TUBERKULOSIS-MDR
REFERAT
Oleh Irania Ayunani NIM 122010101065
Pembimbing dr. Retna Dwi, Sp.P
SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI JEMBER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2017 1
TUBERKULOSIS-MDR
REFERAT
disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember
Oleh Irania Ayunani NIM 122010101065
Pembimbing dr. Retna Dwi, Sp.P
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI JEMBER 2017 2
TUBERKULOSIS-MDR
REFERAT
disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember
Oleh Irania Ayunani NIM 122010101065
Pembimbing dr. Retna Dwi, Sp.P
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI JEMBER 2017 2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
2
DAFTAR ISI ................................................................................................
3
DAFTAR TABEL .......................................................................................
4
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
5
BAB 1. PENDAHULUAN ..........................................................................
6
BAB 2. TIJAUAN PUSTAKA ....................................................................
7
2.1 Epidemiologi ........................................................................
7
2.2 Definisi .................................................. ................................
9
sistance e .......................................... 2.3 Klasifikasi TB- D r ug R esistanc
10
2.4 Faktor Terjadinya Resistansi ..............................................
11
2.5 Patogenesis Resistansi OAT ...............................................
13
2.6 Diagnosis ..............................................................................
19
2.7 Terapi ...................................................................................
30
BAB 3. KESIMPULAN ..............................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA .................................................. ................................
43
3
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kategori Resistansi terhadap OAT ...........................................
10
Tabel 2.2 Obat TB lini pertama dan kedua, gen yang terlibat dalam aktivasi dan mekanisme resistansi ...........................................
18
Tabel 2.3 Indikasi Tes Resistansi Molekuler .............................................
26
Tabel 2.4 Karakteristik Obat Lini Kedua untuk Pengobatan TB-MDR
36
Tabel 2.5 Pemantauan Pengobatan TB-MDR ...........................................
39
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Negara dengan Beban Tinggi TB .........................................
8
Gambar 2.2 Penemuan Data Kasus TB-MDR di Indonesia Tahun 20092015 ................................................ ........................................
9
Gambar 2.3 Alur Diagnosis TB Resistan Obat ........................................
28
Gambar 2.4 Perbandingan antara klasifikasi berbasis standar A.S. dan sistem klasifikasi WHO untuk obat anti-tuberkulosis 31 Gambar 2.5 Langkah Menentukan Regimen TB-MDR ......................... 32 Gambar 2.6 Langkah Menentukan Regimen Pengobatan TB-MDR ... 36
5
BAB 1. PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan dunia. Secara global terdapat peningkatan kejadian mono-resistant tuberculosis, multi-drug-resistant tuberculosis (TB-MDR), dan extensively-drug-resistant tuberculosis (TB-XDR). Hampir 20% dari seluruh strain TB di seluruh dunia resistan paling sedikit 1 obat TB utama termasuk isoniazid. Di beberapa bagian dunia ada peningkatan kejadian TB-MDR, dan yang mengkhawatirkan hampir sepertiga kasus TB-MDR secara global resistan terhadap fluoroquinolone atau aminoglikosida. Tren ini tidak dapat diabaikan karena TB-MDR dikaitkan dengan morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan TB yang peka terhadap obat, ini menyumbang hampir 25% dari angka kematian TB secara global, juga sangat mahal biaya pengobatannya, serta menghabiskan sebagian besar anggaran yang dialokasikan untuk program TB nasional di negara endemik TB. Yang lebih mengkhawatirkan adalah meningkatnya epidemi TB-XDR, yang tahan terhadap obat-obatan yang lebih baru seperti bedaquiline dan delamanid, dan meningkatnya prevalensi TB yang tidak dapat disembuhkan secara terprogram di negara-negara seperti Afrika Selatan, Rusia, India, dan China (Dheda et al ., 2016). Prevalensi TB-MDR secara global pada tahun 2015 adalah terdapat sekitar 480.000 kasus baru TB-MDR dan 100.000 diantaranya adalah penderita TB-RR (Tuberkulosis-Resistan Rifampisin). Data surveilans resistan obat menunjukkan bahwa 3,9% kasus baru TB dan 21% kasus dengan pengobatan TB sebelumnya mengalami TB-RR ataupun TB-MDR pada tahun 2015. Angka ini meningkat dari 3,3% kasus baru TB yang mengalami TB-MDR pada tahun 2014. TB-MDR ataupun TB-RR menyebabkan 250.000 kematian pada tahun 2015. Kasus dan mortalitas tertinggi terjadi di kawasan Asia. Sekitar 9,5% kasus TB-MDR mengalami tambahan resistan obat atau TB-XDR (Tuberkulosis-Extensively Drug Resistant) dan sebanyak 117 negara di seluruh dunia melaporkan minimal 1 kasus TB-XDR (WHO, 2016a). 6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi
Prevalensi TB-MDR pada tahun 2015 secara global adalah sebanyak 30% pasien TB dilaporkan terbukti mengalami TB-MDR, meningkat dari 22% pada tahun 2014. Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh terus berkembanganya penggunaan uji molekuler yang cepat (TCM). Terlepas dari pemeriksaan yang meningkat, jumlah TB-MDR maupun TB-RR yang terdeteksi pada tahun 2015 hanya 132.000 kasus, sedikit meningkat dari tahun 2014 (meningkat dari 122.000 kasus). Sebanyak 125.000 pasien didaftarkan pengobatan TB-MDR pada tahun 2015 (meningkat dari 111.000 kasus di tahun 2014). Namun ini hanya mewakili sekitar 22% kasus TB-MDR ataupun TB-RR pada tahun 2015. Kesenjangan antara kasus TB-MDR ataupun TB-RR yang terdeteksi dan pendaftaran pengobatan tampaknya telah menyempit secara global dari waktu ke waktu. Sedangkan lebih dari 7000 pasien TB-XDR memulai pengobatan pada tahun 2015. Hanya 52% pasien TB-MDR ataupun TB-RR yang memulai pengobatan pada tahun 2013 yang berhasil diobati, sementara 17% pasien meninggal dan 9% pasien gagal pengobatan (22% hilang untuk ditindaklanjuti atau tidak dievaluasi). Selain itu, tingkat keberhasilan pengobatan pada pasien TB-XDR hanya 26% (WHO, 2016a). Pada tahun 2013 WHO memperkirakan di Indonesia terdapat 6.800 kasus baru TB-MDR setiap tahun. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12% dari kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB-MDR. Diperkirakan pula lebih dari 55% pasien TB-MDR belum terdiagnosis atau mendapat pengobatan dengan baik dan benar (Kemenkes RI, 2015). Indonesia adalah satu dari 27 negara dengan beban MDR TB yang tinggi di seluruh dunia, dengan perkiraan 6.800 kasus baru setiap tahun. TB-MDR nasional memperkirakan 2,8% di antara kasus TB baru dan 16% kasus TB yang diobati sebelumnya. Pada akhir November 2016, layanan PMDT (Progamatic Management 7
Drug Resistance) di Indonesia telah meluas ke 35 rumah sakit rujukan PMDT, 57 pusat perawatan PMDT dan 1.193 lokasi pengobatan (satelit pengobatan) di 34 provinsi. Lebih dari 55.000 pasien TB yang diuji untuk resistansi obat dan 6.000 pasien DR-TB (pasien MDR, Pre XDR dan XDR) telah dirawat di seluruh negeri sejak 2009. Pada tahun 2016 (Januari sampai November), 2293 orang dikonfirmasi TB-MDR/TB-RR dan 1420 (62%) kasus baru didaftarkan. Tingkat keberhasilan pengobatan untuk kasus MDR / RR-TB yang terdaftar di dunia pada tahun 2013 adalah 51%, dan tingkat keberhasilan pengobatan untuk kasus MDR / RR-TB yang terdaftar di Indonesia di tahun 2013 adalah 40% (WHO, 2016b).
