di sekitar pertemuan antara lempeng samudera dan benua. Posisi Indonesia yang terletak di antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia menyebabkan Indonesia memiliki potensi panas bumi yang cukup besar. Sedangkan sistem magmatik non-vulkanik aktif memiliki sumber panas yang salah satunya berasal dari intrusi batuan granit yang sudah lama namun masih menghasilkan panas karena adanya proses radioaktif yang masih berlangsung.
17
BAB III METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 31 September – 4 Oktober 2015 di daerah Cangar, Batu Kabupaten Malang Jawa Timur dekat dengan Lab. Erosi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 3.2. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentonit dan alat yang
digunakan dapat dilihat pada gambar 3.1 yang berupa seperangkat alat MTU jenis Metronix ADU-07e, porous pot , coil , ACCU dan peralatan lainnya.
1 2 7
3
5 4 6
Gambar 3.1 Peralatan akuisisi data
Keterangan gambar: 1. Metronix ADU-07e 2. Kabel roll
18
3. Kabel penghubung 4. Sensor magnetik (coil ) 5. Sensor elektrik ( porous pot ) 6. ACCU 7. GPS Adapun peralatan tambahan yang digunakan dalam akuisisi data metode magnetotellurik ini yaitu laptop (gambar 3.2).
Gambar 3.2 Laptop
3.3. Langkah Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan dua tahapan yaitu akuisisi data dan pengolahan data. Secara sederhana langkah penelitian dapat dilihat pada gambar 3.3.
19
Mulai
Akuisisi data
Penanaman Coil
Penanaman Porouspot
Running MTU
Pengaturan frekuensi
64000 Hz
4000 Hz
Data Time Series
Pengolahan Data
Software Mapros
Kurva phase dan amplitude terhadap frekuensi
Selesai
Gambar 3. 3 Diagram alir penelitian
20
128 Hz
3.3.1. Akuisisi Data Akuisisi data dilakukan pada daerah Cangar dengan desain survey seperti
pada Gambar 3.4.
Gambar 3. 4 Desain survei area penelitian
Dalam akuisisi data yang dilakukan pada penelitian ini tahapan pertama yang dilakukan adalah memasang alat dan melakukan pengecekkan. Selanjutnya meletakkan coil dan porospout sesuai dengan desain akuisisi dan disambungkan dengan alat.
3.3.2. Pengolahan Data
Pengolahan data MT dimaksudkan untuk mengekstraksi fungsi transfer antara medan listrik dan medan magnet dalam domain frekuensi yang mengandung informasi mengenai distribusi tahanan jenis bawah permukaan. Pada tahap-tahap pra pengolahan data, data mentah yang telah direkam mengalami proses editing dan demultiplexing untuk menggabungkan data dari setiap kanal yang sama (elektrik atau magnetik) untuk masing-masing jangkah frekuensi (LF, HF, dan MF). Data tersebut adalah keluaran dari sensor elektrik dan magnetik yang masih berupa harga tegangan listrik terukur. Proses gain recovery ditujuan untuk mengembalikan faktor pembesaran atau amplifikasi yang telah digunakan. Disamping itu, pada proses tersebut harga tegangan listrik terukur dikonversikan kedalam satuan yang biasa digunakan (mV/km untuk medan listrik dan nano tesla atau gamma untuk medan magnet). Seleksi data dalam domain waktu dapat dilakukan secara manual (seleksi visual) maupun otomatis dengan menetapkan nilai minimal korelasi data yang dapat
21
diterima. Korelasi yang dimaksud adalah korelasi silang (cross correlation) antara medan listrik dan medan magnet yang saling tegak lurus. Hasilnya dalam bentuk seri waktu (time series) disimpan dalam file. Pada tahap analisa spektral, transformasi seri waktu tiap kanal ke dalam domain frekuensi menghasilkan spektrum daya dan juga spektrum silang (power dan cross spektra). Berikut ini merupakan gambaran visual untuk melakukan processing data MT dengan menggukana software Mapros : Langkah awal yang harus dilakukan untuk melakukan prosessing data MT menggunakan software Mapros adalah menginstall dan membuka software mapros yang sudah ada. Sebelum membuka software Mapros, diharuskan untuk membuat folder baru untuk nantinya sebagai tempat penyimpanan hasil pengolahan data yang dilakukan secara otomatis oleh software Mapros. Kemudian, setelah dibuka software Mapros, dipilih file kemudian pilih create survey seperti ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 3 5. Langkah 1 Processing
Setelah membuat create survey, kita harus memilih location yaitu dengan memilih folder kosong yang telah dibuat sebelumnya. Setelah itu, maka tampilan yang akan keluar seperti tampak pada gambar berikut. Kolom yang harus diisi antara lain : Survey name : Cangar Acquired by
: 2012
Location
: Batu, Jawa Timur (boleh diisi bebas)
22
Position
: (dikosongi saja)
Gambar 3.6 Langkah 2 Processing
Apabila semua kolom sudah terisi, klik OK. Kemudian pilih menu pada menu bar yaitu edit dan create line seperti pada gambar berikut. Setelah itu opsi yang harus dipilih yaitu Line : 1 dengan mengosongkan opsi yang lain kemudian klik OK.
