4
4
Endang Saefuddin Anshari, Wawasan Islam : pokok-pokok fikiran tentang Islam dan Umatnya. Cet. 3, 1991, Jakarta : Rajawali, hlm. 16.
Mehdi Golshani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur'an. Terj: Agus Effendi, 2003, Mizan : Bandung, hlm. 1.
Ibid.
Abdul Majid Khon, M. Ag. Hadis tarbawi Hadis-Hadis Pendidikan. Cet.2, Jakarta : Kencana. 2014, hlm. 140.
George Sharton adalah seorang sarjana pelopor yang memainkan peran yang menentukan dengan beasiswa , metodologi dan karir akademik dalam membangun sejarah ilmu pengetahuan sebagai subjek yang diakui di akademisi modern. Beliau adalah salah satu dosen di Universitas Harvard.
Mehdi Golshani, op.cit.,hlm. 26.
Dalam KBBI tasrif berarti sistem perubahan bentuk kata untuk membedakan kasus, kala, jenis, jumlah, dan aspek;
Tobroni, Paradigma Pemikiran Islam.2010, dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12 /01/ paradigma -pemikiran-Islam/ Diakses tanggal 1 November 2015 puku 10.00 WIB
Pandangan dunia menyeluruh (atau pandangan dunia saja) adalah orientasi kognitif mendasar suatu individu atau masyarakat yang mencakup seluruh pengetahuan dan sudut pandang individu atau masyarakat, termasuk filsafat alami;Wikipedia.com
Kerangka kerja (bahasa Inggris: framework) adalah suatu struktur konseptual dasar yang digunakan untuk memecahkan atau menangani suatu masalah kompleks.wikipedia.com
Analisis Kerangka logis atau Pendekatan Kerangka Logis ( LFA ) adalah proses analisis untuk
penataan dan sistematisasi analisis ide proyek atau program.intranetpanda.org.
Mindset adalah kepercayaan (belief), atau sekumpulan kepercayaan (set of beliefs), atau cara berfikir yang mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang.kompasiana.com
Tobroni. Loc.cit
Ibid.
Jallaludin, Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Depok : Raja Grafindo Persada,2014, hlm. 248.
Ibid., hlm. 249.
Ibid., hlm 251.
Ibid., hlm 252.
Ibid., hlm 253.
Ibid., hlm 254.
Ibid.
Metafisik : studi filosofis yang objeknya untuk menentukan arti, struktur dan prinsip-prinsip, dan berkaitan dengan realitas secara keseluruhan. (Ensiklopedia Britanica Fislafat).
Dalam KBBI Humaniora diartikan 1) sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi filsafat, hukum, sejarah, bahasa, seni dsb; 2) makna intrinsik nilai-nilai humanisme.
Aspek material : segi isi atau substansi.
Jalaluddin, op.cit., hlm. 258.
M Quraish Shihab. Membumikan Alquran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XIV, Bandung: Mizan, 1997, hlm. 427.
Ibid., hlm. 428.
Ibid., hlm. 429.
Ibid.
Jalaluddin, op.cit., hlm. 260.
Ibid., hlm. 264.
Ibid., hlm. 265.
Ibid., hlm. 268.
Ibid., hlm. 269.
Ibid.
Abdul Halim Abdul Hamid & Norizaton Azmin Mohd Nordin . A study on Islamic banking education and Strategy for the new millenium - malaysian experience. International Journal of Islamic Financial Services Vol. 2 No.4. dalam : www. Katankji.com/studies/a-study-on-Islamic-banking-education-and-strategy-for-the-millenium-malaysian-experince/ diakses tanggal 2 November 2015, pukul 09.00.
Mehdi Golshani, op.cit., hlm. 22-23.
Ibid., hlm. 28.
Adian Husaini et all, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, Depok : Gema Insani.2013, hlm. 22.
Ibid., hlm. 23-25.
Mulyadhi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, Bandung : Mizan Pustaka,2005, hlm. 104.
Jalaluddin, op.cit., hlm. 272.
Ibid., hlm. 299.
Yusuf Al-Qardhawi, Meluruskan sejarah Umat Islam,Terj. Cecep Taufiqurahman, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005, hlm. 119-120.
Ibid., hlm.120-121.
Pendahuluan
Islam adalah sebuah agama yang lengkap dan sempurna, didalamnya sudah terdapat berbagai cara dan aturan untuk mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat. Di dalam Islam sudah terdapat sebuah pedoman yang langsung diperoleh dari Allah SWT, Tuhan Pencipta manusia, yaitu Al-Qur'an serta contoh atau suri tauladan dari Rosulullah SAW, yang berbentuk perilaku maupun ucapan yang disebut sebagai Hadis. Keduanya merupakan sumber ilmu pengetahuan dalam paradigam keIlmuan dalam Islam, yaitu wahyu (Al-Qur'an) dan otoritas (Nabi Muhammad SAW).
