PolaPembangunan Daerah
PDRB
Konsumsi Rumah Tangga Perkapita
HDI
Kontribusi Sektoral terhadap PDRB
Tingkat Kemiskinan
Struktur Fiskal
Fenomena
Dana bagi peningkatan layanan masyarakat tidak memadai.
Penerimaan DAU banyak dihabiskan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Cara Mengatasi
DAU direformasi, misalnya dalam pembagian pajak (PPn dan penyerahan pajak perusahaan) agar tercipta mekanisme pembagian dana berdasarkan upaya masing-masing daerah.
Penyebab
Terjadi defisit APBN.
Pemerintah menjual saham BUMN dan menarik utang baru.
Banyak pemda yang menyimpan dana di rekening bank setempat atau rekening simpanan sementara di BI.
Pembukukan pendapatan bunga deposito dana APBD secara terpisah.
Pemda lalai dalam membayar utang pada pemerintah pusat.
Fenomena
Tingkat korupsi setelah otonomi daerah jauh lebih tinggi.
Penyebab
Sebelum era otonomi, dana yang bisa dikorupsi jauh lebih sedikit.
Cara Mengatasi
Maksimalisasi peran LSM dan media yang peka terhadap korupsi.
Masalah Pembangunan Daerah
Ketimpangan antar Daerah
Konsestrasi kegiatan ekonomi
Alokasi investasi tidak merata
Kelemahan kinerja aparat daerah
Fenomena desentralisasi korupsi
Tingkat mobilitas faktor produksi atau barang dan jasa rendah
Perbedaan SDA
Perbedaan Kondisi Demografis
Pemekaran Daerah yang Berlebihan
Fenomena
Negara terbebani karena transfer ke daerah yang mengalami pemekaran wilayah sangat besar.
Penyebab
Cara Mengatasi
Banyak elite daerah yang memanipulasi semangat kedaerahan masyarakat untuk membentuk unit administrasi baru.
Terjadi pergolakan di beberapa daerah.
Persyaratan pendirian yang terlalu mudah.
Daerah yang memekarkan diri mengalami penurunan.
Terjadi pemekaran wilayah besar-besaran.
Optimalisasi PP NO. 78/2007 dan PP No. 6/2008 tentang evaluasi daerah baru.
Grafik 4 : Komposisi Belanja Kabupaten TA 2013
Grafik 5 : Komposisi Belanja Kota TA 2013
Mata Kuliah: Perekonomian Indonesia
"PEMBANGUNAN DAERAH DI INDONESIA: POLA DAN MASALAHNYA"
Dosen Pengajar:
Anwar Abbas M.Ag
Disusun Oleh:
Suci Hanifa 1111046100021
Sabrina Fitria 1111046100103
Niswah Mutiah 1111046100113
PERBANKAN SYARIAH 6 C
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam sebagian besar studi-studi tentang negara, dimensi pembangunan ekonomi daerah jarang mendapat perhatian secara serius. Kebanyakan kisah keberhasilan Asia Timur adalah cerita negara bangsa yang kecil, padat dan dalam dua kasus merupakan negara kota. Di negara-negara berpendapatan tinggi seperti Amerika dan Australia, perbedaan daerah (regional) tampak jelas. Meskipun demikian, integrasi perekonomian internal pada umumnya berkembang pesat karena fasilitas infrastruktur yang efisien, dan perbedaan pendapatan daerah dikurangi dengan mekanisme penyeimbangan fiskal yang telah berlangsung lama.
Akan tetapi di indonesia, seperti juga di negara-negara besar Dunia Ketiga seperti Brasil, Cina dan India, aspek daerah (region) selalu memperoleh perhatian besar. Tidak ada negara yang sedemikian beragamnya sebagaimana Indonesia dalam hal ekologi, demografi, ekonomi dan kebudayaan. Jelas tidak ada negara lain yang menyamai Indonesia dalam kedudukan geografisnya yang unik sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Moto bangsa Bhineka Tunggal Ika, yang secara bebas dapat diterjemahkan sebagai "Kesatuan dalam Perbedaan," melambangkan arti penting dari kesatuan nasional sembari mengakui perbedaan kedaerahan. Persatuan nasional adalah komponen utama dari perjuangan kemerdekaan, dan ia diakui sebagai prioritas tertinggi oleh semua rezim sejak 1945.
Dewasa ini kita sedang menghadapi perubahan kondisi yang sangat penting dan sekaligus mempengaruhi pola pembangunan nasional dan daerah di Indonesia secara keseluruhan. Pertama, dilaksanakannya otonomi daerah sejak tanggal 1 Januari 2001 sesuai dengan Undang-undang No. 22 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan KeuanganPusat dan Daerah. Sejak mulai saat itu, pemerintahan dan pembangunan daerah di seluruh nusantara telah memasuki era baru yaitu era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Sistem pemerintahan dan pembangunan daerah lama yang sangat sentralisir dan sangat didominasi oleh Pemerintah Pusat mulai ditinggalkan. Sedangkan Pemerintah Daerah diberikan wewenang dan sumber keuangan baru untuk mendorong proses pembangunan di daerahnya masing-masing yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan nasional Indonesia secara keseluruhan.
Sebelum melangkah lebih jauh membahas bagaimana Pembangunan Daerah di Indonesia yang dilaksanakan dengan dibentuknya Otonomi Daerah. Maka perlu diketahui pengertian dari Pembangunan daerah itu sendiri. Pembangunan Daerah merupakan suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku, baik umum, pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial ekonomi dan aspek lingkungan lainnya sehingga peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan.
Pembangunan Daerah ini memiliki tujuan yang baik tapi sejauh ini perjalanan Pembangunan daerah di Indonesia tidak terlalu berjalan dengan baik, masih banyak kekurangan dalam perkembangannya. Oleh karena itu Makalah ini akan membahas mengenai Pola Pembangunan Daerah beserta masalah yang dihadapinya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan Uraian Latar Belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
Bagaimana Pola Pembangunan Daerah di Indonesia?
Apa Permasalahan Pembangunan Daerah yang terjadi di Indonesia?
Apa solusi yang tepat untuk menanggulanginya?
Bagaimana langkah-langkahnya?
Tujuan Penulisan
Tujuan dari Penelitian ini adalah teridentifikasinya Pola Pembangunan daerah beserta Masalahnya. Secara Rinci Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut:
Menjelaskan Pola Pembanguan Daerah di Indonesia.
Menjelaskan Masalah Pembangunan Daerah yang terjadi di Indonesia.
Memberikan solusi terhadap masalah yang selama ini membayangi pembangunan daerah di Indonesia.
Menawarkan langkah-langkah dalam menjalankan solusi pemecahan pembangunan daerah di Indonesia.
BAB II
Pembahasan
A. Pentingnya Pembangunan Daerah
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas 1,904,569 km2 . Dengan wilayah seluas itu, Indonesia mempunyai banyak daerah yang berpotensi dalam mengembangkan dirinya sendiri. Apalagi tiap daerah memiliki kekhasan dan ciri yang berbeda-beda. Jadi, tidak heran bila terdapat perbedaan distribusi APBD dan dana pemasukan dari tiap daerah.
Untuk memaksimalkan pembangunan dari setiap daerah yang ada, Indonesia menerapkan sistem otonomi daerah. Dengan diterapkannya sistem tersebut, pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam mengatur kawasannya sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat. Berhasil atau tidaknya pembangunan daerah setelah otonomi dapat dilihat dari berbagai pola pembangunan daerah seperti pendapatan domestik regional bruto (PDRB), konsumsi rumah tangga perkapita, Human Development Index (HDI), tingkat kemiskinan, dan struktur fiskalnya. Peningkatan kinerja terlihat dari banyak daerah, namun tidak sedikit juga daerah yang justru jadi gelagapan dalam mengatur dirinya sendiri. Kita tentunya harus mencari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini.
