REFERAT HIV PADA KEHAMILAN
Oleh:
Stefanus, S. Ked 030.12.262
Pembimbing:
dr. Hendrian Widjaja, Sp.OG
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Kardinah Periode 8 Mei – 23 23 Juli 2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “HIV pada kehamilan”, kehamilan”, sebagai salah satu tugas di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Kardinah. Dalam penyusunan referat ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar besarnya kepada dr. Hendrian Widjaja, Sp.OG sebagai narasumber dan pembimbing, dan teman – teman – teman teman sekalian yang telah ikut memberikan ide, masukan dan kritik dalam penyusunan referat ini. Semoga referat ini dapat berguna untuk masyarakat dan rekan – rekan rekan dalam bidang kesehatan. Referat ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu diharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.
Tegal, Juli 2017 Hormat saya
Penulis i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................i DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..ii LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………………...iii BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 2 2.1 Definisi.............................................................................................................................2 2.2 Etiologi.............................................................................................................................2 2.3 Epidemiologi....................................................................................................................2 2.4 Patofisiologi .....................................................................................................................3 2.5 Manifestasi klinis ............................................................................................................. 5 2.6 Transmisi.......................................................................................................................... 8 2.7 Penatalaksanaan ............................................................................................................. 13 BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................22 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................23
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul :
“HIV pada kehamilan”
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Obstetrik dan Ginekologi RSU Kardinah periode 8 Mei – 23 Juli 2017
Disusun oleh : Stefanus Purnomo 030.12.262
Jakarta, ...................................
Mengetahui,
dr. Hendrian Widjaja, Sp.OG
iii
BAB I PENDAHULUAN
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus (HIV). Virus masuk kedalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen, cairan pre seminal, cairan rectal, sekret vagina dan ASI. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV golongan retrovirus dengan materi genetik ribonucleic acid (RNA) yang dapat diubah menjadi deoxyribonucleic acid (DNA) untuk diintegrasikan ke dalam sel pejamu dan di program membentuk gen virus. Virus ini cenderung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama Limfosit T yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi perinatal dari ibunya. Laporan CDC (Central for Disease Control ) Amerika memaparkan bahwa seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0% - 1,7%, pada saat persalinan 0,4% - 2,3% dan 9,4 – 29,6% pada ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena. Transmisi vertikal merupakan penyebab tersering infeksi HIV pada bayi dan anak-anak di Amerika Serikat. Transmisi HIV dari ibu kepada janin dapat terjadi intrauterin (5 -10%), saat persalinan (10-20%) dan pasca persalinan (5-20%). Kelainan yang dapat terjadi pada janin adalah berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm, dan abortus spontan. Tingkat infeksi HIV pada perempuan hamil di negara-negara Asia diperkirakan belum melebihi 3-4%, tetapi epideminya berpotensi untuk menjadi lebih besar. Salah satu intervensi untuk mencegah penularan dari ibu penderita HIV kepada bayinya adalah melalui program PMTCT ( Prevention of Mother To Child Transmission) 1, 2
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus.1
2.2 Etiologi
Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae. HIV terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. Dimana HIV-1 memiliki 10 subtipe yang diberi dari kode A sampai J. Dan subtype yang paling ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1. Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini. Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan enzim reverse transkriptase.3
2.3 Epidemiologi
Di banyak negara berkembang, HIV merupakan penyebab utama kematian perempuan usia reproduksi. Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat 57.000 ibu hamil terinfeksi HIV di regional Asia Tenggara. Negara dengan high-burden penularan infeksi HIV dari ibu ke anak seperti India, Thailand, Myanmar dan Indonesia menunjukan estimasi insidens HIV diantara ibu hamil cenderung tetap selama lima tahun terakhir. Jumlah anak kurang dari 15 tahun yang terinfeksi HIV sebesar 87.000 dengan estimasi infeksi HIV baru sebesar 48.000. Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. 4 Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak. Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan tahun 2
1987. Sampai saat ini kasus HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi. Selain itu, Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV/AIDS yang berkembang paling cepat (UNAIDS, 2008) dan merupakan negara dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi, karena terdapat beberapa daer ah dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada subpopulasi tertentu dan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum 15-49 tahun terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat (2,4%). 4, 5
2.4 Patofisiologi
