membentuk banyak antibodi untuk menetralisirnya.7 Disamping itu, khusus mengenai streptolisin titer O, ternyata zat ini sewaktu-waktu dapat memecah sel darah merah dan menyebabkan kemolisis. Itulah sebabnya, mengapa jenis streptokokus ini dimasukkan pula ke dalam kelas β-hemolitik.
Infeksi DR sering terjadi secara berulang dan dikenal sebagai reaktivasi rema.7 Walaupun penyakit ini merupakan suatu inflamasi sistemik, tetapi PJR merupakan satu-satunya komplikasi demam reumatik yang paling permanen sifatnya dan merugikan masa depan seseorang. Tampaknya komplikasi ini ditentukan oleh beratnya infeksi DR yang pertama kali dan seringnya terjadi reaktibasi rema di kemudian hari. Itu sebabnya, tidak semua DR akan berkembng menjadi PJR. Sebaliknya, tidak semua PJR mempunyai riwayat DR yang jelas sebelumnya. Hal ini mungkin karena gejala-gejala DR pada fase dini memang tak mudah dikenali, atau DR memang tak jarang hanya bersifat silent attack , tanpa disertai gejala-gejala klinis yang nyata.7
Demam reumatik biasanya menyerang jaringan otot miokard, endokard dan perikard, terutama pada katup mitral dan katup aorta. 7 Meskipun karditis pada DR dapat mengenai perikardium, miokardium dan endokardium, tetapi kelainan yang menetap hanya ditemukan pada enokardium terutama katup. 7,8,9 Katup yang paling sering terkena adalah katup mitral dan aorta. Kelainan pada katup trikuspid santa jarang disebabkan oleh infeksi rema, sedangkan kelainan pada tatup pulmonal biasanya bersifat kongenital dan sangat jarang pula disebabkan oleh infeksi rema. 7,8 Kelainan dapat berupa insufusiensi, tetapi bila penyakit berjalan sudah lama berupa stenosis.9
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa streptolisin bersifat toksik pada sel miokard yang dibiakkan in vitro. 8 Pemeriksaan imunologik menunjukkan antibodi yang bereaksi dengan M protein dari mikroba penyebab. Antigen streptokokus tersebut memiliki epitop yang sama dengan jaringan miokard jantung manusia, sehingga antibodi terhadap streptokokus akhirnya akan akan menyerang jantung (jaringan, katup).10
Secara histopatologis, infeksi DR ditandai dengan adanya proses Aschoff bodies yang khas, walaupun secara klinis tidak ada tanda-tanda reaktivasi rema yang jelas.7 Daun katup dan korda tendinea akan mengalami edema, proses fibrosis, penebalan,
vegetasi-vegetasi
dan
mungkin
kalsifikasi.
Proses-proses
ini
menunjukkan bahwa DR memang merupakan suatu penyakit autonium, dimana reaksi silang yang terjadi antara streptokokus dengan jaringan tubuh tertentu dapat menyebabkan kerusakan jaringan secara imunulogik.
