INOKULASI VIRUS PADA TELUR AYAM BEREMBRIO
Oleh :
Nama : Dian Kusumawardani
NIM : B1J013053
Kelompok : 3
Rombongan : IV
Asisten : Chairunisa Fadhilah
LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit tetelo ditemukan pertamakali oeh Kraneveld di Indonesia pada tahun 1926, karena karena menyerupai pes ayam maka disebutnya Pseudovogelpest. Doyle pada tahun 1927 memberi nama penyakit tersebut dengan nama Newcastle Disease hal ini dinamakan demikian sebab juga pernah terjangkit penyakit serupa. Penyakit tetelo ini sering ditakuti oleh para peternak ayam karena penyakit ini bisa menular dalam jangka waktu yang singkat, biasanya dalam kurun waktu 3 sampai 4 hari penyakit ini akan menular ke seluruh ternak, penularan ini bisa terjadi melalui udara, peralatan, serta burung liar yang ada disekitar. Kerugian yang ditimbulkan penyakit tetelo adalah berupa kematian yang tinggi, penurunan produksi telur serta daya tetasnya dan menghambat pertumbuhan (Akoso, 2010).
Penyakit tetelo menyerang unggas dan burung. Ayam ras, ayam kampung baik piaraan maupun yang liar sangat rentan, usia yang muda lebih rentan daripada yang dewasa dan mengakibatkan mortalitas (kematian) tinggi, sedangkan jenis kelamin tidak mempengaruhi kerentanan ini. ND merupakan penyakit yang dapat menimbulkan angka kematian yang sangat tinggi (mencapai 100%) dan waktu penyebarannya yang sangat cepat. Hampir semua jenis unggas, baik unggas darat maupun unggas air rentan terhadap virus ND, termasuk ayam, kalkun, itik, angsa, merpati, unggas liar, maupun jenis unggas lainnya. Menurut para ahli, penyakit ini dapat menular pada manusia dengan gejala klinis conjunctivitis (radang konjunctiva mata) walaupun kasusnya sangat jarang dijumpai. Sedangkan pada unggas dan burung liar lainnya dengan gejala klinis berupa gejala syaraf, gejala pernafasan dan gejala pencernaan serta gejala pada system reproduksi (Akoso, 2010).
Penyebaran penyakit ini biasanya melalui kontak langsung dengan ayam yang sakit dan kotorannya, melalui ransum, air minum, kandang, tempat ransum/minum, peralatan lainnya yang tercemar oleh kuman penyakit, melalui pengunjung, serangga, burung liar dan angina atau udara (dapat mencapai radius 5 km). Virus ND ditemukan dalam jumlah tinggi selama masa inkubasi sampai masa kesembuhan. Virus ini terdapat pada udara yang keluar dari pernafasan ayam, kotoran, telur-telur yang diproduksi selama gejala klinis dan dalam karkas selama infeksi akut sampai kematian (Cavanagh and Gelb, 2010).
Tujuan
Tujuan dari acara praktikum Inokulasi Virus Pada Telur Ayam Berembrio yaitu untuk memberikan pemahaman tentang macam-macam inokulasi virus, mengetahui bagaimana cara menginokulasikan virus pada telur ayam berembrio, dan mengetahui ciri-ciri embrio ayam yang terinfeksi virus New Castle Disease (ND).
MATERI DAN METODE
Materi
Alat-alat yang digunakan pada acara praktikum kali ini yaitu: spuit injeksi 1 cc, jarum, senter atau alat peneropong, cawan petri, sarung tangan latex, pensil dan masker.
Bahan yang digunakan pada acara praktikum kali ini yaitu: telur ayam berembrio usia 9-12 hari, tissue, alkohol 70%, lilin, dan susupensi virus New Castle Disease (ND) sejumlah 0,1 cc, 0,2 cc, dan 0,3 cc.
Metode
Metode yang dilakukan pada acara praktikum kali ini yaitu sebagai berikut:
Embrio ayam usia 9-12 hari diteropong.
