DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. ORYZA | DR. REZA DR. RESTHIE | DR. CEMARA | DR. REYNALDO
OFFICE ADDRESS: Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan (belakang pasaraya manggarai) phone number : 021 8317064 pin BB D3506D3E / 5F35C3C2 WA 081380385694 / 081314412212
Medan : Jl. Setiabudi no. 65 G, medan Phone number : 061 8229229 Pin BB : 24BF7CD2 Www.Optimaprep.Com
I L MU P E N YA K I T DALAM
1. Pradiabetes
1. Diabetes Mellitus • Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM digolongkan ke dalam prediabetes (TGT & GDPT): – Glukosa darah puasa terganggu (GDPT): • GDP 100-125 mg/dL, dan • TTGO-2 jam <140 mg/dL
– Toleransi glukosa terganggu (TGT): • Glukosa darah TTGO-2 jam 140-199 mg/dL, dan • Glukosa puasa <100 mg/dL
– Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT – Diagnosis prediabetes berdasarkan HbA1C: 5,7-6,4%
Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.
1. Pradiabetes
American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes—2016. Diabetes Care. 2016;39(suppl 1):S1-S106.
2. Automated External Defibrillator • CARDIAC ARREST/AED STEPS – – – – –
Turn on the AED Wipe the chest dry Attach pads to bare chest Plug in the connector, if necessary Make sure no one, including you, is touching the person.
Tell everyone to "STAND CLEAR!" – Push the analyze button if necessary, let the AED analyze heart rhythm – If AED advises you to shock the person: – Make sure no one, including you, is touching the person. Tell everyone to "STAND CLEAR!" – Push the "shock" button, if necessary.
https://www.redcross.org/flash/brr/English-html/AED.asp
3. Tuberkulosis •
Klasifikasi pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: 1. Pasien baru TB: • Belum pernah mendapatkan OAT/sudah pernah, tapi kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis). 2. Pasien yang pernah diobati TB: • Pernah menelan OAT 1 bulan/lebih (≥ dari 28 dosis). • diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: – Pasien kambuh: pernah sembuh / pengobatan lengkap – Pasien yang diobati kembali setelah gagal: pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. – Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to followup): pernah diobati & lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal dengan pengobatan setelah putus berobat /default). – Lain-lain: pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui. 3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
3. Tuberkulosis OAT kategori-1: 2(HRZE) / 4(HR)3 – Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis. – Pasien TB paru terdiagnosis klinis – Pasien TB ekstra paru
Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) – Pasien kambuh – Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya – Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
3. Tuberkulosis
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
3. Tuberkulosis
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
4. Keganasan • •
•
Mieloma multipel: proliferasi sel plasma ganas yang berasal dari sel klon tunggal. Triad klasik mieloma: – Plasmasitosis di sumsum tulang (>10%), – Lesi litik tulang, – Komponen M (imunoglobulin monoklonal) di serum dan/ urin. Pada sebagian besar kasus rantai ringan imunoglobulin terdeteksi di urin sebagai protein Bence Jones.
Lesi "punched out“ yang menunjkkan lesi osteolitik tanpa/sedikit aktivitas osteoblastik.
4. Multiple myeloma • Malignansi sel B Ab monoklonal IgM • Gejala: – Proliferasi sel plasma di sumsum tulang anemia – Lesi litik tulang nyeri tulang, fraktur kompresi, hiperCa2+ – Infeksi berulang ec hipogammaglobulinemia – Ginjal protein light chain toksik thd ginjal gagal ginjal, sindroma nefrotik
• Elektroforesis Hb: Bence-Jones protein (light chain) • Hapus darah tepi: rouleaux • Biopsi sumsum tulang: plasmasitosis >10%
4. MM
http://www.google.co.id/imgres?im gurl=http://www.cancer.gov/images /cdr/live/CDR763079750.jpg
4. Keganasan
Kriteria Diagnosis Multipel Mieloma International Myeloma Workshop Consensus Panel 3 Tahun 2011
5. Dispepsia • Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian atas. • Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut yaitu: – nyeri epigastrium, – rasa terbakar di epigastrium, – rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa.
• Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik & fungsional. – Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan – Untuk dispepsia fungsional, keluhan berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.
5. Dispepsia
Ya
Tidak
6-7. GERD • Definition: – a pathologic condition of symptoms & injury to the esophagus caused by percolation of gastric or gastroduodenal contents into the esophagus associated with ineffective clearance & defective gastroesophageal barrier.
• Symptoms: – Heartburn; midline retrosternal burning sensation that radiates to the throat, occasionally to the intrascapular region. – Others: regurgitation, dysphagia, regurgitation of excessive saliva. GI-Liver secrets
6. GERD
GERD Clinical Manifestation GERD
Extraesophageal
Esophageal
Symptomatic syndromes • •
Typical reflux syndrome Reflux chest pain syndrome
Syndromes with esophageal injury • • • •
Reflux esophagitis Reflux stricture Barrett’s esophagus Adenocarcinoma
Established association • • • •
Reflux cough Reflux laryngitis Reflux asthma Reflux dental erosion
Proposed association • • • •
Sinusitis Pulmonary fibrosis Pharyngitis Recurrent otitis media
AGA. Gastroenterol. 2008.
Clinical Presentation of GERD Typikal • Heartburn • Regurgitation
Ektraesofageal • Laryngitis • Asthma
Atypikal
• Sinusitis
• Chest pain
• Chronic cough
• Nausea
• Aspiration pneumonia
• Vomiting
• Dental erosion
• Bloating
• Dyspepsia
• Bronchospasm • Sore throat
• Epigastric pain Badillo R, et al. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2014. Richter JE. Gastroenterol Clin North Am. 2007.
GERD-Q No.
Frekuensi skor untuk gejala
Pertanyaan
0 hari
1 hari
2-3 hari
4-7 hari
1.
Seberapa sering Anda mengalami perasaan terbakar di bagian belakang tulang dada Anda (heartburn)
0
1
2
3
2.
Seberapa sering Anda mengalami naiknya isi lambung ke arah tenggorokan/mulut Anda (regurgitasi)
0
1
2
3
3
2
1
0
3
2
1
0
3. 4.
Seberapa sering Anda mengalami nyeri ulu hati? Seberapa sering Anda mengalami mual?
5.
Seberapa sering Anda mengalami kesulitan tidur malam oleh karena rasa terbakar di dada (hearburn) dan/atau naiknya isi perut?
0
1
2
3
6.
Seberapa sering Anda meminum obat tambahan untuk rasa terbakar di dada (heartburn) dan/atau naiknya isi perut (regurgitasi), selain yang diberikan oleh dokter Anda? (seperti obat maag yang dijual bebas)
0
1
2
3
• Poin GerdQ < 7 GERD may be unlikely • Poin GerdQ 8-18 probably GERD Konsensus Nasional Penatalaksanaan GERD di Indonesia. 2013
GERD Classification • Non-erosive reflux disease/NERD – 60-70% of GERD – Normal endoscopy
• Erosive esophagitis – 20-30% of GERD – Endoscopy found mucosal break in esophagus
Indication for Endoscopy • Endoscopy in GERD indicated for patients: – Had alarm symptoms – The patient does not respond to the PPI empirical therapy with a dose of 2 times a day.
• Endoscopy in GERD – The findings of reflux esophagitis has specificity of 9095% for GERD. – Los Angeles or Savary-Miller classification for severity of esophagitis. ASGE. Gastrointest Endosc. 2007 Konsensus Nasional Penatalaksanaan GERD di Indonesia. 2013
Alarm symptoms • • • • • •
Progressive dysphagia Odynophagia Unknown weight loss New onset anemia Hematemesis and/or melena Familiy history with malignancy of stomach and/or esophagus. • Persistent vomiting
ASGE. Gastrointest Endosc. 2007
Los Angeles Classification GERD
LA Grade A Mucosal break <5 mm
LA Grade B Mucosal break >5 mm
Sami SS, et al. Video J Encycloped GI Endosc. 2013
LA Grade C Mucosal break continuous between the tops of two or more mucosal folds, <75% circumference
LA Grade D Mucosal break > 75% esophageal circumference
Sami SS, et al. Video J Encycloped GI Endosc. 2013
Savary-Miller Classification GERD
Grade I • Single or isolated erosive lesion(s) affecting only one longitudinal fold
Grade II • Multiple erosive lesions, noncircumferential, affecting more than one longitudinal fold, with or without confluence ASGE. Gastrointest Endosc. 2007
Grade III Circumferential erosive lesions Grade IV • Chronic lesions: ulcer(s), stricture(s) and/or short esophagus.
Grade V • Columnar epithelium in continuity with the Z-line, noncircular, starshaped, or circumferential.
ASGE. Gastrointest Endosc. 2007
7. GERD
• Management: – Aggressive lifestyle modification & pharmacologic therapy. – Surgery is encouraged for the fit patient who requires chronic high doses of pharmacologic therapy to control GERD or who dislikes taking medicines. – Endoscopic treatments for GERD are very promising, but controlled long-term comparative trials with proton pump inhibitors and/or surgery are lacking.
Lifestyle modification • • • •
Weight loss Smoking cessation Restriction of alcohol use Avoid reflux-inducing foods (fatty foods, chocolate, peppermint, and excessive alcohol reduce lower esophageal sphincter pressure) • Avoidance of meals two to three hours before bedtime • Head of bed elevation, putting 6 to 8-inch blocks under the legs at the head of the bed. Ness-Jensen E, et al. Clin Gastroenterol Hepatol. 2015
GERD
8. Algoritme Takikardia ACLS
9. Polyuria • If polyuria is shown to be dilute, pathophysiologic mechanisms include: 1. Hypothalamic or central diabetes insipidus with inability to synthesize and secrete vasopressin; 2. Nephrogenic diabetes insipidus with an inadequate renal response to vasopressin;
3. Transient diabetes insipidus of pregnancy produced by accelerated metabolism of vasopressin; 4. Primary polydipsia (psychogenic), in which the initiating event is ingestion of excess fluid and the subsequent hypotonic polyuria is an appropriate physiologic response.
9. Polyuria •
During the dehydration or water deprivation test: – primary polydipsia: able to concentrate urine, blood not become hyperosmolar – diabetes insipidus: blood becomes hyperosmolar without concentrating the urine.
•
After the patient is given desmopressin: – Hypothalamic DI has minimal concentration of the urine & an additional in urine osmolality of at least 50%. – partial hypothalamic DI concentrate their urine minimally with dehydration, but the maximum urinary concentration is not achieved, and there is an additional boost with administered desmopressin – Nephrogenic DI do not concentrate their urine & no further increase in urine osmolality after the administration of desmopressin.
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. Greenspan’s clinical endocrinology.
Polyuria
Manifestasi Klinis Diabetes Insipidus • Pada diabetes insipidus terjadi gangguan produksi/kerja ADH sehingga air diekskresikan berlebih (poliuria) kadar Na darah meningkat osmolalitas darah meningkat haus polidipsia. • Poliuria:
– Frekuensi berkemih – Enuresis, – Nokturia mengganggu tidur lelah pada siang hari atau somnolen
• Peningkatan osmolaritas plasma – Haus polidipsia
• Tanda klinis dehidrasi
– Tanda yang jelas jarang ditemukan kecuali pada pasien dengan asupan air yang terganggu.
Harrison’s principles of internal medicine
Poliuria, Polidipsia
9. Poliuria
10. Cholelithiasis • Cholelithiasis involves the presence of gallstones, which are concretions that form in the biliary tract, usually in the gallbladder. • Characteristics of biliary colic include the following: – Sporadic and unpredictable episodes – Pain that is localized to the epigastrium or right upper quadrant, sometimes radiating to the right scapular tip – Pain that begins postprandially, is often described as intense and dull, typically lasts 1-5 hours, increases steadily over 1020 minutes, and then gradually wanes – Pain that is constant; not relieved by emesis, antacids, defecation, flatus, or positional changes; and sometimes accompanied by diaphoresis, nausea, and vomiting – Nonspecific symptoms (eg, indigestion, dyspepsia, belching, or bloating)
10. Cholelithiasis Etiology • Cholesterol gallstones, black pigment gallstones, and brown pigment gallstones have different pathogeneses and different risk factors. • More than 80% of gallstones contain cholesterol as their major component. • Risk factors (4F) – – – –
Female Forty Fat Fertile
Diagnosis • Abdominal radiography (upright and supine) – primarily to exclude other causes of abdominal pain (eg, intestinal obstruction) • Ultrasonography • Endoscopic ultrasonography (EUS) – An accurate and relatively noninvasive means of identifying stones in the distal CBD • Laparoscopic ultrasonography –potential method for bile duct imaging during laparoscopic cholecystectomy • Computed tomography (CT) – More expensive and less sensitive • Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) • Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) • Percutaneous transhepatic cholangiography (PTC)
Treatment • The treatment of gallstones depends upon the stage of the disease: – Lithogenic state – Interventions are currently limited to a few special circumstances – Asymptomatic gallstones – Expectant management – Symptomatic gallstones – Usually, definitive surgical intervention (eg, cholecystectomy), though medical dissolution may be considered in some cases
• Medical treatments, used individually or in combination, include the following: – Oral bile salt therapy (ursodeoxycholic acid) – Contact dissolution – Extracorporeal shockwave lithotripsy
• Surgery – Cholecystectomy (open or laparoscopic) – Cholecystostomy – Endoscopic sphincterotomy
Penyakit Hepatobilier • UDCA (ursodeoxycholic acid): untuk melarutkan batu empedu. • Untuk menurunkan TG pasien ini dipilih statin karena golongan fibrat memiliki efek samping batu empedu.
Pocket medicine. 5th ed. 2014.
11. Pulmonologi
• Obstruktif: – FEV1 is decreased out of proportion to the FVC, an obstructive pattern is present. – The normal FEV1/FVC ratio is greater than 0.75 for those 60 years of age or younger and greater than 0.70 for those older than 60 years. – A normal percent predicted FEV 1 is between 80% and 120%.
• Restriktif: – A reduction in all volumes and capacities. – The classic findings TLC or FRC < 75% of predicted, reduced RV and VC, and a normal to high FEV 1/FVC ratio.
11. Pulmonologi
Current diagnosis & treatment in pulmonary medicine.
11. Pulmonologi
Murray & Nadel Textbook of pulmonary disease.
11. Penyakit Paru Spirometri penyakit obstruktif paru: • Forced expiratory volume/FEV1 ↓ • Vital capacity ↓ • Hiperinflasi mengakibatkan: – Residual volume ↑ – Functional residual capacity ↑
Normal
COPD
Nilai FEV1 pascabronkodilator <80% prediksi memastikan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. 1. 2. 3. 4.
Color Atlas of Patophysiology. 1st ed. Thieme: 2000. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. Lange: 2003. Murray & Nadel’s Textbook of respiratory medicine. 4th ed. Elsevier: 2005. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
11. Penyakit Paru • Pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma : – Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi. – Reversibilitas: perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. – Menilai derajat berat asma
• Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan spirometri atau peak expiratory flow meter: – Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu – Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Juga dapat digunakan menilai derajat asma. PDPI. Asma: pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. 2004
12. Cyanide Intoxication • Source: – the vasodilator drug nitroprusside, natural sources are found in cassava.
• Mechanism of toxicity: – Cyanide binds to cellular cytochrome oxidase blocking the aerobic utilization of oxygen metabolic acidosis.
• Symptoms – headache, nausea, dyspnea, & confusion. – Syncope, seizures, coma, agonal respirations, & cardiovascular collapse ensue rapidly after heavy exposure. Poisoning & drug overdose by the faculty, staff and associates of the California Poison Control System third edition
12. Cyanide Intoxication Treatment: A. Emergency and supportive measures. Treat all cyanide exposures as potentially lethal. 1. Maintain an open airway and assist ventilation if necessary. 2. Treat coma, hypotension, & seizures if they occur. 3. Start an IV line and monitor the patient’s vital signs and ECG B. Specific drugs and antidotes 1. The cyanide antidote package consists of amyl & sodium nitrites, which produce cyanide-scavenging methemoglobinemia, & sodium thiosulfate, which accelerates the conversion of cyanide to thiocyanate. C. Prehospital. Immediately administer activated charcoal if available. Do not induce vomiting unless victim is more than 20 minutes from a medical facility and charcoal is not available.
13. Hepatologi • Sirosis hepatis adalah stadium akhir fibrosis hepatik progresif ditandai dengan distorsi arsitektur hepar dan pembentukan nodul regeneratif. • Terjadi akibat nekrosis hepatoseluler – Sirosis hati kompensatabelum ada gejala klinis, namun dapat ditemukan gejala awal mudah lelah, lemas, nafsu makan berkurang, mual, BB turun – Sirosis hati dekompensata gejala klinis yang jelas (komplikasi gagal hati dan hipertensi porta)
• Etiologialkohol, hepatitis, biliaris, kardiak, metabolik, keturunan, obat – Di Indonesia, 40-50% disebabkan oleh hepatitis B
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
STIGMATA SIROSIS
13. Hepatologi • Hipertensi portal mengakibatkan varises di tempat anastomosis portosistemik: – Hemoroid di anorectal junction, – Varises esofagus di gastroesophageal junction, – Kaput medusa di umbilikus.
14. Nyeri Sendi • Kartilago: bantalan antara tulang untuk menyerap tekanan & agar tulang dapat digerakkan. • Osteoarthritis: degenerasi sendi fungsi bantalan menghilang tulang bergesekan satu sama lain.
Harrison’s principles of internal medicine.
Pembebanan repetitif, obesitas, usia tua
Heberden’s & Bouchard’s nodes
Penyempitan celah sendi
Penipisan kartilago
Osteofit (spur formation)
Sklerosis
Harrison’s principles of internal medicine.
Ciri Prevalens
OA
RA
Arthritis
Gout
Spondilitis Ankilosa
Female>male, >50 tahun, obesitas
Female>male 40-70 tahun
Male>female, >30 thn, hiperurisemia
Male>female, dekade 2-3
gradual
gradual
akut
Variabel
Inflamasi
-
+
+
+
Patologi
Degenerasi
Pannus
Mikrotophi
Enthesitis
Poli
Poli
Mono-poli
Oligo/poli
Tipe Sendi
Kecil/besar
Kecil
Kecil-besar
Besar
Predileksi
Pinggul, lutut, punggung, 1st CMC, DIP, PIP
MCP, PIP, pergelangan tangan/kaki, kaki
MTP, kaki, pergelangan kaki & tangan
Sacroiliac Spine Perifer besar
Temuan Sendi
Bouchard’s nodes Heberden’s nodes
Ulnar dev, Swan neck, Boutonniere
Kristal urat
En bloc spine enthesopathy
Osteofit
Osteopenia erosi
erosi
Erosi ankilosis
-
Nodul subkutan, pulmonari cardiac splenomegaly
Tophi, olecranon bursitis, batu ginjal
Uveitis, IBD, konjungtivitis, insuf aorta, psoriasis
Normal
RF +, anti CCP
Asam urat
Awitan
Jumlah Sendi
Perubahan tulang Temuan Extraartikular Lab
15. Hipertensi dengan aritmia
2013 Practice guidelines for the management of arterial hypertension of the European Society of Hypertension (ESH) and the European Society of Cardiology (ESC)
15. Aritmia • AF berpotensi berbahaya karena: 1. HR yang terlalu cepat menurunkan preload sehingga curah jantung
menurun, 2. Kontraksi atrium yang ireguler mengakibatkan stasis di atrium trombus embolisasi stroke
• Klasifikasi AF: – Paroksismal: • Episode < 48 jam. • Sekitar 50% kembali normal dalam 24 jam. – Persisten: • Episode 48 jam s.d. 7 hari • Diperlukan kardioversi untuk kembali ke irama sinus – Kronik/permanen • Berlangsung lebih dari 7 hari • Dengan kardioversi pun sulit kembali ke irama sinus. The only ECG book you ever need.
15. Aritmia • Prinsip tatalaksana AF: 1. Pengontrolan laju irama jantung, • Target 60-80 x/menit saat istirahat, 90-115 kali/menit saat aktivitas.
2. Pengembalian ke irama sinus (kardioversi), • Kardioversi farmakologis – Pasien AF episode pertama tanpa gangguan hemodinamik bermakna tidak perlu terapi spesifik. – Pasien AF persisten rekuren dengan gejala mengganggu diberikan antiaritmia.
• Electric cardioversion: – Untuk pasien tidak stabil (penurunan kesadaran, hipotensi, nyeri dada, sinkop), bifasik 120-200 J, monofasik 200 J.
3. Pencegahan tromboemboli • Warfarin diberikan untuk pasien dengan risiko tinggi terjadi stroke (usia >65, hipertensi, penyakit jantung reumatik, DM, CHF, riwayat stroke/TIA). Target INR of 2.0 to 3.0 Pathophysiology of Heart Disease.
15. Aritmia • Rate control: – If the patient presents with atrial fibrillation and a rapid rate associated with severe heart failure or cardiogenic shock, emergency direct-current cardioversion is indicated. – For patients with atrial fibrillation associated with rapid rate but with stable hemodynamics, attempts to achieve acute rate control are indicated.
Pathophysiology of Heart Disease.
15. Aritmia
16. Definition of UTI • Complicated UTI – Structurally and functionally abnormal urinary tract – Underlying disease prone to complicated UTI • Male, elderly, prostatitis • Pregnancy • Catheter or stent or instrumentation or nephrostomy • Immunocompromised, DM, hospital acquired infection
– Risk factors • • • •
Lack of response to treatment Severity of illness Comorbid Origin of the patient
• • • • • •
Symptoms for > 7 days Renal failure Renal transplantation Obstruction Anatomic abnormality Urologic dysfunction
Definition of UTI • Uncomplicated UTI – No structurally and functionally abnormal urinary tract – No underlying disease prone to acquire UTI
• Clinical Presentation: – Asymptomatic bacteriuria – Acute cystitis (E coli 70-95%, Staphylococcus saprophyticus) dysuria, frequency, urgency, hematuria, suprapubic pain – Acute pyelonephritis (E coli 80%, Klebsiella sp) fever, flank pain, nausea, vomiting, abdominal pain EAU Guidelines. 2006
Klasifikasi ISK
16. Pielonefritis Akut • Trias gejala pielonefritis: demam, nyeri ketok CVA, mual/ muntah. • Pemeriksaan penunjang: – Urinalisis: didapatkan pyuria (>5-10 leukosit/LPB, aatau didapatkan esterase leukosit yang positif. – Pemeriksaan radiologi umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakka diagnosis, kecuali pada gejala yang tidak khas, atau pada pasien yang tidak respons terhadap terapi.
• Tatalaksana adalah antibiotik. DOC: fluoroquinolones, cephalosporins, penicillins, extended-spectrum penicillins, carbapenems, atau aminoglycosides.
16. Pielonefritis akut
16. Pyelonefritis • Indikasi Absolut Rawat Inap – Muntah persisten – Infeksi progresif – Tersangka sepsis – Diagnosis belum pasti – Obstruksi saluran kemih
• Indikasi Relatif Rawat Inap • Usia > 60 tahun • Abnormalitas saluran kemih • Imunokompromais • Akses follow up kurang adekuat • Dukungan social kurang
Pielonefritis
Comprehensive cllinicall nephrology. 5th ed. 2015
16. Pyelonefritis • Uncomplicated Pyelonephritis – Mild to moderate cases – Severe cases
• Complicated Pyelonephritis – Infection associated with a condition, such as a structural or functional abnormality of the genitourinary tract, or the presence of an underlying disease, which increase the risk of a more serious outcome than expected from UTI
16. Pielonefritis
• Untuk pasien dengan respons yang cepat (demam & gejala hilang di awal terapi), terapi dapat dibatasi selama 7-10 hari. • Pada laki-laki muda (< 35 tahun), sebaiknya fluoroquinolone diteruskan hingga 14 hari. Karena risiko aktivitas seksual lebih aktif. • Pada beberapa penelitian pemberian golongan β-lactam kurang dari 14 hari berkaitan dengan angka kegagalan yang tinggi. • Satu penelitian menunjukkan keunggulan siprofloksasin selama 7 hari dibandingkan TMP-SMX selama 14 hari. Comprehensive cllinicall nephrology. 5th ed. 2015
16. Severe Uncomplicated Pyelonephritis • Terapi antibiotic IV dahulu, setelah perbaikan dapat diganti antibiotic oral hingga total pengobatan selama 1-2 minggu
Complicated Pyelonephritis • Antibiotik IV durasi 7-14 hari
17. Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)
• Anemia hemolitik autoimun merupakan anemia yang disebabkan oleh penghancuran eritrosit oleh autoantibodi. • Dibagi menjadi :
– Primer : tanpa adanya underlying disease – Sekunder: ada underlying diseas, seperti limfoma, Evans syndrome, SLE, antiphospholipid syndrome, IBD.
Hematology: basic& principle practice, Ed.6
• Onset dapat gradual atau subakut, berupa mudah lelah, sesak napas, malaise, ikterik. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemuan organomegali. • Hasil lab: – – – – –
Anemia NN Retikulositosis (>2%) Peningkatan LDH Peningkatan bil.indirek Direct antiglobulin test (DAT)/ Coombs test untuk membedakan anemia hemolitik autoimun dengan non-autoimun.
17. Tatalaksana Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA) LINI PERTAMA: KORTIKOSTEROID • Steroid dimulai dengan dosis inisial Prednison 1 mg/kg/hari oral atau dapat diberikan metilprednnisolon iv. • Dosis inisial diberikan hingga Hb >10 g/dl. • Bila target Hb tidak tercapai dalam 3minggu pemberian steroid , maka perlu dipertimbangkan terapi lini kedua. • Setelah target Hb tercapai, dilakukan tappering down Prednison hingga 20-30 mg/hari dalam beberapa minggu.
LINI KEDUA • Terapi lini kedua yang memberikan efikasi paling baik adalah splenektomi dan antiCD20 (Rituximab). TERAPI LAINNYA • Pada AIHA yang refrakter, dapat digunakan imunosupresan (seperti Azathiopirine, Cyclosporine, Mycofenolate mofetil) dan pemberian Cyclophosphamide dosis tinggi.
How I treat autoimmune hemolytic anemias in adults http://www.bloodjournal.org/content/116/11/1831?sso-checked=true#F1
18. HIV/AIDS
18. HIV/AIDS
Guidelines HIV WHO (2013)
• Pedoman terbaru 2013 merekomendasikan terapi ARV jika CD4 <500 sel/mm3
Wasting Syndome • Involuntary loss of > 10% of the baseline (usual) body weight plus either chronic diarrhea, weakness, or documented fever, in the absence of a concurrent illness or condition.
19. Phenylephrine
20. Emboli Paru ec DVT
•
Temuan klasik – Takikardia – Tanda2 disfungsi RV • • •
•
Distensi vena juguler Left parasternal lift S2 komponen pulmonal mengeras Murmur sistolik yg meningkat pada inspirasi
21. Cor Pulmonal • Cor pulmonale: – hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan sekunder karena hipertensi pulmonal sebagai – Akibat penyakit parenkim atau vaskuler paru – Symptoms & signs: • Dyspnea, elevated JVP, hepatomegaly, ascites, lower extremity edema
Pemeriksaan Penunjang • Pemeriksaan darah – Peningkatan hematokrit (tanda polisitemia sekunder) – Defisiensi alpha1-antitrypsin – Antinuclear antibody (ANA) positif bila etiologinya penyakit kolagen vaskuler – Hiperkoagulasi (peningkatan proteins S dan C, antithrombin III, factor V Leyden, anticardiolipin antibodies, homosistein)
• Foto toraks – Gambaran dilatasi arteri pulmonal sentral – Hipertrofi ventrikel kanan
Pemeriksaan Penunjang
EKG dapat menunjukkan gambaran: • Deviasi aksis ke kanan • Gambaran hipertrofi ventrikel kanan • P-pulmonale yang nampak jelas pada lead II, III, AVF • RBBB • Low voltage QRS
Pemeriksaan Penunjang • Nuclear scanning menilai V/Q (ventilation/ perfusion) • CT scan untuk mengestimasi massa ventrikel kanan jantung
Tatalaksana Cor Pulmonale • Tatalaksana penyakit yang mendasaripenyakit paru • Memperbaiki oksigenasi – Diberikan bila saturasi oksigen >88%, dengan target saturasi oksigen 88%. • Tatalaksana terhadap jantung dan hipertensi pulmonal – Tirah baring – Diet rendah garam – Diuretika – Digitalis – vasodilator (inhibitor fosfodiesterase)
Tatalaksana Medikamentosa • Diuretik – untuk menurunkan load jantung
• Calcium channel blocker, terutama slow release nifedipine dan diltiazem – vasodilatasi arteri pulmonal.
• PDE-5 inhibitor (sildenafil) – melepaskan nitric oxide yang berfungsi untuk vasodilatasi
• Antikoagulan (warfarin) – mencegah trombosis yang sangat sering terjadi pada pasien cor pulmonal
22. Gagal Jantung Kongestif
22. Gagal Jantung Kongestif • Adanya 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor • Kriteria minor dapat diterima bila tidak disebabkan oleh kondisi medis lain seperti hipertensi pulmonal, penyakit paru kronik, asites, atau sindrom nefrotik • Kriteria Framingham Heart Study 100% sensitif dan 78% spesifik untuk mendiagnosis Sources: Heart Failure. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. Archives of Family Medicine 1999.
22. Gagal Jantung
• Contoh aktivitas fisik biasa: berjalan cepat, naik tangga 2 lantai • Contoh aktivitas fisik ringan: berjalan 20-100 m, naik tangga 1 lantai Pathobiology of Human Disease: A Dynamic Encyclopedia of Disease Mechanisms
22. Tata Laksana CHF
Sources: Heart Failure. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.
• MR antagonist mineralocorticoid antagonist or aldosteron antagonist (eg. Spironolactone) • CRT-D cardiac resynchronization therapydefibrillator • CRT-P cardiac resynchronization therapypacemaker • ICD implantable cardioverter defibrillator • LVAD left ventricular assisting device • Ivabradine selective heart rate-lowering agent in If current (sodium and potassium current) in pacemaker cells
22. Gagal Jantung Kongestif
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. LWW; 2011.
22. Penyakit katup Jantung
22. Penyakit katup Jantung
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
22. Penyakit katup Jantung
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
22. Penyakit katup Jantung • Mitral regurgitasi akut – Normal left atrium size and compliance → High left atrium pressure → High pulmonary venous pressure → Pulmonary congestion and edema
• Mitral regurgitasi kronik: – Increased left atrium size and compliance → More normal left atrium and pulmonary venous pressures, but lower forward cardiac output.
22. Penyakit katup Jantung • Gejala klinis mitral regurgitasi/insufisiensi: – MR akut: gejala edema paru – MR kronik: gejala penurunan curah jantung lemah dan cepat lelah, terutama saat aktivitas. – MR berat/sudah disfungsi ventrikel kiri: dispnea, orthopnea, dan/atau paroxysmal nocturnal dyspnea. – MR kronik yang berat: gejala gagal jantung kanan edema perifer
23. Toksisitas Statin • Peningkatan ringan creatin kinase (CK) di plasma dijumpai pada sebagian pasien yang mendapat statin, terutama terkait dengan aktivitas fisik berat. • Faktor risiko miopati akibat statin: – – – – –
Usia > 70 tahun Perempuan Dosis terapi > 1,5 kali dosis maksimum Gangguan fungsi hati/ginjal (klirens kreatinin <30 mL/min/1.73 m 2 Berat badan rendah
• Terapi dapat dilanjutkan pada pasien yang asimptomatik jika aminotransferase diawasi dan stabil. • Jika timbul nyeri otot, nyeri tekan, atau kelemahan otot, maka CK harus diperiksa & obat dhentikan jika aktivitas CK meningkat signifikasn di atas nilai rujukan
23. Toksisitas Statin
24. Penyakit Hepar dan Saluran Empedu
Tipe Ikterik
Anatomi sistem biliaris ekstrahepatik: (a) duktus hepatikus dekstra (b) duktus hepatikus sinistra, (c) duktus hepatikus komunis, (d) arteri hepatika, (e) arteri gastroduodenal, (f) duktus sistikus (g) arteri retroduodenal, (h) duktus biliaris komunis, (i) bagian leher kantung empedu, (j) badan kantung empedu, (k) fundus kantung empedu.
• Bilirubin adalah produk akhir katabolisme porfirin besi atau heme • Hemeoleh enzim heme-oksigenasebiliverdin Bilverdin kemudian direduksi dari methine menjadi methilene, membentuk bilirubin yang difasilitasi oleh enzim biliverdin reduktasebilirubin tak terkonjugasi atau bilirubin indirek (terjadi di sistem retikuloendotelial / SRE) • Di dalam hepatosit, bilirubin berkonjugasi dengan asam glukoronat yang berasal dari uridine diphosphate glucoronic acid (UDP-GA) menghasilkan bilirubin terkonjugasi atau direk.
• Bilirubin direk saluran pencernaan dikonversi menjadi urobilinogen urobilinogen akan diserap kembali dan dikeluarkan di ginjal (urobilin di urin yang memberikan warna kuning urin). • Selain itu uribilinogen juga akan dioksidasi di usus menjadi stercobilin yang akan memberikan feses warna kekuningan. • Pada obstruksi empedu, jumlah bilirubin direk yang sampai ke usus menurun penurunan urobilinogen yang akan dikeluarkan oleh feses feses berwarna pucat
Differential Diagnosis Ikterus Obstruksi • Obstruksi dalam lumen saluran empedu batu, askaris • Kelainan dinding saluran empedu atresia kongenital, striktur traumatik, tumor saluran empedu • Tekanan saluran empedu dari luar tumor kaput pancreas, tumor ampula vater, pancreatitis, metastase di lig hepatoduodenale
25. Hepatitis Hepatitis A • Fecal-oral • No chronicity – IgM: acute infection – IgG: past infection
25. Hepatitis Virus • •
•
•
• •
HBsAg (the virus coat, s= surface) – the earliest serological marker in the serum. HBeAg – Degradation product of HBcAg. – It is a marker for replicating HBV. HBcAg (c = core) – found in the nuclei of the hepatocytes. – not present in the serum in its free form. Anti-HBs – Sufficiently high titres of antibodies ensure imunity. Anti-Hbe – suggests cessation of infectivity. Anti-HBc – the earliest immunological response to HBV – detectable even during serological gap.
Principle & practice of hepatology.
• Blood, sexual, perinatal • Incubation 1-6 (2-3) mo • Acute infection: – 70% subclinical – 30% jaundice – 1% fulminant hepatitis
• Chronicity – 5% (adult-acquired) – 90% (perinatally acquired) – Cirrhosis: 20-30% of chronic hep B
Hepatitis B
25. Hepatitis Virus
25. Hepatitis Virus • Course of HBV infection
25. Hepatitis Virus
25. Hepatitis Virus
Hepatitis C
90% transfusion, 50% IDU Little evidence of sexual or perinatal transmission Incubation 1-5 (2) mo Acute infection:
75% subclinical 25% jaundice
Chronicity
50% Cirrhosis: 20% of chronic
26. Acute Kidney Injury
Acute Tubular Necrosis • Acute kidney injury due to tubular damage is termed “acute tubular necrosis” and accounts for approximately 85% of intrinsic acute kidney injury. • The two major causes of acute tubular necrosis are ischemia and nephrotoxin exposure. – Ischemic acute kidney injury is characterized not only by inadequate GFR but also by renal blood flow inadequate to maintain parenchymal cellular perfusion (50%). – Exogenous nephrotoxins more commonly cause damage than endogenous nephrotoxins.(30%)
Patofisiologi Iskemia renal
Nephrotoxic ATN • Exogenous: aminoglycoside, amphotericin B, radiographic contrast, cyclosporine, cisplatin, tacrolimus, ifosfamide, foscarnet, pentamidine, sulfa drugs, acyclovir, indinacir, ramapycin • Endogenous: rhabdomyolisis, acute-crystal induced nephropathy, multiple myeloma,
Diagnosis • Urinalysis – pigmented, muddy brown, granular casts, suggesting that established ATN is present – These casts may be absent in 20-30% of patients with ATN.
Interstitial Nephritis • Acute interstitial nephritis accounts for 10– 15% of cases of intrinsic renal failure. • An interstitial inflammatory response with edema and possible tubular cell damage is the typical pathologic finding. • Although drugs account for over 70% of cases, acute interstitial nephritis also occurs in infectious diseases, immunologic disorders, or as an idiopathic condition.
Interstitial Nephritis •
• •
•
The most common drugs are penicillins and cephalosporins, sulfonamides and sulfonamide-containing diuretics, NSAIDs, rifampin, phenytoin, and allopurinol. Proton pump inhibitors can also cause acute interstitial nephritis. Infectious causes include streptococcal infections, leptospirosis, cytomegalovirus, histoplasmosis, and Rocky Mountain spotted fever. Immunologic entities are more commonly associated with glomerulonephritis, but SLE, Sjögren syndrome, sarcoidosis, and cryoglobulinemia can cause interstitial nephritis.
Clinical finding • Clinical features can include fever (> 80%), rash (25– 50%), arthralgias, and peripheral blood eosinophilia (80%). • The classic triad of fever, rash, and arthralgias is present in only 10–15% of cases. • The urine often contains white cells (95%), red cells, and white cell casts. • Proteinuria can be a feature, particularly in NSAIDinduced interstitial nephritis, but is usually modest (< 2 g/24 h). • Eosinophiluria is neither very sensitive nor specific but can be detected by Wright or Hansel stain.
27. Anemia
27. Anemia
Hoffbrand essential hematology.
27. Anemia
Harrison’s principles of internal medicine.
28. Penyakit Ginjal
Kidney International Supplements (2012) 2, 8–12; doi:10.1038/kisup.2012.7
28. Penyakit Ginjal
Gangguan pada:
28. Penyakit Ginjal
28. Penyakit Ginjal
28. CKD • Chronic kidney disease (CKD) – encompasses a spectrum of different pathophysiologic processes associated with abnormal kidney function and a progressive decline in GFR. • Etiology: DM, hypertension, glomerulonephritis, druginduced, myeloma. Signs & Symptoms of Uremia General
Nausea, anorexia, malaise, fetor uremicus, pruritus
Neurologic
Encephalopathy, seizures, neuropathy
Cardiovascular
Pericarditis, accelerated atherosclerosis
Hematologic
Anemia due to erythropoietin deficiency, bleeding (due to platelet dysfunction)
Metabolic
Hyperkalemia, hyperphosphatemia, hypocalcemia
28. Sindrom Uremikum • Sindrom uremikum: sindrom klinis yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, hormon, dan metabolik yang terjadi seiring dengan penurunan fungsi ginjal. • Ditandai dengan: – Retensi cairan – Peningkatan Ureum dalam darah – Asidosis metabolik – Gangguan elektrolit, terutama kalium
28. Uremia • Uremia describes the final stage of progressive renal insufficiency and the resultant multiorgan failure. • It results from accumulating metabolites of proteins and amino acids and concomitant failure of renal catabolic, metabolic, and endocrinologic processes. • No single metabolite has been identified as the sole cause of uremia. • Uremic encephalopathy (UE) is one of many manifestations of renal failure (RF).
29. AV Block
Algoritme Bradikardi
30. Diabetes Mellitus • Kriteria diagnosis DM: 1. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau 2. Glukosa darah-2 jam ≥200 mg/dL pada Tes Toleransi Glukosa Oral dengan beban glukosa 75 gram, atau 3. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL dengan keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia, unexplained weight loss), atau
4. Pemeriksaan HbA1C ≥6,5% dengan metode HPLC yang terstandarisasi NGSP Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.
Diabetes Melitus • Modifikasi Gaya hidup
• Mulai monoterapi oral
• Modifikasi Gaya hidup • Monoterapi oral obat golongan (a)/(b)
• Kombinasi 2 obat dengan mekanisme kerja yang berbeda
HbA1c <7% HbA1c 7-9%
HbA1c ≥9%
• Diberikan Kombinasi 2 obat lini pertama dan obat lain dengan mekanisme kerja yang berbeda
HbA1c ≥10% atau • Metformin + insulin basal ± prandial atau GDS>300 dgn • Metformin + insulin Gejala basal + GLP-1 RA metabolik
Evaluasi 3 bulan, bila HbA1c >7%
HbA1c> 7%
Insulin basal plus/bolus atau premix
Perkeni. 2015
• Kombinasi 3 obat
Tidak mencapai target
a. Obat efek samping minimal/ keuntungan lebih banyak • Metformin • Alfa glukosidase inhibitor • Dipeptidil peptidase 4inhibitor • Agonis glucagone like peptide-1
b. Obat yang harus digunakan dengan hati-hati • Sulfonil urea • Glinid • Tiazolidinedion • SGLT 2-i
Kombinasi 3 obat a. Metformin + SU + TZD atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA d. Insulin basal b. Metformin + TZD + SU atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA d. Insulin basal c. Metformin + DPP 4i + SU atau a. TZD b. SGLT-2i c. Insulin basal d. Metformin + SGLT 2i +SU a. TZD b. DPP-4i c. Insulin basal e. Metformin + GLP 1-RA + SU a. TZD b. Insulin basal f. Metformin + insulin basal +TZD atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA
HbA1C
Pengobatan
Keterangan
<7%
Gaya hidup sehat (GHS)
Evaluasi HbA1C 3 bulan
7-<9%
GHS + monoterapi oral
Evaluasi 3 bulan, jika HbA1C tidak mencapai <7%, tingkatkan menjadi 2 obat
>9%
GHS + kombinasi 2 obat
Jika HbA1C tidak mencapai <7%, tingkatkan menjadi 3 obat; Jika tidak tercapai dengan 3 obat berikutnya adalah insulin basal plus/bolus atau premix
>10% atau GDS Metformin + Insulin basal + Target HbA1C <7% atau individual >300
dengan insulin prandial atau
gejala
Metformin + insulin basal +
metabolik
GLP-1 RA
30. Diabetes Mellitus
Intensive Insulin Therapy
31. Torsio Testis
32. Cedera Meniskus • Sering terjadi pada olahraga yang melibatkan gerakan berputar dan squat seperti pada bola basket, sepak bola atau bulu tangkis. • Mekanisme cedera meniskus – akibat gerakan berputar dari sendi lutut – akibat gerakan squat atau fleksi (menekuknya) sendi lutut yang berlebihan.
Tes-tes Meniskus Pada Regio Knee (Lutut) Tes Apley • Posisi pasien : telungkup, dengan lutut fleksi ± 90˚. • Pegangan : pada kaki disertai dengan pemberian tekanan vertikal ke bawah • Gerakan: • Putar kaki ke eksorotasikompresi pada meniscus lateralis • Putar kaki endorotasikompresi pada meniscus medialis • Positif bila ada nyeri dan bunyi “kIik”.
Tes McMurray • Posisi pasien : telentang dengan pancjgul ± 110˚ fIeksi, tungkai bawah maksimal feksi. • Pegangan : tangan pasif pada tungkai atas sedekat mungkin dengan lutut, tangan aktif memegang kaki. • Gerakan : • Tungkai bawah ekstensi disertai dengan tekanan ke valgus dan eksorotasiprovokasi nyeri pada meniscus Iateralis dan bunyi “kIik” • Gerakan tungkai bawah ekstensi disertai dengan tekanan ke varus dan endorotasi provokasi nyeri pada meniscus medialis dan bunyi “kIik”
Tes Steinman • Posisi pasien : telentang, dengan lutut lurus • Pegangan: tangan aktif pada kaki, tangan pasif memegang lutut dari arah depan dengan ibu jari memberi tekanan pada celah sendi bagian medial (letak berpindah-pindah) untuk provokasi nyeri tekan. • Gerakan : • Gerakkan tungkai bawah ke arah fleksi dan ekstensi • Positif bila ada nyeri tekan yang berpindah letak saat posisi lutut (ROM) berubah.
33. Fraktur Le Fort • Fraktur Le fort merupakan tipe fraktur tulangtulang wajah yang merupakan hal klasik terjadi pada trauma-trauma pada wajah. • Le Fort berasal dari nama seorang ahli bedah Perancis yaitu Rene Le Fort (1869-1951) yang mendeskripsikannya pertama kali pada awal abad 20.
Anatomi Maksila
Anatomi Maksila
Anatomi Sinus
Anatomi Septum Nasi
Etiologi • Traumatic fracture – Perkelahian – Kecelakaan – Tembakan
• Pathologic fracture – Penyakit tulang setempat – Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah patah
Fraktur Le Fort I (horizontal) • Extra oral : – Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum. – Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris. – Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena fraktur, kadangkadang terdapat infraorbital echymosis dan subconjunctival echymosis. – Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior rahang atas dan rahang bawah telah kontak lebih dulu.
• Intra oral : – Echymosis pacta mucobucal rahang atas. – Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-kadang disertai goyangnya gigi dan lepasnya gigi. – Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi yang luka, gigi fraktur atau lepas. – Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah.
Fraktur Le fort II (pyramidal) • Extra oral : – Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah tersebut terasa sakit. – Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas hidung. – Bilateral circum echymosis, subconjunctival echymosis. – Perdarahan dari hidung yang disertai cairan cerebrospinal.
• Intra oral : – Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke depan – Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar mengunyah. – Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum lidah tertekan sehingga timbul kesukaran bernafas. – Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio, luxatio. – Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan, pada bagian hidung terasa adanya step atau bagian yang tajam dan terasa sakit.
Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) • Extra oral : – – – –
Pembengkakan hebat pada muka dan hidung. Perdarahan pada palatum, pharinx, sinus maxillaris, hidung dan telinga. Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjunctival echymosis. Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan N.opticus dan saraf motoris dari mata yang menyebabkan diplopia, kebutaan dan paralisis bola mata yang temporer. – Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata. – Adanya cerebrospinal rhinorrhoea dan umumnya bercampur darah. – Paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen yang menyebabkan Bell’s Palsy.
• Intra oral : – – – –
Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang berat. Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan. Perdarahan pada palatum dan pharynx. Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah.
34. Klasifikasi Syok Penyebab syok dapat diklasifikasikan sebagai berikut: • Syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri): (a) Penyakit jantung iskemik, seperti infark; (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; dan (c) Gangguan irama jantung. • Syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah): (a) Kehilangan darah, misalnya perdarahan; (b) Kehilangan plasma, misalnya luka bakar; dan (c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen usus). • Syok obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung): (a) Tamponade jantung; (b) Pneumotorak; dan (c) Emboli paru. • Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer): (a) Syok neurogenik; (b) Cedera medula spinalis atau batang otak; (c) Syok anafilaksis; (d) Obat-obatan; (e) Syok septik; serta (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya tahanan pembuluh darah perifer.
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
Resusitasi Cairan
35. Kondrosarkoma • Merupakan tumor ganas yang terdiri dari sel-sel kartilago (tulang rawan) yang dapat tumbuh spontan (kondrosarkoma primer) • Ditemukan usia antara 30-60 tahun. • Neoplasma ini tumbuhnya agak lambat dan hanya memberikan sedikit keluhan. • Neoplasma ini lambat memberikan metastase.
Lokasi : Terutama mengenai tulang ceper seperti pelvis dan skapula, tetapi dapat juga didapat pada tulang panjang seperti femur dan humerus. Klinis: Keluhan penderita adalah adanya masa tumor yang menjadi besar secara perlahan-lahan. • Patologi : • Tampak sel-sel ganas diantara tulang lamellar didalam sumsum tulang yang membentuk tulang rawan. Gambaran mitosis tidak begitu banyak. • Terapi : • Operasi reseksi luas, kalau perlu amputasi. Terapi adjuvan seperti radioterapi, kemoterapi tidak menolong.
Radiologi • Tampak sebagai lesi osteolitik ditengah metafisis tulang dengan bercakbercak kalsifikasi yang berasal dari matriks kartilago disertai proses destruksi kortek (endosteal scalloping), sehingga tumor dapat dilihat meluas ke jaringan lunak disekitarnya.
Chondrosarcoma Tumors vary in degree of cellularity, cytologic atypia and mitotic activity Low grade: mild hypercellularity, plump vesicular nuclei with small nucleoli, and sparse mitotic figures
High grade: extreme pleomorphism with bizarre tumor giant cells and mitoses
36. Airway Management
ATLS Coursed 9th Edition
Cervical in-lin immobilization
Indikasi Airway definitif
Krikotirotomy Suatu insisi untuk mengamankan jalan nafas pasien selama situasi keadaan darurat tertentu, misalnya adanya benda asing di saluran nafas, edema saluran nafas, pasien yang tidak mampu bernafas dengan sendiri secara adekuat, atau pada kasus trauma berat wajah yang menghalangi masuknya endotrakeal tube melalui mulut.
TEKNIK KRIKOTIROTOMI : • Pasien tidur terlentang, kepala ekstensi • Cari daerah antara puncak tulang rawan tiroid dan kartilago krikoid • Infiltrasi dengan anastetikum • Buat sayatan • Tusukkan pisau dengan arah ke bawah • Masukkan kanul atau bila tidak tersedia bisa pipa plastik untuk sementara
LEBIH DARI 24 JAM
MENGIRITASI JARINGAN DI SEKITAR SUBGLOTIS
TERBENTUK JARINGAN GRANULASI
STENOSIS SUBGLOTIK
37. TNM Ca Mammae
Prognosis dan tingkat penyebaran tumor I. T1 N0 M0 (kecil, terbatas pada mammae) → 85 % II. T2 N1 M0 (tumor lebih besar; kelenjar terkena tetapi terbebas dari sekitarnya) → 65 % III. T0-2 N2 M0, T3 N1-2 M0 (kanker lanjut dan penyebaran ke kelenjar lanjut, tetapi semuanya terbatas di lokoregional) → 40 % IV. T1-4 N1-3 M1 (di luar lokoregional) →10 % Lokoregional dimaksudkan untuk daerah yang meliputi struktur dan organ tumor primer, serta pembuluh limfe, daerah saluran limfe dan kelenjar limfe dari struktur atau organ yang bersangkutan
I IIA
T1N0 T1N1 T2N0
IIB
T2N1 T3N0
IIIA
T1N2 T2N2 T3N1 T3N2
IIIB
T4N0 T4N1 T4N2
IIIC IV
N3 M1
• Localized breast cancer – Surgery is mainstay – Halsted, 1882, radical mastectomy • John Hopkins
• Metastatic breast cancer – Systemic treatment
38. Osteoporosis PENYAKIT DENGAN SIFAT-SIFAT KHAS BERUPA MASSA TULANG YANG RENDAH, DISERTAI PERUBAHAN MIKRO-ARSITEKTUR TULANG, DAN PENURUNAN KUALITAS JARINGAN TULANG, YANG PADA AKHIRNYA MENIMBULKAN AKIBAT MENINGKATNYA KERAPUHAN TULANG DENGAN RESIKO TERJADINYA PATAH TULANG (SURYATI 2006)
KELAINAN KERANGKA, DITANDAI DENGAN KEKUATAN TULANG YANG MENGKHAWATIRKAN DAN DIPENGARUHI OLEH MENINGKATNYA RESIKO PATAH TULANG. SEDANGKAN KEKUATAN TULANG MEREFLEKSIKAN GABUNGAN DARI DUA FACTOR, YAITU DENSITAS TULANG DAN KUALITAS TULANG (JUNAIDI,2007)
KLASIFIKASI 1. Osteoporosis primer • •
bukan disebabkan penyakit berkurangnya masa tulang dan atau terhentinya produksi hormon estrogen disamping bertambahnya usia
Tipe 1
• osteoporosis pasca menopouse • wanita berusia 5065 tahun
Tipe 2
• istilah osteoporesis senil • lebih dari 70 tahun
2. Osteoporosis Skunder
oleh berbagai penyakit tulang (kronik rheumatoid, artritis, TBC spondilitis, osteomalacia
FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS DAN FRAKTUR PADA PASIEN OSTEOPOROSIS
Resiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS DAN FRAKTUR PADA PASIEN OSTEOPOROSIS
Faktor Risiko Yang Dapat Dimodifikasi
Gejala Osteoporosis
Nyeri tanpa fraktur
Nyeri dengan fraktur
Depresi, ketakutan, dan rasa rendah diri karena keterbatasan fisik
Deformitas vertebra thorakalis Penurunan tinggi badan
Diagnosis Diagnosis osteoporosis umumnya secara klinis sulit dinilai, karena tidak ada rasa nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi walau osteoporosis lanjut. Khususnya pada wanita-wanita menopause dan pasca menopause, rasa nyeri di daerah tulang dan sendi dihubungkan dengan adanya nyeri akibat defisiensi estrogen. Jadi secara anamnesa mendiagnosis osteoporosis hanya dari tanda sekunder yang menunjang terjadinya osteoporosis seperti : • Tinggi badan yang makin menurun. • Obat-obatan yang diminum. • Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi, klimakterium. • Jumlah kehamilan dan menyusui. • Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi. • Apakah sering beraktivitas di luar rumah , sering mendapat paparan matahari cukup. • Apakah sering minum susu? Asupan kalsium lainnya. • Apakah sering merokok, minum alkohol?
Pemeriksaan Radiologis • Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra. Pemeriksaan Densitas Massa tulang (Densitometri) • Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan resiko fraktur . untuk menilai hasil pemeriksaan Densitometri tulang, digunakan kriteria kelompok kerja WHO, yaitu: • Normal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas massa tulang orang dewasa muda (T-score) • Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari Tscore. • Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang. • Osteoporosis berat yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur.
39. Sprained wrist • Cedera ligamen pergelangan tangan • Grading – Grade 1. Mild sprain, terjadi karena peregangan (stretched) ligamen, namun tidak terdapat robekan. – Grade 2. Moderate sprain, terjadi robekan partial dari ligamen. Dapat menyebabkan penurunan fungsi. – Grade 3. Severe sprain, ligamen terputus. Memerlukan tindakan opersi. Menyebabkan fraktur avulsi akibat tarikan dari ligamen yang terputus.
• Penyebab, paling sering karena terjatuh dengan posisi tangan hiperekstensi. • Gejala – Bengkak – Nyeri saat trauma terjadi – Nyeri persisten saat menggerakan tangan – Hematom/ eritem – Peningkatan suhu – ROM terbatas http://orthoinfo.aaos.org/
Pemeriksaan Penunjang • X-ray: melihat adanya fraktur. • Pemeriksaan lain: MRI, CT scan, dan arthrogram.
The arrow points to a gap between the scaphoid and lunate bones, indicating a complete tear of the Scapho-Lunate ligament.
40. Sertoli-Cell Only Syndrome • Sertoli-Cell Only Syndrome (SCO), disebut juga germ cell aplasia, adalah suatu kondisi dimana hanya terdapat sel-sel sertoli di tubulus seminiferus. • Dialami pria usia 20-40 tahun yang infertilitas dan ditemukan kondisi azoospermia. • Diagnosis pasti berdasarkan hasil biopsi jaringan testikular.
Etiology • Most cases are idiopathic (of unknown cause) • Deletions in the azoospermia factor (AZF) region of the Y chromosome or y-chromosome microdeletions Y chromosome infertility • Klinefelter syndrome • Exposure to chemicals or toxins • History of radiation therapy • History of severe trauma. http://emedicine.medscape.com/article/437884-workup#showall
Interaksi Hipotalamus-Testis
• Belum diketahui mekanisme yang mendasari SCO • Salah satu kondisi sistemik yang dapat menyebabkan SCO antara lain klinefelter syndrome • Pada klinefelter syndrome dapat disertai SCO dan Leydig cell hyperplasia
Presentation • Infertility • Physical examination: – Testes small to normal size, normal shape and consistency – Normal virilization without gynecomastia
• Laboratorium findings – Testosterone Normal – Azoospermia – Elevated FSH2.5-3 times the reference range
Klinifelter syndrome
Kallman Syndrome • Secondary hypogonadotropic hypogonadism • Presentation: – – – – – – – – – – –
http://emedicine.medscape.com/article/122824-clinical
Delayed or absent puberty Micropenis Undescended testes Hyposmia or anosmia Do not develop secondary sex characteristics Unilateral renal agenesis) abnormalities of bones in the fingers or toes cleft palate abnormal eye movements hearing loss abnormalities of tooth development
41. Tenosinovitis • Tenosinovitis adalah tendinitis yang disertai dengan peradangan pada selubung pelindung di sekeliling tendon.
