BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Uretra
1. Uretra laki-laki Uretra pada laki-laki memiliki panjang 8 inchi (20 cm) dan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu pars prostatika, pars membranasea dan pars spongiosa. Uretra pars prostatika memiliki panjang sekiitar 3 cm. Uretra pada bagian ini melewati glandula prostat p rostat tepat di tengahnya. ten gahnya. Dinding posterior uretra akan membentuk elevasi longitudinal yang disebut krista uretralis, dan di setiap ujungnya disebut sinus prostatika. Sinus prostatika merupakan tempat dimana 15-20% pengosongan glandula prostat terjadi. Di tengah krista uretralis, terdapat suatu prominensia yang disebut colliculus seminalis (verumontanum), yang membuka utrikulus prostatika. Utrikulus prostatika adalah traktus buntu dengan panjang 5 mm yang diyakini merupakan bagian dari genitalia pria yang ekuivalen dengan vagina wanita, sisa dari ductus paramesonefrik. Di setiap sisi orifisium utrikulus prostatika terdapat ductus ejakulotorius, terbentuk dari penyatuan ductus vesikula seminalis dan pars terminal vas deferens.1 Uretra pars membranasea memiliki panjang 2 cm dan menembus muskulus sphincter uretra (sphincter volunteer vesika urinaria) dan membrana fascial perineal yang menutupi aspek superfisial sphincter. Uretra pars spongiosa memiliki panjang 15 cm dan melewati corpus spongiosum penis.1 2. Uretra perempuan Uretra perempuan memiliki panjang 4 cm, melewati muskulus sphincter muskulus sphincter uretra, uretra, dan membentang didepan dinding vagina. Meatus eksternalnya terletak 2,5 cm dari klitoris.
Muskulus sphincter uretra pada wanita merupaka suatu struktur yang tegang. Oleh karenanya, control vesika urinaria lebih bergantung kepada muskulus sphincter uretra interna yang merupakan struktur otot sirkular vesika urinaria.1
B. Fisiologi Ginjal
Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron yang masing-masing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk urin. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru,
oleh sebab itu, pada trauma, penyakit ginjal, atau penuaan ginjal normal akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron biasanya menurun setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini seharusnya tidak mengancam jiwa karena adanya proses adaptif tubuh terhadap penurunan fungsi faal ginjal.2,3
Setiap nefron memiliki 2 komponen utama yaitu glomerulus dan tubulus. Glomerulus (kapiler glomerulus) dilalui sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah sedangkan tubulus merupakan saluran panjang yang mengubah cairan yang telah difiltrasi menjadi urin dan dialirkan menuju keluar ginjal. Glomerulus tersusun dari jaringan kapiler glomerulus bercabang dan beranastomosis yang mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60mmHg), dibandingkan dengan jaringan kapiler lain.2,3 Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus dilingkupi dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus masuk ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks ginjal. Dari tubulus proksimal kemudian dilanjutkan dengan ansa Henle (Loop of Henle). Pada ansa Henle terdapat bagian yang desenden dan asenden. Pada ujung cabang asenden tebal terdapat makula densa. Makula densa juga memiliki kemampuan kosong untuk mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari tubulus distal, urin menuju tubulus rektus dan tubulus koligentes modular hingga urin