Setelah diteropong, lalu ditentukan batas kantung udara dan letak embrio dan ditandai menggunakan pensil.
Permukaan telur yang telah ditandai tersebut diolesi dengan alkohol 70%, lalu dilubangi dengan jarum.
Setelah telur dilubangi lalu diinjeksikan suspensi virus New Castle Disease (ND) sebanyak 0,2 cc dengan arah sudut penginjeksian sebesar 45 .
Kemudian ditutupi lubang tersebut menggunakan lilin.
Diinkubasikan selama 4 hari dengan suhu 38-39 C.
Setelah diinkubasi, kedua telur ayam dipecahkan masing-masing pada cawan petri.
Telur berembrio non-injeksi dan telur berembrio yang telah diinjeksikan suspensi virus New Castle Disease (ND) diamati dan dibandingkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 3.1. Pengamatan Perubahan pada Embrio yang Diinjeksi Virus ND.
NO
Volume Virus (cc)
Perubahan Warna Hijau pada Kaki
Lesi pada Embrio
Lesi pada Kaki dan Bulu
1
0,1 cc
-
-
-
2
0,1 cc
-
+++
-
3
0,2 cc
-
-
-
4
0.2 cc
-
++
-
5
0,3 cc
-
+++
-
6
0,3 cc
-
+++
-
Keterangan
: Tidak ada gejala
+ : Ada gejala
++ : Sedang
+++ : Banyak gejala
Gambar 3.1 Kontrol 0,1 cc Gambar 3.2 Kontrol 0,2 cc
Gambar 3.3 Kontrol 0,3 cc Gambar 3.4 Kontrol tanpa perlakuan
Gambar 3.5 Telur Non-Injeksi Gambar 3.6 Telur Injeksi 0,2 cc
Pembahasan
Newcastle Disease (ND) adalah penyakit yang sangat menular, dengan angka kematian yang tinggi, disebabkan oleh virus genus Paramyxovirus dengan family Paramyxoviridae. Nama lain untuk ND adalah tetelo, pseudovogolpest, sampar ayam, Rhaniket, Pneumoencephalitis dan Tontaor furrens. Newcastle Disease dipandang sebagai salah satu penyakit penting di bidang perunggasan. Kejadian wabah penyakit ND seringkali terjadi pada kelompok ayam yang tidak memiliki kekebalan atau pada kelompok yang memiliki kekebalan rendah akibat terlambat divaksinasi atau karena kegagalan program vaksinasi. Penyakit ND menyebabkan gangguan yang sangat berat pada sistem pernafasan, syaraf dan pencernaan pada ayam. Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ND antara lain berupa kematian ayam, penurunan produksi telur pada ayam petelur, gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan pada ayam pedaging (Tabbu, 2012).
Penyakit ND disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1 (APMV-1). Virus penyebab penyakit tetelo termasuk dalam ordo Mononegavirales yang mempunyai tiga famili virus, yaitu: Bornaviridae, Filoviridae, dan Paramyxoviridae. Famili Paramyxoviridae memiliki dua subfamili yaitu Paramyxovirinae dan Pneumovirinae. Genom virus tetelo merupakan single-stranded RNA (ssRNA) dan berpolarisasi negatif yang terdiri dari 15.186 nukleotida. Virus tetelo termasuk dalam genus Avulavirus memiliki viral envelope dengan diameter 100-500 nm dan berbentuk pleomorfik. Genom virus terdiri dari 6 gen yang menyandi protein nucleocapsid (NP), Phosphoprotein (P), protein Matriks (M) dan protein Fusion (F), protein Haemagglutinin-Neuraminidase (H/N) yang berfungsi untuk attachment dan protein polymerase besar (Large) atau L. Genom virus ini juga terdapat dua protein tambahan yaitu protein V dan W yang berasal dari gen P yang mengalami proses editing RNA. Terdapat sembilan serotype dari avian Paramyxovirus yaitu APMV-1 sampai APMV-9 (Fournier et al., 2012).