Untuk dapat terinfeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada limfosit-T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi seuntai DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-ase H, RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polimerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan deferensiasi sel pejamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan mamacu terjadinya replikasi dengan kecepatan tinggi. 6 Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi virus, yaitu pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat ini masih belum jelas, walaupun umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan mitogen atau antigen yang mungkin bekerja melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak semua sitokin dapat memacu replikasi virus oleh karena sebagian sitokin malah dapat menghambat replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta mengatur respons imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis factor α dan β, interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor dan 3
macrophage colony-stimulating factor. Yang bersifat menghambat adalah interleukin-4, transforming growth factor β, interferon α dan β.6 Hal lain yang dapat memicu replikasi HIV adalah adanya ko-faktor yang terdiri dari infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus hepatitis B, virus herpes simplex, human herpesvirus 6 , dan human T-cell lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh kuman seperti mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan bekerja lokal di dalam jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus meningkat untuk dapat menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam jaringan. Oleh karena itu, pada keadaan adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan (terutama di dalam kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus.6 Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan organ limfoid dapat dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui sirkulasi atau melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe regional. Di sini terjadi replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain (multipel) yang dapat menimbulkan limfadenopati subklinis. 6 Sementara itu, sel limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum germinativum jaringan limfoid juga memberikan respon imun yang spesifik terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan limfadenopati yang nyata akibat hiperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai oleh meningkatnya sel dendrit folikular di dalam sentrum germinativum dan sel limfosit T-CD4. Akumulasi sel limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain akibat proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi limfosit dari luar. Migrasi s el T-CD4 dari luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang merupakan gejala yang khas dari sindrom infeksi HIV akut. Di samping itu, sel limfosit-B menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel T-CD4. 6 Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan komplemen terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik folikular ini, pada respons imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang terdapat di lingkungan sentrum germinativum dan menyajikannya kepada sel imun yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi. Seperti t elah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4 dapat tinggal laten untuk waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali akibat berbagai stimulasi. Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan 4
partikel HIV yang bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat diamati adalah dengan progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit folikular sehingga hilanglah kemampuan organ limfoid untuk menjerat partikel HIV yang berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi. Hal ini sudah tentu meningkatkan penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh. 6 Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa infeksi HIV pada sel limfosit T-CD4 tidak saja berakhir dengan replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan fungsi sel T-CD4 dan sitolisis, hingga populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi (perubahan fungsi dan penurunan jumlah) sel limfosit T-CD4 ini diduga berlangsung sebagai yang tertera sebagai berikut: 6
Pengaruh sitopatik langsung HIV ( single-cell killing )
Pembentukan sinsitium
Respon imun spesifik
Limfosit-T sitolitik yang spesifik untuk HIV
Sitotoksisitas selular akibat adanya antibodi
Sel killer alami
Apoptosis (kematian yang terprogram)
Mekanisme autoimun
Anergi yang disebabkan oleh pengiriman isyarat yang tidak sempurna yang diakibatkan oleh interaksi molekul gp 120-CD4
Gangguan fungsi ( perturbation) subkelompok sel-T akibat adanya suatu super antigen
2.5 Manifestasi klinis
Orang yang telah terinfeksi HIV pada umumnya akan mengalami berbagai gejala – gejala sebagai berikut : 1. Gejala Konstitusi7 Sering disebut sebagai AIDS related complex, dimana penderita mengalami paling sedikit 2 gejala kelinis yang menetap yaitu: a.
Demam terus menerus >37,5°C
b.
Kehilangan berat badan 10% atau lebih
c.
Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di luar daerah inguinal 5
d.
Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
e.
Berkeringat banyak pada malam hari yang terus menerus
2. Gejala Neurologis7 Gejala neurologis yang beranekaragam seperti kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa, psikosis, dan sampai koma (gejala radang otak)
3. Gejala infeksi oportunistik 7 Gejala infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan tubuh penderita sudah sangat lemah sehingga tidak mampu melawan infeksi bahkan terhadap patogen yang normal pada tubuh manusia. Infeksi yang paling sering ditemukan ,yaitu: a.
