Perbandingan undang undang merek Dalam rangka menunjang dan meningkatkan iklim usaha di Indonesia, Pemerintah dan DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang diberlakukan pada tanggal 25 November 2016. Di dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis tersebut terdapat poin-poin penting khususnya yang membedakan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, diantaranya adalah: 1. 2.
3.
4. 5.
6.
7.
8.
Perubahan judul, pada UU Merek menjadi UU Merek dan Indikasi Geografis; Perluasan tipe merek, yang semula pada UU Merek yang lama hanya mengatur merek konvensional dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru dibedakan menjadi merek konvensional dan merek non tradisonal yang terdiri dari: merek tiga dimensi, merek suara, dan merek hologram; Perubahan alur dalam proses pendaftaran merek, yang semula pada UU Merek lama yaitu permohonan → pemeriksaan formal → pemeriksaan subtantif → pengumuman → sertifikasi, maka pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru yaitu permohonan → pemeriksaan formal → publikasi/pengumuman → pemeriksaan subtantif → sertifikasi; Jangka waktu proses pendaftaran merek sampai diberikan sertifikat, yang semula pada UU Merek lama selama 14 bulan 10 hari dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru selama 9 bulan; Perpanjangan pendaftaran merek, yang semula pada UU Merek lama selama 12 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu pendaftaran merek dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru selama 6 bulan sebelum dan 6 bulan setelah berakhirnya jangka waktu pendaftaran merek; Pendaftaran merek internasional, yang semula pada UU Merek lama tidak terdapat pengaturan tentang pendaftaran merek internasional dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru untuk pendaftaran merek internasional berdasarkan Madrid Protokol. Pengaturan tentang Indikasi Geografis, yang semula pada UU Merek lama ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru diatur secara lebih rinci (Terdiri dari 4 Bab, Pasal 53 s/d Pasal 71); Ketentuan Pidana, yang semula pada UU Merek lama tidak memuat ketentuan pemberatan sanksi pidana dan pada UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru memuat ketentuan pemberatan sanksi pidana (menggangu kesehatan dan mengancam keselamatan jiwa manusia).
Sesuai pengertian merek yang diatur pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis pada dasarnya terdapat 3 (tiga) elemen merek yaitu: Tanda, Memiliki Daya Pembeda dan Digunakan untuk perdagangan barang dan/atau jasa. Daya pembeda (distinctiveness) dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. 2.
Alasan absolut (absolut grounds) → Pasal 20 yaitu jenis merek yang tidak dapat didaftar; Alasan relatif (relative grounds) → Pasal 21 yaitu jenis merek yang ditolak.
Namun menurut penulis, adanya unsur itikad tidak baik (Pasal 21 ayat 3) seharusnya tidak diklasifikasikan dalam alasan relatif dan seharusnya diklasifikasikan dalam alasan absolut dalam Pasal 20. Dengan diberlakukan UU Merek dan Indikasi Geografis ini terdapat beberapa hal positif, yaitu diantaranya: 1.
2. 3.
Biaya pendaftaran relatif murah karena tidak membatasi jumlah jenis barang/jasa dalam satu kelas (Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia); Jangka waktu proses permohonan relatif lebih singkat; Memperluas objek jenis barang dan/atau jasa yang akan didaftar karena dapat mendaftarkan merek-merek non konvensional.
Selanjutnya, pengaturan untuk merek terkenal di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis pada dasarnya tidak mengatur secara rinci, namun pengaturan tentang merek terkenal dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 21 ayat 1 huruf b, yaitu: Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi merek tersebut yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek dimaksud di beberapa negara. Jika hal tersebut belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan. Terdapat konsep dari Amerika tahun 1920 yang dikenal dengan doktrin Dilution, yaitu merek bukan murni kreasi intelektual, namun perlindungan reputasi (well known mark and famous mark). Doktrin Dilution terdiri dari blurring, tarnishment, dan cybersquatting (Prof. Dr. Rahmi Jened, S.H., M.H, Seminar Perlindungan Merek Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Universitas Surabaya, 23 Maret 2017). Doktrin dilution blurring (pengaburan) yaitu pemudaran atas kekuatan merek melalui identisifikasinya untuk produk yang tidak sejenis, meskipun kesamaan merek tersebut tidak menyebabkan kebingungan diantara konsumen kedua produk tersebut, namun masing-masing mengurangi kualitas pembeda dari merek yang bersangkutan. Contoh: Tiffany (merek perhiasan yang sudah terkenal) → Tiffany (rumah makan). Doktrin dilution tarnishment (pemudaran) merupakan akibat dari penggunaan untuk mengencarkan, menodai, menurunkan karakter atau kualitas pembeda dari merek terkenal, terutama penggunaan produk yang lebih rendah atau produk yang tidak pantas. Contoh: Starbucks Coffee (merek kedai kopi yang sudah terkenal) → Pecel Lele Lela. Doktrin dilution cybersquatting yaitu mendaftarkan nama domain yang mirip atau sama dengan sesuatu merek terkenal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan melalui lalu-lintas pengunjung yang mengunjungi alamat bersangkutan. Contoh: www.celinedion.com → seperti diketahui Celine Dion adalah merupakan penyanyi internasional yang sudah terkenal.