Sifat-sifat virus ND penting untuk diketahui guna menentukan model atau cara-cara pencegahan dan penanganan vaksin. Sifat virus ND antara lain menggumpalkan butir darah merah, di bawah sinar ultra violet akan mati dalam dua detik, mudah mati dalam keadaan sekitar yang tidak stabil dan rentan terhadap zat-zat kimia, seperti : kaporit, besi, klor dan lain-lain. Desinfektan yang peka untuk ND, antara lain NaOH 2%, Formalin (1 – 2%), Phenol-lisol 3%, alkohol 95 dan 70%, fumigasi dengan Kalium permanganat (PK) 1 : 5000. Aktivitas ND akan hilang pada suhu 100 C selama satu menit, pada suhu 56 C akan mati selama lima menit sampai lima jam, pada suhu 37 C selama berbulan-bulan. Virus ND stabil pada pH 3 sampai dengan 11. Masa inkubasi penyakit ND adalah 2 – 15 hari, dengan rata-rata 6 hari. Ayam yang tertular virus ND akan mulai mengeluarkan virus melalui alat pernapasan antara 1 sampai dengan 2 hari setelah infeksi. Infeksi oleh virus ND di alam yang tidak menyebabkan kematian akan menimbulkan kekebalan selama 6 – 12 bulan, demikian juga halnya kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi (Kencana et al., 2013).
Berdasarkan atas virulensinya, virus ND (VND) dikelompokkan menjadi tiga patotype yaitu: lentogenik adalah strain virus yang kurang virulen, mesogenik merupakan strain virus dengan virulensi sedang, dan velogenik adalah strain virus ganas. Strain velogenik dibedakan lagi menjadi bentuk neurotrofik dengan gejala gangguan saraf dan kelainan pada sistem pernafasan, dan bentuk viserotrofik yang ditandai dengan kelainan pada sistem pencernaan. Kerugian akibat penyakit ND disebabkan karena angka kesakitan (morbiditas) maupun angka kematian (mortalitas) pada ternak unggas yang sangat tinggi. Mortalitas maupun morbiditas dapat mencapai 50-100% akibat infeksi VND strain velogenik terutama pada kelompok ayam yang peka, 50% pada strain mesogenik, dan 30% pada infeksi virus strain velogenik (Kencana et al., 2012).
Masa inkubasi dan gejala klinis penyakit ND pada ayam bervariasi, tergantung pada strain virus dan status kebal ayam saat terinfeksi. Kondisi infeksi virus strain lentogenik, penyakit bersifat subklinis, atau ditandai dengan gangguan respirasi yang bersifat ringan seperti bersin dan keluar leleran dari hidung. Infeksi virus strain mesogenik bersifat akut ditandai dengan gangguan respirasi dan kelainan saraf. Gejala klinis pada ayam ditandai dengan penurunan nafsu makan, jengger dan pial sianosis, pembengkakan di daerah kepala, bersin, batuk, ngorok, dan diare putih kehijauan. Infeksi virus strain velogenik bersifat fatal, seringkali diikuti dengan angka kematian yang tinggi. Gejala tersebut sangat bervariasi, diawali dengan konjungtivitis, diare serta dikuti dengan gejala saraf seperti tremor, tortikolis, atau kelumpuhan pada leher dan sayap (Kencana et al., 2012).
Berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan pada ayam, ND dapat dikelompokkan menjadi 5 patotipe yaitu viscerotropic velogenic, neurotropic velogenic, mesogenic, lentogenic dan asymptomatic enteric. Viscerotropic velogenic merupakan suatu bentuk ND yang sangat patogen dimana lesi pendarahan pada sistem pencernaan sering terlihat pada bentuk ini. Neurotropic velogenic adalah bentuk ND yang menyebabkan mortalitas yang tinggi dan biasanya diikuti dengan gangguan sistem respirasi dan syaraf. Newcatle disease bentuk mesogenic menunjukkan gejala klinis gangguan sistem pernafasan tetapi gangguan sistem syaraf tidak selalu terlihat dan mortalitas yang rendah, sedangkan asymptomatic enteric merupakan suatu bentuk infeksi subklinik pada sistem pencernaan. Virus ND strain avirulent (lentogenik dan mesogenik) digunakan sebagai vaksin hidup untuk meningkatkan pengendalian penyakit ND pada ayam tetapi pemilihan jenis vaksin tergantung pada kondisi penyakitnya. Vaksin inaktif juga digunakan dalam pengendalian penyakit ND. Patogenitas yang ditimbulkan virus ND dapat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya virulensi virus ND dan inang (Herwajuli dan Dharmayati, 2011).