Akan tetapi, peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya diterima.8 Adanya antibodi bereaksi silang yng serupa pada serum pasien tanpa demam reumatik mendorong penelitian mediator imun lain. Data mutakhir menunjuk pada sitotoksisitas yang ditengahi oleh sel sebagai mekanisme alternatif untuk cedera jaringan. Penelitian menunjukkan bahwa limfosit darah perifer pasien dengan korditis reumatik akut adalah sitotoksik terhadap sel miokardium yang dibiak in vitro, dan bahwa serum penderita demam reumatik menghapuskan pengaruh sitotoksik tersebut.8
PATOLOGI Proses patologi pada demam reumatik melibatkan jaringan ikat atau jaringan kolagen.8 Meskipun proes penyakit adalah difus dan dapat mempengaruhi kebanyakan jaringan tubuh, manifestasi klinis penyakit terutama terkait dengan keterlibatan jantung, sendi dan otak. Keterlibatan jantung pada emam reumatik dapat mengenai setiap komponen jaringannya.8 Proses radang selama karditis akut paling sering terbatas pada endokardium dan miokardium, namun pada pasien dengan miokarditis berat, perikardium dapat juga terlibat. Dengan berlanjutnya radang, perubahan eksudatif dan proliferatif menjadi lebih jelas. Stadium ini ditandai dengan perubahan endomatosa jaringan, disertai oleh infiltrasi selular yang terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan beberapa granulosit. Fibrinoid, bahan granular eosinofil ditemukan tersebar di seluruh jaringan dasar. Pembentukan sel Aschoff menyertai stadium tersebut.8
Lesi patognomis ini terdiri dari infiltrasi perivaskular sel besar dengan inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling pusat fibrinoid yang avaskular.8 Benda Aschoff dapat ditemukan pada setiap daerah miokardium tetapi paling sering ditemukan dalam jaringan aurikular kiri. Sel Aschoff dapat tampak pada fase akut; mungkin pasien ini menderita karditis kronik dengan kumat demam reumatik. Jarang sel Aschoff ditemukan dalam jaringan jantung pasien tanpa riwayat DR. Reaksi radang juga mengenai lapisan endokardium yang mengakibatkan endokarditis.8 Proses endokarditis tersebut mengenai jaringan katup serta dinding endokardium. Yang paling sering terlibat adalah katup mitral, disusul katup aorta. Katup trikuspid jarang terlibat, dan katup pulmonal jarang sekali terlibat. Radang awal pada enokarditis dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi katup.7 Penemuan histologis dalam endokarditis terdiri dari edema dan infiltrasi selular jaringan katup dan korda tendinea. Lesi yang khas endokaditis reumatik adalah ‘tambalan ( patch ) MacCallum’, daerah jaringan menebal yang ditemukan dalam atrium kiri, yakni di atas dasar daun katup mitral posterior. Degenerasi hialin pada katup yang terkena akan menyebabkan pembentukan veruka pada tepinya dan kontraktur daun katup, yang akan menghalangi pendekatan daun-daun katup secara total dan menghalangi penutupan ostium katup. Dengan radang yang menetap, terjadilah fibrosis dan kalsifikasi katup. 4 Kalsifikasi mikroskpois dapat terjadi pada pasien muda dengan PJR.
DIAGNOSIS Kriteria Jones pertama kali diperkenalkan pada tahun 1944 sebagai petunjuk klinis untuk menegakkan diagnosis DR dan PJR. Berdasarkan prevalensi dan spesifitas gejala, maka gambaran klinis DR digolongkan menjadi 2 kategori yaitu kriteria mayor dan kriteria minor.1
Kriteria Jones yang pertama kali dicetuskan oleh Dr. T. Duckett Jones pada tahun 1944, sampai saat ini telah mengalami 4 kali modifikasi, dan kriteria yang terbaru adalah kriteria yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2002-2003 (Tabel
1).1 Kriteria yang telah direvisi ini selain digunakan untuk membuat diagnosis DR dan PJR, juga sangat membantu untuk menegakkan diagnosis serangan ulang DR pada penderita tanpa PJR, serangan ulang DR pada penderita PJR, reumatik korea, reumatik karditis yang terjadi secara perlahan-lahan, dan PJR kronis. Khusus pada penderita dengan gejala korea Sydenham, pada penderita dengan gejala karditis yang terselubung, serta kadang-kadang penderita dengan DR berulang, oleh karena antibodi terhadap streptokokus mungkin telah kembali ke nilai normal, pada ketiga kondisi di atas kritieria ini dapat diabaikan. Kriteria ini telah terbukti dapat mencegah