Tapi bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri bahwa otonomi daerah dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan di Indonesia. Jika tiap daerah dapat mengembangkan potensi daerahnya masing-masing, maka hal tersebut akan menciptakan sebuah atmosfer yang baik dalam program pembangunan pemerintah pusat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pembangunan daerah merupakan salah satu langkah konkret guna melaksanakan pembangunan di Indonesia.
B. Teori-teori tentang Pembangunan Daerah
Terdapat beberapa teori yang menerangkan tentang pembangunan daerah, yakni :
a) Teori Ekonomi Klasik
"Jika mobilitas faktor produksi antar daerah tinggi, maka akan semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonominya."Teori ini memberikan dua konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu: keseimbangan (equilibirium) dan mobilitas faktor produksi. Artinya, sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya jika modal bisa mengalir tanpa restriksi (pembatasan). Oleh karena itu, modal akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang berupah rendah.
"Jika mobilitas faktor produksi antar daerah tinggi, maka akan semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonominya."
b) Teori Basis Ekonomi
Teori ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah hubungan langsung permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Model ini didasarkan pada permintaan eksternal, bukan internal sehingga akan timbul ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kekuatan-kekuatan global.
"Jika permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah tinggi , maka akan semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonominya."
"Jika permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah tinggi , maka akan semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonominya."
c) Teori Lokasi
Para ekonom regional mengatakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan daerah adalah lokasi. Pernyataan tersebut masuk akal jika dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri, yaitu adanya kecenderungan dari suatu perusahaan untuk meminimumkan biaya-biayanya dengan cara memilih lokasi yang dapat memaksimumkan peluangnya untuk mendekati pasar.
"Jika lokasi suatu daerah semakin strategis (dekat dengan pasar lokal, pemukiman penduduk, dll), maka akan semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonominya."
"Jika lokasi suatu daerah semakin strategis (dekat dengan pasar lokal, pemukiman penduduk, dll), maka akan semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonominya."
C. Pola Pembangunan Daerah
Gambar 1 : Indikator Pembangunan Daerah
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, keberhasilan pembangunan daerah bisa dilihat dari beberapa indikator, di antaranya adalah produk domestik regional bruto (PDRB), konsumsi rumah tangga perkapita, human development index (HDI), kontribusi sektoral terhadap PDRB, tingkat kemiskinan dan struktur fiskal. Dengan melihat nilai dari keenam indikator tersebut dan membandingkannya dengan tiap daerah (dalam hal ini provinsi), kita dapat mengetahui mana daerah yang lebih maju pembangunannya.
a) Produk Domestik Bruto Perkapita (PDRB)
PDRB adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh kegiatan perekonomian di suatu daerah dalam suatu periode tertentu. Dengan melihat PDRB dari tiap provinsi, kita dapat mengetahui provinsi mana yang lebih produktif dilihat dari barang dan jasa yang dihasilkannya.
Perhitungan PDRB dapat menggunakan dua cara yaitu metode harga konstan dan metode harga berlaku. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar penghitungannya. Karena menggunakan harga pada suatu tahun tertentu yang dinilai stabil, maka PDRB atas harga konstan dapat menghilangkan pengaruh inflasi.
Laju PDRB menggambarkan pertumbuhan PDRB dibandingkan dengan tahun sebelumnya (yoy). Semakin tinggi laju PDRB, semakin baik usaha suatu provinsi dalam menggali potensi daerah yang dimilikinya. Presentase distribusi menggambarkan kontribusi tiap provinsi terhadap PDB nasional (atas harga berlaku). Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi presentase distribusi yang dimiliki suatu provinsi, semakin tinggi pula kontribusinya dalam mendukung program pembagunan nasional melalui indikator PDRB.
Sementara itu PDRB perkapita adalah jumlah PDRB suatu daerah (dalam hal ini provinsi) dibagi dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. PDRB perkapita merupakan sub-indikator yang lebih tidak bias dibandingkan nilai PDRB, sebab bisa saja nilai PDRB suatu provinsi besar namun jumlah penduduknya juga banyak. Akan sulit menggunakan indikator tersebut untuk membandingkan tiap daerah dengan jumlah penduduk yang berbeda-beda. Namun sub-indikator ini tetap memiliki kelemahan yaitu tidak meratanya distribusi PDRB.
Provinsi
PDRB Harga Konstan (2000)
PDRB Harga Berlaku
PDRB Perkapita
PDRB
Laju PDRB
PDRB
Presentase Distribusi
1
Aceh
33103
2.74
79145
1.49
7365371
2
Sumatera Utara
118719
6.42
275057
5.19
9144749
3
Sumatera Barat
38862
5.94
87227
1.65
8017893
4
Riau
97736
4.21
345774
6.53
17647079
5
Jambi
17472
7.35
53858
1.02
5650227
6
Sumatera Selatan
63859
5.63
157735
2.98
8571224
7
Bengkulu
8340
6.1
18600
0.35
4861505
8
Lampung
38390
5.88
108404
2.05
5045735
9
Kepulauan Bangka Belitung
10885
5.99
26713
0.5
8898091
10
Kepulauan Riau
41076
7.19
71615
1.35
24462187
11
DKI Jakarta
395622
6.5
861992
16.28
41177224
12
Jawa Barat
322224
6.2
771594
14.57
7484229
13
Jawa Tengah
186993
5.84
444666
3.24
5774479
14
DI.Yogyakarta
21044
4.88
45626
8.4
6086494
15
Jawa Timur
342281
6.68
778564
0.86
9133154
16
Banten
88552
6.11
171748
14.7
8328688
17
Bali
28882
5.83
67194
1.27
7423234
18
Nusa Tenggara Barat
20073
6.35
49632
0.94
4460456
19
Nusa Tenggara Timur
12547
5.25
27746
0.52
2678792
20
Kalimantan Barat
30329
5.47
60542
1.14
6899253
21
Kalimantan Tengah
18806
6.5
42571
0.8
8501466
22
Kalimantan Selatan
30675
5.59
59823
1.13
8458298
23
Kalimantan Timur
110953
5.1
321764
6.08
31226719
24
Sulawesi Utara
18377
7.16
36809
0.7
8093469
25
Sulawesi Tengah
17624
8.74
37314
0.7
6688402
26
Sulawesi Selatan
51200
8.19
117862
2.23
6372299
27
Sulawesi Tenggara
11654
8.22
28377
0.54
5219955
28
Sulawesi Barat
4744
7.63
8057
0.15
4094416
29
Gorontalo
2917
6.03
10985
0.21
2804365
30
Maluku
4251
6.47
8085
0.15
2772079
31
Maluku Utara
3036
7.95
5390
0.1
2924610
32
Papua Barat
9361
28.47
26873
0.51
12310269
33
Papua
22400
-3.19
87733
1.66
7905749
Jumlah 33 Provinsi
2222987
6.14
5295074
100
9354378
Tabel 1 : PDRB tahun 2010 (Sumber : BPS, diolah)
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan PDRB terbesar, baik menggunakan metode harga konstan maupun harga berlaku. Fakta tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa DKI Jakarta juga adalah penyumbang PDRB terbesar (lihat kiolom distribusi provinsi). Hal tersebut bisa dibilang wajar, mengingat status DKI Jakarta sebagai ibukota negara sebagai pusat perekonomian dengan populasi penduduk terpadat. Sementara itu untuk provinsi dengan PDRB terendah, terdapat kesimpulan yang berbeda dari dua metode harga tersebut. Gorontalo adalah provinsi dengan PDRB terendah menggunakan metode harga konstan, dan Maluku Utara menggunakan metode harga berlaku. Artinya, inflasi di Maluku Utara sejak tahun 2000 lebih tinggi.