Penularan VND dapat terjadi secara langsung antar ayam dalam satu kelompok ternak tertular. Sumber virus biasanya berasal dari ekskreta ayam terinfeksi baik melalui pakan, air minum, lendir, feses, maupun udara yang tercemar virus, peralatan, dan pekerja kandang. Patogenisitas VND dipengaruhi oleh galur virus, rute infeksi, umur ayam, lingkungan, dan status kebal ayam saat terinfeksi virus. Selama sakit, ayam mengeluarkan virus dalam jumlah besar melalui feses (Tabbu, 2012).
Protein Haemagglutinin-Neuraminidase (HN) berperan dalam tahap penempelan virus ND pada reseptor sel inang atau induk semang yang mengandung sialic acid. Molekul sialic acid ini adalah glycoprotein dan glycolipid. Penempelan virus dilakukan dengan penyatuan virus dan membran sel yang diperantarai oleh protein Fusion (F). Virus RNA kemudian dilepaskan dalam sitoplasma dan terjadi replikasi. Envelope virus masuk ke dalam sel melalui 2 jalan utama yaitu pertama, penyatuan secara langsung antara envelope virus dengan membran plasma dan kedua, diperantarai oleh reseptor endositosis. Penetrasi virus melalui reseptor endositosis tergantung pada kondisi pHnya. Paramyxoviruses, proses penyatuan membran virus dengan membran plasma inang atau induk semang tidak tergantung pH. Walaupun demikian, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penyatuan virus ND dengan sel mampu meningkatkan pH. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penetrasi virus ND pada sel inang melalui reseptor endositosis juga dipengaruhi oleh kondisi pH (Herwajuli dan Dharmayati, 2011).
Kepekaan sel terhadap virus ND yang tidak virulen dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sel tersebut harus mempunyai reseptor yang cocok sehingga virus dapat melakukan penempelan dan masuk ke dalam sel. Disamping itu, sel tersebut juga harus memiliki tripsin yang menyerupai protease dimana enzim ini berperan dalam pemecahan protein F0 menjadi F1 dan F2. Penyebaran reseptor sel pada ayam yang peka terhadap virus ND bentuk tidak virulen bersifat terbatas dan hanya ditemukan pada saluran pencernaan dan saluran pernafasan bagian atas. Sedangkan virus bentuk virulen tidak selalu memerlukan enzim protease dan replikasi virus biasanya terjadi di sebagian besar jaringan induk semang. Replikasi virus yang terjadi di limfosit menghasilkan suatu respon imun dan produksi antigen virus yang cukup dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas sistem imun. Dalam saluran pencernaan terdapat faktor-faktor nonspesifik yang mempengaruhi replikasi virus ND. Enzim protease dan pH yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam proses penempelan virus pada reseptor sel. Dimana keberadaan tripsin pada beberapa bagian saluran pencernaan dapat mengaktifkan virus ND bentuk tidak virulen setelah virus tersebut dilepaskan dari sel yang kekurangan enzim protease (Herwajuli dan Dharmayati, 2011).