overdiagnosis DR. Tabel 1. Kriteria WHO 2002-2003 untuk diagnosis DR dan PJR (berdasarkan kriteria Jones yang telah direvisi). 1
Kriteria Diagnostik Episode pertama DR
KRITERIA 2 mayor* atau 1 mayor dan 2 minor** ditambah bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya *** 2 mayor atau 1 mayor dan 2 minor ditambah bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya
Serangan ulang DR pada penderita tanpa PJR 2 minor ditambah bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya Serangan ulang DR pada penderita dengan PJR Reumatik korea
Manifestasi mayor lainnya atau bukti Infeksi streptokokus grup A tidak diperlukan
Reumatik karditis yang tiba-tiba Untuk diagnosis tidak memerlukan kriteria lain Lesi katup kronis pada PJR (penderita datang pertama kali dengan murni gejala mitral stenosis atau kombinasi kelainan katup mitral dan/atau kelainan katup aorta)
oleh karena telah menunjukkan gejala PJR
* Manifestasi mayor
•
•
** Manifestasi minor
karditis poliartitis
•
korea
•
eritema margintum
•
nodul subkutan
•
klinis: demam, poliartralgia
•
laboratorium: peningkatan reaktan fase akut (laju endap darah atau jumlah leukosit)
•
EKG: pemanjangan interval P-R
•
Peningkatan antistreptolisin-O
*** Bukti penunjang infeksi streptokokus sebelumnya dalam 45 hari terakhir
atau antibodi streptokokus lainnya, atau •
Biakan tenggorok yang +, atau
•
Rapid antigen test untu streptokokus grup A, atau
•
Demam skarlatina sebelumnya
Dikutip dari Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik, dalam “Hot Topics in Paeiatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 2006 1
Perencanaan elektrokariografi dan ekokardiografi Penelitian di Jakarta tentang manfaat serta sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan elektrokardiografi sebagai diagnosis penunjang untuk DR dan PJR dapat untuk menentukan adanya hipertrofi ventrikel kiri, dan stenosis katup mitral, pemeriksaan elektrokardiogrfi cukup sensitif.1 Kombinasi pemeriksaan EKG dan foto dada memiliki nilai sensitifitas dan nilai duga negatif yang tinggi. Di dalam kriteria Jones tidak disebutkan peranan elektrokardiografi. Saat ini pemeriksaan ekokardiografi memegang peranan penting dalam membantu menemukan adanya karditis oleh karena pada pemeriksaan klinis seringkali murmur derajat ringan sulit dideteksi oleh karena adanya takikardia. 1 Pemeriksaan ini bila dilakukan pada pasien dengan DR akut yang diagnosisnya ditegakkan dengan kriteria Jones yang ketat, dikatakan dapat menghindari overdiagnosis dan underdiagnosis karditis.1 Beberapa penelitian dengan menggunakan ekokardiografi pada pasien DR akut, dapat meningkatkan penemuan kejadian karditis dengan regurgitasi. Selain itu dengan pemeriksaan ini juga dapat dideteksi adanya prolaps katup, penebalan katup dan efusi perikardium. Insidens karditis yang tinggi, atau karditis subklinis dijumpai pada penderita dengan reumatik korea atau atralgia. EKG pada PJR •
Pada demam reumatik akut, gambaran EKG tidak sangat berarti dalam diagnosis. Untuk diagnosis tanda-tanda yang perlu dicari adalah kelainan pada konduksi, tanda-tanda keterlibatan miokardium dan perikardium dan tanda-tanda adanya hipertrofi atrium atau ventrikel.
•
Kelainan pada konduksi: yang paling sering adalah blokade konduksi AV. Interval PR memanjang (PR normal + 0.04 detik) adalah tanda blokade AV derajat 1 ( first degree heart block ) dan merupakan kriteria minor pada kriteria Jones.
•
Tanda-tanda yang melibatkan miokardium dan perikardium. Gelombang T yang rendah bdengan disertai depresi ST merupakan petunjuk adanya penyakit miokard. Apabila ada perikarditis, segmen ST sering elevaasi pada hampir semua hamparan.
