TUGAS STUDI KASUS MATA KULIAH ETIKA BISNIS Buatlah kelompok yang terdiri atas maksimum 4 mahasiswa, atau sesuai dengan petunjuk dosen. Setiap kelompok mengerjakan satu kasus yang ditetapkan dosen, dan menyajikannya di kelas. KASUS I. BAKRIE LIFE (PT ASURANSI JIWA BAKRIE) Bakrie Life atau PT Asuransi Jiwa Bakrie adalah anak perusahaan grup usaha Bakrie yang bergerak di bidang usaha asuransi jiwa, sektor industri dan jasa keuangan. Bakrie Life didirikan pada tahun 1996 setelah mengakuisisi PT Asuransi Jiwa Centris pada tanggal 24 Oktober 1996 dengan kepemilikan 94% Bakrie Capital Indonesia (BCI) dan 6 % kelompok pegawai Bakrie Life. Produk Bakrie Life meliputi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan dan investa atau asuransi sekaligus investasi. Salah satu produk andalan Bakrie Life adalah Diamond Investa. Diamond Investa diluncurkan pada tahun 2005 dan langsung diserbu banyak nasabah karena produk ini menjamin return tahunan sebesar 12‐13%. Dalam prospektus disebutkan bahwa bunga investasi Diamond Investa mengacu pada rata‐rata bunga deposito Bank Mandiri, BNI dan Bank Permata ditambah dengan bonus sebesar 1,5% per tahun. Return Diamond Investa relatif sangat tinggi dibandingkan return rata‐rata yang ditawarkan asuransi lainnya, yang hanya berkisar 7‐8%. Berbeda dengan produk asuransi plus investasi lainnya, produk Diamond Investa memberikan return yang tetap. Produk asuransi plus investasi lainnya sebagian besar berbentuk unit link atau penyertaan, yang dalam hal ini return yang diterima nasabah sangat berfluktuasi tergantung pada kinerja aset yang mendasarinya (underlying assets). Pada prospektus awal juga disampaikan kepada calon nasabah bahwa 80% dana nasabah akan ditempatkan pada pasar obligasi, 15% pada saham dan 5% pada deposito. Krisis global tahun 2008 – 2009 berawal dari krisis subprime mortgage atau kredit perumahan di USA. Macetnya kredit di sektor perumahan secara cepat menyebabkan anjlok‐nya pasar modal dan bangkrutnya pemain‐pemain besar Wall Street seperti Lehman Brothers dan Washington Mutual. Krisis kemudian menyebar ke belahan dunia lainnya akibat reaksi panik investor yang agresif menjual saham‐sahamnya dengan harga murah sehingga bursa saham anjlok. Dampaknya bursa saham Eropa turun hingga 37%, Cina 57%, dan India 52%. Krisis pasar modal segera mempengaruhi sektor riil sehingga menurut IMF (International Mutual Fund) kerugian yang terjadi ditaksir mencapai USD 1,4 triliun. Dalam kondisi demikian Indonesia juga tidak lepas dari pengaruh krisis global 2008 – 2009 yang menyebabkan merosotnya IHSG (Indek Harga Saham Gabungan) sampai dengan 6,69% atau turun sebesar 48,96 point sebelum dilakukan suspend (penghentian sementara). Nilai tersebut merupakan yang tertinggi kedua di kawasan Asia setelah Filipina. Merosotnya IHSG lalu diikuti dengan terkoreksinya harga saham 209 emiten yang jatuh termasuk 6 emiten milik grup Bakrie. Saham Bakrie kemudian terkena penghentian perdagangan saham otomatis (auto rejection) karena mengalami penurunan lebih dari 30%, diantaranya adalah saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk (UNSP), PT Persada Tbk (ENRG), PT Bakrieland Development Tbk (ELTY), PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL), dan PT Bakrie & Brothers (BNBR) yang merupakan induk kelima perusahaan ini.
