KATA PENGANTAR Hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan negara. Dimana kerajaankerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terus berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan keluarnya Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya. Setelah dikeluarkan dan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan tujuan untuk rnewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah
Agung
sebagai
pelaku
kekuasaan
kehakiman
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi terjadi perubahan kembali yaitu dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 masih perlu disempurnakan kembali yaitu dengan mengadakan perubahan kedua yaitu dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tan 1989 tentang Peradilan Agama. Selnjutnya pada era reformasi, terjadi pula perubahan secara besar-besaran pada lembaga peradilan, khususnya peradilan agama, dimana peradilan Agama harus menundukkan diri kepada Undang-Undang Satu Atap yaitu UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkmah Agung-RI dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dan telah terjadi perubahan pada UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan pada UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Demikianlah dasar pemikiran penulis dalam membuat makalah yang berjudul ” Tinjauan dan Kajian Sejarah Peradilan Agama serta Implementasinya ”, untuk mengetahui sampai sejauh mana perkembangan Sejarah Peradilan Agama di Indonesia. Demikianlah uraian penulis yang mengurakan secara singkat alur pikir penulisan makalah Penelusuran Literatur Hukum untuk memenuhi tugas yang diberikan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum maupun kalangan mahasiswa yang pada khususnya.
P e n u l i s, Timur Abimanyu, SH.MH
Tinjauan dan Kajian Sejarah Peradilan Agama serta Implementasinya DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Bab I
: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah B. Identfikasi Masalah C. Rumusan Masalah D. Sumber Hukum
Bab II
: Tinjauan dan Kajian Sejarah Peadilan Agama : A. Jaman Sebelum Belanda Melancarkan Politik Hukum.. B. Jaman Sesudah Belanda Melancarkan Politik Hukum. C. Jaman sesudah berlakunya UU No. I Tahun 1974 dan UU No.7 Tahun 1989. D. Era Reformasi Dalam Peradilan Satu Atap. 1. Berlakuknya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. 2. Berlakuknya UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 3. Berlakunya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 4. Berlakuny UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 4. Berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 5. Berlakuknya UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Bab III
: Analisa dan Implementasi Terhadap Sejarah Peradilan Agama di Indonesia..
Bab IV
: - Kesimpulan. - Saran
BAB I PENDAHULUAN I.
Latar Belakang Perkembangan sejarah peradilan Agama diawali sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundangundangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Dengan timbulnya komunitaskomunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni: apabila dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).1 Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama2 sering pula disebut "Pengadilan Serambi".3 Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus ..A’la,
Rofiqul, Membongkar Suap, Jurnal Teras Pesantren, M3S PP. MUS Sarang Rembang, 1424 H. 2 .Abdurrahman, al-Sayyid bin Muhammad bin Husain, Bughyat al-Mustarsyidin, Surabaya: Al-Hidayah, tth. 3 .,Abu Zahrah, Muhammad, al-‘Uqubah wa al-Jarimah Fi al-Fiqh al-Islami, ttp, Dar al Fikr al Arabi, tth. 1
keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat berjalan karena tidak menerapkan hukum Islam. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan "landraad"4 (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terus berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.5 Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status6 peradilan agama. Wewenang pengadilan agam.a yang disebut dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya. Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-36). Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undangundang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa1 2 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).