Gambar 2.1 Negara dengan Beban Tinggi TB (Sumber: WHO, 2016b) Berdasarkan penemuan data kasus TB-MDR di Indonesia tahun 2015, terdapat 15.380 pasien terduga TB-MDR, namun hanya 1.860 pasien yang terkonfirmasi mengalami TB-MDR, dan hanya 1.566 pasien TB-MDR yang diobati. Hal ini berbeda dengan tahun 2014 yaitu sebanyak 1752 orang telah terkonfirmasi 8
menderita TB-MDR dan 1287 orang diantaranya telah diobati. Fasilitas pelayanan TB-MDR di Indonesia juga belum merata (Kemenkes RI, 2016).
Gambar 2.2 Penemuan Data Kasus TB-MDR di Indonesia Tahun 2009-2015 (Sumber: Kemenkes RI, 2016) 2.2 Definisi
TB-MDR adalah keadaan dimana kuman M. Tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB (OAT) (Kemenkes RI, 2014). Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB)
adalah
kasus
tuberkulosis
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis resistan minimal terhadap rifampisin dan isoniazid secara bersamaan, dengan atau tanpa obat antituberkulosis (OAT) lini I yang lain (Reviono et al ., 2014). Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis complex, termasuk M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. pinnipedii, M. microti, M. caprae, M. canettii. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam kemampuan berbagai mikobakterium untuk menyebabkan lesi pada berbagai macam spesies penjamu. Manusia dan marmut sangat sensitif terhadap infeksi M. tuberculosis, sementara unggas dan sapi resisten terhadap M. tuberculosis dan M. 9
bovis. Pada negara maju, M. bovis saat ini sangat jarang muncul. Beberapa mikobakterium
"atipikal"
(misalnya,
Mycobacterium
kansasii)
menyebabkan
penyakit pada manusia yang tidak dapat dibedakan dari tuberculosis. Mikobakterium yang lain (misalnya, M. fortuitum) hanya menyebabkan lesi pada permukaan atau berfungsi sebagai oportunis. Morfologi dan struktur Mycobacterium tuberculosis yaitu mikobakteria berbentuk batang ramping yang sering menunjukkan bentuk koloni filamen bercabang menyerupai miselium jamur. Maka nama “mikobakteria“ artinya adalah bakteri yang seperti jamur. Dalam kultur cair mereka membentuk cetakan seperti kulit tipis (pelikel). Mikobakteria adalah genus basil gram-positif yang menunjukkan karakteristik pewarnaan tahan asam. Mycobacterium tuberculosis adalah agen etiologik tuberkulosis yang paling penting. Mycobacterium tuberculosis termasuk genus Mycobacterium dari familia Mycobacteriaceae, ordo Actinomycetales. Bersifat non-motil , aerob obligat yang tidak membentuk spora. Dinding sel terdiri dari peptidoglikan dan mirip dengan organisme gram-positif lainnya yang banyak mengandung polisakarida rantai cabang, protein dan lipid (Siregar, 2015).
2.3 Klasifikasi TB- Drug R esistance
Klasifikasi TB- Drug Resistance terbagi menjadi 5 kategori dalam tabel di bawah ini (Kemenkes RI, 2014). Tabel 2.1 Kategori Resistansi terhadap OAT Kategori
Monoresistance
Definisi
Resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H)
Poliresistance
Resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R), 10
misalnya resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE), isonazid etambutol dan streptomisin (HES), rifampisin, etambutol dan streptomisin (RES) Multi Drug Resistance (MDR)
Resistan terhadap isoniasid dan rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yag lain, misal resistan HR, HRE, HRES
Extensively Drug Resistance (XDR)
TB-MDR disertain resistansi terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
TB Resistan Rifampisin (TB-RR)
Resistan terhadap rifampisin (monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi menggunakanmetode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan OAT lainnya
2.4 Faktor Terjadinya Resistansi
Pada pasien dengan penyakit TB aktif, faktor yang menyebabkan resistansi obat diantaranya: 1. Pasien tidak menggunakan semua obat yang diresepkan, disebabkan oleh: - kurang biaya - intoleransi/toksisitas - misunderstanding - suplai obat terganggu - tidak percaya dengan diagnosis 11
- tidak percaya dengan keefektifan dan kepentingan pengobatan - penyalahgunaan zat - kultural - kehamilan - penyakit neuropsikiatrik 2. Terjadi eror administasi dari dosis yang benar 3. Pasien tidak diresepkan dosis yang akurat 4. Pasien tidak mengabsorbsi dosis obat yang penuh dan atau memiliki penyakit di area dimana penetrasi satu atau lebih obat tidak seimbang 5. Provider tidak meresepkan regimen TB yang adekuat 6. Kuman pada pasien sudah resistan terhadap satu obat TB yang diresepkan sehingga menyebabkan regimen TB suboptimal yang tidak diketahui 7. Pasien didiagnosis tidak benar sebagai infeksi TB laten, bukan infeksi TB aktif sehingga diobati dengan monoterapi 8. Pasien TB mungkin juga menerima terapi untuk penyakit yang lain. Terapi tersebut mungkin secara tidak sengaja berisi obat aktif tunggal yang melawan TB (rifabutin pada pasien HIV untuk profilaksis Mycobacterium avium complex (MAC); fluorokuinolon untuk community acquired pneumonia) 9. Pasien menerima obat TB tanpa resep atau dapat dari orang lain 10. Obat TB berinteraksi dengan obat lain yang diminum pasien Jika pasien memulai regimen TB efektif dan kemudian berhenti meminum semua obat TB dalam satu waktu, populasi bakteri biasanya tetap rentan. Inilah keuntungan utama adanya directly observed therapy (DOT) atau pengawasan langsung pengobatan yaitu pasien meminum semua obat atau tidak meminum semua obat. Keuntungan yang lain jika menggunakan formulasi kombinasi seperti INH/RIF atau INH/RIF/PZA dalam 1 produk. Pasien meminum semua obat atau tidak sama sekali, dapat menurunkan risiko berkembangnya resistansi. Secara klinis, resistansi
12
obat secara signifikan biasanya terjadi setelah 1-3 bulan meminum regimen obat dengan tidak adekuat (Brown et al ., 2016). 2.5 Patogenesis Resistansi OAT
Resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) terutama terjadi karena mutasi pada gen Mycobacterium tuberculosis. Mutasi dapat diinduksi oleh inadekuatnya kadar terapeutik obat, terutama akibat ketidakpatuhan selama mengkonsumsi obat. Karenanya, penggunaan OAT yang tidak tepat dan teratur dapat menimbulkan mutasi pada gen yang mengkode target OAT. KatG, InhA, AphC, dan KasA untuk resistensi isoniazid; RpoB untuk resistensi rifampisin; RpsL dan Rss untuk resistensi streptomisin; EmbB untuk resistensi etambutol; dan PncA untuk resistensi pirazinamid. MDR-TB adalah akibat akumulasi dari mutasi-mutasi tersebut (Siregar, 2015). Mekanisme resistansi obat anti tuberkulosis lini pertama diantaranya: a. Rifampisin