Menurut analis, rontoknya harga‐harga saham seluruh grup Bakrie disebabkan karena penggadaian saham‐saham anak usaha yang dilakukan BNBR. Para kreditur secara besar‐besaran melepas aset‐ aset saham grup Bakrie pada harga murah. Sebelum terjadi peristiwa ini, tanpa sepengetahuan nasabah, manajemen Bakrie Life menempatkan investasi pada saham lebih dari 15%, hingga mencapai 70‐80%. Saham‐saham yang dibeli sebagian besar adalah saham grup Bakrie. Anjloknya harga‐harga saham grup Bakrie ikut menyeret Bakrie Life dalam kesulitan likuiditas. Sejak akhir 2008, Bakrie Life tidak mampu membayar simpanan pokok nasabah dan per Juni 2009 Bapepam‐LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) melarang Bakrie Life untuk memasarkan produknya. Total piutang Bakrie Life terhadap nasabahnya mencapai Rp 360 milyar. Manajemen Bakrie Life menawarkan pengembalian dana nasabah sebesar 1% per bulan sehingga dibutuhkan waktu 8 tahun 4 bulan bagi setiap nasabah untuk memperoleh dananya kembali. Nasabah menolak tawaran ini, yang akhirnya dibuat Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk melakukan restrukturisasi pembayaran. SKB merupakan perjanjian atau kontrak antara nasabah dengan Bakrie Life yang dalam hal ini Bakrie Life berkomitment untuk membayar bunga sebesar 9,5% per bulan beserta cicilan pokok sebesar 25% pada 2010, 25% pada 2011 dan sisanya 50% pada 2012. Skema pembayaran angsuran pokok dana tersebut yaitu Maret 2010 (6,25%), Juni 2010 (6,25%), September 2010 (6,25%), Desember 2010 (6,25%), Maret 2011 (6,25%), Juni 2011 (6,25%), September 2011 (6,25%), Desember 2011 (6,25%), dan terakhir pada Januari 2012 (50%). Pada kasus ini nasabah dirugikan karena dari return 12‐13% seperti yang dijanjikan dalam prospektus awal turun menjadi 9,5%. Angsuran bulan Maret dan Juni 2010 telah diselesaikan oleh manajemen Barie Life, namun untuk angsuran bulan September dan Desember 2010 belum dilunasi. Bapepam‐LK telah mengirim surat teguran kepada Bakrie Life dan meminta kepada pemegang saham Bakrie Life, yaitu Bakrie Capital untuk membantu menyuntikkan dana ke Bakrie Life guna memenuhi kewajiban pada nasabah. DPR juga telah memberikan tenggat waktu sampai dengan akhir Oktober 2010 kepada pemegang saham dan manajemen Bakrie Life untuk melunasi dana nasabah Diamond Investa. Sampai dengan pertengahan Oktober 2010 Bakrie Life telah menyelesaikan pembayaran nasabah dengan dana di bawah Rp 200 juta dan tunggakan pembayaran cicilan terhadap nasabah dengan dana di atas Rp 200 juta. Bapepam‐LK telah menghentikan operasional Bakrie Life, tetapi tidak sampai mencabut ijin usahanya. Apabila Bapepam‐LK mencabut ijin usaha Bakrie Life maka Bapepam‐LK tidak dapat melakukan pendampingan kepada nasabah dan kasus ini dianggap selesai. Nasabah Diamond Investa juga dapat mengambil jalur hukum, dan apabila berhasil sehingga Bakrie Life dianggap pailit, maka aset yang tersisa dapat digunakan untuk menutup kewajiban kepada nasabah. Namun demikian nasabah Bakrie Life meragukan apakah aset yang ada mencukupi untuk memberikan ganti rugi kepada nasabah. (Sumber: Etika Bisnis Modern, Tri Hendro Sigit, 2012) Pertanyaan: 1. Sebutkan beberapa praktek dan atau tindakan, dari kasus di atas, yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran etika bisnis.
2. Pihak‐pihak mana saja yang melakukan pelanggaran etika bisnis, serta standar moral apa yang dilanggar oleh pihak‐pihak tersebut? 3. Adakah sebab‐sebab yang bersifat sistemik yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut? 4. Adakah sebab‐sebab kekeliruan pengambilan keputusan oleh nasabah yang menyebabkan dialaminya kerugian? KASUS II. PT SARIJAYA PERMANA SEKURITAS PT Sarijaya Permana Sekuritas (SPS) adalah perusahaan sekuritas lokal terbesar kedua di Indonesia. Didirikan oleh Herman Ramli yang juga berperan sebagai Komisaris Utama yang memiliki 100% saham. PT SPS memiliki 48 kantor cabang yang tersebar di 24 propinsi. Penyelewengan terjadi pada saat dana 8700 orang nasabah sebesar Rp 245 milyar dimasukkan oleh Herman Ramli ke dalam 17 rekening fiktif. Dana nasabah pada mulanya ditujukan untuk perdagangan