Walaupun sudah menggunakan indikator PDRB perkapita untuk menghindari terjadinya bias, DKI Jakarta tetap keluar sebagai pemegang PDRB perkapita tertinggi. Hal tersebut menunjukkan betapa jauhnya DKI Jakarta meninggalkan provinsi lain. PDRB atas harga berlaku dapat lebih mudah dibangingkan dengan melihat Grafik 1.
Gambar 2 : PDRB Perkapita di Amerika Serikat
Gambar 2 di atas menunjukkan ketimpangan PDB antar negara bagian di Amerika Serikat. Sama halnya dengan Indonesia, negara besar seperti Amerika juga mengalami gap dalam pembangunan daerahnya. Negara-negara bagian seperti New York, Massachusetts, Connecticut, New Jersey, Delaware dan Wyoming memiliki PDB perkapita yang tinggi yaitu di atas lima puluh ribu dollar. Jauh berbeda dengan Montana, Arkansas , West Virginia dan Missisipi yang hanya menghasilkan GDP dua puluh lima ribu sampai tiga puluh ribu dollar.
Grafik 2 : PDB Harga Berlaku Negara-negara ASEAN pada 2012
Perbandingan PDB selanjutnya dilakukan terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Tujuannya adalah untuk melihat posisi Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN lain bila dilihat dari kacamata PDB. Hal ini masih memiliki keterkaitan dengan pembangunan daerah. Sebab seperti yang sudah kita bahas sebelumnya bahwa pembangunan daerah merupakan langkah konkret guna melakukan pembangunan secara nasional. Salah satu cara untuk melihat keberhasilan pembangunan daerah di Indonesia adalah dengan membandingkan berbagai indikator pembangunan Indonesia dengan negara-negara lain di ASEAN. Dan salah satu indikator pembangunan tersebut adalah Produk Domestik Bruto (PDB).
Grafik 2 di atas memperlihatkan perbandingan PDB perkapita negara-negara ASEAN pada tahun 2012. Indonesia menempati urutan kelima (dengan pengecualian ASEAN5, ASEAN, dan BCLMV), jauh di bawah Singapura dan Brunei Darussalam yang melesat meninggalkan tetangga-tetangganya. Seperti yang kita ketahui, Singapura merupakan negara yang sudah sangat maju. Sedangkan Brunei kaya berkat sumber daya alamnya yakni minyak bumi dan gas alam.
Grafik 3 : Pertumbuhan GDP Negara-negara ASEAN Per Semester 2005-2013
Berbeda grafik dengan sebelumnya, Grafik 3 menunjukkan tingkat pertumbuhan PDB persemester dari tahun 2005-2013. Walaupun nilainya berfluktuatif, secara umum Singapura tetap memimpin sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan PDB tertinggi. Uniknya adalah pada tahun 2008-2009 di mana krisis global menghantam dunia, Indonesia merupakan salah-satu negara ASEAN yang tidak terpengaruh oleh efek domino yang disebabkan oleh krisis global. Buktinya bisa kita lihat pada gambar di atas. Di saat pertumbuhan PDB negara ASEAN lain anjlok sampai minus, Indonesia justru cenderung konstan. Hal tersebut masuk akal mengingat PDB di Indonesia ditopang oleh konsumsi yang tinggi. Tingkat pertumbuhan PDB antar negara ASEAN lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 : Tingkat Pertumbuhan PDB ASEAN 2005-2012
Semakin tinggi PDRB di suatu daerah (provinsi), semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonomi atau kesejahteraan masyarakatnya.
Semakin tinggi PDRB di suatu daerah (provinsi), semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonomi atau kesejahteraan masyarakatnya.
Indeks Ketimpangan Ekonomi Regional (IKER) di Indonesia 1971-1998
Tahun
IKER
Tahun
IKER
1971
0.396
1985
0.494
1972
0.406
1986
0.474
1973
0.415
1987
0.471
1974
0.483
1988
0.465
1975
0.462
1989
0.483
1976
0.415
1990
0.484
1977
0.396
1991
0.536
1978
0.429
1992
0.535
1979
0.417
1993
0.544
1980
0.425
1994
0.643
1981
0.445
1995
0.653
1982
0.438
1996
0.654
1983
0.498
1997
0.671
1984
0.515
1998
0.605
Tabel 3 : Indeks Ketimpangan Ekonomi Regional tahun 1971-1998 (dalam Tulus Tambunan)
IKER atau Indeks Ketimpangan Ekonomi Regional juga merupakan salah satu sub-indikator yang penting. Seperti yang bisa dilihat walaupun terkadang fluktuatif, dalam jangka panjang nilai IKER secara nasional cenderung meningkat yang berarti semakin besar ketimpangan ekonomi antar daerahnya.
Semakin tinggi nilai IKER, semakin tinggi tingkat ketimpangan ekonomi antar daerah (propinsi)
Semakin tinggi nilai IKER, semakin tinggi tingkat ketimpangan ekonomi antar daerah (propinsi)
b) Konsumsi Rumah Tangga Perkapita
Pengeluaran rata-rata per kapita adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan baik yang berasal dari pembelian, pemberian maupun produksi sendiri dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga dalam rumah tangga tersebut. Konsumsi rumah tangga dibedakan atas konsumsi makanan maupun bukan makanan tanpa memperhatikan asal barang dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang diberikan kepada pihak lain.
Tabel 4 : Presentase Pengeluaran rata-rata Perkapita untuk makanan dan bukan makanan tahun 2010-2011 (BPS, diolah)
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa DKI Jakarta adalah provinsi dengan presentase pengeluaran non-makanan tertinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa penduduk di DKI Jakarta sudah tidak lagi berfokus pada pengeluaran untuk makanan karena pendapatannya yang tinggi, tetapi mulai merambah pada sektor jasa seperti pariwisata, perumahan, sampai ke instrument investasi. Berbeda dengan daerah yang kurang maju atau yang pendapatannya masih rendah, mereka akan cenderung menghabiskan uangnya untuk membeli makanan. Contoh provinsi seperti ini adalah Papua.
Semakin tinggi presentase pengeluaran daerah terhadap konsumsi bukan makanan, semakin baik pula pembangunan ekonomi atau kesejahteraan masyarakatnya.
Semakin tinggi presentase pengeluaran daerah terhadap konsumsi bukan makanan, semakin baik pula pembangunan ekonomi atau kesejahteraan masyarakatnya.
Gambar 3 : Konsumsi Daging Perkapita Dunia Tahun 2009 (Sumber : http://chartsbin.com)
Gambar 3 di atas memperlihatkan konsumsi daging perkapita pertahun dari tiap negara, termasuk Amerika dan negara-negara ASEAN. Amerika tercatat sebagai negara dengan konsumsi daging terbanyak, yaitu sebesar 120,2 kg/orang pertahun. Tidak mengherankan, mengingat statusnya sebagai sebuah negara adidaya. Namun bagaimana dengan Indonesia? Ternyata konsumsi daging pertahun perkapita Indonesia adalah yang paling rendah di kawasan Asia Tenggara, yakni sebesar 11,6 kg/orang pertahun. Hampir seperenam lebih kecil dari Brunei Darussalam yang merupakan negara ASEAN dengan konsumsi daging tertinggi, yaitu 67,5 kg/orang pertahun.