Pneumocystic carinii pneumonia (PCP), infeksi yang paling banyak yang disebabkan protozoa yang masuk kedalam paru dan berkembang sangat pesat menjadi pneumonia, gejala yang ditimbulkan batuk kering, demam dan sesak.
b.
Tuberkulosis , disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis
c.
Toksoplasmosis , gejalanya berupa sakit kepala, demam, sampai kejang dan koma.
d.
Infeksi mukokutan, seperti herpes simpleks, herpes zoster dan kandidiasi adalah yang paling sering ditemukan.
4. Gejala tumor, yang paling sering ditemukan adalah Sarcoma kaposis dan Limfoma maligna non-Hodgkin, dimana ditemukan bercak merah coklat, ungu atau biru yang awalnya beberapa millimeter menjadi beberapa sentimeter (pada Sarkoma kaposis) dan ditemukan massa yang membesar dan menyebar secara progresif dan melibatkan ektranodal disertai demam dan penurunan berat badan. 7 Menurut klasifikasi HIV/AIDS berdasarkan stadium WHO dapat dibagi menjadi 4 stadium, yaitu :7 1) Stadium 1 : asimtomatik, limfadenopati generalisata 2) Stadium 2
Berat badan turun < 10 %
Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur, kuku, ulkus oral rectum, cheilitis angularis) 6
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran nafas atas rekuren
3) Stadium 3
Berat badan turun > 10 %
Diare yang tidak diketahui penyebab, > 1 bulan
Demam berkepanjangan (intermitten atau konstan), > 1 bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leucoplakia
Tuberculosis paru
Infeksi bakteri baru (pneumonia, piomiositis)
4) Stadium 4
HIV wasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis carinii
Toksoplama serebral
Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening (misalnya retinitis CMV)
Infeksi herpes simpleks, mukokutan (> 1 bulan) atau viseral Progressive multifocal leucoencephalopathy
Mikosis endemic diseminata
Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus
Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
Septikemia salmonela non-tifosa
Tuberkulosis ekstrapulmoner
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Ensefalopati HIV
7
2.6 Transmisi
Angka penularan pada masa kehamilan berkisar se kitar 5 – 10%, saat persalinan sekitar 10 – 20% dan saat menyusui sekitar 30 - 45% bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada masa menyusui terjadi pada minggu – minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi saat menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai 6 bulan kemungkinan terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang sampai 18 – 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %. Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri ataupun parasit pada plasenta atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah. Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan semakin tinggi. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya, sehingga ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan melalui asi dari ibu ke bayi mencapai sekitar 15% dari populasi. 8
Gambar 1. Penularan HIV Ibu ke Bayi8
Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki resiko untuk menularkan HIV ke bayinya, yaitu:9, 10 A. Faktor Ibu
1. Jumlah virus (viral load ) Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV 8
dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml. 2. Jumlah sel CD4 Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar. 3. Status gizi selama hamil Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi. 4. Penyakit infeksi selama hamil Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi saluran reproduksi lainnya, malaria dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi. 5. Gangguan pada payudara Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI. 2
B. Faktor Bayi
1. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan te rtular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik. 2. Periode pemberian ASI Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar. 3. Adanya luka di mulut bayi Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI. 2
C. Faktor Obstetrik
Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan rekomendasi
penatalaksanaan
obstetrik
untuk
mengurangi
transmisi
HIV
vertikal.
Rekomendasi yang dianjurkan adalah: 9
No.
1.
Cara Persalinan
Rekomendasi
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS dilakukan : Konseling tentang seksio sesarea untuk mengurangi
yang datang:
resiko transmisi dan resiko komplikasi pascaoperasi,
Kehamilan ≥ 36 minggu
anestesi dan resiko operasi lain padanya.