di pasar saham, namun kemudian dengan sengaja dipindahkan ke rekening yang tidak ada kaitannya dengan jual beli saham. Pemegang saham’ yang sekaligus komisaris, seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemindahan dana. Namun kenyataannya Herman Ramli memiliki akses untuk melakukan tindakan tersebut. Sebelum terjadi peristiwa ini, PT SPS menggunakan dana nasabahnya terlibat pada aktivitas repo saham Bumi Resources (BR). Ternyata pembayaran yang diterima dari BR tidak lancar. Dari keseluruhan nilai repo sebesar Rp 35 milyar, yang telah terbayar hanya sebesar Rp 15 milyar. Untuk menutupi kekurangan tersebut, Herman Ramli melakukan cara ‘menggoreng’ saham di lantai bursa melalui pembelian saham‐saham yang kurang aktif, mendongkrak harga (‘menggoreng’) dengan harapan harga saham akan naik tajam, dan kemudian menjual kembali saham‐saham tersebut untuk memperoleh keuntungan dari selisih penjualan saham. Namun skenario tersebut tidak berhasil karena terjadinya krisis global tahun 2008, yang menyebabkan semua harga saham jatuh secara signifikan. Akibatnya, bukan keuntungan yang diperoleh PT SPS, tetapi sebaliknya dana nasabah yang terlanjur dipakai membeli saham tidak dapat kembali. Berikut kronologi peristiwa penggelapan dana nasabah PT SPS menurut versi Bapepam‐LK: 2002‐2008 : Herman Ramli secara bertahap memerintahkan stafnya, Setya Ananda, untuk mencari nasabah dengan nama orang lain (nominee) sejumlah 17 nasabah, yang sebagian besar adalah pegawai grup Sarijaya, untuk kemudian dibuatkan rekening. Rekening tersebut dipergunakan untuk melakukan transaksi jual/beli saham di bursa efek. Karena dana dalam 17 rekening tersebut tidak mencukupi, Herman Ramli meminta stafnya, Lanny Setiono, untuk menaikkan batas transaksi atau Trading Available (TA). Kenaikan TA tersebut disetujui para direksi PT SPS meskipun mereka mengetahui bahwa dana yang terdapat dalam 17 rekening itu tidak mencukupi. Dengan demikian, transaksi jual/beli saham dapat dilakukan tanpa sepengetahuan nasabah. Untuk pembayaran transaksi, Herman Ramli mendebet dana sebanyak 13.074 nasabah yang tersimpan di main account PT SPS dengan akumulasi Rp 235,6 milyar. 12 Des 2008: Direksi PT SPS menyampaikan surat kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) dan menyatakan bahwa perusahaan sedang mengalami kesulitan likuiditas akibat pembukaan 17 rekening nasabah sebesar Rp 235 milyar. Pembukaan 17 rekening nasabah tersebut dilakukan atas nama orang lain.
15 Des 2008: Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam‐LK melakukan pemeriksaan ke PT SPS, termasuk meminta jika BEI memiliki laporan terkait dengan PT SPS, maka BEI diminta untuk melaporkan ke Bapepam‐LK. Komisaris Utama PT SPS, Herman Ramli, mengaku telah menggunakan rekening nominee untuk transaksi sejak 2002, menggunakan dana nasabah yang disimpan atas nama PT SPS. Dalam hal ini terdapat indikasi bahwa PT SPS tidak melakukan prosedur yang tepat dalam pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD). 19 Des 2008: Herman Ramli dianggap tidak beritikad baik, sehingga Bapepam‐LK melakukan upaya pencegahan dengan mengamankannya. Dari hasil investigasi Bapepam‐Lk diperoleh fakta bahwa Herman Ramli diduga melakukan tindak pidana dan penyimpangan karena sebagai pemegang saham dan komisaris seharusnya tidak memiliki kewenangan. Namun yang terjadi Herman Ramli mempunyai akses untuk memindahkan dana nasabah tersebut. 24 Des 2008: Herman Ramli di tahan oleh Bareskrim Mabes POLRI 28 Des 2008: PT SPS melaporkan kepada otoritas bursa (BEI) dan meminta bantuan karena nasabah mulai menarik dana. Manajemen mengaku membutuhkan dana segar. Dalam pernyataannya, Herman Ramli juga bersedia menjaminkan saham‐saham yang dimilikinya. 5 Jan 2009: Ketua Bapepam‐LK mengundang Anggota Bursa (AB) untuk membahas masalah PT SPS, terutama guna mencari jalan keluar. Namun, dalam rapat tersebut tidak diperoleh solusi yang jelas tentang sumber dana untuk menutupi kebutuhan PT SPS. Bapepam‐LK juga meminta agar AB bersiap menghadapi penarikan dana dari nasabah. 