Rifampisin merupakan obat yang paling poten dan memiliki spektrum luas diantara obat antituberkulosis yang digunakan saat ini. Sejak ditemukan pada tahun 1968 untuk terapi tuberkulosis, maka durasi pengobatan tuberkulosis menjadi singkat. Obat ini dapat berdifusi secara bebas ke dalam jaringan, sel manusia dan juga bakteri, menjadikannya sangat efektif untuk membunuh bakteri intraseluler seperti M tuberculosis. Bakteri memiliki enzim RNA polymerase yang berfungsi dalam proses transkripsi. Sebagaimana diketahui, RNA polymerase yang dimiliki oleh M. tuberculosis tersusun oleh lima macam sub unit, yaitu: α, β, β’, ω dan σ. Kelima sub unit ini akan membantuk enzim fungsional yang berfungsi untuk melakukan transkripsi pada M. tuberculosis. Lima subunit tersebut dikode oleh lima macam gen independen yaitu: rpoA, rpoB, rpoC, rpoZ dan rpoD. Molekul rifampisin berikatan dengan subunit β RNA polymerase yang dimiliki oleh M. tuberculosis. Dengan demikian rifampisin menghambat proses 13
transkripsi bakteri, dengan hasil akhir kegagalan sintesis protein yang diperlukan oleh bakteri. Obat ini bersifat bakterisidal terhadap M. tuberculosis yang sedang membelah maupun yang tidak sedang membelah diri. Umumnya M. tuberculosis sensitif terhadap 0,1 – 2 mg/L rifampisin. Sebagian besar isolat klinis M. tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin memiliki mutasi pada gen rpoB yang mengkode subunit β. Mutasi ini menyebabkan terjadinya perubahan konformasi subunit β dengan akibat penurunan afinitas terhadap rifampisin. Dengan demikian mekanisme penghambatan kerja RNA polymerase oleh rifampisin menjadi terganggu. Telah banyak dilaporkan mutasi titik pada gen rpoB yang bertanggungjawab pada resistensi M. tuberculosis terhadap rifampisin. Data menunjukkan bahwa terdapat zona “hot spot” pada gene rpoB yang ditemukan pada sebagian strain resisten terhadap rifampisin, yaitu meliputi 81 bp antara codon 507 hingga 533. Mutasi yang dilaporkan sebagian besar terjadi pada daerah ini. Namun demikian data lebih lanjut menunjukkan bahwa mutasi pada daerah hot spot gen rpoB ini tidak sepenuhnya dapat bekerja sendiri dalam menginduksi resistensi M. tuberculosis terhadap rifampisin. Percobaan dengan melakukan penyisipan gen mutan pada strain M. tuberculosis menunjukkan bahwa tidak semua strain yang disisipi gen mutan dapat menujukkan fenotip rensisten terhadap rifampisin yang sama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mutasi pada gen rpoB tidak dapat menimbulkan perubahan fenotipik resisten terhadap rifampisin tanpa adanya latar belakang genetik pendukung yang sesuai pada strain tertentu. b. Isoniazid
Isoniazid (INH), atau isonicotinic acid hydrazide, C8H7 N3O, adalah obat utama pada regimen terapi tuberkulosis. INH direkomendasikan untuk terapi tuberkulosis sejak tahun 1952, dan masih dipertahankan hingga sekarang. INH aktif terhadap M. tuberculosis, M. bovis dan M. kansasii, bersifat bakterisidal pada basil yang aktif dan bakteriostatik pada kuman yang metabolismenya tidak aktif. INH 14
masuk ke dalam sel M. tuberculosis dalam bentuk pro-drug, bahan yang belum aktif sebagai obat. Kemudian INH akan diubah menjadi metabolit yang aktif sebagai zat antituberculosis oleh enzim katalase-peroksidase (katG) yang dimiliki oleh bakteri. Bersama dengan NAD+/NADH, isonicotinoyl radical akan membantuk isoniazid NADH adduct, suatu bahan yang memiliki daya antimikobakterium. Mekanisme aksi INH dalam membunuh M. tuberculosis adalah dengan mengganggu sintesis asam mikolat, suatu komponen utama dari dinding sel. Dilaporkan juga kemungkinan kemampuan INH dalam menghambat sintesis asam nukleat. Belakangan diketahui juga bahwa efek antimikobakterium INH ini diperkuat oleh adanya radikal NO yang terbentuk pada saat aktivasi INH oleh katG. Ketiga mekanisme ini secara bersama-sama menciptakan kemampuan antimikobakterial INH. Data yang terakumulasi menunjukkan pentingnya peran katG dalam mekanisme aksi INH. katG dikode oleh gen katG. Hampir 50% mutasi yang melibatkan gen katG berasosiasi dengan resistensi M. tuberculosis terhadap INH. Isolasi isolat klinis dengan fenotip resisten terhadap INH yang memiliki mutasi pada gen katG sudah banyak dilaporkan. Sebagian besar adalah mutasi Ser315Thr yang mencakup hampir 40-64.2% dari seluruh mutan katG. Mutan Ser315Thr memiliki karakteristik kehilangan kemampuan mengubah INH menjadi bahan aktif meskipun masih memiliki aktivitas katalaseperoksidase yang menurun hingga 50%. Hal ini ditunjukkan dengan eksperimen in vitro menggunakan metode site-directed mutagenesis. Namun demikian, terdapat beberapa data yang menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya karakteristik M. tuberculosis resisten terhadap INH ini disebabkan gangguan pada katG. Mekanisme resistensi terhadap INH tidak dapat sepenuhnya dibuktikan berkaitan dengan terbentuknya INH-NADH adduct. Mutasi pada gen inhA ditemukan pada 20,3% dari isolat klinik resisten terhadap INH. Gen inhA mengkode protein inhA yang berperan dalam sintensis asam mikolat, komponen spesifik yang ditemukan pada dinding sel M. tuberculosis. InhA diketahui merupakan target dari INH sebagai obat anti tuberkulosis. Mutasi pada gen inhA sebagian besar ditemukan 15
pada regio promotor (1,189 dari 6,192 isolat resisten INH). Selain itu dilaporkan juga mutasi pada coding region gen inhA dengan frekuensi yang lebih jarang. c. Pirazinamid
Pirazinamid merupakan obat yang penting dalam mengurangi jangka waktu terapi tuberkulosis yang mestinya 9-12 bulan menjadi hanya 6 bulan saja. Hal ini disebabkan oleh kemampuan antituberkulosis yang unik, yaitu kemampuan untuk membunuh kuman yang dalam kondisi semi-dorman pada kondisi pH asam. Kemampuan ini tidak dimiliki oleh obat antituberkulosis yang lainnya. Pirazinamid merupakan pro-drug yang diubah oleh pirazinamidase menjadi bahan aktifnya, pyrazinoic acid. Enzim pirazinamidase dikode oleh gen pncA. Pyrazinoic acid ini akan mengganggu sistem transport membran sel bakteri. Pirazinamid masuk ke dalam sel bakteri dengan proses difusi pasif. Setelah diubah menjadi pyrazinoic acid diekskresikan oleh sistem pompa efflux keluar sel. Dalam lingkungan asam protonated pyrazinoic acid akan diabsorbsi dan terakumulasi di dalam sel yang menyebabkan terjadinya kerusakan sel. Gen pncA yang mengkode enzim pirazinamidase memiliki peran sentral dalam mekanisme aksi pirazinamid pada M. tuberculosis. Data yang terkumpul menunjukkan bahwa mutasi pada gen pncA paling banyak ditemukan pada isolat M. tuberculosis resisten pirazinamid. Banyak laporan mendokumentasikan bahwa antara 72% -95% isolat klinik M. tuberculosis memiliki mutasi pada gen pncA. Meskipun demikian terdapat laporan bahwa tidak semua M. tuberculosis yang resisten terhadap pirazinamid memiliki mutasi pada gen pncA. Demikian pula dengan mutasi pada pncA, terdapat laporan yang menunjukkan adanya mutasi pada pncA, pada isolat M. Tuberculosis yang sensitif terhadap pirazinamid. d. Etambutol