•
Hipertrofi atrium dan ventrikel. Adanya dilatasi jantung karena adanya radang dan regurgitasi mitral atau regurgitasi aorta pada EKG akan tampak adanya gelombang R yang tinggi di hantaran V6. Hal ini menandakan adanya Hvki. Adanya P mitral menunjukkan adanya dilatasi atrium. 11
EKG pada PJR kronik •
Pengaruh hemodinamik penyakit jantung reumatik dievaluasi dengan bantuan EKG. Akan tetapi, tidak ada gambaran EKG spesifik pada penyakit ini dan semua gambaran EKG memproyeksikan adanya penyakit valvula. Pada anakanak insufisiensi mitral paling sering terdapat, sedangkan stenosis mitral sangat jarang.
•
Penambahan beban (hipertrofi0 ventrikel kiri diwujudkan sebagai voltase QRS seperti gelombang S yang dalam di hantaran V1 dan gelombang R yang tinggi di hantaran V6. Pada kasus lain, gelombang Q yang dalam di hantaran V6 menunjukkan adanya regurgitasi mitral.
•
Apabila ada gambaran kompleks QRS pada ad.1, ditambah dengan gelombang T peak pada hantaran V6, menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri tipe volume. Jika beban ventrikel kiri berat sekali, akan tampak inversi T dan depresi ST sebagai gambaran strain ventrikel kiri.
•
Jika ada regurgitasi atau stenosis mitral berat, akan terjadi gambaran hipertrofi atrium kiri.
•
Jika terjadi hiopertrofi atrium kiri yang berat, dapat membawa ke arah fibrilasi atrium.11
Ekokrdiografi
Karditis ringan: regurgitasi mitral mungkin didapatkan selama fase akut akan tetapi dapat menghilang dalam beberapa minggu atau bulan. Akan tetapi, pada pasien dengan karditis derajat sedang maupun berat mungkin didapatkan stenosis mitral dengan/tanpa regurgitasi aorta.
Yang paling penting dari regurgitasi mitral pada valvulitis reumatik akut adalah dilatasi dari anular, dan pemajangan dari korda tendinae ke bagian anterior.
Selama demam reumatik akut, ventrikel kiri lama-kelamaan akan berdilatasi sebagai akibat dari fractional shortening yang normal atau bahkan meningkat.
Pada penyakit jantung reumatik kronik, ekokardiografi dapat berguna untuk mengetahui progresifitas dari stenosis katup dan dapat membantu memperkirakan waktu yang tepat untuk dilakukan intevensi bedah. Daun dari katup yang terkena lama-kelamaan akan menebal, dengan perlekatan beberapa komisura dan korda tendinea. Densitas yang meningkat dari katup mitral dapat menunjukkan adanya proses kalsifikasi. 3
TERAPI Di negara maju kebanyakan anak dan remaja yang menderita PJR adalah asimtomatik oleh karena lesi katupnya ringan yang atau sedang dengan ukuran jantung normal atau sedikit membesar.7 Mereka tidak perlu pembatasan aktivitas fisik, yang mungkin bahkan merugikan karena terjadi neurosis jantung. Lagipula, pembatasan aktivitas fisik pada kelainan sedang tidak perlu, karena pasien segera mengerti toleransi kerjanya sendiri. Namun, olahraga dalam tim atau olahraga kompetetif atau latihan isometrik dianjurkan jika ada riwayat gagal jantung yang baru atau terdapat kardiomegali sedang atau berat. 7 Penanganan yang berbaik untuk penyakit jantung reumatik adalah pencegahan. 4 Perlu ditekankan pentingnya profilaksis jangka panjang lama dan terus menerus dalam pertemuan pertama dengan pasien dan keluarga. Lebih baik pada awal serangan demam reumatik diterangkan sifat kumat penyakit ini, dan ditekankan pentingnya pemberantasan infeksi streptokokus serta bahaya endokarditis. Penjelasan rinci tentang profilaksis pada anamnesis dan tiap kunjungan selanjutnya mengurangi angka mangkir (drop outs) program kemoprfilaksis, terutama pada pasien yang tanpa gejala. 4
Pencegahan primer demam reumatik Pencegahan primer demam reumatik adalah pemberian antibiotika untuk pengobatan infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bagian atas, yang bertujuan untuk mencegah serangan pertama DR akut (Tabel 2).1 Gejala yang menunjang untuk faringitis oleh karena streptokokus grup A adalah demam tinggi yang tiba-tiba, sakit tenggorokan hebat sampai sulit menelan, rash scarlatina dan nyeri abdomen.
