Penyelesaian Sengketa Litigasi dan Non-Litigasi
(Tinjauan terhadap Mediasi dalam Pengadilan sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan)
Oleh: Yessi Nadia
Bab. I Pendahuluan
Manusia dan Badan Hukum merupakan subjek hukum. Sebagai subjek hukum, manusia dan badan hukum memiliki hak, kewajiban, dan kepentingannya masing-masing. Dalam prakteknya, untuk mempertahankan hak dan kepentingannya dan kewajibannya sering terjadi sengketa. Sengketa atau konflik akan selalu ada dalam kehidupan manusia maupun badan hukum.
Dalam penyelesaian sengketa, khususnya dalam hukum perdata kita dihadapkan pada dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa, yaitu litigasi atau non-litigasi. Pada umumnya, cara menyelesaikan sengketa adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan atau litigasi.
Upaya hukum melalui peradilan adalah salah satu cara yang banyak ditempuh masyarakat dalam menyelesaikan masalah/sengketanya dengan orang lain. Upaya ini umumnya memerlukan waktu yang lama dan proses yang agak rumit sehingga banyak menguras tenaga dan materi. Alternative Dispute Resolution (ADR) menjadi alternatif yang lain untuk menyelesaikan suatu sengketa di luar peradilan.
Namun, pada prakteknya, biasanya hakim mengupayakan proses mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa. Padahal mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa non-litigasi. Berdasarkan permasalahan diatas saya mengambil judul Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi dan Non-Litigasi. Berdasarkan permasalahan tersebut, untuk mempertajam pembahasan saya, maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut:
Apakah perbedaan mediasi dalam penyelesaian sengketa litigasi dengan non-litigasi
Bab. II Tinjauan Pustaka
Pengertian Litigasi
Litigasi adalah proses menyelesaikan perselisihan hukum di pengadilan di mana setiap pihak yang bersengketa mendapatkan kesempatan untuk mengajukan gugatan dan bantahan. Namun Undang-undang sendiri tidak memberikan definisi mengenai definisi litigasi. Namun, Pasal 6 ayat (1)Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ("UU Arbitrase dan APS") berbunyi:
"Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri."
Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa (hal. 1-2) mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.
Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam bukunya Mediasi di Pengadilan (hal. 8), bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.
Pengertian Non-Litigasi
Menurut Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Arbitrase sendiri adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS).
Frans Winarta dalam bukunya (hal. 7-8) menguraikan pengertian masing-masing lembaga penyelesaian sengketa di atas sebagai berikut:
a. Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat "personal" antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
b. Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
c. Mediasi: cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
d. Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.
e. Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya
Alernative Dispute Resolution (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 UU No 30 tahun 1999)
1. Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya.
2. Negosiasi merupakan cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa, yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut.
3. Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai fasilitator, dimana keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan tetap diambil oleh para pihak itu sendiri, tidak oleh mediator.
4. Konsiliasi merupakan usaha yang dilakukan pihak ketiga yang bersifat netral, untuk berkomunikasi dengan kelompok-kelompok yang bersengketa secara terpisah, dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan dan mengusahakan kearah tercapainya persetujuan untuk berlangsungnya suatu proses penyelesaian sengketa.
5. Penilaian ahli dapat diartikan sebagai pendapat hukum atau legal opinion atas permintaan dari para pihak yang bersengketa.
Phillip D. Bostwick (dalam Abdurrasyid, 2002) mengartikan ADR sebagai sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan:
a. Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak
b. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi
c. Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan
Bab. III Perbedaan Mediasi dalam Pengadilan (Litigasi) dengan Non-Litigasi
Sejarah Perkembangan Mediasi di Indonesia
Penyelesaian konflik ( sengketa ) secara damai telah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan ( komunalitas ) dalam masyarakat. Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka secara cepat dengan tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan individual.
Penyelesaian sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip kebebasan yang menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa, yang artinya bahwa para pihak lebih leluasa untuk mengkreasi Setiap masyarakat Indonesia atau pun masyarakat dunia lainnya, merasakan bahwa suatu sengketa yang muncul di dalam kehidupannya tidak boleh dibiarkan begitu saja, melainkan harus adanya upaya penyelesaian sengketa tersebut. Harus adanya penyelesaian sengketa karena suatu sengketa memiliki dampak yang negatif, misalnya memperburuk hubungan antarpihak yang bersengketa sehingga dapat mengganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat.