Belum dapat ARV
Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada
Sedang menunggu hasil pemeriksaan
kadar HIV dan CD4 yang diperkirakan ada sebelum persalinan.
minggu ke-38. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
mendapat zidovudin IV yang dimulai 3 jam sebelumnya dan bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu. Keputusan
akan
meneruskan
antiretrovirus
setelah
melahirkan atau tidak, tergantung pada hasil pemeriksaan kadar virus dan CD4. 2.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS Regimen ARV yang digunakan tetap diteruskan. Konseling bahwa kadar HIV-nya mungkin tidak turun
yang datang: Pada kehamilan awal Sedang
mendapat
sampai kurang dari 1000 kopi/mL sebelum persalinan, kombinasi
sehingga dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea. Demikian juga dengan resiko komplikasi seksio yang
antiretrovirus Kadar HIV tetap di atas 1000 kopi/mL
pada minggu ke 36 kehamilan
meningkat, seperti infeksi pascaoperasi, anestesi dan operasi. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada
minggu ke-38 kehamilan. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
mendapat zidovudin intravena yang dimulai minimal 3 jam sebelumnya. antiretrovirus lain tetap diteruskan sebelum
dan
sesudah
persalinan.
Bayi
mendapat
zidovudin sirup selama 6 minggu. 3.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
Konseling bahwa kemungkinan transmisi jika kadar HIV
yang: Sedang
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS diberikan:
mendapat
antiretrovirus
kombinasi
tidak terdeteksi mungkin kurang dari 2 %, bahkan pada persalinan pervaginam.
10
Kadar
HIV tidak terdeteksi pada
Pemilihan cara persalinan harus mempertimbangkan
minggu ke 36 kehamilan.
4.
keuntungan dan resiko komplikasi seksio.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS Zidovudin IV segera diberikan. Jika kemajuan persalinan cepat, wanita hamil yang
yang: Sudah direncanakan seksio sesarea
terinfeksi
elektif
HIV-AIDS
ditawarkan
untuk
menjalani
persalinan pervaginam.
Namun datang pada awal persalinan
Jika dilatasi serviks minimal dan diduga persalinan akan
atau setelah ketuban pecah.
berlangsung lama, dapat dipilih antara zidovudine intravena dan melakukan seksio sesarea atau memberikan pitosin untuk mempercepat persalinan. Jika diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam,
elektrode kepala, monitor invasife dan alat bantu lain sebaiknya dihindari. Bayi sebaiknya mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu. Tabel 1. Cara persalinan berdasarkan status HIV- AIDS ibu hamil. 10
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah:
10
1. Jenis Persalinan Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar dari pada persalinan melalui bedah sesar ( sectio caesaria). 2. Lama Persalinan Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. 3. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam. 4. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
11
Berdasarkan tahapan waktu seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki resiko untuk menularkan HIV ke bayinya, yaitu: 5,9,10 1. Antepartum a. Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral, jumlah CD4+, defisiensi vitamin A, coreseptor mutasi dari HIV, malnutrisi, sedang dalam terapi pelepasan
ketergantungan
obat,
perokok,
korionik
villus
sampling
(CVS),
amniosintesis,berat badan ibu. b. Beratnya keadaan infeksi pada ibu merupakan faktor resiko utama te rjadinya penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi ternyata angka penularan vertikal lebih tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang sangat berat dibanding ibu terinfeksi HIV tanpa gejala. Beratnya keadaan penyakit ibu ditentukan dengan menggunakan kriteria klinis dan jumlah partikel virus yang terdapat dalam plasma, serta keadaan imunitas ibu. Ibu dengan gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas (dengan gejala berbagai penyakit oportunistik), jumlah muatan virus di dalam tubuh >1000/mL, dan jumlah limfosit <200-350/mL dianggap menderita penyakit AIDS sangat berat dan harus mendapat pengobatan antiretrovirus. c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi. d. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko tinggi untuk menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya. Berdasarkan hasil penelitian, para i bu yang merokok mempunyai risiko untuk menularkan HIV-1. Penularan vertikal juga sering terjadi pada ibu pengguna obat terlarang. Demikian juga, ibu yang melakukan hubungan seksual tanpa alat pelindung, terutama d engan pasangan yang berganti-ganti, juga mempunyai risiko tinggi dalam penularan vertikal.
2. Intrapartum a. Kadar maternal HIV-1 cerviko vaginal, proses persalinan, pecah ketuban kasep, persalinan prematur, penggunaan fetalscalp electrode, penyakit ulkus genitalia aktif, laserasi vagina, korioamnionitis, dan episiotomi. 12
b. Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan vertika l. Bayi yang lahir per vaginam dengan tindakan invasif seperti tindakan forsep, vakum, penggunaan elektrode pada kepala janin dan episiotomi, mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular HIV-1.