42. Supracondylar Fracture • Fraktur siku tersering pada anak-anak – Usia < 8 tahun
• Mekanisme – Extension (95%) vs flexion – Posisi menahan dengan tangan ekstensi – Posisi menahan dengan siku fleksi
Mechanism
Clinically • Mild swelling to gross deformity • Arm held to side, immobile, extension • S-shaped configuration angulasi lengan atas • Gartland – I - nondisplaced – II - displaced with intact posterior cortex – III - displaced fracture, no intact cortex • A: posteromedial rotation of distal fragment • B: posterolateral rotation
Gartland type I
Gartland type II
Gartland type III
Management • If NeuroVascular compromise - urgent ortho consult • If no response from ortho in 60 min may attempt 1 reduction • Watch brachial artery and median nerve • Gartland I – splint+ sling and ortho f/u 24h • Gartland II - controversy but most get pinned • Gartland III - closed reduction and pin
http://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/fractures/Supracondylar _fracture_of_the_humerus_Emergency_Department/
Supracondylar Fracture-Reduction
U-slab http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00513
• Conservative treatments take longer time, risk of malunion, need more radiographic examination • Surgery is the treatment of choice • Temporary immobilization with arm-sling, surgery as soon as possible
Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D. Handbook of Fractures, 3rd Edition Lippincott Williams & Wilkins 2006
Metode penanganan konservatif pada fraktur Suprakondiler Humerus • Diindikasikan pada anak undisplaced/ minimally displaced fractures atau pada fraktur sangat kominutif pada pasien dengan lebih tua dengan kapasitas fungsi yang terbatas. • Pada prinsipnya adalah reposisi dan immobilisasi. • Pada undisplaced fracture hanya dilakukan immobilisasi dengan elbow fleksi selama tiga minggu Indikasi Operasi • Displaced fracture • Fraktur disertai cedera vaskular • Fraktur terbuka • Pada pendenta dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler sering kali menghasilkan fragmen distal yang komunitif dengan garis patahnya berbentuk T atau Y. Untuk menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi yaitu reposisi terbuka dan fiksasi fragmen fraktur dengan fiksasi yang rigid.
43. Urachal abnormalities
44. Atresia Duodenum
GIT Congenital Malformation Disorder
Clinical Presentation
Hirschprung
Congenital aganglionic megacolon (Auerbach's Plexus) Fails to pass meconium within 24-48 hours after birth,chronic constipation since birth, bowel obstruction with bilious vomiting, abdominal distention, poor feeding, and failure to thrive, Chronic Enterocolitis. RT:Explosive stools . Criterion standardfull-thickness rectal biopsy. Treatment remove the poorly functioning aganglionic bowel and create an anastomosis to the distal rectum with the healthy innervated bowel (with or without an initial diversion)
Anal Atresia
Anal opening (-), The anal opening in the wrong place,abdominal distention, failed to pass meconium,meconium excretion from the fistula (perineum, rectovagina, rectovesica, rectovestibuler). Low lesionthe colon remains close to the skin stenosis anus, or the rectum ending in a blind pouch. High lesionthe colon is higher up in the pelvis fistula
Hypertrophic Pyloric Stenosis
Hypertrophy and hyperplasia of the muscular layers of the pylorus functional gastric outlet obstruction Projectile vomiting, visible peristalsis, and a palpable pyloric tumor(Olive
Disorder
Clinical Presentation
Oesophagus Atresia
Congenitally interrupted esophagus Drools and has substantial mucus, with excessive oral secretions,. Bluish coloration to the skin (cyanosis) with attempted feedings Coughing, gagging, and choking, respiratory distressPoor feeding
Intestine Atresia
Malformation where there is a narrowing or absence of a portion of the intestine Abdominal distension (inflation), fails to pass stools, Bilious vomiting
http://en.wikipedia.org/wiki/
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth
Congenital Malformation
Atresia anii
Duodenal atresia
Intussusception
Hirschprung
http://emedicine.medscape.com/
Learningradiology.om
Duodenal atresia. Doble buble sign
Ileal atresia. Upright radiograph of the abdomen demonstrates many dilated loops of bowel and air-fluid levels
Jejunal atresia: The “triple bubble” sign on the erect plain abdominal radiograph.
Atresia Intestin Atresia Jejunum merupakan atresia tersering 1 per 2,000 live births Atresia terjadi karena adanya oklusi pembuluh darah sebagian atau seluruhnya yang memperdarahi usus, terjadi in utero Classification--Types I-IV Gejala Klinis: Muntah hijau Distensi Abdomen Tidak dapat mengeluarkan meconium (70%)
http://radiopaedia.org/articles/annular-pancreas
Annular pancreas
• Ventral bud fails to rotate normally, creating a ring of pancreas which encircles the duodenum • Rare: 1 in 20,000 births • Clinical presentation varies • Duodenal obstruction in neonate (vomiting) • Asymptomatic until adulthood: pancreatitis of annulus
• Abdominal X-ray: “double bubble” (stomach and dilated duodenum)difficult to distinguish from atresia duodenum • Radiologic exam: MRI/MRCP or CT scan – Pancreatic tissue is seen to completely or incompletely surround the 2nd part of duodenum
• Rx: surgery if symptomatic duodenal obstruction
Annular pancreas: pathology
Cross-section above: annular pancreas surrounding duodenum
https://www.med-ed.virginia.edu/courses/rad/peds/abd_webpages/abdominal15b.html
Hipertrofi Pilorik Stenosis
• Foto Polos Abdomen:
– Dapat ditemukan gambaran “single bubble” • Dilatasi dari gaster akibat udara usus yang tidak dapat melewati pilorus
– Gambaran “Caterpillar sign” • Terjadi akibat hiperparistaltik pada gaster
• Barium Meal: – Mushroom sign – String sign – Double tract sign
45. Abses Mammae • Kasus yang jarang terjadi • komplikasi dari mastitis • dapat terjadi selama menyusui • biasanya pada primipara.
• Gejala klinis: • Rubor, calor, dolor, functio laesa. • Pemeriksaan penunjang menyerupai Ca
• Epidemiologi: • 5-11% wanita menyusui dengan mastitis terinfeksi. http://emedicine.medscape.com/
• Etiologi • Dominan Staphylococcus aureus • Staphylococcus epidermidis • Proteus mirabilis.
• Risiko meningkat pada orang-orang dengan Diabetes mellitus
Klasifikasi • Puerperal abscesses • sering pada wanita dengan primipara
• non-puerperal central abscesses • jenis tersering pada non breast feeding abscess • banyak terjadi pada wanita muda, terutam perokok
• non-puerperal peripheral abscesses • lebih jarang ditemui • Ditemui pada wanita yang lebih tua dengan kondisi medis kronik seperti diabetes, reumatoid artritis, riwayat penggunaan steroid atau mengealami riwayat intervensi di area dada
Pemeriksaan Radiologi • USG mammae • pemeriksaan initial • dapat juga digunakan untuk evaluasi terapi. • Karakteristik abses mammae: – hypoechoic collecition, mostly multiloculated – no vascularity within the collection – accoustic enhancement due to fluid content – an echogenic, vascular rim
• Mammography • jarang digunakantidak spesifik • Direkomendasikan bila ada kecurigaan kemungkinan keganasan pada non-puerpural abscesses.
Mastitis & Abses Payudara: Tatalaksana Tatalaksana Umum • Tirah baring & >> asupan cairan • Sampel ASI: kultur dan diuji sensitivitas Tatalaksana Khusus • Berikan antibiotika : – Kloksasilin 500 mg/6 jam PO , 10-14 hari ATAU – Eritromisin 250 mg, PO 3x/hari, 10-14 hari • Tetap menyusui, mulai dari payudara sehat. Bila payudara yang sakit belum kosong setelah menyusui, pompa payudara untuk mengeluarkan isinya. • Kompres dingin untuk << bengkak dan nyeri. Berikan parasetamol 3x500mg PO • Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra yang pas. • Lakukan evaluasi setelah 3 hari.
Abses Payudara • Stop menyusui pada payudara yang abses, ASI tetap harus dikeluarkan • Bila abses >> parah & bernanah antibiotika • Rujuk apabila keadaan tidak membaik. • Terapi: insisi dan drainase • Periksa sampel kultur resistensi dan pemeriksaan PA • Jika abses diperkirakan masih banyak tertinggal dalam payudara, selain drain, bebat juga payudara dengan elastic bandage 24 jam tindakan kontrol kembali untuk ganti kassa. • Berikan obat antibiotika dan obat penghilang rasa sakit
46. Trauma Dada Diagnosis
Etiologi
Tanda dan Gejala
Hemotoraks
Laserasi pembuluh darah di kavum toraks
• Ansietas/ gelisah, takipneu, tanda-tanda syok, takikardia, Frothy/ bloody sputum. • Suara napas menghilang pada tempat yang terkena, vena leher mendatar, perkusi dada pekak.
Simple pneumotoraks
Trauma tumpul spontan
• Jejas di jaringan paru sehingga menyebabkan udara bocor ke dalam rongga dada. • Nyeri dada, dispneu, takipneu. • Suara napas menurun/ menghilang, perkusi dada hipersonor
Open pneumotoraks
Luka penetrasi di • Luka penetrasi menyebabkan udara dari luar area toraks masuk ke rongga pleura. • Dispneu, nyeri tajam, empisema subkutis. • Suara napas menurun/menghilang • Red bubbles saat exhalasi dari luka penetrasi • Sucking chest wound
Diagnosis
Etiologi
Tanda dan Gejala
Tension pneumotoraks
Udara yg terkumpul • Tampak sakit berat, ansietas/gelisah, di rongga pleura tidak • Dispneu, takipneu, takikardia, distensi dapat keluar lagi vena jugular, hipotensi, deviasi trakea. (mekanisme pentil) • Penggunaan otot-otot bantu napas, suara napas menghilang, perkusi hipersonor.
Flail chest
Fraktur segmental • Nyeri saat bernapas tulang iga, • Pernapasan paradoksal melibatkan minimal 3 tulang iga.
Efusi pleura
CHF, pneumonia, keganasan, TB paru, emboli paru
• Sesak, batuk, nyeri dada, yang disebabkan oleh iritasi pleura. • Perkusi pekak, fremitus taktil menurun, pergerakan dinding dada tertinggal pada area yang terkena.
Pneumonia
Infeksi, inflamasi
• Demam, dispneu, batuk, ronki
47. Dislokasi Sendi Siku • Dislokasi siku merupakan dislokasi pada sendi besar yang paling sering kedua pada orang dewasa. (paling sering dislokasi bahu). • Simple dislocation • dislokasi tanpa fraktur
• Complex dislocation • dengan fraktur, paling sering caput radialis.
• Terrible triad of elbow • dislokasi posterior + fraktur prosesus koronoideus + fraktur caput radialis • Cedera berat, penyembuhan lama, dengan outcome yang buruk. http://orthoinfo.aaos.org/
http://orthoinfo.aaos.org/
Patologis • Epidemiologi 10-25% pada kasus cedera siku pada orang dewasa. • Kebanyakan dislokasi sendi adalah cedera tertutup • Paling sering dislokasi posterior (terkadang posterolateral atau posteromedial) – Biasanya terjadi akibat jatuh pada posisi lengan ekstensi, baik hiperektensi atau posterolateral rotatory mechanism.
• Dislokasi anterior, medial, alteral, atau divergentjarang terjadi. http://orthoinfo.aaos.org/
Pemeriksaan Radiologis • Plain X-rays (AP dan lateral) cukup membantu diagnosis, sedangkan CT-scan sering digunakan untuk evaluasi pre-operatif dari intra-artikularis. • Hal-hal yang perlu diperhatikan foto polos sendi siku: – Arah dislokasi, posterior, posterolateral, posteromedial, lateral, medial, atau divergent. – Fraktur • Tersering fraktur: caput radialis, prosesus koronoideus • Fraktur lain yang sering menyertai: condilus lateral, capitellum, olecranon
– Foto polos pergelangan tangan dan bahu perlu dievaluasi, apabila terdapat gejala klinis. http://radiopaedia.org/
• Atas (2 gambar): dislokasi posterior • Kanan: – dislokasi disertai fraktur collum radialis
http://radiopaedia.org/
• Atas kiri: dislokasi dengan fraktur prosesus koronoideus • Atas kanan: terrible triad olf elbow • Kiri: dislokasi medial http://radiopaedia.org/
Tatalaksana • Simple dislocation • Closed reduction (prone technique) sebaiknya dilakukan spesialis orthopedi, menggunakan sedasi dan analgetik • Dilanjutkan dengan imobilisasi (min 2minggu), lengan fleksi 90o.
• Complex dislocation • ORIF • Outcome biasanya buruk • Komplikasiosteoartritis, ROM terbatas, instabilitas, dan dislokasi rekuren.
• Pada dislokasi dengan luka terbuka sering terjadi jejas pada arteri brakialis.
48. Divertikulum Meckel • Divertikulum Meckel merupakan malformasi kongenital dari traktus gastrointestinal yang paling sering ditemukan, yaitu sekitar 2%-4% dari populasi. – Malformasi dari karena adanya persistensi dari duktus vitellointestinal/ omphalomesenterik yang gagal mengalami penutupan dan absorpsi.
• Komplikasi: – Ulkus – Pendarahan • komplikasi yang tersering 20-30%
– obstruksi usus kecil – Divertikulitis – perforasi Sagar J, Kumar V, Shah DK. Meckel’s diverticulum: a systematic review. J R Soc Med. 2006;99:501-505.
Divertikulum Meckel adalah kelainan bawaan yang mengikuti “rule of two” (kelainan bawaan serba dua), yaitu : • Kelainan kongenital yang paling sering terjadi dengan prevalensi 2% populasi • Perbandingan kejadian antara laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 • Ditemukan 2 kaki (sekitar 60 cm) dari valvula ileosekal (valvula Bauhini) • Di dalamnya mungkin terdapat dua jenis jaringan heteropik, yaitu mukosa lambung dan jaringan pankreas • Dua penyakit dapat timbul di dalamnya,yaitu divertikulitis dan tukak peptik • Dua penyulit yang dapat terjadi, yaitu perforasi pada divertikulitis akut atau tukak peptik dan perdarahan tukak peptik • Sebagian besar pasien menunjukkan gejala-gejala divertikulum Meckel pada usia di bawah 2 tahun.
Sagar J, Kumar V, Shah DK. Meckel’s diverticulum: a systematic review. J R Soc Med. 2006;99:501-505.
Gambaran Klinis dan Komplikasi • Kebanyakan dari pasien yang menderita Divertikulum Meckel tidak menunjukkan gejala • Lebih sering ditemukan secara insidental pada pemeriksaan barium maupun laparotomi. • Gejala yang timbul pada kelainan ini lebih cenderung akibat dari komplikasi yang timbul. • Komplikasi: • • • • • •
Obstruksi usus (35%) pendarahan (32%) brick red/ current jelly stool, diverticulitis (22%) kelainan umbilikus (10%) Hernia liitre neoplasma.
Jenis-jenis kelainan tubulus omphalomesenterik. a. Fistula umbilikoileal, b. Sinus duktus omphalomesenterik, c. Kista duktus omphalomesenterik, d. Pita fibrosis, e. Divertikulum Meckel dengan paten pita fibrosis, f. Divertikulum Meckel dengan obliterasi penuh
Pemeriksaan penunjang imaging. A. Studi barium dengan gambaran lipatan triradiate, B. Technetium-99m-labeled RBC Study menunjukkan adanya perdarahan kuadran kanan bawah, C. Angiografi dengan gambaran arteri vitellointestinal, D. Skintigrafi Tc-99m pertechnetate dengan gambaran fokus small uptake atau hotspot, E. Enteroklisis dengan gambaran kelainan pengisian elongasi tubulus, F. CT-scan dengan gambaran divertikulum distended fluid-filled dengan leher pendek, G. CT-scan pelvis dengan gambaran Divertikulum Meckel berupa blind ending segmen tubulus usus, H. USG transverse abdomen kanan bawah dengan gambaran target-like mass dengan sentral hipoechogendari inti lemak mesenteric yang dikelilingi oleh dinding divertikulum dan usus, I. USG longitudinal pelvis dengan gambaran blind-ending dan kista seperti tubulus berisikan echo internal dengan debris, J. CT-scan dengan gambaranenterolit pada leher divertikulum.
49. Triage
50. Kontusio Paru • Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat. • Kontusio paru adalah kerusakan jaringan paru yang terjadi pada Paru yang ditandai dengan hemoragi dan edema setempat. • Kontusio paru berhubungan dengan trauma ketika terjadi kompresi dan dekompresi cepat pada dinding dada yaitu trauma tumpul
Klasifikasi Kontusio Paru • Ringan : nyeri saja. • Sedang : sesak nafas, mucus dan darah percabangan bronchial, batuk tetapi tidak mengeluarkan sekret. • Berat : sesak nafas hebat, takipnea, takhikardi, sianosis, agitasi, batuk produktif dan kontinyu, secret berbusa, berdarah dan mukoid.
Tanda & Gejala • • • • • • • • • •
Takipnea. Takikardi. Nyeri dada. Dispnea. Batuk disertai sputum atau darah. Suara nafas Ronchi, melemah. Perkusi redup Ekimosis. Hipoksemia berat. Respiratori distress.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK • RO thorak: menunjukkan memar paru yang berhubungan dengan patah tulang rusuk dan emfisema subkutan • Ro thoraks: menunjukkan gambaran Infiltrat, tanda infiltrat kadang tidak muncul dalam 1224 jam.
51. Osteomielitis • Klasifikasi: – direct/ eksogen – Hematogen
• menurut perjalanan penyakitnya: – Akut: dalam dua minggu setelah onset penyakit – Subakut: antara satu sampai 2 bulan – Kronik: >2 bulan.
51. Osteomyelitis kronik • Osteomielitis yang terjadi dalam 2 bulan atau lebih sejak infeksi pertama. • Umumnya merupakan kelanjutan dari osteomielitis akut yang tidak terdiagnosis atau tidak diterapi secara adekuat.
MANIFESTASI KLINIS • Nyeri tulang yang terlokalisir dan hilang timbul • Disertai demam • Terdapat cairan pus yang keluar dari suatu luka pasca operasi • Eritema pada daerah disekitar luka • Terdapat tanda utama (kardinal) yaitu timbulnya saluran sinus, deformitas instabilitas dan tanda lokal dari vaskularisasi yang rusak, keterbatasan gerak dan gangguan neurologis
PEMERIKSAAN RADIOLOGI Sekuestrum (bangunan dense dikelilingi lusentulang yang mati dikelilingi oleh pus) Involucrum (pembentukan tulang baru di sekitar tulang yang mengalami destruksi) Korteks menebal/sklerotik dan berkelok-kelok Kanalis medularis menyempit hingga gambaran medula menghilang Brodie’s abcess (di dalam spongiosa dekat ujung tulang abses bulat/oval,lusen dengan batas tegas dikelilingu zona sklerotik, bisanya tanpa sekuester dan tanpa elevasi periosteal.
Osteomyelitis, chronic. Sequestrum of the lower tibia
Osteomyelitis, chronic. Sclerosing osteomyelitis of the lower tibia. Note the bone expansion and marked sclerosis.
radiologik dari abses Brodie yang dapat ditemukan pada osteomielitis sub akut/kronik. Pada gambar terlihat kavitas yang dikelilingi oleh daerah sclerosis.
Diagnosis banding
Komplikasi
• Tumor benigna dan maligna
• • • • •
Anemia Penurunan berat badan Kelemahan dan amiloidosis. Arhtritis purulenta Fraktur patologis
TERAPI • Antibiotik • Bertujuan untuk : • Mencegah terjadinya penyebaran infeksi pada tulang sehat lainnya. • Mengontrol eksaserbasi
•
Tindakan Operatif – Bertujuan untuk : Mengeluarkan seluruh jaringan nekrotik, baik jaringan lunak maupun jaringan tulang (sequesterum) sampai ke jaringan sehat sekitarnya. Selanjutnya dilakukan drainase dan irigasi secara kontinu selama beberapa hari. Sebagai dekompresi pada tulang dan mencegah penyebaran osteomyelitis lebih lanjut Gips untuk mencegah patah tulang patologik
52. Stridor • Stridor adalah suara, abnormal bernada tinggi yang dihasilkan oleh aliran udara turbulen melalui sebagian jalan napas yang terhambat pada tingkat supraglottis, glotis, subglottis, dan atau trakea
Lokasi Stridor retraction Naso/ oropharing Minimal Supraglotis
Marked severe
Glottis/subglotis
Intrathoracic trachea
Stridor
Voice
Feeding
Stertor
Normal
Normal
and Inspiratory and Muffled
Abnormal
high pitched
Mild to severe Biphasic
and Normal to very Normal
intermediate
abnormal
pithed
(barking cough)
Mild to severe Expiration low pitched
and Normal (seal like Normal cough)
Trauma Laring MANIFESTASI KLINIS • Stridor yang perlahan-lahan yang makin menghebat atau timbul mendadak sesudah trauma • Suara serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pita suara akibat trauma seperti edema, hematoma, laserasi, atau parese pita suara. • Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea, atau fraktur tulang-tulang laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan masuk ke jaringan subkutis di leher. • Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka, dada, dan abdomen, dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit. • Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya banyak dapat menyumbat jalan nafas.
http://emedicine.medscape.com/article/865277-treatment#d10
53. PROSTATITIS
• Sukar disembuhkan masalah rumit • Prostat sekretnya memiliki anti bakteriel • Drach, fair, Meares & Stamey (1978) Klasifikasi Sindroma Prostatitis 1. Prostatitis akut bakteriel 2. Prostatitis kronis bakteriel 3. Prostatitis non bakteriel 4. Prostatodinia
PROSTATITIS AKUT BAKTERIEL
• Etiologi : E coli, Pseudomonas, Enterococcus. • Patogenesis route of infection 1. Infeksi asendens dari urethra 2. Refluks urin yang terinfeksi kedalam saluran kelenjar prostat. 3. Invasi kuman dari rektum baik langsung maupun limfogen 4. Infeksi hematogen
Tanda- tanda & gejala klinis • demam mendadak, menggigil • nyeri pada perineum, pinggang • urgensi, frekwensi, nokturi, disuri • obstruksi bladder out let • mialgia, arthralgia • RT : Prostat membesar, lunak, indurasi, nyeri Laboratorium • lekositosis • piuria, mikroskopik hematiri, bakteriuri • discharge purulent setelah R.T.
Terapi • A.B. – TMP-SM (160-800mg) 2x1 – Gentamisin – Tobramisin
• • • •
Bed rest analgetik Bila retensi kateter Massage Prostat kontraindikasi
PROSTATITIS KRONIS BAKTERIEL
• Lanjutan Prostatitis akut yang tidak tersembuhkan, kadang-kadang tanpa riwayat akut. • Gejala & tanda-tanda klinis - bervariasi - sebagian asymptomatik - umumnya mengalami urgensi, frekwensi, nokturi & disuri + nyeri perineal - RT : Prostat bisa boggy, indurasi atau normal - hematuri terminal, hemospermi & discharge urethra kadang-kadang ditemukan
Laboratorium • Pada yang kronis – sukar dibedakan dengan prostatitis non bakteriel & prostatodinia – kultur urin D/ pasti.
• Cara pengambilan sampel urin (STAMEY) – 4 macam spesimen • VB1 : 10 ml urin pertama • VB2 : 200 ml urin berikutnya ambil 10ml • EPS : sekret prostat setelah massage • VB3 : 10 ml urin pertama setelah EPS
• VB3 kultur – bakteri (+) Prostatitis – kultur (-) Prostatitis non bakteriel atau Prostatodinia
Terapi • sesuai hasil kultur • A.B. yang sering digunakan sebelum kultur selesai : – Tmp-Sm – Minosiklin – Eritrosin
PROSTATITIS NONBAKTERIEL
• tersering • penyebab tidak diketahui • Tanda-tanda & gejala klinis - sama dengan yang bakteriel - tidak ada riwayat infeksi saluran kemih • Laboratorium EPS : - sel radang (+) - bakteri (-) • Terapi A.B. tidak efektif - Simptomatik : Ibuprofen 3x400-600mg/hr
54.Hypertrophic Pyloric Stenosis
CLINICAL MANIFESTATIONS • The classic presentation of IHPS – Bayi 3-6 minggu – Mengalami muntah segera setelah makan, tidak berwarna hijau (non-bilious) dan sering kali proyektilMuntah proyektil – Terlihat lapar dan makan setelah muntah (a
"hungry vomiter")
Palpable mass • Massa – Paling mudah teraba segera setelah muntah karena sebelumnya tertutupi oleh antrum yang distensi atau otot abdomen yang menegang
55. Arteritis Takayasu
40. Schwannoma (Neurilemmoma) • Benign neural neoplasm of Schwann cell origin • Relatively uncommon, however 25-48% of all cases occur in the Head and Neck area • Usually painless; slow-growing that arises in association with a nerve trunk; • Asymptomatic and pushes the nerve aside
• Younger and middleaged adults • Intraosseous appears as unilocular or multilocular radiolucency in posterior mandible • Pain and paresthesia seen in intrabony tumors
Schwannoma (Neurilemoma)
Histology: Encapsulated tumor with varying amounts of Antoni A and Antoni B cells Antoni A: Streaming fascicles of spindle-shaped Schwann cells; These cells are often palisaded around acellular eosinophilic areas called Verocay bodies (which are reduplicated basement membrane and cytoplasmic processes) Antoni B: is less cellular and organized Degenerative changes are seen in older lesions •Treatment: Surgical excision
Neurofibroma • MOST COMMON type of peripheral nerve tumors arising from a mixture of Schwann cells and perineural fibroblasts • Can be solitary or associated with Neurofibromatosis • Solitary are more common and present as slow-growing, soft, painless nodule, most common in the skin
• Oral cavity lesions are seem mostly in tongue and buccal mucosa • Intraosseous lesions also seen as poorly defined unilocular or multilocular radiolucencies
Neurofibroma
Histology: Not well-demarcated and consists of interlacing bundles of spindle-shaped cells that exhibit wavy nuclei Numerous mast cells are present
Treatment: local surgical excision; If multiple lesions are present, patients should be evaluated for Neurofibromatosis
Traumatic Neuroma • Reactive proliferation of neural tissue after damage to nerve bundle • Smooth nodules most common in mental foramen, tongue and lower lip with a history of trauma; intraosseous lesions appear as radiolucencies • Any age but mostly middle-age, with F>M • Hallmark is PAIN which could be intermittent or constant and mild or severe; Mental nerve neuromas are painful especially with denture flange impingement
Traumatic Neuroma
Histology: Haphazard proliferation of mature, myelinated nerve bundles within a fibrous connective tissue
• Mild chronic inflammation is also seen sometimes Treatment: Surgical excision along with a small portion of the involved nerve; low recurrence rate
Palisaded Encapsulated Neuroma • Benign neural tumor common in the head and neck area • Trauma is considered as a major etiological factor • Face: 90% of cases with majority occurring on the nose and cheek • Smooth, PAINLESS nodules; More common in adults; F=M
• Histology: Wellcircumscribed and encapsulated with interlacing fascicles of spindle cells (Schwann cells); wavy nuclei with no mitotic activity or pleomorphism; parallel oriented cells
57. Infeksi Klamidia • Chlamydia termasuk bakteri gram negatif. • Chlamydia trachomatis serotipe D-K menyebabkan konjungtivitis inklusi • limfogranuloma venerum disebabkan oleh serotipe L1-L3. • Trakoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba, atau C.
Trakoma • Trakoma mulanya adalah suatu konjungtivitis folikular kronik pada masa kanak-kanak, yang dapat berkembang hingga terbentuknya parut konjungtiva, entropion, trikiasis, hingga parut kornea yang mengakibatkan kebutaan • Masa inkubasi trakoma rata-rata 7 hari, tapi bervariasi dari 5 sampai 14 hari. • Pada saat timbulnya, trakoma sering menyerupai konjungtivits bakterial, tanda, dan gejala biasanya terdiri atas mata berair, fotofobia, nyeri, eksudasi, edema palpebra, kemosis konjungtiva bulbaris, hiperemia, hipertrofi papilar, folikel tarsal dan limbal, keratitis superior, pembentukan pannus, dan sebuah nodus preaurikular kecil yang nyeri tekan.
Trachoma Clinical Findings • Tarsal conjunctival papillae or follicles • Typical scarring of the tarsal conjunctiva and possible entropion and trichiasis. • Corneal Pannus formation. – These are fibrovascular incursions into the upper half of the cornea.
• Herbert’s pits. – These are depressions on the limbus of the cornea that represent areas of regressed limbal follicles. – pathognomonic of trachoma – a life-long sign.
Herbert’s pits
Klasifikasi Trakoma Menurut MacCallan Stadium
Nama
Stadium I
Trakoma insipien (insipient trachoma)
Stadium II
Trakoma (established trachoma)
Gejala Folikel imatur, hipertrofi papilar minimal Folikel matur pada dataran tarsal atas
Stadium IIA
Dengan Hipertrofi folikular yang menonjol
Keratitis, Folikel limbal
Stadium IIB
Dengan Hipertrofi papilar yang menonjol
Aktivitas kuat dengan folikel matur tertimbun dibawah hipertrofi papilar yang hebat
Stadium III
Trakoma memarut (sikatrik)
Parut pada konjungtiva tarsal atas, permulaan trikiasis, entropion
Stadium IV
Trakoma sembuh
Tak aktif, tak ada hipertrofi papilar atau folikular, parut dalam bermacam derajat variasi
Klasifikasi Trakoma menurut WHO • TF : lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal atas. • TI : Infitrasi difus dan hipertrofi papilr konjungtiva atas yang sekurang kurangnya menutupi 50% pembuluh profunda normal. • TS : Parut konjungtiva trachomatosa. • TT : Trikiasis atau entropion ( bulu mata tyerbalik ke dalam ). • CO : kekeruhan kornea
Pemeriksaan Mikroskopis • Inklusi klamidia dapat ditemukan pada kerokan konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa • Tidak selalu ditemukan • Pada sediaan pulasan Giemsa, inklusi tampak sebagai massa sitoplasma biru atau ungu gelap yang sangat halus, yang menutupi inti sel epitel.
Tatalaksana Trakoma Kunci untuk pengobatan trakoma dikenal dengan strategi SAFE yang dikembangkan oleh WHO: ("S") Surgical care ("A") Antibiotic, ("F") Facial cleanliness, dan ("E") Environmental improvement. 1. Tindakan pembedahan: untuk memperbaiki entropion dan/atau trikiasis 2. Terapi antibiotik – WHO merekomendasikan 2 antibiotik : azitromisin oral dan salep mata tetrasiklin. – Azitromisin adalah obat pilihan (drug of choice) karena mudah untuk digunakan sebagai dosis tunggal, efikasi yang tinggi dan insiden efek samping rendah.
Tatalaksana Trakoma - Dosis azitromisin: dewasa 1 gram per oral dosis tunggal, anak-anak 20mg/kgBB per oral dosis tunggal - Dapat juga digunakan doxycycline dan erythromycin. -
Tetracycline, 1-1,5 g/hari per oral dalam empat dosis terbagi dalam 3-4 minggu; Doxycycline, 100 mg per oral dua kali sehari selama 3 minggu; Erythromycin, 1 g/ hari per oral dibagi dalam empat dosis selama 3-4 minggu.
- Salep atau tetes topikal: tetrasiklin 1%, 2x sehari selama 6 minggu; obat tetes lainnya: sulfonamide, tetracycline, erythromycin, dan rifampin
Tatalaksana Trakoma 3. Menjaga kebersihan wajah – Menjaga kebersihan wajah pada anak-anak mengurangi baik risiko dan tingkat keparahan trachoma aktif.
4. Perbaikan lingkungan – Kegiatan perbaikan lingkungan adalah promosi peningkatan pasokan air dan perbaikan sanitasi rumah tangga, terutama metode untuk pembuangan yang aman dari kotoran manusia. – Lalat yang menyebarkan trachoma lebih memilih untuk bertelur di kotoran manusia yang terdapat di tanah.
Etiologi
Diagnosis
Karakteristik
Viral
Konjungtivitis folikuler akut
Merah, berair mata, sekret minimal, folikel sangat mencolok di kedua konjungtiva tarsal
Klamidia
Trachoma
Seringnya pd anak, folikel dan papil pd konjungtiva tarsal superior disertai parut, perluasan pembuluh darah ke limbus atas
Konjungtivitis inklusi
Mata merah, sekret mukopurulen (pagi hari), papil dan folikel pada kedua konjungtiva tarsal (terutama inferior)
Konjungtivitis vernalis
Sangat gatal, sekret berserat-serat, cobblestone pd konjungtiva tarsal superior, horner-trantas dots (limbus)
Konjungtivitis atopik
Sensasi terbakar, sekret berlendir, konjungtiva putih spt susu, papil halus pada konjungtiva tarsal inferior
Konjungtivitis fliktenularis
Reaksi hipersensitif tersering akibat protein TB, nodul keabuan di limbus atau konjungtiva bulbi, mata merah dan berair mata
Keratokonjungtivitis sicca
Akibat kurangnya film air mata, tes shcirmer abnormal, konjungtiva bulbi hiperemia, sekret mukoid, semakin sakit menjelang malam dan berkurang pagi
Alergi/hipersensitivitas
Autoimun
58. Sildenafil • Used in the treatment of erectile dysfunction. • Ocular side-effects include a bluish tinge to the visual field, hypersensitivity to light, and hazy vision. • These effects are reversible and may last only a few minutes or hours. • It has been reported that only 3% of patients have visual side-effects with the standard 50 milligram dose. • With increased dosage, the ocular side-effect incidence rate significantly increases.
59. ASTIGMATISME - DEFINISI • Ketika cahaya yang masuk ke dalam mata secara paralel tiudak membentuk satu titik fokus di retina.
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
http://www.mastereyeassociates.com/Portals/60407/images//astig matism-Cross_Section_of_Astigmatic_Eye.jpg
ASTIGMATISME •
•
• • •
Kornea seharusnya berbentuk hampir sferis sempurna (bulat) pada astigmat kornea berbentuk seperti bola rugby. Bagian lengkung yang paling landai dan yang paling curam mengakibatkan cahaya direfraksikan secara berbeda dari kedua meridian mengakibatkan distorsi bayangan Kekuatan refraksi pada horizontal plane memproyeksikan gambar/ garis vertikal. Kekuatan refraksi pada vertical plane memproyeksikan gambar/ garis horizontal. The amount of astigmatism is equal to the difference in refracting power of the two principal meridians
http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
KLASIFIKASI : ETIOLOGI • Astigmatisme korneal: When the cornea has unequal curvature on the anterior surface – 90% penyebab astigmatisme bisa dites dgn tes Placido (keratoscope) • Astigmatisme lentikular: When the crystalline lens has an unequal on the surface or in its layers • Astigmatigma total: The sum of corneal astigmatism and lenticular astigmatism Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
PLACIDO
Astigmatisme korneal akibat trauma pada kornea. Perhatikan iregularitas bayangan placido http://oelzant.priv.at/~aoe/images/galleries/narcism/med/hornhautabrasion/
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN
ASTIGMATISME REGULER • Kedua bidang meridian utamanya saling tegak lurus. (meredian di mana terdapat daya bias terkuat dan terlemah di sistem optis bolamata). • Cth: – jika daya bias terkuat berada pada meredian 90°, maka daya bias terlemahnya berada pada meredian 180° – Jika daya bias terkuat berada pada meredian 45°, maka daya bias terlemah berada pada meredian 135°.
• Kebanyakan kasus astigmatisme adalah astigmatisme reguler • 3 tipe: – are with-the-rule – against-the-rule – oblique astigmatism
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN ASTIGMATISME IREGULER • When the two principal meridians are not perpendicular to each other • Curvature of any one meridian is not uniform • Associated with trauma, disease, or degeneration • VA is often not correctable to 20/20
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA • SIMPLE ASTIGMATISM – When one of the principal meridians is focused on the retina and the other is not focused on the retina (with accommodation relaxed) – Terdiri dari • astigmatisme miopikus simpleks • astigmatisme hipermetrop simpleks
• COMPOUND ASTIGMATISM – When both principal meridians are focused either in front or behind the retina (with accommodation relaxed) – Terdiri dari • astigmatisme miopikus kompositus • astigmatisme hipermetrop kompositus
• MIXED ASTIGMATISM – When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused behind the retina (with accommodation relaxed)
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 1. Simple Myopic Astigmatism • When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused on the retina (with accommodation relaxed) • Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada tepat pada retina. Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 2. Simple Hyperopic Astigmatism • When one of the principal meridians is focused behind the retina and the other is focused on the retina (with accommodation relaxed) • Astigmatisme jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B berada di belakang retina. Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA
3. Compound Myopic Astigmatism • When both principal meridians are focused in front of the retina (with accommodation relaxed)
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 4. Compound Hyperopic Astigmatism
• When both principal meridians are focused behind the retina (with accommodation relaxed) Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 5. MIXED ASTIGMATISM
• When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused behind the retina (with accommodation relaxed) Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN COMPARING THE TWO EYES
SYMMETRICAL ASTIGMATISM
• The principal meridians or axes of the two eyes are symmetrical (e.g., both eyes are WTR or ATR) • Ciri yang mudah dikenali adalah axis cylindris mata kanan dan kiri yang bila dijumlahkan akan bernilai 180° (toleransi sampai 1015°).
• Example – OD: pl -1.00 x 175 – OS: pl -1.00 x 005 • Both eyes are WTR astigmatism, and the sum of the two axes equal approximately 180
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN COMPARING THE TWO EYES
ASYMMETRICAL ASTIGMATISM
• The principal meridians or axes of the two eyes are not symmetrical (e.g., one eye is WTR while the other eye is ATR) • The sum of the two axes of the two eyes does not equal approximately 180
• Example: – OD: pl -1.00 x 180 – OS: pl -1.00 x 090 – One eye is WTR astigmatism, and the other eye is ATR astigmatism, and the sum of the two axes do not equal approximately 180
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
Toric/Spherocylinder lens pada koreksi Astigmatisme
They have a different focal power in different meridians. http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/graphics/figures/v1/051a/010f.gif http://vision.zeiss.com/content/dam/Vision/Vision/International/images/image-text/opticaldesigns_asphere_atorus_atoroidal-surface_500x375.jpg
TIPS & TRIK • Rumus hapalan ini bisa digunakan untuk menentukan jenis jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal diberikan rumus astigmatnya sbb 1. sferis (-) silinder (-) pasti miop kompositus 2. Sferis (+); silinder (+) pasti hipermetrop kompositus 3. Sferis (tidak ada); silinder (-) pasti miop simpleks 4. Sferis (tidak ada); silinder (+) pasti hipermetrop simpleks • Agak sulit dijawab jika di soal diberikan rumus astigmat sbb: 1. Sferis (-) silinder (+) 2. Sferis (+) silinder (-) BELUM TENTU astigmatisme mikstus!! Harus melalui beberapa tahap penjelasan untuk menemui jawabannya
cara menentukan jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal diberi rumus S(-) Cyl(+) atau S(+) Cyl(-)
• PERTAMA, rumus kacamata astigmat adalah
SFERIS ± X SILINDER ±Y x AKSIS Z • Sferis tidak harus selalu ada, kadang jika tidak ada, nilai sferis akan dihilangkan penulisannya menjadi C (silinder) ± .… x …..° atau menjadi pl (plano) C (silinder) ± …. x …..°
KEDUA, TRANSPOSISI • Transposisi itu artinya: notasi silinder bisa ditulis dalam nilai minus atau plus • Rumus ini bisa ditransposisikan (dibolak-balik) tetapi maknanya sama. Cara transposisi: • To convert plus cyl to minus cyl: – Add the cylinder power to the sphere power – Change the sign of the cyl from + to – – Add 90 degrees to the axis is less than 90 or subtract 90 if the original axis is greater than 90.
• To convert minus cyl to plus cyl: – add the cylinder power to the sphere – Change the sign of the cylinder to from - to + – Add 90 to the axis if less than 90 or subtract if greater than 90
• Misalkan pada soal OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800minus cylinder notation yang jika ditransposisi maknanya sama dengan ∫-5,00 C+1,00 X 900 (plus cylinder notation)
KETIGA, CARA MEMBACA • OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800 artinya adalah kekuatan lensa pada aksis 180 adalah -4.00 D. Kemudian kita transposisikan menjadi ∫-5,00 C+1,00 X 900 artinya kekuatan lensa pada 90 adalah -5,00 D • OS ∫-5,00 C-1,00 X 900 artinya adalah kekuatan lensa pada aksis 90 adalah -5.00 D dan Kemudian kita transposisikan menjadi ∫-6,00 C+1,00 X 1800 artinya kekuatan lensa pada 180 adalah -6,00 D
60. Thyroid Ophthalmopathy • Inflammatory disorder of the eye • Commonly complicates Graves’ disease but can also be associated with Hashimoto’s thyroiditis, or in euthyroid pts • 50% of pts with Graves’ have clinical ophthalmopathy, but up to 70% of the remaining half have ophthalmopathy by imaging • Prevalence of thyroid ophthalmopathy = 0.4% • Most common cause of exophthalmos – >50% of cases – Of note, other causes of exophthalmos include primary hyperadrenalism, longstanding steroid use or acromegaly.
Pathogenesis • Autoimmune process manifesting as:
– Extraocular m. myositis
• T-cell inflammatory infiltrate
– Fibroblast proliferation – Glycosaminoglycan overproduction – Orbital congestion
• Increase in soft tissue mass within bony orbit due to extraocular muscle enlargement, increased orbital fat and connective tissue • Later in disease, inflammatory infiltrate replaced by widespread fibrosis – “Inactive” phase – Occurs about 8mo to 3yrs after onset
• Inflammatory cells activated by TSH receptor antigen – TSH receptor mRNA and protein found in orbital fibroblasts and adipocytes – TSHR expression greater in retro-orbital tissues of Graves’ pt compared to other tissues. – Correlation between severity of ophthalmopathy and serum TSHR Ab concentrations
Initial Signs/Symptoms • • • • • • • •
Foreign body sensation Epiphora (tearing) Photophobia Lid retraction (normally, should not see sclera above iris) Lid lag Lid, conjunctival and periorbital edema Injection over horizontal muscle insertions Exophthalmos – Usually bilateral and symmetric – Pathological changes displace eye forward and can interfere with muscle actions and venous drainage. Note enlarged extraocular mm.
Exophthalmometer • Exophthalmometer is an instrument used for measuring the degree of forward displacement of the eye in exophthalmos. • The device allows measurement of the forward distance of the lateral orbital rim to the front of the cornea. • Exophthalmometers can also identify enophthalmos • There are several types of exophthalmometers: – Hertel exophthalmometer: – Naugle exophthalmometer – Luedde exophthalmometer
Exophtalmometry
Histology
• Fluid and inflammatory cells separate the muscle bundles of the extraocular muscles.
Complications • Optic nerve compression at orbital apex by enlarged muscles – May present with blurry vision, color loss, afferent pupillary defect, or visual field loss – More likely when superior rectus is enlarged or if no exophthalmos (form of self-decompression)
Optic neuropathy as result of optic nerve compression from enlargement of extraocular muscles
Radiologic Evaluation • Usually employed if cause of exophthalmos is unclear (ie. normal thyroid lab studies, or hx/PE inconsistent with thyroid disease) • Also to determine optic nerve involvement if not obvious by fundoscopic exam • Distinct sparing of muscle tendons in thyroid ophthalmopathy • Non-contrast enhanced coronal orbital CT scan most helpful to assess size of extraocular mm.
61. Conjunctivitis • Inflammationor infection of the conjunctiva conjunctivitis • Characterized by : dilatation of the conjunctival vessels, resulting in hyperemia and edema of the conjunctiva, typically with associated discharge • Viral conjunctivitis is the most common cause of infectious conjunctivitis both overall and in the adult population • Bacterial conjunctivitis is the second most common cause and is responsible for the majority (50%-75%) of cases in children The conjunctiva is a thin membrane covering the sclera (bulbar conjunctiva, labeled with purple) and the inside of the eyelids (palpebral conjunctiva, labeled with blue Azari A, Barney N. Conjunctivitis A Systematic Review of Diagnosis and Treatment. JAMA: 310(16).2013
Classification • infectious and noninfectious causes. – Infectious : Viruses, bacteria the most common infectious causes. – Noninfectious conjunctivitis : allergic, toxic, and cicatricial conjunctivitis, as well as inflammation secondary to immunemediated diseases and neoplastic processes.1
• Acute, hyperacute, and chronic according to the mode of onset and the severity of the clinical response. • Primary or secondary to systemic diseases such graft-vs-host disease, and Reiter syndrome,
Follicularis vs Papillaris Conjunctivitis Folicularis
Papillaris
• Seen ini variety condition: inflamation caused by viruses, atypical bacteria, toxin, topical medication (glaucoma medication brimonidine) • Follicle small, dome shaped nodules without prominent central vessels. Pale on its surface,red at base • Most prominent in the inferior palpebral and forniceal conjunctiva • Histology :
• Most commonly associated with an allergic immune response (AKC & VKC), response to foreign body (CL, prosthetic ocular) • Shows a cobblestone arrangement of flattened nodules with central vascular cores
– Lymphoid follicle is situated in the subepitelial region and consists of germinal center immature proliferating lymphocyte
– Papillae tarsal Giant papillary conjunctivitis – Limbal papillae horner trantas dots in VKC
• Closely packed, flat topped projections with numerous eosinophil, lymphocyte, plasma and mast cells. • More red in surface, pale at base
61. Contact Lens Related Eye Infection • Keratitis is the most serious complication of contact lens wear • Approximately 90% of MK in CL wearers is associated with bacterial infection • Symptomps – Blurry vision, unusual redness of the eye, pain in the eye, tearing or discharge from eye, fotofobia, foreign body sensation
• Risk Factor : – Extended wear lenses – Sleeping in your contact lenses – Reduced tear exchange under the lens – Enviromental factor poor hygiene
Microbacterial keratitis related contact lens wear • Etiology : – The most common bacterial pathogens associated with MK : Staphylococcus and Pseudomonas species more frequent in temperate climate regions. – Fungal keratitis is more frequent in tropical or sub-tropical climates. Fusaria are the most common fungal pathogen associated with CL related fungal keratitis. – Acanthamoeba keratitis seems to be a growing clinical problem in CL wearers, – viral keratitis is poor understood
Dyavaiah M, et.al Microbial Keratitis in Contact Lens Wearers. JSM Ophthalmol 3(3): 1036 (2015)
Bacterial keratitis
Fungal keratitis
Acanthamoba
Risk factor
- Sleeping with CLs among CL wearers - Patients with diabetes mellitus, dementia or chronic alcoholism appeared to be at higher risk - Trauma was rarely a factor
Possible risk factors of fungal keratitis are ocular injury, long-term therapy with topical or systemic steroids, immunosuppressive agents, and underlying diseases such as pre-existing corneal surface abnormality and wearing CLs
CL storage cases and poor hygiene practices such as usage of homemade saline rinsing solutions and rinsing of lenses with tap water Other risk factors include CL solution reuse/topping off, rub to clean lenses, shower wearing lenses, lens replaced (quarterly), age of case at replacement (<3 months), extended wear and lens material type
Clinical manifestation
The predominant clinical features reported in bacterial keratitis were eye pain and redness with a decrease in visual acuity and stromal infiltration
CL associated Fusarium keratitis include central lesions, paraxial lesions, and the peripheral lesions in the eye [31]. Patients with Candida infections were reported to have a severe visual outcome
Itching, redness, pain, burning sensation, ring infiltrate in corneal, multiple pseudodendritic lesions, loss of vision. Painless acantamoeba keratitis fotofobia but no ocular pain
Diagnosis
Microscopic observation of corneal scraping using stained smears is useful for diagnosis of bacterial keratitis.
CL associated Fusarium keratitis include central lesions, paraxial lesions, and the peripheral lesions in the eye [31]. Patients with Candida infections were reported to have a severe visual outcome
Corneal scraping and CL solution cyst and trophozoyte
Keratitis Acanthamoeba • Faktor Resiko – Sering terjadi pada orang yang memakai kontak lensa dan melakukan hal – hal sebagai berikut : • Menyimpan dan menggunakan lensa tidak higienis • Disinfeksi lensa yang tidak tepat (membersihkan lensa dengan air biasa) • Berenang, mandi air panas atau showering sambil menggunakan lensa kontak • Memiliki riwayat trauma pada kornea
• Terapi : – Klorhexidin 0,02% – Polyhexamethylen biguanide (PHMB 0,02%) – Amfoterisin B
62. Diabetic Cataract • Diabetes mellitus type 1 or juvenile diabetes and Diabetes mellitus type 2 or adult-onset diabetes lead to chronic diabetic complications like neuropathy, nephropathy, angiopathy and retinopathy. • Hyperglycemia is known to instigate these diabetic complications. • With the increased formation of advanced glycation end products (AGE’S). • Enhanced activity of aldose reductase (AR). • Formation of reactive oxygen species (ROS).
DIABETIC CATARACT •
•
•
•
Recent basic research studies have emphasized the role of the polyol pathway in the initiation of the disease process. The enzyme aldose reductase (AR) catalyzes the reduction of glucose to sorbitol through the polyol pathway (a process linked to the development of diabetic cataract) the generation of polyols from glucose by Aldose Reductase made the intracellular accumulation of sorbitol leads to osmotic changes resulting in hydropic lens fibers that degenerate and form sugar cataracts In the lens, sorbitol is produced faster than it is converted to fructose by the enzyme sorbitol dehydrogenase.
•
•
•
In addition, the polar character of sorbitol prevents its intracellular removal through diffusion. The increased accumulation of sorbitol creates a hyperosmotic effect that results in an infusion of fluid to countervail the osmotic gradient results in formation of lens opacities The “Osmotic Hypothesis” of sugar cataract formation, emphasizing that the intracellular increase of fluid in response to AR-mediated accumulation of polyols results in lens swelling associated with complex biochemical changes ultimately leading to cataract formation
Although diabetic cataract is a consequence of cumulative effects of various metabolic processes linked to hyperglycaemia, increased activity of Aldose Reductase in the polyol pathway has been regarded as the initiator of the disease process
63. HORDEOLUM • Peradangan supuratif kelenjar kelopak mata • Infeksi staphylococcus pada kelenjar sebasea • Gejala: kelopak bengkak dengan rasa sakit dan mengganjal, merah, nyeri bila ditekan, ada pseudoptosis/ptosis akibat bertambah berat kelopak • Gejala – nampak adanya benjolan pada kelopak mata bagian atas atau bawah – berwarna kemerahan. – Pada hordeolum interna, benjolan akan nampak lebih jelas dengan membuka kelopak mata. – Rasa mengganjal pada kelopak mata – Nyeri takan dan makin nyeri saat menunduk. – Kadang mata berair dan peka terhadap sinar. Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
• 2 bentuk : Hordeolum internum: infeksi kelenjar Meibom di dalam tarsus. Tampak penonjolan ke daerah kulit kelopak, pus dapat keluar dari pangkal rambut Hordeolum eksternum: infeksi kelenjar Zeiss atau Moll. Penonjolan terutama ke daerah konjungtiva tarsal
http://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/htxt/Hordeolum.htm
Hordeolum Eksterna Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
Hordeolum Interna
• Pengobatan – Self-limited dlm 1-2 mingu – Kompres hangat selama sekitar 10-15 menit, 4x/hari – Antibiotik topikal (salep, tetes mata), misalnya: Gentamycin, Neomycin, Polimyxin B, Chloramphenicol – Jika tidak menunjukkan perbaikan : Antibiotika oral (diminum), misalnya: Ampisilin, Amoksisilin, Eritromisin, Doxycyclin – Insisi bila pus tidak dapat keluar • Pada hordeolum interna, insisi vertikal terhadap margo palpebra supaya tidak memotong kelenjar meibom lainnya • Pada hordeolum eksterna, insisi horizontal supaya kosmetik tetap baik
Diagnosis Banding • Kalazion – Inflamasi idiopatik, steril, dan kronik dari kelenjar Meibom – Ditandai oleh pembengkakan yang tidak nyeri, muncul berminggu-minggu. – Dibedakan dari hordeolum oleh ketiadaan tanda-tanda inflamasi akut – Jika sangat besar, kalazion dapat menekan bola mata, menyebabkan astigmatisma
• Blefaritis – Radang kronik pada kelopak mata, disebabkan peradangan kronik tepi kelopak mata (blefaritis anterior) atau peradangan kronik kelenjar Meibom (blefaritis posterior) – Gejala: kelopak mata merah, edema, nyeri, eksudat lengket, epiforia, dapat disertai konjungtivitis dan keratitis
• Selulitis palpebra – Infiltrat difus di subkutan dengan tanda-tanda radang akut, biasanya disebabkan infeksi Streptococcus. Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
64. RETINOPATI HIPERTENSI • • •
Kelainan retina dan pembuluh darah retina akibat tekanan darah tinggi arteri besarnya tidak teratur, eksudat pada retina, edema retina, perdarahan retina Kelainan pembuluh darah dapat berupa : penyempitan umum/setempat, percabangan yang tajam, fenomena crossing, sklerose Pada retina tampak :
warna pembuluh darah lebih pucat kaliber pembuluh lebih kecil akibat sklerose (refleks copper wire/silver wire, lumen pembuluh irreguler, fenomena crossing) perdarahan atau eksudat retina (gambaran seperti bintang, cotton wool patches) perdarahan vena (flame shaped) Ilmu Penyakit Mata, Sidarta Ilyas, 2005
Retinopati Hipertensi • Pemeriksaan rutin: Pemeriksaan tajam penglihatan Pemeriksaan biomikroskopi Pemeriksaan fundus
• Pemeriksaan penunjang: Foto fundus Fundus Fluorescein Angiography
• Tatalaksana : Kontrol tekanan darah dan faktor sistemik lain (konsultasi penyakit dalam)
Bila keadaan lanjut terjadi pendarahan vitreous dapat dipertimbangkan Vitrektomi. Panduan Praktik Klinik RSCM Kirana
• Dinding arteriol normalny tidak terlihat; arteri terlihat sebagai “erythrocyte column” / “pipa merah” dengan “central light reflex” pada funduskopi terjadi penebalan dinding pada retinopati HT “central light reflex” lebih difus dan lebar memberikan gambaran dinding arteriol yg kekuningan/copper wire appearance.
Schema of ophthalmoscopic grading of arteriolar sclerosis. (Scheie HG: Evaluation of ophthalmoscopic changes of hypertension and arteriolar sclerosis. Arch Ophthalmol 49:117, 1953) http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v3/ch013/005f.html
• Penebalan yg progresif akan menutup gambaran “pipa merah” sepenuhnya menjadi silver wire • Bersamaan dengan itu, terjadi fenomena arteriovenous crossing (AV crossing) vena yang berjalan bersilangan di bawah arteri yang mengalami arterosklerosis mengalami deformitas, berbelok, bulging, menyempit seperti jam pasir, atau tampak seperti terputus akibat penekanan dari arteri. http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v3/v3c013.html
http://www.theeyepractice.com.au/optometrist-sydney/high_blook_pressure_and_eye_disease
65. OKLUSI VENA RETINA SENTRALIS (CENTRAL RETINA VEIN OCCLUSION) • Kelainan retina akibat sumbatan akut vena retina sentral yang ditandai dengan penglihatan hilang mendadak.