Kamis, 01 Desember 2016
Ini Perbedaan UU Merek yang Lama dan UU Merek yang Baru Setidaknya, ada enam hal yang membedakan UU Merek yang lama dengan UU Merek dan Indikasi Geografis. HAG Dibaca: 49657 Tanggapan: 0
Acara hukumonline bertema “Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016: Implikasi, Implementasi dan Tantangannya”, Rabu (30/11).
BERITA TERKAIT
RUU Merek dan Indikasi Geografis Disetujui Jadi UU, Ini Penjelasan DPR Mengintip Tata Cara Pendaftaran Merek dalam UU Merek dan Indikasi Geografis Menkumham: UU Merek Indikasi Geografi Tumbuhkan UMKM Begini Aturan Pembayaran Biaya Tahunan Pemegang Paten Plus Minus Permohonan Kekayaan Intelektual Elektronik versi AKHKI
Meski belum mendapatkan nomor, UU Merek dan Indikasi Geografis yang disetujui menjadi undangundang pada 27 Oktober 2016, seharusnya sudah dapat dilaksanakan pada November 2016. Kasubdit Pemeriksaan Merek, Direktorat Merek dan Indikasi Geografis HKI, Kementerian Hukum dan HAM Direktorat Merek dan Indikasi Geografis HAKI, Kementerian Hukum dan HAM, Didik Taryadi, menjelaskan bahwa pemberlakuan undang-undang tersebut berlaku setelah tiga puluh hari
disahkan.(Baca Juga: Plus Minus Permohonan Kekayaan Intelektual Elektronik versi AKHKI) Lalu, apa yang membedakan UU Merek lama dengan UU Merek dan Indikasi Geografis yang baru saja disetujui menjadi undang-undang? Berdasarkan pemaparan yang diberikan Didik di acara hukumonline bertema “Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016: Implikasi, Implementasi dan Tantanganya”, Rabu (30/11), ada beberapa perbedaan terkait undang-undang merek yang baru dengan yang lama. Perbedaan tersebut di antaranya: No 1
2
3
4 5.
6.
UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek
UU Merek dan Indikasi Geografis Undang-undang terbaru memperluas merek yang Hanya berhubungan dengan merek konvensional akan didaftarkan. Di antaranya penambahan merek 3 dimensi, merek suara, dan merek hologram. Proses pendaftaran menjadi lebih singkat: Permohonan dilanjutkan dengan pemeriksaan formal, Proses pendaftaran relatif lebih lama. dilanjutkan dengan pengumuman (hal tersebut guna Permohonan dilanjutkan dengan pemeriksaan melihat apakah ada yang keberatan), dilanjutkan formal, setelah itu pemeriksaan subtantif, dengan pemeriksaan subtantif dan di akhir dengan kemudian pengumuman dan diakhiri dengan sertifikasi. sertifikasi. Sehingga pemohon akan mendapatkan nomor lebih cepat dari sebelumnya. Menteri memiliki hak untuk menghapus merek terdaftar dengan alasan merek tersebut merupakan Indikasi Geografis, atau bertentangan dengan Menteri tidak memiliki hak untuk menghapus kesusilaan dan agama. merek terdaftar Sedangkan untuk pemilik merek terdaftar tersebut dapat mengajukan keberatannya melalui gugatan ke PTUN. Gugatan oleh merek terkenal sebelumnya tidak Merek terkenal dapat mengajukan gugatan diatur. berdasarkan putusan pengadilan. Memuat pemberatan sanksi pidana bagi merek yang Tidak memuat mengenai pemberatan sanksi produknya mengancam keselamatan dan kesehatan pidana. jiwa manusia. Ketentuan mengenai indikasi geografis diatur dalam empat BAB (Pasal 53 sampai dengan 71). Pemohon indikasi geografis yaitu: 1. Lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan Hanya menyinggung sedikit mengenai indikasi geografis tertentu. geografis, namun memang banyak diatur di peraturan pemerintah. 2. Pemerintah Daerah provinsi atau kabupaten kota. Produk yang 1. Sumber 2. Barang 3. Hasil industri
dapat daya kerajinan
dimohonkan: alam tangan
Lantas mengapa mengapa nama undang-undangnya berubah? “Hal tersebut dikarenakan materi muatan sudah cukup banyak, sehingga akhirnya disepakati dengan nama indikasi geografis,” kata Didik. (Baca Juga: Mengintip Tata Cara Pendaftaran Merek dalam UU Merek dan Indikasi Geografis)
Menurut Didik, ketentuan dalam undang-undang yang baru hanya berlaku pada permohonan setelah undang-undang yang baru disahkan, sehingga tidak berlaku surut. “Sedangkan bagi permohonan yang masih menggunakan undaang-undang yang lama masih diselesaikan dengan undagundang lama,” jelasnya.