mengalir melalui ujung papilla renalis dan kemudian bergabung membentuk struktur pelvis renalis.3 Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin yaitu filtrasi glomerulus reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi dimulai pada saat darah mengalir melalui glomerulus sehingga terjadi filtrasi plasma bebas-protein menembuskapiler glomerulus k e kapsula Bowman. Proses ini dikenal sebagai filtrasi glomerulus yang merupakan langkah pertama dalam pembentukan urin. Setiap hari terbentuk rata-rata 180 liter filtrat glomerulus. Dengan menganggap bahwa volume plasma rata-rata pada orang dewasa adalah 2,75 liter, hal ini berarti seluruh volume plasma tersebut difiltrasi sekitar enam puluh lima kali oleh ginjal setiap harinya. Apabila semua yang difiltrasi menjadi urin, volume plasma total akan habis melalui urin dalam waktu setengah jam. Namun, hal itu tidak terjadi karena adanya tubulus-tubulus ginjal yang dapat mereabsorpsi kembali zat-zat yang masih dapat dipergunakan oleh tubuh. Perpindahan zat-zat d ari bagian dalam tubulus ke dalam plasma kapiler peritubulus ini disebut sebagai reabsorpsi tubulus. Zat-zat yang direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin, tetapi diangkut oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Dari 180 liter plasma yang difiltrasi setiap hari, 178,5 liter diserap kembali, dengan 1,5 liter sisanya terus mengalir melalui pelvis renalis dan keluar sebagai urin. Secara umum, zat-zat yang masih diperlukan tubuh akan direabsorpsi kembali sedangkan yang sudah tidak diperlukan akan tetap bersama urin untuk dikeluarkan dari tubuh. Proses ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu pada perpindahan selektif zat-zat dari darah kapiler peritubulus ke lumen tubulus. Sekresi tubulus merupakan rute kedua bagi zat-zat dalam darah untuk masuk ke dalam tubulus ginjal. Cara pertama adalah dengan filtrasi glomerulus dimana hanya 20% dari plasma yang mengalir melewati kapsula Bowman, sisanya terus mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Beberapa zat, mungkin secara diskriminatif
dipindahkan dari plasma ke lumen tubulus melalui mekanisme sekresi tubulus. Melalui 3 proses dasar ginjal tersebut, terkumpullah urin yang siap untuk diekskresi.2,3
C. Ruptur Uretra 1. Definisi
Ruptur uretra merupakan trauma uretra yang terjadi karena jejas yang mengakibatkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial ataupun total. Ruptur uretra dibagi berdasarkan anatomi yaitu ruptur uretra anterior dan ruptur uretra posterior dengan etiologi yang berbeda diantara keduanya.4
2. Klasifikasi
Klasifikasi ruptur uretra berhubungan erat dengan anatomi uretra itu sendiri. Uretra laki - laki dewasa memiliki panjang kurang lebih 18cm, dimana uretra posterior meliputi 3cm bagian proksimal, dan uretra anterior meliputi 15cm sisanya, dengan titik pemisah keduanya terletak di membran perienal. Lebih jauh lagi, uretra dibagi menjadi 5 segmen : uretra pars prostatika, uretra pars membranasea (posterior), uretra bulbosa. uretra pendulare, dan fossa naviculare (anterior). Sedangkan uretra wanita dewasa memiliki panjang kurang lebih 4cm, dimulai dari urethrovesical junction pada leher kandung kemih hingga ke vestibulum vagina.5 a. Ruptur Uretra Anterior Uretra anterior adalah bagian distal dari diafragma urogenitalia. Straddle injury dapat menyebabkan laserasi atau kontusio dari uretra. Instrumentasi atau iatrogenik dapat menyebabkan disrupsi parsial.1 Cedera uretra anterior secara khas disebabkan oleh cedera langsung pada pelvis dan uretra. Secara klasik, cedera uretra anterior disebabkan oleh straddle injury atau tendangan atau pukulan pada daerah perineum, dimana uretra pars bulbosa terjepit diantara tulang pubis dan benda tumpul. Cedera tembus uretra (luka tembak atau luka tusuk) dapat juga menyebabkan cedera uretra anterior. Penyebab lain dari cedera uretra anterior adalah trauma penis yang berat, trauma iatrogenic dari kateterisasi, atau masuknya benda asing.6 Klasifikasi ruptur uretra anterior dideskripsikan oleh McAninch dan Armenakas berdasarkan atas gambaran radiologi :6
Kontusio : Gambaran klinis memberi kesan cedera uretra, tetapi uretrografi retrograde normal.
Incomplete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi, tetapi masih ada kontinuitas uretra sebagian. Kontras terlihat mengisi uretra proksimal atau vesika urinaria.
Complete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi dengan tidak ada kontras mengisi uretra proksimal atau vesika urinaria. Kontinuitas uretra seluruhnya terganggu.
