KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas paper ini. ini. Dalam paper ini penulis membahas tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Paper ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Hukum Bisnis. Kami menyadari bahwa bahwa dengan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah mendukung proses penyelesaian tugas ini sehingga membawa hasil yang diharapkan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu kami. Semoga paper ini berguna dan bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada pada umumnya. Penulis menyadari sepenuhnya sebagai manusia biasa, tidak lepas dari kekurangan, begitu juga dengan paper ini yang masih jauh dari sempurna. Penulis memohon kepada Bapak dosen khususnya, umumnya para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam paper ini, penulis mengharapkan untuk kritik dan saran yang bersifatnya membangun.
Denpasar, November 2017
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
BAB II
BAB III
……………………..................................................................................
i
…………………................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
…………………....................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah Penulisan
1.3
Tujuan Penulisan
………………….............................................. 1
………………….................................................................. 2
PEMBAHASAN
2.1
Prosedur Arbitrase
……………….………....................................................... 3
2.2
Putusan Arbitrase ………………..……………….............. .............................. 8
2.3
Pelaksanaan Putusan Arbitrase
…………......................................................... 9
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
…………………......................................................................... 15
................................................................................................................ 16
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Perkembangan perekonomian pada era globalisasi dan modernisasi dewasa ini, menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang melibatkan pihak-pihak tertentu dalam suatu kegiatan perdagangan. Kegiatan perdagangan merupakan salah satu bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dalam masyarakat dan juga memiliki peranan yang besar dalam mempengaruhi kondisi perekonomian nasional. Selain itu, perdagangan memiliki arti yang sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara
berkesinambungan,
mewujudkan
pemerataan
meningkatkan pembangunan
pelaksanaan termasuk
pembangunan
hasil-hasilnya
nasional
serta
guna
memelihara
kemantapan stabilitas nasional. Sengketa perdagangan dapat timbul kapan saja dan dimana saja di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan bisnis atau perdagangan. Dalam hal telah timbulnya sengketa dalam kegiatan perdagangan, maka para pihak yang bersengketa dapat menuntut pemecahan dan penyelesaian sengketa (solution) yang cepat dan tepat. Para pihak yang terlibat dalam sengketa perdagangan dapat secara bebas memilih cara penyelesaian dan hukum yang akan dipergunakan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati di dalam kontrak. Pada umumnya di dalam kehidupan suatu masyarakat telah mempunyai cara untuk menyelesaikan konflik atau sengketa sendiri, yakni proses penyelesaian sengketa yang ditempuh dapat melalui cara-cara formal maupun informal. Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan (litigasi) dan arbitase (perwasiatan), serta proses pnyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa. Maka alternatif penyelesaian sengketa memberikan kemudahan dengan proses yang cepat, murah dan diselesaikan sebaik-baiknya, melalui Arbitrase, Negosiasi, Mediasi, dan Konsiliasi. Di dalam makalah ini, saya mengambil salah satu contoh penyelesaian sengketa yaitu Arbitrase, yang penyelesaiannya dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
1.2
Rumusan Masalah Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan pokok masalah sebagai berikut: 1
1. Bagaimana prosedur arbitrase pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)? 2. Bagaimana putusan arbitrase pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)? 3. Bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)?
1.3
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dalam penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui prosedur arbitrase pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). 2. Untuk mengetahui putusan arbitrase pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). 3. Untuk mengetahui pelaksanaan putusan arbitrase pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Prosedur Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat dilakukan apabila terdapat perjanjian arbitrase yang telah diperjanjikan oleh para pihak, baik berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Pactum de Compromittendo), maupun suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Acta Compromise). Arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat. Idealnya, para pihak yang menyelesaikan sengketa di arbitrase tidak lagi membawa permasalahan ke pengadilan, baik dalam hal eksekusi ataupun membatalkan putusan arbitrase. Walaupun hanya berupa quasi judicial , lembaga arbitrase akan lebih efektif dipilih untuk menyelesaikan sengketa bisnis, sepanjang dilakukan secara sukarela dan dengan itikad baik. Karena secara prinsip, para pihak memilih arbitrase untuk menghindari pengadilan. Salah satu alasannya karena sifat tertutup arbitrase yang dapat menjaga kerahasiaan kasus mereka. Mengingat, publikasi tentang sengketa kurang baik bagi pebisnis. Yang menarik dalam arbitrase, sebelum sidang dimulai, para pihak sudah mengetahui posisi dan sikap masing-masing pihak sebagaimana tertuang dalam permohonan arbitrase dan jawaban terhadap permohonan arbitrase. Bahkan, para pihak pun sudah menyerahkan daftar bukti untuk mendukung dalilnya. Sehingga, pada saat sidang pemeriksaan arbitrase, para pihak mendapatkan keleluasaan untuk mengutarakan argumennya secara verbal dan juga dapat menyertakan bukti tambahan. Lebih jauh mengenai permohonan arbitrase juga telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU No. 30/1999). Para pihak dapat melakukan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, baik lembaga arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase institusional. Salah satu lembaga arbitrase yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdata dalam bidang perdagangan, perindustrian dan keuangan di Indonesia adalah Badan Arbitrase 3
Nasional Indonesia (BANI). BANI memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hanya apabila terdapat perjanjian arbitrase dan klausula arbitrase yang menunjuk BANI sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang perdagangan. Berikut adalah tahapan prosedurnya.
