DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. REZA | DR. ORYZA DR. RESTHIE | DR. CEMARA DR. RYNALDO
OFFICE ADDRESS: Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan (belakang pasaraya manggarai) phone number : 021 8317064 pin BB D3506D3E / 5F35C3C2 WA 081380385694 / 081314412212
Medan : Jl. Setiabudi no. 65 G, medan Phone number : 061 8229229 Pin BB : 24BF7CD2 Www.Optimaprep.Com
I L MU P E N YA K I T DALAM
1. PPOK • Definisi PPOK – Ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel – Bersifat progresif & berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya – Disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat penyakit
• Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) & obstruksi parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. • Bronkitis kronik & emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena: – Emfisema merupakan diagnosis patologi (pembesaran jalan napas distal) – Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis (batuk berdahak selama 3 bulan berturut-turut, dalam 2 tahun)
1. PPOK A. Gambaran Klinis PPOK a. Anamnesis - Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan - Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja - Riwayat penyakit emfisema pada keluarga - Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara - Batuk berulang dengan atau tanpa dahak - Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi b. Pemeriksaan fisis (PPOK dini umumnya tidak ada kelainan) • Inspeksi - Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) - Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding) - Penggunaan otot bantu napas - Hipertropi otot bantu napas - Pelebaran sela iga - Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
1. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
1. PPOK Pemeriksaan fisis PPOK • Palpasi: pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar • Perkusi: pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah • Auskultasi – – – –
suara napas vesikuler normal, atau melemah terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh, gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
1. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
1. PPOK Spirometri penyakit obstruktif paru: • Forced expiratory volume/FEV1 ↓ • Vital capacity ↓ • Hiperinflasi mengakibatkan:
– Residual volume ↑ – Functional residual capacity ↑
Normal
COPD
Nilai FEV1 pascabronkodilator <80% prediksi memastikan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. 1. 2. 3. 4.
Color Atlas of Patophysiology. 1st ed. Thieme: 2000. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. Lange: 2003. Murray & Nadel’s Textbook of respiratory medicine. 4th ed. Elsevier: 2005. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
1. PPOK • Radiologi PPOK: – Pada emfisema terlihat: • • • • •
Hiperinflasi Hiperlusen Ruang retrosternal melebar Diafragma mendatar Jantung menggantung (jantung pendulum)
– Pada bronkitis kronik: • Normal • Corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus.
1. PPOK Dalam penilaian derajat PPOK diperlukan beberapa penilaian seperti • Penilaian gejala dengan menggunakan kuesioner COPD Assesment Test (CAT) serta The modified British Medical Research Council (mMRC) untuk menilai sesak nafas; • Penilaian derajat keterbatasan aliran udara dengan spirometri – – – –
GOLD 1: Ringan: FEV1 >80% prediksi GOLD 2: Sedang: 50% < FEV1 < 80% prediksi GOLD 3: Berat: 30% < FEV1 < 50% prediksi GOLD 4: Sangat Berat: FEV1 <30% prediksi
• Penilaian risiko eksaserbasi
Klasifikasi PPOK Kategor Karakteri Spirome i stik tri A
B
C
D
Risiko rendah Gejala minimal Risiko rendah Gejala banyak Risiko tinggi Gejala minimal Risiko tinggi Gejala banyak
Eksaserbasi per tahun
CAT
mMRC
GOLD 12
< 1 kali
< 10
0-1
GOLD 12
< 1 kali
> 10
>2
GOLD 34
> 2 kali
< 10
0-1
GOLD 34
> 2 kali
> 10
>2
Terapi PPOK Sesuai Kelompok Pasien Patient Group
First Choice
Alternative Choice
Other Possible Treatments
A
Short acting (SA) anticholinergic or SA beta2-agonist
Long acting (LA) anticholinergik or LA beta2-agonist or SA beta agonis and SA anticholinergik
Theophylline
B
LA anticholinergic or LA beta2-agonist
LA anticholinergic and LA beta 2-agonist
SA beta2-agonist and/or SA anticholinergic
C
D
ICS + LA beta 2-agonist or LA anticholinergic
ICS + LA beta2-agonist and/or LA anticholinergic
LA anticholinergic and LA beta 2-agonist or LA anticholinergic and PDE-4 inhibitor or LA beta2-agonist and PDE-4 inhibitor ICS + LA beta2-agonist and LA anticholinergic or ICS + LA beta2-agonist and PDE-4 inhibitor or LA anticholinergic and LA beta 2-agonist or LA anticholinergic and PDE-4 inhibitor
Theophylline SA beta2-agonist and/or SA anticholinergic
Theophylline
Carbocysteine N-acetylcysteine SA beta2-agonist and/or SA anticholinergic Theophylline
1. PPOK Eksaserbasi • Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai kondisi akut yang ditandai dengan perburukan gejala respirasi dan variasi gejala normal haran dan membutuhkan perubahan terapi. • Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi, polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi • Gejala eksaserbasi: – Sesak bertambah – Produksi sputum meningkat – Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulent)
1. PPOK Eksaserbasi • Eksaserbasi akut dibagi menjadi 3 menurut Anthonisen 1987: – Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala eksaserbasi – Tipe 2 (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala eksaserbasi – Tipe 3 (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan >20% dari nilai dasar, atau frekuensi nadi >20% dari nilai dasar.
PPOK Eksaserbasi • Tujuan tatalaksana akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. • Hal yang harus diperhatikan: derajat sesak, frekuensi nafas, pernafasan paradoksal, kesadaran, TTV, analisis gas darah, pneumonia
PPOK Diagnosis dan Penatalaksanaan. PDPI. 2016
Tatalaksana PPOK Eksaserbasi • Terapi oksigen – pertahankan saturasi 88-92% – Sungkup venturi lebih akurat dan dapat mengontrol pemberian oksigen dibanding kanula hidung
• Bronkodilator short acting beta-2 agonist (SABA) • Kortikosteroid oral prednisone 40 mg/hari selama 5 hari atau metilprednisolon 32 mg/hari dosis tunggal atau terbagi. Jika IV diberikan metilprednisolon 3 x30 mg sampai bisa disulih ke oral. PPOK Diagnosis dan Penatalaksanaan. PDPI. 2016
Tatalaksana PPOK Eksaserbasi • Antioksidan N-asetilsistein 1200 mg/hari IV selama 5 hari atau erdostein 2 x300 mg/hari selama 7 hari • Mukolitik • Imunomodulator Echinacea purpurea 500 mg dan vitamin C 50 mg serta mikronutrien (selenium 15 ug dan zink 10 mg) selama 2 minggu terutama yang disebabkan ISPA. • Nutrisi • Pemberian antibiotic adekuat PPOK Diagnosis dan Penatalaksanaan. PDPI. 2016
1. PPOK Eksaserbasi • Antibiotik diberikan pada – Pasien PPOK eksaserbasi dengan semua gejala cardinal (sesak napas yang bertambah, meningkatnya jumlah sputum, dan bertambahnya purulensi sputum) – Pasien PPOK eksaserbasi dengan dua dari gejala cardinal, apabila salah satunya adalah bertambahnya purulensi sputum – Pasien PPOK eksaserbasi berat yang membutuhkan ventilasi mekanis (invasive atau non-invasive)
1. PPOK Eksaserbasi Eksaserbasi ringan
Pengobatan oral
Alternatif oral
Pasien sebaiknya tidak mendapatkan antibiotic
Β-lactam/β-lactamase inhibitor Makrolid (azitromisin, klaritromisin) Sefalosporin generasi 2 dan 3 Ketolid (telitromisin)
Bila ada indikasi dapat diberikan: β-lactam, tetrasiklin, trimethoprim sulfametoksazol Eksaserbasi sedang
Β-lactam/β-lactamase inhibitor (co-amoxyclav)
Eksaserbasi berat
Pasien dengan risiko infeksi pseudomonas: fluoroquinolone (ciprofloksasin, levofloksasin dosis tinggi
Fluoroquinolon (levofloksasin, moxifloksasin)
Parenteral
Β-lactam/β-lactamase inhibitor (co-amoxyclav, ampisilin/sulbactam), sefalosporin generasi 2 dan 3, fluoquinolon (ciproflokasin, levoflokasin dosis tinggi
Fluoroquinolone (ciprofloksasin, levofloksasin dosis tinggi Β-lactam dengan aktivitas P. Aeruginosa
2. Intoksikasi Paracetamol Acetaminophen intoxication • Acute ingestion of more than 150–200 mg/kg in children or 6–7 g in adults is potentially hepatotoxic. • High-risk patients include alcoholics and patients taking anticonvulsant medications or isoniazid. • Clinical manifestations: – Early after acute acetaminophen overdose, there are usually no symptoms other than anorexia, nausea, or vomiting. Rarely, a massive overdose may cause altered mental status and metabolic acidosis. – After 24–48 hours, when transaminase levels (AST and ALT) rise, hepatic necrosis becomes evident. If acute fulminant hepatic failure occurs, encephalopathy and death may ensue.
Intoksikasi Paracetamol
2. Intoksikasi Paracetamol Management • N-acetylcysteine – loading dose 140 mg/kg orally. The effectiveness of NAC depends on early treatment, before the metabolite accumulates; it is of maximal benefit if started within 8–10 hours – If vomiting interferes with oral acetylcysteine administration, give it by gastric tube and use high-dose metoclopramide (1–2 mg/kg intravenously (IV); or ondansetron, or give the NAC intravenously if necessary. • Decontamination 1. Prehospital. Administer activated charcoal, if available. 2. Hospital. Administer activated charcoal. Gastric emptying is not necessary if charcoal can be given promptly. Do not administer charcoal if more than 3–4 hours have passed since ingestion, unless delayed absorption is suspected.
3. Dislipidemia • Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. • Rumus Friedewald. – 𝐿𝐷𝐿 =𝐾𝑜𝑙𝑒𝑠𝑡𝑒𝑟𝑜𝑙 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 −𝐻𝐷𝐿 − 𝑇𝐺/5
3. Dislipidemia
p
3. Dislipidemia
3. Dislipidemia
Modifikasi Gaya Hidup Untuk Dislipidemia
Pedoman Tatalaksana Dislipidemia, PERKI, 2013.
LDL Target
4. Kaki Diabetik
GPC gram positive cocci GNR gram negative rod MRSA methicillin resistant S. aureus
•
• •
Pada soal terdapat udara (gas forming) sehingga pilihan terapi adalah beta lactam+beta lactamase atau karbapenem atau sefalosporin generasi 2/3 + klindamisin atau metronidazole Metronidazole diberikan jika terdapat odor atau bau pada luka Lama pengobatan mild to moderate 2 minggu, severe 3 minggu International Working Group on Diabetic Foot (IWGDF). 2015
Osteomyelitis in Plain X-Ray
• •
Consider surgical intervention in cases of osteomyelitis accompanied by: spreading soft tissue infection; destroyed soft tissue envelope; progressive bone destruction on X-ray, or bone protruding through the ulcer Osteomyelitis 6 weeks therapy of antibiotics if do not undergo surgery
International Working Group on Diabetic Foot (IWGDF). 2015
Tatalaksana Ulkus Diabetik Kontrol Mekanik Hindari tekanan & gunakan bantalan untuk proteksi
Kontrol Metabolik
Kontrol Vaskular
Perencanaan makan, kontrol glukosa, kontrol komorbiditas (ht, dislipidemia, ckd, anemia, hipoalbuminemia, infeksi penyerta)
Periksa ankle brachial indez, transcutaneous oxygen tension, toe pressure, angiografi.
Kontrol Infeksi Luka superfisial (tidak sampai subkutan) AB utk Gram (+).
Kontrol Luka Debridemen/nekrotomi, amputasi, balut luka
Luka dalam AB utk Gram (-) atau metronidazol utk anaerob. Luka dalam, luas, gejala sistemik AB yg mencakup Gram (+), Gram (-), dan anaerob.
Kontrol Edukasi Edukasi kondisi saat ini, rencana diagnosis, terapi, serta prognosis.
PERKENI: pedoman penatalaksanaan kaki diabetik, 2011.
4. Kaki Diabetik • Metabolic control pengendalian gula darah, lipid, albumin, hemoglobin, dsb • Vascular control perbaikan asupan vaskular (dengan operasi atau angioplasti terutama pada ulkus iskemik) • Infection control pengobatan infeksi agresif • Wound control konsep TIME (Tissue debridement, Inflammation and infection control, Moisture balance, Epithelial edge advancement) • Pressure control mengurangi tekanan kaki, pembuangan kalus, sepatu ukuran yang sesuai • Education control edukasi perawatan kaki mandiri
5. Anemia MCV & MCH ↓ GDT Besi serum
Besi serum ↑ Besi sumsum tulang
Anemia sideroblastik
Besi serum N/↑
Besi serum ↓
Pemeriksaan Hb F/A2
Talasemia, Kelainan Hb
Kadar ferritin
Ferritin↓
Ferritin N/↑
Defisiensi besi
penyakit kronik
5. Anemia
5. Anemia
Hoffbrand essential hematology.
5. Anemia
Harrison’s principles of internal medicine.
Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi
6. Neutropenia • All patients who are treated with chemotherapy are at risk for the development of neutropenic complications. • Chemotherapy predisposes patients with cancer to infections both by suppressing the production of neutrophils and by cytotoxic effects on the cells that line the alimentary tract.
6. Neutropenia
• Agranulositosis neutrophil < 0.5 x109/L (500/uL)
Febrile Neuropenia • Fever – Single oral temperature ≥38.3°C or – Persistent temperature ≥38.0 °C for >1 hour.
• Neutropenia – ANC <0.5, or ANC <1.0 and a predicted decline to <0.5 over next 48 hrs. – (ANC= absolute neutrophil count)
Risk Status Assessment Low Risk
High Risk
Outpatient at time of fever
Inpatient at time of fever
No acute comorbid illnesses
Significant medical comorbidity
Anticipated short duration of severe neutropenia
Anticipated severe or prolonged neutropenia
No renal insufficiency
CrCL <30 ml/min
No hepatic insufficiency
Transaminases ≥5x ULN
Good performance status
Uncontrolled/progressive cancer, Mucositis grade 3-4
MASCC Risk Index score ≥21
MASCC Risk Index score <21
LOW RISK
Complex infection
MASCC Index • Multinational Association for Supportive Care in Cancer • Prospectively validated tool to rapidly assess risk before access to neutrophil count. • Scores 21 are at low risk of complications (max score 26). • MASCC scoring index: – – – – – – – – –
Burden of illness: no or mild symptoms 5 MASCC Score=26 Burden of illness: moderate symptoms 3 Burden of illness: severe symptoms 0 No hypotension (systolic BP >90 mmHg) 5 No chronic obstructive pulmonary disease 4 Solid tumour/lymphoma with no previous fungal infection 4 No dehydration 3 Outpatient status at onset of fever 3 Age <60 years (not valid in children <18 years) 2
Klastersky J,J Clin Oncol 2000; 18:3038–51.
7. Nyeri Sendi Gout: – Transient attacks of acute arthritis initiated by crystallization of urates within & about joints, – leading eventually to chronic gouty arthritis & the appearance of tophi. – Tophi: large aggregates of urate crystals & the surrounding inflammatory reaction.
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011. Robbins’ pathologic basis of disease. 2007.
Acute Gout
Tophy in chronic gout Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.
7. Indikasi ULT Gout • Tidak semua pasien gout diberikan urate lowering therapy (allopurinol) Indikasi ULT • Tofus • Serangan akut >2 kali/tahun • CKD stage 2 atau lebih berat • Riwayat urolithiasis
• Encourage low fat or non-dairy products
8. PENYAKIT HEPATOBILIER • Kolelitiasis: – Nyeri kanan atas/epigastrik mendadak, hilang dalam 30 menit-3 jam, setelah makan berlemak. – Fat (ekskresi kolesterol ), female, fourty, fertile (estrogen menghambat perubahan kolesterol empedu, sehingga kolesterol menjadi jenuh)
•
Kolesistitis: – Nyeri kanan atas bahu/punggung, mual, muntah, demam – Nyeri tekan kanan atas (murphy sign)
•
Koledokolitiasis: – Nyeri kanan atas, ikterik, pruritis, mual.
•
Kolangitis: – Triad Charcot: nyeri kanan atas, ikterik, demam/menggigil – Reynold pentad: charcot + syok & penurunan kesadaran
Pathophysiology of disease. 2nd ed. Lange; 2006.
8. Cholelithiasis • Cholelithiasis involves the presence of gallstones, which are concretions that form in the biliary tract, usually in the gallbladder. • Characteristics of biliary colic include the following: – Sporadic and unpredictable episodes – Pain that is localized to the epigastrium or right upper quadrant, sometimes radiating to the right scapular tip – Pain that begins postprandially, is often described as intense and dull, typically lasts 1-5 hours, increases steadily over 1020 minutes, and then gradually wanes – Pain that is constant; not relieved by emesis, antacids, defecation, flatus, or positional changes; and sometimes accompanied by diaphoresis, nausea, and vomiting – Nonspecific symptoms (eg, indigestion, dyspepsia, belching, or bloating)
8. Cholelithiasis Etiology • Cholesterol gallstones, black pigment gallstones, and brown pigment gallstones have different pathogeneses and different risk factors. • More than 80% of gallstones contain cholesterol as their major component. • Risk factors (4F) – – – –
Female Forty Fat Fertile
Diagnosis • Abdominal radiography (upright and supine) – primarily to exclude other causes of abdominal pain (eg, intestinal obstruction) • Ultrasonography • Endoscopic ultrasonography (EUS) – An accurate and relatively noninvasive means of identifying stones in the distal CBD • Laparoscopic ultrasonography –potential method for bile duct imaging during laparoscopic cholecystectomy • Computed tomography (CT) – More expensive and less sensitive • Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) • Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) • Percutaneous transhepatic cholangiography (PTC)
Penyakit Hepatobilier • Temuan USG kolesistitis: – Sonographic Murphy sign (nyeri tekan timbul ketika probe USG ditekan ke arah kandung empedu) – Penebalan dinding kandung empedu (>4 mm) – Pembesaran kandung empedu (long axis diameter >8 cm, short axis diameter >4 cm) – Impacted stone, pericholecystic fluid collection Diagnostic criteria and severity assessment of acute cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg. 2007 Jan; 14(1): 78–82.
Treatment • The treatment of gallstones depends upon the stage of the disease: – Lithogenic state – Interventions are currently limited to a few special circumstances – Asymptomatic gallstones – Expectant management – Symptomatic gallstones – Usually, definitive surgical intervention (eg, cholecystectomy), though medical dissolution may be considered in some cases
• Medical treatments, used individually or in combination, include the following: – Oral bile salt therapy (ursodeoxycholic acid) – Contact dissolution – Extracorporeal shockwave lithotripsy
• Surgery – Cholecystectomy (open or laparoscopic) – Cholecystostomy – Endoscopic sphincterotomy
Surgery • Cholecystectomy for asymptomatic gallstones may be indicated in the following patients: – large (>2 cm) gallstones – nonfunctional or calcified (porcelain) gallbladder on imaging studies and are at high risk of gallbladder carcinoma – spinal cord injuries or sensory neuropathies affecting the abdomen – sickle cell anemia in whom the distinction between painful crisis and cholecystitis may be difficult
Diagnosis Banding Penyakit Hepatobilier Lokasi Nyeri
Anamnesis
Pemeriksaan Fisis
Nyeri epigastrik Kembung
Membaik dgn makan (ulkus duodenum), Memburuk dgn makan (ulkus gastrikum)
Tidak spesifik
Nyeri epigastrik menjalar ke punggung
Gejala: mual & muntah, Demam Penyebab: alkohol (30%), batu empedu (35%)
Nyeri tekan & defans, perdarahan retroperitoneal (Cullen: periumbilikal, Gray Turner: pinggang), Hipotensi Ikterus, Hepatomegali
Nyeri kanan atas/ Prodromal epigastrium (demam, malaise, mual) kuning. Nyeri kanan atas/ Risk: Female, Fat, epigastrium Fourty, Hamil Prepitasi makanan berlemak, Mual, TIDAK Demam Nyeri epigastrik/ Mual/muntah, kanan atas Demam menjalar ke bahu/ punggung
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Terapi
Urea breath test (+): H. pylori Endoskopi: eritema (gastritis akut) atropi (gastritis kronik) luka sd submukosa (ulkus) Peningkatan enzim amylase & lipase di darah
Dispepsia
PPI: ome/lansoprazol H. pylori: klaritromisin+amok silin+PPI
Transaminase, Serologi HAV, HBSAg, Anti HBS Nyeri tekan USG: hiperekoik abdomen dgn acoustic Berlangsung 30-180 window menit Murphy Sign
USG: penebalan dinding kandung empedu (double rims)
Pankreatitis
Hepatitis Akut
Resusitasi cairan Nutrisi enteral Analgesik
Suportif
Kolelitiasis
Kolesistektomi Asam ursodeoksikolat
Kolesistitis
Resusitasi cairan AB: sefalosporin gen. 3 + metronidazol Kolesistektomi
9. Koagulasi
Terapi Antikoagulan
• PT beserta perhitungan turunan dari PT (INR) merupakan parameter yang digunakan untuk menilai jalur ekstrinsik dari kaskade koagulasi, khususnya terkait penggunaan antikoagulan. • Dalam penggunaan antikoagulan, misal warfarin, target INR adalah 2-3. • •
ISI: international sensitivity index – 1 is the best MNPT: mean normal PT laboratory
10. Diabetes Mellitus • Kriteria diagnosis DM: 1. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau 2. Glukosa darah-2 jam ≥200 mg/dL pada Tes Toleransi Glukosa Oral dengan beban glukosa 75 gram, atau 3. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL dengan keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia, unexplained weight loss), atau
4. Pemeriksaan HbA1C ≥6,5% dengan metode HPLC yang terstandarisasi NGSP Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.
10. Diabetes Mellitus • Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM digolongkan ke dalam prediabetes (TGT & GDPT): – Glukosa darah puasa terganggu (GDPT): • GDP 100-125 mg/dL, dan • TTGO-2 jam <140 mg/dL
– Toleransi glukosa terganggu (TGT): • Glukosa darah TTGO-2 jam 140-199 mg/dL, dan • Glukosa puasa <100 mg/dL
– Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT – Diagnosis prediabetes berdasarkan HbA1C: 5,7-6,4%
Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.
10. Diabetes Mellitus • Cara pelaksanaan TTGO: – Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan & beraktivitas seperti biasa, – Puasa minimal 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, boleh minum air tanpa gula, – Dilakukan pemeriksaan glukosa puasa, – Diberikan glukosa 75 gram dalam air 250 ml, diminum dalam 5 menit, – Puasa kembali selama 2 jam, – Dilakukan pemeriksaan glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa, – Selama proses pemeriksaan, subjek tetap istirahat & tidak merokok. Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.
Diabetes Melitus • Modifikasi Gaya hidup
• Mulai monoterapi oral
• Modifikasi Gaya hidup • Monoterapi oral obat golongan (a)/(b)
• Kombinasi 2 obat dengan mekanisme kerja yang berbeda
HbA1c <7% HbA1c 7-9%
HbA1c ≥9%
• Diberikan Kombinasi 2 obat lini pertama dan obat lain dengan mekanisme kerja yang berbeda
HbA1c ≥10% atau • Metformin + insulin basal ± prandial atau GDS>300 dgn • Metformin + insulin Gejala basal + GLP-1 RA metabolik
Evaluasi 3 bulan, bila HbA1c >7%
HbA1c> 7%
Insulin basal plus/bolus atau premix
Perkeni. 2015
• Kombinasi 3 obat
Tidak mencapai target
a. Obat efek samping minimal/ keuntungan lebih banyak • Metformin • Alfa glukosidase inhibitor • Dipeptidil peptidase 4inhibitor • Agonis glucagone like peptide-1
b. Obat yang harus digunakan dengan hati-hati • Sulfonil urea • Glinid • Tiazolidinedion • SGLT 2-i
Kombinasi 3 obat a. Metformin + SU + TZD atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA d. Insulin basal b. Metformin + TZD + SU atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA d. Insulin basal c. Metformin + DPP 4i + SU atau a. TZD b. SGLT-2i c. Insulin basal d. Metformin + SGLT 2i +SU a. TZD b. DPP-4i c. Insulin basal e. Metformin + GLP 1-RA + SU a. TZD b. Insulin basal f. Metformin + insulin basal +TZD atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA
HbA1C
Pengobatan
Keterangan
<7%
Gaya hidup sehat (GHS)
Evaluasi HbA1C 3 bulan
7-<9%
GHS + monoterapi oral
Evaluasi 3 bulan, jika HbA1C tidak mencapai <7%, tingkatkan menjadi 2 obat
>9%
GHS + kombinasi 2 obat
Jika HbA1C tidak mencapai <7%, tingkatkan menjadi 3 obat; Jika tidak tercapai dengan 3 obat berikutnya adalah insulin basal plus/bolus atau premix
>10% atau GDS Metformin + Insulin basal + Target HbA1C <7% atau individual >300
dengan insulin prandial atau
gejala
Metformin + insulin basal +
metabolik
GLP-1 RA
10. Diabetes Mellitus
11. Hipotiroidisme •
Hypothyroidism may cause a variety of symptoms and can affect all body functions.
11. Hipotiroidisme
11. Penyakit Endokrin Limfosit tersensitisasi oleh antigen tiroid
Sekresi autoantibodi TgAb, TPOAb, TSHRab[block/inhibisi] Infiltrasi limfosit folikel limfoid & germinal center
Destruksi parenkim tiroid tiroksin
TSH hipertrofi parenkim, destruksi tetap ada struma/tanpa struma end stage: atrofi
Eutiroid hipotiroid subklinis hipotiroid
11. Hipotiroidisme Susp. Tiroiditis Hashimoto
Hashimoto thyroiditis • Merupakan salah satu penyebab hypothyroid primer dimana kelenjar thyroid diserang oleh respon imun seluler atau antibodi-mediated (penyakit autoimun thyroid) • Faktor risiko: – genetik (anggota keluarga dengan riwayat kelainan thyroid) – hormon (wanita lebih sering terkena) – Paparan radiasi
Hashimoto thyroiditis • Temuan klinis: – gejala hypothyroid (peningkatan berat badan, fatigue, depresi, konstipasi) – Kelenjar thyroid dapat membesar dan berlobul atau dapat juga tidak terpalpasi pembesaran • Diagnosis dapat dibuat dengan mendeteksi kadar anti-thyroid peroxidase antibodies, TSH, fT3, fT4, anti thyroglobulin antibodies • Penanganan: pemberian Thyroid replacement therapy ( levothyroxin), pembedahan (pada kasus tertentu seperti pembesaran thyroid dengan gejala obstruksi, nodul malignan, thyroid lymphoma) • Dekompensasi hipotiroid dapat menyebabkan koma miksedema.
Sick euthyroid • Known as nonthyroidal illness syndrome. Abnormal findings on thyroid function tests that occur in the setting of nonthyroidal illness (NTI). • NTI gastrointestinal disease, pulmonary, cardiovascular, renal, inflammatory, sepsis, trauma, malignancy, et al.
12. ACLS ACLS 2015 • Kompresi 100-120 kali • Kedalaman minimal 5 cm maksimal 6 cm
13. SLE • Merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis peradangan pada kulit, sendi, ginjal, paru-paru, sistem saraf dan organ tubuh lainnya • Kebanyakan mengenai – wanita : pria 9-14:1 – usia reproduksi, 20 sampai 30 tahun – kelompok kulit hitam dan Asia.
ETIOLOGI • • • •
Faktor genetik imunologik hormonal serta lingkungan
• pemicu kacaunya sistem toleransi imunologis sehingga respon imun melawan antigen diri sendiri.
PATOFISIOLOGI
(Mok CC, Lau C S. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin Pathol. 2003)
TANDA DAN GEJALA • Kompleks imun beredar dan menimbulkan kerusakan pada berbagai target organ: – Muskuloskeletal: sering dijumpai nyeri pada sendi, – Kulit : reaksi fotosensitifitas, diskoid LE, subacute cutaneus lupus erythematosus, lupus profundus, telangiektasia, fenomena raynaud. – Paru : pneumonitis lupus dengan gejala sesak, batuk kering, ronki di basal – Kardiologi : perikarditis, miokarditis, lesi katup endokarditis LibmanSacks dan penyakit jantung koroner. – Renal : kerusakan ginjal disertai proteinuria. – Gastrointestinal : gejalanya tidak khas ; dispepsia, vaskulitis mesentrik dapat menyebabkan perforasi, IBD, pankreatitis, hepatomegali. – Neuropsikiatri : masih belum diketahui dengan pasti; mikroinfark serebral – Hemik-limfatik: limfadenopati splenonegali, anemia.
Diagnosis (Diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria)
TATALAKSANA Tatalaksana Umum • Pilar pengobatan lupus eritematosus sistemik – Edukasi dan konseling – Program rehabilitasi – Pengobatan medikamentosa
Algoritma pengobatan penyakit Lupus
TR: tidak respon, RS: respon sebagian, RP: respon penuh KS: kortikosteroid, MP: metilprednisolon, AZA: azatioprin, OAIN S: obat antiinflamasi steroid, CYC: siklofosfam id, NPSLE: neuropsikiatri SLE. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Un tuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.2011.)
• Pemberian Kortikosteroid – Dosis rendah sampai sedang digunakan pada lupus yang relatif tenang. – Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk lupus yang aktif. – Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.
• Cara pengurangan dosis kortikosteroid – Dosis kortikosteroid mulai dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol. – Tapering dilakukan hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan defisiensi kortisol akibat penekanan aksis HPA kronis. – Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison > 40 mg sehari , dilakukan penurunan 5-10 mg/ 1-2 minggu penurunan 5 mg/ 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari penurunan 1-2,5 mg/ hari /23 minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.
14. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
14. Infeksi Saluran Kemih (ISK) • Rute infeksi saluran kemih: –Ascending • kolonisasi uretra, lalu infeksi menyebar ke atas –Hematogen • bakteri ke ginjal berasal dari bakteremia –Limfogen •dari abses retroperitoneal atau infeksi intestin
14. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
14. Infeksi Saluran Kemih • Pielonefritis – Inflamasi pada ginjal & pelvis renalis – Demam, menggigil, mual, muntah, nyeri pinggang, diare, – Lab: silinder leukosit, hematuria, pyuria, bakteriuria, leukosit esterase +.
• Sistitis: – Inflamasi pada kandung kemih – Disuria, frekuensi, urgensi, nyeri suprapubik, urin berbau, – Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+) nitrit +/-.
• Urethritis: – Inflammation pada uretra – Disuria, frekuensi, pyuria, duh tubuh. – Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+), nitrit (-).
14. Infeksi Saluran Kemih • Escherichia coli is by far the most frequent cause of uncomplicated community-acquired UTIs. • Other bacteria frequently isolated from patients with UTIs are: – – – –
Klebsiella spp., other Enterobacteriaceae, Staphylococcus saprophyticus, and enterococci.
14. Tatalaksana Sistitis Akut • Guideline IDSA/EAU Recommended: – Nitrofurantoin – TrimetoprimSulfametoksazole – Fosfomycin trometamol – Pivmecillinam
• Amoxicillin or ampicillin should not be used for empirical treatment given the relatively poor efficacy
14. Tatalaksana Sistitis Akut • Berdasarkan pedoman IAUI (ikatan ahli urologi indonesia) • Antibiotik pilihan pada terapi sistitis akut adalah: – Nitrofurantoin, cephalosporin generasi ke 2 dan 3, fluoroquinolone, Aminopenisilin + BLO (beta lactamase inhibitor)
14. Tatalaksana Sistitis Akut • Pada soal tersebut pasien masih termasuk sistitis akut tanpa komplikasi sehingga cukup diberikan obat oral • Cefadroxil cephalosporin generasi 1 • Amoksisilin tidak direkomendasikan • Cefotaksim sediaan IV • Ceftriakson sediaan IV • Sehingga jawaban paling tepat adalah Cefixime yang merupakan obat cephalosporin oral generasi ke-3
15. H. pylori
H. Pylori
Konsensus Nasional. Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.
16. Lung Disease • Bronchiectasis: – Major causes: obstruction & infection – Bronchial obstruction impaired clearing mechanisms pooling of secretions distal to the obstruction & airway inflammation – Bronchiectasis causes severe, persistent cough; expectoration of foulsmelling, sometimes bloody sputum; dyspnea and orthopnea in severe cases; and occasional life-threatening hemoptysis. – Paroxysms of cough are particularly frequent when the patient rises in the morning, when changes in position lead to drainage of collections of pus and secretions into the bronchi.
Robbins & Cotran pathologic basis of disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders; 2010.
SaccularHoneycomb
Cylindrical
Varicose
16. Lung Disease • Bronchiectasis – Treatment of infectious bronchiectasis is directed at the control of active infection and improvements in secretion clearance and bronchial hygiene so as to decrease the microbial load within the airways and minimize the risk of repeated infections. – Antibiotic Treatment • Antibiotics targeting the causative or presumptive pathogen (with Haemophilus influenzae and P. aeruginosa isolated commonly) should be administered in acute exacerbations, usually for a minimum of 7–10 days. – Bronchial Hygiene
• The numerous approaches employed to enhance secretion clearance in bronchiectasis include hydration and mucolytic administration, aerosolization of bronchodilators and hyperosmolar agents (e.g., hypertonic saline), and chest physiotherapy. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
16. Pemeriksaan Penunjang • Pada pemeriksaan rontgen akan dijumpai berbagai variasi foto rontgen, seperti penebalan dinding saluran pernafasan, sekresi yang banyak juga dapat menyebabkan gambaran opaq pada tubular. • Pada bronkiektasis sakular akan memeprlihatkan ruangan cystic dengan atau tanpa air fluid level.
16. Bronkiektasis
Sputum 3 lapis pada bronkiektasis
17. Efek Samping Metformin Patient should check his/her doctor immediately if any of those side effects occur when taking metformin. •
Less common Rare • Anxiety Abdominal or stomach • Behavior change similar • blurred vision discomfort • chest discomfort to being drunk • cold sweats cough or hoarseness • difficulty with • cool, pale skin decreased appetite concentrating • depression • difficult or labored breathing • drowsiness Diarrhea • dizziness • lack or loss of strength fast or shallow breathing • fast, irregular, heartbeat • restless sleep fever or chills • feeling of warmth • unusual sleepiness general feeling of discomfort • headache • increased hunger lower back or side pain • increased sweating • nausea muscle pain or cramping • redness of the face, neck, arms, painful or difficult urination and occasionally, upper chest • shortness of breath Sleepiness • slurred speech • wheezing
More common – – –
– – – – – – – –
Copyright © 2000-2015 Drugs.com. All rights reserved.
17. Efek Samping Metformin These side effects may go away as the body adjusts to the medicine during treatment. •
More common: – – – – – – – – – – – – – –
Acid or sour stomach belching bloated excess air or gas in the stomach or intestines full feeling heartburn indigestion loss of appetite metallic taste in the mouth passing of gas stomachache stomach upset or pain vomiting weight loss
•
Less common • Abnormal stools • bad, unusual, or unpleasant (after) taste • change in taste • difficulty with moving • discoloration of the fingernails or toenails • flu-like symptoms • joint pain • rash • runny nose • sneezing • stuffy nose • swollen joints
Metformin dan Defisiensi vitamin B12 • Metformin may disrupt the ileal vitamin B12 absorption. • The vitamin B12-intrinsic factor complex is dependent on the luminal calcium concentration to facilitate uptake by the ileal cell surface receptor, • Metformin is believed to give a positive charge to the surface of the membrane, which displaced divalent cations such as calcium. • Impaired calcium availability due to metformin activity interfere with the calcium-dependent process of vitamin B12 absorption. Ting RZW, et al. Arch Intern Med. 2006;166:1975-9
16. Antidiabetic Drugs
18. HEPATITIS VIRUS • •
•
•
• •
HBsAg (the virus coat, s= surface) – the earliest serological marker in the serum. HBeAg – Degradation product of HBcAg. – It is a marker for replicating HBV. HBcAg (c = core) – found in the nuclei of the hepatocytes. – not present in the serum in its free form. Anti-HBs – Sufficiently high titres of antibodies ensure imunity. Anti-Hbe – suggests cessation of infectivity. Anti-HBc – the earliest immunological response to HBV – detectable even during serological gap.
Principle & practice of hepatology.
18. Hepatitis B clinical course
18. Hepatitis B clinical course
18. Hepatitis • Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4 weeks), for hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12 weeks), for hepatitis C from 15–160 days (mean, 7 weeks), and for hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks). • The prodromal symptoms – Constitutional symptoms of anorexia, nausea and vomiting, fatigue, malaise, arthralgias, myalgias, headache, photophobia, pharyngitis, cough, and coryza may precede the onset of jaundice by 1–2 weeks. – Dark urine and clay-colored stools may be noticed by the patient from 1–5 days before the onset of clinical jaundice.
• The clinical jaundice – The constitutional prodromal symptoms usually diminish. – The liver becomes enlarged and tender and may be associated with right upper quadrant pain and discomfort. Spleen may enlarge.
• During the recovery phase, constitutional symptoms disappear, but usually some liver enlargement and abnormalities in liver biochemical tests are still evident.
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. 2011.
18. Hepatitis
19. Peripheral Artery Disease Term
Definition
Claudication
Fatigue, discomfort, cramping, or pain of vascular origin in the muscles of the lower extremities that is consistently induced by exercise and consistently relieved by rest (within 10 min).
Acute limb ischemia (ALI)
Acute (<2 wk), severe hypoperfusion of the limb characterized by these features: pain, pallor, pulselessness, poikilothermia (cold), paresthesias, and paralysis. • One of these categories of ALI is assigned (Section 10): I. Viable—Limb is not immediately threatened; no sensory loss; no muscle weakness; audible arterial and venous Doppler. II. Threatened—Mild-to-moderate sensory or motor loss; inaudible arterial Doppler; audible venous Doppler; may be further divided into IIa (marginally threatened) or IIb (immediately threatened). III. Irreversible—Major tissue loss or permanent nerve damage inevitable; profound sensory loss, anesthetic; profound muscle weakness or paralysis (rigor); inaudible arterial and venous Doppler
Term
Definition
Tissue loss
Type of tissue loss: • Minor—nonhealing ulcer, focal gangrene with diffuse pedal ischemia. • Major—extending above transmetatarsal level; functional foot no longer salvageable
Critical limb ischemia A condition characterized by chronic (≥2 wk) ischemic rest (CLI) pain, nonhealing wound/ulcers, or gangrene in 1 or both legs attributable to objectively proven arterial occlusive disease.
PAD Classification
Chronic Limb Ischemia • Insufisiensi arteri perifer >2 minggu • Klaudikasio intermitten – Dipicu aktivitas & elevasi tungkai – Metabolisme anaerob asam laktat muscle cramping – Nyeri atau burning pada plantar pedis
• Dx: ABI
Treatment
20. Osteoporosis • Penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. • Compromised bone strength • Tipe osteoporosis – Osteoporosis tipe I pasca menopause (defisiensi esterogen) – Osteoporosis tipe II senilis (gangguan absorbsi kalsium di usus)
• Faktor risiko osteoporosis – Usia, genetik, lingkungan, hormon, sifat fisik tulang
• Dapat menyebabkan fraktur patologis
Osteoporosis Tipe 1 (POSTMENOPAUSAL) • affects primarily trabecular bone • 5 years after menopause • weight-bearing bones fractures vertebrae, ankle, and distal radiu
optimized by optima
• after age 70 but may begin as early as age • significant loss of both trabecular and cortical bone. • hip and multiple wedge vertebral fractures are the most common types of fractures
Dual X-ray absorptiometry WHO criteria - Hip BMD
optimized by optima
20. Klasifikasi Osteoporosis
20. Osteoporosis
Tanda dan Gejala • Seringnya tanpa gejala – silent disease • Gejala lain yang dapat muncul – Nyeri punggung – Fraktur patologis – Penurunan tinggi badan – Imobilisasi – Kifosis bertambah
21. Gagal Jantung Kongestif
21. Gagal Jantung Kongestif • Adanya 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor • Kriteria minor dapat diterima bila tidak disebabkan oleh kondisi medis lain seperti hipertensi pulmonal, penyakit paru kronik, asites, atau sindrom nefrotik • Kriteria Framingham Heart Study 100% sensitif dan 78% spesifik untuk mendiagnosis Sources: Heart Failure. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. Archives of Family Medicine 1999.
21. Gagal Jantung Kongestif
• Contoh aktivitas fisik biasa: berjalan cepat, naik tangga 2 lantai • Contoh aktivitas fisik ringan: berjalan 20-100 m, naik tangga 1 lantai Pathobiology of Human Disease: A Dynamic Encyclopedia of Disease Mechanisms
Gagal Jantung Kronik •
•
•
Device therapy should be considered in addition to pharmacologic therapy in appropriate patients. CRT, cardiac resynchronization therapy; ICD, implantable cardiac defibrillator.
It is important to treat the patient's fluid retention before starting an ACE inhibitor. Beta blockers should be started after the fluid retention has been treated and/or the ACE inhibitor has been uptitrated. If the patient remains symptomatic, an ARB, an aldosterone antagonist, or digoxin can be added as "triple therapy."
Acute pulmonary edema: • The "loop diuretics" furosemide, bumetanide, and torsemide are effective in most forms of pulmonary edema, even in the presence of hypoalbuminemia, hyponatremia, or hypochloremia.
• MR antagonist
• mineralocorticoid antagonist or aldosteron antagonist (eg. Spironolactone)
• CRT-D
• cardiac resynchronization therapy-defibrillator
• CRT-P
• cardiac resynchronization therapy-pacemaker
• ICD
• implantable cardioverter defibrillator
• LVAD
• left ventricular assisting device
• Ivabradine
• selective heart rate-lowering agent in If current (sodium and potassium current) in pacemaker cells
ESC.2013
21. Gagal Jantung Kongestif
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. LWW; 2011.
Edema paru
• Dapat ditemukan gambaran batwing appereance pada edema paru
22. Sindrom Koroner Akut
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
22. ACS
22. ACS
Pengobatan ACS
TIMI Risk Score
Evolusi EKG pada Acute MI dan Waktu Peningkatan Biomarker
23. DRUG INDUCED HEPATITIS
23. Tuberkulosis • Pasien TB dengan kelainan hati: – Pirazinamid tidak boleh diberikan – Penyakit hati akut/ikterik • OAT dimulai setelah penyakit hati sembuh.
– AST atau ALT > 3 kali normal • Terapi ditunda
– AST atau ALT < 3 times normal • Mulai terapi tanpa pirazinamide 2RHES/6RH or 2HES/10HE Pelatihan DOTS. Departemen pulmonologi & ilmu kedokteran respirasi FKUI.
Drug Induced Hepatitis • Tindak lanjut drug induced hepatitis pada terapi TB: 1. Pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik. Bila fungsi hati normal atau mendekati normal, berikan Rifampisin dengan dosis bertahap, selanjutnya INH secara bertahap. 2. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan kembali. 3. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan.
Drug Induced Hepatitis • Setelah gangguan fungsi hati teratasi, OAT dapat dimulai kembali satu persatu. • Jika gangguan hati kembali muncul, OAT yang ditambahkan terakhir harus dihentikan. • Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan dengan rifampisin. • Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. • Pada pasien yang pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid.
Drug Induced Hepatitis • Penatalaksanaan: – Bila gejala klinis (+) (ikterik, mual muntah)stop OAT – Bila gejala klinis (+) disertai enzim hati ↑ >3xstop OAT – Bila gejala klinis (-) disertai hasil laboratorium berikut: • Bilirubin >2stop OAT • Enzim hati ↑ >5xstop OAT • Enzim hati ↑ >3xteruskan pengobatan dengan pengawasan • Panduan OAT yang dianjurkan: – Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ) – Monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan Rifampisin desensitisasi sampai dengan dosis penuh. – Bila klinis dan laboratorium normal , tambahkan INH, desensitisasi sampai dengan dosis penuh sehingga menjadi RHES. – Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi.
Tatalaksana DIH • Stop OAT yang hepatotoksik pengobatan diberikan streptomisin dan ethambutol. Bila fungsi hati normal berikan R dosis bertahap, selanjutnya H dosis bertahap. • Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta gangguan fungsi hati berat S, E dan salah satu golongan quinolone diberikan sampai 1824 bulan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan. 2014
• Paduan pengganti OAT yang menimbulkan gangguan hati – R penyebab, diberikan 2HES/10HE – H penyebab, diberikan 6-9 RZE – Z dihentikan sebelum tahap awal, total lama pengobatan dengan H dan R diberikan sampai 9 bulan
• Apabila DIH terjadi pada tahap awal kategori I (RHZE), setelah gangguan fungsi hati membaik berikan obat yang sama dengan Z digantikan S untuk menyelesaikan tahap awal, dilanjutkan RH 6 bulan. • Apabila DIH terjadi pada tahap lanjutan, setelah membaik, mulai kembali RH selama 4 bulan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan. 2014
24. Thyroid Disease Wayne’s Index • Skor > 19: – hipertiroidisme. • Skor < 11: – eutiroidism. • Skor antara 11-19: – equivocal
24. Thyroid Disease Billewicz Index: • A score > 25: – hypothyroidism. • A score < - 30: – Exclude hypothyrodism
24. Penyakit Endokrin Hipertiroidisme
Kumar and Clark Clinical Medicine
24. Penyakit Endokrin
20. Radioactive Iodine
25. EDEMA PARU • Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. • Gejala dan tanda yang umumnya ditemukan adalah sesak nafas, fatig, hypoxia dan rhonkie. • PF: Rhonki basah halus, terutama di basal paru. • Foto toraks: Peningkatan corakan bronkovaskular, bat wing appearance, Kerley B lines
Tatalaksana • Posisi ½ duduk • Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit – bila perlu dengan masker – Jika memburuk maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator. – Perburukan bila: • pasien makin sesak, takipneu • ronchi bertambah • PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi • retensi CO2, hipoventilasi • tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat),
• Infus emergensi • Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
Edema paru • Nitrogliserin sublingual atau intravena – Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg (2tab) tiap 5 – 10 menit – Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. – Untuk menurunkan preload
• Morfin sulfat 3 – 5 mg iv bila TD >100 mmHg – Morfin memiliki efek venodilator, mengurangi aliran darah balik, sehingga mengurangi preload & efek vasodilator ringan menurunkan afterload – Dapat diulang tiap 25 menit – total dosis 15 mg> pemberian ini bertujuan untuk menenangkan pasien
• Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus – Furosemid IV 0,5-1 mg/kg untuk diuresis (efek kedua, dalam 30-60 menit) dan venodilator aliran balik turun preload turun (efek pertama/cepat, dalam 5 menit
• Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) – Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit – Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik
Edema Paru Akut
26. Demam Tifoid • Demam persisten • Nyeri kepala • Gejala abdomen (biasanya berupa nyeri epigastrium, diare atau konstipasi), mual, muntah • Bradikardi relatif, • Lidah yang tremor dan berselaput • Meteorismus. • Hepatomegali, splenomegali 181
Patofisiologi Demam Tifoid • S. Typhi masuk sampai usus halus menembus sel epitel ke lamina propria difagosit makrofag berkembang biak dalam makrofag ke Plak Peyeri KGB mesenterika duktus torasikus bakterimia ke hepar& lien bakterimia dan diekskresikan bersama cairan empedu ke lumen usus
26. Sensitivity of Typhoid Cultures
Blood cultures: often (+) in the 1st week. (gold standard) Stools cultures: yield (+) from the 2nd or 3rd week on. Urine cultures: may be (+) after the 2nd week. (+) culture of duodenal drainage: presence of Salmonella in carriers.
Widal test:
• Deteksi antibodi terhadap antigien somatik O & flagel H dari salmonella. • Diagnosis (+): peningkatan titer >4 x setelah 5-10 hari dari hasil pertama. • Antibody O meningkat setelah 6-8 hari, antibodi H meningkat setelah 1012 hari. • Pada daerah endemik, tes widal tunggal tidak reliabel karena antibodi terhadap H dan O dapat terdeteksi hingga 1/160 pada populasi normal. Karena itu, sebagian memakai batas titer H dan/ O ≥ 1/320 sebagai nilai yang signifikan.
Typhidot • Deteksi IgM dan IgG terhadap outer membrane protein (OMP) 50 kDa dari S. typhi. • Positif setelah infeksi hari 2-3.
Tubex TF • Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya S. typhi). • Positif setelah hari ke 3-4. A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.
Pilihan Antibiotik Untuk Demam Tifoid (WHO 2011)
26. Demam Tifoid • Kloramfenikol 4x500 mg PO atau IV diberikan sampai 7 hari bebas demam • Kotrimoksazol 2x2 tabley (1 tablet : Sulfametoksazol 400mg dan Trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu. • Ampisilin dan Amoksisilin 50-150mg/KgBB selama 2 minggu • Sefalosporin generasi ketiga IV 4 gr dalam dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam sekali sehari selama 3-5 hari. • Cefixime dapat diberikan 7-14 hari. 187
26. Demam Tifoid Golongan Fluorokionolon: - Norfloksasin 2x400mg/hari selama 14 hari - Siprofloksasin 2x500mg selama 6 hari - Ofloksasin 2x400 mg/hari selama 7 hari - Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari - Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
188
27. Leptospirosis Infection through the mucosa or wounded skin
Proliferate in the bloodstream or extracellularly within organ
Disseminate hematogenously to all organs Multiplication can cause: • Hepatitis, jaundice, & hemorrhage in the liver • Uremia & bacteriuria in the kidney • Aseptic meningitis in CSF & conjunctival or scleral hemorrhage in the aqueous humor • Muscle tenderness in the muscles Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.
27. Leptospirosis • Anicteric leptospirosis (90%), follows a biphasic course: – Initial phase (4–7 days): • sudden onset of fever, • severe general malaise, • muscular pain (esp calves), conjunctival congestion, • leptospires can be isolated from most tissues.
– Two days without fever follow. – Second phase (up to 30 days): • leptospires are still detectable in the urine. • Circulating antibodies emerge, meningeal inflammation, uveitis & rash develop.
– Therapy is given for 7 days: • Doxycycline 2x100 mg (DOC) • Amoxicillin 3x500 mg • Ampicillin 3x500 mg
• Icteric leptospirosis or Weil's disease (10%), monophasic course: – Prominent features are renal and liver malfunction, hemorrhage and impaired consciousness, – The combination of a direct bilirubin < 20 mg/dL, a marked in CK, & ALT & AST <200 units is suggestive of the diagnosis. – Hepatomegaly is found in 25% of cases.
– Therapy is given for 7 days : • Penicillin (1.5 million units IV or IM q6h) or • Ceftriaxone (1 g/d IV) or • Cefotaxime (1 g IV q6h)
28. Demam rematik • Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat GABHS (Streptococcus pyogenes) • Usia rerata penderita: 10 tahun • Komplikasi: penyakit jantung reumatik • Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis GABHS setelah 1-5 minggu • Pengobatan: – Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/ ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I – Dalam kasus demam rematik: • Antibiotik: penisilin/eritromisin • Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid • Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
28. Demam rematik • Sekuelae demam reumatik akut yang tidak di-tx adekuat • Manifestasi 10-30 th pasca DRA • Penyakit jantung katup – MS: fusi komisura fish mouth – AI + MS – AS + AI + MS Source: Valvular Heart Disease. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. 2007. Sabatine MS. Pocket Medicine. 4th ed. 2011.
Pemeriksaan Penunjang • •
Pemeriksaan laboratorium menentukan ada tidaknya reuma aktif/reaktivasi. EKG – Pada insufisiensi mitral yang ringan: Hanya terlihat gambaran P mitral dengan aksis dan kompleks QRS yang masih normal. Pada tahap lanjut terlihat aksis yang bergeser ke kiri dan disertai hipertrofi ventrikel kiri.
•
Foto toraks – Kasus ringan tanpa gangguan hemodinamik yang nyata, besar jantung biasanya normal. – Keadaan lebih berat: Terlihat pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri, serta mungkin tanda-tanda bendungan paru. Kadang-kadang terlihat perkapuran pada anulus mitral.
•
Fonokardiografi: Mencatat konfirmasi bising dan mencatat adanya bunyi jantung ketiga pada insufisiensi mitral sedang sampai berat.
•
Ekokardiografi – Mengevaluasi gerakan katup, ketebalan, serta adanya perkapuran pada mitral. – Ekokardiografi Doppler dapat menilai derajat regurgitasi.
29. Ulkus Peptikum
• •
Nyeri epigastrik dapat ditemukan pada ulkus gastrikum dan ulkus duodenum. Ulkus duodenum: – – –
•
Nyeri timbul 90 menit – 3 jam setelah makan Nyeri berkurang dengan antasid atau makanan Nyeri timbul pada malam hari (tengah malan sampai jam 3 pagi)
GU: –
Nyeri dipresipitasi oleh makanan
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. 2011.
29. Ulkus Peptikum • • •
•
Duodenal Ulcer May present < age 40 Rarely associated with NSAID use Pain often on empty stomach, better with food or antacids H. pylori in 90% to 100%
Gastric Ulcer • Usually seen in 50-60 year olds • Strong relationship to NSAID use • Pain usually worse after meals • H. pylori in 70% to 90%
Both
•most common symptom: diffuse epigastric pain •may be pain free •may be associated with dyspeptic symptoms •can lead to bleeding, perforation, or obstruction
30. Stadium HIV
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kementerian. Kemenkes 2011.
30. Infeksi HIV • Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. • Rekomendasi : – Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. – Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kementerian. Kemenkes 2011.
Pemeriksaan HIV Pedoman 2011 • Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. • Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%),
• Pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%).
Konseling & Tes HIV
• •
IO: infeksi oportunistik PPK: pengobatan pencegahan kotrimoksazol Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kementerian. Kemenkes 2011.
Peran CD4 dalam tatalaksana HIV
Konseling & Tes HIV
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kementerian. Kemenkes 2011.
30. Infeksi HIV
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kementerian. Kemenkes 2011.
Guidelines HIV WHO (2013)
• Pedoman terbaru merekomendasikan terapi ARV jika CD4 <500 sel/mm3
HIV/AIDS
• TDF: tenofovir, AZT: zidovudin, 3TC: lamivudin, EFV: efavirenz, NVP: nevirapine, ABC: abacavir, LPV/r: lopinavir/ritonavir
Perbandingan Pedoman Terapi HIV Konsensus HIV 2011
WHO 2013
WHO 2015
Stadium klinis 1 dan 2
Jika CD 4 <350
Jika CD4 < 500, prioritas < 350
Semua CD4, prioritas < 350
Stadium klinis 3 dan 4
Semua CD4
Semua CD4
Semua CD4 dan prioritas
TB
Semua CD4
Semua CD4
Semua CD4
Hepatitis B
Semua CD4
Jika CD4<500 kecuali terdapat penyakit hati kronik berat
Semua CD4 pada penyakit hati berat
31. Osteomielitis • Klasifikasi: – direct/ eksogen – Hematogen
• menurut perjalanan penyakitnya: – Akut: dalam dua minggu setelah onset penyakit – Subakut: antara satu sampai 2 bulan – Kronik: >2 bulan.
31. Osteomielitis
Osteomielitis Patogenesis • Hematogenous • Penyebaran langsung dari fokus infeksi • Inokulasi langsung
Gejala • Gejala tidak spesifik – Demam, menggigil, malaise, letargi, iritabilitas
• Gejala klasik inflamasi – Rubor, Calor, Tumor, Dolor – Menghilang setelah 5-7 hari
Manifestasi Klinis Osteomielitis • Nyeri lokal yang timbul dengan cepat • Demam • Riwayat infeksi sebelumnya di dapat dalam sekitar 50% pasien • Edema dan eritema di daerah infeksi, dapat disertai ppembesaran KGB proksimal • ROM terbatas pada ektremitas yang terkena • Dapat disertai selulitis
Osteomyelitis Imaging • The earliest changes are seen in adjacent soft tissues +/- muscle outlines with swelling and loss or blurring of normal fat planes. An effusion may be seen in an adjacent joint. • Early findings may be subtle, and changes may not be obvious until 5 to 7 days in children and 10 to 14 days in adults. After this time a number of changes may be noted: – – – – – – –
regional osteopaenia periosteal reaction/thickening: variable focal bony lysis endosteal scalloping loss of bony trabecular architecture new bone apposition eventual peripheral sclerosis
• In chronic or untreated cases eventual formation of a sequestrum, involucrum or cloaca may be seen.
32. Intussusepsi
33. Trauma Tumpul Abdomen
Focused Asessment with Sonography in Trauma (FAST)
34. Balanitis Definisi • Balanitis adalah radang pada glans penis • Posthitis adalah radang pada kulup. • Radang pada kepala penis dan kulup (balanoposthitis) bisa juga terjadi. • Pria yang mengalami balanoposthitis mengalami peningkatan resiko berkembangnya balanitis xerotica obliterans, phimosis, paraphimosis, dan kanker di kemudian hari. Etiologi • Penyebab paling umum dari balanitis adalah kebersihan yang buruk. • Lebih sering pada pasien dengan fimosis Gejala • Penderita merasa nyeri dan gatal, warna kepala penis kemerahan dan bengkak. Pengobatan • Salah satu pengobatan terbaik balanitis adalah menjaga kebersihan di kepala penis dan antibiotik. • Saat fase akut tidak dilakukan tindakan operasi • Jika sudah terlanjur kulup menutup maka harus dilakukan penyunatan.
Balanoposthitis • Balanitis (inflammation of the glans) • Posthitis (inflammation of the foreskin) • More likely to affect boys under four years of age • Approximately 1 in every 25 boys and 1 in 30 uncircumcised males (at some time in their life • Complication: – Often causes later adhesions or phimosis
Phimosis Phimosis • Prepusium tidak dapat ditarik kearah proksimal • Fisiologis pada neonatus • Komplikasiinfeksi – Balanitis – Postitis – Balanopostitis
• Treatment – Dexamethasone 0.1% (6 weeks) for spontaneous retraction – Dorsum incisionbila telah ada komplikasi
Paraphimosis • Prepusium tidak dapat ditarik kembali dan terjepit di sulkus koronarius • Gawat darurat bila – Obstruksi vena superfisial edema dan nyeri Nekrosis glans penis
• Treatment – Manual reposition – Dorsum incision
Fimosis • Prepusium penis yang tidak dapat diretraksi ke proksimal sampai korona glandis. • Dialami sebagian besar bayi karena terdapat adhesi alamiah antara prepusium dengan glans penis. Adhesi tersebut mulai terpisah seiring bertambah usia. • Bila tidak ada keluhan, masih dapat dianggap fisiologis hingga usia 3-4 tahun.