Trauma tumpul atau tembus dapat menyebabkan cedera uretra anterior. Trauma tumpul adalah diagnosis yang sering dan cedera pada segmen uretra pars bulbosa adalah yang paling sering (85%), karena fiksasi uretra pars bulbosa dibawah dari tulang pubis, tidak seperti uretra pars pendulosa yang mobile. Trauma tumpul pada uretra pars bulbosa biasanya disebabkan oleh straddle injury atau trauma pada daerah perineum. Uretra pars bulbosa terjepit diantara ramus inferior pubis dan benda tumpul, menyebabkan memar atau laserasi pada uretra. Tidak seperti cedera pada uretra pars prostatomembranous, Trauma tumpul uretra anterior jarang berhubungan dengan trauma organ lainnya. Kenyataannya, straddle injury menimbulkan cedera cukup ringan, membuat pasien tidak mencari penanganan pada saat kejadian. Pasien biasanya datang dengan striktur uretra setelah kejadian yang intervalnya bulan atau tahun.6 Cedera uretra anterior dapat juga berhubungan dengan trauma penis (10% sampai 20% dari kasus). Mekanisme cedera adalah trauma langsung atau cedera pada saat berhubungan intim, dimana penis yang sementara ereksi menghantam ramus pubis wanita, menyebabkan robeknya tunika albuginea.6
b. Ruptur Uretra Posterior Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra pars posterior. Menurut sejarahnya, banyak cedera semacam ini yang berhubungan dengan kecelakaan di pabrik atau pertambangan. Akan tetapi, karena perbaikan dalam hal keselamatan pekerja pabrik telah menggeser penyebab cedera ini dan menyebabkan peningkatan pada cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas. Gangguan pada uretra terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan pada uretra membranasea yang berhubungan dengan trauma tumpul terjadi bersamaan fraktur pelvis. Fraktur pelvis yang menyebabkan disrupsi uretra seringkali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (68% - 84%), jatuh dari ketinggian, dan pelvic crush injuries (6% - 25%).6 Colapinto
dan
McCallum
memngklasifikasikan
ruptur
uretra
posterior
berdasarkan gambaran radiografi :6
Tipe 1, ruptur ligament puboprostatic dan hematoma periprostatik di sekitarnya menimbulkan peregangan uretra pars membranasea tanpa adanya ruptur.
Tipe 2, ruptur parsial atau komplit dari uretra pasr membranasea di atas membran perineal atau diafragma urogenital. Pada uretrografi, terlihat
ekstravasasi
kontras di atas membran perineal ke dalam pelvis.
Tipe 3, ruptur parsial atau komplit uretra pars membranasea dengan disrupsi diafragma urogenital. Terlihat ekstravasasi kontras ke dalam pelvis dan keluar menuju perineum.
Tipe 4, ruptur atau cedera pada leher kandung kemih yang memanjang ke uretra. -. Tipe 4a, ruptur kandung kemih ekstraperitoneal pada dasar dasar kandung kemih, dengan ekstravasasi periuretral.
Tipe 5, cedera uretra anterior murni. Cedera
uretra
terjadi
sebagai
akibat
dari
adanya
gaya
geser
pada prostatomembranosa junctionsehingga prostat terlepas dari fiksasi pada diafragma urogenitalia. Dengan adanya pergeseran prostat, maka uretra pars membranasea teregang dengan cepat dan kuat. Uretra posterior difiksasi pada dua tempat yaitu fiksasi uretra pars membranasea pada ramus ischiopubis oleh diafragma urogenitalia dan uretra pars prostatika ke simphisis oleh ligamentum puboprostatikum.5 c. Ruptur Uretra Wanita Ruptur uretra wanita sebagai akibat trauma termasuk ajrang, namun dihubungkan dengan fraktur pelvis pada 6% kasus. Trauma seringkali berhubungan disertai dengan laserasi vagina, yang mana merupakan petunjuk tersering untuk mencapai diagnosis. Edema labium, hematuria, dan urethrorrhagia dapat muncul. Namun cedera ini seringkali tidak ditemukan karena pemeriksaan vagina jarang dilakukan pada pasien cedera parah.5
3. Epidemiologi