Penelitian untuk menentukan tempat awal replikasi virus ND setelah diinfeksi virus V4 secara oral menunjukkan hasil bahwa virus dapat diisolasi dari esophagus, tembolok dan trakea setelah 24 jam pasca inokulasi virus V4 melalui mulut pada ayam umur 3 minggu. Tetapi jumlah virus yang ditemukan pada organ tersebut lebih sedikit jika dibandingkan dengan organ proventrikulus. Virus V4 juga tidak dapat diisolasi dari organ pencernaan lain dan darah. Meskipun demikian, virus dapat dideteksi pada jejunum, ileum dan caecum pada 6 hari setelah diinfeksi virus V4 melalui tembolok, virus juga dapat ditemukan dalam darah pada 4 hari pasca infeksi. Antigen virus ND dideteksi pada sebagian besar sel epitel saluran pencernaan serta limfosit dan makrofag ditemukan pada lamina propia beberapa jaringan. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa tempat awal replikasi virus ND terutama terjadi di saluran pencernaan bagian atas yaitu esophagus, tembolok dan proventrikulus apabila virus ND diinfeksikan melalui mulut, sedangkan replikasi virus ND pada saluran pencernaan bagian bawah yaitu duodenum, jejunum, ileum dan caecum kemungkinan terjadi sebagai akibat viremia (Herwajuli & Dharmayati, 2011).
Virus tetelo mempunyai dua protein utama yang terdapat pada envelope, yaitu protein yang berfungsi untuk attachment virus, yang terdiri dari protein fusi hemaglutinin/neuramidase dan protein fusion (F). Hemaglutinin merupakan protein untuk menempel dan mengikat reseptor pada bagian luar membran sel inang, termasuk juga pada membran luar sel darah merah. Neuramidase merupakan protein aktif yang merupakan enzim untuk pelepasan virus tetelo dari membran luar sel inang setelah selesai menginfeksi. Protein F pada virus tetelo berfungsi untuk proses penyatuan envelope virus dengan membran sel hospes sebagai target infeksi dan replikasi virus (Haryanto et al., 2013).
Telur ayam berembrio merupakan sistem yang telah digunakan secara luas untuk isolasi. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang berbeda. Membran kulit telur yang fibrinous terdapat di bawah kerabang. Membran membatasi seluruh permukaan dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan cangkang telur membantu mempertahankan intregitas mikrobiologi dari telur, sementara terjadinya difusi gas kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan pembentukan CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi embrio (Purchase, 1989 dalam Cattoli et al., 2011).
Pembentukan membran ini terjadi berdekatan dengan membran telur sepanjang telur. Selama pembentukan, membran membentuk ruangan yang relatif besar disebut kantong allantois yang mengandung 5-10 ml cairan alantois. Embrio secara langsung dikelilingi oleh membran amnion yang membentuk kantong amnion yang berisi 1-2 ml cairan amnion. Embrio melekat pada kantong kuning telur yang berlokasi kira-kira ditengah telur dan menyuplai kebutuhan nutrisi untuk perkembangan embrio. Telur sebaiknya berasal dari kelompok yang bebas dari patogen spesifik (spesific pathogen free flock) atau jika tidak mungkin dapat menggunakan telur dari kelompok bebas antibodi ND Virus. Penggunaan telur dari kelompok antibodi positif akan mengurangi kemampuan virus untuk tumbuh dan berhasilnya isolasi virus (Purchase, 1989 dalam Cattoli et al., 2011).
Inokulasi dilakukan pada ruang korio-alantois, dan hasil yang didapatkan jika positif atau terdapat adanya virus ND adalah embrio pada telur ayam akan menunjukkan gejala adanya hemoragi pada daerah kepala dan leher serta terlihat kerdil atau kecil embrionya, dibanding dengan normalnya. Digunakan TAB umur 9–11 hari karena, pada saat itu ruang dan cairan korio-alantoisnya sedang berkembang sehingga daerahnya menjadi luas, maka inokulasi pada ruang alantois ini akan lebih mudah dan mengurangi resiko. Injeksi dilakukan ke dalam cairan korio-alantois untuk membuat daerah aman sehingga lingkungan internal embrio tidak terganggu dan agar virus mudah menyebar dan melekat pada sel yang mempunyai reseptor yang cocok dengan virus sebab pada ruang korio-alantois terdapat banyak pembuluh darah, yang nantinya dapat membawa virus memasuki inangnya dan melakukan infeksi lebih cepat (Putra et al., 2012).
