REFLEKSI KASUS
A. PENGALAMAN
Bulan Januari hingga awal Maret tahun 2010 terdapat 9 kasus ( laboratory confirmed ) leptospirosis yaitu 7 kasus di Bantul, 1 kasus di Kulon Progo dan 1 kasus di Sleman. Kasus kematian yaitu 4 orang, 3 orang berasal dari Bantul dan Sleman 1 orang (Dinkes Kab. Bantul, 2010). Penanganan penderita leptospirosis sering tidak optimal karena masalah yang tersering yaitu sulitnya menegakkan diagnosis, sehingga terjadi underdiagnosis atau misdiagnosis, mengingat miripnya gejala dan tanda infeksi
leptospirosis dengan penyakit lain (infeksi dengue, thypoid, heaptitis dll.) (PERSI, 2003). Kini, mulai digalakkan kembali penggunaan Kriteria Faine terutama di RS kecil dan layanan kesehatan primer untuk membantu mendiagnosa leptospirosis.
B. MASALAH YANG DIKAJI
1. Kriteria apa sajakah yang digunakan dalam kriteria Faine? 2. Bagaimanakah sensitifitas dan spesifisitas kriteria Faine dalam mendiagnosis kasus leptospirosis dibandingkan dengan metode diagnosis lain?
C. ANALISA KRITIS
1. Kriteria Faine Kriteria Faine mulai diperkenalkan WHO dalam Guideline for The Control of Leptospirosis pada tahun 1982. Di beberapa negara, kriteria ini dimodifikasi
berdasarkan berdasarkan kesesuaian dengan kondisi stempat. Kriteria Faine meliputi: Kriteria
Part A : Clinical Data Part A Sakit kepala Demam Suhu tubuh > 39 C Conjuctival suffusion Meningismus Nyeri otot Conjuctival suffusion + Meningismus + Nyeri otot Jaundice Albuminuria/ Retensi Nitrogen
1
Pembimbing: dr. H. Waisul Choroni T., Sp.Pd. Disusun oleh: Merita Arini, S.Ked (20050310075)
Skor
2 2 2 4 4 4 10
1 2
Kriteria
Skor
Part B: Epidemiological factors Kontak dengan hewan atau kontak dengan air yang diketahui terkontaminasi Part C: Bacteriological and Lab Findings Isolasi leptospira dari kultur Positive Serology (MAT) Leptospirosis Endemic: Single positive – Low titre Single positive – High titre Leptospirosis Non-Endemic: Single positive – Low titre Single positive – High titre Rising titre (Paired sera)
10
Diagnosis tegak
2 10 5 15 25
Skor 26 atau lebih dengan menggunakan Part A, Part A+B, atau 25 atau lebih dengan menggunakan
Part
A+B+C
dapat
dipertimbangkan
sebagai
kasus
current
leptospirosis.
2. Penggunaan Kriteria Faine Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk membantu mengakkan leptospirosis cukup beragam. Kultur bakteri sebaiknya tidak digunakan sbagai gold standard mengingat sensitivitasnya rendah meskipun memiliki spesivisitas tinggi, serta
membutuhkan waktu yang lama . Penilitian lain di Belanda yang membandingakan MAT (Microscopic Agglutination Test), MCAT (Microcapsule Agglutination Test), dan IgM Elisa
menunjukkan hasil sensitivitas berurutan 87 %, 74 %, dan 58,7 %
(Gusenhoven et all, 1997 cit Pudjijanto 1999). Adapun penelitian-penelitian lain pun menunjukkan hasil dengan urutan nilai spesivitas yang relatif sama (Pudjijanto, 1999; WHO, 2003). Kriteria Faine memiliki sensitivitas dan spesifisitas moderat namun memiliki negative predictive value (NPV) yang tinggi jika dibandingkan dengan pemeriksaan
IgM ELISA. Nilai NPV ini berguna dalam skrining pasien demam akut untuk mengarah pada leptospirosis sepanjang fase awal penyakit (Rao et all, 2005). Oleh karena itu tetap dianjurkan menyediakan rapid serological test pada pelayanan primer (WHO, 2003).
2
Pembimbing: dr. H. Waisul Choroni T., Sp.Pd. Disusun oleh: Merita Arini, S.Ked (20050310075)
REFERENSI:
Dinas Keseahtan (Dinkes) Kab. Bantul. 2010. Leptospirosis. Diakses pada tanggal 23 Juni 2010 dari http://dinkeskabbantul.wordpress.com Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). 2003. Leptospirosis pada Manusia. Diakses pada tanggal 23 Juni 2010 dari http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=967&tbl=artikel Pudjijanto, Bambang. 1999. Nilai Diagnostik Leptodistick Assay pada Leptospirosis. Diakses pada tanggal 23 Juni 2010 dari http://eprints.undip.ac.id/12607/1/img-428093457.pdf Rao P., Sethi S., Sud A., Banga S.S., Sharma M. 2005. Screening of Patients with Acute Febrile Illness for Leptospirosis Using Clinical Criteria and Serology. Diakses pada tanggal 23 Juni 2010 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub-med/16433137 WHO. 2003. Human Leptospirosis: Guidance For Diagnosis, Surveillance and Control. Diakses pada 23 Juni 2010 pada http://whqlibdoc.who.int/hq/2003 /WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf
3
Pembimbing: dr. H. Waisul Choroni T., Sp.Pd. Disusun oleh: Merita Arini, S.Ked (20050310075)