.Ahmad. S., Abu Abdul Halim, Suap Dampak Dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet 1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996. 5 .al Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, 1973 al-Asqolani, Ibn Hajar, Fathu al-Bari, Juz 12, ttp., al-Maktabah al-Salafi, tth. 6 .Alatas, Syed Hussein, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1986. 4
Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya. Masyarakat Indonesia (khususnya kaum Muslimin) di tanggal 29 Desember 1989, menapaki perjalanan sejarah selama kurang lebih satu abad lebihuntuk sebuah pengharapan eksisnya lembaga peradilan bagi masyarakat Islam7 (Peradilan Agama) yang independen dan mantap, dimana DPR RI pada tanggal 14 Desember 1989 mensetujui Rancangan UndangUndang tentang Peradilan Agama dan kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pada tanggal 29 Desember 1989. Proses pengaktulisasian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 merupakan upaya keras untuk membangun hukum (khususnya peradilan) sekaligus upaya keras mengikis habis implikasi politik hukum kolonial. Sehingga sangatlah diwajarkan suara-suara, kecaman-kecaman dan
UUPA8 kita anggap sebagai bukti nyata
bagaimana parahnya akibat dari rekayasa ilmu hukum kolonialisme dulu. Bahkan Mohammad Daud Ali mengungkapkan bahwa pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama itu merupakan peristiwa penting yang bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional, tetapi juga bagi umat Islam di Indonesia. Hasil analisis M. Yahya Harahap yang memperlihatkan bahwa di samping Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai hal yang memantapkan dan menjelaskan fungsi serta kewenangan Peradilan Agama, ternyata masih banyak juga ketentuan-ketentuan yang kabur, mengambang bahkan bersifat konflik9 yang sarat bersentuhan dengan lingkungan peradilan lain dan Hukum Adat. Kemudian karena perkembangan jaman dan untuk memenuhi kebutuhan para pencari keadilan bagi kaum muslim, maka diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan tujuan untuk rnewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan .Al-Munzdiry, Hafizh, Sunan Abi Daud, jilid 4, alihbahasa Ustadz Bey Arifin dkk, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993 8 .al-Qardawi, Muhammad Yusuf, Al-Halal wa al-Haram,ttp: Dar Ihya’ al Kitab al-‘Arabiyah, tt. 9 .al-Rus, Ahmad Abu, Jara’im al-Syariqat wa al-Nasbi wa Khianat al-Amanah wa 7
al-Syaik Bi Duuni Rasiid, Iskandariyah, al-Maktabah al-Jami’i al- Hadits, 1997.
peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 masih perlu disempurnkan kembali yaitu dengan mengadakan perubahan kedua yaitu dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di era reformasi, terjadi pula perubahan secara besar-besaran pada lembaga peradilan, khususnya peradilan agama, dimana peradilan Agama harus menundukkan diri kepada Undang-Undang Satu Atap yaitu UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkmah Agung-RI dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dan telah terjadi perubahan pada UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan pada UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. A.
Identifikasi Masalah 1. Peradilan Agama pada jaman Sebelum Belanda Melancarkan Politik Hukum. 2. Peradilan Agama pada jaman Sesudah Belanda Melancarkan Politik Hukum.. 3. Peradilan Agama sesudah berlakunya UU No. I Tahun 1974 dan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 4. Peradilan Agama di Era Reformasi Dalam Peradilan Satu Atap. 5. Berlakuknya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan berlakuknya UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 6. Berlakunya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan berlakuknya UU No. 48 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. 7. Berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 8. Berlakuknya UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
B.
Rumusan Masalah 1. Apakah Keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan Penjajahan Belanda dapat diterima oleh kaum muslim di Indonesia ? 2. Apakah yang terjadi perubahan terhadap Undang-Undang Peradilan Agama sampai pada Era Peradilan satu atap ? 3. Apakah perubahan-perubahan perundang-undang kekuasaan kehakiman mempengaruhi perkembangan Peradilan Agama di Indonesia ? 4. Apakah perubahan demi perubahan undang-undang Peradilan agama membawa dampak Positif ?
C.