Dalam Islam telah diatur hubungan antara manusia dengan Tuhanya, manusia dengan manusia dan mausia dengan alam lainya. Selain itu juga, agama Islam juga sesuai dan serasi benar dengan fitrah kejadian manusia (QS 30:30), oleh karena itulah, semua yang diajarkan dan diperintahkan dalam Islam secara keseluruhan adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT, surat An Nahl ayat 30 :
Dan kemudian dikatakan kepada orang yang bertaqwa, " apakah yang diturunkan oleh Tuhanmu? Mereka menjawab "kebaikan". Bagi yang berbuat baik di dunia ini mendapat balasan yang baik..."
Karena itulah, secara keseluruhan, jika kita berusaha untuk membaca arti Al-Qur'an dan memahminya, maka akan kita temui banyak kebaikan di dalamnya. Dan kebaikan ini dimulai dari perintah terbaik dari Allah SWT kepada kita untuk membaca, yang merupakan salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan, sehingga kita dapat mengetahui berbagai hal dan cara untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lain adalah penekananya terhadap masalah ilmu (sains). Al-Qur'an dan Al-Sunah mengajak kaum Muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi.
Didalam Al-quran, kata al-'ilm dan kata jadianya digunakan lebih dari 780 kali. Beberapa ayat pertama, yang diwahyukan kepada Rosullulah SAW, menyebutkan pentingnya membaca, pena dan ajaran untuk manusia.
Karena itulah, ilmu dan proses mencarinya merupakan hal yang sangat penting dalam Islam, bahkan merupakan suatu kewajiban, dimana perintah untuk membaca, sebagai salah satu proses mencari ilmu telah diberikan oleh Allah SWT sejak pertama kali Al-Qur'an diturunkan. Selain itu, dalam Hadis, Rosullulah SAW mewajibkan umat Islam untuk mencari ilmu, hal ini dapat dilihat pada kutipan Hadis berikut :
" mencari ilmu wajib terhadap semua orang Islam. Sesungguhnya pencari ilmu dimohonkan pengampunan kepadanya oleh segala sesuatu sehingga ikan di dalam lautan". (HR. Ibn-al Barr dari Anas Hadis shahih).
Sehingga, jika umat Islam benar-benar memahami dan mematuhi perintah ini, maka umat Islam akan menjadi umat terbaik di dunia, karena semuanya akan menjadi manusia yang berilmu yang tidak akan dapat dibodohi oleh jin, syaitan dan Bani Israil (Yahudi).
Pemahaman yang mendalam tentang kewajiban mencari ilmu ini pernah dialami oleh salah satu generasi umat Islam di masa Kekhalifahan Abbasiyah, dimana pada generasi inilah umat Islam telah mampu menjadi pioner perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadi sumber ilmu pengetahuan di dunia Barat, berikut kutipan dari Mehdi Golshani mengenai pendapat George Sharton :
George Sarton mengakui bahwa selama periode antara 750 M dan 1100 M, orang-orang Islam adalah pemimpin-pemimpin dunia intelektual yang tak dapat disanggah dan antara 1100 dan 1350 M, pusat-pusat belajar di dunia Muslim secara global amat penting dan menarik banyak orang dari berbagai penjuru dunia.
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu maju dan pesat sekarang, tidak terlepas dari peran Ilmuan Muslim terdahulu. Karena itulah sangat penting bagi kita untung mengetahui dan memahami bagaiman paradigma keIlmuan dalam Islam dan tradisi keIlmuan dan peradaban Islam, sehingga kita dapat menerapkan pola pikir keIlmuan yang berlandaskan paradigma keIlmuan Islam tersebut. Sehingga kedepanya, kita tidak akan tersesat dan salah memahami dan menyalahgunakan kemajuan teknologi, sehingga kita dapat memanfaatkanya sesuai dengan fitrah manusia sebagai khalifah di muka bumi yang mampu mengolah alam secara benar dan tepat.
Pembahasan
Paradigma KeIlmuan Dalam Islam
Kosep Paradigma KeIlmuan
Istilah "paradigma" secara harfiah dapat berarti (general pattern atau model (Oxford Advanced Learner's Dictionaries). Paradigma juga dapat berarti kaidah, dalil, tasrif dan pola dari suatu teori yang dianggap benar dan baku. Teori yang dianggap benar dan baku dapat dijadikan asumsi atau proposisi sehingga dapat dijadikan pijakan kegiatan ilmiah.