Tabel 2. Pencegahan primer demam reumatik: terapi yang dianjurkan untuk pengobatan terhadap faringitis streptrokokus.1
Antibiotika Benzatin
Pemberian Injeksi i.m, tunggal
benzylpenisilin
Dosis
Keterangan
1.200.000 unit i.m; BB <27
Lebih disebangi daripada
kg: 600.000 unit
penisilin oral, karena kepatuhan lebih baik
Oral 2-4 kali/hari Phenoxymethyl
selama 10 hari
Belum pernah dilaporkan Anak: 250 mg, 2 atau 3
penicillin
kali
(Penicillin V)
Remaja : 250 mg, 3 atau 4
GABHS yang resisten terhadap penisilin
kali, atau 500 mg 2 kali sehari
Amoksisilin
Oral 2-3 kali/hari,
25-50 mg/kg/hari dibagi
selama 10 hari
dalam 3 dosis. Total dosis dewasa 750-1500 mg/hari
Rasa lebih disukai daripada penisilin oral
Bervariasi tergantung jenisnya Oral 2-3 kali/hari Cefalosporin generasi
Sebagai alternatif untuk
selama 10 hari
pertama Eritromisin
penisilin oral Bervariasi sesuai jenisnya.
etilsuksinat Oral 4 kali/hari selama 10 hari
Sediaan yang tesedia dalam bentuk stearat, etilsuksinat,
Sebagai alternatif bila penderita
estolat atau basa
alergi terhadap penisilin
Dikutip dari Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik, dalam “Hot Topics in Paeiatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 20061
Pencegahan sekunder terhadap demam reumatik akut
Penderita demam reumatik mempunyai resiko besar untuk mengidap serangan ulangan demam reumatik setelah terserang infeksi bakteri streptokokus grup A berikutnya. 1 Oleh karena itu, pencegahan merupakan aspek penanganan demam reumatik yang sangat penting. Pencegahan sekunder pada dasarnya merupakan pemberian antibiotik secara teratur pada penderita yang pernah mengidap demam reumatik agar tidak terjadi infeksi streptokokus pada saluran pernafasan bagian atas, sehingga tidak terjadi serangan ulang demam reumatik. Untuk terjadinya serangan ulang DR dan infeksi saluran nafas atas karena GABHS maka diperlukan pemberian antibiotika yang spesifik pada penderita yang sebelumnya menunjukkan serangan akut DR, atau PJR yang nyata. 1 Pemberian benzathine penicilline secara intramuskular yang 4 minggu sekali masih merupakan pilihan pertama pada penderita yang tidak alergi terhadap penizilin.1 Pemberian benzathine penicilline 1.200.000 U secara intramuskular setiap 4 minggu menunjukkan angka kekambuhan 0,4%/tahun dengan angka kepatuhan 4%. Sedangkan dengan pemberian penisilin G peroral sebanyak 200.000 U/hari angka kekambuhan pertahun sebanyak 5,5% dan angka kepatuhan 50%. Penelitian pada anak di Jakarta, dengan membandingkan kadar penisilin di dalam darah antara anak yang diberikan profilaksis benzathine penicillin G setiap 3 minggu dengan pemberian tiap minggu, tidak dijumpai perbedaan kadar yang bermakna. 1 Tabel 3. Antibiotik untuk pencegahan sekunder demam reumatik.1
Antibiotika Benzathine benzylpenisilin/ Benzathine penicilline G
Cara Pemberian
Dosis
Injeksi intramuskuler tunggal
Anak dan dewasa BB
setiap 3-4 minggu
> 30 kg: 1.200.000 unit
Oral
Anak < 30 kg: 600.000 unit 250 mg dua kali sehari
Penisilin V
Anak dan dewasa BB
Sulfonamid
Oral
> 30 kg: 1 gram/hari.