Macam-macam cara menginokulasikan virus ke embrio ayam yaitu (Sardjono, 2011). :
In Ovo
Metode ini merupakan penanaman virus pada telur ayam yang berembrio. Metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain Inokulasi pada ruang chorioalantois, membran chorioalantois, dan yolk sac.
In Vitro
Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada kultur jaringan.
In Vivo
Virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka. Hewan laboratorium yang digunakan antara lain mencit, tikus putih, kelinci ataupun marmut.
Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan inokulasi pada embrio ayam menurut Alexander dan Senne (2011) adalah:
1. Rute Inokulasi
Inokulasi pada embrio dimana virus akan segera mendapatkan tempat untuk menginfeksi organ. Hasil paling baik adalah ketika embrio mengalami abnormal organ sejak 24 jam setelah inokulasi.
2. Strain virus
Strain virus menentukan efek infeksi pada masing-masing embrio yang diinokulasikan virus. Strain yang paling virulen merupakan strain yang paling baik untuk digunakan pada uji in ovo karena mudah terlihat gejalanya.
3. Titer Virus
Banyaknya titer virus yang diinokulasikan merupakan hal yang penting untuk mencapai keberhasilan inokulasi dan akan menyebabkan efek infeksi yang terlihat jelas pada embrio yang diujikan dengan kontrolnya.
4. Tahapan perkembangan embrio
Perkembangan embrio yang sudah mengalami tahap dewasa akan lebih resisten terhadap virus karena sudah dibekali sistem imun pada tubuhnya, sebaliknya embrio dengan umur yang lebih muda akan lebih rentan terkena virus karena sistem imunnya belum berkembang.
Berdasarkan hasil praktikum, embrio ayam kelompok 1 dan 2 yang diinjeksi dengan titer virus ND 0,1 cc yaitu pada kelompok 1 tidak terdapat perubahan, sedangkan pada kelompok 2 mengalami perubahan berupa lesi pada embrio. Embrio ayam kelompok 3 dan 4 yang diinjeksi dengan titer virus ND 0,2 cc pada kelompok 4 mengalami perubahan lesi pada embrio sedangkan pada kelompok 3 tidak terjadi adanya perubahan. Sedangkan embrio ayam kelompok 5 dan 6 yang diinjeksi dengan titer virus ND 0,3 cc terlihat adanya gejala penyakit ND berupa lesi pada embrio. Kemunculan gejala dan tidak munculnya gejala pada telur milik kelompok 1 dan 3 serta persamaan gejala yang muncul dari penyakit ND pada embrio ayam berdasarkan hasil tersebut kemungkinan disebabkan oleh titer virus yang diberikan pada embrio ayam atau disebabkan oleh beberapa faktor seperti sistem kekebalan imun, selain itu umur embrio yang digunakan oleh tiap kelompok juga kemungkinan berbeda-beda, ada yang mencapai 12 hari atau pun lebih. Hal ini sesuai dengan pernyataan Alexander dan Senne (2011), keberhasilan dalam mengisolasi dan mengembangkan virus tergantung pada beberapa kondisi yaitu rute inokulasi, umur embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi, volume dan pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari kelompok dimana telur ayam berada. Cattoli et al., (2011), menambahkan bahwa produksi antibodi berlangsung dengan cepat setelah terinfeksi NDV. Antibodi penghambat hemaglutinasi dapat diamati dalam waktu 4-6 hari setelah infeksi. Antibodi yang berasal dari induk dapat melindungi anak ayam sampai 3-4 minggu setelah menetas. Antibodi IgA yang dihasilkan secara lokal berperan penting dalam melindungi saluran pernafasan dan saluran pencernaan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan pada acara praktikum inokulasi virus pada telur ayam berembrio yaitu:
Macam-macam cara menginokulasikan virus ke embrio ayam yaitu: In Ovo merupakan penanaman virus pada telur ayam yang berembrio, In Vitro yaitu metode Inokulasi virus yang dilakukan dengan menanam virus pada kultur jaringan, dan In Vivo yaitu metode dimana virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka.