Merek Terkenal, Perbandingan UU Merek Lama dan Baru UU Merek teranyar membuka peluang bagi pemilik merek terkenal mengajukan gugatan ke pengadilan apabila terjadi pelanggaran merek. Oleh KlikLegal.com 10 July 2017 0 199
Bagikan ke Facebook Twit ke Twitter
Sumber Foto: https://2.bp.blogspot.com/ Sejumlah perubahan dalam hukum merek di Indonesia sudah terealisasi dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis teranyar, yakni UU No. 20 Tahun
2016. Salah satu perubahannya adalah aturan yang lebih ketat terhadap merek terkenal dibanding UU Merek yang lama, UU No. 25 Tahun 2001. Bila UU Merek yang lawas hanya mengatur merek terkenal ke dalam tiga ketentuan (dua pasal dan satu penjelasan), sedangkan UU Merek yang terbaru memuat lima ketentuan (dua pasal dan satu penjelasan). Salah satu perubahan signifikan adalah UU Merek yang baru (UU No. 20 Tahun 2016) membuka peluang bagi pemegang merek terkenal mengajukan gugatan ke pengadilan apabila terjadi pelanggaran merek. Berikut adalah perbandingan UU No.15 Tahun 2001 dan UU No.20 Tahun 2016 yang berkaitan dengan daerah, sebagai berikut:
No.
UU No. 15 Tahun 2001
UU No. 20 Tahun 2016
Pasal 6 ayat (1) huruf b
Pasal 21 ayat (1) huruf b dan c “Permohonan ditolak jika Merek tersebut
1.
“Permohonan harus ditolak oleh
mempunyai persamaan pada pokoknya
Direktorat Jenderal apabila Merek
atau keseluruhannya dengan: b. Merek
tersebut: mempunyai persamaan
terkenal milik pihak lain untuk barang
pada pokoknya atau keseluruhannya
dan/atau jasa sejenis; c. Merek
dengan Merek yang sudah
terkenal milik pihak lain untuk barang
terkenalmilik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa tidak sejenis yang
dan/atau sejenisnya”.
memenuhi persyaratan tertentu.”
Pasal 37 ayat (2) “Permohonan Perpanjangan ditolak oleh Direktorat Jenderal, apabila
2.
Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek terkenal milik orang lain, dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 83 ayat (2) “Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Gugatan atas pelanggaran Merek,-red) dapat pula diajukan oleh pemilik Merek terkenal berdasarkan putusan pengadilan.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat (2)”.
3.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b
Penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf b
“Penolakan Permohonan yang
“Penolakan Permohonan yang
mempunyai persamaan pada
mempunyai persamaan pada pokoknya
pokoknya atau keseluruhan
atau keseluruhan dengan Merek
dengan Merek terkenal untuk
terkenal milik pihak lain untuk barang
barang dan/atau jasa yang sejenis
dan/atau jasa yang sejenis dilakukan
dilakukan dengan memperhatikan
dengan memperhatikan pengetahuan
pengetahuan umum masyarakat
umum masyarakat mengenai Merek
mengenai Merek tersebut dibidang
tersebut di bidang usaha yang
usaha yang bersangkutan. Disamping
bersangkutan. Di samping itu,
itu diperhatikan pula reputasi Merek
diperhatikan pula reputasi Merek
terkenal yang diperoleh karena
tersebut yang diperoleh karena promosi
promosi yang gencar dan besar-
yang gencar dan besar-besaran,
besaran, investasi di beberapa negara
investasi di beberapa negara di dunia
didunia yang dilakukan oleh
yang dilakukan oleh pemiliknya, dan
pemiliknya dan disertai bukti
disertai bukti pendaftaran Merek
pendaftaran Merek tersebut
dimaksud di beberapa negara. Jika hal
dibeberapa negara. Apabila hal-hal
tersebut belum dianggap cukup,
diatas belum dianggap cukup,
Pengadilan Niaga dapat memerintahkan
Pengadilan Niaga dapat
lembaga yang bersifat mandiri untuk
memerintahkan lembaga yang
melakukan survei guna memperoleh
bersifat mandiri untuk melakukan
kesimpulan mengenai terkenal atau
survei guna memperoleh kesimpulan
tidaknya Merek yang menjadi dasar
mengenai terkenal atau tidaknya
penolakan.”