Ruptur uretra meliputi sekitar 4% dari seluruh trauma saluran kemih, namun memiliki kemungkinan untuk menyebabkan morbiditas jangkan panjang termasuk striktur, inkontinensia, impotensi, dan infertilitas. Saat uretra mengalami cedera, 65% diantaranya dalah dsirupsi komplit, sedangkan 35% sisanya adalah ruptur parsial. Ruptur uretra lebih sering terjadi pada laki - laki daripada perempuan (5:1), hal ini berhubungan dengan uretra laki - laki yang lebih panjang dan mobilisasinya yang terbatas.7
a. Ruptur Uretra Posterior Ruptur uretra posterior yang berhubungan dengan fraktur pelvis adalah ruptur uretra non-iaogenik yang paling sering terjadi, 4 kali lebih sering daripada ruptur uretra anterior. Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra posterior dengan angka kejadian 20 per 100.000 populasi dan penyebab utama terjadinya fraktur pelvis adalah kecelakaan bermotor (15,5%), diikuti oleh cedera pejalan kaki (13,8%), jatuh dari ketinggian lebih dari 15 kaki (13%), kecelakaan pada penumpang mobil (10,2%) dan kecelakaan kerja (6%). Fraktur pelvis merupakan salah satu tanda bahwa telah terjadi cedera intraabdominal ataupun cedera urogenitalia yang kira-kira terjadi pada 15-20% pasien. Cedera organ terbanyak pada fraktur pelvis adalah pada uretra posterior (5,8%-14,6%), diikuti oleh cedera hati (6,1%-10,2%) dan cedera limpa (5,2%-5,8%). Di Amerika Serikat angka kejadian fraktur pelvis pada laki-laki yang menyebabkan cedera uretra bervariasi antara 1-25% dengan nilai ratarata 10%. Cedera uretra pada wanita dengan fraktur pelvis sebenarnya jarang terjadi, tetapi beberapa kepustakaan melaporkan insiden kejadiannya sekitar 4-6%.7 Angka kejadian cedera uretra yang dihubungkan dengan fraktur pelvis kebanyakan ditemukan pada awal dekade keempat, dengan umur rata-rata 33 tahun. Pada anak (<12 tahun) angka kejadiannya sekitar 8%. Terdapat perbedaan persentasi angka kejadian fraktur pelvis yang menyebabkan cedera uretra pada anak dan dewasa. Fraktur pelvis pada anak sekitar 56% kasus yang merupakan resiko tinggi untuk terjadinya cedera uretra.7
b. Ruptur Uretra Anterior Trauma tumpul pada uretra anterior terjadi sekitar 1/4 kali uretra posterior, seringkali bersifat straddle type. Jenis trauma ini adalah sebagaib hasil dari trauma langsung pada uretra dan seringkali mengakibatkan disrupsi parsial dan berujung pada striktur. Uretra anterior dapat mengalami ruptur saat terjadi fraktur penis.7 c. Ruptur Uretra Iatrogenik Ruptur uretra iatrogenik yang paling sering terjadi adalah sebagai akibat pemasangan kateter foley. Dalam satu tahun, penelitian prospektif institusi tunggal di UCSD mendapatkan angka kejadian cedera uretra anterior akibat pemasangan kateter adalah sekitar 3.2 per 1000 pasien, namun setelah mengimplementasikan edukasi mengenai pemasangan kateter foley pada petugas kesehatan, angka kejadian dapat dikurangi hingga kurang dari 1 per 1000 pasien.7
4. Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis sehingga menyebabkan ruptur uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan ruptur uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau businasi pada uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra karena false route atau salah jalan, demikian pula tindakan operasi trans uretra dapat menimbulkan cedera uretra iatrogenik.Ketika uretra mengalami trauma kemungkinan juga berkaitan dengan perkembangan penyakit obstruksi atau striktur uretra. Striktur uretra ketika uretra mengalami trauma atau luka karena infeksi
dalam jangka panjang, mengakibatkan terganggunya saluran berkemih dan semen.8 5. Faktor risiko
a. Ruptur uretra Anterior Faktor risiko dari ruptur uretra anterior adalah:9
cedera uretra anterior disebabkan oleh straddle injury atau tendangan atau pukulan pada daerah perineum, dimana uretra pars bulbosa terjepit diantara tulang pubis dan benda tumpul.