Komplikasi Fimosis & Patofisiologinya • Ujung prepusium menyempit, – Smegma >> benjolan lunak di ujung penis. – Pancaran urin kecil urin terkumpul di sakus prepusium penis tampak menggelembung saat BAK. – Higiene berkurang infeksi prepusium (postitis), infeksi glans (balanitis), balanopostitis.
Tatalaksana Fimosis • Steroid topikal selama 1-2 bulan • Dorsal slit (sudah tidak banyak dipakai) • Sirkumsisi • Retraksi paksa tidak boleh dilakukan risiko infeksi dan sikatriks
Forceful Retraction PAIN
Glans becomes raw with bleeding
Now…Mom has to retract 2-3/day to prevent adhesions
Real Adhesions will form So…Mom will stop retracting
Parafimosis • Prepusium yang diretraksi hingga sulkus koronarius tidak dapat dikembalikan pada posisi semula. • Retraksi prepusium ke prox secara berlebihan tidak dapat dikembalikan seperti semula menjepit penis obstruksi aliran balik vena superfisial edema, nyeri nekrosis glans penis.
Tatalaksana Parafimosis • Mengembalikan prepusium secara manual dengan memijat glans penis selama 3-5 menit untuk mengurangi edema. • Bila tidak berhasil, perlu dilakukan dorsum insisi. • Setelah edema dan reaksi inflamasi hilang sirkumsisi.
Paraphimosis • Tight preputial ring is trapped behind the glans after retraction – Very painful – Edematous preputial skin and glans – Urinary retention
• Requires immediate attention – Pain – Possible necrosis
• Management – Compression – Dorsal slit
B
http://emedicine.medscape.com/article/
http://en.wikipedia.org/wiki/
Male Genital Disorders Disorders
Etiology
Testicular torsion Intra/extra-vaginal torsion
Clinical Sudden onset of severe testicular pain followed by inguinal and/or scrotal swelling. Gastrointestinal upset with nausea and vomiting.
Hidrocele
Congenital anomaly, accumulation of fluids around a testicle, swollen blood blockage in the testicle,Transillumination + spermatic cord Inflammation or injury
Varicocoele
Vein insufficiency
Scrotal pain or heaviness, swelling. Varicocele is often described as feeling like a bag of worms
Hernia skrotalis
persistent patency of the processus vaginalis
Mass in scrotum when coughing or crying
Chriptorchimus
Congenital anomaly
Hypoplastic hemiscrotum, testis is found in other area, hidden or palpated as a mass in inguinal. Complication:testicular neoplasm, subfertility, testicular torsion and inguinal hernia
35. Varikokel • Varikokel adalah dilatasi abnormal dari vena pada pleksus pampiniformis akibat gangguan aliran darah balik vena spermatika interna. • Varikokel merupakan salah satu penyebab infertilitas pada pria; dan didapatkan 21-41% pria yang mandul menderita varikokel.
ETIOLOGI • hilangnya mekanisme pompa otot atau atrofi otot kremaster, kelemahan kongenital, proses degeneratif pleksus pampiniformis. • Hipertensi v. renalis atau penurunan aliran ginjal ke vena kava inferior. • Turbulensi dari v. supra renalis kedalam juxta v. renalis internus kiri berlawanan dengan kedalam v. spermatika interna kiri. • Tekanan segment iliaka (oleh feses) pada pangkal v. spermatika . • Tekanan v. spermatika interna meningkat • Sekunder : tumor retro, trombus v. renalis, hidronefrosis.
PATOGENESIS Varikokel mengganggu proses spermatogenesis dengan cara:
1. Terjadi stagnasi darah balik pada sirkulasi testis hipoksia 2. Refluks hasil metabolit ginjal dan adrenal (katekolamin dan prostaglandin) melalui vena spermatika interna ke testis. 3. Peningkatan suhu testis. 4. Adanya anastomosis antara pleksus pampiniformis kiri dan kanan zat-zat hasil metabolit tidak dapat dialirkan dari testis kiri ke testis kanan menyebabkan gangguan spermatogenesis testis kanan infertilitas.
GEJALA KLINIS • Pasien biasanya mengeluh belum mempunyai anak setelah beberapa tahun menikah, atau kadang-kadang mengeluh adanya benjolan di atas testis yang terasa nyeri. • Varikokel jarang menimbulkan rasa tidak nyaman. • Keluhan yang biasa dimunculkan antara lain adanya rasa sakit yang tumpul atau rasa berat pada sisi dimana varikokel terdapat.
PEMERIKSAAN FISIK • Pemeriksaan dilakukan dgn pasien dalam posisi berdiri, perhatikan keadaan skrotum kemudian dilakukan palpasi bentukan seperti kumpulan cacing-cacing di dalam kantung (bag of worms) yang berada di sebelah kranial testis, adanya distensi kebiruan dari dilatasi vena. • Jika varikokel tidak terlihat secara visual, struktur vena harus dipalpasi dengan manuver valsava.
Secara klinis varikokel dibedakan dalam 3 tingkatan/derajat: 1. Derajat I kecil: varikokel dapat dipalpasi setelah pasien melakukan manuver valsava 2. Derajat II sedang: varikokel dapat dipalpasi tanpa melakukan manuver valsava 3. Derajat III besar: varikokel sudah dapat dilihat bentuknya tanpa melakukan manuver valsava.
(manuver valsava = mengedan)
• pemeriksaan auskultasi dengan memakai stetoskop Doppler sangat membantu, karena alat ini dapat mendeteksi adanya peningkatan aliran darah pada pleksus pampiniformis. • Untuk lebih objektif dalam menentukan besar atau volume testis dilakukan pengukuran dengan alat orkidometer.
• pemeriksaan analisis semen dilakukan untuk menilai seberapa jauh varikokel telah menyebabkan kerusakan pada tubuli seminiferi. • Hasil analisis semen pada varikokel menunjukkan pola stress yaitu menurunnya motilitas sperma, meningkatnya jumlah sperma muda (immature,) dan terdapat kelainan bentuk sperma (tapered).
PEMERIKSAAN PENUNJANG • Angiografi/Venografi • Ultrasonografi (USG)
PENATALAKSANAAN Indikasi Operasi : • Varikokel secara klinis pada pasien dengan parameter semen yang abnormal terkait dengan atrofi testikular ipsilateral atau dengan nyeri ipsilateral testis yang makin memburuk setiap hari, harus segera dioperasi dengan tujuan membalikkan proses yang progresif dan penurunan durasi-dependen fungsi testis. • Remaja dengan varikokel grade I – II tanpa atrofi dilakukan pemeriksaan tahunan untuk melihat pertumbuhan testis, jika didapatkan testis yang menghilang pada sisi varikokel, maka disarankan untuk dilakukan varikokelektomi.
TINDAKAN OPERASI Ligasi dari vena spermatika interna dapat dilakukan dengan berbagai teknik. 1. 2. 3. 4. 5.
Teknik Retroperitoneal (palomo) Teknik Inguinal (ivanissevich) Teknik Laparoskopik Microsurgical varicocelectomy (Marmar-Goldstein ) Teknik Embolisasi
PROGNOSIS • 6 bulan setelah operasi didapatkan perbaikan signifikan volume testis kiri dan konsentrasi spermatozoa. • Kehamilan terjadi pada 3 bulan pasca operasi berkisar 25% dan meningkat menjadi 50% pada 6 bulan pasca operasi.
36. Ca Prostat • Tumor pada umumnya tumbuh dengan lambat dan sisanya terkurung pada kelenjar selama bertahuntahun • tumor menghasilkan sedikit atau tidak ada gejala-gejala yang terlihat dari luar (kelainan-kelainan di pengujian fisik).
• Kanker dapat menyebar di luar prostat ke sekitar jaringan. • metastasize ke seluruh area-area lain badan, seperti tulang-tulang, paru-paru, dan hati.
• Kanker ini paling umum pada pria, terutama mereka yang berusia di atas 65 tahun.
Faktor Risiko Genetic, yaitu BRCA1 dan BRCA2 Usia faktor risiko terbesar kanker prostat Jarang terjadi pada pria di bawah 40 tahun, namun risiko kanker prostat akan meningkat setelah usia 50 tahun Dua dari tiga kasus kanker prostat ditemukan pada pria usia 65 tahun.
Ras/etnis Orang berkulit hitam memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan orang berkulit putihAmerika Serikat
Diet Diet tinggi lemak dan obesitas (kegemukan) meningkatkan risiko Teorinya, lemak akan meningkatkan produksi hormon testosteron yang akan membantu perkembangan sel kanker prostat.
Suku bangsa Pria Asia memiliki risiko lebih rendah dibandingkan Amerika.
Lanjutan . . . • Virus • 27% pada jaringan kanker prostat ganas ditemukan Xenotropic Murine Related Virus (XMRV) penyebab kanker pada hewan.
• Gaya hidup • Merokok dan minum alkohol ditengarai menjadi pemicu munculnya kanker prostat • Sering berganti-ganti pasangan juga membuka kesempatan terjadinya infeksi virus penyebab kanker yang ditularkan melalui hubungan kelamin.
• Lingkungan • kadmium (bahan pembuat batere) • juga bahan-bahan kimia lain berisiko tinggi mengidap kanker prostat.
Gejala Kanker Prostat :
Prostatic malignancy
Anatomi Prostat
Image Source: SEER Training Website
Lobes of the Prostate • • • •
Anterior lobe Median lobe Lateral lobe Posterior lobe
Image Source: SEER Training Website
Zones of the Prostate • Peripheral, 60 – 70% keganasan berasal dari zona perifer • Central, 5 – 10% keganasan berasal dari zona sentral. • Transitional, 10 – 20% keganasan berasal dari zona transitional.
Image Source: SEER Training Website
Kanker Prostat dikelompokkan menjadi: • Stadium I : • benjolan/tumor tidak dapat diraba pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan secara tidak sengaja setelah pembedahan prostat karena penyakit lain.
• Stadium II : • tumor terbatas pada prostat dan biasanya ditemukan pada pemeriksaan fisik atau tes PSA.
• Stadium III : • tumor telah menyebar ke luar dari kapsul prostat, seperti kelenjar seminal vesicle yang memproduksi semen tetapi belum sampai menyebar ke kelenjar getah bening.
• Stadium IV: • kanker telah menyebar (metastase) ke kelenjar getah bening regional maupun bagian tubuh lainnya (misalnya tulang dan paru-paru).
DIAGNOSA
• Pria berusia > 50 tahun dianjurkan setiap setahun – Pemeriksaan PSA total sekali – Pemeriksaan Digital Rectal Examination – Bila ada keluarga yang menderita kanker prostat, skrining dianjurkan sejak usia 40 tahun • Digital rectal examination: • konsistensi yang keras • adanya nodul (benjolan di permukaan) • pembesaran prostat yang tidak simetris.
• Tes darah. antigen khusus prostat (PSA). – tidak konklusif – Pada tahap pengobatan, penurunan kadar PSA menandakan efektivitas terapi yang dijalankan.
http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/detection/PSA
PSA Test • Tes yang mengukur kadar prostate specific antigen (PSA) dalam darah • PSA protein yang dihasilkan oleh prostat • Laki-laki secara normal memiliki kadar PSA rendah, dan kadarnya akan meningkat seiring dengan usia
PSA—Prostate Cancer • PSA >4.0 ng/mL mandatory biopsy • 50% of all the cancers detected because of an elevated PSA level are localized • these patients are candidates for potentially curative therapy
Biopsi Prostat • Skrinning PSA untuk Ca Prostat, tidak dapat meningkatkan survival rate USG Prostat • Hanya dapat melihat pembesaran prostat • Tidak menunjukkan derajat obstruksinya
Diagnosa • Tes PCA3. • PCA3 yang lebih tinggi di urin menunjukkan kehadiran kanker prostat. • lebih akurat dibandingkan tes darah (PSA) • Interpretasi • Kadar PSA 0,5-4,0ng/ml: normal • Kadar PSA 4,0-10ng/ml: kemungkinan Ca 20%, lakukan TRUS, jika PSAd (kadar PSA/ volume prostat) >0,15 lakukan biopsi. • Kadar PSA >10ng/ml: keumungkinan Ca 50%, perlu dilakukan TRUS dan biopsi.
• Biopsi. • Beberapa sampel diambil pada bagian-bagian yang berbeda dari prostat. • Hanya dilakukan bila PSA >3
• CT scan, MRI scan dan pemeriksaan penunjang lain • Untuk mengetahui tingkat penyebaran kanker.
• Sitologi air kemih atau cairan prostat.
Tatalaksana • Pembedahan: • prostatektomi radikal (T1-2 N0 M0), Orkiektomi
• Terapi penyinaran • Terapi penyinaran eksterna; pencangkokan butiran yodium, emas, atau iridium radioaktif pada jaringan prostat melalui sayatan kecil
• Vaksinasi • Prostvac-VF immunotherapy dibuat dari poxvirus yang dilemahkan dan direkayasa untuk menghasilkan PSA dalam merangsang sistem kekebalan
Farmakologis • Manipulasi hormonal. – Tujuannya adalah mengurangi kadar testosteron. Penurunan kadar testosteron seringkali sangat efektif dalam mencegah pertumbuhan dan penyebaran kanker. – Sintetis LHRH (luteinizing hormone releasing hormone), digunakan untuk mengobati kanker prostat stadium lanjut. Contohnya adalah lupron atau zoladeks. – Zat penghambat androgen (misalnya flutamid), yang berfungsi mencegah menempelnya testosteron pada sel-sel prostat.
Lanjutan. . . • Kemoterapi • Digunakan untuk mengatasi gejala kanker prostat yang kebal terhadap pengobatan hormonal. • Diberikan sebagai obat tunggal atau kombinasi beberapa obat • Obat-obatan yang bisa digunakan untuk mengobati kanker prostat adalah: - Mitoxantronx - Prednisone - Paclitaxel - Dosetaxel - Estramustin - Adriamycin.
37. Sprain Ankle
Strain vs Sprain
Ankle instability • Caused by injury to the lateral ankle ligaments • Presentation: – history of multiple prior ankle sprains – hindfoot varus – increased inversion laxity
Inversion Sprain
38. Fraktur Terbuka • Dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit. • Terjadi kontaminasi bakteri komplikasi infeksi • Luka pada kulit : – Tusukan tulang tajam keluar menembus kulit (from within) – Dari luar misal oleh peluru atau trauma langsung (from without)
Tahap –Tahap Pengobatan Fraktur Terbuka 1. 2.
3. 4.
Pembersihan luka irigasi dengan NaCl fisiologis secara mekanis mengeluarkan benda asing yg melekat. Eksisi jaringan mati dan tersangka mati (debrideman) pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia otot dan fragmen tulang yg lepas. Pengobatan fraktur itu sendirifiksasi interna atau eksterna Penutupan kulit – –
5.
Pemberian antibakteri –
6.
Jika diobati dalam periode emas (6 – 7 jam) sebaiknya kulit ditutup kulit tegang tidak dilakukan
Antibiotik diberikan sebelum, pada saat dan sesudah operasi
Tetanus
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D. Handbook of Fractures, 3rd Edition
Choice of fixation • several options to stabilize an open fracture – – – – – –
splinting, casting, and traction external fixation, plating, and intramedullary nailing
• No consensus of what method to use • Surgeons must make judgment of which method is appropriate
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D. Handbook of Fractures, 3rd Edition
39. Labiopalatoskizis • Labioskizis: celah pada bibir • Palatoskizis: celah pada palatum • Labiopalatoskizis: celah bibir+palatum
http://emedicine.medscape.com/
Epidemiologi • Sumbing bibir disertai atau tidak disertai sumbing pada palatum , merupakan kelainan maksilofasial kongenital yang sering pada neonatus (80%). • Terjadi pada 1 dari 700-1000 kelahiran. • Sebesar 30-50% disertai kelainan kongenital yang lain.
Klasifikasi Suatu klasifikasi membagi strukturstruktur yang terkena menjadi beberapa bagian berikut: • Palatum primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus, dan palatum durum di belahan foramen insisivum. • Palatum sekunder meliputi palatum durum dan palatum molle posterior terhadap foramen. • Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum primer dan palatum sekunder dan juga bisa berupa unilateral atau bilateral. • Terkadang terlihat suatu belahan submukosa. Dalam kasus ini mukosanya utuh dengan belahan mengenai tulang dan jaringan otot palatum.
Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga hingga yang berat. Beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui : 1. Unilateral Incomplete. Jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung. 2. Unilateral Complete. Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung. 3. Bilateral Complete. Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memnajang hingga ke hidung.
Tatalaksana • Pemberian ASI secara langsung, dapat dicoba dengan sedikit menekan payudara. • Bila anak sukar mengisap sebaiknya gunakan botol peras (squeeze bottles). • Jika anak tidak mau, berikan dengan cangkir dan sendok. • Okulator untuk menutup sementara celah palatum • Tindakan bedah, dengan kerja sama yang baik antara ahli bedah, ortodontis, dokter anak, dokter THT, serta ahli wicara. (terapi tergantun kebutuhan pasien).
• Syarat labioplasti (rule of ten) – – – –
Umur 3 bulan atau > 10 minggu Berat badan kira-kira 4,5 kg/10 pon Hemoglobin > 10 gram/dl Hitung jenis leukosit < 10.000
• Syarat palaplasti – Palatoskizis ini biasanya ditutup pada umur 9-12 bulan menjelang anak belajar bicara, yang penting dalam operasi ini adalah harus memperbaiki lebih dulu bagian belakangnya agar anak bisa dioperasi umur 2 tahun. – Untuk mencapai kesempurnaan suara, operasi dapat saja dilakukan berulang-ulang
http://www.scribd.com/doc/55885689/labio-gnato-palatoschisis
http://urology.iupui.edu/papers/reconstructive_bph/s0094014305001163.pdf
40. Trauma Uretra • Curiga adanya trauma pada traktus urinarius bag.bawah, bila: – Terdapat trauma disekitar traktus urinarius terutama fraktur pelvis – Retensi urin setelah kecelakaan – Darah pada muara OUE – Ekimosis dan hematom perineal
Uretra Anterior: • Anatomy: – Bulbous urethra – Pendulous urethra – Fossa navicularis
• Etiologi: – Straddle type injuries – Intrumentasi – Fractur penis
• Gejala Klinis: – Disuria, hematuria – Hematom skrotal – Hematom perineal akan timbul bila terjadi robekan pada fasia Buck’s sampai ke dalam fasia Colles‘‘butterfly’’ hematoma in the perineum – will be present if the injury has disrupted Buck’s fascia and tracks deep to Colles’ fascia, creating a characteristic ‘‘butterfly’’ hematoma in the perineum
• Therapy: – Cystostomi – Immediate Repair
Uretra Posterior : • Anatomy – Prostatic urethra – Membranous urethra
• Etiologi: – Fraktur tulang Pelvis
• Gejala klinis: – – – –
Darah pada muara OUE Nyeri Pelvis/suprapubis Perineal/scrotal hematom RT Prostat letak tinggi atau melayang
• Radiologi: – Pelvic photo – Urethrogram
• Therapy: – Cystostomi – Delayed Repair
• Don't pass a diagnostic catheter up the patient's urethra because:
• Retrograde urethrography
– The information it will give will be unreliable. – May contaminate the haematoma round the injury. – May damage the slender bridge of tissue that joins the two halves of his injured urethra Posterior urethral rupture above the intact urogenital diaphragm following blunt trauma http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/68._Urinary
– Modalitas pencitraan yang utama untuk mengevaluasi uretra pada kasus trauma dan inflamasi pada uretra
Ruptur Uretra Anterior • Penyebab tersering : straddle injury ( cedera selangkangan ) Jenis kerusakan : • Kontusio uretra • Ruptur parsial • Ruptur total
DIAGNOSIS Klinis : • Perdarahan peruretra/hematuri • Hematom / butterfly hematom • Kadang retensi urine • Kontusio : ekstravasasi – • Ruptur : ekstravasasi + bulbosa
Sleeve Hematom
Butterfly Hematom
TINDAKAN Kontusio : • observasi 4-6 bln • evaluasi: uretrografi ulang Ruptur : • Sistostomi 1 bulan • 3 bulan uroflometri, k/p uretrogram . • striktura, lakukan sachse.
RUPTUR URETRA POSTERIOR • Ruptur uretra pars prostato – membranasea. • Terbanyak disebabkan fraktur tulang pelvis. • Robeknya ligamen pubo - prostatikum
COLAPINTO DAN MCCOLLUM (1976 ) : • Stretching (teregang) – Tidak ada ekstravasasi.
• Uretra putus diatas prostato membranasea – Diaphragma urogenital utuh – Ekstravasasi terbatas pada diaphragma urogenital.
• Uretra posterior, diaph.Urogenital & uretra pars bulbosa proksimal rusak. – Ekstravasasi sampai perineum
DIAGNOSIS GAMBARAN KHAS : • PERDARAHAN PER URETRA • RETENSI URINE • RT : FLOATING PROSTAT.
Floating Prostat
URETROGRAFI : • EKSTRAVASASI KONTRAS PD PARS PROSTATO MEMBRANASEA • FRAKTUR PELVIS.
Uretrografi
Ruptur Parsial
Ruptur total
TINDAKAN AKUT : SISTOSTOMI STABIL : • Primary endoskopic realigment, 1 minggu paska ruptur • Uretroplasti, 3 bulan paska ruptur. • Rail roading kateter dilakukan bila bersamaan dg operasi lain.
KOMPLIKASI • Striktura uretra • Disfungsi ereksi • Inkontinentia urine
41. Fibrocystic Disease • Dikenal juga sebagai mammary displasia • benjolan payudara yang sering dialami oleh sebagian besar wanita.
• Benjolan ini harus dibedakan dengan keganasan. • Umumnya terjadi pada wanita berusia 25-50 tahun (>50%). • Ditandai penambahan jaringan fibrous dan glandular.
Gejala dan Tanda • • • •
benjolan fibrokistik biasanya multipel dan keras adanya kista, fibrosis, benjolan konsistensi lunak, terdapat penebalan Nyeri payudara siklikperubahan hormon estrogen dan progesteron. • Biasanya payudara teraba lebih keras dan membesar sesaat sebelum menstruasi • Menghilang seminggu setelah menstruasi selesai.
• Benjolan biasanya menghilang setelah wanita memasuki fase menopause.
Diagnosis • Evaluasi harus dilakukan dengan seksama untuk membedakannya dengan keganasan. • Apabila didapatkan benjolan difus (tidak memiliki batas jelas), terutama berada di bagian atas-luar payudara tanpa ada benjolan yang dominan, • Diperlukan pemeriksaan USG, mammogram dan pemeriksaan ulangan setelah periode menstruasi berikutnya.
• Apabila keluar cairan dari puting, baik bening, cair, atau kehijauan, sebaiknya diperiksakan tes hemoccult untuk pemeriksaan sel keganasan.
• USG: – Multiple cysts – Well circumscribed thins walls – Increased fibrous stroma
• Mammogram – Gambaran kista dengan penambahan jaringan fibrosa.
The Breast Lump
42. Triage Triage Priorities 1. Red- prioritas utama – memerlukan penanganan segeraberkaitan dengan kondisi sirkulasi atau respirasi
2. Yellow- prioritas kedua – Dapat menunggu lebih lama, sebelum transport (45 minutes)
3. Green- Dapat berjalan – Dapat menunggu beberapa jam untuk transport
4. Black- Meninggal – Akan meninggal dalam penanganan emergensi memiliki luka yang mematikan
*** mark triage priorities (tape, tag)
Triage Category: Red • Red (Highest) Priority: Pasien yang memerlukan penanganan segera dan transport secepatcepatnya
• Gangguan Airway dan breathing • Perdarahan banyak dan tidak terkontrol • Decreased level of consciousness • Severe medical problems • Shock (hypoperfusion) • Severe burns
Yellow • Yellow (Second) Priority: Pasien yang penanganan dan traportnya dapat ditunda sementara waktu • Luka bakar tanpa gangguan airway • Trauma tulang atau sendi besar atau trauma multiple tulang • Trauma tulang belakang dengan atau tanpa kerusakan medula spinalis
Green • Green (Low) Priority: Pasien yang penanganan dan transportnya dapat ditunda sampai yang terakhir • Fraktur Minor • Trauma jaringan lunak Minor
Immediate
Patients
Delayed
Deceased
START
Simple Triage And Rapid Treatment
• It is a simple step-by-step• triage and treatment method to be used by the first rescuers responding • to a multi casualty incident. It allows these rescuers to identify victims at greatest risk for early • death and to provide basic stabilization maneuvers
If you can walk, go stand over there! All of Ya’ll, go over there! (Texas version ) Mark green
START Algorithm (Airway/Breathing) RESPIRATIONS/VENTILATIONS
NONE
YES
REPOSITION AIRWAY ASSESS RESPIRATIONS/VENTILATIONS
NONE DECEASED Immediate
Patients
Delayed
Deceased
YES
> 30/MINUTE
IMMEDIATE
IMMEDIATE
<30/MINUTE ASSESS PERFUSION
START Algorithm (Circulation) PERFUSION
<2 SECONDS ASSESS MENTAL STATUS
> 2 SECONDS CONTROL BLEEDING IMMEDIATE
Immediate
Patients
Delayed
Deceased
START Algorithm (Disability) MENTAL STATUS
FOLLOWS SIMPLE COMMANDS DELAYED
Immediate
Patients
Delayed
Deceased
FAILS TO FOLLOW SIMPLE COMMANDS IMMEDIATE
43. Fraktur basis cranii : • Fraktur yg terjadi pd tulang yg membentuk dasar tengkorak. • Terbagi atas; fossa anterior, fossa media dan fossa posterior • Fraktur pd masing2 fossa akan memberikan manifestasi yg berbeda
Skull Base Anatomy
Fr. basis cranii (fossa anterior): • Dibatasi oleh; os.spenoid, procesus clinoidalis anterior, dan jagum spenoidalis. • Manifestasi / tanda gejalanya terjadi perlahan 12-24 jam
tanda-tanda klinis : • Ekimosis periorbital (Racoon Eyes/brill hematome), • Tidak disertai cedera lokal), • Hematome subconjungtiva; anosmia (Gg. N.olfactorius), Rhinorea (Kebocoran CSS) dg tanda pemeriksaan trdpt `Halo - sign` pd kertas tissue • Gangguan Visus (Gg.N.optikus)
Fraktur basis cranii (fossa media) : • Dibatasi oleh; os.temporalis, procesus clinoidalis posterior, dan dorsum sella. • Tanda-gejala; echymosis mastoid (battle sign), othorrea, hematompanum, sakit kepala, Gg.visus dan gerak bola mata. • 25% Gg.N.VII, N.VIII.
Fraktur basis cranii (fossa posterior) : • Merupakan dasar kompartemen infratentorial • Sering tidak disertai tanda yg jelas namun segera menimbulkan kematian Penekanan batang otak
Pemeriksaan Penunjang • • • •
Tes; Halo sign CT Scan kepala Mri (magnetik resonance imaging) ECG
CT Fraktur Basis Cranii Anterior
CT Fraktur Basis Cranii Media
CT Fraktur Basis Cranii Posterior
44. Trauma Dada Diagnosis
Etiologi
Tanda dan Gejala
Hemotoraks
Laserasi pembuluh darah di kavum toraks
• Ansietas/ gelisah, takipneu, tanda-tanda syok, takikardia, Frothy/ bloody sputum. • Suara napas menghilang pada tempat yang terkena, vena leher mendatar, perkusi dada pekak.
Simple pneumotoraks
Trauma tumpul spontan
• Jejas di jaringan paru sehingga menyebabkan udara bocor ke dalam rongga dada. • Nyeri dada, dispneu, takipneu. • Suara napas menurun/ menghilang, perkusi dada hipersonor
Open pneumotoraks
Luka penetrasi di • Luka penetrasi menyebabkan udara dari luar area toraks masuk ke rongga pleura. • Dispneu, nyeri tajam, empisema subkutis. • Suara napas menurun/menghilang • Red bubbles saat exhalasi dari luka penetrasi • Sucking chest wound
Diagnosis
Etiologi
Tanda dan Gejala
Tension pneumotoraks
Udara yg terkumpul • Tampak sakit berat, ansietas/gelisah, di rongga pleura tidak • Dispneu, takipneu, takikardia, distensi dapat keluar lagi vena jugular, hipotensi, deviasi trakea. (mekanisme pentil) • Penggunaan otot-otot bantu napas, suara napas menghilang, perkusi hipersonor.
Flail chest
Fraktur segmental • Nyeri saat bernapas tulang iga, • Pernapasan paradoksal melibatkan minimal 3 tulang iga.
Efusi pleura
CHF, pneumonia, keganasan, TB paru, emboli paru
• Sesak, batuk, nyeri dada, yang disebabkan oleh iritasi pleura. • Perkusi pekak, fremitus taktil menurun, pergerakan dinding dada tertinggal pada area yang terkena.
Pneumonia
Infeksi, inflamasi
• Demam, dispneu, batuk, ronki
http://emedicine.medscape.com/article/433779
FLAIL CHEST
Fraktur segmental dari tulang-tulang iga yang berdekatan, sehingga ada bagian dari dinding dada yang bergerak secara independen
Flail chest: • Beberapa tulang iga • Beberapa garis fraktur pada satu tulang iga
The first rib is often fractured posteriorly (black arrows). If multiple rib fractures occur along the midlateral (red arrows) or anterior chest wall (blue arrows), a flail chest (dotted black lines) may result.
http://emedicine.medscape.com/
Treatment ABC’s dengan c-spine control sesuai indikasi Analgesik kuat intercostal blocks Hindari analgesik narkotik Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen darah meningkat Ventilasi tekanan positif Hindari barotrauma Chest tubes bila dibutuhkan Perbaiki posisi pasien Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan membantu mengurangi nyeriPasien miring pada sisi yang terkena Aggressive pulmonary toilet Surgical fixation rarely needed Rawat inap24 hours observasion
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Cardiac Tamponade Gejala • Takipnea dan DOE, rest air hunger • Weakness • Presyncope • Dysphagia • Batu • Anorexia • (Chest pain)
Pemeriksaan Fisik • Takikardi • Hypotension shock • Elevated JVP with blunted y descent • Muffled heart sounds • Pulsus paradoxus – Bunyi jantung masih terdengar namun nadi radialis tidak teraba saat inspirasi
• (Pericardial friction rub)
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html
“Water bottle configuration" bayangan pembesaran jantung yang simetris
• Dicurigai Tamponade jantung: – Echocardiography – Pericardiocentesis • Dilakukan segera untuk diagnosis dan terapi
• Needle pericardiocentesis – Sering kali merupakan pilihan terbaik saat terdapat kecurigaan adanya tamponade jantung atau terdapat penyebab yang diketahui untuk timbulnya tamponade jantung
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
45. Compartment Syndrome
36. Luka Bakar
Rule of nines
Adult
Infant
• Bayi berusia sampai satu tahun – Luas permukaan kepala dan leher berkisar 18% – Luas permukaan tubuh dan tungkai berkisar 14%.
• Dalam masa pertumbuhannya, setiap tahun di atas usia satu tahun, maka ukuran kepala berkurang sekitar 1% dan ukuran tungkai bertambah 0. 5% • Proporsi dewasa tercapai saat seorang anak mencapai usia sepuluh tahun • Usia 10 thn penambahan ukuran tungkai dipindahkan ke genitalia dan perineum 1% Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013 Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Indikasi Resusitasi Cairan
Indikasi Rawat Inap Luka Bakar
47. Ileus Obstruktif • Ileus: – Kelainan fungsional atau terjadinya paralisis dari gerakan peristaltik usus.
• Obstruksi: – Adanya sumbatan mekanik yang disebabkan karena adanya kelainan struktural sehingga menghalangi gerak peristaltik usus. – Obstruksi dapat parsial atau komplit – Obstruksi simple atau strangulated
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
48. Akalasia Esofagus
Gejala Klinis
49. Batu Uretra • Batu uretra: – 2/3 batu uretra terletak di uretra posterior – 1/3 batu uretra terletak di uretra anterior
• Gejalatidak spesifik, terdapat gejala-gejala obstruksi – – – – – – – – – – –
Asimptomatik Riwayat sering nyeri pinggang sebelumnya Retensi urinKeluhan tersering Disuria Aliran mengecil Frequency Dribbling Hematuria Mengeluar batu kecil saat kencing atau kencing berpasir Batu uretra posteriorNyeri yang menjalar ke perineum atau rectum Batu uretra anteriornyeri pada daerah tempat batu berada atau menjalar ke penis http://www.bjui.org/ContentFullItem.aspx?id=840&SectionType=1&title=Ob structing-Calculi-within-the-Male-Urethra
acoustic shadowing
Sumbatan di uretra pars prostatika
Tatalaksana • Medikamentosa, bersifat simtomatis, yaitu bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan memberikan diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar. • Litotripsy uretroskopi • Bedah terbuka
http://emedicine.medscape.com/article/433779
50. FLAIL CHEST
Fraktur segmental dari tulang-tulang iga yang berdekatan, sehingga ada bagian dari dinding dada yang bergerak secara independen
Flail chest: • Beberapa tulang iga • Beberapa garis fraktur pada satu tulang iga
The first rib is often fractured posteriorly (black arrows). If multiple rib fractures occur along the midlateral (red arrows) or anterior chest wall (blue arrows), a flail chest (dotted black lines) may result.
http://emedicine.medscape.com/
Treatment ABC’s dengan c-spine control sesuai indikasi Analgesik kuat intercostal blocks Hindari analgesik narkotik Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen darah meningkat Ventilasi tekanan positif Hindari barotrauma Chest tubes bila dibutuhkan Perbaiki posisi pasien Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan membantu mengurangi nyeriPasien miring pada sisi yang terkena Aggressive pulmonary toilet Surgical fixation rarely needed Rawat inap24 hours observasion
Fraktur Costae • Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma tumpul pada dinding dada. • Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. • Etiologi: – Trauma tumpul penyebab tersering, biasanya akibat kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian. – Trauma tembus luka tusuk dan luka tembak.
Klasifikasi •
Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan – –
•
Fraktur simple Fraktur multiple
Menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat • Fraktur segmental • Fraktur simple • Fraktur comminutif
•
Menurut letak fraktur dibedakan : • Superior (costa 1-3 ) • Median (costa 4-9) • Inferior (costa 10-12 )
•
Menurut posisi : – – –
•
Anterior Lateral Posterior
Ada beberapa kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus Flail chest, dimana pada keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2 costa atau lebih yang letaknya berurutan
Patofisiologi • Costae tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Pada anak costae masih sangat lentur sehingga sangat jarang dijumpai fraktur iga pada anak. • Costae merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang berfungsi memberikan perlindungan terhadap organ di dalamnya dan yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru. • Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping, ataupun dari belakang. • Costae, tulang yang sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung akibatnya trauma dada trauma costae. • Iga 1 – 3 paling jarang fraktur, karena dilindungi oleh struktur tulang dari bahu, tulang skapula, humerus, klavikula, dan seluruh otot-otot. Jika fraktur kemungkinan cedera pembuluh darah besar. • Iga 4 – 9 paling sering fraktur, kemungkinan cedera jantung dan paru • Iga 10 – 12 agak jarang fraktur, karena costae 10-12 ini mobil, Jika fraktur kemungkinan cedera organ intraabdomen.
Trauma kompresi anteroposterior dari rongga thorax Lengkung iga akan lebih melengkung lagi ke arah lateral Krepitasi
Fraktur iga Terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke rongga pleura Kerusakan struktur & jaringan Stimulasi saraf
Pneumothoraks
Nyeri dada Gerakan dinding dada terhambat/asimetris
Gangguan ventilasi Sesak nafas
Hemotoraks
X-Rays • Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat membantu diagnosis hematothoraks dan pneumothoraks ataupun contusio pulmonum, mengetahui jenis dan letak fraktur costae. • Foto oblique membantu diagnosis fraktur multiple pada orang dewasa. Pemeriksaan Rontgen toraks harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera toraks lain, namun tidak perlu untuk identifikasi fraktur iga
Gejala dan Tanda • • • • • • • •
Nyeri tekan, crepitus dan deformitas dinding dada Adanya gerakan paradoksal Tanda–tanda insuffisiensi pernafasan : Cyanosis, tachypnea, Kadang akan tampak ketakutan dan cemas, karena saat bernafas bertambah nyeri. periksa paru dan jantung,dengan memperhatikan adanya tanda-tanda pergeseran trakea, pemeriksaan ECG, saturasi oksigen periksa abdomen terutama pada fraktur costa bagian inferior :diafragma, hati, limpa, ginjal dan usus periksa tulang rangka: vertebrae, sternum, clavicula, fungsi anggota gerak nilai status neurologis: plexus bracialis, intercostalis, subclavia.
Tatalaksana 1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)—rawat jalan 2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks) 3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah: analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block), bronchial toilet, cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah, cek Foto Ro berkala
ATLS Initial Assessment Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal ). Penilaian awal meliputi: 1. Persiapan 2. Triase 3. Primary survey (ABCDE) 4. Resusitasi 5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi 6. Secondary survey 7. Tambahan terhadap secondary survey 8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan 9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik ATLS Coursed 9th Edition
Primary Survey A. Airway dengan kontrol servikal 1. Penilaian a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi) b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal d) Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabell )
3. Fiksasi leher 4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula. 5. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi 1. Penilaian a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya. d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor e) Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit) b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask c) Menghilangkan tension pneumothorax d) Menutup open pneumothorax e) Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
C. Circulation dengan kontrol perdarahan 1. Penilaian 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal Mengetahui sumber perdarahan internal Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan 1. 2. 3.
4. 5. 6.
Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA). Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasienpasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
D. Disability 1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS 2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi 3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
E. Exposure/Environment 1.Buka pakaian penderita, periksa jejas 2.Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat. ATLS Coursed 9th Edition
51. Dislokasi Panggul
Posterior Hip Dislocation
soundnet.cs.princeton.edu
Anterior Hip Dislocation Gejala • Nyeri pada sendi panggul • Tidak dapat berjalan atau melakukan adduksi dari kaki. • The leg is externally rotated, abducted, and extended at the hip
netterimages.com
52. Vesikulolithiasis • adalah masa yang berbentuk kristal yang terbentuk atas material mineral dan protein yang terdapat pada urin.
Vesikolithiasis Tanda & Gejala • Nyeri suprapubik • Penghentian miksi tiba tibasesuai dengan perubahan posisi • Poliuria • Disuria • Hematuria • PF: demam, conj anemis/akral anemis, nyeri ketok CVA dapat (+).
USG: gambaran objek hiperekoik yang berbayang pada bagian posterior
PEMERIKSAAN PENUNJANG LAB DARAH
LAB URIN
BNO polos
BNO IVP
• Hb rendah +/-
• BJ meningkat
• Mengidentifikasi
• Mengidentifikasi
• Leukositosis +/-
• Ph asam/ basa
masa dengan
masa dengan
• Shift to the left
• Nitrit +
densitas radio-
densitas radio-
opak pada vesika
lusen pada vesika
urinaria
urinaria dengan
• Leukosit +/• esterase,+/• Darah +/-
gambaran berupa
filling defect
BNO BNO IVP
USG
SISTOSKOPI
CT scan
• gambaran objek
• memvisualisasikan
• dilakukan karena alasan
hiperekoik yang
batu, menilai ukuran
lain (misalnya, nyeri perut,
berbayang pada
serta posisi batu
massa panggul, atau
bagian posterior
dicurigai abses) tetapi mungkin juga dapat menunjukkan vesikolitiasis bila dilakukan tanpa kontras.
USG
SISTOSKOPI
TATA LAKSANA • Diet (banyak minum air)
Konservatif
• Simptomatik
<5mm
• Pelarutan batu
Litotripsi <20mm
• ESWL
• Transurethral
Cystolitholapaxy
Operasi
• Precutaneus Suprapubic
Cystolitholapaxy • Suprapubic Cystostomy
53. Tennis Elbow • Lateral epicondylitis • Klinis – Nyeri pada origo otot-otot lengan bawah, terutama extensor carpi radialis brevis. – Lokasi nyeri biasanya 5mm distal dan sedikit ke arah anterior dari epicondilus lateral humeri. – Nyeri disertai dengan keterbatasan ekstensi pergelangan tangan dan ekstensi jari jemari.
• Terjadi karena penggunaan siku yang berlebihan • Gejala dan tanda: – Nyeri atau terasa terbakar pada sisi lateral siku – Weak grip strength
• Often worsened with forearm activity – holding a racquet – turning a wrench – shaking hands.
American Academy of Orthopaedic Surgeons
Golfer’s Elbow (Medial Epicondylitis) • Lebih jarang terjadi • Etiologi: Micro-tears dari origo otot-otot fleksor-pronator lengan bawah. • Akibat olahraga yang sifatnya throwing/ racquets.
54. Lipoma
55. Hemoroid Eksterna • Merupakan pelebaraan dan penonjolan pleksus hemoroidalis inferior, terdapat di sebelah distal garis mukokutan di dalam jaringan di bawah epitel anus (anal verge) • Ada 3 bentuk hemoroid eksterna yang sering dijumpai : – Bentuk hemoroid biasa tapi letaknya distal linea pectinea. – Bentuk trombosis atau benjolan hemoroid yang terjepit – Bentuk skin tags.
Hemoroid
• Hemoroid eksterna atau skin tags • biasanya tetap asimptomatik sampai terjadi trombosis. • Kadang disertai pruritus • diterapi dengan perbaikan higiene anus dan krim kortikosteroid
• Jika trombosis tampak sebagai benjolan yang nyeri pada anal verge dapat disertai dengan perdarahan. • Terapi: • Awal dengan pemberian analgesik, sitz baths, dan pelunak feses. • Nyeri yang paraheksisi di bawah anestesi lokal
56. Trauma Buli • 86% trauma buli berkaitan dg trauma abdomen (KLL, jatuh dr ketinggian) • 90% berhubungan dg fraktur pelvis. • Sebaliknya hanya 9 – 16 % fraktur pelvis yg disertai ruptur buli. • 60% mrpk ruptur buli extraperitoneal, 30% intraperitoneal
MEKANISME CEDERA • Ruptur intraperitoneal terjadi akibat trauma pada abdomen bagian bawah atau jg trauma pelvis pada saat buli2 penuh. • Ruptur extraperitoneal lbh sering berkaitan dg fraktur pelvis
Tanda dan gejala • Hematuria – dapat merupakan gejala tunggal – 95% ruptur buli
• Nyeri perut bawah. • Kesulitan berkemih • Pruduksi urin menurun
Pemeriksaan radiologis • Cystography – Kontras > 300 cc – Foto pengosongan (drainase)
• CT scan cystography
Trauma buli • Kontusio buli – Cedera mukosa tanpa extravasasi urin
• Ruptur interstisial – Robekan sebagian dinding buli tanpa extravasasi
• Ruptur intraperitoneal – Tampak kontras mengisi rongga intraperitoneal
• Ruptur extraperitoneal – Kontras mengisi ruang perivesika dibawah garis asetabulum
• Hematoma perivesika : tear drop appearance
Sistogram Ruptur intraperitoneal
Ruptur Ekstraperitoneal
Penatalaksanaan • Pada luka tembus buli2 explorasi + repair • Ruptur intraperitoneal explorasi + repair • Pada trauma tumpul yg hanya menimbulkan trauma dinding buli yg tidak disertai extravasasi urin tidak memerlukan tindakan pembedahan.
57. Hyphema Complication: Red cell glaucoma • Hyphema (usually traumatic) leads to blockage of the trabecular mesh- work by red blood cells. • In 10% cases a rebleed may occur, usually at around 5 days. • Treatment – Treatment of hyphema – IOP: topical (e.g., B-blocker, A -agonist, carbonic anhydrase inhibitor) or systemic (e.g., acetazolamide) agents as required but avoid topical and systemic carbonic anyhdrase inhibitors in sickle cell disease/trait. – If medical treatment fails, consider AC paracentesis ± AC washout. 2
57. Angle-closure (acute) glaucoma • The exit of the aqueous humor fluid is sud • At least 2 symptoms: – ocular pain – nausea/vomiting – history of intermittent blurring of vision with halos
• AND at least 3 signs: – – – – –
IOP greater than 21 mm Hg conjunctival injection corneal epithelial edema mid-dilated nonreactive pupil shallower chamber in the presence of occlusiondenly blocked http://emedicine.medscape.com/article/798811
Tatalaksana Glaukoma Akut • •
Tujuan : merendahkan tekanan bola mata secepatnya kemudian bila tekanan normal dan mata tenang → operasi Supresi produksi aqueous humor – Beta bloker topikal: Timolol maleate 0.25% dan 0.5%, betaxolol 0.25% dan 0.5%, levobunolol 0.25% dan 0.5%, metipranolol 0.3%, dan carteolol 1% dua kali sehari dan timolol maleate 0.1%, 0.25%, dan 0.5% gel satu kali sehari (bekerja dalam 20 menit, reduksi maksimum TIO 1-2 jam stlh diteteskan) – Pemberian timolol topikal tidak cukup efektif dalam menurunkan TIO glaukoma akut sudut tertutup. – Apraclonidine: 0.5% tiga kali sehari – Brimonidine: 0.2% dua kali sehari – Inhibitor karbonat anhidrase: • Topikal: Dorzolamide hydrochloride 2% dan brinzolamide 1% (2-3 x/hari) • Sistemik: Acetazolamide 500 mg iv dan 4x125-250 mg oral (pada glaukoma akut sudut tertutup harus segera diberikan, efek mulai bekerja 1 jam, puncak pada 4 jam) Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006
Tatalaksana Glaukoma Akut •
•
•
•
•
Fasilitasi aliran keluar aqueous humor – Analog prostaglandin: bimatoprost 0.003%, latanoprost 0.005%, dan travoprost 0.004% (1x/hari), dan unoprostone 0.15% 2x/hari – Agen parasimpatomimetik: Pilocarpine – Epinefrin 0,25-2% 1-2x/hari Pilokarpin 2% setiap menit selama 5 menit,lalu 1 jam selama 24 jam – Biasanya diberikan satu setengah jam pasca tatalaksana awal – Mata yang tidak dalam serangan juga diberikan miotik untuk mencegah serangan Pengurangan volume vitreus – Agen hiperosmotik: Dapat juga diberikan Manitol 1.5-2MK/kgBB dalam larutan 20% atau urea IV; Gliserol 1g/kgBB badan dalam larutan 50% – isosorbide oral, urea iv Extraocular symptoms: – analgesics – antiemetics – Placing the patient in the supine position → lens falls away from the iris decreasing pupillary block Pemakaian simpatomimetik yang melebarkan pupil berbahaya Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
58. Jaras Penglihatan • N. Optikus N. II – Mulai dari optic disc dan berlanjut hingga kiasma optikum – Terdiri atas 4 bagian • Intraocular – 1 mm • Intraorbital – 30 mm (di dekat foramina optikum, dikelilingi oleh Annulus of Zinn) • Intracanalicular – 6‐9 mm (terdapat arteri ophthalmic di bagian inferolateralnya, sinus ethmoid posterior dan spenoid terletak di bagian medialnya) • Intracranial – 10 mm (terletak di atas sinus cavernous sinus and menyatu dengan bagian kontralateralnya membentuk chiasma)
• Kiasma optikum – Berbentuk pipih berukuran 12mm horizontally dan 8mm anteroposterior – Dibungkus oleh pia mater dan dikelilingi oleh CSF – Variasi lokasi dari kiasma • central chiasma • prefixed chiasma • post fixed chiasma
Gangguan Lapang Pandang: Hemianopia • Hemianopia, also known as Hemianopsia is loss of vision in either the right or left sides of both eyes
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/hemianopia
59. Kalazion • Inflamasi idiopatik, steril, dan kronik dari kelenjar Meibom • Ditandai oleh pembengkakan yang tidak nyeri, muncul bermingguminggu. • Dapat diawali oleh hordeolum, dibedakan dari hordeolum oleh ketiadaan tanda-tanda inflamasi akut. • Pada pemeriksaan histologik ditemukan proliferasi endotel asinus dan peradangan granullomatosa kelenjar Meibom • Tanda dan gejala: – Benjolan tidak nyeri pada bagian dalam kelopak mata. Kebanyakan kalazion menonjol ke arah permukaan konjungtiva, bisa sedikit merah. Jika sangat besar, dapat menekan bola mata, menyebabkan astigmatisma.
• Tatalaksana: steroid intralesi (bisa membuat remisi terutama untuk kalazion lesi kecil), Insisi dan kuretase untuk lesi kecil; eksisi (pengangkatan granuloma untuk lesi yang besar) Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
Vaughn DG, Oftalmologi Umum, ed.14
60. Ablasio Retina • Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang retina (retina sensorik) dari sel epitel pigmen retina • Mengakibatkan gangguan nutrisi retina pembuluh darah yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi penglihatan
• Jenis: – Rhegmatogenosa (paling sering) lubang / robekan pada lapisan neuronal menyebabkan cairan vitreus masuk ke antara retina sensorik dengan epitel pigmen retina – Traksi adhesi antara vitreus / proliferasi jaringan fibrovaskular dengan retina – Serosa / hemoragik eksudasi ke dalam ruang subretina dari pembuluh darah retina
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
Etiologi Ablasio Retina • Rhegmatogenosa: – – – –
• Serosa / hemoragik:
Miopia Trauma okular Afakia Degenerasi lattice
• Traksi: – Retinopati DM proliferatif – Vitreoretinopati proliferatif – Retinopati prematuritas – Trauma okular
– Hipertensi – Oklusi vena retina sentral – Vaskulitis – Papilledema – Tumor intraokular
Ablasio Rhegmatogenosa Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
Ablasio Retina • Anamnesis: – Riwayat trauma – Riwayat operasi mata – Riwayat kondisi mata sebelumnya (cth: uveitis, perdarahan vitreus, miopia berat) – Durasi gejala visual & penurunan penglihatan
• Gejala & Tanda: – Fotopsia (kilatan cahaya) gejala awal yang sering – Defek lapang pandang bertambah seiring waktu – Floaters
• Funduskopi : adanya robekan retina, retina yang terangkat berwarna keabuabuan, biasanya ada fibrosis vitreous atau fibrosis preretinal bila ada traksi. Bila tidak ditemukan robekan kemungkinan suatu ablasio nonregmatogen
Tatalaksana • Ablasio retina kegawatdaruratan mata • Tatalaksana awal: – Puasakan pasien u/ persiapan operasi – Hindari tekanan pada bola mata – Batasi aktivitas pasien sampai diperiksa spesialis mata – Segera konsultasi spesialis retina konservatif (untuk nonregmatogen), pneumatic retinopexy, bakel sklera, vitrektomi tertutup
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
61. PTERIGIUM • • • • •
• •
Pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva, bersifat degeneratif dan invasif Terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea Mudah meradang Etiologi: iritasi kronis karena debu, cahaya matahari, udara panas Keluhan : asimtomatik, mata iritatif, merah, mungkin terjadi astigmat (akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium), tajam penglihatan menurun Tes sonde (-) ujung sonde tidak kelihatan pterigium Pengobatan : konservatif; Pada pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah
DERAJAT PTERIGIUM • Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea • Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea • Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak • melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm) • Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan
PTERIGIUM – DIAGNOSIS BANDING
62. Konjungtivitis Alergi • Alergi okular terdiri atas : 1. 2. 3. 4. 5.
Seasonal allergic conjunctivitis Perennial allergic conjunctivitis Giant papillary conjunctivitis •Kronik, bilateral, bentuk Atopic keratoconjunctivitis inflamasi alergi yang berat pada permukaan okular Vernal keratoconjunctivitis
• dapat menyebabkan kerusakan berat pada permukaan mata, scar kornea dan hilangnya visus
Konjungtivitis Atopi • Biasanya ada riwayat atopi • Gejala + Tanda: sensasi terbakar, sekret mukoid mata merah, fotofobia • Terdapat papila-papila halus yang terutama ada di tarsus inferior • Jarang ditemukan papila raksasa • Karena eksaserbasi datang berulanga kali neovaskularisasi kornea, sikatriks
• Terapi topikal jangka panjang: cell mast stabilizer • Antihistamin oral • Steroid topikal jangka pendek dapat meredakan gejala
KONJUNGTIVITIS VERNAL • Nama lain: – spring catarrh/seasonal conjunctivitis/warm weather conjunctivitis – Disebut vernal karena exaserbasi paling sering pada musim semi (spring)
• Etiologi: reaksi hipersensitivitas bilateral (alergen sulit diidentifikasi) • Epidemiologi: – Dimulai pada masa prepubertal, bertahan selama 5-10 tahun sejak awitan – Laki-laki > perempuan – Paling sering pada Afrika Sub-Sahara & Timur Tengah – Temperate climate > warm climate > cold climate (hampir tidak ada) – Terkait dengan manifestasi atopi lainnya seperti asma dan rinitis alergi pada setengah kasus
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
Pathogenesis of Vernal Conjunctivitis • Classic IgE mediated Hypersensitivity – Evidence supporting an atopic origin : • Seasonal incidence, eosinofil and mast cells in conjunctiva, igE serum and tears, response to mast cells stabilazer
• • • •
Th2 cells mediated respone Ig G mediated response Basofilic hypersensitivity Cellular delayed type hypersensitivity (Hypersensitivity Type IV)
Play a major role
• Gejala & tanda: – Rasa gatal yang hebat, dapat disertai fotofobia – Sekret ropy – Riwayat alergi pada RPD/RPK – Tampilan seperti susu pada konjungtiva – Gambaran cobblestone (papila raksasa berpermukaan rata pada konjungtiva tarsal) – Tanda Maxwell-Lyons (sekret menyerupai benang & pseudomembran fibrinosa halus pada tarsal atas, pada pajanan thdp panas) – Bercak Trantas (bercak keputihan pada limbus saat fase aktif penyakit) – Dapat terjadi ulkus kornea superfisial
• Komplikasi: • Blefaritis & konjungtivitis stafilokokus
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
Tatalaksana • Self-limiting • Akut: • Steroid topikal (+sistemik bila perlu), jangka pendek mengurangi gatal (waspada efek samping: glaukoma, katarak, dll.) • Vasokonstriktor topikal • Kompres dingin & ice pack
• Jangka panjang & prevensi sekunder: • Antihistamin topikal • Stabilisator sel mast Sodium kromolin 4%: sebagai pengganti steroid bila gejala sudah dapat dikontrol • Tidur di ruangan yang sejuk dengan AC • Siklosporin 2% topikal (kasus berat & tidak responsif)
• Desensitisasi thdp antigen (belum menunjukkan hasil baik) Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
Table. Major Differentiating Factors Between VKC and AKC Characteristics
VKC
AKC
Age at onset
Generally presents at a younger age than AKC
-
Sex
Males are affected preferentially.
No sex predilection
Seasonal variation
Typically occurs during spring months Generally perennial
Discharge
Thick mucoid discharge
Watery and clear discharge
Conjunctival scarring
-
Higher incidence of conjunctival scarring
Horner-Trantas dots
Horner-Trantas dots and shield ulcers Presence of Horner-Trantas are commonly seen. dots is rare.
Corneal neovascularization
Not present
Deep corneal neovascularization tends to develop
Presence of eosinophils in conjunctival scraping
Conjunctival scraping reveals eosinophils to a greater degree in VKC than in AKC
Presence of eosinophils is less likely
63. Ulkus kornea ANAMNESIS MATA MERAH VISUS NORMAL
MATA MERAH VISUS TURUN
• struktur yang bervaskuler sklera konjungtiva • tidak menghalangi media refraksi • Konjungtivitis murni • Trakoma • mata kering, xeroftalmia • Pterigium • Pinguekula • Episkleritis • skleritis
mengenai media refraksi (kornea, uvea, atau seluruh mata) • • • • • • •
Keratitis Keratokonjungtivitis Ulkus Kornea Uveitis glaukoma akut Endoftalmitis panoftalmitis
MATA TENANG VISUS TURUN MENDADAK • • • • • •
uveitis posterior perdarahan vitreous Ablasio retina oklusi arteri atau vena retinal neuritis optik neuropati optik akut karena obat (misalnya etambutol), migrain, tumor otak
MATA TENANG VISUS TURUN PERLAHAN • Katarak • Glaukoma • retinopati penyakit sistemik • retinitis pigmentosa • kelainan refraksi
Ulkus kornea Konjungtivitis
Keratitis
Ulkus kornea
Uveitis
Visus
N
N/
Sakit
-
++
++
+/++
Fotofobia
-
+++
-
+++
Eksudat
+/+++
-/+++
++
-
Sekresi
+
-
+
+
Etiologi
Bakteri/jamur/virus/a lergi
Bakteri/jamur/virus /alergi
Infeksi, bahan kimia, trauma, pajanan, radiasi, sindrom sjorgen, defisiensi vit.A, obat-obatan, reaksi hipersensitivitas, neurotropik
Reaksi imunologik lambat/dini
Tatalaksana
Obat sistemik/topikal sesuai etiologi
Obat sistemik/topikal sesuai etiologi
Obat sesuai etiologi
Steroid
Ilmu Penyakit Mata, Sidarta Ilyas, 2005
ULKUS KORNEA •
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea
•
ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.
•
Etiologi: Infeksi, bahan kimia, trauma, pajanan, radiasi, sindrom sjorgen, defisiensi vit.A, obatobatan, reaksi hipersensitivitas, neurotropik
•
Gejala Subjektif – – – – – – – – –
•
Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva Sekret mukopurulen Merasa ada benda asing di mata Pandangan kabur Mata berair Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus Silau Nyeri infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.