Gambar 4 : Konsumsi Susu Perkapita Dunia Tahun 2007 (Sumber : http://chartsbin.com)
Setelah daging, kita akan menilik konsumsi susu perkapita dunia pada tahun 2007. Kali ini, Amerika tidak lagi menduduki peringkat pertama walaupun tingkat konsumsinya terbilang salah-satu yang tertinggi yakni sebesar 253,8 kg/tahun perkapita. Negara yang justru merajai kategori ini adalah Swedia dengan tingkat konsumsi sebesar 355,86 kg/tahun perkapita. Bagaimana dengan Indonesia? Rupanya posisi Indonesia terhadap negara-negara ASEAN dilihat dari tingkat konsumsi susu tidak seburuk bila dilihat dari tingkat konsumsi dagingnya. Karena di bawah Indonesia, masih ada Laos dan Kamboja yang tingkat konsumsi susu perkapitanya berturut-turut hanya sebesar 4,63 kg/orang pertahun dan 5,59 kg/orang pertahun. Sementara itu peringkat tertinggi di Asia Tenggara masih dipegang oleh Brunei Darussalam yaitu sebesar 129,11 kg/orang perkapita.
c) Human Development Index (HDI)
Mengutip isi Human Development Report (HDR) pertama tahun 1990, pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia. Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat; pengetahuan, dan kehidupan yang layak.
Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka harapan hidup waktu lahir. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak.
Gambar 5 : Diagram Perhitungan HDI (Sumber : BPS)
Human Development Index (HDI) by Province and National, 2011-2012
Provinsi
2011
2012
Provinsi
2011
2012
11. Aceh
72.16
72.51
-
12. Sumatera Utara
74.65
75.13
52. Nusa Tenggara Barat
66.23
66.89
13. Sumatera Barat
74.28
74.70
53. Nusa Tenggara Timur
67.75
68.28
14. Riau
76.53
76.90
61. Kalimantan Barat
69.66
70.31
15. Jambi
73.3
73.78
62. Kalimantan Tengah
75.06
75.46
16. Sumatera Selatan
73.42
73.99
63. Kalimantan Selatan
70.44
71.08
17. Bengkulu
73.4
73.93
64. Kalimantan Timur
76.22
76.71
18. Lampung
71.94
72.45
71. Sulawesi Utara
76.54
76.95
19. Kepulauan Bangka Belitung
73.37
73.78
72. Sulawesi Tengah
71.62
72.14
20. Kepulauan Riau
75.78
76.20
73. Sulawesi Selatan
72.14
72.70
31. DKI Jakarta
77.97
78.33
74. Sulawesi Tenggara
70.55
71.05
32. Jawa Barat
72.73
73.11
75. Gorontalo
70.82
71.31
33. Jawa Tengah
72.94
73.36
76. Sulawesi Barat
70.11
70.73
34. Yogyakarta
76.32
76.75
81. Maluku
71.87
72.42
35. Jawa Timur
72.18
72.83
82. Maluku Utara
69.47
69.98
36. Banten
70.95
71.49
91. Papua Barat
69.65
70.22
51. Bali
72.84
73.49
94. Papua
65.36
65.86
INDONESIA
72.77
73.29
INDONESIA
72.77
73.29
Tabel 5 : HDI tahun 2011-2012
Tabel 5 menunjukkan skor HDI untuk setiap provinsi. Seperti yang bisa dilihat, DKI Jakarta lagi-lagi keluar sebagai pemegang skor HDI tertinggi walaupun kali ini dispersinya tidak sebesar indikator-indikator sebelumnya. Sementara itu pemegang skor HDI terendah adalah Papua dengan nilai 65,86 pada 2012. Data di atas menunjukkan bahwa tingkat harapan hidup, angka melek huruf, dan pengeluaran riil perkapita di DKI Jakarta sudah lebih baik dibandingkan Papua.
Gambar 6 : HDI di Amerika Serikat Tahun 2005
Gambar 6 di atas menggambarkan HDI dari tiap daerah di Amerika Serikat. Negara bagian dengan skor HDI tertinggi dipegang oleh New York, California, dan Minnesota. Sementara itu Olakhoma, Arkansas, Lousiana dan negara-negara bagian di sekitarnya memiliki HDI paling rendah.
Tabel 6 : HDI Negara-negara ASEAN Tahun 2007
Negara
2007
Rangking
Golongan
Singapura
0.944
23
Very High Human Development
Brunei Darussalam
0.92
30
Very High Human Development
Malaysia
0.829
66
High Human Development
Thailand
0.783
87
Medium Human Development
Filipina
0.751
105
Medium Human Development
Indonesia
0.734
111
Medium Human Development
Vietnam
0.725
116
Medium Human Development
Laos
0.619
133
Medium Human Development
Kamboja
0.593
137
Medium Human Development
Myanmar
0.586
138
Low Human Development
Sumber : http://suvisutrisno93.wordpress.com/2013/10/01/data-hdi/
Bagaimana posisi HDI Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya? Faktanya Indonesia menempati posisi kelima di antara supuluh negara ASEAN dengan kategori "Medium Human Development". HDI tertinggi dipegang oleh Singapura dengan kategori "Very High Human Develompent" dan skor sebesar 0,944. Hal ini mencerminkan betapa baiknya pembangunan daerah yang ada di Singapura karena pembangunan daerah merupakan penopang terjadinya pembangunan nasional.
Secara keseluruhan, HDI antar negara-negara di dunia dapat dilihat pada gambar 7 di bawah. Skor HDI tertinggi dipegang oleh Norwegia dengan nilai 0,943, tiga peringkat di atas Amerika yang hanya mencetak skor sebesar 0,910. Tingginya skor ini disebabkan oleh standar pendidikan di Norwegia yang sangat tinggi, kemiskinan dan tingkat pengangguran yang sangat rendah, serta angka harapan hidup yang mencapai 80,2 tahun. Sementara itu negara-negara di kawasan Asia Tenggara masih disimbolkan dengan warna hijau muda sampai kuning yang menggambarkan skor HDI yang masih terbilang rendah. Pengecualian berlaku untuk Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia yang berhasil menembus rangking seratus ke bawah.
Gambar 7 : HDI Negara-negara di Dunia Tahun 2011 (Sumber : http://chartsbin.com )
Semakin tinggi Indeks Pembangunan Manusia suatu daerah, maka akan semakin baik pula pembangunan ekonomi atau tingkat kesejahteraan masyarakatnya
Semakin tinggi Indeks Pembangunan Manusia suatu daerah, maka akan semakin baik pula pembangunan ekonomi atau tingkat kesejahteraan masyarakatnya
d) Kontribusi Sektoral terhadap PDRB
Perbedaan tingkat pembangunan dapat juga dilihat dari perbedaan kontribusi sektoralnya dalam pembentukan PDRB. Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa semakin besar peranan sektor ekonomi yang memiliki nilai tambah yang tinggi seperti industri manufaktur terhadap pembentukan PDRB di suatu wilayah, semakin tinggi pula pertumbuhan PDRB wilayah tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) membaginya menjadi sembilan sektor, yaitu sektor pertanian (1), sektor pertambangan dan penggalian (2), industri manufaktur (3), sektor listrik gas dan air (4), sektor konstruksi (5), sektor perdagangan hotel dan restoral (6), sektor transportasi dan komunikasi (7), sektor keuangan sektor penyewaan dan bisnis (8), serta jasa lainnya (9).
Tabel 7 : Distribusi Presentase PDRB menurut harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2010 (Sumber : BPS)
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa Banten adalah provinsi dengan kontribusi industri manufaktur tertinggi, disusul oleh Kepulauan Riau dan Papua Barat. Di Banten, terdapat kota yang cukup terkenal dengan kegiatan industrinya, yaitu Cilegon. Cilegon adalah daerah penghasil baja terbesar di Asia Tenggara dengan produksi sekitar 6 juta ton pertahunnya di kawasan industri Krakatau Steel.