Eritromisin
Anak < 30 kg: 500 mg/hari 250 mg dua kali sehari.
Oral
Dikutip dari Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik, dalam “Hot Topics in Paeiatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 20061
Pemberian anti inflamasi, anti korea, dan kortikosteroid
Oleh karena beberapa bukti menunjukkan proses inflamasi merupakan penyebab utama gejala karditis, maka pemberian obat anti inflamasi seperti kortikoseteroid dan aspirin digunakan untuk pengobatan DR akut. 1 Pada kasus dengan karditis berat, pemberian aspirin harus dikombinasi dengan pemakaian kortikosteroid (Tabel 4).1 Beberapa peneliti menunjukkan pemberian kortikosteroid, yang mekanisme kerjanya sebagai antiinflamasi dan imunosupresif, dapat mengurangi lamanya serangan dan mengurangi kerusakan pada katub jantung. Secara farmakologis kortikosteroid bekerja dengan mempertahankan interitas kapiler, stabilisasi organel sitoplasma (sehingga mencegah pelepasan enzim hidrolitik), mencegah perlekatan sel darah merah pada endotel vaskuler, dan mengurangi proses diapedesis dinding
kapiler
dengan makrofag dan
sel
polimorfonuklear pada daerah inflmasi. Tetapi sayangnya pemberian kortikosteroid, anti-inflamasi non-steroid yang baru seperti naproxen dan metilprednisolon atau imunoglobulin intravena tidak dapat mencegah atau menurunkan resiko keterlibatan katup jantung pada penderita dengan DR akut. Selain itu preparat anti inflamasi sampai saat ini juga belum pula terbukti dengan baik dapt merubah perjalanan penyakit karditis. Demikian pula dengan pemberian imunoglobulin intravena, tidak dapat merubah perjalanan penyakit DR akut. 1 Untuk pengobatan korea Sydenham’s masih digunakan preparat yang bertujuan mengurangi gerakan involunter, yaitu haloperidol.1 Dosis awal yang dianjurkan 1-3 gram/hari, dan dapat dinaikkan setiap 5 hari sampai gejala
menghilang. Dosis ini dipertahankan selama 2 minggu dan kemudian secara bertahap diturunkan. Obat lain yang dapat dipilih adalah diazepam dan karbamazepin. Tabel 4. Rekomendasi pemberian obat anti inflamasi.1
Artritis saja
Karditis Ringan
Karditis
Karditis Sedang
Berat
Prednison
0
0
0
2-8 minggu*
Aspirin
1-2 minggu
3-4 minggu**
6-8 minggu
2-4 bulan
* Dosis prednison harus diturunkan bertahap dan pemberian aspirin dimulai pada minggu terkhir ** Aspirin dapat diturunkan sampai dosis 60 mg/kg/hari setelah 2 minggu terapi Dosis : Prednison : 2 mg/kg/hari, dalam 4 dosis terbagi Aspirin : 100 mg/kg/hari, dalam 4-6 dosis tinggi Dikutip dari Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik, dalam “Hot Topics in Paeiatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 20061
Perjalanan penyakit PJR Faktor-faktor yang turut berperan terhadap berulangnya serangan DR yaitu: usia saat pertama serangan, adanya PJR, jarak waktu serangan ulang dari serangan sebelumnya, jumlah serangan demam sebelumnya, derajat kekumuhan suatu keluarga, riwayat keluarga dengan DR/PJR, faktor sosial dan edukasi penderita, resiko infeksi streptokokus di area tempat tinggal, dan penerimaan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.1 Tabel 5 di bawah memuat lamanya pemberian profilaksis sekunder yang dianjurkan. Tabel 5. Lamanya pemberian profilaksis sekunder yang dianjurkan.1
Kategori penderita
Lamanya profilaksis
Penderita tanpa karditis
5 tahun setelah serangan ringan terakhir, atau
sampai usia 18 tahun Penderita
dengan
karditis
(regurgitasi
ringan katup mitral atau karditis yang sudah sembuh)
10 tahun setelah serangan terakhir, atau minimal sampai usia 25 tahun
Penyakit katup yang lebih berat Seumur hidup