Sumber Hukum 1. Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/ 1973. 2. Undang-Undang
Nomor
14
Tahun
1985
tentang
Mahkamah
Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359) dan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358); 3. Undang-Undang
Nomor 14
Tahun
1985
tentang
Mahkamah
Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4338);
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 4958); 5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611); dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
Bab II Tinjauan dan Kajian Sejarah Peradilan Agama
Pada bab dua menguraian mengenai tinjauan dan kajian sejarah peradilan Agama, mulai sebelum jaman penjajahan Belanda sampai sesudah penjajahan penjajahan Belanda : A. Jaman Sebelum Belanda Melancarkan Politik Hukum. Belanda melancarkan politik hukumnya10 di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing, dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni: apabila dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim11 (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had12 (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya)13 dan ta'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).14 Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan Serambi". Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian 10
.M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996. 11 .Kamsi. Pemikiran Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Cakrawala Media. 2008. 12 .Miriam Darus Badrulzaman, Prof., Dr., SH, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994. 13
.Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999. 14
. Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994.
yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. B. Jaman Sesudah Belanda Melancarkan Politik Hukum. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat berjalan karena tidak menerapkan hukum Islam. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terus berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.15 Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agam.a yang disebut dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya. Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) 16 berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indonesia (Daniel S Lev: 35-36).17 Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undangundang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa1 2 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).
15
.Muhammad Salam Madkur, Al Qadha-u Fil Islam, ”Darun Nahdhah Al’Arabiyah, Kairo, Tahun 1970, halamana. 11. 16 .Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid III, ”Darul Bayan”, Cet.V, Kuwait, Tahun 1971, halaman 312. 17 .T.M. Hasby Ah Shiddieqy, ”Perailan Dan Hukum Acara Islam, Al Ma’arif, Bandung tanpa tahun, halaman 29-30.
Dengan demikian jelaslah bahwa perjalanan sejarah peradilan agama secara umum tidak dapat dipisahkan dengan perjalanan sejarah bangsa dan masyarakat Indonesia (khususnya umat Islam) karena sepanjang sejarahnya, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan pasang surutnya perjuangan kemerdekaan nasional pada zaman penjajahan Barat dulu dimana Peradilan Agama adalah salah satu sasaran dari politik devide et impera rezim kolonial dahulu. Sebelum tahun 1882 Peradilan Agama benar-benar merupakan peradilan dalam arti sebenarnya yang berdasarkan temuan sejarah atas peraturan-peraturan tertulis menunjukkan adanya suatu peradilan agama dalam pelbagai bentuk dan tingkat di seluruh Nusantara, walaupun aturan-aturan tersebut bukan menciptakan tetapi memberikan petunjuk pada pejabat-pejabat waktu itu (Bupati) agar tidak mengganggu peradilan agama yang ada. Namun di tahun 1882 melalui Stbl. 1882 : 152, mulailah kewenangan dan kekuasan Peradilan Agama sedikit demi sedikit dikurangi dan akhirnya dengan Stbl. 1931 yang untuk sebagian berlaku mulai tahun 1937 tepatnya pada bulan April 1937 dikurangi lagi kekuasaan dan kewenangannya, sehingga praktis Peradilan Agama saat itu merupakan pengadilan quasi yang hanya berwenang menangani NTR saja, Bustanul Arifin membahasakan kenyataan tersebut sebagai pukulan bagi Peradilan Agama yang pada hakekat pengadilan agama saat itu hanya berupa badan administrasi mengenai Nikah, Talak dan Rujuk yang tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan keputusan sendiri, di mana dengan peraturan-peraturan itu rezim kolonial berhasil menciptakan image tentang Pengadilan Agama sebagai pengadilan inferior, pengadilan yang tidak sesuai dengan zaman modern, pengadilan yang asing bagi ahli-ahli hukum modern. Perspektif sejarah tentang pasang surut eksistensi Peradilan Agama di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor politik kolonial saja (sebagaimana fakta sejarah di atas), namun faktor adanya konflik antara tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia (Hukum Islam, Hukum Sipil/Barat, dan Hukum Adat) yang kemudian diperuncing oleh konsepkonsep/teori-teori hukum yang dicetuskan para ahli hukum kolonial pun memiliki andil atas pasang surutnya eksistensi Peradilan Agama. Sebut saja teori Receptio in complexu (Prof. Mr. Lodewijk Willwm Christian Van Den Berg), teori Reseptie (Prof. Christian Snouck Hurgronje dan C. Van vallenhoven), teori Receptie Exit (Prof. Dr. Hazairin, SH.) dan teori Receptie a Contrario.