Sementara itu Kepulauan Riau punya Batam yang merupakan salah satu daerah dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia. Hal tersebut wajar, mengingat letaknya yang strategis dan banyaknya inndustri berat dan ringan di sana. Di belahan timur ada Papua Barat dengan Kota Sorong-nya yang sudah lama dikenal sebagai "Kota Minyak" sejak Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) melakukan pengeboran minyak pada tahun 1935.
Semakin besar peranan sektor ekonomi yang memiliki nilai tambah seperti jasa dan industri manufaktur, semakin tinggi pula pertumbuhan PDRB wilayah tersebut.
Semakin besar peranan sektor ekonomi yang memiliki nilai tambah seperti jasa dan industri manufaktur, semakin tinggi pula pertumbuhan PDRB wilayah tersebut.
Tabel 8 : PDRB Perkapita menurut migas dan non-migas tahun 2005 (Sumber : Indonesia Human Development Report, diolah)
Tabel 8 di atas membagi PDRB menjadi dua jenis yaitu PDRB yang menyertakan migas dan yang tidak. Provinsi-provinsi seperti NAD Aceh, Riau, serta Kalimantan Timur yang terkenal akan kekayaan sumber daya alamnya (SDA) memiliki PDRB migas yang jauh lebih tinggi dibandingkan PDRB non-migasnya. Sejarah mencatat, Aceh adalah daerah dengan cadangan gas alam terbesar di dunia. Ia juga kaya akan minyak bumi. Sumber daya alam di Riau didominasi oleh gas alam, minyak bumi, serta perkebunan sawit yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sementara itu Kalimantan Timur adalah penghasil minyak bumi, gas alam dan batu bara.
Semakin jauh gap antara PDRB dengan harga berlaku dan harga konstan, akan semakin tinggi pula ketergantungan suatu daerah dengan sumber daya yang ada.
Semakin jauh gap antara PDRB dengan harga berlaku dan harga konstan, akan semakin tinggi pula ketergantungan suatu daerah dengan sumber daya yang ada.
Gambar 8 : PDB Negara-negara di Dunia Berdasarkan Sektor Tahun 2010 (Sumber : http://chartsbin.com )
Menurut CIA, berdasarkan sektornya PDB di Indonesia tersusun dari tiga sektor yakni 14,9 % dari sektor pertanian, 38,3% dari sektor jasa, dan 46,8% dari sektor industri. Minimnya sumbangan pertanian terhadap PDB secara nasional menandakan sudah tidak cocok lagi penyandangan gelar "Negara Agraris". PDB Indonesia justru lebih banyak ditopang oleh sektor industri dan jasa (terutama industri). Hal tersebut menandakan sudah semakin majunya pembangunan di Indonesia bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun tetap saja masih belum bisa menyamai negara-negara maju seperti Amerika yang 76,7% PDB-nya berasal dari sektor jasa. Rata-rata PDB negara maju memang didominasi oleh sektor jasa kecuali China. Sektor industri dan sektor jasa di China hampir sama, yaitu sekitar 40%.
Di kawasan Asia Tenggara, negara yang sektor jasanya paling besar dalam mendominasi PDB adalah Singapura. Sektor jasa di Singapura mendominasi 72,8% PDB-nya. Sisanya diisi oleh sektor industri, tidak ada ruang untuk sektor pertanian. Hal tersebut wajar mengingat lahan di Singapura yang sangat sempit. Negara-negara lain yang juga didominasi oleh sektor jasa adalah Malaysia, Filipina, Kamboja, dan Laos. Sementara itu Myanmar adalah satu-satunya negara yang sektor pertaniannya mendominasi PDB, yaitu sebesar 43,2%.
e) Tingkat Kemiskinan
Tingkat kemiskinan juga bagus digunakan sebagai indikator untuk mengukur pembangunan daerah. Untuk mengukur tingkat kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll)
Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
Percentage of PP (%) atau adalah presentase penduduk yang berada di bawah kemiskinan. Semakin tinggi sub-indikator ini, semakin banyak pula penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
P1 (Poverty Gap Index) atau Indeks Kedalaman Kemiskinan, merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran pesuduk dari garis kemiskinan. Sementara itu P2 (Poverty Severity Index) atau Indeks Keparahan Kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Propinsi (2012)
Number of PP(000)
Percentage of PP (%)
Garis Kemiskinan (Rp)
P1 (%)
P2 (%)
Kota+Desa
Kota+Desa
Kota+Desa
Kota+Desa
Kota+Desa
Aceh
876,6
18,58
321.893
3,07
0,83
Sumatera Utara
1.378,40
10,41
271.738
1,82
0,5
Sumatera Barat
397,9
8
292.052
1,24
0,31
Riau
481,3
8,05
310.603
1,13
0,25
Jambi
270,1
8,28
273.267
1,37
0,44
Sumatera Selatan
1.042,00
13.48
259.668
1,85
0,43
Bengkulu
310,5
17,51
283.252
3,05
0,8
Lampung
1.219,00
15,65
263.088
2,53
0,62
Kepulauan Bangka Belitung
70,2
5,37
382.412
0,66
0,14
Kepulauan Riau
131,2
6,83
363.450
0,85
0,19
DKI Jakarta
366,8
3,7
392.571
0,56
0,15
Jawa Barat
4.421,50
9,89
242.104
1,62
0,42
Jawa Tengah
4.863,40
14,98
233.769
2,39
0,57
DI Yogyakarta
562,1
15,88
270.110
2,89
0,75
Jawa Timur
4.960,50
13,08
243.783
1,93
0,44
Banten
648,3
5,71
251.161
0,95
0,28
Bali
161
3,95
254.221
0,39
0,07
Nusa Tenggara Barat
828,3
18,02
248.758
0,2
0,83
Nusa Tenggara Timur
1.000,30
20,41
222.507
3,47
0,91
Kalimantan Barat
355,7
7,96
239.162
1,24
0,33
Kalimantan Tengah
141,9
6,19
277.407
1,08
0,27
Kalimantan selatan
189,2
5,01
269.714
0,76
0,17
Kalimantan Timur
246,1
6,38
363.887
0,99
0,25
Sulawesi Utara
177,5
7,64
223.883
1,18
0,3
Sulawesi Tengah
409,6
14,94
266.718
2,82
0,82
Sulawesi Selatan
805,9
9,82
195.627
1,68
0,42
Sulawesi Tenggara
304,3
13,06
203.333
1,92
0,49
Gorontalo
187,7
17,22
212.476
3,21
0,84
Sulawesi Barat
160,6
13,01
207.072
1,74
0,4
Maluku
338,9
20,76
295.904
4,38
1,31
Maluku Utara
88,3
8,06
250.184
0,85
0,14
Papua Barat
223,2
27,04
354.626
5,71
1,71
Papua
976,4
30,66
297.502
7,35
2,44
Indonesia
28.594,60
11,66
259.520
1,9
0,49
Tabel 9 : Tingkat Kemiskinan tahun 2012 (Sumber: Diolah dari Susenas Maret 2012)
Bangka Belitung merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin paling sedikit, yaitu 70.200 sedangkan yang tertinggi dipegang oleh Jawa Timur dengan jumlah penduduk miskin sebesar 4.960.500. Jawa sebagai pusat kemiskinan di Indonesia erat kaitannya dengan tingkat kependudukan di Jawa, yang memang paling tinggi dibandingkan provinsi-provinsi lain di tanah air. Tabel 8 di atas memperlihatkan setidaknya ada dua provinsi di Jawa yang memiliki jumlah penduduk miskin di atas 4000, yaitu Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Garis kemiskinan tiap provinsi tiap daerah berbeda-beda. Semakin maju suatu daerah, semakin tinggi pula garis kemiskinannya. Tabel di atas memperlihatkan bahwa DKI Jakarta adalah provinsi dengan garis kemiskinan tertinggi, sementara provinsi dengan garis kemiskinan terendah dipegang oleh Sulawesi Selatan. Hal tersebut masuk akal, mengingat status DKI Jakarta sebagai kota besar dengan gaya hidup yang tinggi.
