ISSN: 2355-1445; Hal. 23-33
MASYARAKAT RISIKO DALAM LINGKAR EKSPLOITASI PERTAMBANGAN EMAS DAN REALISASI CSR DI KABUPATEN BOMBANA Oleh: Ambo Upe 3 Abstract Every mining exploitation ex ploitation including the golden mining in Bombana Regency Rege ncy basically always presents two dilemmatic things. On the one hand, it is expected to contribute positively in increasing the people’s welfare, and on the other hand, it arouses the risk for the society. The problematic in turn appears when the dimension of risk even becomes dominant. This research aims at exploring the risk happened, and the strategy needed to minimize the risk from the exploitation of golden mining in Bombana Regency. Re gency. Methodologically, this research employed qualitative approach, case study variant which is meant to describe deeply and holistically the risk aroused by the exploitation of the mining. For that reason, the data were analyzed interactively either when the research is taking place or after the field research finishes. The findings showed that the exploitation e xploitation of golden mining in Bombana Regency has caused the emergence of a risky society condition, among of them are ecological and social risks. Therefore, the implementation of Corporate and Social Responsibility (CSR) continually is a certainty. Key Words: Mining, Risk Society, and Corporate Social Responsibility .
Abstrak Eksploitasi pertambangan di mana pun, tidak terkecuali pertambangan emas di Kabupaten Bombana pada dasarnya selalu menampilkan dua hal yang dilematis. Di satu sisi diharapkan berkontribusi positif dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan di sisi lain menimbulkan risiko bagi masyarakat. Problematika kemudian kemudian mencuat ketika dimensi risiko justru menjadi dominan. Penelitian ini bertujuan mengungkap risiko yang terjadi, dan strategi yang diperlukan untuk meminimalisir risiko dari eksploitasi pertambangan emas di Kabupaten Bombana. Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, varian studi kasus ( case ) yang dimaksudkan untuk case study mendeskripsikan secara mendalam dan holistik risiko yang ditimbulkan oleh eksploitasi pertambangan. Untuk itu data dianalisis secara interaktif, baik pada saat penelitian sedang berlangsung maupun setelah usai penelitian lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksploitasi tambang emas di Kabupaten Bombana telah menyebabkan munculnya suatu kondisi masyarakat risiko ( risk ), diantaranya risiko ekologis dan risiko sosial. Karena itu, implementasi society CSR secara berkelanjutan berkelanjutan adalah suatu keniscayaan. Kata Kunci: Pertambangan, Risk Society , dan Corporate Social Responsibility . PENDAHULUAN
Perut bumi Indonesia begitu kaya akan sumber daya alam, seperti minyak, mineral, dan batu bara. Potensi sumber daya tersebut merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang penting dalam proses pembangunan. Karena itu secara signifikan komoditi tambang menjadi sektor yang dinilai cukup strategis dalam prime mover rangka pembangunan nasional dan potensi penggerak ( ) pembangunan 3
Ambo Upe, S.Sos., M.Si adalah dosen Sosiologi Sosiologi FISIP Universitas Universitas Halu Oleo Kendari
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
daerah di mana bahan tambang tersebut dikelolah. Hal ini telah diamanahkan dalam Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pada bagian Pendapatan Negara dan Daerah, pasal 129 ayat 1 dan ayat 2 mengatur bahwa pemerintah mendapat 4% dari hasil keuntungan bersih, dan 6% kepada pemerintah daerah yang meliputi 1% bagian pemerintah provinsi, 2,5% pemerintah kabupaten/kota penghasil, dan 2,5% bagian pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama. Dengan demikian, hakikat pengelolaan pertambangan sejatinya dijalankan secara sinergis antara pemerintah dan pihak perusahaan demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai harapan tersebut, maka pengelolaan pertambangan seharusnya menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini dimaksudkan sebagai pemanfaatan seoptimal mungkin potensi sumber daya mineral yang bersifat unrenewable resources ) melalui peningkatan nilai tambah ( value value added tidak terbarukan ( unrenewable ) secara maksimal. Prinsip dasar yang dipakai adalah efisiensi, pemerataan ( equity ), dan keterkaitan dengan lingkungan ( environmental s inergitas tidak hanya environmental integrity ). Artinya, sinergitas pada stakeholders, tetapi juga pada lingkungan alam dan sosial yang populer dengan istilah triple bottom line ( ). Di samping itu, pengelolaan p engelolaan sumber profit , planet , dan people daya pertambangan, semestinya memperhatikan beberapa ketentuan seperti perizinan, teknis pertambangan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), konservasi community development ), serta berbagai langkah lingkungan, pengembangan masyarakat ( community pemeliharaan pasca pertambangan. Ironisnya, pertambangan di Indonesia justru menampilkan potret yang menyedihkan. Pasalnya, hasil pertambangan yang diharapkan untuk pembangunan nasional dan daerah, justru hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, bahkan menimbulkan berbagai risiko bagi masyarakat. Solearno (2006) mengidentifikasi berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh industri pertambangan di Indonesia saat ini, diantaranya persepsi bahwa industri pertambangan merusak lingkungan, indeks kepercayaan yang rendah, iklim usaha yang buruk, entry cost relatif relatif mahal, country risk meningkat, keraguan investor terhadap kepastian hukum pada otonomi daerah, peraturan perundang-undangan sektor lain yang kurang mendukung sektor pertambangan, dan persaingan global dalam mendapatkan investasi dan pemasaran hasil. Demikian pula pertambangan emas di Kabupaten Bombana telah menambah daftar problematika pertambangan di tanah air. Atas dasar inilah pentingnya penelitian yang bertujuan untuk memaparkan risiko yang terjadi, dan strategi yang diperlukan untuk meminimalisir risiko dari eksploitasi pertambangan emas di Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara. METODE PENELITIAN
Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, khususnya studi kasus ( case ) yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan secara case study mendalam dan holistik berbagai risiko yang ditimbulkan oleh eksploitasi pertambangan. Studi kasus menurut Yin (2005) merupakan jenis penelitian yang 24
Ambo Upe: Masyarakat Risiko dalam Lingkar Eksploitasi Pertambangan Emas dan Realisasi CSR
penelaahannya kepada suatu kasus baik individu maupun kelompok yang dilakukan secara intensif, mendalam, dan komprehensif dimana pernyataan dibangun tidak melahirkan suatu generalisasi, akan tetapi lebih pada pemahaman makna. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Setelah seluruh data dikumpulkan ( data data collection ), selanjutnya dianalisis secara interaktif baik pada saat penelitian sedang berlangsung maupun setelah usai penelitian lapangan. Teknik analisis data yang bersifat kualitatif interpretatif diproses melalui upaya reduksi data ( data ), penyajian data ( data ), dan penarikan data reduction data display simpulan ( conclusion ) sebagaimana yang sistematisasikan oleh Miles dan conclusion drawing Huberman (1994). PEMBAHASAN
Sejak penambangan emas di Bombana dibuka secara resmi pada tanggal 1 November tahun 2008, pada saat itu pula ribuan penambang dari luar pulau Sulawesi, seperti Jawa, Kalimantan, dan Papua “menyemut” mengadu nasib di Bombana. Kehadiran para penambang emas itu seolah “menyerbu” dan “mengobrak -abrik” struktur dan kultur masyarakat di sekitarnya. Penemuan lokasi
penambangan emas tersebut tersebar di beberapa zona diantaranya di Sungai Tahi Ite, Sungai Wububangka, Satuan Pemukiman (SP-8), dan Satuan Pemukiman (SP-9). Lokasi tambang tersebut terletak sekitar 50 Km dari Ibukota Kabupaten Bombana atau 230 Km dari Kota Kendari. Saat berita penemuan emas menyebar luas, Kabupaten Bombana seakan telah menjadi surga bagi para penambang. Betapa tidak, setiap harinya para pendulang mampu memperoleh 5 – 20 20 gram butiran emas. Bahkan ada yang mampu mengumpulkan butiran emas hingga 78 gram. Jalan disepanjang lokasi masuk ke lokasi penambangan cukup ramai, bagaikan kota kecil karena tidak putusnya masyarakat keluar masuk lokasi tambang dengan kendaraan roda dua dan empat. Para pendulang, mendirikan tenda-tenda kemah sepanjang sungai Sungai Tahi