Kemungkinan opsi yang dapat ditawarkan dalam proses penyelesaian sengketa. Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah mufakat yang berujung damai dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang masih memuat asas musyawarah damai sebagai salah satu asas peradilan perdata di Indonesia. Bahkan akhir-akhir ini muncul dorongan kuat dari berbagai pihak untuk memperteguh prinsip damai melalui mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian sengketa.
Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa. Musyawarah mufakat sebagai nilai filosofi bangsa diterjemahkan dalam dasar negara, yaitu Pancasila. Dalam sila keempat Pancasila disebutkan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Nilai tertinggi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Prinsip musyawarah mufakat merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencari solusi terutama di jalur luar pengadilan. Nilai musyawarah mufakat ini terdapat dalam sejumlah bentuk penyelesaian seperti mediasi dan arbitrase.
Mediasi dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan damai, mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia-Belanda maupun dalam sejumlah produk hukum Indonesia merdeka sampai hari ini. Pengaturan alternatif penyelesaian sengketa dalam aturan hukum amat penting, mengingat /Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaat ). Dalam negara hukum tindakan lembaga negara dan aparatur negara harus memiliki landasan hukum, karena tindakan negara atau aparatur negara yang tidak ada dasar hukumnya dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Mediasi sebagai institusi penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh hakim ( aparatur negara ) di pengadilan atau pihak lain di luar pengadilan, sehingga keberadaannya memerlukan aturan hukum.
Pada masa Kolonial Belanda pengaturan penyelesaian sengketa melalui upaya damai lebih banyak ditujukan pada proses damai di lingkungan peradilan, sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Kolonial Belanda cendrung memberikan kesempatan pada hukum adat. Belanda meyakini bahwa hukum adat mampu menyelesaikan sengketa kaum pribumi secara damai, tanpa memerlukan intervensi pihak penguasa Kolonial Belanda. Hukum adat adalah hukum yang hidup ( living law ) dan keberadannya menyatu dengan masyarakat pribumi. Pada masa Kolonial Belanda lembaga pengadilan diberikan kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Kewenangan mendamaikan hanya sebatas kasus-kasus keluarga dan perdata pada umumnya seperti perjanjijan, jual beli, sewa menyewa, dan beberapa aktivitas bisnis lainnya.
Pada masa Kolonial Belanda penyelesaian sengketa pada proses damai diatur dalam Pasal 130 HIR ( Het Herziene Indonesich Reglement, Staatblad 1941 : 44 ) atau Pasal 154 R.Bg ( Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad, 1927 : 27 ) atau Pasal 31 Rv ( Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1874 : 52. Disebutkan bahwa hakim atau majelis hakim akan mengusahakan perdamaian sebelum perkara mereka diputuskan. Ketentuan pasal ini adalah : Hakim diharapkan mengambil peran maksimal dalam proses mendamaikan para pihak yang bersengketa. Hakim yang baik berusaha maksimal dengan memberikan sejumlah saran agar upaya perdamaian berhasil diwujudkan. Kesepakatan damai tidak hanya bermanfaat bagi para pihak, tetapi juga memberikan kemudahan bagi hakim dalam mempercepat penyelesaian sengketa yang menjadi tugasnya.
Jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka.
Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat akta tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menempati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai keputusan biasa.
Keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diizinkan banding.
Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.
Ketentuan dalam Pasal 130 HIR / 154 RBg menggambarkan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur damai merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Upaya damai menjadi kewajiban hakim, dan ia tidak boleh memutuskan perkara sebelum upaya mediasi dilakukan terlebih dahulu. Bila kedua belah pihak bersetuju menempuh jalur damai, maka hakim harus segera melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak, sehingga mereka sendiri menemukan bentuk-bentuk kesepakatan yang dapat menyelesaikan sengketa mereka. Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta perdamaian sehingga memudahkan para pihak melaksanakan kesepakatan itu. Akta damai memiliki kekuatan hukum sama dengan vonnies hakim, sehingga ia dapat dipaksakan kepada para pihak jika salah satu diantara mereka enggan melaksanakan isi kesepakatan tersebut. Para pihak tidak dibenarkan melakukan banding terhadap akta perdamaian yang dibuat dari hasil mediasi. dalam sejarah hukum, penyelesaian sengketa melalui proses damai dikenal dengan "dading".