Gambar 9 : Tingkat Kemiskinan Negara-negara di Dunia Tahun 2008 (Sumber : http://chartsbin.com)
Peta di atas menggambarkan presentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Posisi Indonesia di sini cukup baik, karena presentase penduduk miskin dibandingkan populasi totalnya hanya 13,3%. Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan Amerika yang memiliki penduduk miskin sebesar 12% dari populasinya. Sementara itu negara-negara dengan presentase yang tinggi umumnya berasal dari Benua Afrika serta daerah-daerh yang berada di perbatasan Amerika Utara dan Amerika Selatan seperti Nigeria dan Honduras.
Menilik kawasan Asia Tenggara, beberapa negara sudah bisa dibilang berhasil dalam pembangunan daerahnya. Hal tersebut dicerminkan oleh presentase penduduk miskinnya yang berada di bawah 16%. Negara-negara yang masuk kategori ini adalah Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Laos memiliki 26% penduduk yang tergolong miskin. Sedangkan sisanya yaitu Myanmar, Filipina dan Kamboja masih memiliki presentase penduduk miskin di atas 30%. Sayangnya data Singapura dan Brunei Darussalam tidak tersedia di sini.
Terdapat korelasi positif antara population density dengan tingkat kemiskinan. Semakin tinggi jumlah penduduk per km2, semakin sempit lahan untuk dibuat ladang atau pabrik, yang berarti semakin kecil kesempatan kerja dan semakin besar presentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Terdapat korelasi positif antara population density dengan tingkat kemiskinan. Semakin tinggi jumlah penduduk per km2, semakin sempit lahan untuk dibuat ladang atau pabrik, yang berarti semakin kecil kesempatan kerja dan semakin besar presentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
f) Struktur Fiskal antar Daerah 2014
Struktur fiskal antar daerah juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur pembangunan daerah, sebab struktur fiskal menggambarkan kesenjangan antar daerah. Secara garis besar, struktur fiskal dapat dikatakan terbagi menjadi dua yaitu pendapatan dan belanja. Pendapatan daerah sendiri terbagi lagi menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Sementara itu belanja daerah terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung.
Uraian
Pendapatan
Belanja
PAD
Dana Perimbangan
Lain-lain
Belanja Tidak Langsung
Belanja Langsung
Aceh
1,312,371
2,462,716
7,389,322
5,876,207
7,491,821
Sumatera Utara
4,944,502
1,906,486
1,637,656
5,706,320
2,819,981
Sumatera Barat
1,568,557
1,359,925
568,815
1,830,142
1,778,747
Riau
2,840,011
3,638,492
648,147
3,745,617
4,531,135
Jambi
973,070
1,631,448
377,473
1,423,219
1,842,111
Sumatera Selatan
2,482,129
3,841,412
813,335
4,273,129
2,228,143
Bengkulu
532,938
1,074,577
198,001
867,946
1,028,686
Lampung
2,005,246
1,471,956
821,506
2,101,432
2,216,773
DKI Jakarta
39,559,415
17,770,000
7,386,320
15,876,622
49,006,125
Jawa Barat
13,037,556
2,820,258
4,050,158
17,276,335
3,918,030
Jawa Tengah
8,347,875
2,606,901
2,782,382
9,837,615
4,159,543
DI Yogyakarta
1,233,739
1,038,621
827,838
1,547,087
1,782,982
Jawa Timur
11,103,565
3,459,731
2,830,482
11,769,244
6,041,891
Kalimantan Barat
1,656,665
1,511,410
561,822
2,088,596
1,666,301
Kalimantan Tengah
1,244,421
1,516,384
281,102
1,520,005
1,698,902
Kalimantan Selatan
2,975,594
1,374,101
351,632
2,513,515
2,752,811
Kalimantan Timur
5,519,834
6,186,052
424,113
6,872,728
6,932,272
Sulawesi Utara
944,590
1,109,528
275,218
1,327,670
1,124,948
Sulawesi Tengah
769,714
1,237,628
372,305
1,172,862
1,267,622
Sulawesi Selatan
3,107,045
1,575,062
911,826
3,620,254
2,219,123
Sulawesi Tenggara
529,176
1,212,197
314,274
1,189,772
996,399
Bali
2,303,812
1,065,533
588,828
3,062,434
1,427,233
NTB
1,144,588
1,215,276
503,691
1,699,164
1,135,040
NTT
695,416
1,290,418
735,139
1,756,409
981,652
Maluku
439,589
1,180,985
219,128
925,436
981,197
Papua
762,151
2,604,848
7,122,111
6,783,512
4,421,567
Maluku Utara
204,901
1,119,302
295,451
609,315
957,838
Banten
4,675,126
1,151,027
1,051,919
4,022,623
3,326,779
Bangka Belitung
494,204
1,126,643
134,613
970,282
1,045,577
Gorontalo
274,275
801,586
127,221
597,770
696,888
Kepulauan Riau
875,913
1,871,269
223,506
1,236,068
2,223,932
Papua Barat
203,783
2,393,669
2,672,864
3,223,824
2,646,386
Sulawesi Barat
215,353
849,335
161,486
528,903
776,337
Kalimantan Utara
1,146,569
552,981
770,385
1,129,165
Tabel 10 : Struktur Fiskal tahun 2014 ( Sumber : DJPK, diolah)
Berdasarkan Tabel 9 di atas, DKI Jakarta adalah provinsi dengan jumlah pendapatan dan pengeluaran tertinggi. Dapat kita lihat bahwa DKI Jakarta menerapkan kebijakan defisit dengan total pengeluaran sedikit lebih tinggi dari pendapatannya. Sementara itu Gorontalo tercatat sebagai provinsi dengan jumlah pendapatan dan pengeluaran terendah. Sama halnya dengan DKI Jakarta, Gorontalo juga menggunakan kebijakan defisit. Tujuan diterapkannya kebijakan tersebut adalah untuk membuka lapangan kerja lebih banyak, sehingga jumlah pengangguran dapat berkurang.
Semakin tinggi penerimaan suatu daerah, semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya.
Semakin tinggi penerimaan suatu daerah, semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya.
D. Masalah Pembangunan Daerah, Solusi, dan Langkah-langkahnya
Dalam perkembangannya, pembangunan daerah tidak luput dari berbagai masalah. Masalah tersebut semakin kontras bila kita membandingkan antara masa pra-otonomi dan pasca-otonomi. Mengapa otonomi daerah yang tujuannya baik yaitu memberikan kekuasaan pada tiap daerah untuk mengurus dirinya masing-masing justru malah menimbulkan masalah bagi beberapa daerah baik provinsi, kota ataupun kabupaten? Jawabannya adalah karena tidak semua daerah siap dalam menerima tanggung jawab tersebut. Sementara itu daerah-daerah yang sejak awal terlihat memiliki potensi yang tinggi untuk semakin maju setelah otonomi daerah dicanangkan semakin meninggalkan daerah yang tidak siap tadi jauh di belakang. Secara sistematis, kami membagi masalah pembangunan daerah menjadi empat (lihat Gambar 3 di bawah).