Gejala Objektif – – –
Injeksi siliar Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat Hipopion
ULKUS KORNEA • Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2: 1. Ulkus kornea sentral – Ulkus kornea bakterialis – Ulkus kornea fungi – Ulkus kornea virus – Ulkus kornea acanthamoeba 2.Ulkus kornea perifer – Ulkus marginal – Ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden) – Ulkus cincin (ring ulcer)
Penatalaksanaan : – harus segera ditangani oleh spesialis mata – Pengobatan tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, – sikloplegik – Mengurangi reaksi peradangan dengan steroid. – Berikan analgetik jika nyeri – Jangan menggosok-gosok mata yang meradang – Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan
Ulkus kornea Bakterial • Ulkus kornea pneumokokal – Streptokokus pneumonia – Muncul 24-48 jam setelah inokulasi pd kornea yg abrasi – Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea (serpinginous). – Ulkus bewarna kuning keabuabuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung. – Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia. – Efek merambat ulkus serpiginosa akut – Obat: mofifloxacin, gatifloxacin, cefazolin
•
Ulkus kornea stafilokokus – Ulkus sering indolen, mungkin disertai sedikit infiltrat dan hipopion – Ulkus seringkali superfisial – Obat: vankomisin
•
Ulkus kornea pseudomonas – Pseudomonas aeruginosa – Awalnya berupa infiltrat kelabu/ kuning di tempat yang retak – Terasa sangat nyeri – Menyebar cepat ke segala arah krn adanya enzim proteolitik dr organisme – Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna hijau kebiruan – Berhubungan dengan penggunaan soft lens – Obat: mofifloxacin, gatifloxacin, siprofloksasin, tobramisin, gentamisin
63. Keratitis/ulkus Fungal • Etiology – Aspergillus sp penyebab keratitis paling sering di dunia
• Gejala nyeri biasanya dirasakan diawal, namun lama-lama berkurang krn saraf kornea mulai rusak. • Paling sering pada laki – laki usia 21-60 tahun, • Pemeriksaan oftalmologi : – Grayish-white corneal infiltrate with a rough, dry texture and feathery borders; infiltrat berada di dalam lapisan stroma – Lesi satelit, hipopion, plak/presipitat endotelilal – Bisa juga ditemukan epitel yang intak atau sedikit meninggi di atas infiltrat stroma
Sumber: American Optometric Association. Fungal Keratitis. / Vaughan Oftalmologi Umum 1995.
Fungal Ulcer • Faktor Resiko : – Lokal • Trauma-kornea akibat terkena tumbuhan atau benda – benda organik 55-65 % • Lensa Kontak 29 % • Iatrogenic setelah bedah katarak, operasi refraksi, LASIK, penetrating keratoplasty • Penggunaan steroid topical 4-30%. Penggunaan steroid dapat mengaktivasi dan meningkatkan virulensi fungi • Kelainan pada permukaan kornea dry eye, bullous keratopathy, exposure keratitis, allergic conjunctivitis
– Sistemik • • • • •
Diabetes-5% Malnutrisi-1% Alcoholism – jarang HIV – jarang Pasien ICU yang menderita penyakit kronik atau dirawat lama
Typical clinical Feature Fungal Ulcer
Bacterial Ulcer • • •
• •
•
•
History of trauma to the cornea, contact lens wear Pain, redness, watering,decrease in vision Lid oedema (marked in gonococcal ulcer), purulent discharge in gonococcal ulcer and bluish green discharge in pseudomonas corneal ulcer Round or oval in shape involving central or para central part of the cornea. Rest of the cornea is clear. Hypopyon may or may not be present. In pneumococcal ulcer the advancing border will have active infiltrate with undermined edges and the trailing edge may show signs of healing. Most of the pneumococcal ulcers will show leveled hypopyon associated with Dacryocystitis. Pseudomonas ulcer will have short duration, marked stromal oedema adjacent to the ulcer with rapid progression. If untreated, will perforate within 2-3 days. Advanced ulcer may involve the sclera also. Ulcers caused by Moraxella and Nocardia are slowly progressive in immunocompromised hosts
• • •
•
• •
History of trauma with vegetable matter Suspect fungal ulcer if patient reports agriculture as main occupation. Pain and redness are similar to bacterial ulcer. But lid oedema is minimal even in severe cases unless patients have received native medicines or peri ocular injections. Early fungal ulcer may appear like a dendritic ulcer of herpes simplex virus. The feathery borders are pathognomonic clinical features. Satellite lesions, immune ring, and unlevelled hypopyon may aid in diagnosis. The surface is raised with greyish white creamy infiltrates, which may or may not appear dry. Ulcer due to pigmented fungi will appear as brown or dark; raised, dry, rough, leathery plaque on the surface of the cornea
WHO. Guidelines for the Management of Corneal Ulcer at Primary, Secondary & Tertiary Care health facilities in the South-East Asia Region. 2004
Management of Supurative Keratitis at the secondary level of eye care
Keratitis/ulkus kornea Jamur • Indolen, disertai infiltrat kelabu, sering dgn hipopion, peradangan nyata bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi satelit. • The most common pathogens are Fusarium and Aspergillus (filamentous fungi) in warmer climates and Candida (a yeast) in cooler climates. Tabel 1. Pengobatan Keratitis Fungal Organisme
Rute obat
Pilihan pertama
Pilihan kedua
Alternatif
Organisme mirip ragi = Candida sp
Topikal Subkonjungtiva Sistemik
Natamycin Natamycin Flycytosine
Amphotericin B Miconazole Ketoconazole
Nystatin -
Organisme mirip hifa = ulkus fungi
Topikal Subkonjungtiva Sistemik
Natamycin Amphotericin B Fluconazole
Amphotericin B Miconazole Ketoconazole
Miconazole -
Sources:
Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum Edisi 14. 1996.
Keratitis/ ulkus Fungal • Meskipun memiliki karakteristik, terkadang sulit membedakan keratitis fungal dengan bakteri. – Namun, infeksi jamur biasanya localized, dengan “button appearance” yaitu infiltrat stroma yang meluas dengan ulserasi epitel relatif kecil.
• Pd kondisi demikian sebaiknya diberikan terapi antibiotik sampai keratitis fungal ditegakkan (mis. dgn kultur, corneal tissue biopsy).
Stromal infiltrate
Ulkus kornea Jamur
Lesi satelit (panah merah) pada keratitis jamur Keratitis fungi bersifat indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion, peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit (umumnya infiltrat di tempat-tempat yang jauh dari daerah utama ulserasi). Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum Edisi 14. 1996.
Penatalaksanaan
64. GLAUKOMA KONGENITAL • 0,01% diantara 250.000 penderita glaukoma • 2/3 kasus pada Laki-laki dan 2/3 kasus terjadi bilateral • 50% manifestasi sejak lahir; 70% terdiagnosis dlm 6 bln pertama; 80% terdiagnosis dalam 1 tahun pertama • Klasifikasi menurut Schele: – Glaukoma infantum: tampak waktu lahir/ pd usia 1-3 thn – Glaukoma juvenilis: terjadi pada anak yang lebih besar Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
• Klasifikasi lainnya: – Glaukoma kongenital primer anomali perkembangan yang mempengaruhi trabecular meshwork. – Glaukoma kongenital sekunder: kelainan kongenital mata dan sistemik lainnya, kelainan sekunder akibat trauma, inflamasi, dan tumor.
Etiologi •
Barkan suggested incomplete resorption of mesodermal tissue led to formation of a membrane across the anterior chamber angle Barkan's membrane.
•
– The existence of such a membrane has not been proved by light or electron microscopy.
•
Maumenee & Anderson demonstrated abnormal anterior insertion (high insertion) of ciliary muscle over the scleral spur in eyes with infantile glaucoma. – Longitudinal and circular fibers of the ciliary muscles inserted directly onto the trabecular meshwork rather than the scleral spur and root of the iris inserts directly to trabecular meshwork. – due to a development arrest in the normal migration of anterior uvea across the meshwork in the third trimester of gestation.
•
Primary congenital glaucoma appears to result from developmental anomaly of the anterior segment structures derived from the embryonic neural crest cells causing outflow obstruction to aqueous by several mechanisms. Developmental arrest may result in anterior insertion of iris, direct insertion of the ciliary body onto the trabecular meshwork and poor structural development of the scleral spur.
R Krishnadas, R Ramakrishnan. Congenital Glaucoma-A Brief Review. Journal of Current Glaucoma Practice
Patogenesis Abnormalitas anatomi trabeluar meshwork penumpukan cairan aqueous humor peninggian tekanan intraokuler bisa terkompensasi krn jaringan mata anak masih lembek sehingga seluruh mata membesar (panjang bisa 32 mm, kornea bisa 16 mm buftalmos & megalokornea) kornea menipis sehingga kurvatura kornea berkurang Ketika mata tidak dapat lagi meregang bisa terjadi penggaungan dan atrofi papil saraf optik
Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
Gejala & Diagnosis • Tanda dini: fotofobia, epifora, dan blefarospasme • Terjadi pengeruhan kornea • Penambahan diameter kornea (megalokornea; diameter ≥ 13 mm) • Penambahan diameter bola mata (buphtalmos/ ox eye) • Peningkatan tekanan intraokuler
Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
• Diagnosis glaukoma kongenital tahap lanjut dengan mendapati: – Megalokornea – Robekan membran descement – Pengeruhan difus kornea
Megalocornea
Glaukoma kongenital, perhatikan adanya pengeruhan kornea dan buftalmos http://www.pediatricsconsultant360.com/content/buphthalmos
http://emedicine.medscape.com/article/1196299-overview
Penatalaksanaan • Penatalaksanaan Congenital glaucoma dititik beratkan pada pembedahan yang harus dilakukan sesegera mungkin. • Goniotomy dan trabeculotomy merupakan pilihan utama pembedahan yang dapat dilakukan pada kasus ini keduanya aman, dan komplikasi sangat rendah • Pembedahan lebih dipilih dibanding terapi medikamentosa karena masalah compliance, kurangnya informasi mengenai efek obat terhadap tubuh anak serta respon terapi yang buruk. • Trabeculoectomy : membuat fistula pada daerah limbus yang menghubungkan kamera okuli anterior dan ruangan subkonjungtiva; menembus trabecular meshwork, canal schlem dan duktus koletikus – Trabeculectomy merupakan pilihan bila goniotomies atau trabeculotomies gagal
• Glaucoma drainage implants, juga dapat menjadi pilihan terapi
Goniotomy • Goniotomi (memotong jaringan yg menutup trabekula atau memotong iris yg berinsersi pada trabekula) • Sangat aman bila dilakukan oleh ahli • Goniotomy dilakukan bila transparansi kornea baik dan sudut bilik mata depan dapat divisualisasi dengan baik
Trabeculotomy • Trabeculotomy adalah pembedahan untuk membuka sinus venosus sklera (canal schlem) mengalirkan aqueous humor • Trabeculotomy dilakukan bila kekeruhan kornea menghambat visualisasi sudut bilik mata depan • Faktor yang menurunkan angka keberhasilan trabeculotomy adalah glaukoma kongenital yang disertai dengan kelainan okular lainnya (Peters, Sturge-Weber, Aniridia, etc.) serta diamter kornea > 14 mm.
65. Blepharitis • Terdiri dari blefaritis anterior dan posterior • Blefaritis anterior: radang bilateral kronik di tepi palpebra – Blefaritis stafilokokus: sisik kering, palpebra merah, terdapat ulkus-ulkus kecil sepanjang tepi palpebra, bulu mata cenderung rontok antibiotik stafilokokus – Blefaritis seboroik: sisik berminyak, tidak terjadi ulserasi, tepi palpebra tidak begitu merah – Blefaritis tipe campuran
•
Tx blefaritis seboroik: perbaikan hygiene mata dengan cara: – kompres hangat untuk evakuasi dan melancarkan sekresi kelenjar – tepi palpebra dicuci + digosok perlahan dengan shampoo bayi untuk membersihkan skuama – pemberian salep antibiotik eritromisin (bisa digunakan kombinasi antibioti-KS)
•
Blefaritis posterior: peradangan palpebra akibat difungsi kelenjar meibom bersifat kronik dan bilateral • •
Kolonisasi stafilokokus Terdapat peradangan muara meibom, sumbatan muara oleh sekret kental
Blepharitis
Definisi
Gejala
Tatalaksana
Blefaritis superfisial
Infeksi kelopak superfisial yang diakibatkan Staphylococcus
Terdapat krusta dan bila menahun disertai dengan meibomianitis
Salep antibiotik (sulfasetamid dan sulfisoksazol), pengeluaran pus
Hordeolum
Peradangan supuratif kelenjar kelopak mata
Kelopak bengkak, sakit, rasa mengganjal, merah, nyeri bila ditekan
Kompres hangat, drainase nanah, antibiotik topikal
Blefaritis skuamosa/seboroik
Blefaritis diseratai skuama atau krusta pada pangkal bulu mata yang bila dikupas tidak terjadi luka pada kulit, berjalan bersamaan dengan dermatitis sebore
Etiologi: kelainan metabolik atau jamur. Gejala: panas, gatal, sisik halus dan penebalan margo palpebra disertai madarosis
Membersihkan tepi kelopak dengan sampo bayi, salep mata, dan topikal steroid
Meibomianitis (blefaritis posterior)
Infeksi pada kelenjar meibom
Tanda peradangan lokal pada kelenjar tersebut
Kompres hangat, penekanan dan pengeluaran pus, antibiotik topikal
Blefaritis Angularis
Infeksi Staphyllococcus pada tepi kelopak di sudut kelopak atau kantus
Gangguan pada fungsi pungtum lakrimal, rekuren, dapat menyumbat duktus lakrimal sehingga mengganggu fungsi lakrimalis
Dengan sulfa, tetrasiklin, sengsulfat
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
66. Perdarahan subkonjungtiva • Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rupturnya pembuluh darah dibawah lapisan konjungtiva yaitu pembuluh darah konjungtivalis atau episklera. • Dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma.
• Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati. • Pengobatan penyakit yang mendasari bila ada.
Subconjunctival hemorrhage • Subconjunctival hemorrhage (or subconjunctival haemorrhage) also known as hyposphagma, is bleeding underneath the conjunctiva. • A subconjunctival hemorrhage initially appears bright-red underneath the transparent conjunctiva. • Later, the hemorrhage may spread and become green or yellow, like a bruise. • In general a subconjunctival hemorrhage is a painless and harmless condition • however, it may be associated with high blood pressure, trauma to the eye, or a base of skull fracture if there is no posterior border of the hemorrhage visible.
Subconjunctival hemorrhage Causes
Management
• Eye trauma • Whooping cough or other extreme sneezing or coughing • Severe hypertension • Postoperative subconjunctival bleeding • Acute hemorrhagic conjunctivitis (picornavirus) • Leptospirosis • Increased venous pressure (straining, vomiting, choking, or coughing)
• Self-limiting that requires no treatment in the absence of infection or significant trauma. • Artificial tears may be applied four to six times a day. • Cold compress in the 1st hour may stop the bleeding
67. Contact Lens Related Eye Infection • Keratitis is the most serious complication of contact lens wear • Approximately 90% of MK in CL wearers is associated with bacterial infection • Symptomps – Blurry vision, unusual redness of the eye, pain in the eye, tearing or discharge from eye, fotofobia, foreign body sensation
• Risk Factor : – Extended wear lenses – Sleeping in your contact lenses – Reduced tear exchange under the lens – Enviromental factor poor hygiene
Microbacterial keratitis related contact lens wear • Etiology : – The most common bacterial pathogens associated with MK : Staphylococcus and Pseudomonas species more frequent in temperate climate regions. – Fungal keratitis is more frequent in tropical or sub-tropical climates. Fusaria are the most common fungal pathogen associated with CL related fungal keratitis. – Acanthamoeba keratitis seems to be a growing clinical problem in CL wearers, – viral keratitis is poor understood
Dyavaiah M, et.al Microbial Keratitis in Contact Lens Wearers. JSM Ophthalmol 3(3): 1036 (2015)
Bacterial keratitis
Fungal keratitis
Acanthamoba
Risk factor
- Sleeping with CLs among CL wearers - Patients with diabetes mellitus, dementia or chronic alcoholism appeared to be at higher risk - Trauma was rarely a factor
Possible risk factors of fungal keratitis are ocular injury, long-term therapy with topical or systemic steroids, immunosuppressive agents, and underlying diseases such as pre-existing corneal surface abnormality and wearing CLs
CL storage cases and poor hygiene practices such as usage of homemade saline rinsing solutions and rinsing of lenses with tap water Other risk factors include CL solution reuse/topping off, rub to clean lenses, shower wearing lenses, lens replaced (quarterly), age of case at replacement (<3 months), extended wear and lens material type
Clinical manifestation
The predominant clinical features reported in bacterial keratitis were eye pain and redness with a decrease in visual acuity and stromal infiltration
CL associated Fusarium keratitis include central lesions, paraxial lesions, and the peripheral lesions in the eye [31]. Patients with Candida infections were reported to have a severe visual outcome
Itching, redness, pain, burning sensation, ring infiltrate in corneal, multiple pseudodendritic lesions, loss of vision. Painless acantamoeba keratitis fotofobia but no ocular pain
Diagnosis
Microscopic observation of corneal scraping using stained smears is useful for diagnosis of bacterial keratitis.
CL associated Fusarium keratitis include central lesions, paraxial lesions, and the peripheral lesions in the eye [31]. Patients with Candida infections were reported to have a severe visual outcome
Corneal scraping and CL solution cyst and trophozoyte
Keratitis Acanthamoeba • Faktor Resiko – Sering terjadi pada orang yang memakai kontak lensa dan melakukan hal – hal sebagai berikut : • Menyimpan dan menggunakan lensa tidak higienis • Disinfeksi lensa yang tidak tepat (membersihkan lensa dengan air biasa) • Berenang, mandi air panas atau showering sambil menggunakan lensa kontak • Memiliki riwayat trauma pada kornea
• Terapi : – Klorhexidin 0,02% – Polyhexamethylen biguanide (PHMB 0,02%) – Amfoterisin B
http://sdhawan.com/ophthalmology/lens&cataract.pdf E-mail:
[email protected]
68. Cataract • Any opacity of the lens or loss of transparency of the lens that causes diminution or impairment of vision • Classification : based on etiological, morphological, stage of maturity • Etiological classification : Senile Traumatic (penetrating, concussion, infrared irradiation, electrocution) Metabolic (diabetes, hypoglicemia, galactosemia, galactokinase deficiency, hypocalcemia) Toxic (corticosteroids, chlorpromazine, miotics, gold, amiodarone) Complicated (anterior uveitis, hereditary retinal and vitreoretinal disorder, high myopia, intraocular neoplasia Maternal infections (rubella, toxoplasmosis, CMV) Maternal drug ingestion (thalidomide, corticosteroids) Presenile cataract (myotonic dystrophy, atopic dermatitis) Syndromes with cataract (down’s syndrome, werner’s syndrome, lowe’s syndrome) Hereditary Secondary cataract
• Morphological classification : Capsular Subcapsular Nuclear Cortical Lamellar Sutural • Chronological classification: Congenital (since birth) Infantile ( first year of life) Juvenile (1-13years) Presenile (13-35 years) Senile
• Sign & symptoms: – Near-sightedness (myopia shift) Early in the development of age-related cataract, the power of the lens may be increased – Reduce the perception of blue colorsgradual yellowing and opacification of the lens – Gradual vision loss – Almost always one eye is affected earlier than the other – Shadow test +
Klasifikasi morfologi katarak
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006
KATARAK-SENILIS •
• •
Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun Epidemiologi : 90% dari semua jenis katarak Etiologi :belum diketahui secara pasti multifaktorial: Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan pengaruh genetik Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi yang sangat kuat mempunyai efek buruk terhadap serabu-serabut lensa. Faktor imunologik Gangguan yang bersifat lokal pada lensa, seperti gangguan nutrisi, gangguan permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi cahaya matahari. Gangguan metabolisme umum
•
• • •
4 stadium: insipien, imatur (In some patients, at this stage, lens may become swollen due to continued hydration ‘intumescent cataract’), matur, hipermatur Gejala : distorsi penglihatan, penglihatan kabur/seperti berkabut/berasap, mata tenang Penyulit : Glaukoma, uveitis Tatalaksana : operasi (ICCE/ECCE)
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan Lokasi Katarak nuklear • •
•
•
kekeruhan terutama pada nukleus dibagian sentral lensa. Terjadi akibat sklerosis nuklear; nukleus cenderung menjadi gelap dan keras (sklerosis), berubah dari jernih menjadi kuning sampai coklat. Biasanya mulai timbul sekitar usia 6070 tahun dan progresivitasnya lambat. Pengerasan yang progresif dari nukleus lensa peningkatan indeks refraksi lensa terjadi perpindahan miopik (myopic shift), dikenal sbg miopia lentikularis.
•
•
• •
Akibat myiopic shift,individu dengan presbiopia dapat membaca tanpa kacamata (disebut penglihatan kedua/second sight). Menyebabkan gangguan yang lebih besar pada penglihatan jauh daripada penglihatan dekat Bisa terjadi pada pasien diabetes melitus dan miopia tinggi Bisa timbul diplopia monokular (akbibat perubahan mendadak indeks refraksi antara korteks dan nuklear) dan gangguan diskriminasi warna (terutama biru dan ungu, akibat kuningnya lensa)
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan Lokasi Katarak kortikal •
• • •
•
Kekeruhan pada korteks lensa ( bisa di daerah anterior, posterior dan equatorial korteks) Muncul pada usia 40-60 tahun dan progresivitasnya lambat. Terdapat wedge-shape opacities/cortical spokes atau gambaran seperti ruji. Efeknya terhadap fungsi penglihatan bervariasi, tergantung dari jarak kekeruhan terhadap aksial penglihatan Katarak kortikal umumnya tidak memberi gejala sampai tingkat progresifitas lanjut ketika jari-jari korteks membahayakan axis penglihatan (penglihatan dirasakan lebih baik pada cahaya terang ketika pupil miosis.)
• Gejala katarak kortikal adalah fotofobia dari sumber cahaya fokal yang terus-menerus dan diplopia monokular • Kekeruhan dimulai dari celah dan vakoula antara serabut lensa oleh karena hidrasi oleh korteks. • Disebabkan oleh berkurangnya protein total, asam amnio, dan kalium yang dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi natrium dan hidrasi lensa, diikuti oleh koagulasi protein.
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan Lokasi Katarak subkapsular posterior (katarak cupuliformis) •
• •
•
•
•
Terdapat pada korteks di dekat kapsul posterior bagian sentral dan biasanya di aksial. Biasanya mulai timbul sekitar usia 40-60 tahun dan progresivitasnya cepat. Sejak awal, menimbulkan gangguan penglihatan karena adanya keterlibatan sumbu penglihatan. Gejala yang timbul adalah fotofobia dan penurunan visus dibawah kondisi cahaya terang, akomodasi, atau miotikum. Penglihatan dirasakan lebih baik ketika pupil midriasis pada malam hari dengan cahaya yang suram (day blindness) Ketajaman penglihatan dekat menjadi lebih berkurang daripada penglihatan jauh.
• Kadang mengalami diplopia monokular. • Sering terlihat pada pasien yang lebih muda dibandingkan dengan pasien katarak nuklear / kortikal. • Sering ditemukan pada pasien DM, miopia tinggi dan retinitis pigmentosa, akibat trauma, penggunaan kortikosteroid sistemik atau topikal, inflamasi, dan paparan radiasi ion.
BEDAH KATARAK Lensa diangkat dari mata (ekstraksi lensa) dengan prosedur intrakapsular atau ekstrakapsular: •Ekstraksi Katarak Intrakapsular (EKIK) : Mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsulnya Tidak boleh dilakukan pada pasien usia <40thn, yang masih mempunyai ligamen hialoidea kapsular
•Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (EKEK): Dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dapat keluar melalui robekan tersebut Dilakukan pada pasien muda, dengan kelainan endotel, bersama-sama keratoplasti, implantasi lensa intraokuler posterior, perencanaan implastasi sekunder lensa intraokuler, kemungkinan akan dilakukan bedah glaukoma, mata dengan predisposisi terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya pasien mengalami ablasio retina, mata dengan makular edema, pasca bedah ablasi.
•Fakofragmentasi dan Fakoemulsifikasi : teknik ekstrakapsular menggunakan getaran ultrasonik untuk mengangkat nukleus dan korteks melalui insisi lumbus yang kecil Sidarta Ilyas, Ilmu Penyakit Mata
69.Presbiopia • Merupakan keadaan berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut • Penyebab: – Kelemahan otot akomodasi – Lensa mata tdk kenyal / berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa
• Diperlukan kacamata baca atau adisi : – – – – –
+ 1.0 D : 40 thn + 1.5 D : 45 thn + 2.0 D : 50 thn + 2.5 D : 55 thn + 3 .0 D : 60 thn
Sumber: Ilmu Penyakit Mata. Sidarta Ilyas. 2000.
Presbiopia Pemeriksaan dengan kartu Jaeger untuk melihat ketajaman penglihatan jarak dekat.
• Koreksi→ lensa positif untuk menambah kekuatan lensa yang berkurang sesuai usia • Kekuatan lensa yang biasa digunakan: + 1.0 D → usia 40 tahun + 1.5 D → usia 45 tahun + 2.0 D → usia 50 tahun + 2.5 D → usia 55 tahun + 3.0 D → usia 60 tahun
– The card is held 14 inches (356 mm) from the persons's eye for the test. A result of 14/20 means that the person can read at 14 inches what someone with normal vision can read at 20 inches.
http://www.ivo.gr/files/items/1/145/51044.jpg
70. Viral Conjunctivitis •
Etiology : Adenovirus (65-90% of cases) – produce 2 of the common clinical entities associated with viral conjunctivitis : 1. pharyngoconjunctival fever • Abrupt onset of high fever, pharyngitis, bilateral conjunctivitis and periauricular lymphnode enlargement 2. epidemic keratoconjunctivitis • More severe and presents with watery discharge, hyperemia, chemosis, and ipsilateral lymphadenopathy
•
•
•
•
Viral conjunctivitis secondary to adenoviruses highly contagious, and the risk of transmission 10% - 50% The virus spreads through direct contact via contaminated fingers, medical instruments, swimming pool water,or personal items Incubation and communicability are estimated to be 5 to 12 days and 10 to 14 days, respectively Treatment – artificial tears, topical antihistamines, or cold compresses alleviating some of the symptoms – Available antiviral medications are not useful and topical antibiotics are not indicated
Follicularis vs Papillaris Conjunctivitis Folicularis
Papillaris
• Seen ini variety condition: inflamation caused by viruses, atypical bacteria, toxin, topical medication (glaucoma medication brimonidine) • Follicle small, dome shaped nodules without prominent central vessels. Pale on its surface,red at base • Most prominent in the inferior palpebral and forniceal conjunctiva • Histology :
• Most commonly associated with an allergic immune response (AKC & VKC), response to foreign body (CL, prosthetic ocular) • Shows a cobblestone arrangement of flattened nodules with central vascular cores
– Lymphoid follicle is situated in the subepitelial region and consists of germinal center immature proliferating lymphocyte
– Papillae tarsal Giant papillary conjunctivitis – Limbal papillae horner trantas dots in VKC
• Closely packed, flat topped projections with numerous eosinophil, lymphocyte, plasma and mast cells. • More red in surface, pale at base
Konjungtivitis Virus Pathology
Etiology
Feature
Bacterial
staphylococci streptococci, gonocci Corynebacter ium strains
Acute onset of redness, grittiness, topical antibiotics burning sensation, usually bilateral Artificial tears eyelids difficult to open on waking, diffuse conjungtival injection, mucopurulent discharge, Papillae (+)
Viral
Adenovirus herpes simplex virus or varicellazoster virus
Unilateral watery eye, redness, discomfort, photophobia, eyelid edema & pre-auricular lymphadenopathy, follicular conjungtivitis, pseudomembrane (+/-)
http://www.cdc.gov/conjunctivitis/about/treatment.html
Treatment
Days 3-5 of → worst, clear up in 7–14 days without treatment Artificial tears →relieve dryness and inflammation (swelling) Antiviral →herpes simplex virus or varicella-zoster virus
Pathology
Etiology
Feature
Treatment
Fungal
Candida spp. can cause conjunctivitis Blastomyces dermatitidis Sporothrix schenckii
Not common, mostly occur in immunocompromised patient, after topical corticosteroid and antibacterial therapy to an inflamed eye
Topical antifungal
Vernal
Allergy
Chronic conjungtival bilateral inflammation, associated atopic family history, itching, photophobia, foreign body sensation, blepharospasm, cobblestone pappilae, Hornertrantas dots
Removal allergen Topical antihistamine Vasoconstrictors
Inclusion
Chlamydia trachomatis
several weeks/months of red, irritable eye with mucopurulent sticky discharge, acute or subacute onset, ocular irritation, foreign body sensation, watering, unilateral ,swollen lids,chemosis ,Follicles
Doxycycline 100 mg PO bid for 21 days OR Erythromycin 250 mg PO qid for 21 days Topical antibiotics
N EU R OLOGI
71. Cedera Medulla Spinalis • Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra. • Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.
PATOFISIOLOGI • Kompresi karena tulang, ligamen,herniasi diskus intervertebralis & hematom paling berat akibat kompresi tulang, trauma hiperekstensi corpus dislokasi ke posterior. • Regangan jaringan.biasanya terjadi pada hiperpleksi, toleransi medula spinalis terhadap regangan tergantung usia • Edema.timbul segera setelah trauma • Sirkulasi terganggu.
• 2 jam pasca cedera terjadi invasi sel-sel inflamasi dimulai oleh microglia dan leukosit polimorfonuklear. • 4 jam pasca cedera hampir separuh medula spinalis menjadi nekrotik. • 6 jam pasca cedera terjadi edema primer vaskogenik. • 48 jam terjadi edema dan nekrotik kros-sektional pada tempat cedera.
Manifestasi lesi traumatik • Komusio ,Kontusio,Laserasio,Perdarahan Kompresi, Hemiseksi ,Transeksi medula spinalis • Sindrom medula spinalis bagian anterior & posterior • Shok spinal • Aktivitas refleks yg meningkat
Transeksi medula spinalis akan terjadi masa Spinal Shok • Semua gerakan volunter dibawah lesi hilang secara mendadak • Semua sensibilitas bawah lesi hilang • Semua refleks hilang. • Berlangsung 3-6 mg
KLASIFIKASI ASIA (American Spinal Injury Association) dan IMSOP (International Medical Society of Paraplegia) pada tahun 1990 dan 1991. • Berdasarkan fungsi: • Berdasarkan tipe dan lokasi:
Berdasarkan fungsi: – Grade A – complete • tidak ada fungsi motorik atau sensorik sampai sefmen S4-S5
– Grade B – incomplete • tidak ada fungsi sensorik tapi fingsi motorik masik ada di bawah level cedera spinal sampai segmen S4-S5
– Grade C – incomplete • fungsi motorik masih ada dibawah level cedera spinal dan sebagian besar 10 otot ektrimitas dibawah level cedera spinal mempunyai kekuatan motorik <3
– Grade D – incomplete : • seperti grade C, tapi kekuatan motorik ≥3
– Grade E – normal • fungsi motorik dan sensorik normal
GEJALA KLINIK • Cervico-Medullary Syndrome – Respiratory arrest, hipotensi, tetraplegia. – C1 – C4 – ggn sensibilitas wajah, – Lengan lebih berat dari tungkai
• Central cord syndrome – Gangguan motorik pada ekstrimitas atas lebih berat dari tungkai dengan gangguan sensibilitas – sembuh spontan
Sacral sparing
GEJALA KLINIK • Anterior Cord Syndrome – Paralisis komplit yang mendadak dengan hiperestesia pada tingkat lesi, dibawah lesi ada rasa raba, merupakan kasus yang harus dintervensi operasi secara dini.
• Posterior cord syndrome – Jarang ada, kelemahan dr batas lesi kebawah Gangguan proprioseptik
GEJALA KLINIK • Brown-sequard syndrome – Gangguan motorik dan propioseptik sisi ipsilateral dan gangguan sensasi rasa suhu dan nyeri pada sisi kontralateral – Cedera hiperekstensi
• Conus Medullaris syndrome – Daerah T11-T12 dan T12-L1 24% dari kasus – Gangguan lower motor neuron, flaksid tungkai & sfingter ani, spastisitas(kronik).
PENATALAKSANAAN 1.Tentukan cedera medula spinalis akut? 2.Lakukan stabilisasi medula spinalis 3. Atasi gangguan fungsi vital yaitu airways, breathing 4.Perhatikan perdarahan dan sirkulasi, hipotensi, shok neurogenik 5.Medical: – methylprednisolon 30mg/kgBB iv bolus dalam 15 menit – dilanjutkan 5,4mg/kgBB/jam iv hingga 24 jam bila dosis inisial diberikan <3jam setelah trauma – Atau dilanjutkan hingga 48 jam bila dosis inisial diberikan 3-8jam post trauma – Di atas 8 jam tidak ada pengaruh pemberian steroid.
72. Migrain
Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
• Migren: nyeri kepala primer dengan kualitas vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan depresi • Penyebab Idiopatik (belum diketahui hingga saat ini) : • Gangguan neurobiologis • Perubahan sensitivitas sistem saraf • Avikasi sistem trigeminalvaskular • Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan skala 2:1.
Faktor Predisposisi • Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/ perubahan hormonal. • Puasa dan terlambat makan • Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buahbuahan. • Cahaya kilat atau berkelip • Banyak tidur atau kurang tidur • Faktor herediter • Faktor kepribadian
Kriteria Diagnosis Migrain
Alur Tatalaksana Migrain Akut
Gilmore B, Michael B. Treatment of Acute Migrain. AAFP Volume 83, Number 3 . 2011
Penatalaksanaan Migrain • Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi sensoris berlebihan. • Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan dikompres dingin Pengobatan Abortif : 1. Analgesik spesifik analgesik khusus untuk nyeri kepala. – – –
Lebih bermanfaat untuk kasus yang berat atau respon buruk dengan NSAID. Contoh: Ergotamin, Dihydroergotamin, dan golongan Triptan (agonis selektif reseptor serotonin / 5-HT1) Ergotamin dan DHE migren sedang sampai berat apabila analgesik non spesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping. Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah absorpsi ergotamin sebagai analgesik. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler serta gagal ginjal.
IDI. Panduan praktik klinis bagia dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Ed I.2013
2. Analgesik non-spesifik Yakni: analgesik yang dapat digunakan pada nyeri selain nyeri kepala Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual ringan atau hilang dalam 2 jam) • Aspirin 600-900 mg + metoclopramide • Asetaminofen 1000 mg • Ibuprofen 200-400 mg Terapi Profilaksis (The U.S. Headache Consortium’s) • Diberikan pada orang yang memiliki KI atau intoleransi terhadap terapiabortif • Nyeri kepala muncul lebih dari 2 hari/minggu • Nyeri kepala yang berat dan mempengaruhi kualitas hidup (walau telah diberi terapi abortif) • Gejala migrain jarang including hemiplegic migraine, basilar migraine, migraine with prolonged aura, or migrainous infarction • Terapi preventif jangka pendek pasien akan terkena faktor risiko yang telah dikenal dalam jangka waktu tertentu, misalnya migren menstrual. • Terapi preventif kronis diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung respon pasien.
Terapi Profilaksis
73. Parkinson • Parkinson: – Penyakit neuro degeneratif karena gangguan pada ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus palidus. – Gangguan kronik progresif: • Tremor resting tremor, mulai pd tangan, dapat meluas hingga bibir & slrh kepala • Rigidity cogwheel phenomenon, hipertonus • Akinesia/bradikinesia gerakan halus lambat dan sulit, muka topeng, bicara lambat, hipofonia • Postural Instability berjalan dengan langkah kecil, kepala dan badan doyong ke depan dan sukar berhenti atas kemauan sendiri
• Hemibalismus/sindrom balistik – Gerakan involunter ditandai secara khas oleh gerakan melempar dan menjangkau keluar yang kasar, terutama oleh otot-otot bahu dan pelvis. – Terjadi kontralateral terhadaplesi
• Chorea Huntington – Gangguan herediter autosomal dominan, onset pada usia pertengahan dan berjalan progresif sehingga menyebabkan kematian dalam waktu 10 ± 12 tahun
Parkinson Disease Gejala dan Tanda Parkinson Gejala awal tidak spesifik • Nyeri • Gangguan tidur •Ansietas dan depresi •Berpakaian menjadi lambat •Berjalan lambat
Gejala Spesifik • Tremor • Sulit untuk berbalik badan di kasur •Berjalan menyeret •Berbicara lebih lambat
Tanda Utama Parkinson : 1. Rigiditas : peningkatan tonus otot 2. Bradykinesia : berkurangnya gerakan spontan (kurangnya kedipan mata, ekspresi wajah berkurang, ayunan tangan saat berjalan berkurang ), gerakan tubuh menjadi lambat terutama untuk gerakan repetitif 3. Tremor : tremor saat istirahat biasanya ditemukan pada tungkai, rahang dan saat mata agak menutup 4. Gangguan berjalan dan postur tubuh yang membungkuk
Penatalaksanaan Parkinson •
Prinsip pengobatan parkinson adalah meningkatkan aktivitas dopaminergik di jalur nigrostriatal dengan memberikan : – Levodopa diubah menjadi dopamine di substansia nigra – Antagonis dopamine – Menghambat metabolisme dopamine oleh monoamine oxydase dan cathecolO-methyltransferase – Obat- obatan yang memodifikasi neurotransmiter di striatum seperti amantadine dan antikolinergik
Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology 4th edition. 2005
74. Demensia Vaskular • Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang menimbulkan gejala berpola demensia. • Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya dengan riwayat hipertensi dan 9 faktor resiko kardiovaskuler lainnya. • Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkhim multipel yang menyebar luas pada otak. • Pada pemeriksaan akan ditemukan bruit karotis, hasil funduskopi yang tidak normal atau pembesaran jantung. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Tatalaksana Demensia • Langkah pertama: verifikasi diagnosis. Diagnosis akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat diberikan. • Pada pasien dengan hipertensi perlu diperhatikan pilihan obat yang diberikan. Antagonis reseptor β-2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif. • Terapi pada demensia meliputi psikososial, farmakoterapi, terapi dengan menggunakan pendekatan lain, Behavioural And Psychological Symptoms Of Dementia (BPSD) Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia): • Nootropika: – Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg – Piracetam (Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg – Sabeluzole (Reminyl)
• Ca-antagonist: – – – – –
Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg) Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m. Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse Pantoyl-GABA
• Acetylcholinesterase inhibitors – Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik – Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari – Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg – Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg – Memantine 2 x 5 - 10 mg Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Farmakoterapi BPSD • •
Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg Antipsikotika atipik: – – – – –
•
Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75 Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg Abilify 1 x 10 - 15 mg
Anxiolitika – Clobazam 1 x 10 mg – Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg – Bromazepam 1,5 mg - 6 mg o Buspirone HCI 10 - 30 mg – Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg – Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
•
Antidepresiva o Amitriptyline 25 - 50 mg o Tofranil 25 - 30 mg o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras) o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1 x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg. o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2) • Mood stabilizers o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg o Topamate 1 x 50 mg o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
75. Carpal Tunnel Syndrome
76. Afasia • Kelainan yang terjadi karena kerusakan dari bagian otak yang mengurus bahasa. • yaitu kehilangan kemampuan untuk membentuk kata-kata atau kehilangan kemampuan untuk menangkap arti kata-kata sehingga pembicaraan tidak dapat berlangsung dengan baik.
• Afasia menimbulkan problem dalam bahasa lisan (bicara dan pengertian) dan bahasa tulisan (membaca dan menulis). Biasanya membaca dan menulis lebih terganggu dari pada bicara dan pengertian. • Afasia bisa ringan atau berat. Beratnya gangguan tergantung besar dan lokasi kerusakan di otak.
Pembagian Afasia : 1. Afasia Motorik (Broca) 2. Afasia Sensorik (Wernicke) 3. Afasia Global
Afasia Motorik : - Terjadi karena rusaknya area Broca di gyrus frontalis inferior. - Mengerti isi pembicaraan, namun tidak bisa menjawab atau mengemukakan pendapat - Disebut juga Afasia Expressif atau Afasia Broca - Bisa mengeluarkan 1 – 2 kata(nonfluent)
Afasia Sensorik - Terjadi karena rusaknya area Wernicke di girus temporal superior. - Tidak mengerti isi pembicaraan, tapi bisa mengeluarkan kata-kata(fluent) - Disebut juga Afasia reseptif atau Afasia Wernicke
• Afasia Global - Mengenai area Broca dan Wernicke - Tidak mengerti dan tida bisa mengeluarkan kata kata
• Afasia transkortikal, disebabkan lesi di sekitar pinggiran area pengaturan bahasa. • Terdiri dari: afasia transkortikal motorik, afasia transkortikal sensorik, dan afasia transkortikal campuran. • Ketiga tipe afasia memiliki jenis gangguan sesuai dengan penamaannya namun penderita mampu mengulangi kata/ kalimat lawan biacaranya.
Summary of Aphasias Type of Aphasia
Spontaneous speech
Paraphasias
Comprehension
Repetition
Naming
Broca’s
Nonfluent
-
Good
Poor
Poor
Global
Nonfluent
-
Poor
Poor
Poor
Transcortical motor
Nonfluent
-
Good
Good
Poor
Wernicke’s Aphasia
Fluent
+
Poor
Poor
Poor
Transcortical sensory
Fluent
+
Poor
Good
Poor
Conduction
Fluent
+
Good
Poor
Poor
Anomic
Fluent
+
Good
Good
Poor
28/02/2006
77. Radikulopati • Radikulopati adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan gangguan fungsi dan struktur radiks akibat proses patologik yang dapat mengenai satu atau lebih radiks saraf dengan pola gangguan bersifat dermatomal. • Etiologi – Proses kompresif, Kelainan-kelainan yang bersifat kompresif sehingga mengakibatkan radikulopati adalah seperti : hernia nucleus pulposus (HNP) atau herniasi diskus, tumor medulla spinalis, neoplasma tulang, spondilolisis dan spondilolithesis, stenosis spinal, traumatic dislokasi, kompresif fraktur, scoliosis dan spondilitis tuberkulosa, cervical spondilosis – Proses inflammatori, Kelainan-kelainan inflamatori sehingga mengakibatkan radikulopati adalah seperti: Gullain-Barre Syndrome dan Herpes Zoster – Proses degeneratif, Kelainan-kelainan yang bersifat degeneratif sehingga mengakibatkan radikulopati adalah seperti Diabetes Mellitus
Tipe-tipe Radikulopati •
•
•
Radikulopati lumbar – Radikulopati lumbar merupakan problema yang sering terjadi yang disebabkan oleh iritasi atau kompresi radiks saraf daerah lumbal. – sering disebut sciatica. – Gejala jarang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa sebab seperti bulging diskus (disk bulges), spinal stenosis, deformitas vertebra atau herniasi nukleus pulposus. Radikulopati dengan keluhan nyeri pinggang bawah sering didapatkan (low back pain) Radikulopati cervical – Radikulopati cervical umunya dikenal dengan “pinched nerve” atau saraf terjepit merupakan kompresi pada satu atau lebih radix saraf uang halus pada leher – Gejala pada radikulopati cervical seringnya disebabkan oleh spondilosis cervical. Radikulopati torakal – Radikulopati torakal merupakan bentuk yang relative jarang dari kompresi saraf pada punggung tengah. Daerah ini tidak didesain untuk membengkok sebanyak lumbal atau cervical. Hal ini menyebabkan area thoraks lebih jarang menyebabkan sakit pada spinal. Namun, kasus yang sering yang ditemukan pada bagian ini adalah nyeri pada infeksi herpes zoster.
Lhermitte’s Test (or Phenomenon) • Sensasi seperti tersengat listrik yang menjalar ke secara radikuler menuju ke arah bawah sepanjang medula spinalis atau dapat pula menjalar ke arah ekstrimitas yang muncul saat dilakukan fleksi pada leher (Lhermitte sign +). • Hasil positif : – pasien dengan keterlibatan cervical cord – spondilitis servikal – tumor – multiple sklerosis.
Radikulopati Servikal • Ciri khas radikulopati servikal • rasa nyeri radikuler pada leher dan bahu yang menyebar ke lengan • bertambah pada perubahan posisi leher • dapat diikuti terbatasnya gerakan leher dan rasa sakit pada penekanan tulang dan kadangkadang disertai parestesi pada lengan.
• Namun seringkali pula gejala nyeri radikuler tersebut tidak terlokalisasi baik sesuai dermatomal. • Hal ini dikarenakan adanya tumpang tindih daerah persarafan .
78. Neuralgia Trigeminal
79. HNP • HNP (Hernia Nukleus Pulposus) yaitu : keluarnya nucleus pulposus dari discus melalui robekan annulus fibrosus keluar ke belakang/dorsal menekan medulla spinalis atau mengarah ke dorsolateral menakan saraf spinalis sehingga menimbulkan gangguan.
Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
Gejala Klinis • Adanya nyeri di pinggang bagian bawah yang menjalar ke bawah (mulai dari bokong, paha bagian belakang, tungkai bawah bagian atas). Dikarenakan mengikuti jalannya N. Ischiadicus yang mempersarafi kaki bagian belakang. 1. 2. 3.
4.
Nyeri mulai dari pantat, menjalar kebagian belakang lutut, kemudian ke tungkai bawah. (sifat nyeri radikuler). Nyeri semakin hebat bila penderita mengejan, batuk, mengangkat barang berat. Nyeri bertambah bila ditekan antara daerah disebelah L5 – S1 (garis antara dua krista iliaka). Nyeri Spontan, sifat nyeri adalah khas, yaitu dari posisi berbaring ke duduk nyeri bertambah hebat. Sedangkan bila berbaring nyeri berkurang atauhilang.
Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
Pemeriksaan • Motoris – –
•
Gaya jalan yang khas, membungkuk dan miring ke sisi tungkai yang nyeri dengan fleksi di sendi panggul dan lutut, serta kaki yang berjingkat. Motilitas tulang belakang lumbal yang terbatas.
Sensoris – –
Lipatan bokong sisi yang sakit lebih rendah dari sisi yang sehat. Skoliosis dengan konkavitas ke sisi tungkai yang nyeri, sifat sementara.
Tes-tes Khusus 1. Tes Laseque (Straight Leg Raising Test = SLRT) – Tungkai penderita diangkat secara perlahan tanpa fleksi di lutut sampai sudut 90°.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tes Bragard: Modifikasi yang lebih sensitif dari tes laseque. Caranya sama seperti tes laseque dengan ditambah dorsofleksi kaki. Tes Sicard: Sama seperti tes laseque, namun ditambah dorsofleksi ibu jari kaki. Gangguan sensibilitas, pada bagian lateral jari ke 5 (S1), atau bagian medial dari ibu jari kaki (L5). Gangguan motoris, penderita tidak dapat dorsofleksi, terutama ibu jari kaki (L5), atau plantarfleksi (S1). Tes dorsofleksi : penderita jalan diatas tumit Tes plantarfleksi : penderita jalan diatas jari kaki Kadang-kadang terdapat gangguan autonom, yaitu retensi urine, merupakan indikasi untuk segera operasi. Kadang-kadang terdapat anestesia di perineum, juga merupakan indikasi untuk operasi.
Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/arti cles/PMC2647081/
• Terdapat banyak sekali Pemeriksaan fisik untuk mengetahui adanya radikulopati pada lumbal • Pemeriksaan ini memiliki nama yang berbeda-beda, dengan sinonim yang berbeda-beda, dan dapat memiliki nama yang mirip namun artinya berbeda • Hal ini akan menyebabkan kebingungan
Straight leg raise test • The knee is extended and the hip is flexed until a complaint of pain or tightness is reached. • The leg is then carefully returned to the table and the contralateral leg is tested in a similar fashion • A positive test is demonstrated when reproduction of symptoms radiating down the leg is produced at 30-70° of leg elevation • Sensitivity of 91% and specificity of 26% • If pain radiates below the knee, L4-S1 nerve root impingement has been identified
• Reproduction of symptoms in the opposite leg being tested is termed crossed straight leg and indicates a large central lumbar disc herniation • Sensitivity of 28%-29% and a specificity of 88%-90% for nerve root impingement
• Menurut Deyo dan Rainville, untuk pasien dengan keluhan Nyeri Pinggang Bawah dan nyeri yang dijalarkan ke tungkai, pemeriksaan awal cukup meliputi: – Tes laseque – Tes kekuatan dorsofleksi pergelangan kaki dan ibu jari kaki. Kelemahan menunjukkan gangguan akar saraf L4-5 – Tes refleks tendon achilles untuk menilai radiks saraf S1 – Tes sensorik kaki sisi medial (L4), dorsal (L5) dan lateral (S1) – Tes laseque silang merupakan tanda yang spesifik untuk HNP • Bila tes ini positif, berarti ada HNP, namun bila negatif tidak berarti tidak ada HNP.
– Pemeriksaan yang singkat ini cukup untuk menjaring HNP L4-S1 yang mencakup 90% kejadian HNP • Namun pemeriksaan ini tidak cukup untuk menjaring HNP yang jarang di L2-3 dan L3-4 yang secara klinis sulit didiagnosis hanya dengan pemeriksaan fisik saja.
– Tes Konfirmasi untuk SLR adalah test Bragard http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2647081/
Lasegue’s Test (Straight Leg Raising Test) • Prosdur: pasien supine. Fleksikan sendi pinggul pasien dengan lutut tertekuk. Jaga pinggul tetap dalam keadaan fleksi, kemudian ekstensikan tungkai bawah. • Tes positif: radikulopati sciatik (+), jika: – Nyeri tidak ada pada kondisi pinggul dan lutut fleksi. – Nyeri muncul saat pinggul fleksi, dan kemudian lutut diekstensikan.
Straight Leg Raising Test
http://www.healingartscenter.info/wp-content/uploads/2010/01
Bragard’s Test • Prosedur: pasien supine. Kaki pasien lurus kemudian elevasi hingga titik dimana rasa nyeri dirasakan. Turunkan 5o dan dorsofleksi kaki. • Positive Test: nyeri akibat traksi nervus sciatik. – Nyeri dengan dorsiflexion 0° to 35° – extradural sciatic nerve irritation. – Nyeri dengan dorsiflexion from 35° – 70° – intradural problem (usually IVD lesion). – Nyeri tumpul paha posterior tight hamstring.
Sicard's Sign • If the SLR is positive, lower the leg to just below the point of pain and quickly dorsiflex the great toe
• Patrick Test (FABER) and contra-patrick test – Deteksi kondisi patologis dari sendi paggul dan sakroiliaka. – Pemeriksaan (+) jika terasa nyeri pada salah satu atau kedua sendi tersebut.
Patrick Test
Contra-patrick Test
Pemeriksaan Penunjang • Radiologi – Foto X-ray tulang belakang. Pada penyakit diskus, foto ini normal atau memperlihatkan perubahan degeneratif dengan penyempitan sela invertebrata dan pembentukan osteofit. – Myelogram mungkin disarankan untuk menjelaskan ukuran dan lokasi dari hernia. Bila operasi dipertimbangkan maka myelogram dilakukan untuk menentukan tingkat protrusi diskus. – CT scan untuk melihat lokasi HNP – Diagnosis ditegakan dengan MRI setinggi radiks yang dicurigai.
• EMG – Untuk membedakan kompresi radiks dari neuropati perifer
Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
Tatalaksana • Medikamentosa: anti nyeri NSAID/ opioid, muscle relaxant, transquilizer. • Fisioterapi – Tirah baring (bed rest) 3 – 6 minggu dan maksud bila anulus fibrosis masih utuh (intact), sel bisa kembali ke tempat semula. – Simptomatis dengan menggunakan analgetika, muscle relaxan trankuilizer. – Kompres panas pada daerah nyeri atau sakit untuk meringankan nyeri. – Bila setelah tirah baring masih nyeri, atau bila didapatkan kelainan neurologis, indikasi operasi. – Bila tidak ada kelainan neurologis, kerjakan fisioterapi, jangan mengangkat benda berat, tidur dengan alas keras atau landasan papan. – Fleksi lumbal – Pemakaian korset lumbal untuk mencegah gerakan lumbal yang berlebihan. – Jika gejala sembuh, aktifitas perlahan-lahan bertambah setelah beberapa hari atau lebih dan pasien diobati sebagai kasus ringan.
• Operasi
Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
80. Stroke
Klasifikasi Stroke Non Haemoragik menurut Padila (2012) • Transient Ischemic Attack (TIA) • defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otaksepintas dan menghilang lagi tanpa sisa dengan cepat dalam waktu tidak lebihdari 24 jam.
• Reversible Iscemic Neurological Deficit (RIND) • defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak berlangsung lebih dair 24 jam dan menghilang tanpa sisa dalam waktu 72 jam.
• Stroke in Evolution (Progressing Stroke) • deficit neurologik fokal akut karena gangguan peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan mencapai maksimal dalam beberapa jam hingga beberapa hari4.
• Stroke in ResolutionStroke in resolution: • deficit neurologik fokal akut karena gangguan peredaran darah otak yang memperlihatkan perbaikan dan mencapai maksimal dalam beberapa jam sampai bebrapa hari.
• Completed Stroke (infark serebri): • defisit neurologi fokal akut karena oklusi atau gangguan peredaran darah otak yang secara cepat menjadi stabil tanpamemburuk lagi
SUBTIPE STROKE ISKEMIK Stroke Lakunar • Terjadi karena penyakit pembuluh halus hipersensitif dan menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam atau kadangkadang lebih lama. Infark lakunar merupakan infark yang terjadi setelah oklusi aterotrombotik atau hialin lipid salah satu dari cabang-cabang penetrans sirkulus Willisi, arteria serebri media, atau arteri vertebralis dan basilaris. Trombosis yang terjadi di dalam pembuluh-pembuluh ini menyebabkan daerah-daerah infark yang kecil, lunak, dan disebut lacuna. • Gejala-gejala yang mungkin sangat berat, bergantung pada kedalaman pembuluh yang terkena menembus jaringan sebelum mengalami trombosis. Terdapat empat sindrom lakunar yang sering dijumpai : – – – –
Hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula interna posterior Hemiparesis motorik murni akibat infark pars anterior kapsula interna Stroke sensorik murni akibat infark thalamus Hemiparesis ataksik atau disartria serta gerakan tangan atau lengan yang canggung akibat infark pons basal
SUBTIPE STROKE ISKEMIK Stroke Trombotik Pembuluh Besar • Sebagian besar dari stroke ini terjadi saat tidur, saat pasien relative mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Gejala dan tanda akibat stroke iskemik ini bergantung pada lokasi sumbatan dan tingkat aliran kolateral di jaringan yang terkena. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik. • Hipertensi non simptomatik pada pasien berusia lanjut harus diterapi secara hatihati dan cermat, karena penurunan mendadak tekanan darah dapat memicu stroke atau iskemia arteri koronaria atau keduanya. Stroke Embolik • Asal stroke embolik dapat dari suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan deficit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki risiko besar menderita stroke hemoragik di kemudian hari. Stroke Kriptogenik • Biasanya berupa oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas walaupun telah dilakukan pemeriksaan diagnostic dan evaluasi klinis yang ekstensif.
81. Abses Serebri • Infeksi supuratif fokal di dalam parenkim otak, diliputi oleh kapsul bervaskular • Faktor Predisposisi : – – – – –
Otiti media dan mastoiditis Sinusitis paranasal Infeksi pyogenik di torax atau bagian tubuh lainnya Trauma tembus kepala atau prosedur neurosurgery Infeksi dental
• Etiologi : – Immunocompetent : Streptococcus spp. [anaerobic, aerobic, and viridans (40%)], Enterobacteriaceae [Proteus spp., E. coli sp., Klebsiella spp. (25%)], anaerobes [e.g., Bacteroides spp., Fusobacterium spp. (30%)], and staphylococci (10%). – Immunocompromised : HIV infection, organ transplantation, cancer, or immunosuppressive therapy Nocardia spp., Toxoplasma gondii, Aspergillus spp., Candida spp., and C. neoforma
• Manifestasi klinis abses serebri bergantung dari lokasi abses, lokasi fokus primer dan tingginya tekanan intrakranial • Trias Klasik : – Nyeri kepala : konstan, tumpul di sebelah atau seluruh kepala, makin lama makin memberat – Demam muncul pada 50% pasien – Defisit neurologis fokal hemiparesis, aphasia, gangguan lapang pandang, kejang
Lokasi
Tanda dan Gejala
Lobus frontalis
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kulit kepala lunak/lembut Nyeri kepala yang terlokalisir di frontal Letargi, apatis, disorientasi Hemiparesis /paralisis Kontralateral Demam tinggi Kejang
Lobus temporal
1. 2. 3. 4. 5.
Dispagia Gangguan lapang pandang Distonia Paralisis saraf III dan IV Paralisis fasial kontralateral
cerebellum
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Ataxia ipsilateral Nystagmus Dystonia Kaku kuduk positif Nyeri kepala pada suboccipital Disfungsi saraf III, IV, V, VI.
Sumber Infeksi Sinus paranasal
Infeksi pada tengah
telinga
82. Meningitis TB • Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak. • Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB). • Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis.
Patologi •
•
•
•
•
Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi otak. Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat gelatinous. Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear (PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang fibrin. Selain itu peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark serebral karena iskemia. Gangguan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan hidrosefalus obstruktif (karena eksudat yang menyumbat akuaduktus spinalis atau foramen luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada parenkim otak yang akan semakin menyumbat. Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus merupakan karakteristik dari menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB.
Gejala klinis meningitis TB dibagi 3 stadium: Stadium I : Stadium awal (2-3 minggu) • Gejala prodromal non spesifik : apatis, iritabilitas, nyeri kepala, malaise, demam, anoreksia Stadium II : Intermediate (transisi 1-3 minggu) • Gejala menjadi lebih jelas: mengantuk, kejang • Defisit neurologik fokal : hemiparesis, paresis saraf kranial(terutama N.III dan N.VII, gerakan involunter • Hidrosefalus, papil edema Stadium III : Advanced (± 3 minggu setelah gejala awal) • Penurunan kesadaran • Disfungsi batang otak, dekortikasi, deserebrasi
Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara :8 1. Anamnese: ditegakkan berdasarkan gejala klinis, riwayat kontak dengan penderita TB 2. Lumbal pungsi: • Gambaran LCS pada meningitis TB : Warna jernih / xantokrom, jumlah Sel meningkat MN > PMN, Limfositer, protein meningkat, glukosa menurun <50 % kadar glukosa darah. • Pemeriksaan tambahan lainnya : Tes Tuberkulin, Ziehl-Neelsen ( ZN ), PCR 3. Rontgen thorax: TB apex paru, TB milier 4. CT scan otak • Penyengatan kontras ( enhancement ) di sisterna basalis • Tuberkuloma : massa nodular, massa ring-enhanced • Komplikasi : hidrosefalus 5. MRI Diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi Latex. Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan M. tb dalam kultur CSS. Namun pemeriksaan kultur CSS ini membutuhkan waktu yang lama dan memberikan hasil positif hanya pada kira-kira setengah dari penderita
• Regimen terapi: 2RHZE / 7-10RH • Indikasi Steroid : Kesadaran menurun, defisit neurologist fokal • Dosis steroid : Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena selama 2 minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.