• Predisposisi : – – – – –
Usia diatas 50 thn Hipertensi sistemik 61% DM 7% -Kolestrolemia TIO meningkat Periphlebitis (Sarcouidosis, Behset disease) – Sumbatan trombus vena retina sentralis pada daerah posterior lamina cribrosa)
Gejala Klinis 1. Tipe Noniskemik : • FFA (Fundus Fluorescein Angiography) area nonperfusi kecil 10 disc - Gejala lebih ringan.
• Vena dilatasi ringan dan sedikit berkelok • Perdarahan dot dan flame shaped • dapat disertai dengan atau tanpa edama papil
2. Tipe Iskemik : • FFA area nonperfusi diatas 10 disc • Vena dilatasi lebih nyata • Perdarahan masif pada ke 4 kuadran • Cotton wool spot • Rubeosis iridis • Marcus Gunn + • Perdarahan vitreous • Edama retina dan edama makula
• Pemeriksaan : – FFA (Fundus Fluorescein Angiography) – ERG (Electroretinogram) – Tonometri
• Penatalaksanaan : • Memperbaiki underlying disease • Fotokoagulasi laser • Vitrektomi • Kortikosteroid belum terbuti efektivitasnya • Anti koagulasi sistemik tidak direkomendasikan
Defini dan gejala Oklusi arteri sentral retina
Penyumbataan arteri sentralis retina dapat disebabkan oleh radang arteri, thrombus dan emboli pada arteri, spsame pembuluh darah, akibat terlambatnya pengaliran darah, giant cell arthritis, penyakit kolagen, kelainan hiperkoagulasi, sifilis dan trauma. Secara oftalmoskopis, retina superficial mengalami pengeruhan kecuali di foveola yang memperlihatkan bercak merah cherry (cherry red spot). Penglihatan kabur yang hilang timbul tanpa disertai rasa sakit dan kemudian gelap menetap. Penurunan visus mendadak biasanya disebabkan oleh emboli
Oklusi vena sentral retina
Kelainan retina akibat sumbatan akut vena retina sentral yang ditandai dengan penglihatan hilang mendadak. Vena dilatasi dan berkelok, Perdarahan dot dan flame shaped , Perdarahan masif pada ke 4 kuadran , Cotton wool spot, dapat disertai dengan atau tanpa edema papil
Ablatio retina
suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen retina (RIDE). Gejala:floaters, photopsia/light flashes, penurunan tajam penglihatan, ada semacam tirai tipis berbentuk parabola yang naik perlahan-lahan dari mulai bagian bawah hingga menutup
Retinopati hipertensi
suatu kondisi dengan karakteristik perubahan vaskularisasi retina pada populasi yang menderita hipertensi. Mata tenang visus turun perlahan dengan tanda AV crossing – cotton wol spot- hingga edema papil; copperwire; silverwire
Amaurosis fugax • Amaurosis fugax (from the Greek "amaurosis," meaning dark, and the Latin "fugax," meaning fleeting) refers to a transient loss of vision in one or both eyes • Some suggest that "amaurosis fugax" implies a vascular cause for the visual loss, but the term continues to be used when describing visual loss from any origin and involving one or both eyes
• "Transient monocular visual loss" (TMVL) and "transient binocular visual loss" (TBVL) are preferred to describe abrupt and temporary loss of vision in one or both eyes, since they carry no connotation regarding etiology
• Retinal vein occlusion — TMVL : – may occur as a premonitory symptom of central retinal vein occlusion. – Occlusion or thrombosis of the central retinal vein is associated with chronic glaucoma, atherosclerotic risk factors (age, diabetes, hypertension), hyperviscosity, and coagulopathy. – The cause of retinal vein occlusion is often unknown.
• Amaurosis fugax in central retinal vein occlusion and hemicentraql retinal vein occlusion may be due to followoing mechanism : – Blood flow in the retina is determined by the difference between the retinal arterial and venous pressure. – Central retinal vein occlusion ↑retinal vein pressure transcient fall of arterial blood pressure derranged retinal blood flow ↓ pressure of ocular artery Effect : • In posterior segment : marked fall of BP in the retina, optic nerve head and choroid • In anterior neovascularization and neovascular glaucoma
66. Strabismus A condition in which the eyes are not properly aligned with each other A lack of coordination between the extraocular muscles
http://www.oculist.net/others/ebook/
• Etiology : – Genetics, – Inappropriate development in the brain, – Problems with the controlled center of the brain, – Injuries to muscles or nerves or other problems involving the muscles or nerves. – Surprisingly, most cases of strabismus are not a result of a muscle problem, but are due to the control system -- the brain.
Hirschberg method •The patient fixates a light at a distance of about 33 cm (13 inches) •Decentering of the light reflection is noted in the deviating eye. By allowing 18:for each millimeter of decentration, an estimate of the angle of deviation can be made
http://www.oculist.net/others/ebook/
Strabismus/ heterotropia • Definisi: deviasi mata yang bermanifestasi Pembagian: 1. Paralitik (nonkonkomitan) – Sudut deviasi tidak sama ke semua arah – Disebabkan hilangnya fungsi dari salah satu /lebih dari otot salah satu mata. Paralisis bisa bersifat parsial ataupun total
2. Non paralitik (konkomitan) – Seudut deviasi tetap untuk semua arah – Terdiri dari: • Akomodatif: berhubungan dengan kelainan refraksi • Nonakomodatif: tidak ada hubungan dengan kelainan refraksi
Klasifikasi strabismus berdasarkan arah deviasi: • Esotropia/ strabismus konvergen/ crossed eye: deviasi mata ke nasal • Eksotropia/ stabismus divergen/ wall eye: deviasi mata ke temporal • Hipertropia: deviasi mata ke arah atas • Hipotropia: deviasi mata ke arah bawah
Esotropia • Esotropia is a type of strabismus • One or both eyes turned in toward the nose inward deviation of the eyes • Can begin as early as infancy, later in childhood, or even into adulthood. • Esotropia can be classified by age of onset (congenital/infantile vs. acquired); by frequency (intermittent vs. constant); or by whether it can be treated with glasses (accommodative vs. nonaccommodative).
Esotropia nonakomodatif • Deviasi sudah timbul pada waktu lahir/ tahuntahun pertama kehidupan • Deviasi sama ke semua arah dan tidak berhubungan dengan kelainan refraksi atau kelumpuhan otot • Penyebab: – insersi otot horisontal yang salah, kelainan persarafan supranuklear
Accomodative Esotropia • Accommodative esotropia occurs when there is a normal physiologic mechanism of accommodation with an associated overactive convergence response but insufficient relative fusional divergence to hold the eyes straight. • Patients with refractive esotropia are typically farsighted (hyperopic). • There are two pathophysiologic mechanisms at work, singly or together: – (1) sufficiently high hyperopia, requiring so much accommodation (and therefore convergence) to clarify the image that esotropia results; and – (2) a high AC/A ratio, which is accompanied by mild to moderate hyperopia
• It is classically divided into three categories: – Refractive accommodative esotropia – Nonrefractive accommodative esotropia – Partially accommodative esotropia Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology
Esotropia akomodatif • Pada esotropia akomodatif non refraktif, deviasi pada pengelihatan dekat lebih besar jika dibandingkan penglihatan jauh. • Pada esotropia akomodatif refraktif, deviasi pada penglihatan jauh lebih besar dibandingkan penglihatan dekat
ACCOMMODATIVE ESOTROPIA DUE TO HYPEROPIA (Refractive) • Accommodative esotropia due to hyperopia typically begins at age 2-3 years but may occur earlier or later. • Deviation is variable prior to treatment. • Glasses with full cycloplegic refraction allow the eyes to become aligned. ACCOMMODATIVE ESOTROPIA DUE TO HIGH AC/A RATIO (Non-Refractive) • In accommodative esotropia due to a high ratio of accommodative convergence to accommodation (AC/A ratio) • The refractive error is hyperopic. • Pada esotropia akomodatif non refraktif, deviasi pada pengelihatan dekat lebih besar jika dibandingkan penglihatan jauh. • Treatment is with glasses with full cycloplegic refraction plus bifocals or miotics to relieve excess deviation at near. Partially Accommodative Esotropia • A mixed mechanism part muscular imbalance and part accommodative/convergence imbalance may exist. Although glasses, bifocals, and miotics decrease the angle of deviation, the esotropia is not eliminated.
• Calculation of Accommodative Convergence/Accommodation (AC/A) ratio by the gradient method (measurements with and without the additional lens are done at the same distance):
67. Episcleritis Simple episcleritis • This common condition is a benign, recurrent inflammation of the episclera • it is most common in young women. • Episcleritis is usually selflimiting and may require little or no treatment. • It is not usually associated with any systemic disease, although around 10% may have a connective tissue disease.
•
Clinical features –
–
•
Sudden onset of mild discomfort, tearing ± photophobia; may be recurrent. Sectoral (occasionally diffuse) redness that blanches with topical vasoconstrictor (e.g., phenylephrine 10%); globe nontender; spontaneous resolution 1–2 weeks.
Treatment –
– – – –
Supportive: reassurance ± cold compresses. Artificial tears Topical: consider lubricants ± NSAID (e.g., ketorolac 0.3% 3x/day; uncertain benefit). Although disease improves with topical steroids, there may be rebound inflammation on withdrawal. Systemic: if severe or recurrent disease, consider oral NSAID (e.g., flurbiprofen 100 mg 3x/day for acute disease).
Nodular episcleritis • Clinical features – Sudden onset of FB sensation, discomfort, tearing ± photophobia. It may be recurrent. – Red nodule arising from the episclera – can be moved separately from the sclera (cf. nodular scleritis) and conjunctiva – blanches with topical vasoconstrictor (e.g., phenylephrine 10%) – does not stain with fluorescein; – globe nontender – Spontaneous resolution occurs in 5–6 weeks.
• Treatment – Treat as for simple episcleritis, but there is a greater role for ocular lubricants. – Patients with severe or prolonged episodes may require artificial tears and/or topical corticosteroids. – Nodular episcleritis is more indolent and may require local corticosteroid drops or antiinflammatory agents. – Topical ophthalmic 0.5% prednisolone, 0.1% dexamethasone, or 0.1% betamethasone daily may be used.
Applied anatomy of vascular coats Normal
Episcleritis
• Radial superficial episcleral • Maximal congestion vessels of episcleral vessels • Deep vascular plexus adjacent to sclera
Scleritis
• Maximal congestion of deep vascular plexus • Slight congestion of episcleral vessels
68. Conjunctivitis
Konjungtivitis Inklusi • Disebabkan oleh infeksi Chlamydia trachomatis, biasanya terdapat pada dewasa muda yang aktif secara seksual. • Gejala dan tanda : – Mata merah, pseudoptosis, bertahi mata (terutama pagi hari) – Papila dan folikel pada kedua konjungtiva tarsus (terutama inferior) – Keratitis superfisial mungkin ditemukan tapi jarang
CHLAMYDIAL KONJUNGTIVITIS EPIDEMIOLOGY • Adult chlamydial conjunctivitis is a sexually transmitted disease (STD) • All ages but particularly young adults • More women than men affected C. trachomatis serotypes D-K Histopathology: basophilic intracytoplasmic epithelial inclusion bodies (on Giemsa staining) SYMPTOMS • Unilateral or bilateral involvement • Purulent discharge, crusting of lashes, swollen lids, or lids "glued together" • Patient may also complain of: ◦ red eyes ◦ irritation ◦ tearing ◦ photophobia ◦ blurred vision
SIGNS • Preauricular lymphadenopathy • Mucopurulent discharge • Conjunctival injection • Chemosis • Follicular reaction (especially bulbar or plica semilunaris follicles) • Superior micropannus • Fine or coarse epithelial or subepithelial corneal infiltrates TREATMENT Options include one of the following: • Azithromycin 1000mg single dose • Doxycycline 100mg BID for 7 days • Tetracycline 100mg QID x 7 days (avoid in pregnant women and in children) • Erythromycin 500 mg QID x 7 days • Patient and sexual contacts should be evaluated and treated for other STDs.
http://www.aao.org/theeyeshaveit/red-eye/chlamydial-conjunctivitis.cfm
69. ULKUS KORNEA •
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea
•
ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.
•
Etiologi: Infeksi, bahan kimia, trauma, pajanan, radiasi, sindrom sjorgen, defisiensi vit.A, obatobatan, reaksi hipersensitivitas, neurotropik
•
Gejala Subjektif – – – – – – – – –
Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva Sekret mukopurulen Merasa ada benda asing di mata Pandangan kabur Mata berair Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus Silau Nyeri nfiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.
• Gejala Objektif – – –
Injeksi siliar Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat Hipopion
ULKUS KORNEA • Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2: 1. Ulkus kornea sentral (biasanya disebabkan oleh infeksi) – Ulkus kornea bakterialis – Ulkus kornea fungi – Ulkus kornea virus – Ulkus kornea acanthamoeba 2.Ulkus kornea perifer (biasanya disebabkan oleh non-infeksi) – Ulkus marginal – Ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden) – Ulkus cincin (ring ulcer)
Penatalaksanaan : – harus segera ditangani oleh spesialis mata – Pengobatan tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, – sikloplegik – Mengurangi reaksi peradangan dengan steroid. – Berikan analgetik jika nyeri – Jangan menggosok-gosok mata yang meradang – Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan
Descemetocele • Descemetocele refers to a lesion in which there is destruction of the epithelium and stroma, with only Descemet’s membrane and endothelium remaining • Because of its highly elastic nature and the intraocular pressure, Descemet’s membrane often bulges anteriorly, forming the classic dome-shaped, transparent membrane, which is easily recognized at the slit lamp. • At this stage, the cornea is in imminent danger of perforation.
Atheromatous Corneal Ulcer • Occurs on top of an old Leucoma (Leukoma: bercak putih seperti porselen yang tampak dari jarak jauh, yang merupakan jaringan sikatrik setelah penyembuhan proses radang pada kornea yang lebih dalam) • Hyaline degeneration with desquamation and secondary infection • Resistant with bad healing • Commonly perforates due to secondary infection
70. Congenital/Infantile Cataract • opacity in the lens of the eye that is present at, or develops shortly after birth. • About 1 in 10,000 baby is affected by congenital cataracts. It can affects one eye (unilateral), but often both eyes are affected (bilateral). • Unilateral cataracts – Most children with a cataract in only one eye have good vision in the other. – no history of childhood cataracts in the family, the child is healthy in every other way and no cause for the cataract can be found. – Sometimes there are other structural problems in the eye besides the cataract, such as it being smaller than the other, which suggest that a problem occurred during the development of the eye before birth.
• Bilateral cataracts (80%) 1. 2. 3. 4.
Inherited, genetic cataract conditions Infection of the unborn baby in the womb Conditions that affect the normal metabolism of the child Some specific eye conditions that cause cataract
Joseph E. Management of congenital cataract. Kerala Journal of Ophthalmology. 2006
Etiology of Bilateral Congenital Cataract 1.
Inherited/genetic catarat – one fifth of children with congenital cataracts will have close relative with the same condition. – misprint in the genes responsible for the development of the lens common in children with chromosomal abnormalities, such as Trisomy 21, Turners syndrome, Trisomy 13, Lowes syndrome, Alports syndrome, Nance Horan syndrome, Martsolfs syndrome, Marinesco-Sjogren syndrome,. – Often no cause for bilateral cataracts can be found idiopathic
2.
Infection – – – –
German measles (rubella) Toxoplasmosis Chicken pox (varicella) Herpes and cytomegalovirus infections
3. Metabolic conditions where cataract is more common include: – – – –
Galactosaemia Lowe syndrome Diabetes hypocalcemia
4. Spescific eye condition – Leber congenital amaurosis and retinitis pigmentosa – Aniridia – Retinopathy of prematurity – Microphthalmia and anterior segment dysgenesis – Uveitis (eye inflammation)
• Morphology 1. Nuclear cataract • usually present at birth and is non progressive. • The opacification is located in the embryonic and fetal nuclei between the anterior and posterior Y sutures and is usually very dense in the center
2. Posterior cataract • commonly associated with PFV (Persistent Foetal Vasculature), and the affected eye is microphthalmic
3. Lamellar cataract • is usually progressive and involves the lamellae surrounding the fetal nucleus peripheral to the Y sutures. • Eyes are normal sized with normal corneas, and the cataract is uniform bilaterally and has an autosomal dominant inheritance
GEJALA KATARAK KONGENITAL • Pengeruhan lensa, sering terlihat sejak lahir, tampak sebagai warna putih di dalam pupil yang gelap. • Kegagalan bayi untuk menunjukkan adanya visual awareness • Nistagmus • Bisa tanpa gejala
http://www.lighthouse.org/about-low-vision-blindness/childrens-vision/pediatric-eye-disorders/congenital-cataracts/
Examination of Congenital Cataract •
History – 1. Duration – 2. F/H of Congenital Cataract – 3. Visual Status: Ambulation in familiar and unfamiliar surroundings – 4. Behavioural Pattern and School Performance
•
Birth History – 1. History and Degree of consanguinity – 2. H/O maternal infection in 1st Trimester – 3. Gestational Age & Birth Weight – 4. Birth trauma – 5. Supplemental O2 therapy in Perinatal period – 6. Developmental Milestones.
•
Ocular Examination – – – – –
1. Visual Acquity and Fixation Pattern 2. Refraction 3. Cover – Uncover test (Hirschberg’s) 4. Note Nystagmus if any 5. SLIT LAMP EXAMINATION • • •
Associated Congenital Anomalies of iris, lens Type of Cataract Iridodonesis / Phacodonesis
– 6. Tension applanation if possible – 7. Fundus examination if possible – 8. B.Scan USG if there is no fundus view.
Management • Dense Congenital Cataract – The optimal time to remove a dense congenital cataract in an infant and to initiate treatment is when the child is 4-8 weeks of age. – Cataract surgery before 4 weeks of age increase the risk of secondary glaucoma, whereas waiting beyond 8 weeks of age compromises visual outcome. – The visual system which is immature at birth has a latent period of approximately 6 weeks before it becomes sensitive to visual deprivation, and binocular vision first appears at approximately 3 months of age
• Surgical technicque – disisio lensa, ekstraksi linier, ekstraksi dengan aspirasi
N EU R OLOGI
71. Nyeri Pinggang Bawah Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering ditemui dalam praktek sehari – hari Terutama terjadi pada usia 20 – 40 tahun (usia reproduktif) dan keluhan dapat lebih berat pada usia lanjut Pekerjaan Beresiko tinggi LBP Buruh , pemulung sampah, pengangkat barang, perawat dan pekerjaan – pekerjaan yang terkait dengan aktivitas seperti mengangkat barang, membungkuk, berjinjit
Lehrich JR. Neurologic Approach to Diagnosis Low Back Pain. Contemporary Neurology Volume 1996, Number 5
71. Ischialgia •
Ischialgia merupakan keadaan nyeri pada daerah yang dipersarafi oleh saraf Ischiadikus dan lanjutannya sepanjang tungkai yaitu radiks posterior L4, L5, S1, S2, S3.
Ischialgia/Sciatica • By definition patients mention radiating pain in the leg • In about 90% of cases sciatica is caused by a herniated disc with nerve root compression, but lumbar stenoses and (less often) tumours are possible causes. • Sciatica is mainly diagnosed by history taking and physical examination. Koes, Tulder, Paul.Diagnosis and treatment of sciatica. BMJ | 23 JUNE 2007 | VOLUME 334
• Nyeri daerah pinggang pada dasarnya dapat berupa: – Nyeri radikuler (sering) – Nyeri alih (refered pain) – Nyeri tidak menjalar
• 75% fleksi-ekstensi terjadi di L5-S1 • 20% terjadi di L4-5, 5% di level lumbal yang lebih tinggi
Etiologi • Ischialgia diskogenik • Ischialgia mekanik • Ischialgia non mekanik
CEDERA
Patofisiologi PELEPASAN MEDIATOR INFLAMASI
proses penyembuhan
Penyebab ischialgia dapat dibagi dalam : 1. Ischialgia diskogenik, biasanya terjadi pada penderita hernia nukleus pulposus (HNP). 2. Ischialgia mekanik terbagi atas : – – – – – –
3.
Spondiloarthrosis defermans. Spondilolistetik. Tumor caud. Metastasis carsinoma di corpus vertebrae lumbosakral. Fraktur corpus lumbosakral. Fraktur pelvis, radang atau neoplasma pada alat- alat dalam rongga panggul sehingga menimbulkan tekanan pada pleksus lumbosakralis.
Ischailgia non mekanik (medik) terbagi atas: – – – – –
Radikulitis tuberkulosa Radikulitas luetika Adhesi dalam ruang subarachnoidal Penyuntikan obat-obatan dalam nervus ischiadicus Neuropati rematik, diabetik dan neuropati lainnya
Gambaran Klinis • Nyeri punggung bawah • Rasa kaku pada punggung bawah • Nyeri menjalar di belakang paha sampai ke tumit • Paresthesia di kaki dan paha
Pemeriksaan • • • •
Anamnesa Inspeksi Palpasi Perkusi
• Reflex : – Knee Pess Reflex ↓ dan atau Achilles Pess Reflex ↓ – Laseque, patrick, antipatrick
Pemeriksaan fisik 1.Inspeksi – Perhatikan keadan tulang belakang, misalnya skoliosis, hiperlordosis atau lordosis lumbal yang mendatar
2.Palpasi – Nyeri tekan pada tulang belakang atau pada otot-otot di samping tulang belakang
3.Perkusi – Rasa nyeri bila prosesus diketok
4.Reflek – KPR ↓ dan atau APR ↓ – Laseque, patrick, antipatrick, naffziger
Pemeriksaan Penunjang • • • • •
Foto rontgen lumbosakral Elektromielografi Myelografi CT scan MRI
Penatalaksanaan • Istirahat lebih kurang 2-3 minggu • Obat – obatan : analgetik, NSAID, muscle relaxan • Program Rehabilitasi Medik • Operasi
72. Kejang • Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan. (Betz & Sowden,2002)
Manifestasi Klinik 1. Kejang parsial ( fokal, lokal ) a) Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini : – Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi . Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil. – Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa seakan jtuh dari udara, parestesia. – Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik. – Kejang tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.
b) Parsial kompleks – Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks – Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap – ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang – ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya. – Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi ) a) Kejang absens – Gangguan kewaspadaan dan responsivitas – Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik – Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh b) Kejang mioklonik – Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak. – Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki. – Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok – Kehilangan kesadaran hanya sesaat. c) Kejang tonik klonik – Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit – Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih – Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah. – Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal d) Kejang atonik – Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah. – Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
EEG • Elektro Enselo Grafi (EEG) adalah suatu alat yang mempelajari gambar dari rekaman aktifitas listrik di otak, termasuk teknik perekaman EEG dan interpretasinya. • Pembacaan EEG oleh dokter dijadikan acuan untuk tindakan dan penanganan selanjutnya kepada pasien. • Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan focus dan kejang.
Epilepsi • Definisi: suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi. Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010
Epilepsy - Classification • Focal seizures – account -
for 80% of adult epilepsies Simple partial seizures Complex partial seizures Partial seizures secondarilly generalised
• Generalised seizures (include absance type) • Unclassified seizures
Pemilihan OAE pada Remaja dan Dewasa Tipe Bangkitan
Lini 1
Lini 2
Lini 3
Lena
VPA LTG
ESM
LEV ZNS
Mioklonik
VPA
TPM LEV ZNS
LTG CLB CZP PB
Tonik Klonik
VPA CBZ PHT PB
LTG OXC
TPM LEV ZMS PRM
Atonik
VPA
LTG TPM
FBM
Parsial
CBZ PHT PB OXC LTG TPM GBP
VPA LEV ZNS PGB
TGB VGB FBM PRM
Unclassified
VPA
LTG
TPM LEV ZNS
• • • • • • • • • • • • • • • • •
CBZ: carbamazepine, CLB: clobazam CZP: clonazepam ESM: ethosuximide FBM: falbamate GBP: gabapentine LEV: Levetiracetam LTG: lamotrigine OXC: oxcarbamazepine PB: phenobarbital PGB: pregabalin PHT: phenytoin PRM: pirimidon TGB: tiagabine VGB: vigabatrine VPA: sodium valproate ZNS: zonisamide
Pemilihan OAE pada Anak Tipe Bangkitan
Lini 1
Lini 2
Lini 3
Lena
VPA LTG
ESM
LEV ZNS
Mioklonik
VPA
TPM ZNS
LTG CLB PB
Tonik Klonik
VPA CBZ PB
LTG TPM PHT
ZMS OXC LEV
Parsial
CBZ VPA PB
LTG TPM OXC ZNS
CLB PHT GBP LEV
Spasme Infantil
VGB ACTH
VPA NTZ
LTG ZNS TPM
Lennox-gastaut
VPA
LTG TPM
CLB FBM
Unclassified
VPA
LTG
TPM LEV ZNS
• • • • • • • • • • • • • • • • • • •
ACTH: adrenocorticotropic hormone CBZ: carbamazepine, CLB: clobazam CZP: clonazepam ESM: ethosuximide FBM: falbamate GBP: gabapentine LEV: Levetiracetam LTG: lamotrigine NTZ: nitrazepam OXC: oxcarbamazepine PB: phenobarbital PGB: pregabalin PHT: phenytoin PRM: pirimidon TGB: tiagabine VGB: vigabatrine VPA: sodium valproate ZNS: zonisamide
Penghentian OAE Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE yakni, 1. Syarat umum yang meliputi : – Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan. – Gambaran EEG normal – Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6bulan. – Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE – Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya. – Epilepsi simtomatik – Gambaran EEG abnormal – Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan. – Penggunaan OAE lebih dari 1 – Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi – Mendapat terapi 10 tahun atau lebih. – Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010
73. Glasgow Coma Scale • Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/ menilai tingkat kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan koma. Teknik penilaian dengan ini terdiri dari tiga penilaian terhadap respon yang ditunjukkan oleh pasien setelah diberi stimulus tertentu, yakni respon buka mata, respon motorik terbaik, dan respon verbal. Setiap penilaian mencakup poin-poin, di mana total poin tertinggi bernilai 15.
Jenis Pemeriksaan Respon buka mata (Eye Opening, E) · Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang) · Respon terhadap suara (suruh buka mata) · Respon terhadap nyeri (dicubit) · Tida ada respon (meski dicubit) Respon verbal (V) • Berorientasi baik • Berbicara mengacau (bingung) • Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan non-kalimat, misalnya, “aduh… bapak..”) • Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang) • Tidak ada suara Respon motorik terbaik (M) • Ikut perintah • Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri) • Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) • Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri) • Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri) • Tidak ada (flasid)
Nilai 4 3 2 1 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1
74. Cedera Medulla Spinalis • Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra. • Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.
PATOFISIOLOGI • Kompresi karena tulang, ligamen,herniasi diskus intervertebralis & hematom paling berat akibat kompresi tulang, trauma hiperekstensi corpus dislokasi ke posterior. • Regangan jaringan.biasanya terjadi pada hiperpleksi, toleransi medula spinalis terhadap regangan tergantung usia • Edema.timbul segera setelah trauma • Sirkulasi terganggu.
• 2 jam pasca cedera terjadi invasi sel-sel inflamasi dimulai oleh microglia dan leukosit polimorfonuklear. • 4 jam pasca cedera hampir separuh medula spinalis menjadi nekrotik. • 6 jam pasca cedera terjadi edema primer vaskogenik. • 48 jam terjadi edema dan nekrotik kros-sektional pada tempat cedera.
Manifestasi lesi traumatik • Komusio ,Kontusio,Laserasio,Perdarahan Kompresi, Hemiseksi ,Transeksi medula spinalis • Sindrom medula spinalis bagian anterior & posterior • Shok spinal • Aktivitas refleks yg meningkat
Transeksi medula spinalis akan terjadi masa Spinal Shok
SISTEM SARAF SOMATIK •
Sistem somatosensorik
eksteroseptif interoseptif sensasi kombinasi sensasi khusus
•
Sistem somatomotorik
sistem pyramidal sistem extrapyramidal
Sistem pyramidal punya komponen UMN & LMN dan terdiri atas 2 tractus tractus kortikobulbaris & tractus kortikospinalis 1. Tractus kortikobulbar UMN: cortex motorik extremitas posterior capsula interna crus cerebri (medial) inti2 motorik Nn. Craniales (di batang otak) LMN: dari inti2 motorik Nn. Craniales ikuti perjalanan saraf2 cranial Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: 29 – 42
2. Tractus kortikospinalis UMN: dari cortex motorik (bersama tractus cortikobulbar) batang otak pyramid medulla oblongata silang grs. tengah (dekusasio pyramidalis columna lateralis medulla spinalis (tractus cortikospinalis lateralis)
Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: 29 – 42
*+ 10% serat tidak menyilang dekusasio pyramidalis columna anterior medulla spinalis menyilang di tingkat cervikal inti2 motorik cornu anterior (tractus kortikospinalis anterior) LMN: dari inti2 motorik cornu anterior medulla spinalis radix anterior Nn. Spinales ikut perjalanan saraf tepi Otot tubuh & ekstremitas Sistem pyramidal terutama berperan terhadap gerakan terampil & halus, kontraksi otot bicara, kontraksi otot distal ekstremitas (tangan, kaki, jari2)
Lintasan Pyramidal
= UMN = LMN
UMN
LMN
LMN
Perbedaan kelumpuhan UMN & LMN
Lesi
UMN
Lesi
LMN
Paralise kaku (spastic)
Paralise lemas (flacid)
Reflex fisiologis +++
Refelex Fisiologis menurun
Atrofi otot (-)
Atrofi otot (+)
Reflex patologis (+)
Reflex patologis (-)
PENATALAKSANAAN 1.Tentukan cedera medula spinalis akut? 2.Lakukan stabilisasi medula spinalis 3. Atasi gangguan fungsi vital yaitu airways, breathing 4.Perhatikan perdarahan dan sirkulasi, hipotensi, shok neurogenik 5.Medical: – methylprednisolon 30mg/kgBB iv bolus dalam 15 menit – dilanjutkan 5,4mg/kgBB/jam iv hingga 24 jam bila dosis inisial diberikan <3jam setelah trauma – Atau dilanjutkan hingga 48 jam bila dosis inisial diberikan 3-8jam post trauma – Di atas 8 jam tidak ada pengaruh pemberian steroid.
75. Klasifikasi Nyeri 1. Nyeri Nosiseptif • Stimulasi singkat dan tidak menimbulkan kerusakan jaringan. • Tidak memerlukan terapi khusus karena berlangsung singkat. • Timbul jika ada stimulus yang cukup kuat sehingga akan menimbulkan kesadaran akan adanya stimulus berbahaya, dan merupakan sensasi fisiologis vital. • Intensitas stimulus sebanding dengan intensitas nyeri. • Contoh: nyeri pada operasi, nyeri akibat tusukan jarum, dll.
2. Nyeri Inflamatorik • Stimulasi kuat atau berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan atau lesi jaringan. • Terjadi akut ataupun kronik • Pasien dengan tipe nyeri ini, paling banyak datang ke fasilitas kesehatan. • Contoh: nyeri pada rheumatoid artritis.
Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management, Ann Intern Med; 140:441-451
3. Nyeri Neuropatik • Terjadi akibat adanya lesi sistem saraf perifer • Seperti pada neuropati diabetika, post-herpetik neuralgia, radikulopati lumbal, dll) atau sentral (seperti pada nyeri pasca cedera medula spinalis, nyeri pasca stroke, dan nyeri pada sklerosis multipel).
4. Nyeri Fungsional • Ditandai dengan tidak ditemukannya abnormalitas perifer dan defisit neurologis. • Disebabkan oleh respon abnormal sistem saraf terutama hipersensitifitas aparatus sensorik. • Beberapa kondisi umum memiliki gambaran nyeri tipe ini yaitu fibromialgia, iritable bowel syndrome, beberapa bentuk nyeri dada non-kardiak, dan nyeri kepala tipe tegang. • Tidak diketahui mengapa pada nyeri fungsional susunan saraf menunjukkan sensitivitas abnormal atau hiper-responsifitas
Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management, Ann Intern Med; 140:441-451
Tipe Khusus Nyeri Nyeri Alih (Reffered Pain) • Rasa nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang letaknya cukup jauh dari jaringan yang menyebabkan rasa nyeri. • Contohnya, rasa nyeri di dalam dalah satu organ viseral sering dialihkan ke suatu daerah di permukaan tubuh. • Ini terjadi apabila serabut nyeri viseral terangsang, sinyal nyeri yang berasal dari visera selanjutnya dijalarkan melalui beberapa neuron yang sama yang menjalarkan sinyal nyeri yang berasal dari kulit.
Nyeri Viseral • Rasa nyeri yang berasal dari bermacam-macam organ visera dalam abdomen dan dada merupakan salah satu criteria yang dapat dipakai untuk mendiagnosis peradangan visera, penyakit infeksi visera dan kelainan visera lain. • Seringkali visera tidak mempunyai reseptor-reseptor sensorik untuk modalitan sensasi lain kecuali untuk rasa nyeri. Juga, dalam beberapa aspek yang penting, rasa nyeri viseral berbeda dengan rasa nyeri yang berasal dari permukaan tubuh. • Salah satu perbedaan yang paling penting adalah walaupun organ visera mengalami kerusakan yang berat jarang mencetuskan rasa nyeri yang hebat. Sebaliknya, setiap stimulus yang menimbulkan perangsangan difus pada ujung serabut nyeri melalui organ visera (viskus) akan menimbulkan rasa nyeri yang hebat.
76. Neuralgia Post Herpetik • Neuralgia Post Herpetik (NPH) merupakan nyeri persisten yang muncul setelah ruam Herpes Zoster telah sembuh (biasanya dalam 1 bulan). • Nyeri pada NPH merupakan nyeri neuropatik yang diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan sinyal pada sistem saraf pusat. • Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon berlebihan terhadap stimulus. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada:Elsevier.
Faktor Risiko Ini merupakan faktor risiko: • Orang yang tidak pernah mengidap cacar air • Orang yang tidak pernah mendapat vaksinasi terhadap cacar air • Orang yang ada kontak dengan orang yang mengidap cacar air atau dengan alat makan atau barang pribadi mereka • Orang dengan sistem imun yang tidak kuat (immunocompromised) seperti mereka yang mengidap AIDS, HIV, menjalani chemotherapy, deformitaskongenital) • Orang dengan kanker • Wanita hamil • Anak-anak kecil • Lansia
Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada:Elsevier.
Manifestasi Klinis Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam tiga fase: • Fase akut – fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit – Biasanya berlangsung < 4 minggu2.
• Fase subakut – fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
• Neuralgia post herpetik – dimana nyeri menetap >4 bulan setelah onset lesikulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada:Elsevier.
Diagnosis Anamnesis • Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan gejala tipikal herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi kulit,nyeri yang timbul berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang dikenalsebagai nyeri post herpetik. Nyeri ini sering digambarkan sebagai rasaterbakar, tertusuk-tusuk, gatal atau tersengat listrik. Pemeriksaan Fisik 1. Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia 2. Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya 3. Daerah terinfeksi herpes zoster sebelumnya mungkin terdapat skar kutaneus 4. Sensasi yang ditimbulkan dapat berupa hipersensitivitas terhadapsentuhan maupun suhu, yang sering misdiagnosis sebagai miositis, pleuritik, maupun iskemia jantung, serta rasa gatal dan baal yang misdiagnosis sebagai urtikaria 5. Muncul blister yang berisi pus, yang akan menjadi krusta (2-3 minggukemudian) 6. Krusta yang sembuh dan menghilangnya rasa gatal, namun nyeri yangmuncul tidak hilang dan menetap sesuai distribusi saraf (3-4 minggusetelahnya) 7. Alodinia, yang ditimbulkan oleh stimulus non-noxius, seperti sentuhan ringan 8. Perubahan pada fungsi anatomi, seperti meningkatnya keringat padaarea yang terkena nyeri ini
Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada:Elsevier.
Pemeriksaan Penujang • Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaanneurologis lainnya. • Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus • Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus • Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% danDNA VZV 22% kasus. • Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi. • Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakanuntuk membedakan herpes simpleks dengan herpes zoster • Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipatmendukung diagnosis herpes zoster subklinis. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada:Elsevier.
Tatalaksana Farmakologi • Antiviral: – Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 – 10 hari diberikan pada 3 hari pertamasejak lesi. – Valasiklovir diberikan dengandosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral – Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500mg/hari selama 7 hari selama 7 hari.
• Analgesik: obat pilihan Tramadol 400mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Lain2 NSAID/ PCT. • Antiepilepsi: – Gabapentin 1800-3600mg/hari. Lain2: carbamazepine, lamotigrine
• Antidepresan: – Golongan trisiklik: Amitriptilin 25-150mg/hari
• Terapi topikal: lidocaine patch 5% Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada:Elsevier.
Tatalaksana Non-Farmakologi • Akupunktur – Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri.Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasusneuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masihmenggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebutdikombinasi pula dengan terapi farmakologis.
• TENS (stimulasi saraf elektris transkutan) – Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsialhingga komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENSpun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/tambahan disamping terapi farmakologis.
•
Vaksin – Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Postherpertika pada orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 mldiberi kan secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita
Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada:Elsevier.
77. Spinal Stenosis • Definisi: – penyakit degeneratif, terjadi akibat penyempitan kanal spinal secara perlahan, mulai dari gangguan akibat penebalan ligamen kuning, sendi faset yang membesar, dan diskus yang menonjol.
• Penyempitan kompresi saraf nyeri (nyeri punggung bawah, nyeri pantat, dan rasa sakit di kaki dan mati rasa) biasanya memburuk saat berjalan dan berkurang saat istirahat. • Istilah stenosis tulang belakang bukan merujuk pada ditemukannya penyempitan kanal spinal, namun lebih pada adanya nyeri tungkai yang disebabkan oleh penekanan saraf yang terkait.
• Etiologi – Penyebab paling umum: arthritis degeneratif dan penyakit degeneratif diskus. – Penyebab lain: tumor, infeksi, gangguan metanolisme tulang, mis: Paget’s disease
• Gejala dan Tanda: – – – – –
Nyeri punggung bawah Kelemahan (kelumpuhan) Mati rasa / baal Nyeri Kesemutan
• Diagnosis – – – –
Ditegakan secara klinis X-ray MRI Pemeriksaan khusus lain: EMG
Penatalaksanaan Apabila tidak terdapat keterlibatan saraf berat atau progresif: • NSAID • Analgesik untuk menghilangkan nyeri. • Blok akar saraf • Fisioterapi untuk mempertahankan gerakan tulang belakang, memperkuat otot perut dan punggung, serta membangun stamina, semua hal tersebut membantu menstabilkan tulang belakang. • Korset lumbal • Akupunktur dapat menstimulasi lokasi-lokasi tertentu pada kulit melalui berbagai teknik, sebagian besar dengan memanipulasi jarum tipis dan keras dari bahan metal yang memenetrasi kulit. Operasi dipertimbangkan dilakukan sesegera mungkin apabila ada rasa baal atau kelemahan yang mengganggu proses berjalan, gangguan fungsi usus besar (buang air besar) atau kandung kemih (buang air kecil).
78. Cedera Pleksus Brakhialis • Pleksus brakhialis dibentuk oleh radiks C5 – T1 • Cedera pleksus Brakhialis dapat dibagi menjadi cedera pleksus bagian atas dan bawah
Upper Brachial Plexus Injury – Erb’s Palsy • Appearance: drooping, wasted shoulder; pronated and extended limb hangs limply (“waiter’s tip palsy”) • Loss of innervation to abductors, flexors, & lateral rotators of shoulder and flexors & supinators of elbow • Loss of sensation to lateral aspect of UE • More common; better prognosis
Bayne & Costas (1990)
Netter 1997
Lower Brachial Plexus Injury – Klumpke’s Palsy • Much rarer than UBPIs and Erb’s Palsy • Loss of C8 & T1 results in major motor deficits in the muscles working the hand: “claw hand” • Loss of sensation to medial aspect of UE • Sometimes ptosis or full Horner’s syndrome • Much rarer (1%) but poorer prognosis
“claw hand” 2006 Moore & Dalley COA
Netter 1997
Diagnosis
Karakteristik
Brown-sequard syndrome
Akibat hemilesi medulla spinalis. Manifestasi klinisnya adalah : 1. Kelumpuhan LMN ipsilateral setinggi lesi 2. Defisit sensorik ipsilateral setinggi lesi 3. Kelumpuhan UMN ipsilateral dibawah tingkat lesi 4. Defisit proprioseptif ( getaran, posisi, gerakan ) ipsilateral dibawah lesi 5. Deficit protopatik ( nyeri, suhu, perabaan ) kontralateral dibawah lesi.
Cervical Root syndrome
Cervical Root Syndrome adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh iritasi atau penekanan akar saraf servikal oleh penonjolan discus invertebralis. Gejalanya adalah nyeri leher yang menyebar ke bahu, lengan atas atau lengan bawah, parasthesia, dan kelemahan atau spasme otot.
Carpal tunnel syndrome
Carpal tunnel syndrome atau CTS (sindrom terowongan/lorong karpal) adalah kondisi yang memengaruhi tangan dan jari hingga mengalami sensasi rasa kesemutan, mati rasa, atau nyeri. Saraf yang mengalami kelainan adlah nervus medianus.
79. Tekanan Intrakranial • Intrakranial tersusun atas : – Otak (80%) – Cairan serebrospinal (10%) – Volume darah otak (10%)
Hukum Monroe Kellie Komposisi tiap komponen intrakranial dapat berubah ubah, namun volume intrakranial total akan selalu tetap
V (intracranial vault)= V (CSF) + V (brain) + V (blood) + V (lainnya, massa)
– tubuh memiliki mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan intrakranial yang normal seperti mengubah tekanan darah Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital, reflex cahaya pupil, kesadaran, defisit fokal, fontanel (pada bayi)
Doktrin Monro-Kellie
• Tanda dan Gejala peningkatan tekanan intrakranial – Nyeri kepala – Mual dan muntah – Perubahan kesadaran – Ubun ubun membonjol pada bayi – Defisit neurologis – Kejang – Kaku kuduk (terutama akibat meningitis) – Perubahan pola nafas : stridor, hiperventilasi, Cheyne – Stokes
Pengelolaan peningkatan TIK • Tindakan umum
– Elevasi kepala 30°
• Meningkatkan venous return CBV menurun TIK turun
– Hiperventilasi ringan
• Menyebabkan PCO2 vasokonstriksi CBV TIK
– Pertahankan tekanan perfusi otak • (CPP) > 70 mmHg • (CPP=MAP-ICP)
– Pertahankan normovolemia
• Tidak perlu dilakukan dehidrasi, karena menyebabkan CPP hipoperfusi iskemia
– Pertahankan normothermia
• Suhu dipertahankan 36-37°C • Terapi hipothermia (ruangan berAC) • Setiap kenaikan suhu tubuh 1°C meningkatkan kebutuhan cairan ± 10%
PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006
– Pencegahan kejang • Diphenil hidantoin loading dose 13-18mg/kgBB diikuti dosis pemeliharaan 68mg/kgBB/hari
– Diuretika • Menurunkan produksi CSS • Tidak efektif dalam jangka lama
– Kortikosteroid • Tidak dianjurkan untuk cedera otak • Bermanfaat untuk anti edema pada peningkatan TIK non trauma, misal tumor/abses otak
– Manitol • Osmotik diuresis, bekerja intravaskuler pada BBB yang utuh • Efek – Dehidrasi (osmotik diuresis) – Rheologis – Antioksidan (free radical scavenger)
• Dosis 0,25-1g/kgBB/pemberian, diberikan 4-6x/hari • Diberikan atas indikasi: – Ada tanda klinis terjadinya herniasi – Klinis & radiologis TIK meningkat
PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006
• Terapi primer peningkatan TIK – Evakuasi/eksisi massa (hematoma) • Kraniotomi – Memperbaiki BBB – Mengurangi penekanan CBF iskemia
– Drainase CSS • Dengan ventrikulostomi • 100-200 cc/hari
80. Cedera Saraf Perifer
Anatomical Snuff Box
81. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA BERDASARKAN PATOFISIOLOGI 1. Komosio serebri : tidak ada jaringan otak yang rusak tp hanya kehilangan fungsi otak sesaat (pingsan < 10 mnt) atau amnesia pasca cedera kepala. 2. Kontusio serebri : kerusakan jar. Otak + pingsan > 10 mnt atau terdapat lesi neurologik yg jelas. 3. Laserasi serebri : kerusakan otak yg luas + robekan duramater + fraktur tl. Tengkorak terbuka. BERDASARKAN GCS: 1. GCS 13-15 : Cedera kepala ringan CT scan dilakukan bl ada lucid interval/ riw. kesdran menurun. evaluasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral + tanda-tanda vital. 2. GCS 9-12 : Cedera kepala sedang prks dan atasi gangg. Nafas, pernafasan dan sirkulasi, pem. Ksdran, pupil, td. Fokal serebral, leher, cedera orga lain, CT scan kepala, obsevasi. 3. GCS 3-8 : Cedera kepala berat : Cedera multipel. + perdarahan intrakranial dg GCS ringan /sedang. PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006
82. Kekuatan Motorik • Derajat kekuatan motorik : 5 : Kekuatan penuh untuk dapat melakukan aktifitas 4 : Ada gerakan tapi tidak penuh 3 : Ada kekuatan bergerak untuk melawan gravitas bumi 2 : Ada kemampuan bergerak tapi tidak dapat melawan gravitasi bumi. 1 : Hanya ada kontraksi 0 : tidak ada kontraksi sama sekali
83. Stroke
Klasifikasi Stroke Non Haemoragik menurut Padila (2012) • Transient Ischemic Attack (TIA) • defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otaksepintas dan menghilang lagi tanpa sisa dengan cepat dalam waktu tidak lebihdari 24 jam.
• Reversible Iscemic Neurological Deficit (RIND) • defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak berlangsung lebih dair 24 jam dan menghilang tanpa sisa dalam waktu 72 jam.
• Stroke in Evolution (Progressing Stroke) • deficit neurologik fokal akut karena gangguan peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan mencapai maksimal dalam beberapa jam hingga beberapa hari4.
• Stroke in ResolutionStroke in resolution: • deficit neurologik fokal akut karena gangguan peredaran darah otak yang memperlihatkan perbaikan dan mencapai maksimal dalam beberapa jam sampai bebrapa hari.
• Completed Stroke (infark serebri): • defisit neurologi fokal akut karena oklusi atau gangguan peredaran darah otak yang secara cepat menjadi stabil tanpamemburuk lagi
SUBTIPE STROKE ISKEMIK Stroke Lakunar • Terjadi karena penyakit pembuluh halus hipersensitif dan menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam atau kadangkadang lebih lama. Infark lakunar merupakan infark yang terjadi setelah oklusi aterotrombotik atau hialin lipid salah satu dari cabang-cabang penetrans sirkulus Willisi, arteria serebri media, atau arteri vertebralis dan basilaris. Trombosis yang terjadi di dalam pembuluh-pembuluh ini menyebabkan daerah-daerah infark yang kecil, lunak, dan disebut lacuna. • Gejala-gejala yang mungkin sangat berat, bergantung pada kedalaman pembuluh yang terkena menembus jaringan sebelum mengalami trombosis. Terdapat empat sindrom lakunar yang sering dijumpai : – – – –
Hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula interna posterior Hemiparesis motorik murni akibat infark pars anterior kapsula interna Stroke sensorik murni akibat infark thalamus Hemiparesis ataksik atau disartria serta gerakan tangan atau lengan yang canggung akibat infark pons basal
SUBTIPE STROKE ISKEMIK Stroke Trombotik Pembuluh Besar • Sebagian besar dari stroke ini terjadi saat tidur, saat pasien relative mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Gejala dan tanda akibat stroke iskemik ini bergantung pada lokasi sumbatan dan tingkat aliran kolateral di jaringan yang terkena. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik. • Hipertensi non simptomatik pada pasien berusia lanjut harus diterapi secara hatihati dan cermat, karena penurunan mendadak tekanan darah dapat memicu stroke atau iskemia arteri koronaria atau keduanya. Stroke Embolik • Asal stroke embolik dapat dari suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan deficit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki risiko besar menderita stroke hemoragik di kemudian hari. Stroke Kriptogenik • Biasanya berupa oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas walaupun telah dilakukan pemeriksaan diagnostic dan evaluasi klinis yang ekstensif.
Jaras Motorik
Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese • Penderita stroke non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri akan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan, dan begitu pula sebaliknya dan sebagian juga terjadi Hemiparese dupleks, pendeita stroke non hemoragik yang mengalami hemiparesesi dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian tubuh sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.
84. SISTEM SARAF SOMATIK •
Sistem somatosensorik
eksteroseptif interoseptif sensasi kombinasi sensasi khusus
•
Sistem somatomotorik
sistem pyramidal sistem extrapyramidal
Sistem pyramidal punya komponen UMN & LMN dan terdiri atas 2 tractus tractus kortikobulbaris & tractus kortikospinalis 1. Tractus kortikobulbar UMN: cortex motorik extremitas posterior capsula interna crus cerebri (medial) inti2 motorik Nn. Craniales (di batang otak) LMN: dari inti2 motorik Nn. Craniales ikuti perjalanan saraf2 cranial Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: 29 – 42
2. Tractus kortikospinalis UMN: dari cortex motorik (bersama tractus cortikobulbar) batang otak pyramid medulla oblongata silang grs. tengah (dekusasio pyramidalis columna lateralis medulla spinalis (tractus cortikospinalis lateralis)
Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: 29 – 42
*+ 10% serat tidak menyilang dekusasio pyramidalis columna anterior medulla spinalis menyilang di tingkat cervikal inti2 motorik cornu anterior (tractus kortikospinalis anterior) LMN: dari inti2 motorik cornu anterior medulla spinalis radix anterior Nn. Spinales ikut perjalanan saraf tepi Otot tubuh & ekstremitas Sistem pyramidal terutama berperan terhadap gerakan terampil & halus, kontraksi otot bicara, kontraksi otot distal ekstremitas (tangan, kaki, jari2)
Lintasan Pyramidal
= UMN = LMN
UMN
LMN
LMN
Perbedaan kelumpuhan UMN & LMN
Lesi
UMN
Lesi
LMN
Paralise kaku (spastic)
Paralise lemas (flacid)
Reflex fisiologis +++
Refelex Fisiologis menurun
Atrofi otot (-)
Atrofi otot (+)
Reflex patologis (+)
Reflex patologis (-)
SISTEM EKSTRA PIRAMIDAL Semua jaras, inti & sirkuit yg pengaruhi aktivitas somatomotorik selain lintasan pyramidal Terdiri dari: 1. Cortex motorik 2. Basal ganglia 3. Inti2 thalamus & subthalamus 4. Nukleus ruber & substansia nigra 5. Inti2 formatio retikularis 6. Sirkuit feedback, jaras & lintasannya (kortikospinal, kortikoretikulospinal & vestibulospinal Fungsi utama sistem extrapyramidal yaitu pengendalian terhadap: 1. Posisi gerak tubuh 2. Kontraksi otot proksimal tubuh 3. Gerakan asosiasi 4. Perencanaan suatu gerakan
Lesi di Decussatio Pyramidum
• • • • •
hemiplegia contralateral lumpuh separuh tubuh sesuai sisi lesi hemiplegia contralateral lumpuh seperuh tubuh pada sisi berlawanan sisi lesi hemiplegia cruciata lumpuh kaki kontralateral dan tangan ipsilateral quadriplegia lumpuh semua ekstremitas paraplegia lumpuh kedua kaki
ILM U PSIK IATR I
85. SKIZOFRENIA KATATONIK • Skizofrenia dengan gambaran klinis memenuhi setidaknya 2 gejala dari kumpulan gejala di bawah ini: 1. Imobilitas motorik berupa katalepsi (termasuk di dalamnya fleksibilitas lilin) atau stupor 2. Aktivitas motorik yang berlebihan yang tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal 3. Negativisme yang ekstrim (mempertahankan posisi rigid yang resisten terhadap apapun) atau mutisme 4. Posisi atau gerakan yang aneh, gerakan yang stereotipi, manerisme, atau grimacing 5. Echolalia atau echopraxia DSM-IV-TR
Jenis Skizofrenia Lainnya
Gangguan Psikomotor • Stupor: keadaan di mana pasien tidak berkomunikasi, yaitu tidak berbicara (mutisme) atau tidak bergerak (akinesia), meskipun ia waspada. • Mutisme: bisu tanpa abnormalitas struktural. • Katalepsia: postur tidak nyaman dan aneh dipertahankan melawan gravitasi atau gaya lainnya. Katalepsi merupakan istilah umum untuk posisi tidak bergerak yang dipertahankan secara konstan.
Gangguan Psikomotor • Fleksibilitas cerea (fleksibilitas lilin): keadaan seseorang yang dapat dibentuk menjadi posisi tertentu kemudian dipertahankan; ketika pemeriksa menggerakkan anggota gerak orang tersebut, anggota gerak itu terasa seperti terbuat dari lilin. • Rigiditas katatonik: keadaan mempertahankan suatu postur rigid secara volunter, meski telah dilakukan semua usaha untuk menggerakkannya. • Postur katatonik: mempertahankan suatu postur aneh dan tidak pada tempatnya secara volunter, biasanya dipertahankan dalam jangka waktu lama.
86. PERVASIVE DEVELOPMENTAL DISORDER (PDD)
mild Asperger’s disorder
severe PDD Not Otherwise Classified (PDD-NOS)
Autistic disorder
Autism spectrum disorder (ASD)
Rett’s disorder
Childhood disintegrative disorder
Autism Spectrum Disorder (ASD)
Asperger, PDD-NOS, Autism PDD-NOS
Autism
Asperger
Impaired social interaction
Impaired social interaction
Impaired social interaction
OR
AND
AND
Impaired communication
Impaired communication
Normal communication/ language development
OR
AND AND
Restricted repetitive and stereotyped patterns or behaviors
Restricted repetitive and stereotyped patterns or behaviors
Restricted repetitive and stereotyped patterns or behaviors
Pedoman Diagnosis Autisme (DSM-IV)
87. GANGGUAN SOMATOFORM Diagnosis
Karakteristik
Gangguan somatisasi
Banyak keluhan fisik (4 tempat nyeri, 2 GI tract, 1 seksual, 1 pseudoneurologis).
Hipokondriasis
Keyakinan ada penyakit fisik.
Disfungsi otonomik somatoform
Bangkitan otonomik: palpitasi, berkeringat, tremor, flushing.
Nyeri somatoform
Nyeri menetap yang tidak terjelaskan.
Gangguan Dismorfik Tubuh
Preokupasi adanya cacat pada tubuhnya Jika memang ada kelainan fisik yang kecil, perhatian pasien pada kelainan tersebut akan dilebih-lebihkan
PPDGJ
Kriteria Diagnosis Somatisasi A. Keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun, terjadi selama periode beberapa tahun B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan: – – – –
4 gejala (G) nyeri: sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi) 2 G gastrointestinal: sekurangnya dua gejala selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan) 1 G seksual: sekurangnya satu gejala selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan). 1 G pseudoneurologis: sekurangnya satu gejala atau deficit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, sulit menelan, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan).
C. Salah satu (1)atau (2): –
–
Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol) Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau pura-pura). Referensi: PPDGJ-III
Bedanya dengan Psikosomatis, Gangguan Konversi, Malingering, Factitious disorder Kelainan
Karakteristik
Psikosomatis
Pada gangguan psikosomatis, ada keluhan dan ditemukan keabnormalan pada pemeriksaan. Namun penyebabnya adalah masalah psikis.
Gangguan Konversi
Adanya satu atau beberapa gejala neurologis (misalnya buta, lumpuh anestesi, amnesia, dll) yang tidak dapat dijelaskan dengan penjelasan medis maupun neurologis yang ada.