Setelah operasi katup
Seumur hidup
Dikutip dari Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik, dalam “Hot Topics in Paeiatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 20061
Masalah khusus timbul pada anak dan remaja yang berada dalam terapi selama bertahun-tahun. Pada pasien yang mengalami perburukan klinis tanpa diketahui sebabnya, hal berikut harus disingkirkan : 1. Reaktivasi karditis reumatik. Pada banyak pasien hal ini sulit dikesampingkan terutama bila tidak terdapat tanda demam reumatik akut yang jelas. 2. Infeksi. Endokarditis yang tidak diketahui dan tidak diobati menyulitkan penyakit jantung reumatik, yang akhirnya menyebabkan gagal jantung yang amat sulit dikendalikan. Pada pasien yang telah sembuh dari endokarditis, kerusakan katup dapat mengawali perburukan perjalanan penyakit. 3. Ketidakseimbangan elektrolit. Terapi diuretik jangka lama dapat dipersulit oleh hipokalemia, alkalolis hipokalemik, atau hiponatremia. 4. Emboli paru tidak sering terjadi pada anak dan remaja, tetapi harus dipikirkan pada pasien yang tidak responsif terhadap terapi. 5.
Disritmia, terutama fibrilasi atrium dengan respons ventrikel yang cepat. Untuk
ini
digitalis
merupakan
obat terpilih,
meski
direct current
countershock (DC shock) efektif pada pasien yang terus-menerus tidak responsif. Namun DC shock tidak bijaksana dilakukan apabila fibrilasi atrium merupakan bagian perjalanan alamiah penyakit, karena adanya kemungkinan kumat.4
Komplikasi lain yang khas pada pasien PJR kronik yang memerlukan terapi fisik meliputi: (a) Edema paru; ini merupakan kedaruratan medik dan memerlukan pemberian oksigen, morfin, diuretik, turniket berselang-seling, dan pemberian digitalis secara bijaksana. (b) Hemoptisis; komplikasi yang menakutkan ini jarang menyebabkan hipovolemia yang bermakna dan jarang fatal, dan perlu ditangani dengan tirah baring dan morfin. 3
Pembedahan Walaupun telah tersedia pembedahan untuk penyakit jantung reumatik kronik, hal ini jarang terindikasi pada anak atau remaja. 7 Sebagian besar pasien dalam kelompok umur ini penyakitnya stabil, dengan hanya terjadi deformitas valvular ringan atau sedang. Namun dalam hal tertentu, pembedahan dapat memberi manfaat yang besar terutama pada pasien yang proses reumatiknya tidak aktif. Indikasi utama operasi insufisiensi mitral dominan meliputi gagal jantung yang sering kumat yang tidak responsif dengan penanganan medik, dispne berat pada aktivitas sedang, kardiomegali progresif, hipertensi vena dan arteri pulmonalis, fraksi regurgitasi melebihi 50% dan volume akhir diastole ventrikel kiri 250% atau lebih dari perkiraan normal.4 Pada masa prabedah mungkin pasien berespons dramatis terhadap digitalis, diuretik, dan pengurangan afterload , tetapi ini tidak selalu menetap; gejala dapat berulang pada awal aktivitas normal. Sejumlah ahli telah melaporkan hasil yang baik dengan anuloplasti. 4 Teknik ini menarik untuk anak karena katup masih fleksibel dan karena kekhawatiran komplikasi prostesis jangka lama seperti tromboemboli, infeksi, hemolisis, dan komplikasi antikoagulan. Namun hasil anuloplasti jangka lama tidak jelas, oleh karena insufisiensi mitral dapat kumat dan stenosis mitral dapat terjadi akibat infeksi reumatik semual. Valvuloplasti mitral dengan kerangka protetik khusus yang diselipkan ke dalam anulus mitral dilaporkan oleh Carpentier dkk yang menyebutkan beberapa manfaat berikut : konfigurasi anulus mitral dipertahankan normal, tidak terdapat penyempitan area orifisium, mobilitas daun katup dipertahankan, dan dilatasi anulus ulang dicegah.
Persiapan prabedah jantung pasien penyakit jantung reumatik kronik meliputi digitalisas dan diuresis yang cukup.4 Akan tetapi diuresis yang terlalu banyak prabedah harus dihindarkan oleh karena ketidakseimbangan elektrolit, terutama hipokalemia, berhubungan dengan komplikasi pascabedah, seperti disritmia berat, intoksikasi digitalis, dan psikosis. Emboli katup prostetik cukup sering terjadi sehingga diperlukan antikoagulan jangka lama, yang membawa masalah pengaturan dosisnya. Perawatan cermat pasca bedah sangat penting dengan penekanan pada profilaksis terhadap kumat demam reumatik dan endokarditis. Juga diperlukan penilaian fungsi katup teratur dan ketat untuk deteksi berulangnya insufisiensi atau stenosis.4
DAFTAR PUSTAKA 1.
Sukardi, R., Sastroasmoro, S. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Rematik . Dalam: “Hot Topics
in Paediatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 2006. h: 121-9. 2.
Kisworo, Bambang. Hasil Penelitian Demam Reumatik . Dalam: CDK Vol 116 tahun 1997. hlm: 25-8.
3.
Chin,
Thomas
K.
Reumatic
Heart
Disease.
Diakses
dari
http://www.emedicine.com pada tanggal 23 November 2011. Last updated : 19/05/2007. 4.
Wahab, A. Samik. Penyakit Jantung Reumatik Kronik . Dalam: Buku Ajar Kardiologi Anak IDAI Jakarta. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994. hlm: 317-44.
5.
Rematic Heart Diesease. Diakses dari http://www.musc.com pada
tanggal 26 November 2011. Last updated: 11/08/2008. 6.
Bagian IKA FK UNPAD RS Hasan Sadikin Bandung. Penyakit Jantung Reumatik . Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi
IKA. 2005. hlm: 342-43. 7.
Baraas, Faisal. Demam Reumatik . Dalam : Kardiologi Klinis dalam Praktek Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung pada Anak FKUI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1995. hlm: 215-22.
8.
Wahab, A.Samik. Demam Reumatik Akut . Dalam: Buku Ajar Kardiologi Anak IDAI Jakarta. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994. hlm: 279-316.
9.
Carabello, B. A., Crawford, F.A. Medical Progress Valvular Heart Disease. NEJM Volume 337, 2008: 32-42. Diakses dari
http://www.nejm.org pada tanggal 24 November 2011. 10.
Baratawidjaja, Karnen Garna. Autoimunitas. Dalam: Imunologi Dasar edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2004. hlm: 21848.
11.
Wahab, A.Samik. Gambaran EKG pada Bayi dan Anak . Dalam: Kuliah-Kuliah Dasar EKG Anak edisi 2. Jakarta: EGC. 2005. hlm: 74-7.