1. Permohonan Arbitrase Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan Arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase pada Sekretariat BANI. Di dalam permohonan tersebut, pemohon menjelaskan baik dari sisi formal tentang kedudukan pemohon dikaitkan dengan perjanjian arbitrase, kewenangan arbitrase (dalam hal ini BANI) untuk memeriksa perkara, hingga prosedur yang sudah ditempuh sebelum dapat masuk ke dalam penyelesaian melalui forum arbitrase.Penyelesaian sengketa di arbitrase dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak berperkara. Kesepakatan tersebut dapat dibuat sebelum timbul sengketa ( Pactum De Compromittendo) atau disepakati para pihak saat akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase (akta van compromis).Sebelum mendaftarkan permohonan ke BANI, Pemohon terlebih dahulu memberitahukan kepada Termohon bahwa sehubungan dengan adanyasengketa antara Pemohon dan Termohon maka Pemohon akan menyelesaikan sengketa melalui BANI. Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 30/1999, pemberitahuan sebagaimana dimaksud di atas harus memuat dengan jelas: 1. nama dan alamat para pihak; 2. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku; 3. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa; 4. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada; 5. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan 6. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil. Setelah menerima Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya pendaftaran yang disyaratkan, Sekretariat harus mendaftarkan Permohonan itu dalam register BANI. Badan Pengurus BANI juga akan memeriksa Permohonan tersebut untuk menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa tersebut.
2. Penunjukan Arbiter 4
Pada dasarnya, para pihak dapat menentukan apakah forum arbitrase akan dipimpin oleh arbiter tunggal atau oleh Majelis.Dalam hal forum arbitrase dipimpin oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal pemohon secara tertulis harus mengusulkan kepada termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal. Jika dalam 14 (empat belas) hari sejak termohon menerima usul pemohon para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal maka dengan berdasarkan permohonan dari salah satu pihak maka Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter tunggal. Dalam hal forum dipimpin oleh Majelis maka Para Pihak akan mengangkat masing-masing 1 (satu) arbiter. Dalam forum dipimpin oleh Majelis arbiter yang telah diangkat oleh Para Pihak akan menunjuk 1 (satu) arbiter ketiga (yang kemudian akan menjadi ketua majelis arbitrase). Apabila dalam waktu 14 (empat) belas hari setelah pengangkatan arbiter terakhir belum juga didapat kata sepakat maka atas permohonan salah satu pihak maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga. Apabila setelah 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak.
3. Tanggapan Termohon Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang memeriksa, maka setelah pendaftaran Permohonan tersebut, seorang atau lebih Sekretaris Majelis harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase tersebut. Sekretariat harus menyampaikan satu salinan Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen lampirannya kepada Termohon, dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima penyampaian Permohonan Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam Jawaban
itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan
penunjukan itu kepada Ketua BANI. Apabila, dalam Jawaban tersebut, Termohon tidak menunjuk seorang Arbiter, maka dianggap bahwa penunjukan mutlak telah diserahkan kepada Ketua BANI. Ketua BANI berwenang, atas permohonan Termohon, memperpanjang waktu pengajuan Jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan alasan-alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi 14 (empat belas) hari.