Ite di Kecamatan Rarowatu, Wumbubangka Kecamatan Rarowatu Utara, dan Desa Hukaeya Kecamatan Rumbia. Para pedagang emas pun berdatangan dari kota untuk membeli hasil dari para penambang dengan harga bervariasi Rp. 170.000 per gram hingga ada yang membeli Rp. 200.000 per gramnya. Eksistensi pertambangan emas di Kabupaten Bombana dalam perspektif sosiologi industri menunjukkan terjadinya perubahan sosial. Tentu saja demikian, bentangan gunung di beberapa daerah potensial tersebut sebelumnya hanya dipandang sebagai “lahan tidur” sekonyong-konyong disulap menjadi surga para industrialis. Perubahan sosial yang pertama kali tampak dengan jelas adalah perubahan komposisi penduduk yang juga berpengaruh terhadap perubahan mata pencaharian. Sebelumnya penduduk di wilayah pertambangan hanya didominasi oleh etnis Bugis dan Moronene, kini sangatlah heterogen. Selain heterogen dari dimensi penduduk, juga heterogen dalam dimensi pekerjaan. Di samping itu, perubahan sosial yang sangat fenomenal adalah terjadinya disintegrasi baru, yakni maraknya 25
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
terjadi konflik di wilayah pertambangan, baik horizontal maupun vertikal. Dimensi ekologis pun tidak ketinggalan mewarnai perubahan. Tentu saja perubahan bukanlah suatu hal yang tabu, karena perubahan merupakan sebuah keniscayaan, namun yang menjadi sorotan persoalan adalah ketika perubahan justru dipandang dan dirasakan sebagai “monster” yang akan membawa perubahan p erubahan destruktif bagi masyarakat. Industrialisasi Pertambangan Emas dan Masyarakat Risiko
Modernisasi industrial dalam paradigma developmentalisme meyakini bahwa pengelolaan sumber daya alam secara massif dan canggih dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang begitu spektakuler, namun di balik spirit industrial sebagai salah satu pilar keberhasilan pembangunan, ia juga ikut mewarnai sejumlah risiko sosial yang mencemaskan. Eksploitasi pertambangan emas selama 5 tahun di Kabupaten Bombana sudah terasa sangat mencemaskan dalam konteks kerawanan struktural sosial budaya dan kerawanan ekologis. Pasalnya, sejak pengelohan secara tradisional saja telah menimbulkan masalah seperti konflik dan kerusakan ekologis, apalagi proses pengolahan sumber daya alam ini telah dieksploitasi dalam bentuk industri pertambangan modern. Eksploitasi pertambangan emas di Kabupaten Bombana telah menimbulkan suatu kondisi masyarakat yang penuh risiko. Istilah masyarakat risiko ( risk risk society ) telah banyak diuraikan oleh para ahli sosiologi, diantaranya Giddens (1990) dan Beck (1992). Giddens menjelaskan masyarakat risiko dalam konteks modernitas juggernaut . Menurutnya, juggernaut menggilas mereka yang melawannya. Meski kadang-kadang mengikuti alur lurus, namun ada kalanya ia mengubah haluan ke arah yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Dalam konteks eksploitasi pertambangan, industrialisme dan kapitalismelah yang menjadi pilar utama modernitas sebagai penyebab munculnya masyarakat risiko. Giddens menambahkan bahwa selama intitusi modernitas berjalan, kita tidak akan pernah merasa aman sepenuhnya, karena jalan yang dilaluinya penuh dengan risiko yang membawa konsekuensi berat. Demikian pula dengan pandangan pandan gan sosiolog kenamaan Jerman Ulrich Beck. Beck menekankan istilah risk society sebagai sebagai sejenis masyarakat industri karena kebanyakan risikonya berasal dari industri. Hal Hal tersebut dapat terjadi terjadi sebab menurut Beck kita masih berada dalam era modern, walaupun dalam bentuk modernitas yang baru. Perbedaan tersebut terletak pada tahap klasik modernitas yang sebelumnya berkaitan dengan masyarakat industri, sedangkan modernitas baru berkaitan dengan masyarakat risiko. Selain itu, dimensi masalah yang dihadapi, modernitas klasik dan modernitas baru berbeda. Masalah sentral dalam modernitas klasik berkisar pada kekayaan dan bagaimana cara mendistribusikannya dengan merata, sementara itu dalam modernitas baru masalah sentralnya adalah risiko dan bagaimana cara mencegah atau meminimalkannya. Beck menegaskan bahwa modernitas maju membangun risiko yang tidak terkirakan sebelumnya, dan upaya-upaya yang juga tidak terkirakan sebelumnya untuk menghadapi risiko.
