BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, 1,2,3
dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus).
Spondilosis lumbalis muncul pada 27-37% dari populasi yang asimtomatis. Di Amerika Serikat, lebih dari 80% individu yang berusia lebih dari 40 tahun mengalami spondilosis lumbalis, meningkat dari 3% pada individu berusia 20-29 tahun. Di dunia, spondilosis lumbal dapat mulai berkembang pada usia 20 tahun. Hal ini meningkat, dan mungkin tidak dapat dihindari, bersamaan dengan usia. Kira-kira 84% pria dan 74% wanita mempunyai osteofit vertebralis, yang sering terjadi setinggi T9-10. Kira-kira 30% pria dan 28% wanita berusia 55-64 tahun mempunyai osteofit lumbalis. Kira-kira 20% pria dan 22% wanita berusia 45-64 tahun 1,2,3
mengalami osteofit lumbalis.
Rasio jenis kelamin pada keadaan ini bervariasi, namun hampir sama secara bermakna. Spondilosis lumbalis ini sendiri muncul sebagai fenomena penuaan yang tidak spesifik. Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara spondilosis dengan gaya hidup, berat badan, tinggi badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol, 1,2,3
atau riwayat reproduksi.
Spondilosis lumbalis sering bersifat asimtomatis, sehingga kita sebagai dokter sangat perlu untuk mengetahui patogenesis, gejala klinis yang sering tampak serta pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan diagnosa dan memberikan penanganan 1,2,3
yang tepat.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior Departemen Ilmu Penyakit Saraf RSUP Haji Adam Malik Medan dan meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mahasiswa tentang spondilosis lumbalis.
1.3. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai sarana untuk mengetahui dan mempelajari lebih dalam mengenai spondilosis lumbalis berdasarkan teori yan g ada.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, 2
dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus).
Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang lama dapat 2
menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam.
Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama 3
ligamen flavum).
2.2. Etiologi
Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol. Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak pada usia 45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah
4
a.
Kebiasaan postur yang jelek
b.
Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.
c.
Tipe tubuh
Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra lumbal yaitu a.
4
Faktor usia Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan
merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun. 2
b.
Stress akibat aktivitas dan pekerjaan Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian
retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.
c.
Peran herediter Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian
Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 – 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training.
d. Adaptasi fungsional Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.
2.3. Epidemiologi
Nyeri pinggang di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang nyata. Kira-kira 80% penduduk seumur hidup pernah sekali merasakan nyeri punggung bawah. Pada setiap saat lebih dari 10 % penduduk menderita nyeri pinggang. Insidensi nyeri pinggang di beberapa negara berkembang lebih kurang 15-20% dari total populasi, yang sebagian besar merupakan nyeri pinggang akut maupun kronik, termasuk tipe benigna. Penelitian kelompok studi nyeri Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) Mei 2002 menunjukkan jumlah penderita nyeri pinggang sebesar 18,37% dari seluruh pasien nyeri. Studi populasi di daerah pantai utara Jawa Indonesia ditemukan insidensi 8,2% pada pria dan 13,6% pada wanita. Di rumah sakit Jakarta, Yogyakarta dan Semarang insidensinya sekitar 5,4 – 5,8%, frekwensi terbanyak pada usia 45-65 2
tahun.
Dalam penelitian multisenter di 14 Rumah Sakit di Indonesia, yang dilakukan oleh kelompok studi nyeri PERDOSSI pada bulan Mei 2002 menunjukkan jumlah penderita nyeri sebanyak 4.456 orang (25%dari total kunjungan), dimana 1.598 orang (35,86%) merupakan 2
penderita nyeri kepala dan 819 orang (18,37%) adalah penderita n yeri punggung bawah (NBP).
3
2.4. Patofisiologi
Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-bearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus 5
vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi p ada vertebra yang osteoporosis.
Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada cartilaginous end plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak 5
mendapatkan suplai darah dan harus mengandalkan difusi untuk nutrisi
Gambar 2.1. (kiri) Ilustrasi spondilosis, (kanan) ilustrasi osteofit.
4
Perubahan patologi yang terjadi pada diskus intervertebralis antara lain: a.
Annulus fibrosus menjadi kasar, collagen fiber cenderung melonggar dan muncul retak pada berbagai sisi.
b. Nucleus pulposus kehilangan cairan c.
