BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kemajemukan dalam
masyarakatnya. Masyarakat majemuk disusun oleh perbedaan-perbedaan
identitas sosial, seperti identitas keagamaan, etnisitas, identitas
profesi, dan berbagai kelompok sosial yang mendefinisikan diri secara unik
dan berbeda dari kelompok lain. Hal penting yang muncul dalam pemikiran
sosiologis terhadap adanya masyarakat majemuk ini adalah konsekuensi-
konsekuensi terhadap beberapa hal penting dalam kehidupan sosial seperti
stabilitas dan harmoni sosial dan persaingan identitas dalam arena-arena
sosial. Secara umum dari semua konsekuensi tersebut, konsekuensi masyarakat
majemuk adalah konflik sosial dan hal inilah yang terjadi di Indonesia
selama beberapa dekade belakangan ini.
Masyarakat majemuk Indonesia tidak pernah kosong dari peristiwa-
peristiwa konflik, baik konflik kekuasaan, konflik antar kelompok
kepentingan, dan kelompok identitas etnis keagamaan. Konflik antar umat
beragama yang terjadi di tanah air semakin memprihatinkan. Konflik konflik
yang terjadi karena masyarakat terlalu rentan terhadap gesekan gesekan
perbedaan. adanya konflik-konflik baru juga akan bisa merambah ke daerah
lain kalau masyarakat mudah menerima isu dan terprovokasi. Di Indonesia
konflik antar kelompok sudah sering sekali terjadi seperti adanya konflik
idenitas etnis keagamaan di Poso, konflik identitas etnis keagamaan di
Ambon, dan baru-baru ini konflik identitas keagamaan yang sedang marak
dibicarakan adalah konflik di Tolikara Papua.
Perseteruan konflik identitas kelompok keagamaan di Tolikara Papua
terjadi karena adanya persaingan antara Gereja Injili di Indonesia (GIDI)
yang mendominasi di daerah itu dengan kelompok agama yang berbeda. Situasi
ini bisa jadi sudah menyediakan lahan yang siap diolah sewaktu-waktu untuk
meletusnya konflik jenis apapun. Maka hal remeh, seperti soal speaker bisa
dengan mudah meletuskan konflik kekerasan. Belakangan ini, Kabupaten
Tolikara Di Papua terusik dengan berita kerusuhan yang menyebabkan satu
orang meninggal dan belasan terluka karena tembakan aparat; serta puluhan
kios dan sebuah musholla di dekatnya dibakar. Adanya ketegangan dan klaim-
klaim identitas yang dibuat untuk membedakan antara umat muslim dan Kristen
sebagai kaum pendatang ini. Ketegangan antar kelompok ini menggambarkan
tidak adanya keselarasan dalam masyarakat yang dalam hal ini adalah tidak
adanya multikulturalisme karena dalam satu daerah ada agama yang lebih
mendominasi sehingga menganggap hadirnya kelompok lain akan mengancam
identitas kelompoknya.
Dalam makalah ini kami akan membahas lebih dalam mengenai kasus
konflik keagamaan yang terjadi di kabupaten Tolikara, Papua.Karena tak bisa
dipungkiri perbedaan merupakan sebuah pemicu konflik yang tak terelakan
dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Kemajemukan dalam masyarakat
Indonesia membuat terbentuknya multikulturalisme dalam kehidupan
masyarakat. Konflik antar kelompok berbasis agama, ras dan suku ini lah
yang menjadikan pembahasan multikulturalisme menurut kewarganegaraan
menjadi sangat penting untuk menyelesaikan dan mengetahui lebih dalam
mengenai konflik berbasis agama, ras, dan suku.
1.2 Rumusan Masalah
1. Hal apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik keagamaan di Tolikara
Papua?
2. Bagaimana konflik keagamaan di Tolikara dilihat dalam perspektif
Kewarganegaraan Multikulturalisme?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk menjelaskan latarbelakang terjadinya konflik di Tolikara Papua
2. Untuk mendeskripsikan konflik keagamaan di Tolikara dalam perspektif
Kewarganegaraan Multikulturalisme.
Bab II
KERANGKA TEORI
2.1. Multikulturalisme
Indonesia termasuk negara yang mencoba memperbaiki konsepnya dalam
menghadapi keragaman agama dan budayanya. Jika sebelumnya, konsep
homogeneisasi (penyeragaman) yang mirip dengan melting pot-nya Amerika
Serikat diutamakan, maka Indonesia saat ini menempatkan semua agama secara
sejajar. Dengan memperhatikan pokok-pokok tentang multikulturalisme dan
dihubungkan dengan kondisi negara Indonesia saat ini, kiranya menjadi jelas
bahwa multikulturalisme perlu dikembangkan di Indonesia, karena justru
dengan gagasan inilah kita dapat memaknai keragaman agama di Indonesia.