Merek yang menjadi dasar
penolakan.”
Penjelasan Pasal 76 ayat (2) “Yang dimaksud dengan “pemilik Merek yang tidak terdaftar” antara lain pemilik
4.
Merek yang iktikad baik tetapi tidak terdaftar atau pemilik Merek terkenaltetapi Mereknya tidak terdaftar”.
Penjelasan Pasal 83 ayat (2) “Pemberian hak untuk mengajukan gugatan perdata berdasarkan perbuatan curang yang dilakukan oleh pihak lain
5.
dimaksudkan untuk memberikan pelindungan hukum kepada pemilik Merek terkenal meskipun belum terdaftar.”
Mengenal Lebih Dekat Undang-Undang Merek 2016 Dalam catatan statistik Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual (DITJEN KI), Merek merupakan kekayaan Intelektual yang paling sering didaftarkan untuk dimintakan perlindungannya oleh masyarakat bisnis. Para pelaku bisnis di Indonesia, mulai dari UMKM sampai dengan Perusahaan TBK, sudah mulai menyadari betapa pentingnya perlindungan hak atas Merek. Hal tersebut tidak terluput dari betapa pentingnya Merek terhadap kemajuan perusahaan. Pembangunan suatu citra Merek bukanlah hal yang mudah. Dalam prosesnya, perusahaan melakukan promosi secara besar-besaran dan membuat produk dengan kualitas yang baik secara konsisten agar dapat menghasilkan suatu citra Merek yang kuat dan positif. Ketika citra Merek tersebut terbentuk maka citra yang melekat di masyarakat akan cenderung sulit diubah.
Citra Merek yang kuat dan positif menjadi magnet bagi segelintir orang untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang ilegal. Keuntungan tersebut didapatkan dengan menggunakan Merek tanpa seizin pemilik Merek ataupun dengan menjual produk yang memiliki nama Merek yang serupa tetapi tidak sama. Akibatnya, baik pemilik merek maupun konsumen dapat mengalami kerugian. Kerugian yang didapatkan oleh konsumen adalah Konsumen mendapatkan barang-barang palsu dengan kualitas rendah, sedangkan untuk pemilik Merek, secara otomatis akan mengalami penurunan penjualan. Pemerintah sudah sejak lama memberikan perhatian terhadap isu pelanggaran Merek di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya Undang-Undang Merek yang sudah lama berlaku di Indonesia. Bahkan di tahun 2016, pemerintah kembali merilis Undang-Undang No. 2o tahun 2016 tentang Merek (UU Merek 2016) menggantikan Undang-Undang No. 15 tahun 2001 (UU Merek 2001). Kehadiran UU Merek 2016 adalah untuk menyempurnakan perlindungan kepada pemilik Merek dan juga memberikan penyesuaian terhadap perkembangan kekayaan intelektual di Indonesia. Ada beberapa perbedaan yang cukup mendasar antara UU Merek 2016 dengan UU Merek 2001. Perbedaan pertama terdapat pada penamaan dari Undang-Undang tersebut. Apabila pada UU Merek 2001 hanya disebutkan dengan Undang-Undang tentang Merek, pada UU Merek 2016 disebutkan Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis. Penyebutan Indikasi Geografis pada penamaan UU Merek 2016 bukanlah tanpa sebab. Apabila di dalam UU Merek 2001 Indikasi Geografis hanya dibahas sedikit sekali dan cenderung lebih banyak dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah, dalam UU Merek 2016 Indikasi Geografis diuraikan lebih jelas dan tertuang di dalam empat BAB (Pasal 53 sampai dengan 71). Keempat BAB tersebut mengurai hal-hal terkait dengan pihak yang dapat memohon Indikasi Geografis (Lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan tertentu dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten Kota) dan Produk yang dapat dimohonkan (Sumber daya alam, Barang kerajinan tangan dan hasil industri dari masyarakat ataupun lembaga di kawasan geografis tertentu). Selain