Gambar 3.7 Langkah 3 Processing
Gambar 3.8 Langkah 4 Processing
23
Data AMT yang diperoleh dari akuisisi di lapangan berupa deret waktu (time series). Data lapangan dalam deret waktu (time series) diubah menjadi data dalam domain frekuensi (frequency domain). Caranya dengan memilih File kemudian Easy ATS Import dan pilih data MT yang kita miliki. Cara mengolahnya, pilih mulai frekuensi yang paling tinggi yaitu 65000 Hz yang diambil selama 20 menit, 4000 Hz yang diambil selama 45 menit, dan 128 Hz yang diambil selama 2 jam. Sebagai catatan bahwa data dalam satu frekuensi harus memiliki 2 komponen. Apabila lebih dari itu harus dicoba satu persatu mana data yang bisa diolah dan mana yang tidak bisa diolah. Proses data dapat dilihat seperti pada gambar berikut :
Gambar 3.9 Langkah 5 Processing
Gambar 3.10 Langkah 6 Processing
24
Gambar 3.11 Langkah 7 Processing
Gambar 3.12 Langkah 8 Processing
Setelah pemilihan file mulai frekuensi terbesar hingga terkecil dilakukan, maka akan muncul opsi dalam Easy Import yaitu dengan mengisi : Line : 1 Site
:1
Run
:1
Kemudian tunggu hingga proses import selesai seperti pada gambar diatas. Umumnya pemodelan dilakukan dengan menggunakan kedua metode di atas untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur perlapisan konduktifitas. TM-Mode biasanya sensitive ke arah variasi lateral, karena arus listrik pada mode ini akan mengalir searah dengan strike. Sedangkan TE-Mode umumnya sensitive
25
ke arah vertikal. Jadi TM-Mode lebih cocok dengan struktur resistivitasnya. Lebih lanjut, untuk survey yang membentuk profil memotong anomaly, dapat dilakukan dengan menggunakan analisis 2D yang juga tersedia di alat MT. Langkah selanjutnya dalam processing data MT adalah inversi 2D. Inversi dilakukan untuk mendapatkan sebaran resistivitas batuan di bawah permukaan. Hasil inversi tersebut memberikan gambaran yang jelas distribusi resistivitas di bawah permukaan hingga kedalaman 7 km.
3.4.3 Interpretasi Interpretasi kualitatif didasarkan pada penampang tahanan jenis semu, peta
tahanan jenis semu beberapa periode, peta total conductance serta peta-peta yang menampakkan hasil analisa tensor seperti pada diagram polar, vector induksi dan sebagainya. Interpretasi kuantitatif didasarkan atas pemodelan 1-D atau 2-D. Pemodelan dimaksudkan untuk mengekstraksi informasi yang terkandung dalam data untuk memperkirakan distribusi tahanan jenis bawah permukaan melalui model-model. Model yang paling sederhana adalah model 10D dimana tahanan henis
bervariasi
hanya
teradap
kedalaman
r(z).