Malingering
Berpura-pura sakit atau melebih-lebihkan kondisi fisik yang sudah ada sebelumnya dengan tujuan untuk mendapatkan kompensasi tertentu (misalnya untuk mendapatkan cuti kerja).
Factitious disorder/ Munchhausen syndrome
Berpura-pura sakit atau membuat dirinya sakit. Namun hal ini dilakukan semata-mata untuk mendapatkan perhatian/ simpati dari orang lain saja.
88. GANGGUAN DISOSIATIF (KONVERSI) • Gejala utama adalah adanya kehilangan dari integrasi normal, antara: • ingatan masa lalu, • kesadaran identitas dan penginderaan segera, & • kontrol terhadap gerakan tubuh
• Terdapat bukti adanya penyebab psikologis, kejadian yang stressful atau hubungan interpersonal yang terganggu • Tidak ada bukti adanya gangguan fisik. PPDGJ
Diagnosis Amnesia
Karakteristik
Gangguan Disosiatif Hilang daya ingat mengenai kejadian stressful atau traumatik yang baru terjadi (selektif)
Fugue
Melakukan perjalanan tertentu ke tempat di luar kebiasaan, tapi tidak mengingat perjalanan tersebut.
Stupor
Sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan volunter & respons normal terhadap rangsangan luar (cahay, suara, raba)
Trans
Kehilangan sementara penghayatan akan identitias diri & kesadaran, berperilaku seakan-akan dikuasai kepribadian lain.
Motorik
Tidak mampu menggerakkan seluruh/sebagian anggota gerak.
Konvulsi
Sangat mirip kejang epileptik, tapi tidak dijumpai kehilangan kesadaran, mengompol, atau jatuh.
Anestesi & kehilangan sensorik
Anestesi pada kulit yang tidak sesuai dermatom. Penurunan tajam penglihatan atau tunnel vision (area lapang pandang sama, tidak tergantung jarak). Contoh: buta konversi dan tuli konversi
PPDGJ
Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
89. ANSIETAS (GANGGUAN CEMAS) Diagnosis
Characteristic
Gangguan panik
Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan perasaan akan datangnya kejadian menakutkan. Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya provokasi dari stimulus apapun & ada keadaan yang relatif bebas dari gejala di antara serangan panik. Tanda fisis:Takikardia, palpitasi, dispnea, dan berkeringat. Serangan umumnya berlangsung 20-30 menit, jarang melebihi 1 jam. Tatalaksana: terapi kognitif perilaku + antidepresan.
Gangguan fobik
Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera, dan kematian.
Gangguan penyesuaian
Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku dalam waktu <3 bulan dari awitan stresor. Tidak berhubungan dengan duka cita akibat kematian orang lain.
Gangguan cemas menyeluruh
Ansietas berlebih terus menerus berlangsung setiap hari sampai bbrp minggu disertai Kecemasan (khawatir akan nasib buruk), ketegangan motorik (gemetar, sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas otonomik (sesak napas, berkeringat, palpitasi, & gangguan gastrointestinal), kewaspadaan mental (iritabilita).
GANGGUAN CEMAS MENYELURUH (PPDGJ-III) • Penderita harus menunjukan anxietas sebagai gejala primer yg harus berlangsung setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan. • Gejala tersebut mencakup unsur-unsur: – Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seprti diujung tanduk dan nasib buruk) – Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak santai) – Overaktivitas otonomik (kepala terasa sakit, keringatan, jantung berdebar-debar, sesak napas, kelujhan lambung, pusing kepala)
• Pada anak-anak sering terlihat kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan & keluhan somatik berulang yg menonjol. • Adanya gejala lain yg sifatnya sementara, khususnya untuk depresi, tidak membatalkan diagnosis utama gangguan cemas menyeluruh selama tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif.
90. GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL
Gejala Ekstrapiramidal Karakteristik
Akathisia
Gelisah dan merasa perlu bergerak terus. Menggerakkan kaki mengetuk lantai (foot tapping atau toe tapping). Gejala ini berkurang saat tidur atau pada posisi berbaring. Pasien merasa tertekan bila tidak dapat bergerak.
Dystonia
Kelainan neurologis dimana terdapat kontraksi otot yang terus-menurus sehingga mengakibatkan gerakan repetitif dan twisting atau postur yang abnormal. Dapat melibatkan punggung, leher, ekstremitas atas dan bawah, rahang, dan laring. Bisa terjadi kesulitan menelan, bernapas, bicara, dan menggerakkan leher. Oculogyric crisisDeviasi keatas bola mata yang ekstrim disertai dengan konvergen, menyebabkan diplopia. Berkaitan dengan fleksi posterolateral dari leher dan dengan mulut terbuka atau rahang terkunci.
Parkinsonism
Tremor, rigiditas, dan kelambatan bergerak, yang melibatkan batang tubuh dan ekstremitas. Kesulitan berdiri dari posisi duduk, postur tidak seimbang, muka topeng.
Tardive dyskinesia
Gerakan koreatetoid abnormal yang melibatkan regio orofasial dan lidah. Lebih jarang mengenai ekstremitas dan batang tubuh. Ada gerakan mulut mencucu, gerakan mengunyah, dan lidah menjulur. Gejala tidak menimbulkan nyeri, namun menyebabkan penderitanya malu di depan umum. http://www.uspharmacist.com/content/c/10205/?t=women%27s_health,neurology
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal • Yang terpenting adalah Pencegahan – Setiap pasien yang menerima antipsikotik harus dievaluasi dan dimonitor terhadap munculnya gejala ekstrapiramidal.
• Obat yang mencetuskan gejala ekstrapiramidal harus dikurangi dosisnya atau distop, dan diganti dengan obat antipsikotik lain yang risiko gejala ekstrapiramidalnya lebih rendah.
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal AKATHISIA • Obat yang menyebabkannya dihentikan atau dikurangi dosisnya. • Ganti obat menjadi antipsikotik atipikal • Diberikan antimuskarinik atau beta bloker • Obat lain: amantadine, amiitriptilin, benzodiazepin, klonidin, kodein, siproheptadine, mirtazaine.
TARDIVE DYSKINESIA • Obat yang menyebabkan gejala dikurangi dosisnya atau dihentikan. • Bila sedang mendapat antimuskarinik, harus dihentikan juga. • Ganti antipsikotik menjadi atipsikotik atipikal • Tatalaksana ansietas • Pada diskinesia fokal, dapat diberi toksin Botulinum • Obat lain: amantadine, benzodiazepine, levetiracetam, pregabalin, vitamin E, dopamindepleting-agent • Deep brain stimulation
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal DYSTONIA • Hentikan atau turunkan dosis obat yang menyebabkan distonia. • Ganti obat menjadi golongan antipsikotik atipikal • Berikan obat-obatan antimuskarinik • Tatalaksana ansietas • Pada distonia fokal , dapat diberi toksin Botulinum • Pemberian relaksan otot, dopamin-depleting agent • Deep brain stimulation
• PARKINSONISME • Hentikan atau turunkan dosis obat yang menyebabkan gejala. • Ganti obat menjadi golongan antipsikotik atipikal • Obat lain: Amantadine, golongan antimuskarinik, agonis dopamin, levodopa
Contoh obat antimuskarinik: Triheksifenidil, Benzodiazepin, Levetiracetam, Pregabalin
91.EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK
92. ANTIDEPRESAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT JANTUNG MAO Inhibitor
• Tranylcypromine, Phenelzine, Moclobemide, Selegiline, etc • Hypotension and tachycardia are frequently experienced • Hypertensive crisis can occur when tyramine-containing foods such as aged cheese are ingested along with MAOIs
Tricyclic Antidepressant
• Imipramine, Amitriptyline, Nortriptyline, Desipramine, Amoxapine, Clomipramine, Doxepin, Maprotiline • Cardiovascular complications of TCAs have been reported not only in patients with CVD but also in people with no prior history of cardiac diseases • Prolonged PR, QRS, and QT intervals
SSRI
• Citalopram, Escitalopram, Fluoxetine, Fluvoxamine, Sertraline, Paroxetine • Cardiovascular adverse events are usually mild and are unlikely to occur with SSRIs at therapeutic doses. • Can normalize or at least improve some abnormalities of platelet function indices in patients with ischemic heart diseases.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4434967/
SNRI
• Venlafaxine, Desvenlafaxine, Reboxetine, Duloxetine, etc • Increased levels norepinephrine and serotonin can accelerate cardiac sympathetic activity. • Excessive sympathetic stimulation may cause dangerous tachyarrhythmias and/or hypertensive crisis
Atypical Antidepressant
• Mirtazapine, Agomelatine, Bupropione, Nefazodone, Trazodone, etc • Medications with unique modes of action which are usually prescribed for patients who do not respond to first-line treatment or cannot tolerate their side effects • Minimal cardiovascular side effect
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4434967/
Recommendations Heart Failure (HF) • SSRIs seem to be the first choice in patients with HF. • Alternative: TCAs combined with beta blockers.
Coronary Artery Disease (CAD) • SSRIs constitute the firstline antidepressants prescribed for patients suffering from a coexistent ACS – First choice: Citalopram, Sertraline – Fluoxetine also can be used
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4434967/
93. GANGGUAN PENYESUAIAN (PPDGJ-III) • Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara: • bentuk, isi, dan beratnya gejala. • riwayat sebelumnya dan corak kepribadian. • kejadian, situasi yang stressful atau krisis kehidupan.
• Adanya faktor ketiga diatas (3) harus jelas dan bukti yang kuat bahwa gengguan tersebut tidak akan terjadi seandainya tidak mengalami hal tersebut. • Menifestasi dari gangguan bervariasi, dan mencakupafek depresi, anxietas, campuran axietas-depresi. Gangguan tingkah laku , disertai adanya disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada satupun dari gejala tersebut yang spesifik untuk mendukung diagnosis • Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang “stressful” dan gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan. Kecuali dalam hal reaksi depresif berkepanjangan
Gangguan Penyesuaian (DSM-IV)
Gangguan Penyesuaian Dan Percobaan Bunuh Diri
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2943177/
DEPRESI • Gejala utama: 1. afek depresif, 2. hilang minat & kegembiraan, 3. mudah lelah & menurunnya aktivitas.
• Gejala lainnya: 1. konsentrasi menurun, 2. harga diri & kepercayaan diri berkurang, 3. rasa bersalah & tidak berguna yang tidak beralasan, 4. merasa masa depan suram & pesimistis, 5. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, 6. tidur terganggu, 7. perubahan nafsu makan (naik atau turun).
Terjadi selama minimal 2 minggu. PPDGJ
Depresi • Episode depresif ringan: 2 gejala utama + 2 gejala lain > 2 minggu • Episode depresif sedang: 2 gejala utama + 3 gejala lain, >2 minggu.
• Episode depresif berat: 3 gejala utama + 4 gejala lain > 2 minggu. Jika gejala amat berat & awitannya cepat, diagnosis boleh ditegakkan meski kurang dari 2 minggu. • Episode depresif berat dengan gejala psikotik: episode depresif berat + waham, halusinasi, atau stupor depresif. PPDGJ
DSM-IV Criteria
94. Gangguan Short Term Memory • Gangguan short term memory merupakan gangguan memori terhadap suatu kejadian yang terjadi dari 30 detik yang lalu hingga 5-7 hari. • Gangguan short term memory umumnya terjadi akibat gangguan pada lobus frontal. • Faktor risiko gangguan short term memory antara lain hipoksia kronik, alkoholisme, epilepsi, riwayat CABG, depresi.
DD/ Gangguan Obsesi Kompulsi • Berdasarkan PPDGJ-III, Gejala-gejala obsesifkompulsif harus mencakup hal-hal sebagai berikut : – Harus disadari sebagai pikiran atau implus dari diri sendiri. – Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita. – Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan, melainkan disebabkan oleh rasa cemas yang berlebihan. – Gagasan, bayangan pikiran, atau implus tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
95. GANGGUAN PANIK • DSM-IV mengklasifikasikan gangguan panik menjadi: – Gangguan panik dengan agorafobia – Gangguan panik tanpa agorafobia
• Secara epidemiologis, sebagian besar gangguan panik disertai dengan agorafobia.
Panic Attack Specifiers (4 or more symptoms) • Palpitations, pounding heart, or accelerated heart rate • Sweating • Trembing or shaking • Sensation or shortness of breath • Feeling of choking • Chest pain or discomfort
• Nausea or abdominal distress • Feeling dizzy, unsteady, light-headed, faint • Chills or heat sensations • Paresthesias • Derealization or depersonalization • Fear of losing control • Fear of dying DSM-IV-TR
Pedoman Diagnosis Gangguan Panik • Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan adanya gangguan ansietas fobik. • Harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas berat dalam masa kira-kira satu bulan. • Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya. • Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable situation)
PPDGJ-III
Pedoman Diagnosis Agorafobia • Cemas berlebihan apabila berada di tempattempat atau situasi-situasi yang sangat sulit untuk menyelamatkan diri atau pertolongan mungkin tidak bisa didapatkan. • Situasi-situasi tersebut akan dihindari (membatasi perjalanan) atau bila dikerjakan akan ditandai dengan adanya distress atau kecemasan akan kemungkinan terjadinya satu serangan panik atau gejala-gejala menyerupai panik, atau sering minta ditemani ditemani kalau keluar rumah. DSM-IV
Gangguan Panik dengan Agorafobia (DSM-IV)
Gangguan Panik Tanpa Agorafobia (DSM-IV)
Tatalaksana Gangguan Panik • Cognitive-Behavioral Therapy – This is a combination of cognitive therapy – Cognitive therapymodify or eliminate thought patterns contributing to the patient’s symptoms – Behavioral therapy aims to help the patient to change his or her behavior. – Cognitive-behavioral therapy generally requires at least eight to 12 weeks • Some people may need a longer time in treatment to learn and implement the skills
• Treatment i n Emergency Departement – Oral benzodiazepine – Iv medication, e.x. Lorazepam – Sometimes beta blockers are used to reduce anxiety http://www.aafp.org/afp/2005/0215/p733.html
• Medication – SSRIs • the first line of medication treatment for panic disorder
– Tricyclic antidepressants – High-potency benzodiazepines • Ex: Clonazepam • may cause depression and are associated with adverse effects during use and after discontinuation of therapy • Poorer outcome and global functioning than antidepresant
– monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
• Combination Therapy • Psychodynamic therapy – help to relieve the stress that contributes to panic attacks, they do not seem to stop the attacks directly
Ven XR :Venlafaxine extended release • SNRI : Serotonin norephinephrine reuptake inhibitor
http://www.currentpsychiatry.com/home/article/panicdisorder-break-the-fearcircuit/990b7a325883ba278cdf8e46222a61f9.html
96. CHILDHOOD PSYCHIATRY
ADHD • Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) – a pattern of diminished sustained attention and higher levels of impulsivity in a child or adolescent
• The diagnosis of ADHD is based on the consensus of experts that three observable subtypes: – inattentive, – hyperactive/impulsive, or – combined are all manifestations of the same disorder.
Jenis-jenis ADHD
Gangguan Belajar (Learning Disorder - DSM IV) • When individuals demonstrate abilities below the level that would be expected given their age and grade level in school based upon an arbitrary gap, they may be diagnosed with this mental disorder which should be further specified according to the particular academic function affected: – Mathematics Disorder (known as dyscalculia) – Reading Disorder (known as dyslexia) – Disorder of Written Expression (known as dysgraphia)
Reading Disorder (DSM-IV)
Mathematic Disorder (DSM-IV)
Disorder of Written Expression (DSM-IV)
97. GANGGUAN KEPRIBADIAN
Gangguan Kepribadian Histrionik (DSM-IV)
98. DEPRESI • Gejala utama: 1. afek depresif, 2. hilang minat & kegembiraan, 3. mudah lelah & menurunnya aktivitas.
• Gejala lainnya: 1. konsentrasi menurun, 2. harga diri & kepercayaan diri berkurang, 3. rasa bersalah & tidak berguna yang tidak beralasan, 4. merasa masa depan suram & pesimistis, 5. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, 6. tidur terganggu, 7. perubahan nafsu makan (naik atau turun).
Terjadi selama minimal 2 minggu. PPDGJ
Depresi • Episode depresif ringan: 2 gejala utama + 2 gejala lain > 2 minggu • Episode depresif sedang: 2 gejala utama + 3 gejala lain, >2 minggu.
• Episode depresif berat: 3 gejala utama + 4 gejala lain > 2 minggu. Jika gejala amat berat & awitannya cepat, diagnosis boleh ditegakkan meski kurang dari 2 minggu. • Episode depresif berat dengan gejala psikotik: episode depresif berat + waham, halusinasi, atau stupor depresif. PPDGJ
DSM-IV Criteria
Terapi Depresi • Sasarannya adalah perubahan biologis/efek berupa mood pasien. • Karena mood pasien dipengaruhi kadar serotonin dan nor-epinefrin di otak, maka tujuan pengobatan depresi adalah modulasi serotonin dan norepinefrin otak dengan agenagen yang sesuai. • Dapat berupa terapi farmakologis dan non farmakologis.
Terapi Non Farmakologis • PSIKOTERAPI – interpersonal therapy: berfokus pada konteks sosial depresi dan hub pasien dengan orang lain – cognitive - behavioral therapy „: berfokus pada mengoreksi pikiran negatif, perasaan bersalah yang tidak rasional dan rasa pesimis pasien
• ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT): aman dan efektif, namun masih kontroversial „ – diindikasikan pada : ™ depresi yang berat ™diperlukan respons yang cepat, ™™respon terhadap obat jelek
Terapi Farmakologis
Dosis Obat Antidepresan
KULIT & KELAMIN, MIKROBIOLOGI, PARASITOLOGI
99. Morbus Hansen • Etiologi: M. Leprae • Pemeriksaan Fisik – – – – –
Bercak mati rasa, tidak gatal, parastesia Wasting dan kelemahan otot Foot drop or clawed hands Ulserasi pada tungkai atas atau bawah yang tidak nyeri Lagophthalmos, iridocyclitis, ulserasi kornea, dan/atau katarak sekunder akibat kerusakan saraf atau invasi bakteri secara langsung
• Pemeriksaan Histopatologi (Biopsi) – Histiosit: makrofag di kulit, sel Virchow/sel lepra/foamy cell – Granuloma: akumulasi makrofag/ derivat-derivatnya
• Pemeriksaan Bakteriologi: BTA • Pemeriksaan Imunologi – Imunoglobulin: IgM dan IgG – Lepromin Skin test
Klasifikasi Kusta tipe MB berdasarkan Jopling Sifat
Lepromatosa (LL)
Borderline Lepromatosa (BL)
Mid Borderline (BB)
Bentuk
Makula Infiltrat difus Papul Nodul
Makula Plakat Papul
Plakat Dome shape (kubah) Punched out
Jumlah
Tidak terhitung, tidak Sukar dihitung, masih ada ada kulit sehat kulit sehat
Dapat dihitung, kulit sehat jelas masih ada
Distribusi
Simetris
Hampir simetris
Asimetris
Permukaan
Halus berkilat
Halus berkilat
Agak kasar, agak berkilat
Batas
Tidak jelas
Agak jelas
Agak jelas
Anestesia
Tidak jelas
Tidak jelas
Jelas
Lesi kulit
Banyak (ada globus)
Banyak
Agak banyak
Sekret hidung
Banyak (ada globus)
Biasanya negatif
Negatif
Lesi
BTA
Klasifikasi Kusta tipe PB berdasarkan Jopling Sifat
Tuberculoid (TT)
Borderline Tuberculoid (BT)
Intermediate (I)
Bentuk
Makula dibatasi infiltrat
Makula dibatasi infiltrat atau infiltrat saja
Hanya infiltrat
Jumlah
Satu atau beberapa
Beberapa atau satu dengan lesi satelit
Satu atau beberapa
Distribusi
Terlokalisir dan asimetris
Asimetris
Bervariasi
Permukaan
Kering, berskuama
Kering, skuama
Fapat halus agak berkilat
Batas
Jelas
Jelas
Bisa jelas/tidak jelas
Anestesia
Jelas
Jelas
Tidak ada sampai tidak jelas
Lesi kulit
Hampir selalu negatif
Negatif atau hanya 1+
Negatif
Tes lepromin
Positif kuat (3+)
Positif lemah
Dapat positif lemah atau negatif
Lesi
BTA
Tipe Kusta Menurut WHO
Flowchart of Diagnosis & Classification
Pengobatan Kusta
100. Reaksi Kusta • Interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik
• Dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien kusta • Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat pengobatan, maupun sesudah pengobatan paling sering terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.
Morbus Hansen: Istilah Reaksi
Deskripsi
Pure neuritis leprosy Jenis lepra yang gejalanya berupa neuritis saja
Lepra Tuberkuloid
Bentuk stabil dari lepra, lesi minimal, gejala lebih ringan. Tipe yg termasuk TT (Tuberkuloid polar), Ti ( Tuberkuloid indenfinite), BT (Borderline Tuberkuloid)
Reaksi Reversal
Lesi bertambah aktif (timbul lesi baru, lesi lama menjadi kemerahan), +/- gejala neuritis. Umum pada tipe PB
Eritema Nodusum Leprosum
Nodul Eritema, nyeri, tempat predileksi lengan dan tungkai, Umum pada MB
Fenomena Lucio
Reaksi berat, eritematous, purpura, bula, nekrosis serta ulserasi yg nyeri
Reaksi Kusta: Klasifikasi (Terbaru) ERITEMA NODOSUM LEPROSUM (ENL) • Respon Imun humoral (kompleks imun) • Tidak terjadi perubahan tipe • Klinis – Nodus eritema (penanda) – Nyeri (predileksi lengan & tungkai) – Gejala konstitusi ringan sd berat – Dapat mengenai organ lain (iridosiklitis, neuritis akut, artritis, limfadenitis dll)
• Pada pengobatan tahun kedua
REAKSI REVERSAL/ REAKSI UPGRADING • Reaksi hipersensitivitas tipe lambat • Reaksi borderline (dapat berubah tipe) • Klinis – Sebagian/seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan/ timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat – Dapat disertai neuritis akut
• Pada pengobatan 6 bulan pertama
Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Kusta: Tipe 1 (Reaksi Reversal)
• Rekasi hipersensitivitas tipe IV (Delayed Type Hypersensitivity Reaction) • Terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) • Biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan • Patofisiologi – Terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan syaraf berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan
Reaksi Kusta: Tipe 2 • Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL) • Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III • Terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL) • • Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami episode ENL • Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) • Patofisiologi: Manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah.
Morbus Hansen: Reaksi Kusta REAKSI
LESI
Eritema nodosum leprosum (reaksi kusta tipe 2)
• • • • •
• • Reaksi reversal/borderline/ • upgrading (reaksi • • kusta tipe 1) •
Fenomena lucio
Pada tipe MB (BL,LL) Nodus eritema dan nyeri Predileksi : lengan dan tungkai Tidak terjadi perubahan tipe Hipersensitivitas tipe 3 Pada tipe borderline (Li,BL,BB,BT,Ti) Terjadi perubahan tipe Lesi menjadi lebih aktif/timbul lesi baru Peradangan pada saraf dan kulit Pada pengobatan 6 bulan pertama Hipersensitivitas tipe 4
• Reaksi kusta yang sangat berat • Pada tipe lepromatosa non-nodular difus • Plak/infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, nyeri (+). Jika lebih berat dapat disertai purpura dan bula • Dimulai dari ekstremitas lalu menyebar ke seluruh tubuh
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI hal 82-83
Faktor Pencetus Reaksi Kusta
Buku Panduan Praktik Klinis. IDI
Perbedaan Reaksi Kusta 1 dan 2
Buku Panduan Praktik Klinis. IDI
Reaksi Kusta: Pengobatan ERITEMA NODOSUM LEPROSUM (ENL) • Kortikosteroid – Prednison 15-30 mg/hari (dapat timbul ketergantungan)
• Klofazimin – 200-300 mg/hari – Khasiat lebih lambat dari kortikosteroid – Dapat melepaskan ketergantungan steroid – Efek samping: kulit berwarna merah kecoklatan (reversible)
REAKSI REVERSAL/ REAKSI UPGRADING
• Tanpa neuritis akut – Tidak ada pengobatan selain MDT
• Dengan neuritis akut – Prednison 40 mg/hari lihat skema
Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Reversal: Pengobatan Minggu Pemberian Prednison • • • • • •
Minggu 1-2 Minggu 3-4 Minggu 5-6 Minggu 7-8 Minggu 9-10 Minggu 11-12
Dosis Harian yang Dianjurkan 40 mg 30 mg 20 mg 15 mg 10 mg 5 mg
• Pemberian Lampren – 300 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi – 200 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi – 100 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi – 50 mg/hari bila pasien masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila penderita sudah dinyatakan RFT Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
E.N.L
Reversal reaction of leprosy
Lucio’s phenomenone
101. Keganasan Pada Kulit Karsinoma Sel Basal
Karsinoma Sel Skuamosa
• Berasal dari sel epidermal pluripoten. Faktor predisposisi: lingkungan (radiasi, arsen, paparan sinar matahari, trauma, ulkus sikatriks), genetik • Usia di atas 40 tahun • Biasanya di daerah berambut, invasif, jarang metastasis • Bentuk paling sering adalah nodulus: menyerupai kutil, tidak berambut, berwarna coklat/hitam, berkilat (pearly), bila melebar pinggirannya meninggi di tengah menjadi ulkus (ulcus rodent) kadang disertai talangiektasis, teraba keras
• Berasal dari sel epidermis. Etiologi: sinar matahari, genetik, herediter, arsen, radiasi, hidrokarbon, ulkus sikatrik • Usia tersering 40-50 tahun • Dapat bentuk intraepidermal • Dapat bentuk invasif: mula-mula berbentuk nodus keras, licin, kemudian berkembang menjadi verukosa/papiloma. Fase lanjut tumor menjadi keras, bertambah besar, invasif, dapat terjadi ulserasi. Metastasis biasanya melalui KGB.
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Melanoma Maligna
SCC
• Etiologi • Belum pasti. Mungkin faktor herediter atau iritasi berulang pada tahi lalat
• Usia 30-60 tahun • Bentuk: • Superfisial: Bercak dengan warna bervariasi, tidak teratur, berbatas tegas, sedikit penonjolan • Nodular: nodus berwarna biru kehitaman dengan batas tegas • Lentigo melanoma maligna: plakat berbatas tegas, coklat kehitaman, meliputi muka
• Prognosis buruk
BCC
MM
Hystology Basal Cell Carcinoma
Palisade = “pagar”
Squamous Cell Carcinoma • Proliferation of anastomosing nests, sheets and strands of atypical keratinocytes • originating in the epidermis and infiltrating into the dermis
Malignant melanoma • Predominance of single cell melanocytes over nests of • melanocytes along the dermoepidermal junction • Pagetoid (upward) migration of single cell melanocytes • Confluent spread of melanocytes • Cellular dyscohesion • Lack of uniform melanin distribution
102. Alopesia
Kerontokan Fokal: Alopesia Areata • Occurs in males and females of all ages and races – Can begin in childhood
• Scalp shows no sign of inflammation • No obvious signs of skin disorder or disease
• Pola berbentuk koin, pada remaja dan dewasa muda, rambut akan tumbuh dalam beberapa bulan • Dapat berkembang menjadi alopesia totalis (tanpa rambut kepala) dan alopesia universalis (tanpa rambut kepala & tubuh) • Berhubungan dengan kondisi autoimun (vitiligo, DM, tiroid, RA, dan lupus) serta atopi • Khas: plak alopesia dikelilingi exclamation point hairs
• Terapi – DOC: kortikosteroid intralesi
Manifestasi Klinis Alopesia Areata • Rapid and complete loss of hair in one or several patches. • Site – Scalp, bearded area, eyebrows, eye lashes and less commonly other areas of body. • Size – Patches of 1-5 cm in diameter. • “Exclamation point” hair- at the periphery of hair loss, there are broken hairs, whose distal ends are broader than the proximal end. • Pull test (+); whereas in androgenic alopecia pull test (-) • Immune system attacks hair follicles • Begins with one or more small, bald patches – Can progress to the total scalp hair loss (alopecia totalis) or complete body hair loss (alopecia universalis)
Alopesia Areata: Tatalaksana
Alopecia Androgenetika (Male Pattern Baldness) • Paling sering, pola kerontokan dimulai dari bagian dahi kebelakang, herediter, mulai pada usia akhir 30an • Mengenai folikel yang sensitif terhadap DHT • Dimulai dari bitemporal meluas ke verteks dan frontal dengan pola M • Terapi (Lihat Tabel) • Minoksidil Topikal 2 dan 5% serta finasteride oral
Alopesia Androgenetika: Tatalaksana
103. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) • Kemerahan dan nyeri pada wajah, dada, dan lipatan kulit • Bula yang cepat pecah • Terbentuk krusta sekitar mulut • Menyerang usia muda (bayi), lebih superfisial, tanpa lesi oral, waktu singkat • Etiologi: berhubungan dengan toksin staphilococcus • Lesi steril bila dibandingkan dengan impetigo bulosa • Dapat disertai konjungtivitis, rinorea, otitis media, faringitis
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS): Patogenesis • Staphylococcus Aureus 3a, 3b, 55 dan 57 phage II menghasilkan eksfoliatin toksin A (ETA) & eksfoliatin toksin B (ETB) bersifat epidermolitik • SSSS vs impetigo bulosa: impetigo bulosa hanya terdapat pada area lokal sedangkan pada SSSS kerusakan epidermal menyebar luas keseluruh tubuh (penyebaran secara hematogen) • SSSS vs TEN: SSSS hanya sebatas intraepidermal sedangkan infeksi TEN pada seluruh lapisan epidermis (sampai membran basal) Mekanisme SSSS secara umum ETA dan ETB disekresikan Staphylococcus Aureus phage II ↓ Toksin menyebar lewat sirkulasi ↓ Epidermolisis (Pemecahan stratum granulosum dan stratum spinosum pada protein desmoglein)
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS): Terapi • Dicloxacillin – Dosis dewasa 125-500 mg PO setiap 6 jam (maksimal 2 g per hari) – Dosis neonatal 4-8 mg/ kg berat badan per oral setiap 6 jam (<40 kg 12,5-50 mg/ kg/ hari per oral dan > 40 kg 125-500 mg per oral setiap 6 jam)
• Cloxacillin – Dewasa: 250-500 mg PO/6 jam – Pediatrik • Pasien < 20 kg sebanyak 50-100 mg/ kg/ hari PO dibagi setiap 6 jam (tidak boleh melebihi 4 g per hari) • Pada anak > 20 kg diberikan dosis sesuai dengan dosis dewasa
• Salep Mupirocin – Dioles tipis pada lesi 2-5x/hari selama 5-14 hari dan pada anak-anak cara penggunaan sama seperti pada pasien dewasa
• Imunoglobulin (IVIG) – Terapi pada neonatal premature dengan pemberian dosis tunggal sebanyak 1 g/ kg dapat membantu mempercepat penyembuhan
SSSS: Komplikasi • Sepsis • Superinfeksi • Dehidrasi akibat gangguan keseimbangan elektrolit • Selulitis • Pneumonia
104. Pioderma • Folikulitis (Staph. Aureus): peradangan folikel rambut yang ditandai dengan papul eritema perifolikuler dan rasa gatal atau perih.
• Furunkel (Staph. Aureus): peradangan folikel rambut dan jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau pustul perifolikuler dengan eritema di sekitarnya dan disertai rasa nyeri.
• Furunkulosis: beberapa furunkel yang tersebar.
• Karbunkel (Staph. Aureus): kumpulan dari beberapa furunkel, ditandai dengan beberapa furunkel yang berkonfluensi membentuk nodus bersupurasi di beberapa puncak.
• Impetigo krustosa/vulgaris/ kontagiosa/ Tillbury Fox (Strep. Beta hemolyticus) : peradangan vesikel yang dengan cepat berubah menjadi pustul pecah krusta kering kekuningan seperti madu. Predileksi spesifik lesi terdapat di sekitar lubang hidung, mulut, telinga atau anus.
• Impetigo bulosa/ cacar monyet (Staph. Aureus): peradangan yang memberikan gambaran vesikobulosa dengan lesi bula hipopion (bula berisi pus) • Ektima (Strep. Beta hemolyticus): peradangan yang menimbulkan kehilangan jaringan dermis bagian atas (ulkus dangkal).
Histopatologi Impetigo Krustosa dan Bulosa • Patogen memiliki toksin A dan B yang bisa mengeksfoliasi target: desmoglein 1 pemisahan dan pembentukan bula tepat dibawah stratum granulosum
Pioderma: Impetigo • Pemeriksaan Penunjang – Pemeriksaan dari apusan cairan sekret dari dasar lesi dengan pewarnaan Gram – Pemeriksaan darah rutin kadang kadang ditemukan leukositosis • Komplikasi: Erisipelas, selulitis, ulkus, limfangitis, bakteremia • Terapi: • Antibiotika topikal: • DOC: mupirocin (Bactroban), basitrasin, asam fusidat (Fucidin) dan retapamulin (Altargo) 2x/hari selama 7 hari • Alternatif: salep/krim klindamisin, gentamisin • Antibiotika oral: • Sefalosforin, amoxiclav, cloxacillin, dicloxaxillin, alternatif: eritromisin, klindamisin • DOC anak: Cephalexin http://emedicine.medscape.com/article/965254-overview
Topical Antibiotics for Impetigo M E D I C AT I O N
INSTRUCTIONS
Fusidic acid 2% ointment†
Apply to affected skin three times daily for seven to 12 days
Mupirocin 2% cream (Bactroban)‡
Apply to affected skin three times daily for seven to 10 days; reevaluate after three to five days if no clinical response Approved for use in persons older than three months
Mupirocin 2% ointment‡
Apply to affected skin three times daily for seven to 14 days Dosing in children is same as adults Approved for use in persons older than two months
Retapamulin 1% ointment (Altabax)
Apply to affected skin twice daily for five days Total treatment area should not exceed 100 cm2 in adults or 2% of total body surface area in children Approved for use in persons nine months or older
†—Coverage for Staphylococcus aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus. ‡—Coverage for S. aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus. Mupirocin-resistant streptococcus has now been documented.6,14 §—First member of the pleuromutilin class of antibiotics. Coverage for S. aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus.19 http://www.aafp.org /afp/2014/0815/p229.html
105. Kandidosis Oral JENIS
KLINIS
Kandidosis Pseudomembran Akut (Thrush)
•
Plak putih serupa susu pada mukosa --> Diangkat --> dasar eritema
Kandidosis Eritematosa Atrofik Akut dan Kronik
•
Area eritematosa pada dorsum lidah, palatum atau mukosa bukal
Kandidosis Hiperplasia Kronik • Kandidosis Oral Kronik (Leukoplakia Kandida) • Sindrom Kandidosis Endokrin • Kandidosis Mukokutaneus Terlokalisasi Kronis • Kandidosis Kronik Difus
•
Plak putih yang tidak dapat diangkat
Denture Related Stomatitis
•
Eritema dan edema kronik pada mukosa yang berkontak dengan denture
Kelitis Angular
• •
Lesi pada sudut mulut perih, eritema dan fissura
a
GAMBARAN KLINIS
Prinsip tatalaksana GE JA LA KLIN IS
DOC
Clotrimazole trocehs 5x10 mg/hari selama 7-14 hari Ringan
Sedang-berat
Miconazole muccoadhesive buccal 50 mg dioleskan di mukosa mulut 1 kali sehari selama 7-14 hari
Fluconazole oral 1x100-200mg/hari selama 7-14 hari
A LT E R N A T I F
Nistatin drop: - Dewasa: 4x400.000-600.000 U - 1-12 bulan: 4x200.000 U - 1-18 tahun: sama dengan dewasa Durasi: sampai 48 jam setelah gejala klinis hilang
CONDITION
C L I N I C A L P R E S E N TA T I O N
CAUSES
MEDIAN RHOMBOID GLOSSITIS
Smooth, shiny, erythematous, sharply circumscribed, rhomboid Often associated with candidal shaped plaque; usually infection asymptomatic, but burning or itching possible; dorsal midline location
ATROPHIC GLOSSITIS
Caused by underlying disease, Smooth, glossy appearance with red medication use, or nutritional or pink background deficiencies (e.g., iron, folic acid, vitamin B12, riboflavin, niacin)
ORAL HAIRY LEUKOPLAKIA
White, hairy appearing lesions on lateral border of tongue
Epstein-Barr virus super infection; associated with immunocompromise, human immunodeficiency virus infection
GEOGRAPHIC TONGUE
Bare patches on dorsal tongue surrounded by serpiginous, raised, slightly discolored border
Associated with fissured tongue, inversely associated with tobacco use
TONGUE-TIE (ANKYLOGLOSSIA)
Shortened frenulum limiting tongue Congenital, adhesion of frenulum protrusion, breastfeeding difficulties
Disorders of Tongue
Median rhomboid glossitis
Atrophic Glossitis
Disorders of Tongue
Georaphic Tongue
Ankyloglossia
Disorders of Tongue
Hairy Tongue
Oral hairy leukoplakia
Kandidosis Oral • Pemeriksaan – Kultur saliva kuantitatif – Pewarnaan sediaan dengan PAS atau Gridley stain (terwarna pink), atau GMS (terwarna coklat-hitam)
• Terapi – Pasien imunosupresi (HIV, kemoterapi, prolonged antibiotik) antifungal profilaksis – Obat kumur oral (0,12% chlorhexidine) untuk pengguna denture atau sebagai kontroler terhadap kandidosis oral
http://emedicine.medscape.com/article/1075227-treatment
106. Clostridium sp. • Batang, gram positif, memiliki endospora, anaerob • Organisme yang bersifat patogen: – Clostridium – Clostridium – Clostridium – Clostridium
tetani difficile perfringens botulinum
Clostridium Tetani • Ditemukan pada tanah, dan saluran pencernaan binatang • Memiliki neurotoksin poten (tetanus toxin, tetanospasmin) • Patogenesis – Kuman masuk ke luka spora menjadi sel vegetatif memproduksi toksin bermigrasi sepanjang saraf ke SSP kejang & spasme otot • Terapi – Antibiotik dan ATS
Clostridium Botulinum • • •
•
•
Ditemukan di tanah, saluran pencernaan binatang Relatif resisten terhadap panas, bertahan pada makanan kaleng Patogenesis – Toksin tertelan diserap di duodenum & jejenum masuk pemb. Darah mencapai sinaps neuromuskular memblok pelepasan asetilkolin – 3 bentuk: botulisme makanan, luka, dan botulisme bayi Gejala – Menyerupai infeksi bacillus cereus atau staphylococcal – Gejala mulai 18-36 jam post menelan toksin – Rasa lemah, pusing, mulut kering, mual, muntah, gejala neurologis (sulit berbicara, paralisis otot pernapasan) Terapi – Antitoksin, gastric lavage
Clostridium Difficile • Hidup di kolon • Antibiotic-associated diarrhea (AAD), colitis, pseudomembranous colitis • Patogenesis – Penggunaan antibiotik jangka panjang flora normal di kolon mati pertumbuhan c. difficile • Gejala – Diare ringan sampai enterokolitis. – Pada kolitis tanpa pseudomembran pasien menderita lemah, nyeri abdominal, mual, diare, demam tinggi dan leukositosis bermakna. • Terapi – Metronidazole, vancomycin
Clostridium Perfringens • Eksotoksin: gas gangrene pada luka operasi – Demam tinggi, pus coklat, gelebung gas bawah kulit, perubahan warna kulit, bau busuk
• Endotoksin: keracunan makanan o o o
o o
Inadequately cooked meat, poultry, or legumes When vegetative cells form endospores in the intestine, they release enterotoxins. Meats that have been cooked, allowed to cool slowly, and then held for some time before eating are commonly incriminated. Acute onset of abdominal cramps with diarrhea starts 8-24 h after ingestion. Kram perut, diare, muntah (jarang)
• Terapi: antibiotik
107. Filariasis • Penyakit yang disebabkan cacing Filariidae, dibagi menjadi 3 berdasarkan habitat cacing dewasa di hospes: – Kutaneus: Loa loa, Onchocerca volvulus, Mansonella streptocerca – Limfatik: Wuchereria bancroftii, Brugia malayi, Brugia timori – Kavitas tubuh: Mansonella perstans, Mansonella ozzardi
• Fase gejala filariasis limfatik: – Mikrofilaremia asimtomatik – Adenolimfangitis akut: limfadenopati yang nyeri, limfangitis retrograde, demam, tropical pulmonary eosinophilia (batuk, mengi, anoreksia, malaise, sesak) – Limfedema ireversibel kronik
• Grading limfedema (WHO, 1992): – Grade 1 - Pitting edema reversible with limb elevation – Grade 2 - Nonpitting edema irreversible with limb elevation – Grade 3 - Severe swelling with sclerosis and skin changes
Wayangankar S. Filariasis. http://emedicine.medscape.com/article/217776-overview WHO. World Health Organization global programme to eliminate lymphatic filariasis. WHO Press; 2010.
WUCHERERIA BANCROFTII
• Panjang: lebar kepala sama • Inti teratur • Tidak terdapat inti di ekor
BRUGIA M A L AY I
• Perbandingan panjang:lebar kepala 2:1 • Inti tidak teratur • Inti di ekor 2-5 buah
BRUGIA TIMORI
• Perbandingan panjang:lebar kepala 3:1 • Inti tidak teratur • Inti di ekor 5-8 buah
Filariasis: Pemeriksaan dan Terapi • Pemeriksaan penunjang: – – – –
Deteksi mikrofilaria di darah Deteksi mikrofilaria di kiluria dan cairan hidrokel Antibodi filaria, eosinofilia Biopsi KGB
• Pengobatan: – Tirah baring, elevasi tungkai, kompres – Antihelmintik (ivermectin, DEC, albendazole) – DEC: 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari – Ivermectin hanya membunuh mikrofilaria: 150 ug/kgBB SD/6 bln, atau /tahun bila dikombinasi dengan DEC SD – DEC + Albendazol 400 mg/tahun selama 5 tahun – Doxycycline 200 mg/hari selama 4-6 minggu dapat menjadi alternatif
– Suportif – Pengobatan massal dengan albendazole + ivermectin (untuk endemik Onchocerca volvulus) atau albendazole + DEC (untuk nonendemik Onchocerca volvulus) guna mencegah transmisi – Bedah (untuk kasus hidrokel/elefantiasis skrotal) – Diet rendah lemak dalam kasus kiluria Parasitologi Kedokteran, FKUI | CDC 2013
108. Cutaneous Anthrax • 95% of all cases globally • Incubation: 2 to 3 days • Spores enter skin through open wound or abrasion • Papule → vesicle → ulcer → eschar • Case fatality rate 5 to 20% • Untreated – septicemia and death Center for Food Security and Public Health, Iowa State University, 2011
Day 2
Day 4
Day 6
Day 10 Day 6
Center for Food Security and Public Health, Iowa State University, 2011
The Organism • Bacillus anthracis • Large, gram-positive, nonmotile rod • Two forms – Vegetative, spore
• Over 1,200 strains • Nearly worldwide distribution Center for Food Security and Public Health, Iowa State University, 2011
Terapi Cutaneous Anthrax • Penularan dari alam – Penicillin V 500 mg, PO, 4x/hari selama 7–10 hari
• Penularan akibat bioterorism (aerosol, hirup) – Ciprofloxacin 500 mg, PO, 2x/hari atau levofloxacin 500 mg, IV)/PO per 24 jam × 60 hari
Sumber: http://cid.oxfordjournals.org /content/early/2014/06/14/cid.ciu296.full
109. Phemfigus vulgaris DISEASES Paraneoplastic pemphigus Phemphigus foliceus
Pemphigus vulgaris
Cicatricial pemphigoid
Bullous pemphigoid
S I G N A N D S Y M P TO M S linked to an underlying lymphoproliferative disorder scaly, crusted erosions, often on an erythematous base • • • •
chronic skin disease Flat bullae Nikolsky’s sign (+) transudative fluid accumulates in between the keratinocytes and basement membrane (suprabasal split)
• • •
Nikolsky’s sign (+) common : mouth erosive skin lesion of the mucous membranes and skin that results in scarring of at least some sites of involvement
• • • • •
acute/chronic skin disease common : inner thighs and upper arms ring-like configuration, with a central depression or centrally collapsed bullae Nikolsky’s sign (-) detachment occurs between the epidermis and dermis (subepidermal bullae)
KELAINAN
PENJELASAN
Penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang kulit dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi PEMFIGUS VULGARIS terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun beredar dalam darah. Khas: bula kendur, bila pecah menjadi krusta yang bertahan lama, nikolsky sign (+)
PEMFIGOID BULOSA
Perbedaan dengan pemfigus vulgaris: keadaan umum baik, dinding bula tegang , bula subepidermal, terdapat IgG linear, nikolsky sign (-)
Pemphigus Vulgaris
Paraneoplastic Pemphigus e.c Castleman tumor Cleared when the tumor removed
Pemphigus Vulgaris
Pemphigus Foliceus
Bullous Pemphigoid
Cicatricial Pemphigoid
Terapi Pemfigus • Target seperti penyakit autoimun bulosa lain: untuk menurunkan pembentukan bula dan erosi, mempercepat penyembuhan, meminimalisir obat-obatan • Agen yang dapat dipakai: – anti-inflammatory agents (eg, corticosteroids, tetracyclines, dapsone) • Steroid topikal ultrapoten: Clobetasol propeionat • Steroid topikal potensi sedang dan emolient • Steroid sistemik
– Immunosuppressants/ agen sitostatik (eg, azathioprine (yg umum digunakan), methotrexate, mycophenolate mofetil, cyclophosphamide) – Antibodi monoklonal: Rituximab – Antibiotik untuk infeksi sekunder – Pereda nyeri
http://emedicine.medscape.com/article/1064187-treatment | www.dermnetnz.or
110. Seabather’s Eruption • Ruam yang muncul saat berenang di laut akibat tersengat larva makhluk laut • Etiologi – Ubur-ubur, anemon laut
• Gejala dan Tanda – Ruam (muncul beberapa menit-12 jam setelah berenang di laut) – Vesikel berbagai ukuran atau ruam dengan tepi meninggi, teraba keras/lunak, sangat merah dan gatal – Dapat timbul mual, muntah, sakit kepala, malaise, konjungtivitis, urethritis, demam http://www.webmd.com/skin-problems-and-treatments/tc/seabathers-eruption-topic-overview?page=2
Seabather’s Eruption • Terapi – Hindari menggosok kulit larva yang tertinggal di kulit dapat menyengat – Segera ganti pakaian larva dapat tinggal di pakaian renang – Mandi dengan air bersih gosok dengan sabun kuat-kuat – The most useful treatment is 1% hydrocortisone lotion applied 2-3 times a day for 1-2 weeks; bisa dikombinasikan dengan antihistamin – Topical calamine lotion with 1% menthol may also be soothing. – Gunakan ice pack untuk mengurangi nyeri – Systemic corticosteroids are generally reserved for patients demonstrating severe symptoms.
Swimmer’s Itch • Disebut juga dermatitis serkarial ruam kulit akibat reaksi alergi yang dicetuskan oleh larva parasit schistosoma • Gejala dan Tanda – Rasa terbakar, gatal, bintil merah, vesikel kemerahan dalam waktu beberapa menit-beberapa hari setelah berenang di air tawar bertahan selama satu minggu
• Terapi – Krim steroid, kompres dingin, pasta baking soda, losion anti gatal http://www.cdc.gov/parasites/swimmersitch/faqs.html
111. Steroid Topikal • Memiliki sifat anti inflamasi, anti alergi, anti pruritus, anti mitotik, dan vasokonstriksi • Diklasifikasikan berdasarkan kemampuan vasokonstriksi menjadi 7 kelas berdasarkan USA system kelas VII adalah yang paling lemah dan paling ringan • UK, Jerman, Belanda, dan New Zealand memakai sistem 4 kelas untuk UK & New Zealand Kelas I paling potent; sedangkan Belanda & Jerman sebaliknya, kelas IV paling potent
• Berdasarkan Buku Ajar Kulit kelamin FKUI, 2015 – – – – – – –
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Kelas V Kelas VI Kelas VII
: Super poten : Potensi tinggi : Potensi tinggi : Potensi medium : Potensi medium : Potensi medium : Potensi lemah
• Berdasarkan AAFP (American Academy of Family Physicians) – – – – – – –
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Kelas V Kelas VI Kelas VII
: Ultra High : High : medium to high : Medium : Medium : Low : Least potent
• Berdasarkan WHO – – – – – – –
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Kelas V Kelas VI Kelas VII
: Ultra High : High : High : Medium : Medium : Low : Low
• Berdasarkan Journal of American Academy of Dermatology, 2006. – Kelas I : Ultra High – Kelas II : High – Kelas III : Medium to High/ upper mid strength – Kelas IV : Medium – Kelas V : Medium to low/ Lower mid strength – Kelas VI : Low – Kelas VII : Least potent
Penggunaan Kortikosteroid Topikal pada Dermatitis Atopi • Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat • Pada anak dengan dermatitis atopi dibutuhkan steroid potensi yang lemah mengingat usia, lokasi penyakit, dan kulit pada anak yang masih halus dan tipis. Sebaiknya dipilih dalam bentuk krim. • Sedangkan pada dewasa dengan dermatitis atopi diperlukan kortikosteroid topikal yang poten dalam bentuk salep.
112. Miliaria • Penyumbatan pada kelenjar keringat akibat peningkatan kelembaban dan panas serta oklusi kulit MILIARIA
PATOFISIOLOGI
Miliaria kristalina • penyumbatan terjadi di stratum korneum (superfisial) • Neonatus < 2 minggu atau dewasa dengan demam Miliaria rubra
• penyumbatan di epidermis papul eritematosa yang gatal • Bila papul menjadi pustul miliaria pustulosa • Neonatus usia 1-3 minggu dan dewasa di lingkungan lembab
Miliaria profunda
• Obstruksi duktus terjadi di dermal-epidermal junction papul sewarna kulit • Dewasa di iklim tropis atau terkena miliaria rubra berulang http://emedicine.medscape.com/article/1070840-treatment
KLINIS
Miliaria: Terapi • Pencegahan – Kontrol kelembaban dan panas, menggunakan pakaian yang menyerap keringat, batasi aktivitas, gunakan air conditioning
• Terapi – Topikal: kalamin, asam boraks, mentol, mandi dengan sabun, steroid topikal, antibiotik topikal, lanolin anhidrosa (miliaria profunda) http://emedicine.medscape.com/article/1070840-treatment
ILMU K E S E H ATAN ANAK
113. Terminologi Diare • Diare akut: berlangsung < 1 minggu, umumnya karena infeksi – Diare akut cair – Diare akut berdarah
• Diare berlanjut: diare infeksi yang berlanjut > 1 minggu • Diare Persisten: Bila diare melanjut tidak sembuh dan melewati 14 hari atau lebih • Diare kronik: diare karena sebab apapun yang berlangsung 14 hari atau lebih
• Disentri: diare mengandung lendir dan darah • Diare primer: infeksi memang terjadi pada saluran cerna (misal: infeksi Salmonella) • Diare sekunder: diare sebagai gejala ikutan dari berbagai penyakit sistemik seperti pada bronkopnemonia, ensefalitis dan lain-lain • Diare Berdasarkan Patofisiologi – Osmotic diarrhea – Secretoric diarrhea – Inflammatoy/ exudative diarrhea – Altered motility diarrhea
JENIS DIARE AKUT • Diare Osmotik: – Bila di lumen usus ada bahan yang secara osmotik aktif & sulit diserap diare. – Penyebab: larutan isotonik, air atau bahan yang larut melewati mukosa usus halus tanpa diabsorbsi diare
Osmotic Diarrhea IN THE SMALL INTESTINE Ingestion of non-absorbable solutes Fluid entry into the small bowel Intraluminal solutions become iso-osmotic with the plasma
Intraluminal Na+ concentration drop below 80 ml osmol
Steep lumen to plasma gradient
Osmotic Diarrhea IN THE COLON Carbohydrate
Non metabolizable substrates
Metabolized by Bacteria Na+ and H2O Short Chain fatty acids
may be absorbed by colon
(Organic anions)
Quadrupling the Osmolality
A linear relation between ingested osmotic load & stool water output
Osmotic Diarrhea Short-Chain Fatty Acids (Organic Anions) Promote more fluid in the colon Obligate retention of inorganic cations Further increasing the osmotic load
More fluid in the colon
Some Causes of Osmotic Diarrhea Exogenous • Osmotic Laxatives • Antacids containing MgO or Mg(OH)2 • Dietetic foods, candies and elixirs • Drugs e.g.: – Colchicine – Cholestyramine
Endogenous • Congenital – Specific Malabsorptive Disorders e.g Disaccharidase deficiencies – Generalized Malabsorptive Diseases e.g Abetalipoproteinemia – Pancreatic insufficiency e.g cystic fibrosis
• Acquired – Specific Malabsorptive Diseases – Generalized Malabsorptive Diseases – Pancreatic insufficiency – Celiac disease – Infections
Rotavirus damages the villous brush border, causing osmotic diarrhoea, and also produces an enterotoxin (NSP4) that causes calciummediated secretory diarrhoea (BMJ)
Osmotic and secretory diarrhea
Diare Sekretorik • Sekresi air & elektrolit ke usus halus akibat gangguan absorpsi Na+ oleh vilus saluran cerna, sedangkan sekresi Cl- tetap berlangsung/ meningkat air & elektrolit keluar dari tubuh sebagai tinja cair • Penyebab: toksin E.coli atau V.cholera
Secretory Diarrhea Electrolyte transport diarrhea • The intestine is able to – Secret Fluids & electrolytes – Absorb • Secretion originates in the crypts • Absorption is mainly a villous function
Intracellular cyclic-AMP & -GMP are a corner stone in initiating Intestinal secretion
Mechanism of Secretory Diarrhea Neurotransmitters Hormones Bacterial Enterotoxins Cathartics Stimulate receptors on the enterochromaffin cells
stimulate Cyclic AMP – Cyclic GMP Ca ions
stimulate Cl-, H2O and CHO3 Secretion by the enterocytes
Some causes of Secretory Diarrhea Exogenous • Stimulant Laxatives e.g. Anthraquinones, senna • Medications – Diuretics – Asthma medication – Eye drops – Bladder stimulants – Cardiac drug – Prostaglandins • Toxins – Metals – Organophosphorous – Seafood toxins – Bacterial toxins
Inflammatory/Exudative Diarrhea • Diseases associated with large quantities of inflammatory exudate blood, pus, and proteinaceous material, can produce diarrhea. • These inflammatory products in themselves cause increased stool volume and frequency, but altered absorption of fluid and electrolytes also plays an important role.
• Mucosal inflammation can occur with diverticulitis, inflammatory bowel disease, or invasive enteric infections such as shigella, salmonella, or campylobacter. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK414/
Inflammatory/exudative Diarrhea LUMINAL OR INVADING Viruses Bacteria Protozoa Helminths
IMMUNOLOGICAL MECHANISMS Complement T-lymphocytes Proteases Oxidants
Minimal or severe inflammation Enterocyte damage or death Malabsorption and secretion
Inflammatory Diarrhea Of Any Mechanism Damage to absorbing epithelium →→ • Repopulation of damaged absorptive surface: – By immature cells with poor absorptive capacity → Malabsorption of ions and nutrients • Release of inflammatory mediators from cells in the lamina propria → Stimulate secretion from the – Remaining crypts – Immature villous surface cells
Diarrhea Associated with Deranged Mobility Adequate absorption requires adequate and long enough exposure to intestinal epithelium
• Accelerated Transit time – Decreased absorption – Large fluid load to the colon – Colonic irritability → Diarrhea
• Diminished peristalsis – Bacterial overgrowth → Secretory diarrhea
Disordered motility is The cause of diarrhea OR An effect of diarrhea
Some Causes of Diarrhea Associated with Deranged Mobility
• • • • •
IBS-D Functional Diarrhea Diabetic neuropathy Scleroderma Thyrotoxicosis
Intoleransi Laktosa • Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang bervariasi diantara mamalia. • Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI mengandung 7% laktosa. • Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa dan galaktosa. • Manusia normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-komponennya. • Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di brush border sel epitel usus halus. • Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase akan menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Defisiensi Laktase • Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi laktase primer dan defisiensi laktase sekunder • Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu – Developmental lactase deficiency Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal. – Congenital lactase deficiency Kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup – Genetical lactase deficiency Kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif
• Defisiensi laktase sekunder – Akibat penyakit gastrointestinal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus halus, seperti infeksi saluran cerna. – umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan normal kembali setelah penyakit dasarnya disembuhkan.