Etambutol,
(+)-2,2’-(ethylenediimino)di-1-butanol,
adalah
obat
antituberkulosis lini pertama yang memiliki efek bakteriostatik pada M. tuberculosis yang aktif bereplikasi dan tidak memiliki efek pada basil yang tidak bereplikasi dan 16
dorman. Studi menunjukkan bahwa mekanisme aksi etambutol adalah mengganggu struktur dinding sel M. tuberculosis dengan cara mengganggu polimerisasi arabinan, suatu komponen pembentuk arabinogalactan dan lipoarabinomannan. Sebuah enzim yang dikode oleh gen embB yaitu arabinosyl transferase merupakan molekul target etambutol. Enzim ini berperan penting pada sintesis arabinogalactan. Pada M. tuberculosis, embB tersusun di dalam 10kb operon embCAB dengan embC dan embA di dalamnya. Mutasi pada operon embCAB terutama pada gen embB ditengarai sebagai mekanisme yang bertanggungjawab terhadap resisntensi M. tuberculosis terhadap etambutol. Penelitian berhasil mengklon locus emb dari M. avium resisten etambutol. Selanjutnya locus emb ditransfer ke dalam M.smegmatis. Hasilnya menunjukkan terjadinya perubahan sifat M. smegmatis yang menjadi resisten terhadap etambutol. Sifat resisten ini berkorelasi dengan tingkat ekspresi dari emb, semakin tinggi jumlah kopi gen ini, semakin tinggi pula tingkat resistensinya. Mutasi pada kodon 306 gen embB merupakan mutasi yang paling banyak ditemukan (>86%), yang kemudian lazim disebut sembagai ethambutol resistance determining region (ERDR). Mutasi di kodon lainnya sangat jarang dijumpai. Telah dilaporkan adanya lima mutasi titik paling sering ditemukan pada kodon 306 yaitu: (ATGGTG), (ATG-CTG), (ATG-ATA), (ATG-ATC) dan (ATG-ATT). Kelima mutasi ini berkontribusi pada 70-90% isolat M. Tuberculosis yang resisten terhadap ethambutol. e. Streptomisin
Streptomisin, suatu aminocyclitol glycoside, direkomendasikan oleh WHO sebagai obat antituberkulosis lini pertama alternatif. Streptomisin bekerja pada ribosom yang esensial untuk sintesis protein bakte ri. Streptomisin berinteraksi dengan 16S rRNA dan S12 ribosomal protein yang berakibat perubahan pada ribosom dengan hasil akhir terjadinya gangguan pembacaan kodon saat translasi. Dengan demikian maka sintesis protein pada bakteri menjadi terganggu. Streptomisin membunuh M. tuberculosis yang sedang aktif membelah diri, namun tidak berefek 17
pada bakteri yang tidak tumbuh dan berada di dalam sel. Sebanyak 65-67% isolat klinik M. tuberculosis yang resisten terhadap streptomisin memiliki mutasi pada gen rrs yang mengkode 16S RNA and rpsL yang mengkode S12 ribosomal protein. Dilaporkan juga adanya mutasi pada gen selain rrs dan rpsL. Mutasi pada gen rpsL paling sering terjadi pada kodon 43 (AAG→AGG/ACG; K→R/T) dan kodon 88 (AAG→AGG/CAG; K→R/Q). Selain itu diduga terdapat mekanisme lain yang melibatkan perubahan permeabilitas sel bakteri. Terdapat asosiasi antara mutasi yang terjadi pada gen rrs dan rpsL dengan tinggi rendahnya tingkat resistensi terhadap streptomisin. Mutasi gen rspL ditemukan lebih banyak pada isolat dengan resistensi tingkat tinggi berdasarkan MIC yang ditunjukkan oleh isolat klinik tersebut. Tingkat resistensi sedang dijumpai pada isolat dengan mutasi pada gen rrs. Sementara mutasi pada gen lain dan juga perubahan permeabilitas sel biasa dijumpai pada isolat kinik yang memiliki tingkat resistensi rendah (Sumardi et al ., 2015). Tabel 2.2 Obat TB lini pertama dan kedua, gen yang terlibat dalam aktivasi dan mekanisme resistansi.
(Sumber: Palomino, J. dan Martin, A., 2014)
18
2.6 Diagnosis
Terduga TB-MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB yang memenuhi satu atau lebih kriteria terduga/suspek di bawah ini: 1. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2 2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak terjadi konversi setelah 3 bulan pengobatan 3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan 4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal 5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan 6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2 7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default) 8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR 9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT Langkah pertama dalam mendiagnosis TB MDR adalah mengenali pasien dengan risiko dan mempercepat diagnosis laboratoris. Mengenali pasien dengan faktor risiko secara epidemiologis, gejala, temuan pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. Sekali TB dicurigai, dahak atau spesimen lain dikumpulkan untuk TB nucleic acid amplification testing (NAAT), acid-fast bacilli (AFB) smear atau pewarnaan Ziehl-Neelsen, deteksi pertumbuhan dan drug-susceptibility testing (DST) atau tes kerentanan obat. Kemungkinan TB MDR dapat diketahui secara simultan dengan pengumpulan spesimen dan seleksi regimen pengobatan sejak awal. Kegagalan untuk mempertimbangkan kemungkinan TB-MDR sampai hasil DST konvensional keluar berminggu-minggu sampai berbulan-bulan kemudian dapat mengakibatkan regimen obat yang tidak memadai, amplifikasi resistansi obat, dan penambahan penularan penyakit. Memprediksi siapa yang berisiko sebelum
19
kembalinya hasil DST konvensional adalah langkah awal dalam deteksi dini resistensi obat. Identifikasi resistansi obat dengan cepat pada pasien dengan TB sangat penting untuk: 1. Mengobati pasien dengan regimen paling tepat 2. Meminimalkan transmisi/ penularan 3. Mencegah terjadinya resistansi obat lebih lanjut 4. Menawarkan perawatan yang tepat untuk berinteraksi dengan orang lain 5. Memberikan kesempatan penyembuhan terbaik Penilaian risiko untuk resistansi obat yaitu melihat prediktor yang paling penting untuk TB MDR diantaranya: • Episode pengobatan TB sebelumnya • Memburuknya temuan klinis dan / atau radiografi saat menjalani terapi TB • Asal dari, riwayat tinggal di, atau sering bepergian ke suatu wilayah atau negara dengan prevalensi tinggi TB MDR • Paparan dari orang yang diketahui (atau sangat dicurigai) infeksi TB MDR atau terpapar
pada
individu
di