C. Jaman sesudah berlakunya UU No. I Tahun 1974 dan UU No.7 Tahun 1989. Usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957. Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut : Pertama, Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa"; Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha Negara; Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan. Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam). Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 ten tang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan
peradilan agama yang mandiri, sed~r~jat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya. Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tug as raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta'in Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi agama. D. Era Reformasi Dalam Peradilan Satu Atap.18 Diera reformasi bangsa Indonesia berupaya untuk mengadakan peradilan satu atap, khususnya peradilan Agama, dimana selama ini badannya berada dibawah departemen kehakiman dan Departemen Agama dan kepalanya berada pada Mahkamah Agung. Upaya penyatu atapan lingkungan peradilan adalah agar segala kebijakan yang menyangkut kewenangan peradilan untuk menghindarkan tidak terjadi tumpang tindih kebijakan pada lingkungan peradilan dan untuk melaksanakan amanat dari Undang Undang Dasar 1945. 1.
Berlakuknya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 2004 adalah semua peradilan yang berada dibawah kekuasaan Negara Republik Indonesia berada ditangan Mahkmah Agung Republik 18
.Undang-Undang, Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Pasal 1 Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia. Dimana kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2.
Berlakuknya UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.19 Kemudian karena perkembangan jaman, UU No. 5 Tahun 2004 di uabh dan diganti dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dimana kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 25 Undang19
.Undang-Undang, Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Pasal 7 Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B harus memenuhi syarat: a. hakim karier: 1.warga Negara Indonesia,2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,3.3. berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum,4. berusiasekurang-kurangnya45(empatpuluhlima)tahun, 5. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewaj iban, 6.berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan 7.tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Dan b. nonkarier: 1.memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka 4, dan angka 5, 2berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun, 3berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan 4. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 3. Berlakunya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 4 Tahun 2004 adalah sebagai undang-undang kekuasaan kehakiman yang merupakan sebagai kekuasaan kehakiman satu atap, dimana kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
di
bawahnya,
dan
oleh
sebuah
Mahkamah
Konstitusi,
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; Hal ini dipengaruhi karena perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4.
Berlakunya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.20 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman tidak bertahan lama didalam melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dan karena di pengaruhi oleh situasi dan perkembangan hukum, maka undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dan 20
.Undang-Undang, Republik Indonesia. Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun /945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, 2. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 3. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 4. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agam a, li ngkungan peradi l an mi l i t er, li ngkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut, 6. Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung, 7. Haki m Kons t i t us i adal ah hakim pada M ahkam ah Konstitusi, 8. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang dan 9. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undangundang.
diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009. Dimana kekuasaan kehakiman menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, serta untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu. Sumber hukum undang-undang kekuasaan kehakiman yang baru adalah bersumber pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5.
Berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.21 Khusus pengaturan Peradilan Agama yang sebelumnya diatur oleh UU No. 7 Tahun 1989, akan tetapi karena tututan modernisasi peradilan, maka undang-undang tersebut diganti dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dimana sebagaimana kita ketahui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negarg Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk rnewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan. Khususnya pada Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah 21
tidak
.Undang-Undang, Republik Indonesia, Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pasal 2, Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan pasal baru yakni Pasal 3A, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A : Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan Undang-Undang. Pasal 4 : (1)Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota, (2).Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Pasal 5: (1).Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung dan (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Pasal 11 : (1).Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman, (2).Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan tugas hakim ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Pasal 12 : (1).Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung, (2).Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal 21,
Pasal
24,
dan
Pasal
25
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta terdapat penambahan pasal 52A yaitu tentang Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah, yitu kewanangan baru Peradilan Agama. Dengan bersumber pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkmah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4338); 6.