Cedera tembus uretra (luka tembak atau luka tusuk)
trauma penis yang berat, trauma iatrogenic dari kateterisasi, atau masuk benda asing.
b. Ruptur uretra posterior Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra pars posterior. Gangguan pada uretra terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan pada uretra membranasea yang berhubungan dengan trauma tumpul terjadi bersamaan fraktur pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat berada buli-buli akan terangkat ke kranial. 8,11 Fraktur pelvis yang menyebabkan gangguan uretra biasanya penyebab sekunder karena kecelakaan kendaraan bermotor (68%-84%) atau jauh dari ketinggian dan tulang pelvis hancur (6%-25%). Pejalan kaki lebih beresiko, mengalami cedera uretra karena fraktur pelvis pada kecelakaan bermotor dari pada pengendara. 11
6. Manifestasi Klinis
Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan peruretram, yaitu terdapat darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah mengalami trauma.Perdarahan peruretram ini harus dibedakan dengan hematuria yaitu urine yang
bercampur dengan darah.Pada trauma uretra yang berat, pasien seringkali
mengalami retensio urin.4 Ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis, pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas hematom dan nyeri tekan.Bila disertai ruptur kandung kemih, bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum.8 Ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik.Pada perabaan mungkin ditemukan kandung kemih yang penuh.5 Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena udem atau bekuan darah.Abses periuretral atau sepsis mengakibatkan demam.Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fasia yang turut rusak.Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat yang disebut infiltrat urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia bila terjadi infeksi. 5
7. Diagnosis
Pasien yang menderita trauma uretra posterior seringkali datang dalam keadaan syok karena terdapat fraktur pelvis atau cedera organ lain yang menimbulkan banyak perdarahan. Ruptur uretra posterior seringkali memberikan gambaran yang khas berupa: perdarahan peruretram, retensio urin pada pemeriksaan colok dubur, didapatkan adanya floating prostate (prostat melayang) didalam suatu hematom. Dapat diduga terjadi cedera urethra dari anamnesis atau trauma yang nyata pada pelvis atau perineum. Pada penderita yang sadar , riwayat miksi perlu diketahui untuk mengetahui waktu terakhir miksi, pancaran urine, nyeri saat miksi dan adanya hematuria. Rupture uretra posterior harus dicurigai jika terdapat tanda fraktur pelvis :8 a. Perdarahan per uretra. Merupakan tanda utama dari rupture uretra posterior, ditemukan pada 37%-93% penderita dengan cedera urethra posterior .Dengan timbulnya darah, setiap instrumentasi terhadap urethra ditunda sampai keseluruhan urethra sudah dilakukan pencitraan (uretrografi). Darah di introitus vagina ditemukan pada 80% penderita perempuan dengan fraktur pelvis dan cedera urethra. b. Retensi urin c. Pada pameriksaan Rectal Tuse didapatkan Floating prostat yakni prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital. d. Pada pemeriksaan uretrografi didapatkan ekstravasasi kontras dan terdapat fraktur pelvis. Ruptur uretra anterior biasanya pasien mengeluhkan perdarahan peruretram, berkaitan dengan cedera kangkang.Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau hematom kupu-kupu.Pada keadaan ini pasien
seringkali tidak dapat miksi. Trauma uretra anterior yang terdiri dari uretra pars glanularis, pars pendulans, dan pars bulbosa. Pada ruptur uretra anterior, didapatkan :8 a. Perdarahan per-uretra/ hematuri. b. Kadang terjadi retensi urine. c. Hematom kupu-kupu/butterfly hematom/ jejas perineum. Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck dan fasia Colles. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.9
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan curiga trauma uretra adalah: USG, akan tetapi tidak sesuai karena kondisi yang akut dan posisi organ retroperitoneal. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan hasil yang signifikan
untuk
pemeriksaan
dengan
menggunakan
IVP
(Intra
Venous
Pyelogram).Untuk pasien dengan kondisi stabil dapat menggunakan pemeriksaan ctscan.10 Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis cedera uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma.