3. Post partum melalui menyusui a. Telah diketahui air susu ibu dengan infeksi HIV mengandung proviral HIV dan virus bebas lainnya, sebagai faktor pertahanan seperti antibody terhadap HIV dan glikoprotein yang menghambat ikatan HIV dengan CD4+. Kebanyakan kasus penularan terjadi pada wanita yang diketahui negatif terhadap HIV akan tetapi penularan terjadi saat pemberian air susu ibu. Sebetulnya pada ibu dengan infeksi HIV, pemberian air susu ibu beresiko kecil untuk terjadi penularan oleh karena terdapatnya antibodi terhadap HIV, bagaimanapun juga di Negara berkembang, makanan formula menjadikan bayi memiliki resiko tinggi terkena infeksi yang lain, air susu ibu merupakan pilihan terbaik. Pemilihan pemberian makanan pada bayi dengan 2 strategi sebagai pencegahan penularan dari ibu kebayinya postnatal, dengan pemberian zidovudine sebagai profilaksis selama 38 minggu. b. Bayi yang diberikan ASI mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi yang diberi susu formula atau makanan campuran (mixed feeding ). Risiko akan lebih tinggi lagi bila payudara ibu terinfeksi atau lecet (mastitis yang tampak secara klinis ataupun subklinis). Di negara berkembang penularan melalui air susu ibu (ASI) cukup memegang peranan penting. Sebagian besar masalah payudara dapat dicegah dengan teknik menyusui yang baik.
2.7 Penatalaksanaan 1. Penanganan ante partum
a. Konseling Pada konseling, ibu hamil diajak berkomunikasi dua arah dengan memberikan informasi mengenai HIV dan hubungannya dengan kehamilan, tanpa mengarahkan, dimana kemudian ibu hamil ini dapat mengambil keputusan mengenai kehamilannya dan persalinannya. Pada kehamilan trimester pertama, konseling perlu dilakukan dengan intensif untuk memutuskan apakah kehamilan akan diteruskan atau tidak. 10 13
b. Pemberian obat anti virus Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adala h menekan perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV. Pada kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit.10
2. Penanganan intra partum
Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan dan berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Pilihan persalinan meliputi persalinan per vaginam dan perabdominam (bedah sesar atau seksio sesarea). Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi ARV sebagai cara terbaik mencegah penularan HIV dar i ibu ke anak.
a. Persalinan pervaginam Wanita hamil yang direncanakan persalinan pervaginam, diushakan selaput amnionnya utuh selama mungkin. Pengambilan sampel darah janin harus dihindari. Jika sebelumnya telah diberikan obat HAART, maka obat ini harus dilajutkan sampai partus. Jika direncanakan pemberian infuse zidovudin, harus diberikan pada saat persalinan dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Dosis zidovudin adalah: dosis inisial 2 mg/kgBB dalam 1 jam dan dilanjutkan 1mg/kgBB/jam sampai partus. Tablet nevirapin dosis tunggal 200mg harus diberikan di awal persalinan. Tali pusat harus diklem secepat mungkin dan bayi harus dimandikan segera. Seksio sesaria emergensi biasanya dilakukan karena alasan obstetrik, menghindari partus lama, dan ketuban pecah lama.1, 10 Kelahiran pervaginam dapat dipertimbangkan dengan syarat: 1. Selama kehamilan penderita menjalani perawatan prenatal 2. Viral load <1000 kopi/ml pada minggu ke-36 kehamilan 3. Penderita menjalani pengobatan HIV selama kehamilan.
14
b. Seksio Sesaria Pada saat direncanakan seksio sesaria secara elektif, harus diberikan antibiotik profilaksis. Infuse zidovudin harus dimulai 4 jam sebelum seksio sesaria dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Sampel darah ibu diambil saat itu dan diperiksa viral load-nya. Tali pusat harus diklem secepatnya pada saat seksio sesaria dan bayi harus dimandikan segera. Kelahiran secara seksio sesarea direkomendasikan dengan syarat: 1. Wanita hamil penderita HIV dengan viral load >1000 kopi/ml atau viral load tidak diketahui pada minggu ke-36 kehamilan 2. Penderita yang tidak menjalani pengobatan HIV selama kehamilan 3. Penderita yang tidak menjalani perawatan prenatal sebelum usia kehamilan 36 minggu 4. Belum terjadi ruptur membran (pecah ketuban). Diskusi mengenai pilihan seksio sesarea harus dimulai secepat mungkin pada wanita hamil dengan infeksi HIV untuk memberikan kesempatan adekuat pada penderita untuk mempertimbangkan pilihan dan rencana untuk prosedur. Persalinan pervaginam
Persalinan perabdomen
Syarat :
Syarat :
Pemberian ARV mulai pada ≤ 14
Ada indikasi obstetrik; dan
minggu (ART > 6 bulan); atau
VL > 1000 kopi/µL atau
VL < 1000 kopi/µL
Pemberian ARV dimulai pada usia kehamilan ≥ 36 minggu
Tabel 2. Pilihan persalinan10 3. Penanganan pasca persalinan
Terdapat 50-75% dari bayi yang terinfeksi HIV yang disusui ibu HIV/AIDS tertular HIV pada 6 bulan pertama kehidupan. ASI eksklusif memiliki resiko transmisi HIV yang rendah daripada ASI yang dikombinasikan dengan cairan atau makanan lainnya (ASI campuran). 9, 10 Ibu yang menderita HIV/AIDS sangat dianjurkan untuk memberikan ASI Ekslusif hingga 6 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI sekaligus makanan tambahan hingga usia 12 bulan. Bila ibu yang menderita HIV/AIDS memutuskan untuk tidak memberikan ASI ekslusif, dapat mengganti dengan makanan tambahan bila kriteria AFASS terpenuhi. Adapun kriteria AFASS dari WHO yaitu: Acceptable = mudah diterima , F easible = mudah dilakukan ,
Affordable = harga terjangkau , Sustainable = berkelanjutan , Safe= aman penggunaannya. 10, 11
15
Salah satu alternatif untuk menghindari penularan HIV yaitu dengan menghangatkan ASI > 66 0C untuk membunuh virus HIV. Adapun bayi yang telah dinyatakan terinfeksi HIV positif maka harus diberikan ASI ekslusif selama 6 bulan diteruskan dengan pemberian ASI campuran hingga usia 24 bulan. Ibu pengidap HIV harus di sarankan mencegah kehamilan berikutnya dengan alat kontrasepsi.10
4. ART pada kehamilan
Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20% ( dari 25% menjadi 8%) dengan terapi antiretrovirus. 11 Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV. 13 Pada kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek samping tersebut diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus, seperti efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang dilaporkan Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala, dkk menunjukkan bahwa dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi antiretrovirus tidak meningkatkan resiko prematuritas, berat badan lahir rendah atau kematian janin intrauterine. Kategori Food and Drug Administration (FDA) tentang ART dapat dilihat pada tabel 3.11
Nucleoside and nucleotide analogue reverse transcriptase inhibitors Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Abacavir (ABC) C Didanosine (ddI) B Emtricitabine (FTC) B Lamivudine (3TC) C Stavudine (d4T) C Tenofovir DF (TDF) B Zidovudine (ZDV) C Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Delavirdine (DLV) C 16
Efavirenz (EFV) D Etravirine (ETR) B Nevirapine (NVP) B Rilpivirine (RPV) B Protease inhibitors Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Atazanavir (ATV) B Darunavir (DRV) C Fosamprenavir (f-APV) C Indinavir (IDV) C Lopinavir/ritonavir (LPV/r) C Nelfinavir (NFV) B Ritonavir (RTV) B Saquinavir (SQV) B Tipranavir (TPV) C Fusion inhibitor Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Enfuvirtide (T-20) B Cellular chemokine receptor (CCR5) antagonist Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Maraviroc (MVC) B Integrase inhibitor Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Raltegravir (RAL) C Elvitegravir (EVG) B Dolutegravir (DTG) B Tabel 3. Kategori FDA antiretrovirus untuk digunakan pada kehamilan 11 Keterangan: Kategori B : Tidak terdapat resiko untuk janin pada penelitian pada hewan, tetapi belum terdapat penelitian pada wanita hamil; atau penelitian pada hewan menunjukkan efek samping yang tidak sesuai dengan penelitian kontrol pada wanita hamil trisemester pertama (dan tidak beresiko pada trisemester berikutnya). Kategori C : Pada penelitian hewan ditemukan efek samping pada janin (teratogenik atau embrisiodal atau lainnya) dan belum terdapat penelitian kontrol pada wanita hamil atau belum terdapat penelitian efek samping obat pada hewan ataupun wanita hamil. Obat kategori ini hanya diberikan jika keuntungannya melebihi resiko potensial pada janin. Kategori D : Terdapat bukti positif resiko efek samping pada janin manusia, namun keuntungan pada wanita hamil dapat diterima dibandingkan resikonya terutama untuk penyelamatan jiwa. 17
Menurut WHO tahun 2012, pemberian ARV mencakup dua options, yang keduanya harus mulai lebih awal pada kehamilan, pada usia kehamilan 14 minggu atau segera mungkin setelah ibu hamil.11 a. Opsi A, yaitu dua kali sehari pemberian AZT (zidovudin) untuk ibu dan untuk bayi dengan pemberian salah satu dari AZT atau NVP selama enam minggu setelah lahir jika bayi tidak menyusui. Jika bayi sedang menyusui, NVP harian profilaksis bayi harus dilanjutkan selama satu minggu setelah berakhirnya periode menyusui. b. Opsi B, yaitu pemberian ketiga jenis obat profilaksis untuk ibu yang dipakai selama kehamilan dan selama menyusui serta untuk bayi pemberian NVP sekali sehari atau AZT dua kali sehari selama empat sampai enam minggu setelah lahir.
NO 1
2
3
4
5
Situasi klinis
Rekomendasi pengobatan (paduan untuk ibu) ODHA dengan indikasi Terapi ARV AZT + 3TC + NVP atau dan kemungkinan hamil atau sedang TDF + 3TC(atau FTC) + hamil NVP Hindari EFV pada trimester pertama AZT + 3TC + EVF* atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV* ODHA sedang menggunakan Terapi Lanjutkan paduan (ganti ARV dan kemudian hamil dengan NVP atau golongan PI jika sedang menggunakan EFV pada trimester I) Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan sesudah persalinan ODHA hamil dengan jumlah CD4 ARV mulai pada minggu >350/mm3 atau dalam stadium klinis ke 14 kehamilan 1. Paduan sesuai dengan butir 1 ODHA hamil dengan jumlah CD4 < Segera Mulai Terapi ARV 350/mm3 atau dalam stadium klinis 2, 3 atau 4 ODHA hamil dengan Tuberkulosis OAT yang sesuai tetap aktif diberikan Paduan untuk ibu, bila pengobatan mulai trimester II dan III: AZT (TDF) + 3TC + EFV 18
6
Ibu hamil dalam masa persalinan dan tidak diketahui status HIV
7
Tawarkan tes dalam masa
persalinan; atau tes setelah persalinan. Jika hasil tes reaktif maka dapat diberikan paduan pada butir 1 Paduan pada butir 1
ODHA datang pada masa persalinan dan belum mendapat Terapi ARV Tabel 4. Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan berbagai Situasi Klinis 11 Keterangan: *: Efavirenz tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester pertama 5. Pemberian Terapi Antiretrovirus (ARV) Berdasarkan WHO 2013 11 Kapan memulai pemberian ARV
Pemberian pengobatan secara dini dikaitkan dengan manfaat pencegahan klinis HIV, keadaan ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi kejadian infeksi HIV pada tingkat masyarakat. Pada pedoman WHO 2013 merekomendasikan bahwa program HIV nasional yaitu memberikan ART bagi semua orang dengan diagnosis HIV konfirmasi dengan jumlah CD4 ≤ 500 sel/mm 3, Pedoman ini memberikan prioritas untuk memulai ART bagi mereka dengan penyakit HIV berat atau jumlah ≤ CD4 350 cells/mm 3. Hal ini juga dianjurkan untuk memulai ART pada orang dengan penyakit TB aktif dan koinfeksi HBV dengan pen yakit hati yang berat, semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV, semua anak dengan usia lima tahun hidup dengan HIV dan semua orang dengan HIV dalam hubungan serodiskordan, tanpa memandang jumlah CD4. 11
Pemberian ARV Pada Ibu Hamil & Menyusui Rekomendasi Terbaru
1. Dosis tetap kombinasi dari TDF + 3TC (atau FTC) + EFV yang direkomendasikan sebagai lini pertama ART pada wanita hamil dan menyusui adalah diberikan sekali sehari, termasuk wanita hamil pada trimester pertama kehamilan dan wanita usia reproduksi. Rekomendasi ini berlaku untuk pengobatan seumur hidup dan pemberian ART untuk PMTCT dan kemudian dihentikan. 11 2. Bayi dari ibu yang mendapatkan ART dan sedang menyusui harus mendapatkan terapi profilaksis dengan NVP harian selama enam minggu. Jika bayi menerima makanan 19
pengganti, mereka harus diberikan terapi profilaksis harian selama empat sampai enam minggu dengan NVP harian (atau AZT dua kali sehari). Profilaksis pada ba yi harus dimulai pada saat lahir atau ketika didapatkan HIV saat postpartum.11
Tabel 5. Pemberian lini pertama ART untuk remaja, dewasa, ibu hamil, ibu yang menyusui dan anak – anak.11
20
Tabel 6. Dosis rekomendasi pemberian ART. 11
Tabel 7. Algoritma rekomendasi untuk wanita hamil dan menyusui WHO 2013.11 21
BAB III KESIMPULAN
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus. Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus. Terdiri dari HIV1 dan HIV-2. HIV dapat menular dari ibu ke bayi, namun kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah) ibunya, namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui jalan lahir. Intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui menyusui. Tetapi mengingat ASI memiliki banyak manfaat yang lebih besar, maka sebaiknya bayi dari ibu terinfeksi HIV tetap diberikan ASI ekslusif dengan pengobatan yang adekuat ataupun dengan susu pengganti ASI disertai pengobatan yang tepat. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa PMTCT ( programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan. Untuk dapat mengurangi penularan maka rantai utama penularan harus diatasi terlebih dahulu yaitu, penularan secara horizontal antar remaja ataupun pasangan suami istri agar tidak terjadi penularan secara vertikal dari ibu ke bayi tersebut.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiawan IM. Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan. Maj Kedokt Indon, Vol : 59, No: 10. 2009. P:489-94 2. CDC. HIV Transmission. 2016. [Cited 3 July 2017]. Available from : https://www.cdc.gov/hiv/basics/transmission.html 3. Gondo HK. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. 2009. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. 4. Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan. Laporan Perkembangan Situasi HIV & AIDS di Indonesia Triwulan 2 Tahun 2011 . 2011. Jakarta: Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan. 5. World Health Organization. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Woman and Preventing HIV Infections in Infant 2010 Version. 2010. Austria: Department of HIV/AIDS WHO. 6. Idris M, Abdulsalami N. The Pathophysiology And Clinical Manifestations Of Hiv/Aids. Nigeria:Department of Medicine, Federal Medical Centre, Gombe, Gombe State, Nigeria Federal Ministry of Health Abuja; 2006; p.131-50. 7. Sundaru H, Djauzi S, Mahdi D, Sukmana N, Renggaris I, Karyadi TH. Infeksi HIV/AIDS. Dalam: Rani AA, Soegondo S, Nazir AU, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A (eds). Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. PB PAPDI, Jakarta;2006: 287. 8. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom, KD. Penyakit menular seksual. Dalam: Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom, KD. Obstetri Williams. EGC, Jakarta; 2006: 1680-1681. 9. AVERT. Preventing Mother to Child Transmision of HIV (PMTCT). [online] 2011. [cited 3 Jan 2014]. Avalaible from: http://www.avert.org/motherchild.htm. 10. USAIDS. Prevention of Mother to Child Transmision (PMTCT) of HIV. [online] 2011. [cited 2 Jan 2014]. Avalaible from: http://www.usaid.org. 11. World Health Organization. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral drugs for treating and preventing HIV infection. Departement of HIV/AIDS, WHO. 2013. Avalaible from: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/download/en/
23