Tinggi diskus berkurang
Perubahan ini terjadi sebagai bagian dari proses degenerasi pada diskus dan dapat hadir tanpa menyebabkan adanya tanda-tanda dan gejala. Sedangkan pada corpus vertebra, terjadi perubahan patologis berupa adanyalipping yang disebabkan oleh adanya perubahan mekanisme diskus yang menghasilkan penarikan dari periosteum dari annulus fibrosus. Dapat terjadi dekalsifikasi pada corpus yang dapat menjadi 5
factor predisposisi terjadinya crush fracture.
Pada ligamentum intervertebralis dapat menjadi memendek dan menebal terutama pada daerah yang sangat mengalami perubahan. Pada selaput meningeal, durameter dari spinal cord membentuk suatu selongsong mengelilingi akar saraf dan ini menimbulkan inflamasi karena 5
jarak diskus membatasi canalis intervertebralis.
Terjadi perubahan patologis pada sendi apophysial yang terkait dengan perubahan pada osteoarthritis. Osteofit terbentuk pada margin permukaan articular dan bersama-sama dengan penebalan kapsular, dapat menyebabkan penekanan pada akar saraf dan mengurangi lumen pada 5
foramen intervertebralis.
Gambar 2.2. Perubahan lengkungan vertebra.
2.5. Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang terjadi tergantung pada lokasi yang terjadi baik itu cervical, lumbal dan thoracal. Untuk spondylosis daerah lumbal memberikan gambaran klinis sebagai berikut: a.
Onset, biasanya awal nyeri dirasakan tidak ada apa-apa dan tidak menjadi suatu masalah sampai beberapa bulan. Nyeri akut biasanya ditimbulkan dari aktivitas tidak sesuai.
b. Nyeri, biasanya nyeri terasa disepanjang sacrum dan sacroiliac joint. Dan mungkin menjalar ke bawah (gluteus) dan aspek lateral dari satu atau kedua hip. Pusat nyeri berasal dari tingkat L4, L5, S1.
5
c.
Referred pain, nyeri mungkin saja menjalar ke arah tungkai karena adanya iritasi pada akar persarafan. Ini cenderung pada area dermatomnya: Paha (L1), Sisi anterior tungkai (L2), Sisi anterior dari tungkai knee (L3), Sisi medial kaki dan big toe (L4), Sisi lateral kaki dan tiga jari kaki bagian medial (L5), Jari kaki kecil, sisi lateral kaki dan sisi lateral bagian posterior kaki (S1), Tumit, sisi medial bagian posterior kaki (S2).
d. Parasthesia, biasanya mengikuti daerah dermatom dan terasa terjepit dan tertusuk, suatu sensasi ”kesemutan” atau rasa kebas (mati rasa). e.
Spasme otot, biasanya ada peningkatan tonus erector spinae dan m. quadratus lumborum. Seringkali terdapat tonus yang berbeda antara abduktor hip dan juga adductor hip. Kadangkadang salah satu otot hamstring lebih ketat dibanding yang lainnya.
f.
Keterbatasan gerakan, semua gerakan lumbar spine cenderung terbatas. Gerakan hip biasanya terbatas secara asimetrical. Factor limitasi pada umumnya disebabkan oleh ketetatan jaringan lunak lebih dari spasm atau nyeri.
g. Kelemahan otot, terjadi biasanya pada otot abdominal dan otot gluteal. Kelemahan mungkin terjadi karena adanya penekanan pada akar saraf myotomnya. Otot-otot pada tungkai yang mengalami nyeri menjalar biasanya lebih lemah dibandingkan dengan tungkai satunya. h. Gambaran radiografi, terdapat penyempitan pada jarak discus dan beberapa lipping pada corpus vertebra.
2.6. Pemeriksaan Penunjang
X-ray,
CT
scan,
dan
MRI
digunakan
hanya
pada
keadaan
dengan
komplikasi. Pemeriksaan densitas tulang (misalnya dual-energy absorptiometry scan [DEXA]) memastikan tidak ada osteofit yang terdapat di daerah yang digunakan untuk pengukuran densitas untuk pemeriksaan tulang belakang. Osteofit menghasilkan gambaran massa tulang yang bertambah, sehingga membuat hasil uji densitas tulang tidak valid dan menutupi adanya 5
osteoporosis.
Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina int ervertebralis dan facet joint,
menunjukkan
spondilosis,
spondiloarthrosis,
retrolistesis,
spondilolisis,
dan
spondilolistesis. Stenosis spinalis centralis atau stenosis recessus lateralis tidak dapat ditentukan 5
dengan metode ini.