4. Tuntutan Balik 5
Apabila Termohon bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian sehubungan dengan sengketa atau tuntutan yang bersangkutan sebagaimana yang diajukan Pemohon, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut bersama dengan Surat Jawaban atau selambat-lambatnya pada sidang pertama. Majelis berwenang, atas permintaan Termohon, untuk memperkenankan tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian itu agar diajukan pada suatu tanggal kemudian apabila Termohon dapat menjamin bahwa penundaan itu beralasan. Atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan biaya tersendiri sesuai dengan cara perhitungan pembebanan biaya adminsitrasi yang dilakukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar biaya yang berlaku yang ditetapkan oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila biaya administrasi untuk tuntutan balik atau upaya penyelesaian te rsebut telah dibayar para pihak, maka tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian akan diperiksa, dipertimbangkan dan diputus secara bersama-sama dengan tuntutan pokok. Kelalaian para pihak atau salah satu dari mereka, untuk membayar biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak menghalangi ataupun menunda kelanjutan penyelenggaraan arbitrase sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) sejauh biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) tersebut telah dibayar, seolaholah tidak ada tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tuntutan. Jawaban Tuntutan Balik. Dalam hal Termohon telah mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian, Pemohon (yang dalam hal itu menjadi Termohon), berhak dalam jangka waktu 30 hari atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Majelis, untuk mengajukan jawaban atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut.
5. Sidang Pemeri ksaan Dalam sidang pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan 6
sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan. Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis. Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan. Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata. Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila : 1. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu; 2. sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya; atau 3. dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa. Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi. Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum. Majelis wajib menetapkan Putusan akhir dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak ditutupnya persidangan, kecuali Majelis mempertimbangkan bahwa jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya. Selain menetapkan Putusan akhir, Majelis juga berhak menetapkan putusan-putusan pendahuluan, sela atau Putusan putusan parsial.
7
Biaya-biaya Permohonan Arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan BANI. Biaya administrasi meliputi biaya administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta biaya Sekretaris Majelis. Mengenai biaya ini didasarkan juga pada besarnya nilai tuntutan yang dicantumkan dalam permohonan arbitrase, baik materiil juga imateriil. Oleh karena itu, pemohon arbitrase hendaknya lebih bijak dalam menetapkan nilai tuntutannya. Satu dan lain hal, karena pendaftaran biaya arbitrase dihitung berdasarkan prosentase nilai tuntutan dan majelis arbitrer hanya akan mengabulkan nilai tuntutan yang dapat dibuktikan oleh pemohon. Apabila terdapat pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase seperti yang dimaksud oleh pasal 30 Undangundang No. 30/1999, maka pihak ketiga tersebut wajib untuk membayar biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya sehubungan dengan keikutsertaannya tersebut. Dalam hal Termohon tidak memberikan tanggapan atau diam saja, maka Pemohon arbitrase berkewajiban untuk membayar beban biaya perkara Termohon. Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya administrasi dilunasi oleh kedua belah pihak.
K elebihan arbitrase Di samping berbagai kelebihan dari penyelesaian sengketa di arbitrase, yang menurut saya menjadi keunggulan adalah arbitrer pemeriksa perkara adalah ahli yang memiliki kompetensi dalam bidang usaha yang dipersengketakan. Dengan demikian, sang arbiter telah memiliki dasar pemahaman yang lebih dari cukup tentang bisnis/industri itu sendiri. Bahkan sepanjang pengalaman saya, belum pernah ditemukan adanya kolusi dengan arbiter ataupun pungli yang dilakukan petugas di sekretariat BANI. Hal ini tentunya menjadi keunggulan lain yang membuat kita lebih nyaman untuk menyelesaiakan sengketa di arbitrase, dibanding pengadilan dengan segala intrik mafia peradilannya.
2.2
Putusan Arbitrase
Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad- hoc tersebut, maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan olehnya. Sebagai suatu pranata (hukum), arbitrase dapat
8
mengambil berbagai macam bentuk yang disesuaikan dengan kondisi dan keadan yang dikehendaki oleh para pihak dalam perjanjian. Berdasarkan pada tempat di mana arbitrase tersebut diputuskan, secara umum putusan arbitrase dapat kita bedakan ke dalam: 1. Putusan arbitrase nasional, yamg merupakan putusan arbitrase yang diambil atau dijatuhkan di negara Republik Indonesia 2. Putusan arbitrase internasional atau arbitrase asing, yang merupakan putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara di luar negara Republik Indonesia Putusan arbitrase berbeda dengan putusan badan peradilan, putusan arbitrase baik yang diputuskan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase, adalah merupakan putusan pada tingkat akhir (final), dan karenanya secara langsung mengikat (binding) bagi para pihak. Namun meskipun demikian, putusan arbitrase masih bisa dilakukan upaya pembatalan putusan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang diatur dalam Bab VII tentang Pembatalan Putusan Arbitrase, pasal 70-72 Undang-undang No. 30 Tahun 1999.