Berangkat dari konsep tentang paradigma ini lantas melahirkan konsep-konsep turunannya seperti world view(pandangan dunia), frame work (kerangka kerja), logical frame work analysis dan mindset. Misalnya, keyakinan bahwa kitab suci merupakan wahyu dari Tuhan dan memiliki kebenaran, lantas dijadikan rujukan dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Pola pikir yang berpedoman pada keyakinan akan kebenaran firman Tuhan, disebut paradigma teologis, yaitu pandangan dunia dan mindset yang muncul dari sebuah keyakinan teologis, bersumber dari Tuhan.
Ilmu sosial menurut Giddent memiliki multi paradigma. Paradigma adalah pangkal tolak (starting point) dan sudut pandang (point of view) dalam mengkaji suatu hal. Perbedaan paradigma bukan hanya akan menghasilkan pemahaman yang berbeda, melainkan juga nilai dan norma berbeda pula.
Paradigma dalam bangunan ilmu pengetahuan dapat diibaratkan sebagai landasan dalam kerangka berfikir hingga terbentuk sebuah model dalam sebuah teori ilmu pengetahuan. Berangkat dari paradigmaa ini pula kemudian dibangun teori-teori berikutnya. Adapun rangkaian pengembangan dimaksud dalam pandangan Thomas Kuhn, pertama ada sains normal (normal science) yang diartikan sebagai riset yang terutama didasarkan pada satu atau lebih hasil ilmiah sebelumnya; hasil-hasil ini diakui masyarakat keIlmuan tertentu sebagai "paradigma" (paradigm).
Sebuah paradigma baru akan menghasilkan teori-teori yang tak pernah tepikirkan sebelumnya; pergeseran paradigma ini menimbulkan apa yang disebut Thomas Kuhn sebagai revolusi (Haidar Baqir dan Zainal Abidin:18). Jika paradigma ini telah diterima suatu masyarakat keIlmuan, Ilmuan-Ilmuannya bekerja dalam paradigma baru tersebut, maka proses pertama akan terulang yaitu terciptanya sains normal yang baru. Proses ini akan terulang terus-menerus: paradigma, sains normal, revolusi, paradigma baru, sains normal, dan seterusnya (Haidar Baqir dan Zainal Abidin:18).
Dalam pandangan Kuntowijoyo, paradigma tersebut dimulai dari proses pemahaman yang bersifat meta-historis, bahwa alqur'an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berfikir atau paradigmaa. Premis-premis normatif Al-Qur'an dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional. Dari ide-ide normatif, perumusan ilmu-ilmu dibentuk sampai kepada tingkat yang empiris, dan sering dipakai sebagai basis untuk kebijakan-kebijakan actual. Proses semacam itu pula yang ditempuh dalam perkembangan ilmu-ilmu modern yang kita kenal sekarang ini. ilmu-ilmu empiris maupun rasionalis yang diwariskan oleh peradaban barat berasal dari pemahaman-pemahaman etik dan filosofis yang bersifat normatif (Kuntowijoyo:335).
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa paradigma keIlmuan adalah landasan dasar atau pijakan dalam berpikir yang menjadi asumsi dasar pola pikir seseorang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Contohnya, yaitu pola pikir yang berpedoman pada keyakinan akan kebenaran firman Tuhan (paradigma teologis), yaitu pandangan dunia dan mindset yang muncul dari sebuah keyakinan teologis, bersumber dari Tuhan. Sehingga pemikiran dari Ilmuan yang berlandaskan pada paradigma ini akan selalu mengacu dan berpegang teguh pada wahyu Tuhan tersebut dalam mengembangkan ilmunya.
Paradigma KeIlmuan Dalam Islam
Paradigma keIlmuan dalam Islam sebenarnya dapat dirujuk langsung dari muatan kata-kata ilmu dalam ajaran Islam. Dalam berbagai bentuknya, kata ilmu terulang sebanyak 854 kali dalam Al-Qur'an (M. Quraish Shihab, 1996: 434). Munurut Muhammad Sulaiman, ada 154 hadits tentang ilmu. Kedua sumber utama ajaran Islam ini ternyata juga berkaitan dengan masalah keIlmuan. Menurut Yusuf Al-Qardlawi, Islam selalu menyeru, mendorong, dan menganjurkan penggalian ilmu (Yusuf Al-Qardlawi: 1989: 1-2). Hal ini mengindikasikan akan pentingnya ilmu menurut Al-Qur'an itu sendiri. Proses pencarian ilmu itu sendiri ditempatkan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh nabi Muhammad saw. Wahyu pertama ini menghendaki umat Islam untuk membaca (iqra') apa saja selama bacaan tersebut bismi rabbik. Objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau (M.Quraish Shihab: 433). Jelasnya, wahyu ini memotivasi umat Islam untuk mengamalkan perintah iqra'.
