Fatwa MUI Tentang Bayi Tabung
1. Bayi tabung dengan sperma clean ovum dari pasangan suami istri yang sah hukumnya adalah mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama. 2. Bayi tabung dari pasangan suami istri dengan titipan rahim istri yang lain (misalnya dari istri kedua dititipkan di istri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd Adz-Dzariyah sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit kaitannya dengan masalah mas alah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkan dan sebaliknya). 3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. Berdasarkan Sadd Adz-Dzariyah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dengan hal pewarisan. 4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami istri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd Adz-Dzariyah yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya. Fatwa MUI Didasarkan Pada Firman Allah
Dan Sesungguhnya telah kam muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan [862], kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan. [862] Maksudnya : Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan. Berdasarkan ayat di atas, manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk mulia. Allah SWT telah berkenan memuliakan manusia, maka seharusnya manusia menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia dalam hal ini, inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia. Hadits Nabi SAW yang artinya : “Dari Ruwaifi Ibnu Tsabit Al-Ansyari Al-Ansyari ra ia berkata : saya pernah bersama Rasulullah SAW telah perang Hunain, kemudian beliau bersabda : “Tidak halal bagi seseorang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain)”. Majelis Mujamma’ Fiqih Islami
Menetapkan : 1. Lima perkara di bawah ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat. 1. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya. 2. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokakan ke dalam rahim si wanita. 3. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut. 4. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri. 5. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain. 6. Dua perkara berikut ini boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan setelah memastikan keamanan dan keselamatan. 1. Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya. Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan. 2. Aurat vital si wanita harus tetap terjaga (tertutup) demikian juga kemungkinan kegagalan proses operasi persemaian sperma dan indung telur itu sangat perlu diperhitungkan. Demikian pula perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran amanah dari orang-orang yang lemah iman di rumah-rumah sakit yang dengan sengaja mengganti sperma ataupun indung telur supaya operasi tersebut berhasil demi mendapatkan materi dunia. Hukum Bayi Tabung Dalam Pandangan Islam di Indonesia
Para ulama di tanah air telah menetapkan fatwa tentang bayi tabung. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasutri yang sah hukumnya adalah “Mubah” atau diperbolehkan. Namun, jika ba yi tabung dengan sperma dan ovum dari pasutri yang sah tapi setelah dibuahi, dimasukkan atau dititipkan di rahim wanita lain maka hukumnya haram. Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan bahwa fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981
Bayi tabung menurut MUI Submitted by on Friday, 21 May 201016 Comments Bayi tabung merupakan salah satu pencapaian teknologi pada bidang fertilitas. Seseorang yang sebelumnya divonis tidak akan bisa hamil dengan teknologi bayi tabung berhasil memiliki anak. Bagaimanakan fatwa hukum agama memandang proses bayi tabung? Di Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa terhadap p roses bayi tabung. Berikut petikannya: MEMUTUSKAN Memfatwakan :
1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhiar berdasarkan kaidahkaidah agama. 2. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya). 3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan. 4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya. Jakarta, 13 Juni 1979 DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua Umum, Sekretaris Umum, ttd. Ttd. Ketua Komisi Fatwa, ttd. sumber: http://mui-jabar.or.id
HUKUM TRANSFUSI DARAH DALAM ISLAM
Written By Ahmad Multazam on Monday, January 7, 2013 | 2:20 PM
I.
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk sosial yang notabenenya mengharuskan seseorang manusia itu untuk menolong manusia yang lain, apalagi itu terkait dengan masalah nyawa. Tentunya hal itu dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tidak merugikan pihak manapun. Tranfusi darah merupakan salah satu wujud kepedulian kita ke pada sesama manusia. Secara sosiologis, masyarakat telah lazim melakukan donor darah untuk kepentingan pelaksanaan transfusi, baik secara sukarela maupun dengan menjual kepada yang membutuhkannya. Keadaan ini perlu ditentukan status hukumnya atas dasar kajian ilmiah. Masalah transfusi darah adalah masalah baru dalam hukum Islam, karena tidak ditemukan hukumnya dalam fiqh pada masa-masa pembentukan hukum Islam. Al- Qur’an dan Hadits pun sebagai sumber hukum Islam, tidak menyebutkan hukumnya, sehingga pantaslah hal ini disebut sebagai masalah ijtihadi guna menjawab permasalahan mengenai hubungan pendonor dengan resepien, hukum menjual belikan darah dan hukum transfusi darah dengan orang beda agama, karena untuk mengetahui hukumnya diperlukan metode-metode istinbath atau
melalui penalaran terhadap prinsip-prinsip umum agama Islam.
