PENATALAKSANAAN TERBARU PADA PTERIGIUM Abstrak
Pterigium merupakan penyakit mata yang memiliki karakteristik pertumbuhan konjungtiva fibrovaskular pada kornea. Hal ini terjadi lebih sering pada pria, pada usia tua dan pada individu yang terpapar radiasi ultraviolet. Penatalaksanaan bedah meruakan tatalaksana primer pada pterigium, dan terdapat dua prosedur yang dilakukan pada eksisi pterigium. Pada metode yang pertama, kepala k epala atau pangkal pterigium yang tersebar terseba r di permukaan kornea menggunakan pisau bedah. Pada metode yang kedua, berdasarkan avulsi. Penerapan yang lain dengan mengeksisi pterigium termasuk menggunakan laser argon dan laser excimer. Karena terjadi tingkat kekambuhan yang tinggi, maka diperlukan terapi ajuvan termasuk radioterapi, kemoterapi dan prosedur graft yang dilakukan setelah eksisi pterigium. Prosedur tersebut merupakan penatalaksanaan standar yang dilakukan pada jangka panjang pada pterigium. Radioterapi dilakukan berdasarkan iradiasi beta. Kemoterapi termasuk menggunakan mitomycin C, 5Fluorouracil, bavacisumab dan loteprednol. Loteprednol etabonat pada prosedur graft termasuk penggunaan graft dengan membrane amniotik dan autograft pada konjungtiva. Banyak ahli bedah yang percaya atas penggunaan mitomycin C dan tersedianya autograft konjungtiva yang memberikan hasil terbaik dalam hal kekambuhan,kosemtik, dan kepuasan pasien. Pendahuluan Eksisi Pterigium
Penatalaksanaan bedah merupakan penatalaksanaan primer untuk pterigium. Eksisi yang sederhana dikombinasi dengan terapi ajuvan seperti agen anti VEGF, atau graft yakni graft membrane amniotic atau autograft konjungtiva memberikan hasil terbaik untuk kesuksesan jangka panjang dalam pembedahan atau operasi pada pterigium. Tujuan utama pada pembedahan pembedah an untuk menghilangkan secaa utuh bagian kepala,leher dan badan pterigium. Terdapat dua prosedur yang sering dilakukan pada eksisi pterigium. Metode yang pertama, setelah dilakukan anastesi local, kepala dari pteriium dicengkram dengan menggunakan forsep dan dipisahkan dari permukaan kornea dengan menggunakan pisau bedah dan sisanya pterigium dibedah menggunakan gunting posterior sampaidengan mendekati 5-7mm dari limbus kemudian gunting. Metode kedua berdasarkan avulis, selanjutnya untuk mengambil dan membedah antara tubuh perigium, instrument yang tidak tajam seperti spatula dimasukkan dibawah tubuh pterigium. Kemudian pada langkah selanjutnya tubuh pterigium dikeluarkan dengan menggunakan forsep dan kepala pterigium di potong atau dihilangkan dari kornea. Tujuan dari kedua metode tersebut adalah untuk membersihkan bantalan atau permukaan kornea. Hal ini didapatkan dengan penggunaan pisau bedah untuk mengikis bagian yang tersisa dari pterigium dan dengan kauterisasi dari pembuluh darah. Metode yang lain untuk mengeksisi pterigium seperti laser argon dan laser excimer. Metode tersebut digunakan setelah pengangkatan pterigium untuk mendapatkan permukaan kornea yang
baik. Pada beberapa kondisi, laser tersebut digunakan untuk eksisi lengkap pada pterigium. Tetapi prosedur ini biasanya dihubungkan dengan resiko komplikasi yang tinggi. Masalah yang dapa terjadi dari eksisi pterigium yang dilakukan untuk mengidentifikasi area yang dipisahkan baik selama diseksi tumpul dan pada jaringan sisa pterigium pada kornea. Penggunaan etanol sebelum dilakukannya eksisi pengangkatan pterigium dapat menunjang prosedur ini. Etanol memisahkan sel epitel kornea dengan menghancurkan ikatannya, yang mana membuat lebih mudah mengangkat pterigium dari lapisan bawah kornea dengan menggunakan spatula. Pada akhirnya, penggunaan etanol utama bertujuan untuk memisahkan area yang lebih baik. Metode ini khususnya cocok untuk pasien dengan pterigium rekuren yang mana memiliki kornea yang lebih tipis atau dengan pterigium dengan kepala ganda. Terapi Ajuvan
Angka kekambuhan yang tinggi berhubungan dengan teknik sclera terbuka menimbulkan perkembangan beberapa prosedur dalam tatalaksana pterigium setelah eksisi. Hal ini termasuk radioterapi,kemoterapi dan prosedur graf. Meskipun prosedur ini mengkhususkan pada keamanan, kenyamanan pasien, harga dan lama operasi atau hasil tatalaksana operasi yang meningkat. Prosedur ini menjadi standar dalam jangka panjang pada pterigium. Iradiasi Beta