6 Jan 2009: BEI menghentikan sementara (suspend) aktivitas perdagangan PT SPS. 9 Jan 2009: Bapepam‐LK menggelar konferensi pers untuk menjelaskan masalah yang menimpa PT SPS. 13 Jan 2009: Rapat Bapepam‐LK dan Self Regulatory Organization (SRO) membahas tentang verifikasi rekening‐rekening nasabah. Pada saat bersamaan, dua direksi PT SPS, Zulfian Alamsyah dan Teguh Jaya diamankan oleh Bareskrim Mabes POLRI. 14 Jan 2009: Manajemen PT SPS mendatangi Bapepam‐LK untuk meminta arahan mengingat direksi perusahaan sudah diamankan. Dalam kasus tersebut, Mabes POLRI berbeda pendapat dengan Bapepam‐LK dalam hal POLRI menyatakan kasus PT SPS masuk dalam ranah hukum pasar modal dan perlu ditindak sesuai UU Pasar Modal; sedangkan Bapepam‐LK menyatakan bahwa kasus tersebut bukan pelanggaran pasar modal, melainkan kategori pidana umum, yakni penggelapan dan pencucian uang. Terdapat beberapa perusahaan yang berminat membeli PT SPS yaitu Vierjamal, PT Panin Sekuritas Tbk dan PT Trimegah Sekurities Tbk. Setelah dilakukan review oleh BEI maka kursi keanggotaan PT SPS dicabut dan dilelang. Mantan Komisaris Herman Ramli, terkena ancaman hukuman 5 tahun penjara jika terbukti bersalah melanggar pasal 378 KUHP tentang penipuan, dan kejahatan pasar modal melanggar Bab XI UU no 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang mengatur perihal penipuan, manipulasi pasar dan perdagangan orang dalam. (Sumber: Etika Bisnis Modern, Tri Hendro Sigit,2012) Pertanyaan:
1. Sebutkan beberapa praktek dan atau tindakan, dari kasus di atas, yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran etika bisnis. 2. Pihak‐pihak mana saja yang melakukan pelanggaran etika bisnis, serta standar moral apa yang dilanggar oleh pihak‐pihak tersebut? 3. Adakah sebab‐sebab yang bersifat sistemik yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut? 4. Adakah sebab‐sebab kekeliruan pengambilan keputusan oleh pemilik usaha yang menyebabkan kerugian bagi para nasabah? KASUS III. BISNIS KESEHATAN Pada bulan Agustus 1992, Christy deMeurers, seorang guru berusia 32 tahun di Los Angeles dan juga sebagai ibu dari dua anak, merasakan ada benjolan di dadanya. Kanker. Dua bulan sebelumnya, dia mendaftar sebagai anggota Health Net, sebuah organisasi perawatan kesehatan (MHO) yang memberikan layanan kesehatan kepada para anggotanya dan merupakan salah satu program asuransi kesehatan yang ditawarkan di sekolah tempat ia bekerja. Health Net membayar mastektomi dan juga terapi radiasi serta perawatan kemoterapi. Pada bulan Mei 1993, setelah melakukan scan tulang sumsum, sang dokter, dr. Gupta, menyarankan untuk transplantasi tulang dan memintanya menemui Dr. McMillan, seorang spesialis yang akan memeriksa apakah dia layak melakukan transplantasi – sebuah proses yang mungkin akan memakan biaya setidaknya $100.000. Namun pada saat Christy dan keluarganya mengunjungi Dr. McMillan, dia tidak menjelaskan apa saja yang akan dilakukan dalam transplantasi tulang, namun hanya mengatakan bahwa Christy pertama harus menjalani perawatan obat untuk menentukan apakah tumor yang dideritanya bereaksi terhadap obat yang digunakan dalam transplantasi tulang sumsum. Christy dan keluarganya agak mencurigai bahwa kemungkinan Health Net tidak akan mau menanggung biaya transplantasi yang besar itu. Kemudian ia mencoba memeriksakan diri ke dokter ahli spesialis transplantasi tulang yang lain yakni Dr. Roy B Jones. Pada Juni 1993 Dr. Jones menyarankan agar dilakukan transplantasi tulang sungsum, namun bersamaan itu Health Net menolak untuk membiayainya dengan alasan transplantasi yang dilakukan masuk dalam klasifikasi investigasional atau eksperimental, dan Health Net secara kontraktual tidak wajib membayar biaya prosedur investigasional. Bahkan Dr. Gupta, dokter pertama yang memeriksa Christy akhirnya juga tidak bersedia menyarankan transplantasi. Sebagai informasi, Health Net adalah perusahaan independen yang berdiri sejak tahun 1979. Tahun pertama keuntungan perusahaan sudah mencapai $17.000, dan pada tahun kedua $17 Juta. Sampai dengan tahun 1994 Health Net masih merupakan perusahaan independen. Dengan menerapkan sistem capitation, Health Net memperoleh keuntungan