CSF Finding in Meningitis
Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of Meningitis. Am Fam Physician. 2010;82(12):1491-1498
83. Subarachnoid Hematom • Perdarahan fokal di daerah subarahnoid. CT scan terdpt lesi hiperdens yg mengikuti arah girus-girus serebri daerah yg berdktan dg hematom. • Gejala klinik = kontusio serebri. • Penatalaksanaan : perawatan dengan medikamentosa dan tidak dilakukan operasi
PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006
HEMATOM EPIDURAL
HEMATOM SUBDURAL
• Lucid interval • Kesadaran makin menurun • Late hemiparesis kontralateral lesi • Pupil anisokor • Babinsky (+) kontralateral lesi • Fraktur daerah temporal * akibat pecah a. meningea media
• SDH akut : kurang dari 72 jam • SDH subakut : 3-21 hr pasca trauma. • SDH khronis : > 21 hari. • Gejala: sakit kepala disertai /tidak disertai penurunan kesadaran * akibat robekan bridging vein
HEMATOM SUBARAKHNOID • Kaku kuduk • Nyeri kepala • Bisa didapati gangguan kesadaran • Akibat pecah aneurisme berry
Aneurysm
3/14/2017© 2009, American Heart Association. All rights reserved.
CT Scan non-contrast showing blood in basal cisterns (SAH) – so called “Star-Sign”
CT Scan courtesy: University of Texas Health Science Center at San Antonio, Department of Neurosurgery 3/14/2017© 2009, American Heart Association. All rights reserved.
84. Neuropati Diabetikum • Neuropati diabetikum merupakan komplikasi yang paling sering pada diabetes mellitus (DM), sekitar 50% dari pasien dengan DM tipe 1 dan tipe 2. • Neuropati diabetika perifer meliputi gejala atau tanda- tanda disfungsi pada saraf perifer pada penderita diabetes mellitus setelah penyebablainnya disingkirkan. • Neuropati perifer simetrik yang mengenai systemsaraf motorik serta sensorik ekstremitas bawah yang disebabkan oleh jejas sel Schwann, degenerasi myelin, dan kerusakan akson saraf. • Neuropati otonom dapat menimbulkan impotensi seksual yang bersifat fokal (mononeuropati diabetik) paling besar kemungkinannya disebabkan olehmakroangiopati
Epidemiologi • Sebuah studi besar di Amerika memperkirakan bahwa 47% pasiendengan diabetes terkena neuropati perifer. • Sekitar 7,5% pada pasienyang awal didiagnosis diabetes telah terkena neuropati. • Lebih dari setengah kasus adalah polineuropati distal simetris. • Sindrom focal seperti carpaltunnel syndrome (14-30%), radiculopati/ plexopati, dan neuropati cranial sisanya. • Mononeuropati adalah kondisi medis yang ditandai dengan kehilangan fungsi, seperti pergerakan atau sensasi yang disebabkan karena kerusakan saraf tunggal atau sekelompok saraf yang mempersarafi daerah tersebut, mis: CTS. • Polineuropati adalah kelainan fungsi yang berkesinambungan pada beberapa saraf perifer di seluruh tubuh.
Faktor Resiko • • • • • •
Hiperglikemia Kerusakan pembuluh darah Dislipidemia Hipertensi Penyakit kardiovaskular Gaya hidup
590
Klasifikasi Diabetic Neuropathy • Peripheral simetric distal polyneuropathy (sensoric >> motoric) • Autonomic neuropathy
• Asymetric Mononeuropathy/ Mononeuropathy (motoric >> sensoric)
592
593
Symmetric Polyneuropathy • Bentuk paling lazim dari diabetic neuropathy • Mengenai ekstremitas bawah distal dan tangan (“stocking-glove” sensory loss) • Gejala/tanda – Nyeri, rasa terbakar pada feet, leg, hand, arm – Numbness – Tingling – Paresthesia
594
Autonomic neuropathy • Mengenai saraf otonom yang mengendalikan organ internal – Genitouri kontrol kandung kemih (43-87% DM1, 25% DM-2)) erectile dysfunction (35-90%) – Gastrointestinal Kesulitan menelan (50%) Konstipasi GET turun (40%) Diare – Kardiovaskular (50%) HR cepat-tidak teratur Hipertensi orthosatik - Disfungsi sudomotor - kulit kaki kering - Gagal merespons - hipoglikemia 595
Mononeuropathy • Peripheral mononeuropathy – Saraf tunggal rusak karena kompresi atau iskemia – Terjadi pada wrist (carpal tunnel syndrome), elbow, atau foot (unilateral foot drop)
– Gejala • numbness • edema • nyeri • prickling 596
Mononeuropathy, lanjut. • Cranial mononeuropathy – Mempengaruhi saraf III, IV dan VI yang menghubungkan otak dan kontrol penglihatan, pergerakan mata, pendengaran, dan rasa – Gejala dan tanda-tanda • Nyeri unilateral dekat mata yang kena • Paralisis otot mata • Penglihatan ganda
597
598
599
Tatalaksana • Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati diabetik dibagi menjadi tiga bagian: 1. Diagnosis neuropati diabetik sedini mungkin. 2. Kendali glukosa darah 3. Perawatan kaki sebaik- baiknya. Strategi perawatan kaki dilakukan setelah pengendalian glukosa darah.
Prinsip Terapi Nyeri Neuropatik • Nyeri neuropatik merupakan akibat dari fungsi abnormal sistem saraf. • Abnormalitas fungsi sistem saraf perifer, sentral, maupun simpatis dapat menyebabkan munculnya nyeri neuropatik.
Langkah-langkah Terapi Nyeri Neuropatik Tahap I • Nilai nyeri & tegakkan diagnosis. • Tetapkan & obati penyebab • Identifikasi kemungkinan eksaserbasi komorbid akibat pemberian terapi • Jelaskan diagnosa, rencana terapi & ekspektasi yang realistis. Tahap II • Mulai terapi kausatif (jika memungkinkan) • Mulai terapi simtomatik, dengan 1 atau lebih terapi berikut: – TCA sekunder (nortriptilin, desipramin) atau SSNRI (duloksetin) /selektif serotonin norandrenaline reuptake inhibitor – Ca++ channel α2δ ligand (Gabapentin, Pregabalin) – lidokain topikal, dengan/tanpa terapi lini pertama lainnya untuk nyeri neuropatik perifer lokal – opioid atau tramadol, dengan/tanpa terapi lini pertama lain pada nyeri neuropatik akut, kanker, eksaserbasi episodik nyeri berat
•
Evaluasi kemungkinan terapi non-farmakologis
Tahap III • Nilai kembali nyeri dan kualitas hidup terkait nyeri secara frekuen • Jika perbaikan nyeri terjadi substansial (rerata penurunan nyeri ≤ 3/10) dan efek samping dapat ditolerir, teruskan terapi • Perbaikan nyeri parsial (rerata perbaikan nyeri ≥ 4/10) setelah pemberian satu jenis obat adekuat, tambahkan salah satu dari obat lini pertama (lihat tabel) • Jika tidak ada respon terapi setelah pemberian dosis adekuat, ganti dengan obat lini pertama alternatif
Tahap IV • Bila terapi lini pertama gagal, meski dengan kombinasi atau penambahan dengan obat alternatif, rujuk ke spesialis
Pilihan Terapi Farmakologis
ILM U PSIK IATR I
85. GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL
Gejala Ekstrapiramidal Karakteristik
Akathisia
Gelisah dan merasa perlu bergerak terus. Menggerakkan kaki mengetuk lantai (foot tapping atau toe tapping). Gejala ini berkurang saat tidur atau pada posisi berbaring. Pasien merasa tertekan bila tidak dapat bergerak.
Dystonia
Kelainan neurologis dimana terdapat kontraksi otot yang terus-menurus sehingga mengakibatkan gerakan repetitif dan twisting atau postur yang abnormal. Dapat melibatkan punggung, leher, ekstremitas atas dan bawah, rahang, dan laring. Bisa terjadi kesulitan menelan, bernapas, bicara, dan menggerakkan leher. Oculogyric crisisDeviasi keatas bola mata yang ekstrim disertai dengan konvergen, menyebabkan diplopia. Berkaitan dengan fleksi posterolateral dari leher dan dengan mulut terbuka atau rahang terkunci.
Parkinsonism
Tremor, rigiditas, dan kelambatan bergerak, yang melibatkan batang tubuh dan ekstremitas. Kesulitan berdiri dari posisi duduk, postur tidak seimbang, muka topeng.
Tardive dyskinesia
Gerakan koreatetoid abnormal yang melibatkan regio orofasial dan lidah. Lebih jarang mengenai ekstremitas dan batang tubuh. Ada gerakan mulut mencucu, gerakan mengunyah, dan lidah menjulur. Gejala tidak menimbulkan nyeri, namun menyebabkan penderitanya malu di depan umum. http://www.uspharmacist.com/content/c/10205/?t=women%27s_health,neurology
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal • Yang terpenting adalah Pencegahan – Setiap pasien yang menerima antipsikotik harus dievaluasi dan dimonitor terhadap munculnya gejala ekstrapiramidal.
• Obat yang mencetuskan gejala ekstrapiramidal harus dikurangi dosisnya atau distop, dan diganti dengan obat antipsikotik lain yang risiko gejala ekstrapiramidalnya lebih rendah.
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal AKATHISIA • Obat yang menyebabkannya dihentikan atau dikurangi dosisnya. • Ganti obat menjadi antipsikotik atipikal • Diberikan antimuskarinik atau beta bloker • Obat lain: amantadine, amiitriptilin, benzodiazepin, klonidin, kodein, siproheptadine, mirtazaine.
TARDIVE DYSKINESIA • Obat yang menyebabkan gejala dikurangi dosisnya atau dihentikan. • Bila sedang mendapat antimuskarinik, harus dihentikan juga. • Ganti antipsikotik menjadi atipsikotik atipikal • Tatalaksana ansietas • Pada diskinesia fokal, dapat diberi toksin Botulinum • Obat lain: amantadine, benzodiazepine, levetiracetam, pregabalin, vitamin E, dopamindepleting-agent • Deep brain stimulation
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal DYSTONIA • Hentikan atau turunkan dosis obat yang menyebabkan distonia. • Ganti obat menjadi golongan antipsikotik atipikal • Berikan obat-obatan antimuskarinik • Tatalaksana ansietas • Pada distonia fokal , dapat diberi toksin Botulinum • Pemberian relaksan otot, dopamin-depleting agent • Deep brain stimulation
• PARKINSONISME • Hentikan atau turunkan dosis obat yang menyebabkan gejala. • Ganti obat menjadi golongan antipsikotik atipikal • Obat lain: Amantadine, golongan antimuskarinik, agonis dopamin, levodopa
Contoh obat antimuskarinik: Triheksifenidil, Benzodiazepin, Levetiracetam, Pregabalin
86. GANGGUAN PENGENDALIAN IMPULS (DSM-IV) Penyakit
Karakteristik
Intermittent explosive disorder
Ditandai dengan episode perilaku impulsif yang mengakibatkan kerusakan serius baik kepada orang atau properti, dimana tingkat agresivitas tidak proporsional dengan keadaan atau provokasi.
Kleptomania
Sulit menahan impuls untuk mencuri barang-barang yang tidak diperlukan untuk pemakaian pribadi atau yang memiliki arti ekonomi, benda-benda yang diambil sering kali dibuang, dikembalikan secara rahasia, atau disembunyikan
Piromania
Dorongan yang tidak dapat ditolak untuk melakukan pembakaran. Muncul perasaan puas atau lega saat api mulai membakar.
Judi patologis
Adanya kebutuhan untuk mempertaruhkan uang dalam jumlah yang semakin banyak dari waktu ke waktu dan timbul gejala gelisah ketika berusaha berhenti (withdrawal).
Trikotilomania
Adanya dorongan untuk mencabuti rambut sendiri dari bagian tubuh yang manapun, termasuk rambut di kulit kepala, alis dan bulu bulu tangan.
87. PSIKOTIK AKUT • Untuk menegakkan diagnosis gejala pasti gangguan psikotik akut, harus ada setidaknya satu dari gejala di bawah ini: 1. Halusinasi 2. Waham 3. Agitasi atau perilaku aneh (bizarre) 4. Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi) 5. Keadaan emosional yang labil dan ekstrim (iritabel) Dengan lama episode >1 hari, tetapi <1 bulan. PPDGJ-III
PPDGJ
Diagnosis Banding Psikotik Akut Penyakit
Karakteristik
Skizofrenia
Gangguan isi pikir, waham, halusinasi, minimal 1 bulan
Skizofrenia Paranoid
merasa terancam/dikendalikan
Skizofrenia Hebefrenik
15-25 tahun, afek tidak wajar, perilaku tidak dapat diramalkan, senyum sendiri
Skizofrenia Katatonik
stupor, rigid, gaduh, fleksibilitas cerea
Skizotipal
perilaku/penampilan aneh, kepercayaan aneh, bersifat magik, pikiran obsesif berulang
Waham menetap
hanya waham
Psikotik akut
gejala psikotik <4 minggu.
Skizoafektif
gejala skizofrenia & afektif bersamaan
Residual
Gejala negatif menonjol, ada riwayat psikotik di masa lalu yang memenuhi skizofrenia
Simpleks
Gejala negatif yang khas skizofrenia (apatis, bicara jarang, afek tumpul/tidak wajar) tanpa didahului halusinasi/waham/gejala psikotik lain. Disertai perubahan perilaku pribadi yang bermakna (tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, penarikan diri).
PRINSIP TERAPI ANTIPSIKOTIK • Key points for using antipsychotic therapy: 1. 2.
3.
4.
An oral atypical antipsychotic drug should be considered as first-line treatment. Choice of medication should be made on the basis of prior individual drug response, patient acceptance, individual sideeffect profile and cost-effectiveness, other medications being prescribed and patient co-morbidities. The lowest-effective dose should always be prescribed initially, with subsequent titration. The dosage of a typical or an atypical antipsychotic medication should be within the manufacturer’s recommended range.
Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Psikofarmaka • Key points for using antipsychotic therapy: 5. 6. 7. 8. 9.
Treatment trial should be at least 4-8 weeks before changing antipsychotic medication. Antipsychotic medications, atypical or conventional, should not be prescribed concurrently, except for short periods to cover changeover. Treatment should be continued for at least 12 months, then if the disease has remitted fully, may be ceased gradually over at least 1-2 months. Prophylactic use of anticholinergic agents should be determined on an individual basis and re-assessment made at 3-monthly intervals. A trial of clozapine should be offered to patients with schizophrenia who are unresponsive to at least two adequate trials of antipsychotic medications.
Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Obat Antipsikotik Tipikal dan Atipikal
Dosis Obat Antipsikotik
Efek Samping Obat Antipsikotik
88. GANGGUAN SOMATOFORM CHARACTERISTIC • Somatoform disorders are characterized by the occurrence of one or more physical complaints for which appropriate medical evaluation reveals no explanatory physical pathology or pathophysiologic mechanism, or, when pathology is present, the physical complaints or resulting impairment are grossly in excess of what would be expected from the physical findings. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM-IV)
GANGGUAN SOMATOFORM Diagnosis
Karakteristik
Gangguan somatisasi
Banyak keluhan fisik (4 tempat nyeri, 2 GI tract, 1 seksual, 1 pseudoneurologis).
Hipokondriasis
Keyakinan ada penyakit fisik.
Disfungsi otonomik somatoform
Bangkitan otonomik: palpitasi, berkeringat, tremor, flushing.
Nyeri somatoform
Nyeri menetap yang tidak terjelaskan.
Gangguan Dismorfik Tubuh
Preokupasi adanya cacat pada tubuhnya Jika memang ada kelainan fisik yang kecil, perhatian pasien pada kelainan tersebut akan dilebih-lebihkan
PPDGJ
Diagnosis Gangguan Nyeri Somatoform (DSM-IV) • The pain cannot be fully attributed to a known medical disorder. • The pain causes clinically significant distress, impairment, or both in social, academic, occupational, or other areas of functioning. • Psychological factors are judged to play an important role in the onset, severity, exacerbation, or maintenance of the pain. • The pain is not intentionally produced or better accounted for by a mood disorder, anxiety disorder, or psychotic disorder.
89. F50 GANGGUAN MAKAN F50.0 Anoreksia Nervosa Untuk diagnosis dibutuhkan : Berat badan dipertahankan 15 % di bawah yang seharusnya Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri dengan cara menghindari makanan Distorsi ‘body image’ takut gemuk terus menerus. Adanya gangguan endokrin yang meluas Jika terjadi pada masa pra-pubertas maka perkembangan pubertas tertunda
F50.2 Bulimia Nervosa Untuk diagnosis pasti dibutuhkan: Terdapat pre-okupasi yang menetap untuk makan dan ketagihan. Pasien berusaha melawan efek kegemukan dengan : ▪ Merangsang muntah oleh diri sendiri ▪ Menggunakan pencahar berlebihan ▪ Menggunakan obat penekan nafsu makan Merasa ketakutan yang luar biasa untuk gemuk
Bulimia Nervosa • SSRIs (specifically fluoxetine) – the drugs of first choice for the treatment of bulimia nervosa in terms of acceptability, tolerability and reduction of symptoms
• Dosis Lebih tinggi daripada untuk depresi (60 mg daily) • Tidak ada obat-obatan lain, selain antidepresan yang direkomendasikan untuk terapi bulimia nervosa • Fluoxetine merupakan satu-satunya terapi farmakologi yang di setujui oleh FDA untuk gangguan makan http://www.nice.org.uk/guidance/cg9/resources/guidanceeating-disorders-pdf. January 2004
90. GANGGUAN SOMATOFORM Diagnosis
Karakteristik
Gangguan somatisasi
Banyak keluhan fisik (4 tempat nyeri, 2 GI tract, 1 seksual, 1 pseudoneurologis).
Hipokondriasis
Keyakinan ada penyakit fisik.
Disfungsi otonomik somatoform
Bangkitan otonomik: palpitasi, berkeringat, tremor, flushing.
Nyeri somatoform
Nyeri menetap yang tidak terjelaskan.
Gangguan Dismorfik Tubuh
Preokupasi adanya cacat pada tubuhnya Jika memang ada kelainan fisik yang kecil, perhatian pasien pada kelainan tersebut akan dilebih-lebihkan
PPDGJ
Pedoman Diagnosis Gangguan Dismorfik Tubuh • Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata. • Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
• Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa). PPDGJ-III
91. FOBIA • Fobia adalah penolakan berdasarkan ketakutan terhadap benda atau situasi yang dihadapi, yang sebetulnya tidak berbahaya dan penderita mengakui bahwa ketakutan itu tidak ada dasarnya (DSM IV-TR). • Terdapat 3 jenis fobia: Agorafobia, fobia sosial, dan fobia khas/ spesifik.
Jenis Fobia
Karakteristik
Agorafobia
Kecemasan berada di dalam situasi di mana ia kemungkinan sulit meloloskan diri atau di mana ia mungkin tidak terdapat pertolongan jika mendapatkan serangan panik yang tidak diharapkan. Biasanya situasi yang membuat cemas seperti berada di luar rumah sendirian, berada di keramaian.
Fobia sosial
Ketakutan yang jelas dan menetap situasi sosial atau tampil didepan orang yang belum dikenal atau situasi yang memungkinkan ia dinilai oleh orang lain atau menjadi pusat perhatian. Ada perasaan takut bahwa ia akan berperilaku memalukan atau menampakkan gejala cemas atau bersikap yang dapat merendahkan dirinya.
Fobia khas/ spesifik
Ketakutan yang berlebihan dan persisten terhadap objek atau situasi spesifik, seperti ketakutan terhadap tempat tertutup ( Claustrophobia), atau ketakutan terhadap binatang kecil yang menjijikkan seperti tikus, ulat, dan lain-lain.
AGORAFOBIA vs FOBIA SOSIAL Agorafobia
Fobia Sosial
Pedoman Diagnosis Agorafobia • Cemas berlebihan apabila berada di tempattempat atau situasi-situasi yang sangat sulit untuk menyelamatkan diri atau pertolongan mungkin tidak bisa didapatkan. • Situasi-situasi tersebut akan dihindari (membatasi perjalanan) atau bila dikerjakan akan ditandai dengan adanya distress atau kecemasan akan kemungkinan terjadinya satu serangan panik atau gejala-gejala menyerupai panik, atau sering minta ditemani ditemani kalau keluar rumah. DSM-IV
92. DEMENSIA Pedoman diagnostik demensia (PPDGJ III): • Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, yang sampai mengganggu kegiatan harian seseorang (personal activities of daily living) seperti : mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil. • Tidak ada gangguan kesadaran (clear consciousness) • Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan
Deteksi Dini MCI Dan Demensia • Dengan menggunakan mini mental state examination (MMSE)/ Folstein test. • Interpretasi skor MMSE: – 24-30: kognitif normal – 19-23: mild cognitive impairment – 10-18: moderate cognitive impairment – <=9: severe cognitive impairment
Demensia
Practical Guidelines for the Recognition and Diagnosis of Dementia, J Am Board Fam Med May-June 2012 vol. 25 no. 3 367-382
Mild Cognitive Impairment (MCI) dan Demensia
Mild cognitive impairment (MCI)merupakan permulaan dari terjadinya demensia. Pada MCI, gangguan umumnya pada analisa dan pengambilan keputusan sehingga belum mengganggu kegiatan sehari-hari seperti mandi, makan, memakai sepatu dll seperti yang terdapat pada demensia.
MCI - Demensia
93. MUTISME SELEKTIF • Mutisme selektif merupakan bagian dari gangguan cemas pada anak yang ditandai dengan kegagalan persisten untuk bicara pada suatu situasi sosial tertentu (misalnya di sekolah atau berbicara dengan teman), namun pada situasi yang lain penderitanya dapat bicara seperti biasa. • Mengganggu performa dalam belajar atau bekerja • Untuk mendiagnosis mutisme selektif, keluhan harus berlangsung selama 1 bulan atau lebih dan bukan pada situasi bulan-bulan awal masuk sekolah.
SELECTIVE MUTISM
Pilihan Lain Pada Soal No.93 • Konfabulasi: Secara tidak sadar mengisi lubang-lubang dalam ingatannya dengan cerita yang tidak sesuai dengan kenyataan akan tetapi dipercayai. • Verbigerasi: pengulangan kata-kata atau frasa spesifik yang tidak mempunyai arti. • Flight of idea: Arus pikir melompat-lompat dari satu topik ke topik lain tanpa terputus, dimana masih terdapat benang merah. • Inkoheren (word salad): asosiasi longgar yang berat, kata yang satu tidak berhubungan dengan kata yang lain.
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.
94. SEXUAL DISORDER (PARAFILIA) Diagnosis
Karakteristik
Fetishism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the use of nonliving objects (e.g., female undergarments).
Frotteurism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving touching and rubbing against a nonconsenting person.
Masochism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the act (real, not simulated) of being humiliated, beaten, bound, or otherwise made to suffer.
Sadism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving acts (real, not simulated) in which the psychological or physical suffering (including humiliation) of the victim is sexually exciting to the person.
Voyeurism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the act of observing an unsuspecting person who is naked, in the process of disrobing, or engaging in sexual activity.
Necrophilia
Necrophilia is an obsession with obtaining sexual gratification from cadavers.
Diagnosis
Karakteristik
Pedophilia
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving sexual attraction to prepubescent children (generally 13 years or younger) and the pedophilia must at least 16 years or older and at least 5 years older than the child
Eksibisionis
Seseorang yang selalu ingin memperlihatkan kemaluannya/genital kepada orang lain (biasanya orang asing) untuk mendapatkan kepuasan seksual
Fetishism and Transvestic Fetishism • Fetishism – Mendapatkan kepuasaan seksual dari benda-benda mati (i.e., inanimate and/or tactile) – Numerous targets of fetishistic arousal, fantasy, urges, and desires
• Transvestic Fetishism – Mendapatkan rangsangan seksual dengan memakai pakaian dari lawan jenis – Laki-laki yang mengalami gangguan ini biasa menunjukkan perilaku yang lebih maskulin sebagai kompensasi – Sebagian besar tidak didapatkan perilaku kompensasi – Many are married and the behavior is known to spouse
Transvestic Fetishism • Juga dikenal sebagai transvestism atau cross-dressing • Karakteristik: – Fantasi, kebutuhan (urges), atau perilaku yang melibatkan memakai baju dari lawan jenis untuk mendapatkan rangsangan atau kepuasaan seksual
• Tipikal pasien dengan transvestism laki-laki heteroseksual yang mulai memakai baju lawan jenis saat anak-anak atau remaja • Sering salah diagnosis dengan gangguan identitas gender (transsexualism)keduanya memiliki pola yang berbeda • The development of the disorder seems to follow the behavioral principles of operant conditioning
642
Comer, Abnormal Psychology, 7e
95. INSOMNIA Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur nonrestoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut.
Klasifikasi Insomnia • Early insomnia (initial insomnia/ sleep onset insomnia), yaitu kesulitan untuk memulai tidur yang ditandai dengan perpanjangan masa laten tidur (waktu dari berbaring hingga tertidur). Gangguan ini sering berkaitan dengan gangguan cemas.
• Middle insomnia (sleep maintenance insomnia), merupakan kesulitan untuk mempertahankan tidur. Gangguan ini ditandai dengan seringnya terbangun di malam hari dan suliit memulai tidur lagi, dan sering berkaitan dengan penyakit organik, nyeri, dan gangguan depresi. • Terminal insomnia (late insomnia/ early morning wakening insomnia) ditandai dengan bangun lebih pagi dari yang diperlukan secara terus menerus. Gangguan ini berkaitan dengan depresi.
Klasifikasi Insomnia Berdasarkan Waktu Insomnia Akut
Insomnia Kronik
• Terjadi pada 1 malam dalam beberapa minggu. • Penyebab yang sering: stres (stres dalam pekerjaan, putus cinta, dll), jet lag
• Terjadi pada 3 malam dalam seminggu, terjadi selama minimal 1 bulan . • Penyebab yang sering: gangguan cemas, depresi, stres kronik, nyeri kronik
Tatalaksana Insomnia • Terapi utama: Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yang terdiri dari: – Edukasi sleep hygiene: mengurangi kafein/ alkohol di malam hari, tidak nonton TV/melihat hp di tempat tidur – Terapi kognitif: memperbaiki pemahaman yang salah dan kekhawatiran terhadap tidur. – Terapi relaksasi – Terapi kontrol stimulus: menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan aktivitas seksual, tidak berbaring sebelum mengantuk – Terapi restriksi tidur: membatasi waktu berbaring di tempat tidur mulai dari 5 jam per hari. American Academy of Sleep Medicine (AASM), 2008
Tatalaksana Insomnia • Terapi farmakologis digunakan bila insomnia belum teratasi setelah dilakukan CBT. Golongan Obat
Keterangan
Hipnotik sedatif (DOC)
Dapat berupa gol.non benzodiazepin (zolpidem, zaleplon) atau gol.nbenzodiazepin short acting (triazolam, alprazolam). Diberikan maksimal selama 4 minggu.
Antidepresan
Yang digunakan adalah antidepresan yang memiliki efek sedasi (seperti amitriptilin, doksepin, mirtazapine). Digunakan untuk insomnia kronik, terutama jenis middle dan terminal insomnia.
Antihistamin generasi 1
Saat ini tidak dianjurkan lagi penggunaannya untuk insomnia.
Melatonin
Berfungsi mengurangi waktu laten tidur, sehingga lebih tepat dipakai untuk early insomnia. Tidak direkomendasikan untuk tatalaksana insomnia kronik.
96. GANGGUAN MENTAL SESUDAH TRAUMA
GANGGUAN MENTAL SESUDAH TRAUMA Gangguan
Karaktristik
Reaksi stres akut
Kesulitan berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh, mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik (prinsipnya gejala serupa dengan PTSD), terjadinya beberapa jam setelah kejadian traumatis, dan paling lama gejala tersebut bertahan selama 1 bulan.
Reaksi stres pasca trauma (Post traumatic stress disorder/ PTSD)
Adanya bayang-bayang kejadian yang persisten, mengalami gejala penderitaan bila terpajan pada ingatan akan trauma aslinya, menimbulkan hendaya pada kehidupan sehari-hari. Gejala terjadi selama 1-6 bulan.
Diagnosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) • Diagnosis baru bisa ditegakkan apabila gangguan stres pasca trauma ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat. • Gejala yang harus muncul sebagai bukti tambahan selain trauma bahwa seseorang telah mengali gangguan ini adalah: 1. Individu tersebut mengalami mimpi-mimpi atau bayangbayang dari kejadian traumatik tersebut secara berulangulang kembali (flashback) 2. Muncul gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku, gejala ini mungkin saja mewarnai hasil diagnosis akan tetapi sifatnya tidak khas. PPDGJ-III
Reaksi Stres Akut vs PTSD vs Gangguan Penyesuaian Reaksi Stres Akut
Ggn. Penyesuaian
PTSD
Tipe stresor
Berat (kejadian traumatis, kehilangan orang terdekat)
Ringan-sedang
Berat (kejadian traumatis, kehilangan orang terdekat)
Waktu antara stresor dan timbulnya gejala
Beberapa hari hingga maksimal 4 minggu
Maksimal 3 bulan
Bisa bertahuntahun
Durasi gejala
Maksimal 1 bulan
Maksimal 6 bulan setelah stresor berakhir
>1 bulan
97. GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF PEDOMAN DIAGNOSIS PPDGJ-III: • Untuk menegakkan diagnosis pasti gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau keduaduanya harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2 minggu berturut-turut. • Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau menganggu aktivitas penderita.
Gejala obsesif mencakup: • Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri; • Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita. • Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan untuk merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud diatas); • Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
Tipe Gangguan Obsesif Kompulsif (1) • OCD tipe Checking ketakutan irasional yang membuat pasien terobsesi untuk memeriksa sesuatu berulang-ulang. • OCD tipe Contamination ketakutan terkena penyakit dan mati pada diri sendiri dan orang yang dicintai. Contoh:kebiasaan cuci tangan berkali-kali karena takut kuman. • OCD tipe Hoarding penderita mengumpulkan barang yang tidak berharga karena takut akan terjadi hal-hal buruk jika barang tersebut dibuang.
Tipe Gangguan Obsesif Kompulsif (2) • OCD tipe Rumination pasien memikirkan pikiran-pikiran yang tidak produktif tetapi berulang-ulang. Contohnya preokupasi tentang kehidupan setelah kematian. • OCD tipe symmetry dan orderliness pasien terfokus untuk mengatur semua obyek sejajar, urut, dan simetris.
Tatalaksana Gangguan Obsesif Kompulsif Keterangan: CBT: Cognitive Behavior Therapy ERP:Exposure & Response Prevention
PRACTICE GUIDELINE FOR THE Treatment of Patients With Obsessive-Compulsive Disorder, APA, 2010
98. GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR
Gangguan mood
1 atau lebih episode mania atau hipomania
1 atau lebih episode depresi
Dengan/ tanpa psikosis?
Gangguan afektif bipolar
Episode kini manik/ depresi?
Pedoman Diagnosis Gangguan Bipolar (PPDGJ-III) • Ditandai setidaknya 2 episode yang menunjukkan pada 1 waktu tertentu terjadi peninggian mood dan energi (mania/hipomania), dan pada 1 waktu lain berupa penurunan mood dan energi (depresi). • Ada periode penyembuhan sempurna antar episode. • Manik terjadi tiba-tiba, lamanya antara 2 minggu5 bulan. • Depresi biasanya terjadi selama 6 bulan-1 tahun.
Episode Manik (DSM-IV)
Bipolar Tipe I dan II Gangguan bipolar
Bipolar tipe I
1 atau lebih episode manik, dapat disertai gejala psikotik
Pada pria dan wanita
Bipolar tipe II
Episode depresi berulang dan episode hipomanik
Lebih sering pada wanita
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17696573
Bipolar tipe I dan II Keterangan: Pada bipolar tipe II, episode peningkatan mood lebih ke arah hipomanik. Pada bipolar tipe I, episode peningkatan mood lebih berlebihan (full-blown manik, bisa disertai dengan gejala psikotik)
http://www.medscape.com/viewarticle/754573
Manik vs Hipomanik
KULIT & KELAMIN, MIKROBIOLOGI, PARASITOLOGI
99. DKI vs DKA: Perbedaan
• Terapi – Topikal • Akut & eksudatif: kompres NaCl 0.9% • Kronik & kering: krim hidrokortison
Terapi • Sistemik: Kortikosteroid • Prednison 5-10 mg/ dosis, 2-3x/hari • Deksametason 0.5-1 mg, 23x/hari
DKI vs DKA: Patch Test • Untuk metode diagnostik delayed contact hypersensitivity DKA • DKI: diagnosis berdasarkan klinis saja dan dengan menyingkirkan DKA (hasil Patch Test negatif)
100. Dermatitis statis • Salah satu jenis dermatitis sirkultorius • Paling sering: dermatitis varikosum ec insufisiensi vena • Gejala: - Pruritus, edema pada kaki hemosiderin keluar dari pemb. Darah bercak hiperpigmentasi dermatitis - Bila infeksi sekunder indurasi subkutan - Dapat timbul ulkus • Terapi - Utk gangguan sirkulasi: elevasi tungkai dan - pembalut elastis - Lesi eksudatif: kompres PK 1/10.000 - Lesi kering: kortikosteroid topikal - Infeksi sekunder: antibiotik sistemik
Ulkus pada Tungkai Bawah Penyakit
Keterangan
Ektima
• Infeksi pioderma pada kulit dengan karakteristik berbentuk krusta disertai ulserasi • Ulkus superfisial dengan gambaran “punched out appearance” atau berbentuk cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi
Ulkus tropikum
• Ulkus tropikum adalah ulkus yang cepat berkembang dan nyeri, biasanya pada tungkai bawah, dan lebih sering ditemukan pada anak-anak kurang gizi di daerah tropik • Bentuk ulkus lonjong atau bulat, tertutup oleh jaringan nekrotik dan secret serosanguinolen yang banyak dan meleleh
Ulkus Varikosum /stasis vena
• Dasar ulkus terlihat jaringan granulasi atau bahan fibrosa. Dapat juga terlihat eksudat yang banyak. Kulit sekitarnya tampak merah kecoklatan akibat hemosiderin • Kulit sekitar luka mengalami indurasi, mengkilat, dan fibrotik • Daerah predileksi yaitu daerah antara maleolus dan betis, tetapi cenderung timbul di sekitar maleolus medialis
Ulkus Statis/varikosum • Ulkus pada tungkai bawah, yang disebabkan oleh gangguan aliran darah vena • Predileksi – Maleolus medialis
• Faktor risiko – Usia tua, obesitas, trauma pda tungkai, DVT, flebitis,
• Soliter, dangkal, tertutup jaringan nekrotik, tepi tidak meninggi, jaringan sekitar hiperpigmentasi • Terapi – Elevasi tungkai, antibiotik, atasi penyebab
Buku Ajar ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-5
Ulkus Venosum
Ulkus Venosus • Elevasi Kaki: – Meningkatkan venous return akibat gravitasi – Mengurangi tekanan pada jaringan – Meningkatkan aliran arteriol – Meringankan gejala insufisiensi vena (mengurangi nyeri dan pembengkakan)
EVALUATION CHARACTERISTICS
VENOUS
ARTERIAL
APPEARANCE
Irregular, dark pigmentation, sometimes fibrotic, granulation, usually shallow.
Irregular, smooth edge, minimum to no granulation, usually deep with a punched out appearance.
LOCATION
Distal lower leg, medial malleolus.
Distal lower leg/feet/toes, lateral malleolus, anterior tibial area.
PEDAL PULSES
Usually present.
May be diminished or absent.
PAIN
May be present. Usually improves with leg elevation.
Usually painful especially with leg elevation.
DRAINAGE
Moderate to large.
Minimal to none.
TEMPERATURE
May be increased.
May be decreased.
SKIN CHANGES
Flaking, dry, hyperpigmented.
Thin, shiny, hairless, yellow nails. 3.
101. Penyakit kulit pada HIV 80-90% of patients with HIV have dermatologic disease HIV-infected individuals have a defect in cell-mediated immunity which predisposes them to certain infections (bacterial, fungal, mycobacterial, viral), many of which have skin findings HIV-positive patients are also at increased risk for neoplasms, inflammatory dermatoses, and drug reactions Dermatologic disease common to the general population (e.g., seborrheic dermatitis) often has an increased prevalence or severity in HIV-positive individuals 20
HIV Dermatology (cont.) Skin lesions may be the first sign of HIV infection • Ask abut risk factors for HIV infection when a patient < 50 yrs-old presents with herpes zoster (shingles) • Suspicion for HIV infection should be raised when a patient presents with multiple skin diseases (e.g., severe seborrheic dermatitis and thrush)
Some skin diseases are so characteristic of the immunosuppression of HIV-infection that their presence warrants HIV testing • Oral hairy leukoplakia, bacillary angiomatosis, and Kaposi sarcoma
Typically, antiretroviral therapy improves skin conditions that result from immunodeficiency
21
Skin Disease and CD4 Counts Various skin manifestations of HIV infection can be correlated with levels of immune suppression Skin disease associated with any CD4 Cell Count: • Herpes simplex virus • Scabies • Varicella zoster virus • Drug Reactions • Staphylococcus aureus • Lymphoma • Syphilis More commonly associated with CD4 counts < 500 • Human papillomavirus
22
Skin Disease and CD4 Counts More commonly associated with CD4 counts < 200 • Infection: Epstein-Barr virus (oral hairy leukoplakia), Candida, Bacillary angiomatosis , Molluscum contagiosum, Histoplasmosis, Coccidiomycosis
• Inflammatory: Psoriasis, Seborrheic dermatitis, Acquired icthyosis, Atopic dermatitis, Xerosis • Neoplasm: Kaposi sarcoma
• Other: Eosinophilic folliculitis
More commonly associated with CD4 counts < 50 • Cryptococcosis • Pruritic papular eruption (insect bite hypersensitivity) 23
Clinical Features of external genital warts • Soft, rather than hard hyperkeratotic • Sessile (broad based) papules • May be papules or large confluent plaques • External genitalia, perineum, perianal, inguinal fold 24
Human Papillomavirus (HPV) • Warts are caused by HPV • Persons who are HIV-infected are more likely to develop genital warts than persons who are not HIV-infected moreover, lesions are more recalcitrant to treatment due to depressed cellmediated immunity • HPV infects skin and mucosal epithelia •
•
Infection causes hyperplasia of the epithelium = a wart Pain and Bleeding may occur due to neovascularization of lesions
• HPV infects the basal keratinocytes of cutaneous and mucosal epithelium
One of the top three skin problems in children
Peak prevalence is during adolescence (13-16 years old)
about 5-20% of teensare affected Also common youngerand older people
School-age children (5-12 years) 1-5% also commonly found in young adults
Males and females are equally affected
Role of HPV in Cutaneous Disease HPV can be transmitted by skin-to-skin contact or through contaminated surfaces or objects • Patients can also spread virus from a wart to unaffected skin The type of HPV influences the wart morphology Type of Wart
HPV Type
Verruca vulgaris: common warts
HPV 2,4
Verrucae plana: flat warts
HPV 3, 10
Palmoplantar warts
HPV 1
Condylomata acuminata: external genital warts
HPV 6, 11, 16, 18, 31, and more
26
102. Ulkus Durum • Etiologi: Treponema Pallidum, bakteri berbentuk spiral • Gejala Klinis – Stadium I: Ulkus durum – Stadium II: Lesi sekunder di kulit (roseola sifilitika, korona veneris, kondiloma lata, lekoderma sifilitika) – Stadium laten : • Dini : bersifat menular • Lanjut : bersifat tidak menular
– Stadium III: Gumma – Stadium kardiovaskular dan neurosifilis
Sifilis Stadium Dini I (SI) • Stadium dini (menular) • Antara 10 – 90 hari (2 – 4 mgg) sth kuman msk lesi – kulit tempat msk kuman • Umumnya lesi hanya 1 – AFEK PRIMER : papul yg kemudian menjadi erosi / ulkus : ULKUS DURUM • Umumnya lokasi afek primer – genital, jg dpt ekstra genital • Dpt sembuh sendiri tanpa pengobatan dlm 3 – 10 mgg • 1 mgg sth afek primer (+) penjalaran infeksi ke kelenjar gth bening (KGB) regional : regio inguinal medial – KGB membesar, soliter, padat kenyal, indolen, tidak supuratif, periadenitis (-) & dpr digerak scr bebas dr jaringan sekitarnya KOMPLEKS PRIMER
Sifilis Stadium I (SI) DIAGNOSIS • mikroskop lapangan gelap (dark field microscope) melihat pergerakkan Treponema • Pewarnaan Burri (tinta hitam) tidak adanya pergerakan Treponema (T. pallidum telah mati) kuman berwarna jernih dikelilingi oleh lapangan yang berwarna hitam. • Serologi: VDRL, TPHA, fluorescent treponemal antibody-absorption (FTAABS), Rapid plasma reagin (RPR) test, Treponemal enzyme immune assay (EIA), T pallidum particle agglutination assay (TPPA) • Bahan pemeriksaan diambil dari dasar ulkus atau pungsi kelenjar getah bening • Secara akademik : Bila hasil (-), pemeriksaan diulang 3 hari berturut-turut
Sifilis Stadium Dini II (SII) • Umumnya Std II (+) sth 6 – 8 mgg • S II srg disebut : the Greatest Imitator of all the skin diseases. Penting – tanpa rasa gatal • Kelainan – sistemik, didahului gejala prodromal : – Nyeri otot, sendi, suhu subfebril, sukar menelan (angina sifilitika), malaise, anoreksi & sefalgia – Kelainan kulit, selaput lendir, kelenjar & organ tubuh lain
Sifilis Stadium Dini II (SII) Kelainan kulit
• Makula eritem, bulat lonjong (roseola sifilitika) t u dada, perut, punggung, lengan, tangan ke seluruh tubuh • Transien dan berakhir hipopigmentasi (leukoderma sifilitika) • Papel - batas kulit rambut kepala (korona veneris) – – – –
Papula arsiner, sirsiner dan polisiklik Papula diskret - telapak tangan dan telapak kaki Papula korimbiformis Kondiloma lata - kulit lipatan-lipatan yang lembab & hangat
alopesia sifilitika • Papuloskuamosa - mirip psoriasis (psoriasis sifilitika), papulokrustosa - mirip frambusia (sifilis frambusiformis) • Pustula, - bersifat destruktif pd KU buruk (rupia sifilitika = lues maligna) – Papula + folikulitis yang dapat
Sifilis Stadium Dini II (SII) • Kelainan selaput lendir – Mucous patch - banyak mengandung T pallidum, – Bentuk bulat, kemerahan ulkus – Kelainan mukosa bibir, pipi, laring, tonsil dan genital.
• Kelainan kelenjar – Pembesaran kelenjar seluruh tubuh (limfadenopati generalisata) - sifat = S I – Kelenjar - kelenjar getah bening superfisialis t u suboksipital, sulkus bisipitalis & inguinal. Pada aspirasi kelenjar akan ditemukan T. pallidum.
Sifilis Stadium Dini II (SII) • Kelainan tubuh lain – Kuku : onikia, rapuh dan kabur – Mata : uveitis anterior, korioretinitis – Tulang : periostitis – Hepar : hepatomegali, hepatitis – Ginjal, meningen
• Diagnosis : STS – selalu (+)
Sifilis Stadium Laten Dini • Stadium ini (+) < dari 2 tahun setelah infeksi. • Tanda-tanda klinis (-), bersifat menular. • Penegakkan diagnosis STS yang positif.
Sifilis Stadium Rekuren • Kelainan klinis seperti kelainan stadium II, namun kelainan bersifat setempat. • Kadang-kadang dapat juga timbul kelainan seperti stadium I.
Sifilis Stadium Lanjut (Tidak Menular) STADIUM LATEN LANJUT • Disebut laten lanjut > 2 tahun setelah infeksi. • Kelainan klinis (-) dan hanya dapat diketahui berdasarkan hasil pemeriksaan STS yang positif. • Lamanya masa laten ini dapat berlangsung bertahun-tahun, bahkan dapat berlangsung seumur hidup.
Sifilis Stadium Lanjut (Tidak Menular) STADIUM III • Kelainan timbul 3 – 10 tahun sesudah stadium I • Kelainan khas – guma : infiltrat berbatas tegas, bersifat kronis, cenderung mengalami perkejuan (perlunakan) & pecah ulkus • Ulkus : dinding curam, dasar : jaringan nekrotik berwarna kuning keputihan (ulkus gumosum) & bersifat destruktif & serpiginosa.
Sifilis Stadium Lanjut (Tidak Menular) STADIUM III • Guma soliter - dapat multipel • Ukuran: milier - beberapa cm. • Guma di semua jaringan & merusak semua jenis jaringan : tulang rawan hidung, palatum atau organ dalam tubuh (lambung, hepar, lien, paru-paru, testis, dll) • Diagnosis pasti hasil STS.
Sifilis: Tatalaksana • Benzatin Penisilin G: Lini pertama stadium primer dan sekunder – Primary or secondary syphilis - Benzathine penicillin G 2.4 million units intramuscularly (IM) in a single dose – Early latent syphilis - Benzathine penicillin G 2.4 million units IM in a single dose – Neurosyphilis, Late latent syphilis or latent syphilis of unknown duration Benzathine penicillin G 7.2 million units total, administered as 3 doses of 2.4 million units IM each at 1-week intervals
• Penicilline G Procaine: Lini pertama stadium laten lanjut – Primary, secondary, and latent: 600,000 units IM qDay for 8 days – Late (tertiary and latent syphilis with positive spinal fluid): 600,000 units IM qDay for 10-15 days (total 6-9 million units) – Neurosyphilis: 2.4 million units IM qDay x10-14 days; administer with probenecid 500 mg PO QID (penicillin G aqueous preferred)
• Alternatif: Doxicycline 2 x 100 mg/hr PO, 4 minggu • Alternatif: Eritromisin 4 x 500 mg/hari PO, 4 minggu • Komplikasi • Neurosifilis, parestesia, perubahan kepribadian
103. Herpes zoster Herpes Zoster
Lesi Kulit pada Herpes Zoster
• Penemuan utama dari PF: kemerahan yang terdistribusi unilateral sesuai dermatom • Rash dapat berupa eritematosa, makulopapular, vesikular, pustular, atau krusta tergantung tahapan penyakit • Terapi nyeri: Gabapentine oral/NSAID topikal/Lidocaine topikal • Anti-Viral (diberikan < 72 jam setelah onset, atau pada manula/imunokompromais) – Acyclovir (5x800mg selama 7-10 hari) – Valacyclovir 3x1 g/hari selama 5-10 hari – Famcyclovir 3x500 mg/hari selama 7 hari
• Komplikasi – Neuralgia pasca herpes, herpes zoster oftalmika, sindrom Ramsay-Hunt
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Herpes zoster • Gejala – Gejala prodromal sistemik (demam, pusing, malaise) & lokal (mialgia, gatal, pegal) – Timbul eritema yang kemudian menjadi vesikel berkelompok dengan dasar eritematosa & edema pustul & krusta – Pembesaran KGB regional – Herpes zoter oftalmikus: infeksi n. V-1 – Sindrom Ramsay-Hunt: gangguan n. fasialis & otikus
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
104. PITIRIASIS ROSEA • Eksantema sering akibat virus dan dihubungkan dengan ISPA, bersifat self limiting disease (6-8 minggu), terkadang bisa dicetuskan oleh obat-obatan • Etiologi & Faktor Risiko • Obat-obatan, kehamilan, ISPA, STD, penyakit kulit lain
• Perjalanan Penyakit • Lesi inisial berbentuk eritema berskuama halus dengan kolaret (herald patch) membesar disusul oleh lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas, tersusun sesuai lipatan kulit (inverted chrismas tree appearance) • Kadang disertai gejala prodromal: malaise, lelah, sakit kepala, mual muntah, demam dan atralgia
Herald patch with collarette of scale at the margin Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI hal 197 Studberg DL, et al. Pityriasis Rosea. American Family Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91
Ptiriasis Rosea: Pemeriksaan dan Tatalaksana • Pemeriksaan – Laju endap darah >> – KOH untuk membedakan dgn tinea korporis – VDRL untuk membedakan dengan sifilis II
• Tatalaksana – Suportif • Zinc oxide, antihistamin oral dan kalamin untuk pruritus – Steroid topikal/oral (kurang direkomendasikan) lesi luas – UV B fototerapi untuk pruritus Studberg DL, et al. Pityriasis Rosea. American Family Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91 http://emedicine.medscape.com/article/1107532-treatment#d8
105. Askariasis (Cacing Gelang) Gejala •
Rasa tidak enak pada perut (gangguan lambung); kejang perut, diselingi diare; kehilangan berat badan; dan demam
• Telur – Fertilized: bulat, bile stained (coklat), dilapisi vitelin dan unstructured albuminoid (tidak teratur), ukuran diameter 50 dan 75 mcm – Unfertilized: lonjong, permukaan bisa tidak teratur atau teratur (dekortikated), dinding lebih tipis, ukuran diameter 43 dan 95 mcm
Nama cacing
Cacing dewasa
Telur
Obat
Dinding tebal 2-3 lapis, bergerigi, berisi unsegmented ovum
Mebendazole, pirantel pamoat
Taenia solium
kulit radial dan mempunyai 6 kait didalamnya, berisi onkosfer dan embriofor
Albendazole, prazikuantel, bedah
Enterobius vermicularis
ovale biconcave dengan dinding asimetris berisi larva cacing
Pirantel pamoat, mebendazole, albendazole
Ancylostoma duodenale Necator americanus
ovale dengan sitoplasma jernih Mebendazole, berisi segmented ovum/ lobus 4- pirantel pamoat, 8 mengandung larva albendazole
Schistosoma haematobium
coklat kekuningan, duri terminal, Prazikuantel transparan, ukuran 112-170 x 40-70 µm
Ascaris lumbricoides
Trichuris trichiura
Tempayan dengan 2 operkulum atas-bawah Brooks GF. Jawetz, Melnick & Adelberg’s medical microbiology, 23rd ed. McGraw-Hill; 2004.
Mebendazole, albendazole
DOC Antihelmintik JENIS CACING
DOC ANTIHELMINTIK
Keterangan
Ascaris lumbricoides
1. Mebendazol 2x100 mg selama 3 hari atau 500 mg PO SD 2. Albendazol 400 mg PO SD 3. Pyrantel Pamoat 10 mg/kg PO
Pada infeksi gabungan askaris dan cacing tambang DOC: Albendazol
Cacing Tambang (ancylostoma Duodenale & Necator Americanus)
• •
Mebendazole 2x 100 mg selama 3 hari atau 500 mg SD PO Albendazol 400 mg PO SD
Trichuris Trichiura
• •
Mebendazol 500 mg PO SD atau 2x100 selama 3 hari Albendazole 400 mg PO qDay x 3 days
• •
Prazikuantel 60 mg/kg PO dibagi 3 dosis selama satu hari Prazikuantel 40 mg/kg PO dibagi 2 dosis selama satu hari
Schistosoma japonicum, S. mekongi Schistosoma mansoni, S. hematobium, S intercalatum
Enterobius vermicularis
Semua rejimen diulang dalam waktu 2 minggu • Mebendazol 100 mg PO SD • Albendazol 400 mg PO SD • Pyrantel Pamoat 11 mg/kg PO
Taeniasis (T. Solium & Saginata)
Prazikuantel 5-10 mg/kg SD Niclosamide 2 g PO SD (adults) and 50 mg/kg orally PO SD (children).
Cysticercosis (T. Solium)
Prazikuantel 50-100 mg/kg/d divided q8hr PO for 14 days
Mebendazole • Kehamilan: – (pregnancy category C) – In mass treatment programs for which WHO has determined that the benefit of treatment outweighs the risk, WHO allows use of mebendazole in the 2nd and 3rd trimesters of pregnancy. – The risk of treatment in pregnant women who are known to have an infection needs to be balanced with the risk of disease progression in the absence of treatment.
• Menyusui: – It is not known whether mebendazole is excreted in breast milk. – The WHO classifies mebendazole as compatible with breastfeeding and allows the use of mebendazole in lactating women.
• Anak < 2 tahun – The safety of mebendazole in children has not been established. – There is limited data in children age 2 years and younger. – Mebendazole is listed as an intestinal antihelminthic medicine on the WHO Model List of Essential Medicines for Children, intended for the use of children up to 12 years of age. https://www.cdc.gov/
Albendazole • Kehamilan: – (pregnancy category C) – In mass treatment programs for which WHO has determined that the benefit of treatment outweighs the risk, WHO allows use of albendazole in the 2nd and 3rd trimesters of pregnancy. – The risk of treatment in pregnant women who are known to have an infection needs to be balanced with the risk of disease progression in the absence of treatment.
• Menyusui: – It is not known whether albendazole is excreted in breast milk. – It is not known whether albendazole is excreted in human milk. Albendazole should be used with caution in breastfeeding women.
• Anak < 2 tahun – The safety of albendazole in children less than 6 years old is not certain. – Studies of the use of albendazole in children as young as one year old suggest that its use is safe. – According to WHO guidelines for mass prevention campaigns, albendazole can be used in children as young as 1 year old. – Many children less than 6 years old have been treated in these campaigns with albendazole, albeit at a reduced dose. https://www.cdc.gov/
Pirantel Pamoat • Kehamilan: – Pyrantel pamoate is in pregnancy category C. – Data on the use of pyrantel pamoate in pregnant women are limited. In mass treatment programs for which WHO has determined that the benefit of treatment outweighs the risk, WHO allows use of pyrantel pamoate in the 2nd and 3rd trimesters of pregnancy, acknowledging that the effects of pyrantel on birth outcome are not certain. – The risk of treatment in pregnant women who are known to have an infection needs to be balanced with the risk of disease progression in the absence of treatment.
• Menyusui: – It is not known whether pyrantel pamoate is excreted in breast milk. – The WHO classifies pyrantel pamoate as compatible with breastfeeding, although data on the use of pyrantel pamoate during lactation are limited.
• Anak <2 tahun: – The safety of pyrantel pamoate in children has not been established. – According to WHO guidance on preventive chemotherapy, pyrantel may be used in children age 1 year and older during mass treatment programs without diagnosis. – Pyrantel pamoate is listed as an intestinal antihelminthic medicine on the WHO Model List of Essential Medicines for Children, intended for the use of children up to 12 years of age. https://www.cdc.gov/
106. Erupsi Kulit Akibat Obat DISEASES
EFLORECENSES
Toxic Epidermal Necrolysis
Detachment of more than 30% BSA, Nikolsky's sign (+)
Steven Johnson Syndrome
Detachment of less than 10% BSA, affects mucous membrane (mouth, lips, genital, anal)
Erythema multiforme
Reddened patches erupting on the arms, legs, and face
SSSS Pemphigoid bulosa
Widespread formation of fluid filled blisters that are thin walled and easily ruptured Tense bullae
Sindrom Stevens-Johnson → TEN • Sindrom yang mengenai kulit, selaputlendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat • Penyebab: alergi obat (>50%), infeksi, vaksinasi, graft vs host disease, neoplasma, radiasi • Reaksi hipersensitivitas tipe 2 • Trias kelainan – Kelainan kulit: eritema, vesikel, bula – Kelainan mukosa orifisium: vesikel/bula/pseudomembran pada mukosa mulut (100%), genitalia (50%). Berkembang menjadi krusta kehitaman – Kelainan mata: konjungtivitis
• Komplikasi: bronkopneumonia, gangguan elektrolit, syok • Pengobatan: KS sistemik-oral, antibiotik, suportif Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
TEN Definitions • SJS/TEN: – Lesions: Small blisters on dusky purpuric macules or atypical targets – Mucosal involvement common – Prodrome of fever and malaise common
• Stevens-Johnson Syndrome: – Rare areas of confluence. – Detachment = 10% BSA
• Toxic Epidermal Necrolysis: – Confluent erythema is common. – Outer layer of epidermis separates easily from basal layer with lateral pressure (nikolsky sign (+)) – Large sheet of necrotic epidermis often present. – >30% BSA involved.