Konsep ini dapat memperkaya konsep kerukunan umat beragama yang
dikembangkan secara nasional di negara kita.
Satu hal yang harus diamalkan bahwa gagasan multikulturalisme
menghargai dan menghormati hak-hak sipil, termasuk hak-hak kelompok
minoritas. Tapi, sikap ini tetap memperhatikan hubungan antara posisi
negara Indonesia sebagai negara religius yang berdasarkan Pancasila. Negara
Indonesia tidak membenarkan dan tidak mentolerir adanya pemahaman yang anti
Tuhan (atheism). Negara Indonesia juga tidak mentolerir berbagai upaya yang
ingin memisahkan agama dari negara (secularism). Mungkin kedua hal ini
menjadi ciri khas multikulturalisme di negara asalnya seperti Amerika
Serikat dan Eropa. Tapi, ketika konsep ini diterapkan di Indonesia, harus
disesuaikan dengan konsep negara dan karakteristik masyarakat Indonesia
yang religius. Singkatnya, multikulturalisme yang diterapkan di Indonesia
adalah multikulturalisme religius.
2.2 PREMIS-PREMIS
- Kebudayaan kemasyarakatan
Kebudayaan yang memberikan anggotanya cara hidup yang penuh arti baik
dalam bentuk kehidupan sosial, pendidikan, agama, ekonomi yang mencakup
publik dan pribadi. Untuk memahami kebudayaan kita perlu untuk mengulas
budaya itu sendiri dengan bagaimana budaya itu mempengaruhi dan menjadi
pedoman dari perilaku manusia, tidak hanya secara individual melainkan
secara kelompok. Sehingga kebanyakan orang terikat pada budaya memberikan
jaringan, dukungan, solidaritas, sumber daya moral dan perasaan yang
mengakar. Dalam keterikatan ini lebih kepada solidaritas sosial dan bukan
pemisahan dengan mendorong komunikasi antar kelompok dan menciptakan rasa
kebersamaan yang tidak membiarkan orang hidup sendiri dengan caranya.
Tetapi keterikatan itu membuat seseorang untuk menerima budaya lain. Ketika
Negara yang memiliki dua atau lebih bangsa sering kali mengalami kesulitan
dalam mengatur hubungan antar bangsa tersebut. Maka dari itu orang-orang
tersebut memiliki suatu kewajiban untuk memelihara dan mewariskan suatu
budaya yang di anut.
- Kaum Imigran
Multikulturalisme memiliki hubungan yang erat dengan sejarah migrasi.
Imigran yang datang dengan latar belakang ras, agama, budaya dan bahasa
yang berbeda membawa dinamika dalam hubungan warganegara. Dalam sejarah
migrasi memiliki kaitan erat yang berhubungan dengan proyek industrialisasi
pasca Perang Dunia II khususnya Eropa Barat yang butuh tenaga kerja dalam
jumlah yang besar dan tak semua negara bisa memenuhi tenaga kerja dari
dalam negeri.
Kaum imigran dapat memproduksikan situasi Eropa dalam daerah-daerah
etnis. Jadi, untuk mengetahui lebih dalam kaitan antara proses
industrialisasi di Eropa pasca Perang Dunia II itu dengan kebijakan untuk
memperkerjakan tenaga kerja imigran. Karena, tenaga kerja imigran memiliki
dua karakter yaitu Pertama, Mereka bagian integral dari struktur ekonomi
dengan mulanya mereka digunakan sementara kerena cadangan tenaga kerja di
dalam negeri tidak mencukupi akibat perang, tetapi setelah itu mereka
menduduki posisi dalam proses produksi. Kedua, tenaga kerja imigran penting
bagi cadangan tenaga kerja dalam industrialisasi modern. Pada suatu
prinsipnya, tenaga kerja imigran merupakan salah satu faktor utama dalam
menstabilkan perekonomian kapitalis.
- Multikulturalisme dan islam
Multikulturalisme bukan selalu soal perbedaan dan identitas pada
dirinya sendiri namun juga menyangkut suatu hal yang tertanam dan ditunjang
oleh budaya yaitu dengan kepercayaan dan praktek yang lewatnya sekelompok
orang memahami jati diri mereka dan dunia dan mengatur hidup baik individu
maupun kolektif. Tidak seperti perbedaan yang datang dari pilihan-pilihan
yang bersifat individual dengan pemberian makna pada tanda dan benda
tertentu yang diyakini bersama dan punya nilai historis. Multikulturalisme
itu tentang keragaman budaya atau perbedaan-perbedaan yang berakar pada
budaya. Karena teramat mungkin berbicara tentang macam-macam perbedaan yang
tidak harus diasalkan pada perbedaan yang mengakar pada budaya, dan juga
sebaliknya, maka tidak semua pejuang politik pengakuan harus bersimpati
pada multikulturalisme. Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi
sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai
landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup
masyarakatnya.