Penggunaan iradiasi beta pada sclera terbuka, biasanya menggunakan dosis tunggal, menunjukkan terapi post operatif yang efektif, khususnya ketika di aplikasikan setelah operasi pterigium atau selama 24jam. Pada akhirnya iradiasi beta dapat dikombinasi dengan metode terapi ajuvan yang lain. Radioterapi menjadi tidak popular dikalangan dokter bedah karena dari data komplikasi sebelumnya termasuk inflamasi konjungtiva, mencairnya sclera, katarak dan uveitis. Lambat laun, banyak substansi yang digunakan untuk mencegah kekambuhan setelah eksisi pterigium. Trietilen pyofosforamit atau Tiotepa merupakan salah satu dari lini pertama pada agen kemoterapi yang digunakan untuk tujuan tersebut. Selain itu obat lain ditemukan berhubungan mengurangi angka kekambuhan yang mana tersemasuk doxorubicin dan steroid. Dan yang terkini adalah penggunaan alcohol dan anti VEGF. Pada akhir tahun dilaporkan bahwa tingkatan dari VEGF pada jaringan pterigium telah meningkat dibandingkan pada jaringan normal konjungtiva yang mana anti VEGF diputuskan sebagai terapi pterigium. Hal tersebut diketahui dengan baik,kekambuhan dari pterigium memiliki bentuk yang lebih agresif yang mana terlihat sebagai investigator sebagai terapi ajuvan yang kuat pada pencegahan kekambuhan pterigium. Banyak obat anti VEGF yang digunakan untuk tuuan internasional,akan tetapi mitomycin c dan 5-fluorouracyl lebih sering digunakan. Mitomycin C MMC adalah antineoplastik- antibiotic alami yang terdiri dari Streptomyces caespitosus. Hal tersebut merupakan agen alkilasi, lebih dari sebuah anti metabolik, yang menghambat khususnya pada replikasi DNA, mitois dan sintesis protein. MMC menghambat proliferasi fibroblast dan
menekan pertmbuhan vaskuler. Lini pertama diketahui menggunakan MMC pada penatalaksanaan pterigium pada tahun 1963. Dua metode telah dikembangkan untuk penggunaan mitomycin C yakni termasuk penggunakan salep mata pada pasien post operasi dan pembersihan menggunakan spons dengan 0,02% mitomycin C (dosis, 0,2mg/mL) pada intraoperasi dipakai secara langsung pada sclera terbuka selama 3-5menit. Metode tersebut dapat digunakan sebagai terapi ajuvan pimer atau graf tambahan pada konjungtiva atau membrane amniotic yang dapat digunakan untuk menutupi sclera terbuka. Bagaimanapun terapi ajuvan dengan penggunaan mitomycin C bukan tanpa resiko. Hal ini berhubungan dengan lamanya, kerusakan stem sel yang irreversibel dapat memicu keratopatik kronik dan keratokonjungtivitis toksik. Hal ini dapat menyebabkan nekrosis sclera aseptic, infeksi sklerokeratitis, dan glaucoma sekunder. Fakta yang penting untuk diingat ketika menggunakan MMC adalah kehati-hatian dari komplikasi yang dapat timbul yang mana dapat terjadi beberapa bulan setelah pemakaian MMC. Hal ini direkomendasikan menggunakan MMC selama operasi dari pada digunakan pada post operasi karena lebih baik untuk mengontrol dosis yang berlebihan. Kejadian kelebihan dosis tidak biasanya terjadi selama post operasi ketika mitomycin C diberikan kepada pasien. 5-FLUOROFURACIL
5-FU sebuah analog pirimidin yang menghambat sintesis DNA. Hal ini mengakibatkan ekspresi pada fase S pada siklus sel. Hal ini pula menghambat proliferasi sel fibroblast yang mana di aktifasi sebagai respon untuk terjadinya inflamasi. Sebelumnya disebutkan untuk MMC, 5 FU dapat digunakan sebagai terapi ajuvan tunggal, atau hal itu dapat dikombnasikan dengan prosedur graf setelah eksisi pterigium. Pengunaan 5 FU berhubungan dengan sedikit komplikasi sementara. Tetapi tidak ada pendapat yang menyebutkan selama penelitian pada keamanana jangka panjang dan keefektivan penggunaan 5 FU dapat dievaluasi secara adekuat pada terapi pterigium. BEVACIZUMAB
Bevacizumab adalah gabungan dari monoclonal murin manusia dengan IG G1 yang menghambat pembentukan anti VEGF- A isoform, pemicu pokok dari angiogenesis. Regresi signifikan dari neovaskularisasi limbal sampai dengan konjungtiva dan proses kekambuhan yang lambat dilaporkan pada pasien dengan pterigium rekuren yang mana diberikan terapi bivacizumab. Selama operasi, bivacizumab sering digunakan sebagai injeksi konjungtiva, pengangkatan neovaskularisasi dari kornea dan konjungtiva. Metode yang menggunakan bivacizumab dapat dilakukan sendiri atau kombinasi dengan fototerapi laser argon untuk obliterasi khusus yang bertujuan untuk pemberian nutrisi pada konjungtiva oleh pembuluh darah. Pemakaian bivacizumab topical untuk mencegah neovaskularisasi kornea. LOTEPREDNOL ETABONATE