Berlakuknya UU No. 50 Tahun 200922 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perjalanan sejarah perundang-undang Peradilan Agama terus berlanjut sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia, karena kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan 22
.Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agma, Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, 2. Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama, 3. Hakim adalah hakim pada pengadilan agama dan hakim pada pengadilan tinggi agama, 4. Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada kantor urusan agama, 5. Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita pengganti pada pengadilan agama, 6.Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 7. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 8.Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang m em punyai kewenangan unt uk m em eri ks a, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. 9.Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, dimana keberadaam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan bersumber kepada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 UUD RI 1945, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 4958), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); Demikianlah uraian tentang Peradilan Agama pada Era Reformasi dalam upayaupaya penyatu atapan kekuasaan kehakiman, serta terdapat kewenangan baru tentang ekonomi syari’ah dan iisbat kesaksian rukyatul hilal.
Bab III Analisa dan Implementasi Terhadap Sejarah Peradilan Agama di Indonesia A. Analisa Secara Faktor Internal
Secara faktor internal bahwa keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan Penjajahan Belanda membawa dampak positif bagi fodamental peradilan Islam/ syariah di Indonesia, karena dari jaman tersebutlah keberadaan peradilan agama dapat dimungkinkan menjadi peradilan yang moden dan madiri untuk mencuptakan kepastian hukum berdasarkan syariat Islam. Atas dasar pemikiran faktor internal tersebut, maka sangat diperlukan upaya perubahan dan penyempurnaan perundang-undang Peradilan Agama, yang secara internal untuk kepentingan para pencari keadilan yang beragama Islam dan sedapat mungkin menggunakan dan melaksanakan syariat Islam dan Al Quran. Dan secara faktor internal serta khususnya Peradilan Agama sangat dipengaruhi oleh perubahan perundang-undang kekuasaan kehakiman yang merupakan peradilan satu atap dan sebagai peradilan yang mandiri serta modernisasi peradilan yang berdasarkan sayari’at Islam dan Al Qur’an, yang selama ini bersandar pada undang-undang kekuasaan kehakiman untuk peradilan umum, dengan adanya undang-undang penyatu atapan maka keberadaan dan kedudukan
Peradilan Agama sama dengan peradilan-peradilan lainnya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan dibawah Mahkamah Agung. Dengan upaya perubahan undang-undang Peradilan agama membawa dampak Positif, yang secara faktor internal menguntungan para pencari keadilan yang bergama Islam, jika terjadi sengketa atau perkara maka dapat diajukan kepada Peradilan Agama, dimana upaya pilihan hukum (hak opsisi) menjadi lebih diperkecil. B. Analisa Secara Faktor Eksternal Secara faktor eksternal terhadap keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan Penjajahan Belanda, dimana kolonial belanda yang berupaya memecah belah uamt muslim pada masa itu, tidak berhasil, karena dengan keberadaan Peradilan Agama sudah mewadahi kaum muslim yang bersengketa tidak dipengaruhi oleh kekuasaan kolonial belanda, yaitu dengan sistim hukum yang berlaku di kerajaan Belanda. Pemikiran faktor eksternal yang membawa para ulama dan santri untuk mengembangkan syariat Islam yang berasal dari Negara Arab agar diterapkan di Indonesia, yang di sesuaikan dengan hukum adat yang berkembang didalam masyarakat pluralime di Indonesia.
Khususnya bagi Peradilan Agama yang secara faktor eksternal dimana terhadap perubahan perundang-undangan kekuasaan kehakiman yang telah disempurnakan menjadi peradilan yang modern yaitu sebagai peradilan satu atap, untuk menunjukkan pada dunia Internasional dalam era globalisasi dan pasar bebas, diharapkan dapat menyelesaikan sengketa kesyariah pada dunia internasional terhadap bisnis syari’ah dengan prinsip-prinsip kesyariah yang telah berkembang sangat pesat pada dunia internasional. Perubahan secara faktor eksternal dampak Positif bagi Peradilan Agama, dengan adanya kewenangan baru tentang ekonomi syariah dan itsbat kesaksian rukyatul hilal, agar jika terjadi sengketa maka sudah terdapat peradilan agama yang bersifat internasional didalam penyelesaian sengketa kesyariahan bagi kaum muslim yang berada di Indonesia maupun yang bertempat tinggal di luar wilayah hukum Negara Indonesia/luar negeri.