II. LANDASAN HUKUM
A. Al-Qur’an
Artinya:” Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Baqarah 173)
B. Al-Hadits
)
(
Artinya:” Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar An Namari telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Ziyad bin 'Ilaqah dari Usamah bin Syarik ia berkata, "Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, dan seolah-olah di atas kepala mereka terdapat burung. Aku kemudian mengucapkan salam dan duduk, lalu ada seorang Arab badui datang dari arah ini dan ini, mereka lalu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah boleh kami berobat?" Beliau menjawab: "Berobatlah, sesungguhnya Allah 'azza wajalla tidak menciptakan penyakit melainkan menciptakan juga obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu pikun." (H.R Abu Dawud)
C. Pandangan Ulama’ Berdasarkan kaidah hukum Fiqh Islam yang berbunyi:
Artinya: Bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu boleh hukumnya kecuali kalau ada dali yang mengaramkannya.
III. ANALISIS
Perkataan tranfusi darah, adalah terjemahan dari bahasa inggris “Blood Transfusi“,
kemudian diterjemahkan oleh dokter Arab menjadi
(memindahkan
darah karena kepentingan medis).1[1] Lalu Dr.Ahmad Sofian mengartikan tranfusi darah dengan istilah “pindah -tuang darah” sebagaimana rumusan definisinya yang berbunyi: ”pengertian pindah-tuang darah
adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan ditolong”.2[2]
Tranfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya kemahraman antara pendonor dan resipien.sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 23: Artinya:”Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anakanak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.3[3]
Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan dari hukum menjual belikan darah sebagaimana sering terjadi dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir , kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk
keperluan pupuk. Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri , Islam membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang memerlukan transfusi darah. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk barang yang dibolehkan untuk diperjual belikan karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjual belikan, karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan semata, guna menyelamatkan jiwa sesama manusia. Rasulullah bersabda dalam hadist Ibnu Abbas ra : “Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sebuah kaum untuk memakan sesuatu maka Allah akan haramkan harganya." 4[4]
Persyaratan dibolehkannya tranfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi karena adanya kaidah-kaidah hukum Islam sebagai berikut: 1.
Artinya bahaya itu harus dihilangkan (dicegah). Misalnya bahaya kebutaan harus dihindari dengan berobat dan sebagainya.
2.
Artinya bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain [lebih besar bahayanya] .misalnya seorang yang memerlukan tranfusi darah karena kecelakaan
lalu lintas, atau operasi, tidak boleh me-nerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatang-kan bahaya yang lebih besar/berakibat fatal. 3.
Artinya tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain, misalnya seorang pria yang impotent atau terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh.5[5] Apabila terdapat padanya maslahat dan tidak menimbulkan kemudharatan yang dapat membahayakan dirinya, maka donor darah tidak terlarang. Bahkan padanya terdapat pahala dan keutamaan, sebagaimana yang termaktub dalam kitabullah dan sunnah RasulNya. QS 99:78 , “Barangsiapa yang beramal dengan sebiji debu kebaikan maka dia akan melihatnya, dan barangsiapa yang beramal dengan sebiji debu kejelekan maka dia akan melihatnya”.
Hukum fikih sangat terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata :" Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan)” . Sebagaimana dalam sebuah
hadis seorang wanita pada masa bani Israel masuk surga karena memberi minum seekor anjing. Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada orang-kafir, terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua ,mahramnya dan yang lainnya.dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait dengan af'al bukan dengan zawat. Didalam mendefenisiikan hukum ulama mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan allah yang berkaitan dengan pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru).6[6] Penerima sumbangan darah tidak disyari’atkan harus sama dengan donor
darahnya mengenai agama atau kepercayaan, suku bangsa dan sebagainya. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah :
Artinya:“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya” (Q.S. Al-Maidah : 32),
Firman Allah :
Artinya:"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-
Mumtahanah : 8). Secara umum, ayat ini menerangkan begitu pentingnya toleransi. Seperti dikisahkan oleh Ibnul Ishak dalam “sirahnya” dan juga Ibnul Qoyyim dalam “Zaadul Ma’ad” adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan utusan Nasrani dari Najran berjumlah
60 orang. Diantaranya adalah 14 orang yang terkemuka termasuk Abu Haritsah Al-Qomah, sebagai guru dan uskup. Maksud kedatangan mereka itu adalah ingin mengenal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dekat. Benarkah Muhammad itu seorang utusan Tuhan dan
bagaimana dan apa sesungguhnya ajaran Islam itu. Mereka juga ingin membandingkan antara Islam dan Nasrani. Mereka ingin bicara dengan Rasu lullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang berbagai masalah agama.Mereka sampai di Madinah saat kaum muslimin telah selesai shalat Ashar. Mereka pun sampai di masjid dan akan menjalankan sembahyang pula menurut cara mereka. Para sahabatpun heboh, mengetahui hal tersebut, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata “Biarkanlah mereka !” maka mereka pun
menjalankan sembahyang dengan cara mereka dalam masjid Madinah itu. Dikisah-kan
bahwa para utusan itu memakai jubah dan kependetaan yang serba mentereng, pakaian kebesaran dengan selempang warna-warni.. Peristiwa di atas menunjukan toleransi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemeluk agama lain. Walaupun dalam dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan utusan Najran itu tidak ada “kese-pakatan” karena mereka tetap menganggap bahwa Isa adalah “anak Tuhan” dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpegang teguh bahwa Isa adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai Nabiyullah, Isa adalah manusia biasa. Para utusan itu tetap dijamu oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hari.
Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang kafir begitupun sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab, Allah sebagai Khaliq alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia.7[7]
MUI tengah melakukan pembahasan terkait hukum transfusi darah. Penyebabnya, banyak umat Islam merasa khawatir darah yang disalurkan berasal dari pendonor yang kurang sehat.
Diskon RP 350,000 hanya di Pergi.com Dream - Hukum transfusi darah tengah menjadi polemik di sebagian kalangan umat Islam. Ini lantaran penyumbang darah acapkali tidak diketahui riwayat kesehatannya termasuk makanan apa yang dikonsumsi pendonor darah.
Terkait persoalan ini, Staf Sosialisasi dan Konsultasi Sertifikasi Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yuni Harina membenarkan polemik tersebut. Menurut dia, lan taran polemik ini banyak umat Islam terdorong untuk memastikan segala sesuatu yang masuk ke tubuhnya adalah halal. " Soalnya, selama ini proses donor darah sering hanya sebatas pengecekan golongan darah, kadar hemoglobin, dan tensi saja," ujar Yuni saat ditemui Dream.co.id di kantornya, Jakarta Pusat. Meski demikian, Yuni mengatakan pihaknya tidak mau gegabah mengeluarkan fatwa terkait hukum transfusi darah. Menurut dia, persoalan transfusi darah perlu dikaji lebih mendalam mulai dari informasi di lapangan hingga pembahasan seluruh tokoh MUI. " Diskusi mengenai proses transfusi darah tersebut sudah terjadi di MUI, namun belum ada pembahasan lanjut, makanya, jawaban fatwa agak lama," ungkap Yuni. Lebih lanjut, Yuni menjelaskan keberadaan fatwa jika nantinya sudah keluar bukan untuk mencerminkan hal-hal tabu dalam Islam. Menurut dia, MUI hanya membantu masyarakat Muslim di Indonesia mendapatkan jaminan kehalalan dari proses transfusi darah. " Setidaknya si pendonor punya form riwayat penyakit yang pernah dialaminya," terang Yuni. (Ism)
REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Ketua Bidang Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat, Gusrizal Gazahar menegaskan, umat Islam yang melakukan donor darah pada saat Ramadhan tidak membatalkan puasa. "Donor darah itu dibolehkan asalkan tidak menimbulkan bahaya dan akibat buruk terhadap si pendonor setelah melakukan donor darah sehingga ia harus membatalkan puasanya," ujarnya di Padang, Jumat. Ia menjelaskan diperbolehkannya melakukan donor darah saat Ramadhan itu juga tercermin dari sikap Rasul yang melakukan bekam pada saat berpuasa. "Bekam hampir mirip dengan donor darah karena mengeluarkan darah dari dalam tubuh. Hanya saja dalam bekam darah yang dikeluarkan adalah darah kotor sedangkan donor guna mencukupi individu lain yang kekurangan darah". Ia mengatakan, seorang Muslim yang melakukan donor darah justru sesuatu perbuatan yang mulia apalagi dilakukan pada bulan suci Ramadhan. Ia men yarankan, umat Muslim yang tengah menjalankan ibadah puasa dan memiliki keinginan untuk donor sebaiknya dilakukan setelah berbuka. "Jika donor memang harus dilakukan pada siang dan sangat dibutuhkan, sesungguhnya tidaklah membatalkan puasa selama tidak mengganggu ibadah puasanya," katanya. Sebelumnya, Kepala Unit tranfusi darah PMI Cabang Padang Widyarman mengatakan, saat ini stok darah di kota Bingkuang mulai menipis sehubungan dengan masuknya Bulan Ramadhan. Stok darah yang tersedia hanya 658 kantong terdiri atas golongan darah A sebanyak 111 kantong, golongan darah B 316 kantong, golongan darah O 206 kantong dan golongan darah AB 25 kantong.