Model
1-D
biasanya
direpresentasikan oleh model berlapis horizontal, yaitu model yang terdiri dari beberapa lapisan dimana tahanan jenis tiap lapisan homogeny. Dalam hal ini perameter model adalah tahanan jenis dan ketebalan tiap lapisan. Pemodelan menggunakan model 1-D hanya dapat diterapkan pada data yang memenuhi kriteria data 1-D. Namun demikian, dengan asumsi tertentu pemodelan 1-D dapat pula diterapkan pada data yang dianggap mewakili kecenderungan lokal atau struktur secara garis besar, misalnya impedansi invariant dan impedansi dari TE-mode. Pemodelan 1-D menggunakan kurva sounding TE-mode didasarkan atas anggapan bahwa pengukuran medan listrik searah jurus tidak terlalu dipengaruhi oleh diskontinuitas lateral tegak lurus jurus. Teknik forward modelling dilakukan dengan menghitung respons dari suatu model untuk dibandingkan dengan data impedansi (tahanan jenis semu dan fasa) pengamatan. Dengan cara coba-coba dapat diperoleh suatu model yang responnya paling cocok dengan data, sehingga model tersebut dapat dianggap mewakili kondisi bawah permukaan. Teknik inverse 26
modelling memungkinkan kita memperoleh parameter model langsung dari data. Model inversi bostick merupakan cara yang cepat dan mudah untuk memperkirakan variasi tahanan jenis terhadap kedalaman secara langsung dari kurva sounding tahanan jenis semu. Metode ini diturunkan dari hubungan analitik antara tahanan jenis, frekuensi dan kedalaman investigasi atau skin depth. Namun perlu diingat bahwa model ini bersifat aproksimatif sehingga hanya dapat dilakukan sebagai usaha pemodelan dan interpretasi pada tahap pendahuluan. Dalam metode inversi kuadrat kecil, model awal dimodifikasi secara iterative hingga diperoleh model yang responnya cocok dengan data. Adanya aproksimasi atau linearisasi fungsi non-linear antara data dan parameter model menyebabkan metode tersebut sangat sensitive terhadap pemilihan model awal. Oleh karena itu model awal biasanya ditentukan dari hasil pemodelan tak langsung atau hasil inversi Bostick. Kecenderungan terakhir menunjukkan bahwa metode inversi tidak hanya ditujukan untuk menentukan satu model saja melainkan sejumlah besar model yang memenuhi kriteria data. Estimasi statistic dari model-model yang diperoleh digunakan untuk menentukan solusi metoda inversi. Kecenderungan baru tersebut terutama ditunjang dengan tersedianya computer pribadi atau workstations yang dilengkapi dengan processor berkecepatan tinggi. Profil tahanan jenis 1-D beberapa titik amat dalam satu lintasan dapat digunakan sebagai model awal untuk pemodelan 2-D. Dari pemodelan 2-D ini selanjutnya diinterpretasikan anomali yang terdapat pada pseudosection tersebut sesuai dengan sebaran nilai resistivitasnya dan geologi regionalnya.
27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
28
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran
29
Daftar Pustaka
Daud, Y.. 2009. Geophysical Exploration I: DC Resistivity, SP and MT/CSAMT . Depok: Universitas Indonesia. Dickson, M. H., dan Mario F.. 2004. What is Geothermal Energy?. Italia: Istituto di Geoscienze e Georisorse, CNR. Goff, F. and Cathy J.J.. 2000. Encyclopedia of Volcanoes: Geothermal System. Academic Press. 817-834 pp. Hendro A. L. dan Grandis, H. (1996). Koreksi Efek Statik Pada Data Magnetotelurik
Menggunakan
Data
Elektromagnetik
Transien.
Proceedings Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, Jakarta. Kadir, T. V. S.. 2011. Skripsi: Metode Magnetotelluric (MT) Untuk Eksplorasi Panasbumi Daerah Lili, Sulawesi Barat Dengan Data Pendukung Metode Gravitasi. Depok: Universitas Indonesia. Marini, L.. 2001. Geochemical Techniques for the Exploration and Exploitation of Geothermal Energy, Dipartimento per lo Studio del Territorio e delle sue Risorse. Italia: Universita degli Studi di Genova. Newman, G. A., Hoversten, M., Gasperikova, E., & Wannamaker, P. E.. 2005. 3D Magnetotelluric California:
Characterization
Proceedings
of
the
Coso
Geothermal
Field.
30th Workshop on Geothermal Reservoir
Engineering. Oskooi, B.. 2005. 1D Interpretation of the Magnetotelluric Data from Travale Geothermal Energy Field in Italy, Jurnal of the Earth & Space Physics, Vol. 32, No. 2, 2006. Saptadji, N. M.. 2003. Teknik Panas Bumi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Saptadji, N. M.. 2009. Sekilas Tentang Panas Bumi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Simpson, F., & Bahr, K.. 2005. Practical Magnetotellurics. United Kingdom: Cambridge University Press. Sulistyo, A.. 2011. Skripsi: Koreksi Pergeseran Statik Data Magnetotelluric (MT) Menggunakan Metode Geostatistik, Perata-rataan dan Time Domain Electromagnetic. Depok: Universitas Indonesia.
30
Tim Survey Terpadu Geologi dan Geokimia PSDG. 2010. Laporan Akhir Survey Geologi dan Geokimia Daerah Panasbumi Arjuno-Welirang Kabupaten Mojokerto dan Malang Provinsi Jawa Timur. Laporan Akhir Pusat Sumber Daya Geologi. Bandung Unsworth, M. 2008. Electromagnetic Exploration Methods. Canada: University of Alberta. VSI. 2014. Gunung Arjuno-Welirang. Retrieved from VSI ESDM Web Site: http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasargunungapi/544-g-arjuno-welirang?start=2 Widarto, D. S. 2010. Controlled Source Electromagnetic (CSEM) Method in Applied Geophysics: An Overview. Slide Workshop EM . EPTC Pertamina. Xiao, W. 2004. Magnetotelluric Exploration in the Rocky Mountain Foothills. Alberta : University of Alberta.
31