Panduan Praktik Klinis
Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsure kesejahteraan umum.
Kesehatan sebagai hak asasi manuasia harus diwujudkan dalam bentuk
pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masayarakat melalui
penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh
masayarakat. Penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari
berbgai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh
dokter dan/atau dokter gigi yang memilik etik dan moral yang tinggi,
keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan
mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi,
registrasi, llisensi. Serta pembinaan, pengawasan dan pemantauan agar
penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Untuk memberikan perlindungan dan kepastian
hokum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter dan dokter gigi,
diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran.
Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pada salah satu
pasalnya menyatakan bahwa dokter dalam menyelenggarakan praktik kedokteran
wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran.
Secara garis besar, tujuan disusunnya standar pelayanan kedokteran adalah
memberikan jaminan kepada pasien untuk memperoleh pelayanan kedokteran yang
berdasarkan pada nilai ilmiah sesuai dengan kebutuhan medis pasien;
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kedokteran yang diberikan
oleh dokter dan dokter gigi. Menurut Permenkes no. 1438 tahun 2010 tentang
standar pelayanan kedokteran, Standar pelayanan kedokteran meliputi Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Standar prosedur operasional
(SPO). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran merupakan standar pelayanan
kedokteran yang bersifat nasional dan dibuat oleh organisasi profesi
sedangkan SPO dibuat oleh fasilitas pelayanan kesehatan.
Penyusunan standar prosedur operasional di fasilitas kesehatan harus
mengacu kepada PNPK. standar prosedur operasional harus dijadikan panduan
bagi seluruh tenaga kesehatan di fasilitas pelayana kesehatan dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan. Standar prosedur operasional disusun oleh
staf medis pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dikoordinasikan oleh
Komite Medik dan ditetapkan oleh Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.
Standar prosedur operasional harus selalu ditinjau kembali dan diperbaharui
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedoketran atau kedolteran gigi. Standar prosedur
operasional disusun dalam bentuk Panduan Praktik Klinis (Clinical Practice
Guidelines) yang dapat dilengkapi dengan alur klinis (Clinical Pathway),
algoritme, protokol, prosedur atau standing order.
.
Panduan Praktik Klinis dibuat oleh perhimpunan profesi yang disesuaikan
dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang ada. Panduan Praktik
Klinis akan menjadi acuan bagi setiap dokter yang memberikan pelayanan
kesehatan perorangan yang mencakup lingkup pelayanan promotif, preventif,
kuratif, maupun rehabilitatif agar substansi pelayanan kesehatan yang
diberikan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Panduan Praktik Klinis harus
memuat sekurang-kurangnya mengenai:
1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Kriteria diagnosis
5. Pemeriksaan penunjang
6. Terapi
7. Edukasi
8. Prognosis
9. Kepustakaan
Dalam penerapannya, Panduan Praktik Klinis perlu dikaji dan dijabarkan oleh
pihak Rumah Sakit menjadi suatu standar yang telah disesuaikan dengan
saranan, prasarana, dan peralatan yang dimiliki sehingga Standar atau
Pedoman Pelayanan Medis/Klinis tersebut dapat diimplementasikan. Dokter
dalam menjalankan tugas dan memberikan pelayanan medis harus sesuai dengan
standar tersebut. Dalam hal ini, panduan praktik klinis dapat dianalogikan
dengan Standar atau Pedoman Pelayanan Medik/Klinis.
Clinical Pathway (Alur Klinis)
Panduan Praktik Klinis (Clinical Practice Guidelines) dapat dilengkapi
dengan alur klinis (Clinical Pathway). Alur klinis (Clinical Pathway)
adalah pendekatan multidisiplin yang berdasarkan pada praktik berbasis
bukti (evidence-based practice) untuk sekelompok pasien spesifik yang dapat
diprediksi perjalanan klinisnya. Clinical Pathway/CP digunakan sebagai
perangkat tata kelola kasus secara terpadu yang disesuaikan dengan bukti
ilmiah yang terbaru dan terbaik serta standar pelayanan medik yang berlaku
di rumah sakit (RS) dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu
tertentu selama pasien berada di RS.