Sementara CT Scan merupakan pemeriksaan yang ideal untuk saluran kemih bagian atas dan cedera vesika urinaria dan terbatas dalam mendiagnosis cedera uretra. Sementara MRI berguna untuk pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum dilakukan rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak berperan dalam pemeriksaan cadera uretra.Sama halnya dengan USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam pelvis dan vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik.11
8. Tatalaksana Ruptur Uretra Posterior
a. Emergency Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat analgesik. Pasien dengan kontusio atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu menggunakan alat-alat atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing dan tidak ada ekstravasasi pada uretrosistogram, pemasangan kateter harus dilakukan dengan lubrikan yang adekuat.12 Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan organ lain, cukup dilakukan sistotomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu.4 b. Pembedahan Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan. Kateter uretra harus dihindari.4 1) Immediate management
Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase urin. Insisi midline pada abdomen bagian bawah dibuat untuk menghindari pendarahan yang banyak pada pelvis. Buli-buli dan prostat biasanya elevasi kearah superior oleh pendarahan yang luas pada periprostatik dan perivesikal. Buli-buli sering distensi oleh akumulasi volume urin yang banyak selama periode resusitasi dan persiapan operasi. Urin sering bersih dan bebas dari darah, tetapi mungkin terdapat gross hematuria. Buli-buli harus dibuka pada garis midline dan diinspeksi untuk laserasi dan jika ada, laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat diabsorpsi dan pemasangan tube sistotomi untuk drainase urin. Sistotomi suprapubik dipertahankan selama 3 bulan. Pemasangan ini membolehkan resolusi dari hematoma pada pelvis, dan prostat & buli-buli akan kembali secara perlahan ke posisi anatominya.5 Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (railroading). Cara langsir (rail roading) pemasangan kateter Foley menetap pada ruptur uretra: 4
Selang karet atau plastik diikat ketat pada ujung sonde dari meatus uretra
Sonde uretra pertama dari meatus eksternus dan sonde kedua melalui sistotomi yang dibuat lebih dahulu saling bertemu, ditandai bunyi denting yang dirasa di tempat rupture
Selanjutnya sonde dari uretra masuk ke kandung dengan bimbingan sonde dari buli-buli
Sonde dicabut dari uretra
Sonde dicabut dari kateter Nelaton dan diganti dengan ujung kateter Foley yang dijahit pada kateter Nelaton
Ujung kateter ditarik kearah buli-buli
Selanjutnya dipasang kantong penampung urin dan traksi ringan sehingga balon kateter Foley tertarik dan menyebabkan luka ruptur merapat. Insisi di buli-buli ditutup 2) Delayed urethral reconstruction Rekonstruksi uretra setelah disposisi prostat dapat dikerjakan dalam 3 bulan, diduga pada saat ini tidak ada abses pelvis atau bukti lain dari infeksi pelvis. Sebelum rekonstuksi, dilakukan kombinasi sistogram dan uretrogram untuk menentukan panjang sebenarnya dari striktur uretra. Panjang striktur biasanya 1-2 cm dan lokasinya dibelakang dari tulang pubis. Metode yang dipilih adalah “singlestage reconstruction” pada ruptur uretra dengan eksisi langsung pada daerah striktur dan anastomosis uretra pars bulbosa ke apeks prostat lalu dipasang kateter uretra ukuran 16 F melalui sistotomi suprapubik. Kira-kira 1 bulan setelah rekonstuksi, kateter uretra dapat dilepas. Sebelumnya dilakukan sistogram, jika sistogram memperlihatkan uretra utuh dan tidak ada ekstravasasi, kateter suprapubik dapat dilepas. Jika masih ada ekstravasasi atau striktur, kateter suprapubik harus dipertahankan. Uretrogram dilakukan kembali dalam 2 bulan untuk melihat perkembangan striktur.5 3) Immediate urethral realignment Beberapa ahli bedah lebih suka untuk langsung memperbaiki uretra. Perdarahan dan hematoma sekitar ruptur merupakan masalah teknis. Timbulnya striktur,