Presentation • Fever (often >39) and flu-like illness 1-3 days before mucocutaneous lesions appear • Confluent erythema • Facial edema or central facial involvement • Lesions are painful • Palpable purpura • Skin necrosis, blisters and/or epidermal detachment • Mucous membrane erosions/crusting, sore throat • Visual Impairment (secondary to ocular involvement) • Rash 1-3 weeks after exposure, or days after 2 nd exposure
ERITEMA MULTIFORME • Erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada mukosa dengan gambaran bermacam-macam spektrum • Penyebab pasti belum diketahui • Gejala: – Tipe makula-eritema • Mendadak, simetrik, predileksi di punggung tangan, telapak tangan, ekstensor ekstremitas, mukosa. Gejala khas: bentuk iris
– Tipe vesikobulosa • Makula, papula, urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengah
• Obat: simtomatik, KS oral
NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK • Bentuk parah SSJ • Gejala: – Mirip SSJ namun lebih berat – Hampir seluruh tubuh – Epidermolisis: tanda Nikolsky (+)
• Obat: – KS sistemik dosis tinggi – Sulfadiazin perak topikal (sama seperti luka bakar) – Suportif
Erupsi Kulit ec Obat: Fixed Drug Eruption • Merupakan reaksi alergi tipe IV (lambat) • Tanda patognomonis – Lesi khas: • • • • •
Vesikel, bercak Eritema Lesi target berbentuk bulat lonjong atau numular Kadang-kadang disertai erosi Bercak hiperpigmentasi dengan kemerahan di tepinya, terutama pada lesi berulang
– Tempat predileksi: Sekitar mulut, daerah bibir, daerah penis atau vulva
TEN: Diagnosis Banding • Pemfigoid bulosa • Selulitis • Herpes simpleks • Komplikasi : Infeksi sekunder
TEN: Terapi • Kortikosteroid sistemik: prednison tab 30 mg/hari dibagi dalam 3x/ hari • Antihistamin sistemik untuk mengurangi rasa gatal: hidroksisin tab 10 mg/hari, 2x/hari selama 7 hari atau loratadin tab 1x10 mg/hari selama 7 hari • Pengobatan topikal – Erosi atau madidans dapat dilakukan kompres NaCl 0,9% atau Larutan Permanganas kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa selama 10-15 menit. Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai lesi kering. – Terapi dilanjutkan dengan pemakaian topikal kortikosteroid potensi ringan-sedang, misalnya hidrokortison krim 2.5% atau mometason furoat krim 0.1%
107. Skabies • Etiologi – Infestasi dan sensitisasi terhadap sarcoptes scabiei var. hominis – Transmisi: kontak langsung skin to skin, tidak langsung
• Gejala: 4 tanda kardinal – Pruritus nokturna – Menyerang manusia secara berkelompok – Terowongan (kunikulus) putih/keabuan, lurus/berkelok, panjang 1 cm, ujung terdapat papul/vesikel, predileksi pada sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku luar, lipat ketiak depan, areola mamae, umbilikus, bokong, genitalia eksterna, perut bawah
Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI: 2007
Skabies: Pemeriksaan & Tatalaksana • Pemeriksaan – Apusan kulit: kulit dibersihkan dengan eter dengan gerakan cepat selotip dilekatkan & ditekan pada lesi setelah beberapa detik selotip diangkat diletakkan di atas gelas objek (6 buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) diperiksa di bawah mikroskop – Burrow Ink Test: dengan mengoleskan tinta pada daerah terowongan tinta terabsorpsi terlihat terowongan
• Tatalaksana – Memutus rantai penularan: pengobatan kelompok yang terkena bersamaan, merebus pakaian dengan air panas, menjemur kasur – Obat: sulfur presipitat 4-20%, benzil benzoat 20-25%, gameksan 1%, krotamiton 10%, permetrin 5%
Antiskabies Drugs
Possible adverse Effect
Efektif
Benzyl benzoat 25%
Irritation, anasthesia & hypoesthesia, ocular irritation, rash, pregnancy category B
All stadium
Permethrine 5%
Mild &transient burning & stinging, pruritus, pregnancy category B, not recomended for children under 2 months
All stadium
Gameksan 1%
Toksis to SSP for pregnancy and children under 6 years old, pregnancy category C
All stadium
Krotamiton 10%
Allergic contact dermatitis/primary irritation, All stadium pregnancy category C
Sulfur precipitate 6%
Erythema, desquamation, irritation, pregnancy category C
Not efective for egg state
108. Malaria
Klasifikasi Malaria Jenis Malaria
Etiologi
Keterangan
Malaria Falciparum / malaria tropikana
Plasmodium falciparum Periode tidak panas tiap 12 jam, demam muncul tiap 24, 36 atau 48 jam
Malaria ovale
Plasmodium ovale
• Terutama di daerah Afrika, sifatnya ringan dan self limiting • Tidak panas tiap 36 jam, demam muncul tiap 48 jam
Malaria vivax / tertiana / benigna
Plasmodium vivax
Tidak panas tiap 36 jam, demam muncul tiap 48 jam
Malaria malariae / quartana
Plasmodium malariae
Tidak panas selama 60 jam, demam muncul tiap 72 jam
Malaria knowlesi
Plasmodium knowlesi
Parasit malaria terutama di monyet, dapat menginfeksi manusia juga
K RITERIA M ALARIA BERAT
Cerebral Malaria • Possible cause: • Binding of parasitized red cells in cerebral capillaries → sekuestrasi → severe malaria • permeability of the blood brain barrier • Excessive induction ofcytokines
http://www.microbiol.unimelb.edu.au
Pilihan utama Malaria Berat di RS: Artesunat • Artesunate parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. • Untuk membuat larutan artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering dengan larutan 0,6 ml biknat 5%. Kemudian ditambah larutan Dextrose 5% sebanyak 3-5 cc.
• Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgBB per-iv, sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. • Larutan artesunat bisa diberikan secara intramuskular dengan dosis yang sama. • Apabila sudah dapat minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan dihydroartemisinin-piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin
Pilihan lainnya: Artemeter • Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak. • Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB intramuskular. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kgBB intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat.
• Apabila sudah dapat minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan dihydroartemisininpiperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin
Pilihan lainnya: Kina •
• •
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang tidak tersedia derivat artemisinin parenteral dan pada ibu hamil trimester pertama.
Dalam bentuk ampul kina hidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg/2 ml. Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan dosis rumatan 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml dekstrose 5 % atau NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya, hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Dst sampai penderita dapat minum kina per oral.
•
Bila sudah dapat minum obat pemberian kina IV diganti dengan kina tablet dengan dosis 10 mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam.
•
Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina per infus yang pertam
•
Dosis anak-anak : Kina HCl 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgBB (jika umur <2 bulan : 6-8 mg/kgBB) diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5-10 cc/kgBB diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat.
•
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian.
•
*Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artemeter ataupun kina hidroklorida intramuscular sebagai dosis awal sebelum merujuk ke RS rujukan.
109. Ulkus Pada IMS: Ulkus Mole Ulkus Molle: Penyakit infeksi pada alat kelamin yang akut, setempat disebabkan oleh Haemophillus ducreyi. Ulkus: kecil, lunak, tidak ada indurasi, bergaung, kotor (tertutup jaringan nekrotik dan granulasi) PATOGENESIS : • Masa inkubasi : 1-3 hari
• Port d’entrée merah papul pustula pecah ulkus • Ulkus :
Multiple Tidak teratur Dinding bergaung Indurasi + Nyeri (dolen) Kotor
Ulkus Pada IMS: Ulkus Mole
Ulkus Mole: Tatalaksana • Obat Sistemik – – – – – – –
Azitromycin 1 gr, oral, single dose Seftriakson 250 mg dosis tunggal, injeksi IM Siprofloksasin 2x500 mg selama 3 hari Eritromisin 4x500 mg selama 7 hari Amoksisilin + asam klavulanat 3x125 mg selama 7 hari Streptomisin 1 gr sehari selama 10 hari Kotrimoksasol 2x2 tablet selama 7 hari
• Topikal • Kompres dengan larutan normal salin (NaCl 0,9%) 2 kali sehari selama 15 menit
110. Pioderma: Erisipelas • Penyakit infeksi akut oleh Streptococcus beta hemolyticus, menyerang epidermis dan dermis • Gejala: eritema berwarna merah cerah, berbatas tegas. Predileksi: tungkai bawah • Gejala konstitusi: demam, malaise • Terdapat keterlibatan limfatik dan juga limfadenopati, jika sering residif dapat menjadi elefantiasis • Pengobatan: elevasi tungkai, antibiotik sistemik, diuretik (bila edema) Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Patogenesis Abrasi, infeksi herpes simpleks, tinea pedis , gigitan serangga, ulkus, luka tusuk, luka vaksin, tali pusat neonatus yang terkena eksposur
Disrupsi Kulit
Agen infektif masuk, inokuasi di kulit
Manifestasi Klinis
Infeksi tersebar cepat sampai ke sistem limfatik
Gambaran Klinis
Lipworth A.D. et al. Non-necrotozong Infections of The Dermis and Subcutaneous Fat : Cellulitis and Erysipelas. Ftizpatrickk’s Dermatology in General Medicine. Eightth edition. 2012
Terapi Prinsip : Terapi sederhana, cukup rawat jalan Drug of choice : Penicillin, Amoxicillin, Vancomycin Alternatif : Cefoxitin, cephalexin, Dicloxacillin, Amoxicillin/clavulanate, Clindamycin, Azithromycin
Lipworth A.D. et al. Non-necrotozong Infections of The Dermis and Subcutaneous Fat : Cellulitis and Erysipelas. Ftizpatrickk’s Dermatology in General Medicine. Eightth edition. 2012
Erisipelas vs Selulitis • • • • • •
ERISIPELAS Infeksi akut oleh Streptococcus Menyerang lapisan kulit atas (superfisial) Eritema merah cerah, batas tegas, pinggirnya meninggi, tanda inflamasi (+) Predileksi: tungkai bawah Lab: leukositosis Jika sering residif dapat terjadi elefantiasis
• •
•
• •
SELULITIS Infeksi akut terutama oleh Staphylococcus Menyerang lapisan kulit yang lebih dalam limfangitis Infiltrat difus (batas tidak tegas) di subkutan, tanda inflamasi (+) Predileksi: tungkai bawah Lab: leukositosis
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 58-61 https://www.icgp.ie/assets/75/73F75322-D310-AFE8-B27BF2BFD39E293F_document/derma.pdf
111. Hidradenitis suppurativa • Infeksi kelenjar apokrin • Etiologi : Staphylococcus aureus • Didahului oleh trauma, ex: keringat berlebih, pemakaian deodorant, dll
• Gejala konstitusi : demam, malaise • Ruam berupa nodus dan tanda inflamasi (+) lalu melunak menjadi abses, pecah membentuk fistel dan sinus yang multiple • Lokasi: ketiak, perineum • Lab: leukositosis • Terapi: antibiotik sistemik Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 61-62
112. Tuberkulosis kutis • • • -
Penyebaran infeksi tuberkulosis ke kulit Etiologi utama Mycobacterium tuberculosis (91,5%) TB kutis diklasifikasikan berdasarkan 2 kriteria: Rute infeksi: eksogen, endogen, limfogen, dan heamtogen Banyaknya BTA: multibasiler dan pausibasiler
Sumber: Andriani PI. Pendekatan klinis infeksi tuberculosis pada kulit. CDK, 2014; 41(8): 584-8
Jenis TB kutis TB inokulasi primer (Tuberculous chancre)
Gambaran Klinis -
Skrofuloderma
-
-
Tuberkulosis orifisialis
-
-
Terjadi pada orang yang belum pernah terinfeksi TB sebelumnya Predileksi: wajah, tangan, dan kaki Lesi: papul/nodul2-3 minggu: ulkus keras, dangkal, tidak nyeri Limfadenopati tidak nyerikompleks primer/Gohn Infeksi pada struktur di bawah kulit, terutama kelenjar limfe superfisial Berawal dari limfadenitis TB multipelberkonfluensiperlunakan (cold abcess)pecahterbentuk fistelulkus memanjang dan tidak teratur, sekitarnya berwarna kebiruan (livid), dinding bergaung, dasar jaringan granulasi tertutup pus seropurulen Predileksi: orifisium Ulkus di mulut, bibir, dan sekitarnya karena kontak langsung dengan sputum (anus kontak dengan feses, OUE kontak dengan urin) Tersering pada pasien imunodefisiensi Lesi: nyeri dengan tepi tidak rata (punched out), dasar tertutup pseudomembran fibrin dan mudah berdarah, mukosa sekitar edema dan mengalami inflamasi.
Sumber: Andriani PI. Pendekatan klinis infeksi tuberculosis pada kulit. CDK, 2014; 41(8): 584-8
Jenis TB kutis
Gambaran Klinis
Tuberkulosis miliaris akut
-
Lesi: makula eritema dan papul eritema multipel, ukuran kecil <5 mm Penyebaran hematogen, dapat mencapai meninges Pemeriksaan diaskopi: apple jelly colour Sering pada AIDS
TB Gumosa
-
Lesi: infiltrat subkutan, lunak, berbatas tegas, kronis, dan bersifat destruktif. Predileksi: ekstremitas dan badan karena penyebaran hematogen
TB verukosa kutis
-
Reinfeksi pada individu yang pernah terinfeksi Predileksi: daerah yang sering terkena trauma (ekstremitas) Lesi: plak hiperkeratosis atau plak verukosa dengan tepi inflamasi yang tidak nyeri, permukaan kulit mengalami fisura, eksudat, dan krusta Tepi lesi tersusun serpiginosa, bagian tengah mengalami involusi
-
Lupus vulgaris
-
Tuberkulid
-
TB kutis tersering Penyebaran hematogen dan limfogen Lesi: soliter atau bisa multipel, berupa papul atau plak merah kecoklatan, berbatas tegas. Pemeriksaan diaskopi: apple jelly colour Ulkus/nodul hiperkeratosis Reaksi hipersensitivitas terhadap bakteri Terjadi pada host dengan imunitas baik, tes tuberculin (+) Lesi: Eritema induratum of Bazin (Nodular tuberculid), tuberkulid papulonekrotik, Lichen Skrofulosorum
Sumber: Andriani PI. Pendekatan klinis infeksi tuberculosis pada kulit. CDK, 2014; 41(8): 584-8
Tuberculous Chancre • Afek primer : papul, pustule, ulkus indolen, menggaung, disekitarnya livide • Masa tunas: 2-3 minggu Limfangitis, limfadenitis setelah afek primer • (tuberculin positif) Semua di atas: komplek primer Ulkus dengan indurasi
TUBERKULOSIS KUTIS VERUKOSA • Berbeda dgn skrofuloderma, penjalaran tipe verukosa terjadi secara eksogen • Kuman masuk melalui kulit pada orang yang sudah terinfeksi TB (primer) • Predileksi : punggung tangan, tungkai bawah, kaki (tempat yang lebih sering terkena trauma) • Gambaran klinisnya khas sekali: Bentuk bulan sabit akibat penjalaran serpiginosa • Papul lentikuler diatas kulit yang eritematosa • Dapat pula menjalar ke perifer sehingga terbentuk sikatriks di tengah
TB Kutis Gumosa • Secara hematogen (dari paru) infiltrate subkutan, batas tegas, menahun melunak, destruktif • DD: guma sifilis, frambusia, mikosis profunda
TB Kutis Orifisialis/ ulserosa • Di sekitar orifisium: – TB paru ulkus di mulut, bibir – TB saluran cerna ulkus di sekitar anus – TB saluran kemih ulkus pada genital
• Disebabkan karena kekebalan sangat kurang • Didapatkan ulkus menggaung, dinding livide
SKROFULODERMA • Penjalaran perkontinuitatum dari organ dibawah kulit yang diserang penyakit TB (kelenjar getah bening, sendi, tulang) • Lokasi – leher : dari tonsil atau paru – ketiak : dari apeks pleura – lipat paha : dari ekstremitas bawah → KGB Inguinal lateral
• Perjalanan penyakit: – Awal : limfadenitis TB • KGB membesar tanpa tanda radang akut
– Periadenitis • perlekatan kelenjar dengan jaringan sekitar sekitar
– Perlunakan tidak serentak → cold abses → Pecah – Fistel → memanjang, tidak teratur, sekitarnya livide menggaung tertutup pus seropurulen – Sikatrik → skin bridge
• DD/ : limfosarkoma, limfoma malignum, hidradenitis supurativa LGV
Limfadenitis TB
Periadenitis
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Cold Abses
Fistel
Sikatrik → skin bridge
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Tuberkulosis Kutis: Terapi • Terapi tergantung status infeksi tuberkulosis pasien • Dosis dan cara pemberian obat pada dasarnya sama dengan infeksi tuberkulosis lain – Pasien yang baru pertama kali terinfeksi mendapat regimen pengobatan obat anti tuberkulosis (OAT) kategori 1 • Regimen ini diberikan selama enam bulan, terdiri dari dua bulan fase intensif dan empat bulan fase lanjutan • Pengobatan fase intensif adalah isoniazid (H), ethambutol (E), rimfapisin (R), dan pirazinamid (Z) • Fase lanjutan diberikan isoniazid (H) dan rifampisin (R)
– Apabila infeksi tuberkulosis merupakan kasus lama, diberikan regimen pengobatan obat anti tuberkulosis (OAT) kategori 2 • Regimen itu terdiri dari tiga bulan fase intensif, ditambah injeksi streptomisin selama dua bulan pertama • Setelah fase intensif kemudian fase lanjutan selama lima bulan. http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_219Pendekatan%20Klinis%20Infeksi%20Tuberkulosis%20pada%20Kulit.pdf
ILMU K E S E H ATAN ANAK
113. Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir Ikterus atau Hiperbilirubinemia : menunjukkan pewarnaan pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.
Ikterus baru terlihat bila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL. Ikterus pada neonatus merupakan sesuatu yang unik dan membutuhkan perhatian khusus, karena: Neonatus sedang mengalami proses maturasi yang mungkin akan mempengaruhi perjalanan penyakit
Bilirubin indirek dapat mencapai kadar toksik (kernikterus) sehingga harus didiagnosis dini
Penyakit herediter mungkin menunjukkan manifestasi klinisnya pada periode usia ini
Metabolisme Bilirubin 80 – 90% bilirubin berasal dari pemecahan Hb di eritrosit, 10 -20 % dari protein mengandung heme
• Biliverdin unconjugated / bilirubin indirek •Enzim : biliverdin reductase • lokasi : plasma •Unconjugated bilirubin conjugated/ bilirubin direk •Enzim UGT mengkonjugasi bilirubin dengan asam glukoronat •Lokasi di liver •Conjugated bilirubin urobilinogen + stercobilin •Enzim dari bakteri, lokasi di intestin •Conjugated bilirubin unconjugated bilirubin •Beta glucoronidase •Lokasi di intestin, membuat bilirubin indirek masuk ke siklus enterohepatik
Patomekanisme Hiperbilirubinemia ↑ Produksi blirubin (ex. Hemolisis) i ↓ambilan bilirubin oleh hepatosit
↓ ikatan bilirubin intrahepatosit gangguan konjugasi bilirubin
↓sekresi bilirubin
↓ekskresi bilirubin
Etiologi
Ikterus Neonatorum • Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis. • Ikterus fisiologis: – Awitan terjadi setelah 24 jam – Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB) – Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15 mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis: – – –
Awitan terjadi sebelum usia 24 jam Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB – Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.
Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.
Zona
1
2
3
4
5
Definisi
Kepala dan leher
Kulit tubuh di atas pusar
Kulit tubuh di bawah pusar dan paha
Lengan dan tungkai
Telapak tangan dan kaki
Kadar bilirubin serum (mg/dL)
4-8
5 - 12
8 - 16
11 – 18
>1 5
Ikterus biasanya mulai terlihat di wajah lalu menyebar dengan arah cephalocaudal ke tubuh dan akhirnya ekstrimitas.
Ikterus pada Neonatus perlu dievaluasi lebih lanjut bila: 1. Ikterus timbul saat lahir atau pada hari pertama kehidupan 2. Kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat (>5 mg/Dl/hari) 3. Kadar bilirubin serum > 12 mg/Dl pada bayi cukup bulan dan 10-14 mg/dL/24 jam pada bayi preterm 4. Ikterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih 5. Peningkatan bilirubin direk > 2 mg/ dL
Ikterus yang Berhubungan dengan ASI Breast Feeding Jaundice (BFJ) •
• •
Disebabkan oleh kurangnya asupan ASI sehingga sirkulasi enterohepatik meningkat (pada hari ke-2 atau 3 saat ASI belum banyak) Timbul pada hari ke-2 atau ke-3 Penyebab: asupan ASI kurang cairan & kalori kurang penurunan frekuensi gerakan usus ekskresi bilirubin menurun
Breast Milk Jaundice (BMJ) • Berhubungan dengan pemberian ASI dari ibu tertentu dan bergantung pada kemampuan bayi mengkonjugasi bilirubin indirek • Kadar bilirubin meningkat pada hari 4-7 • Dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa penyabab ikterus lainnya • Penyebab: 3 hipotesis – Inhibisi glukuronil transferase oleh hasil metabolisme progesteron yang ada dalam ASI – Inhibisi glukuronil transferase oleh asam lemak bebas – Peningkatan sirkulasi enterohepatik
Indikator
BFJ
BMJ
Awitan
Usia 2-5 hari
Usia 5-10 hari
Lama
10 hari
>30 hari
Volume ASI
asupan ASI kurang cairan & kalori kurang penurunan frekuensi gerakan usus ekskresi bilirubin menurun
Tidak tergantung dari volume ASI
BAB
Tertunda atau jarang
Normal
Kadar Bilirubin
Tertinggi 15 mg/dl
Bisa mencapai >20 mg/dl
Pengobatan
Tidak ada, sangat jarang fototerapi Teruskan ASI disertai monitor dan evaluasi pemberian ASI
Fototerapi, Hentikan ASI jika kadar bilirubin > 16 mg/dl selama lebih dari 24 jam (untuk diagnostik) AAP merekomendasikan pemberian ASI terus menerus dan tidak menghentikan Gartner & Auerbach merekomendasikan penghentian ASI pada sebagian kasus
• For healthy term infants with breast milk or breastfeeding jaundice and with bilirubin levels of 12 mg/dL to 17 mg/dL, the following options are acceptable: Increase breastfeeding to 8-12 times per day and recheck the serum bilirubin level in 12-24 hours. • Temporary interruption of breastfeeding is rarely needed and is not recommended unless serum bilirubin levels reach 20 mg/dL.
• For infants with serum bilirubin levels from 17-25 mg/dL, add phototherapy to any of the previously stated treatment options. • The most rapid way to reduce the bilirubin level is to interrupt breastfeeding for 24 hours, feed with formula, and use phototherapy; however, in most infants, interrupting breastfeeding is not necessary or advisable
Breast Milk Jaundice Treatment & Management. Medscape.com
114. Keseimbangan Asam-Basa
758
759
H-H EQUATION
[HCO3-] pH ∞
[Base]
[metabolik]
Acid
∞ [respiratorik]
∞ d CO2
Respiratory Acidosis
Respiratory Alkalosis
Metabolic Acidosis
Metabolic Alkalosis
Kelainan Asam-Basa Tubuh dengan Reaksi Kompensasinya
(K)*
(K)*
(K)*
(K)* *(K) adalah reaksi kompensasi yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pH
Normal value
HCO3-
PCO2
PH
PCO2 HCO3-
NORMAL
PH
Metabolic Acidosis
Normal value
PCO2 HCO3-
PH
Metabolic Acidosis
HCO3-
PCO2
PH
Compensated Metabolic Acidosis
Normal value
HCO3-
PCO2
PH
Metabolic alkalosis
HCO3-
PCO2
PH
Compensated Met alkalosis
Normal value PCO2
HCO3-
HCO3-
PH
Respiratory Acidosis
PCO2
PH
Compensated Respiratory Acidosis
Normal value
PH
PH
HCO3-
PCO2
Acute Respiratory Alkalosis
HCO3-
PCO2
Chronic Respiratory Alkalosis
http://classes.midlandstech.edu/carterp/Courses/bio211/chap26/table_26_03_l abeled.jpg
115. Atelectasis • Pulmonary atelectasis is described as a state of a given region of lung parenchyma collapsed and nonaerated, associated with loss of lung volume and capacity, diagnosed from clinical and complementary tests (SCHINDLER, 2005)
Pozzo et.al. Children with pulmonary atelectasis: clinical outcome and characterization of physical therapy. Maringá, v. 35, n. 2, p. 169-173, JulyDec., 2013
Atelectasis • Classification of Ateletacsis : – Obstructive ateletacsis – Resorptive ateletacsis – Compressive ateletacsis
• The right middle lobe orrifice is the narrowest of the lobar orifices and because it sorounded by lymphoid tissue most common lobe to become ateletactic
Atelectasis • intrinsic airway obstruction is the most common cause of ateletacsis in children • Etiology: – – – – – – –
Asthma most common cause Bronchiolitis Aspiration du to a swallowing disorder Endobronchial tuberculosis Aspiration from gastroesophageal reflux Cystic fibrosis Increased or abnormal airway secretions for other reason
Atelectasis • Extrinsic compresion on the airways is the most likely to come from – enlarged lymph nodes – Lymphoma and other tumors in chest – An enlarged heart that compresses the left main or left lower lobe bronchus – Left to right intracadiac shunts that increases blood flow through the pulmonary arteries
AT E L E C TA S I S Chest radiographs and CT scans may demonstrate direct and indirect signs of lobar collapse. Direct signs include displacement of fissures and opacification of the collapsed lobe. Indirect signs include • displacement of the hilum, • mediastinal shift toward the side of collapse, • loss of volume on ipsilateral hemithorax, • elevation of ipsilateral diaphragm, • crowding of the ribs, • compensatory hyperlucency of the remaining lobes, • silhouetting of the diaphragm or the heart border.
Gambaran Radiologis DISEASE
RADIOGRAPHY
Pneumonia lobaris
Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.
Pneumonia lobularis/ bronko pneumonia
associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in response to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.
Asthma
bronkiolitis
pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most characteristic) Associated with thicker Bronchial wall, inflammation Flattening of diaphragm (with chronic inflammation or Associated with accessory muscle use) Hyperinflation (variably present) Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent, Peribronchial thickening Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris
Etiology: Pneumococcus Mycoplasma Gram negative organisms Legionella
Bronchiolitis
The x-ray shows lung hyperinflation with a flattened diaphragm and opacification in the right lung apex (red circle) and left lung base (blue circle) from atelectasis. Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma. This is one reason why children with acute asthma are often misdiagnosed as having pneumonia.
130. Wilms tumor • Wilms tumor Tumor ganas ginjal yang terjadi pada anak, yang terdiri dari sel spindel dan jaringan lain. Disebut juga adenomyosarcoma , embryoma o f kidney , nephroblastoma ,renal c arcinosarcoma .
The American Heritage® Stedman's Medical Dictionary Copyright © 2002, 2001, 1995 by Houghton Mifflin Company. Published by Houghton Mifflin Company.
• Merupakan tumor solid pada renal terbanyak pada masa kanak-kanak, 5% dari jumlah kanker pada anak. (smith urology) • Puncak usia adalah pada usia 3 tahun • Lebih sering unilateral ginjal • Etiologi – Non familial: 2 postzygotic mutation pada single cell – Familial : 1 preygotic mutation dan subsequent post zygotic event – Mutasi ini terjadi pada lengan pendek kromosom 11 (11p13)
Patogenesis & Pathology Prekurson wilms tumor (nephrogenic rest-NR) Perilobar NR dan intralobar NR
NR dormant untuk beberapa tahun
Renal mengalami involusi dan sclerosis
Wilms tumor Histopatology : Blastemal, epithelial, dan stromal element, tanpa anaplasia
Karakteristik tumor • Wilms tumor : large, multi lobular, gray or tan in color, focal area of hemorrhage and necrosis, biasanya terdapat fibrous pseudocapsule • Penyebarannya : 1. Direct extension renal capsule 2. hematogenously renal vein atau vena cava 3. lymphatic • Metastasis : 85-95% ke paru, 1015% ke liver, 25% ke limf node regional
Staging tumor Menurut NWTS (National Wilms Tumor Study) • Stage I : Tumor terbatas pada ginjal. Tidak ada penetrasi ke kapsul renalis atau keterlibatan renal sinus vessel. Tumor tidak rupture pada saat pengangkatan, tidak ada residual tumor di batas pengangkatan tumor.
• Stage II : Tumor sudah meluas dari ginjal tapi masih dapat diangkat sempurna. Terdapat penetrasi permukaan luar renal kapsul, invasi renal vessel sinus. Tidak ada residual tumor, tidak ada sisa pada batas pengangkatan, tidak ada keterlibatan kelenjar getah bening regional
• Stage III : Residual nonhematogenous tumor ke abdomen. Terdapat keterlibatan kelenjar getah bening, kontaminasi peritoneal, implan pada permukaan peritoneal, tumor meluar melebihi daerah pengangkatan, terdapat trombus tumor
• Stage IV : Terdapat metastasis hematogenous ke paru, liver, tulang, dan otak • Stage V: Keterlibatan bilateral renal
Gejala Klinis • Massa dan rasa sakit pada abdominal • Macroscopic haematuria • Hypertension • Anorexia, nausea, vomit
Pemeriksaan penunjang • Lab : Urinalisis : hematuria, anemia, subcapsular hemorrhage. Jika sudah metastasis ke liver terdapat peningkatan creatinin • CT abdominal lihat ekstensi tumor • Chest xray lihat metastasis ke paru • Biopsi
• CT scan in a patient with a right-sided Wilms tumor with favorable histology.
Gross nephrectomy specimen shows a Wilms tumor pushing the normal renal parenchyma to the side.
Manajemen • Surgical : - Keterlibatan kidney unilateral - Tumor tidak melibatkan organ visceral • Chemotherapy • Radiasi
disease
Sign & symptoms
Renal cell carcinoma
In contrast to adults, renal cell carcinoma is rare in childhood. However, there appears to be a subset of affected adolescent males with a unique chromosomal translocation at Xp11.2 The classic triad of RCC (flank pain, hematuria, and a palpable abdominal renal mass)
neuroblastoma
NB is the third most common pediatric cancer, accounting for about 8% of childhood malignancies The signs and symptoms of NB reflect the tumor site and extent of disease. Most cases of NB arise in the abdomen, either in the adrenal gland or in retroperitoneal sympathetic ganglia. Usually a firm, nodular mass that is palpable in the flank or midline is causing abdominal discomfort
Wilms tumor
Wilms tumor is the most common renal malignancy in children and the fourth most common childhood cancer Most children with Wilms tumor present with an abdominal mass or swelling, without other signs or symptoms. Other symptoms can include abdominal pain (30 %), hematuria (12 to 25 %), and hypertension (25 %) PF reveals a firm, nontender, smooth mass that rarely crosses the midline and generally does not move with respiration. In contrast, neuroblastoma and splenomegaly often will extend across the midline and move with respiration
disease
Sign & symptoms
Burkit limfoma
Patients with BL present with rapidly growing tumor masses and often have evidence of tumor lysis with a very high serum lactate dehydrogenase (LDH) concentration and elevated uric acid levels The endemic (African) form usually presents as a jaw or facial bone tumor that spreads to extranodal sites including the mesentery, ovary, testis, kidney, breast, and especially to the bone marrow and meninges The nonendemic (sporadic) form usually has an abdominal presentation Immunodeficiency-related cases more often involve lymph nodes BL tumor cells are monomorphic, medium-sized cells with round nuclei, multiple nucleoli, and basophilic cytoplasm A "starry-sky" pattern is usually present, imparted by numerous benign macrophages that have ingested apoptotic tumor cells
hodgkin limfoma
commonly present with painless, non-tender, firm, rubbery, cervical or supraclavicular lymphadenopathy. Most patients present with some degree of mediastinal involvement. patients may present with symptoms and signs of airway obstruction (dyspnea, hypoxia, cough), pleural or pericardial effusion, hepatocellular dysfunction, or bone marrow infiltration (anemia, neutropenia, or thrombocytopenia). Diagnostic Reed-Stemberg cells are large cells that have bilobed, double, or multiple nuclei and prominent, eosinophilic, inclusion-like nucleoli in at least two nuclei or nuclear lobes
117. Hepatitis Viral Akut • Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau kerusakan dan nekrosis sel hepatosit akibat virus hepatotropik. Dapat akut/kronik. Kronik → jika berlangsung lebih dari 6 bulan • Perjalanan klasik hepatitis virus akut – Fase inkubasi – Stadium prodromal/ preikterik: flu like syndrome, – Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal berkurang disertai munculnya ikterus, urin kuning tua – Stadium konvalesens/penyembuhan
• Anamnesis Hepatitis A : – Manifestasi hepatitis A: • Anak dicurigai menderita hepatitis A jika ada gejala sistemik yang berhubungan dengan saluran cerna (malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa tidak nyaman pada perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.
Pedoman Pelayanan Medis IDAI Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis A • Virus RNA (Picornavirus) ukuran 27 nm • Kebanyakan kasus pada usia <5 tahun asimtomatik atau gejala nonspesifik • Rute penyebaran: fekal oral; transmisi dari orang-orang dengan memakan makanan atau minumanterkontaminasi, kontak langsung. • Inkubasi: 2-6 minggu (ratarata 28 hari) Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis Hepatitis
Jenis virus
Antigen
Antibodi
Keterangan
HAV
RNA
HAV
Anti-HAV
Ditularkan secara fekaloral
HBV
DNA
HBsAg HBcAg HBeAg
Anti-HBs Anti-HBc Anti-HBe
•Ditularkan lewat darah •Karier
HCV
RNA
HCV C100-3 C33c C22-3 NS5
Anti-HCV
Ditularkan lewat darah
HDV
RNA
HBsAg HDV antigen
Anti-HBs Anti-HDV
Membutuhkan perantara HBV (hepadnavirus)
HEV
RNA
HEV antigen
Anti-HEV
Ditularkan secara fekaloral
Hepatitis A • Self limited disease dan tidak menjadi infeksi kronis • Gejala: – – – – –
Fatique Demam Mual Nafsu makan hilang Jaundice karena hiperbilirubin – Bile keluar dari peredaran darah dan dieksresikan ke urin warna urin gelap – Feses warna dempul (claycoloured)
• Diagnosis – Deteksi antibodi IgM di darah – Peningkatan ALT (enzim hati Alanine Transferase)
• Pencegahan: – Vaksinasi – Kebersihan yang baik – Sanitasi yang baik
• Tatalaksana: – Simptomatik – Istirahat, hindari makanan berlemak dan alkohol – Hidrasi yang baik – Diet
Profilaksis Hepatitis A • Imunoglobulin yang diberikan sebelum pajanan atau sewaktu masa inkubasi awal efektif mencegah timbulnya gejala klinis hepatitis A. • Untuk profilaksis pascaterpajan orang dekat dengan hepatitis A (tinggal serumah, pasangan seks), imunoglobulin segera diberikan dengan dosis 0,02 mL/kg.
• Ig masih efektif bila diberikan paling lambat 2 minggu setelah terpajan. • Imunoglobulin profilaksis tidak diberikan untuk: – – – –
Orang yang sudah vaksin hepatitis A, Kontak kasual di tempat kerja, sekolah, rumah sakit, Lansia yang kemungkinan besar sudah imun, Orang yang sudah anti-HAV (+).
Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.
Profilaksis Hepatitis A
Serologi Hepatitis A, B, C
Penanda Serologis Hepatitis
Hepatitis relaps didefinisikan sebagai meningkatnya kembali konsentrasi aminotransferase dan bilirubin yang sudah kembali normal dalam masa penyembuhan.
Profilaksis Hepatitis A
• • •
Vaksin diberikan dengan injeksi IM. Proteksi anti-HAV pascavaksin mulai timbul 4 minggu setelah pemberian pertama. Proteksi bertahan hingga 20 tahun. Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014 Umur pemberian vaksin Jenis vaksin Hepatit i s B Polio BCG DTP Hib PCV Rotavirus e Influ nza Campak MMR Tifoid Hepatit i s A Varisela HPV
Lahir
1
1
2
0
2
3
4
Bulan 5 6
9
12
15
18
24
3
5
6
Tahun 7 8
10
12
18
3 1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
4
5
4
5
1 kali 6 (Td)
7(Td)
4 4 Ulangan 1 kaliptia tpahun 1
Keterangan Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i) sd 2 bul an 29 har i (89 har i) Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // idai.or.id/public-artices/kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel 1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. 2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral (OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. 3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. 4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. 5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR sudah diberikan pada 15 bulan.
2 1
3 2 Ulangan tia 3 t ahun 2 kali, interval 6-12 bulan 1 kali 3 kali
6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali. 7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu; dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu). 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu. 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang p setia tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL. 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan interval 0,2,6 bulan.
118. Demam Dengue (DF) • Disebabkan oleh virus flavivirus dengan 4 serotipe DE-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 melalui nyamuk aedes aegypti atau aedes albopictus • DEN-3 merupakan serotipe yang banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti dengan serotipe DEN-2 • Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau lebih gejala berikut: – – – – – –
Nyeri kepala Nyeri retroorbita Myalgia/arthralgia Ruam Manifestasi perdarahan Leukopenia
WHO. SEARO. Guidelines for treatment of dengue fever/dengue hemorrhagic fever in small hospitals. 1999.
Alur Perawatan
Pediatric Vital Signs Age
Heart Rate (beats/min )
Premature
120-170 *
0-3 mo
100-150 *
3-6 mo
90-120
6-12 mo
80-120
1-3 yr
70-110
3-6 yr
65-110
6-12 yr
60-95
12 > yr
55-85
http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf
Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011. * From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45. † From American Heart Association ECC Guidelines, 2000.
1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999). Pediatric reference ranges (3rd ed.). Washington, DC: AACC Press. http://wps.prenhall.com/wps/media/obje cts/354/362846/London%20App.%20B.pdf
119. Pertusis • Batuk rejan (pertusis) adalah penyakit akibat infeksi Bordetella pertussis (basil gram -) • Karakteristik : uncontrollable, violent coughing which often makes it hard to breathe. After fits of many coughs needs to take deep breathes which result in a "whooping" sound. • Anak yang menderita pertusis bersifat infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit
Pertusis • Stadium: – Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea, demam subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi biasa. Penularan terjadi dalam stadium ini. – Stadium paroksismal: batuk paroksismal yang lama, bisa diikuti dengan whooping atau stadium apnea. Bisa disertai muntah. – Stadium konvalesens: batuk kronik hingga beberapa minggu Guinto-Ocampo H. Pediatric pertussis. http://emedicine.medscape.com/article/967268overview
Diagnosis dan Tatalaksana Pertusis • Diagnosis : – Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal. – Tanda diagnostik : Batuk paroksismal diikuti whoop saat inspirasi disertai muntah, perdarahan subkonjungtiva, riwayat imunisasi (-), bayi muda dapat mengalami henti napas sementara/sianosis
• Penatalaksanaan : – Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan – < 6 bulan, dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas, atau sianosis dirawat di RS
• Pemeriksaan penunjang – Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut – IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin pertusis) Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Tatalaksana • Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan) • Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia • Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7 hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah pemberian terapi hari ke-5 • Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol, dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi pertusis. • Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik, hipoksia dan/ atau dehidrasi. • Terapi antibiotik: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi. • Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
Penyulit/ Komplikasi • • • • • • •
Pneumonia Atelektasis Ruptur alveoli Emfisema Bronkiektasis Pneumotoraks Ruptur diafragma
• Kejang • Tanda perdarahan, berupa: Epistaksis, melena, perdarahan subkonjungtiva, hematom epidural, perdarahan intrakranial • Meningoensefalitis, ensefalopati, koma • Dehidrasi dan gangguan nutrisi • Hernia umbilikalis/inguinalis, prolaps rekti
Vaksin Pertusis • Vaksin pertussis whole cell: merupakan suspensi kuman B. pertussis mati. • Vaksin pertusis aselular adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin dari Bordettellapertusis. • Vaksin pertussis aselular bila dibandingkan dengan wholecell ternyata memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan, diduga akibat dikeluarkannya komponen endotoksin dan debris.
• Untuk vaksin Td ditambahkan perlu booster tiap 10 tahun. • Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP – Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh (42,9%) penerima DTP. – Demam – Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan (inconsolable crying). – Kejang demam – ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis
Vaksin Pertusis • Kontraindikasi mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu – Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya – Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya
•
• Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution): – bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP.
120. Leukemia
Leukemia • Jenis leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) dan Acute Myelogenous Leukemia (AML) • ALL merupakan keganasan yg paling sering ditemui pada anak-anak (1/4 total kasus keganasan pediatrik) • Puncak insidens ALL usia 2-5 tahun
Clinical Manifestation • More common in AML – Leukostasis (when blas count >50.000/uL): occluded microcirculationheadache, blurred vision, TIA, CVA, dyspnea, hypoxia – DIC (promyelocitic subtype) – Leukemic infiltration of skin, gingiva (monocytic subtype) – Chloroma: extramedullary tumor, virtually any location.
• More common in ALL – Bone pain, lymphadenopathy, hepatosplenomegaly (also seen in – monocytic AML) – CNS involvement: cranial neuropathies, nausea, vomiting, headache, anterior mediastinal mass (T-cell ALL) – Tumor lysis syndrome
ALL
AML
epidemiologi ALL merupakan keganasan yg paling sering ditemui pada anak-anak (1/4 total kasus keganasan pediatrik) Puncak insidens usia 2-5 tahun
15% dari leukemia pada pediatri, juga ditemukan pada dewasa
etiologi
Penyebab tidak diketahui
Cause unknown. Risk factors: benzene exposure, radiation exposure, prior treatment with alkylating agents
Gejala dan tanda
Gejala dan tanda sesuai dengan infiltrasi sumsum tulang dan/atau gejala ekstrameduler: konjungtiva pucat, petekie dan memar akibat trombositopenia; limfadenopati, hepatosplenomegali.Terkadang ada keterlibatan SSP (papil edem, canial nerve palsy); unilateral painless testicular enlargement.
Pucat, mudah lelah, memar, peteki, epistaksis, demam, hiperplasia gingiva, chloroma, hepatosplenomegali
Lab
Anemia, Trombositopenia, Leukopeni/Hiperleukositosis/normal, Dominasi Limfosit, Sel Blas (+)
Trombositopenia, leukopenia/leukositosis, primitif granulocyte/monocyte, auer rods (hin, needle-shaped, eosinophilic cytoplasmic inclusions)
Terapi
kemoterapi
kemoterapi
121. Malnutrisi Energi Protein • Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya (WHO) • Dibagi menjadi 3: – Overnutrition (overweight, obesitas) – Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk) – Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP): – MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang) – MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis: – Marasmus – Kwashiorkor – Marasmik-kwashiorkor Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and adolescents. Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition. http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus wajah seperti orang tua kulit terlihat longgar tulang rusuk tampak terlihat jelas kulit paha berkeriput terlihat tulang belakang lebih menonjol dan kulit di pantat berkeriput ( baggy pant )
Kwashiorkor edema rambut kemerahan, mudah dicabut kurang aktif, rewel/cengeng pengurusan otot Kelainan kulit berupa bercak merah muda yg meluas & berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor • Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk • Z-score → menggunakan kurva WHO weight-forheight • <-2 – moderate wasted • <-3 – severe wasted gizi buruk
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 cm
• BB/IBW (Ideal Body Weight) → menggunakan kurva CDC • ≥80-90% mild malnutrition • ≥70-80% moderate malnutrition • ≤70% severe malnutrition Gizi Buruk
Kwashiorkor Protein
Serum Albumin Tekanan osmotik koloid serum
Edema
Marasmus Karbohidrat
Pemecahan lemah
+ pemecahan protein
Lemak subkutan
Muscle wasting, kulit keriput
Turgor kulit berkurang
Emergency Signs in Severe Malnutrition • Dibutuhkan tindakan resusitasi • Tanda gangguan airway and breathing : – Tanda obstruksi – Sianosis – Distress pernapasan
• Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL. Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat. Terdapat risiko overhidrasi • Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran – Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
Cause difference MARASMUS
K WA S H I O R K O R
Marasmus is multi nutritional deficiency
Kwashiorkor occurs due to the lack of proteins in a person's diet
Marasmus usually affects very young children
Kwashiorkor affects slightly older children mainly children who are weaned away from their mother's milk
Marasmus is usually the result of a gradual process
Kwashiorkor can occur rapidly
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk No Tindakan
Stabilisasi H 1-2 H 3-7
Transisi H 8-14
Rehabilitasi Tindaklanjut mg 3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia
2. Atasi/cegah hipotermia 3. Atasi/cegah dehidrasi 4. Perbaiki gangguan elektrolit 5. Obati infeksi 6. Perbaiki def. nutrien mikro 7. Makanan stab & trans 8. Makanan Tumb.kejar 9. Stimulasi 10. Siapkan tindak lanjut
tanpa Fe
+ Fe
HIPOGLIKEMIA • Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (< 54 mg/dl) • Jika tidak memungkinkan periksa GDS, maka semua anak gizi buruk dianggap hipoglikemia • Segera beri F-75 pertama, bila tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml glukosa/ gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml air) oral/NGT.
• Jika anak tidak sadar, beri larutan glukosa 10% IV bolus 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50 ml dengan NGT. • Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2–3 jam, siang dan malam selama minimal dua hari.
Ketentuan Pemberian Makan Awal • Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas serta rendah laktosa • Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian parenteral • Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi • Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi • Apabila pemberian makan oral tidak mencapai kebutuhan minimal, berikan sisanya melalui NGT • Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F100 Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Pemberian Makanan • Fase stabilisasi (Inisiasi) – Energi: 80-100 kal/kg/hari – Protein: 1-1,5 gram/kg/hari – Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari (edema)
• Fase transisi – Energi: 100-150 kal/kg/hari – Protein: 2-3 gram/kg/hari
• Fase rehabilitasi – Energi: 150-220 kal/kg/hari – Protein: 3-4 gram/kg/hari
HIPOTERMIA (Suhu aksilar < 35.5° C) • Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan selimut hangat dan letakkan pemanas/ lampu di dekatnya, atau lakukan metode kanguru. • Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam s.d suhu menjadi 36.5° C/lbh. • Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36.5° C
DEHIDRASI • Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat dengan syok. • Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT – beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama – setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
Atasi Infeksi • Anggap semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka datang dan segera diberi antibiotik. PILIHAN ANTIBIOTIK SPEKTRUM LUAS • Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata Kotrimoksazol PO (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB/12 jam selama 5 hari.
• Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV/6 jam selama 2 hari), dilanjutkan Amoksisilin PO (15 mg/kgBB/8 jam selama 5 hari) ATAU Ampisilin PO (50 mg/kgBB/6 jam selama 5 hari) sehingga total selama 7 hari, DITAMBAH Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.
• Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam, tambahkan Kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari. • Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan obati dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari.
Mikronutrien • • • •
Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari) Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari) Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari) Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi) • Vitamin A diberikan secara oral pada hari ke 1 dengan:
• Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
122. Anatomy of Salivary gland • 3 major salivary glands: – The parotid glands – The submandibular glands – The sublingual glands
• Many minor salivary glands in mucosa of cheeks, lips, palate.
Mumps (Parotitis Epidemica) • Acute, self-limited, systemic viral illness characterized by the swelling of one or more of the salivary glands, typically the parotid glands. • Caused by a specific RNA virus, known as Rubulavirus, genus Paramyxovirus. • This Paramyxovirus is highly infectious to nonimmune individuals and is the only cause of epidemic parotitis
Mumps • Masa inkubasi 12-25 hari, gejala • Salah satu penyebab parotitis prodromal tidak spesifik • Satu-satunya penyebab parotitis yang ditandai dengan mialgia, mengakibatkan “occasional outbreak” anoreksia, malaise, sakit kepala • Disebabkan oleh paramyxovirus, dengan dan demam ringan Setelah predileksi pada kelenjar dan jaringan itu timbul pembengkakan syaraf. unilateral/bilateral kelejar • The transmission mode is person to parotis. person via respiratory droplets and • Gejala ini akan berkurang saliva, direct contact, or fomites. setelah 1 minggu dan biasanya • Insidens puncak pada usia 5-9 tahun. menghilang setelah 10 hari. • Imunisasi dengan live attenuated • Komplikasi: Ketulian; orkitis vaccine sangat berhasil (98%) (biasanya unilateral) dilaporkan • Penularan terjadi sejak 6 hari sebelum sampai 20% pada kasus timbulnya pembengkakan parotis gondongan lelaki dewasa sampai 9 hari kemudian. • Bisa tanpa gejala
Mumps • Komplikasi : Meningitis/encephalitis, Sensorineural hearing loss/deafness, Guillain-Barr é syndrome, Thyroiditis, Myocarditis, orchitis (terjadi pada laki-laki usia postpubertal) • Approximately one third of postpubertal male patients develop unilateral orchitis. • Prevention : Vaccinating children with MMR should be established and maintained in all communities
Mumps Treatment • Conservative, supportive medical care is indicated for patients with mumps. • No antiviral agent is indicated, as mumps is a selflimited disease. • Encouraging oral fluid intake • Refrain from acidic foods and liquids as they may cause swallowing difficulty, as well as gastric irritation. • Analgesics (acetaminophen, ibuprofen) • Topical application of warm or cold packs to the swollen parotid may soothe the area.
MMR • Merupakan vaksin kombinasi untuk Measles (Campak), Mumps (Parotitis), dan Rubella • Vaksin kering, mengandung virus hidup, disimpan pada temperatur 2-8:C, dan terlindung dari cahaya • Pemberian dengan dosis tunggal 0.5 ml intramuskular atau subkutan dalam • Harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan, dan rubella • Diberikan pada anak berusia >12 bulan
123. Ketoasidosis Diabetikum
Diagnostic Criteria and Typical Total Body Deficits of Water and Electrolytes in Diabetic Ketoacidosis • Diagnostic criteria* – Blood glucose: > 250 mg per dL (13.9 mmol per L) – pH: <7.3 – Serum bicarbonate: < 15 mEq/L – Urinary ketone: ≥3+ – Serum ketone: positive at 1:2 dilutions† – Serum osmolality: variable
• Typical deficits – Water: 6 L, or 100 mL per kg body weight – Sodium: 7 to 10 mEq per kg body weight – Potassium: 3 to 5 mEq per kg body weight – Phosphate: ~1.0 mmol per kg body weight
*Not all patients will meet all diagnostic criteria, depending on hydration status, previous administration of diabetes treatment and other factors. Adapted with permission from Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA. Diabetic ketoacidosis. In: Porte D Jr, Sherwin RS, eds. Ellenberg and Rifkin's Diabetes mellitus. 5th ed. Stamford, Conn.: Appleton & Lange, 1997;827–44.
CLASSIC TRIAD OF DKA
Goals of Treatment KAD • Restore perfusion, which will increase glucose uptake in the periphery, increase glomerular filtration, and reverse the progressive acidosis. • Arrest ketogenesis with insulin administration, which reverses proteolysis and lipolysis while stimulating glucose uptake and processing, thereby normalizing blood glucose concentration. • Replace electrolyte losses. • Intervene rapidly when complications, • especially CE, occur.
Prinsip Tatalaksana DKA
124. GENETIC DISORDER Patau Syndrome Trisomi 13 noninherited
Mental retardation, heart defects, CNS abnormalities, microphthalmia, polydachtyly, a cleft lip with or without a cleft palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.
Sindrom Klinefelter 47,XXY noninherited
cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or incomplete puberty, gynecomastia, reduced facial and body hair, and an inability to have biological children (infertility). Older children and adults tend to be taller. Increased risk of developing breast cancer and SLE. May have learning disabilities and delayed speech; tend to be quiet, sensitive, and unassertive.
Sindrom Edward Trisomi 18 Noninherited
Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a rounded bottom (rocker-bottom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental delay, microcephaly, Undescended testicle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe kidney, Hydronephrosis, Polycystic kidney), severe intellectual disability It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die before birth or within their first month.
mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck, Flattened nose, Separated sutures, Single palm crease, Small ears, small mouth, Upward slanting eyes, Wide, short hands with short fingers, White spots on the colored part of the eye (Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD)
Sindrom Down Trisomi 21 noninherited Physical development is often slower than normal (Most never reach their average adult height), delayed mental and social development (Impulsive behavior, Poor judgment, Short attention span, Slow learning)
Sindrom turner 45 + XO noninherited
The most common feature is short stature, which becomes evident by about age 5. Ovarian hypofunction. Many affected girls do not undergo puberty and infertile. About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck, limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities, or kidney problem, 1/3 have heart defect, such as coarctation of the aorta. Most of them have normal intelligence. Developmental delays, nonverbal learning disabilities, and behavioral problems are possible
Partial androgen insensitivity syndrome Reifenster syndrome
• Predominantly male phenotype with micropenis, perineal hypospadia, cryptorchidism and possibly bifid scrotum • Ambiguity of the external genitalia: very large clitoris, urogenital sinus with perineal opening and labioscrotal folds • Predominantly female phenotype: large clitoris, separate openings of the urethra and vagina
Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh). 3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum, Teeth that are too crowded, Flat feet.
Fragile X syndrome Fragile X syndrome is a genetic condition that causes a Diturunkan secara range of developmental problems including learning X-linked dominan disabilities and cognitive impairment. Usually, males are more severely affected by this disorder than females.
Turner syndrome • Turner syndrome (TS): is a genetic condition that only affects females. • The condition is caused by an abnormal chromosome and affects about one in every 2,500 baby girls, but is much more common among pregnancies that do not survive to term (miscarriages and stillbirths). • The abnormality is not inherited from an affected parent (not passed down from parent to child). • because women with Turner syndrome are usually sterile and cannot have children. •
• Possible symptoms in young infants include: Swollen hands and feet Wide and webbed neck and a low or indistinct hairline
Clinical features • • • • • • • • • • • • •
Short stature (143-145cm tall) Loss of ovarian function Hormone imbalances( thyroid, diabetes) Stress and emotional deprivation Diseases affecting the kidneys, heart, lungs or intestines Bone diseases Learning problems( esp. in maths) A heart murmur, sometimes associated with narrowing of the aorta. A tendency to develop high blood pressure (so this should be checked regularly). Scoliosis occurs in 10 percent of adolescent girls The thyroid gland becomes under-active in about 10 percent of women who have Turner syndrome. Older or over-weight women with Turner syndrome are slightly more at risk of developing diabetes. Osteoporosis can develop because of a lack of estrogen.
Diagnosis • About half of the cases are diagnosed within the first few months of a girl's life by the characteristic physical symptoms .(swelling of the hands and feet, or a heart defect). • Other patients are diagnosed in adolescence because they fail to grow normally or go through puberty. • When the doctor suspects Turner syndrome, a blood sample can be used to make a karyotype and the diagnosis can be confirmed. • Prenatal diagnosis: – Turner syndrome may be diagnosed during pregnancy with a chorionic villus sampling (CVS) or amniocentesis. – Alternatively, an ultrasound can identify the disorder by its physical symptoms before the baby is born (signs of underdevelopment).
125 PNEUMONIA • Inflammation of the parenchyma of the lungs
http://emedicine.medscape.com/article/967822
Patologi Pneumonia • Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. • Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan.
• Akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
Pneumonia. PDPI
– Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema. – Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah. – Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak. – Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit danalveolar makrofag.
Klasifikasi berdasarkan predileksi • Pneumonia lobaris – pada satu lobus atau segmen
• Bronkopneumonia. – Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. – Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.
• Pneumonia interstisial
Item
Lobar pneumonia
Bronchopneumonia
Age
Lobar pneumonia Occurs in otherwise healthy individuals between 30 - 50 years of age (Young and adults)
Extremes of ages infants, olds and those suffering from chronic debilitating illness or immuno-suppression.
Organism
Mostly pneumococci (strep. Pneumonia)
Mixed organisms: viral, Staphylococci, Streptococci, H. influenzae, Proteus and Pseudomonas
Grossly
Lobar or segmental consolidation
Patchy, bilateral of both lungs
Pneumonia • Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing • Signs and symptoms : – Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy, vomiting and diarrhea, abdominal pain – Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring, subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)
Fast breathing (tachypnea) Respiratory thresholds Age Breaths/minute < 2 months 60 2 - 12 months 50 1 - 5 years 40
AGE
COMMON ETIOLOGIES (as in order)
LESS COMMON ETIOLOGIES
2 to 24 months
RSV Human metapneumovirus Parainfluenza viruses Influenza A and B Rhinovirus Adenovirus Enterovirus
Streptococcus pneumoniae Chlamydia trachomatis
Mycoplasma pneumoniae Haemophilus influenzae (type B and nontypable) Chlamydophila pneumoniae
2 to 5 years
Respiratory syncytial virus Human metapneumovirus Parainfluenza viruses Influenza A and B Rhinovirus Adenovirus Enterovirus
S. pneumoniae M. pneumoniae H. influenzae (B and nontypable) C. pneumoniae
Staphylococcus aureus (including methicillin-resistant S. aureus) Group A streptococcus
Older than 5 years
Rhinovirus Adenovirus Influenza A and B
M. pneumoniae C. pneumoniae S. pneumoniae
H. influenzae (B and nontypable) S. aureus (including methicillinresistant S. aureus) Group A streptococcus Respiratory syncytial virus Parainfluenza viruses Human metapneumovirus Enterovirus
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Batuk dan/atau dyspnea ditambah min salah satu: • Kepala terangguk-angguk • Pernapasan cuping hidung • Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam • Foto dada menunjukkan infiltrat luas, konsolidasi Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini: • takipnea • Suara merintih (grunting) pada bayi muda • Pada auskultasi terdengar: crackles (ronkii), Suara pernapasan menurun, suara napas bronkial
VERY SEVERE PNEUMONIA
Di samping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
SEVERE PNEUMONIA
PNEUMONIA
Diagnosis Pneumonia (WHO) Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: • Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya • Kejang, letargis atau tidak sadar • Sianosis • Distres pernapasan berat
Kriteria rawat inap
• rawat jalan • Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
SEVERE-VERY SEVERE PNEUMONIA
PNEUMONIA
Tatalaksana Pneumonia • ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam). Bila anak memberi respons yang baik dlm 24-72 jam, lanjutkan selama 5 hari. Selanjutnya dilanjutkan dgn amoksisilin PO (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya. • Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam). • Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisinkloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari). • Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
126. Inflammatory/Exudative Diarrhea • Diseases associated with large quantities of inflammatory exudate blood, pus, and proteinaceous material, can produce diarrhea. • These inflammatory products in themselves cause increased stool volume and frequency, but altered absorption of fluid and electrolytes also plays an important role.
• Mucosal inflammation can occur with diverticulitis, inflammatory bowel disease, or invasive enteric infections such as shigella, salmonella, or campylobacter. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK414/
Inflammatory/exudative Diarrhea Luminal or invading Viruses Bacteria Protozoa Helminths
Immunological mechanisms Complement T-lymphocytes Proteases Oxidants
Minimal or severe inflammation Enterocyte damage or death Malabsorption and secretion
Inflammatory Diarrhea Of Any Mechanism Damage to absorbing epithelium →→ • Repopulation of damaged absorptive surface: – By immature cells with poor absorptive capacity → Malabsorption of ions and nutrients • Release of inflammatory mediators from cells in the lamina propria → Stimulate secretion from the – Remaining crypts – Immature villous surface cells
Disentri • Disentri adalah diare yang disertai darah. Sebagian besar kasus disebabkan oleh Shigella dan hampir semuanya membutuhkan pengobatan antibiotik • Pemeriksaan penunjang: Feses rutin untuk mengidentifikasi trofozoit amuba dan giardia. Peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10 per lapang pandang mendukung etiologi bakteri invasif • Pikirkan diagnosa invaginasi jika terdapat tanda dan gejala: Feses dominan lendir dan darah, kesakitan dan gelisah, muntah, massa intra-abdomen (+)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Balantidiasis • Balantidium coli is a parasitic species of ciliate protozoan responsible for the disease Balantidiasis. • Balantidium coli is thelargest protozoan and the only ciliate known to parasitize humans.
Balantidium Coli Trophozoite
Cyst
Shape
Oval, pointed at anterior end
Spherical
Size
50-130 mm long
40-60 mm across
Surface
Covered in cilia
Covered with thick, hard cyst wall with cilia
Infectious
Not infective
Infective
Reproduction Nuclei
By binary fission or conjugation Macronucleus and micronucleus
Non-reproductive Only macronucleus
Balantidium Coli: Morfologi
~70 x 45 m (up to 200 m)
~55 m
Encystation
Active – Trophozoite Stage. The trophozoite inhabits the cecum and colon of humans.
Excystation occurs in the small intestine
Cyst Phase.
Balantidium coli: Pathology •
Trophozoites are tissue invaders. They secrete proteolytic enzymes (Hyaluronidase) which digest the epithelium of the large intestine.