Mediasi dalam Pengadilan
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Prosedur mediasi diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap perkara gugatan yang diajukan ke Pengadilan pada saat sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak Penggugat dan Tergugat untuk menempuh upaya damai melalui mediator.
Jangka waktu untuk menyelesaikan sengketa dengan mediasi melalui mediator selama 40 hari dan dapat diperpanjang selama 14 hari atas permintaan para pihak . Mediator dapat dipilih oleh para pihak dari daftar mediator yang telah bersertifikasi dan memilih tempat pertemuan diluar gedung Pengadilan Negeri sesuai kesepakatan atas biaya para pihak. Apabila tidak ada mediator bersertifikasi di luar Pengadilan Negeri, para pihak dapat memilih mediator di Pengadilan Negeri yang telah ditunjuk dan sesuai ketentuan PERMA No.1 Tahun 2008 dapat dipilih salah satu Hakim Anggota Majelis sesuai kesepakatan para pihak.
Apabila tercapai kesepakan perdamaian maka kedua belah pihak dapat mengajukan rancangan draf perdamaian yang nantinya disetujui dan ditanda tangani kedua belah pihak untuk dibuatkan Akta Perdamaian yang mengikat kedua belah pihak untuk mematuhinya dan melaksanakannya. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. Dan sengketa keduabelah pihak berakhir dengan perdamaian.
Sebaliknya jika mediator tidak berhasil mencapai kesepakatan damai bagi kedua belah pihak, maka dengan disertai Berita Acara tentang tidak tercapainya perdamaian, mediator melalui Panitera Pengganti mengembalikan dan menyerahkan kembali Berkas Perkara tersebut kepada Majelis Hakim. Selanjutnya Majelis Hakim memerintahkan para pihak atau Kuasa Hukumnya untuk hadir pada sidang berikutnya guna dilanjutkan pemeriksaan terhadap perkara yang bersangkutan dengan membacakan gugatan, jawaban, replik duplik, pembuktian, pemeriksaan obyek sengketa (pemeriksaan setempat) bilamana obyek sengketanya benda tetap dan dipandang perlu, kesimpulan dan putusan. Walaupun mediator tidak berhasil mendamaikan para pihak, dalam proses pemeriksaan perkara selanjutnya Majelis Hakim tetap memberikan kesempatan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya secara damai sesuai ketentuan pasal 130 HIR.
Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Mengenai alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 yaitu :
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri,
Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis,
Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator,
Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 hari dengan bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator,
Setelah penunjukan mediator oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus dapat dimulai,
Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melaui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait,
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan,
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana diamaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan, dan
Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan tertulis secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.
Mediasi sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa di Pengadilan
Sebetulnya tidak ada perbedaan antara Mediasi dalam proses di Pengadilan dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Karena pada dasarnya, mediasi dijadikan sebagai pilihan jalan damai dalam menyelesaikan sengketa perdata antara lain disebabkan sebagai berikut:
Penyelesaian melalui mediasi tidak hanya dilakukan diluar pengadilan saja, akan tetapi Mahkamah Agung berpendapat prosedur mediasi patut untuk ditempuh bagi para pihak yang beracara di pengadilan.
Langkah ini dilakukan pada saat sidang pertama kali digelar.
Adapun pertimbangan dari Mahkamah Agung, mediasi merupakan salah satu solusi dalam mengatasi menumpuknya perkara di pengadilan.
Proses ini dinilai lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas engketa yang dihadapai.
Di samping itu institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur dua hal utama, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan dalam Pasal 1 menegaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa perdata dan bukan sengketa yang termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan mengenai objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa yaitu sengketa perdata. Dari ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 dapat dipahami beberapa hal antara lain :
Objek sengketa yang dapat diselesaikan dengan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa perdata dan sngketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut undang-undang tidak dapat diadakan perdamaian.