tempat
tinggal
dimana
resistansi
obat
telah
didokumentasikan. a. Faktor risiko pada orang dengan riwayat TB sebelumnya
Kecurigaan TB MDR harus dilakukan tes molekuler cepat bagi resistansi obat jika pasien memiliki 1 atau lebih karakteristik berikut pada pengobatan saat ini atau sebelumnya: • Tidak adanya konversi biakan menjadi negatif selama 3 bulan pertama terapi • Tidak adanya perbaikan atau hanya perbaikan parsial pada gejala TB • Memburuknya gejala TB atau temuan radiografi meskipun dengan pengobatan TB • Ketidaktaatan terhadap regimen anti-TB yang ditentukan • Tidak adanya pengawasan langsung pengobatan (DOT) atau terapi diawasi dengan buruk 20
• Kegagalan pengobatan atau relaps yang terdokumentasi. Risiko dugaan resistansi yang didapat pada kasus kambuh secara signifikan lebih rendah jika penggunaan DOT berkualitas tinggi dengan regimen yang sesuai dapat diverifikasi, namun tes molekuler yang cepat masih harus diperoleh. • Riwayat regimen pengobatan yang tidak tepat, termasuk: - Pemberian terapi obat tunggal - Terlalu sedikit obat yang efektif - Dosis obat yang tidak adekuat b. Faktor risiko pada orang tanpa riwayat TB sebelumnya
Kecurigaan klinis terhadap resistansi obat harus tetap ada dan tes molekuler cepat untuk resistansi obat harus dipertimbangkan saat pasien dengan tanda dan gejala TB memiliki riwayat 1 atau lebih dari yang berikut ini: • Paparan dari orang dengan TB MDR • Paparan terhadap orang yang sangat dicurigai memiliki TB MDR, termasuk mereka yang telah menerima lebih dari satu program pengobatan TB, pengobatan berkepanjangan atau yang mendapat tanggapan tertunda terhadap pen gobatan • Tinggal di atau melakukan perjalanan ke daerah dengan prevalensi TB MDR • Tinggal atau bek erja di institusi atau tempat di mana TB MDR didokumentasikan • Pengobatan masalah paru dengan beberapa obat-obatan berkepanjangan atau agen suntik selama lebih dari beberapa minggu di negara asing. Yaitu, pasien mungkin tidak menyadari bahwa dia dirawat karena TB c. Pertanyaan untuk ditanyakan kepada pasien
Meminta riwayat pengobatan TB sebelumnya memerlukan banyak kesabaran dan perhatian untuk mendapatkan info yang detail. Dalam situasi rahasia, biarkan banyak waktu, gunakan penerjemah medis yang ak urat dan tidak bias (jika perlu), dan bersedia mengulang atau mengulang pertanyaan untuk mendapatkan informasinya. Berikan dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan informasi yang akurat dengan meminta dan menanggapi dengan cara yang tidak menghakimi. Tanyakan 21
kepada pasien apakah dia memiliki informasi tertulis mengenai perawatannya, radiografi sebelumnya, dll. • Sudahkah Anda diberi tahu bahwa Anda pernah menderita TB se belumnya? • Apakah Anda pernah diobati untuk TB? • Sudahkah Anda menerima suntikan atau antibiotik selama berbulan-bulan untuk masalah paru-paru? Jika pasien menjawab "ya" untuk setiap pertanyaan yang mengindikasikan bahwa dia mungkin pernah diobati sebelumnya untuk TB, jenis pertanyaan berikut harus diminta untuk mendapatkan lebih banyak informasi mengenai perawatan sebelumnya: • Di mana Anda dirawat? • Obat apa yang Anda terima? • Berapa banyak obat yang berbeda? Berapa banyak pil setiap hari? Apa ukuran dan warna pil / kapsul? • Apakah Anda menerima suntikan? • Berapa lama Anda menjalani perawatan? • Apakah Anda mengatakan bahwa Anda telah sembuh? Apakah TB Anda per nah kambuh? • Berapa kali Anda diobati untuk TB? • Kapan Anda memulai? • Kapan Anda berhenti? Mengapa Anda berhenti (menyelesaikan pengobatan, reaksi buruk terhadap obatnya)? • Sulit diingat untuk minum obat setiap hari. Apakah Anda minum obat setiap hari? Setiap pil? • Obat TB bisa mahal. Apakah Anda pernah tanpa pengobatan? • Apakah Anda sering melewatkan pengobatan? Seberapa sering? • Apakah petugas kesehatan memperhatikan Anda mengkonsumsi obat-obatan Anda? • Apakah urine Anda berubah oranye? • Apakah Anda merasa lebih baik? 22
• Apakah Anda pernah memiliki dahak yang dikumpulkan untuk pengujian? Apa hasilnya? • Jika positif, apakah tes dahak Anda membaik pada pengobatan (perubahan dari positif ke negatif)?
Apakah dokter Anda pernah memberi tahu Anda: Bahwa Anda harus dirawat untuk TB lebih lama? Bahwa TB Anda telah kambuh? Bahwa Anda harus mengulang
pengobatan TB? Bahwa Anda memiliki TB yang resistan terhadap obat? • Apakah gejala TB Anda kambuh setelah selesai pengobatan? Jika pasien menjawab "tidak" terhadap pertanyaan yang mengindikasikan bahwa dia mungkin pernah diobati sebelumnya untuk TB, jenis pertanyaan berikut harus diminta untuk mengevaluasi apakah pasien telah terpajan TB MDR: • Pernahkah Anda terpapar atau pernah berhubungan dengan orang dengan TB (atau yang mungkin sakit dengan batuk kronis)? • Jika iya, kapan itu? Dimana Anda terpapar? Untuk berapa lama Anda terpapar? • Siapa nama dan berapa umur pasien itu? Dimana dia dirawat? Berapa lama dia dirawat? Apakah dia sembuh? • Apakah Anda memiliki tes kulit atau tes darah untuk TB? Anda tahu hasilnya? • Apakah Anda memiliki rontgen dada? Anda tahu hasilnya? • Apakah Anda menerima obat untuk mencegah TB? Jika ya, obat apa dan untuk berapa lama? Apakah Anda datang ke klinik untuk mendapatkan obat di mana petugas kesehatan mengamati Anda minum pil, atau petugas kesehatan bertemu dengan Anda dan memberi obat? • Apakah Anda menderita batuk, demam, penurunan berat badan, atau gejala lainnya? • Jika ya, kapan gejala itu mulai? • Pernahkah Anda memberi spesimen dahak untuk memeriksa TB? d. Menguji resistansi obat
Diagnosis pasti TB MDR mengharuskan M. tuberkulosis kompleks diisolasi dan hasil tes kerentanan obat diselesaikan dan disampaikan ke dokter. Pejabat 23