Dalam hubungan dengan paradigma keIlmuan ini, Sayyed Hossein Nasr menjelaskan, bahwa Ilmuan (ulama) Islam di zaman lampau, mempelajari alam bukan semata-mata karena jiwa ilmiah yang terdapat dalam diri mereka. Lebih dari itu adalah "untuk menyatakan hikmat pencipta dalam ciptaan-Nya" dan "untuk memerhatikan ayat-ayat Tuhan dalam alam sesuai dengan ajaran Al-Qur'an" (Harun Nasution: 68). Secara paradigmatik, dalam Islam terlihat adanya hubungan antara ilmu, Ilmuan, kajian keIlmuan, dan nilai-nilai ajaran agama. Ilmu bersumber dari Tuhan (Al-Baqarah [2]: 30-31), Ilmuan (ulama) mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam yang memiliki sifat khassyah (takut dan kagum kepada Allah (Fathir [35]: 28), kajian keIlmuan didasarkan pada petunjuk ilahi (Al-Nahl [16]: 78), dan pemanfaatan ilmu harus bernilai Robbani (Al-'Alaq [96]: 1).
Berangkat dari landasan prinsip-prinsip Al-Qur'an ini pula paradigma keIlmuan dalam Islam disusun. Tak mengherankan bila tujuh abad sebelum Charles Darwin mengemukakan teori evolusi, Ilmuan Muslim telah mengemukakan hal itu. Mereka mengutarakan bahwa penciptaan berlaku melalui evolusi. Selain itu berdasarkan Al-Qur'an pula mereka berpendapat bahwa airlah yang menimbulkan kehidupan (Harun Nasution: 66). Dalam pandangan Kuntowijoyo, pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan paradigma Al-Qur'an jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan manusia (Kuntowijoyo: 335).
Apa yang dikemukakan Kuntowijoyo ini telah dibuktikan oleh harun yahya. Ilmuan Turki ini menulis buku berjudul The Sign In The Heaven And The Earth For The Men Of Understanding (Menyikap Rahasia Alam Semesta). Dalam buku tersebut Harun Yahya menjelaskan hasil dari rangkaian proses eksperimen empiris dengan mengacu kepada paradigma Al-Qur'an tentang kehidupan makhluk hidup. Dua di antaranya menyangkut kehidupan lebah dan burung.
Dalam pandangan Islam ilmu mencakup: 1) aspek metafisik; 2) aspek humaniora; dan 3) aspek material. Aspek metafisik berhubungan dengan kandungan wahyu yang mengacu kepada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan abadi, yaitu: dari mana, ke mana, dan bagaimana? Jawaban dari pertanyaan ini menjadikan manusia tahu akan landasan berpijaknya, tahu perjalanan dan misinya, tahu diri, dan tahu pula akan Tuhannya. Sebenarnya aspek inilah yang lebih layak disebut ilmu. Imam Ibn Abd Al-Bar menyebutnya al-ilm al-a'la atau ilmu tertinggi (Yusuf Al-Qardlawi, 1989: 35).
Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Qur'an pada surat Al-Baqarah (2) 31 dan (32): 427.
Menurut pandangan Al-Qur'an - seperti diisyaratkan oleh wahyu pertama- ilmu terdiri dari dua macam. Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, dinamai 'ilm ladunni, seperti diinformasikan antara lain oleh Al-Qur'ansurat Al-Kahfi (18): 65. Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai 'ilm kasbi. Ayat-ayat 'ilm kasbi jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang 'ilm laduni.
Pembagian ini disebabkan karena dalam pandangan Al-Qur'anterdapat hal-hal yang "ada" tetapi tidak dapat diketahui melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak, sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran. Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan non-materi. fenomena dan non-fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.
Al-Qur'an memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia biasa, Rasul Allah Muhammad Saw. pun diperintahkan agar berusaha dan berdoa agar selalu ditambah pengetahuannya Qul Rabbi zidni 'ilma (Berdoalah [hai Muhammad], "Wahai Tuhanku, tambahlah untukku ilmu") (QS Thaha [20]: 114), karena fauqa kullu zi 'ilm (in) 'alim (Di atas setiap pemilik pengetahuan, ada yang amat mengetahui (QS Yusuf [12]: 72).
Dari pembahasan mengenai paradigma keIlmuan dalam Islam, dapat diketahui bahwa paradigma keIlmuan dalam Islam bersumber dari landasan dan prinsip-prinsip Al-Qur'an, dimana pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan paradigma Al-Qur'an jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan manusia, dan hal ini telah dibuktikan oleh Harun Yahya, dalam bukunya The Sign In The Heaven And The Earth For The Men Of Understanding (Menyikap Rahasia Alam Semesta).