Gambar 10 : Masalah Pembangunan Daerah
a) Ketimpangan antar Daerah
Ketimpangan daerah merupakan masalah utama dalam pembangunan daerah. Sudah banyak studi mengenai hal ini beserta faktor-faktor penyebabnya. Dari beberapa studi tersebut, kami mengelompokkan empat lima penyebab, yaitu konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, alokasi investasi yang tidak merata, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah, perbedaan seumber daya alam (SDA) antarprovinsi, dan perbedaan kondisi demografis antarwilayah. Kelima faktor tersebut akan kami jabarkan satu persatu.
(a) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang terlalu tinggi di suatu daerah tertentu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antardaerah. ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesar sedangkan daerah yang tingkat konsentrasi ekonominya rendah akan cederung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Teori : Jika tingkat konsentrasi ekonomi suatu daerah rendah, maka tingkat pembangunan dan pertumbuhannya juga akan rendah.
Teori : Jika tingkat konsentrasi ekonomi suatu daerah rendah, maka tingkat pembangunan dan pertumbuhannya juga akan rendah.
Tabel 11 : Jumlah Industri Pengolahan Besar dan Sedang di Jawa dan Luar Jawa
Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah industri pengolahan besar dan sedang baik Jawa maupun Luar Jawa dalam jangka panjang cenderung menurun. Namun hal lain yang lebih penting untuk diperhatikan adalah gap jumlah industri yang sangat tinggi antara Jawa dan Luar Jawa. Data ini merupakan bukti bahwa kegiatan ekonomi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Solusi :
Mulai berikan perhatian lebih pada daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi (terutama di luar Jawa).
Langkah-langkah :
Memperluas pasar lokal yang ada di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi.
Keberadaan pasar menunjukkan kehidupan kegiatan ekonomi suatu daerah. Karena itu perluasan pasar di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi saat ini akan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah tersebut.
Peningkatan infrastruktur di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi.
Infrastruktur yang buruk seperti jalan-jalan yang rusak, sarana komunikasi yang tidak menjangkau,dan fasilitas lain seperti pasokan air, listrik, rumah sakit, dan lain-lain akan membuat suatu daerah kurang menarik di mata investor. Hal tersebut pula yang menyebabkan kurang terkonsentrasinya suatu daerah.
Peningkatan SDM.
Peningkatan SDM di daerah setempat juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan konsentrasi kegiatan ekonomi suatu daerah. SDM yang andal akan memberikan idea tau gagasan yang dapat mengakselerasi terjadinya pembangunan daerah yang baik.
(b) Alokasi Investasi yang Tidak Merata
Indikator lain yang juga menunjukkan ketimpangan antardaerah adalah alokasi investasi yang tidak merata. Sub-indikator yang digunakan adalah Penanaman Modal Dalam Negri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya investasi di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat perkapita di wilayah tersebut rendah.
Teori Harrod Domar : , terdapat korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Artinya semakin tinggi investasi di suatu wilayah, semakin tinggi pula pendapatan perkapita masyarakat yang berarti semakin tinggi juga pertumbuhan ekonominya.
Teori Harrod Domar : , terdapat korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Artinya semakin tinggi investasi di suatu wilayah, semakin tinggi pula pendapatan perkapita masyarakat yang berarti semakin tinggi juga pertumbuhan ekonominya.
Tabel 12 : Realisasi Investasi PMDN Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (Lkpm) Menurut Lokasi
Tabel 13 : Realisasi Investasi PMA Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Menurut Lokasi
Berdasarkan Tabel 12 dan Tabel 13 di atas, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai investasi dan total proyek tertinggi (baik PMDN maupu PMA) bila dibandingkan dengan provinsi lainnya. Statusnya sebagai ibukota dengan jumlah penduduk terpadat merupakan beberapa dari penyebabnya. Terlalu banyaknya proyek dan nilai investasi juga menjadikan Jakarta sebagai kota dengan konsentrasi ekonomi yang tinggi sekaligus menyebabkan kesenjangan konsentrasi yang tinggi dengan daerah lainnya. Sementara itu Maluku tercatat sebagai provinsi yang paling jarang dijadikan tempat investor menanam dananya.
Solusi :
Memperluas investasi ke daerah-daerah yang belum terjamah.
Langkah-langkah :
Promosi yang gencar untuk menarik investor di berbagai event dan workshop.
Birokrasi yang mudah dan tidak berbelit-belit.
Adanya pemberian jaminan keamanan untuk investor.
(c) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi Antardaerah yang Rendah
Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan capital antarpropinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan dan pertumbuhan antarpropinsi dapat lebih jelas dipahami dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Dasar teorinya adalah sebagai berikut, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antarpropinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan perkapita antar propinsi sejak perbedaan tersebut, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output dan input bebas (tanpa distorsi atau rekayasa).
Teori Unlimited Supply of Labor by A. Lewis : Jika perpindahan faktor produksi antardaerah tidak mengalami hambatan, maka pada akhirnya pembangunan ekonomi antardaerah yang optimal akan tercapai.Sesuai teori dari A. Lewis, yang dikenal dengan unlimited supply of labor, jika perpindahan faktor produksi antardaerah tidak ada hambatan, maka pada akhirnya pembangunan ekonomi yang optimal antardaerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik .
Teori Unlimited Supply of Labor by A. Lewis : Jika perpindahan faktor produksi antardaerah tidak mengalami hambatan, maka pada akhirnya pembangunan ekonomi antardaerah yang optimal akan tercapai.
Tempat lahir
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Pulau Lainnya
1990
2000
1990
2000
1990
2000
1990
2000
1990
2000
1. Sumatera
na
na
66.49
68.8
4.26
4.74
5.16
5.53
5.19
5.17
2. Jawa
95.25
93.79
Na
na
74.66
72.05
59.65
51.63
61.9
70.02
3. Kalimantan
0.63
0.69
12.31
10.15
na
na
3.41
3.44
1.35
1.75
4. Sulawesi
2.5
3.2
11.04
9.38
16.84
17.49
na
na
31.56
23.05
5. Pulau lainnya
1.62
2.33
10.16
11.68
4.24
5.72
31.78
39.41
na
na
6. Jumlah
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
7. Migran masuk
3,699,393
3,588,945
1,608,136
2,267,873
1,127,938
1,644,690
528,629
653,389
601,103
703,673
Tabel 14 : Persentase Migran Masuk Seumur Hidup menurut Pulau Tempat Lahir dan Pulau Tempat Tinggal Sekarang Tahun 1990 dan 2000 (Sumber : http://www.datastatistik-indonesia.com/, diolah)
Solusi :
Mendorong kelancaran mobilitas faktor produksi antardaerah.
Langkah-langkah :
Pembangunan sarana dan prasarana perhubungan ke seluruh pelosok wilayah.
Pengembangan sarana komunikasi agar tidak ada daerah yang terisolasi.
Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan (faktor produksi tenaga kerja).
(d) Perbedaan SDA Antarpropinsi
Dasar pemikiran 'klasik' sering mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih maksmur dengan daerah yang miskin SDA. Hingga tingkat tertentu, anggapan ini masih bisa dibenarkan, dalam arti SDA harus dilihat hanya sebagai modal awal untuk pembangunan, yang selanjurnya harus dikembangkan terus. Dan untuk maksud ini, diperlukan faktor-faktor lain, di antaranya yang sangat penting adalah teknologi dan SDM. Propinsi-propinsi di Indonesia yang kaya akan SDA seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Papua memang lebih baik dibandingkan propinsi-propinsi di luar Jawa yang miskin SDA. Tetapi, tingkat pendapatan di propinsi-propinsi kaya tersebut tidak lebih tinggi dibandingkan di Jawa yang relative kaya SDM dan teknologi.