pengawas TB negara bagian dan / atau lokal harus diberitahu segera bila resistansi obat diduga kuat atau dikonfirmasi. Berbeda dari teknik konvensional, teknik DST berbasis pertumbuhan dapat digunakan. Dengan semua teknik, deteksi pertumbuhan dan identifikasi M. tuberkulosis kompleks mungkin memakan waktu beberapa minggu, dan DST memerlukan waktu 1 sampai 3 minggu tambahan. Pertumbuhan lambat beberapa strain mikobakteri (karakteristik umum yang dicatat pada banyak strain MDR-TB) memperpanjang waktu untuk identifikasi dan DST. Keterlambatan dalam melaporkan konfirmasi kultur dan / atau hasil tes kerentanan obat ke penyedia perawatan dapat menunda diagnosis TB MDR dan menunda memulai perawatan yang tepat, sehingga menimbulkan risiko penularan yang terus berlanjut. Dalam interpretasi hasil tes kerentanan obat M. tuberculosis kompleks, uji klinis telah memastikan bahwa ketika diuji di media padat, jika lebih dari 1% organisme dalam populasi resistan terhadap obat tertentu, keberhasilan klinis dengan obat tersebut mungkin kurang terjadi. Interpretasi hasil DST berbasis pertumbuhan untuk mikobakteri agak berbeda dari kebanyakan patogen lainnya. Dalam kasus terakhir, klinisi membandingkan konsentrasi hambat minimum (MIC) patogen dengan tingkat serum yang dapat dicapai. Jika dosis aman antibiotik akan membunuh bakteri pada pasien, obat tersebut bisa berhasil digunakan. Penafsiran uji kerentanan untuk mikobakteri tidak begitu mudah; Beberapa variabel mempersulit prosesnya: 1) mikobakteri dapat berada di dalam atau di luar sel manusia; 2) mikobakteri memiliki waktu replikasi yang lama dan mungkin ada terus menerus antara keadaan pasif dan aktif; Dan 3) mikobakteri dapat hidup dalam berbagai jenis jaringan dimana obat-obatan mungkin memiliki tingkat penetrasi yang berbeda. Konsentrasi yang merupakan titik balik antara strain yang resisten dan rentan disebut "konsentrasi kritis." Konsentrasi kritis adalah tingkat obat yang menghambat jenis strain “liar ” (strain yang belum terpapar obat TB) M. tuberculosis kompleks, 24
tapi tidak cukup menekan pertumbuhan strain resistan. Konsentrasi kritis mungkin berbeda tergantung medium yang digunakan untuk pengujian. Jika, di media padat, lebih dari 1% populasi strain tumbuh pada konsentrasi obat yang kritis untuk media tertentu, isolat tersebut dianggap resistan terhadap obat tersebut dan obat lain harus digunakan dalam regimen tersebut. Sadarilah bahwa isoniazid [INH], streptomisin [SM], dan fluoroquinolones dapat diuji pada konsentrasi rendah dan tinggi dan mungkin masih mempertimbangkan penggunaan obat yang hanya menunjukkan resistansi tingkat rendah. e. Tes molekuler untuk identifikasi resistansi obat
Tes molekuler untuk identifikasi resistansi obat dapat mempercepat waktu dari minggu ke 1-2 hari untuk mengidentifikasi adanya resistansi obat. Semua tes molekuler mendeteksi mutasi pada DNA mikobakteri yang diketahui menyebabkan resistansi terhadap obat anti-TB spesifik. Karena mekanisme resistansi pada tingkat molekuler tidak sepenuhnya dipahami, tes molekuler saat ini tidak dapat mendeteksi semua resistansi obat. DST berbasis pertumbuhan harus dilakukan saat isolat tersedia. Tes saat ini meliputi: • Uji MTB / RIF Xpert: Selain mendeteksi M. tuberkulosis kompleks, Xpert MTB / RIF juga mendeteksi mutasi pada gen rpoB yang memberikan resistansi RIF dan saat ini merupakan satu-satunya tes molekuler non-sekuens untuk resistansi obat yang disetujui oleh FDA. Deteksi resistansi RIF adalah prediktif TB-MDR karena monoresistans RIF relatif jarang terjadi. Meski akurasi tinggi, hasil false-positive bisa terjadi. Hasil positif yang tidak terduga untuk keadaan klinis (misalnya, hasil positif untuk resistansi RIF pada pasien tanpa faktor risiko resistansi obat) memerlukan tinjauan lebih dekat, pertimbangkan konsultasi dengan para ahli. Tes molekular cepat untuk resistansi obat harus dilakukan dalam semua kasus yang diidentifikasi sebagai risiko TB MDR (Tabel 2.2). Identifikasi resistansi obat dengan cepat juga ditunjukkan dalam situasi di mana identifikasi resistansi sebelumnya memberi keuntungan medis yang signifikan atau dalam situasi tertentu 25
dimana metode molekuler mungkin memiliki keuntungan dibandingkan pengujian laboratorium konvensional. Tabel 2.3 Indikasi Tes Resistansi Molekuler Meningkatnya
risiko - Pasien yang lahir atau yang telah menghabiskan waktu
resistansi obat
yang signifikan (misalnya, lebih dari 1 bulan) di negaranegara dengan prevalensi resistansi obat yang tinggi • Mengetahui kontak dengan kasus TB-MDR (atau kasus yang sangat mencurigakan ke arah resistansi obat) • Pasien tidak mer espon dengan regimen saat ini • Pasien yang pernah dirawat sebelumnya dan kambuh
Meningkatnya
• Kasus di tempat tinggal atau tempat lain dengan sejumlah
konsekuensi resistansi besar kontak (mis., Fasilitas pemasyarakatan, fasilitas obat
kesehatan, sekolah) • Pasien yang resistan terhadap obat yang tidak dikenal mungkin memiliki konsekuensi signifikan karena usia muda
(kurang
dari
5
tahun)
atau
status
immunocompromised Masalah laboratorium
• Kultur ter campur dengan bakteri lain (DST konvensional akan tertunda atau tidak mungkin dilakukan sama sekali) • AFB BTA-positif tapi kultur negatif (tes molekuler dapat memberikan hasil kerentanan obat meski tidak mengalami pertumbuhan) • Spesimen patologi yang awalnya tidak dikirim ke laboratorium mycobacteriology
Prioritas program
• Skrining TB-MDR secara universal melalui pengujian molekuler yang cepat untuk semua pasien TB NAAT atau BTA-positif mungkin tersedia di beberapa wilayah untuk
26
mengidentifikasi kasus TB yang resistan terhadap obat sebelumnya Meskipun ada keuntungan signifikan yang ditawarkan oleh penambahan uji molekuler yang cepat, uji kerentanan berbasis pertumbuhan tetap merupakan uji diagnostik integral untuk memastikan hasil molekuler dan untuk menyelidiki kerentanan
terhadap
obat
yang
mana
deteksi
molekuler
resistansi
belum
dimungkinkan (Brown et.al ., 2016). Bila resistansi terhadap RIF atau lebih dari satu obat lini pertama (INH, RIF, pyrazinamide [PZA], atau EMB) ditemukan, DST harus diminta untuk spectrum luas agen lini kedua. Amikasin, capreomisin, fluoroquinolon (levofloksasin atau moksifloksasin), dan etionamida adalah obat lini kedua minimum yang akan diuji. Laboratorium yang lebih sedikit melakukan pengujian untuk sikloserin, asam paraaminosalicyclic, rifabutin, linezolid, clofazimine, dan agen lainnya, namun ini juga penting dalam beberapa situasi klinis. f. Alur Diagnosis
Diagnosis TB Resistan Obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. Tuberkulosis dengan metode standar yang tersedian di Indonesia yaitu metode tes cepat (rapid test ) dan metode konvensional. Saat ini ada dua metode tes cepat yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan Gen eXpert (uji kepekaan untuk rifampisin) dan LPA (uji kepekaan untuk rifampisin dan isoniazid). Sedangkan metode konvensional yang digunakan adalah Lowenstein Jensen/LJ dan MGIT. Dengan tersediannya alat diagnosis TB Resistan Obat dengan metode cepat, maka alur diagnosis TB Resistan Obat yang berlaku di Indonesia adalah pada Gambar 2.1 berikut
27
Gambar 2.3 Alur Diagnosis TB Resistan Obat (Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014) Keterangan dan tindak lanjut setelah penegakkan diagnosis; a.
Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 (satu) spesimen dahak untuk pemeriksaam GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan 28
2 spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan sediaan apus sputum BTA, pemeriksaan biakkan dan uji kepekaan. b. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi terhadap kemungkinan lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai selesai. Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi secara klinis terdapat kecurigaan kuat terhadap TB MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesimen dahak yang memenuhi kualitas pemeriksaan. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya. c. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan tatalaksana pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya. d. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai pengobatan standar TB MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman Mtb. e. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium tuberculosis (Mtb tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus. Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2, maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika laboratorium rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk mengetahui pola resistansi kuman TB lainnya. f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil pemeriksaan uji kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi dasar penegakan diagnosis. 29
g. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji kepekaan menunjukkan adanya tambahan resistan terhadap INH), catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan pengobatan TB MDR-nya. h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji kepekaan menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin), sesuaikan paduan pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan pengobatan TB XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR. Catatan: Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria terduga TB Resistan obat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil Rifampisin Resistan, ulangi pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesimen dahak yang baru. Jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan untuk tindak lanjut berikutnya. 2.7 Terapi a. Klasifikasi obat anti tuberkulosis
Obat anti tuberkulosis secara klasik dikategorikan ke dalam obat lini pertama, kedua, dan ketiga, yang merupakan sistem utama yang digunakan dalam pedoman A.S. dan dalam Panduan Survival ini. Obat lini pertama secara tradisional adalah obat yang digunakan sebagai obat inti dalam pengobatan TB yang rentan terhadap obat. Obat lini kedua meliputi fluoroquinolones, aminoglikosida / polipeptida, dan obat lain yang digunakan untuk mengobati TB yang resistan terhadap berbagai jenis obat (MDR-TB). Obat lini ketiga juga digunakan untuk mengobati TB yang resistan terhadap obat namun biasanya memiliki aktivitas lebih sedikit, reaksi yang lebih buruk, dan sedikit bukti yang mendukung penggunaannya daripada obat lini pertama dan kedua. Sistem klasifikasi yang diadopsi oleh World Health Organization (WHO) selanjutnya membagi obat menjadi 5 kelompok. Sistem 5 kelompok didasarkan pada kemanjuran, pengalaman penggunaan, keamanan, dan kelas obat. Hubungan antara 30
kedua sistem klasifikasi ini, dan obat anti-tuberkulosis utama yang saat ini digunakan secara global, ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Perbandingan antara klasifikasi berbasis standar A.S. dan sistem klasifikasi WHO untuk obat anti-tuberkulosis (Sumber: Brown et al., 2016) b. Terapi TB-MDR
Pengobatan TB-MDR, yang didefinisikan sebagai resistansi terhadap setidaknya INH dan RIF, memerlukan regimen multidrug berkepanjangan. Laporan terbaru tentang hasil pengobatan untuk TB-MDR menggambarkan hasil yang lebih baik dalam hal tingkat kematian, kegagalan pengobatan, dan TB kambuhan yang lebih rendah, dan tingkat konversi sputum yang lebih cepat pada mereka yang menerima setidaknya 5 obat efektif yang dibandingkan dengan 4 obat efektif. Dengan mempertimbangkan bukti terkini dan pendapat ahli A.S., Panduan Survival ini merekomendasikan 4-6 kemungkinan obat yang efektif (dan paling optimal minimal 5) untuk pengobatan TB-MDR. Empat obat mungkin cukup dalam beberapa kasus dengan keterbatasan penyakit dan / atau tingkat resistensi terbatas (misalnya, pasien dengan kelenjar getah bening yang hanya resistan terhadap INH dan RIF). Gambar
31
2.4 menjelaskan pendekatan langkah-bijaksana untuk membangun regimen TB-MDR individual.
Gambar 2.5 Langkah Menentukan Regimen TB-MDR (Sumber: Brown et al ., 2016) Durasi terapi yang optimal tidak diketahui. Berdasarkan pendapat ahli, pedoman ATS / IDSA / CDC tahun 2003 merekomendasikan terapi 18-24 bulan tergantung pada tingkat pola penyakit dan resistansi. Edisi sebelumnya dari Survival Guide ini memperluas rekomendasi ini untuk menyarankan durasi pengobatan minimum untuk TB-MDR selama 18-24 bulan di luar hasil konversi. Pedoman A.S.
32
yang baru yang secara khusus menangani penanganan TB yang resistan terhadap obat sedang dalam pengembangan, seperti juga pada rekomendasi 2011 oleh WHO. Satu-satunya penelitian yang telah mencoba untuk menentukan durasi terapi yang optimum adalah meta-analisis pasien individu yang digunakan oleh WHO untuk merumuskan rekomendasi pengobatan 2011: • WHO merekomendasikan agar pasien dengan TB-MDR diobati dengan setidaknya 4 obat yang efektif dan juga PZA selama fase intensif, yang obat suntikan dapat diberikan. • Obat-obatan yang mungkin efektif adalah obat yang belum pernah dikonsumsi sebelumnya oleh pasien dan / atau kerentanan secara in vitro telah didokumentasikan. • Regimen harus mencakup injeksi (AK, CM, KM), generasi fluoroquinolon yang lebih tinggi, ETA, dan CS atau PAS (jika CS tidak dapat digunakan), dan PZA. • Pada pasien dengan organisme yang sangat resistan, obat golongan 5 mungkin diperlukan. Ini harus dipilih dengan berkonsultasi dengan seseorang yang telah berpengalaman menggunakan obat ini untuk mengobati TB-MDR. Rekomendasi WHO untuk durasi terapi: • Fase intensif minimal harus berlangsung selama 8 b ulan. • Durasi terapi total harus paling sedikit 20 bulan pada mereka yang belum pernah diobati untuk TB-MDR, dan setidaknya 24 bulan di antaranya sebelumnya diobati untuk TB-MDR. Ada kekhawatiran mengenai penerapan meta-analisis pasien individual WHO terhadap perawatan TB yang resistan berdasar pedoman A.S. Lebih banyak bukti untuk panduan praktik pada durasi pengobatan optimal dengan menggunakan pendekatan individual (berdasarkan fenotipik dan genotipik DST) diperlukan. Dengan kemampuan untuk diagnosis lebih awal dengan menggunakan metode molekuler yang cepat, penerapan LZD yang berhasil dan lebih aman, dan tingkat keberhasilan pengobatan yang kuat, konsensus ahli AS terus mendukung pemanfaatan hasil konversi sebagai panduan utama untuk durasi pengobatan minimum. 33
Durasi terapi yang disarankan, berdasarkan pendapat dan praktik pakar A.S. saat ini seperti TB yang rentan terhadap obat, pengobatan biasanya dibagi menjadi dua periode: fase intensif dan fase lanjut. Fase intensif adalah periode awal dimana agen injeksi diberikan. Periode perlakuan setelah agen injeksi diberikan disebut sebagai fase lanjutan. • Fase intensif: direkomendasikan setidaknya 6 bulan di luar hasil konversi kultur untuk penggunaan agen suntik. • Durasi pengobatan total: direkomendasikan setidaknya 18 bulan di luar hasil konversi. Mungkin ada pasien yang memiliki durasi terapi yang lebih singkat, karena hasil pengobatan yang baik dengan terapi 9-12 bulan telah dilaporkan. Beberapa ahli akan menggunakan durasi pengobatan yang lebih pendek pada pasien dengan penyakit radiografi minimal, beban bacillary rendah, dan anak-anak. Studi telah menunjukkan bahwa, pada pasien yang telah terjadi konversi menjadi negatif dalam 2-3 bulan, maka keberhasilan pengobatan sangat mungkin untuk dicapai. Desain regimen pengobatan bisa sulit dan harus memperhitungkan beberapa faktor. Saat membangun regimen pengobatan, harus mempertimbangkan: • Hasil kepekaan obat in vitro • Cross-resistance • Apakah pasien telah mengkonsumsi obat tersebut sebelumnya • Potensi masalah toksisitas atau tolerabilitas obat yang tumpang tindih (Brown et al ., 2016). Cara yang rasional untuk memilih obat anti-TB secara tepat adalah menggunakan obat dari yang paling kuat efek bakterisidnya dengan toksisitas paling rendah sampai yang paling lemah dengan toksisitas paling tinggi. Pemilihan obat untuk kasus MDR TB antara lain menggunakan obat lini I jika masih efektif, satu obat injeksi, mempergunakan obat golongan flurokuinolon, menggunakan obat untuk kelompok 4 (lini II oral) sampai diperoleh empat jenis obat yang efektif, dan obat kelompok 5 untuk memperkuat regimen atau saat sebelum diperoleh empat jenis obat 34
yang efektif dari kelompok sebelumnya. Terapi MDR-TB menggunakan beberapa jenis obat sehingga menyebabkan beberapa permasalahan dalam hal toleransi terhadap obat-obatan tersebut. Respons masing-masing individu tidak dapat diprediksi, tetapi pengobatan tidak boleh dihentikan hanya karena ketakutan terhadap reaksi yang timbul (Reviono, 2014). Akhirnya pada Mei 2016, WHO mengeluarkan rekomendasi regimen pengobatan TB-MDR yang lebih pendek dengan tujuh obat dan durasi pengobatan adalah
9-12
bulan.