Patogenesis • Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida, tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa dengan bantuan enzim laktase di usus halus. • Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada laktosa tidak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau kolon tekanan osmotik meningkat menarik air dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di dalam lumen usus diare osmotik • Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu penyerapan.
Patogenesis • Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum). • Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon menghasilkan beberapa gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida distensi abdomen, nyeri perut, dan flatus. • Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan melalui sistem pernapasan. • Feses sering mengapung karena kandungan gas yg tinggi dan juga berbau busuk.
Gejala Klinis • Intoleransi laktosa dapat bersifat asimtomatis atau memperlihatkan berbagai gejala klinis • Berat atau ringan gejala klinis yang diperlihatkan tergantung dari aktivitas laktase di dalam usus halus, jumlah laktosa, cara mengkonsumsi laktosa, waktu pengosongan lambung, waktu singgah usus, flora kolon, dan sensitifitas kolon terhadap asidifikasi.
• Gejala klinis yang diperlihatkan dapat berupa rasa mual, muntah, sakit perut, kembung dan sering flatus. • Rasa mual dan muntah merupakan gejala yang paling sering ditemukan • Pada uji toleransi laktosa rasa penuh di perut dan mual timbul dalam waktu 30 menit, sedangkan nyeri perut, flatus dan diare timbul dalam waktu 1-2 jam setelah mengkonsumsi larutan laktosa
Pemeriksaan Penunjang • Analisis tinja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi dalam tinja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode: – Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and pentose) – Kromatografi tinja – pH tinja tinja bersifat asam
• Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuantitatif; memeriksa kadar gula darah setelah konsumsi laktosa • Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal • Ekskresi galaktos pada urin • Uji hidrogen napas metode pilihan pada intoleransi laktosa karena bersifat noninvasif, memiliki sensitivitas dan efektivitas yang tinggi • Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Clinitest Method • Clinitest is a reagent tablet based on the Benedict's copper reduction reaction, combining reactive ingredients with an integral heat generating system. • The test is used to determine the amount of reducing substances (generally glucose) in urine/stools. • Clinitest provides clinically useful information on carbohydrate metabolism.
Principle • Copper sulfate in Clinitest reacts with reducing substances in urine/stools converting cupric sulfate to cuprous oxide. • The resultant color, which varies with the amount of reducing substances present, ranges from blue through green to orange.
Clinitest •
•
•
The Clinitest® reaction detects all reducing substances in stool; of primary interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and pentose. Reference Range: Negative. A result of 0.25% to 0.5% is suspicious for a carbohydrate absorption abnormality, >= 0.75% is abnormal. Test Limitations: Assay results have relevance for liquid stool samples; assay results have little relevance for formed stool samples.
•
•
•
•
Testing for reducing substances in stool is used in diagnosing the cause of diarrhea in children. Increased reducing substances in stool are consistent with primary or secondary disaccharidase deficiency and intestinal monosaccharide malabsorption. Similar intestinal absorption deficiencies are associated with short bowel syndrome and necrotizing enterocolitis. Stool reducing substances is also helpful in diagnosing between osmotic diarrhea caused by abnormal excretion of various sugars as opposed to diarrhea caused by viruses and parasites.
Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy INTOLERANSI LAKTOSA
MILK ALLERGY o reaksi hipersensitivitas terhadap protein susu sapi. Dapat melalui 2 mekanisme : 1). Diperantarai IgE ; 2). Non IgE (rx hipersensitivitas tipe IV)
Definisi
o Ketidakmampuan tubuh untuk mencerna “gula susu/laktosa” akibat defisiensi enzim laktase. o reaksi non – imunologis
Manifestasi klinis
o mual, keram perut, kembung, nyeri perut, flatus dan diare o gejala muncul dalam waktu 15 menit hingga beberapa jam setelah mengkonsumsi laktosa
Pemeriksaan Klinis
o Double blind placebo controlled food o Analisis tinja : challenge (DBPCFC) gold standar • Metode klini test lebih banyak untuk riset • Kromatografi tinja o pemeriksaan lain yang resiko lebih • pH tinja tinja bersifat asam rendah namun memiliki efikasi yg o Pemeriksaan radiologis lactosasama barium meal • skin prick test, pengukuran o Ekskresi galaktos pada urin antibodi IgE spesifik terhadap o Uji hidrogen napas protein susu sapi, patch test
Manifestasi tidak hanya pada sal. cerna, tetapi juga pada mukosa, kulit, hingga saluran napas
114. Pansitopenia ec Anemia Aplastik Manifestasi klinis disebabkan oleh sitopenia Anemia
Pucat, lemah, dispnea
Trombositopenia Ptekiae, epistaksis, perdarahan gusi, menoragia
Leukopenia
Demam, infeksi
Tidak ada limfadenopati atau splenomegali Lichtman MA, Segel GB. Aplastic anemia: acquired and inherited. In: Lichtman et al, editors. William’s hematology. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2010. p.463-79
PANCYTOPENIA • Simultaneous presence of anaemia, leukopenia, thrombocytopenia
APLASTIC ANEMIA: • Failure of two or more cell lines • Anaemia, leukopenia, thrombocytopenia (pancytopenia) + hypoplasia or aplasia of the marrow • Pathology: Reduction in the amount of haemopoietic tissue inability to produce mature cells for discharge into the bloodstream • no hepatomegaly; no splenomegaly; no lymphadenopathy; • Hallmark: peripheral pancytopenia with hypoplastic/ aplastic bone marrow
CLASSIFICATION: • Idiopathic • Secondary: – – – –
idiosyncratic drug reaction chemical exposure infectious hepatitis paroxysmal nocturnal haemoglobinuria
• Constitutional (inherited/congenital) – – – – – –
Diamond-Blackfan syndrome Shwachmann-Diamond syndrome Fanconi anemia Dyskeratosis Congenita TAR (thrombocytopenia with absent radii) Amegakaryocytic thrombocytopenia
ACQUIRED APLASTIC ANEMIA - CAUSES • Radiation • Drugs and chemicals – chemotherapy – Benzene – Chloramphenicol: idiosyncratic; sudden onset after several months; 1 of every 20,000, irreversible – organophosphate
• Viruses: – – – –
CMV EBV Hep B, C,D HIV
• Immune diseases: – eosinophilic fascitis – thymoma
• Pregnancy • PNH • Marrow replacement: – leukemia – Myelofibrosis – myelodysplasia
PATHOPHYSIOLOGY • Direct destruction of haemopoietic progenitors • Disruption of marrow micro-environment • Immune mediated suppression of marrow elements Cytotoxic T cells in blood and marrow release gamma IFN and TNF inhibit early and late progenitor cells
CLINICAL FEATURES RBC (anemia) • Progressive and persistent pallor • Anemia related symptoms WBC (Leucopenia/neutropenia) • Prone to infections - Pyodermas, OM, pneumonia, UTI, GI infections, sepsis Platelets (Thrombocytopenia) • Petechiae, purpura, ecchymoses • Hematemesis, hematuria, epistaxis, gingival bleed • Intracranial bleed-headache, irritability, drowsiness, coma
Blood picture: • • • • • •
Anemia-normocytic, normochromic Leukopenia (neutropenia) Relative lymphocytosis Thrombocytopenia Absolute reticulocyte count low Mild to moderate anisopoikilocytosis
Gold Standard • Bone Marrow Puncture : dry aspirate, hypocellular with fat (>70% yellow marrow)
Management: • Identification and elimination of underlying cause • Supportive therapy: – Red cell transfusion for anemia – Prevention and treatment of haemorrhage – Prevention and treatment of infection
Definitive therapy • Bone marrow transplantation – Treatment of choice – HLA matched donor. Usually siblings – Long term survival rates: 60-70%
• Immunosuppression – – – –
Antithymocyte globulin (ATG) Antilymphocyte glubulin (ALG) Cyclosporin Intensive immunosupression : cyclophosphamide – Corticosteroids
115. Trauma Lahir Ekstrakranial Kaput Suksedaneum
Perdarahan Subgaleal
• Paling sering ditemui • Tekanan serviks pada kulit kepala • Akumulasi darah/serum subkutan, ekstraperiosteal • TIDAK diperlukan terapi, menghilang dalam beberapa hari.
• Darah di bawah galea aponeurosis • Pembengkakan kulit kepala, ekimoses • Mungkin meluas ke daerah periorbital dan leher • Seringkali berkaitan dengan trauma kepala (40%).
Trauma Lahir Ekstrakranial: Sefalhematoma • Perdarahan sub periosteal akibat ruptur pembuluh darah antara tengkorak dan periosteum • Etiologi: partus lama/obstruksi, persalinan dengan ekstraksi vakum, Benturan kepala janin dengan pelvis • Paling umum terlihat di parietal tetapi kadang-kadang terjadi pada tulang oksipital • Tanda dan gejala: – massa yang teraba agak keras dan berfluktuasi; – pada palpasi ditemukan kesan suatu kawah dangkal didalam tulang di bawah massa; – pembengkakan tidak meluas melewati batas sutura yang terlibat
Trauma Lahir Ekstrakranial: Sefalhematoma • Ukurannya bertambah sejalan dengan bertambahnya waktu • 5-18% berhubungan dengan fraktur tengkorak • Umumnya menghilang dalam waktu 2 – 8 minggu • Komplikasi: ikterus, anemia • Kalsifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun. • Catatan: Jangan mengaspirasi sefalohematoma meskipun teraba berfluktuasi • Tatalaksana: • Observasi pada kasus tanpa komplikasi • Transfusi jika ada indikasi • Fototerapi (tergantung dari kadar bilirubin total)
116. Disentri • Disentri adalah diare yang disertai darah. • Sebagian besar kasus disebabkan oleh Shigella dan hampir semuanya membutuhkan pengobatan antibiotik • Peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10 per lapang pandang mendukung etiologi bakteri invasif
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Disentri • Bakteri (Disentri basiler) – Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan tersering (± 60% kasus disentri yang dirujuk serta hampir semua kasus disentri yang berat dan mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella. – Escherichia coli enteroinvasif (EIEC) – Salmonella – Campylobacter jejuni, terutama pada bayi
• Amoeba (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering pada anak usia > 5 tahun • Non Infeksi: intususepsi, gang. hematologi (misal def. vit. K pada bayi baru lahir), kelainan imunologis misal purpura Henoch-Schönlein serta colitis ulseratif atau penyakit Chron’s
Campylobacter Jejuni Infection • Gram-negative spiral shaped bacteria • The incubation period is 1-7 days • Transmission – fecal-oral, – person-to-person sexual contact – unpasteurized raw milk and poultry ingestion – waterborne (ie, through contaminated water supplies)
• Most human infections result from the consumption of improperly cooked or contaminated foodstuffs.
Campylobacter Sp • Campylobacter species are gram-negative bacilli that have a curved or spiral shape • diarrhea, cramping, abdominal pain, and fever within two to five days after exposure to the organism • In most patients, the diarrhea is either loose and watery or grossly bloody; 8–10 bowel movements per day occur at the peak of illness
• Most cases of campylobacteriosis are associated with eating raw or undercooked poultry meat • The most important postinfectious complication of C. jejuni infection is the Guillain-Barré syndrome (GBS) (probably preceding 30% of GBS cases; <1 case of GBS per 1000 C. jejuni infections)
http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/campylobacter/ http://cid.oxfordjournals.org/content/32/8/1201.full.pdf+html
C. Jejuni Infection: Manifestation • The symptoms and severity of the gastroenteritis produced can vary. • A brief prodrome of fever, headache, and myalgias lasting up to 24 hours is followed by crampy abdominal pain, fever as high as 40°C, and watery, frequently bloody, bowel movements per day. • Vomitting can occur • Fever (90% of patients) may be low or high grade and can persist for a week. • Tenesmus (25% of patients) • In some cases, acute abdominal pain is the only symptom, with pain typically in the right lower quadrant.
C. Jejuni Infection: Treatment • Rehidration • Antibiotics indication: – – – – – –
High fever Bloody diarrhea Excessive bowel movements (ie, >8 stools per day) Worsening symptoms Failure of symptoms to improve Persistence of symptoms for longer than 1 week
C. Jejuni
• Medication: – DOC: Azithromycin or erythromycin – Ciprofloxacin and tetracycline are alternatives but should be avoided in young children. – Clindamycin is another therapeutic alternative.
Shigella
Shigella
• Shigella is one of the most infectious of bacteria and ingestion of as few as 100-200 organisms will cause disease. • Most individuals are infected with shigellae when they ingest food or water contaminated with human fecal material. • Shigella can survive up to 30 days in milk, eggs, cheese or shrimps.
Shigella Infection • An enterobacteriaceae • Small Gram-negative, facultatively anaerobic, coliform bacillus • Non-motile • Non-lactose & Nonmannitol fermenting • Non-encapsulated • Non-spore former 707
Shigella Habitat & Transmission • Shigella species are found only in the human intestinal tract. • Carriers of pathogenic strains can excrete the organism up to two weeks after infection and occasionally for longer periods. • Shigella are killed by drying. • Shigella are transmitted by the fecal-oral rout. • The highest incidence of Shigellosis occur in areas of poor sanitation and where water supplies are polluted.
708
Shigella: Pathogenesis & Immunity • Exotoxin (Shiga toxin) is neurotoxic, cytotoxic, and enterotoxic, encoded by chromosomal genes, • Enterotoxic effect: – Shiga toxin adheres to small intestine receptors – Blocks absorption (uptake) of electrolytes, glucose, and amino acids from the intestinal lumen
Dr.T.V.Rao MD
709
Shigella: Pathogenesis & Immunity • Cytotoxic Effect: – Inhibition of protein synthesis – Cell death – Microvasculature damage to the intestine – Hemorrhage (blood & fecal leukocytes in stool)
• Neurotoxic Effect: – Fever, abdominal cramping are considered signs of neurotoxicity
Clinical Syndromes (Shigellosis) • Ranges from asymptomatic infection to severe bacillary dysentery • Two-stage disease: watery diarrhea changing to dysentery with frequent small stools with blood and mucus, tenesmus, cramps, fever • Early stage: – Watery diarrhea attributed to the enterotoxic activity of Shiga toxin – Fever attributed to neurotoxic activity of toxin
• Second stage: – Adherence to and tissue invasion of large intestine – Typical symptoms of dysentery: loose stools with mucus and blood – Cytotoxic activity of Shiga toxin increases severity
Shigellosis Clinical Features • • • • • • •
Fever Bloody diarrhoea Abdominal cramps Tenesmus Mucus , pus Convulsions Mild infection :watery stool • Bacteremia - rare • Reiter’s syndrome • Hemolytic – uremic syndrome
Treatment • Pilihan utama untuk Shigelosis (menurut anjuran WHO) : Kotrimoksazol (trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari) dibagi dalam 2 dosis, selama 5 hari. • Alternatif yang dapat diberikan : Ampisilin 100mg/kgBB/hari/4 dosis, Cefixime 8mg/kgBB/hari/2 dosis, Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, Asam nalidiksat 55mg/kgBB/hari/4 dosis. • Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun, sakit dan darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll.
Salmonella Sp • Salmonella are gram-negative facultative intracellular anaerobes • Cause of gastroenteritis, enteric fever (caused by typhoid and paratyphoid serotypes), bacteremia, focal infections, a convalescent lifetime carrier state.
• The incubation period is from 8-48 hours after the ingestion of contaminated food or water. • Symptoms are acute onset of fever and chills, nausea and vomiting, abdominal cramping, and diarrhea. • If a fever is present, it generally abides in 72 hours. • Diarrhea is usually self-limited, lasting 3-7 days and may be grossly bloody.
117. Coarctatio Aorta
4 Aboulhosn JA, Child
JS. Congenital heart disease in adults. In: Fuster V, Walsh RA, Harrington RA. Hurst’s the heart. 13th ed. New York, McGraw-Hill, 2011. p.1884-909
Coarctation of aorta
Coarctation of Aorta: Morphology 1. Localized stenosis * More than 50% reduction in cross sectional area
Distal arch
PDA
2. Tubular hypoplasia * * * *
Severe with lesser narrowing Proximal aortic & arterial wall Distal aortic arch narrowing Fetal flow pattern (Rudolph)
Coarctation of Aorta Pathophysiology • Narrowed aorta produces increased left ventricular afterload and wall stress, left ventricular hypertrophy, and congestive heart failure. • Systemic perfusion is dependent on the ductal flow and collateralization in severe coarctation
Coarctation of Aorta 1. Incidence * 5-8% of CHD (5 per 10000 live births) * Isolated CoA (82% of total CoA); male : female = 2:1 CoA + VSD 11%, COA + other cardiac anomalies 7% * Complex CoA ; no sex difference 2. Survival of pure CoA * 15% : CHF in neonate or infancy * 85% : survive late childhood without operation * 65% : survive 3rd decade of life (2% at 60 years) 3. Bacterial endocarditis: common in 1st 5 decades 4. Aortic rupture
: 2~3rd decade
5. Intracranial lesion
: subarachnoid hemorrhage (cong. Berry aneurysm)
Coarctation of Aorta: Associated Pathology 1. Collateral circulation 2. Aneurysm formation of intercostal arteries * 3rd, & 4th rib notching * rare before 10 years of age
3. Coronary artery dilatation and tortuosity * due to LVH
4. Aortic valve * bicuspid (27-45%) * stenosis ( 6 - 7%)
5. Intracranial aneurysm * berry type intracranial aneurysm in some patients
6. Associated cardiac anomaly * 85% of neonates presenting COA
Collaterals in CoA
Collateral circulation • Inflow : primary from branches of both subclavian arteries • • • •
internal mammary artery vertebral artery costocervical trunk thyrocervical trunk
• Outflow : into descending aorta, two pairs of intercostal arteries
Clinical Features & Diagnosis 1. Infancy • Closure of ductus (7-10 days) produces severe obstruction • Ductus arteriosus remains patent - differential cyanosis • Associated intracardiac defect - more severe, early onset • Degree of collateral circulation
2. Childhood • Asymptomatic without significant associated lesion • Hypertension (90%) • Cardiomegaly (33%) • Rib notching (15%)
3. Adolescence and adult • Hypertension ; very common • Valvular heart disease • Heart failure at 30 years of age
4. Associated syndrome • Turner syndrome (XO) : 2% • Von Recklinghausen’s • Noonan’s syndrome or congenital rubella
Clinical findings • Hypertension is present in the right arm, relative to lower extremity • Pulse delay between right arm and the femoral/popliteal artery • Murmur or bruits in left intrascapular • ECG: LVH, secondary ST-T wave abnormalities, RV conduction delay
Management Strategies • Medical therapy: - Hypertension controlled by β-blocker, ACEI, or ARB (first line) - The choice of β-blocker or vasodilators influenced by aortic root size, presence of AR or both. • Surgical therapy 3 Deanfield
J, Thaulow E, Warnes C, Webb G, Kolbel F, Hoffman A. Management of grown up congenital heart disease: the task force on the management of grown up congenital heart disease of the european society of cardiology. Eur Heart J 2003; 24: 1035-84
Indications for operation 1. Reduction of luminal diameter greater than 50% at any age 2. Upper body hypertension over 150mmHg in young infant (not in heart failure) 3. CoA with congestive heart failure at any age
COARCTATIO AORTA COARCTATIO SEDERHANA Reparasi : - E to E - Flap subklavia - Patch
Klinis, EKG, Ro, Ekokardiografi
COARCTATIO + VSD Arcus Aorta normal
VSD tunggal
Reparasi Coarct + tutup VSD
VSD multipel
COARCTATIO KOMPLEKS
Arkus Aorta hipoplastik
Disertai hipoplastik LV & MV (HLH)
Reparasi komplit dalam CPB
Norwood tahap I
Reparasi coarct + PAB
Reparasi coarct + Reparasi intracardiac
118. GENETIC DISORDER Patau Syndrome Trisomi 13 noninherited
Mental retardation, heart defects, CNS abnormalities, microphthalmia, polydachtyly, a cleft lip with or without a cleft palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.
Sindrom Klinefelter 47,XXY noninherited
cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or incomplete puberty, gynecomastia, reduced facial and body hair, and an inability to have biological children (infertility). Older children and adults tend to be taller. Increased risk of developing breast cancer and SLE. May have learning disabilities and delayed speech; tend to be quiet, sensitive, and unassertive.
Sindrom Edward Trisomi 18 Noninherited
Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a rounded bottom (rocker-bottom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental delay, microcephaly, Undescended testicle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe kidney, Hydronephrosis, Polycystic kidney), severe intellectual disability It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die before birth or within their first month.
mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck, Flattened nose, Separated sutures, Single palm crease, Small ears, small mouth, Upward slanting eyes, Wide, short hands with short fingers, White spots on the colored part of the eye (Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD)
Sindrom Down Trisomi 21 noninherited Physical development is often slower than normal (Most never reach their average adult height), delayed mental and social development (Impulsive behavior, Poor judgment, Short attention span, Slow learning)
Sindrom turner 45 + XO noninherited
The most common feature is short stature, which becomes evident by about age 5. Ovarian hypofunction. Many affected girls do not undergo puberty and infertile. About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck, limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities, or kidney problem, 1/3 have heart defect, such as coarctation of the aorta. Most of them have normal intelligence. Developmental delays, nonverbal learning disabilities, and behavioral problems are possible
Jacob Syndrome 47, XYY
No unusual physical features, increased risk of learning disabilities and delayed development of speech and language skills. Delayed development of motor skills, weak muscle tone (hypotonia), hand tremors or other involuntary movements (motor tics), and behavioral and emotional difficulties
Fragile X syndrome Fragile X syndrome is a genetic condition that causes a Diturunkan secara range of developmental problems including learning X-linked dominan disabilities and cognitive impairment. Usually, males are more severely affected by this disorder than females.
Crigler-Najjar Syndrome
Kelainan genetik yang menngakibatkan tidak adanya enzim billirubin-UGT yang berfungsi untuk eliminasi bilirubin. Akibatnya, muncul gejala klinis akibat hiperbilirubinemia (ikterus yang segera muncul setelah lahir) hingga dapat menjadi kernickterus
Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh). 3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum, Teeth that are too crowded, Flat feet.
Edward Syndrome • Higher in females compared to males • Trisomy 18 is the second most common autosomal trisomy syndrome after trisomy 21 • Types: full, partial, mosaic • There is a high percentage of fetuses dying during labor (38.5%), and the preterm frequency (35%) • Approximately 50% of babies with trisomy 18 live longer than 1 week, and 5-10% of children survive beyond the first year
Clinical description • • • •
Prenatal growth deficiency Specific craniofacial features minor, major malformations, marked psychomotor and cognitive developmental delay • The growth delay starts in prenatal period and continues after the birth • Associated with feeding problems that may require enteral nutrition.
PROMINENT OCCIPUT
DYSPASTIC EARS SMALL MOUTH AND JAW WIDE NIPPLES
SMALL NECK SHORT STERNUM
SHIELD CHEST
CLENCHED HANDS
FLEXED BIG TOE
PROMINENT HEELS
smooth 'rocker bottom' feet (with a rounded base)
clenched fist with overriding fingers (index finger overlapping the third and 5th finger overlapping the 4th
anomalies of the ears
dolicocephaly
Short palpebral fissures
micrognathia
short sternum
club feet
small fingernails, underdevelop ed thumbs
Findings CARDIOVASCULAR • 80%-100% • ventricular and atrial septal defects, patent • ductus arteriosus and polyvalvular disease RESPIRATORY • upper airway obstruction • (in some case due to a laryngomalacia or tracheobronchomalacia) • and central apnea
Findings CENTRAL NERVOUS SYSTEM • cerebellar hypoplasia, • agenesis of corpus callosum, • polymicrogyria, • spina bifida • craniofacial orofacial clefts • eye microphthalmia, • coloboma, cataract, • corneal opacities
GASTROINTESTINAL Omphalocele oesophageal atresia tracheo-oesophageal fistula umbilical or inguinal hernia imperforate anus pyloric stenosis
Developmental and behavior • Developmental delay is always present – marked to profound degree of psychomotor and intellectual disability – slow gaining of some skills – Expressive language and independently walk are not achieved
119. Defisiensi Vitamin B Vitamin B1 (Thiamine)
Beriberi - a disease whose symptoms include weight loss, body weakness and pain, brain damage, irregular heart rate, heart failure, and death if left untreated
Causes distinctive bright pink tongues, although other Vitamin B2 (Riboflavin) symptoms are cracked lips, throat swelling, bloodshot eyes, and low red blood cell count Vitamin B3 (Niacin)
Pellagra - symptoms included diarrhea, dermatitis, dementia, and finally death (4D)
Vitamin B5 (Pantothenic Acid)
Acne and Chronic paresthesia
Vitamin B6 (Pyridoxine)
Microcytic anemia, depression, dermatitis, high blood pressure (hypertension), water retention, and elevated levels of homocysteine
Vitamin B7 (Biotin)
Causes rashes, hair loss, anaemia, and mental conditions including hallucinations, drowsiness, and depression
Vitamin B12 (Cobalamin)
Causes gradual deterioration of the spinal cord and very gradual brain deterioration, resulting in sensory or motor deficiencies
Defisiensi Biotin (Vitamin B7) • Defisiensi biotin (Vitamin B7) jarang terjadi karena : – Kebutuhan harian yang sedikit (150-300 μg) – biotin terdapat hampir di semua jenis makanan – Flora normal usus mensintesis biotin – Biotin mengalami proses recycle. • Penyebab defisiensi Biotin : – Konsumsi antikonvulsan tertentu (phenytoin, primidone, carbamazepine) – Penggunaan antibiotik spektrum luas – Konsumsi putih-telur mentah dalam jumlah cukup banyak (Egg-white injury syndrome). putih telur mentah berisi glycoprotein avidin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap biotin berikatan secara ireversibel tidak bisa diserap usus defisiensi – Defisiensi enzim biotinidase (defek genetik) Scheinfeld, NS. Biotin Deficiency. http://emedicine.medscape.com/article/984803-overview
Defisiensi biotin
Manifestasi Klinik Timbul 3-5 minggu setelah onset defisiensi biotin: • Kulit Kering • Dermatitis seboroik • Infeksi jamur • Rash • Brittle hair (mudah patah), rambut rontok, alopecia • Gejala traktus gastrointestinal (Mual, muntah, anoreksia) Dalam 1-2 minggu kemudian, timbul gejala neurologis : • Depresi ringan • Perubahan status mental • Generalized Myalgia • Hyperesthesia, paresthesia
Penatalaksanaan • Deteksi dini dan pengobatan dengan biotin • Dosis biotin terdapat dua pendapat : – Injeksi Biotin IM 150 μg per hari gejala mulai hilang dlm 3-5 hari, sembuh total dalam 3-5 bulan – Dosis lebih tinggi 5-20 mg per hari IM. Gejala lebih cepat tertangani
• Makanan kaya biotin : swiss chard, kuning-telur mentah, hati, saskatoon berries, sayuran hijau, dan kacang-kacangan • Hentikan konsumsi telur setengah matang
Defisiensi Vitamin Lainnya
120. Burkitt lymphoma • Bulky, fleshy tumors, ± necrotic areas • Peripheral lymphadenopathy is rare; Bone marrow involvement late, leukemia rare • Responsive to chemotherapy (especially African), 50% relapse • Strong association with EBV. • Another important feature of BL is that nearly 100% of nuclei of the neoplastic cells are Ki-67-positive. Cytoplasmic immunoglobulin may be present. • Differential diagnosis: Diffuse large B cell lymphoma, B cell lymphoma unclassified. 746
747
748
Burkitt lymphoma is a high-grade malignant lymphoma composed of germinal center B cells which can present in three clinical settings: 1.
Endemic. This occurs in the equatorial strip of Africa and is the most common form of childhood malignancy in this area. The patients characteristically present with jaw and orbital lesions. Involvement of the gastrointestinal tract, ovaries, kidney, and breast are also common.
2.
Sporadic. This is seen throughout the world. It affects mainly children and adolescents, and has a greater tendency for involvement of the abdominal cavity than the endemic form.
3.
Immunodeficiency-associated. This is seen primarily in association with HIV infection and often occurs as the initial manifestation of the disease.
749
Burkitt’s Lymphoma • The tumor cells are monotonous small (10-25μm) round cells. The nuclei are round or oval and have several prominent basophilic nucleoli. The chromatin is coarse and the nuclear membrane is rather thick. • The cytoplasm is easily identifiable; Mitoses are numerous, and a prominent starry sky pattern is the rule, although by no means pathognomonic. • In well-fixed material, the cytoplasm of individual cells ‘squares off’, forming acute angles in which the membranes of adjacent cells abut on each other. • Occasionally, the tumor is accompanied by a florid granulomatous reaction. • Numerous fat vacuoles in cytoplasm (Oil Red O positive)
750
Burkitt lymphoma with characterstic starry sky appearance. 751
Ameloblastoma • Tumor jinak odontogenic yang berasal dari lamina dental pada daerah mandibula • Gejala klinis khas: benjolan keras tanpa nyeri di daerah mandibula • Predileksi terutama pada area molar 3 • Pada beberapa kasus dapat juga berada di maxilla
121. Penyakit Chagas • Nama lain American trypanosomiasis. • Etiologi: parasit Trypanosoma cruzi, ditransmisikan oleh vektor serangga • Terdapat di amerika, terutama Amerika Latin • Bisa menular lewat congenital transmission, transfusi darah, makanan yang terkontaminasi kotoran serangga yg terinfeksi
Sign & Symptomps • Acute Chagas disease – last up to a few weeks or months – parasites may be found in the blood. – fever or swelling around the site of inoculation – Rarely, acute infection may result in severe inflammation of the heart muscle or the brain
• Complications of chronic Chagas: – heart rhythm abnormalities that can cause sudden death; – a dilated heart that doesn’t pump blood well; – a dilated esophagus or colon, leading to difficulties with eating or passing stool.
• prolonged asymptomatic form of disease (called "chronic indeterminate") – few or no parasites are found in the blood. – asymptomatic for life – 20 - 30% of infected people will develop debilitating and sometimes life-threatening medical problems
Romaña's sign, the swelling of the child's eyelid, is a marker of acute Chagas disease. The swelling is due to bug feces being accidentally rubbed into the eye, or because the bite wound was on the same side of the child's face as the swelling. Photo courtesy of WHO/TDR.
Diagnosis • The diagnosis of Chagas disease can be made by observation of the parasite in a blood smear by microscopic examination. A thick and thin blood smear are made and stained for visualization of parasites.
Tatalaksana Drug Benznidazole
Nifurtimox
Age group
Dosage and duration
< 12 years
5-7.5 mg/kg per day orally in 2 divided doses for 60 days
12 years or older
5-7 mg/kg per day orally in 2 divided doses for 60 days
≤ 10 years
15-20 mg/kg per day orally in 3 or 4 divided doses for 90 days
11-16 years
12.5-15 mg/kg per day orally in 3 or 4 divided doses for 90 days
17 years or older
8-10 mg/kg per day orally in 3 or 4 divided doses for 90 days
Babesiosis • Penyakit yang ditransmisikan oleh kutu • Etiologi: protozoa (Babesia microti) • Memiliki gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yang serupa dengan malaria • Sebagian besar asimptomatik, tidak memiliki gejala klinis yang khas • Manifestasi paling sering adalah anemia hemolitik karena protozoa ini menginfeksi eritrosit
Sleeping disease • • • •
Atau lebih tepatnya sleeping sickness Disebabkan oleh parasit, yaitu Trypanosoma brucei Transmisi melalui lalat tse-tse Gejala klinis utama berupa demam intermitten, nyeri kepala, pembesaran KGB selama 1-2 minggu – Jika terinfeksi Trypanosoma brucei rhodensiense: progresi gejala cepat dan cepat menginvasi CNS lethal – Jika terinfeksi Trypanosoma brucei gambiense: progresi gejala klinis cenderung lebih lambat + gejala neurologis berupa paralisis parsial dan gangguan berjalan dan keseimbangan
122. Acetaminophen Toxicity • Acute overdose is usually considered to be a single ingestion
• Phase 1 – 0-24 hours
•
(therapeutic range in blood 1030µg/ml)
• Phase 2 – 24-72 hours
• Generally, 7.5 gm in an adult or 150 mg/kg in a child are the lowest threshold capable of toxicity
• Phase 3 – 72-96 hours
• NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone imine)-derived toxicity – Liver – begins in zone 3 (centrilobular) – Renal – Acute Tubular Necrosis
• Multiorgan failure – Heart, kidney
– Nausea, vomiting – RUQ pain, elevated liver enzymes, prolonged PT – Hepatic necrosis, encephalopathy, coagulopathy, ATN
• Phase 4 – 4 days- 2 weeks – If damage is not irreversible, complete resolution of hepatic dysfunction will occur
Lab Values Measure
Indicative of Toxicity
Serum Creatinine (SrCr)
Elevated over 3.4 mg/dL
Creatinine Clearance (CrCl)
Lowered
International Normalized Ratio (INR) Elevated Prothrombin Time (PT)
Elevated over 100 seconds
Aspartate Aminotransferase (AST)
Elevated
Alanine Transaminase (ALT)
Elevated
Billirubin
Elevated over 18 mg/dL
Acetaminophen (APAP)
An APAP level 4 hours post ingestion >150 mcg/ml (9993µmol/L
O'Ma l ley, Gerald F. "Acetaminophen Poisoning: Poisoning: Merck Manual Professional." Merck & Co., Inc. Merck & Co. Web. 08 Oct. 2010. http://www.merck.com/mmpe/sec21/ch326/ch326c.html>. Scha efer, Jeffrey P. "Aceta minophen Intoxication." Dr. Jeffrey P Scha efer, 14 Oct. 2007. Web. 10 Oct. 2010.
GI Decontamination • Very rapid GI absorption • Activated Charcoal (AC) – Very early presentation – Don’t give AC to unconscious patient – Effective if administered in 1 hour – Co-ingestants – Adsorbs to NAC
• N-Acetylcysteine therapy – Prevents toxicity by limiting NAPQI formation – Increases capacity to detoxify formed NAPQI – Treatment instituted within 6 to 8 hours after an acute ingestion – Late NAC therapy • Decreased hepatotoxicity when treatment begins 16-24 hours post ingestion
– If IV NAC begun after onset of fulminant hepatic failure decreased need for vasopressors, and decreased incidence of cerebral edema and death
Jenis Racun
Antidotum
Asetaminofen
N-Asetil-L-Sistein
Antikolinergik
Physostigmine
Antikolinesterase (insektisida, Organofosfat, karbamat)
Atropin, Pralidoksim
Benzodiazepin
Flumazenil
Beta bloker
Glukagon
Karbon monoksida
Oksigen
Sianida
Amyl nitrit, Sodium Nitrit, Sodium Tiosulfat
Antidepresan trisiklik
Natrium Bikarbonat
Etilen glikol
Ethanol
Metanol
Ethanol, 4-MP (Fomepizole or 4-methylpyrazole)
Zat besi
desferoksamin
Isoniazid
Piridoksin
Timah (lead)
Dimercaprol (British anti-Lewisite/BAL), Kalsium
Merkuri
Dimercaptosuccinic acid (DMSA) or succimer
Methemoglobinemia
Methylene Blue
Opioid
Nalokson
123. Ikterus Neonatorum • Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1 – Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh, penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia 48 jam – Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD. Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh, sferositosis.
Anemia Hemolisis Neonatus/ Hemolytic Disease of Neonates P E N YA K I T
KETERANGAN
Inko m pati bi l i tas ABO
Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap aglutinogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O, memproduksi antibodi IgG Anti-A/B terhadap gol. darah anak (golongan darah A atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama
Inko m pati bi l i tas Rh
Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh– berarti tidak memiliki antigen D. Hemolisis terjadi karena adanya antibodi ibu dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap antigen Rh anak (berati anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn antibodi ibu terhadap antigen D anak yg berhasil melewati plasenta belum banyak. Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + antibodi yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis
Inkompatibilitas Rhesus • Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan eritrosit • Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+), sehingga membentuk antibodi Rh – Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+), terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran normal – Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah Rh (+)
Inkompatibilitas Rhesus • Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan eritrosit • Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+), sehingga membentuk antibodi Rh – Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+), terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran normal – Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah Rh (+)
• Setelah eksposure pertama, ibu akan membentuk IgG maternal terhadap antigen Rh yang bisa dengan bebas melewati plasenta hingga membentuk kompleks antigen-antibodi dengan eritrosit fetus dan akhirnya melisiskan eritrosit tersebut fetal alloimmune-induced hemolytic anemia. • Ketika wanita gol darah Rh (-) tersensitisasi diperlukan waktu kira-kira sebulan untuk membentuk antibodi Rh yg bisa menandingi sirkulasi fetal. • 90% kasus sensitisasi terjadi selama proses kelahiran o.k itu anak pertama Rh (+) tidak terpengaruhi karena waktu pajanan eritrosit bayi ke ibu hanya sebentar, tidak bisa memproduksi antibodi scr signifikan
Inkompatibilitas Rhesus • Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa meninggal in utero • Risiko sensitisasi tergantung pada 3 faktor: – Volume perdarahan transplansental – Tingkat respons imun maternal – Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan • Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan dengan ketidakcocokan Rh justru mengurangi kejadian inkompatibilitas Rh karena serum ibu yang mengandung antibodi ABO menghancurkan eritrosit janin sebelum sensitisasi Rh yg signifikan sempat terjadi • Untungnya inkompatibilitas ABO biasanya tidak memberikan sekuele yang parah http://emedicine.medscape.com/article/797150
Inkompatibilitas ABO • Terjadi pada ibu dengan golongan darah O terhadap janin dengan golongan darah A, B, atau AB • Tidak terjadi pada ibu gol A dan B karena antibodi yg terbentuk adalah IgM yg tdk melewati plasenta, sedangkan 1% ibu gol darah O yang memiliki titer antibody IgG terhadap antigen A dan B, bisa melewati plasenta
• Gejala yang timbul adalah ikterik, anemia ringan, dan peningkatan bilirubin serum. • Lebih sering terjadi pada bayi dengan gol darah A dibanding B, tetapi hemolisis pada gol darah tipe B biasanya lebih berat. • Inkompatibilitas ABO jarang sekali menimbulkan hidrops fetalis dan biasanya tidak separah inkompatibilitas Rh
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas • Prenatal emergency care for Rh incompatibility: – Tipe Rh ibu – the Rosette screening test atau the KleihauerBetke acid elution test bisa mendeteksi alloimmunization yg disebabkan oleh fetal hemorrhage – Amniosentesis/cordosentesis http://emedicine.medscape.com/article/797150
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas • Pemeriksaan penunjang yang dilakukan post natal baik untuk inkompatibilitas ABO dan Rh – Cek tipe ABO dan Rh, hematokrit, Hb, serum bilirubin, apusan darah, dan direct Coombs test. – direct Coombs test yang positif menegakkan diagnosis antibody-induced hemolytic anemia yang menandakan adanya inkompabilitas ABO atau Rh • Pada inkompatibilitas ABO manifestasi yg lebih dominan adalah hiperbilirubinemia, dibandingkan anemia, dan apusan darah tepi memberikan gambaran banyak spherocyte dan sedikit erythroblasts, sedangkan pada inkompatibilitas Rh banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
Tatalaksana Inkompatibilitas Rh • Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensitisasi, berikan human anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau RhoGAM) • Jika sang ibu sudah tersensitisasi, pemberian Rh IgG tidak berguna • Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompatibilitas, transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya reticulocyte count http://emedicine.medscape.com/article/797150
Tatalaksana Umum Hemolytic Disease of Neonates • •
•
•
•
In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum bilirubin levels, oral hydration, and phototherapy are the mainstays of management. For infants who do not respond to these conventional measures, intravenous fluid supplementation and/or exchange transfusion may be necessary to treat hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in reducing the need for exchange transfusion. Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervention to treat and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effective and safe intervention. The AAP has developed guidelines for the initiation and discontinuation of phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age of the patient, gestational age, and the presence or absence of risk factors for hyperbilirubinemia including alloimmune HDN Hydration — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addition, by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydration is inadequate, intravenous hydration may be necessary. Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of antibodycoated neonatal RBCs and unbound maternal antibody.
I N K O M PAT I B I L I TA S A B O
I N K O M PAT I B I L I TA S R H
Bisa terjadi pada anak pertama
Tidak pernah terjadi pada anak pertama dengan rhesus (+) karena antibodi ibu yg terbentuk belum cukuop untuk menyebabkan inkompatibilitas
Inkompatibilitas ABO jarang sekali menimbulkan hidrops fetalis dan biasanya tidak separah inkompatibilitas Rh
Gejala biasanya lebih parah jika dibandingkan dengan inkompatibilotas ABO, bahkan hingga hidrops fetalis
Risiko dan derajat keparahan tidak meningkat di anak selanjutnya
Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa meninggal in utero
apusan darah tepi memberikan gambaran banyak spherocyte dan sedikit erythroblasts
pada inkompatibilitas Rh banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
124. Enterokolitis Nekrotikans • sindrom nekrosis intestinal akut pada neonatus yang ditandai oleh kerusakan intestinal berat akibat gabungan jejas vaskular, mukosa, dan metabolik (dan faktor lain yang belum diketahui) pada usus yang imatur. • Enterokolitis nekrotikans hampir selalu terjadi pada bayi prematur. • Insidens pada bayi dengan berat <1,5 kg sebesar 6-10%. • Insidens meningkat dengan semakin rendahnya usia gestasi.
• Patogenesis EN masih belum sepenuhnya dimengerti dan diduga multifaktorial. • Diperkirakan karena iskemia yang berakibat pada kerusakan integritas usus. • Pemberian minum secara enteral akan menjadi substrat untuk proliferasi bakteri, diikuti oleh invasi mukosa usus yang telah rusak oleh bakteri yang memproduksi gas gas usus intramural yang dikenal sebagai pneumatosis intestinalis mengalami progresivitas menjadi nekrosis transmural atau gangren usus perforasi dan peritonitis.
Faktor risiko • Prematuritas. • Pemberian makan enteral. EN jarang ditemukan pada bayi yang belum pernah diberi minum. – Formula hyperosmolar dapat mengubah permeabilitas mukosa dan mengakibatkan kerusakan mukosa. – Pemberian ASI terbukti dapat menurunkan kejadian EN.
• Mikroorganisme patogen enteral. Patogen bakteri dan virus yang diduga berperan adalah E. coli, Klebsiella, S. epidermidis, Clostridium sp. , coronavirus dan rotavirus. • Kejadian hipoksia/iskemia, misalnya asfiksia dan penyakit jantung bawaan. • Bayi dengan polisitemia, transfusi tukar, dan pertumbuhan janin terhambat berisiko mengalami iskemia intestinal. • Volume pemberian minum, waktu pemberian minum, dan peningkatan minum enteral yang cepat.
Manifestasi klinis • • • • • • • • •
Manifestasi sistemik Distres pernapasan Apnu dan atau bradikardia Letargi atau iritabilitas Instabilitas suhu Toleransi minum buruk Hipotensi/syok, hipoperfusi Asidosis Oliguria Manifestasi perdarahan
Manifestasi pada abdomen • Distensi abdomen • Eritema dinding abdomen atau indurasi • Tinja berdarah, baik samar maupun perdarahan saluran cerna masif (hematokesia) • Residu lambung • Muntah (bilier, darah, atau keduanya) • Ileus (berkurangnya atau hilangnya bising usus) • Massa abdominal terlokalisir yang persisten • Asites
Pemeriksaan penunjang • Darah perifer lengkap. Leukosit bisa normal, meningkat (dengan pergeseran ke kiri), atau menurun dan dijumpai tombositopenia • Kultur darah untuk bakteri aerob, anaerob, dan jamur • Tes darah samar • Analisis gas darah, dapat dijumpai asidosis metabolik atau campuran • Elektrolit darah, dapat dijumpai ketidakseimbangan elektrolit, terutama hipo/ • hipernatremia dan hiperkalemia • Kultur tinja
• Foto polos abdomen 2 posisi serial: – Foto polos abdomen posisi supine, dijumpai distribusi usus abnormal, edema dinding usus, posisi loop usus persisten pada foto serial, massa, pneumatosis intestinalis (tanda khas EN), atau gas pada vena porta – Foto polos abdomen posisi lateral dekubitus atau lateral untuk mencari pneumoperitoneum.
Tata laksana umum untuk semua pasien EN: • Puasa dan pemberian nutrisi parenteral total. • Pasang sonde nasogastrik untuk dekompresi lambung. • Pemantauan ketat: – Tanda vital – Lingkar perut (ukur setiap 1224 jam), diskolorasi abdomen
• Lepas kateter umbilikal (bila ada). • Antibiotik: ampisilin dan gentamisin ditambah dengan metronidazole
• Tes darah samar tiap 24 jam untuk memonitor perdarahan gastrointestinal. • Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Pertahankan diuresis 1-3 mL/kg/hari. • Periksa darah tepi lengkap dan elektrolit setiap 24 jam sampai stabil. • Foto polos abdomen serial setiap 8-12 jam. • Konsultasi ke departemen Bedah Anak.
Tata laksana khusus bergantung pada stadium Enterokolitis nekrotikans stadium I
• Tata laksana umum. • Pemberian minum dapat dimulai setelah 3 hari dipuasakan • Antibiotik dapat dihentikan setelah 3 hari pemberian dengan syarat kultur negative dan terdapat perbaikan klinis.
• • •
• •
Enterokolitis nekrotikans stadium II dan III Tata laksana umum. Antibiotik selama 14 hari. Puasa selama 2 minggu. Pemberian minum dapat dimulai 7-10 hari setelah perbaikan radiologis pneumatosis. Ventilasi mekanik bila dibutuhkan. Jaga keseimbangan hemodinamik. Pada EN stadium III sering dijumpai hipotensi refrakter.
Tata laksana bedah • Laparatomi eksplorasi dengan reseksi segmen yang nekrosis dan enterostomi atau anastomosis primer. • Drainase peritoneal umumnya dilakukan pada bayi dengan berat <1000 g dan kondisi tidak stabil.
125. Sindrom Reye • Sindrom kerusakan otak yang akut yang ditandai dengan ensefalopati dan masalah fungsi hati dengan penyebab tidak diketahui. • Terutama menyerang anak walaupun bisa terjadi pada semua umur. • Sindrom ini disebabkan karena meningkatnya tekanan dalam otak dengan akumulasi masif lemak pada hati dan organ lain. • Sindrom Reye berhubungan dengan penyakit virus seperti cacar air dan influenza, biasanya terjadi saat masa penyembuhan dari infeksi virus tersebut. • Penyebab sindrom Reye masih belum diketahui dengan pasti, diduga ada hubungannya dengan pemakaian aspirin atau asam salisilat pada penyakit infeksi virus. • Diduga juga ada hubungannya dengan kelainan metabolik.
Sindrom Reye
Pengobatan • Tidak ada pengobatan yang spesifik, monitor yang perlu diperhatikan adalah tekanan intrakranial, tekanan darah, gas darah, keseimbangan asam basa darah. • Klinisi harus fokus pada menjaga kecukupan cairan dan elektrolit, nutrisi yang cukup, dan keadaan kardiorespirasinya. • Tata laksana suportif adalah: – SR harus dirawat di rumah sakit dan jika berat di perawatan intensif – Dukungan pernapasan (mesin ventilator untuk yang koma). – Cairan intravena untuk memberikan elektrolit dan glukosa, pemberian mannitol 0.5 mg/kg tiap 4-6 jam membantu mengurangi udem otak – Kortikosteroid tidak terbukti bermanfaat untuk mengurangi edema otak, sehingga tidak dianjurkan – Pemberian insulin dosis rendah bisa dilakukan untuk membantu meningkatkan metabolisme glukosa. – Pemberian diuresis untuk meningkatkan pengeluaran cairan. Pemberian furosemide 1-2 mg/kgBB i.v, kemudian di pantau diuresisnya.
Prognosis dan Pencegahan • Anak yang datang pada periode akut pronosisnya baik. • Anak yang datang pada keadaan terlambat maka kemungkinan terjadi kerusakan otak dan kelumpuhan sangat besar. • Komplikasi: – Koma – Kerusakan otak permanen – Kejang
• Pencegahan : Pemakaian aspirin dan obat-obatan dari derivat salisilat tidak boleh diberikan pada cacar air, influenza, dan penyakit virus yang lain. • Jika akan memakai aspirin dan derivatnya, harus dengan petunjuk dokter
126. Resusitasi Neonatus
VTP • Peralatan yang digunakan untuk VTP adalah: – Self inflating bag (balon mengembang sendiri) – Flow inflating bag (balon tidak mengembang sendiri) – T-piece resuscitator
• Dalam 30 detik dilakukan VTP 20-30 kali, mengikuti pernafasan bayi 40-60x/menit • Pada permulaan resusitasi, oksigen tidak dibutuhkan secara rutin. Namun bila terjadi sianosis selama resusitasi boleh ditambahkan oksigen
Teknik Ventilasi dan Kompresi • Kompresi dada • Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masing-masing). • Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit. • Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3 dari diameter antero-posterior dada. • Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung • Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh meninggalkan posisi di dada. Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation a nd Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Indicator of Successful Resuscitation • A prompt increase in heart rate remains the most sensitive indicator of resuscitation efficacy (LOE 5 5). • Of the clinical assessments, auscultation of the heart is the most accurate, with palpation of the umbilical cord less so. • There is clear evidence that an increase in oxygenation and improvement in color may take many minutes to achieve, even in uncompromised babies. • Furthermore, there is increasing evidence that exposure of the newly born to hyperoxia is detrimental to many organs at a cellular and functional level. • For this reason color has been removed as an indicator of oxygenation or resuscitation efficacy. • Respirations, heart rate, and oxygenation should be reassessed periodically, and coordinated chest compressions and ventilations should continue until the spontaneous heart rate is 60 per minute Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation a nd Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Kapan menghentikan resusitasi? • Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut jantung, dianggap layak untuk menghentikan resusitasi jika detak jantung tetap tidak terdeteksi setelah dilakukan resusitasi selama 10 menit (kelas IIb, LOE C). • Keputusan untuk tetap meneruskan usaha resusitasi bisa dipertimbangkan setelah memperhatikan beberapa faktor seperti etiologi dari henti hantung pasien, usia gestasi, adanya komplikasi, dan pertimbangan dari orangtua mengenai risiko morbiditas. Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation a nd Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
127. Skor APGAR Skor APGAR dievaluasi menit ke-1 dan menit ke-5 Tanda
0
A
Activity (tonus otot)
Tidak ada
P
Pulse
Tidak ada
G
Grimace (reflex irritability)
Tidak ada respon
A
Appearance Sianosis (warna kulit) seluruh tubuh Respiration Tidak ada (napas)
R
1 tangan dan kaki fleksi sedikit < 100x/menit Menyeringai lemah, gerakan sedikit Kebiruan pada ekstremitas Lambat dan ireguler
2 aktif
> 100 x/menit Reaksi melawan, batuk, bersin
Kemerahan di seluruh tubuh Baik, menangis kuat
129. Diare
128. Akses Intraoseus • •
•
•
Akses intraoseus disarankan untuk anak <6 thn. Beberapa studi mengatakan jika akses IO juga aman utk anak yg lbh besar dan org dewasa Menurut Emergency Cardiovascular Care Guidelines (2000), akses IO direkomendasikan pada semua pasien anak yang gagal mendapatkan akses IV setelah mencoba 2x atau pada kasus syok/ circulatory collapse. Pada tahun 2005, the American Heart Association merekomendasikan akses IO jika akses vena tidak bisa didapatkan dengan cepat.
• Site of injection: – Proximal tibia – sternum
Akses Intraoseus • Spesimen darang yg didapatkan melalui intraosesus bisa digunakan untuk pemeriksaan lab, seperti kadar pH, kadar PCO2, dan gol darah, tetapi mungkin agak berbeda dengan standar hasil darah vena. • Semua obat-obatan dan produk darah bisa dimasukkan melalui akses IO • Jika jarum Intraosseous dibiarkan > 72 jam, akan berisiko infeksi lokal, sehingga akses IO sebaiknya diangkat segera setelah akses vena didapatkan secara permanen
Akses Intraoseus Indikasi
Kontraindikasi
•
• • • • • • • •
Sulit mendapatkan akses IV – – – –
•
Burns Obesity Edema Seizures
Memerlukan infus dengan kapasitas volume yang tinggi dan cepat – Hypovolemic shock – Burns
•
Sebagai akses ke sirkulasi vena sistemik – – – – –
Cardiopulmonary arrest Burns Blood draws Local anesthesia Medication infusion
• • •
Infection at entry site Burn at entry site Ipsilateral fracture of the extremity Osteogenesis imperfecta Osteopenia Osteopetrosis Previous attempt at the same site Previous attempt in different location on same bone Previous sternotomy (sternum insertion) Sternum fracture or vascular injury near sternum (sternum insertion) Unable to locate landmarks
Tatalaksana cairan pada diare akut
PPM IDAI
130. Kejang demam • Kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 C. Demam disebabkan proses ekstra kranial. • Mayoritas terjadi pada hari pertama sakit • Bukan disebabkan infeksi SSP, gangguan metabolik, tidak pernah ada riwayat kejang tanpa demam. • Usia antara 6 bulan – 6 tahun, mayoritas usia 1218 bulan. • KD pada anak > 6 tahun : Febrile seizure plus (FS+). 2-4 % pada anak kurang dari 5 tahun Pedoman Pelayanan Klinis Anak RSCM 2015
Klasifikasi Kejang demam sederhana Kejang demam kompleks
• Kejang kurang dari 15 menit • Kejang umum tonik-klonik • Kejang tidak berulang
• Kejang lebih dari 15 menit • Kejang fokal, fokal menjadi umum • Kejang berulang dalam 24 jam
Diagnosis • Indikasi Pungsi Lumbal (konsensus UKK 2016) – Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal – Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis – Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
• Indikasi CT scan/MRI – Tidak diperlukan pada kejang demam sederhana ataupun kompleks – Insiden kelainan patologis intrakranial pada kejang demam kompleks sangat rendah – Harus dilakukan : • Makro/mikrosefali • Kelainan neurologi yang menetap, terutama lateralisasi
• Indikasi EEG – Tidak diperlukan terutama pada KDS atau kejang tanpa defisit neurologis – Kejang fokal (UKK 2016)
Tatalaksana • Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE • Setelah kejang berhenti : – Profilaksis atau tidak – Profilaksis intermiten atau kontinyu
• Antipiretik: – – – –
Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang Memberikan rasa nyaman bagi pasien Parasetamol atau ibuprofen Mengurangi kekhawatiran orangtua
Profilaksis (Konsensus UKK Neurologi IDAI 2015) • Profilaksis intermiten – Kejang demam dengan faktor risiko – Defisit neurologis berat, berulang 3x/6 bln atau 4x/lebih dalam 1 tahun, usia < 6 bulan, kejang terjadi pada suhu tubuh tidak terlalu tinggi, kenaikan suhu tubuh yang cepat – Obat diazepam 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali. • Diberikan selama 48 jam • Efek samping : ataksia, sedasi
• Profilaksis kontinyu – Kejang fokal – Kejang > 15 menit – Defisit neurologis yang berat – Obat : fenobarbital atau asam valproat – Diberikan selama 1 tahun, tidak usah tapp-off obat
Faktor resiko berulangnya KD • Faktor risiko : – Usia muda saat awitan kejang I – Riwayat KD pada keluarga kandung – Suhu yang rendah saat kejang – nterval yang pendek antara demam dan kejang
• Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 70% • Tidak ada faktor risiko : 20%
Diagnosis diferensial infeksi SSP KLINIS/LA B.