yang sangat besar. Premi pada tahun 1992 mencapai $ 2 milyar. Pada sistem capitation maka perusahaan asuransi akan menggaji secara bulanan para dokter, spesialis, kelompok dokter, dan rumah sakit untuk masing‐masing pasien yang dirujuk. Jika dokter, spesialis, kelompok dokter, atau rumah sakit mengeluarkan biaya yang lebih kecil dari biaya capitation, maka mereka boleh mengambil kelebihannya. Jika mereka mengeluarkan biaya lebih besar dari biaya capitation, maka mereka yang harus menutup kekurangannya dengan dana sendiri. Dengan demikian sistem capitation memberikan sebuah insentif ekonomi untuk memberikan tingkat pelayanan kesehatan yang lebih rendah. Sistem ini di satu sisi berperan dalam
menekan biaya medis yang meroket serta di sisi lain mampu menaikkan premi asuransi medis dalam jumlah yang signifikan. Dengan menerapkan sistem capitation dan dengan memberlakukan cara‐ cara pengendalian biaya lainnya dari dunia bisnis ke dalam dunia kedokteran, terbukti menjadikan perusahaan asuransi kesehatan ini sebagai bisnis yang sangat menguntungkan. Pada saat Health Net pertama kali go publik tahun 1994, nilai saham perusahaan tersebut tiba‐tiba menjadi $ 150 juta. Pada Desember 1995 Health Net memperoleh akreditasi dari NCQA (National Committee for Quality Assurance). NCQA merupakan sebuah kelompok industri yang memberikan akreditasi pada perusahaan‐perusahaan asuransi kesehatan yang memenuhi kriteria tertentu. Berdasarkan laporan survei NCQA juga diketahui bahwa Health Net mengeluarkan biaya yang lebih kecil dibanding perusahaan asuransi lainnya untuk perawatan medis. Tetapi pengeluaran untuk pemasaran, gaji dan biaya administrasi lain lebih besar dibanding perusahaan asuransi lainnya. Pada saat Dr. Gupta menolak merekomendasi transplantasi, Christy mengajukan permohonan untuk menemui spesialis kanker lain, Dr. Schinke, yang juga seorang dokter dari Health Net. Setelah memeriksanya, Dr. Schinke setuju bahwa Christy perlu dipertimbangkan untuk transplantasi. Namun beberapa waktu kemudian Dr. Schinke menerima telepon dari administrator Health Net, dan katanya kemudian, “Saya tidak mengerti mengapa seoarang administrator menelpon dan dengan nada kasar mengatakan, ‘Anda ini bagaimana, mengapa anda menyarankan pasien itu untuk mempertimbangkan melakukan transplantasi?”. Namun Dr. Schinke tidak menarik rekomendasinya. Dr. Schinke merujuk Christy ke UCLA Medical Center, salah satu rumah sakit yang menjalin kontrak dengan Health Net. Karena Christy sudah memahami situasi, maka ia tidak mengatakan sebagai pasien Health Net pada saat menemui Dr. John Glaspy, seorang spesialis kanker di UCLA Medical center pada tanggal 25 Juni 1993. Karena tidak tahu bahwa Christy adalah pasien Health Net, Dr. Glaspy setuju bahwa transplantasi merupakan tindakan yang cukup rasional untuk dilakukan. Setelah diuji 2 bulan dengan obat, dan reaksinya positif tubuh Christy dapat menerima, maka ditandatanganilah persetujuan untuk membayar rumah sakit sebesar $92.000 dengan uang sendiri untuk biaya transplantasi. Christy dan keluarga mengajukan permohonan pada Health Net untuk mempertimbangkan kembali kebijakan perusahaan tersebut dalam menggolongkan transplantasi sebagai perawatan investigasional dan menolak membiayainya. Meskipun kebanyakan perusahaan asuransi (75%) bersedia membayar biaya transplantasi, namun Dr. Osorio, seorang administrator Health Net, sekali lagi menolak membayar biaya transplantasi. Dr. Osorio bahkan memanggil kepala bagian unit kanker UCLA Medical Center dengan maksud “mempengaruhi atau mengintimidasi” pihak rumah sakit, meminta penjelasan mengapa UCLA mengizinkan transplantasi terhadap Christy yang dalam hal ini melanggar petunjuk pelaksanaan dari Health Net. Kepala bagian operasi terkejut, karena tidak tahu sebelumnya. (Ket: Dalam perjanjian, Health Net berhak memutuskan kontrak dengan pihak rumah sakit setelah memberi peringatan dan tenggang waktu 90 hari; suatu krisis besar bagi UCLA karena selama ini sebagian besar dana mereka berasal dari Health Net). Satu minggu kemudian, UCLA Medical Center memberitahukan ke Health Net bahwa pihaknyalah yang akan menanggung biaya transplantasi karena telah menyetujuinya. Pada tanggal 23 September 1993, Christy menjalani perawatan di rumah sakit UCLA. Setelah kesehatan cukup membaik, merasa cukup sehat untuk bisa memotong rumput di halaman, maka