Inokulasi virus ke dalam telur ayam berembrio yaitu dengan menggunakan metode In Ovo, dengan cara memasukkan suspensi virus ke dalam lubang yang berada di atas embrio dengan menggunakan spuit 1 cc. Penyuntikan dilakukan dengan sudut 450 ke arah bagian runcing telur agar tidak mengenai embrio dan suspensi virus ND tersebut diinjeksikan ke dalam ruang korio-alantois.
Ciri-ciri embrio ayam yang terinfeksi virus New Castle Disease (ND) diantaranya yaitu terdapat perubahan warna hijau pada kaki, lesi embrio, dan lesi pada kaki dan bulu.
Saran
Saran untuk praktikum kali ini yaitu sebaiknya, praktikan pada saat mencari telur ayam berembrio harus memastikan dengan pasti dan jelas usia dari telur ayam bermbrio tersebut, agar tingkat keberhasilan pada saat inokulasi virus ke dalam telur ayam berembrio dapat berpeluang lebih besar untuk terinfeksi dan dapat melihat gejala-gejala perubahan yang ditimbulkannya.
DAFTAR REFERENSI
Akoso, B. T. 2010. Manual Kesehatan Unggas. Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh dam Peternak. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Alexander, D. J. & Senne, D. A. 2011. Newcastle Disease, Other Avian Paramyxovirus and Pneumovirus Infection In: Disease of Poultry. Saif, Y.M. Lowa: Blackwell Publishing.
Cavanagh & Gelb. 2010. Infectious Bronchitis In: Disease of Poultry. Saif, Y. M. Lowa: Blackwell Publishing.
Cattoli, G., Susta, L., Terregino, C., Brown, C. 2011. Newcastle disease: a review of field recognition and current methods of laboratory detection. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation, 23 (4) pp: 637–656.
Fournier, P., Wilden, H., Schirmacher, V. 2011. Importance of Retinoic Acid-Inducible Gene I And of Receptor for Type I Interferon for Cellular Resistance to Infection By Newcastle Disease Virus. International Journal of Oncology, 40: 287-298,
Haryanto, A., Kristiawan D., Irianingsih, S. H., Yudianingtyas, D.W. 2013. Amplifikasi Gen Penyandi Protein Fusion Virus Tetelo dari Spesimen Lapangan dengan Metode One Step RT-PCR. Jurnal Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan UGM. 14 (3), pp: 387-393.
Hewajuli, D. A., & Dharmayanti, N.L.P.I. 2012. Patogenitas Virus Newcastle Disease Pada Ayam. Makalah Balai Besar Penelitian Veteriner. pp: 72-80.
Kencana, G. A. Y., Kardena, I. M., Mahardika, I. G. N. K. 2012. Peneguhan Diagnosis Penyakit Newcastle Disease Lapang Pada Ayam Buras di Bali Menggunakan Teknik Rt-Pcr. Jurnal Kedokteran Hewan Udayana. 6 (1), pp: 28-31.
Kencana, Gusti Ayu Yuniati. 2013. Penentuan Kandungan Virus Vaksin Newcastle Disease Dari Dua Poultry Shops Yang Berbeda Pada Kultur Sel Primer Fibroblast Embrio Ayam. Jurnal Veteriner Udayana. 5 (2), pp: 51-69.
Putra H. H., Wibowo, M. H., Untari, T., Kurniasih. 2012. Studi Lesi Makroskopis dan Mikroskopis Embrio Ayam yang Diinfeksi Virus Newcastle Disease Isolat Lapang yang Virulen. Jurnal Sains Veteriner. 30 (1), pp: 57-67.
Tabbu, C. R. 2012. Penyakit Ayam dan Penanggulagannya. Volume 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
saat praktikum volume yang digunakan berapa aja?
capital
capital
italic
et al atau tidak?
dan
tabbu atau tabu?