26
Ambo Upe: Masyarakat Risiko dalam Lingkar Eksploitasi Pertambangan Emas dan Realisasi CSR
Risiko Ekologis
Daerah hasil pemekaran Kabupaten Buton tahun 2003 ini mulanya masih tampak bersahaja, tanpa goresan-goresan tanah yang dahsyat. Namun kini tidak lagi menunjukkan wajah Ibu Pertiwi di Bombana layaknya dahulu lagi. Saat ini dengan hadirnya potensi emas di daerah ini menghadirkan tontonan baru. Kita akan dipertunjukkan dengan bukit-bukit tandus berjejer, padang ilalang membentang sejauh mata memandang. Di bagian kiri kanan jalan berbatu terlihat aliran sungai yang keruh dengan kubangan bekas galian berukuran setengah meter. Eksploitasi pertambangan emas di Kabupaten Bombana memberi dampak pada rusaknya sungai dan cabang-cabang sungai yang sebelumnya menjadi sumber air bagi warga tidak lagi memiliki bentuk. Bukan hanya itu, pertambangan juga telah merusak bentang sungai, meninggalkan “lubang -lubang tikus” dengan kedalaman sekitar 6 – 10 meter, bahkan pengolahan melalui industri telah merusak struktur lahan dalam bentuk kawah. Kekhawatiran terbesar adalah bahwa sebagian besar deposit emas Bombana berada pada jalur sungai dan cabang-cabangnya, hingga kini mulai dirasakan para petani yang sawah-sawahnya memperoleh air dari Sungai Langkowala. Pada proses eksplorasi pertambangan, terjadi pembukaan hutan, lapis tanah dikupas dan digerus dari permukaan hingga kedalaman tertentu, tata air dirombak, sebab kandungan emas berada dalam tanah pada kedalaman dan lapisan tertentu dari perut bumi. Aktivitas ini menyebabkan terganggunya tata air setempat, risiko bencana longsor, dan banjir. Topografi kawasan menunjukkan, sebagian besar deposit emas yang berada pada jalur sungai telah dikelola warga. Sementara perusahaan mengeruk dan mengupas gunung yang dinilainya memiliki deposit emas. Karena itu, terdapat sejumlah bekas kerukan yang secara detail tidak diketahui berfungsinya lagi, selain pembuatan jalan produksi. Semua ini akan memicu deforestasi, karena perubahan bentang alam yang sangat besar telah terjadi di wilayah tersebut. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas penambangan emas di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara telah merusak lingkungan daerah itu secara massif, baik melalui penambangan liar maupun resmi. Perusahaan tambang yang beroperasi ternyata sama sekali tidak memikirkan bagaimana program reklamasi lahan setelah mereka selesai menguras kandungan emas yang ada di dalamnya, demikian penuturan anggota DPRD Sultra Abdul Rahman Saleh ( Antara , 2 Desember 2009). Ia mengungkapkan hal itu usai melakukan kunjungan kerja di Bombana untuk memantau langsung kondisi lahan di daerah tersebut terkait dengan aktivitas penambangan emas. Menurutnya, kondisi alam di sana telah rusak parah, sementara sama sekali tidak ditemukan adanya program dari perusahaan tambang untuk melakukan reklamasi lahan pasca penambangan dilakukan. Pelaku tambang selalu mengincar bahan tambang yang tersimpan jauh di dalam tanah, karena jumlahnya lebih banyak dan memiliki kualitas lebih baik. Untuk mencapai wilayah konsentrasi logam di dalam tanah, perusahaan tambang melakukan penggalian dimulai dengan mengupas tanah bagian atas ( top ). Setelah top soil pengupasan tanah pucuk, penggalian batuan tak bernilai dilakukan, agar mudah 27
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
mencapai konsentrasi mineral. Karena tidak memiliki nilai, batu-batu itu dibuang sebagai limbah, dan disebut limbah batuan keras ( overburden ). Tahapan selanjutnya overburden adalah menggali batuan yang mengandung mineral tertentu, untuk selanjutnya dibawah ke processing plant dan dan diolah. Hasil investigasi Harian Fajar (28 Desember 2009) menemukan beberapa dampak penambangan emas di Kabupaten Bombana, seperti rusaknya ekosistem, rusaknya daerah resapan air, terancamnya ekosistem mangrove, sumber air untuk pertanian dan tambak masyarakat sekitar kawasan tercemar, pasokan air untuk bendungan Langkowala yang mengganggu pertanian masyarakat, tercemarnya sumber air bersih, dan munculnya berbagai jenis penyakit. Permasalahan lingkungan yang dihadapai dalam konteks ini merupakan akibat dari perilaku pengusaha yang berorientasi pada semangat kapitalisme. Marx melihat hubungan kapitalisme bertentangan dengan lingkungan yang menjadi