6
Gambar 2.3. Contoh x-ray spondilosis
CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan pada saat yang sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan setebal 3 mm, ukuran dan bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi discuss intervertebralis, 5,8,9
lemak epidural dan ligamentum clavum juga terlihat.
MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur non osseus dan saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi canalis spinalis. Disamping itu, di luar dari penampakan degradasi diskus pada T2 weighted image, biasanya tidak dilengkapi informasi penting untuk diagnosis stenosis spinalis lumbalis. Bagaimanapun juga, dengan adanya perkembangan pemakaian MRI yang cepat yang merupakan metode non invasif, peranan MRI dalam diagnosis penyakit ini akan bertambah. Khususnya kemungkinan untuk melakukan rangkaian fungsional spinal lumbalis akan sangat bermanfaat.
5,8,9
Gambar 2.4. Contoh MRI spondilosis.
7
2.7. Komplikasi
Skoliosis merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada penderita nyeri punggung bawah karena Spondilosis. Hal ini terjadi karena pasien selalu memposisikan tubuhnya kearah yang lebih nyaman tanpa mempedulikan sikap tubuh normal. Hal ini didukung 5,6,7
oleh ketegangan otot pada sisi vertebra yang sakit.
2.8. Penatalaksaan
2.8.1. Penatalaksanaan Medis Terdiri
dari
pengobatan
konservatif
dan
pembedahan.
Pada
pengobatan
konservatif, terdiri dari obat antiradang (NSAID), analgesik, obat pelemas otot, dan memakai korset lumbal yang mana dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan meningkatkan jarak saat berjalan. Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk 7,8,9
pengobatan awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif.
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya gejala-gejala permanen khususnya defisit motorik.
Pembedahan tidak dianjurkan pada keadaan tanpa
komplikasi. Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain: Operasi dekompresi,Kombinasi dekompresi dan stabilisasi 7,8,9
dari segmen gerak yang tidak stabil, dan Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil
2.8.2. Penatalaksanaan Fisioterapi Tujuan
tindakan
fisioterapi
pada
kondisi
ini
yaitu
untuk
meredakan
nyeri,
mengembalikan gerakan, penguatan otot, dan edukasi postur. Pada pemeriksaan (assessment) 8,9
yang perlu diidentifikasi adalah: 1)
Gambaran nyeri
2)
Faktor pemicu pada saat bekerja dan saat luang
3)
Ketidaknormalan postur
4)
Keterbatasan gerak dan faktor pembatasannya.
5)
Hilangnya gerakan accessories dan mobilitas jaringan lunak dengan palpasi.
Program intervensi fisioterapi hanya dapat direncanakan setelah melakukan assessment tersebut. Adapun treatment yang bias digunakan dalam kondisi ini, adalah sebagai berikut: 1)
Heat , heat pad dapat menolong untuk meredakan nyeri yang terjadi pada saat penguluran otot yang spasme.
2)
Ultrasound , sangat berguna untuk mengobati thickening yang terjadi pada otot erector spinae dan quadratus lumborum dan pada ligamen (sacrotuberus dan saroiliac)
3)
Corsets, bisa digunakan pada nyeri akut
4)
Relaxation, dalam bermacam-macam posisi dan juga pada saat istirahat, maupun bekerja. Dengan memperhatikan posisi yang nyaman dan support. 8
5)
Posture education, deformitas pada postur membutuhkan latihan pada keseluruhan alignment tubuh.
6)
Mobilizations, digunakan untuk stiffness pada segment lumbar spine, sacroiliac joint dan hip joint.
7)
Soft tissue technique, pasif stretching pada struktur yang ketat sangat diperlukan, friction dan kneading penting untuk mengembalikan mobilitas supraspinous ligament, quadratus lumborum, erector spinae dan glutei.
8)
Traction, traksi osilasi untuk mengurangi tekanan pada akar saraf tetapi harus dipastikan bahwa otot paravertebral telah rileks dan telah terulur.
9)
Hydrotherapy, untuk relaksasi total dan mengurangi spasme otot. Biasanya berguna bagi pasien yang takut untuk menggerakkan spine setelah nyeri yang hebat.
10)
Movement, hold relax bisa diterapkan untuk memperoleh gerakan fleksi. Bersamaan dengan mobilitas, pasien melakukan latihan penguatan untuk otot lumbar dan otot hip.