===========
Bab IV Penutup - Kesimpulan
1. Peradilan Agama diawali sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. 2. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat berjalan karena tidak menerapkan hukum Islam. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri).Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). 3. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk memperkokoh keberadaan pengadilan agama dan undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam dan dalam Pasa1 2 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam). Kemudian dikeluarkannya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya. Masyarakat Indonesia (khususnya kaum Muslimin). 4. Untuk memenuhi kebutuhan para pencari keadilan bagi kaum muslim, maka diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dengan tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kemudian disempurnkan dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 6. Dalam Peradilan Satu Atap dikelurakannya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkmah AgungRI dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi undang-undang tersebut telah diubah dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. dan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang telah disempurnakan sesuai dengan perkembangan hukum dan jaman di Negara Indonesia.
- Saran 1. Perlunya diadakan skema perunundang-undang tentang Peradilan Agama yang merupakan sebagai fundamental peradilan syariah di Indonesia, agar generasi penerus dapat mengetahui secara pasti mengenai perkembangan peradilan agama di Indonesia. 2. Dasar-dasar hukum prodak pemerintahan VOC adalah merupakan sebagai prodak hukum yang menyesatkan, kana tetapi prodak hukum ini tidak boleh dikesampingkan karena merupakan pula secagai cikal bakal tumbuhnya Peradilan agama di Indonesia. 3. Mengenai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu disempunakan, karena adanaya permasalahan baru tentang Perkawinan Poligami, Perkawinan campuran yang merupaka permasalahan baru dan bagaimana dampak pidananya terhadap Poligami yang tidak mendapat ijin dari isteri pertama. 4. Mengenai keberadaan dan pemberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perlu diatur secara tegas tentang ekonomi syariah karena merupakan kewenangan baru, agar tidak terjadi konflik kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum didalam penangan ekonomi syariah. 5. Masih terdapat kesamaran pengaturan pada pemberlakuan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, karena belum terdapat pengaturan secara tegas tentang ekonomi syariah dan sebaiknya
harus diatur agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan antara kedua
kewenangan peradilan yaitu antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum.
6. Pengaturan Peradilan Satu Atap terkesan hanya untuk kepentingan politik saja karena dari apa yang terdapat pada UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, hanya terdapat penambahan pasal yang mengatur tentang penambahan umur hami agung memasuki usia pensiun.
==================
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Rofiqul, Membongkar Suap, Jurnal Teras Pesantren, M3S PP. MUS Sarang Rembang, 1424 H.