Sengketa tersebut baru dapat diselesaikan melalui arbitrase bila dalam perjanjian pokok tertulis secara tegas menyatakan bahwa bila terjadi sengketa atau beda pendapat timbul atau mungkin timbul dari suatu hubungan hukum akan diselesaikan melalui arbitrase.
Pengaturan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga ditemukan dalam undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dimana dalam Pasal 52A dinyatakan sebagai berikut: "Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi." Dan dapat ditemukan juga dalam Peraturan Pemerintah RI No.54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Peraturan Pemerintah ini mengatur penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan.
Peraturan Pemerintah ini telah meletakan konsep yang jelas mengenai mediasi, mediator, persyaratan mediator dan beberapa hal seputar mekanisme mediasi dalam penyelesaian sengketa lingkungan idup. Jadi, pengaturan mediasi dalam Peraturan Pemerintah ini jauh lebih lengkap bila dibandingkan dengan UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Peraturan perundang-undangan di atas, yaitu UU No.30 Tahun 1999, UU No.8 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2000 mengatur sejumlah ketentuan menyangkut mediasi di luar pengadilan. Ketentuan mediasi di pengadilan pada mulanya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Kemudian Mahkamah Agung menyempurnakan dengan mengeluarkan PERMA No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedr Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung ini menempatkan mediasi sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara yang diajukan para pihak ke pengadilan. Hakim tidak secara langsung menyelesaikan sengketa melalui proses peradilan ( litigasi ), tetapi harus terlebih dahulu diupayakan mediasi ( nonlitigasi ). Mediasi menjadi suatu kewajiban yang harus ditempuh hakim dalam memutus perkara di pengadilan.
Bab. IV Kesimpulan
Sebetulnya tidak ada perbedaan antara Mediasi dalam proses di Pengadilan dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Karena pada dasarnya, mediasi dijadikan sebagai pilihan jalan damai dalam menyelesaikan sengketa perdata antara lain disebabkan sebagai berikut:
Penyelesaian melalui mediasi tidak hanya dilakukan diluar pengadilan saja, akan tetapi Mahkamah Agung berpendapat prosedur mediasi patut untuk ditempuh bagi para pihak yang beracara di pengadilan.
Langkah ini dilakukan pada saat sidang pertama kali digelar.
Adapun pertimbangan dari Mahkamah Agung, mediasi merupakan salah satu solusi dalam mengatasi menumpuknya perkara di pengadilan.
Proses ini dinilai lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas engketa yang dihadapai.
9
Kamus Bisnis, diakses dari http://kamusbisnis.com/arti/litigasi/, 14 April 2015 pukul 17:53 WIB
Tri Jata Ayu Pramesti, "Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan", diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52897351a003f/litigasi-dan-alternatif-penyelesaian-sengketa-di-luar-pengadilan, 14 April 2015 pukul 18;02
Ibid, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52897351a003f/litigasi-dan-alternatif-penyelesaian-sengketa-di-luar-pengadilan
I Nyoman Gede Remaja, "Pengaturan Alternative Dispute Resolution (ADR) Kajian terhadap Undang-undang Nomor 30 TAhun 1999" diakses dari http://www.fakultashukum-universitaspanjisakti.com/informasi-akademis/artikel-hukum/34-pengaturan-alternative-dispute-resolution-adr-kajian-terhadap-undang-undang-nomor-30-tahun-1999.html?showall=1, 14 April 2015 pukul 18:27 WIB
FD. Lestari, "BAB II MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU CARA PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA" Karya Ilmiah, Kearsipan USU, 2013, hal. 14-hal 18
PN Kalabahi, "Proses Perkara Perdata", diakses dari http://www.pn-kalabahi.go.id/index.php/2012-10-24-06-12-21/2012-10-24-06-13-26/prosedur-berperkara tanggal 14 April 2015 pukul 21:18
Timur Abimanyu, "Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 Serta Analisanya" diakses dari http://hukum.kompasiana.com/2012/01/26/arbitrase-sebagai-alternatif-penyelesaian-perkara-berdasarkan-uu-no-30-tahun-1999-serta-analisanya-430367.html , tanggal 14 April 2015 pukul 20:15
FD. Lestari, ibid hal. 31
FD. Lestari, ibid hal. 21-23