inti krisis kita saat ini. Hal Ini mencerminkan fakta bahwa bukan teknologi yang merupakan masalah utama, melainkan sifat dan logika kapitalisme sebagai modus produksi ( mode mode of production ) tertentu (Redclift, 2010). Sejalan dengan hal itu, Dutton menilai bahwa kerusakan lingkungan sebagian besar merupakan konsekuensi dari keserakahan dalam mencapai keuntungan ( greedy ) sebagai pendorong eksploitasi sumber daya yang merugikan komunitas profit the greedy theory ), fenomena kerapuhan lingkungan manusia. Selain teori ketamakan ( the juga dapat dijelaskan dalam teori NIMBY ( ) syndrome (White, Not In My Back Yard 2004). Teori ini menjelaskan gejala munculnya sikap individualistis bahwa masyarakat tidak mau menanggung masalah di sekitarnya akibat pencemaran lingkungan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kerapuhan lingkungan merupakan akibat dari lemahnya sistem adaptasi terhadap lingkungan, dan menguatnya sistem pencapaian tujuan yang didominasi oleh libido kapitalisme ( desire desire of capitalism ). Risiko Sosial
Penemuan emas di beberapa titik di Kabupaten Bombana tampaknya telah menghipnotis para pekerja tambang dari berbagai daerah. Mereka banyak berdatangan dari Papua, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Warga Bombana pun enggan jadi penonton di daerah sendiri. Masyarakat Bombana yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan meninggalkan dan bahkan menelantarkan pekerjaannya. Di bidang jasa, proyek-proyek fisik mengalami kemunduran jadwal. Para buruh bangunan lebih memilih mendulang emas. Peralihan minat kerja inilah yang mempengaruhi tingkat harga kebutuhan pokok di Bombana sangat tinggi. Suplai bahan pokok menjadi sedikit, sementara permintaan pasokan semakin bertambah seiring kedatangan gelombang pendulang yang dari hari ke hari makin padat. Fenomena ini menunjukkan bahwa pertambangan, selain menaikkan nilai ekonomi suatu komoditi, juga dapat membuka kesempatan ekonomi bagi masyarakat, yaitu memberikan alternatif lapangan kerja baru. Menurut Parker (1967) 28
Ambo Upe: Masyarakat Risiko dalam Lingkar Eksploitasi Pertambangan Emas dan Realisasi CSR
bahwa munculnya industri-industri baru dalam suatu wilayah akan memberikan pengaruh besar terhadap jumlah tenaga kerja. Schneider (1993) berpendapat salah satu akibat yang terpenting dari timbulnya industrialisme adalah terbentuknya komunitas-komunitas baru, atau perubahan serta pertumbuhan yang cepat dan komunitas yang sudah ada. Peningkatan jumlah tenaga kerja dan pertumbuhan komunitas di sekitar industri yang cepat disebabkan oleh masuknya para pekerja pendatang dalam jumlah yang banyak dan menetap di daerah tersebut. Potensi emas di Kabupaten Bombana merupakan salah satu sumber pendapatan baik kepada masyarakat, perusahaan, maupun pemerintah daerah. Namun, potensi emas tersebut juga telah membawa kecemasan dan kerawanan sosial bagi masyarakat yang disebabkan oleh adanya konflik dari berbagai aspek, baik konflik antar penambang maupun antara penambang dengan pihak pemerintah. Tidak dapat dipungkiri bahwa eksploitasi pertambangan emas di Bombana telah memunculkan risiko sosial berupa disintegasi atau konflik. Kegiatan industri seperti pertambangan dapat menyebabkan konflik penggunaan lahan (Wali et al .,., 2010). Sejalan dengan pandangan itu, Dahrendorf (1986) menyatakan bahwa pada masyarakat industri terpola hubungan secara otoritatif dalam setiap kelompok, yakni kelompok semu dan kelompok kepentingan. Konflik terjadi pada arena kelompok tersebut. Dalam konteks pertambangan emas di Bombana terdapat berbagai kelompok kepentingan, yaitu pemerintah daerah, pemiliki lahan, perusahaan, mandor, dan pekerja. Sedangkan dalam perpektif marxist, konflik pertambangan terjadi karena adanya dominasi kelas pengusaha sebagai pemilik modal dan kelas pekerja. Hubungan antara keduanya berjalan secara eksploitatif dalam pola patron clien . Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar. Bagi Marx sendiri, industrialisme menimbulkan keterasingan tingkat tinggi. Dengan demikian, umumnya konflik terjadi karena adanya pertentangan tujuan satu sama lain. Hal ini mempertegas bahwa aktivitas industri pertambangan berpengaruh kepada masyarakat (Parker, et al , 1967). Potensi sumber daya emas cenderung diperebutkan oleh para penambang emas tradisional bahkan perebutan antara perusahaan dengan masyarakat di sekitarnya. Sejak pengelohan secara tradisional saja telah menimbulkan masalah seperti kerusakan lahan pertanian dan aroma konflik sosial, terlebih lagi ketika proses pengolahan sumber daya alam tersebut dieksploitasi dalam bentuk industri pertambangan modern. Persaingan akses terhadap sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi ( access ) access to economic resources and to means of production ) merupakan faktor pemicu konflik yang sangat mendasar. Meminjam pandangan Fisher, dkk. (2000), bahwa konflik yang demikian ini disebabkan tidak terpenuhinya atau adanya faktor penghalang manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Teori kebutuhan manusia ( human human needs theory ) dalam konteks konflik tambang didasarkan pada asumsi bahwa kebutuhan penambang akan perolehan emas merasa terhalangi oleh pihak tertentu, misalnya dari pihak sesama penambang, perusahaan, dan pemerintah. 29
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
Pada saat produksi misalnya terdapat beberapa potensi konflik, seperti kesenjangan sosial ekonomi dan perbedaan sosial budaya. Sementara, pada saat pasca-pertambangan, terdapat beberapa potensi konflik, seperti pengangguran, klaim terhadap lahan pascapertambangan, munculnya pertambangan rakyat, dan sisa aktivitas sosial. Dalam cacatan Media Sultra, 8 Maret 2010, konflik sosial akibat hadirnya perusahaan tambang pada suatu daerah bermunculan di mana-mana. Di Bombana, Wawonii, Konawe, Asera, Konawe Utara, Kolaka, Buton dan Baubau, bermunculan protes dari warga sepanjang tahun 2008 hingga 2009. Pada 2008, terjadi konflik sosial antara masyarakat dan salah satu pe rusahaan di Kabaena Timur. Konflik ini berakhir dengan penangkapan sejumlah mahasiswa dan aktivis lingkungan. Hal yang sama juga terjadi di pulau Wawonii. Dampak dari penguasaan sumber daya tambang emas Bombana oleh kaum pemodal, juga telah melahirkan kekerasan terhadap rakyat. Praktik militerisme akan digunakan untuk memperkuat kekuasaan atas sumber daya alam tersebut. Pada 2009, konflik berdarah terjadi di kawasan pertambangan emas Bombana. Konflik ini dilatarbelakangi pencaplokan tanah adat milik rumpun warga oleh sejumlah perusahaan KP (Kuasa Pertambangan). Sejumlah warga menjadi korban penganiayaan aparat kepolisian. Kasus ini sempat dilirik oleh Komnas HAM. Hingga kini, kasus tanah adat belum diselesaikan oleh pemerintah daerah ( Media Sultra Online , 8 Maret 2010). Tampaknya, konflik yang terjadi di kawasan pertambangan selama ini merepresentasikan ketidakadilan ekonomi dan akses sumber daya yang dialami oleh masyarakat sekitar. Masyarakat menganggap bahwa daerah eksplorasi itu adalah wilayah adat atau kampung halaman mereka. Di sisi lain, perusahaan menganggap bahwa otoritas yang diterimanya melalui hal izin pertambangan, merasa mempunyai hak untuk melakukan eksplorasi sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonominya sendiri. Kepentingan yang asimetris ini sangat berpotensi menjadi konflik yang berdampak merugikan semua pihak. Selain risiko sosial berupa disintegrasi sosial, juga sangat tampak di lokasi penambangan dimana para pendulang dengan jelas tidak menjalankan ibadah puasa pada saat awal kemunculan tambang emas tersebut. Hal ini telah dikemukakan oleh Weber (2001) bahwa kehidupan industri juga cenderung untuk menjadi sekuler, dimana berkurangnya peranan agama dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat industri semakin dirasionalisasi dan terbirokratisasi. Selain itu, eksploitasi pertambangan telah merubah struktur solidaritas masyarakat dari solidaritas masyarakat mekanik ke solidaritas organik (Durkheim), dari pola community ke society (Tonnies), dan dari masyarakat sederhana menjadi masyarakat yang lebih kompleks (Spencer). Realisasi CSR
Uraian di atas menunjukkan bahwa eksploitasi pertambangan emas di Kabupaten Bombana telah menyisahkan persoalan bagi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan tanggung jawab sosial perusahaan yang didasarkan pada paradigma 30
Ambo Upe: Masyarakat Risiko dalam Lingkar Eksploitasi Pertambangan Emas dan Realisasi CSR
pembangunan yang berbasis pada kearifan lokal, kemitraan, dan berkelanjutan. Pendekatan ini merupakan suatu transformasi pengelolaan kekayaan alam yang diharapkan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat secara keberlanjutan melalui implementasi praktik penambangan yang baik ( good mining practices ). Dengan demikian, eksploitasi sumber daya mineral haruslah difokuskan untuk membangun modal manusia ( human ), modal pembangunan ( build human capital build capital ), dan modal sosial ( social social capital ) secara berimbang sehingga modal ini kemudian dapat dikonversi ke dalam bentuk penciptaan atau penguasaan teknologi. Dilihat dari masalah pemerataan, kemitraan perlu dikonsultasikan dengan masyarakat sekitar oleh pemerintah daerah. Hal ini untuk menghindari adanya rasa dirugikan setelah penambangan berjalan. Pemerintah daerah perlu mengantisipasi masalah ini sebab jangan sampai perusahaan pertambangan merasa bahwa pemerintah daerah tidak melakukan upaya untuk pembangunan di daerah lokasi pertambangan. Perlu juga diperjelas mengenai hak-hak dan kewajiban dari masyarakat setempat, terutama yang berhubungan dengan masalah hukum adat. Karena keragaman dari masyarakat adat di Indonesia, maka perlu dikaji kembali melalui studi yang intensif tentang struktur masyarakat adat. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari rasa tidak percaya dari masing-masing stakeholders . Menjalin dan mendorong kemitraan pembangunan yang berkelanjutan, stakeholder berpartisipasi dalam dialog penting dengan para pemangku kepentingan ( stakeholder ), serta memastikan adanya efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas guna mengoptimalkan sumber daya yang dialokasikan untuk program pengembangan masyarakat ( community community development ) sehingga tercipta kemandirian dan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Pola partisipatif dari seluruh stakeholders dalam suatu jejaring kemitraan ( partnership ) yang berimbang baik dalam perumusan rencana kegiatan, implementasi, hingga pada tahapan evaluasi. Karena itu, pengelolaan pertambangan emas di Kabupaten Bombana tidak hanya cukup bergantung pada usaha dan program-program pemerintah, tetapi harus mendapat dukungan dari berbagai pihak p ihak diantaranya akademisi, pelaku bisnis, dan masyarakat. Agar senantiasa terjadi keselarasan operasional perusahaan dengan harapan masyarakat dan pemerintah pada umumnya ( equilibrium ), maka sudah menjadi equilibrium kewajiban bagi perusahaan pertambangan untuk menerapkan konsep Corporate Social ). CSR merupakan komitmen yang berkesinambungan dari Responsibility ( CSR CSR kalangan bisnis, untuk berperilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. Berkenaan dengan hal tersebut terdapat enam kecenderungan utama yang semakin menegaskan arti pentingnya CSR , yaitu meningkatnya kesenjangan antara kaya dan miskin, posisi negara yang semakin berjarak pada rakyatnya, makin mengemukanya arti kesinambungan, makin gencarnya sorotan kritis dan resistensi dari publik, bahkan yang bersifat anti perusahaan, trend ke ke arah transparansi, dan harapan-harapan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. 31
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Sosiologi; Volume Volume 1, No. 1, April 2014
CSR menurut Suharto (2010) merupakan strategi bisnis yang tidak hanya
berkomitmen untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving , corporate philanthropy , corporate community relations , dan community development . Suharto melanjutkan, ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu dapat dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR . Corporate giving bermotif amal atau charity , corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan. Tujuan utama pendekatan community development ( ComDev ComDev ) bukanlah sekedar memberi barang ( to to help ) kepada penerima, melainkan berusaha memberikan kemampuan atau kapasitas untuk menolong to empower dirinya sendiri ( to ). Implementasi CSR oleh oleh perusahaan tambang dapat dilakukan secara bertahap dengan memerperhatikan wawasan pemahaman masyarakat terhadap perusahaan, tingkat tekanan akan kompensasi atas dampak negatif operasional tambang dan kesiapan manajemen. Karena itu dibutuhkan konsep pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan trias keberlanjutan yang mencakup ekonomi, sosial dan kriteria ekologi yang dikenal dalam