Diindikasikan
pada
pasien
TB-MDR,
TB-RR,
tanpa
memperhatikan usia pasien dan status HIV. Keuntungan yang lain adalah lebih hemat biaya pengobatannya. Kriteria eksklusi shorter MDR-TB regimen ini adalah resistan obat lini kedua, penyakit di luar paru dan kehamilan. Komposisi regimen yaitu: 4-6 Km-Mfx-Pto-Cfz-Z-H high-dose-E / 5 Mfx-Cfz-Z-E
Km: Kanamisin; Mfx: Moksifloksasin; Pto: Protionamid; Cfz: Klofazimin; Z: Pirazinamid; Hhigh-dose: high-dose Isoniazid; E: Etambutol WHO juga merekomendasikan langkah memilih regimen pengobatan TBMDR apakah konvensional ataukah shorter MDR-TB regimen. Kriteria yang harus dinilai:
Ketahanan yang dikonfirmasi atau dugaan ketidakefektifan obat pada regimen TB-MDR yang lebih pendek (kecuali resistansi isoniazid)
Paparan > 1 obat lini kedua dalam regimen TB-MDR yang lebih pendek selama > 1 bulan
Intoleransi terhadap > 1 obat dalam regimen TB-MDR yang lebih pendek atau risiko toksisitas (misalnya interaksi obat-obat terlarang)
Kehamilan
Penyakit ekstrapulmoner
Setidaknya satu obat dalam regimen MDR-TB yang lebih pendek tidak tersedia dalam program ini
35
Gambar 2.6 Langkah Menentukan Regimen Pengobatan TB-MDR (Sumber: WHO, 2016c)
Namun di Indonesia, pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar ( standardized treatment ), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR. a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah: Fase awal
Fase lanjutan
Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
Keterangan: Km
: Kanamisin 36
E
: Ethambutol
Eto
: Ethionamid
Lfx
: Levofloxacin
Z
: Pyrazinamide
Cs
: Sikloserin
Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut: 1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah sebagai berikut: Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar adalah sebagai berikut: Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut: Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR secara laboratoris. c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan. d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan. Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan (Kemenkes RI, 2014).
Tabel 2.4 Karakteristik Obat Lini Kedua untuk Pengobatan TB-MDR (Sumber: Seaworth, B. dan Griffith, D., 2017)
37
38
39
c. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR
Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak, demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan. Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. Tabel 2.5 Pemantauan Pengobatan TB-MDR
(Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014) d. Evaluasi Akhir Pengobatan TB MDR 1. Sembuh
a. Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR tanpa bukti terdapat kegagalan, dan
40
b. Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak pemeriksaan minimal 30 hari selama fase lanjutan. 2. Pengobatan Lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR tetapi tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal. 3. Meninggal
Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR 4. Gagal
Pengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan panduan pengobatan TB MDR yaitu ≥ 2 obat TB MDR yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi di bawah ini yaitu: a. Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir bulan ke-8 pengobatan. b. Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya konversi). c. Terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB MDR golongan kuinolon atau obat injeksi lini kedua. d. Terjadi efek samping obat yang berat.
5. Lost to F ollow-up Pasien terputus pengobatannya selama dua tahun berturut-turut atau lebih. 6. Tidak di Evaluasi Pasien yang tidak mempunyai/tidak diketahui hasil akhir pengobatan TB MDR termasuk pasien TB MDR yang pindah ke fasyankes di daerah lain dan hasil akhir pengobatan TB MDR nya tidak diketahui. e. Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap
Pemantauan juga dilakukan meskipun pasien sudah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dengan tujuan untuk mengevaluasi kondisi pasien pasca pengobatan. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan dahak, biakan dan foto toraks, dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun kecuali timbul gejala dan keluhan TB. 41
BAB 3. KESIMPULAN
Prevalensi kasus TB dengan resistansi OAT terutama TB-MDR terus meningkat. Faktor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu, pada setiap pasien harus dilakukan penilaian resiko kemungkinan terjadinya resistansi OAT. Selanjutnya terapi empiris harus segera diberikan pada pasien dengan resiko tinggi resistansi OAT, terutama pada pasien dengan keadaan penyakit berat. Pemilihan regimen OAT yang tepat sangat diperlukan untuk keberhasilan pengobatan dan mencegah bertambah banyaknya kasus TB-MDR maupun TB-XDR. Rekomendasi terbaru regimen pengobatan TB-MDR adalah shorter MDR-TB regimen dengan tujuh obat dan durasi pengobatan adalah 9-12 bulan. Diindikasikan pada pasien TB-MDR, TB-RR, tanpa memperhatikan usia pasien dan status HIV. Keuntungan yang lain adalah lebih hemat biaya pengobatannya. Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini
42
DAFTAR PUSTAKA
Dheda, Chang, Guglielmetti, Furin, Schaaf, Chesov, Esmail, dan Lange. 2016. Clinical Management of Adults and Children with MDR and XDR-TB. Clinical Microbiology and Infection, doi: 10.1016/j.cmi.2016.10.008. Brown, E., Dooley, D., dan Smith, K. 2016. Drug-Resistant Tuberculosis: A Survival Guide
for
Clinicians
(3rd
Edition). California:
Curry
International
Tuberculosis Center and California Department of Public Health. Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. Kemenkes RI. 2015. InfoDATIN: Tuberkulosis, Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta: Pusat Data dan Infromasi Kemenkes RI. Kemenkes RI. 2016. InfoDATIN: Tuberkulosis, Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta: Pusat Data dan Infromasi Kemenkes RI. Palimano, J. dan Martin, A. 2014. Drug Resistance Mechanism in Mycobacterium tuberculosis. Antibiotics, 3: 317-340. Reviono, Kusnanto, Eko, Pakiding, dan Nurwidiasih. 2014. Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB): Tinjauan Epidemiologi dan Faktor Risiko Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis. Majalah Kedokteran Bandung , 46 (4): 189196. Seaworth, B. Dan Griffith, D. 2017. Therapy of Multidrug-Resistant and Extensively Drig-Resistant Tuberculosis. MicrobiolSpectrum, 5(2): 1-28.
43