Christy diizinkan pulang ke rumah. Dia terbebas dari kanker selama 4 bulan, pada tahun 1994 penyakitnya mulai kambuh kembali. Pada Jumat, 10 Maret 1995 Christy meninggal dunia. (Sumber: Etika Bisnis, Manuel G Velasquez, 2005) Pertanyaan: 1. Sebutkan beberapa praktek dan atau tindakan, dari kasus di atas, yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran etika bisnis. 2. Pihak‐pihak mana saja yang melakukan pelanggaran etika bisnis, serta standar moral apa yang dilanggar oleh pihak‐pihak tersebut? 3. Adakah sebab‐sebab yang bersifat sistemik yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut? 4. Adakah sebab‐sebab kekeliruan pengambilan keputusan oleh dokter yang menyebabkan dialaminya kerugian oleh pasien? KASUS IV. BURMA CONNECTION PEPSI Pada tanggal 23 April 1996, PepsiCo mengumumkan bahwa pihaknya memutuskan untuk menjual 40% saham di pabrik botol Burma karena adanya kritik yang menyatakan bahwa dengan beroperasi di Burma, perusahaan berarti mendukung rezim militer yang berkuasa. Tetapi PepsiCo tidak memberitahukan kepada publik bahwa ia akan tetap menjual konsentrat sirup untuk perusahaan botol di Burma dan tetap mengijinkan perusahaan botol tersebut menjual Pepsi di Burma. Burma memperoleh kemerdekaan dari Inggris tahun 1948. Pada Juli 1988, saat kondisi perekonomian negara memburuk, sejumlah kekacauan terjadi di negara tersebut. Pada September 1988, militer di bawah pimpinan Jendral U Saw Maung mengambil alih kekuasaan dan secara brutal diperkirakan membunuh ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil. Jendral Maung menggantikan pemerintahan dengan State Law and Order restoration Council (SLORC), sekelompok pejabat militer. Pada tahun 1990, SLORC, karena merasa yakin mendapat dukungan dari rakyat, membentuk pemerintahan baru dan melakukan Pemilu. Namun ternyata, mayoritas kursi dalam pemerintahan baru dimenangkan oleh partai oposisi yang dipimpin Suu Kyi. Militer menolak memberi kekuasaan pemerintahan pada sipil, SLORC membatalkan hasil Pemilu, menyatakan partai oposisi sebagai partai terlarang, dan menangkap para pemimpinnya, termasuk Suu Kyi. SLORC mengundang para investor dan perusahaan‐perusahaan asing untuk berinvestasi di Burma dengan harapan mampu memperbaiki kondisi perekonomian negara. PepsiCo merupakan salah satu dari sekian banyak perusahaan yang menanggapi undangan SLORC. Perusahaan lainnya antara lain: produsen pakaian Eddie Bauer, Liz Caliborne, Spiegel’s dan Levi Strauss.; pabrik sepatu seperti: Reebok; dan perusahaan‐perusahaan minyak seperti; Amoco,Unocal, dan Texaco. Amerika menjadi investor asing terbesar kelima di Burma. Burma dianggap menarik untuk investasi karena beberapa alasan. Tidak hanya karena tenaga kerja yang sangat murah, namun juga karena budayanya yang memberikan nilai sangat tinggi pada pendidikan dan hampir semua pekerja memiliki kemampuan baca tulis. Sumber daya minyak juga
besar, belum lagi berbagai sumber kekayaan alam lainnya yang belum dieksploitasi. Burma tidak hanya menawarkan pasar besar yang potensial, akan tetapi juga lokasi yang strategis karena menjadi penghubung beberapa pasar di Cina, India dan negara‐negara asia tenggara lainnya. Demikian juga pemerintahan militer mengutamakan penegakan hukum dan peraturan, sehingga kondisi politik negara stabil. Akan tetapi militer juga memberikan banyak masalah. Banyak organisasi internasional, menuduh SLORC melakukan berbagai pelanggaran HAM berupa: pemaksaan tenaga kerja, pemindahan pemukiman secara paksa, ratusan tahanan politik, 40 anggota parlemen terpilih tahun 1990, membatasi kebebasan berpendapat dan berkumpul, dan seterusnya. Akan tetapi tahun 1991 pihak manajemen PepsiCo tetap memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Myanmar Golden Star Co. (MGS), sebuah perusahaan Burma yang dimiliki oleh seorang pengusaha Burma bernama Thein Tun. MGS