istilah tripple bottom line (Idowu dan Luche, 2011). Dalam konteks sistem, ketiga unsur yang meliputi profit, people, and planet merupakan merupakan sistem kultur yang dimaksudkan sebagai pemeliharaan pola laten ( latency ), yaitu latency keseimbangan antara menciptakan keuntungan, harus seiring, sejalan, dan selaras dengan fungsi-fungsi sosial dan pemeliharaan lingkungan hidup demi terwujudnya pembangunan yang berkesinambungan. Tiga hal mendasar tersebut tertuang dalam program CSR dimana sasarannya ditujukan pada pengembangan masyarakat ( community community development ). Pada tataran ideal, realisasi program CSR dalam bentuk pengembangan masyarakat ( community community development ) diarahkan untuk menciptakan hubungan positif antara perusahaan dan masyarakat sekitar tambang, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat langsung atas hadirnya perusahaan tambang, dan yang tidak kalah pentingnya adalah membantu pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dalam meningkatkan pembangunan secara menyeluruh. Namun pada kenyataannya, perusahaan pertambangan emas di Kabupaten Bombana menempatkan CSR hanya hanya pada wacana belaka. Wacana dalam praktis bisnis, pro dan kontra ini tidak dapat dilepaskan dari fenomena perbenturan kepentingan antara pencapaian profit dengan pencapaian tujuan sosial. Program yang dituangkan dalam dokumen CSR masih bersifat umum, sehingga dalam rangka pengimplementasiannya tidak memiliki tolak ukur. PENUTUP
Harapan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah dari proses pengelolaan pertambangan emas di Kabupaten Bombana belum menunjukkan hasil 32
Ambo Upe: Masyarakat Risiko dalam Lingkar Eksploitasi Pertambangan Emas dan Realisasi CSR
yang signifikan, melainkan justru menimbulkan wajah baru, yakni munculnya masyarakat risiko ( risk risk society ). Eksploitasi emas tersebut telah menyebabkan berbagai risiko, diantaranya risiko ekologis dan risiko sosial. Sementara realisasi CSR sebagai bentuk kewajiban perusahaan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. CSR masih sekedar dokumen dan wacana belaka, kalaupun direalisasikan sifatnya masih insidentil, tanpa orientasi program yang utama. Oleh karena itu, diharapkan kepada pemerintah daerah bersama seluruh stakeholders menerapkan model kemitraan berkelanjutan dalam mengelola wilayah pertambangan. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan penambangan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat secara menyeluruh. Pada saat yang bersamaan, pengelolaan tambang rakyat juga dapat menjadi salah satu bentuk upaya pemberdayaan masyarakat, sekaligus sebagai upaya menghindarkan wilayah eksploitasi dari degradasi lingkungan yang dapat merugikan semua pihak. DAFTAR PUSTAKA Beck, Ulrich. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity . London: Sage. Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society . Stanford: Stanford
University Press. Fisher, Simon, dkk. 2000. Mengelola Konflik, Keterampilan & Strategi untuk Bertindak . Jakarta: The British Counsil. Counsil. Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity . Stanford: Stanford University Press. Idowu and Luche (eds). 2011. Theory and Practice of Corporate Social Responsibility . London: Springer. Miles, Matthew B. and Huberman, A. Michael. 1994. Qualitative Data Analysis . Thousand Oaks: Sage. Parker, S.R., R.K. Brown, M.A. Smith. 1967. The Sociology of Industry . London: Unwin Hyman. Redclift, Michael R. 2010. The International Handbook of Environmental Sociology, Second Edition . USA: Edward Elgar. Schneider, E.V. 1993. Sosiologi Industri . Jakarta: Aksara Persada. Soelarno, S.W. 2006. Pertambangan sebagai Aset Bangsa Indonesia. Indonesian Journal for Sustainable Future , 2 (4), 57-73. Suharto, Edi. 2010. CSR & Comdev, Investasi Kreatif Perusahaan di Era Globalisasi . Bandung: Alfabeta. Wali, Mohan Moh an K., Fatih Evrendilek, & M. Siobhan Fennessy. 2010. The Environment: Science, Issues, and Solutions . London: CRC Press. White, Rob. 2004. Controversies In Environmental Sociology . New York: Cambridge University Press. Weber, Max. 2001. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism . London and New York: Routledge. Yin, Robert K. 2005. Studi Kasus Desain dan Metode . Jakarta: RajaGrafindo Persada. 33