Kekuasaan politik kaum Muslimin pada abad pertengahan dan pramodern
memang pernah menjangkau Eropa Barat (seperti Spanyol) dan Eropa Timur;
tetapi di abad globalisasi ini, Islam dan kaum Muslimin hadir secara
signifikan –meski tanpa kekuasaan politik– hampir di seluruh penjuru
mancanegara, khususnya di Eropa, Amerika Utara khususnya, dan juga
Australia.
Dalam perkembangannya mendalami agama secara personal merupakan suatu
hal yang murni. Karena bagi mereka Islam lah sebagai identitas personal
yang lebih kuat dari pada identitas etnik. Para imigran muslim lebih
terkait dengan adanya persoalan sosial ekonomi yang iklim kerjanya lebih
baik pada generasi berikutnya yang lebih mengangkat isu-isu seperti
pendidikan agama, makanan halal disekolah dan sebagainya. Bagi mereka yang
tidak selalu bersahabat dengan Islam, pertumbuhan kaum Muslimin di berbagai
penjuru dunia sering dikomentari dengan pernyataan-pernyataan yang
mendorong penguatan Islamophobia. Saat ini sedang terjadi suatu fenomena
yang disebut islamofobia. Islamophobia suatu istilah untuk menggambarkan
ketakutan, kebencian atau prasangka tentang islam. Islamophobia mencangkup
perilaku diskriminatif kepada mereka yang muslim dengan mencangkup serangan
fisik, lisan atau tulisan untuk melecehkan kebencian.[1] Sebelum maraknya
serangan teroris, banyak orang eropa melihat kaum muslim sebagai suatu
ancaman budaya yang masih bisa di kelola. Maka dari itu orang-orang Eropa
melihat kaum Muslim sebagai musuh internal dan mengembangkan ketakutan yang
mendalam pada mereka. Karena itu kekhawatiran utama orang-orang Eropa pada
kaum Muslim mencangkup 4 hal yaitu : 1. Kaum muslim tidak punya komitmen
pada institusi demokrasi. 2. Kaum muslim mengancam sekularisme. 3. Kaum
muslim memusuhi nilai-nilai liberal. 4. Terlena dalam suatu masyarakat
kultural. Islamofobia banyak dikalangan warga biasa yang dimana kaum Muslim
tidak berintegrasi dengan baik dlaam masyarakat, dan menganggap kehadiran
kaum muslim sebagai suatu ancaman terhadap suatu identitas.[2]
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Konflik Tolikara Di Papua
Tolikara adalah kabupaten yang baru dibentuk pada tahun 2002
berdasarkan UU nomor 26 tahun 2002. Kabupaten yang sebelumnya menjadi
bagian dari kabupaten Jayawijaya terletak di daerah pegunungan tengah
Papua. Penduduknya mayoritas adalah orang Papua ditambah dengan beberapa
suku yang berasal dari luar Papua seperti dari Jawa, Sulawesi hingga
Maluku. [3]Keberadaan pendatang di Tolikara umumnya adalah sebagai pegawai
negeri sipil, dan yang lain sebagai pelaku ekonomi. Ketika dibentuk pada
tahun 2002, kabupaten Tolikara memiliki 4 distrik (kecamatan), namun kini
telah menjadi 46 distrik dan 544 kampung (desa). Penduduknya berjumlah
125.326 jiwa dengan luas wilayah 6.149, 666 km2. Untuk menuju ke daerah
ini, dari Jayapura hanya dapat dilakukan dengan menggunakan pesawat udara
berbadan kecil. Satu-satunya akses jalan darat untuk ke kabupaten Tolikara
adalah melalui Wamena, ibukota kabupaten Jayawijaya. Meski demikian, dari
Jayapura ke Wamena, tetap harus menggunakan pesawat udara.