2.3
Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Dalam membicarakan pelaksanaan putusan arbitrase akan dibedakan cara pelaksanaan putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional 1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional Instansi atau pejabat yang berwenang untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan arbitrase adalah Pengadilan Negeri, sedangkan majelis arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan putusan tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi (pelaksanaan putusan). Ketidakadaan kewenangan majelis arbitrase ini disebabkan karena majelis tersebut tidak bersifat yudisial, dan tidak mempunyai perangkat juru sita yang bertugas melaksanakan eksekusi. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional, ada beberapa tahap yang akan dilalui, sebagaimana diuraikan berikut ini. a. Pendaftaran Putusan Arbitrase Pasal 59 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa tahap pertama yang harus dilakukan dalam rangka eksekusi putusan arbitrase adalah tahap pendaftaran/penyimpanan atau yang disebut dengan istilah “deponir” pada Pengadilan Negeri dalam wilayah putusan tersebut dikeluarkan. Kewajiban mendaftarkan harus dilakukan paling lambat tiga puluh hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Dan yang berkewajiban untuk mendaftarkan putusan tersebut adalah: 9
1)
Salah seorang anggota arbiter, atau
2)
Seorang kuasa untuk dan atas nama para anggota arbiter Semua biaya yang menyangkut pendaftaran ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU
Nomor 30 tahun 1999 di atas, ditanggung oleh para pihak yan bersengketa sendiri, bukan arbiter b. Permohonan Eksekusi Makna/pengertian eksekusi adalah permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dilakukan perintah eksekusi terhadap putusan. Dengan demikian, tahap kedua adalah mengajukan permohonan eksekusi, yaitu permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dikeluarkan perintah eksekusi terhadap putusan arbitrase Perintah eksekusi akan diberikan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri (pasal 62 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999). Dan selama waktu tersebut, sebelum perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa terlebih dahulu, apakah putusan arbitrase itu sah atau tidak. Dikategorikan sebagai putusan arbitrase yang sah apabila: 1) Penyelesaian perselisihan tersebut memang disepakati oleh para pihak untuk diselesaikan melalui arbitrase 2) Putusan yang dimintakan eksekusi tersebut adalah putusan arbitrase yang menyangkut perselisihan bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa
2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase I nternasional Sama halnya dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional,pelaksanaan putusan arbitrase internasional ini pun melalui proses yang sama, yaitu tahap pendaftaran, lalu baru kemudian eksekusi. Dalam pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “yang berwenang menangani masalah pengakuan dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Namun demikian, tidak semua putusan arbitrase internasional dapat diakui atau dilaksanakan di Indonesia tanpa memandang dari negara mana putusan tersebut dikeluarkan. Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
10
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrasi Internasional. Ini disebut asas reciprositas b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekusi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untuk keperluan pendaftaran ini dokumen yang diperlukan adalah : a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal autentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa segera bahwa negara pemohon terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Pembatalan Putusan Arbitrase Pembatalan putusan arbitrase dapat diartikan sebagai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan untuk meminta pengadilan negeri agar suatu putusan arbitrase dibatalkan, baik terhadap sebagian atau seluruh isi putusan. Putusan arbitrase umumnya disepakati sebagai putusan yang bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, dalam proses pembatalan putusan arbitrase, pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara. Kewenangan pengadilan terbatas hanya ada kewenangan 11
memeriksa keabsahan prosedur pengambilan putusan arbitrase, antara lain proses pemilihan arbitrase hingga pemberlakuan hukum yang dipiliih oleh para pihak dalam penyeleseaian sengketa. Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa telah mengatur secara jelas mengenai pembatalan putusan arbitrase. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan, jika putusan tersebut diduga mengandung unsure-unsur antara lain sebagai berikut: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu b. Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Mengingat bahwa putusan arbitrase bersifat final and binding, maka sewajarnya upaya permohonan pembatalan putusan arbitrase ini diatur dengan setegas mungkin. Hal ini tercermin dalam penjelasan pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan ke Pengadilan. Alasan permohonan pembatalan putusan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.” Dengan adanya syarat-syarat diatas, maka dapat disimpulkan upaya pembatalan putusan arbitrase adalah langkah upaya hukum extra yang dapat ditempuh apabila memang telah terjadi kecurangan-kecurangan dalam proses arbitrase tersebut. Sehingga keuntungan arbitrase yaitu kecepatan dalam proses dapat terpenuhi, karena setiap putusan arbitrase tersebut tidak gampang dibatalkan. Berdasarkan pasal 70 sampai dengan pasal 72 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa, mekanisme pembatalan putusan arbitrase adalah sebagai berikut: Pertama, Pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan negeri. Pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri tujuannya adalah agar terhadap putusan dapat dimintakan eksekusi apabila para pihak tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela. Selama belum dilakukan pendaftaran putusan
12
arbitrase, maka eksekusi tidak dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Arbiter atau kuasanya memiliki kewajiban untuk mendaftarkan putusan arbitrase di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam waktu 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan negeri, bukan dibebankan kepada para pihak. Kedua, Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan secara tertulis kepada ketua pengadilan negeri. Apabila putusan arbitrase telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat (1) UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase secara tertulis dalam waktu 30 hari terhitung sejak pendaftaran putusan arbitrase di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Hal penting yang harus diketahui disini adalah Pengadilan Negeri mana yang berwenang memeriksa pembatalan putusan arbitrase? Dalam pasal 1 angka 4 UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan definisi Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon, dan dalam pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengartikan termohon adalah pihak lawan dari pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Berdasarkan pasal 1 angka 4 dan pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat ditarik kesimpulan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon. Oleh karena itu, apabila termohon arbitrase sebagai pihak yang kalah merasa keberatan dengan putusan arbitrase, maka pihaknya dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada pengadilan Negeri dengan wilayah hukum atau yurisdiksi yang meliputi tempat tinggalnya sendiri. Ketiga, Apabila permohonan pembatalan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Ketua pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan putusan arbitrase jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase tersebut. Dan ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkannya kata pembatalan, maka arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase. 13
Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili sendiri perkara yang telah dibatalkan. Fungsi dan kewenangan pengadilan dalam pemeriksaan hanya sekedar meneliti fakta tentang benar atau tidak ada alasan yang dikemukakan pemohon. Jika terbukti tidak ada, maka permohonan pembatalan putusan arbitrasenya ditolak. Akan tetapi jika Pengadilan Negeri menemukan adanya 3 unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase sebagaimana tertuang dalam pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka Pengadilan Negeri akan memerima permohonan pembatalan putusan arbitrase.
14
BAB III KESIMPULAN
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Salah satu lembaga arbitrase yang memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa perdata dalam bidang perdagangan, perindustrian dan keuangan di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hanya apabila terdapat perjanjian arbitrase dan klausula arbitrase yang menunjuk BANI sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang perdagangan. Tahapan prosedur arbitrase yaitu (1) permohonan arbitrase, (2) penunjukan arbiter, (3) tanggapan termohon, (4) tuntutan balik, (5) siding pemeriksaan. Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad- hoc tersebut, maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan olehnya. Dalam membicarakan pelaksanaan putusan arbitrase akan dibedakan cara pelaksanaan putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional. Dalam putusan arbitrase nasional, instansi atau pejabat yang berwenang untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan arbitrase adalah Pengadilan Negeri, sedangkan majelis arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan putusan tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi (pelaksanaan putusan). Sama halnya dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional,pelaksanaan putusan arbitrase internasional ini pun melalui proses yang sama, yaitu tahap pendaftaran, lalu baru kemudian eksekusi. Namun demikian, tidak semua putusan arbitrase internasional dapat diakui atau dilaksanakan di Indonesia tanpa memandang dari negara mana putusan tersebut dikeluarkan.
15
DAFTAR PUSTAKA
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1905/arbitrase-pilihan-tanpa-kepastian (Diakses 5 Desember 2017) https://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/14/pengantar-hukum-arbitrase-di-indonesia/ (Diakses 5 Desember 2017) https://datakata.wordpress.com/2014/11/12/arbitrase-sebagai-alternatif-penyelesaiansengketa-bisnis/ (Diakses 6 Desember 2017)
16