Abdurrahman, al-Sayyid bin Muhammad bin Husain, Bughyat al-Mustarsyidin, Surabaya: AlHidayah, tth. Abu Zahrah, Muhammad, al-‘Uqubah wa al-Jarimah Fi al-Fiqh al-Islami, ttp, Dar al Fikr al Arabi, tth. Ahmad. S., Abu Abdul Halim, Suap Dampak Dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet 1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996. al
Mawardi,
Al-Ahkam
al-Sultaniyah,
Mesir:
Dar
al-Bab
al-Halabi,
1973
al-Asqolani, Ibn Hajar, Fathu al-Bari, Juz 12, ttp., al-Maktabah al-Salafi, tth. Alatas, Syed Hussein, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1986. --------------al-Azhari, Muhammad, Tahdzib al-Lughah, juz II, Kairo: Dar al-Qawmiyyah, 1964. --------------al-Hamid, Syekh Muhammad, Rudud ‘ala Abathil, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1997. --------------al-Khatib, Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Mesir: dar al-Bab al-halabi wa Awladuhu, 1958. Al-Munzdiry, Hafizh, Sunan Abi Daud, jilid 4, alihbahasa Ustadz Bey Arifin dkk, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993 --------------al-Qardawi, Muhammad Yusuf, Al-Halal wa al-Haram,ttp: Dar Ihya’ al Kitab al-‘Arabiyah, tt. al-Rus, Ahmad Abu, Jara’im al-Syariqat wa al-Nasbi wa Khianat al-Amanah wa al-Syaik Bi Duuni Rasiid, Iskandariyah, al-Maktabah al-Jami’i al- Hadits, 1997. ---------------Al-syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul Al Ahkam, Kairo: Matba’at Muhammad Ali Subayh, 1970 ---------------Agus Wahid, Dilema BMI di Tengah Tuntutan Umat, Ulumul Qur’an No. 4 Vol. VI, Jakarta, 1995. --------------Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1998. --------------Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia. --------------Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, 1997.
Hukum Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994. Kamsi. Pemikiran Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Cakrawala Media. 2008 Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994. Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999. M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996. Miriam Darus Badrulzaman, Prof., Dr., SH, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994. Muhammad Salam Madkur, Al Qadha-u Fil Islam, ”Darun Nahdhah Al’Arabiyah, Kairo, Tahun 1970. ---------------Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid III, ”Darul Bayan”, Cet.V, Kuwait, Tahun 1971, Sutan Remy Sjahdeini, SH, Prof., Dr., Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999. ---------------T.M. Hasby Ah Shiddieqy, ”Perailan Dan Hukum Acara Islam, Al Ma’arif, Bandung. ---------------www.inlawnesia.net | email:
[email protected]
======================
RINGKASAN MAKALAH 1.
Perkembangan sejarah peradilan Agama mulai jaman Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.
Timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan, dan pada masaIah hukum hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat). 2.
Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat berjalan karena tidak menerapkan hukum Islam. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agam.a yang disebut dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya. Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams diserahkan kepada pengadilan negeri.
3.
Pemerintah Kolonial Belanda, dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-36). Dengan lahirnya Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa1 2 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).
4.
Identifikasi masalah pada Peradilan Agama mulai Sebelum Belanda Melancarkan Politik Hukum, sesudah Belanda Melancarkan Politik Hukum dan mulai berlakunya UU No. I Tahun 1974 dan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sampai berlakunya undang-undang
Peradilan Satu Atap. Dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan berlakuknya UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Serta berlakunya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan kemudian pemberlakuan UU No. 48 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Perkembangan Peradilan Agama dengan diberlakukannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan terakhir Berlakuknya UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 4.
Rumusan masalah : 1. Apakah Keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan Penjajahan Belanda dapat diterima oleh kaum muslim di Indonesia ? 2. Apakah yang terjadi perubahan terhadap Undang-Undang Peradilan Agama sampai pada Era Peradilan satu atap ? 3. Apakah perubahan-perubahan perundang-undang kekuasaan kehakiman mempengaruhi perkembangan Peradilan Agama di Indonesia ? 4. Apakah perubahan demi perubahan undang-undang Peradilan agama membawa dampak Positif ?
5.
Sumber Hukum : Undang-Undang Dasar 1945,Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
6.
Jaman sesudah berlakunya UU No. I Tahun 1974 dan UU No.7 Tahun 1989, dimana usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut
terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957. 7.
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia.
8.
Era Reformasi Dalam Peradilan Satu Atap yaitu dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung adalah semua peradilan yang berada dibawah kekuasaan Negara Republik Indonesia berada ditangan Mahkmah Agung Republik Indonesia. Dimana kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
9.