•
Ulceration results in bleeding and secondary bacterial infection.
•
Perforation of the large intestine has occurred in some fatal cases.
Laboratory diagnosis 1. Examination of stool samples, looking for trophozoites and cysts, which are readily identified because of their large size.
Trophozoite
Cyst
2. Biopsy of the colon: Numerous trophozoites in intestinal tissue.
Balantidium Coli: Gejala dan Tanda • Kebanyakan asimptomatik meskipun terdapat kista atau trofozoit dalam feses • Diare kronik, disentri sesekali, mual, napas bau, kolitis, nyeri perut
Balantidiasis: Terapi • Tetracycline – Dewasa: 500 mg, PO, 4x/hari selama 10 hari – Anak ≥ 8 tahun: 40 mg/kg/hari (max. 2 gram), PO, 4x/hari selama 10 hari – Note: kontraindikasi pada wanita hamil dan anak < 8 tahun
• Metronidazole – Dewasa: 500-750 mg, PO, 3x/hari selama 5 hari – Anak: 35-50 mg/kg/hari, PO, 3x/hari selama 5 hari
• Iodoquinol – Dewasa: 650 mg, PO, 3x/hari selama 20 hari – Anak: 30-40 mg/kg/hari (max 2 g), PO, 3x/hari selama 20 hari http://www.cdc.gov/dpdx/balantidiasis/tx.html
127. Anemia Defisiensi Besi
Etiologi • Bayi di bawah 1 tahun – Persediaan besi yang kurang karena BBLR, lahir kembarm ASI eksklusif tanpa suplementasi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat, anemia selama kehamilan
• Anak umur 1-2 tahun – Tidak mendapat MPASI – Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang – Malabsorbsi
• Anak umur 2-5 tahun – Diet rendah heme – Infeksi berulang/menahun – Perdarahan berlebihan karena divertikulum meckel
• Umur 5 tahun – remaja – Poliposis – Kehilangan besi karena perdarahan e.c parasit/infeksi
• Remaja dewasa – Menstruasi berlebihan
Manifestasi Klinis • Anamnesis – Pucat yang berlangsung lama (kronik) – Gejala komplikasi : lemas, sariawan, fagofagia, penurunan prestasi belajar, menurunnya daya dahan tubuh terhadap infeksi dan gangguan perilaku – Terdapat faktor predisposis dan faktor penyebab
• Pemeriksaan fisik – Pucat tanpa tanda – tanda perdarahan – Limpa dapat membesar namun umumnya tidak teraba – Koilonikia, glositis. Dan stomatitis angularis
Pemeriksaan Penunjang
Profil Zat Besi • Ferritin ferritin : intracellular protein which safely stores excess iron. – Tiny amounts of ferritin can be detected in serum measured surrogate for body iron stores – Serum ferritin shows an acute phase response and can be elevated in a variety of inflammatory, metabolic, hepatic and neoplastic disorders difficult to recognise iron deficiency in patients with inflammatory disorders – normal range for serum ferritin is generally regarded as 15300μg/l.
•
Total iron binding capacity – is a measurement of the maximum amount of iron that can be carried. – Indirect measurement of transferrin.
•
Transferrin saturation – The most useful test in assessing iron supply to the tissues – Transferrin is a glycoprotein synthesised in the liver and is responsible for the transportation of iron (Fe3+) in serum – In iron deficiency anaemia the serum iron level falls. As a result the liver is stimulated to synthesise more transferrin and the transferrin saturation falls (usually <15%). – Transferrin saturation is obtained by the following formula: serum iron x 100 ÷ TIBC Normal range 25–50%,
–
• Serum iron concentration – is a measurement of circulating iron (Fe³+) bound to transferrin – Only 0.1% of total body iron is bound to transferrin at any one time
Diagnosis
Penatalaksanaan • Pengobatan harus dimulai pada stadium dini (pada stadium deplesi besi atau kekurangan besi) untuk mencegah terjadinya ADB • Tatalaksana etiologi dan terapi preparat zat besi atau bila perlu diberikan transfusi PRC • Pemberian Zat Besi : – Preparat besi diberikan sampai kadar Hb normal dilanjutkan sampai terpenuhi bentuk fero lebih mudah diserap
• Pemberian parenteral diberikan bila pemberian oral gagal, misalnya akibat malabsorbsi, atau efek samping berat pada saluran cerna • Evaluasi hasil pengobatan periksa Hb, retikulosit seminggu sekali, SI dan feritin seminggu sekali • Terapi diteruskan hingga 2 bulan Hb normal tanpa pemeriksaan SI dan feritin • Transfusi hanya diberikan bila Hb<6 g/dL atau kadar Hb ≥6 g/dl disertai lemah, gagal jantung, infeksi berat atau akan menjalani operasi transfusi PRC
Tatalaksana • Fe oral – Aman, murah, dan efektif – Enteric coated iron tablets tidak dianjurkan karena penyerapan di duodenum dan jejunum – Beberapa makanan dan obat menghambat penyerapan • Jangan bersamaan dengan makanan, beberapa antibiotik, teh, kopi, suplemen kalsium, susu. (besi diminum 1 jam sebelum atau 2 jam setelahnya) • Konsumsi suplemen besi 2 jam sebelum atau 4 jam setelah antasida • Tablet besi paling baik diserap di kondisi asam konsumsi bersama 250 mg tablet vit C atau jus jeruk meningkatkan penyerapan
Tatalaksana – Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, – Jika terjadi efek samping GI, pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorbsi obat sekitar 40%-50% – Efek samping: • Mual, muntah, konstipasi, nyeri lambung • Warna feses menjadi hitam, gigi menghitam (reversibel)
Skrining • The American Academy of Pediatrics (AAP) dan CDC di Amerika menganjurkan melakukan pemeriksaan (Hb) dan (Ht) setidaknya satu kali pada usia 9-12 bulan dan diulang 6 bulan kemudian pada usia 15-18 bulan atau pemeriksaan tambahan setiap 1 tahun sekali pada usia 25 tahun. • Pada bayi prematur atau dengan berat lahir rendah yang tidak mendapat formula yang difortifikasi besi perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan Hb sebelum usia 6 bulan
• Pemeriksaan tersebut dilakukan pada populasi dengan risiko tinggi: – kondisi prematur – berat lahir rendah – riwayat mendapat perawatan lama di unit neonatologi – anak dengan riwayat perdarahan – infeksi kronis – etnik tertentu dengan prevalens anemia yang tinggi – mendapat asi ekslusif tanpa suplementasi – mendapat susu sapi segar pada usia dini – dan faktor risiko sosial lain.
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Suplemen Besi
Rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia
128. Glomerulonefritis akut Pasca Streptokokus • Glomerulonefritis akut ditandai dengan edema, hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana terjadi inflamasi pada glomerulus • Acute poststreptococcal glomerulonephritis is the archetype of acute GN • GNA pasca streptokokus terjadi setelah infeksi GABHS nefritogenik → deposit kompleks imun di glomerulus • Diagnosis – Anamnesis: Riwayat ISPA atau infeksi kulit 1-2 minggu sebelumnya, hematuri nyata, kejang atau penurunan kesadaran, oliguri/anuri – PF: Edema di kedua kelopak mata dan tungkai, hipertensi, lesi bekas infeksi, gejala hipervolemia seperti gagal jantung atau edema paru – Penunjang: Fungsi ginjal, komplemen C3, urinalisis, ASTO
• Terapi: Antibiotik (penisilin, eritromisin), antihipertensi, diuretik Geetha D. Poststreptococcal glomerulonephritis. http://emedicine.medscape.com/article/240337-overview
Mekanisme GNAPS • Terperangkapnya kompleks antigen-antibodi dalam glomerulus yang kemudian akan merusak glomerulus • Proses autoimun kuman Streptokokus yang bersifat nefritogenik dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang merusak protein glomerulus (molecular mimicry) • Streptokokus nefritogenik dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membran basalis glomerulus.
Sindrom Nefritik Akut
Pemeriksaan Penunjang • Urinalisis – Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
• Peningkatan ureum dan kreatinin • ASTO meningkat (ASTO: the antibody made against streptolysin O, an immunogenic, oxygenlabile hemolytic toxin produced by most strains of group A) • Komplemen C3 menurun pada minggu pertama • Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut
Penatalaksanaan • •
The major goal is to control edema and blood pressure During the acute phase of the disease, restrict salt and water. If significant edema or hypertension develops, administer diuretics. – –
• •
Restricting physical activity is appropriate in the first few days of the illness but is unnecessary once the patient feels well Specific therapy: – – –
•
Loop diuretics (Furosemide 1 mg/kg/kali, 2-3 kali per hari) For hypertension not controlled by diuretics, usually calcium channel blockers or angiotensinconverting enzyme inhibitors are useful
Treat patients, family members, and any close personal contacts who are infected. Throat cultures should be performed on all these individuals. Treat with oral penicillin G (250 mg qid for 7-10 d) or with erythromycin (250 mg qid for 7-10 d) for patients allergic to penicillin This helps prevent nephritis in carriers and helps prevent the spread of nephritogenic strains to others
Indications for dialysis include life-threatening hyperkalemia and clinical manifestations of uremia
129. Tertelan Benda Asing (Foreign Body ingestions) • Foreign body ingestions (FBIs) in children are accidental and involve common objects found in the home environment, such as coins, toys, jewelry, magnets, and batteries. • FBIs will be categorized into the following major groups: – button batteries (BBs), – magnets, sharp/pointed objects, – food impaction, coins/blunt objects, and superabsorbent objects Kramer R. Management of Ingested Foreign Bodies in Children: A Clinical Report of the NASPGHAN Endoscopy Committee. JPGN Volume 60, Number 4, April 2015
Anatomi Esofagus • Dari perjalanannya dari faring menuju gaster, esofagus melalui tiga kompartemen: – leher (pars servikalis), berjalan di antara trakea dan kolumna vertebralis. – Dada (pars thorakalis), setinggi manubrium sterni berada di mediastinum posterior mulai di belakang lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri, lalu membelok ke kanan bawah di samping kanan depan aorta thorakalis bawah. – Abdomen (pars abdominalis), masuk ke rongga perut melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di kardia lambung, panjang berkisar 2-4 cm
Daerah Penyempitan • Esofagus mempunyai tiga penyempitan fisiologis yang menyebabkan benda asing tersangkut di esofagus. – Daerah setinggi muskulus krikofaringeal atau setinggi sfingter faringoesofagus, dimana pertemuan antara serat otot striata dan otot polos menyebabkan daya propulsif melemah. (70% kasus) – Daerah penyempitan kedua disebabkan oleh persilangan cabang utama bronkus kiri dan arkus aorta (15% kasus) – Sekitar 15% di atas sfingter esofagus bagian bawah atau sfingter esofagogastrik
Ingested Foreign Body • Symptoms : – – – – – –
stridor, pain, drooling, fussiness, chest pain, abdominal pain, fever, Feeding refusal, wheezing, and respiratory distress
• Management: – If an object is in the esophagus, removal is considered mandatory. – The airway should be protected with an endotracheal tube during removal, particularly critical if the patient has been fasting for <8 hours. – Depending on the position of the object and the nil per os (NPO) status of the patient, removal by anesthesia with McGill forceps or by ENT with a rigid scope may be alternatives to endoscopic removal
Kramer R. Management of Ingested Foreign Bodies in Children: A Clinical Report of the NASPGHAN Endoscopy Committee. JPGN Volume 60, Number 4, April 2015
Esophageal Foreign Body • Plain radiographs are indicated for every patient with a known or suspected radiopaque foreign body in the oropharynx, esophagus, stomach, or small intestine. • Plain radiographs are also mandated for children in whom any ingestion of a radiopaque foreign body is suspected. • Keep in mind, however, that in cases of nonradiopaque foreign bodies, imaging studies rarely have any influence on management, except in delaying endoscopy or CT scanning. • In small children, a mouth-to-anus radiograph can be obtained. In older children and adults, posteroanterior (PA) and lateral chest radiographs provide better localization. • Radiopaque objects are easily seen and localized on the radiograph. • Coins are usually seen in a coronal alignment on anteroposterior (AP), or frontal, radiographs (examples of a lodged coin are shown in the radiographs below).
Coin lodged at the level of the aortic crossover.
Coin (quarter) lodged at the level of the cricopharyngeus muscle.
Coin lodged at the lower esophageal sphincter.
Endoscopy • Emergent endoscopy is indicated for patients whose airway is compromised or who show signs of complications. • Endoscopy is absolutely indicated for foreign bodies that are sharp, nonradiopaque, or elongated; for multiple foreign bodies; or for possible esophageal injuries. • Endoscopy is the most commonly used technique for active management of impacted esophageal foreign bodies. • Endoscopy is indicated for patients with foreign bodies in the stomach or proximal duodenum if the foreign bodies are larger than 2 cm in diameter or longer than 5-7 cm or for oddly shaped foreign bodies such as open safety pins.
130. Tuberkulosis pada anak
Time after primary infection 2 – 3 months
Clinical Manifestation Fever of Onset
6 – 24 months
Osteo-articular TB
> 5 years
Phlyctenular conjunctivitis
3 – 12 months
Primary pulmonary TB TB Meningitis Miliary TB TB Pleural effusion
Erythema nodosum
Tuberculin Test Positive
Renal TB
Figure 5. The Timetable of Tuberculosis 3/14/2017
Donald PR et.al. In: Madkour MM, ed. Tuberculosis. Berlin; Springer;2003.p.243-64 920
Complications of focus 1. Effusion 2. Cavitation 3. Coin shadow
Complications of nodes 1. Extension to bronchus 2. Consolidation 3. Hyperinflation MENINGITIS OR MILIARY in 4% of children infected under 5 years of age LATE COMPLICATIONS Renal & Skin Most after 5 years
Most children become tuberculin sensitive
BRONCHIAL EROSION 3-9 months
A minority of children experience : 1. Febrile illness 2. Erythema Nodosum 3. Phlyctenular Conjunctivitis
PRIMARY COMPLEX Progressive Healing Most cases
1
Uncom m on under 5 years of age 25% of cases w ithin 3 m onths 75% of cases w ithin 6 m onths
2
3
infection
4-8 weeks
3-4 weeks fever of onset
Incidence decreases As age increased
12 months
Development Of Complex
3/14/2017 GREATEST RISK OF LOCAL & DISEMINATED LESIONS
4
Resistance reduced : 1. Early infection (esp. in first year) 2. Malnutrition 3. Repeated infections : measles, whooping cough streptococcal infections 4. Steroid therapy
BONE LESION Most within 3 years
5
6
24 months
DIMINISHING RISK But still possible 90% in first 2 years
921
Miller FJW. Tuberculosis in children, 1982
Tuberkulosis pada anak • Pada umumnya anak yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala yang khas over/underdiagnosed • Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB pada anak • Pertimbangkan tuberkulosis pada anak jika : – BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh – Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas – Batuk kronik 3 ≥ minggu – Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Sistem Skoring
Sistem Skoring • • • • •
• • • • •
Diagnosis oleh dokter Perhitungan BB dinilai saat pasien datang (moment opname) Demam dan batuk yang tidak respons terhadap terapi baku Cut-of f point: ≥ 6 Anak dgn skor 6 yg diperoleh dari kontak dgn pasien BTA + dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak Adanya skrofuloderma langsung didiagnosis TB Reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring Total nilai 4 pada anak balita atau dengan kecurigaan besar dirujuk ke rumah sakit
Prinsip Pengobatan TB Anak
Berat dan ringannya penyakit • TB ringan: – tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar
• TB berat: – TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.
Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2013. Depkes.
Uji Tuberkulin • Menentukan adanya respon imunitas selular terhadap TB. Reaksi berupa indurasi (vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan akumulasi sel-sel inflamasi) • Tuberkulin yang tersedia : PPD (purified protein derived) RT-23 2TU, PPD S 5TU, PPD Biofarma • Cara : Suntikkan 0,1 ml PPD intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan 48-72 jam setelah penyuntikan • Pengukuran (pembacaan hasil) – Dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan eritemanya – Indurasi dipalpasi, tandai tepi dengan pulpen. Catat diameter transversal. – Hasil dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul = 0 mm
• Hasil: – Positif jika indurasi >= 10mm – Ragu-ragu jika 5-9 mm – Negatif < 5 mm
Profilaksis TB pada Anak (Juknis TB Anak 2013 & Pedoman TB Nasional 2014
131. Bronkiolitis • Infection (inflammation) at bronchioli • Bisa disebabkan oleh beberapa jenis virus, yang paling sering adalah respiratory syncytial virus (RSV) • Virus lainnya: influenza, parainfluenza, dan adenoviruses • Predominantly < 2 years of age (2-6 months) • Difficult to differentiate with pneumonia and asthma
Bronkhiolitis
Bronchiolitis
Bronchiolitis: Management Mild disease • Symptomatic therapy Moderate to Severe diseases • Life Support Treatment : O2, IVFD • Etiological Treatment – Anti viral therapy (rare) – Antibiotic (if etiology bacteria) • Symptomatic Therapy – Bronchodilator: controversial – Corticosteroid: controversial (not effective)
Tatalaksana Bronkiolitis • Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan: – Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli) – Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier – Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma – Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan epinefrin.
Sari Pediatri
Gambaran Radiologis Pneumonia lobaris Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms. Pneumonia associated with suppurative peribronchiolar inflammation and lobularis/ subsequent patchy consolidation of one or more secondary lobules of a bronkopneumonia lung in response to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent. Asthma
pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most characteristic) Associated with thicker Bronchial wall, inflammation Flattening of diaphragm (with chronic inflammation or Associated with accessory muscle use) Hyperinflation (variably present) Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis
bronkiolitis
Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent, Peribronchial thickening Variable infiltrates or Viral Pneumonia
132. Tatalaksana Kejang akut dan status Epileptikus Diazepam per rektal : 5 mg supp untuk BB<12 kg 10 mg supp untuk BB> 12 kg Diberikan 2x max, jarak 5 menit
Prehospital
Hospital
0-10 menit
10 menit
Diazepam IV 0,2-0,5 mg/kgBB (kecepatan 2 mg/menit, max 10 mg), ATAU Midazolam 0,2 mg/kgBB IM/buccal, max 10 mg Kejang berlanjut 5-10 menit
Catatan: dapat ditambah fenitoin 5-10 mg/kgBB
Fenobarbital 20 mg/kgIV (selama 5-10 menit, max 1000 mg)
Fenitoin 20 mg/kgIV (diencerkan dalam NS selama 20 menit, max 1000 mg)
Kejang berlanjut 5-10 menit
Catatan: dapat ditambah fenobarbital 5-10 mg/kgBB
20 menit
Kejang berlanjut 5-10 menit
Fenobarbital 20 mg/kgIV (selama 5-10 menit, max 1000 mg)
Fenitoin 20 mg/kgIV (diencerkan dalam NS selama 20 menit, max 1000 mg)
30 menit
Kejang berlanjut PPK Anak RSCM 2015
Status Epileptikus
133. ITP • Immune thrombocytopenic purpura (ITP, yang disebut juga autoimmune thrombocytopenic purpura, morbus Wirlhof, atau purpura hemorrhagica, merupakan kelainan perdarahan akibat destruksi prematur trombosit yang meningkat akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit. • Umumnya terjadi pada anak usia 2-4 tahun, dengan insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun. • Patofisiologi: Peningkatan destruksi platelet di perifer, biasanya pasien memiliki antibodi yang spesifik terhadap glikoprotein membran platelet (IgG autoantibodi pada permukaan platelet)
Patogenesis • Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibodi terhadap glikoprotein yang terdapat pada membran trombosit destruksi trombosit yang diselimuti antibodi (antibody-coated platelets) oleh makrofag yang terdapat pada limpa dan organ retikuloendotelial lainnya. • Megakariosit dalam sumsum tulang bisa normal atau meningkat pada ITP. • ITP akut (terutama pada anak) – Penghancuran trombosit meningkat karena adanya antibodi yang dibentuk saat terjadi respon imun terhadap infeksi bakteri/virus atau pada pemberian imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit • ITP kronik – terjadi gangguan dalam regulasi sistem imun seperti pada penyakit otoimun lainnya, yang berakibat terbentuknya antibodi spesifik terhadap trombosit.
Pathophysiology of ITP • Increased platelet turnover: – there is clear evidence that anti-platelet antibodies cause the decorated platelets to be recognized by the reticulo-endothelial system and degraded mainly in the spleen (by macrophages); – for some anti-platelet antibodies the activation of the complement system has been shown to contribute to accelerated decrease in platelets – In addition, in vitro stimulated T cells of some patients with ITP were able to trigger cytotoxic lysis of platelets by cytotoxic T cells (Tc cells)
• Decreased platelet production
ITP: Cardinal Features • • • •
Trombositopenia <100,000/mm3 Purpura dan perdarahan membran mukosa Diagnosis of exclusion 2 jenis gambaran klinis – ITP akut • Biasanya didahului oleh infeksi virus dan menghilang dalam 3 bulan.
– ITP kronik • Gejala biasanya mudah memar atau perdarahan ringan yang berlangsung selama 6 bulan
• >90% kasus anak merupakan bentuk akut • Komplikasi yang paling serius: perdarahan. Perdarahan intrakranial penyebab kematian akibat ITP yg paling sering (1-2% dr kasus ITP)
Anamnesis • Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi virus, atau bakteri (infeksi saluran napas atas, saluran cerna), bisa juga terjadi setelah vaksinasi rubella, rubeola, varisela, atau setelah vaksinasi dengan virus hidup. • Perdarahan yang terjadi tergantung jumlah trombosit didalam darah. Diawali dengan perdarahan kulit berupa petekie hingga lebam. • Obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamid, kuinidin/kuinin, aspirin dapat memicu terjadinya kekambuhan. • Obat yang mengandung salisilat dapat meningkatkan risiko timbulnya perdarahan.
• Pemeriksaan fisis – Pada umumnya bentuk perdarahannya ialah purpura pada kulit dan mukosa (hidung, gusi, saluran cerna dan traktus urogenital). – Pembesaran limpa terjadi pada 10-20 % kasus.
• Pemeriksaan penunjang • Darah tepi : – – – –
Morfologi eritrosit, leukosit, dan retikulosit biasanya normal. Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal. Anemia bisa terjadi bila ada perdarahan spontan yang banyak Trombositopenia. Besar trombosit umumnya normal, hanya kadang ditemui bentuk trombosit yang lebih besar (giant plalets), – Masa perdarahan memanjang (Bleeding Time)
• Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang: – Tidak perlu bila gambaran klinis dan laboratoris klasik. – Dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang bila gagal terapi selama 3-6 bulan, atau pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran hepar/ lien/kelenjar getah bening dan pada laboratorium ditemukan bisitopenia.
Penatalaksanaan
Neunert C et.al The American Society of Hematology 2011 evidence-based practice guideline for immune thrombocytopenia. Blood. 2011;117(16):4190-4207
Tatalaksana • Indikasi rawat inap – Pada penderita yang sudah tegak diagnosisnya, perlu dilakukan rawat inap bila: • • • •
Jumlah hitung trombosit <20.000/μL Perdarahan berat Kecurigaan/pasti perdarahan intrakranial Umur <3 tahun
• Bila tidak dirawat inap, penderita diwajibkan untuk tidak/menghindari obat anti agregasi (seperti salisilat dan lain sebagainya) dan olah raga yang traumatis (kepala). • ITP bersifat akut dan 90 % sembuh spontan, hanya 5-10% menjadi kronis karena itu keputusan apakah perlu diberi pengobatan masih diperdebatkan.
Medikamentosa • Pengobatan dengan kortikosteroid diberikan bila: – Perdarahan mukosa dengan jumlah trombosit <20.000/ μL – Perdarahan ringan dengan jumlah trombosit <10.000/ μL – Steroid yang biasa digunakan ialah prednison, dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dievaluasi – setelah pengobatan 1-2 minggu. Bila responsif, dosis diturunkan pelahanlahan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar 30.000 50.000/μL. – Prednison dapat juga diberikan dengan dosis tinggi yaitu 4 mg/kgBB/hari selama 4 hari. – Bila tidak respons, pengobatan yang diberikan hanya suportif. – Pengembalian kadar trombosit akan terjadi perlahan-lahan dalam waktu 2-4 minggu dan paling lama 6 bulan. – Pada ITP dengan kadar trombosit >30.000/μL dan tidak memiliki keluhan umumnya tidak akan diberikan terapi, hanya diobservasi saja.
• Pemberian suspensi trombosit dilakukan bila : – Jumlah trombosit <20.000/ μL dengan perdarahan mukosa berulang (epistaksis) – Perdarahan retina – Perdarahan berat (epistaksis yang memerlukan tampon, hematuria, perdarahan organ dalam) – Jumlah trombosit < 50.000/ul dengan kecurigaan/pasti perdarahan intra kranial – Menjalani operasi, dengan jumlah trombosit <150.000/ μL.
•
134. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Definisi : suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi. Klasifikasi KIPI
Keterangan
Induksi vaksin (vaccine induced).
Terjadinya KIPI disebabkan oleh karena faktor intrinsik vaksin terhadap individual resipien. Misalnya, seorang anak menderita poliomielitis setelah mendapat vaksin polio oral.
Provokasi vaksin (vaccine potentiated)
Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja, saat ini terjadi oleh karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang demam pasca imunisasi yang terjadi pada anak yang mempunyai predisposisi kejang
Kesalahan (pelaksanaan) program (programmatic errors).
Gejala KIPI timbul sebagai akibat kesalahan pada teknik pembuatan dan pengadaan vaksin atau teknik cara pemberian. Contoh: terjadi indurasi pada bekas suntikan disebabkan vaksin yang seharusnya diberikan secara intramuskular diberikan secara subkutan
Koinsidensi (coincidental)
KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang sedang diderita. Contoh: Bayi yang menderita penyakit jantung bawaan mendadak sianosis setelah diimunisasi
Hadinegoro SR. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari pediatri, Vol.2, No.1. Juni 2000: 2-10
Hadinegoro SR. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari pediatri, Vol.2, No.1. Juni 2000: 2-10
115. Infeksi HIV pada anak • Sebanyak 90 % penularan HIV pada anak <13 tahun terjadi pada saat perinatal: – selama dalam kandungan Virus HIV bebas dapat menembus plasenta – proses persalinan porsi terbesar penularan virus HIV terjadi karena bayi menelan cairan di jalan lahir, perlukaan karena gesekan, – sesudah kelahiran pemberian ASI (ASI mengandung virus bebas ataupun CD4 terinfeksi HIV) • Telah diketahui bahwa ASI mengandung virus HIV dan transmisi melalui ASI adalah sebanyak 15 %.
Transmisi vertikal HIV • Transmisi HIV dari ibu dengan HIV positif ke bayi disebut transmisi vertikal, dapat terjadi melalui – Plasenta pada waktu hamil (intrauterin), – Waktu bersalin (intrapartum) dan – pasca natal melalui air susu ibu (ASI) resiko 15-25 %
• Tidak semua ibu pengidap HIV akan menularkannya kepada bayi yang dikandungnya. • Mekanisme transmisi melalui ASI. – HIV-1 berada di dalam ASI dalam bentuk terikat dalam sel atau virus bebas, namun belum diketahui bentuk mana yang ditularkan ke bayi. – Beberapa zat antibodi yang terdapat di dalam ASI dapat bekerja protektif terhadap penularan melalui ASI seperti laktoferin, secretory leukocyte protease inhibitor. – Status vitamin A pada ibu juga penting karena terbukti laju penularan lebih tinggi pada ibu dengan defisiensi vit A Suradi R. Tata laksana Bayi dari Ibu pengidap HIV/AIDS. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 4, Maret 2003: 180 – 185 Permenkes RI no. 51 tahun 2013. Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
Risiko transmisi vertikal bergantung pada beberapa faktor. • Usia kehamilan. – Transmisi vertikal jarang terjadi pada waktu ibu hamil muda, karena plasenta merupakan barier yang dapat melindungi janin dari infeksi pada ibu. – Transmisi terbesar terjadi pada waktu hamil tua dan waktu persalinan.
• Beban virus di dalam darah. • Kondisi kesehatan ibu . – Stadium dan progresivitas penyaklit ibu, ada tidaknya komplikasi, kebiasaan merokok, penggunaan obat-obat terlarang dan defisiensi vitamin A.
• Faktor yang berhubungan dengan persalinan; seperti masa kehamilan, lamanya ketuban pecah, dan cara persalinan bayi baru lahir. • Pemberian profilaksis obat antiretroviral • Pemberian ASI
Pencegahan transmisi vertikal
1. Pencegahan primer – Pendekatan yang paling efektif untuk mencegah transmisi vertikal pencegahan pada wanita usia subur. – Konseling sukarela, rahasia, dan pemeriksaan darah adalah cara mendeteksi pengidap HIV secara dini
• 2. Pencegahan sekunder – a. Pemberian antiretrovirus secara profilaksis
• Pertolongan persalinan pada bayi baru lahir dari ibu yang mengidap HIV/AIDS seperti pada pertolongan persalinan normal dengan menerapkan universal precaution. • Bila ARV tersedia dapat diberikan kepada bayi. • Obat yang dianjurkan untuk mengurangi transmisi vertikal pada neonatus adalah Zidovudine selama 6 minggu atau Niverapine sebanyak satu kali pemberian.
• Pemberian profilaksis ARV dimulai hari pertama setelah lahir selama 6 minggu. Obat ARV yang diberikan adalah zidovudine (AZT atau ZDV) 4 mg/kgBB diberikan 2 kali sehari. • Selanjutnya anak dapat diberikan kotrimoksazol profilaksis mulai usia 6 minggu dengan dosis 4-6 mg/kgbb, satu kali sehari, setiap hari sampai usia 1 tahun atau sampai diagnosis HIV ditegakkan.
– Pertolongan persalinan oleh petugas terampil – Pembersihan jalan lahir – Persalinan dengan SC – Menjaga kesehatan ibu menjaga nutrisi cukup terutama vitamin A, riboflavin dan mikronutrien
• Memberi ASI memaparkan bayi untuk beresiko tertular HIV • Tidak memberi ASI angka mortalitas tidak berkurang karena anak – anak yang tidak mendapat ASI beresiko meninggal akibat penyebab selain HIV • Apabila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS terdapat beberapa alternatif yang dapat diberikan : – – – –
ASI Eksklusif Pemberian ARV Memanaskan ASI Pemberian susu formula
1. ASI Eksklusif : – Pada periode tersebut hanya ASI yang boleh diberikan pada bayi, tidak termasuk air sekalipun apalagi makanan padat – Resiko tertular HIV pada mixed feeding 2-6 x lipat dibandingkan dengan ASI eksklusif – Perlu diusahakan agar puting jangan sampai luka karena virus HIV dapat menular melalui luka. – Jangan pula diberikan ASI bersama susu formula karena susu formula akan menyebabkan luka di dinding usus yang menyebabkan virus dalam ASI lebih mudah masuk 2. Pemberian Antiretrovirus – Ibu dengan HIV yang mengkonsumsi ARV menurunkan resiko transmisi HIV melalui ASI angka penularan ↓ 0,9%
3. Memanaskan ASI – Bila ingin memberikan ASI, dapat dilakukan dengan memerah ASI lalu memanaskannya sehingga virus HIV mati – Metode flash heating ASI ditaruh dalam tempat kemudian ditaruh di panci kecil berisi air kemudian dipanaskan mendidih segera diangkat dan dibiarkan dingin sampai suhu tubuh – Cara ini tidak mengganggu kadar vitamin A, mnurunkan kadar vitamin B2 dan B6
4. pemberian susu formula – Pemberian susu formula membuat resiko anak tertular HIV dari ibu menjadi 0 bila dibandingkan dengan pemberian ASI – Untuk pemberian susu formula dibutuhkan ketersediaan air serta botol susu yang bersih – Karena penyediaan susu formula yang lebih rumit(persiapan, biaya), maka pada negara berkembang lebih dipilih pemberian ASI
Infeksi HIV pada bayi dan Anak • Infeksi pada bayi atau anak oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus) sebagian besar ditransmisi secara vertikal dari ibu ke bayinya pada saat proses kehamilan, persalinan, dan melalui ASI. • Transmisi secara horizontal melalui transfusi produk darah atau penularan lain seperti kekerasan seksual pada anak jarang
Diagnosis HIV • Anamnesis • Pemeriksaan fisis – Ibu atau ayah memiliki risiko – Demam berulang/berkepanjangan untuk terinfeksi HIV (riwayat – Berat badan turun secara progresif narkoba suntik, promiskuitas, – Diare persisten pasangan dari penderita HIV, – Kandidosis oral pernah mengalami operasi atau – Otitis media kronik prosedur transfusi produk darah) – Gagal tumbuh – Riwayat morbiditas yang khas maupun yang sering ditemukan – Limfadenopati generalisata pada penderita HIV. – - Kelainan kulit – Riwayat kelahiran, ASI, – - Pembengkakan parotis pengobatan ibu, dan kondisi – Infeksi oportunistik yang dapat neonatal dijadikan dasar untuk pemeriksaan laboratorium HIV: • Tuberkulosis • Herpes zoster generalisata • Pneumonia P. Jiroveci • Pneumonia berat
• Bayi dan anak memerlukan tes HIV bila: – 1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare kronis atau berulang) – 2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan perlakuan pencegahan penularan dari ibu ke anak – 3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang didiagnosis terinfeksi HIV (pada umur berapa saja) – 4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara kandungnya didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua orangtua meninggal oleh sebab yang tidak diketahui tetapi masih mungkin karena HIV – 5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik yang terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan sebab lain – 6. Anak yang mengalami kekerasan seksual
Skenario pemeriksaan HIV
Diagnosis HIV pada bayi dan anak <18 bulan pajanan HIV tidak diketahui
Idealnya dilakukan pengulangan uji virologi HIV pada spesimen yang berbeda untuk kon rmasi hasil posi f yang pertama. Pada keadaan yang terbatas, uji an bodi HIV dapat dilakukan setelah usia 18 bulan untuk kon rmasi infeksi HIV.
Jadwal pemantauan bayi lahir dengan program PPIA Lahir
10-14 hari
4 mgu
BB/TB/ Lingkar kepala Nutrisi ARV profilaksis (AZT 4mg/kgBB/x, 2x/hari)
PCR RNA/DNA
2 bln
3 bln
4 bln
6 bln
9 bln
18 bln
SF
SF + MP
SF + MP
Dilakukan pemeriksaan rutin tiap kunjungan SF
SF
SF
SF
SF
SF
SF
Diberikan selama 6 minggu
Kotrimoksazol
Imunisasi
6 mgu
Diberikan setelah selesai zidovudin. Diberikan hingga dinyatakan HIV negatif
Imunisasi Hep B, OPV, DPT, HiB, dilakukan sesuai jadwal. Imunisasi campak dapat diberikan kecuali HIV simtomatik. Imunisasi BCG diberikan bila infeksi HIV dapat disingkirkan I
II
Ab HIV
136. Sepsis Neonatorum • Sindrom klinik penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi pada satu bulan pertama kehidupan. Mortalitas mencapai 13-25% • Jenis : – Early Onset = Dalam 3 hari pertama, awitan tiba-tiba, cepat berkembang menjadi syok septik (Group B Streptococcus (GBS))
– Late Onset = setelah usia 3 hari, sering diatas 1 minggu, ada fokus infeksi, sering disertai meningitis (Coagulase-negative Staphylococcus)
• Tanda awal sepsis pada bayi baru lahir tidak spesifik → diperlukan skrining dan pengelolaan faktor risiko Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
Kriteria Infeksi, SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok Septik
Sindrom disfungsi multiorgan
Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah mendapatkan pengobatan optimal Goldstein B., Giroir B., Randolph A., Pedriatric Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8.
Kriteria SIRS Neonatorum
Skrining • Kecurigaan besar sepsis bila : – Bayi umur sampai dengan usia 3 hari • Riwayat ibu dengan infeksi rahim, demam dengan kecurigaan infeksi berat, atau ketuban pecah dini • Bayi memiliki dua atau lebih gejala yang tergolong dalam kategori A, atau tiga atau lebih gejala pada kategori B
– Bayi usia lebih dari 3 hari • Bayi memiliki dua atau lebih temuan Kategori A atau tiga atau lebih temuan Kategori B
Kelompok Temuan berhubungan dengan Sepsis Kategori A
Kategori B
Kesulitan Bernapas (>60x/menit, retraksi dinding dada, grunting, sianosis sentral, apnea)
Tremor
Kejang
Letargi atau lunglai, malas minum padahal sebelumnya minum dengan baik
Tidak sadar
Mengantuk atau aktivitas berkurang
Suhu tubuh tidak normal (sejak lahir dan tidak memberi respons terhadap terapi) atau suhu tidak stabil sesudah pengukuran suhu selama tiga kali atau lebih
Iritabel, muntah, perut kembung
Persalinan di lingkungan yang kurang higienis
Tanda-tanda mulai muncul setelah hari ke-empat
Kondisi memburuk secara cepat dan dramatis
Air ketuban bercampur mekonium
Tekanan di dalam Jantung
137. Congenital Heart Disease Congenital HD
Acyanotic
With ↑ volume load:
- ASD - VSD - PDA - Valve regurgitation
With ↑ pressure load: - Valve stenosis - Coarctation of aorta
Cyanotic
With ↓ pulmonary blood flow: - ToF - Atresia pulmonal - Atresia tricuspid
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed. 2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
With ↑ pulmonary blood flow: - Transposition of the great vessels - Truncus arteriosus
Penyakit jantung kongenital • Asianotik: L-R shunt – ASD: fixed splitting S2, murmur ejeksi sistolik – VSD: murmur pansistolik – PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt – TOF: AS, VSD, overriding aorta, RVH. Boot like heart pada radiografi – TGA http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Mosby; 2008.
Acyanotic Congenital HD: General Pathophysiology
With ↑ volume load
Clinical Findings
The most common: left to right shunting
e.g. ASD, VSD, PDA
Blood back into the lungs
↓ compliance & ↑ work of breathing
Fluid leaks into the interstitial space & alveoly
Pulmonary edema, tachypnea, chest retraction, wheezing ↑ Heart rate & stroke volume
High level of ventricular output -> ↑sympathetic nervous system
↑Oxygen consumption -> sweating, irritability, FTT Remodelling: dilatation & hypertrophy
If left untreated, ↑ volume load will increase pulmonary vascular resistance
Eventually leads to Eisenmenger Syndrome
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
Acyanotic Congenital HD: General Pathophysiology With ↑ pressure load
Clinical Findings
Obstruction to normal blood flow: pulmonic stenosis, aortic
Murmur PS & PS: systolic murmur;
stenosis, coarctation of aorta.
Hypertrophy & dilatation of ventricular wall
Defect location determine the symptoms
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
Dilatation happened in the later stage Severe pulmonic stenosis in newborn right-sided HF (hepatomegaly, peripheral edema) Severe aortic stenosis leftsided (pumonary edema, poor perfusion) & right-sided HF
Duktus Arteriosus Persisten • Kelainan berupa duktus (pembuluh yang menghubungkan arteri pulmonalis kiri dan aorta desenden) yang tetap terbuka setelah bayi lahir • Pada bayi cukup bulan duktus menutup secara fungsional dalam 12 jam setelah lahir dan lengkap dalam 23 minggu • Dijumpai 5-10% dari seluruh PJB, perempuan : laki-laki (3:1) • Etiologi : – Kegagalan penutupan pada bayi cukup bulan akibat kelainan struktur otot polos duktus – Pada prematur menurunnya responsivitas duktus terhadap O2 dan peran relaksasi aktif dari PGE2 dan prostasiklin (PGI1)
Patent Ductus Arteriosus
Pemeriksaan Penunjang
Tatalaksana
Parasetamol IV 15 mg/kgBB/kali, 4x/hari selama 3 hari menutup DAP pada bayi yg belum mendapat asupan peroral
138.Vaksin BCG (Bacille CalmetteGuerin) • Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. • Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperti meningitis TB dan tuberkulosis milier. • Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 2-8° C, tidak boleh beku. • Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.
Vaksin BCG • Vaksin BCG diberikan pada umur <3 bulan, sebaiknya pada anak dengan uji Mantoux (tuberkulin) negatif. • Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah penyuntikan. • Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk anak, 0,05 ml untuk bayi baru lahir. • VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain (bokong, paha). • Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif pada umur lebih dari 3 bulan. • Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.
KIPI BCG • Penyuntikan BCG secara intradermal akan menimbulkan ulkus lokal yang superfisial 3 (2-6) minggu setelah penyuntikan. • Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm. • Apabila dosis terlalu tinggi maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam maka parut yang terjadi tertarik ke dalam (retracted).
• Limfadenitis – Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai setelah penyuntikan BCG. – Limfadenitis akan sembuh sendiri, jadi tidak perlu diobati. – Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula maka lakukan drainase dan diberikan OAT
• BCG-itis diseminasi (Disseminated BCG Disease) – berhubungan dengan imunodefisiensi berat. – diobati dengan kombinasi obat anti tuberkulosis.
Kontraindikasi BCG • Reaksi uji tuberkulin >5 mm, • Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV, • imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe, • Menderita gizi buruk, • Menderita demam tinggi, • Menderita infeksi kulit yang luas, • Pernah sakit tuberkulosis, • Kehamilan.
OBSTETRI & GINEKOLOGI
139. Rumus Naegle (Hari Perkiraan Lahir) • Berlaku untuk wanita dengan siklus 28 hari sehingga ovulasi terjadi pada hari ke 14 • Menghitung umur kehamilan berlangsung selama 288 hari • Perhitungan kasar: HPHT + 288 hari perkiraan kelahiran • Perhitungan berdasarkan siklus 28 hari – HPHT (hari pertama haid terakhir ) Hari +7, Bulan + 9, Tahun tetap – HPHT (hari pertama haid terakhir ) Hari +7, Bulan – 3, Tahun + 1 • Bila siklus menstruasi > 28 hari, perhitungan tanggal setelah rumus asli (+7) perlu ditambahkan dengan selisih (siklus mens ps – 28 hari) •
Mis: Seorang wanita dengan siklus menstruasi 35 hari dari rumus Naegele maka taksiran tanggal persalinannya yaitui tgl HPHT +7 +7 menjadi tgl HPHT +14 hari bukan 7
• Bila siklus menstruasi < 28 hari, perhitungan tanggal setelah rumus asli (+7) perlu dikurangi dengan selisih (28 hari - siklus mens ps) •
wanita dengan siklus menstruasi 21 hari maka taksiran tanggal persalinannya, yaitu tgl HPHT +7 -7 menjadi tgl HPHT +0 bukan 7
140. Abortus • Definisi: Ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan pada kehamilan < 20 minggu atau berat janin < 500 gram • Klasifikasi: • Diagnosis dengan bantuan USG – – – – –
Perdarahan pervaginam (bercak hingga berjumlah banyak) Perut nyeri & kaku Pengeluaran sebagian produk konsepsi Serviks dapat tertutup/ terbuka Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya
• Faktor Predisposisi Abortus Spontan – Faktor dari janin: kelainan genetik (kromosom) – Faktor dari ibu: infeksi, kelainan hormonal (hipotiroidisme, DM), malnutrisi, obatobatan, merokok, konsumsi alkohol, faktor immunologis & defek anatomisseperti uterus didelfis, inkompetensia serviks, dan sinekhiae uteri karena sindrom Asherman – Faktor dari ayah: Kelainan sperma
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
DI AGNOSIS
Abortus imminens
Abortus insipiens
Abortus inkomplit
P ER D A R AH A N
Sedikit-sedang
Sedang-banyak
Sedikit-banyak
Tertutup lunak
BESAR U TE R US Sesuai usia kehamilan
Terbuka lunak
Sesuai atau lebih kecil
S ER V IKS
Terbuka lunak
GEJALALAIN • • •
Tes kehamilan + Nyeri perut Uterus lunak
• •
Nyeri perut >> Uterus lunak
• Lebih kecil dari usia • kehamilan •
Nyeri perut >> Jaringan + Uterus lunak
• Abortus komplit
Sedikit-tidak ada
Abortus septik
Perdarahan berbau
Missed abortion
Tidak ada
Tertutup atau terbuka lunak
Lebih kecil dari usia kehamilan
Lunak
Membesar, nyeri tekan
Tertutup
Lebih kecil dari usia kehamilan
• •
Sedikit atau tanpa nyeri perut Jaringan keluar ± Uterus kenyal
• •
Demam leukositosis
•
Tidak terdapat gejala nyeri perut Tidak disertai ekspulsi jaringan konsepsi
•
Abortus: Tatalaksana Umum • Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi, berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam: – – – – –
Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam Segera rujuk ibu ke rumah sakit Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan konseling kontrasepsi pasca keguguran
– Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus
Tatalaksana Abortus Imminens
Abortus Insipiens
• Pertahankan kehamilan. • Tidak perlu pengobatan khusus. • Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan seksual • Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada pemeriksaan antenatal (kadar Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu) • Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
• Evakuasi isi uterus • Lakukan pemantauan pasca tindakan/30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat. • Pemeriksaan PA jaringan • Evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. • Periksa kadar Hb setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.
Tatalaksana Abortus Inkomplit • •
•
• •
Evakuasi isi uterus (dengan jari atau AVM/Kuretase) Kehamilan > 16 minggu infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau RL dengan kecepatan 40 tpm untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi. Evaluasi tanda vital pasca tindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat. Pemeriksaan PA jaringan Evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi urin/6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.
Abortus Komplit • Tidak diperlukan evakuasi lagi. • Konseling untuk memberikan dukungan emosional dan menawarkan KB pasca keguguran. • Observasi keadaan ibu. • Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2 minggu, jika anemia berat berikan transfusi darah. • Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
141. Kala Persalinan PERSALINAN dipengaruhi 3 FAKTOR “P” UTAMA 1. Power His (kontraksi ritmis otot polos uterus), kekuatan mengejan ibu, keadaan kardiovaskular respirasi metabolik ibu. 2. Passage Keadaan jalan lahir 3. Passanger Keadaan janin (letak, presentasi, ukuran/berat janin, ada/tidak kelainan anatomik mayor) (++ faktor2 “P” lainnya : psychology, physician, position)
• PEMBAGIAN FASE / KALA PERSALINAN Kala 1 Pematangan dan pembukaan serviks sampai lengkap (kala pembukaan) Kala 2 Pengeluaran bayi (kala pengeluaran) Kala 3 Pengeluaran plasenta (kala uri) Kala 4 Masa 1 jam setelah partus, terutama untuk observasi
Kala Persalinan: Sifat HIS Kala 1 awal (fase laten) • Tiap 10 menit, amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm • Frekuensi dan amplitudo terus meningkat Kala 1 lanjut (fase aktif) sampai kala 1 akhir • Terjadi peningkatan rasa nyeri, amplitudo makin kuat sampai 60 mmHg, frekuensi 2-4 kali / 10 menit, lama 60-90 detik (minimal 2x/10 menit selama 40”). Serviks terbuka sampai lengkap (+10cm). Kala 2 • Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit. • Refleks mengejan akibat stimulasi tekanan bagian terbawah menekan anus dan rektum Kala 3 • Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun. Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid).
Kala Persalinan: Kala I Fase Laten • Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam) Fase Aktif • Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung sekitar 6 jam • Fase aktif terbagi atas : 1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4 cm. 2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm sampai 9 cm. 3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai lengkap (+ 10 cm).
Kala Persalinan: Kala II • Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi • Gejala dan tanda kala II persalinan – Dor-Ran Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi – Tek-Num Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rektum dan/atau vaginanya. – Per-Jol Perineum menonjol – Vul-Ka Vulva-vagina dan sfingter ani membuka – Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah
• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam (informasi objektif) – Pembukaan serviks telah lengkap, atau – Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III • Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban
• Tanda pelepasan plasenta – Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan retroplasenter pecah saat plasenta lepas – Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen uterus yang lebih bawah atau rongga vagina – Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular (bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus – Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen uterus yang lebih bawah (Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
142. Ruptur Uteri • Definisi Ruptur Uteri – Lengkap: Laserasi berhubungan dengan kavum peritoneum – Tidak Lengkap: Laserasi dipisahkan dari kavum peritoneum oleh peritoneum viseralis/ ligamentum kardinale – Ruptur bekas SC: Pelepasan luka insisi lama + robekan selaput ketuban – Dehisensi jaringan parut bekas SC: Selaput ketuban tidak pecah
Ruptur Uteri: Etiologi • • • • •
Jaringan parut bekas SC (terbanyak) Riwayat kuretase atau perforasi uterus Trauma abdomen Persalinan lama akibat CPD Stimulasi berlebihan saat induksi (pematangan serviks mis. Misoprostol/ dinoprostone) • Peregangan uterus berlebihan • Neoplasma trofoblastik gestasional • Pelepasan plasenta manual yang sulit
Ruptur Uteri: Klasifikasi • Ruptur Uteri Tanpa Jaringan Parut – Ruptur Spontan • Terjadi pada uterus tanpa parut • Etiologi: persalinan lama, multiparitas, hidrosefalus, janin letak lintang, oksitosin dosis tinggi
• Ruptur Jaringan Parut Seksio Sesarea – Terjadi pada luka parut lama
• Ruptur Uteri Traumatik – Karena jatuh, kecelakaan (tabrakan dll), ruptur uteri violenta (misal pada versi ekstraksi letak lintang atau setelah ekstraksi cunam)
Ruptur Uteri: Mekanisme • Peregangan berlebihan dari uterus, kadang disertai pembentukan cincin retraksi patologis (Bandl)
• Lingkaran Bandl: fisiologis bila dijumpai 2-3 jari diatas simfisis bila meninggi waspada ruptura uteri iminens (RUI)
Ruptur Uteri: Gejala & Penemuan Klinis – Anamnesis & Inspeksi: Kesakitan, napas dangkal & cepat,takikardia, muntah ec rangsangan peritoneum, syok, kontraksi uterus hilang, defans muskular – Palpasi: Krepitasi pada kulit perut (emfisema subkutan), teraba bagian janin langsung dibawah kulit perut, nyeri tekan perut, Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik – Auskultasi: DJJ sulit terdengar/ tidak terdengar – Pemeriksaan Dalam: Robekan dinding rahim teraba teraba organ
Tatalaksana Ruptur Uteri • Tindakan yang segera dilakukan memperbaiki keadaan umum pasien ( resusitasi cairan dan persiapan tranfusi ) dan persiapan tindakan SC dan laparotomi. • Tindakan definitif: – Histerorafia (bila tobekan melintang dan tidak mengenai daerah yang luas), atau – Histerektomi (bila robekan uterus mengenai jaringan yang sangat luas serta sudah banyak bagian yang nekrotik)
143. Masa subur • Menghitung masa subur – Periode: (siklus menstruasi terpendek – 18) dan (siklus menstruasi terpanjang - 11) – Menggunakan 3 – 6 bulan siklus menstruasi
Metode Suhu Basal Tubuh • Suhu basal tubuh: suhu terendah yang dicapai oleh tubuh selama istirahat atau dalam keadaan istirahat (tidur). Dilakukan pada pagi hari segera setelah bangun tidur dan sebelum beraktivitas • Pada waktu ovulasi, suhu akan turun terlebih dahulu dan naik menjadi 37-38o (naik 1-2o) kemudian tidak akan kembali pada suhu 35 derajat celsius
Lendir Serviks (Billings Test) • Lendir Tipe –E (estrogenik) : – Diproduksi pada fase akhir pra ovulasi. Sifat-sifat banyak, tipis, seperti air (jernih) dan viskositas/kelengketan rendah, elastisitas besar, bila dikeringkan terjadi bentuk seperti daun pakis. Spermatozoa dapat menembus lendir ini.
• Lendir Tipe –G (gestagenik) : – Diproduksi pada fase awal pra ovulasi dan setelah ovulasi. Sifatsifat kental, kelengketan tinggi, keruh (oppaque). Dibuat karena peninggian kadar progesteron.
144-145. Partograf Tujuan Utama
Tidak boleh digunakan pada:
• Mencatat hasil observasi dan menilai kemajuan persalinan • Mendeteksi apakah persalinan berjalan normal atau terdapat • penyimpangan, dengan demikian dapat melakukan deteksi dini setiap kemungkinan terjadinya partus lama
1. Wanita pendek, tinggi kurang dari 145 cm 2. Perdarahan antepartum 3. Pre-eklampsia – eklampsia 4. Persalinan prematur 5. Bekas sectio sesarea 6. Kehamilan ganda 7. Kelainan letak janin 8. Fetal distress 9. Dugaan distosia karena panggul sempit
Partograf: Umum • Denyut jantung janin: setiap 1⁄2 jam • Frekuensi dan lamanya kontraksi uterus: setiap 1⁄2 jam • Nadi: setiap 1⁄2 jam • Pembukaan serviks: setiap 4 jam • Penurunan kepala: setiap 4 jam • Tekanan darah dan temperatur tubuh: setiap 4 jam • Produksi urin, aseton dan protein: setiap 2-4 jam
Partograf: Pencatatan Kondisi Bayi • Denyut jantung janin: setiap 1⁄2 jam – DJJ Normal: 110-160 x/menit • Menilai Air Ketuban – U : selaput ketuban utuh (belum pecah) – J : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban jernih – M : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban bercampur mekonium – D : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban bercampur darah – K : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban kering (tidak mengalir lagi)
• Molase Tulang Kepala Janin – Semakin besar penyusupan semakin besar kemungkinan disporposi kepala panggul. Lambang yang digunakan: • 0: tulang –tulang kepala janin terpisah, sutura mudah dipalpasi • 1: tulang-tulang kepa janin sudah saling bersentuhan • 2: tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih tapi masih bisa dipisahkan • 3: tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih dan tidak dapat dipisahkan
Partograf: Kemajuan Persalinan • Pembukaan Serviks – Angka pada kolom kiri 0-10 pembukaan serviks – Menggunakan tanda X pada titik silang antara angka yang sesuai dengan temuan pertama pembukaan serviks pada fase aktif dengan garis waspada – Hubungan tanda X dengan garis lurus tidak terputus
• Penurunan bagian terbawah janin – Tulisan “turunnya kepala” dan garis tidak terputus dari 0-5 pada sisi yang sama dengan angka pembukaan serviks – Berikan tanda “●” pada waktu yang sesuai dan hubungkan dengan garis lurus.
• Garis waspada – Jika pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada waspadai kemungkinan adanya penyulit persalinan – Jika persalinan telah berada di sebelah kanan garis bertindak yang sejajar dengan garis waspada perlu segera dilakukan tindakan penyelesaian persalinan
• Garis bertindak dan waktu – Waktu mulainya fase aktif persalinan diberi angka 1-16, setiap kotak: 1 jam yang digunakan untuk menentukan lamanya proses persalinan telah berlangsung – Waktu aktual saat pemeriksaan merupakan kotak kosong di bawahnya yang harus diisi dengan waktu yang sebenarnya saat kita melakukan pemeriksaan
Partograf: Kontraksi Uterus • Terdapat lima kotak mendatar untuk kontraksi • Pemeriksaan dilakukan setiap 30 menit, raba dan catat jumlah dan durasi kontaksi dalam 10 menit • Misal jika dalam 10 menit ada 3 kontraksi yang lamanya 20 setik maka arsirlah angka tiga kebawah dengan warna arsiran yang sesuai untuk menggambarkan kontraksi 20 detik (arsiran paling muda warnanya)
Partograf • Obat-obatan dan cairan yang diberikan – Catat obat dan cairan yang diberikan di kolom yang sesuai. Untuk oksitosin dicantumkan jumlah tetesan dan unit yang diberikan
• Kondisi Ibu – Catat nadi ibu setiap 30 menit dan beri tanda titik pada kolom yang sesuai. Ukur tekanan darah ibu tiap 10 menit dan beri tanda ↕ pada kolom yang sesuai. Temperatur dinilai setiap dua jam dan catat di tempat yang sesuai
• Volume urine, protein dan aseton – Lakukan tiap 2 jam jika memungkinkan
146. Urethritis GO • Etiologi – Neisseria gonnorrhoeae
• Jenis Infeksi – Pada Pria • Urethritis, tysonitis, paraurethritis, littritis, cowperitis, prostatitis, veikulitis, funikulitis, epididimitis, trigonitis
– Pada Wanita • Urethritis, paraurethritis, servisitis, bartholinitis, salpingitis, proktitis, orofaringitis, konjungtivitis infant, gonorea diseminata
– Gambaran urethritis • Gatal, panas di uretra distal, disusul disuria, polakisuria, keluar duh kadang disertai darah, nyeri saat ereksi Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Urethritis GO • Pemeriksaan – Sediaan langsung: diplokokus gram negatif – Kultur: Agar Thayer Martin DIAGNOSIS
P I L I H A N P E N G O B A TA N
Infeksi GO tanpa komplikasi pada serviks, urethra, faring, atau rektum
Lini pertama: Ceftriaxone (250 IM, SD) atau Cefixim (400 mg PO, SD) Ditambah Terapi untuk Klamidia bila infeksi klamidia tidak dapat disingkirkan: Azitromisin (1 g, PO, SD) atau Soksisiklin (100 mg PO bid selama 7 hari) Alternatif: Ceftizoxime (500 mg IM, SD) atau Cefotaxime (500 mg IM, SD) atau Spectinomycin (2 g IM, SD) Atau Cefotetan (1 g IM, SD) + probenecid (1 g PO, SD) atau Cefoxitin (2 g IM, SD) + probenecid (1 g PO, SD)
Longo DL. Harrison’s principles of internal medicine, 18 th ed. McGraw-Hill;2012.