Ketenangan di Tolikara terusik dengan sebuah tragedi yang
memporakporandakan kedamaian masyarakat di Tolikara. Pasalnya ditengah
pelaksanaan ibadah sholat idul fitri terjadi sebuah penyerangan terhadap
jamaah dan beberapa tempat disekitar Tolikara yang menghasilkan banyak
kerugian hingga korban jiwa. Tragedi ini diawali dengan adanya pengeluaran
surat yang ditandatangani oleh BPW Toli GIDI. Isinya adalah melarang umat
Islam untuk melaksanakan Shalat Ied di Tolikara. Umat Islam yang hendak
melaksanakan Shalat Ied diperbolehkan untuk melaksanakannya di luar
Tolikara, serta Melarang umat muslim untuk menggunakan jilbab..Hal ini
mengingat pada saat yang sama, di Karubaga, ibukota kabupaten Tolikara
sedang berlangsung Seminar dan KKR Pemuda Internasional GIDI. Kegiatan ini
juga dihadiri dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk dari beberapa
negara, seperti Belanda dan Israel. Atas dasar surat edaran tersebut,
Kapolres Tolikara, AKBP Suroso menghubungi Bupati Tolikara, Usman Wanimbo
yang juga merupakan Ketua Panitia kegiatan GIDI tersebut. Kapolres juga
menghubungi Presiden GIDI, Pdt. Dorman Wandikbo.
Akhirnya, saat pelaksanaan sholat idul fitri pada tanggal 17 juli 2015
terjadilah penyerangan oleh GIDI karena umat islam tidak menggubris surat
edaran yang diterbitkan oleh GIDI. Namun saat shalat ied datanglah para
pemuda GIDI dan memaksa untuk shalat dibubarkan. Kapolres dan tokoh
masyarakat bernegosiasi, agar shalat boleh terlaksana sampai jam 8. Massa
tetap tidak mau, kemudian terjadi pelemparan (posisi shalat sedikit di
bawah sehingga mudah jadi sasaran lempar) namun massa tidak dapat mendekati
karena ada pagar berduri. Ada tembakan peringatan ke atas, tetapi massa
tidak menggubris akhirnya aparat melepaskan tembakan hingga 12 orang luka
kemudian mereka membubarkan diri. Saat bubar, ada oknum yang membakar kios
hingga merembet ke mushola. Jumlah kios yang terbakar berjumlah 70 unit
serta 2 mobil terbakar. Api membesar karena ada kios juga yang menjual
bensin serta tidak adanya pemadam kebakaran di sana. Saat ini amanat
langsung dari presiden untuk bangun kembali kios serta mushola di Tolikara.
3.2. Penduduk Asli VS Imigran Di Tolikara
Adanya perselisihan di Tolikara sebenarnya sudah berlangsung sejak
lama. Di Papua, sesungguhnya sumber atas adanya pembagian dua kelompok
orang yang berkepentingan bukanlah agama, namun antara orang pendatang dan
orang asli Papua. Pembagian dua kelompok kepentingan yang tak sehat ini
mewarnai kehidupan sosial dan ekonomi di Papua, dan sebagiannya muncul
dalam UU Otonomi Khusus Papua. Politik identitas yang memberikan
keistimewaan pada orang asli Papua dapat bermakna baik jika dipahami
sebagai aksi yang sah, Yang menarik, polarisasi itu bahkan muncul dalam
kelompok-kelompok dalam suatu agama tertentu. Ada ketegangan dan klaim-
klaim identitas yang dibuat untuk membedakan Kristen pendatang dan Kristen
asli Papua; juga antara Muslim Papua dan Muslim pendatang.
Menurut data BPS 2010, komposisi Penduduk di Tolikara, berdasarkan agama
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1[4]
Komposisi antara pendatang dan penduduk asli bisa dilihat di Tabel 2
dimana Penduduk asli Papua di Tolikara berjumlah 113.034 jiwa dan 1.393
jiwa adalah pendatang/imigran.
Tabel 3.2[5]
Penduduk asli Papua di Tolikara umumnya bekerja sebagai petani
tradisional. Sebagian kecil dari mereka bekerja sebagai pegawai/staf di
perusahaan. Jumlah petani di Tolikara berjumlah sekitar 60.000 orang.
Sementara sektor perdagangan sebagian besar dikuasai oleh para
migran/pendatang. Berdasarkan BPS 2010, pedagang di Kab. Tolikara berjumlah
415 orang. Dari Jumlah 415 orang tersebut, sebanyak 330 pedagang
berdomisili di Distrik Karubaga. Sedikit dari mereka yang adalah penduduk
asli Papua. Berdasarkan informasi pasca insiden pembakaran, diperkirakan
jumlah pengungsi yang kehilangan kios dan ruko adalah sebanyak 150 orang.
Sekitar 70 kios/toko terbakar. Jika kita membandingkan data di atas, dimana
330 pedagang berdomisili di Karubaga, maka lebih kurang setengah pedagang
di Distrik Karubaga, Tolikara adalah muslim.