ENSEFAL ITIS
MENING. BAKTERi
MENING. TBC
MENING. VIRUS
ENSEFALO PAT I
Onset
Akut
Akut
Kronik
Akut
Akut/kronik
Demam
< 7 hari
< 7 hari
> 7 hari
< 7 hari
> 7 hari/(-)
Kejang
Umum/foka l
Umum
Umum
Umum
Umum
Penurunan kesadaran
Somnolensopor
Apatis
Variasi, apatis sopor
CM - Apatis
Apatis - Somnolen
Paresis
+/-
+/-
++/-
-
-
Perbaikan kesadaran
Lambat
Cepat
Lambat
Cepat
Cepat/Lambat
Etiologi
Tidak dpt diidentifikas i
++/-
TBC/riw. kontak
-
Ekstra SSP
Terapi
Simpt/antivi ral
Antibiotik
Tuberkulostatik
Simpt.
Atasi penyakit primer
131. Gagal Napas Akut • Proses pernapasan dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu ventilasi, perfusi dan difusi • Ventilasi: proses pertukaran udara dari dan menuju paru-paru • Ventilasi terdiri dari inspirasi (aktivitas aktif) dan ekspirasi (aktivitas pasif) • Ventilasi dimungkinkan terjadi akibat adanya gradien (perbedaan) tekanan antara tekanan intrapulmonar dengan tekanan atmosfer
• Perfusi merupakan darah yang mengalir menuju sirkulasi paru (menuju alveolus) • Jumlah ventilasi alveolar/volume tidal (V) pada manusia sehat adl 4L/mnt; sedangkan jumlah perfusi kapiler paru (Q) adalah 5L/mnt • Maka rasio normal ventilasi-perfusi yang melambangkan keseimbangan pertukaran oksigen adalah V/Q= 0.8
• difusi adalah pergerakan molekul dari daerah konsentrasi tinggi menuju ke daerah dengan konsentrasi rendah • Difusi oksigen terjadi terus menerus dari alveolus ke kapiler paru. hal ini terjadi karena tekanan parsial O2 alveolus (PAO2) lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan parsial O2 dlm kapiler (PaO2) • Sebaliknya, difusi CO2 terjadi dari kapiler darah menuju alveolus karena gradien PCO2 kapiler lebih tinggi dibandingkan PCO2 alveolus.
Patofisiologi gagal napas • Tekanan parsial O2 dan CO2 dalam alveolus dan darah kapiler paru ditentukan oleh ketidakseimbangan ventilasi-perfusi • Bila: • Ventilasi-perfusi PO2 darah kapiler PCO2
Mekanisme dan patofisiologi
Gagal Napas Tipe 1 (Oxygenation Failure) • • •
•
Tipe hipoksemik Ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang abnormal rendah (PaO2 <60) Bisa karena kelainan yang menyebabkan rendahnya ventilasi perfusi (V-Q mismatch) atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri Penyebab masalah di oksigenasi: VQ mismatch/ Shunt – – – – – – – – –
Adult respiratory distress syndrome (ARDS) Asthma Pulmonary oedema Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) Interstitial fibrosis Pneumonia Pneumothorax Pulmonary embolism Pulmonary hypertension
Mekanisme hipoksemia arterial • Penurunan tekanan parsial O2 dalam alveolus – Hipoventilasi alveolar – Penurunan tekanan parsial O2 udara inspirasi – Underventilated alveolus (areas of low ventilation-perfusion)
• Shunting intrapulmoner (areas of zero ventilation-perfusion) • Penurunan mixed venous O2 content (saturasi haemoglobin yang rendah) – Peningkatan kecepatan metabolisme – Penurunan cardiac output – Penurunan arterial O2 content
Neema, Praveen Kumar. Respiratory failure. Indian J. Anaesth. 2003; 47 (5) : 360-366
Gagal Napas Tipe 2 (Ventilatory Failure) •
•
•
Type II or Hypercapnic (PaCO2 >45): Failure to exchange or remove carbon dioxide Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme ventilasi yang membuang CO2 dari hasil metabolism jaringan. Disebabkan oleh kelainan yang menurunkan central respiratory drive, mempengaruhi tranmisi sinyal dari CNS, atau hambatan pada otot respirasi untuk mengembangkan dinding dada.
Penyebab •
Disorders affecting central ventilatory drive – Brain stem infarction or haemorrhage – Brain stem compression from supratentorial mass – Drug overdose, Narcotics, Benzodiazepines, Anaesthetic agents etc.
•
Disorders affecting signal transmission to the respiratory muscles – – – – –
•
Myasthenia Gravis Amyotrophic lateral sclerosis Gullain-Barrè syndrome Spinal –Cord injury Multiple sclerosis
Disorders of respiratory muscles or chest-wall –
Muscular dystrophy
– Polymyositis – Flail Chest
Neema, Praveen Kumar. Respiratory failure. Indian J. Anaesth. 2003; 47 (5) : 360-366
Kriteria gagal napas akut Bila ada 2 dari 4 kriteria di bawah ini: 1. Terdapat dyspnea/ sesak akut 2. PaO2 < 50 mmHg pada saat bernapas dalam udara ruangan 3. PaCO2 > 50 mmHg 4. pH darah arteri yang sesuai dengan asidosis respiratorik (pH≤7,2) Kriteria tambahan ke-5 5. Terdapat perubahan status mental ditambah 1 atau lebih kriteria di atas
Catatan: ARDS & ALI • Acute Respiratory Distress Syndrome adalah keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan paru. • Terjadinya gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru. • ARDS was recognized as the most severe form of acute lung injury (ALI)
Consensus Conference Definitions for Acute Lung Injury (ALI) and Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
ALI Kriteria
ARDS Kriteria
waktu
Oxsigenasi (astrup)
X-ray
Akut
PaO2 / FIO2 ≤ 300 mmHg (fraksi oksigen 21%)
Infiltrat bilateral
PaO2 / FIO2 ≤ 200 mmHg (fraksi oksigen 21%)
Infiltrat Bilateral
Akut
Tekanan arteri pulmonale
≤ 18 mmHg
≤ 18 mmHg
ETIOLOGI ARDS TIDAK LANGSUNG
SECARA LANGSUNG • • • • • • • •
Asma bronkial PPOK Pneumonia Aspirasi makanan Pulmonary contusion Near-drowning Inhalational injury DLL
• • • • •
Sepsis Severe trauma with shock Drug overdose Acute pancreatitis Transfusion of blood products
132. Kernikterus • “Kernicterus” refers to the neurologic consequences of the deposition of unconjugated bilirubin in brain tissue • Serum unconjugated bilirubin level exceeds the binding capacity of albumin → unbound lipid-soluble bilirubin crosses the blood-brain barrier • Albumin-bound bilirubin may also cross the blood-brain barrier if damage has occurred because of asphyxia, acidosis, hypoxia, hypoperfusion, hyperosmolality, or sepsis in the newborn • The exact bilirubin concentration associated with kernicterus in the healthy term infant is unpredictable. In the term newborn with hemolysis, a bilirubin level above 20 mg per dL (342 μ mol per L) is a concern Am Fam Physician. 2002 Feb 15;65(4):599-607. Hyperbilirubinemia in the Term Newborn.
Kernikterus • Bilirubin indirek bersifat lipofilik • Peningkatan bilirubin indirek menembus sawar darah otak ensefalopati bilirubin (kernikterus) Tahap 1: Tahap 2: Tahap 3: Sekuele:
Letargi, hipotonia, refleks isap buruk Demam, hipertonia, opistotonus Kondisi terlihat membaik Kehilangan pendengaran sensorineural Serebral palsi koreoatetoid Abnormalitas daya pandang
Kernikterus
133. Acquired Prothrombine Complex Deficiency (APCD) dengan Perdarahan Intrakranial • Sebelumnya disebut sebagai Hemorrhagic Disease of the Newborn (HDN) atau Vitamin K Deficiency Bleeding • Etiologinya adalah defisiensi vitamin K yang dialami oleh bayi karena : (1) Rendahnya kadar vitamin K dalam plasma dan cadangan di hati, (2) Rendahnya kadar vitamin K dalam ASI, (3) Tidak mendapat injeksi vitamin K1 pada saat baru lahir • Mulai terjadi 8 hari-6 bulan, insidensi tertinggi 3-8 minggu • 80-90% bermanifestasi menjadi perdarahan intrakranial Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
Hemorrhagic disease of newborn (HDN) Acquired prothrombrin complex deficiency (APCD) Stadium
Characteristic
Early HDN
Occurs within 2 days and not more than 5 days of life. Baby born of mother who has been on certain drugs: anticonvulsant, antituberculous drug, antibiotics, VK antagonist anticoagulant.
Classic HDN
Occurs during 2 to 7 day of life when the prothrombin complex is low. It was found in babies who do not received VKP or VK supplemented.
Vit K deficiency
Occurs within 2 days and not more than 5 days of life. Definite etiology inducing VKP is found in association with bleeding: malabsorption of VK ie gut resection, biliary atresia, severe liver disease-induced intrahepatic biliary obstruction.
Late HDN / APCD
Acquired bleeding disorder in the 2 week to 6 month age infant caused by reduced vitamin K dependent clotting factor (II, VII, IX, X) with a high incidence of intracranial hemorrhage and responds to VK.
Diagnosis APCD • Diagnosis – Anamnesis : Bayi kecil yang sebelumnya sehat, tiba-tiba tampak pucat, malas minum, lemah. Tidak mendapat vitamin K saat lahir, konsumsi ASI, kejang fokal – PF : Pucat tanpa perdarahan yang nyata. Tanda peningkatan tekanan intrakranial (UUB membonjol, penurunan kesadaran, papil edema), defisit neurologis fokal – Pemeriksaan Penunjang : Anemia dengan trombosit normal, PT memanjang, APTT normal/memanjang. USG/CT Scan kepala : perdarahan intrakranial – Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, disertai UUB membonjol harus difikirkan APCD sampai terbukti bukan Buku PPM Anak IDAI
Tatalaksana APCD • Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, dan UUB membonjol, berikan tatalaksana APCD sampai terbukti bukan • Vitamin K1 1 mg IM selama 3 hari berturut-turut • Transfusi FFP 10-15 ml/kgBB selama 3 hari berturut-turut • Transfusi PRC sesuai Hb • Tatalaksana kejang dan peningkatan tekanan intrakranial (Manitol 0,5-1 g/kgBB/kali atau furosemid 1 mg/kgBB/kali) • Konsultasi bedah syaraf • Pencegahan : Injeksi Vitamin KI 1 mg IM pada semua bayi baru lahir Buku PPM Anak IDAI
134. Hand-Foot-Mouth Disease • Hand-foot-and-mouth disease (HFMD) is an acute viral illness that presents as a vesicular eruption in the mouth, but it can also involve the hands, feet, buttocks, and/or genitalia. • Coxsackievirus A type 16 (CVA16) is the etiologic agent involved in most cases of HFMD • Physical findings: Initially, macular lesions appear on the buccal mucosa, tongue, and/or hard palate ; rapidly progress to vesicles that erode and become surrounded by an erythematous halo – Lesions may also be found on the hands, feet, buttocks, and genitalia – A fever of 38-39°C may be present for 24-48 hours
• Symtomps: Sore mouth or throat, Malaise, rarely, vomiting occurs in HFMD cases caused by EV-71
Hand-Foot-Mouth Disease • Management: – adequate fluid intake to prevent dehydration – Spicy or acidic substances may cause discomfort – Intravenous hydration may be necessary if the patient has moderate-to-severe dehydration or if discomfort precludes oral intake – antipyretics – Pain treated with acetaminophen or ibuprofen – Direct analgesia may also be applied to the oral cavity via mouthwashes or sprays
135. Penatalaksanaan TB berat pada anak • Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun menimbulkan kecacatan. • Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala klinis yang berat seperti TB meningitis, TB milier • Definisi : – TB ringan tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll – TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV. er, dll
• Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. • Pada kasus TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. – Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. – Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan
136. Hyponatremia • Sodium is the most prevalent cation in the extracellular fluid (ECF). • Total body sodium is therefore proportional to ECF volume. • Under normal circumstances serum sodium levels are maintained within a tight physiological range of between 135-145mmol/l. • “True hyponatremia” is regarded as a low sodium level in the presence of hypoosmolality.
Etiologi
Classification and Symptom • Mild hyponatraemia : serum sodium concentration between 130 and 135 mmol/L. • Moderate hyponatraemia :serum sodium concentration between 125 and 129 mmol/L • profound hyponatraemia : serum sodium concentration < 125 mmol/L
Obat-obatan yang menyebabkan hiponatremia • • • • • • • • •
Diuretics Carbamazepine Chlorpromazine Analog Vasopressin Indapamide SSRI Teofilin Amiodarone ekstasi
4 macam diuretik: • Loop diuretics act in the thick ascending limb of the loop of Henle • Thiazide-type diuretics in the distal tubule and connecting segment • Potassium-sparing diuretics in the aldosterone-sensitive principal cells in the cortical collecting tubule • Acetazolamide and mannitol act at least in part in the proximal tubule
http://www.aafp.org/afp/2004/0515/p2387.html#afp20040515p2387-f1
http://www.pathophys.org/wp-content/uploads/2013/02/MPR-nephron.png
Diuretics-induced hyponatremia • Hyponatremia is an occasional but potentially fatal complication of diuretic therapy. • All cases of severe diuretic-induced hyponatremia have been due to a thiazide-type diuretic. • A loop diuretic is much less likely to induce hyponatremia • The difference in hyponatremic risk between thiazide-type and loop diuretics may be related to differences in their tubular site of action
FUROSEMIDE • Loop diuretics inhibit
FUROSEMIDE • Administration of a loop diuretic interferes with this process by impairing the accumulation of NaCl in the medulla. • Thus, although the loop diuretic can increase ADH levels by inducing volume depletion, responsiveness to ADH is reduced because of the impairment in the medullary gradient.
FUROSEMIDE • As a result, water retention and the development of hyponatremia will be limited, unless distal delivery is very low or water intake is very high.
MECHANISM
THIAZIDE • Despite numerous studies, the pathophysiological mechanisms underlying Thiazide Induced Hyponatremia (TIH) are unclear. • The thiazides act in the cortex in the distal tubule; as a result, they do not interfere with medullary function or with ADH-induced water retention. • In addition, in vitro data indicate that thiazides increase water permeability and water reabsorption in the inner medullary collecting duct, an effect that is independent of ADH. • In addition to water retention, the combination of increased sodium and potassium excretion (due to the diuretic) and enhanced water reabsorption (due to ADH) can result in the excretion of urine with a sodium plus potassium concentration higher than that of the plasma.
THIAZIDE • Loss of this fluid can directly promote the development of hyponatremia independent of the degree of water intake.
MECHANISM
Hyponatremia • Hyponatremia is physiologically significant when it indicates a state of extracellular hyposmolarity and a tendency for free water to shift from the vascular space to the intracellular space. • Cellular edema is well tolerated by most tissues, it is not well tolerated within the rigid confines of the bony calvarium. Therefore, clinical manifestations of hyponatremia are related primarily to cerebral edema
Electrolyte: hyponatremia • Natrium concentration is influenced by the balance of natrium & water in the body.
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.
Electrolyte: hyponatremia Many symptoms of hyponatremia are associated with the hypotonic hydration. The most common symptoms: • Headache • Nausea • Disorientation • Tiredness • Muscle cramps • Comatose
Johnson JY. Fluids and Electrolytes demystified. 2008
137. Anemia hemolitik • Hemolysis is the destruction or removal of red blood cells from the circulation before their normal life span of 120 days • Hemolysis presents as acute or chronic anemia, reticulocytosis, or jaundice. • Premature destruction of erythrocytes occurs intravascularly or extravascularly • The etiologies of hemolysis often are categorized as acquired or hereditary
mechanisms of hemolysis 1.
Intravascular hemolysis • destruction of red blood cells in the circulation with the release of cell contents into the plasma. • Mechanical trauma from a damaged endothelium, complement fixation and activation on the cell surface, and infectious agents may cause direct membrane degradation and cell destruction.
2.
Extravascular hemolysis • the removal and destruction of red blood cells with membrane alterations by the macrophages of the spleen and liver. • Circulating blood is filtered continuously through thinwalled splenic cords into the splenic sinusoids (with fenestrated basement membranes), a spongelike labyrinth of macrophages with long dendritic processes
Anemia Hemolitik
Defisiensi Glukosa-6-FosfatDehidrogenase (G6PD) • Defisiensi (G6PD) merupakan enzimopati terkait kromosom X yang paling umum diderita manusia. • Prevalensi tinggi terutama di daerah endemis malaria termasuk Asia Tenggara Indonesia • Defisiensi G6PD diturunkan melalui kromosom X • Gen G6PD terletak pada regio telomerik lengan panjang kromosom X (band Xq28), dekat dengan gen hemofi lia A, diskeratosis kongenital dan buta warna
Kurniawan LB. Skrining, Diagnosis dan Aspek Klinis Defi siensi Glukosa-6-FosfatDehidrogenase (G6PD). CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014
Patogenesis defisiensi G6PD • Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) enzim pengkatalisis reaksi pertama jalur pentosa fosfat dan memberikan efek reduksi pada semua sel dalam bentuk NADPH • NADPH memungkinkan sel-sel bertahan dari stres oksidatif yang dapat dipicu oleh beberapa bahan oksidan dan menyediakan glutathione dalam bentuk tereduksi • Eritrosit tidak memiliki mitokondria jalur pentosa fosfat merupakan satu-satunya sumber NADPH pertahanan terhadap kerusakan oksidatif tergantung pada G6PD
What happens in G6PD deficiency?
Manifestasi Klinis • Sebagian besar penderita defisiensi G6PD bersifat asimtomatik • Gejala muncul bila eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu obat, infeksi, maupun konsumsi kacang fava. • Manifestasi Klinis berupa anemia hemolitik akut yang diinduksi obat maupun infeksi, favisme, ikterus neonatorum maupun anemia hemolitik non-sferosis kronis. • Beberapa kondisi seperti diabetes, infark miokard, latihan fi sik berat telah dapat menginduksi hemolisis pada penderita defisiensi G6PD. • Hemolisis akut rasa lemah, nyeri punggung, anemia dan ikterus. Terjadi peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, laktat dehidrogenase dan retikulositosis.
Food to avoid in G6PD deficiency
Anemia hemolitik terinduksi obat • Obat obat spesifik penyebab langsung krisis hemolisis penderita defisiensi G6PD sulit ditentukan dengan tepat. – Suatu obat yang dinyatakan aman untuk satu penderita defi siensi G6PD belum tentu aman untuk penderita lain perbedaan farmakokinetik tiap individu. – Obat yang memiliki efek oksidan sering diberikan pada pasien dengan keadaan klinis (misalnya infeksi) yang dapat menyebabkan hemolisis. – Pasien mengkonsumsi lebih dari satu jenis obat. – Hemolisis pada defisiensi G6PD biasanya sembuh sendiri, tidak menyebabkan anemia dan retikulositosis yang signifikan
• Hemolisis dan ikterus klinis biasanya muncul 24-72 jam setelah konsumsi obat. • Anemia memburuk hingga 7-8 hari, kadar hemoglobin akan kembali meningkat setelah 8-10 hari obat dihentikan • Heinz body presipitat hemoglobin terdenaturasi merupakan tanda khas pada pemeriksaan apusan darah tepi
138. Neuroblastoma • Neuroblastoma dalah tumor yang berasal dari jaringan neural crest dan dapat mengenai susunan saraf simpatis sepanjang aksis kraniospinal. • Neuroblastoma merupakan kanker ekstrakranial yang paling sering ditemukan pada anak, mencakup 8-10% dari seluruh kanker pada anak. • Angka kejadian sekitar 1,1 per 10.000 anak di bawah usia 15 tahun • Etiologi belum diketahui, diduga berhubungan dengan faktor lingkungan, ras dan genetik
Diagnosis • Anamnesis – Manifestasi klinis neuroblastoma sangat bervariasi, dapat berupa keluhan sehubungan tumor primernya, akibat metastasisnya atau gejala sindrom paraneoplastiknya. – Perut yang membesar merupakan keluhan yang paling sering ditemukan – Berat badan yang menurun – Mata yang menonjol dengan ekimosis periorbital – Keluhan lain adalah nyeri tulang, anoreksia, pucat, banyak keringat, muka merah, nyeri kepala, palpitasi, diare berkepanjangan yang dapat menyebabkan gagal tumbuh.
Pemeriksaan fisis • Gejala dan tanda tergantung pada lokasi tumor primer dan penyebarannya. – Pembesaran perut. Tumor di daerah abdomen, pelvis atau mediastinum, dan biasanya Neuroblastoma melewati garis tengah. – Pada penyebaran limfogenik akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening – Cari penyebaran hematogenik ke sumsum tulang, tulang, dan hati akan ditemukan pucat, perdarahan, nyeri tulang, hepatomegali, dan splenomegali. – Tumor yang berasal dari ganglia simpatis paraspinal dapat menimbulkan kompresi spinal – Bila tumor menyebar ke daerah leher akan terjadi sindrom Horner (miosis, ptosis, dan anhidrosis unilateral). – Bila infiltrasi retrobulbar dan orbital maka akan ditemukan ekimosis periorbital dan proptosis.
• Pemeriksaan Penunjang – Darah rutin, elektrolit, feritin, urin rutin, Vanillylmandelic Acid (VMA) pada urin dan Homovanillic Acid (HVA) pada urin, – USG abdomen, CT scan untuk mencari tumor primer dan penyebarannya – Foto toraks untuk mencari penyebaran – Biopsi sumsum tulang untuk mencari penyebaran – Aspirasi sumsum tulang: sel ganas pseudorosette – Diagnosis pasti dengan pemeriksaan histopatologis dari jaringan yang diambil (biopsi)
• Terapi neuroblastoma terdiri dari: – Operasi pengangkatan tumor – Kemoterapi – Radioterapi
OBSTETRI & GINEKOLOGI
139. Indikasi VBAC • Proses melahirkan normal setelah pernah melakukan seksio sesarea
Menurut Cunningham FG (2001) kriteria seleksinya adalah berikut : • Riwayat 1 atau 2 kali seksio sesarea dengan insisi segmen bawah • rahim. • Secara klinis panggul adekuat atau imbang fetopelvik baik • Tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus • Tersedianya tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring, • persalinan dan seksio sesarea emergensi. • Sarana dan personil anastesi siap untuk menangani seksio sesarea • darurat
Kontra Indikasi VBAC Menurut Depp R (1996) kontra indikasi mutlak melakukan VBAC adalah : • Bekas seksio sesarea klasik • Bekas seksio sesarea dengan insisi T • Bekas ruptur uteri • Bekas komplikasi operasi seksio sesarea dengan laserasi serviks yang luas • Bekas sayatan uterus lainnya di fundus uteri contohnya miomektomi • Disproporsi sefalopelvik yang jelas. • Pasien menolak persalinan pervaginal • Panggul sempit • Ada komplikasi medis dan obstetrik yang merupakan kontra indikasi persalinan pervaginal
Skor VBAC
VBAC: Angka Keberhasilan
Sectio Caesarea • Prosedur bedah untuk kelahiran janin dengan insisi melalui abdomen dan uterus, disebut juga histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim • Indikasi – Plasenta Previa sentralis dan lateralis(posterior) – Panggul Sempit(Panggul dengan CV 8 cm dapat dipastikan tidak dapat melahirkan pervaginam, 8-10 cm boleh dicoba dengan partus percobaan, baru setelah gagal dilakukan seksio caesaria sekunder – Disproporsi sefalo-pelvik(ketidak seimbangan antara ukuran kepala dan panggul) – Ruptura uteri mengancam – Partus Lama – Partus Lama(prolonged labor) – Partus Tak Maju – Distosia servik – Pre-eklampsia dan hipertensi
Sectio Caesarea: Indikasi • Malpresentasi janin: – Letak Lintang Semua primigravida dengan letak janin lintang harus ditolong dengan operasi seksio sesaria – Letak Bokong, dianjurkan seksio sesaria bila: • • • •
Panggul sempit Primigravida Janin besar dan Berharga Presentasi dahi dan muka(letak defleksi) bila reposisi dan cara-cara lain tidak berhasil • Presentasi rangkap, bila reposisi tidak berhasil • Gemelli
Sectio Caesarea: Kontra Indikasi Kontra Indikasi Absolut
Kontra Indikasi Relatif
1. 2. 3. 4.
1. Infeksi sisitemik (sepsis, bakteremia) 2. Infeksi sekitar suntikan 3. Kelainan neurologis 4. Kelainan psikis 5. Bedah lama 6. Penyakit jantung 7. Hipovolemia ringan 8. Nyeri punggung kronis
Pasien menolak Infeksi pada tempat suntikan Hipovolemia berat, syok Koagulapati atau mendapat terapi antikagulan 5. TIK meninggi 6. Fasilitas resusitasi minimal 7. Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anesthesia.
Insisi Transversal VS Insisi Klasik
140. Asma dan Kehamilan Pengaruh kehamilan pada asma: • hormon estrogen: kongesti kapiler hidung (terutama trimester ketiga) • hormon progesteron: peningkatan laju pernapasan, bronkodilatasi • hormon kortisol bebas: << gejala asma • prostaglandin (terutama trimester III): bronkokonstriktor (Nelson and Piercy, 2001)
Komplikasi Asma pada Kehamilan • Bagi Ibu: – Preeklampsia, hipertensi, hiperemesis gravidarum, perdarahan pervaginam, induksi, komplikasi kehamilan
• Bagi Janin – Kematian perinatal, IUGR, kehamilan preterm, hipoksia neonatal, BBLR
Asma pada Kehamilan • Diagnosis: sama seperti pasien tidak hamil (Sesak/ sulit bernapas, wheezing, batuk berdahak, ronkhi) • Tatalaksana pada kehamilan – – – – –
O2 dan pasang kanul IV. Hindari penggunaan obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Berikan cairan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%. Salbutamol via nebulizer Metilprednisolon IV 40-60 mg/ 6 jam, ATAU hidrokortison IV 2 mg/kgBB/ 4 jam atau setelah loading dose 2 mg/kgBB dilanjutkan infus 0,5 mg/kgBB/jam. – Jika ada tanda infeksi, beri ampisilin 2 g IV tiap 6 jam. – Rujuk ke fasilitas yang memadai. Di rumah sakit rujukan, pertimbangkan foto thoraks, laboratorium, alat monitor fungsi vital, dan rawat intensif bilamana perlu. – Budesonide inhalasi sebagai controller
•
Bila harus dilakukan persalinan: Jangan beri prostaglandin. Untuk mencegah perdarahan pascasalin, beri oksitosin 10 unitIM atau ergometrin 0,2 mg IM.
141. Hubungan fetus dengan jalan lahir • Habitus – Fleksi mengikuti jalan lahir
• Situs – Letak memanjang – Letak melintang – Letak oblik
• Presentasi – Memanjang: kepala, bokong – Melintang/oblik: bahu, punggung
• Posisi – Hubungan antara bagian tertentu fetus (ubun-ubun kecil, dagu,mulut, sakrum, punggung) dengan bagian kiri, kanan, depan,belakang, atau lintang, terhadap jalan lahir
1. Situs/Letak : Sumbu panjang anak terhadap sumbu panjang ibu 2. Habitus/Sikap : Letak bagianbagian anak satu terhadap yang lain 3. Positio/Posisi : Letak salah satu bagian anak tertentu terhadap dinding perut 4. Presentatio/Presentasi : yang menjadi bagian terendah
141. Malpresentasi Janin • Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain verteks • Malposisi adalah kelainan posisi kepala janin relatif terhadap pelvis ibu dengan oksiput sebagai titik referensi
• Posisi normal: oksiput anterior • Masalah: janin yg dalam keadaan malpresentasi dan malposisi kemungkinan menyebabkan partus lama atau partus macet Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Malposisi Oksiput Posterior • Oksiput berada didaerah posterior dari diameter transversal pelvis • Rotasi spontan: 90% kasus • Persalinan yg terganggu terjadi bila kepala janin tidak rotasi atau turun • Pada persalinan dapat terjadi robekan perineum yang luas/tidak teratur
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Malposisi Oksiput Posterior • Etiologi usaha penyesuaian kepala terhadap bentuk dan ukuran panggul • Pada diameter antero-posterior >tranversa pada panggul antropoid,atau segmen depan menyempit seperti pada panggul android, uuk akan sulit memutar kedepan
• Sebab lain: otot-otot dasar panggul lembek pada multipara atau kepala janin yg kecil dan bulat sehingga tak ada paksaan pada belakang kepala janin untuk memutar kedepan
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Dahi • Presentasi dahi adalah keadaan dimana kedudukan kepala berada diantara fleksi maksimal dan defleksi maksimal • Pada umumnya merupakan kedudukan yg sementara dan sebagian besar akan berubah menjadi presentasi muka atau belakang kepala • Penyebabnya CPD, janin besar, anensefal,tumor didaerah leher,multiparitas dan perut gantung
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Dahi • Diagnosis pada periksa dalam dapat diraba sutura frontalis, pakal hidung dan lingkaran orbita. Mulut dan dagu tidak dapat diraba. • Biasanya penurunan dan persalinan macet. Konversi kearah verteks atau muka jarang terjadi. Persalinan spontan dapat terjadi jika bayi kecil atau mati dgn maserasi • Bila janin hidup lakukan SC • Bila janin mati, pembukaan belum lengkapSC • Bila pembukaan lengkaplakukan embriotomi
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Muka • Disebabkan oleh terjadinya ekstensi yang penuh dari kepala janin . • Penolong akan meraba muka, mulut , hidung dan pipi • Etiologi: panggul sempit,janin besar,multiparitas,perut gantung,anensefal,tumor dileher,lilitan talipusat • Dagu merupakan titik acuan, sehingga ada presentasi muka dengan dagu anterior dan posterior • Sering terjadi partus lama. Pada dagu anterior kemungkinan persalinan dengan terjadinya fleksi.
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Muka • Pada presentasi muka dengan dagu posterior akan terjadi kesulitan penurunan karena kepala dalam keadaan defleksi maksimal • Posisi dagu anterior, bila pembukaan lengkap : - lahirkan dengan persalinan spontan pervaginam - bila kemajuan persal lambat lakukan oksitosin drip - bila penurunan kurang lancar, lakukan forsep
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Ganda • Bila ekstremitas (bag kecil janin) prolaps disamping bag terendah janin
• Persalinan spontan hanya terjadi bila janin kecil atau mati dan maserasi • Lakukan koreksi dengan jalan Knee Chest Position,dorong bag yg prolaps ke atas, dan pada saat kontraksi masukkan kepala memasuki pelvis.Bila koreksi tidak berhasil lakukan SC
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Bokong • Bila bokong merupakan bagian terendah janin • Ada 3 macam presentasi bokong: complete breech(bokong sempurna),Frank breech(bokong murni),footling breech(presentasi kaki) • Partus lama merupakan indikasi utk melakukan SC, karena kelainan kemajuan persalinan merupakan salah satu tanda disproporsi • Etiologi • Multiparitas, hamil kembar, hidramnion, hidrosefal, plasenta previa, CPD
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Letak Lintang • • • • • •
Persalinan akan macet Lakukan versi luar bila permulaan inpartu dan ketuban intak Bila ada kontraindikasi versi luar lakukan SC Lakukan pengawasan adanya prolaps funikuli Dapat terjadi ruptura uteri Dalam obsteri modern, pada letak lintang inpartu dilakukan SC walaupun janin mati
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
142. Dysmenorrhea • Dysmenorrhea – severe, painful cramping sensation in the lower abdomen often accompanied by other symptoms – sweating, tachycardia, headaches, nausea/vomitting, diarrhea, tremulousness, all occurring just before or during menses – Primary: no obvious pathologic condition, onset < 20 years old – Secondary: associated with pelvic conditions or pathology
Endometriosis Pengertian : adanya jaringan endometrium (kelenjar atau stroma) di luar uterus.: Etiologi: Penyakit estrogen dependen 1. Teori transplantasi ektopik jaringan endometrium 2. Teori meteplasia jaringan selomik 3. Teori induksi
892
Endometriosis • Endometriosis – Pertumbuhan jaringan yang mirip dengan endometrium di luar kavum uteri • Endometriosis interna / Adenomiosis – Endometriosis yang terdapat di dalam miometrium • Pelvic endometriosis muncul bersamaan dengan adenomyosis uteri pada 2–24% kasus, hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara dua kelainan ini
Faktor Risiko • Faktor genetik: Risiko 7x lbh besar pada riwayat ibu penderita endometriosis
• Faktor imunologi Tidak semua wanita dengan mesntruasi retrograd akan menderita endometriosis, mungkin ada kekurangan imun yang mempengaruhi 894
Patogenesis Endometriosis “ kesalahan cleaning service “ fibrosis dan nyeri
Sel Endometrium
darah haid yang membalik
aktivasi sistem imun
penempelan dan invasi
pertumbuhan sel
Yen and Jaffe. Reproductive Endocrinology and Infertility, 2009
sekresi prostaglandin dan estrogen
vaskularisasi dan anti apoptosis
KELUHAN ENDOMETRIOSIS
INFERTILITAS
NYERI NYERI PADA ENDOMETRIOSIS
Nyeri pelvik merupakan keluhan tersering • • • •
Dismenorea Dispareunia Diskezia Disuria
Gejala Klinik • Dismenore – Timbul beberapa saat sebelum keluarnya darah haid, berlangsung selama menstruasi dan progresif
• Subfertilitas/infertilitas • Abortus spontan – Meningkat 40% dibanding wanita normal 15-25%
• Keluhan lain – Di kolon & rektum : distensi abdomen, kostipasi – Di ureter : obstruksi, disuri, hematuri dll 897
Pemeriksaan Klinis • Umumnya tidak menunjukan kelainan • Nodul pada daerah ligamentum sakrouterina dan kavum douglas • Nyeri pada septum rektovagina dan pembesaran ovarium unilateral (kistik) • Kasus berat : uterus retroversi fiksata, pergerakan ovarium dan tuba terbatas
Pemeriksaan Penunjang • Laparoskopi : untuk biopsi lesi • USG, CT scan, MRI
Patogenesis Adenomiosis First
Invaginasi endometrium basal melalui pembuluh limfe
Adaenomiosis berasal langsung dari lapisan endometrium
Second
Third
Metaplasia sel-sel pada daerah sambungan endometrium-miometrium
Bergeron et al. Best Pract Res Obstet Gynecol, 2006
Faktor Resiko Adenomyiosis
Manifestasi Klinis Adenomyosis • Paling sering pada pasien berusia 40–50 tahun dan terdapat keterkaitan dengan paritas. • Adenomyosis relatif sering muncul pada kehamilan • Abortus spontan lebih sering terjadi pada adenomyosis uteri. • 35% wanita dengan adenomyosis uteri bersifat asimtomatik • Bila bergejala, maka gejala yang timbul antara lain: – menorrhagia (40–50%) akibat kontraksi disfungsional myometrium, anovulasi serta hiperplasia endometrium – dysmenorrhoea (10–30%) akibat meluasnya adenomyosis hingga ke pelvis – Metrorrhagia (10–12%) – dyspareunia or dyschesia (terkadang) •
NB: Adenomiosis biasanya memiliki konsistensi padat pada perabaan jika dibandingkan dengan endometriosis.
Mehasseb et,al. Review Adenomyosis uteri: an update. RCOG. 2009;11:41–47
143. KB Mantap Definisi • Menutup tuba falopii (mengikat dan memotong atau memasang cincin), sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum • oklusi vasa deferens sehingga alur transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi tidak terjadi
Efek Samping • Nyeri pasca operasi
Kerugian • Infertilitas bersifat permanen
Anatomy
Female Sterilization Overview
Ampulla Isthmus
Infundibulum
Fimbria
Methods of Female Sterilization Interval
Post Partum/ Labor & Delivery
• Laparoscopic
•
Pomeroy
•
Parkland
•
Irving
•
Uchida
•
Filshie Tubal Ligation System
– Electrocoagulation (Mono and Bi -Polar) – Falope Ring
– Hulka Clip – Filshie Tubal Ligation System • Hysteroscopy – Essure – Adiana
Methods of Female Sterilization1 Procedure Minilaparotomy
Timing • Post Partum • Post Abortion • Interval
Laparoscopy
• Interval Only
Technique • Mechanical Devices (Clips, Rings) • Tubal Ligation or Excision • Electrocoagulation (Unipolar, Bipolar) • Mechanical Devices (Clips, Rings)
Laparotomy
1
In conjunction with other surgery (Cesarean section, salpingectomy, ovarian cystectomy, etc.)
• Mechanical Devices (Clips, Rings) • Tubal Ligation or Excision
Female Sterilization In: Landry E, ed. Contraceptive Sterilization: Global Issues and Trends. New York: Engender Health; 2002: 139-160
Since 2002, hysteroscopic methods are available and can be performed interval-only (Essure and Adiana).
Methods of Female Sterilization Pomeroy Technique Developed in 1930 by Ralph Hayword Pomeroy – Incision – suprapubic and subumbilical (PP) – Isthmic portion is ligated twice with 0 or 2-0 plain catgut suture – Segment is then excised – Inspect for hemostasis and the presence of the tubal lumen Benefits – Easy technique – Highly effective – Relatively inexpensive (excluding lab costs for pathology) Complications – Infection and bleeding – Potential ectopic pregnancy 1
Tied Cut
Final result
Failure Rate: 7.5/1000
Pregnancy After Tubal Sterilization with Bi-Polar Electrocoagulation. Obstetrics and GYN. August 1999 Volume 94. Herbert B Petterson et al for the CREST Working Group
Kontrasepsi Mantap Keuntungan
Kerugian
• Efektif dan permanen • Tidak ada efek samping jangka panjang • Tidak mempengaruhi proses menyusui • Tidak mengganggu hubungan seksual • Tindakan aman & sederhana
• Rasa sakit/ tidak nyaman jangka pendek • Risiko pembedahan • Tidak dapat dilakukan untuk orang yang masih memiliki anak
144. Gangguan Menstruasi Disorder
Definition
Amenorrhea Primer
Tidak pernah menstruasi setelah berusia 16 tahun, atau berusia 14 tahun tanpa menstruasi sebelumnya dan tidak terdapat tanda-tanda perkembangan seksual sekunder
Amenorrhea Sekunder
Tidak terdapat menstruasi selama 3 bulan pada wanita dengan sklus haid teratur, atau 9 bulan pada wanita dengan siklus menstruasi tidak teratur
Oligomenorea
Menstruasi yang jarang atau dengan perdarahan yang sangat sedikit
Menorrhagia
Perdarahan yang banyak dan memanjang pada interval menstruasi yang teratur
Metrorrhagia
Perdarahan pada interval yang tidak teratur, biasanya diantara siklus
Menometrorrhagia
Perdarahan yang banyak dan memanjang, lebih sering dibandingkan dengan siklus normal
Gangguan Menstruasi: Metrorrhagia • Perdarahan diluar siklus menstruasi yang teratur
• Etiologi – Keganasan (kanker serviks, uterus, vagina, endometrium dll), inflamasi alat reproduksi, abnormalitas endometrium (endometriosis, adenomiosis dll), gangguan hormon, gangguan pembekuan, trauma, kehamilan
• Gejala dan Tanda – Perdarahan diluar masa menstruasi
Gangguan Menstruasi: Menorrhagia • Perdarahan menstruasi lebih dari 7 hari dengan siklus teratur • Dapat juga disertai perdarahan berat (ganti pembalut/< 2 jam)
• Gejala dan Tanda – Perdarahan menstruasi yang merembes dalam 1-2 jam – Menstruasi > 7 hari – Nyeri menetap pada perut bawah, rasa lelah, sesak napas
• Etiologi – – – –
Gangguan uterus: tumor (fibroid, polip), keganasan, KB (IUD) Gangguan hormonal Obat-obatan Penyakit lain • Terkait perdarahan: von Willebrand disease, gangguan platelet • Tidak terkait perdarahan: gangguan hati, ginjal, tiroid, PID, kanker https://www.cdc.gov/ncbddd/blooddisorders/women/menorrhagia.html
Gangguan Menstruasi • Pemeriksaan – USG – Pemeriksaan darah: anemia, gangguan pembekuan, tiroid – Pap smear: inflamasi, infeksi, keganasan – Biopsi endometrium
• Tatalaksana – Suplementasi besi, ibuprofen, pil KB, terapi hormon, antifibrinolitik https://www.cdc.gov/ncbddd/blooddisorders/women/menorrhagia.html
145. Bakterial Vaginosis • Bakterial vaginosis atau nonspesifik vaginitis adalah suatu istilah yang menjelaskan adanya infeksi bakteri sebagai penyebab inflamasi pada vagina
• Etiologi – Bakteri yang sering didapatkan adalah Gardnerella vaginalis, Mobiluncus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum , Eubacterium, Fusobacterium, Veilonella, Streptococcus viridans, dan Atopobium vaginae
• Gejala klinis – Keputihan, vagina berbau, iritasi vulva, disuria, dan dispareuni
• Faktor risiko – Penggunaan antibiotik, penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim, promiskuitas, douching, penurunan estrogen.
Bakterial Vaginosis: Pemeriksaan • Didapatkan keputihan yang homogen • Labia, introitas, serviks dapat normal maupun didapatkan tanda servisitis. • Keputihan biasanya terdapat banyak di fornix posterior • Dapat ditemukan gelembung pada keputihan • Pemeriksaan mikroskopis cairan keputihan harus memenuhi 3 dari 4 kriteria Amsel untuk menegakkan diagnosis bakterial vaginosis – – – –
Didapatkan clue cell (sel epitel vagina yang dikelilingi oleh kokobasil) pH > 4,5 Keputihan bersifat thin, gray, and homogenous Whiff test + (pemeriksaan KOH 10% didapatkan fishy odor sebagai akibat dari pelepasan amina yang merupakan produk metabolisme bakteri)
Bakterial Vaginosis: Tatalaksana • Pada infeksi asimtomatik tidak perlu diberikan terapi • Pada infeksi simtomatik: antibiotik merupakan pilihan utama • Pilihan obat: • Metronidazole 2 x 500 mg selama 7 hari • Metronidazole gel 0.75%, one full applicator (5 g) intravaginally, once a day for 5 days • Clindamycin cream 2%, one full applicator (5 g) intravaginally at bedtime for 7 days
• Alternative regiment – – – –
Tinidazole 2 g orally once daily for 2 days Tinidazole 1 g orally once daily for 5 days Clindamycin 300 mg orally twice daily for 7 days Clindamycin ovules 100 mg intravaginally once at bedtime for 3 days
• Perempuan hamil: 2 x 500 mg selama 7 hari atau 3 x 250 mg selama 7 hari atau Klindamisin 2 x 300 mg selama hari http://emedicine.medscape.com/article/254342 & http://www.cdc.gov/std/tg2015/bv.htm
Bakterial Vaginosis: Komplikasi • Komplikasi Umum – Endometritis, penyakit radang panggul, sepsis paskaaborsi, infeksi paskabedah, infeksi paskahisterektomi, peningkatan risiko penularan HIV dan IMS lain
• Komplikasi obstetrik – Keguguran, lahir mati, perdarahan, kelahiran prematur, persalinan prematur, ketuban pecah dini, infeksi cairan ketuban, endometritis paskapersalinan dan kejadian infeksi daerah operasi (IDO)
Bakterial Vaginosis pada Kehamilan: Komplikasi • Gejala – Duh tubuh berbau ikan busuk dan berwarna keabuan
• Pemeriksaan – Clue cells, sniff test
• Berhubungan dengan kelahiran preterm dan infeksi pelviks post partum
146. Sifilis Pada Kehamilan • Gejala dan tanda seperti sifilis pada umumnya • Diobati sedini mungkin sebelum hamil atau pada triwulan I untuk mencegah penularan terhadap janin • Risiko infeksi janin antepartum atau sifilis kongenital berhubungan dengan stadium paling tinggi pada stadium primer dan sekunder, namun fase aten dan titer rendah masih dapat menginfeksi • Titer VDRL > 1:8 menunjukkan infeksi awal dan bakteremia
• Suami harus diperiksa dengan menggunakan tes reaksi wassermann dan VDRL, bila perlu diobati http://www.cdc.gov/std/tg2015/syphilis-pregnancy.htm
Sifilis Kongenital Dini
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2819963/
Sifilis Kongenital Laten
• Keratitis • Saddle Nose http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2819963/
Pengobatan Sifilis pada Kehamilan • Pengobatan sifilis pada kehamilan di bagi menjadi tiga, yaitu : – Sifilis dini (primer, sekunder, dan laten dini tidak lebih dari 2 tahun) • Benzatin penisilin G 2,4 juta unit,SD, IM ATAU penisilin G prokain dalam aquadest 600.000 unit IM selama 10 hari • Pada wanita hamil, tetrasiklin dan doksisiklin merupakan kontraindikasi
– Sifilis lanjut (lebih dari 2 tahun, sifilis laten yang tidak diketahui lama infeksi, sifilis kardiovaskular, sifilis lanjut benigna, kecuali neurosifilis) • Benzatin penisilin G 2,4 juta unit, IM setiap minggu, selama 3x berturut-turut ATAU penisilin G prokain 600.000 unit IM setiap hari selama 21 hari
– Neurosifilis • Bezidin penisilin 6-9 MU selama 3-4 minggu. Selanjutnya pemberian benzil penisilin 2-4 MU secara IV setiap 4 jam selama 10 hari yang diikuti penisilin long acting, yaitu benzatin penisilin G 2,4 juta unit IM 1x/minggu selama 3 minggu ATAU • Penisilin G prokain 2,4 juta unit IM + prebenesid 4 x 500 mg/hari selama 10 hari yang diikuti benzatin penisilin G 2,4 juta unit IM 1x/minggu selama 3 minggu.
Alternatives to Penicillin • Tetracycline, erythromycin (Eritromisin 4 x 500 mg/hari PO, 4 minggu), and ceftriaxone have shown antitreponemal activity in clinical trials; however, they currently are recommended only as alternative treatment regimens in patients allergic to penicillin. • A 10- to 14-day trial of ceftriaxone is effective for treating early syphilis, although the optimal dose and duration have not been established. • Doxycycline and tetracycline for 28 days have been used for many years and are the only acceptable alternatives to penicillin for the treatment of latent syphilis. • Doxycycline is the preferred alternative to penicillin owing to its tolerability (Doxicycline 2 x 100 mg/hr PO, 4 minggu). • A meta-analysis of randomized clinical trials comparing azithromycin to benzathine penicillin G for early syphilis was published in 2008 showing favorable results for azithromycin.
Penicillin Allergy in Pregnancy • No proven alternatives to penicillin are available for treatment of syphilis during pregnancy. • Pregnant women who have a history of penicillin allergy should be desensitized and treated with penicillin. • Skin testing or oral graded penicillin dose challenge might be helpful in identifying women at risk for acute allergic reactions. • Tetracycline and doxycycline are contraindicated in the second and third trimester of pregnancy. • Erythromycin and azithromycin should not be used, because neither reliably cures maternal infection or treats an infected fetus. • Data are insufficient to recommend ceftriaxone for treatment of maternal infection and prevention of congenital syphilis.
Analisis Soal • Terapi sifilis pada kehamilan yang paling tepat adalah penisilin, tetapi pada pilihan jawaban tidak disebutkan pilihan penicilin. Pilihan obat untuk sifilis yang ada pada pilihan adalah antara tetrasiklin, doksisiklin, dan eritromisin.Baik tetrasiklin maupun doksisiklin merupakan kontraindikasi pada ibu hamil, sehingga terapi berikutnya yang boleh diberikan adalah eritromisin, walaupun sebenarnya menurut CDC pemberian makrolid untuk sifilis tidak disarankan.
147. Partus Prematurus Iminens • POGI (Semarang, 2008): persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu • (Wibowo, 1997): Kontraksi uterus yang teratur setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum 37 minggu dengan interval kontraksi 5-8 menit atau kurang + satu atau lebih tanda berikut: – Perubahan serviks yang progresif – Dilatasi serviks 2 cm atau lebih – Penipisan serviks 80 % atau lebih
Faktor Risiko & Diagnosis PPI Menurut Wijnyosastro (2010) dan Rompas (2004) Janin & Plasenta
Perdarahan trimester I, perdarahan antepartum, KPD, pertumbuhan janin terhambat, cacat kongenital, gemeli, polihidramnion
Ibu
DM, preeklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk uterus, riwayat partus preterm/abortus berulang, inkompetensi serviks, narkotika, trauma, perokok berat, kelainan imun/rhesus, serviks terbuka > pada 32 minggu, riwayat konisasi
Kriteria Diagnosis PPI (American College of Obstetricians and Gynecologists, 1997) 1.
Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi 4x dalam 20 menit atau 8x dalam 60 menitplus perubahan progresif pada serviks
2.
Dilatasi serviks lebih dari 1 cm
3.
Pendataran serviks > 80%
Tatalaksana PPI: Tokolitik Obat
Dosis
Efek Samping
Ca antagonis (nifedipin)
• 10 mg/PO diulang 2-3x/jam, lanjut per 8 jam hingga kontraksi hilang • Maintenance: 3 x 10 mg
Beta mimetik (terbutalin, ritrodin, isoksuprin, salbutamol)
Salbutamol • IV: 20-50 μg/menit • PO: 4 mg, 2-4 x/hari (maintenance) Terbutalin • IV: 10-15 μg/menit • Subkutan: 250 μg/6 jam • PO: 5-7.5 mg/8 jam (maintenance)
Hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru
MgSO4
• Bolus: 4-6 g/IV selama 20-30 menit • IV: 2-4 g/jam (maintenance)
Edema paru, letargi, nyeri dada, depresi napas (ibu & janin)
Penghambat Prostaglandin (indometasin, sulindac)
-
Risiko kardiovaskular
Tatalaksana PPI: Pematangan Paru • Akselerasi pematangan fungsi paru janin – Bila usia kehamilan < 35 minggu – Obat: • Betametason 2 x 12 mg IM, jarak pemberian 24 jam • Deksametason 4 x 6 mg IM, jarak pemberian 12 jam • Peningkat surfaktan: thyrotropin releasing hormone 200 ug IV ATAU inositol
• Pencegahan infeksi – – – –
DOC: eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari Ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari Klindamisin Kontra indikasi: amoksiklaf risiko necrotizing enterocolitis
Komplikasi PPI • Pada Ibu – Endometritis
• Pada Janin – HMD, gangguan refleks akibat SSP belum matang, intoleransi akibat GI belum matang, retinopati, displasia bronkopulmoner, penyakit jantung, jaundice, infeksi/septikemia, anemia, gangguan mental & motorik
Partus Prematurus • Partus yang terjadi di bawah umur kehamilan 37 minggu dengan perkiraan berat janin kurang dari 2500 gram (Manuaba, 1998 : 221) • Partus yang terjadi antara usia kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (Nur, 2008) • Munculnya aktivitas uterus regular yang menghasilkan pendataran maupun dilatasi sebelum kehamilan 37 minggu selesai (Chapman, Vicky, 2006 : 184)
148. Manajemen Aktif Kala III
Uterotonika • 1 menit setelah bayi lahir • Oksitosin 10 unit IM di sepertiga paha atas bagian distal lateral • Dapat diulangi setelah 15 menit jika plasenta belum lahir
Peregangan Tali Pusat Terkendali • Tegangkan tali pusat ke arah bawah sambil tangan yang lain mendorong uterus ke arah dorso-kranial secara hati-hati
Massase Uterus • Letakkan telapak tangan di fundus masase dengan gerakan melingkar secara lembut hingga uterus berkontraksi (fundus teraba keras).
Pelepasan Plasenta
• Pelepasan mulai pada pinggir plasenta. Darah mengalir keluar antara selaput janin dan dinding rahim, jadi perdarahan sudah ada sejak sebagian dari placenta terlepas dan terus berlangsung sampai seluruh placenta lepas. • Terutama terjadi pada placenta letak rendah
Pelepasan Plasenta
• Pelepasan dimulai pada bagian tengah placenta hematoma retroplacenter plasenta terangkat dari dasar Placenta dengan hematom di atasnya jatuh ke bawah menarik lepas selaput janin. • Bagian placenta yang nampak dalam vulva: permukaan foetal tidak ada perdarahan sebelum placenta lahir atau sekurang-kurangnya terlepas seluruhnya plasenta terputar balik darah sekonyong-konyong mengalir.
149. Presentasi Muka • Disebabkan oleh terjadinya ekstensi yang penuh dari kepala janin . • Penolong akan meraba muka, mulut , hidung dan pipi • Etiologi: panggul sempit,janin besar,multiparitas,perut gantung,anensefal,tumor dileher,lilitan talipusat • Dagu merupakan titik acuan, sehingga ada presentasi muka dengan dagu anterior dan posterior • Sering terjadi partus lama. Pada dagu anterior kemungkinan persalinan dengan terjadinya fleksi.