terkait tentang Indikasi Geografis, perlindungan UU Merek 2016 juga mencakup bentuk Merek. Jika sebelumnya dalam UU Merek 2001, Merek yang dilindungi hanyalah Merek Konvensional berupa tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda yang identik dengan logo dua dimensi. UU Merek 2016 memperluas bentuk Merek yang dapat didaftarkan, di antaranya adalah Merek 3 dimensi, Merek suara dan Merek Hologram. Upaya pembaruan lainnya yang dibawa di dalam UU Merek 2016 adalah proses pendaftaran Merek yang menjadi lebih singkat. Percepatan tersebut terjadi pada masa pemeriksaan Substantif yang dipersingkat menjadi 150 hari, sebelumnya 9 bulan dan masa pengumuman Merek yang menjadi 2 bulan, sebelumnya 3 bulan. Selain itu, pada UU Merek 2001 proses pendaftaran lebih lama karena pengumuman dilakukan setelah pemeriksaan substantif Merek dilakukan, sedangkan pada UU Merek 2016, pengumuman dilakukan sebelum pemeriksaan Substantif dilakukan. Sehingga apabila terdapat pihak yang keberatan terhadap Merek yang akan didaftarkan tersebut maka dapat terdeteksi lebih awal sebelum Merek memasuki proses yang lebih lama lagi. Dalam UU Merek 2016, Menteri memiliki hak untuk menghapus Merek terdaftar dengan alasan Merek tersebut merupakan Indikasi Geografis. Wewenang tersebut diberikan kepada menteri untuk memfasilitasi masyarakat banyak apabila terjadi pelanggaran Indikasi Geografis. Meskipun demikian, pemilik Merek yang haknya dihapuskan oleh menteri tetap memiliki upaya untuk mempertahankan Hak atas Merek miliknya melalui gugatan ke PTUN. Poin lain yang difasilitasi oleh UU Merek 2016 adalah terkait gugatan yang dapat dilakukan oleh Merek terkenal. Meskipun di dalam UU tersebut klasifikasi Merek terkenal masih di dalam garis abu-abu, suatu Merek dapat dinyatakan terkenal atau tidak melalui putusan Pengadilan. Sehingga setelah diakui sebagai
Merek terkenal, pemilik Merek tersebut dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis. Pemberatan sanksi pidana merupakan hal yang baru di dalam UU Merek 2016. Pemberatan tersebut berlaku untuk Merek yang produknya dapat mengancam lingkungan hidup, keselamatan dan kesehatan jiwa manusia. Maka undang-undang mengatur bahwa jika Merek tersebut dipergunakan secara tanpa Hak dan tidak bertanggung jawab. Maka pihak yang mempergunakan secara tanpa hak mendapatkan pemberatan sanksi pidana. Keseriusan pemerintah dalam melindungi kekayaan intelektual di Indonesia sudah dibuktikan dengan menyempurnakan peraturan hukum yang berlaku, memperbaiki birokrasi dan juga melindungi para pemangku kepentingan yaitu pemilik Kekayaan Intelektual. Kekayaan Intelektual yang sangat dekat dan tidak dapat lepas dari semua industri di Indonesia, terutama industri kreatif yang sedang berkembang di era teknologi seperti saat ini, seharusnya dapat semakin bertumbuh dan berkembang. Sehingga nantinya kekayaan bangsa ini dapat didominasi oleh kekayaan intelektual dan tidak lagi bergantung kepada kekayaan alam.
Oleh sebab itu, UU Merek 2016 merupakan salah satu jawaban untuk dapat memajukan Kekayaan Intelektual di Indonesia. Lahirnya UU tersebut seyogyanya dimanfaatkan dengan baik oleh para pengusaha ataupun pemilik produk untuk memiliki kepercayaan diri dalam mengembangkan produk yang dimilikinya. Sehingga dengan adanya kepastian hukum terhadap perlindungan dan percepatan di dalam pendaftaran dan kepemilikan Kekayaan Intelektual. Masyarakat dapat terus mengeksplorasi Kekayaan Intelektual miliknya sehingga memiliki nilai ekonomi yang dapat mendorong pembangunan perekonomian nasional. (AB)