Penguasaan sektor ekonomi oleh para migran atau pendatang di Papua
bukan isu baru. Setidaknya beberapa Kota/Kabupaten di Papua menunjukkan
data yang sama. Ketidakadilan pemerataan ekonomi dan penguasaan sektor
perdagangan oleh pendatang/migran mengakibatkan kecemburuan sosial pada
penduduk asli Papua.
Ada kekhawatiran mendalam bahwa ketegangan kuat antar-agama
sebagiannya dipicu oleh kelompok-kelompok agama pendatang itu. Banyak dari
kelompok ini tak berbagi kearifan lokal dan ikatan adat yang melampaui
batas agama itu. Jika analisis ini diteruskan lebih jauh, mungkin kita akan
menyalahkan kelompok-kelompok pendatang. Saat ini kita tak bisa bermimpi
akan adanya wilayah yang "murni" hanya dihuni "orang asli. Dalam pandangan
kewarganegaraan, kaum imigran adalah kaum yang memiliki sebuah perbedaan
dari kaum asli yang tinggal diwilayah tertentu. Kaum imigran yang datang
dengan membawa sebuah perbedaan ras, suku dan agama akan membawa sebuah
dinamika yang berbeda dalam lingkungan baru mereka sehingga pemicu konflik
akan terlalu mudah terjadi. Sejarah migrasi yang terjadi memang menunjukan
bahwa kedatangan kaum imigran mampu membentuk sebuah pandangan lain dimata
penduduk asli sehingga rentan dengan konflik. Dalam melihat kasus tolikara,
erat hubungannya dengan sejarah migrasi karena kedatangan kaum imigran
mampu mengubah komposisi kewarganegaraan daerah yang menerima imigran.
Muslim sebagai warga Negara imigran mengubah posisi masyarakat asli papua
yang dalam kasus ini mayoritas beragama Kristen dan hal tersebut yang
menjadi sebuah pemicu konflik di tolikara.
Dalam kasus tolikara ini, masyarakat asli tolikara memiliki sebuah
budaya kemasyarakatan yang sudah melekat sejak lama dan kedatangan kaum
imigran yang lebih unggul dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi,
sosial, dan pendidikan membuat kecemburuan masyarakat asli papua pada kaum
imigran tersebut. Ditambah lagi, kaum imigran yang datang ke tolikara
mayoritas beragama Islam. Dalam perkembangannya mendalami agama secara
personal merupakan suatu hal yang murni. Islam lah identitas personal yang
lebih kuat dari pada identitas etnik. Terlebih Saat ini sedang marak
terjadi suatu fenomena yang disebut islamofobia. Islamofobia suatu istilah
untuk menggambarkan ketakutan, kebencian atau prasangka tentang islam.
Islamofobia mencangkup perilaku diskriminatif kepada mereka yang muslim
dengan mencangkup serangan fisik, lisan atau tulisan untuk melecehkan
kebencian. Hal ini membuat tidak tercapainya nilai universal berupa
solidaritas antar kelompok dan terciptanya rasa kebersamaan.
3.3. Konflik Tolikara dalam Pandangan Multikulturalisme
Dalam pandangan multikulturalisme, Kebudayaan yang memberikan
anggotanya cara hidup yang penuh arti baik dalam bentuk kehidupan sosial,
pendidikan, agama, ekonomi yang mencakup publik dan pribadi. Sehingga
kebanyakan orang terikat pada budaya memberikan jaringan, dukungan,
solidaritas, sumber daya moral dan perasaan yang mengakar. Hal tersebut
membuat seorang yang sudah terikat dengan sebuah kebudayaan akan menjadi
penganut yang kuat dan akan melakukan apapun untuk budayanya. Namun, dalam
pemikiran multikulturalisme gagasan multikulturalisme menghargai dan
menghormati hak-hak sipil, termasuk hak-hak kelompok minoritas. Tapi, sikap
ini tetap memperhatikan hubungan antara posisi negara Indonesia sebagai
negara religius yang berdasarkan Pancasila. Negara Indonesia tidak
membenarkan dan tidak mentolerir adanya pemahaman yang anti Tuhan
(atheism). Negara Indonesia juga tidak mentolerir berbagai upaya yang ingin
memisahkan agama dari negara (secularism). Mungkin kedua hal ini menjadi
ciri khas multikulturalisme di negara asalnya seperti Amerika Serikat dan
Eropa. Tapi, ketika konsep ini diterapkan di Indonesia, harus disesuaikan
dengan konsep negara dan karakteristik masyarakat Indonesia yang religius.
Singkatnya, multikulturalisme yang diterapkan di Indonesia adalah
multikulturalisme religius.
Multikulturalisme membentuk sebuah paradigma bahwa hak individu atau
kaum minoritas dalam sebuah Negara juga harus dijunjung tinggi. Kelompok
mayoritas yang memiliki power lebih memang memiliki sebuah hak yang lebih
besar namun bukan berarti hak kaum minoritas dikesampingkan. Dalam
pandangan Anthony Giddens, multikulturalisme sering dipandang sebagai
separatism atau relatifisme budaya. Giddens menekankan pentingnya identitas
nasional dan hukum nasional tetapi juga memperkuat hubungan antara kelompok
sosial dan etnis yang berbeda. Multikuturalisme model ini lebih pada
solidaritas sosial dan bukan pemisahan, pendorong komunikasi antar
kelompok, menciptakan rasa kebersamaan dan tidak membuatkan orang hidup
sendiri dalam caranya.
Inti dari pembahasan multikulturalisme sebenarnya adalah menemukan
keseimbangan antara kewajiban universal dan kepekaan pada nilai dari
kelompok yang berbeda beda. Pandangan tersebut menunjukan bahwa seharusnya
konflik yang terjadi di tolikara tidak perlu terjadi apabila memang konsep
kewarganegaraan Giddens ini diterapkan karena pada dasarnya keberagaman
adalah hal yang mutlak ada dan kepentingan kelompok bukanlah segalanya
karena ada kepentingan bersama yag harus diwujudkan. Jadi dalam memahami
multikulturalisme memang erat dengan kebudayaan, maka apabila berbicara
kebudayaan kemasyarakatan itu lebih kepada nilai keyakinan kelompok
tertentu yang diselipkan dalam segala kegiatan masyarakat dalam konteks
pendidikan, agama, sosial dan ekonomi dan hal yang mencakup publik atau
pribadi. Kebudayaan tersebut cenderung lebih territorial berdasarkan
kesamaan yang mereka miliki yang didalamnya tidak hanya ada ingatan dan
nilai bersama melainkan adanya institusi dan praktek yang sama dalam
masyarakat. Sebagai solusinya yang perlu dilakukan multikulturalisme adalah
memperdalam sekaligus mendorong pertemuan antar budaya agar saling mengenal
dan berpartisipasi dalam masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setiap ada konflik yang melibatkan atau menggunakan simbol-
simbol agama dan mengenai umat beragama, hal pertama yang perlu
dipahami adalah bahwa setiap konflik (dan, sebetulnya, setiap
peristiwa sosial) tidak pernah memiliki hanya satu sebab tunggal.
Istilah "konflik agama" bisa saja digunakan untuk peristiwa dimana
simbol agama dirusak, misalnya, atau identitas keagamaan orang-orang
yang terlibat dalam konflik itu (pelaku atau korban) tampak nyata.
Dalam kasus di Tolikara, konteks penting adalah kompleksitas dan
kerentanan persoalan Papua pada umumnya. Kerentanan ini, seperti bisa
dilihat dalam beragam kasus-kasus non-agama lainnya di Papua, kerap
direspon oleh aparat keamanan secara represif dengan menggunakan
senjata—untuk melukai atau membunuh. Satu kecenderungan lain adalah
adanya persaingan antara Gereja Injil di Indonesia (GIDI) yang
mendominasi di daerah itu dengan kelompok agama lainnya (termasuk
dengan Kristen denominasi yang berbeda).
Situasi ini bisa jadi sudah menyediakan lahan yang siap diolah
sewaktu-waktu untuk meletusnya konflik jenis apapun. Maka hal remeh,
seperti soal speaker bisa dengan mudah meletuskan konflik kekerasan,
bahkan merenggut korban jiwa. Dalam pandangan multikulturalisme,
Kebudayaan yang memberikan anggotanya cara hidup yang penuh arti baik
dalam bentuk kehidupan sosial, pendidikan, agama, ekonomi yang
mencakup publik dan pribadi. Inti dari pembahasan multikulturalisme
sebenarnya adalah menemukan keseimbangan antara kewajiban universal
dan kepekaan pada nilai dari kelompok yang berbeda beda. Pandangan
tersebut menunjukan bahwa seharusnya konflik yang terjadi di tolikara
tidak perlu terjadi apabila memang konsep kewarganegaraan Giddens ini
diterapkan karena pada dasarnya keberagaman adalah hal yang mutlak ada
dan kepentingan kelompok bukanlah segalanya karena ada kepentingan
bersama yag harus diwujudkan.
4.2 Saran
Pemerintah wajib melaksanakan fungsi penertiban dimana negara harus
melaksanakan penertiban atau bertindak sebagai stabilisator.