Jadi kita sebagai umat Islam dan calon Ilmuan Muslim, harus mampu untuk menjadikan paradigma kelimuan yang berlandaskan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup kita, dan khususnya dalam dunia pendidikan, kita harus mampu mentrasfer paradigma ini kepada peserta didik, sehingga landasan keIlmuan mereka bisa berlandaskan paradigma keIlmuan dalam Islam. Sehingga pola pikir Ilmuan Muslim dapat berkembang sesuai dengan hakikat kebenaran yang sebenarnya.
Tradisi KeIlmuan dan Peradaban
Tradisi KeIlmuan dalam Islam
Paradigma keIlmuan terkait erat dengan pembentukan sebuah tradisi keIlmuan. Tradisi keIlmuan dalam Islam sebenarnya telah terbentuk seiring dengan kelahiran Islam itu sendiri. Namun peletakan landasan dasarnya adalah pada abad ke-7. Sejak abad ini hingga abad ke-10, bahasa arab sudah menjadi bahasa kaum terpelajar bagi bangsa-bangsa yang terentang mulai dari Persia hingga Spanyol (Jerome R. Ravertz:20). Data sejarah ini menunjukkan mengenai pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Semuanya ini tak dapat dilepaskan pembentukan sebuah tradisi keIlmuan yang mapan, dan atas dasar landasan paradigma yang baku.
Selanjutnya, dalam membangun tradisi keIlmuan di kalangan umat Muslim, Rasul Allah Saw. Memberi contoh pengakuan terhadap pendapat para ahli atau pakar bidangnya. Dua kasus dikemukakan oleh Yusuf Al-Qardlawi, yakni dalam strategi dan taktik peperangan. Pertama, pendapat Al-Hubab ibn Munzir dalam Perang Badar. Hubab berpendapat kalau tempat pasukan beristirahat seperti dikemukakan Rasul Allah Saw. kurang tepat. Lokasi yang dianggap paling tepat adalah kawasan yang memiliki sumber air. Rasul Allah menyatakan: "Engkau telah mengeluarkan pendapat yang jitu" (Yusuf Al-Qardlawi: 45).
Adapun yang kedua, adalah pendapat Salman Al-Farisi dalam Al Ahzab. Salman Al-Farisi mengajukan pendapat agar pasukan kaum Muslimin menggali parit sebagai benteng pertahanan. Usul ini kemudian diterima Rasul Allah saw., sebagai strategi yang tepat. Tak heran bila para penyerang sempat tersentak kagum saat kuda yang dipacu terhenti oleh parit, sempat berkata: "Demi Allah, ini benar-benar tipu daya yang tidak pernah dikenal orang Arab." (Yusuf Al-Qardlawi:55).
Pembangunan tradisi keIlmuan dalam Islam memang tidak dapat dilepaskan dari konsep iqra'. Maka iqra' itu sendiri: telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak tertulis (M. Quraish Shihab, 1996: 5). Jadi makna yang terkandung dalam dalam perintah (iqra') lebih dari hanya sekedar kemampuan atau keterampilan "mengeja huruf". Konsep iqra' mencakup pengertian perintah untuk: membaca, meneliti, mendalami, mengetahui ciri-ciri sesuatu. Perintah tersebut mengacu kepada aktivitas membaca alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, baik yang tertulis maupun tidak. Dengan demikian, perintah iqra' objeknya mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau (M.Quraish Shihab, 1996: 433).
Dalam bangunan tradisi keIlmuannya, Islam menempatkan hubungan antara, wahyu, akal, dan ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan, bahwa Islam dan ilmu pengetahuan tidak terpisahkan. Apalagi kalau sampai dipertentangkan. Hubungan ini terlihat nyata dari pesan wahyu yang pertama tersebut. "Membaca segenap ciptaan Tuhan" mengawali perintah dari agama ini (Islam). Membaca yang dalam istilah Seyyed Hossein Nasr "Memperhatikan ayat-ayat Tuhan dalam alam" (Harun Nasution: 68). Al-Qur'an sendiri selalu menggandengkan kata-kata ayat dengan bentuk varian kata 'aqala seperti: nazara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tazakkara, fahima.
Rangkaian iqra – 'aql – ayat menunjukkan kesatuan yang padu dalam tradisi keIlmuan Islam. Ketiganya sama sekali tak dapat dipisahkan dalam segala bentuk aktivitas keIlmuan. Iqra (baca: teliti, dalami) terhadap ayat (tanda-tanda, fenomena) hanya mungkin tercerahkan secara baik dan benar, jika 'aql difungsikan secara optimal. Langkah awal dari kajian keIlmuan adalah dengan iqra. Ilmu ('ilm) baik dalam bentuk proses, yaitu aktivitas pencapaian pengetahuan, maupun produk pengetahuan berupa kejelasan (M.Quraish shihab: 434). Semuanya terangkai dalam "komposisi" membaca secara teliti untuk memahami ayat-ayat ciptaan Tuhan dengan menggunakan aktivitas akal secara maksimal.