memiliki 60% saham, sementara PepsiCo 40% saham. Kerjasama ini ditujukan untuk membangun sebuah pabrik botol dengan lisensi 10 tahun untuk mendistribusikan produk‐produk PepsiCo di Burma, termasuk Pepsi Cola, 7 Up dan Miranda. Kerjasama berjalan baik, sampai dengan tahun 1995 PepsiCo melaporkan keuntungan bisnis mencapai $20 Juta, dan bagian PepsiCo adalah $8 Juta. Perusahaan menyatakan bahwa tahun 1996 penghasilan meningkat 25%; dan produk‐produk Pepsi menjadi sumber penghasilan utama bagi Thein Tun yang saat itu berteman baik dengan para jendral di SLORC. Hubungan antara Tun dengan junta militer ini juga merupakan salah satu faktor yang mendorong PepsiCo memilihnya sebagai rekanan. Namun di Amerika, para kritikus mempertanyakan etika melakukan bisnis di Burma. Di beberapa kampus mahasiswa memprotes perusahaan‐perusahaan yang membuka bisnisnya di Burma, serta di beberapa kota diserukan boikot terhadap produk‐produknya. Para kritikus menganggap tindakan perusahaan yang demikian mencerminkan keberpihakan terhadap junta militer yang telah berbuat kejam terhadap rakyatnya; sementara itu jika para perusahaan bersedia keluar dari negara tersebut maka akan memberi pukulan terhadap kekuasaan junta militer akibat melemahnya kembali ekonomi, sehingga dapat mendorong junta militer kembali membuka reformasi demokrasi. PepsiCo dan perusahaan‐perusahaan lain menyampaikan tentang sebuah kebijakan ‘keterlibatan konstruktif’. Menurutnya, cara terbaik agar junta militer melakukan reformasi adalah dengan tetap berada di Burma dan menekan pihak militer untuk merubah kebijaksanaannya. Kondisi ekonomi yang membaik akan membentuk kelas menengah yang mampu memperjuangkan demokrasi. ”Perdagangan bebas akan menghasilkan masyarakat bebas” adalah slogan favorit PepsiCo dan perusahaan lainnya. Akan tetapi mulai karena begitu kuatnya desakan, akhirnya pada tahun 1996 PepsiCo melakukan divestasi atas saham pabrik botol di Burma. Tahun 1997, PepsiCo menjual sahamnya ke Thein Tun, namun dengan tetap mematuhi perjanjian untuk memberikan lisensi selama 10 tahun pada perusahaan botol tersebut. Tindakan ini dinilai sebagai tindakan setengah‐ setengah dan para kritikus terus melakukan kritiknya terhadap PepsiCo. (Sumber: Etika Bisnis, Manuel G Velasquez, 2005) Pertanyaan:
1. Sebutkan beberapa praktek dan atau tindakan dari kasus di atas, yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran etika bisnis. 2. Pihak‐pihak mana saja yang melakukan pelanggaran etika bisnis, serta standar moral apa yang dilanggar oleh pihak‐pihak tersebut? 3. Adakah sebab‐sebab yang bersifat sistemik yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut? 4. Adakah sebab‐sebab kekeliruan pengambilan keputusan oleh perusahaan PepsiCo yang menyebabkan tidak segera terselesaikannya polemik pelanggaran etika bisnis tersebut? Kasus V. CSR Sebuah perusahaan penambangan minyak beroperasi di sebuah pulau terpencil yang berpenduduk 100.000 jiwa. Sebagian besar penduduk adalah nelayan dengan tingkat ekonomi rendah. Kondisi sanitasi dan kesehatan masyarakat masih buruk. Penduduk mengandalkan air hujan utk keperluan sehari‐hari. Kebutuhan air pada musim kemarau hanya dipenuhi dengan air hujan yang ditampung selama musim hujan. Karena keterbatasan air tersebut, penduduk terbiasa untuk melakukan BAB dan membuang sampah di laut. Dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan masyarakat setempat, Perusahaan tersebut merumuskan program CSR berupa penyediaan delapan pompa sumur dalam dan pembuatan MCK untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan sanitasi masyarakat. Ketika pembangunan selesai, masyarakat dapat menikmati ketersediaan air bersih. Namun mereka masih lebih menyukai untuk melakukan BAB dan membuang sampahnya ke laut. Setahun setelah dilaksanakannya CSR tersebut, terjadi beberapa kali demonstrasi oleh masyarakat yang menuntut kesempatan kerja dan perbaikan tingkat ekonomi masyarakat. Pertanyaan: 1. Berikan komentar kelompok Anda tentang program CSR yang dilaksanakan oleh PT X. 2. Hal apakah yang harus dilakukan oleh PT X dalam menghadapi permasalahan dengan penduduk?