Drug of Choice pada Kehamilan Diagnosis
Terapi Pilihan
Pielonefritis
Ceftriaksone/Ampisilin/Gentamisin/Cefazolin/Cefotetan/Aztreonam
Kejang, eklampsia
Magnesium Sulfat
Skabies
Krim permetrin 5%
Sifilis
Benzatin Penisilin
Trikomoniasis
Metronidazol
Ulkus Gaster
Sukralfat, Ranitidine
Infeksi Saluran Kemih
Amoksisilin, cefiksim
Bakterial vaginosis
PO: klindamisin 300 mg atau metronidazol 500 mg 2x/hari selama 7 hari
Tromboemboli Vena
Low Molecular Weight Heparin ATAU Enoxaparin ATAU Dalteparin ATAU Tinzaparin
Kandidosis Vulvovagina
Hanya terapi azol topikal untuk 7 hari (rekomendasi:Terkonazol cream), nystatin pervaginam
Diagnosis
Terapi Pilihan
Diabetes
Insulin
Gonorrhea; Genital, rektal, faring
Ceftriaxone 250 mg SD IM lebih efektif dibandingkan dengan Cefixim 400 mg PO
Herpes
Asiklovir ATAUValasiklovir
Hipotiroidisme
Levotiroksin
Hipertiroidisme
• Trimester I: PTU • Trimester II dan III: Metimazol • Beta adrenergik seperti propanolol untuk gejala hipermetabolik
ITP
Prednison, IVIG (bila steroid menjadi kontra indikasi)
Malaria
Klorokuin, meflokuin atau kombinasi kuinin sulfat + klindamisin bila terjadi resistensi klorokuin
Mual Muntah
• Diclegis (doxylamine succinate & pyridoxine hydrochloride) • Promethazine ATAU dimenhydrate • Metoklopromide (bila tidak ada respon)
Pedikulosispubis
Permethrin 1% krim ATAU Pyrethrin dengan piperonyl butoxide
Pencegahan Preeklampsia
Aspirin dosis rendah (81 mg/d) setelah trimester pertama pada wanita risiko tinggi
147. Metode IUD/AKDR Definisi • Menutup tuba falopii (mengikat dan memotong atau memasang cincin), sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum • oklusi vasa deferens sehingga alur transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi tidak terjadi
Efek Samping • Nyeri pasca operasi
Kerugian • Infertilitas bersifat permanen
Kontraindikasi AKDR Kontraindikasi Absolut AKDR
Kontraindikasi Relatif AKDR
• Kehamilan • Perdarahan pervaginam undiagnosed • PID akut & kronik • Gaya hidup berisiko PID • Alergi terhadap komponen • Imunosupresi
• • • • •
Penyakit jantung valvular Riwayat PID Riwayat KET Abnormalitas uterus, fibroid Dismenorea berat atau menoragia • Stenosis servikal
Infeksi post pemasangan AKDR • Infeksi yang terjadi >20 hari setelah pemasangan AKDR kemungkinan besar bukan disebabkan oleh AKDR • Pap smear: untuk memeriksa etiologi • Aff IUD tidak disarankan kecuali memang terbukti ada STD
148. Abortus Provokatus: Bentuk • Abortus provokatus medisinalis – Dilakukan atas dasar indikasi vital – Tindakan harus disetujui oleh tiga orang dokter yang merawat ibu hamil (Dokter yang sesuai dengan indikasi penyakitnya, Dokter anestesi, Dokter ahli Obstetri dan Ginekologi) – Indikasi vital • Penyakit ginjal, jantung, penyakit paru berat, DM berat, karsinoma
• Abortus provokatus kriminalis – Tenaga yang tidak terlatih sering menimbulkan ‘trias’ komplikasi: perdarahan, trauma alat genitalia/jalan lahir, infeksi hingga syok sepsis
Jenis Abortus • Dua jenis abortus – Abortus spontan dan abortus provokatus
• Abortus spontan – terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis, disebut juga keguguran (miscarriage)
• Abortus provokatus – Sengaja sengaja dilakukan tindakan (Cunningham dkk.,2010)
149. KB: Metode Hormonal Kombinasi • Cara kerja •
ovulasi, mengentalkan lendir serviks penetrasi sperma <<, atrofi endometrium implantasi terganggu, dan menghambat transportasi gamet oleh tuba
• Efek samping •
Perubahan pola haid, sakit kepala, pusing, BB>>, perut kembung, perubahan suasana perasaan, dan penurunan hasrat seksual
• Kontra Indikasi •
Gangguan KV, menyusui eksklusif, perdarahan pervaginam idiopatik, hepatitis, perokok, riwayat diabetes > 20 tahun, kanker payudara atau dicurigai, migraine dan gejala neurologic fokal (epilepsi/riwayat epilepsi), tidak dapat menggunakan pil secara teratur setiap hari.
Progestin • Cara kerja •
Mencegah ovulasi, mengentalkan lendir serviks penetrasi sperma terganggu, menjadikan selaput rahim tipis & atrofi, menghambat transportasi gamet oleh tuba
• Efek Samping – Perubahan pola haid, sakit kepala, pusing, perubahan suasana perasaan, nyeri payudara, nyeri perut, dan mual
• Kontra Indikasi – Serupa dengan kombinasi – Pil progestin dapat diminum saat menyusui
Metode Hormonal: Pil Kombinasi
• Jenis Pil Kombinasi – Monofasik (21 tab): E/P dalam dosis yang sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif (placebo). – Bifasik (21 tab): E/P dengan dua dosis yang berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif. – Trifasik (21 tab) : E/P dengan tiga dosis yang berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif
Metode Hormonal: Pil dan Suntikan Progestin Pil & Suntikan Progesteron • Pil Progestin – Isi 35 pil: 300 µg levonorgestrel atau 350 µg noretindron – Isi 28 pil: 75 µg norgestrel – Contoh • Micrinor, NOR-QD, noriday, norod (0,35 mg noretindron) • Microval, noregeston, microlut (0,03 mg levonogestrol) • Ourette, noegest (0,5 mg norgestrel) • Exluton (0,5 mg linestrenol) • Femulen (0,5 mg etinodial diassetat)
Jika lupa minum? • Lupa minum 1 harikeesokan harinya minum 2 pil, hari setelahnya kembali minum 1 pil seperti biasa • Lupa minum 2 harikeesokan harinya minum 2 pil, hari setelahnya 2 pil, kemudian kembali 1 pil seperti biasa • Bila lupa >2 hari pakai kondom saat berhubungan seks dan ganti dengan kontrasepsi lain (kontrasepsi darurat jika sempat berhubungan seks)
150. Menopause • Klimakterium adalah masa yang bermula dari akhir masa reproduksi sampai awal masa senium dan terjadi pada wanita berumur 40-65 tahun. • Masa-masa klimakterium: – Pramenopause – Perimenopause: fase peralihan antara pramenopause dan paska menopause. – Menopause adalah henti haid seorang wanita. – Pasca menopause .
• Diagnosis menopause ditegakkan setelah 12 bulan amenorea • Gejala Klinis menopause – Hot flashes, peningkatan BB, insomnia, kembung, perubahan mood, menstruasi tidak teratur, mastodinia, depresi, sakit kepala
1.
Premenopause, adalah masa sekitar usia 40 tahun dengan dimulainya siklus haid yang tidak teratur, memanjang, sedikit atau banyak, kadangkadang disertai nyeri. – Pada analisa hormonal ditemukan kadar Folicel Stimulating Hormon (FSH) dan estrogen yang tinggi, atau normal sedangkan fase luteal stabil.
2.
Perimenopause, adalah fase peralihan antara pramenopause dan paska menopause. WHO (1996) dan North American Menopause Society (2000) mendefinisikan perimenopause sebagai dua hingga delapan tahun sebelum menopause dan satu tahun setelah menstruasi yang terakhir (Cheung, et al., 2004). Fase ini ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur. – Sebagian besar wanita mengalami siklus haid lebih dari 38 hari, yang lain siklus haidnya kurang dari 18 hari. Kadar FSH, LH, dan estrogen sangat bervariasi (normal, tinggi, atau rendah).
3.
4.
Menopause. Bila seorang wanita tidak haid selama 12 bulan dan kadar FSH darah >35 mIU/ml dan kadar estradiol < 30 pg/ml maka wanita tersebut telah mengalami menopause. Paska menopause, masa setelah menopause sampai dengan senium yang dimulai setelah 12 bulan amenorea. Kadar FSH dan LH sangat tinggi (> 35 mIU/ml), dan kadar estradiol sangat rendah (< 30 pg/ml).
Menopause: Fisiologi
• Premenopause • Pada akhir premenopause: respon ovarium terhadap FSH << kadar estrogen mulai << • Perimenopause • Kadar estrogen menurun drastis gejala premenopause: hot flashes, vagina kering, keringat malam, dan libido << • Menopause • Gejala: hot flashes, keringat malam, vagina kering, mood swing, libido <<, BB >>, nyeri kepala, keriput, depresi, menstruasi tidak teratur/berhenti http://www.menopause-faq.com/premenopause-signs-and-symptoms.htm
Perubahan pada Menopause • Efek penurunan hormon gonadal – Estrogen << epitelium vagina menjadi memerah karena epitel menipis dan kapiler lebih terlihat atrofi epitel vagina vagina memucat dan rugae << dispareunia – Uterus mengecil – Efek urogenital: << pH urin perubahan flora bakteri keputihan yang berbau dan gatal
• Marker Menopause – >> FSH (penanda kegagalan ovarium) dan << estradiol dan inhibin
• Perubahan Endometrium – Kearah atrofi, tidak ada fase sekretorik – Hiperplasia endometrial: akibat hipertimulasi estrogen dari luar atau HRT ketebalan endometrium via USG > 5 mm
• Osteoporosis
151. Penyakit Trofoblastik Gestasional WHO Classification
Malignant neoplasms of various types of trophoblats
Choriocarcinoma Placental site trophoblastic tumor Epithilioid trophoblastic tumors
Malformations of the chorionic villi that are predisposed to develop trophoblastic malignacies Hydatidiform moles
Complete
Partial
Invasive
Benign entities that can be confused with with these other lesions Exaggerated placental site Placental site nodule
Mola Hidatidosa • Definisi – Latin: Hidatid tetesan air, Mola Bintik – Mola Hidatidosa menunjukkan plasenta dengan pertumbuhan abnormal dari vili korionik (membesar, edem, dan vili vesikular dengan banyak trofoblas proliferatif)
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko • Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun • Pernah mengalami kehamilan mola sebelumnya • Risiko meningkat sesuai dengan jumlah abortus spontan • Wanita dengan golongan darah A lebih berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko • Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun • Pernah mengalami kehamilan mola sebelumnya • Risiko meningkat sesuai dengan jumlah abortus spontan • Wanita dengan golongan darah A lebih berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis T I PE KO M PL I T • Perdarahan pervaginam setelah amenorea • Uterus membesar secara abnormal dan menjadi lunak • Hipertiroidism • Kista ovarium lutein • Hiperemesis dan pregnancy induced hypertension •
Peningkatan hCG 100,000 mIU/mL
T I PE PARSI AL • Seperti tipe komplit hanya lebih ringan • Biasanya didiagnosis sebagai aborsi inkomplit/ missed abortion • Uterus kecil atau sesuai usia kehamilan • Tanpa kista lutein
Mola Hidatidosa: Hubungan dengan Hipertiroid
Hydatidiform Mole
Extremely high hCG level mimic TSH
Hyperthyroidism
Mola Hidatidosa: Diagnosis • Pemeriksaan kadar hCG sangat tinggi, tidak sesuai usia kehamilan • Pemeriksaan USG ditemukan adanya gambaran vesikuler atau badai salju – Komplit: badai salju – Partial: terdapat bakal janin dan plasenta
• Pemeriksaan Doppler tidak ditemukan adanya denyut jantung janin
Tatalaksana Mola Hidatidosa • Kuretase dengan kuret tumpul dilakukan pemeriksaan PA pada seluruh jaringan kerokan • 7-10 hari setelah kuret tumpul dilakukan kuretase tajam untuk memastikan uterus benar-benar kosong dan memeriksa tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblas yang dapat ditemukan
152. TORCH Infeksi TORCH • • • • •
T=toxoplasmosis O=other (syphilis) R=rubella C=cytomegalovirus (CMV) H=herpes simplex (HSV)
Bayi yang dicurigai terinfeksi TORCH – – – – –
Bayi dengan IUGR Trombositopenia Ruam abnormal Riwayat ibu sakit saat hamil Adanya gejala klasik infeksi
TORCH: Toksoplasma •
Etiologi: Toxoplasma gondi
•
Gejala dan Tanda – Tanpa gejala spesifik – Wanita hamil + Toxoplasmosis abortus spontan/ keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita Toxoplasmosis bawaan gejala dapat muncul setelah dewasa (kelainan mata & telinga, retardasi mental, kejang-kejang & ensefalitis)
•
Diagnosis – Gejala: tidak spesifik atau tidak terlihat (sub klinik) – Laboratorium: Anti-Toxo IgG, IgM & IgA, serta Aviditas Anti-Toxoplasma IgG – Pemeriksaan perlu pada: • Diduga terinfeksi, sebelum atau selama masa hamil (bila hasilnya negatif perlu diulang/bulan t.u pada trimester I, selanjutnya tiap trimester), bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi Toxoplasma
Sumber :Pengertian TORCH Berikut Pencegahannya - Bidanku.comhttp://bidanku.com/pengertian-torch-berikut-pencegahannya
Toksoplasmosis pada Kehamilan • Deteksi antibodi spesifik toksoplasma merupakan metode diagnostik primer • Deteksi inisial adalah IgG untuk menentukan status imun (+): indikasi infeksi pada suatu waktu lampau uji IgM • Uji IgM (-): menyingkirkan infeksi kini (recent infection) • Uji IgM toksoplasma: kurang spesifitas – IgM (+)/IgG (-): spesimen I mencurigakan tes ulang 2 minggu kemudian dengan spesimen II • Bila spesimen I diambil pada awal infeksi, maka spesimen II seharusnya IgG (+) tinggi • Bila IgG (-) dan IgM (+) pada kedua spesimen: positif palsu, pasien tidak terinfeksi
– IgM (+)/IgG (+): ambil spesimen II uji di lab lain yang menggunakan metode tes berbeda untuk konfirmasi – IgM (+)/IgG (+) dan hamil: IgG avidity Test
Toksoplasmosis pada Kehamilan: Uji Aviditas • Uji aviditas tinggi pada kehamilan usia 12-16: menyingkirkan infeksi terjadi pada masa gestasi
• Uji aviditas rendah: belum tentu infeksi dapat akibat adanya persisten low IgG avidity dalam beberapa bulan setelah infeksi • Wanita hamil yang dicurigai terinfeksi harus diuji ulang di lab lain – Bila terdapat gejala yang sesuai tapi titer IgG rendah uji ulang 23 minggu kemudian bila terdapat kenaikan titer: infeksi toksoplasma (+) https://www.cdc.gov/dpdx/toxoplasmosis/dx.html
Algoritma Imunodiagnosis Toksoplasma
* Except Infant https://www.cdc.gov/dpdx/toxoplasmosis/dx.html
TORCH: Terapi Toksoplasma • Untuk wanita hamil (CDC): – DOC: Spiramisin (trimester I dan II) • Dosis: 100 mg/kgBB/hari selama 30-45 hari
– Pirimetamin/sulfadiazin & leucovorin (Trimester II akhir & III) dan bila terdapat kemungkinan janin terinfeksi (pemeriksaan cairan amnion pada minggu 18) • Dosis Pirimetamin: 100 mg di hari 1 lanjut 25-50 mg/hari • Dosis Sulfadiazin: 4 x 1 gram/hari • Dosis Leucovorin (asam folat): 7.5 mg/hari selama 4-6 minggu
http://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/health_professionals/
153. KISTA BARTHOLIN Kelenjar Bartholin: • Bulat, kelenjar seukuran kacang terletak didalam perineum pintu masuk vagina arah jam 5 & jam 7 • Normal: tidak teraba • Duktus: panjang 2 cm & terbuka pada celah antara selaput himen & labia minora di dinding lateral posterior vagina
Kista Duktus Bartholin: • Kista yang paling sering
• Disebabkan oleh obstruksi sekunder pada duktus akibat inflamasi nonspesifik atau trauma • Kebanyakan asimptomatik
Kista & Abses Bartholin: Terapi • Pengobatan tidak diperlukan pada wanita usia < 40 tahun kecuali terinfeksi atau simptomatik • Simptomatik – Kateter Word selama 4-6 minggu – Marsupialization: Alternatif kateter Word, biasanya dilakukan jika rekuren tidak boleh dilakukan bila masih terdapat abses obati dulu dengan antibiotik spektrum luas – Eksisi: bila tidak respon terhadap terapi sebelumnya dilakukan bila tidak ada infeksi aktif, jarang dilakukan karena menyebabkan disfigurasi anatomis serta nyeri
• Pada wanita > 40 tahun • Biopsi dilakukan untuk menyingkirkan adenocarcinoma kelenjar Bartholin http://www.aafp.org/afp/2003/0701/p135.html
Kateter Word
Kista ginekologi Jenis
Keterangan
Kista Bartholin
Kista pada kelenjar bartholin yang terletak di kiri-kanan bawah vagina,di belakang labium mayor. Terjadi karena sumbatan muara kelenjar e.c trauma atau infeksi
Kista Nabothi (ovula)
Terbentuk karena proses metaplasia skuamosa, jaringan endoserviks diganti dengan epitel berlapis gepeng. Ukuran bbrp mm, sedikit menonjol dengan permukaan licin (tampak spt beras)
Polip Serviks
Tumor dari endoserviks yang tumbuh berlebihan dan bertangkai, ukuran bbrp mm, kemerahan, rapuh. Kadang tangkai panjang sampai menonjol dari kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai introitus. Tangkai mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan polip mengalami peradangan dengan metaplasia skuamosa atau ulserasi dan perdarahan.
Karsinoma Serviks
Tumor ganas dari jaringan serviks. Tampak massa yang berbenjol-benjol, rapuh, mudah berdarah pada serviks. Pada tahap awal menunjukkan suatu displasia atau lesi in-situ hingga invasif.
Mioma Geburt
Mioma korpus uteri submukosa yang bertangkai, sering mengalami nekrosis dan ulserasi.
154. Preeklampsia Preeklampsia Ringan - TD ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu - Proteinuria 1+ atau protein kuantitatif >300 mg/24 jam Preeklampsia Berat - TD >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu - Proteinuria 2+ atau protein kuantitatif >5 g/24 jam - Atau disertai kelainan organ lain: trombositopenia (<100.000), hemolisis mikroangiopati, peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran atas, sakit kepala, skotoma penglihatan, pertumbuhan janin terhambat, oligohidroamnion - Peningkatan SGOT/SGPT+trombositopenia HELLP Syndrome Superimposed preeklampsia - Sudah ada hipertensi kronik sebelum hamil atau saat usia kandungan <20 minggu - Proteinuria 1+ atau trombosit <100.000 pada usia kehamilan <20 minggu Eklampsia - Kejang umum dan/atau koma - Ada tanda preeklampsia - Tidak ada kemungkinan penyebab lain seperti epilepsi, perdarahan subarachnoid, atau meningitis Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Pre Eklampsia & Eklampsia: Kejang • Pencegahan dan Tatalaksana Kejang – Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD • MgSO4 – Eklampsia untuk tatalaksana kejang – PEB pencegahan kejang
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam
• Antihipertensi
• Pertimbangan terminasi kehamilanharus dilahirkan dalam 12 jam setelah kejang Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Indikasi SC Indikasi Ibu • Plasenta previa sentralis/lateralis (posterior)/totalis, CPD, partus lama, ruptur uteri mengancam, partus tak maju, distosia serviks. pre-eklampsia dan hipertensi, disfungsi uterus, distosia jaringan lunak Indikasi Janin • Letak lintang, letak bokong, presentasi rangkap bila reposisi tidak berhasil, presentasi dahi dan muka (letak defleksi) bila reposisi dengan cara-cara lain tidak berhasil • Gemelli menurut Eastman, sectio caesarea dianjurkan • Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu (shoulder presentation) • Bila terjadi interlok (locking of the twins) • Distosia oleh karena tumor • Gawat janin Kelainan Uterus • Uterus arkuatus • Uterus septus • Uterus duplekus • Terdapat tumor di pelvis minor yang mengganggu masuk kepala janin ke pintu atas panggul
155. Hipertiroid pada Kehamilan: Tatalaksana • Rawat inap dan tirah baring untuk mengontrol kadar hormon tiroid. • Pemberian obat antitiroid: Tionamid (PTU/Metimazole), Larutan yodium (Lugol) 3 tetes dalam segelas air putih diminum 1x/hari selama 1-2 minggu. • Propanolol mengurangi manifestasi simpatetik, 40-80 mg/hari, dalam 3-4 dosis. • Kontra Indikasi: penyakit paru obstruktif, blokade jantung, dekomp kordis, DM • Tiroidektomi dapat dipertimbangkan ketika kondisi hipertiroid telah teratasi lewat pengobatan. • Setelah bayi lahir, periksa kadar hormon tiroidnya untuk menyingkirkan kemungkinan hipotiroidisme pada bayi akibat pengobatan selama ibu hamil.
Hipertiroid pada Kehamilan • DOC (PTU dan methimazole) – PTU (utama pada trimester I) (pregnancy class D) • PTU 300-450 mg/hari, dibagi dalam 3 dosis. Bila FT4 dan FT3 sudah normal dosis pemeliharaan 50-300 mg/hari, dalam dosis terbagi. • Efek teratogenik << • Efek samping: Hipotiroid pada janin
– Methimazole (trimester II dan III) (pregnancy class D) • efek teratogenik berupa sindrom teratogenik ‘embriopati metimazole’ yang ditandai dengan atresi esofagus atau koanal
• Β blocker (propanolol) – Mengurangi gejala akut hipertiroid – Efek samping pada kehamilan akhir: hipoglikemia pada neonatus, apnea, dan bradikardia yang biasanya bersifat transien dan tidak lebih dari 48 jam – Dibatasi sesingkat mungkin dan dalam dosis rendah (10-15 mg per hari) Abalovich M, Amino N, Barbour LA, Cobin RH, Leslie J, Glinoer D, et al. Management of Thyroid Dysfunction during Pregnancy and Postpartum. J. Endocrinol. Metabolism. 2007; 92(8): S1-S47
Methimazole: Dosis dan Efek Samping
Indikasi Pembedahan • Dibutuhkannya obat anti tiroid dosis besar (PTU >450 mg atau methimazole >300 mg) • Timbul efek samping serius penggunaan obat anti tiroid • Struma yang menimbulkan gejala disfagia, atau obstruksi jalan napas • Tidak dapat memenuhi terapi medis (misalnya pada pasien gangguan jiwa)
156. Kandidosis Vagina • • •
•
Terjadi terutama karena meningkatnya pemakaian antibiotik, pil KB, dan obat lain perubahan pH vagina pertumbuhan candida Sering ditemukan pada wanita hamil, menstruasi, DM Gejala dan Tanda – Rasa gatal dan terbakar pada vagina – Edema dan eritem pada vestibulum, labia mayora dan minora – Thrush patches ditemukan menempel pada vulva – Keputihan putih, kental seperti susu – Dapat mengakibatkan infeksi saluran kemih Diagnosis – Pemeriksaan KOH: adanya gambaran pseudohifa
Kandidosis Vagina: Terapi (CDC & WHO)
157. Hiperemesis Gravidarum Definisi • Keluhan mual,muntah pada ibu hamil yang berat hingga mengganggu aktivitas sehari-hari. • Mulai setelah minggu ke-6 dan biasanya akan membaik dengan sendirinya sekitar minggu ke-12 Etiologi • Kemungkinan kadar BhCG yang tinggi atau faktor psikologik Predisposisi • Primigravida, mola hidatidosa dan kehamilan ganda • Akibat mual muntah → dehidrasi → elektrolit berkurang, hemokonsentrasi, aseton darah meningkat → kerusakan liver
Hiperemesis Gravidarum: Patogenesis
Verberg MFG, et al. Hyperemesis gravidarum, a literature review. Human Reproduction Update, Vol.11, No.5 pp. 527–539, 2005
Hiperemesis Gravidarum: Patofisiologi Worsen NVP
Dehydration
Hypochoremic alkalosis
Hemoconcentration Somnolen/coma Hypovolemic shock Acute renal failure NVP: Nausea and vomiting in pregnancy
Thiamine depletion
Wernicke encephalopathy
Starvation
Ketosis
Hepatic dysfunction
1. Cunningham et al. William’s obstetrics. 22nd ed. McGraw Hill; 2005. 2. Verberg MFG, et al. Hyperemesis gravidarum, a literature review. Human Reproduction Update, Vol.11, No.5 pp. 527–539, 2005. 3. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Hiperemesis Gravidarum Emesis gravidarum: • Mual muntah pada kehamilan tanpa komplikasi, frekuensi <5 x/hari • 70% pasien: Mulai dari minggu ke-4 dan 7 • 60% : membaik setelah 12 minggu • 99% : Membaik setelah 20 minggu Hyperemesis gravidarum • Mual muntah pada kehamilan dengan komplikasi – dehidrasi – Hiperkloremik alkalosis, – ketosis
Grade 1
Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of dehydration (+)
Grade 2
Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration, aceton breath
Grade 3
Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3. Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Hiperemesis Gravidarum: Tatalaksana
Hiperemesis Gravidarum: Tatalaksana
Buku saku Pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan. Kementerian Kesehatan RI
Hiperemesis Gravidarum: Tatalaksana • Atasi dehidrasi dan ketosis Berikan Infus Dx 10% + B kompleks IV Lanjutkan dengan infus yang mempunyai komposisi kalori dan elektrolit yang memadai seperti: KaEN Mg 3, Trifuchsin dll.
• Balans cairan ketat hingga tidak dijumpai lagi ketosis dan defisit elektrolit • Berikan suport psikologis • Jika dijumpai keadaan patologis: atasi • Nutrisi per oral diberikan bertahap dan jenis yang diberikan sesuai apa yang dikehendaki pasien • Infus dilepas bila kondisi pasien benar-benar telah segar dan dapat makan dengan porsi wajar http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview
Hiperemesis Gravidarum: Komplikasi • Ruptur atau perforasi esofagus • Pneumotoraks dan pneumomediastinum • Wernicke encephalopathy atau kebutaan • Hepatic disease • Kejang, koma, atau kematian • Gagal ginjal, pankreatitis, deep venous thrombosis, emboli paru, rabdomiolisis, Defisiensi vitamin K dan koagulopati • Komplikasi terkait nutrisi parenteral • Sepsis, fungemia, tamponade, infeksi lokal, trombosis vena, fatty infiltration of the placenta, dan transaminitis http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a3
158. DM pada Kehamilan • Klasifikasi DM dengan Kehamilan menurut Pyke: – Klas I: Gestasional diabetes, yaitu diabetes yang timbul pada waktu hamil dan menghilang setelah melahirkan – Klas II: Pregestasional diabetes, yaitu diabetes mulai sejak sebelum hamil dan berlanjut setelah hamil
– Klas III: Pregestasional diabetes yang disertai dengan komplikasi penyakit pembuluh darah seperti retinopati, nefropati, penyakit pembuluh darah panggul dan pembuluh darah perifer
DM pada Kehamilan: Diagnosis (WHO)
Kriteria Diagnosis DM Gestasional
Untuk syarat diagnosis, pemberian glukosa di lakukan pagi hari setelah 8 jam puasa dan setelah 3 hari tidak diet berpantang dan berolahraga
DM pada Kehamilan: Tes Post Diagnosis • Bila diagnosis GDM sudah tegak, maka pemeriksaan selanjutnya berdasarkan trimester – Trimester I: HbA1c, BUN, kreatinin serum, TSH, kadar tiroksin bebas, rasio protein-kreatinin urin, GDS kapiler – Trimester II: Rasio protein-kreatinin urin (bila abnormal di trimester I), HbA1c, GDS kapiler – Trimester III: USG ukuran janin http://emedicine.medscape.com/article/127547-overview
DM pada Kehamilan: Terapi • Insulin adalah pilihan hipoglikemik selama kehamilan karena mempunyai catatan keamanan yang tidak dapat dipungkiri lagi baik bagi ibu maupun janinnya • Obat hipoglikemik oral tidak dianjurkan karena gagal mengontrol hiperglikemia dan potensial menyebabkan hipoglikemik pada empat minggu pertama kelahiran
Tatalaksana
DM Gestasional: Komplikasi
PA DA I B U • Hipertensi • Preeklampsia • Diabetes tipe II
• • • •
PA DA J A N I N Makrosomia dan distosia bahu Prematuriatas dan RDS Hipoglikemia DM tipe II saat dewasa
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/gestational-diabetes/basics/complications/con-20014854
159. Drug of Choice pada Kehamilan Diagnosis
Terapi Pilihan
Pielonefritis
Ceftriaksone/Ampisilin/Gentamisin/Cefazolin/Cefotetan/Aztreonam
Kejang, eklampsia
Magnesium Sulfat
Skabies
Krim permetrin 5%
Sifilis
Benzatin Penisilin
Trikomoniasis
Metronidazol
Ulkus Gaster
Sukralfat, Ranitidine
Infeksi Saluran Kemih
Amoksisilin, cefiksim
Bakterial vaginosis
PO: klindamisin 300 mg atau metronidazol 500 mg 2x/hari selama 7 hari
Tromboemboli Vena
Low Molecular Weight Heparin ATAU Enoxaparin ATAU Dalteparin ATAU Tinzaparin
Kandidosis Vulvovagina
Hanya terapi azol topikal untuk 7 hari (rekomendasi:Terkonazol cream), nystatin pervaginam
Indigestion, Dispepsia, & GERD pada Kehamilan • Indigestion, dispepsia, dan GERD dlm kehamilan biasanya terkait perubahan hormonal (penurunan motilitas saluran pencernaan akibat hormon progesteron) dan peningkatan tekanan intra abdominal akibat pembesaran uterus + relaksasi sfingter refluks asam lambung ke esofagus • Mengenai sekitar 50% kehamilan • Gejala dan Tanda – Heartburn, nyeri perut, nyeri ulu hati, mual muntah, kembung, merasa cepat kenyang
Tatalaksana Medikamentosa Dispepsia & GERD pada Kehamilan • Tatalaksana – Sukralfat = aman pada trimester I, II dan III – Antasida = aman pada trimester , II dan III kec. Berbasis magnesium (menganggu kontraksi otot persalinan) atau natrium bikarbonat (alkalosis metabolik dan retensi cairan) – Ranitidine
Tatalaksana Medikamentosa • With regard to medications, antacids or sucralfate are safe in pregnancy, because they are not systemically absorbed. • Note, however, that antacids may interfere with iron absorption. • Histamine 2 (H2) blockers are preferred over proton pump inhibitors (PPIs), because more data are available on the safety of H2-blocker use in pregnancy.
• Lansoprazole is the preferred proton pump inhibitor in pregnancy (class B).
FDA Classifcation of Drugs Used for GERD & Dyspepsia in Pregnancy
Tatalaksana Medikamentosa
123. Congenital Hypothyroidism •
Thyroid Function: – normal brain growth and myelination and for normal neuronal connections. – The most critical period fis the first few months of life.
• • • •
The thyroid arises from the fourth branchial pouches. The thyroid gland develops between 4 and 10 weeks' gestation. By 10-11 weeks' gestation, the fetal thyroid is capable of producing thyroid hormone. By 18-20 weeks' gestation, blood levels of T4 have reached term levels. T
http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview#aw2aab6b2b2aa
•
•
The fetal pituitary-thyroid axis is believed to function independently of the maternal pituitary-thyroid axis. The contributions of maternal thyroid hormone levels to the fetus are thought to be minimal, but maternal thyroid disease can have a substantial influence on fetal and neonatal thyroid function. – Immunoglobulin G (IgG) autoantibodies, as in autoimmune thyroiditis, can cross the placenta and inhibit thyroid function (transient) – Thioamides (PTU) can block fetal thyroid hormone synthesis (transient) – Radioactive iodine administered to a pregnant woman can ablate the fetus's thyroid gland permanently.
http://www.montp.inserm.fr/u632/images/TR-CAR1.gif
Pathology: Congenital Hypotyroidism
http://php.med.unsw.edu.au/embryology /index.php?title=File:Congenital_hypothyr oidism.jpg
• Causes: – Deficient production of thyroid hormone • Disgenesis congenital Hypothyroidism • Iodine deficiencyendemic goiter
– Defect in thyroid hormonal receptor activity
•
•
Most affected infants have few or no symptoms, because their thyroid hormone level is only slightly low. However, infants with severe hypothyroidism often have a unique appearance, including: – Dull look – Puffy face – Thick tongue that sticks out This appearance usually develops as the disease gets worse. The child may also have: – Choking episodes – Constipation – Dry, brittle hair – Jaundice – Lack of muscle tone (floppy infant) – Low hairline – Poor feeding – Short height (failure to thrive) – Sleepiness – Sluggishness
Neeonatal hypothyroidism. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002174/
Hipotiroid kongenital pada Anak • Hipotiroid kongenital ditandai produksi hormon tiroid yang inadekuat pada neonatus • Penyebab: – Defek anatomis kelenjar tiroid atau jalur metabolisme hormon tiroid – Inborn error of metabolism
• Merupakan salah satu penyebab retardasi mental yang dapat dicegah. Bila terdeteksi setelah usia 3 bulan, akan terjadi penurunan IQ bermakna. • Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya diagnosis etiologi ditegakkan sebelum usia 2 minggu dan normalisasi hormon tiroid (levotiroksin)sebelum usia 3 minggu.
Postellon DC. Congenital hypothyroidism. http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview
Figure 3 Diagnostic algorithm for the detection of primary congenital hypothyroidism
Grüters, A. & Krude, H. (2011) Detection and treatment of congenital hypothyroidism Nat. Rev. Endocrinol. doi:10.1038/nrendo.2011.160
http://findmeacure.com/2008/04/13/growth-disorders/
Kretinisme • Kretin merupakan keadaan hipotiroid berat dan ekstrim yang terjadi pada waktu bayi dan anak yang ditandai dengan kegagalan pertumbuhan – Kretinisme endemik merupakan kretinisme yang terjadi pada bayi yang lahir pada daerah dengan asupan yodium yang rendah serta goiter endemik; sehingga mengalami kekurangan yodium yang berat pada masa fetal – Kretinisme sporadik merupakan kretinisme akibat hipotiroid kongenital
• Seseorang dikatakan kretin endemik jika ia lahir di daerah gondok endemik dan menunjukkan dua gejala atau lebih: retardasi mental, tuli sensorineural nada tinggi, gangguan neuromuskular
Manifestasi Klinis • 3 tipe kretinisme sporadik: – Tipe nervosa: RM berat, bisu tuli, strabismus, paresis sistem piramidalis tungkai bawah, spastik ataksik (motor rigidity) – Tipe miksedema: RM dengan derajat lebih ringan; dan tanda hipotiroid klinis seperti perawakan pendek, miksedema, kulit kering, rambut jarang, perkembangan seksual terhambat, spastik tungkai bawah, gangguan gaya jalan – Tipe campuran: gabungan antara keduanya
Pemeriksaan penunjang • Pemeriksaan kadar hormon TSH, fT4, dan T3 • Pada pemeriksaan radiologis: – Bone age: temuan radiologis yang tipikal pada kretinisme adalah bone age yang terlambat. Pusat osifikasi sering mengalami malformasi dan memiliki bentuk yang ireguler – Pemeriksaan skintigrafi kelenjar tiroid (sidik tiroid) – USG bisa dijadikan alternatif sidik tiroid
161. Kala Persalinan: Kala I Fase Laten • Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam)
Fase Aktif • Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung sekitar 6 jam • Fase aktif terbagi atas : 1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4 cm. 2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm sampai 9 cm. 3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai lengkap (+ 10 cm). • Pada nulipara kemajuan pembukaan 1 cm/jam, sedangkan pada multipara bisa lebih cepat yaitu 2 cm/jam
162. Fisiologi Kehamilan: Payudara • Pembesaran dan >> pigmentasi puting & areola • Pembentukan areola sekunder • Areola Montgomery (tuberkel) – 12-20 Tuberkel kecil disekitar areola primer, mulai muncul pada minggu ke-8 akibat aktivasi kelenjar sebasea
• Penonjolan vena dipermukaan • Munculnya kolostrum pada minggu ke-16 terutama pada primigravida
163. Diagnosis Kehamilan: Deteksi -hCG Testpack • • • •
Di rumah Bentuk: Strip & compact Sampel: Urin Metode: antibodi HCG akan berubah warna bila terkena HCG (min. kadar 10-25 IU/ml) menjadi 2 strip • Apabila masih negatif dan belum haid diulang 1 minggu lagi
Plano Test • Bersifat kuantitatif sehingga bisa diketahui kadar beta HCG • Di laboratorium • Bentuk: Kit neo planotest duoclon • Sampel: urin • Metode: melihat adanya aglutinasi saat pencampuran (positif)
164. Diagnosis Kehamilan Presumptive sign
Probable sign
Positive Diagnostic test
• Amenorrhea • Breast fullness, nause & vomiting
• Uterine enlargement • Hegar sign: softening of uterine isthmus, occurs by 6-8 weeks. • Chadwick sign: vaginal & servical cyanosis • Beta HCG: 1 week after embryio implantation orwithin days of the 1st missed menstrual period
• Fetal heart tones: can be detected 9-10 weeks by Doppler • Fetal movement are first felt at 16-18 weeks • USG: gestational sac at 5-6 weeks
Evans AT, Le Hew HW. Prenatal care. Manual of obstetrics. 7th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2007. Further reading: DeCHerney AH, et a l . Normal pregnancy & prenatal care. Current diagnosis & treatment i n obstetrics & gynecol ogy. McGraw-Hill; 2007.
Tanda & Gejala Kehamilan Minggu (Sejak HPHT) 0 1-2 9-12
4-6 4-6
13-16 (multiparitas) 18-20 (nullipara)
Tanda & Gejala Kehamilan • Quickening: gerakan awal janin, biasanya terasa pada usia kehamilan 1316 minggu pada multiparitas, dan 18-20 minggu pada nullipara
• Ballotement uterus: usia kehamilan 16-20 minggu • Perubahan warna kulit muka mengarah kepada kloasma (topeng kehamilan) yang dapat muncul sekitar usia kehamilan 9-12 minggu, namun tidak semua wanita hamil akan mengalaminya • Kolostrum akan keluar paling cepat pada usia kehamilan 16 minggu • Rasa nyeri dan tegang pada payudara dapat muncul 1-2 minggu setelah konsepsi, atau sekitar waktu dimana seharusnya terjadi haid, sehingga menyaru dengan gejala pre menstruasi. Rasa nyeri dan tegang pada payudara ini adalah akibat dari peningkatan hormon progesteron, sehingga akan menetap cukup lama
Fisiologi Kehamilan • • •
Tanda Awal Kehamilan (Probable Signs)
Pemeriksaan Penunjang
Serviks & vagina kebiruan (Chadwick's sign) Perlunakan serviks (konsistensi yang seharusnya seperti hidung berubah menjadi lunak seperti bibir) (Goodell’s sign) Perlunakan uterus (Ladin's sign dan Hegar's sign)
• HCG terdeteksi pada test pack (kualitatif) atau Plano Test (kuantitatif)
• • •
• • • • • •
Ladin: perlunakan teraba di 1/3 midline anterior uterus Hegar: isthmus menjadi lunak dan tipis seperti kertas jika dijepit dengan jari, korpus uteri seakan-akan terpisah dari serviks McDonald: karena perlunakan isthmus, uterus dan serviks bisa ditekuk
Pembesaran uterus yang asimetris/ iregular (Piskacek’s sign/ vonFernwald’s sign) Puting berwarna lebih gelap, kolostrum (16 minggu) Massa di pelvis atau abdomen Rasa tegang pada putting dan payudara Mual terutama pagi hari Sering berkemih
USG • Adanya kantong janin
Tanda Kehamilan dan Waktu Onsetnya TA N DA PA DA KEHAMILAN Chadwick Sign Goodell’s Sign Ladin’s Sign Hegar Sign McDonald’s Sign Piskacek’s Sign
ONSET ( USIA KO N S E P S I ) 6 –8 minggu 4 minggu 6 minggu 4-6 minggu, hingga 12 minggu Serupa dengan Hegar Sign 7-8 minggu
Tanda Kehamilan: Hartman’s Sign • Pada saat terjadi implantasi beberapa wanita mengalami perdarahan ringan /fleks (biasanya pada 7 hari sebelum mens berikutnya atau hari ke 21 pada siklus 28 hari). • Perdarahan implantasi juga dinamakan tanda Hartman (Hartman Sign). Perdarahan bisa berlangsung 1-2 hari. Biasanya lebih sedikit dibanding darah haid. • Perdarahan implantasi terjadi karena bagian dari trofoblas embrio (sinsitiotrofoblas) mulai “menyerang” pembuluh darah di desidua dan “mengambil alih” fungsi pembuluh darah yang nantinya akan berguna bagi tumbuh kembang janin.
Pada saat implantasi blastokista terjadi perdarahan bercak, karena rusaknya lapisan endometrium, disebut dengan Hartman sign
165. PRINSIP PELAYANAN KEDOKTERAN KELUARGA • • • •
Holistik Komprehensif Terpadu Berkesinambungan
Danasari. 2008. Standar Kompetensi Dokter Keluarga. PDKI : Jakarta
Pelayanan Kedokteran Keluarga HOLISTIK • Mencakup seluruh tubuh jasmani dan rohani pasien (whole body system), nutrisi • Tidak hanya organ oriented • Patient and Family oriented • Memandang manusia sebagai mahluk biopsikososial pada ekosistemnya.
Pelayanan Kedokteran Keluarga KOMPREHENSIF (Menyeluruh) • Tidak hanya kuratif saja, tapi pencegahan dan pemulihan • Health promotion • Spesific protection • Early diagnosis and Prompt treatment • Disability limitation • Rehabilitation • Penatalaksanaan tidak hanya patient oriented, tapi juga family oriented dan community oriented
Pelayanan Kedokteran Keluarga BERKESINAMBUNGAN/KONTINYU • Tidak sesaat, ada follow upnya dan perencanaan manajemen pasien TERPADU / TERINTEGRASI • Memakai seluruh ilmu kedokteran yang telah di dapat bekerja sama dengan pasien, keluarga, dokter spesialis atau tenaga kesehatan lain
166. SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT • Prinsip-prinsip subsistem pemberdayaan masyarakat terdiri dari: 1. berbasis masyarakat 2. edukatif dan kemandirian 3. kesempatan mengemukakan pendapat dan memilih pelayanan kesehatan 4. kemitraan dan gotong royong. – Kemitraan: suatu kerjasama formal antara individuindividu, kelompok-kelompok atau organisasiorganisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu
167. KEJADIAN EPIDEMIOLOGIS PENYAKIT • Sporadik: kejadian penyakit tertentu di suatu daerah secara acak dan tidak teratur. Contohnya: kejadian pneumonia di DKI Jakarta. • Endemik: kejadian penyakit di suatu daerah yang jumlahnya lebih tinggi dibanding daerah lain dan hal tersebut terjadi terus menerus. Contohnya: Malaria endemis di Papua.
• Epidemik dan KLB: Epidemik dan KLB sebenarnya memiliki definisi serupa, namun KLB terjadi pada wilayah yang lebih sempit (misalnya di satu kecamatan saja). Indonesia memiliki kriteria KLB berdasarkan Permenkes 1501 tahun 2010 (di slide selanjutnya). • Pandemik: merupakan epidemik yang terjadi lintas negara atau benua. Contohnya: kejadian MERS-COV di dunia tahun 2014-2015.
Kriteria KLB (Permenkes 1501, tahun 2010) • Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah • Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya • Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya • Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya • Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya • Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama • Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
168. BENTUK KELUARGA • •
• •
• •
• •
Keluarga inti (nuclear family): Keluarga yang terdiri dari suami, istri serta anak-anak kandung. Keluarga besar (extended family): Keluarga yang disamping terdiri dari suami, istri, dan anak-anak kandung, juga sanak saudara lainnya, baik menurut garis vertikal (ibu, bapak, kakek, nenek, mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar) yang berasal dari pihak suami atau pihak isteri. Keluarga campuran (blended family): Keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung serta anak-anak tiri. Keluarga orang tua tunggal (single parent family): Keluarga yang terdiri dari pria atau wanita, mungkin karena bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak pernah menikah, serta anakanak mereka tinggal bersama. Keluarga hidup bersama (commune family): Keluarga yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak yang tinggal bersama, berbagi hak, dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan bersama. Keluarga serial (serial family): Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin telah punya anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta memiliki anak-anak dengan pasangan masing-masing, tetapi semuanya menganggap sebagai satu keluarga. Keluarga komposit ( composite family): keluarga dari perkawinan poligami dan hidup bersama. Keluarga kohabitasi(Cohabitation): dua orang menjadi satu keluarga tanpa pernikahan, bisa memiliki anak atau tidak.
169. Tabel Uji Hipotesis
TABEL UJI HIPOTESIS VARIABEL INDEPENDEN
DEPENDEN
Kategorik
Kategorik
Kategorik (2 kategori)
Numerik
Kategorik (>2 kategori)
Numerik
Numerik
Numerik
U J I S TAT I S T I K
Chi square
U J I A LT E R N AT I F Fisher (digunakan untuk tabel 2x2)* Kolmogorov-Smirnov (digunakan untuk tabel bxk)*
T-test independen
Mann-Whitney**
T-test berpasangan
Wilcoxon**
One Way Anova (tdk berpasangan)
Kruskal Wallis**
Repeated Anova (berpasangan) Korelasi Pearson Regresi Linier
Keterangan: * : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi **: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
Friedman** Korelasi Spearman**
Langkah Menentukan Uji Statistik • Tentukan sifat variabel yang diuji (numerik atau kategorik) • Bila ada variabel yang bersifat numerik, tentukan apakah variabel tersebut terdistribusi normal atau tidak. Atau bila kedua variabel bersifat kategorik, tentukan apakah memenuhi persyaratan uji chi square. Untuk mengerjakan soal UKDI, bila tidak disebutkan, maka diasumsikan bahwa variabel tersebut terdistribusi normal atau memenuhi persyaratan chi square. • Lihat tabel untuk menentukan uji hipotesis apa yang sesuai.
170. PENANGGULANGAN ANEMIA DEFISIENSI BESI DI KOMUNITAS • Pada daerah dengan prevalensi anemia defisiensi besi yang tinggi (>50%), WHO menganjurkan pemberian tablet Fe secara massal sebagai cara menanggulangi anemia (community-based iron supplementation). • Pemberian tablet Fe massal dilakukan pada balita dan anak usia sekolah.
171. Tabel Uji Hipotesis
TABEL UJI HIPOTESIS VARIABEL INDEPENDEN
DEPENDEN
Kategorik
Kategorik
Kategorik (2 kategori)
Numerik
Kategorik (>2 kategori)
Numerik
Numerik
Numerik
U J I S TAT I S T I K
Chi square
U J I A LT E R N AT I F Fisher (digunakan untuk tabel 2x2)* Kolmogorov-Smirnov (digunakan untuk tabel bxk)*
T-test independen
Mann-Whitney**
T-test berpasangan
Wilcoxon**
One Way Anova (tdk berpasangan)
Kruskal Wallis**
Repeated Anova (berpasangan) Korelasi Pearson Regresi Linier
Keterangan: * : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi **: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
Friedman** Korelasi Spearman**
Langkah Menentukan Uji Statistik • Tentukan sifat variabel yang diuji (numerik atau kategorik) • Bila ada variabel yang bersifat numerik, tentukan apakah variabel tersebut terdistribusi normal atau tidak. Atau bila kedua variabel bersifat kategorik, tentukan apakah memenuhi persyaratan uji chi square. Untuk mengerjakan soal UKDI, bila tidak disebutkan, maka diasumsikan bahwa variabel tersebut terdistribusi normal atau memenuhi persyaratan chi square. • Lihat tabel untuk menentukan uji hipotesis apa yang sesuai.
172. MONITORING & EVALUASI PROGRAM KESMAS (LOGIC MODEL)
INPUTS
ACTIVITIES
OUTPUTS
O U TC O M E S / I M PA C T S
what resources go into a program
what activities the program undertakes
what is produced through those activities
the changes or benefits that result from the program
e.g. number of booklets produced, workshops held, people trained
e.g. increased skills/ knowledge/ confidence, leading in longer-term to promotion, new job, etc.
e.g. money, staff, equipment
e.g. development of materials, training programs
O U TC O M E V S I M PA C T Indikator outcome dan impact sering kali disamakan atau dijadikan sebagai satu kesatuan. Namun pada umumnya indikator outcome lebih menilai luaran jangka pendek dan untuk wilayah setempat, sedangkan indikator impact lebih menilai luaran jangka panjang dan dampak untuk wilayah yang lebih luas. Outcome bersifat dinamis (lebih mudah berubah dibandingkan impact).
173. UJI DIAGNOSTIK SAKIT (+)
SAKIT (-)
HASIL TEST (+)
True Positive (TP)
False Positive (FP)
HASIL TEST (-)
False Negative (FN)
True Negative (TN)
SENSITIVITAS =
Kemampuan tes untuk mendeteksi orang yang sakit dengan benar.
TP TP+FN
S P E S I F I S I TA S =
Kemampuan tes untuk mendeteksi orang yang tidak sakit dengan benar.
TN FP+TN
UJI DIAGNOSTIK SAKIT (+)
SAKIT (-)
HASIL TEST (+)
True Positive (TP)
False Positive (FP)
HASIL TEST (-)
False Negative (FN)
True Negative (TN)
POSITIVE PREDICTIVE VALUE =
Persentase pasien dengan hasil test (+) yang benar-benar sakit
TP TP+FP
NEGATIVE PREDICTIVE VALUE =
Persentase pasien dengan hasil test(-) yang benar-benar tidak sakit
TN FN+TN
SENSITIVITAS, SPESIFISITAS, PPV, NPV Rule of thumb: • Sensitivitas dan spesifisitas TIDAK DIPENGARUHI oleh prevalensi penyakit di wilayah tempat alat diagnostik digunakan. • Sedangkan, PPV dan NPV DIPENGARUHI oleh prevalensi penyakit di wilayah tempat alat diagnostik digunakan. – Pada tempat dengan prevalensi tinggi, PPV akan semakin tinggi. Pada tempat dengan prevalensi rendah, PPV akan rendah. – Sebaliknya, NPV akan semakin rendah pada tempat dengan prevalensi tinggi. Dan NPV akan tinggi pada tempat dengan prevalensi rendah.
174. DESAIN PENELITIAN Secara umum dibagi menjadi 2: • DESKRIPTIF: memberi gambaran distribusi dan frekuensi penyakit saja. Misalnya prevalensi DM tipe 2 di DKI Jakarta, 10 penyakit terbanyak di Puskesmas X. • ANALITIK: mencari hubungan antara paparan dengan penyakit. Misalnya penelitian hubungan antara obesitas dengan DM tipe 2.
DESAIN PENELITIAN STUDY DESIGNS
Descriptive
Analytical
Case report
Observational
Experimental
(E.g. Cholera)
Case series Cross-sectional
1. 2. 3. 4.
Cross-sectional Cohort Case-control Ecological
Clinical trial (parc vs. aspirin in Foresterhill)
Field trial (preventive programmes )
Prinsip Desain Studi Analitik Observasional Cross-sectional – Pajanan/ faktor risiko dan outcome dinilai dalam waktu yang bersamaan. Cohort study – Individu dengan pajanan/ faktor risiko diketahui, diikuti sampai waktu tertentu, kemudian dinilai apakah outcome terjadi atau tidak. Case-control study – Individu dengan outcome diketahui, kemudian digali riwayat masa lalunya apakah memiliki pajanan/ faktor risiko atau tidak.
Prinsip Desain Studi Analitik Observasional PAST
PRESENT
FUTURE
Time Assess exposure and outcome
Cross - sectional study Case - control study
Assess exposure
Known exposure
Prospective cohort Retrospective cohort
Known outcome
Known exposure
Assess outcome
Assess outcome
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun • Bila menggunakan desain cross sectional, maka dalam satu waktu peneliti mengumpulkan data semua anak berusia 1-3 tahun dan ditanyakan apakah mendapat ASI eksklusif dan berapa frekuensi diare selama ini secara bersamaan. • Bila menggunakan desain case control, dimulai dengan peneliti menentukan subyek anak 1-3 tahun yang pernah mengalami diare dengan yang tidak pernah mengalami diare. Kemudian ibu diwawancara apakah sebelumnya memberi ASI eksklusif atau tidak.
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun • Bila menggunakan desain kohort (prospektif), maka dimulai dengan peneliti mengumpulkan subyek penelitian berusia 6 bulan yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI eksklusif. Kemudian, subyek tersebut diamati selama 1 tahun untuk dilihat apakah mengalami diare atau tidak. • Bila menggunakan desain kohort (retrospektif), dari catatan rekam medis RS tahun 2015 dimulai dengan dikumpulkan data bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI eksklusif. Kemudian rekam medis ditelusuri, dari tahun 2015-2016 apakah subyek pernah mengalami diare atau tidak.
Desain Cross Sectional KELEBIHAN: • Mengukur angka prevalensi • Mudah dan cepat • Sumber daya dan dana yang efisien karena pengukuran dilakukan dalam satu waktu • Kerjasama penelitian (response rate) dengan desain ini umumnya tinggi.
KELEMAHAN: • Sulit membuktikan hubungan sebab-akibat, karena kedua variabel paparan dan outcome direkam bersamaan. • Desain ini tidak efisien untuk faktor paparan atau penyakit (outcome) yang jarang terjadi.
Desain Case Control KELEBIHAN: • Dapat membuktikan hubungan sebab-akibat. • Tidak menghadapi kendala etik, seperti halnya penelitian kohort dan eksperimental. • Waktu tidak lama, dibandingkan desain kohort. • Mengukur odds ratio (OR).
KEKURANGAN: • Pengukuran variabel secara retrospektif, sehingga rentan terhadap recall bias. • Kadang sulit untuk memilih subyek kontrol yang memiliki karakter serupa dengan subyek kasus (case)nya.
Desain Kohort KELEBIHAN: • Mengukur angka insidens. • Keseragaman observasi terhadap faktor risiko dari waktu ke waktu sampai terjadi outcome, sehingga merupakan cara yang paling akurat untuk membuktikan hubungan sebab-akibat. • Mengukur Relative Risk (RR).
KEKURANGAN: • Memerlukan waktu penelitian yang relative cukup lama. • Memerlukan sarana dan prasarana serta pengolahan data yang lebih rumit. • Kemungkinan adanya subyek penelitian yang drop out/ loss to follow up besar. • Menyangkut masalah etika karena faktor risiko dari subyek yang diamati sampai terjadinya efek, menimbulkan ketidaknyamanan bagi subyek.
175. ASFIKSIA MEKANIK • Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas: – Pembekapan (smothering) – Penyumbatan/ penyumpalan (gagging , choking)
• Penekanan dinding saluran pernafasan: – Penjeratan (strangulation) – Pencekikan (manual strangulation) – Gantung (hanging)
• External pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar. • Drowning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air. • Inhalation of suffocating gases.
Penyumbatan/ Penyumpalan (Gagging, Choking) • Asfiksia mekanik yang terjadi akibat tertutupnya rongga mulut oleh benda asing, misalnya sapu tangan, tissue, makanan, dan sebagainya. • Pemeriksaan luar yang ditemukan pada kasus penyumpalan: – Pemeriksaan luar menunjukkan hipoksia akibat asfiksia secara umum. – Memar atau lecet pada bagian tubuh akibat perkelahian dengan pelaku dapat ditemukan – Luka memar atau robek di rongga mulut dapat ditemukan – Lengan atau tungkai kadang ditemukan dalam keadaan terikat
Penjeratan JENIS PENJERATAN: • Manual Strangulation :dilakukan dengan tangan dan tangan tidak perlu melingkari leher korban. • Palmar Strangulation :dilakukan dengan kedua tangan ,dimana tangan kanan pelaku ditekan horizontal pada mulut korban dibantu tangan kiri yang menekan vertikal sehingga telapak tangan kiri menekan leher korban bagian depannya. • Garroting atau penjeratan dengan alat: dilakukan dengan menyerang korban dari belakang dan menjeratnya dengan alat perjerat.
Ciri Penjeratan Dengan Alat • Alat penjerat yang biasanya dibawa oleh pelaku seperti tali, kawat, dll. Sedang, alat yang biasa dibawa korban seperti selendang, dasi, stocking atau kain lainnya. • Jumlah lilitan satu dengan simpul mati. • Alat penjerat berjalan mendatar, luka lecet umumnya melingkari leher secara keseluruhan. • Dapat ditemukan luka bulan sabit, yang disebabkan oleh kuku (baik kuku penjerat atau kuku korban) • Patah tulang lidah (os. hyoid) tidak lazim kecuali didahului dengan pencekikan. • Bila mekanisme kematiannya asfiksia, akan ditemukan kelainan mayat akibat mati lemas (lebam mayat yg lebih gelap dan luas, sianosis, bintik pendarahan di mata, busa halus putih keluar dari mulut, darah tetap cair , dan sembabnya organ dalam tubuh) • Bila mekanisme kematiannya refleks vagal, maka kelainan yang ditemukan terbatas pada alat penjerat dengan luka lecet tekan akibat alat penjerat.
Ciri Penjeratan Dengan Tangan (Pencekikan) • Manual Strangulation biasa dilakukan bila korbanya lebih lemah dari si pelaku, seperti orang tua, anak-anak, wanita gemuk. • Adanya luka lecet pada bahu si pelaku berbentuk bulan sabit yang disebabkan oleh kuku si pelaku. • Patahnya tulang lidah disertai dengan resapan darah di jaringan ikat dan otot sekitarnya. • Sembabnya kutub pangkal tenggorokan (epiglotis) dan jaringan longgar di sekitarnya dengan bintik-bintik pendarahan. • Jika mekanisme kematiannya oleh asfiksia maka akan dijumpai tanda-tanda asfiksia • Jika mekanisme kematiannya inhibisi vagal, kelainan terbatas pada bagian leher disertai tanda-tanda asfiksia. • Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pencekikan sekitar 30 detik-beberapa menit.
Pembekapan • Obstruksi mekanik aliran udara dari lingkungan sekitar ke dalam mulut dan atau rongga hidung, yang menghambat pemasukan udara ke paru-paru, dengan cara menutup mulut dan hidung. Penutupan lubang hidung dan mulut bisa menggunakan tangan, bantal, atau kantong plastik.
Pemeriksaan Forensik pada Kasus Pembekapan • Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan atau geser, jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang, hidung, lidah dan gusi, yang mungkin terjadi akibat korban melawan. • Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung lidah juga dapat mengalami memar atau cedera. • Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal, maka pada pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan tandatanda kekerasan. • Ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pada pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku korban, adakah darah atau epitel kulit si pelaku.
PENGGANTUNGAN (HANGING) • Penggantungan (Hanging) adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian. • Alat penjerat sifatnya pasif, sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher. Umumnya penggantungan melibatkan tali, tapi hal ini tidaklah perlu. Penggantungan yang terjadi akibat kecelakaan bisa saja tidak terdapat tali.