Abdul Halim Abdul Hamid & Norizaton Azmin Mohd Nordin juga mengemukakan pandangan mengenai kata "iqra" tersebut :
"IQRA'" is the first word in the holy Quran revealed to mankind which means read. Wise men used to say, give a man a fish and you will feed him a day but give him the fishing rod and you will feed to his lifetime. Both this quotation emphasised the importance and vitality of education to man.
Dalam pandanganya tersebut, Abdul Halim Abdul Hamid & Norizaton Azmin Mohd Nordin ingin mengungkapkan bahwa ilmu dan pendidikan yang berasal dari membaca "iqra" tersebut sangat penting memiliki kekuatan untuk kehidupan manusia. Dimana dengan membaca, manusia memiliki modal berupa pengetahuan agar bisa mengetahui bagaimana caranya menjalani kehidupanya yang sesuai dengan penciptaan awal manusia yaitu beribadah kepada-Nya, dengan mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan ridha-Nya.
Dengan demikian, tujuan utama manusia adalah mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan ridha-Nya aktivitas-aktivitasnya harus difokuskan pada arah ini. Segala seseuatu yang mendekatkan kepada Tuhan atau petunjuk-petunjuk pada arah tersebut adalah terpuji. Jadi, ilmu hanya berguna jika dijadikan alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang Allah, keridhaan dan kedekatan kepada-Nya. Jika tidak ilmu itu sendiri akan menjadi penghalang yang besar, apakah ia tercakup dalam ilmu-ilmu kealaman maupun ilmu-ilmu syariah.
Al-Qur'an memberi petunjuk kepada manusia dalam tiap tahap kehidupan. Dengan demikian, kita dapat berharap untuk menurunkan dasar-dasar petunjuk dari Al-Qur'anbagi riset-riset yang dilakukan dalam ilmu-ilmu kealaman. Dengan menyimpulkan dari Al-Qur'an kami yakin bahwa selain prinsip-prinsip logika seperti prinsip"nonkontrakdiksi". Prinsip-prinsip berikiut ini juga harus digunakan sebagai pembimbing daam riset ilmiah.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi keIlmuan dalam Islam tidak terlepas dari wahyu pertama dari Allah SWT yaitu berupa perintah untuk membaca, meneliti dan mendalami "iqra". Rangkaian iqra – 'aql – ayat menunjukkan kesatuan yang padu dalam tradisi keIlmuan Islam. Ketiganya sama sekali tak dapat dipisahkan dalam segala bentuk aktivitas keIlmuan. Dalam bangunan tradisi keIlmuannya, Islam menempatkan hubungan antara, wahyu, akal, dan ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan, bahwa Islam dan ilmu pengetahuan tidak terpisahkan.
Selain itu juga, dalam tradisi keIlmuan yang dicontohkan langsung dari Rosullulah SAW, yang memberikan contoh pengakuan terhadap pendapat para ahli atau pakar bidangnya, yaitu pendapat sahabat pada perang badar (Al-Hubab ibn Munzir ) dan penggalian parit sebagai benteng pertahanan (Salman Al-Farisi). Sehingga pengakuan sumber ilmu yang berasal dari otoritas sudah dicontohkan oleh Rosullulah SAW secara langsung di zamanya.
Perkembangan Tradisi KeIlmuan dalam Islam
Islam sangat menekankan pentingnya pencarian ilmu, untuk meneliti, memahami alam semesta, dan kondisi alamiah yang berkaitan dengan hal tersebut. Mencari ilmu bukan hanya semata-mata dianjurkan , melainkan diwajibkan atas setiap Muslim, sesuai Hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah, "mencari illmu adalah wajib bagi setiap Muslim". Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hasil dari aktivitas pencarian ilmu secara menyeluruh ini akhirnya membentuk hubungan dari konsep-konsep yang pada akhirnya menghasilkan skema konsep keIlmuan.
Hamid Fahmy Zarkasyi juga menjelaskan tahapan –tahapan kelahiran ilmu secara periodic berdasarkan skema Acikgenc. Menurut Hamid, kelahiran ilmu dalam Islam dibagi kedalam empat periode :
Pertama, turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam.Periode kedua adalah lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun tersebut mengandung struktur ilmu pengetahuan seperti,struktur konsep tentang kehidupan,struktur konsep tentang dunia,tentang ilmu pengetahuan,tentang etika, dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keIlmuan.
Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keIlmuan dalam Islam yang ditunjukkan dengan adanya komunitas Ilmuan. Bukti adanya masyarakat Ilmuan yang menandai permulaan tradisi keIlmuan dalam Islam adalah berdirinya kelompok belajar atau sekolah Ashhabus- Shuffah di Madinah. Periode keempat adalah lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam. Dalam hal ini, Hamid dengan mengutip Alparslan, mengemukakan bahwa kelahiran disiplin ilmu-ilmu Islam tersebut melalui tiga tahap, yaitu: (1) Tahap problematik yaitu tahap dimana berbagai problem subjek kajian dipelajari secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang- bidang kajian tertentu. (2) Tahap displiner yaitu tahap dimana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan sesuai dengan bidang masing-masing. (3) Tahap penamaan, pada tahap ini bidang yang telah memiliki materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.
Menurut pandangan Mulyadi Kertanegara, hanya dengan memiliki sebuah tradisi intelektual yang kaya dan intens inilah kita boleh berharap mampu memformulasikan pandangan dunia yang independen yang meliputi system metafisika, epistimolg, etika, ekonomi dan politik serta pandangan ilmiah yang seimbang dan holistick. Dan hanya setelah kita mampu memformulasikan pandangan dunia yang sistematis, rasional dan komprehensif seperti itulah kita bias berharap untuk mengadakan kritik dialog yang konstruktif dengan dunia barat, dan yang lebih penting lagi dalam konteks kita sekarang ini mampu menjawab tantangan-tantangan teologis, filosofis dan ideologis secara logis dan rasional.
Dari tahapan perkembangan tradisi keIlmuan dalam Islam tersebut, dapat dilihat bahwa awal perkembangan tradisi keIlmuan Islam dimulai dari Al-Qur'an sebagai wahyu yang diberikan oleh Allah SWT, kemudian yang kedua adalah kesadaran akan isi dan makna dari wahyu tersebut yang memunculkan komunitas Ilmuan dan lahirnya disiplin ilmu dalam Islam. Sehingga secara keseluruhan perkembangan ilmu yang berkembang sekarang benar-benar berasal dari Al-Qur-an, karena dari tradisi keIlmuan Islam inilah, para Ilmuan Barat menemukan titik cerah mengenai ilmu pengetahuan setelah mereka mengalami masa kegelapan.
Peradaban Islam
Orang-orang Islam mulai menaruh perhatian terhadap ilmu-ilmu alam secara serius pada abad ketiga hijriyah (abad ke Sembilan masehi). Tetapi pada kurun waktu itu mereka telah memiliki sikap ilmiah dan kerangka berfikir ilmiah yang mereka warisi dari ilmu-ilmu agama (Osman Bakar, 2008: 2). Namun demikian, puncak perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri sering dihubungkan dengan puncak kejayaan dari dua kekhalifahan Islam, yakni dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah. Menurut Fazlur Rahman, di zaman pertengahan Islam diriwayatkan orang-orang yang telah mengikuti kuliah dari lebih seratus guru siap turun ke jalan, "merupakan ungkapan kunci yang paling tepat untuk meringkaskan fenomena gerakan mencari ilmu pengetahuan" (Fazlur Rahman: 270).
Peradaban Islam dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologinya, memang ppernah mencapai puncak perkembangnya. Kemajuan yang dicapai digambarkan oleh Bertrand Russel dalam Jalaluddin:
"Dalam science, orang-orang Arab jauh meninggalkan orang-orang Yunani. Peradaban Yunani itu pada esensinya, adalah merupakan kebon yang subur penuh dengan bunga-bunga indah yang tidak banyak berbuah. Ia adalah peradaban yang kaya akan filssafat dan sastra, tetapi miskin dalam teknik dan teknologi, karena itu adalah usaha bersejarah dari orang-orang Arab dan Yahudi Islam untuk memecahkan tabung buntu ilmu pengetahuan Yunani itu, guna merintis jalan-jalan baru science- menemukan konsep nol, rumus minus, angka irasional, dan meletakkan dasar-dasar untuk ilmu kimia baru- yaitu ide-ide untuk meratakan jalan bagi dunia ilmu pengetahuan modern melalui pikiran para intelektualitas Eropa pasca Renaissence." (Nurcholis Madjid, 1992 : 141).
Perkembangan peradaban Islam mengalami kemajuan pesat di zaman dinasti Abbasiyah, dimana dinasti ini dipimpin oleh khilafah yang cerdas dan kuat seperti al Manshur, al- Rasyid, dan Al-Makmun. Selama dinasti ini mereka pimpin, mereka berhasil menghantarkanya pada gerbang kecemerlangan peradaban Islam, sebuah peradaban yang mampu memimpin peradaban dunia selama berabad-abad. Saat itu peradaban Islam adalah peradaban yang paling maju, sehingga banyak para mahasiswa dari Eropa dan belahan dunia lainya yang datang untuk belajar di berbagai perguruan tinggi yang didirikan oleh umat Islam. Para Ilmuan yang dilahirkan pada peradaban ini adalah Ilmuan termasyhur yang telah dikenal diberbagai pelosok dunia, yaitu Ibnu Hayyan, Ibnu Sina, Al-Ghazali, ibnu Rusyd, Al-Khwarizmi, dan masih banyak yang lainya.
Salah satu keistimewaan peradaban yang dibangun umat Islam tersebut adalah karena ia mencakup berbagai sisi peradaban secara komprehensif, sehingga dalam peradaban ini seni dan sastra dapat dikembangkan secara bersamaan. Selain itu juga sangat unggul karena mengutamakan sikap moderat dan seimbang, sehingga mereka dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan keimanan secara bersamaan,serta perkembangan material yang mereka kembangkan dibangun dengan keluhuran spiritulitas dan keluhuran budi. Oleh karena itu, pada peradaban ini, dunia dan agama dapat dimajukan secara bersama-sama.
Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa awal perkembangan ilmu pengetahuan berasal dari peradaban Islam. Dimana para Ilmuan Barat memperoleh ilmu yang mendasari perkembangan ilmunya sekarang ini melalui peradaban Islam di masa kekhalifahan Abbasiyah dan bukan dari perdaban Yunani, karena peradaban Yunani tersebut masih berupa tabung buntu yang belum menghasilkan pengetahuan yang nyata. Hal ini dikarenakan para Ilmuan Yunani seperti Plato dan Aristoteles tidak memperoleh hakikat pengetahaun seperti yang diperoleh para Ilmuan Islam, di dalam Al-Qur'an.
Selain itu juga, dapat diketahui bahwa dunia dan agama dapat dimajukan secara bersama-sama, hal ini dapat terlihat di zaman Kekhalifahan Abbasiyah, dimana ilmu yang dikembangkan melalui paradigma Islam, dapat menghasilkan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang lebih pesat. Dimana para Ilmuan Muslim di masa itu mencari ilmu bukan hanya sekedar untuk memperoleh dunia, tetapi dikarenakan keinginan mereka untuk beribadah, karena mencari ilmu pengetahuan merupakan salah ibadah dan salah satu cara untuk mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.
Kesimpulan
Paradigma keIlmuan dalam Islam dilandasi oleh prinsip-prinsip Al-Qur'an. Dimana proses awalnya dimulai dari wahyu pertama dalam Al-Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk membaca yang merupakan salah satu proses dalam mencari ilmu pengetahuan. Karena itulah, membaca dan memahami Al-Qur'an merupakan dasar dari sumber pengetahuan umat Islam yang utama.
Paradigma keIlmuan terkait erat dengan pembentukan sebuah tradisi keIlmuan. Tradisi keIlmuan dalam Islam sebenarnya telah terbentuk seiring dengan kelahiran Islam itu sendiri. Pembangunan tradisi keIlmuandalam Islam memang tidak dapat dilepaskan dari konsep iqra'. Maka iqra' itu sendiri: telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sehingga kita dapat memahami segala hal yang terjadi dan akan terjadi di dunia ini secara tepat dan sesuai dengan firtahnya.
Kemajuan perkembangan peradaban Islam tidak terlepas dari paradigma keIlmuan dan tradisi keIlmuan Islam yang berasal dari Al-Qur'an, sehingga kemajuan ilmu pengetahaun dapat berjalan secara berdampingan antara dunia dan agama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Referensi
Husaini, Adian et all.Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Depok : Gema Insani Pers.2013.
Anshari, Endang Saefuddin .Wawasan Islam : pokok-pokok fikiran tentang Islam dan Umatnya. Cet 3.1991.Jakarta : Rajawali.
Golshani, Mehdi. Filsafat Sains Menurut Al-Qur'an. Terj: Agus Effendi. 2003. Mizan : Bandung.
Hamid, Abdul Halim Abdul & Norizaton Azmin Mohd Nordin . A study on Islamic banking education and Strategy for the new millenium - malaysian experience. International Journal of Islamic Financial Services Vol. 2 No.4. dalam : www. Katankji.com/studies/a-study-on-Islamic-banking-education-and-strategy-for-the-millenium-malaysian-experince/ diakses tanggal 2 November 2015, pukul 09.00 WIB.
Khon, Abdul Majid . Hadis tarbawi Hadis-Hadis Pendidikan. Cet.2.2014.Jakarta Kencana. 2014.
Kertanegara, Mulyadhi . Panorama Filsafat Islam.Bandung : Mizan Pustaka.2005 hlm. 104.
Al-Qardhawi , Yusuf. Meluruskan sejarah Umat Islam.Terj. Cecep Taufiqurahman.2005.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jallaludin.Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Depok : Raja Grafindo Persada.2013.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Alquran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XIV. Bandung: Mizan.1997.