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Muka • Pada presentasi muka dengan dagu posterior akan terjadi kesulitan penurunan karena kepala dalam keadaan defleksi maksimal • Posisi dagu anterior, bila pembukaan lengkap : - lahirkan dengan persalinan spontan pervaginam - bila kemajuan persal lambat lakukan oksitosin drip - bila penurunan kurang lancar, lakukan forsep
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
150. Sindrom Sheehan • Hipopituarisme disebabkan oleh nekrosis akibat kehilangan banyak darah, terutama akibat syok hipovolemik selama dan setelah melahirkan • Gejala awal: agalaktorea dan/atau kesulitan menyusui, amenorea atau oligomenorea setelah partus • Pituitari anterior disuplai oleh sistem vena portal bertekanan rendah • Bila terdapat perdarahan hipotensi iskemia nekrosis pituitari • Pituitari posterior biasanya tidak terkena dampak hipotensi karena memiliki suplai arteri sendiri
151.Ketuban Pecah Dini • Robeknya selaput korioamnion dalam kehamilan (sebelum onset persalinan berlangsung) • PPROM (Preterm Premature Rupture of Membranes): ketuban pecah saat usia kehamilan < 37 minggu • PROM (Premature Rupture of Membranes): usia kehamilan > 37 minggu
• Kriteria diagnosis : – – – – –
Usia kehamilan > 20 minggu Keluar cairan ketuban dari vagina Inspekulo : terlihat cairan keluar dari OUE Kertas nitrazin menjadi biru Mikroskopis : terlihat lanugo dan verniks kaseosa
• Pemeriksaan penunjang: USG (menilai jumlah cairan ketuban, menentukan usia kehamilan, berat janin, letak janin, kesejahteraan janin dan letak plasenta)
KPD: Diagnosis • Inspeksi • pengumpulan cairan di vagina atau mengalir keluar dari lubang serviks saat pasien batuk atau saat fundus ditekan
• Kertas nitrazin (lakmus) • Berubah menjadi biru (cairan amnion lebih basa)
• Mikroskopik • Ferning sign (arborization, gambaran daun pakis)
• Amniosentesis • Injeksi 1 ml indigo carmine + 9 ml NS tampak pada tampon vagina setelah 30 menit
http://www.aafp.org/afp/2006/0215/p659.html
KPD: Tatalaksana KETUBAN PECAH DINI MASUK RS • • •
•
•
PPROM Observasi: • Temperatur • Fetal distress Kortikosteroid
Sectio Caesarea
Antibiotik Batasi pemeriksaan dalam Observasi tanda infeksi & fetal distress
PROM
• • • • • • • •
• • • • • •
Kelainan Obstetri Fetal distress Letak sungsang CPD Riwayat obstetri buruk Grandemultipara Elderly primigravida Riwayat Infertilitas Persalinan obstruktif
Gagal Reaksi uterus tidak ada Kelainan letak kepala Fase laten & aktif memanjang Fetal distress Ruptur uteri imminens CPD
Letak Kepala
• •
Indikasi Induksi Infeksi Waktu
•
Berhasil Persalinan pervaginam
Ketuban Pecah Prematur: Tatalaksana • Tatalaksana Umum: Antibiotik profilaksis • DOC: Penisilin dan makrolida • Ampicillin 2 g IV/6 jam dan erythromycin 250 mg IV/6 jam selama 2 hari diikuti amoxicillin 250 mg PO/ 8 jam dan erythromycin 333 mg PO/8 jam selama 5 hari
• Atau eritromisin 250 mg PO/6 jam selama 10 hari • Kombinasi amoksilin dengan asam klavulanat tidak digunakan karena dapat memicu terjadinya enterokolitis nekrotikans
• Tatalaksana Khusus kehamilan 24-33 minggu – Selama perawatan 2 hari dilakukan: • Observasi adanya amnionitis/tanda infeksi (demam, takikardia, lekositosis, nyeri pada rahim, sekret vagina purulen, takikardi janin) • Pengawasan timbulnya tanda persalinan • USG menilai kesejahteraan janin
– Bila terdapat amnionitis, abrupsio plasenta, dan kematian janin, lakukan persalinan segera. – Berikan deksametason 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam atau betametason 12 mg IM tiap 24 jam selama 48 jam. – Lakukan pemeriksaan serial untuk menilai kondisi ibu dan janin. – Bayi dilahirkan di usia kehamilan 34 minggu, atau di usia kehamilan 32-33 minggu, bila dapat dilakukan pemeriksaan kematangan paru dan hasil menunjukkan bahwa paru sudah matang (komunikasikan dan sesuaikan dengan fasilitas perawatan bayi preterm).
Tatalaksana Khusus • <24 minggu: – Pertimbangan dilakukan dengan melihat risiko ibu dan janin. – Lakukan konseling pada pasien. Terminasi kehamilan mungkin menjadi pilihan. – Jika terjadi infeksi (korioamnionitis), lakukan tatalaksana korioamnionitis
• >34 minggu: – Lakukan induksi persalinan dengan oksitosin bila tidak ada kontraindikasi.
Alur Antibiotik untuk KPD
Alur Antibiotik untuk KPD
152. Polihidramnion • Volume air ketuban lebih 2000 cc • Muncul sesudah kehamilan lebih 20 minggu • Etiologi – Rh isoimunisasi, DM, gemelli, kelainan kongenital dan idiopatik
• Gejala – – – – – – –
Sering pada trimester terakhir kehamilan Fundus uteri ≥ tua kehamilan DJJ sulit didengar Ringan : sesak nafas ringan Berat : air ketuban > 4000 cc Dyspnoe & orthopnea Oedema pada extremitas bawah
• Diagnosis – Palpasi dan USG Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO
Polihidramnion: Tatalaksana • • • • • • •
Identifikasi penyebab Kronik hidramnion : diet protein ↑, cukup istirahat Polihidramnion sedang/berat, aterm → terminasi Penderita di rawat inap, istirahat total dan dimonitor Jika dyspnoe berat, orthopnea, janin kecil → amniosintesis Amniosintesis, 500 – 1000 cc/hari → diulangi 2 – 3 hari Bila perlu dapat dipertimbangkan pemberian tokolitik
• Komplikasi – – – – – –
Kelainan letak janin partus lama solusio plasenta tali pusat menumbung dan PPH Prematuritas dan kematian perinatal tinggi Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO
Oligohidramnion • Suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu kurang dari 500 cc (manuaba, 2007) • Etiologi – Janin: Kelainan kromosom, cacat kongenital, hambatan pertumbuhan janin dalam rahim, kehamilan posterm – Ibu: hipertensi, DM, SLE, masalah plasenta, PROM
• Komplikasi • Menekan organ janin, keguguran, prematur, IUFD, komplikasi persalinan Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO
Oligohidramnion: Tatalaksana Tindakan Konservatif • Tirah baring / istirahat yang cukup. • Rehidrasi. • Perbaikan nutrisi. • Pemantauan kesejahteraan janin (hitung pergerakan janin, NST, Bpp). • Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan amnion. • Amnion infusion. • Induksi dan kelahiran Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO
153. Dysmenorrhea • Nyeri berat, kram pada abdomen bagian bawah dan bisa diikuti oleh berkeringat, takikardia, sakit kepala, mual/muntah, diare • Primer: tanpa kelainan patologis, onset < 20 tahun • Sekunder: berhubungan dengan kelainan pelvis
Dysmenorrhea: Endometriosis Pengertian : adanya jaringan endometrium (kelenjar atau stroma) di luar uterus.: Etiologi: Penyakit estrogen dependen 1. Teori transplantasi ektopik jaringan endometrium 2. Teori meteplasia jaringan selomik 3. Teori induksi
953
Endometriosis: Faktor Risiko • Faktor genetik: Risiko 7x lbh besar pada riwayat ibu penderita endometriosis
• Faktor imunologi Tidak semua wanita dengan menstruasi retrograd akan menderita endometriosis, mungkin ada kekurangan imun yang mempengaruhi
954
Endometriosis: Gejala Klinik • Dismenore – Timbul beberapa saat sebelum keluarnya darah haid, berlangsung selama menstruasi dan progresif
• Subfertilitas/infertilitas
• Dispareunia • Abortus spontan – Meningkat 40% dibanding wanita normal 15-25%
• Keluhan lain – Di kolon & rektum : distensi abdomen, kostipasi – Di ureter : obstruksi, disuri, hematuri dll 955
Endometriosis: Pemeriksaan • Umumnya tidak menunjukkan kelainan • Nodul pada daerah ligamentum sakrouterina dan kavum douglas • Nyeri pada septum rektovagina dan pembesaran ovarium unilateral (kistik)
• Kasus berat : uterus retroversi fiksata, pergerakan ovarium dan tuba terbatas
http://www.nhs.uk/Conditions/Endometriosis/Pages/Treatment.aspx
Endometriosis: Pemeriksaan • Laparoskopi : untuk biopsi lesi • USG, CT scan, MRI
http://www.nhs.uk/Conditions/Endometriosis/Pages/Treatment.aspx
Endometriosis: Terapi 1. Operatif 2. Non-Operatif – Anti nyeri (NSAID, aspirin, morphine, and codeine) – Hormonal • Pil KB • Levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNG-IUS) • Gonadotrophin-releasing hormone (GnRH) analogues • Progestogens (medroxyprogesterone acetate) http://www.nhs.uk/Conditions/Endometriosis/Pages/Treatment.aspx
154. Infeksi Saluran Kemih pada Kehamilan • Merupakan kasus infeksi bakterial tersering pada kehamilan • Patofisiologi – Perubahan fisiologis kehamilan menyebabkan meningkatnya risiko stasis urin dan refluks vesikoureteral Dengan ukuran uretra yang pendek dan perut membesar memberikan tantangan tersendiri pada higiene dan sanitasi
• Prinsip tatalaksana ISK pada kehamilan – Pemberian antibiotik, rehidrasi, rawat inap bila terdapat komplikasi
• Tatalaksana – Higiene sanitasi pada saat sehabis buang air kecil, antibiotik (ampisilin 4x500mg, nitrofurantoin 2x100 mg, sulfisoxazole 4x1 gram, selama 10-14 hari, amoxicilin)
155. Kala Persalinan PERSALINAN dipengaruhi 3 FAKTOR “P” UTAMA 1. Power His (kontraksi ritmis otot polos uterus), kekuatan mengejan ibu, keadaan kardiovaskular respirasi metabolik ibu. 2. Passage Keadaan jalan lahir 3. Passanger Keadaan janin (letak, presentasi, ukuran/berat janin, ada/tidak kelainan anatomik mayor) (++ faktor2 “P” lainnya : psychology, physician, position)
• PEMBAGIAN FASE / KALA PERSALINAN Kala 1 Pematangan dan pembukaan serviks sampai lengkap (kala pembukaan) Kala 2 Pengeluaran bayi (kala pengeluaran) Kala 3 Pengeluaran plasenta (kala uri) Kala 4 Masa 1 jam setelah partus, terutama untuk observasi
Kala Persalinan: Sifat HIS Kala 1 awal (fase laten) • Tiap 10 menit, amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm • Frekuensi dan amplitudo terus meningkat Kala 1 lanjut (fase aktif) sampai kala 1 akhir • Terjadi peningkatan rasa nyeri, amplitudo makin kuat sampai 60 mmHg, frekuensi 2-4 kali / 10 menit, lama 60-90 detik (minimal 2x/10 menit lama min 40”). Serviks terbuka sampai lengkap (+10cm). Kala 2 • Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit. • Refleks mengejan akibat stimulasi tekanan bagian terbawah menekan anus dan rektum Kala 3 • Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun. Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid).
Kala Persalinan: Kala I Fase Laten • Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam) Fase Aktif • Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung sekitar 6 jam • Fase aktif terbagi atas : 1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4 cm. 2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm sampai 9 cm. 3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai lengkap (+ 10 cm).
Kala Persalinan: Kala II • Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi • Gejala dan tanda kala II persalinan – Dor-Ran Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi – Tek-Num Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rektum dan/atau vaginanya. – Per-Jol Perineum menonjol – Vul-Ka Vulva-vagina dan sfingter ani membuka – Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah
• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam (informasi objektif) – Pembukaan serviks telah lengkap, atau – Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III • Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban
• Tanda pelepasan plasenta – Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan retroplasenter pecah saat plasenta lepas – Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen uterus yang lebih bawah atau rongga vagina – Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular (bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus – Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen uterus yang lebih bawah (Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
156. Persalinan dengan Alat Bantu: Vakum Alat bantu berupa cup penghisap yang menarik kepala bayi dengan lembut
INDIKASI
KONTRA INDIKASI
• Ibu
• Ibu
– Kelelahan ibu masih kooperatif dan dapat mengejan – Partus tak maju – Toksemia gravidarum – Ruptur uteri iminens – Memperpendek persalinan kala II, penyakit jantung kompensasi, penyakit fibrotik
• Janin – Adanya gawat janin (ringan)
• Waktu – Kala persalinan lama
– Ibu dengan resiko tinggi ruptur uteri – Kondisi ibu tidak boleh mengejan – Panggul sempit (CPD)
• Janin – Bayi prematur (belum memiliki moulage yang baik kompresi forceps perdarahan periventrikular) – Letak lintang, presentasi muka, presentasi bokong, kepala janin menyusul
Persalinan dengan Vakum Syarat • Pembukaan lengkap atau hampir lengkap • Presentasi kepala • Cukup bulan (tidak premature) • Tidak ada kesempitan panggul • Anak hidup dan tidak gawat janin • Penurunan hodge III+ • Kontraksi baik/ terdapat his • Ibu kooperatif dan masih mampu untuk mengedan
Persalinan dengan Alat Bantu: Forceps • Janin dilahirkan dengan tarikan cunam/ forceps di kepalanya • Forceps/cunam: Logam, terdiri dari sepasang sendok (kanan-kiri)
INDIKASI
KONTRA INDIKASI
• Ibu
• Ibu
– Sama dengan ekstraksi vakum, hanya ibu sudah tidak mampu mengejan/ his tidak adekuat
• Janin – Adanya gawat janin
• Waktu – Nullipara: 3 jam dengan anelgesi lokal, 2 jam tanpa anelgesi lokal – Multipara: 2 jam dengan anelgesi lokal, 1 jam tanpa anelgesi lokal
– Sama seperti pada ekstraksi vakum
• Janin – Sama seperti pada ekstraksi vakum
EKSTRAKSI VAKUM VS EKSTRAKSI FORCEPS KEUNGGULAN VAKUM • Tehnik pelaksanaan relatif lebih mudah • Tidak memerlukan anaesthesia general • Ukuran yang akan melewati jalan lahir tidak bertambah (cawan penghisap tidak menambah ukuran besar bagian anak yang akan melwati jalan lahir) • Trauma pada kepala janin relatif rendah
KERUGIAN VAKUM • Proses persalinan membutuhkan waktu yang lebih lama • Tenaga traksi pada ekstraktor vakum tidak sekuat ekstraksi cunam • Pemeliharaan instrumen ekstraktor vakum lebih rumit • Ekstraktor vakum lebih sering menyebabkan icterus neonatorum
157. TB pada Kehamilan • Pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya • WHO – Hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali Streptomisin (permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta) gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada janin
• Perlunya KIE pada ibu hamil agar melaksanakan pengobatan dengan baik agar persalinan berjalan lancar dan bayi terhindar dari kemungkinan tertular TB
TB pada Menyusui dan KB • Menyusui – Pengobtan TB pada menyusui serupa dengan TB pada umumnya – Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui – Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan – Pencegahan dengan INH diberikan pada bayi sesuai berat badannya
• Kontrasepsi – Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal menurunkan efektivitas kontrasepsi – Sebaiknya pasien dengan TB menggunakan KB non hormonal,atau kontrasepsi dengan estrogen dosis tinggi (50 mcg)
158. Makrosomia • Definisi : bayi baru lahir dengan BB> 4000 g • Diagnosis: – Dengan taksiran berat janin baik dengan rumus johnson ataupun USG – Rumus Johnson untuk taksiran berat janin : • • • •
BB janin (g) = tinggi fundus (cm) – n x 155 n = 12 bila verteks belum lewat spina ischiadica n = 11 bila verteks lewat spina ischiadica Bila BB pasien > 91 kg, kurang 1 cm dari TFU
Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Makrosomia • Faktor predisposis – Riwayat makrosomia sebelumnya – Orang tua bertubuh besar, terutama obesitas pada ibu – Multiparitas – Kehamilan post term – Usia ibu sudah tua – Janin laki – laki – Ras dan suku
• Tatalaksana – Untuk persalinan rujuk ibu ke fasilitas yang dapat melakukan SC – Persalinan pervaginam dapat dicoba bila taksiran BB janin hingga 5000 g dengan ibu non DM – SC dipertimbangkan pada BBJ > 5000 g pada ibu non DM dan > 4500 g pada ibu dengan DM – SC diindikasikan bila taksiran BBJ > 4500 g dan terjadi perpanjangan kala II persalinan atau terhentinya penurunan janin di kala II persalinan
159 . Hipertensi dalam kehamilan Definisi - Tekanan darah ≥140/90 mmHg - Pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4-6 jam Faktor predisposisi - Gemelli - Penyakit trofoblas - Hidroamnion - DM - Gangguan vaskuler
plasenta - Faktor herediter - Riwayat preeklampsia sebelumnya - Obesitas sebelum hamil
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi Kronik - Hipertensi tanpa proteinuria - TD ≥140/90 mmHg - Sebelum hamil pasien sudah memiliki hipertensi, atau - Pasien sudah memiliki hipertensi saat usia kehamilan masih <20 minggu Tatalaksana: - Jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg terapi antihipertensi - Kontraindikasi: ACE-I, ARB, dan thiazide - Suplementasi kalsium 1.5-2 gram per hari + aspirin 75 mg/hari mulai dari usia kehamilan 20 minggu - Jika HR janin <100 x/menit atau > 180x/menit tatalaksana sebagai gawat janin - Jika tidak ada komplikasi tunggu sampai aterm Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi Gestasional - Hipertensi tanpa proteinuria - TD ≥140/90 mmHg - Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil - Dapat disertai gejala preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan trombositopenia - Diagnosis pasti ditegakkan pasca persalinan TD normal setelah melahirkan Tatalaksana - Pantau tekanan darah, urin untuk proteinuria, dan kondisi janin setiap minggu - Jika tekanan darah meningkat tatalaksana sebagai preeklampsia - Kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin terhambatrawat untuk pemantauan kesehatan janin - Jika TD stabil bisa persalinan normal Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Preeklampsia Ringan - TD ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu - Proteinuria 1+ atau protein kuantitatif >300 mg/24 jam Preeklampsia Berat - TD >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu - Proteinuria 2+ atau protein kuantitatif >5 g/24 jam - Atau disertai kelainan organ lain: trombositopenia (<100.000), hemolisis mikroangiopati, peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran atas, sakit kepala, skotoma penglihatan, pertumbuhan janin terhambat, oligohidroamnion - Peningkatan SGOT/SGPT+trombositopenia HELLP Syndrome Superimposed preeklampsia - Sudah ada hipertensi kronik sebelum hamil atau saat usia kandungan <20 minggu - Proteinuria 1+ atau trombosit <100.000 pada usia kehamilan <20 minggu Eklampsia - Kejang umum dan/atau koma - Ada tanda preeklampsia - Tidak ada kemungkinan penyebab lain seperti epilepsi, perdarahan subarachnoid, atau meningitis
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Pre Eklampsia & Eklampsia: Kejang • Pencegahan dan Tatalaksana Kejang – Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD • MgSO4 – Eklampsia untuk tatalaksana kejang – PEB pencegahan kejang
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam
• Antihipertensi
• Pertimbangan terminasi kehamilanharus dilahirkan dalam 12 jam setelah kejang Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
160. Kenaikan BB pada Ibu Hamil • Institute of Medicine Washington DC 1990, merekomendasikan kenaikan BB selama kehamilan berdasar BB sebelum hamil sebagai berikut:
Kenaikan BB pada Ibu Hamil Pada Pasien Ini • IMT pada pasien adalah 45/2.25 yaitu 20. • IMT pasien termasuk normal, sehingga berdasarkan tabel maka kenaikan berat badan yang dianjurkan selama masa kehamilan adalah 11,5-16 kg. • Dari pilihan jawaban yang paling mendekati adalah 10-15 kg.
161. Retensio plasenta • Plasenta atau bagianbagiannya dapat tetap berada dalam uterus setelah bayi lahir • Sebab: plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan
• Plasenta belum lepas: kontraksi kurang kuat atau plasenta adhesiva (akreta, inkreta, perkreta)
Retensio plasenta: Terapi • Plasenta yang belum keluar 30 menit setelah janin lahir dan dilakukan manajemen kala III maka termasuk retensio plasenta • Pada kasus retensio plasenta, manajemen terbaru dari WHO meliputi: • Oksitosin IV • Manual plasenta
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
Algoritma Retensio Plasenta
Uterotonika • Disebut juga obat oksitosik • Menstimulasi kontraksi uterus, mengandung oksitosin, dan ada dalam bentuk Syntocinon, ergometrin atau kombinasi keduanya
• Dapat diberikan secara profilaktik selama penatalaksanaan aktif untuk mengurangi risiko perdarahan postpartum atau sebagai bagian dari penatalaksanaan kedaruratan terhadap perdarahan pascapartum untuk menghentikan perdarahan
Uterotonika: Syntocinon • Menyebabkan uterus berkontraksi secara teratur dan kuat, terutama uterus bagian atas, mengikuti kerja tubuh • Bila diberikan secara intravena akan menimbulkan reaksi dalam 40 detik, sedangkan bila diberikan secara intramuscular memerlukan waktu 2-3 menit
• Efek samping utamanya adalah retensi cairan akibat pengaruh antidiuretiknya • Dosis biasanya antara 5-10 unit
Uterotonika: Ergometrin •
Menyebabkan spasma uterus dan servik yang kontinu dan tidak fisiologis, selama lebih dari 2 jam biasanya digunakan pada perdarahan postpartum akibat atonia uteri
•
Menimbulkan vasospasme meningkatkan tekanan darah tidak boleh diberikan pada ibu penderita hipertensi
•
Menimbulkan kontraksi otot polos bronkiolus yang dapat menimbulkan masalah pada ibu menderita asma
•
Jika diberikan secara – IV menimbulkan efek dalam 40 detik – IM memerlukan waktu 5-7 menit – Dosis biasa adalah 0,25-0,5 mg
•
Efek sampingnya terutama berkaitan dengan kontraksi otot polos – Tinnitus, nyeri kepala, nyeri dada, palpitasi, nyeri seperti kram pada punggung dan kaki, mual dan muntah, peningkatan tekanan darah, penurunan kadar prolaktin dan bila ibu dianestensi umum, akan terjadi peningkatan risiko edema paru atau edema otak akut setelah persalinan
Uterotonika: Syntometrine • Mengandung ergometrin 0,5 mg dan oksitosin 5 unit/ml • Memiliki efek gabungan dari kedua obat tersebut dan biasanya diberikan bila kala III ditatalaksanakan secara aktif • Memiliki gabungan efek samping dari kedua obat tersebut
• Bila dibandingkan dengan Syntocinon, obat ini menurunkan resiko perdarahan postpartum jika darah yang keluar kurang dari 1000 ml
162. Fase Aktif Memanjang: Gejala dan Tanda • Kontraksi melemah, sehingga menjadi kurang kuat, lebih singkat dan/atau lebih jarang, ATAU • Kualitas kontraksi tetap sama seperti semula, tidak mengalami kemajuan ataupun melemah
• Ibu terus mengejan dengan kekuatan yang sama selama berjam-jam, atau menyadari persalinan lebih mudah untuk dikendalikan (kontraksi tidak semakin nyeri/ his tidak bertambah kuat) • Pada pemeriksaan vaginal, serviks tidak mengalami perubahan
http://www.obgyn-rscmfkui.com/berita.php?id=234
Inersia Uteri: Tatalaksana 1.
Periksa keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunnya bagian terbawah janin dan keadaan janin
2.
Bila kepala sudah masuk PAP, anjurkan pasien untuk jalan-jalan
3.
Buat rencana untuk menentukan sikap dan tindakan yang akan dikerjakan misalnya pada letak kepala : a. b.
a. b.
Oksitosin drips 5-10 IU dalam 500 cc dextrose 5%, dimulai dengan 12 tpm, dinaikkan 10-15 menit sampai 40-50 tpm. Tujuan: agar serviks dapat membuka Bila his tidak >> kuat setelah pemberian oksitosin stop istirahat Pada malam hari berikan obat penenang (valium 10 mg) ulang lagi pemberian oksitosin drips Bila inersia uteri + CPD seksio sesaria Bila semula his kuat inersia uteri sekunder, ibu lemah, dan partus telah berlangsung lebih dari 24 jam (primi) dan 18 jam (multi) oksitosin drips tidak berguna Selesaikan partus sesuai dengan hasil pemeriksaan dan indikasi obstetrik lainnya (Ekstrasi vakum, forcep dan seksio sesaria) Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Induksi & Akselerasi Persalinan • Definisi – Induksi: upaya menstimulasi uterus untuk memulai persalinan – Augmentasi atau akselerasi: meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan. (Saifuddin, 2002)
• Indikasi (Oxford, 2013) – KPD, kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, PEB, hipertensi akibat kehamilan, IUFD) dan PJT, insufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteri doppler
• Kontraindikasi (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002) – CPD, plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif
Induksi Persalinan • Indikasi Darurat: – HT gestational berat, komplikasi janin akut, IUGR berat, penyakit maternal bermakna, korioamnionitis
• Indikasi Segera (Urgent) – KPD saat aterm atau dekat aterm, PJT tanpa komplikasi akut, DM tidak terkontrol, penyakit isoimun saat aterm/dekat aterm
• Indikasi Tidak Segera (Non Urgent) – Kehamilan post term, DM terkontrol, riwayat IUFD
163. PCOS • Etiologi – hiperandrogenisme dan resistensi terhadap insulin
• Gejala PCOS – Gangguan siklus haid yaitu siklus haid jarang dan tidak teratur – Gangguan kesuburan dimana yang bersangkutan menjadi sulit hamil (subfertile) – Tumbuh bulu yang berlebihan dimuka, dada, perut, anggota badan dan rambut mudah rontok (hirsutisme) – Banyak jerawat – kegemukan (obesitas) – Pada USG ditemukan banyak kista di ovarium
PCOS: Pemeriksaan • Diagnosis USG – Gambaran seperti roda pedati – 12 atau lebih folikel terlihat jelas di satu ovarium – Ukuran satu atau kedua ovarium membesar
Manajemen PCOS Tata laksana PCOS dilakukan secara komprehensif, meliputi: Edukasi Menjelaskan pentingnya perubahan gaya hidup untuk memperbaiki gangguan hormonal yang terjadi Penurunan berat badan Penurunan indeks massa tubuh sebesar 10% dapat memperbaiki pematangan sel telur
Manajemen resistensi insulin Pengobatan resistensi insulin dengan metformin dapat memperbaiki pematangan sel telur Manajemen gangguan haid Pengaturan siklus haid sangat penting peranannya untuk mencegah penebalan lapisan dinding dalam rahim. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian metformin, pil kontrasepsi kombinasi atau preparat progestin Manajemen infertilitas Tata laksana lini pertama pada SOPK adalah penurunan berat badan dan perubahan gaya hidup. Tindakan selanjutnya adalah induksi ovulasi yang dapat dilakukan dengan klomifen sitrat dan atau metformin Manajemen pertumbuhan rambut dan jerawat Pemberian pil kontrasepsi atau anti androgen dapat mengobati pertumbuhan jerawat dan rambut yang berlebihan pada pasien SOPK.
164. Meigs Syndrome • Meigs Syndrome didefiniskan sebagai adanya trias dari tumor jinak ovarium, efusi pleura, dan asites yang akan mereda setelah tumor diangkat. • Penyebab paling sering adalah fibroma ovarium, tumor Brenner (neoplasma epitelial dan stroma jinak), dan tumor sel granulosa • Gejala klinis yang sering didapatkan adalah kelelahan, sesak napas, adanya massa abdomen-pelvis, perubahan berat badan, batuk tidak produktif, kembung, amenore pada usia premenopause, dan menstruasi tidak teratur. • Pemeriksaan fisis didapatkan adanya massa pelvis disertai tanda efusi pleura dan asites
Pemeriksaan Penunjang Meigs Syndrome • Laboratorium: darah lengkap, serum elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, fungsi koagulasi, Ca125. • Imejing: CT-scan abdomen dan thorax, foto rontgen thorax, parasentensis cairan asites • Terapi: Bedah, suportif
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/255450
165. Alat Bantu Promosi Kesehatan (Menurut Cone of Experience, Edgar Dale)
MEDIA PROMOSI KESEHATAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN MASSAL • Ceramah umum (public speaking), misalnya pada hari kesehatan nasional, menteri kesehatan atau pejabat kesehatan lainnya berpidato dihadapan massa rakyat untuk menyampaikan pesanpesan kesehatan. • Diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik, baik siaran TV maupun radio. • Simulasi, dialog antara pasien dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya tentang suatu penyakit atau masalah kesehatan disuatu media massa • Film • Tulisan-tulisan dimajalah atau Koran, baik dalam bentuk artikel maupaun Tanya jawab/ konsultasi tentang kesehatan dan penyakit. • Billboard, yang dipasang dipinggir jalan, spanduk, poster, dsb. Contoh : Billboard Ayo ke Posyandu.
Metode Promosi Kesehatan untuk Kelompok (<15 orang) • Diskusi kelompok: dipimpin 1 pemimpin diskusi, pemimpin memberi pertanyaan atau kasus sehubungan dengan topik yang dibahas untuk memancing anggota untuk berpendapat. • Curah Pendapat (Brain Storming): Prinsipnya sama dengan metode diskusi kelompok. Bedanya, pada permulaannya pemimpin kelompok memancing dengan satu masalah dan kemudian tiap peserta memberikan jawaban-jawaban atau tanggapan (curah pendapat). Sebelum semua peserta mencurahkan pendapatnya, tidak boleh diberikan komentar oleh siapapun. Harus setelah semua mengeluarkan pendapatnya, tiap anggota dapat mengomentari, dan akhirnya terjadi diskusi.
Metode Promosi Kesehatan untuk Kelompok (<15 orang) • Bola salju (snowballing): Kelompok dibagi dalam pasanganpasangan (1 pasang 2 orang) kemudian dilontarkan suatu pertanyaan atau masalah. Setelah lebih kurang 5 menit maka tiap 2 pasang bergabung menjadi 1. Mereka tetap mendiskusikan masalah tersebut, dan mencari kesimpulannya. Kemudian tiap-tiap pasang yang sudah beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi dengan pasangan lainnya dst, sampai akhirnya akan terjadi diskusi seluruh anggota kelompok. • Kelompok kecil (buzz group): Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil (buzz group) yang kemudian diberi suatu permasalahan yang sama atau tidak sama dengan kelompok lain. Masing-masing kelompok mendiskusikan masalah tersebut. Selanjutnya hasil dari tiap kelompok didiskusikan kembali dan dicari kesimpulannya.
Metode Promosi Kesehatan untuk Kelompok (<15 orang) • Role play: Beberapa anggota kelompok diunjuk sebagai pemegang peran tertentu untuk memainkan peranan, misalnya sebagai dokter Puskesmas, sebagai perawat, atau bidan, dan sebagainya, sedangkan anggota yang lain sebagai pasien atau anggota masyarakat. Mereka memperagakan, misalnya bagaimana komunikasi/interaksi sehari-hari dalam melaksanakan tugas. • Simulation game: Gabungan antara role play dengan diskusi kelompok. Pesan-pesan kesehatan disajikan dalam beberapa bentuk permainan seperti permainan monopoli. Cara memainkannya persis seperti bermain monopoli dan menggunakan dadu, gaco (petunjuk arah) selain papan main. Beberapa orang menjadi pemain dan sebagian lagi berperan sebagai narasumber.
166. SASARAN PROMOSI KESEHATAN • Sasaran primer: sasaran yang berpotensi mempunyai masalah yang diharapkan mau berperilaku seperti yang diharapkan dan memperoleh manfaat paling besar dari perubahan tersebut.
• Sasaran sekunder: individu atau kelompok yang berpengaruh atau disegani oleh sasaran primer. Sasaran sekunder diharapkan mampu mendukung pesan-pesan yang disampaikan kepada sasaran. • Sasaran tersier: para pengambil keputusan, para penyandang dana, pihak-pihak yang berpengaruh diberbagai tingkatan (pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan).
167. HIPOTESIS NOL DAN HIPOTESIS ALTERNATIF
• Kapan suatu penelitian membutuhkan hipotesis? Hipotesis diperlukan pada penelitian analitik (penelitian yang ingin membuktikan adanya hubungan antara paparan dengan terjadinya outcome). Pada penelitian yang deskriptif (misalnya prevalensi hipertensi di Indonesia), hipotesis tidak harus ada. • Terdapat 2 macam hipotesis: Hipotesis nol (null hypothesis) dan hipotesis alternatif.
• Hipotesis nol (H0) : hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel independen/paparan (X) dengan variabel dependen/outcome (Y). Contoh: Tidak ada hubungan antara merokok dengan kanker paru. • Hipotesis alternatif/hipotesis kerja (Ha): Hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara variabel independen/paparan(X) dan variabel dependen/outcome (Y) yang diteliti. Contoh: Merokok berhubungan dengan kanker paru, atau merokok menyebabkan peningkatan kejadian kanker paru.
Hipotesis Nol dan Hipotesis Alternatif • Kapan hipotesis nol diterima atau ditolak? – Harus dilakukan uji hipotesis dengan menetapkan terlebih dahulu nilai alpha (α). Alpha adalah tingkat kesalahan yang ditetapkan di mana hasil penelitian menyatakan bahwa hipotesis nolnya benar padahal kenyataan dalam populasi hipotesis alternatif yang benar. Umumnya disepakati nilai α=0,05. – Bila nilai p-value > α, maka hipotesis nol diterima. – Bila nilai p-value < α, maka hipotesis nol ditolak sehingga hipotesis alternatif yang diterima.
Memahami Nilai p dan alpha dengan lebih sederhana • Nilai α merupakan nilai yang ditetapkan oleh peneliti untuk menunjukkan seberapa besar kemungkinan hasil penelitian yang didapat salah.
• Nilai p merupakan hasil uji statistik dari penelitian yang menunjukkan seberapa besar kemungkinan hasil penelitian tersebut salah.
• Umumnya peneliti sepakat mentolerir nilai α sebesar 0,05. Artinya kemungkinan hasil penelitian salah sebesar 5%. Dengan kata lain, peneliti meyakini hasil penelitiannya 95% valid.
• Misalnya nilai p=0,01, maka secara sederhana hasil uji statistik menunjukkan kemungkinan hasil penelitian salah sebesar 1%. • Hasil penelitian dikatakan bermakna secara statistik bila nilai p lebih kecil dari nilai α yang ditetapkan.
168. PENENTUAN PRIORITAS MASALAH DENGAN PAHO (PAN-AMERICAN HEALTH ORGANIZATION) • Dipergunakan beberapa kriteria untuk menentukan prioritas masalah kesehatan di suatu wilayah berdasarkan: – Luasnya masalah (magnitude) – Beratnya kemgian yang timbul (Severity) – Tersedianya sumberdaya untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut (Vulnerability) – Kepedulian/dukungan politis dan dukungan masyarakat (Community andpolitical concern) – Ketersediaan data (Affordability)
• Diberi skor antara 1-10 oleh panel expert yang memahami masalah kesehatan dalam forum curah pendapat (brain storming). Setelah diberi skor, masing-masing penyakit dihitung nilai skor dengan perkalian.
• Skor tertinggi prioritas masalah utama.
Cara Lain Dalam Menentukan Prioritas Masalah Teknik yang Digunakan
Definisi
Metode Hanlon/ Sistem Dasar Penilaian Prioritas (BPRS)
Memperhitungkan Ukuran/Besarnya masalah, tingkat keseriusan masalah, perkiraan efektivitas solusi, PEARL faktor (propriety, economic feasibility, acceptability, resource availability, legality). Semua komponen tersebut dirata-rata untuk memberikan prioritas utama penyakit / kondisi dengan skor tertinggi.
Fish-bone diagram
Menganalisa cause-effect, dimana bagian kepala (sebagai effect) dan bagian tubuh ikan berupa rangka serta duri-durinya digambarkan sebagai penyebab (cause) suatu permasalahan yang timbul.
Brainstorming
Metode curah pendapat yang digunakan yang secara efektif melibatkan seluruh anggota kelompok untuk menentukan priioritas masalah.
Metode Delpie
Penetapan prioritas masalah dilakukan melalui kesepakatan sekelompok orang yang sama keahliannya. Pemilihan prioritas masalah dilakukan melalui pertemuan khusus. Setiap peserta yang sama keahliannya dimintakan untuk mengemukakan beberapa masalah pokok, masalah yang paling banyak dikemukakan adalah prioritas masalah yang dicari.
Metode Delbecq
Penetapan prioritas masalah dilakukan melalui kesepakatan sekelompok orang yang tidak sama keahliannya. Sehingga diperlukan penjelasan terlebih dahulu untuk meningkatkan pengertian dan pemahaman peserta tanpa mempengaruhi peserta. Lalu diminta untuk mengemukakan beberapa masalah. Masalah yang banyak dikemukakan adalah prioritas.
Nominal group technique (NGT)
Suatu metode untuk mencapai konsensus dalam suatu kelompok, dengan cara mengumpulkan ide-ide dari tiap peserta, yang kemudian memberikan voting dan ranking terhadap ide-ide yang mereka pilih. Ide yang dipilih adalah yang paling banyak skor-nya, yang berarti merupakan konsensus bersama.
169-170. FIVE LEVEL OF PREVENTION Health promotion Specific protection
• Dilakukan pada orang sehat • Promosi kesehatan • Contoh: penyuluhan • Dilakukan pada orang sehat • Mencegah terjadinya kesakitan • Contoh: vaksinasi, cuci tangan pakai sabun
Early diagnosis & prompt treatment
• Dilakukan pada orang sakit • Tujuannya kuratif • Contoh: Pengobatan yang tepat pada pasien TB
Disability limitation
• Dilakukan pada orang sakit • Membatasi kecacatan • Contoh: pasien neuropati DM latihan senam kaki
Rehabilitation
• Dilakukan pada orang sakit dengan kecacatan • Optimalisasi fungsi tubuh yang masih ada • Contoh: latihan berjalan pada pasien pasca stroke
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
171. PERSYARATAN KUALITAS AIR MINUM (PERMENKES NO. 492/MENKES/PER/IV/2010) PARAMETER WAJIB
PARAMETER WAJIB
TCU: True Color Unit NTU: nephelometric Turbidity Unit
PARAMETER WAJIB
PARAMETER TAMBAHAN
PARAMETER TAMBAHAN
172. PENGUKURAN ANGKA KESAKITAN/ MORBIDITAS UKURAN
DEFINISI
Incidence rate/ insidens
Frekuensi kasus baru yang berjangkit dalam suatu populasi (rumus: jumlah kasus baru/ jumlah populasi berisiko). Bila jumlah kasus baru dihitung bukan berdasarkan jumlah orang, melainkan berdasarkan jumlah orang-waktu (person-time), maka disebut sebagai incidence density rate.
Prevalence rate/ prevalens
Frekuensi seluruh kasus yang terjadi dalam suatu populasi (rumus: (jumlah kasus lama+kasus baru)/jumlah populasi berisiko)). Prevalensi yang ditentukan pada 1 waktu tertentu misalnya pada tanggal 1 Februari 2016 disebut sebagai point prevalence rate.
Attack rate
Jumlah kasus baru penyakit dalam waktu wabah/ outbreak yang berjangkit dalam suatu populasi.
CASE FATALITY RATE (CFR) • CFR adalah persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, untuk menentukan kegawatan/ keganasan penyakit tersebut. Contoh: • Suatu komunitas 100.000 penduduk. Dalam setahun ada 1000 kematian dari semua penyebab. Kasus stroke 300 (200 laki-laki, 100 perempuan). Kematian stroke 60 org (50 org laki laki). • CFR Stroke = jumlah kematian karena stroke jumlah kasus stroke = 60/300 x 100% = 20%
173. PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE Pencegahan dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan Tempat umum dengan melakukan Pemberantasan sarang Nyamuk (PSN) yang meliputi: • Menguras tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali, atau menutupnya rapat-rapat. • Mengubur barang bekas yang dapat menampung air • Menaburkan racun pembasmi jentik (abatisasi) • Memelihara ikan • Cara-cara lain membasmi jentik (menggunakan
repellent, obat nyamuk bakar, kelambu, memasang kawat kasa dll)
Penemuan, pertolongan dan pelaporan penderita penyakit demam berdarah dengue •
•
• •
• •
Keluarga yang anggotanya menunjukkan gejala penyakit demam berdarah dengue memberikan pertolongan pertama (memberi minum banyak, kompres dingin dan dan obat penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat) dan dianjurkan segera memeriksakan kepada dokter atau unit pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan melakukan pemeriksaan, penentuan diagnosa dan pengobatan/perawatan sesuai dengan keadaan penderita dan wajib melaporkan kepada puskesmas. Kepala keluarga diwajibkan segera melaporkan kepada lurah/kepala desa melalui kader, ketua RT/RW, Ketua Lingkungan/Kepala Dusun. Kepala asrama, ketua RT/RW, Ketua Lingkungan, Kepala Dusun yang mengetahui adanya penderita/tersangka diwajibkan untuk melaporkan kepada Puskesmas atau melalui lurah/kepala desa. Lurah/Kepala Desa yang menerima laporan, segera meneruskannya kepada puskesmas. Puskesmas yang menerima laporan wajib melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit.
174. TEKNIK SAMPLING
Probability Sampling Techique lebih baik dibanding non-probability • Simple Random Sampling: pengambilan sampel dari semua anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata/tingkatan yang ada dalam populasi itu. • Stratified Sampling: Penentuan sampling tingkat berdasarkan karakteristik tertentu (usia, jenis kelamin, dsb). Misalnya untuk mengambil sampel dipisahkan dulu jenis kelamin pria dan wanita. Baru kemudian dari kelompok pria diambil sampel secara acak, demikian juga dari kelompok wanita.
Probability Sampling Techique lebih baik dibanding non-probability • Cluster Sampling: disebut juga sebagai teknik sampling daerah. Pemilihan sampel berdasarkan daerah yang dipilih secara acak. Contohnya mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta. Seluruh penduduk dari 20 kecamatan terpilih dijadikan sampel.
• Multistage random sampling: teknik sampling yang menggunakan 2 teknik sampling atau lebih secara berturut-turut. Contohnya mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta (cluster sampling). Kemudian dari masing-masing kecamatan terpilih, diambil 50 sampel secara acak (simple random sampling). • Systematical Sampling anggota sampel dipilh berdasarkan urutan tertentu. Misalnya setiap kelipatan 10 atau 100 dari daftar pegawai disuatu kantor, pengambilan sampel hanya nomor genap atau yang ganjil saja.
Non-probability Sampling • Purposive Sampling: sampel yang dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitiannya. • Snowball Sampling: Dari sampel yang prevalensinya sedikit ,peneliti mencari informasi sampel lain dari yang dijadikan sampel sebelumnya, sehingga makin lama jumlah sampelnya makin banyak • Quota Sampling:anggota sampel pada suatu tingkat dipilih dengan jumlah tertentu (kuota) dengan ciri-ciri tertentu • Convenience sampling:mengambil sampel sesuka peneliti (kapanpun dan siapapun yang dijumpai peneliti)
175. Indikasi Kegiatan Imunisasi Tambahan (PMK No. 42 Tahun 2013) • Backlog fighting: Merupakan upaya aktif untuk melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur di bawah 3 (tiga) tahun. – Kegiatan ini diprioritaskan untuk dilaksanakan di desa yang selama 2 (dua) tahun berturut-turut tidak mencapai UCI (universal coverage immunization). – Yang disebut desa UCI adalah suatu desa di mana ≥80% bayinya (0-11 bulan) yang ada di desa tersebut sudah menerima imunisasi lengkap. – Untuk imunisasi campak, target cakupan imunisasi campak pada tahun 2014 sebesar 90%.
• Crash program: Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat untuk mencegah terjadinya KLB. – Kriteria pemilihan daerah yang akan dilakukan crash program adalah: 1) Angka kematian bayi akibat PD3I (penyakit dapat dicegah dengan imunisasi tinggi). 2) Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang. 3) Desa yang selama 3 tahun berturut-turut tidak mencapai UCI. – Crash program bisa dilakukan untuk satu atau lebih jenis imunisasi, misalnya campak, atau campak terpadu dengan polio.
• PIN (Pekan Imunisasi Nasional): kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara serentak di suatu negara dalam waktu yang singkat. PIN bertujuan untuk memutuskan mata rantai penyebaran suatu penyakit (misalnya polio). Imunisasi yang diberikan pada PIN diberikan tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. • Sub PIN: kegiatan serupa dengan PIN tetapi dilaksanakan pada wilayah wilayah terbatas (beberapa provinsi atau kabupaten/kota).
• Catch up Campaign campak: upaya untuk memutuskan transmisi penularan virus campak pada anak usia sekolah dasar. Kegiatan ini dilakukan dengan pemberian imunisasi campak secara serentak pada anak sekolah dasar dari kelas satu hingga kelas enam SD atau yang sederajat, serta anak usia 6 - 12 tahun yang tidak sekolah, tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya.
• Imunisasi dalam Penanganan KLB (Outbreak Response Immunization/ORI)
176. PEMULASARAAN JENAZAH INFEKSI MENULAR, TERMASUK HIV •
Perawatan jenazah penderita penyakit menular dilaksanakan dengan selalu menerapkan kewaspadaan universal tanpa mengakibatkan tradisi budaya dan agama yang dianut keluarganya.
•
Setiap petugas kesehatan terutama perawat harus dapat menasehati keluarga jenazah dan mengambil tindakan yang sesuai agar penanganan jenazah tidak menambah risiko penularan penyakit seperti halnya hepatitis-B, AIDS, kolera dsb.
•
Tradisi yang berkaitan dengan perlakuan terhadap jenazah tersebut dapat diizinkan dengan memperhatikan hal yang telah disebut di atas, seperti misalnya mencium jenazah sebagai bagian dari upacara penguburan.
•
Perlu diingat bahwa virus HIV hanya dapat hidup dan berkembang dalam tubuh manusia hidup, maka beberapa waktu setelah penderita infeksi-HIV meninggal (sekitar 4 jam), virus pun akan mati.
Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) • Prinsip dari penanganan jenazah ODHA lebih menitikberatkan pada terpenuhinya alat pelindung diri tenaga pemulasaran jenazah. • Lakukan prosedur baku kewaspadaan universal yaitu cuci tangan sebelum memakai sarung tangan • Petugas memakai alat pelindung: – Sarung tangan karet yang panjang (sampai ke siku) – Sebaiknya memakai sepatu bot sampai lutut – Pelindung wajah (masker dan kaca mata) – Jubah atau celemek, sebaiknya yang kedap air
177. Visum et Repertum (VeR) Dasar: PASAL 133 KUHAP • Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
Permintaan VeR menurut Ps.133 KUHAP • • • • •
WEWENANG PENYIDIK TERTULIS (RESMI) TERHADAP KORBAN, BUKAN TERSANGKA ADA DUGAAN AKIBAT PERISTIWA PIDANA BILA MAYAT : – IDENTITAS PADA LABEL – JENIS PEMERIKSAAN YANG DIMINTA – DITUJUKAN KEPADA : AHLI KEDOKTERAN FORENSIK / DOKTER DI RUMAH SAKIT Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
Ketentuan Lain dalam VeR Korban Hidup • SURAT PERMINTAAN VER DAPAT “TERLAMBAT” : – KORBAN LUKA DIBAWA KE DOKTER (RS) DULU SEBELUM KE POLISI – SPV MENYEBUTKAN PERISTIWA PIDANA YANG DIMAKSUD – VER = SURAT KETERANGAN, JADI DAPAT DIBUAT BERDASARKAN REKAM MEDIS (RM telah menjadi barang bukti sejak datang SPV) – PEMBUATAN VER TANPA IJIN PASIEN, SEDANGKAN SKM LAIN HARUS DENGAN IJIN. – SEBAIKNYA DIANTAR PETUGAS AGAR DAPAT DIPASTIKAN IDENTITAS KORBAN DAN STATUSNYA SEBAGAI “BARANG BUKTI” Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
VeR dan Rekam Medis • Seorang pasien yang datang berobat ke RS dengan perlukaan dan/atau keracunan, apalagi dengan anamnesis yang menunjukkan adanya kemungkinan kaitan dengan suatu tindak pidana, pertama-tama harus DIANGGAP sebagai kasus forensik, tanpa melihat ada atau tidaknya Surat Permintaan VER dari polisi. • Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pencatatan anamnesis secara lengkap dan detil. Pemeriksaan fisik dilakukan seperti biasa, akan tetapi pencatatan luka-lukanya dilakukan secara lengkap dan mendetil. • VER kasus forensik klinik dibuat berdasarkan rekam medis korban, yang dibuat oleh dokter IGD, dokter yang merawat, SpF maupun perawat. Suatu VER yang baik hanya dapat dihasilkan dari Rekam Medis (RM) yang baik pula. Cara Pencatatan Rekam Medis untuk Kasus Forensik Klinik, Djaja Surya Atmadja
Sanksi Hukum Bila Menolak Pembuatan VeR PASAL 216 KUHP Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
178. Peran Dokter dalam Kasus Kejahatan Seksual Untuk membuktikan: • Ada/tidaknya bukti persetubuhan, dan kapan perkiraan terjadinya • Ada/tidaknya kekerasan pada perineum dan daerah lain (termasuk pemberian racun/obat/zat agar menjadi tidak berdaya) → toksikologi • Usia korban (berdasarkan haid, dan tanda seks sekunder) • Penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan kejiwaan sebagai akibat dari tindak pidana Dokter tidak melakukan pembuktian adanya pemerkosaan
PEMERIKSAAN DALAM KASUS KEJAHATAN SEKSUAL PEMERIKSAAN SEMEN Pemeriksaan visual
Perabaan dan penciuman
Ultraviolet (UV)
Pada pakaian, bercak mani berbatas tegas dan warnanya lebih gelap daripada sekitarnya. Dan Bercak yang sudah agak tua berwarna kekuningan. Bercak mani teraba kaku seperti kanji. Pada tekstil yang tidak menyerap, bila tidak teraba kaku, masih dapat dikenali dari permukaan bercak yang teraba kasar. Pada penciuman, bau air mani seperti klorin (pemutih) atau bau ikan Semen kering (bercak semen) berfluoresensi (bluish-white) putih kebiruan di bawah iluminasi UV dan menunjukkan warna yang sebelumnya tak nampak. Namun Pemeriksaan ini tidak spesifik,sebab nanah, fluor albus, bahan makanan, urin, dan serbuk deterjen yang tersisa pada pakaian sering berflouresensi juga.
PEMERIKSAAN KIMIAWI Metode Florence
Cairan vaginal atau bercak mani yang sudah dilarutkan, ditetesi larutan yodium (larutan Florence) di atas objek glass Hasil yang diharapkan: kristal-kristal kholin peryodida tampak berbentuk jarum-jarum / rhomboid yang berwarna coklat gelap
Metode Berberio
Cairan vagina atau bercak semen yang sudah dilarutkan, diteteskan pada objek glass, lalu ditambahkan asam pikrat dan diamati di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan: Kristal spermin pikrat akan terbentuk rhomboik atau jarum yang berwarna kuning kehijauan.
F os f at ase asam
Dapat dilakukan pada cairan vagina dan pada bercak semen di pakaian. Hasil yang diharapkan: warna ungu timbul dalam waktu kurang dari 30 detik, berarti asam fosfatase berasal dari prostat.
Metode PA N
Bercak pada pakaian diekstraksi dengan cara menempelkan kertas saring Whatman no.2 yang dibasahi dengan aquadest, selama 10 menit. Hasil positif menunjukkan warna merah jambu.
PEMERIKSAAN CAIRAN MANI Sampel : 1. Forniks posterior vagina Fosfatase asam, PAN, Berberio, Florence 2. Bercak pada pakaian Pemeriksaan Taktil, Visual, Sinar UV, Fosfatase asam, PAN, Berberio, Florence
Pemeriksaan Sperma • Pemeriksaan Sperma tanpa pewarnaan – Tujuan: Untuk melihat motilitas spermatozoa. Pemeriksaan ini paling bermakna untuk memperkirakan saat terjadinya persetubuhan. – Sperma didalam liang vagina masih dapat bergerak dalam waktu 4 – 5 jam post-coitus; sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam post coital dan bila wanitanya mati masih akan dapat ditemukan 7-8 hari.
Pemeriksaan Sperma • Pemeriksaan dengan pewarnaan – Bila sediaan dari cairan vagina, dapat diperiksa dengan Pulas dengan pewarnaan gram, giemsa atau methylene blue atau dengan pengecatan Malachite-green. – Bila berasal dari bercak semen (misalnya dari pakaian), diperiksa dengan pemeriksaan Baechii. Hasil: spermatozoa dengan kepala berwarna merah dan ekor berwarna biru muda terlihat banyak menempel pada serabut benang
Pewarnaan Malachite Green • Keuntungan dengan pulasan ini adalah inti sel epitel dan leukosit tidak terdiferensiasi, sel epitel berwarna merah muda merata dan leukosit tidak terwarnai. Kepala spermatozoa tampak berwarna ungu, bagian hidung merah muda. • Dikatakan positif, apabila ditemukan sperma paling sedikit satu sperma yang utuh.
Pewarnaan Baechii • Reagen dapat dibuat dari : Acid fuchsin 1 % (1 ml), Methylene blue 1 % (1 ml), Asam klorida 1 % (40 ml). • Hasil : Serabut pakaian tidak berwarna, spermatozoa dengan kepala berwarna merah dan ekor berwarna biru muda terlihat banyak menempel pada serabut benang.
179. Ketentuan dalam VeR Korban Hidup • Surat permintaan ver dapat “terlambat” : – Korban luka dibawa ke dokter (rs) dulu sebelum ke polisi – Spv menyebutkan peristiwa pidana yang dimaksud – Ver = surat keterangan, jadi dapat dibuat berdasarkan rekam medis (rm telah menjadi barang bukti sejak datang spv) – Pembuatan ver tanpa ijin pasien, sedangkan skm lain harus dengan ijin. – Sebaiknya diantar petugas agar dapat dipastikan identitas korban dan statusnya sebagai “barang bukti” Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
VeR dan Rekam Medis • Seorang pasien yang datang berobat ke RS dengan perlukaan dan/atau keracunan, apalagi dengan anamnesis yang menunjukkan adanya kemungkinan kaitan dengan suatu tindak pidana, pertamatama harus DIANGGAP sebagai kasus forensik, tanpa melihat ada atau tidaknya Surat Permintaan VER dari polisi. • Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pencatatan anamnesis secara lengkap dan detil. Pemeriksaan fisik dilakukan seperti biasa, akan tetapi pencatatan luka-lukanya dilakukan secara lengkap dan mendetil. • VER kasus forensik klinik dibuat berdasarkan rekam medis korban, yang dibuat oleh dokter IGD, dokter yang merawat, SpF maupun perawat. Suatu VER yang baik hanya dapat dihasilkan dari Rekam Medis (RM) yang baik pula. Cara Pencatatan Rekam Medis untuk Kasus Forensik Klinik, Djaja Surya Atmadja
180. INSIDENS KESELAMATAN PASIEN Pasien tidak cedera
NEAR MISS
Pasien cedera
PREVENTABLE ADVERSE EVENT
Medical Error - Kesalahan nakes - Dapat dicegah -Karena berbuat (commission) -Karena tdk berbuat (ommision)
MALPRAKTIK
Acceptable Risk
Process of care (Non error)
Pasien cedera
UNPREVENTABLE ADVERSE EVENT
Unforseeable Risk Complication of Disease
Adverse Event Preventable Adverse Event • Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak bertindak (ommision), dan bukan karena “underlying disease”. • Adverse event yang menimbulkan akibat fatal, misalnya kecacatan atau kematian, disebut juga sentinel event.
Adverse Event Unpreventable Adverse Event • Acceptable risk: Kejadian tidak diharapkan yang merupakan risiko yang harus diterima dari pengobatan yang tidak dapat dihindari. Contoh: Pasien Ca mammae muntah-muntah pasca kemoterapi • Unforseeable risk: Kejadian tidak diharapkan yang tidak dapat diduga sebelumnya. Contoh: Terjadi Steven Johnson Syndrome pasca pasien minum paracetamol, tanpa ada riwayat alergi obat sebelumnya.
• Complication of disease: Kejadian tidak diharapkan yang merupakan bagian dari perjalanan penyakit atau komplikasi penyakit. Contoh: Pasien luka bakar dalam perawatan mengalami sepsis.
Kejadian Nyaris Cedera/ Near Miss • Suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena : – “keberuntungan” (mis.,pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), – “pencegahan” (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), – “peringanan” / mitigasi (suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya
181. KAIDAH DASAR MORAL
Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Tidak berbuat yang merugikan (nonmaleficence)
Berbuat baik (beneficence) • Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar • pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). • Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.
Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect for person) / Autonomy
•
• Setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), • • Setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan • perlindungan.
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Prinsip dasar ini juga mengakui adanya kepentingan masyarakat sekitar pasien yang harus dipertimbangkan
Beneficence Kriteria 1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan orang lain) 2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter 4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya 5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang 6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia 7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien) 8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien 9. Minimalisasi akibat buruk 10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat 11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran 13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan 14. Mengembangkan profesi secara terus menerus 15. Memberikan obat berkhasiat namun murah 16. Menerapkan golden rule principle
Non-maleficence Kriteria 1. Menolong pasien emergensi : Dengan gambaran sbb : - pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko kehilangan sesuatu yang penting (gawat) - dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut - tindakan kedokteran tadi terbukti efektif - manfaat bagi pasien > kerugian dokter 2. Mengobati pasien yang luka 3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia ) 4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien 5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek 6. Mengobati secara proporsional 7. Mencegah pasien dari bahaya 8. Menghindari misrepresentasi dari pasien 9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian 10. Memberikan semangat hidup 11. Melindungi pasien dari serangan 12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Autonomy Kriteria 1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien 2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif) 3. Berterus terang 4. Menghargai privasi 5. Menjaga rahasia pasien 6. Menghargai rasionalitas pasien 7. Melaksanakan informed consent 8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri 9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan termasuk keluarga pasien sendiri 11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi 12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien 13. Menjaga hubungan (kontrak)
Justice Kriteria 1. Memberlakukan sesuatu secara universal 2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan 3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama 4. Menghargai hak sehat pasien 5. Menghargai hak hukum pasien 6. Menghargai hak orang lain 7. Menjaga kelompok yang rentan 8. Tidak melakukan penyalahgunaan 9. Bijak dalam makro alokasi 10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien 11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya 12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil 13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten 14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah 15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan 16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
182. ABORTUS PROVOKATUS • Abortus menurut pengertian kedokteran terbagi dalam: – Abortus spontan – Abortus provokatus, yang terbagi lagi ke dalam: Abortus provokatus terapeutikus & Abortus provokatus kriminalis
• Abortus provokatus kriminalis sajalah yang termasuk ke dalam lingkup pengertian pengguguran kandungan menurut hukum.
Abortus buatan (provokatus), jika ditinjau dari aspek hukum dapat digolongkan ke dalam dua golongan yakni : • Abortus buatan legal – Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. – Populer juga disebut dengan abortus provocatus therapcutius/ medisinalis, karena alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si ibu.
• Abortus buatan ilegal – Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain dari pada untuk menyelamatkan/ menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. – Abortus golongan ini sering juga disebut dengan abortus provocatus criminalis, karena di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan. Idries A.M. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Penerbit Binarupa Aksara. 1997
Indikasi Medis Abortus Provocatus • • • • • • • • • • •
Abortus yang mengancam (threatened abortion) disertai dengan perdarahan yang terus menerus, atau jika janin telah meninggal (missed abortion). Mola Hidatidosa Infeksi uterus akibat tindakan abortus kriminalis. Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika dengan adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit keganasan lainnya pada tubuh seperti kanker payudara. Prolaps uterus gravid yang tidak bisa diatasi. Telah berulang kali mengalami operasi caesar. Penyakit-penyakit dari ibu yang sedang mengandung, misalnya penyakit jantung organik dengan kegagalan jantung, hipertensi, nephritis, tuberkulosis paru aktif, toksemia gravidarum yang berat. Penyakit-penyakit metabolik, misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang disertaikomplikasi vaskuler, hipertiroid, dan lain-lain. Epilepsi yang luas dan berat. Hiperemesis gravidarum yang berat dengan chorea gravidarum. Gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus seperti ini, sebelum melakukan tindakan abortus harus dikonsultasikan dengan psikiater.
Payung Hukum Abortus Provokatus Medisinalis/ Abortus Terapeutik • UU Kesehatan No.23 Tahun 1992 – Mengatur indikasi dapat dilakukan abortus provokatus dan syaratnya
• UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 – Ditambahkan mengenai diperbolehkannya abortus provokatus pada kasus kehamilan akibat pemerkosaan – Dilakukan sebelum usia kehamilan 6 minggu, kecuali pada kasus gawat darurat
Abortus Provokatus Menurut UU No.23 Tahun 1992 Pasal 15 1. Dalam kedaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu 2. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan: –
–
– –
Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakkan tersebut. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya. Pada sarana kesehatan tertentu
Abortus Provokatus Menurut UU No.36 Tahun 2009 PASAL 75 1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi. 2.
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: – indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau – kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
3.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
4.
Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan PASAL 76.
Abortus Provokatus Menurut UU No.36 Tahun 2009 PASAL 76 • Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan : a) sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b) oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d) dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; e) penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri
183. Derivat/Turunan dari Kaidah Dasar Moral • • • •
Veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka) Privacy (menghormati hak privasi pasien) Confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) Fidelity (loyalitas dan promise keeping)
184. VER vs SURAT KETERANGAN MEDIS Perbedaan
V et R
Surat Keterangan Medis
Korban/penderita
Merupakan barang bukti medis
Merupakan pasien
Pembuat
Dokter
Dokter atau dokter gigi
Awal kontrak/ permintaan pemeriksaan
Kontrak pemeriksaan dari pihak berwenang (polisi, jaksa, hakim)
Kontrak pemeriksaan dari pasien sendiri
Format laporan
Dalam bentuk visum et repertum
Dalam bentuk surat keterangan medis (misal surat keterangan sehat)
Penyerahan laporan
Diserahkan kepada pihak pemohon
Diserahkan hanya kepada pasien
Masa berlaku
Sampai berakhirnya proses peradilan
Ada batas waktu tertentenggang waktu tertentu)
Informed consent
Tidak diperlukan
Harus ada
185. Visum et Repertum (VeR) Dasar: PASAL 133 KUHAP • Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
Permintaan VeR menurut Ps.133 KUHAP • • • • •
Wewenang penyidik Tertulis (resmi) Terhadap korban, bukan tersangka Ada dugaan akibat peristiwa pidana Bila mayat: – Identitas pada label – Jenis pemeriksaan yang diminta – Ditujukan kepada: ahli kedokteran forensik / dokter di rumah sakit Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
186. KAIDAH DASAR MORAL
Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Tidak berbuat yang merugikan (nonmaleficence)
Berbuat baik (beneficence) • Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar • pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). • Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.
Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect for person) / Autonomy
•
• Setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), • • Setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan • perlindungan.
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Prinsip dasar ini juga mengakui adanya kepentingan masyarakat sekitar pasien yang harus dipertimbangkan
Beneficence Kriteria 1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan orang lain) 2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter 4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya 5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang 6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia 7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien) 8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien 9. Minimalisasi akibat buruk 10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat 11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran 13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan 14. Mengembangkan profesi secara terus menerus 15. Memberikan obat berkhasiat namun murah 16. Menerapkan golden rule principle
Non-maleficence Kriteria 1. Menolong pasien emergensi : Dengan gambaran sbb : - pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko kehilangan sesuatu yang penting (gawat) - dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut - tindakan kedokteran tadi terbukti efektif - manfaat bagi pasien > kerugian dokter 2. Mengobati pasien yang luka 3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia ) 4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien 5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek 6. Mengobati secara proporsional 7. Mencegah pasien dari bahaya 8. Menghindari misrepresentasi dari pasien 9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian 10. Memberikan semangat hidup 11. Melindungi pasien dari serangan 12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Autonomy Kriteria 1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien 2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif) 3. Berterus terang 4. Menghargai privasi 5. Menjaga rahasia pasien 6. Menghargai rasionalitas pasien 7. Melaksanakan informed consent 8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri 9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan termasuk keluarga pasien sendiri 11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi 12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien 13. Menjaga hubungan (kontrak)
Justice Kriteria 1. Memberlakukan sesuatu secara universal 2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan 3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama 4. Menghargai hak sehat pasien 5. Menghargai hak hukum pasien 6. Menghargai hak orang lain 7. Menjaga kelompok yang rentan 8. Tidak melakukan penyalahgunaan 9. Bijak dalam makro alokasi 10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien 11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya 12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil 13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten 14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah 15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan 16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
187. ETIKA KLINIS • Medical Indication (terkait prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai … dari sisi etik kaidah yang digunakan adalah beneficence dan nonmaleficence) • Patient Preference (terkait nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya … cerminan kaidah otonomi) • Quality of Life (aktualisasi salah satu tujuan kedokteran :memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani … terkait dengan beneficence, nonmaleficence & otonomi) • Contextual Features (menyangkut aspek non medis yang mempengaruhi pembuatan keputusan, spt faktor keluarga, ekonomi, budaya … kaidah terkait justice) Etika Klinis. (Jonsen, siegler & winslade, 2002)
Pertimbangan Etika Klinis
Albert R. Jonsen. (1998). Clinical Ethics: A Practical Approach to Ethical Decisions in Clinical Medicine. [Fourth Edition]. McGraw Hill
188. Perlukaan Akibat Kekerasan Pelbagai jenis kekerasan o Kekerasan bersifat mekanik • Kekerasan tumpul • Kekerasan tajam • Tembakan senjata api
o Kekerasan bersifat alam • Luka akibat api • Luka akibat listrik
o Kekerasan bersifat kimiawi • Luka akibat asam keras • Luka akibat basa kuat
Luka Akibat Kekerasan Tumpul • Luka memar: Tampak sebagai bercak, biasanya berbentuk bulat/lonjong. Luka memar yang baru terjadi tampak sebagai bercak biru kemerahan dan agak menimbul. Proses penyembuhan menyebabkan warna bercak berubah menjadi kebiruan, kehijauan, kecoklatan, kekuningan dan akhirnya hilang saat terjadi penyembuhan sempurna dalam 710 hari.
Luka Akibat Kekerasan Tumpul • Luka lecet tekan/ vulnus ekskoriasi: Tampak sebagai bagian kulit yang sedikit mencekung, berwarna kecoklatan. Bentuknya memberikan gambaran bentuk benda penyebab luka.
• Luka lecet geser/ vulnus ekskoriasi: Bagian yang pertama bergeser memberikan batas yang lebih rata, dan saat benda tumpul meningalkan kulit yang tergeser berbatas tidak rata. Tampak goresan epidermis yang berjalan sejajar.
Luka Akibat Kekerasan Tumpul • Luka robek/ vulnus laceratum: Luka terbuka tepi tidak rata, pada salah satu sisi dapat ditemukan jejas berupa luka lecet tekan.
Luka Akibat Kekerasan Tajam • Luka tusuk/ vulnus punctum: Akibat kekerasan tajam yang mengenai kulit dengan arah kekerasan tegak terhadap permukaan kulit. Tepi luka rata. – Lebar luka menggambarkan lebar pisau yang digunakan. – Karena elastisitas kulit, dalamnya luka tidak menggambarkan panjangnya pisau
• Luka sayat/vulnus scissum: Akibat kekerasan tajam yang bergerak k.l sejajar dengan permukaan kulit. Panjang luka jauh melebihi dalamnya luka.
Luka Akibat Kekerasan Tajam • Luka bacok: Akibat kekerasan tajam dengan bagian “mata” senjata yang mengenai kulit dengan arah tegak. Kedua sudut luka lancip dengan luka yang cukup dalam.
Luka Bakar • Luka bakar api: menimbulkan kerusakan kulit yang bervariasi, tergantung pada tingginya suhu dan lamanya api mengenai kulit. – Luka bakar ringan kelainan hanya pada tebalnya kulit, berupa eritema,vesikel atau bula – Luka bakar sedangkerusakan sudah melewati tebalnya kulit – Luka bakar beratPengarangan jaringan/karbonifikasi
Luka Bakar • Luka bakar benda panas: kerusakan kulit terbatas, sesuai dengan penampang benda yang mengenai kulit. Bentuk luka sesuai dengan bentuk permukaan benda padat. • Luka bakar listrik: Benda beraliran listrik saat mengenai kulit, oleh tahanan yang terdapat pada kulit, akan menimbulkan panas yang dapat merusak kulit dalam bentuk luka bakar benda padat. Pada kulit basah, listrik dialirkan tanpa merusak kulit. – Bila listrik mengalir melewati medula oblongata pusat vital akan terganggu; melewati daerah jantungfibrilasi ventrikel; melewati otot sela igakejang otot pernafasan.
Luka Bakar/ Vulnus Combustio • Luka akibat petir: Tubuh yang tersambar petir memberikan gambaran pada kulit seperti cabang pohonarborescent mark. – Dapat terjadi pecahnya membrana timpani dengan perdarahan pada liang telinga – Pakaian compang camping dengan tepi yang terbakar
LukaTembak/ Vulnus Sclopetorum • Luka tembak masuk: pada tubuh korban tersebut akan didapatkan perubahan yang diakibatkan oleh berbagai unsur atau komponen yang keluar dari laras senjata api tersebut, seperti anak peluru, butir-butir mesiu yang tidak terbakar atau sebagian terbakar, asap atau jelaga, api, partikel logam, minyak pada anak peluru. • Luka tembak keluar: tidak adanya kelim lecet, kelimkelim lain juga tentu tidak ditemukan. Luka tembak keluar pada umumnya lebih besar dari luka tembak masuk.
189. SURAT KEMATIAN • Surat keterangan kematian adalah surat yang menyatakan bahwa seseorang sudah meninggal. • Surat keterangan kematian dibuat atas dasar pemeriksaan jenazah, minimal pemeriksaan luar. • Dalam hal kematian berkaitan dengan tindak pidana tertentu, pastikan bahwa prosedur hukum telah dilakukan sebelum dikeluarkan surat keterangan kematian. • Surat keterangan kematian tidak boleh dibuat bila seseorang yang mati diduga akibat suatu peristiwa pidana tanpa pemeriksaan kedokteran forensik terlebih dahulu.
Dasar Hukum Surat Kematian • Bab I pasal 7 KODEKI, “Setiap dokter hanya memberikan keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”. • Bab II pasal 12 KODEKI, “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”. • Pasal 267 KUHP: ancaman pidana untuk surat keterangan palsu. • Pasal 179 KUHAP: wajib memberikan keterangan ahli demi pengadilan, keterangan yang akan diberikan didahului dengan sumpah jabatan atau janji.
Manfaat Surat Kematian • Untuk kepentingan pemakaman jenazah • Kepentingan pengurusan asuransi, warisan, hutang,dll • Untuk tujuan hukum, pengembangan kasus kematian tidak wajar • Salah satu cara pengumpulan data statistik penentuan tren penyakit dan tren penyebab kematian pada masyarakat • Sumber data untuk penelitian biomedis maupun sosiomedis
190. PEMERIKSAAN MAYAT BAYI Hal yang perlu diperiksa adalah: • Berapa umur bayi dalam kandungan, apakah sudah cukup bulan untuk dilahirkan? (Untuk membedakan kasus abortus dengan kasus pembunuhan anak) • Apakah bayi lahir hidup atau sudah mati saat dilahirkan? (Untuk membedakan kasus stillbirth dengan bayi lahir hidup)
• Apakah ada tanda perawatan bayi? (Untuk membedakan kasus infantisida atau pembunuhan) • Apakah penyebab kematian bayi?
Infantisida (Pembunuhan Anak Sendiri) • Infanticide atau pembunuhan anak sendiri adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu dengan atau tanpa bantuan orang lain terhadap bayinya pada saat dilahirkan atau beberapa saat sesudah dilahirkan, oleh karena takut diketahui orang lain bahwa ia telah melahirkan anak. • Pasal berkaitan infantisida: pasal 341-343 KUHP.
Pemeriksaan dalam kasus Infantisida • Hal-hal yang harus ditentukan atau yang perlu dijelaskan dokter dalam pemeriksaannya adalah: – Berapa umur bayi dalam kandungan, apakah sudah cukup bulan untuk dilahirkan. – Apakah bayi lahir hidup atau sudah mati saat dilahirkan. – Bila bayi lahir hidup, berapa umur bayi sesudah lahir. – Apakah bayi sudah pernah dirawat. – Apakah penyebab kematian bayi.
Penentuan Usia Janin (1) • Bayi dianggap cukup bulan jika: Panjang badan di atas 45 cm, berat badan 2500 – 3500 gram, lingkar kepala lebih dari 34 cm. • Untuk menentukan umur bayi dalam kandungan, ada rumus empiris yang dikemukakan oleh De Haas, yaitu menentukan umur bayi dari panjang badan bayi. – Untuk bayi (janin) yang berumur di bawah 5 bulan, umur sama dengan akar pangkat dua dari panjang badan. Jadi bila dalam pemeriksaan didapati panjang bayi 20 cm, maka taksiran umur bayi adalah Ö20 yaitu antara 4 sampai 5 bulan dalam kandungan atau lebih kurang 20 – 22 minggu kehamilan. – Untuk janin yang berumur di atas 5 bulan, umur sama dengan panjang badan (dalam cm) dibagi 5 atau panjang badan (dalam inchi) dibagi 2.
Penentuan Usia Janin (2) • Keadaan ujung-ujung jari: apakah kuku-kuku telah melewati ujung jari seperti anak yang dilahirkan cukup bulan atau belum. Garisgaris telapak tangan dan kaki dapat juga digunakan, karena pada bayi prematur garis-garis tersebut masih sedikit. • Keadaan genitalia eksterna: bila telah terjadi descencus testiculorum maka hal ini dapat diketahui dari terabanya testis pada scrotum, demikian pula halnya dengan keadaan labia mayora apakah telah menutupi labia minora atau belum; testis yang telah turun serta labia mayora yang telah menutupi labia minora terdapat pada anak yang dilahirkan cukup bulan dalam kandungan si-ibu. • Hal tersebut di atas dapat diketahui bila bayi segar, tetapi bila bayi telah busuk, labia mayora akan terdorong keluar.
Penentuan Usia Janin (3) Berdasarkan ukuran lingkaran kepala: • Bayi 5 bulan : 38,5-41 cm • Bayi 6 bulan : 39-42 cm • Bayi 7 bulan : 40-42 cm • Bayi 8 bulan : 40-43 cm • Bayi 9 bulan : 41-44 cm
Penentuan Usia Janin (4) • Pusat penulangan diperiksa pada 2 tempat yaitu yaitu pada telapak kaki dan lutut. • Pada telapak kaki pemeriksaan ditujukan kepada tulang talus, calcaneus dan cuboid. – Adanya pusat penulangan di tulang talus menunjukkan bayi telah berumur 7 bulan, tulang calcaneus 8 bulan dan tulang cuboid 9 bulan.
• Di lutut ditujukan untuk memeriksa pusat penulangan di proksimal tulang tibia dan distal femur. – Adanya pusat penulangan pada kedua tulang tersebut menunjukkan bayi telah berumur 9 bulan dalam kandungan (cukup umur).
Penentuan Bayi Lahir Hidup/ Mati • Pemeriksaan luar: Pada bayi yang lahir hidup, pada pemeriksaan luar tampak dada bulat seperti tong . biasanya tali pusat masih melengket ke perut, berkilat dan licin. Kadang-kadang placenta juga masih bersatu dengan tali pusat. Warna kulit bayi kemerahan. • Penentuan apakah seorang anak itu dilahirkan dalam keadaan hidup atau mati, pada dasarnya adalah sebagai berikut: – – – –
Adanya udara di dalam paru-paru. Adanya udara di dalam lambung dan usus, Adanya udara di dalam liang telinga bagian tengah, dan Adanya makanan di dalam lambung.
• Penentuan pasti dengan tes apung paru.
Tes Apung Paru • Keluarkan paru-paru dengan mengangkatnya mulai dari trachea sekalian dengan jantung dan timus. Kesemuanya ditaruh dalam baskom berisi air. Bila terapung artinya paru-paru telah terisi udara pernafasan. • Untuk memeriksa lebih jauh, pisahkan paru-paru dari jantung dan timus, dan kedua belah paru juga dipisahkan. Bila masih terapung, potong masing-masing paru-paru menjadi 12 – 20 potongan-potongan kecil. Bagian-bagian ini diapungkan lagi. Bagian kecil paru ini ditekan dipencet dengan jari di bawah air. Bila telah bernafas, gelembung udara akan terlihat dalam air. Bila masih mengapung, bagian kecil paru-paru ditaruh di antara 2 lapis kertas dan dipijak dengan berat badan. Bila masih mengapung, itu menunjukkan bayi telah bernafas. Sedangkan udara pembusukan akan keluar dengan penekanan seperti ini, jadi ia akan tenggelam.
Bayi Lahir Mati: Still birth vs Dead Born • Still birth, artinya dalam kandungan masih hidup, waktu dilahirkan sudah mati. Ini mungkin disebabkan perjalanan kelahiran yang lama, atau terjadi accidental strangulasi dimana tali pusat melilit leher bayi waktu dilahirkan.
• Dead born child, di sini bayi memang sudah mati dalam kandungan. Bila kematian dalam kandungan telah lebih dari 2 – 3 hari akan terjadi maserasi pada bayi. Ini terlihat dari tanda-tanda: – – – – –
Bau mayat seperti susu asam. Warna kulit kemerah-merahan. Otot-otot lemas dan lembek. Sendi-sendi lembek sehingga mudah dilakukan ekstensi dan fleksi. Bila lebih lama didapati bulae berisi cairan serous encer dengan dasar bullae berwarna kemerah-merahan. – Alat viseral lebih segar daripada kulit. – Paru-paru belum berkembang.
Ada/ Tidaknya Tanda Perawatan Tidak adanya tanda perawatan adalah sbb: • Tubuh masih berlumuran darah, • Ari-ari (placenta), masih melekat dengan tali pusat dan masih berhubungan dengan pusar (umbilicus), • Bila ari-ari tidak ada, maka ujung tali pusat tampak tidak beraturan, hal ini dapat diketahui dengan meletakkan ujung tali pusat tersebut ke permukaan air, • Adanya lemak bayi (vernix caseosa), pada daerah dahi serta di daerah yang mengandung lipatan-lipatan kulit, seperti daerah lipat ketiak, lipat paha dan bagian belakang bokong. • Tidak adanya tanda perawatan menunjukkan kemungkinan besar kasus tersebut adalah pembunuhan anak sendiri (infantisida).
THT-KL
191. Abses Leher Dalam DIAGNOSIS
C L I N I C A L F E AT U R E S
ABSES PERITONSIL
Odynophagia, otalgia, vomit, foetor ex ore, hypersalivation, hot potato voice, & sometimes trismus.
ABSES PARAFARING
1.Trismus, 2. Angle mandible swelling, 3. Medial displacement of lateral pharyngeal wall.
ABSES RETROFARING
In children: irritability,neck rigidity, fever,drolling,muffle cry, airway compromise In adult: fever, sore throat, odynophagia, neck tenderness, dysnea
SUBMANDIBULAR Fever, neck pain, swelling below the mandible or tongue. Trismus often ABSCESS found. If spreading fast bilateral, cellulitis ludwig angina LUDWIG/LUDOVI CI ANGINA
Swelling bilaterally, hypersalivation, airway obstrution caused by retracted tongue, odynophagia, trismus, no purulence (no time to develop)
1) Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. 3) Cummings otolaryngology. 4th ed. Mosby; 2005.
Abses Leher Dalam ABSES PERITONSIL
ABSES RETROFARING
ABSES PARAFARING
ABSES SUBMANDIBULA
ANGINA LUDOVICI
ISPA, limfadenitis retrofaring
Penjalaran infeksi
GEJALA DAN TANDA
Odinofagia, otalgia, regurgitasi, foetor ex ore, hipersalivasi, trismus
Nyeri, disfagia, demam, leher kaku, sesak napas, stridor
Trismus, Trismus, pembengkakan bawah indurasi sekitar angulus mandibula/ bawah lidah, mandibula fluktuasi
Nyeri, dasar mulut membengkak mendorong lidah kebelakang
PEMERIKSAAN
Paltum mole bengkak, uvula terdorong, detritus
Dinding belakang faring ada benjolan unilateral
rontgen
rontgen
Riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi
TERAPI
Antibiotik, obat kumur, pungsi, insisi, tonsilektomi
AB parenteral dosis tinggi, insisi abses
AB parenteral dosis tinggi, insisi
AB parenteral dosis tinggi, insisi
AB parenteral dosis tinggi, insisi
ETIOLOGI
Komplikasi tonsilitis
Penjalaran infeksi
Selulitis ec penjalaran infeksi
Abses Leher Dalam
Peritonsillar abscess
Parapharyngeal abscess
Retropharyngeal abscess
Submandibular abscess
Abses Peritonsil/ Quinsy Pe r i t o n s i l l a r a b s c e s s Inadequately treated tonsillitis spread of infection pus formation between the tonsil bed & tonsillar capsule
Symptoms & Signs Quite severe pain with referred otalgia Odynophagia & dysphagia drooling Irritation of (medial/internal) pterygoid musculature by pus & inflammation trismus unilateral swelling of the palate & anterior pillar displace the tonsil downward & medially uvula toward the opposite side
T h e ra p y Needle aspiration: if pus (-) cellulitis antibiotic. If pus (+) abscess . If pus is found on needle aspirate, pus is drained as much as possible.
Abses Peritonsil • Abses peritonsil terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya unilateral • Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. • Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), hipersalivasi, suara sengau, dan (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan • Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan, tampak permukaan hiperemis. • Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan kekuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak, dan terdorong ke sisi kontralateral. • Bila terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya menyebabkan iritasi m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus.
Waktu (setelah tonsilitis akut) Trismus
Infiltrat peritonsil 1—3 hari
Abses peritonsil 4—5 hari
Biasanya kurang/ tidak ada
Ada
Untuk memastikan infiltrate atau abses peritonsil, dilakukan pungsi percobaan di tempat yang paling bombans (umumnya pada kutub atas tonsil). • Jika pus (+): abses • Jika pus (-): infiltrate Terapi abses peritonsil: Stadium infiltrasi • Antibiotika dosis tinggi penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg). • Obat simtomatik • Kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
• •
Stadium abses Bila telah terbentuk abses, dilakukan insisi drainase. Kemudian dianjurkan operasi tonsilektomi, paling baik 2-3 minggu sesudah drainase abses.
192. Angiofibroma nasofaring tipe juvenile •
Angiofibroma juvenile: – Tumor jinak pembuluh darah di nasofaring – Etiologi: masih belum diketahui, namun diduga berasal dari dinding posterolateral atap rongga hidung – Ciri-ciri: laki-laki, usia 7-19 tahun, jarang >25 tahun – Gejala klinis: hidung tersumbat yang progresif & epistaksis berulang yang masif – Obstruksi sekret tertimbun rinorea kronik gangguan menghidu – Bila menutup tuba tuli, otalgia, bila ke intrakranial sefalgia hebat
•
Rinoskopi posterior: – Massa tumor kenyal, warna abu-abu, merah muda, kebiruan – Mukosa tumor hipervaskularisasi, dapat ulserasi
•
Sifat: secara histologi jinak, secara klinis ganas karena dapat mendestruksi tulang
Anatomy of JNA • • •
Rare, benign Locally destructive fibrovascular tumour Controversial: The lesion originates in posterolateral wall in the roof of nasopharynx, close proximity to the posterior attachment of the middle turbinate and the superior border of the sphenopalatine foramen.
Extension of Juvenille Nasopharyngeal Angiofibroma: • Medially into nasopharynx or nasal cavity • Laterally into – –
Infratemporal fossa middle cranial fossa Pterygopalatine fossa infraorbital fissure orbit fissure infraorbital
Pterygopalatine fossa
orbit
Infratemporal fossa
Hormonal & Growth Factor Influence in JNA • The most accepted theory is that JNAs originate from sex steroid (androgen, tertosterone, DHT, estrogen) – stimulated hamartomatous tissue located in the turbinate cartilage. • The proposed hormonal influence explains why some JNAs involute after puberty. • The angiogenic growth factor (vascular endothelial growth factor (VEGF)) has been found localized on both endothelial and stromal cells, indicating both cell types play a role in tumour development. • Overexpression of insulin-like growth factor II (IGFII) • Another theory: Nonchromaffin paraganglionic cells
Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma • This tumour is almost exclusively found in adolescent boys, so there is much speculation and indirect evidence that sex-hormone receptors play some part in its development. • Symptoms – – – – –
Nasal obstruction (80-90%) - Most frequent symptom Epistaxis (45-60%) - Mostly unilateral and recurrent Headache (25%) - Especially if paranasal sinuses are blocked Facial swelling (10-18%) Other symptoms - Unilateral rhinorrhea, anosmia, hyposmia, rhinolalia, deafness, otalgia, swelling of the palate, deformity of the cheek
• Sign – – – –
Nasal mass (80%) Orbital mass (15%) Proptosis (10-15%) Other signs include serous otitis due to eustachian tube blockage, zygomatic swelling, and trismus that denote spread of the tumor to the infratemporal fossa, decreasing vision due to optic nerve tenting (rare)
Diffuse swelling (arrow) is seen in the molar region on the right side of the face.
Well-circumscribed, ovoid swelling (arrow) is seen in the midline of the soft palate.
• Macroscopic well defined, mucosalised, red/purple lobulated mass arising in the nasopharynx from the lateral wall, posterior tomiddle turbinate
Pathology cont… Microscopic – • Consists of proliferating, irregular vascular channels within a fibrous stroma. • Vascular component is more in young tumours and as age increases, collagen content increases. • Fibrous tissue increases towards periphery and vascular element tends to be more central.
Pathology cont… • Tumour blood vessels typically lack smooth muscle and elastic fibres, this is the reason for sustained bleeding. • Cellular infiltration with plasma cells, lymphocytes, polymorphs, eosinophils can be present. • Stromal compartment consists spindle or stellate plump cells that give rise to varying amounts of collagen which makes some tumours very hard or firm. • Mucous glands can be seen in superficial parts of the tumour underneath the epithelial covering.
Pemeriksaan Penunjang • Plain radiograph – Holman-miller sign The anterior bowing of the posterior wall of the maxillary antrum which is seen on lateral skull film or cross-sectional imaging. – visualisation of a nasopharyngeal mass – opacification of the sphenoid sinus – widening of the pterygmaxillary fissure and pterygopalatine fossa – erosion of the medial pterygoid plate
• CT Scan – lobulated non-encapsulated soft tissue mass is demonstrated centred on the sphenopalatine foramen – Holman miller sign
• MRI • Angiography – Defining feeding vessels and preoperative embolization • External carotid artery • Internal carotid artery
X-Ray •
•
•
•
Plain lateral view skull x-ray – Anterior bowing of the posterior wall of the maxillary sinus can be seen, called Holman-miller sign/ Antral sign pathognomonic of angiofibroma, but also seen in slow growing tumor like neurofibroma X-ray paranasal opacification of the sphenoid sinus which may spread to also include the maxillary and ethmoid sinuses. Now-a-days, the diagnosis is based on the CT and MR appearances that are sometimes confirmed by angiography. Biopsy is contra-indicated because of brisk haemorrhage.
CT Scan • The exact extent or stage of the tumour can only be determined by a combination of CT and MR imaging and this is vital for planning the surgical resection. • CT is excellent for bone detail. • Both plain and contrast (lesion enhances) CT should be done. • CT reveals the extent of the lesion and helps in staging of the disease. • CT scan best ilustrate an anterior bowing to the posterior maxillary sinus wall (Holman Miller sign) in cross sectional (axial/ sagittal) imaging due to tumor in the pterygomaxillary space on axial CT
Coronal CT: soft tissue window with contrast showing
Axial CT: soft tissue window with contrast showing
• Homogenous enhancement
• Homogenous enhancement
• Widening of left sphenopalatine foramen
• Widening of right sphenopalatine foramen
• Extension into nasopharynx and pterygopalatine fossa
• Extension into nasopharynx and pterygopalatine fossa
MRI • MRI reveals the precise extent of the mass. • It differentiates tumour from other soft tissue structures.
Angiography • Diagnostic angiography is performed to identify the feeder vessel and to embolise it preoperatively. • Supply of these tumours is usually via: – external carotid artery: majority • internal maxillary artery • ascending pharyngeal artery • palatine arteries
– internal carotid artery: less common, usually in larger tumours • sphenoidal branches • ophthalmic artery
Treatment • Radiotherapy – Stereotactic radiotherapy (ie, Gamma Knife) delivers a lower dose of radiation to surrounding tissues. – Conformal radiotherapy in extensive juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) or intracranial extension provides a good alternative to conventional radiotherapy
• Surgery – A lateral rhinotomy, transpalatal, transmaxillary, or sphenoethmoidal route is used for small tumors – The infratemporal fossa approach is used when the tumor has a large lateral extension.
• Preoperative embolization • Hormonal therapy – The testosterone receptor blocker flutamide was reported to reduce stage I and II tumors to 44%. Despite tumor reduction with hormones, this approach is not routinely used.
193. Vocal Cord Anatomy • Supraglotis: Ruang laryngeal diatas plika ventricularis. • Glotis: antara plika ventricularis & plika vocalis • Subglotis: ruang laryngeal dibawah plica vocalis Gray’s anatomy for students. 2nd ed. Saunders.
Nodul Pita Suara/Vocal nodule • Kelainan ini biasanya disebabkan oleh penggunaan suara dalam waktu lama, seperti pada seorang guru, penyanyi dan sebagainaya. • Keluhan: suara parau, batuk. • Pada pemeriksaan fisik: nodul pita suara, sebesar kacang hijau berwarna keputihan. Predileksi di sepertiga anterior pita suara dan sepertiga medial. Nodul biasanya bilateral. • Pengobatan: istirahat bicara dan voice therapy. Tindakan bedah mikro dilakukan bida dicurigai adanya keganansan atau lesi fibrotik.
• Polip pita suara: lesi bertangkai pada seprtiga anterior, sepertiga tengah atau seluruh pita suara. Pasien biasa mengeluhkan suara parau. • Kista pita suara: kista retensi kelenjar minor laring, terbentuk akibat tersumbatnya kelenjar tersebut Faktor risiko: iritasi kronis, GERD dan infeksi. • Keganasan laring: Keganasan pada daerah laring, faktor risiko berupa perokok, peminum alkohol dan terpajan sinar radioaktif.
Diagnosi s
Charact e r ist ic
Polip pita suara
Penyebab: inflamasi kronik. Polip bertangkai, unilateral. Di sepertiga anterior/medial/seluruhnya. Dapat terjadi di segala usia, umumnya dewasa. Gejala: parau. Jenis: polip mukoid (keabu-abuan & jernih) & polip angiomatosa (merah tua).
Papilloma laring
Tumbuh pada pita suara anterior atau subglottik. Seperti buah murbei, putih kelabu/kemerahan. Sangat rapuh, tidak berdarah, & sering rekuren. Gejala: parau, kadang batuk, sesak napas. Terapi: ekstirpasi.
Carcinoma
Faktor risiko: merokok. Gejala: serak, dispnea, stridor, batuk (jarang pada tumor glotik), hemoptisis (tumor glotik & supraglotik), pembesaran KGB leher. Laringoskopi: tampak rapuh, nodular, ulseratif atau perubahan warna mukosa.
Nodul pita suara
Penyebab: penyalahgunaan suara dalam waktu lama. Suara parau. Laringoskopi: nodul kecil berwarna keputihan sebesar kacang hijau, umumnya bilateral, di sepertiga anterior/medial.
Laringitis
Gejala umum: demam, malaise. Gejala lokal: suara parau, afoni, nyeri ketika menelan atau berbicara, gejala sumbatan laring. Batuk kering atau kemudian berdahak. PF: mukosa laring hiperemis, edema terutama di atas & di bawah pita suara, biasanya juga ada tanda radang di hidung atau sinus paranasal atau paru. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Laryngeal Disease
Papillomatosis
Vocal nodules Vocal cord polyp
Laringitis Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
194. Laryngeal Cancer: Anatomy
The Anatomy of the Larynx
pgmedicalworld.com
Figure 23.4
Vaezi, MF . Nature Clinical Practice Gastroenterology & Hepatology (2005) 2, 595-603
Anatomy – subdivision
Source: AJCC Cancer Staging Manual, 6th Ed (2002)
Laryngeal Cancer
Epidemiology • Most common head and neck CA (excluding skin) • The laryngeal cancer can develop mostly in three parts of the larynx: – The glottis – The supraglottis – The subglottis • Male : Female = 4 : 1 • > 90% squamous cell cancer Incidence by Site (US) Supraglottic
40%
Glottic
59%
Subglottic
1%
American Cancer Society: Cancer Facts and Figures 2008. Atlanta, Ga: American Cancer Society, 2008.
Risk Factors • Age. Cancer of the larynx occurs most often in people over the age of 55. • Gender. Men are four times more likely than women to get cancer of the larynx. • Race. African Americans are more likely than whites to be diagnosed with cancer of the larynx. • Smoking. Smokers are far more likely to get cancer of the larynx. • Alcohol. People who drink alcohol are more likely to develop laryngeal cancer • A personal history of head and neck cancer. Almost one in four people who have had head and neck cancer will develop a second primary head and neck cancer. • Occupation. Workers exposed to sulfuric acid mist or nickel or asbestos have an increased risk of laryngeal cancer. • HPV, GERD implicated
Clinical Presentation • Signs and symptoms – Mass effect: hoarseness, dysphagia, hemoptysis, neck mass, airway compromise (difficulty breathing), aspiration – Throat pain, ear pain (referred through CN X branch) • Suggests advanced stage
– Hoarseness = allow for early detection of glottic cancer – Supraglottic CA = tend to present later • Usually present w/bulkier tumors before Si/Sx present • More likely to present w/node mets d/t richer lymphatics
– Weight loss
• Gejala & tanda keganasan laring: – – – – – – – – – – –
suara serak, disfagia, hemoptisis, massa di leher, nyeri tenggorok, nyeri telinga, Batuk persisten Bau mulut gangguan jalan napas, & aspirasi. Laringoskopi: laring tampak penonjolan seperti jamur, friabel (mudah berdarah), nodular, ulseratif, atau perubahan warna saja.
Clinical Presentation – cont’ • Physical Exam – Complete head and neck exam • Palpation for nodes; restricted laryngeal crepitus.
– Quality of voice • Breathy voice = cord paralysis • Muffled voice = supraglottic lesion
– Laryngoscopy • Laryngeal mirror • Fiberoptic exam (lack depth perception) • Note: contour, color, vibration, cord mobility, lesions.
– Stroboscopic video laryngoscopy • Highlights subtle irregularities: vibration, periodicity, cord closure
Laryngeal cancer workup • Radiology – Contrast-enhanced CT scan and MRI extension of tumor into vita structure – Chest X-ray present metastasis – PET-CT
• Laboratory – CBC, blood gas, thyroid function, renal and hepatic function
• Histopathology – 96% squamous cell carcinoma – squamous cell carcinoma means that abnormal-appearing squamous cells, and often keratin, are beneath the area where the usual basement membrane lies.
Imaging • CT or MRI – Evaluate pre-epiglottic or paraglottic space – Laryngeal cartilage erosion – Cervical node mets
• PET – Role under investigation, currently not standard of care – Specific application • Identifying occult nodal mets • Distinguish recurrence vs radionecrosis or other prior tx sequalae
• Ultrasound – In Europe: used to identify cervical mets and laryngeal abn.
• Direct laryngoscopy with biopsy • Histologic subtypes – Squamous cell carcinoma • > 90% of causes • Linked to tobacco and excessive alcohol
(R) Source: http://www.medscape.com/content/2002/00/44/25/442595/442595_fig.html
(L) Source: http://www.som.tulane.edu/classware/pathology/medical_pathology/New_for_98/Lung_Review/Lung-62.html
Treatments – Options • Surgery – – – – –
Microlaryngeal surgery Hemilargyngectomy Supraglottic laryngectomy Near-total laryngectomy Total laryngectomy
• Photodynamic Therapy • Radiation • Chemothrapy – Cisplatin + 5-fluorouracil
195. Polip • Etiologi:Inflamasi kronik, disfungsi otonom, predisposisi genetik • Polip berasal dari kompleks ostiomeatal di meatus medius dan sinus etmoid • Mulanya, pasien mengalami hidung buntu kronik karena polip. Selanjutnya, berkomplikasi menjadi sinusitis dengan adanya sekret berbau
Polyp • Polyp is a white-greyish soft tissue containing fluid within nasal cavity, which is caused by mucosal inflammation. • Nasal polyps do not occur in children except in the presence of cystic fibrosis. • Symptoms & signs: – nasal obstruction, nasal discharge, hyposmia, sneezing, pain, frontal headache. – Rhinoscopy: pale mass at meatus medius, smooth & moist, pedunculated and move on probing.
• Therapy:
– Corticosteroid (eosinophilic polyp has good response compared with neutrophilic polyp) – polipectomy if no improvement.
Hidung Tersumbat
• Anamnesis: – hidung tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia. – Dapat disertai bersin, nyeri hidung dan sakit kepala di frontal. – Bila disertai infeksi sekunder, terjadi PND dan sekret purulen. – Gejala sekunder: napas lewat mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur • PF: massa pucat dari meatus medius, mudah digerakkan,bisa menyebabkan pelebaran hidung karena polip yang masif • Penunjang: nasoendoskopi, radiologi (foto polos sinus paranasal, CT scan) • Terapi: steroid (polipektomi medikamentosa) tidak membaik, polipektomi bedah
Diagnosis Banding Sumbatan Hidung • Septum deviasi: keadaan dimana septum nasi tidak lurus di tengah • Angiofibroma nasofaring: tumor jinak pembuluh darah yang memiliki kemampuan untuk mendestruksi tulang dan jaringan sekitarnya. • Rhinitis alergi: penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan berulang. • Sinusitis: inflmasi mukosa sinus paranasal, biasanya dipicu oleh rhinitis.
Contoh Polip
Gambar diunduh dari: http://thtkl.wordpress.com/tag/polip-hidung/
196. Otitis Media Otitis media supuratif kronik • Infeksi kronik dengan sekresi persisten/ hilang timbul (> 2 bulan) melalui membran timpani yang tidak intak. • Mekanisme perforasi kronik mengakibatkan infeksi persisten: – Kontaminasi bakteri ke telinga tengah secara langsung melalui celah – Tidak adanya membran timpani yang intak menghilangkan efek "gas cushion" yang normalnya mencegah refluks sekresi nasofaring.
• Petunjuk diagnostik: – Otorea rekuren/kronik – Penurunan pendengaran – Perforasi membran timpani 1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, & throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Media •
Chronic serous otitis media/glue ear/mucous OM – If a serous effusion continues for weeks the mucous glands of the middle ear & eustachian tube tend to proliferate & secrete more actively the fluid can progressively thicken “glue” (gelatinous mucus). – Findings: • As fluid increases & thickens, with loss of any air content, the drum may look darker, thick, or dull. • The serous and mucous ear effusions are usually sterile & do not cause the diffuse thick redness . • Audiometry will document conductive hearing loss.
– Th: myringotomy & inserting ventilation pipe (Grommet)
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. 3) Menner, a pocket guide to ear. 2003.
Otitis Media Supuratif Kronik Klasifikasi OMSK:
• Tipe benign/mucosal: – Tidak melibatkan tulang. – Tipe perforasi: sentral. – Th/: ear wash with H2O2 3% for 3-5 days, ear drops AB & steroid, systemic AB
Large central perforation
• Tipe malignant/tulang: – Melibatkan tulang atau kolesteatoma. – Tipe perforasi: marginal atau attic. – Th/: mastoidektomi. 1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Cholesteatoma at attic type perforation
Otitis Media Supuratif Kronik • Tanda dini OMSK tipe maligna: – Adanya perforasi marginal atau atik, – Tanda lanjut • abses atau fistel aurikular, • polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah, • terlihat kolesteatoma pada telinga tengah (sering terlihat di epitimpanum), • sekret berbentuk nanah & berbau khas, • terlihat bayangan kolesteatoma pada foto mastoid.
Terapi OMSK • OMSK tipe benigna: – Secara umum terapi OMSK jinak adalah konservatif. – Obat yang dapat digunakan berupa obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari, antibiotik (penggunaan antara 1-2 minggu) dan antibiotik oral. – Miringoplasti atau timpanoplasti dapat dilakukan setelah dua bulan ketika keadaan sekret sudah kering.
• OMSK tipe Maligna – Terapi medis OMSK bertujuan mengeringkan penyakit sebelum operasi atau menangani komorbiditas – Antibiotik yang digunakan adalah fluorokuinolon (tetes) karena tidak ototoksik.
197. Pembagian Komplikasi Otitis Media (Souza dkk, 1999) Komplikasi Otitis Media dibagi menjadi: • Komplikasi Intratemporal telinga tengah, rongga mastoid, telinga dalam (Mastoiditis, Facial palsy, Labrynthitis, Labrynthine fistula Petrositis, Postauricular fistula Subperiosteal abscess) • Komplikasi Ekstratemporal : – Komplikasi intrakranial abses ekstradura, abses subdura, abses otak, meningitis, tromboflebitis sinus lateralis, hidrosefalus otikus – Komplikasi ekstrakranial abses retroaurikuler, abses Bezold’s, abses Luc’s, abses Citelli, abses zigomatikus
Komplikasi OMSK
http://www.medscape.com/viewarticle/463782_3
Abses Bezolds • •
A rare complication of mastoiditis Pathogenesis: – The mastoid tip is composed of thinwalled air cells – Accumulation of pus from the mastoiditis, erodes the thin medial side of mastoid tip
•
Clinical manifestation: – The symptoms may present with acute or chronically, with time of symptom onset to diagnosis ranging from 3 days to 3 years – neck pain – neck mass – post auricular pain – Otalgia – Otorrhea – hearing loss – Less commonly, fever, headache, hearing loss, facial paralysis, or cervical lymphadenopathy.
198. Karsinoma Nasofaring • Karsinoma nasofaring merupakan keganasan pada nasofaring dengan predileksi pada fossa Rossenmuller. Prevalensi tumor ganas nasofaring di Indonesia cukup tinggi, 4,7 per 100.000 penduduk. • Faktor risiko meliputi: infeksi oleh EBV, makanan berpengawet, dan genetik • Gejala: Gejala Nasofaring – Epistaksis ringan, sumbatan hidung Gejala mata – Diplopia Gejala telinga – Tinitus, Otalgia, Hearing loss Gejala Neural – Gejala yang berhubungan dengan nervus cranial V, IX, X, XI, XII
• Pengobatan diarahkan pada kemoterapi dan radioterapi.
Karsinoma Nasofaring Insepsi
Invasi lokal
• Genetik • Lingkungan • Viral
• Mukus campur darah • Sumbatan tuba eustachius
Silent period
Penyebaran sistemik
Kelenjar limfe retrofaringeal/penyebaran lokoregional (paranasofaringeal/parafarin geal, erosi dasar tengkorak)
Manifestasi Klinis Gejala dapat dibagi dalam lima kelompok, yaitu: 1. Gejala nasofaring 2. Gejala telinga 3. Gejala mata 4. Gejala saraf 5. Metastasis atau gejala di leher
Manifestasi Klinis • Gejala telinga: – rasa penuh di telinga, – rasa berdengung, – rasa tidak nyaman di telinga – rasa nyeri di telinga, – otitis media serosa sampai perforasi membran timpani – gangguan pendengaran tipe konduktif, yang biasanya unilateral
Manifestasi Klinis • Gejala hidung: – ingus bercampur darah, – post nasal drip, – epistaksis berulang – Sumbatan hidung unilateral/bilateral
• Gejala telinga, hidung, nyeri kepala >3 minggu sugestif KNF
Manifestasi Klinis • Gejala lanjut Limfadenopati servikal • Penyebaran limfogen • Konsistensi keras, tidak nyeri, tidak mudah digerakkan • Soliter • KGB pada leher bagian atas jugular superior, bawah angulus mandibula
Manifestasi Klinis • Gejala lokal lanjut gejala saraf • Penjalaran petrosfenoid dapat mengenai saraf anterior (N II-VI), sindroma petrosfenoid Jacob • Penjalaran petroparotidean mengenai saraf posterior (N VII-XII), sindrom horner, sindroma petroparatoidean Villaret
DIAGNOSIS • • • • • •
Rhinoskopi posterior Nasofaring direct/indirect Biopsi CT Scan/ MRI FNAB KGB Titer IgA anti : – VCA: sangat sensitif, kurang spesifik – EA: sangat kurang sensitif, spesifitas tinggi
• • • • • •
DPL Evaluasi gigi geligi Audiometri Neurooftalmologi Ro Torax USG Abdomen, Liver Scinthigraphy • Bone scan
Staging • Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (2002)
• • • • • • • •
• • • • •
T : tumor primer T1 : tumor terbatas di nasofaring T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau fossa hidung T2a – tanpa perluasan ke parafaring T2b – dengan perluasan ke parafaring T3 : tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal T4 : tumor dengan perluasan intracranial dan/atau keterlibatan saraf cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbit N : pembesaran kelenjar getah bening regional Nx : tidak jelas adanya keterlibatan kelenjar getah benih (KGB) N0 : tidak ada keterlibatan KGB N1 : metastasis pada KGB ipsilateral tunggal, 6 cm atau kurang di atas fossa supraklabikula N2 : metastasis bilateral KGB, 6 cm atau kurangm di atas fossa supraklavikula N3a : > 6 cm N3b : pada fossa supraklavikula M : metastasis jauh M0 : tidak ada metastasis jauh M1 : ada metastasis jauh
PENGOBATAN • Radioterapi Stadium dini tumor primer Stadium lanjut tumor primer (elektif), KGB membesar • Kemoterapi Stadium lanjut / kekambuhan sandwich • Operasi – sisa KGB diseksi leher radikal – Tumor ke ruang paranasofaringeal/ terlalu besar nasofaringektomi
199. Otomikosis • The infection may be either sub acute or acute and is characterized by inflammation, pruritis, scaling and severe discomfort. • The mycosis results in inflammation, superficial epithelial masses of debris containing hyphae, suppuration and pain. • In addition, symptoms of hearing loss and aural fullness are as a result of accumulation of fungal debris in the canal.
Pak J Med Sci. 2014 May-Jun; 30(3): 564–567.
Otomikosis (Fungal Otitis Externa)
Tatalaksana Asam asetat 2% dalam alkohol atau povidon iodine 5% atau antifungal topikal (nistatin/clotrimazol 1%) Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otomikosis (Fungal Otitis Externa)
• Univariate analysis showed that the predisposing factors for otomycosis were: – frequent swimming in natural or artificial pools (Relative Risk (RR) 3.7; CI 1.7-8.1), – daily ear cleaning (RR 3.5; CI 1.8-6.8) and – excessive use of eardrops containing antibiotics and corticoids (RR = 9.3; IC95% = 4.3-20.1).
• The most common etiologic agents were: – Aspergillus flavus (20.4%), Candida albicans (16.3%), Candida parapsilosis (14.3%), & Aspergillus niger (12.2%).
200. Audiologic Testing in Pediatric • Brainstem evoked response audiometry: – BERA is a series of scalp-recorded electrical potentials generated in the auditory nerve and brainstem during the first 10 to 20 ms after the onset of a transient stimulus. – Can be used in infant, children, adults, & comatose patient.
Buku ajar THT KL FKUI Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.
Audiologic Testing in Pediatric • Behavioral observation audiometry – Behavioral reflex audiometry: to observe reflex evoked by sound eye widening, grimacing, auropalpebral reflex, moro reflex, cessation reflex. – Behavioral response audiometry (5-6 month) to evoke spesific response: moving head toward sound.
• Play audiometry (2-5 year) – a kid is trained to do spesific task (games) when hearing sound stimulus. Buku ajar THT KL FKUI Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.
Audiologic Testing in Pediatric • Tympanometry: – To assess middle air condition by placing probe tone in ear canal to sense the pressure based on the sound energy reflected from middle ear.
• Otoacoustic emission: – objective, noninvasive, and rapid measures used to determine cochlear outer hair cell function. – Evoked OAE are acoustic signals generated by the cochlea in response to auditory stimulation. Buku ajar THT KL FKUI Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.
Audiologic Testing in Pediatric • Pure tone audiometry: – The audiogram is a graph that depicts threshold as a function of frequency. Threshold is defined as the softest intensity level that a pure tone (single frequency) can be detected 50% of the time.
Audiologic Testing in Pediatric TEST
MECHANISM
Otoacoustic emission (OAE) (all ages)
₋ Physiologic test specifically measuring cochlear (outer hair cell) response to presentation of a stimulus Evoked OAE are acoustic signals generated by the cochlea in response to auditory stimulation. ₋ Objective, rapid, simple, non-invasive, test for hearing defects in newborn babies and in children who are too young to cooperate in conventional hearing tests
Auditory brainstem respons/ Brainstem evoked response audiometry (BERA/ABR) (automated ABR birth to 9 mo) (Diagnostic ABR all ages)
₋ an auditory evoked potential extracted from ongoing electrical activity in the brain and recorded via electrodes placed on the scalp.; ₋ The resulting recording is a series of vertex positive waves of which I through V are evaluated; ₋ used for newborn hearing screening, auditory threshold estimation, intraoperative monitoring, determining hearing loss type and degree, and auditory nerve and brainstem lesion detection
TEST
MECHANISM
Behavioural observation audiometry (BOA) (birth to 6 month)
₋ Behavioral reflex audiometry: to observe reflex evoked by sound eye widening, grimacing, auropalpebral reflex, moro reflex, cessation reflex. ₋ BOA is known to be a test of limited reliability: some babies will appear to respond even though they may not have heard, and others will have heard but not demonstrated any observable response.
Visual reinforcement audiometry (VRA) (6-9 mo to 2-3 years old)
₋ Behavioral tests measuring responses of the child to speech and frequency-specific stimuli presented through speakers or insert earphones ₋ VRA requires a calibrated, sound-treated room ₋ VRA uses lighted and/or animated toys that are flashed on simultaneously (as a reinforcer) with the presentation of an auditory signal (warble tones, narrow band noise or speech) during a conditioning period.
Play Audiometry (2.5 to 4 y)
- Behavioral test of auditory thresholds in response to speech and frequency-specific stimuli presented through earphones and/or bone vibrator - Child is conditioned to respond when stimulus tone is heard, such as to put a peg in a pegboard or drop a block in a box http://pediatrics.aappublications.org Adapted from Bachmann KR, Arvedson JC. Pediatr Rev. 1998;19(5):155–165.
TE ST
MECHANISM
Pure tone audiometry (4-5 years old to adolescence)
- a subjective, behavioural measurement of hearing threshold, as it relies on patient response to pure tone stimuli. - Patient is instructed to raise his or her hand when stimulus is heard - used on adults and children old enough to cooperate with the test procedure - hearing test used to identify hearing threshold levels of an individual, enabling determination of the degree, type and configuration of a hearing loss;
Tympanometry (all ages)
- Small probe placed in the ear canal and pressure varied in the ear canal - To assess middle air condition by placing probe tone in ear canal to sense the pressure based on the sound energy reflected from middle ear.
Auditory Te s t
Evoked OAEs
Advantages
Limitations
Ear-specific results; not dependent on whether patient is asleep or awake; quick test time; screening test
Infant or child must be relatively inactive during the test; not a comprehensive test of hearing, because it does not assess cortical processing of sound; OAEs are very sensitive to middle-ear effusions and cerumen or vernix in the ear canal
Ear-specific results; Automated responses not dependent ABR on patient cooperation; screening test
VRA
Assesses auditory perception of child; diagnostic test.
Infant or child must remain quiet during the test (sedation is often required); not a comprehensive test of hearing, because it does not assess cortical processing of sound When performed with speakers, only assesses hearing of the better ear; not ear specific; if VRA is performed with insert, earphones can rule out a unilateral hearing loss
Auditory Te s t
Advantages
Limitations
Play audiometry
Ear-specific results; assesses auditory perception of child; screening or diagnostic test.
Attention span of child may limit the amount of information obtained
Conventional audiometry
Ear-specific results; assesses auditory perception of patient; screening or diagnostic test
Depends on the level of understanding and cooperation of the child
Ear-specific results; multiple frequencies are tested, creating a map of hearing loss similar to an Diagnostic ABR audiogram; responses not dependent on patient cooperation; diagnostic test
Infant or child must remain quiet during the test (sedation is often required); not a true test of hearing, because it does not assess cortical processing of sound
Tests for possible middle-ear Tympanometry pathology and pressureequalization tube function
Not a test of hearing; depends on ear canal seal; high-frequency tone probe needed for infants younger than 6 mo