N O 1
MATERI
KUHP
RUU KUHP 2008
ASAS LEGALITAS
bahwa harus aturan-aturan undang-undang jadi aturan hukum tertulis yang terlebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam P. 1 KUHP dimana dalam teks belanda disebutkan wettijke strafbepaling yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya kekuatan ini kosekuensinya adalah bahwa perbuatanperbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal diatas telah diajukan bahwa hukum pidana adat masih belak, walaupun untuk orang-orang tertentu dan sementara saj. P. 14 A. 2 dijelaskan “tidak seorang taupun dituntut untuk dihukum atau dijatuhi humuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka dapat
Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Tahun 2008 perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 menyebutkan asas legalitas dengan redaksional sebagai, “Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”. Kemudian ketentuan asas legalitas ini lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 disebutkan, bahwa: “Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada Undangundang. Dipergunakan asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundangundangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenangwenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.” Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak.
RUU KUHP 2012 di jelaskan bahwa di dalam pasal 1 ayat 3 yang berbunyi "ketentuan sebagainana di maksud dalam pasal 1 ayat 1 RUUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seorang patut di pidana walapun pebuatan tersebut tidak di atur dalam peraturan perundang undangan. sebagaimana yang di maksud dalam pasal 1 ayat 3 itu bahwa adanya suatu ketentuan perbuatan tindak pidana dapat di hukum dengan menggunakan hukum yang hidup di masyarakaat hal ini yang di maksud dengan adanya suatu pergeseran dari perubahan asas legalitas yang terdapat di dalam KUHP dengan RKUHP yaitu dari asas legalitas formal ke asas legalitas materil, menyikapi dari asas legalitas meteril ( hukum yang hidup di masyarakat ) pembentukan RUU KUHP bertitik tolak pada keseimbangan monodualistik yaitu asas keseimbangan antara kepentingan / perlindungan individu dengan kepentingan masyarakat, keseimbangan antara kriteria formal dan materil dan keseimbangan kepastian hukum dengan rasa keadilan nilai/ ide dalam RUU KUHP di lanjutkan dalam menentukan tindak pidana adalah selalu melawan hukum dengan di anutnya sifat melawan hukum materil ketentuan pasal 11 ayat 2 RUU KUHP menyatakan bahwa : untuk
2
ASAS RETROAKTI F
meliputi aturanaturan yang tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa dalam menentukan atau adanya atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi pada umumnya masih dipakai dalam kebanyakan Negara.
di nyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut di larang dan di ancam oleh peraturan perundang undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan denga kesadaran hukum masyarakaat.
Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan “ Bilamana ada perubahan dalam perundangundangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya .” Suatu peraturan perundangundangan mengandung asas retroaktif jika : a. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan b. menjatuhkan hukuman atau
Asas Retroaktif dalam Sistem Hukum Indonesia. Hukum Pidana Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas sebagimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana atau yang dikenal dengan istilah asas retroaktif. Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23, kemudian muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Larangan asas retroaktif juga ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Hak untuk hidup, hak untuk
pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM). Asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif: (1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya; (2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional; (3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan (4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Adapun dasar pemikiran dari larangan tersebut adalah: a. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa. b. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis ( teori psychologische dwang dari Anselm von Feurebach ).
3
PIDANA
Hukuman Pokok:
1. Hukuman mati 2. Penjara (sementara waktu atau seumur hidup) 3. Kurungan 4. Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15) 5. Tutupan (UU No.20/1946) b. Hukuman Tambahan: 1. Pencabutan beberapa hak tertentu 2. Perampasan barang tertentu 3. pengumuman keputusan hakim Jenis-jenis Hukuman / Pidana Menurut R-KUHP: Pasal 65 (1) Pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan c. pidana pengawasan d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial.
DELIK SANTET Dalam RUU KUHP Konsep 2008 pada pasal 293 diatur tentang perbuatan yang digolongkan sebagai delik santet, tujuan dari perumusan delik ini jelas ingin dijaring dengan perumusan itu adalah praktek tukang santet dimana redaksi kata dari pasal 293 RUU KUHP ini yaitu: Pasal 293 (1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). Dalam KUHP yang berasal dari WvS delik santet tidak diatur dan tidak dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dipidana. TINDAK PIDANA TERORISME Dalam konsep KUHP 2008 pada pasal 242 mengatur mengenai tindak pidana terorisme dimana dari pasal 242-251 mengatur secara jelas mengenai tindak pidana terorisme. Yaitu pada pasal 242 berbunyi: Pasal 242 Setiap orang yang m enggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau m engakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana Pasal 66 Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pasal 67 (1) Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. (2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana
lingkungan hidup atau fasilitas umum atau fasilitas internasional, dipidana karena terorisme dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Dalam KUHP yang berasal dari WvS tindak pidana terorisme tidak diatur dalam KUHP melainkan dalam UU No.15 Tahun 2003 yang merupakan Lex spesialis dari KUHP WvS. TINDAK PIDANA TERHADAP INFORMATIKA DAN TELEMATIKA Dalam Konsep kuhp mengatur secara khusus tindak pidana terhadap informatika dan telematika dalam pasal 374 Konsep KUHP, dalam konsep 2008 sebanyak 7 pasal yang mengatur tentang tindak pidana terhadap informatika dan telematika yaitu dari pasal 374-380 pada konsep KUHP 2008 tindak pidana terhadap informatika dan telematika diperluas dan mengatur mengenai pornografi yang dilakukan dengan alat atau tehnologi cangih seperti computer dan sejenisnya. Dalam KUHP yang berasal dari WvS tindak pidana terhadap informatika dan telematika tidak diatur dalam KUHP melainkan dalam UU No.11 Tahun 2008 yang merupakan Lex spesialis dari KUHP WvS. PENYADAPAN Dalam konsep KUHP 2008 pada pasal 300 menyebutkan : Setiap orang yang secara melawan hukum dengan alat bantu teknis mendengar pembicaraan yang berlangsung di dalam atau di luar rumah, ruangan atau halaman tertutup, atau yang berlangsung melalui telepon padahal bukan menjadi peserta pembicaraan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori III. Dimana dalam konsep KUHP penyadapan di atur secara secara khusus dalam pasal 300 hingga pasal 303.
tambahan lain. (3) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. (4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk pidan pidananya.
