PENDAHULUAN
Membicarakan sejarah peradilan di Indonessia erat hubungannya dengan hukum Islam dan umat Islam di Indonesia. Peradilan Agama didasarkan pada hukum Islam, sedangkan dalam perkembangannya, hukum Islam merupakan hukum yang berdiri sendiri dan telah lama diianut oleh pemeluk agama Islam di Indonesia. Di kerajaan-kerajaan Islam masa lampau, hukum Islam telah berlaku. Snouck Hurgroje, misalnya, di dalambukunya De Islam in Nederlansch-Indie, mengakui bahwa pada abad ke – 16 sudah muncul keraan-kerajaan Islam seperti Mataram,
Banten,
dan
Cirebon,
yang
berangsur-angsur
mengislamkan
penduduknya. Sedangkan untuk kelengkapan pelaksaan hukum Islam, didirikan Peradilan Serambi dan Majelis Syara’. Syara’. Menurut hasil penelitian Amir Islam Luthfi, seperti tercantum di dalam disertasinya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sekarang berganti menjadi (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, hukum Islam memang pernah dipraktikkan di Indonesia, dulu, secara murni, karena penguasa pemerintahan menghendakinya. Oleh karena itu, dalam masa pemerintahan Hindia Belanda sampai menjelang merdeka, embrio Peradilan Agama seperti terdapat dalam kerajaan-kerajaan Islam tidaak dapat dinafikan dan diabaikan. Selain secara kronologis sulit “dikuburkan” karena telah menyatu dalam masyarakat Islam, juga kaarena secara politis Hindia belanda berkepentingan dengan keberadaan peradilan tersebut.
1
Meskipun praktik diskriminasi terhadap pribumi tetap berlangsung dan pendangkalan terhadap Peradilann Agama melalui berbagai ketentuaan hukum yang diciptakan terus dilakukan, eksistensi Peradilaan Agama tetap kokoh. Tapi walau bagaimanapun juga, kalau dibiarkan terus menerus seperti itu, peradilan agama di Indonesia akan tersisihkan dan Akhirnya hilang. Maka kita sebagai umat Islam selayaknya untuk bertindak semaksimal mungkin untuk kejayaan dan
1
Drs. Amrullah Ahmad, SF.dkk, Dimensi Hukum Islam Dalaaam Sistem Hukum Nasional,
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta 1996.hlm. 217
-1-
kemajuan peradilan agama di Indonesia. Kalau tidak bisa, maka minimal mengetahui apa itu peradilan agama. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami akan mencoba mengulas sedikit tentang sejarah peradilan agama di Indonesia. Dan dalam uraian makalah kami ini tentu masih banyak sekali kekurangan di sana-sini. Tpi marilah kita mengharap daan berdo’a semoga tulisan yang sedikit ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya pribadi dan yang lainnya. Amien.
SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A. Pengertian Secara Etimologi, kata “Peradilan” mempunyai mempunyai beberapa arti : -
: Menyelesaikan : Melaksanakan : Memutuskan hukum Sedangkan secara terminologi adalah : Memutuskan persengketaan dengan
keputusan yang mempunyai kekuatan mengikat yang berasal dari pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan di antara manusia yang dengan peradilan itu dapat melenyapkan gugatan dengan cara menerapkan hukum syariat yang berkaitan dengan al Qur’an dan as Sunnah. Menurut Prof. Mahali, devinisi peradilan adalah Suatu proses yang berakhir dengan memberikan keadilan dalam proses, dan proses ini diatur dalam suatu hukum acara. B. Sejarah Peradilan Agama Di Indonesia 1. Pada ,masa kesultanaan Islam. Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama pada masa kesultanan Islam bercorak majemuk. kemajemukan itu amat bergantung kepada proses Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren. Menurut R. Tresna (1977 : 17)., dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, maka tata hukum di Indonesia mengalami perubahan. Hukum islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu yang berwujud dalam hukum Pradata, tetapi juga
-2-
memasukkan pengaruhnya ke dalam pelbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya.
2
Pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram (1613-1645). Pengadilan Pradata menjadi pengadilaan Surambi yang yang dilaksaanakan di serambi mesjid. Sedangkan paada masa Amangkurat I menggantikan Sultan Agung pada tahun 1645, pengadilan Pradata dihidupkan kembali untuk mengurangi ulama dalam pengadilan ; dan raja sendiri yang menjadi tampuk pimpinannnya. Namun dalam perkembangan berikutnya Pengadilan Surambi masih menunjukan keeberadaannya sampai dengan masa penjajahan Belanda, meskipun dengan kewenangan terbatas.
2. Pada masa penjajahan Belanda Menurut Supono (1970: 20), pada masa penjajahan Belanda terdapat lima buah tatanan peradilan : 1. Peradilan Gubernemen, tersebar di seluruh daerah “Hindia-Belanda”. 2. Peradilan peribimi tersebar di luar Jawa dan Madura, yaaitu di Karesidenan Aceh, Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, kalimantan Barat, kalimantan Selatan daan Timur, Manado dan Lombok. 3. Peradilan Swapraja, Tersebar hampir di seluruh daerah swapraja, keeccusali keeccusali di Pakualaman dan Pontianak. 4. Peradilan Agama tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubernemen, di daerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di daerah-daerah daerah-daerah swapraja dan menjadi bagian dari Peradilan Swapraja. 5. Peradilan Desa tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubernemen. Di samping itu, ada juga Peradilan Desa yang merupakan bagian dari Peradilan Pribumi atau Peradilan Swapraja.
2 3
3
Bisri Hasan Cik, MS., Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 1998. Ibid, ….hal 110.
-3-
Pada zaman penjajahan Belanda, kita menjumpai beberapa macam instruksi gubernur Jendral yang ditujukan kepada para Bupati, khususnya di pantai utara Jawa agar memberi kesempatan kepada para ulama menyelesaikan perselisihan perdata di kalangan penduduk menurut ajaran Islam. Bahkan, konon Keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) No. 19 tanggal 24 Januari 1882 yang kemudian
diumumkan
dalam
Staatsblad
tahun
1882
No.
152
tentang
peembentukan Pristeerraad (Pengadilan Agama) didasarkan atas teori Van Den Berg yang menganut paham receptio in complexu, yang berarti bahwa hukum 4
yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya. Barangkali sangat taat menjalankan syariat agamanya, sebagai pelaksanaan titah Allah di dalam Al Qur’an surat al Baqarah ayat 208 (”Masuklah kamu ke dalam Islam secara total”). Teori Van Den Berg tersebut ditentang oleh Snuuck Hurgronje dkk yang menganut paham teori receptie yang intinya menyatakan bahwa hukum Islam dipandang sebagai hukum apabila telah diterima (di-recipiir) oleh hukum adat. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa masalah ini menyangkut masalah politik hukum Belanda. Mamun, dengan segala kekurangan dan kesederhanaan Pengadilan Agama di kala itu, ada sesuatu yang tidak dapat dipungkiri yaitu berlakunya hukum Islam di tanah air. Minaret doktrin, hukum hanya akan berlaku apabila ditopang oleh tiga pilar penyangga, yaitu (1) aparat hukum yang andal,(2) peraturan hukum yang jelas, dan (3) kesadaran hukum masyarakat yang tinggi . Apabila tiga pilar penyannga diterapkan pada kurun waktu yang tengah kita bicarakan ini, maka dapat dikataakan bahwa pilar (1) daan (2) dalam kondirsi yang sangat memprihatinkan. Akan tetapi, dengan tingginya kesadaran hukum masyarakat ketika itu, walaupun dengan agak terseok-seok, mereka berhasil memancangkan tonggak sejarah.
3. Pada masa penjajahan Jepang 4
Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam, Gema Insani Press, Jakarta: 1996. hal 56.
-4-
Demikian halnya penataan peradilan agama di Indonesia (PADI) pada masa peralihan dari Pemerintahan Hindia belanda kepada Pemerintahan Militer Jepang. Sejalan dengan polotik Islam yang diterapkan. Jepang yang sedang menghadapi perang dengan tentara Sekutu, menerapkan politik yang simpatik terhadap Umat Islam Indonesia. Secara simbolik Belanda (1980) menggambarkan hubungan Islam dengan Jepang sebagai Bulan Sabit (Simbol Islam) dan Matahari Terbit (Simbol Jepang), sebagai bentuk hubungan subordinasi dengan superordinasi. Berkenaan dengan perenapan polotok itu ingkat campur tangan terhadap PADI sangat rendah, sehingga memungknkan adanya usaha memulihkan kekuasaan pengadilan, khususnya mengenai masalah kewarisan dan perwakafaan melalui Sanyo kaigi (dewan Pertimbangan). Usaha memulihkan wewenang Pengadilan Agama itu dilakukan oleh golongan Islam, namun mengalami kegagalan karena ditentang oleh golongan nasionalis. Konflik antara golongan islam dengan golongan nasionalis itu secara makro berpangkal kepada konsep hubungan antara agama dengan negara, yaang berpangkal pada orientasi kebudayaan mereka. Di satu pihak golongan Islam menghendaki terbentuknya sebuah
“Negara
Islam”,
sedangkan
dipihak
lain
golongan
nasionnalis
menghendaki suatu “Negara Netral” dari agama. Pertentangan di antara kedua golongan tersebut tercermin dalam pandaangan dua orang tokoh nasional di dalam Dewan Sanyo sebagaimana digambarkan oleh Lev (1972:: 37). Abikusno. Golongan Islam berpandangan bahwa Pengadilan Agama harus tetap ada dan kewenangannya di bidang kewarisan harus dipulihkan. Disamping itu, pengadilan harus diperkuat oleh tenaga yang terdidik dan digaji oleh pemerintah. Sebaliknya, Supomo, golongan naasionalis, berpandangan bawa negara yang sekuler bersifat modern dan tidak pelu berdasarkan Islam. Apabila Peengadilan Agama tidaak dapat dihapuskan, maka jabatan ppenghulu dalam instansi-instansi sipil dihapuskan. dihapuskan.
5
4. Pada masa awal kemerdekaan
5
Opcit , hal, 154
-5-
Proklamasi Kemerdekaan tanggal tanggal 17 Agustus 1945 merupakan titik permulaan perubahan dalam segala bidang Dan bertolak dari pemikiran adanya tiga pilar peenyangga hukum, maka aparat penegak hukum mulai dibenahi atau berbenah diri. Peraturan-peraturan hukum yang jelas satu demi satu mulai dikeluarkan dan 6
kesadaran hukum masyarakar terus dipacu. Sebagai realisasi dari pelaksanaan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa maka atas desakan Komite Naasional Indonesia Pusat Banyumas, Pemerintahan R.I. dengan keputusan No. 11 tertanggal 3 Januari 1945 membentuk DEPARTEMEN AGAMA. Dengan Penetapan Pemerintah No. 5 tertanggal 25 Maret 1946 Urusan Mahkamah Islam Tinggi diserahkan kepada Departemen Agama yang semula berada pada Departemen Kehakiman, sebagai kelanjutan dengan Maklumat Menetri Agama II tertanggal 23 April 1946 ditentukan hal-hal sebagai berikut :
7
1) Shumuka yang pada zaman Jepang termasuk kekuasaann Residen, menjadi jawatan Agama Daerah yang menjadi urusan dari Departemen Agama. 2) Hak
untuk
mengangkat
Penghulu
Landraad,
Penghulu
dan
Anggota
Pengadilan yang dulu berada di tangan Residen diserahkan pula pada Departemen Agama. 3) Hak untuk mengangkaat Penghulu Masjid dan pegawai-pegawainya yang dulu menjadi wewewang Bupaati deserahkan paada Departemen Agama. Sebelum itu karena kota Jakarta diduduki oleh tentara Sekutu, maka bersamaan dengan pengungsiaan pemerintah Pusat R.i. dari Jjakarta ke Yogyakarta, kedudukan Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan pula dari Jakarta ke Surakarta, dengan Keputusan Mentri Kehakiman tertanggal 2 Janusri 11946 No. T.2. Pada tanggal 22 November 1946 di Linggar jati olehh Presiden R.I. telah ditetapkan Undang-undang No. 22 tahun 19446 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, mengganti Ordonansi Pencatatan N.T.R. dahulu. Tugas ini dibebankan kepada para Penghulu daan Penghulu Naib. Dengan meningkatkan tugas-tugas 6
Drs. Amrullah Ahmad, SF.dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Penerbit
: Gema Insani Press, Jakarta 1996.hlm. 56 Adnan, Abdul Basit, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Bina Ilmu Surabaya: 1983. hal 52.
7
-6-
bidang kepenghuluan dan pencatatan N.T.R. maka atas Resolusii Konperensi Jawatan Agama Seluruh Jawa dan Madura tanggal 12-16 November 1947, Mentri Agama mengeluarkan Penetapan No. 6 tahun 1947 tertanggal 8 Desember 1947 yang menetapkan formasi dari Pengadilan Agama merupakan Instansi yang terrpisah dari Penghulu Kabupaten. Untuk meninggikan meninggikan Korps Kepenghuluan Kepenghuluan dan pengadilan Agama serta menghilangkan sistem lama dalam mengisi lowonganlowongan pejabat di dalamnya, diadakan ujian untuk calon-calon Penghulu oleh Departemen Agama dan tugas untuk menguji diserahkan kepada mahkamah Islam Tinnggi. Langkah lain ke arah itu ialah Mendirikan Sekolah Guru dann hakim Islam (S.G. H. I) di Surakarta untuk mendidik calon Penghulu dan Guru-gru Agama Menengah.
5. Pada masa orde baru Uraian di atas menunjukan bahwa sekitar 25 tahun sejak kemerdekaan terdapat keanekaragaman dasar penyelenggaraan, kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkaran PADI. Selanjutnya, pada tahun 1970-an mengalami perubahan, terutama sejak diundangkan dan berlakunya UU Nomor 14 Tahun 1970. Dan UU Nomor 11 ttahun 1974 serta peraturan pelaksanaannya. Dengan berlakunya UU Nomor 14 Tahun 1970 memberi tempat kepada PADI sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan di Indoneisa yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam negara kesatuan Republik Indoneisa, Dengan berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974, maka kekuasaan pengadilan dalam lingkup PADI bertambah. Oleh karena itu, maka tugas-tugas badan peradilan agama menjadi meningkat, “dari rata-rata 35.000 perkara sebelum berlakunya undangundang perkawinan menjadi hampir 300.000-an perkara” dalam satu tahun di 8
seluruh Indonesia. Dengan sendirinya aparatur pengadilan, khususnya hakim, untuk menyelesaikan tugas-tugas pengadilan tersebut. Selanjutnya dengan berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 posisi PADI semakin kuat, dan dasar penyelenggaraannya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang unifikatif. Selain itu, dengan perumusan KHI yang
-7-
meliputi bidang perkawinan. Kewarisan, dan perwakafan, maka salah satu masalah yang dihadapi oleh pengadilan dalam lingkungan PADI , yang keanekaragaman rujukan dan ketentuan hukum, dapat diatasi. Kesimpulan 1. Pada masa kesultanan Islam, Padi tumbuh dan berkembang dengan corak yang beraneka ragam. Keanekaragaman itu meliputi posisinya dalam pusat kekuasaan, sstruktur dan cakupan kekuasaannya, dan sumber pengambilan hukum dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Umumnya, cakupan kekuasaannya dalam bidang keperdataan, khususnya perkara perkawinan dan kewarisan. Sedang suber pengambilan hukumnya dari kitabkitab fiqh terutama dari madzhab Syafi’i. 2. Perkembangan PADI pada masa penjajahan Belanda mengalami pasang surut. Hal itu sebagai akibat Islam Politieek dan politik hukum adat yang diterapkan oleh pemerintah
kolonial. Keputusan politik pemerintah kolonial itu
merupakan pemihakan dalam menghadapi konflik antara elit adat dengan elit Islam, yang berlanjut sampai dengan masa pendudukan Jepang. Ketika dilakukan reorganisasi reorganisasi badan peradilan di Jawa dan madura pada tahun 11937, terjadi pembatasan kekuasaan Pengadilan Agama. 3. Pada masa pendudukan tertara Jepang, PADI tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti. Namun demikian, pemerintah militer memberi peluang yang cukup besar terhadap golongan Islam untuk mengalokasikan nilai-nilai Islam Didalam kehidupan bernegara. Hal itu terakomodasi dalam suatu rumusan yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Usaha untuk memulihkan kembali kekuasaan Pengadilaan Aagama pun memperoleh kesempatan yang cukup besar, namun hasilnya adalah status quo. 4. Perkembangan PADI masa Kemerdekaan, khususnya pada masa Orde Baru, sangat berarti ketikaa diundangkan dan diberlakukannya UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 Tahun 1974, dan mencapai puncaknya ketika UU No. 7 Tahun 1989 diundangkan dan diberlakukan. UU No. 14 Tahun 1970 memberikan tempat kepada PADI sebagai salah satu peradilan negara dalam 8
Hasan, Cik Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, ………….hal …. 117
-8-
melaksanakan kekuasaan kehakiiman. UU No. 1 Tahun 1974 memperbesar kekuasaan PADI, khususnya di bidaang perkawinan. Daan UU No. 7 Tahun 1989 memperkokoh kedudukan PADI dan memulihkan kembali kekuasaannya yang terganggu selama 52 tahun. Hal itu terrjadi oleh karena, di satu pihak kebijaksanaan politik Islam lebih realistis, dan di pihak lain umat Islam memiliki kemampuan untuk mengalokasikan nilai-nilai Islami.
DAFTAR PUSTAKA
-9-
1. Adnan, Abdul Basit, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Bina Ilmu Surabaya: 1983. hal 52.
2. Bisri Hasan Cik, MS., Peradilan Agama di Indonesia , PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 1998 3. Drs. Amrullah Ahmad, SF.dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta 1996.hlm. 56 4. Hendro Prasetyo, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tanggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasianya , Terj,
Mizan, Bandung : 1993. 5. Muhammad Salam Madzkur, Peradilan Dalam Islam, PT. Bina Ilmu Surabaya.
- 10 -