Peningkatan pemahaman dari alur patogenesis inflamasi dan pembedahan pada pterigium pada tahun terakhir menyebabkan penggunaan kortikosteroid topical seperti loteprednol etabonat,
pada protocol terapi pterigium. Dibandingkan dengan kortikosteroid lain, loteprednol etabonat memiliki struktur yang unik, yang mana mampu menyiapkan penetrasi membrane sel. Pada akhirnya hal tersebut memiliki potensi yang kuat sebagai reseptor glukoortikoid yang mana memisahkan obat secara cepat yang dikonfersi dalam metabolit inaktif, mencegah efek samping yang tidak diinginkan dari kortikosteroid ocular seperti peningkatan TIO dan katarktogenesis. Saat ini tidak ada penelitian klinis yang signifikan yang dapat mengungkapkan hubungan positif antara penggunaan loteprednol etabonat dan pengurangan kekambuhan dari pterigium, yang mana meninggalkan kemungkinan untuk dilakukannya penelitian dimasa depan. Prosedur Graf
Graf membrane amnion dan autograft konjungtiva menjadi standar terapi pterigium pada banyak dokter bedah. Setelah eksisi pterigium, graf ini dapat diimplementasi sendiri atau dikombinasi dengan terapi ajuvan lain. Metode terkini yang disarankan untuk metode graf untuk menempelkan graf dengan lem fibrin dari pada sutura karena hal ini merupakan operasi unggulan dan karakterisktik post operasi. Keuntungan metode ini yakni mengurangi waktu operasi, inflamasi post operasi dan angka kekambuhan. Membrane Amniotik graf
Data pertama dalam penggunaan graf membrane amnion dilakukan pada tahun 1947. Membrane amniotic terdiri dari tiga lapisan yang berbeda : sebuah lapisan epitel, membrane dasar, dan stroma avaskular. Hal ini digunakan sebagai karakteristik termasuk anti inflamasi, anti skar dan anti angiogenik yang mana membuat membrane amnion sesuai dengan terapi pterigium. Membrane amniotic dapat dipakai ketika dalam keadaan segar dan kondisi dingin. Pada Negara berkembang membrane amniotic yang segar biasanya tidak tersedia karena membutuhkan tes pada banyak macam infeksi. Hal tersebut disediakan alternative pada jaringan konjungtiva pada kasus dimana terdapat kerusakan konjungtiva yang besar dan menutupi sclera yang terbuka. Membrane amniotic tidak memiliki antigen leukosit manusia, sehingga tidak memiliki resiko penolakan. Keuntungan penggunaan transplantasi membrane amniotic yang berlebihan prosedur graf memiliki waktu operasi yang lebih singkat, nyeri mata yang berkurang,penyembuhan yang lebih cepat dan biasanya didapatkan hasil kosmetik yang lebih baik. Autograf Konjungtiva
Pada 30 tahun terakhir sejak diperkenalkan oleh Kenyon et al, autograf konjungtiva menjadi terapi ekeftif yang paling mungkin untuk pterigium pada transplantasi jaringan autolog. Menutupi sclera terbuka dapat diselesaikan dengan penutupan primer langsung, flap sleeding conjungtiva, atau dengan autograph konjungtiva bebas yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi superior. Hal tersebut menunjukkan sleeding dan graf bebas lebih efektif dari pada penutupan konjungtiva secara langsung. Kejadian kekambuhan yang dlapo rkan setelah prosedur ini adalah sebanya 0-39%. Angka kekambuhan dapat berkurang dengan pemakaian lem fibriin atau alcohol selama eksisi pterigium dan kemudian menutupi sclera terbuka dengan autograph
konjungtiva. Pengunaan kauter yang minimal memastikan graf tendon bebas dan pengangkatan dari fibrin yang berlebihan merupakan factor penting pada kesuksesan pada transplantasi graf konjungtiva. Graf limbal – konjuntiva yang mana termasuk sekitar 2mm dari jaringan limbal pada graf , menerima kerusakan sel limbal yang diisi dengan jaringan segar yang dapat meminimalisir kekambuhan yang terjadi. Kesimpulan
Perbandingan langsung selama penelitian ini tetap berbeda karena perbedaan teknik pada eksisi pterigium, durasi dan tipe terapi ajuvan yang digunakkan. Hal ini dapat diterima sebagai macam terapi ajuvan dan kombinasinya yang signifikan meningkatkan hasil terapi pada kondisi kekambuhan, kosmetik dan kepuasan pasien. Banyak dokter bedah meyakini bahwa menggunakan mitomycin C dan teknif autograph konjungtiva akan mendapatkan hasil yang signifikan. Agen anti VEGF yang lain, steroid dan etanol akan memungkinkan meningkatkan pterigium ketika beberapa penelitian telah selesai dilakukan.