Memberikan penanaman nilai tentang kerukunan negara
Menjalin komunikasi dan social welfare. Untuk menyelesaikan konflik
Tolikara dan Papua, selain pendekatan hukum, diperlukan juga dialog
dan pendekatan social welfare (kesejahteraan sosial) yang
memberdayakan dan memajukan serta memberi martabat kepada penduduk
asli dengan pendatang yang difasilitasi pemerintah setempat.
LAMPIRAN
Studi Kasus 1:
TEMPO.CO, Karubaga - Garis polisi warna kuning melilit satu bangunan yang
letaknya berseberangan dengan lapangan markas Koramil 1702-11 Karubaga,
Kabupaten Tolikara, Papua. Sementara bangunan kios yang jumlahnya puluhan
tanpa garis polisi. Papan nama yang tergeletak di lantai bangunan yang
dililit garis polisi itu memberi petunjuk bahwa bangunan itu sebelumnya
berfungsi sebagai tempat ibadah umat muslim di Tolikara. Papan itu
bertuliskan Masjid Baitul Muttaqim, Jalan Irian No.01 Kec. Karubaga KAB.
TOLIKARA.
Menurut Ustad Ali Mukhtar, masjid itu memang dibangun tanpa sepengetahuan
dan seizin dari pemerintah setempat dan masyarakat Tolikara. Selama ini
Pengurus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) melarang rumah ibadah apa pun
didirikan tanpa seizin tokoh-tokoh masyarakat Tolikara.Menurut Ustad Ali,
satu musala berdiri tahun 1987. Masyarakat bekerja sama mendanai pendirian
musala. Ukuran musala 5 x 5 meter persegi. Jumlah umat muslim yang terus
bertambah membuat musala diperbesar menjadi berukuran 11 x 11 meter persegi
dan berdempetan dengan kios milik warga. Musala lantas berubah jadi masjid.
Namun tidak ada yang melarang atau mendesak musala atau masjid ditutup.
"Kami di sini tidak pernah dilarang atau suruh bongkar karena itu sudah
lama. DPRD di sini bilang silakan lanjut karena sudah berdiri lama," kata
Ali. Seingat Ali, ia hanya pernah ditemui 32 orang yang terdiri dari tokoh
agama Kristen Tolikara, mahasiswa, tokoh adat, dan pemimpin daerah
setempat. Mereka, ujarnya, meminta umat muslim yang akan merayakan hari
besar keagamaannya untuk mengajukan izin terlebih dahulu.
Warga muslim di Tolikara umumnya pendatang yang berasal dari Sulawesi
Selatan, Pulau Jawa, dan Sumatera. Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo
membenarkan pendirian musala yang kemudian berubah jadi masjid itu tanpa
ada izin dari tokoh dan warga setempat. Tolikara merupakan wilayah yang
semua penduduk aslinya merupakan anggota GIDI.
Ketiadaan izin itu tidak dipersoalkan GIDI maupun pemda setempat selama
ini hingga terjadi rusuh pada Jumat pekan lalu. Kala itu terjadi pembakaran
puluhan kios dan musala. "Saya baru tahu itu masjid. Selama ini yang saya
tahu musala," ujarnya kepada Tempo di rumah dinasnya, Jumat pagi, 24 Juli
2015. Di pemberitaaan media nasional, ada yang menyebut musala dan ada yang
menyebut masjid. Di papan nama itu tidak tertulis musala, melainkan masjid.
Letak masjid ini berdempetan dengan kios dan tanpa kubah. Bupati Usman
menyebut jumlah umat muslim di Tolikara berkisar 200 orang. Sebagian besar
mereka di Tolikara sebagai pedagang. "Mereka datang dan tinggal di Wamena
dan punya toko di sini," katanya.
MARIA RITA
Sumber: https://m.tempo.co/read/news/2015/07/26/078686617/masjid-berdiri-di-
tolikara-begini-kisahnya
Studi Kasus 2:
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal
Badrodin Haiti menjelaskan kronologi peristiwa keributan di Tolikara, Papua
yang menyebabkan sejumlah bangunan rusak dan hangus terbakar termasuk satu
masjid. Penjelasan kronoligis berdasarkan hasil survei langsung yang
dilakuakan Polri pada Sabtu (18/7).
Badrodin mengatakan, peristiwa bermula dari surat edaran tentang pelarangan
bagi umat Islam melaksanakan solat Idul Fitri. Setelah ditelusuri, surat
edaran tersebut dikeluarkan oleh Dewan Pekerja Wilayah Gereja Injili di
Indonesia (GIDI) Tolikara, Papua.
"Isi surat tersebut tentang pemberitahuan pada semua umat islam di Tolikara
yang ditandatangani oleh pendeta dan sekeretarisnya, isinya itu adalah
dalam rangka pelaksanaan seminar internasional dan Kebaktian Kebangunan
Rohani (KKR) remaja GIDI," ujar Badrodin kepada wartawan di rumah dinas
Kepala Badan Intelijen Negara, Jakarta, Kamis (23/7). Badrodin mengatakan,
surat edaran GIDI meminta kepada umat islam untuk tidak mengerahkan dan
mengundang massa dalam jumlah besar, karena pada 13 sampai 19 Juli 2015 ada
agenda yang dilakukan mereka di Tolikara, Papua. "Di antara tanggal 13-19
ada tanggal 17 dimana ada umat Islam yang merayakan solat Idul Fitri dan
kaum muslimat dilarang menggunakan jilbab," ujarnya.
Lebih lanjut, Badrodin menyatakan, dalam surat edaran tersebut juga
disampaikan, bahwa ada pelarangan mendirikan tempat ibadah bagi semua agama
kecuali GIDI di Tolikara. "Termasuk gereja Adven yang ada disana di tutup.
dan jemaahnya masuk ke GIDI," ujarnya. Saat surat edaran GIDI dikeluarkan,
Badrodin mengaku, Kepala Polisi Resor Tolikara telah melakukan konfirmasi
dan berkordinasi dengan Presiden GIDI. Akan tetapi, presiden GIDI
menyatakan surat edaran tersebut tidak resmi, karena tidak ditandatangani
langsung olehnya.
Karena merasa surat edaran yang dikeluarkan GIDI di Tolikara bermasalah,
Kapolres melakukan komunikasi dengan Bupati Tolikara, Usman Wanimbo dan
menyepakati untuk mencabut dan tidak mengizinkan surat edaran tersebut
diberlakukan.
"Dari keterangan bupati, Kapolres menghubungi tokoh Islam disana untuk
mempersilakan umat islam melaksanakan solat maksimal hingga pukul 08.00
WIT. Nanti Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan mengamankannya,"
ujarnya. Namun, tidak lama solat Idul Fitri dilakukan Jumat (17/7) pagi,
sejumlah massa mendatangi lokasi solat dan meminta umat muslim untuk
menghentikan aktivitasnya. Kapolres yang berada di lokasi sempat melakukan
negosiasi dengan massa. Akan tetapi, karena jumlahnya semakin bertambah dan
mulai memanas, polisi terpaksa menembakkan peluru ke atas untuk meredam
situasi.
"Kapolres dan beberapa stafnya sudah negosiasi, bernegosiasi agar diberi
kesempatan sampai selesai jam 8. Ternyata massa makin banyak, negosiasi
gagal, ada yang melempar, polisi berikan tembakan poeringatan agar bubar.
Tapi malah terjadi perlawanan petugas dan melempari jemaah," ujarnya.
Setelah kondisi pecah dan terjadi serangan terhadap umat muslim. Polisi
melakukan tembakan kesejumlah orang yang saat kejadian juga melakukan
penyerangan terhadappetugas.
"Polisi telah berikan tembakan poeringatan agar bubar. Tapi malah melawan
petugas dan melempari jemaah. Akhirnya jemaah bubar, oleh karena itu
dilakukan penembakan ke bawah. Ketentuan sudah betul ditembak di bawah
lutut, hingga 12 korban itu rata-rata kena kaki dan satu kena pinggul dan
meninggal. Saya tidak tahun prosesnya, apakah sedang jongkok atau gimana,"
ujarnya. Hingga kini polisi masih melakukan identifikasi terhadap prosedur
penembakan dan memeriksa sejumlah saksi untuk menetapkan tersangka dibalik
peristiwa tersebut.
Sementara itu Kepolisian Daerah Papua menangkap dua tersangka kerusuhan
Tolikara, Papua, Kamis (23/7). Penangkapan itu dikonfirmasi oleh Kapolda
Papua Irjen Yotje Mende. "Tersangka baru saja kami tangkap," kata Yotje
kepada CNN Indonesia. Kedua tersangka berinisial HK dan JW. Keduanya ialah
warga lokal Tolikara. "Mereka sebagai provokator atau yang menyuruh
melakukan penyerangan terhadap massa," kata Yotje yang siang tadi tiba di
Tolikara. (pit)
Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150723174315-12-
67845/kapolri-beberkan-kronologi-insiden-tolikara/
-----------------------
[1]Tobi, Hendrik Boli. Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan Dari Marx Sampai
Agamben. Hal.114
[2] Ibid. Hal: 115.
[3] http://www.wahidinstitute.org/wi-id/indeks-berita/html , diakses pada
tanggal 25 April 2016 Pukul 11.00.
[4] www.bps.go.id, diakses pada tanggal 22 April 2016.
[5] www.bps.go.id, diakses pada tanggal 22 April 2016.