Penyusunan dan penggunaan CP memiliki berbagai tujuan, diantaranya:
1. Menjadi panduan bagi seluruh staf medis RS yang terlibat dalam
memberikan pelayanan yang terstandar (kendali mutu)
2. Mengurangi variasi dalam pelayanan medis
3. Meningkatkan luaran (outcome) klinis
4. Memperkirakan lama rawat (length of stay/LOS) dan jumlah pemeriksaan
penunjang yang diperlukan
5. Mengurangi penggunaan sumber daya atau finansial yang berlebihan
(kendali biaya)
6. Meningkatkan kepuasan pasien
Dalam membuat CP penanganan kasus pasien rawat inap di rumah sakit harus
bersifat: a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara
terpadu/integrasi dan berorientasi fokus terhadap pasien (Patient Focused
Care) serta berkesinambungan (continuous of care); b. Melibatkan seluruh
profesi (dokter, perawat/bidan, penata, laboratoris dan farmasis); c. Dalam
batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan perjalanan
penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk periode harian (untuk kasus rawat
inap) atau jam (untuk kasus gawat darurat di unit emergensi); d. Pencatatan
CP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pasien secara terpadu
dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk dokumen yang merupakan bagian
dari Rekam Medis; e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan CP
dicatat sebagai varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit;
f. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit, penyakit
penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis (medical errors); g.
Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan.
Clinical Pathway dikembangkan oleh tim multidisiplin yang terlibat aktif
dalam tata kelola pasien. Menurut Hill, komponen utama dalam CP adalah
timeline, kategori pelayanan atau aktivitas dan intervensi yang dilakukan,
kriteria luaaran/outcome jangka menengah dan panjang serta pencatatan
variasi yang ada.
Penyusunan CP bukanlah sesuatu yang mudah. Terdapat beberapa tahap
penyusuna CP, yaitu:
1. Menentukan Topik
2. Menunjuk Koordinator (Penasehat Multidisiplin)
3. Menetapkan Pemain Kunci
4. Kunjungan Lapangan
5. Pencarian Literatur
6. Melaksanakan Customer Focus Group
7. Telaah Pedoman Praktik Klinis (PPK)
8. Analisis Casemix
9. Menetapkan Desain Clinical Pathway
10. Pengukuran Proses dan Outcome
11. Sosialisasi dan Edukasi
12. Evaluasi
Tahap pertama penyusunan CP adalah menentukan topik. Topik dipilih
berdasarkan beberapa kategori diantaranya high volume, high cost, high risk
dan problem prone. Pemilihan topik juga dapat berdasarkan pada data klaim
INA-CBG's yang besar gapnya atau berdasarkan pada data penyakit 10 besar di
fasilitas kesehatan terkait. Tahap Kedua adalah menunjuk koordinator yang
menjadi penasihat multidisiplin. Tahap ketiga, menetapkan pemain kunci
yaitu siapa saja yang akan terlibat dalam pelayanan pasien tersebut mulai
dari dokter penanggung jawab pelayanan, perawat, laborat, farmasi, gizi,
rehabilitasi dan sebagainya. Tahap Keempat, melakukan "kunjungan lapangan".
Pada tahap ini dapat dilakukan bench marking ke RS acuan yang telah
terlebih dahulu menerapkan CP agar didapatkan gambaran. Selanjutnya,
dilakukan pencarian literatur mengenai ilmu terkini yang digunakan dalam
pelayanan penyakit sesuai dengan topik yang telah dipilih. Tahap keenam
dapat dilakukan Customer Focus Group atau diskusi dengan para
pasien/"mantan" pasien. Hal ini bertujuan menggali keinginan pasien dalam
suatu pelayanan kesehatan sehingga dapat dicapai kepuasan pasien terhadap
pelayanan yang diberikan. Tahap selanjutnya dilakukan telaah pedoman
praktek klinis baik terhadap SPM (Standar Pelayan Medik) atau SAK (Standar
Asuhan Keperawatan). Standar-standar tersebut harus direvisi sesuai update
ilmu dan kenyataan di lapangan. Setelah itu dilakukan analisa Casemix. Lalu
dilanjutkan dengan penetapan desain CP yang sesuai dengan konsep yang ada.
Desain CP harus memuat komponen-komponen CP tanpa terkecuali.Setelah desain
ditetapkan, ditetapkan juga item-item aktivitas dari proses maupun
luaran/outcome pelayanan yang akan dinilai. Tahap Selanjutnya dilakukan
sosialisasi dan edukasi kepada seluruh staf RS yang akan berkaitan dengan
penerapan CP tersebut. Sosialisasi dan Edukasi mengenai apa itu CP, apa
kegunaannya, kapan digunakan, dan bagaimana cara pengisiannya. Sosialisasi
dan edukasi penting dilakukan guna menunjang keberhasilan
pengimplementasian CP. Setelah di implementasikan, CP harus dievaluasi
secara berkala untuk menilai tingkat kepatuhan penggunaan CP atau
berbabagai variasi yang terjadi. Hasil evaluasi tersebut dapat dijadikan
dasar untuk merevisi CP agar menjadi lebih baik lagi.