11)
Advice , Tidur diatas kasur yang keras dapat menolong pasien yang memiliki masalah sakit punggung dan saat bangun, kecuali pada pasien yang nyeri nya bertambah parah pada gerakan ekstensi. Jika pasien biasanya tidur dalam keadaan miring, sebaiknya menggunakan kasur yang lembut.
2.9. Pencegahan
Mengingat beratnya gejala penyakit ini dan kita tidak pernah tahu seberapa cepat proses degenerasi terjadi pada tulang punggung, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan dari 8,9
sekarang untuk mengurangi resiko terjadinya spond ylosis. Antara lain :
1. Hindari aktivitas dengan benturan tinggi (high impact), misalnya berlari. Pilih jenis olah raga yang lebih lembut dan mengandalkan peregangan dan kelenturan. 2. Lakukan exercise leher dan punggung yang dapat meningkatkan kekuatan otot, kelenturan, dan jangkauan gerak. 3. Jangan melakukan aktivitas dalam posisi yang sama dalam jangka waktu lama. Beristirahatlah sering-sering. Misalnya waktu menonton TV, bekerja di depan komputer, ataupun mengemudi. 4. Pertahankan postur yang baik. Duduklah yang tegak. Jangan bertumpu pada satu kaki bila berdiri. Jangan membungkuk bila hendak mengangkat barang berat lebih baik tekuk tungkai dan tetap tegak. 5. Lindungi diri dengan sabuk pengaman saat berkendara. Hal ini membantu mencegah terjadinya cedera bila ada trauma. 6. Berhenti merokok. Merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya spondylosis.
9
BAB III KESIMPULAN
Spondylosis lumbalis merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia, obesitas,dan duduk dalam waktu yang lama. Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis lumbalis adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh. Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang, spasme otot, keterbatasan gerak kesegala arah hingga gangguan fungsi seksual. Anatomi tulang belakang perlu diketahui agar klinisi dapat menentukan elemen apa yang terganggu pada timbulnya keluhan nyeri punggung bawah dan mengembalikan fungsinya untuk menghasilkan gerakan-gerakan serta menjadi tempat lekat dari otot-otot, agar tidak terjadi perubahan patologi yang terjadi pada diskus intervertebralis. Adapun treatment yang biasa digunakan dalam kondisi ini, adalah heat, US, corsets, posture education, traction, hydroterapy, dan lain-lain. Selain itu ada beberapa solusi penanganan terbaru, apabila perlu dokter dapat menganjurkan pemasangan alat bantu seperti cervical collar yang tujuannya untuk meregangkan dan menstabilkan posisi. Fisioterapi berupa pemberian panas dan stimulasi listrik juga dapat membantu melemaskan otot. Mengingat beratnya gejala penyakit ini, maka pencegahan yang bisa dilakukan adalah melakukan exercise, perbaiki postur tubuh, dan berhenti merokok.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Mahadewa, T. G. B., dan Maliawan, Sri, 2009. Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Tulang Belakang . Cetakan Pertama. Jakarta: Sagung Seto. 2. Kelompok Studi Nyeri, 2003. Nyeri Punggung Bawah. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 3. Manchikanti,
L,
2000.
Epidemiology
of
Low
http://www.painphysicianjournal.com/2000/april/2000;3;167-192.pdf .
Back [Diakses
Pain. 7
Desember 2013] 4. Marrio, Maurits van Tulder, 2005. European Guidelines for the Management of Acute Nonspecific Low Back Pain in Primary Care. 5. Ropper AH, A SM. Adams and Victor's Principle of Neurology. 9th ed.: The McGrawHills Company; 2009 6. Healthwise, 2011. Low Back Pain. Available from: http://www.webmd.com/back pain/tc/low-back-pain-symptoms [ Diakses tanggal 7 Desember 2013] 7. Atul T. Patel, M.D., Abna A. Ogle, M.D., 2000. Diagnosis and management of Low Back Pain. Available from: http://www.aafp.org/afp/2000/0315/p1779.html [ Diakses tanggal 7 Desember 2013] 8. Bruce M. Lumbar spondylosis. 2007 In: http://www.emedicine.com/neuro/jnl/index.htm. (Diakses tanggal 7 Desember 2013). 9. Thamburaj V. Lumbar spondylosis. 2007. In: http://www.pubmedcentral.nih.gov. (Diakses tanggal 7 Desember 2013.)
11