Dalam KUHP yang berasal dari WvS tidak ada aturan atau pasal yang secara khusus menyebutkan tentang penyadapan. TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA Kriminalisasi terhadap penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme /Marxisme/Leninisme terdapat dalam konsep KUHP dalam pasal : Pasal 212 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan/atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Dalam KUHP yang berasal dari WvS tidak ada aturan atau pasal yang secara khusus menyebutkan tentang tindak pidana terhadap keamanan Negara, namun KUHP WvS telah mengatur tindakan makar terhadap kepala Negara. DELIK ZINA DAN PERBUATAN CABUL (KUMPUL KEBO) Dalam konsep 2008 pada pasal 488 berbunyi : Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Kategori III. Dalam KUHP yang berasal dari WvS Kumpul Kebo tidak dinyatakan sebai suatu perbuatan yang dapat di pidana.
TINDAK PIDANA TERHADAP HAK ASASI MANUSIA Dalam konsep KUHP 2008 pada pasal 395 mengatur hal yang dapat dipidana atas dasar melakukan tindak pidana terhadap hak asasi manusia, pada
dasarnya KUHP WvS sendiri juga dengan sendirinya telah mengatur tentang hak asasi manusia dalam rumusan pasalnya namun dalam KUHP WvS tidak memberikan tempat khusu(pasal) dalam bagian KUHP yang mengatur tentang tindak pidana terhadap hak asasi manusia. Dalam konsep KUHP 2008 memang sengaja diatur tentang tindak pidana terhadap hak asasi manusia khususnya tentang hal Genosida dimana dalam pasal 395 berbunyi: Pasal 395 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur, atau cacat mental atau fisik, melakukan perbuatan: a. membunuh anggota kelompok tersebut; b. mengakibatkan penderit aan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok; c. menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan cara-cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
4
TUJUAN PIDANA
TUJUAN PEMIDANAAN PASAL 50 (1) a Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. KOMENTAR : - Efek khusus dan umum - Ditujukan untuk masa yang akan datang - Bukan tujuan pemidanaan.
1.
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegak¬kan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2.
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. KOMENTAR : - Bukan tujuan penjatuhan tetapi tujuan pelaksanaan pidana penjara di LP
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; 3.
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; KOMENTAR : - Tujuan proses pengadilan dan - Tujuan pemidanaan
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; 4.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. KOMENTAR : - Efek psikologis dari pelaksanaan pidana pada diri pelaku - Bukan tujuan pemidanaan
membebaskan rasa bersalah pada terpidana
5. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah¬kan martabat manusia .
5
BATAS USIA ANAK
Ketentuan dalam UU SPPA menyatakan bahwa anak berumur 12 tahun hanya boleh diperiksa sebagai dasar pengambilan keputusan oleh Penyidik untuk memberi tindakan, bukan bagian dari proses peradilan pidana. 12 Pasal 21 Ayat 1 berbunyi :21 (1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau b. mengikutsertakann ya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Pidana Pokok: a. Untuk kejahatan: kurungan Anak/ denda b. Untuk pelanggaran: denda 2. Satu atau lebih sanksi alternatife berikut ini dapat dikenakan sebagai pengganti pidana pokok dalam ayat(1): a. Kerja social ( community sevice) b. Pekerjaan umum memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana diakibatkan oleh tindak pidana Universitas Sumatera Utara c. Mengikuti proyek pelatihan 3. Pidana tambahan terdiri dari: a. Perampasan b. Pencabutan SIM 4. Tindakan-tindakan terdiri dari: a. Penempatan pada lembaga khusus untuk anak b. Penyitaan c. Perampasan keuntungan dari perbuatan melawan hukum d. Ganti rugi atas kerusakan. 5. Pasal 77 I: 1. Kurungan Anak: a. Minimal 1 hari dan maksimal 12 bulan dalam hal seseorang belum mencapai usia 16 tahun pada saat kejahatan dilakukan, b. Maksiamal 24 bulan untuk kasus-kasus 2. Kurungan anak ditetapkan dalam hari,
minggu atau bulan. 3. Pasal 26 dan 27 dapat dikenakan untuk seseorang yang dijatuhi pidana “kurungan anak” 4. Kurungan anak harus dilaksanakan dilembaga Negara atau fasilitas yang ditentukan pasal 65 UU Pemberian Bantuan Anak yang disubsidi untuk tujuan itu oleh Menteri Kehakiman, seperti diatur dalam pasal 56 UU tersabut
6
ASAS TIDAK ADA PIDANA TANPA KESALAHAN
TUGAS PERBANDINGAN HUKUM PIDANA
OLEH : NDARU WICAHYO
C100110033 A
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA FAKULTAS HUKUM