impotensi, dan inkotinensia lebih tinggi dari immediate cystotomy dan delayed reconstruction. Walaupun demikian beberapa penulis melaporkan keberhasilan dengan immediate urethral realignment.5 Ruptur Uretra Anterior
a. Penanganan Awal Kehilangan darah yang banyak biasanya tidak ditemukan pada straddle injury. Jika terdapat pendarahan yang berat dilakukan bebat tekan dan resusitasi. Armenakas dan McAninch (1996) merencanakan skema klasifikasi praktis yang sederhana yang membagi cedera uretra anterior berdasarkan penemuan radiografi menjadi kontusio, ruptur inkomplit, dan ruptur komplit. Kontusio dan cedera inkomplit dapat ditatalaksana hanya dengan diversi kateter uretra. Tindakan awal sistotomi suprapubik adalah pilihan penanganan pada cedera staddle mayor yang melibatkan uretra.5,13 Pilihan utama berupa surgical repair direkomendasikan pada luka tembak dengan kecepatan rendah, Ukuran kateter disesuaikan dengan berat dari striktur uretra. Debridement dari korpus spongiosum setelah trauma seharusnya dibatasi karena aliran darah korpus dapat terganggu sehingga menghambat penyembuhan spontan dari area yang mengalami kontusi. Diversi urin dengan suprapubik direkomendasikan setelah luka tembak uretra dengan kecepatan tinggi, diikuti dengan rekonstruksi lambat.5,13 b. Penanganan Spesifik 1) Kontusio Uretra Pasien dengan kontusio uretra tidak ditemukan bukti adanya ekstravasasi dan uretra tetap utuh. Setelah uretrografi, pasien dibolehkan untuk buang air kecil;
dan jika buang air kecil normal, tanpa nyeri dan pendarahan, tidak dibutuhkan penanganan tambahan. Jika pendarahan menetap, drainase uretra dapat dilakukan.5 2) Laserasi Uretra Instrumentasi uretra setelah uretrografi harus dihindari. Insisi midline pada suprapubik dapat membuka kubah dari buli-buli supaya pipa sistotomi suprapubik dapat disisipkan dan dibolehkan pengalihan urin sampai laserasi uretra sembuh. Jika pada uretrogram terlihat sedikit ekstravasasi, berkemih dapat dilakukan 7 hari setelah drainase kateter suprapubik untuk menyelidiki ekstravasasi. Pada kerusakan yang lebih parah, drainase kateter suprapubik harus menunggu 2 sampai 3 minggu sebelum mencoba berkemih. Penyembuhan pada tempat
yang rusak dapat
menyebabkan striktur. Kebanyakan striktur tidak berat dan tidak memerlukan rekonstuksi bedah. Kateter suprapubik dapat dilepas jika tidak ada ekstravasasi. Tindakan lanjut dengan melihat laju aliran urin akan memperlihatkan apakah terdapat obstuksi uretra oleh striktur.5 3) Laserasi Uretra dengan Ekstravasasi Urin yang Luas Setelah laserasi yang luas, ekstravasasi urin dapat menyebar ke perineum, skrotum, dan abdomen bagian bawah. Drainase pada area tersebut diindikasikan. Sistotomi suprapubik untuk pengalihan urin diperlukan. Infeksi dan abses biasa terjadi dan memerlukan terapi antibiotik.5 c. Rekonstruksi segera Perbaikan segera laserasi uretra dapat dilakukan, tetapi prosedurnya sulit dan tingginya resiko timbulnya striktur.5
d. Rekonstruksi lambat Sebelum semua rencana dilakukan, retrograde uretrogram dan sistouretrogram harus dilakukan untuk mengetahui tempat dan panjang dari uretra yang mengalami cedera. Pemeriksaan ultrasound uretra dapat membantu menggambarkan panjang dan derajat keparahan dari striktur. Injeksi retrograde saline kombinasi dengan antegrade bladder filling akan mengisi uretra bagian proksimal dan distal, dan sonogram 10-MHz akan mengambarkan dengan jelas bagian yang tidak bisa terdistensi untuk di eksisi. Jaringan fibrosa padat yang terbentuk karena trauma sering menjadi significant shadow.5,13 Uretroplasty anastomosis adalah prosedur pilihan pada ruptur total uretra pars bulbosa setelah straddle injury. Skar tipikal berukuran 1,5 sampai 2 cm dan harus dieksisi komplit. Uretra proksimal dan distal dapat dimobilisasi untuk anastomosis end-to-end. Tingkat keberhasilan dari prosedur ini lebih dari 95% dari kasus.5,13 Insisi endoskopik melalui jaringan skar dari uretra yang ruptur tidak disarankan dan sering kali gagal. Penyempitan parsial uretra dapat diterapi awal dengan insisi endoskopi dengan tingkat keberhasilan tinggi. Saat ini uretrotomi dan dilatasi berulang telah terbukti tidak efektif baik secara klinis maupun biaya. Lebih lanjut, pasien dengan prosedur endoskopik berulang juga sering diharuskan untuk dilakukan tindakan rekonstruksi kompleks seperti graft. Open repair seharusnya ditunda paling tidak beberapa minggu setelah instrumentasi untuk membiarkan uretra stabil.5,13
9. Komplikasi
Komplikasi awal yang potensial dari ruptur uretra akut termasuk striktur dan infeksi Ekstravasasi darah atau urine dari robekan uretra menghasilkan reaksi inflamasi yang dapat
memicu pembentukan abses. Ekstensi dari infeksi tergantung pada bidang permukaan yang terganggu. Sekuele dari infeksi tersebut termasuk fistula uretrokutaneus, divertikula periuretra, dan yang lebih jarang, fasciitis yang nekrotik.14 Komplikasi utama menyusul rekonstruksi cedera posterior adalah striktur berulang. Ketika berhasil dengan teknik urethroplasty standar, striktur berulang memerlukan operasi mayor berulang yang harus diamati hanya pada 1% -2% dari pasien, meskipun 10% -15% mungkin memerlukan pelebaran ataupun insisi dari rekurensi singkat. Endoskopi penataan kembali oleh dokter yang berpengalaman tampaknya menghasilkan hasil yang sama. Ketika dilakukan pada 5-7 hari posttrauma, komplikasi infeksi jarang terjadi meskipun terdapat hematoma pelvis terorganisir.15 Angka kontinensi mendekati 100% di semua seri, terutama jika leher kandung kemih tidak terlibat. Status potensi mungkin berhubungan dengan sejauh mana cedera itu sendiri daripada pengelolaan masalah. Beberapa seri telah menunjukkan hanya sekelompok kecil orang kehilangan kemampuan ereksi yang menyusul urethroplasty ketika mereka poten menyusul cedera yang sebenarnya. Komplikasi rekonstruksi cedera uretra anterior serupa dengan yang diamati dalam rekonstruksi uretra p osterior.16
10. Prognosis
Pria dengan cedera uretra memiliki prognosis yang sangat baik bila dikelola dengan benar. Masalah timbul jika cedera uretra belum diketahui dan uretra lebih lanjut rusak oleh upaya kateterisasi buta.17
BAB III PENUTUP
Ruptur urtera adalah cedera pada uretra. Rupture uretra dibagi menjadi dua, ruptur uretra anterior, ruptur uretra posterior, dan ruptur Uretra Iatrogenik. Cedera uretra anterior secara khas disebabkan oleh cedera langsung pada pelvis dan uretra. Ruptur uretra posterior yang berhubungan dengan fraktur pelvis adalah ruptur uretra non-iatrogenik yang paling sering terjadi, 4 kali lebih sering daripada ruptur uretra anterior. Ruptur Uretra Iatrogenik yang paling sering terjadi adalah sebagai akibat pemasangan kateter foley. Pengetahuan tentang rupture uretra ini penting bagi seorang dokter terutama dokter umum di daerah. Diagnosis yang tepat dapat ditegakkan m elalui serangkaian anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang yang baik. Dengan demikian, terapi yang sesuai dapat segera dilakukan untuk mengatasi kelainan yang terjadi. Penanganan awal perlu dilakukan secara hati-hati, Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan. Dalam melakukan rekonstruksi uretra berbeda-beda pada setiap kerusakan. Komplikasi awal yang potensial dari ruptur uretra akut termasuk striktur dan infeksi Ekstravasasi darah atau urine dari robekan uretra menghasilkan reaksi inflamasi yang dapat memicu pembentukan abses. Komplikasi utama menyusul rekonstruksi cedera posterior adalah striktur berulang.