Jadi, dengan semakin pentingnya penguasaan teknologi dan peningkatan SDM, factor endowments lambat laun akan tidak relevan lagi. Bukti menunjukkan bahwa negara-negara maju di Asia tenggara dan Timur seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura adalah negara-negara yang sangat miskin SDA. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa faktor-faktor di luar SDA jauh lebih penting dibandingkan SDA dalam menentukan maju tidaknya pembangunan ekonomi di suatu wilayah.
Teori Fisiokratis : Sumber daya alam adalah sumber kekayaan utama suatu negara.
Teori Fisiokratis : Sumber daya alam adalah sumber kekayaan utama suatu negara.
Gambar 11 : Peta Persebaran Migas di Indonesia
Gambar 11 di atas memperlihatkan persebaran berbagai sumber daya alam (berupa pertambangan) di Indonesia. Daerah seperti Arun di Aceh yang kaya akan gas alam, Bontang di Kalimantan Timur yang kaya akan minyak bumi dan batu bara, dan Sorong di Papua yang kaya akan minyak bumi adalah beberapa bukti dari teori fisiokratis.
Solusi :
Pengembangan potensi daerah selain SDA, terutama di wilayah-wilayah yang miskin SDA.
Langkah-langkah :
Kenali lebih dalam semua potensi selain SDA yang dimiliki.
Penguasaan teknologi dan sumber daya manusia. Peningkatan kedua hal ini sangat membantu dalam mengembangkan potensi yang ada.
(e) Perbedaan Kondisi Demografis Antarwilayah
Teori : Kondisi demografi seperti jumlah penduduk yang besar merupakan potensi yang besar pula bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi.Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis antarpropinsi. Terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan antar penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat, dan etos kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi produksi.
Teori : Kondisi demografi seperti jumlah penduduk yang besar merupakan potensi yang besar pula bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi.
Tabel 15 : Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia (Sumber : Profil Kesehatan Indonesia)
Menurut Tabel 15, Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah puskesmas tertinggi, sedangkan Jawa Tengah adalah provinsi dengan jumlah rumah sakit terbanyak. Banyaknya jumlah rumah sakit dan puskesmas merupakan indikator kondisi demografis dalam hal kesehatan. Semakin banyak jumlah rumah sakit dan puskesmas di suatu daerah artinya semakin baik kondisi demografi daerah tersebut dan semakin maju pula pembangunan daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Tabel 16 : Rasio SDM Kesehatan (Sumber : Profil Kesehatan Indonesia, 2011)
Masih bicara soal kesehatan, Tabel 16 menyajikan jumlah dokter, bidan, dan rasio keduanya terhadap jumlah penduduk. Semakin tinggi nilai rasionya, semakin baik kondisi demografi suatu daerah, dan semakin maju pula pembangunan daerah serta tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Provinsi dengan rasio dokter tertinggi adalah DKI Jakarta, sedangkan provinsi dengan rasio bidan tertinggi dipegang oleh Bengkulu. Yang menjadi unik di sini adalah, kebalikannya, DKI Jakarta justru adalah provinsi dengan rasio bidan terendah sedangkan provinsi dengan rasio bidan terendah dipegang oleh Jawa Barat. Populasi yang sangat tinggi di DKI Jakarta mungkin adalah salah satu penyebabnya.
Tabel 17 : Kepadatan Penduduk
Tabel 17 menunjukkan tingkat kepadatan penduduk dengan cara menghitung populasi suatu provinsi dibagi dengan luas wilayahnya. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, tingkat permintaan akan barang dan jasa juga akan meninggi. Hal tersebut pada akhirnya akan disusul oleh peningkatan pembangunan daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat. DKI Jakarta adalah provinsi dengan tingkat kepadatan tertinggi. Populasi yang membludak dan luas wilayah yang sempit adalah beberapa dari penyebabnya. Berlawanan dengan itu, Papua Barat yang memiliki wilayah yang amat luas dan penduduk sedikit tercatat sebagai provinsi dengan tingkat kepadatan terendah.
Langkah-langkah :
Mendorong program transmigrasi.
Pengadaan program wajib belajar sebagai upaya peningkatan pendidikan masyarakat.
Pembangunan rumah sakit khusus orang miskin, dll.
b) Kelemahan Kinerja Aparat Daerah
Gambar 12 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Kinerja Aparat Daerah
Grafik 4 dan Grafik 5 di atas menggambarkan belanja pegawai yang sangat besar untuk kota dan kabupaten, yaitu di atas 40%. Jauh lebih besar daripada belanja lainnya. Hal tersebut mengindikasikan jeleknya kinerja aparat daerah. Alangkah baiknya bila dana yang terlalu besar untuk belanja pegawai tersebut dialokasikan untuk peningkatan layanan masyarakat. Hal ini pula yang menyebabkan defisitnya APBN karena utang pemerintah daerah yang seharusnya bisa digunakan untuk menutupi defisit tidak dibayar. Perbandingan pendapatan dan belanja nasional bisa dilihat pada Grafik 6.
Grafik 6 : Pendapatan dan Belanja Nasional tahun 2012
c) Fenomena Desentralisasi Korupsi
Gambar 13 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Desentralisasi Korupsi
Tabel 18 : Data Penyerahan Gratifikasi ke Kas Negara
Tabel 18 di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota merupakan instansi yang melakukan penyerahan gratifikasi terbesar. Artinya, kasus gratifikasi yang berhasil dibongkar oleh KPK paling banyak adalah pemerintah daerah. Data ini memperkuat anggapan sebelumnya yang mengatakan bahwa fenomena korupsi setelah era otonomi justru semakin marak.
d) Politisasi Ekonomi Daerah : Pemekaran Daerah yang Berlebihan
Gambar 14 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Pemekaran Daerah yang Berlebihan
Grafik 7 : Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Otonomi Baru
Grafik 7 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah yang melepaskan diri (DOB) anjlok jauh di bawah daerah mekarnya. Grafik tersebut memperkuat anggapan bahwa daerah yang melepaskan diri akan cenderung mengalami penurunan dari segala aspek, termasuk pertumbuhan ekonomi, PDRB Perkapita, tingkat kemiskinan, dan indikator lainnya.
BAB III
Kesimpulan
Pembangunan daerah merupakan salah satu langkah konkret guna melaksanakan pembangunan di Indonesia.
Pola pembangunan daerah dapat dilihat dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu :
PDRB;
Konsumsi rumah tangga perkapita;
HDI;
Kontribusi Sektoral terhadap PDRB;
Tingkat Kemiskinan;
Struktur Fiskal.
Masalah yang biasanya membayangi pembangunan daerah adalah :
Ketimpangan pembangunan antardaerah;
Kelemahan kinerja aparat daerah;
Fenomena desentralisasi korupsi;
Pemekaran daerah yang berlebihan.
Terdapat solusi dan langkah-langkah untuk mengatasi masalah tersebut, namun diperlukan peran serta semua orang, tidak hanya pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dalam mendukung terjadinya pembangunan daerah yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Faisal dan Munandar, Haris. 2009. Lanskap Perekonomian Indonesia : Kajian dan Renungan terhadap Masalah-masalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesia. Jakarta : Penerbit Kencana.
Tambunan, Tulus. 2001. Transformasi Ekonomi di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat.
Hill, Hall. 1996. Transformasi Ekonomi Indonesia. Yogyakarta : Tiara Wacana Jogja.
http://bps.go.id/
http://chartsbin.com/
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/
http://www.kpk.go.id/id/
http://www.bappenas.go.id/