Tipe Penggantungan • Suicidal hanging (gantung diri) – Paling banyak ditemui – Korban bunuh diri
• Accidental hanging – Lebih banyak ditemukan pada anak-anak utamanya pada umur antara 6-12 tahun. Tidak ditemukan alasan untuk bunuh diri karena pada usia itu belum ada tilikan dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawasan dari orang tua. – Pada orang dewasa, bisa terjadi akibat pelampiasan nafsu seksual yang menyimpang.
• Homicidal hanging – Pembunuhan yang dilakukan dengan metode menggantung korban. – Biasanya dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang kondisinya lemah baik oleh karena penyakit atau dibawah pengaruh obat, alcohol, atau korban sedang tidur.
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM VS POSTMORTEM NO
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM
PENGGANTUNGAN POSTMORTEM
1
Tanda-tanda penggantungan ante-mortem bervariasi. Tergantung dari cara kematian korban
Tanda-tanda post-mortem menunjukkan kematian yang bukan disebabkan penggantungan
2
Tanda jejas jeratan miring, berupa lingkaran terputus (non-continuous) dan letaknya pada leher bagian atas
Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk lingkaran utuh (continuous), agak sirkuler dan letaknya pada bagian leher tidak begitu tinggi
3
Simpul tali biasanya tunggal, terdapat pada sisi leher
Simpul tali biasanya lebih dari satu, diikatkan dengan kuat dan diletakkan pada bagian depan leher
4
Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan tidak Ekimosis tampak jelas pada salah satu sisi dari ada atau tidak jelas. Lebam mayat terdapat pada jejas penjeratan. Lebam mayat tampak di atas bagian tubuh yang menggantung sesuai dengan posisi jejas jerat dan pada tungkai bawah mayat setelah meninggal
5
Pada kulit di tempat jejas penjeratan teraba seperti perabaan kertas perkamen, yaitu tanda parchmentisasi
Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak begitu jelas
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM VS POSTMORTEM NO
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM
PENGGANTUNGAN POSTMORTEM
6
Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan lainlain sangat jelas terlihat terutama jika kematian karena asfiksia
Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga dan lain-lain tergantung dari penyebab kematian
7
Wajah membengkak dan mata mengalami kongesti dan agak menonjol, disertai dengan gambaran pembuluh dara vena yang jelas pada bagian dahi
Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak terdapat, kecuali jika penyebab kematian adalah pencekikan (strangulasi) atau sufokasi
8
Lidah bisa terjulur atau tidak sama sekali
Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus kematian akibat pencekikan
9
Penis. Ereksi penis disertai dengan keluarnya cairan sperma sering terjadi pada korban pria. Penis. Ereksi penis dan cairan sperma tidak Demikian juga sering ditemukan keluarnya ada.Pengeluaran feses juga tidak ada feses
10
Air liur. Ditemukan menetes dari sudut mulut, Air liur tidak ditemukan yang menetes pad kasus dengan arah yang vertikal menuju dada. Hal ini merupakan pertanda pasti penggantungan selain kasus penggantungan. ante-mortem
GANTUNG DIRI VS PEMBUNUHAN NO
PENGGANTUNGAN PADA BUNUH DIRI
PENGGANTUNGAN PADA PEMBUNUHAN
1
Usia. Gantung diri lebih sering terjadi pada Tidak mengenal batas usia, karena tindakan remaja dan orang dewasa. Anak-anak di bawah pembunuhan dilakukan oleh musuh atau lawan dari usia 10 tahun atau orang dewasa di atas usia 50 korban dan tidak bergantung pada usia tahun jarang melakukan gantung diri
2
Tanda jejas jeratan, bentuknya miring, berupa lingkaran terputus (non-continuous) dan terletak pada bagian atas leher
Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak terputus, mendatar, dan letaknya di bagian tengah leher, karena usaha pelaku pembunuhan untuk membuat simpul tali
3
Simpul tali, biasanya hanya satu simpul yang letaknya pada bagian samping leher
Simpul tali biasanya lebih dari satu pada bagian depan leher dan simpul tali tersebut terikat kuat
4
Riwayat korban. Biasanya korban mempunyai Sebelumnya korban tidak mempunyai riwayat untuk riwayat untuk mencoba bunuh diri dengan cara bunuh diri lain
5
Cedera. Luka-luka pada tubuh korban yang bisa menyebabkan kematian mendadak tidak ditemukan pada kasus bunuh diri
Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban biasanya mengarah kepada pembunuhan
GANTUNG DIRI VS PEMBUNUHAN NO
PENGGANTUNGAN PADA BUNUH DIRI
PENGGANTUNGAN PADA PEMBUNUHAN
6
Racun. Adanya racun dalam lambung korban, misalnya arsen, sublimat korosif, dll tidak bertentangan dengan kasus gantung diri. Rasa nyeri yang disebabkan racun tersebut mungkin mendorong korban untuk gantung diri
7
Tangan tidak dalam keadaan terikat, karena sulit Tangan yang dalam keadaan terikat mengarahkan dugaan pada untuk gantung diri dalam keadaan tangan terikat kasus pembunuhan
8
Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, biasanya tergantung pada tempat yang mudah dicapai oleh korban atau di sekitarnya ditemukan alat yang digunakan untuk mencapai tempat tersebut
Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan tergantung pada tempat yang sulit dicapai oleh korban dan alat yang digunakan untuk mencapai tempat tersebut tidak ditemukan
9
Tempat kejadian. Jika kejadian berlangsung di dalam kamar, dimana pintu, jendela ditemukan dalam keadaan tertutup dan terkunci dari dalam, maka kasusnya pasti merupakan bunuh diri
Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada ruangan ditemukan terkunci dari luar, maka penggantungan adalah kasus pembunuhan
10
Tanda-tanda perlawanan, tidak ditemukan pada kasus gantung diri
Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada kecuali jika korban sedang tidur, tidak sadar atau masih anak-anak.
Terdapatnya racun berupa asam opium hidrosianat atau kalium sianida tidak sesuai pada kasus pembunuhan, karena untuk hal ini perlu waktu dan kemauan dari korban itu sendiri. Dengan demikian maka kasus penggantungan tersebut adalah karena bunuh diri
Penggantungan vs Penjeratan • Dari pemeriksaan forensik, kasus penggantungan dan penjeratan memiliki tanda yang serupa. • Yang membedakan penggantungan dan penjeratan adalah tenaga yang dipakai pelaku jauh lebih besar pada tindakan penjeratan, sehingga korban meninggal lebih cepat.
176. TIPE TENGGELAM • Tipe Kering (Dry drowning): – akibat dari reflek vagal yang dapat menyebabkan henti jantung atau akibat dari spasme laring karena masuknya air secara tibatiba kedalam hidung dan traktus respiratorius bagian atas. – Banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa yang banyak dibawah pengaruh obat-obatan (Hipnotik sedatif) atau alkohol tidak adausaha penyelamatan diri saat tenggelam.
• Tipe Basah (Wet drowning) – terjadi aspirasi cairan – Aspirasi air sampai paru menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru. Air bergerak dengan cepat ke membran kapiler alveoli. Surfaktan menjadi rusak sehingga menyebabkan instabilitas alveoli, ateletaksis dan menurunnya kemampuan paru untuk mengembang.
Tipe Tenggelam • Secondary drowning/near drowning – Korban masih hidup atau masih bisa diselamatkan saat hampir tenggelam. Namun setelah dilakukan resusitasi selama beberapa jam, akhirnya korban meninggal.
• Immersion syndrome – Korban meninggal tiba-tiba saat tenggelam pada air yang sangat dingin – Akibat refleks vagal
PEMERIKSAAN KHUSUS PADA KASUS TENGGELAM • Terdapat pemeriksaan khusus pada kasus mati tenggelam (drowning), yaitu : – Percobaan getah paru (lonset proef) – Pemeriksaan diatome (destruction test) – Pemeriksaan kimia darah (gettler test & Durlacher test).
Tes getah paru (lonset proef) • Kegunaan melakukan percobaan paru (lonsef proef) yaitu mencari benda asing (pasir, lumpur, tumbuhan, telur cacing) dalam getah paru-paru mayat. • Syarat melakukannya adalah paru-paru mayat harus segar / belum membusuk. • Cara melakukan percobaan getah paru (lonsef proef) yaitu permukaan paru-paru dikerok (2-3 kali) dengan menggunakan pisau bersih lalu dicuci dan iris permukaan paru-paru. Kemudian teteskan diatas objek gelas. Syarat sediaan harus sedikit mengandung eritrosit.
Tes Diatom TES DIATOM • Diatom adalah alga atau ganggang bersel satu dengan dinding terdiri dari silikat (SiO2) yang tahan panas dan asam kuat. •
Bila seseorang mati karena tenggelam maka cairan bersama diatome akan masuk ke dalam saluran pernafasan atau pencernaan kemudian diatome akan masuk kedalam aliran darah melalui kerusakan dinding kapiler pada waktu korban masih hidup dan tersebar keseluruh jaringan.
4 CARA PEMERIKSAAN DIATOM: • Pemeriksaan mikroskopik langsung. Pemeriksaan permukaan paru disiram dengan air bersih iris bagian perifer ambil sedikit cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh pada gelas objek tutup dengan kaca penutup. Lihat dengan mikroskop. •
Pemeriksaan mikroskopik jaringan dengan metode Weinig dan Pfanz.
•
Chemical digestion. Jaringan dihancurkan dengan menggunakan asam kuat sehingga diharapkan diatom dapat terpisah dari jaringan tersebut.
•
Inseneration. Bahan organik dihancurkan dengan pemanasan dalam oven.
Tes Kimia Darah TEST KIMIA DARAH • Mengetahui ada tidaknya hemodilusi atau hemokonsentrasi pada masing-masing sisi dari jantung, dengan cara memeriksa gaya berat spesifik dari kadar elektrolit antara lain kadar sodium atau clorida dari serum masing-masing sisi. • Dianggap reliable jika dilakukan dalam waktu 24 jam setelah kematian
• Test Gettler: Menunjukan adanya perbedaan kadar klorida dari darah yang diambil dari jantung kanan dan jantung kiri. Pada korban tenggelam di air laut kadar klorida darah pada jantung kiri lebih tinggi dari jantung kanan. • Tes Durlacher: Penentuan perbedaan berat plasma jantung kanan dan kiri. Pada semua kasus tenggelam berat jenis plasma jantung kiri lebih tinggi daripada jantung kanan .
177. KAIDAH DASAR MORAL
Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Tidak berbuat yang merugikan (nonmaleficence)
Berbuat baik (beneficence) • Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar • pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). • Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.
Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect for person) / Autonomy
•
• Setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), • • Setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan • perlindungan.
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Prinsip dasar ini juga mengakui adanya kepentingan masyarakat sekitar pasien yang harus dipertimbangkan
Beneficence Kriteria 1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan orang lain) 2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter 4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya 5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang 6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia 7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien) 8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien 9. Minimalisasi akibat buruk 10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat 11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran 13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan 14. Mengembangkan profesi secara terus menerus 15. Memberikan obat berkhasiat namun murah 16. Menerapkan golden rule principle
Non-maleficence Kriteria 1. Menolong pasien emergensi : Dengan gambaran sbb : - pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko kehilangan sesuatu yang penting (gawat) - dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut - tindakan kedokteran tadi terbukti efektif - manfaat bagi pasien > kerugian dokter 2. Mengobati pasien yang luka 3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia ) 4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien 5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek 6. Mengobati secara proporsional 7. Mencegah pasien dari bahaya 8. Menghindari misrepresentasi dari pasien 9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian 10. Memberikan semangat hidup 11. Melindungi pasien dari serangan 12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Autonomy Kriteria 1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien 2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif) 3. Berterus terang 4. Menghargai privasi 5. Menjaga rahasia pasien 6. Menghargai rasionalitas pasien 7. Melaksanakan informed consent 8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri 9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan termasuk keluarga pasien sendiri 11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi 12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien 13. Menjaga hubungan (kontrak)
Justice Kriteria 1. Memberlakukan sesuatu secara universal 2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan 3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama 4. Menghargai hak sehat pasien 5. Menghargai hak hukum pasien 6. Menghargai hak orang lain 7. Menjaga kelompok yang rentan 8. Tidak melakukan penyalahgunaan 9. Bijak dalam makro alokasi 10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien 11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya 12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil 13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten 14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah 15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan 16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
178. HUKUM PIDANA VS PERDATA HUKUM PIDANA Publik Kepentingan umum Dipertahankan oleh negara Dituntut oleh jaksa Tidak ada usaha perdamaian Sanksi berupa kurungan
HUKUM PERDATA Privat Kepentingan individu Dipertahankan oleh perorangan Dituntut oleh penggugat Ada usaha perdamaian Sanksi berupa ganti rugi
179. INFORMED CONSENT • Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. • Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Unsur dalam Informed Consent Informed Consent memiliki 2 unsur : • Informed informasi yang harus diberikan (dokter) • Consent persetujuan (pasien) persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan
Yang Berhak Memberikan Informed Consent • Pasien yang telah dewasa (>=21 tahun atau sudah menikah, menurut KUHP), dalam keadaan sadar penuh, mampu berkomunikasi. • Bila tidak memenuhi syarat di atas, dapat diwakilkan oleh keluarga/ wali dengan urutan: – – – –
Suami/ istri Ayah atau ibu kandung Anak kandung (bila anak kandung sudah dewasa) Saudara kandung
180-182. KAIDAH DASAR MORAL
Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Tidak berbuat yang merugikan (nonmaleficence)
Berbuat baik (beneficence) • Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar • pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). • Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.
Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect for person) / Autonomy
•
• Setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), • • Setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan • perlindungan.
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Prinsip dasar ini juga mengakui adanya kepentingan masyarakat sekitar pasien yang harus dipertimbangkan
Beneficence Kriteria 1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan orang lain) 2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter 4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya 5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang 6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia 7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien) 8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien 9. Minimalisasi akibat buruk 10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat 11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran 13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan 14. Mengembangkan profesi secara terus menerus 15. Memberikan obat berkhasiat namun murah 16. Menerapkan golden rule principle
Non-maleficence Kriteria 1. Menolong pasien emergensi : Dengan gambaran sbb : - pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko kehilangan sesuatu yang penting (gawat) - dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut - tindakan kedokteran tadi terbukti efektif - manfaat bagi pasien > kerugian dokter 2. Mengobati pasien yang luka 3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia ) 4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien 5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek 6. Mengobati secara proporsional 7. Mencegah pasien dari bahaya 8. Menghindari misrepresentasi dari pasien 9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian 10. Memberikan semangat hidup 11. Melindungi pasien dari serangan 12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Autonomy Kriteria 1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien 2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif) 3. Berterus terang 4. Menghargai privasi 5. Menjaga rahasia pasien 6. Menghargai rasionalitas pasien 7. Melaksanakan informed consent 8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri 9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan termasuk keluarga pasien sendiri 11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi 12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien 13. Menjaga hubungan (kontrak)
Justice Kriteria 1. Memberlakukan sesuatu secara universal 2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan 3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama 4. Menghargai hak sehat pasien 5. Menghargai hak hukum pasien 6. Menghargai hak orang lain 7. Menjaga kelompok yang rentan 8. Tidak melakukan penyalahgunaan 9. Bijak dalam makro alokasi 10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien 11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya 12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil 13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten 14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah 15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan 16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
183. KASUS DUGAAN TENGGELAM • Pada kasus dugaan tenggelam, dapat dilakukan pemeriksaan luar, serta pemeriksaan dalam dan pemeriksaan laboratorium seperti: – Percobaan getah paru (lonset proef) – Pemeriksaan diatome (destruction test) – Pemeriksaan kimia darah (gettler test & Durlacher test).
• Namun karena soal no.182 dokter bertugas di puskesmas, yang paling mungkin dilakukan adalah melakukan pemeriksaan luar untuk menentukan ada tidaknya tanda kekerasan.
Pemeriksaan Luar Korban Tenggelam • Mayat dalam keadaan basah berlumuran pasir dan bendabenda asing lainnya yang terdapat di dalam air laut dan kadang-kadang bercampur lumpur. • Busa halus putih yang berbentuk jamur (mush room-like mass). – Masuknya cairan kedalam saluran pernafasan merangsang terbentuknya mukus, substansi ini ketika bercampur dengan air dan surfaktan dari paru-paru dan terkocok oleh karena adanya upaya pernafasan yang hebat. Busa dapat meluas sampai trakea, bronkus utama dan alveoli.
• Cutis anserina pada ekstremitas akibat kontraksi otot erector pilli yang dapat terjadi karena rangsangan dinginnya air.
Pemeriksaan Luar Korban Tenggelam • Washer woman hand. Telapak tangan dan kaki berwarna keputihan dan berkeriput yang disebabkan karena inhibisi cairan ke dalam cutis dan biasanya membutuhkan waktu yang lama. • Cadaveric spasme. Merupakan tanda vital yang terjadi pada waktu korban berusaha menyelamatkan diri., dengan cara memegang apa saja yang terdapat dalam air. • Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air. • Penurunan suhu mayat • Lebam mayat terutama pada kepala dan leher
Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam •
Pemeriksaan terutama ditujukan pada sistem pernapasan, busa halus putih dapat mengisi trakhea dan cabang-cabangnya, air juga dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan benda-benda asing yang ikut terinhalasi bersama benda air.
•
Benda asing dalam trakhea dapat tampak secara makroskopis misalnya pasir, lumpur, binatang air, tumbuhan air dan lain sebagainya; sedangkan yang tampak secara mikroskopis diantaranya telur cacing dan diatome (ganggang kersik).
•
Pleura dapat berwarna kemerahan dan terdapat bintik-bintik perdarahan. Perdarahan ini dapat terjadi karena adanya kompresi terhadap septum interalveoli, atau oleh karena terjadinya fase konvulsi akibat kekurangan oksigen.
•
Bercak perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi inter alveolar, dan sering terlihat di bawah pleura; bercak ini disebut sebagai bercak ”Paltauf”. – Bercak berwarna biru kemerahan dan banyak terlihat pada bagian bawah paru-paru, yaitu pada permukaan anterior dan permukaan antar bagian paruparu.
Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam • Kongesti pada laring • Emphysema aquosum atau emphysema hyroaerique yaitu paru-paru tampak pucat dengan diselingi bercak-bercak merah di antara daerah yang berwarna kelabu; • Obstruksi pada sirkulasi paru-paru akan menyebabkan distensi jantung kanan dan pembuluh vena besar dan keduanya penuh berisi darah yang merah gelap dan cair, tidak ada bekuan.
184. LUKA TEMBAK • Dalam memberikan pendapat atau kesimpulan dalam visum et repertum, tidak dibenarkan menggunakan istilah pistol atau revolver; oleh karena perkataan pistol mengandung pengertian bahwa senjatanya termasuk otomatis atau semi otomatis, sedangkan revolver berarti anak peluru berada dalam silinder yang akan memutar jika tembakan dilepaskan. • Oleh karena dokter tidak melihat peristiwa penembakannya, maka yang akan disampaikan adalah; senjata api kaliber 0,38 engan alur ke kiri dan sebagainya.
Luka Tembak Menempel Erat • Luka simetris di tiap sisi • Jejas laras jelas mengelilingi lubang luka • Tidak akan dijumpai kelim jelaga atau kelim tattoo
Luka tembak tempel Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/197542 8-overview
Kelim pada Luka Tembak • Kelim tato: akibat butir mesiu; gambaran bintikbintik hitam bercampur perdarahan, tidak dapat dihapus dengan kain. • Kelim jelaga: akibat asap; gambaran bintik-bintik hitam yang dapat dihapus dengan kain. • Kelim api: akibat pembakaran dari senjata; luka bakar terlihat dari kulit dan rambut di sekitar luka yang terbakar. • Kelim lecet: akibat partikel logam; bentuknya luka lecet atau luka terbuka yang dangkal
185. SEBAB-MEKANISME-CARA KEMATIAN • Untuk dapat menentukan sebab kematian, secara mutlak harus dilakukan otopsi. • Sedangkan perkiraan sebab kematian dapat diteliti dari kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan luar.
Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
Sebab Kematian • Sebab kematian lebih ditekankan pada alat atau sarana yang dipakai untuk mematikan korban. – Contoh: karena tenggelam, karena terbakar, karena tusukan benda tajam, karena pencekikan, karena kekerasan benda tumpul.
• Sebab kematian banyak membantu penyidik dalam melaksanakan tugas, misalnya untuk mencari dan menyita benda yang diperkirakan dipakai sebagai alat pembunuh, sehingga sebab kematian seperti mati lemas tidak tepat. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
Mekanisme Kematian • Mekanisme kematian menunjukkan bagaimana korban itu mati setelah umpamanya tertembak atau tenggelam. – Contoh: karena perdarahan, karena refleks vagal, karena hancurnya jaringan otak
• Mekanisme lebih bersifat teoritis dan tidak selalu dapat diketahui pasti
Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
Cara Kematian • Dalam ilmu kedokteran forensik dikenal 3 cara kematian, yaitu: 1. Wajar: kematian korban karena penyakit, bukan karena kekerasan atau rudapaksa. 2. Tidak wajar, yang dibagi menjadi kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan. 3. Tidak dapat ditentukan, yang disebabkan karena keadaan mayat telah sedemikian rusak atau busuk sehingga luka atau penyakit tidak dapat ditemukan lagi. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
Asfiksia vs Vagal Reflex • Secara umum, yang sering kali menjadi mekanisme kematian (terutama pada kasus tenggelam) adalah asfiksia dan vagal reflex. • Refleks vagal terjadi sebagai akibat rangsangan pada nervus vagus pada corpus caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna yang akan menimbulkan bradikardi dan hypotensi menyebabkan sudden cardiac arrest. • Tidak ada pemeriksaan yang khas yang ditemukan pada vagal reflex. Oleh karena itu, secara sederhana umumnya disimpulkan bila tidak ada tanda asfiksia yang ditemukan, maka mekanisme kematian adalah karena vagal reflex.
186. KLASIFIKASI LUKA MENURUT KUHP • Klasifikasi luka dan pasal yang berhubungan: – Luka ringan pasal 352 KUHP = luka derajat satu – Luka sedang pasal 351 (1) atau 353 (1) = luka derajat dua – Luka berat pasal 90 KUHP
Luka Ringan dan Luka Sedang • Luka derajat satu (pasal 352 KUHP): Luka tersebut TIDAK menyebabkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian. • Luka derajat dua (pasal 351(1) KUHP): luka tersebut TELAH menyebabkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/ pencaharian untuk SEMENTARA WAKTU.
Luka Ringan dan Luka Sedang • Untuk membedakan luka derajat satu atau dua, maka dilakukan pengujian dengan beberapa kriteria sbb: – Apakah luka tersebut memerlukan perawatan medis, seperti penjahitan luka, pemberian infus dsb – Apakah luka atau cedera tersebut menyebabkan terjadinya gangguan fungsi (fungsiolesa)? – Apakah lokasinya di tempat yang rawan, seperti mulut, hidung, leher, skrotum? – Apakah lukanya tunggal, sedikit, atau banyak?
• Bila luka tersebut mutlak memerlukan perawatan medis, menyebabkan gangguan fungsi, lokasinya pada lokasi rawan dan jumlah lukanya banyak, maka lukanya pada umumnya merupakan luka derajat dua. Jika tidak ada satupun hal tersebut yang terpenuhi maka derajat lukanya adalah satu. Pembedaan luka derajat satu dan dua pada banyak kasus merupakan hal yang sulit, sehingga kesimpulan seorang dokter dengan dokter lainnya kadang berbeda.
Luka Berat • Pasal 90 KUHP menyatakan bahwa luka berat, adalah: – Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau – Yang menimbulkan bahaya maut – Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian – Kehilangan salah satu pancaindera – Mendapat cacat berat – Menderita sakit lumpuh – Terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu – Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan – Luka yang memenuhi salah satu kriteria pada pasal 90 KUHP merupakan luka derajat tiga atau luka berat. Jika luka tersebut tidak memenuhi kriteria tersebut diatas, maka lukanya termasuk derajat satu atau dua.
187. Perlukaan Akibat Kekerasan PELBAGAI JENIS KEKERASAN o KEKERASAN BERSIFAT MEKANIK • KEKERASAN TUMPUL • KEKERASAN TAJAM • TEMBAKAN SENJATA API
o KEKERASAN BERSIFAT ALAM • LUKA AKIBAT API • LUKA AKIBAT LISTRIK
o KEKERASAN BERSIFAT KIMIAWI LUKA AKIBAT ASAM KERAS LUKA AKIBAT BASA KUAT
Luka Akibat Kekerasan Tumpul • Luka memar: Tampak sebagai bercak, biasanya berbentuk bulat/lonjong. Luka memar yang baru terjadi tampak sebagai bercak biru kemerahan dan agak menimbul. Proses penyembuhan menyebabkan warna bercak berubah menjadi kebiruan, kehijauan, kecoklatan, kekuningan dan akhirnya hilang saat terjadi penyembuhan sempurna dalam 7-10 hari. • Luka robek: Luka terbuka tepi tidak rata, ada jembatan jaringan, pada salah satu sisi dapat ditemukan jejas berupa luka lecet tekan.
Luka Akibat Kekerasan Tumpul • Luka lecet tekan: Tampak sebagai bagian kulit yang sedikit mencekung, berwarna kecoklatan. Bentuknya memberikan gambaran bentuk benda penyebab luka. • Luka lecet geser: Bagian yang pertama bergeser memberikan batas yang lebih rata, dan saat benda tumpul meningalkan kulit yang tergeser berbatas tidak rata. Tampak goresan epidermis yang berjalan sejajar.
Luka Akibat Kekerasan Tajam • Luka tusuk: Akibat kekerasan tajam yang mengenai kulit dengan arah kekerasan tegak terhadap permukaan kulit. Tepi luka rata. – Lebar luka menggambarkan lebar pisau yang digunakan. – Karena elastisitas kulit, dalamnya luka tidak menggambarkan panjangnya pisau • Luka sayat: Akibat kekerasan tajam yang bergerak k.l sejajar dengan permukaan kulit. Panjang luka jauh melebihi dalamnya luka. • Luka bacok: Akibat kekerasan tajam dengan bagian “mata” senjata yang mengenai kulit dengan arah tegak. Kedua sudut luka lancip dengan luka yang cukup dalam.
188. TANATOLOGI Thanatologi adalah topik dalam ilmu kedokteran forensik yang mempelajari hal mati serta perubahan yang terjadi pada tubuh setelah seseorang mati Tanda Kematian tidak pasti : 1. Pernafasan berhenti lebih dari 10 menit 2. Sirkulasi berhenti lebih dari 15 menit 3. Kulit pucat 4. Tonus otot menghilang dan relaksasi 5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi 6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat dihilangkan dengan menggunakan air Tanda Kematian Pasti 1. Lebam Mayat (Livor mortis) 2. Kaku Mayat (Rigor mortis) 3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis) 4. Pembusukan (decomposition) Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
TANATOLOGI FORENSIK • Livor mortis atau lebam mayat – terjadi akibat pengendapan eritrosit sesudah kematian akibat berentinya sirkulasi dan adanya gravitasi bumi . – Eritrosit akan menempati bagian terbawah badan dan terjadi pada bagian yang bebas dari tekanan. – Muncul pada menit ke-30 sampai dengan 2 jam. Intensitas lebam jenazah meningkat dan menetap 8-12 jam.
Rigor mortis atau kaku mayat • terjadi akibat hilangnya ATP. • Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam postmortem. • Kemudian dipertahankan selama 12 jam, setelah itu akan berangsur-angsur menghilang sesuai dengan kemunculannya. • Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kaku jenazah adalah suhu tubuh, volume otot dan suhu lingkungan. • Makin tinggi suhu tubuh makin cepat terjadi kaku jenazah. • Rigor mortis diperiksa dengan cara menggerakkan sendi fleksi dan antefleksi pada seluruh persendian tubuh.
Penurunan suhu badan • Pada saat sesudah mati, terjadi proses pemindahan panas dari badan ke benda-benda di sekitar yang lebih dingin secara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi. • dipengaruhi oleh suhu lingkungan, konstitusi tubuh dan pakaian. • Bila suhu lingkugan rendah, badannya kurus dan pakaiannya tipis maka suhu badan akan menurun lebih cepat. • Lama kelamaan suhu tubuh akan sama dengan suhu lingkungan.
Pembusukan mayat (dekomposisi) • Terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan kerja bakteri. • Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan dimulai dari daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan berbau busuk karena terbentuk gas seperti HCN, H2S dan lain-lain. • RUMUS CASPER untuk perbedaan kecepatan pembusukan udara: air: tanah = 8:2:1 • Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih rendah terutama bila dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari predators seperti binatang dan insekta, dan rendahnya oksigen menghambat berkembang biaknya organisme aerobik.
Thanatologi Livor mortis mulai muncul
0
20 mnt
30 mnt
Livor mortis lengkap dan menetap
2 jam
Rigor mortis mulai muncul
6 jam
8 jam
12 jam
Rigor mortis lengkap (8-10 jam)
24 jam
Pembusuk an mulai tampak di caecum
Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
36 jam
Pembus ukan tampak di seluruh tubuh
189. VISUM ET REPERTUM KORBAN HIDUP • Visum et repertum biasa/tetap. Visum et repertum ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut. • Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan visum et repertum lanjutan. • Visum et repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.
Visum et repertum untuk orang mati (jenazah)
• Pada pembuatan visum et repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi).
Jenis VeR lainnya • Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.
• Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah. • Visum et repertum psikiatri . Visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa. • Visum et repertum barang bukti. Misalnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.
190. PEMERIKSAAN MAYAT BAYI Hal yang perlu diperiksa adalah: • Berapa umur bayi dalam kandungan, apakah sudah cukup bulan untuk dilahirkan? (Untuk membedakan kasus abortus dengan kasus pembunuhan anak) • Apakah bayi lahir hidup atau sudah mati saat dilahirkan? (Untuk membedakan kasus stillbirth dengan bayi lahir hidup)
• Apakah ada tanda perawatan bayi? (Untuk membedakan kasus infantisida atau pembunuhan) • Apakah penyebab kematian bayi?
Infantisida (Pembunuhan Anak Sendiri) • Infanticide atau pembunuhan anak sendiri adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu dengan atau tanpa bantuan orang lain terhadap bayinya pada saat dilahirkan atau beberapa saat sesudah dilahirkan, oleh karena takut diketahui orang lain bahwa ia telah melahirkan anak. • Pasal berkaitan infantisida: pasal 341-343 KUHP.
Pemeriksaan dalam kasus Infantisida • Hal-hal yang harus ditentukan atau yang perlu dijelaskan dokter dalam pemeriksaannya adalah: – Berapa umur bayi dalam kandungan, apakah sudah cukup bulan untuk dilahirkan. – Apakah bayi lahir hidup atau sudah mati saat dilahirkan. – Bila bayi lahir hidup, berapa umur bayi sesudah lahir. – Apakah bayi sudah pernah dirawat. – Apakah penyebab kematian bayi.
Penentuan Usia Janin (1) • Bayi dianggap cukup bulan jika: Panjang badan di atas 45 cm, berat badan 2500 – 3500 gram, lingkar kepala lebih dari 34 cm. • Untuk menentukan umur bayi dalam kandungan, ada rumus empiris yang dikemukakan oleh De Haas, yaitu menentukan umur bayi dari panjang badan bayi. – Untuk bayi (janin) yang berumur di bawah 5 bulan, umur sama dengan akar pangkat dua dari panjang badan. Jadi bila dalam pemeriksaan didapati panjang bayi 20 cm, maka taksiran umur bayi adalah Ö20 yaitu antara 4 sampai 5 bulan dalam kandungan atau lebih kurang 20 – 22 minggu kehamilan. – Untuk janin yang berumur di atas 5 bulan, umur sama dengan panjang badan (dalam cm) dibagi 5 atau panjang badan (dalam inchi) dibagi 2.
Penentuan Usia Janin (2) • Keadaan ujung-ujung jari: apakah kuku-kuku telah melewati ujung jari seperti anak yang dilahirkan cukup bulan atau belum. Garis-garis telapak tangan dan kaki dapat juga digunakan, karena pada bayi prematur garis-garis tersebut masih sedikit. • Keadaan genitalia eksterna: bila telah terjadi descencus testiculorum maka hal ini dapat diketahui dari terabanya testis pada scrotum, demikian pula halnya dengan keadaan labia mayora apakah telah menutupi labia minora atau belum; testis yang telah turun serta labia mayora yang telah menutupi labia minora terdapat pada anak yang dilahirkan cukup bulan dalam kandungan si-ibu. • Hal tersebut di atas dapat diketahui bila bayi segar, tetapi bila bayi telah busuk, labia mayora akan terdorong keluar.
Penentuan Usia Janin (3) Berdasarkan ukuran lingkaran kepala: • Bayi 5 bulan : 38,5-41 cm • Bayi 6 bulan : 39-42 cm • Bayi 7 bulan : 40-42 cm • Bayi 8 bulan : 40-43 cm • Bayi 9 bulan : 41-44 cm
Penentuan Usia Janin (4) • Pusat penulangan diperiksa pada 2 tempat yaitu yaitu pada telapak kaki dan lutut. • Pada telapak kaki pemeriksaan ditujukan kepada tulang talus, calcaneus dan cuboid. – Adanya pusat penulangan di tulang talus menunjukkan bayi telah berumur 7 bulan, tulang calcaneus 8 bulan dan tulang cuboid 9 bulan.
• Di lutut ditujukan untuk memeriksa pusat penulangan di proksimal tulang tibia dan distal femur. – Adanya pusat penulangan pada kedua tulang tersebut menunjukkan bayi telah berumur 9 bulan dalam kandungan (cukup umur).
Penentuan Bayi Lahir Hidup/ Mati • Pemeriksaan luar: Pada bayi yang lahir hidup, pada pemeriksaan luar tampak dada bulat seperti tong . biasanya tali pusat masih melengket ke perut, berkilat dan licin. Kadang-kadang placenta juga masih bersatu dengan tali pusat. Warna kulit bayi kemerahan. • Penentuan apakah seorang anak itu dilahirkan dalam keadaan hidup atau mati, pada dasarnya adalah sebagai berikut: – – – –
Adanya udara di dalam paru-paru. Adanya udara di dalam lambung dan usus, Adanya udara di dalam liang telinga bagian tengah, dan Adanya makanan di dalam lambung.
• Penentuan pasti dengan tes apung paru.
Tes Apung Paru • Keluarkan paru-paru dengan mengangkatnya mulai dari trachea sekalian dengan jantung dan timus. Kesemuanya ditaruh dalam baskom berisi air. Bila terapung artinya paru-paru telah terisi udara pernafasan. • Untuk memeriksa lebih jauh, pisahkan paru-paru dari jantung dan timus, dan kedua belah paru juga dipisahkan. Bila masih terapung, potong masing-masing paru-paru menjadi 12 – 20 potonganpotongan kecil. Bagian-bagian ini diapungkan lagi. Bagian kecil paru ini ditekan dipencet dengan jari di bawah air. Bila telah bernafas, gelembung udara akan terlihat dalam air. Bila masih mengapung, bagian kecil paru-paru ditaruh di antara 2 lapis kertas dan dipijak dengan berat badan. Bila masih mengapung, itu menunjukkan bayi telah bernafas. Sedangkan udara pembusukan akan keluar dengan penekanan seperti ini, jadi ia akan tenggelam.
Bayi Lahir Mati: Still birth vs Dead Born • Still birth, artinya dalam kandungan masih hidup, waktu dilahirkan sudah mati. Ini mungkin disebabkan perjalanan kelahiran yang lama, atau terjadi accidental strangulasi dimana tali pusat melilit leher bayi waktu dilahirkan.
• Dead born child, di sini bayi memang sudah mati dalam kandungan. Bila kematian dalam kandungan telah lebih dari 2 – 3 hari akan terjadi maserasi pada bayi. Ini terlihat dari tanda-tanda: – – – – –
Bau mayat seperti susu asam. Warna kulit kemerah-merahan. Otot-otot lemas dan lembek. Sendi-sendi lembek sehingga mudah dilakukan ekstensi dan fleksi. Bila lebih lama didapati bulae berisi cairan serous encer dengan dasar bullae berwarna kemerah-merahan. – Alat viseral lebih segar daripada kulit. – Paru-paru belum berkembang.
Ada/ Tidaknya Tanda Perawatan Tidak adanya tanda perawatan adalah sbb: • Tubuh masih berlumuran darah, • Ari-ari (placenta), masih melekat dengan tali pusat dan masih berhubungan dengan pusar (umbilicus), • Bila ari-ari tidak ada, maka ujung tali pusat tampak tidak beraturan, hal ini dapat diketahui dengan meletakkan ujung tali pusat tersebut ke permukaan air, • Adanya lemak bayi (vernix caseosa), pada daerah dahi serta di daerah yang mengandung lipatan-lipatan kulit, seperti daerah lipat ketiak, lipat paha dan bagian belakang bokong. • Tidak adanya tanda perawatan menunjukkan kemungkinan besar kasus tersebut adalah pembunuhan anak sendiri (infantisida).
THT-KL
191. Otitis Externa • Malignant otitis externa (necrotizing OE) – Pada pasien diabetik lansia atau imunokompromais. – OE dapat menjadi selulitis, kondritis, osteitis, osteomielitis neuropati kranial.
– Liang telinga bengkak & nyeri, jaringan granulasi merah tampak di posteroinferior sambungan kartilago dengan tulang, di 1/3 dalam. – Awalnya gatal, lalu cepat menjadi nyeri, sekret (+), & pembengkakan liang telinga. – Th/: antibiotik topikal & sistemik, debridemen agresif. Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
• Otitis externa may extend distally to the pinna and proximally to the tympanic membrane • Otitis externa can cause tympanic membrane erythema, murky and rigidity due to inflammation – pneumatic otoscopy or tympanometry should be used to differentiate it from otitis media http://www.aafp.org/afp/2012/1201/p1055.html
192. GANGGUAN PENDENGARAN • Otosklerosis – Spongiosis tulang stapes (tersering) rigid tidak bisa menghantarkan suara ke labirin – Otosklerosis terkait faktor genetik, ¼-2/3 pasien memiliki saudara dengan kelainan serupa. – Rasio perempuan: laki-laki 2:1. – Ketulian mulai timbul pada usia 10-30 tahun dan bersifat progresif.
• Gejala & tanda: – – – –
Tuli bilateral progresif, tetapi asimetrik Tinnitus Paracusis Willisii: mendengar lebih baik pada ruangan ramai Schwarte sign: membran timpani eritema karena vasodilatasi pembuluh darah promontorium. – Tuba Eustachius intak, tidak ada riwayat trauma atau penyakit telinga lain
• Terapi: stapedectomy atau stapedomy; diganti dengan prosthesis.
192. Otosklerosis • Diagnosis: – Membran timpani utuh, normal, mungkin berwarna kemerahan akibat pelebaran pembuluh darah promontium (Schwarte’s sign) – Tuba paten tanpa riwayat penyakit telinga/trauma telinga sebelumnya – Diperkuat dengan pemeriksaan audiometri nada murni dan impedance
Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009
193. Penyakit Laring Diagnosis
Karakteristik
Polip pita suara
Penyebab: inflamasi kronik. Polip bertangkai, unilateral. Di sepertiga anterior/medial/seluruhnya. Dapat terjadi di segala usia, umumnya dewasa. Gejala: parau. Jenis: polip mukoid (keabu-abuan & jernih) & polip angiomatosa (merah tua).
Papilloma laring
Tumbuh pada pita suara anterior atau subglottik. Seperti buah murbei, putih kelabu/kemerahan. Sangat rapuh, tidak berdarah, & sering rekuren. Gejala: parau, kadang batuk, sesak napas. Terapi: ekstirpasi.
Laringitis
Gejala umum: demam, malaise. Gejala lokal: suara parau, afoni, nyeri ketika menelan atau berbicara, gejala sumbatan laring. Batuk kering atau kemudian berdahak. PF: mukosa laring hiperemis, edema terutama di atas & di bawah pita suara, biasanya juga ada tanda radang di hidung atau sinus paranasal atau paru.
Nodul pita suara
Penyebab: penyalahgunaan suara dalam waktu lama. Suara parau. Laringoskopi: nodul kecil berwarna keputihan, umumnya bilateral, di sepertiga anterior/medial. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
193. Laryngeal Disease
Papillomatosis
Vocal nodules Vocal cord polyp
Laringitis Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
194. Rhinosinusitis Diagnosis
Clinical Findings
Rinosinusitis akut
2/lebih gejala: obstruksi nasal/rhinorea ditambah nyeri wajah atau hiposmia/anosmia. • Nyeri pipi: sinusitis maksilaris • Nyeri retroorbital: sinusitis etmoidalis • Nyeri dahi atau kepala: sinusitis frontalis Akut bila gejala sampai 4 minggu, lebih dari 3 minggu sampai 3 bulan disebut subakut.
Sinusitis kronik
Kronik: > 3 bulan. Gejala tidak spesifik, dapat hanya ada 1 atau 2 dari gejala berikut: sakit kepala kronik, postnasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan tuba, sinobronkitis, pada anak gastroenteritis akibat mukopus yang tertelan.
Sinusitis dentogen
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris, dan hanya terpisahkan oleh tulang tipis. Infeksi gigi rahang atas mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Sinusitis jamur
Faktor risiko:pemakaian antibiotik, kortikosteroid, imunosupresan, dan radioterapi.Ciri: sinusitis unilateral, sulit sembuh dengan antibiotik, terdapat gambaran kerusakan tulang dinding sinus, atau bila ada membran berwarna putih keabuan pada irigasi antrum. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Rhinosinusitis • Pemeriksaan penunjang rhinosinusitis: – Foto polos: posisi waters, PA, lateral. Tapi hanya menilai sinus-sinus besar (maksila & frontal). Kelainan yang tampak: perselubungan, air fluid level, penebalan mukosa. – CT scan: mampu menilai anatomi hidung & sinus, adanya penyakit dalam hidung & sinus, serta perluasannya gold standard. Karena mahal, hanya dikerjakan untuk penunjang sinusitis kronik yang tidak membaik atau pra-operasi untuk panduan operator. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Waters
https://id.pinterest.com/yamahafreddy/skull-sinuses-facial-bones/
Caldwell
imageradiology.blogspot.co.id/2012/09/x-ray-pns-position-occipito-frontal.html
Modalitas X-Ray Foto Waters Schedel PA & lateral
Schuller
Deskripsi Maxillary, frontal, & ethmoidal sinus PA: frontal sinus Lateral: frontal, sphenoidal, & ethmoidal sinus Lateral mastoid
Towne
Posterior wall of maxillary sinus
Stenver
Os Temporal
Caldwell Rhese/oblique
Frontal sinus,inferior and posterior orbital rim Posterior of ethmoidal sinus, optic canal, & floor of orbit.
195. Rhinitis alergi • Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan berulang. • Klasifikasi rhinitis alergi: – Rhinitis alergi musiman (seasonal): hanya dikenal di negara dengan 4 musim, alergennya tepungsari dan spora jamur – Rhinitis sepanjang tahun(perenial): terjadi sepanjang tahun baik intermitten atau terus menerus. Penyebabnya adalah alergen inhalan. Buku ajar ilmu THTK&L FKUI edisi keenam
195. Rhinitis alergi • Keluhan: serangan bersin berulang, rinore, hidung tersumbat, mata lakrimasi. • Pemeriksaan fisik: – Pada rhinoskopi anterior: mukosa edema, basah, pucat/livid – Allergic shiner: bayangan gelap dibawah mata akibat stasis vena – Allergic salute: anak menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan karena gatal – Allergic crease: penggosokan hidung berulang akan menyebabkan timbulnya garis di dorsum nasi sepertiga bawah.
195. Rinitis Alergi
195. Rhinitis alergi
Diagnosis of Allergic Rhinitis • • • •
History Physical/nasal examination Nasal smear for eosinophils, WBC, bacteria Skin prick test > serum RAST (Radioallergosorbent testing (RAST) detects allergen specific IgE in the blood) • Blood: CBC/diff, IgE levels (poor screening test)
Radioallergosorbent test (RAST) • Blood test using radioimmunoassay test to detect specific IgE antibodies, to determine the substances a subject is allergic to • Since at least 2010, health organizations have recommended that the RAST be abandoned as a diagnostic test for allergy in favor of more sensitive fluorescence enzyme-labeled assays • Less sensitive than skin testing for the detection of clinically relevant allergies. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1805262/pdf/bullnyacadme d00102-0057.pdf
Phadiatop (Allergy Screen) • A multi-allergen allergosorbent,allergy screening test with excellent sensitivity and specificity for inhalant allergy • It uses an ImmunoCAP with a balanced mixture of representative allergens, including grasses, trees, weeds, cat, dog, mites and molds • Principles procedureEnzyme Immunoassay
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3315300 http://www.jiaci.org/issues/vol15issue02/7.pdf
• The major use of the test is to help the primary care physician rule out allergy (IgEmediated disease) as the cause of a patient's symptoms • The test is qualitative – positive result being suggestive of allergic sensitization – the test does not inform to which specific allergens the patient is sensitized
Indication of RAST over skin prick test in allergic rhinitis • Patients with extensive skin disease with no suitable site for testing • Dermatographism where wheals are produced by any minor trauma • Current administration of antihistamines • Risk of anaphylaxis, especially certain foods and latex • Confirmation of an unexpectedly negative skin prick test • Lack of availability of an allergist or appropriately trained clinician
196. Benda Asing di Liang Telinga • Usaha mengeluarkan benda asing sering mendorongnya lebih ke dalam • Besar pengait serumen • Kecil cunam/pengait • Binatang hidup di liang telinga – Masukkan tampon basah ke liang telinga, teteskan cairan misalnya rivanol/obat anestesi lokal (lidocain 2%)/mineral oil/alcohol/spirit/air kloroform, dll + 10 menit – Mati dikeluarkan menggunakan pinset/irigasi dengan air bersih hangat
• Baterai jangan dibasahi! (efek korosif) Soepardi E, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012 Dhingra PL, et al. Diseases of Ear, Nose, and Throat. 6th ed. Kundli: Elsevier; 2014 http://www.aafp.org/afp/2007/1015/p1185.html http://emedicine.medscape.com/article/763712-overview#showall
http://www.aafp.org/afp/2007/1015/p1185.html
http://www.aafp.org/afp/2007/1015/p1185.html
197. Tonsilitis • Acute tonsillitis: – Bakteri penyebab: GABHS, pneumococcus, S. viridan, S. pyogenes. • Detritus tonsilitis folikularis • Detritus bergabung, membentuk alur tonsillitis lakunaris • Gejala: nyeri tenggotok, odinofagia, demam, malaise, otalgia. • Th: penicillin atau erythromicin
• Tonsilitis kronik – Tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus melebar, & beberapa terisi detritus. – Gejala: rasa mengganjal, kering, & halitosis
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
197. Tonsilitis Kronik • Disebabkan oleh rangsangan terus menerus seperti merokok, berbagai jenis makanan , kebersihan mulut yang buruk dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. • Peradangan berulangepitel mukosa limfoid terkikis jaringan parut pelebaran kripta. • Kripta dapat diisi oleh detritus • Dapat disertai pembesaran kelenjar limfa submandibula. • Tonsilitis kronik dapat mengalami gejala akut bila terinfeksi oleh bakteri kembali • Terapi: tergantung penyebab dan ditujukan pada menjaga kebersihan rongga mulut.
Terapi tonsilofaringitis bakterial • Antibiotik – Penisilin G benzatin 50.000 U/kgBB IM dosis tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali sehari selama 10 hari (anak) atau pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari – Eritromisin 4 x 500 mg
• Kortikosteroid – Dexamethasone 8-16 mg, IM 1 kali; pada anak 0,08-0,3 mg/kgBB IM 1 kali
• Analgetik • Kumur dengan air hangat atau antiseptik • Recurrent tonsillitis may be managed with the same antibiotics as acute GABHS pharyngitis.
Buku Ajar THT | Emedicine
DRUG
CLASS
ROUTE
DOSAGE
DURATION
PRIMARY TREATMENT (RECOMMENDED BY CURRENT GUIDELINES) (AAFP)
Penicillin V
Penicillin
Oral
Children: 250 mg two to three times per day Adolescents and adults: 250 mg three to four times per day or 500 mg two times per day
10 days
Children (mild to moderate GABHS pharyngitis): 12.25 mg per kg two times per day or 10 mg per kg three times per day Children (severe GABHS pharyngitis): 22.5 mg per kg two times / day or 13.3 mg per kg three times per day Adults (mild to moderate GABHS pharyngitis): 250 mg three times per day or 500 mg two times per day Adults (severe GABHS pharyngitis): 875 mg two times per day
10 days
Amoxicillin
Penicillin (broad spectrum)
Oral
Penicillin G benzathine
Penicillin
Intramuscular
Children: < 60 lb (27 kg): 6.0 × 105 units Adults: 1.2 × 106 units
One dose
TREATMENT FOR PATIENTS WITH PENICILLIN ALLERGY (RECOMMENDED BY CURRENT GUIDELINES) Erythromycin ethylsuccinate
Macrolide
Oral
Children: 30 to 50 mg per kg per day in two to four divided doses Adults: 400 mg four times per day or 800 mg two times per day
10 days
Erythromycin estolate
Macrolide
Oral
Children: 20 to 40 mg per kg per day in two to four divided doses Adults: not recommended‡
10 days
Cefadroxil
Cephalosporin (first generation)
Oral
Children: 30 mg per kg per day in two divided doses Adults: 1 g one to two times per day
10 days
Cephalexin
Cephalosporin (first generation)
Oral
Children: 25 to 50 mg per kg per day in two to four divided doses Adults: 500 mg two times per day
10 days
198. Rhinitis Atrofi/Ozaena • Etiologi: infeksi kuman spesifik (Klebsiella, Stafilokokus, Pseudomonas), defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal, penyakit kolagen • Gejala: napas berbau, ingus kental berwarna hijau, kerak (krusta) hijau, gangguan penghidu, sakit kepala, hidung tersumbat • Pengobatan: konservatif dan operatif
Diagnosis
Clinical Findings
Rinitis alergi
Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.
Rinitis vasomotor
Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin. Pemicu: asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres. Tanda: mukosa edema, konka hipertrofi merah gelap.
Rinitis hipertrofi Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor. Gejala: hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak & mukopurulen. Rinitis atrofi / ozaena
Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa pada pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau, hidung tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media & inferior, sekret & krusta hijau.
Rinitis Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan medikamentosa vasokonstriktor topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma edema,hipersekresi mukus. Rinoskopi: edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
199. Meniere Disease • Gejala & tanda: Vertigo episodik (beberapa jam), Tuli sensorineural yang berfluktuasi, tinnitus telinga terasa penuh
199. Meniere Disease • Pemeriksaan penunjang: – MRI dengan kontras gadolinium untuk eksklusi kelainan retrokoklear (neuroma vestibular), & dipertimbangkan pada pasien tuli asimetrik
• EEG tidak ada kelainan gelombang otak • EMG tidak ada kelainan otot • Audiometri tuli sensorineural
Rekomendasi Terapi
• Diet rendah garam < 1500 gr/hari • Diuretik
– Menurunkan tekanan hidrostatik di telinga dalam – Membantu mencegah terjadinya gejala namun tidak memiliki efek setelah gejalanya muncul – Contoh: HCT, asetazolamide
• Histamin agonis – Contoh: Betahistin – Menurut penelitian, penggunaan betahistin lebih unggul daripada flunarizine
• Vestibulocochlear supresant agent – – – –
AntihistaminMeclizine Obat penenanglorazepam, alprazolam Calsium channel blockerFlunarizine Hanya dipakai bila dibutuhkan, karena pemakaian jangka lama dapat mengurangi kemampuan kompensasi vestibular sehingga akan menyebabkan gangguan keseimbangan
• Steroid untuk penyebab autoimun atau alergi • VasodilatorNiasin – Memperbaiki alian darah dan pertukaran cairan Menner. A Pocket Guide to the Ear. Thieme 2003 Betahistine dihydrochloride versus flunarizine. A double-blind study. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1763646 http://emedicine.medscape.com/article/1159069-treatment
Betahistin in vertigo Increase in cochlear blood flow (H3 pre-synaptic heteroreceptor antagonism) Decrease resting discharge in labyrin hair cells (H3 antagonist and H1 agonist) Inhibition of firing activity of vestibular nuclei (H3 receptor antagonis)
Vestibular compensation
200. Vertigo of Central Origin CONDITION
D E TA I L S
Migraine
Vertigo may precede migraines or occur concurrently
Vascular disease
Ischemia or hemorrhage in vertebrobasilar syndrome can affect brainstem or cerebellum function
Multiple sclerosis
Demyelination disrupts nerve impulses which can result in vertigo
Vestibular epilepsy
Vertigo resulting from focel epileptic discharges in the temporal or parietal association cortex
Cerebellopontine tumours
Benign tumours in the interal auditory meatus
Vertigo of Peripheral Origin CONDITION
D E TA I L S
BPPV
Brief, position-provoked vertigo episodes caused by abnormal presence of particles in semisircular canal
Meniere’s disease
An excess of endolymph, causing distension of endolymphatic system (vertigo, tinnitus, sensorineural deafness)
Vestibular neuronitis
Vestibular nerve inflammation, most likely due to virus
Acute labyrinthitis
Labyrinth inflammation caused by viral or bacterial infection
Labyinthine infarct
Compromises blood flow to labyrinthine
Labyrinthine concussion Damage after head trauma Perylimnph fistula
Labyrinth membrane damage resultin in perylimph leakage into middle ear
200. BPPV • Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) is the most common disorder of the inner ear’s vestibular system, which is a vital part of maintaining balance. • The vertigo is benign, paroxysmal and positional, meaning it occurs suddenly and with a change in head position • BPPV occurs as a result of otoconia – tiny crystals of calcium carbonate that are a normal part of the inner ear’s anatomy, detaching from the otolithic membrane in the utricle and collecting in one of the semicircular canals
• Subtypes of BPPV are distinguished by the particular semicircular canal involved and whether the detached otoconia are free floating within the affected canal (canalithiasis) or attached to the cupula (cupulothiasis). • 81-90% cases canalithiasis in the posterior semicircular canal.
BPPV Diagnosis • Key importance in BPPV is the sudden onset and intense nature of vertigo • Specific types of movements, can precipitate an attack • Presence of Tinnitus or Otalgia does not rule out BPPV – 19,3% BPPV patients reported tinnitus
• However, one must consider other diagnosis if there is hearing loss and pressure associated symptoms http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/73/diagnosis/step-by-step.html http://www.tinnitusjournal.com/articles/benign-paroxysmal-positional-vertigo-and-tinnitus.html https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24995895
Diagnosis BPPV • BPPV is diagnosed based on medical history, physical examination, the results of vestibular and auditory (hearing) tests, and possibly lab work to rule out other diagnoses. • Vestibular tests include the Dix-Hallpike maneuver and the Supine Roll test. – These tests allow a physician to observe the nystagmus elicited in response to a change in head position. The problematic semicircular canal can be identified based on the characteristics of the observed nystagmus.
• Dix-Hallpike (also referred to as the Nylen-Barany) manoeuvre is the definitive diagnostic test for posterior canal BPPV
International Tinnitus Journal, Vol. 16, No 2 (2011) www.tinnitusjournal.com
Dix Hallpike Maneuver • Pemeriksaan gold standar untuk BPPV dengan otolit pada kanalith semisirkularis posterior
Horizontal Canal BPPV • Supine head turn maneuver to determine the presence and affected side of horizontal canal benign paroxysmal positional vertigo (Pagnini-McClure maneuver/ supine roll test)
BPPV • Nistagmus
Canalith repositioning maneuver BPPV posterior: – Epley, harus dengan operator – Brandt-Daroff bisa dilakukan sendiri oleh pasien – Semont maneuver/ liberatory maneuver BPPV Horizontal: – The Gufoni method – Vannuchi-Asprella method – barbecue roll/ log roll method
Tatalaksana: Epley maneuver
Maneuvers for posterior canal BPPV • The most common type of BPPV • The canalith repositioning procedure (CRP)/Epley Manuver or the modified liberatory maneuver is the most common and empirically proven treatment for posterior canal BPPV. – involves sequential movement of the head into four positions, with positional shifts spaced roughly 30 seconds apart (Figure 2a and 2b).
• The Semont maneuver involves a procedure whereby the patient is rapidly moved from lying on one side to lying on the other. – Although many physicians have reported success treating patients with the Semont maneuver and support its use need more studies are required to determine itseffectiveness 12
Maneuvers for horizontal canal BPPV • Second most common type of BPPV with incidences of 10% to 15% • Because of the relative rarity of horizontal canal BPPV, there are no best practices established for treatment maneuvers; however, the most widely studied is the Lempert maneuver. – This maneuver entails moving the head through a series of 90˚ angles and pausing between each turn for 10 to 30 seconds.
• Other techniques such as the Gufoni maneuver and the Vannucchi-Asprella liberatory maneuver have also been used to treat horizontal canal BPPV, but additional well-supported clinical studies are needed to assess their effectiveness
Maneuvers for anterior canal BPPV • Rare – 2% • There is no definitive treatment for anterior canal BPPV and no controlled studies of it have yet been completed. • However, there is a logical modified maneuver for the anterior canal that is essentially a deep (exaggerated) Dix-Hallpike. • Other proposed treatments employ reverse versions of the maneuvers used for posterior canal BPPV; for example, the reverse Semont (starting nose down and turned to the unaffected side), or the reverse Epley (again starting nose down
Other BPPV treatment options • If head maneuvers don’t work, other treatment options include home-based exercise therapy, surgery, medication, or simply coping with the symptoms while waiting for them to resolve. • Vestibular rehabilitation home exercises – Exercises performed at home are sometimes recommended. – Brandt-Daroff exercises involve repeating vertigoinducing movements two to three times per day for up to three weeks
• Home treatment for BPPV: Brandt Daroff maneuver – 3 sets x 5 repetitions/day for 2 weeks – Success rate 95% – Mostly complete relief after 30 sets (10 days)
• Symptomatic treatment: – Antivertigo (vestibular suppressant) • Ca channel blocker: flunarizin • Histaminic: betahistine mesilat • Antihistamin: difenhidramine, sinarisin
– Antiemetic: • prochlorperazine, metoclopramide
– Psycoaffective: • Clonazepam, diazepam for anxiety & panic attack