Kemudian karena perkembangan jaman, UU No. 5 Tahun 2004 di uabh dan diganti dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dimana kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
10. Berlakunya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah sebagai undangundang kekuasaan kehakiman yang merupakan sebagai kekuasaan kehakiman satu atap, dimana kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; Hal ini dipengaruhi karena perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 11. Berlakunya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi tidak bertahan lama didalam melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dan karena di pengaruhi oleh situasi dan perkembangan hukum, maka undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009. 12. Kemudian dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, khusus pengaturan Peradilan Agama yang sebelumnya diatur oleh UU No. 7 Tahun 1989, akan tetapi karena tututan modernisasi peradilan, maka undang-undang tersebut diganti dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dimana sebagaimana kita ketahui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negarg Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk rnewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan. 13 Khususnya pada Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat
dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal
21,
Pasal
24,
dan
Pasal
25
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta terdapat penambahan pasal 52A yaitu tentang Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah, yitu kewanangan baru Peradilan Agama. 14. Dengan berlakuknya UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dalam perjalanan sejarah perundang-undang Peradilan Agama terus berlanjut sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia, karena kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga
peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, dimana keberadaam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 15. Analisa Secara Faktor Internal bahwa keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan Penjajahan Belanda membawa dampak positif bagi fodamental peradilan Islam/ syariah di Indonesia, karena dari jaman tersebutlah keberadaan peradilan agama dapat dimungkinkan menjadi peradilan yang modern dan madiri untuk mencuptakan kepastian hukum berdasarkan syariat Islam, yang secara internal untuk kepentingan para pencari keadilan yang beragama Islam dan sedapat mungkin menggunakan dan melaksanakan syariat Islam dan Al Quran. Khususnya Peradilan Agama yang dipengaruhi oleh perubahan perundang-undangan kekuasaan kehakiman yang merupakan peradilan satu atap dan sebagai peradilan yang mandiri serta modern peradilan yang selama ini bersandar pada undang-undang kekuasaan kehakiman untuk peradilan umum 16. Secara faktor eksternal bahwa keberadaan Peradilan Agama pada jaman kerajaan dan Penjajahan Belanda, dimana kolonial belanda yang berupaya memecah belah umat muslim pada masa itu, tidak berhasil, karena dengan keberadaan Peradilan Agama sudah mewadahi kaum muslim yang bersengketa tidak dipengaruhi oleh kekuasaan kolonial belanda, yaitu dengan sistim hukum yang berlaku di kerajaan Belanda dan atas dasar tersebutlah, yang membawa para ulama dan santri untuk mengembangkan syariat Islam yang berasal dari Negara Arab untuk diterapkan di Indonesia, yang di sesuaikan dengan hukum adat yang berkembang didalam masyarakat pluralime di Indonesia. 17. Perlunya diadakan skema perunundang-undangan tentang Peradilan Agama yang merupakan sebagai fundamental peradilan syariah di Indonesia, dengan tujuan agar generasi penerus Bangsa Indonesia dapat mengetahui secara pasti mengenai perkembangan peradilan agama di Indonesia dan terhadap dasar-dasar hukum prodak pemerintahan VOC adalah merupakan sebagai prodak hukum yang menyesatkan, akan tetapi prodak hukum ini tidak boleh dikesampingkan karena merupakan pula secagai cikal bakal tumbuhnya Peradilan agama di Indonesia.
18. Sebaikny terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu disempunakan lagi, karena adanaya permasalahan tentang Poligami, Perkawinan campuran yang merupaka permasalahan baru dan bagaimana dampak pidananya terhadap Poligami yang tidak mendapat ijin dari isteri pertama belum dituangkan dan diatur secara tegas dan keberadaan dan pemberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perlu diatur secara tegas tentang ekonomi syariah karena merupakan kewenangan baru, agar tidak terjadi konflik kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum didalam penangan ekonomi syariah. 19. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, karena belum terdapat pengaturan secara tegas tentang ekonomi syariah dan sebaiknya harus diatur agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan antara kedua kewenangan peradilan yaitu antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum.