DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..1 KATA PENGANTAR ……………………………………………………………...2 BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………..3 I.1. DEFINISI DEMAM.......……………………………………..............3 I.2. ETIOLOGI..........……………………………………………………..3 I.3. TIPE DEMAM..……………………………………………………....3 I.4. PATOFISIOLOGI............................…………………………………4 BAB II. PEMBAHASAN II.1. PENDAHULUAN DHF....………………………………….............5 II.2. DEFINISI DHF...…………………………………………………….5 II.3. ETIOLOGI DHF..…………………………………………………....6 II.4. EPIDEMIOLOGI DHF....................………………………………...6 II.5. PATOGENESIS DHF...... …………………………………………....7 II.6. MANIFESTASI KLINIS DHF...………………………………….....10 II.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG DHF ....…………………………..12 II.8. DIAGNOSIS DHF..………………………………………................13 II.9. DIAGNOSIS BANDING DHF……………………………………....15 II.10. PENATALAKSAAN DHF.………………………………………... 16 II.11. DEFINISI TYPOID...........................................................................22 II.12. EPIDEMIOLOGI TYPHOID............................................................22 II.13. ETIOLOGI TYPHOID......................................................................23 II.14. PATOFISIOLOGI TYPHOID..........................................................24 II.15. GEJALA KLINIS TYPHOID..........................................................26 II.16. PEMERIKSAAN PENUNJANG TYPHOID.................................28 II.17. DIAGNOSIS TYPHOID.................................................................30 II.18. KOMPLIKASI TYPHOID.............................................................33 II.19. DIAGNOSIS BANDING TYPHOID.............................................35 11.20 PENATALAKSANAAN TYPOID................................................35 DAFTAR PUSTAKA…………………………......................………………......40 1
Kata Pengantar
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan YME, yang dengan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan referat berjudul “FEBRIS”, Saya juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Erwanto Budi Winulyo,Sp PD,KAI pada khususnya selaku pembimbing sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini dengan sebaik-baiknya. Dalam kesempatan ini saya juga sangat berterima kasih atas bimbingan kepada saya sehari-hari, ilmunya, pengalamannya, semoga amal ibadahnya diterima Tuhan YME dan dilimpahkan keberkahan dalam hidup. Kepada teman-teman juga saya ucapkan terima kasih atas bantuannya dalam pembuatan referat ini. Referat ini diperuntukkan untuk tugas akhir Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RS Marzoeki Mahdi Bogor. Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi sempurnanya referat ini. Akhir kata saya berharap referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, 3 Januari 2012
Penulis
2
BAB I PENDAHULUAN I.1. Definisi(1) Demam pada umumnya diartikan dengan suhu tubuh di atas 37,2oC. Hiperpireksia adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sampai setinggi 41,2oC atau lebih, sedangkan hipotermia adalah keadaan suhu tubuh di bawah 35oC. I.2. Etiologi(1) Banyak hal yang dapat menyebabkan demam, antara lainnya:
Virus
Bacteri
Fungi
Obat-obatan
Racun
I.3. Tipe-tipe demam(1)
Demam septik o Suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi seklai pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal disebut demam hektik.
Demam remiten o suhu tubuh turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai siuhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercata dapat mencapai dua derajat.
Demam intermiten o Suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari, bila ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bia terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.
Demam kontinyu o Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia. 3
Demam siklik o Kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
I.4. Patofisiologi
4
BAB II PEMBAHASAN Demam Berdarah Dengue dan Typhoid II.1. PENDAHULUAN Penyakit demam berdarah dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir cenderung meningkat karena selain menyerang pada anak – anak, kasus yang dilaporkan semakin banyak pada orang dewasa. Penyakit ini ditandai dengan dengan panas tinggi mendadak serta kebocoran plasma dan pendarahan, dapat mengakibatkan kematian serta menimbulkan wabah.2 Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlahnya serta semakin luas penyebarannya. Hal ini karena masih tersebarnya nyamuk Aedes aegypti sebagai penular peyakit ini di seluruh pelosok tanah air.2 Untuk memberantas penyakit ini diperlukan kerjasama yang memadai antara masyarakat dan petugas kesehatan agar berupaya membatasi jumlah penularan penyakit ini agar tidak semakin bertambah jumlahnya. Maka dari itu diperlukan pembinaan dan pengetahuan yang cukup untuk menjaga sanitasi lingkungan yang baik. Sudah menjadi bagian dari pemerintah republik Indonesia, dinas kesehatan yang mengeluarkan undang – undang secara khusus no. 4 tahun 1989 tentang wabah penyakit menular serta peraturan menteri kesehatan no.560 tahun 1989 yang apabila ditemukan kasus DBD wajib dilaporkan dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Untuk itu diharapkan juga bagi petugas kesehatan untuk menatalaksana kasus ini dengan baik untuk mencegah atau mengurangi timbulnya morbiditas dan mortalitas yang tinggi.3
II.2. DEFINISI Demam dengue/DD (dengue fever/DF) dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan 5
plasma yang ditandai hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.2
II.3. ETIOLOGI Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.2 Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe dapat ditemukan di Indonesia dari pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit, namun serotipe DEN-3 merupakan yang terbanyak dan di asumsikan bahwa serotipe ini yang menunjukkan manifestasi klinis yang berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus.2 Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe yang lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.3 Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhyncites.3 II.4. EPIDEMIOLOGI Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke – 18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) 6
kadang – kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian pada masa itu karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot dan nyeri kepala. 6 Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. 3 Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya). Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu: 2 1. Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain 2. Pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan atau keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin 3. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk
II.5. PATOGENESIS Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: 4 1.
Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).
2.
Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi 7
interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. 3.
Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
4.
Aktivasi komplemen oleh komples imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Secondary heterologous dengue infection Replikasi virus
Amnestic antibody response Kompleks virus-antibody Aktivasi komplemen
Komplemen Histamin dalam urin ↑
Anafilatoksin (C3a, C5a) Permeabilitas kapiler ↑ > 30% pada
Ht ↑ Natrium ↓
Perembesan plasma
kasus syok 24-48 jam Hipovolemia
Cairan dalam rongga serosa
Syok Anoksia
Asidosis Meninggal
Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD 4 Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi imun yang tinggi. 3 Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang mefagositosis kompleks virus antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
8
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma. 2 Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 3 1. Supresi sumsum tulang 2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoeisis termasuk megakariopoesis. Kadar trombopoeitin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopatidan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-hemoglobin dan PF4 yang merupakan degranulasi trombosit.2 Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga kberperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1inhibitor complex).3
9
II.6. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang di ikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat. 3 Demam dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut: 4
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbital
Mialgia/artralgia
Ruam kulit
Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)
Leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama Demam berdarah dengue (DBD) berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD
ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi: 5
Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari biasanya bifasik
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut: - Uji bendung positif - Petekie, ekimosis atau purpura - Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi) atau perdarahan dari tempat lain - Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda – tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut: -
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin
-
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
-
Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemia 10
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. Sindrom syok dengue (SSD) jika seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah. 5 Berikut ini adalah tabel derajat penyakit infeksi virus dengue 6 DD/DBD
Derajat
DD
Gejala
Laboratorium
Demam atau
disertai
lebih
2 Leukopenia, serologi
tanda: dengue positif
sakit kepala, nyeri retro orbital, mialgia, artralgia DBD
I
Gejala
di
atas Trombositopenia
ditambah uji bendung (<100.000/ul), bukti positif
ada
kebocoran
plasma DBD
II
Gejala
di
atas Trombositopenia
ditambah perdarahan (<100.000/ul), bukti spontan
ada
kebocoran
plasma DBD
III
Gejala
di
atas Trombositopenia
ditambah kegagalan (<100.000/ul), bukti sirkulasi (kulit dingin ada dan
lembab
kebocoran
serta plasma
gelisah) DBD
IV
Syok berat disertai Trombositopenia dengan tekanan darah (<100.000/ul), bukti dan terukur
nadi
tidak ada
kebocoran
plasma
11
DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD) II.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium 3 Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction) namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG. Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – 8
Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah
Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase) dapat meningkat
Ureum kreatinin terganggu bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60 – 90 hari. IgG pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke 2 12
Uji HI: dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans
Pemeriksaan Radiologis 2 Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto Rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan pemeriksaan USG.
II.8. DIAGNOSIS3 Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari) timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah. Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara, isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan tubuh dan deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien. Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi dengue yaitu: 1.
Uji hemaglutinasi inhibisi (HI = Haemaglutination Inhibition test)
2.
Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation Test = CF test)
3.
Uji neutralisasi (Neutralization test = NT test)
4.
IgM Elisa
5.
IgG Elisa Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai
dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis. Walaupun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini:
Uji HI ini sensitif tetapi tidak spesifik artinya dengan uji serologis ini tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi.
Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai lama sekali (>48 tahun), maka uji ini baik dipergunakan pada studi sero-epidemiologi.
13
Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap sebagai presumptif positif atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue infection). Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh
karena selain cara pemeriksaan agak ruwet prosedurnya juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun). Uji neutralisasi adalah uji seroligo yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (>4-8 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin. IgM Elisa atau Mac Elisa pada tahun terakhir ini merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai. Mac Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa. Sesuai namanya, tes tersebut akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien. Hal – hal yang perlu diperhatikan pada uji Mac Elisa ialah:
Pada hari 4 – 5 infeksi virus dengue akan timbul IgM yang kemudian diikuti dengan timbulnya IgG.
Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat ditentukan diagnosis yang tepat.
Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif maka dilaporkan sebagai negatif.
Apabila hari sakit ke – 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
Perlu dijelaskan di sini bahwa IgM dapat bertahan di dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
Uji Mac Elisa mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan uji HI.
14
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG Elisa yang sebanding dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kit uji untuk infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid IgM/IgG, IgM Elisa, IgG Elisa, telah beredar di pasaran. Akhir – akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular diagnosis infeksi virus dengue dapat dilakukan dengan suatu uji yang disebut reverse transcriptase polymerase chain reaction = RTPCR. Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan spesifik terhadap serotipe tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Meskipun sensitifitas PCR sama dengan isolasi virus, PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya dalam penyimpanan dan handling) bahkan adanya antibodi dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR. Dengan demikian diagnosis kerja klinis DBD masih terus bertumpu pada pengamatan klinis dan tidak semata – mata ditentukan dari hasil pemeriksaan serologik seperti kecenderungan yang terjadi dewasa ini.
II.9. DIAGNOSIS BANDING2 Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau infeksi parasit seperti demam
tifoid,
campak,
influenza,
demam
chikungunya,
leptospirosis.
Adanya
trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada demam chikungunya biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
15
Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis sejak semula pasien tampak sakit berat, demam naik turun dan ditemukan tanda – tanda infeksi. Disamping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis), pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada menigitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis. Idiopatik trombositopenia purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari – hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang atau bisa tidak diserta demam. Tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali ke normal daripada ITP. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukimia. Pada anemia aplastik biasanya sangat anemia, demam timbul karena infeksi sekunder. Apda pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks dan kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai perembesan plasma.
II.10. PENATALAKSANAAN Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang waktu masuk keadaan umumnya tampak baik 16
dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik. 4 Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan sesuai rumus berikut 1500 + {20x(BB dalam kg – 20)}, transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID. 4
17
Bagan 2. Tatalaksana kasus tersangka DBD5 Tersangka DBD Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadak terus menerus <7 hari tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas, badan lemah/lesu
Ada kedaruratan
Tidak ada kedaruratan
Tanda syok Muntah terus menerus Kejang Kesadaran menurun Muntah darah Berak darah
Periksa uji torniquet Uji torniquet (+) (Rumple Leede)
Jumlah trombosit <100.000/µl
Jumlah trombosit >100.000/µl
Tatalaksana disesuaikan, (Lihat bagan 3,4,5)
Uji torniquet (-) (Rumple Leede)
Rawat Jalan Parasetamol Kontrol tiap hari sampai demam hilang
Rawat Inap (lihat bagan 3) Rawat Jalan Minum banyak 1,5 liter/hari Parasetamol Kontrol tiap hari sampai demam turun periksa Hb, Ht, trombosit tiap kali
Nilai tanda klinis & jumlah trombosit, Ht bila masih demam hari sakit ke-3
Perhatian untuk orang tua Pesan bila timbul tanda syok: gelisah, lemah, kaki/tangan dingin, sakit perut, BAB hitam, BAK kurang Lab : Hb & Ht naik Trombosit turun
Segera bawa ke rumah sakit
18
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II tanpa peningkatan hematokrit5 derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit DBD derajat I atau IIDBD tanpa peningkatan hematokrit
Gejala klinis: Demam 2-7 hari Uji torniquet (+) atau perdarahan spontan Laboratorium: Hematokrit tidak meningkat Trombositopenia (ringan)
Pasien masih dapat minum Beri minum banyak 1-2 liter/hari Atau 1 sendok makan tiap 5 menit Jenis minuman; air putih, teh manis, Sirup, jus buah, susu, oralit Bila suhu >39oC beri parasetamol Bila kejang beri obat antikonvulsi Sesuai berat badan
Monitor gejala klinis dan laboratorium Perhatikan tanda syok Palpasi hati setiap hari Ukur diuresis setiap hari Awasi perdarahan Periksa Ht, Hb tiap 6-12 jam
Perbaikan klinis dan laboratoris
Pasien tidak dapat minum Pasien muntah terus menerus
Pasang infus NaCl 0,9%: dekstrosa 5% (1:3) tetesan rumatan sesuai berat badan Periksa Ht, Hb tiap 6 jam, trombosit Tiap 6-12 jam
Ht naik dan atau trombosit turun
Infus ganti RL (tetesan disesuaikan, lihat Bagan 4)
Pulang (Kriteria memulangkan pasien) • Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik • Nafsu makan membaik • Secara klinis tampak perbaikan • Hematokrit stabil • Tiga hari setelah syok teratasi • Jumlah trombosit >50.000/µl • Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
19
Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan hematokrit >20% 5 DBD derajat Ipeningkatan atau II denganhematokrit peningkatan hematokrit >20% DBD derajat I atau II dengan >20%
Cairan awal RL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5 6-7 ml/kgBB/jam Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam
Perbaikan Tidak gelisah Nadi kuat Tek.darah stabil Diuresis cukup (12 ml/kgBB/jam) Ht turun (2x pemeriksaan)
Tanda vital memburuk Ht meningkat
Tetesan dikurangi
Tidak ada perbaikan Gelisah Distress pernafasan Frek.nadi naik Ht tetap tinggi/naik Tek.nadi <20 mmHg Diuresis
Tetesan dinaikkan 10-15 ml/kgBB/jam Perbaikan
5 ml/kgBB/jam
Evaluasi 12-24 jam Tanda vital tidak stabil
Perbaikan Sesuaikan tetesan 3 ml/kgBB/jam IVFD stop setelah 24-48 jam Apabila tanda vital/Ht stabil dan diuresis cukup
Distress pernafasan Ht naik Tek.nadi < 20 mmHg Koloid 20-30 ml/kgBB
Perbaikan
Ht turun
Transfusi darah segar 10 ml/kgBB Indikasi Transfusi pd Anak - Syok yang belum teratasi - Perdarahan masif
20
Bagan 5. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV (Sindrom Syok Dengue/SSD) 5 DBD derajat III & IV
DBD derajat III & IV
1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit 2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis) Ringer laktat/NaCl 0,9% 20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ? Pantau tanda vital tiap 10 menit Catat balance cairan selama pemberian cairan intravena Syok teratasi Kesadaran membaik Nadi teraba kuat Tekanan nadi >20 mmHg Tidak sesak nafas/sianosis Ekstrimitas hangat Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam
Syok tidak teratasi Kesadaran menurun Nadi lembut/tidak teraba Tekanan nadi <20 mmHg Distress pernafasan/sianosis Kulit dingin dan lembab Ekstrimitas dingin Periksa kadar gula darah
Cairan dan tetesan disesuaikan 10 ml/kgBB/jam Evaluasi ketat Tanda vital Tanda perdarahan Diuresis Pantau Hb, Ht, Trombosit
1. Lanjutkan cairan 15-20 ml/kgBB/jam
Stabil dalam 24 jam Tetesan 5 ml/kgBB/jam Ht stabil dalam 2x Pemeriksaan Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Infus stop tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi
2. Tambahkan koloid/plasma Dekstran/FFP 3. Koreksi asidosis Evaluasi 1 jam
Syok belum teratasi Syok teratasi Ht turun
Ht tetap tinggi/naik
Transfusi darah segar 10 ml/kgBB Koloid 20 ml/kgBB dapat diulang sesuai kebutuhan
21
II.11.DEFINISI7 Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat serta berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara berkembang. Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7 hari atau tebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran. Atau ada juga penulis lain yang membuat kriteria demam tifoid sebagai penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakteriemia, perubahan pada system retikuioendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses clan ulserasi pada Nodus Peyeri di distal Ileum. Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama dilingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi clan pasteurisasi pada suhu 63 °C. Organisme ini juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, -
es, debu, sampah kering, pakaian,
mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella tiphy melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.
II.12.EPIDEMIOLOGI8,9,14 Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di negara maju dan yang sedang berkembang. lnsiden sangat menurun di negara maju. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus demem tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di atas lima tahun. Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai negara berkembang, diperkirakan setiap 22
tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000 kematian di seluruh dunia. Di negara maju perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 0,7 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per100.000 penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 - 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis. Di bagian 1lmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun 1992 - 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang dirawat dengan angka kematian antara 2,63 - 5,13%.
II.13.ETIOLOGI3,9,14 Samonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman S. Typhi berbentuk batang, Gram negatifi, tidak berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37°C (15°C-41°G), bersifat fakultatif anaerob, clan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4°C selama satu jam clan 60°C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa clan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa. '7 S. typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu: - Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar) - Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella clan bersifat termolabil. - Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman clan melindungi antigen terhadap fagositosis. Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel clan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple
23
II.14.PATOFISIOLOG13,2 Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada manusia. Oleh karena itu untuk mengetahui patogenesisnya tidak mudah. Hal ini disebabkan oleh karena sulitnya memilih binatang percobaan yang sesuai, yang dapat menggambarkan infeksi S. Typhi secara alamiah. Namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka akhirnya patogenesis demam tifoid dapat diketahui melalui beberapa penelitian.
Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1) proses invasi kuman S. Typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan hidup dalam makrofag clan (3) proses bekembang biaknya kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan clan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non spesifik disaluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebafan tubuh humoral dan selular.
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melaiui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka mulamula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung clan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.
Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan S. Typhi sebanyak 103-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella clan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut S. Typhi febih mudah mefewati pertahanan tubuh.
24
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan loka! berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S. Typhi saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebafan tubuh humoral dan selular.
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melaiui muiut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung clan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.
II.15.GEJALA KLINIK 9,11,14 Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbu! setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. . Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama daiam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu_ anorexia, letargia, malaise, dullness, continuous headache, non productive cough, bradicardia Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejaia konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat 25
badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose sopts (bercak makulopapular) ukuran 16 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 4080% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada kompiikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan. Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas. Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina, Jakarta, diare lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47% clan 15,79°l° pada anak. Gejala sakit kepaia ditemukan pada 76,32% anak, nyeri perut 60,5%, muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan kesadaran 34,21%, gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58°!o clan delirium pada 2,63% anak. Penuiis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid. Anak usia sekolah dan remaja Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri perut berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada selama awal perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok, mual muntah adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama jika terjadi pada minggu ke-2 atau ke3. Batuk dan epistaksis mungkin ada. Kelesuhan berat dapat terjadi pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara bertingkat menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai 40 °C. Tanda-tanda fisik adalah bradikardi reiatif, yang tidak seimbang dengan tingginya demam.Hepatomegali, splenomegali, clan perut kembung dengan nyeri difus, terjadi pada minggu ke-2 penyakit. Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun)
26
Demam entrik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan clan malaise, salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan demam tifoid terbukti secara biakan . Diare lebih lazim pada anak muda dengan demam tifoid daripada orang dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis akut. Yna lain dapat datang dengan tandatanda dan gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bawah. Neonatus Dismping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur, demam enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikai. Penyakit neonatus biasanya mulai dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare dan kembung sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat setinggi 40,5 °C. Dapat terjadi kejang-kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin nyata.
Pemeriksaan Fisik8 Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 1. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu I, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu III. 2. Gangguan saluran cema Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah-pecah (rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda. 3. Gangguan kesadaran
27
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, coma atau gelisah. Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejalagejaia lain: - Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 2-4 mm yang akan hiiang dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama dernam. - Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang biasanya ditemukan pada awal minggu ke 11 dan nadi mempunyai karakteristik notch (dicrotic notch).
II.16. Pemeriksaan Penunjang15,18 Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan taboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis. Da1am kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu : (1) isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot, (2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S. Typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi, dan (3) pemeriksaan meiacak DNA kuman S. Typhi.
1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis. a. Pemeriksaan darah tepi. Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif, neutropenia pada permulaan sakit. Mungkin juga terdapat anemia dan trombositopenia ringan. 28
Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas, umumnya ditandai dengan leukopeni, limfositosis relatif dan menghilangnya eosinofii (aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. '2 b. Pemeriksaaan Sumsum tulang Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan system eritropoesis, granulopoesis, trombopoesis berkurang.
2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti. Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. a. Biakan empedu 80% pada minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan feces dan akan tetap positif untuk waktu yang lama. b.Widal test Dasar pemeriksaan iaiah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 11200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bita penderita tetah lama sembuh. Titer thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari kuman. Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penderita. Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut:
29
-
Titer O clan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil
coli patogen dlm usus. -
Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta.
-
Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix).
- Akibat imunisasis scr alamiah karena masuknya basisi peroral atau pada keadaan infeksi.
II.17.DIAGNOSA 15,17 Diagnosis demam tifioid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik, namun identifikasi kuman S. Typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin dan tinja, poisitif setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang dan kelenjar limfe atau jaringan tetikulo endotelial lainnya sering masih positif setelah darah steril. Pemeriksaan Widal, meskipun kegunaannya masih banyak diperdebatkan, jika interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan sensitivitas, spesifitas, serta perkiraan nilai. Widal pada laboratorium dan populasi setempat, maka angka widal cukup bermakna.
Kemajuan di bidang biomoleklar saat ini sampai pada penelitian mendeteksi DNA kuman S. Typhi dalam darah dengan tehnik hibridisasi asam nukleat dan metode penggandaan DNA dengan polymerase chain reaction (PCR). Cara ini dilaporkan dapat mengidentifiksi kuman dalam darah dengan akurat, bahkan dalam jumiah kuman yang amat sediit. Namun metode PCR ini cukup mahal dan belum dapat dikerjakan secara rutin di laboratorium klinik. Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S. Typhi dari darah, urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tufang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan 30
darah. Menurut Watson jumlah rata-rata kuman 7,6 per ml darah, walaupun penderita dalam keadaan bakteremia, sehingga untuk biakan diperlukan 5 sampai 10 ml darah. Kepustakaan lain menyebutkan bahwa jumlah darah yang dibutuhkan antara 2 sampai 5 ml. Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik ialah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah. Biarkan darah positif ditemukan pada 75-80°fo penderita pada minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ketiga, bahkan darah positif hanya pada 10°l° penderita. Setelah minggu keempat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bifa terjadi refaps, maka biakan darah akan positif kembali. Pada kepustakaan lain disebutkan biakan darah positif berturut-turut sebesar 52,3% clan 40-80%. Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Hoffman dkk, melaporkan dalam penelitiannya di RS Karantina pada tahun 1986 di Jakarta bahwa biakan sumsum tulang (92%) lebih sensitif secara bermakna dibandingkan dengan biakan darah (62%), biakan clot streptokinase (51%) dan biakan usap dubur (56%). Cara ini amat bermanfaat pada kasus yang darahnya telah menjadi steril. Namun prosedur ini bersifat invasif clan membutuhkan alat khusus, sehingga hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar dan tidak lazim dipakai secara rutin. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM selama kurun waktu 5 tahun (1990 sampai 1994) dari 232 kasus yang dapat dilakukan biakan hanya 36% yang memberikan hasil positif. Gilman dkk, melaporkan dalam penelitiannya terhadap 62 pasien dengan demam tifoid yang sebagian besar dari mereka telah mendapat terapi, isoiasi S. Typhi positif dari biakan sumsum tulang terdapat pada 56 pasien (90%); sedangkan biakan darah, tinja dan urin masing-masing positif pada 25 penderita (40%), 23 penderita (37%) clan 4 penderita (7%). Kuman S. Typhi berhasil diioslasi pada 24 (63%) dari 36 pasien biakan rose spots. Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dmatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Gilman mendapatkan biakan darah positif pada 80% penderita yang belum mendapat antibiotik, sedangkan penderita yang telah mendapatkan antibiotik, biakan darah positif hanya 40% penderita, sedangkan biakan sumsum tulang positif pada 90% penderita. Di Yogyakarta, 31
Bachtin mendapatkan biakan darah positif pada 8 (47%) dari 17 penderita yang belum diobati dengan kloramfenikol, sedangkan penderita yang telah diobati kloramfenikol, biakan darah positif ditemukan pada 5 (29,5%) dari 17 penderita. Walaupun metoda biakan S. Typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 35 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap. Uji serotogi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S. Typhi yaitu uji widal. Uji ini telah digunakan sejak tahun 1896. ada uji widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. Typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi daiam serum. Pada demam tifoid mula-mufa akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul 4ebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan - 2 tahun. Antiboid Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang seteiah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S. Typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S. Typhi. Hubungan antara saat masuknya kuman, timbulnya demam, kemungkinan biakan positif dan terbentuknya aglutinin pada demam tifoid dapat dilihat pada gambar. Meskipun UP serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standari aglutinasi (cut off point). Beberapa penutis telah melaporkan nilai uji standar agiutinasi yang berbeda-beda untuk diagnosis demam tioid dengan uji Widal, oleh karena nilai sensitivitas, spesifitas dan perkiraan uji ini sangat berbeda antar laboratorium klinik. interpretasi pemeriksaan Widal harus hati-hati karena banyak faktor yang mempengaruhi; antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, gambaran imulogis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang. 13 32
Gambar. Hubungan antara masuknya kuman, kemungkinan timbulnya demam, frekuensi biakan positif dan terbentuknya aglutinin pada demam tifoid
II.18.KOMPLIKASI 19 Komplikasi typoid dapat terjadi pada : 1. Intestinal (usus haius) : Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu: a. Perdarahan (haemorrhage) usus. Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena dan kalau sangat berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda syok: berupa penurunan suhu tubuh dan tekanan darah yang drastic, sudden tachycardia. b. Perforasi usus. Timbul pada minggu ketiga atau seteiah itu dan sering terjadi pada distal ileum. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghiiang dan terdapat udara bebas (free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgenabdomen yang dibuat dalam posisi tegak. c. Peritonitis Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri pefut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense muscuiair) dan nyeri tekan.
2. Ekstraintestinal Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia): a. Liver, gallbladder, dan pancreas Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga terjadi pankreatitis. b. Kardiorespiratory
33
Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada daerah endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah sekali dan ditandai ofeh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah, hypotensi, dan EKG yang abnomaf. Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia . c. Nervous system Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang), encepha-lomyelitis. d. Hematologi dan renal Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana merupakan manifes hemolyticuremic syndrom, dan hemolisis. Glomeruionefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
II.19.DIAGNOSA BANDING 19 - Paratifoid fever (A, B, C): gejala febih ringan dibanding typhoid fever. - Influenza : panas tinggi - Tbc - Dengue: panas mendadak tinggi cepat - Malaria - Pneumoni lobaris
II.20.PENATALAKSANAAN 11,13,18 Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian antibiotik yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen cairan, serta pengenalan dini dan tata laksana terhadap adanya komplikasi (perdarahan usus, perforasi, clan gangguan hemodinamik). Pengobatan akan berhasil dengan baik bila penegakkan diagnosis dilakukan dengan tepat. Demam lebih dari 7 hari disertai gejala gastrointestinal, pada anak usia di atas 5 tahun, tanpa gejala penyerta lain, dapat dicurigai menderita demam tifoid.
34
Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya infeksi Salmonella dapat dilakukan secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut : (1) spektrum sempit, (2) penetrasi ke jaringan ckup baik, (3) cara pemberian mudah untuk anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek samping minimal, dan (6) adanya bukti efikasi klinis. Saat redanya demam (time of fever defervescence) merupakan parameter keberhasiian pengobatan, clan saat tersebut menentukan efektifitas antibiotik. Dalam penelitian tahun 1990 - 1994 di Bagian !KA FKUI-RSCM, penderita demam tifoid yang diberi antibiotik kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin, seftriakson, sedfiksim, dan kotrimoksazol. Dengan demikian, pemantauan suhu pada hari ke-4 sampai ke-5 setelah pemberian antibiotik dapat digunakan sebagai titik evaluasi. Bifa suhu turun, berarti membaik, sedang bila menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi, atau kuman penyebab adalah MDRST (multidrug resistant S. typhi).
Penggunaan antibiotik yang dianjurkan seiama ini adalah sebagai berikut : 1. Lini pertama a. Kloramfenikol Masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik, diberikan dosis 50-100 mg/kgBBlhari secara intravena dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini masih cukup sensitif untuk Salmonella typhi, namun perhatian khusus harus diberikan pada kasus dengan leukopenia (tidak dianjurkan pada ieukosit < 200/u1) dan dosis maksimal adalah 2 gram perhari atau b. Ampisilin dengan dosis 150 -200 mg/kgbb/hari diberikan per oral/iv selama 14 had atau c. Kotrimoksazol dengan dosis 10 mgJkgBB/hari trmetroprim, dibagi 2 dosis, selama 14 had 2. Lini kedua, diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S. typhi yang resisten terhadap berbagai obat (MDR = multidrug resistance), yang terdiri atas : a. Seftriakson dengan dosis 50-80 mg/kgbblhari, dosis tunggal selama 20 hari. Penyembuhan sampai 90 % juga dilaporkan pada pengobatan 3-5 hari.
35
b. Sefiksim dengan dosis 10-12 mglkgbb/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14 hari, adalah alternatif pengganti seftiakson yang cukup handal. c. Florkinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin di atas, dengan angka penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan klinis dan bakteriologis di sampig kemudahan pemberian secara oral. Namun demikian obat ini masih kontroversial dalam pemberian untuk anak mengingat adanya pengaruh buruk terhadap pertumbuhan kartilago. Beberapa peneiitian mengenai penggunaan kinolon dalam mengobati demam tifoid pada anak sudah banyak dilakukan. Siprofloksasin, 10 mgJkgbb/hari dalam 2 dosis, atau ofloksasin 1015 mgfkgbb/hari dalam 2 dosis, sudah dipkaai untuk pengobatan. Demam biasanya turun dalam 5 hari. Lama pemberian obat dilaporkan bervariasi antara 2-5 hari, namun beberapa penulis menganjurkan 2-10 hari. Penggunaan obat-obat ini hanya dianjurkan pada kasus demam tifid dengan MDR. Penelitian di Vietnam pada 326 anak dengan demam tifoid yang diberikan siprofloksasin atau ofloksasin, dan dievaluasi selama 2 tahn tidak didapatkan adanya gangguan dalam kecepatan pertumbuhan linier. Penelitian lain melaporkan penggunaan siprofloksasin dengan pantauan seiama 6 buian tidak ditemukan tanda-tanda artritis.artralgia, maupun gangguan pertumbuhan linier. d. Asitromisin dengan pemberian 5-7 hari juga telah dicoba dalam beberapa penelitian dengan hasil baik, berupa penurunan demam sebeium had ke-4. Aztreonam juga diuji pada beberapa kasus demam tifoid pada anak dengan hasil baik, namun tidak dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama. Pengobatan suportif akan sangat menentukan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan antibiotik. Pemberian cairan dan kalori yang adekuat sangat penting. Penderita dema tifoid sering menderita demam tinggi, anoreksia dan diare, sehingga keseimbangan cairan sangat penting diperhatikan. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak demam diperfukan untuk efektifitas respons imun clan pemantauan keberhasiian pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang clan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan pemberian antipiretik. Dianjurkan pemberian antipiretik bila suhu di atas 38,5°C.
36
Terapi dietetik pada anak dengan demam tifoid tidak seketat penderita dewasa. Makanan bebas serat clan mudah dicerna dapat diberikan. Setelah demam turun, dapat diberikan makanan lebih padat dengan kalori yang adekuat. Pengobatan terhadap demam tifoid dengan antibiotik memerlukan acuan data adanya anga kejadian demam tifoid yang bersifat MDR. Pemberian kortikosteroid juga dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok. Deksametason diberikan dengan dosis awai 3 mglkgbb, diikuti dengan 1 mg/kgbb setiap 6 jam selama 2 hari. Pencegahan terhadap demam tifoid dilakukan dengan memperbaiki sanitasi lingkungan dan perilaku sehari-hari, serta imunisasi secara aktif dengan vaksin terhadap demam tifoid. Beberapa jenis vaksin telah beredar di Indonesia saat ini. Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya: pemberian cairan intravena untuk penderita dehidrasi clan asidosis. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk efektifitas respon imun clan pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang clan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan antipiretik. Dianjurkan pemberian bila suhu di atas 38,5'C. Pemberian kortikosteroid dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok. Deksamethason diberikan dengan dosis awal 3 mg/kgBB, diikuti dengan 1 mgIkgBB setiap 6 jam selama 2 hari.
II.21.PENCEGAHAN 8,10 Secara umum, setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan clan minuman yang dikonsumsi. Kuman S.typhi akan mati apabila dipanasi dalam air setinggi 57'C untuk beberapa menit atau dangan proses iodinasil klorinasi.
37
Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air, pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi, dan pendidikan kesehatan masyarakat. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi. Vaksin yang digunakan adalah vakasin yang berasal dari kuman yang dimatikan atau diiemahkan. Vaksin yang terbuat dari S.typhi yang telah dimatikan ternyata tidak memberikan perlindungan yang baik, sedangkan yang dilemahkan dapat memberikan perlindungan sebesar 87-95°t° / 36 bulan. Pemberian IM dengan dosis 0,5cc. Vaksin ini terutama diberikan pada daerah endemik tifoid.
Prognosis 18 Umumnya prognosis tifus abdominaiis pada anak baik asai penderita cepat datang berobat clan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti: -
Hiperpireksia atau febris kontinua
-
Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
-
Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.
-
Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).
38
KESIMPULAN Demam pada umumnya di artikan suhu tubuh yang di atas 37,2oC. Demam terjadi karena perlepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme. Terdapat beberapa tipe demam seperti: demam septik, demam remitten, demam intermitten, demam kontinyu dan demam siklik.
Demam Berdarah Dengue adalah suatu penyakit yang disebebkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis berupa demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan disertai haemoragic. Sindrom renjatan dengue adalah demam berdarah dengue yang ditandai okleh renjatan atau syok. Penyebab terjadinya Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue, dimana terdapat 4 serortipe virus DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4.
Demam typhoid adalah suatu penyakit sistemil yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhii. Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam selama 7 hari, dengan gangguan saluran pencernaan. Tatalaksana pada demam typhoid yaitu: istirahat dan perawatan, diet dan therapi penunjang, pemberian antimikroba (kloramfenikol 4x500 mg PO/IV).
39
DAFTAR PUSTAKA
1.
Sudoyo AW, Setioyahadi B, Alwi I, Setioyahadi B, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta:FKUI bagian ilmu penyakit dalam;2006.p.1719
2.
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT, ed. Demam berdarah dengue. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiyohadi B, Setiati S, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: FKUI departemen ilmu penyakit dalam; 2009. p. 1709 - 713.
3.
Hendarwanto. Dengue. In: Noer HMS, Waspadji S. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi ke – 4. Jakarta: balai penerbit FKUI ; 2006. P.417-26.
4.
Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan. Jakarta: departemen kesehatan RI; 2008.
5.
Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Direktorat
Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta. 2008. 6. World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Terdapat di: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm. Diakses pada: 2011, desember24. 7. Current : Medical Diagnosis & Treatment, forty-third edition: McGraw-Hill : 2004:13621363 8. Behrman RE, dkk : Typhoid Fever. Nelson textbook of pediatrics, 14th edition: WB Saunders Co, 1992: 731-734 9. Juwono, Rachmat: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi Ketiga PAPDI FK UI , Jakarta :1996: 435-441 10. Harrison : Priciples of Internal Medicine, 16th edition: McGraw-Hill : 2005897-902 11. Buku kuliah :Ilmu Kesehatan Anak : jilid 2: Balai Penerbit FKUI, Jakarta Cetakan 2002 : 593-598 12. Soedarmo_S , dkk : Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis : Edisi Pertama: Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 2002 :36$-375 13. http flwww.medicastore.com 8. I?tta:flwww.who.int 14. http:iiwww.microbology-entericfever.htm 15. Soeiistyowati S, Sonarto Y. Soesilo H, Widiarto, Widatmodjo, Ismangun, 1982, Thyphoid Fever in Children. Paediatrica Indonesiana, 22 : 138146. 16. Soegijanto,
Soegeng.
Ilmu
Penyakit
Anak.
Diagnosa
dan
Penatalaksanaan, Salemba Medika, 1-39. 40
17. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Balai Penerbit FKUI. 2003. hal. 37-43 18. Staf dan PPDS Departemen IKA RSCM, Demam Tifoid. Panduan Peiayanan Medis Departemen Kesehatan Anak RSCM. Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM, 2005.
41