KASUS VI. PENYELUNDUPAN LIMBAH B3 Dinas Bea Cukai, pada tanggal 28 Januari 2012 berhasil membongkar upaya penyelundupan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Pelabuhan Tanjung Priok. Limbah tersebut dikirim dari Inggris dan Belanda dengan dokumen palsu, dan tiba di Jakarta dalam tiga kapal antara bulan Desember 2011 hingga Januari 2012. Sebanyak 89 peti kemas berasal dari Inggris dan 24 dari Belanda. Masing‐ masing peti kemas berbobot 28.2 ton. Dalam dokumen ke‐113 kontainer dilaporkan berisi scrap baja. Namun yang ditemukan bukan hanya scrap baja, melainkan juga limbah plastik yang bersimbol ‘berbahaya’, tanah dan kotoran lainnya yang berbau menyengat (The Jakarta Globe, 2012). Pertanyaan: 1. Peraturan apa sajakah yang terkait dengan kasus tersebut di atas?
2. Tindakan apakah yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengatasi hal tersebut? KASUS VII. LIMBAH PABRIK KULIT Sebuah pabrik kulit yang terletak di Jawa Timur mempunyai bak penampung limbah cair berkapasitas 27 m3. Limbah yang ditampung secara periodik dibuang ke sungai tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Pembuangan terutama dilakukan pada saat hujan lebat. Pabrik kulit tersebut baru saja menelan korban jiwa. Seorang petugas yang ditugaskan membersihkan lumpur di dasar bak penampung, tewas ketika melakukan tugasnya. Diduga petugas tersebut tewas akibat gas beracun yang tersisa di bak tsb. (Harian Jawa Pos 2011). Pertanyaan: 1. Jelaskan tentang bahaya limbah pabrik kulit sehingga menyebabkan tewasnya operator tersebut. 2. Peraturan apa sajakah yang terkait dengan pembuangan limbah tersebut? 3. Hal apakah yang seharusnya dilakukan oleh pihak pabrik kulit terhadap limbahnya? KASUS VIII. PENCEMARAN AIR DAN AIR TANAH OLEH SALSBURRY LABORATORIES Salsburry Laboratories yang terletak di kawasan Charles City, Iowa utara , memproduksi obat‐obatan untuk hewan dan ternak. Sejak tahun 1953 hingga 1977, perusahaan tersebut menimbun 181.230 m3 lumpur arsen dan limbah kimia lainnya di lokasi LaBounty, yang terletak di tepi sungai Cedar. Sungai Cedar mengalir ke arah selatan dengan melewati sebagian besar negara bagian Iowa. Sebanyak 300.000 penduduk menggunakan air sumur yang terletak di dataran alluvium di daerah pengaliran sungai (DPS) Cedar. Departemen Kualitas Lingkungan (DKL) Iowa menemukan bahwa air sumur dan Sungai Cedar tercemar oleh arsenat dan sejumlah polutan kimiawi lainnya (Dahl, 1980). Pertanyaan: 1. Apakah bahaya arsen terhadap kesehatan? 2. Peraturan apa sajakah yang dilanggar Salsburry Laboratories? 3. Tindakan apakah yang seharusnya dilakukan Salsburry Laboratories terhadap limbahnya dan terhadap timbunan limbah di LaBounty? KASUS IX. EMISI DIOKSIN Perusahaan Industri Chemische Meda Societa Aromia yang terletak di Seveso, Itali, memproduksi 1,4,5‐triklorofenol. Sebuah unit produksi dari perusahaan tersebut pada suatu saat melakukan proses pemanasan, berlebihan yang mengakibatkan diemisikannya senyawa 2,3,7,8‐ tetraklorodibenzo‐p‐dioksin, atau yang dikenal sebagai dioksin. Senyawa yang sangat beracun tersebut terlepas ke atmosfir dan bergerak ke arah selatan, menuju Milan. Pemerintah setempat melakukan evakuasi penduduk dan ternak. Sebanyak 41 drum limbah dioksin berhasil diamankan dalam pembersihan lokasi pabrik. Limbah yang mematikan tersebut ditangani berbagai pihak.
Limbah dikirim ke Perancis melalui Paris untuk ditangani lebih lanjut. Namun dalam proses pengangkutannya kontainer yang berisi limbah tersebut dinyatakan berisi limbah tar di dalam dokumen (Lesser, 1984; Wentz, 1989). Pertanyaan: 1. Apakah bahaya dioksin terhadap kesehatan? 2. Peraturan apa sajakah yang dilanggar perusahaan industri tersebut? 3. Bagaimanakah seharusnya perusahaan tersebut melakukan proses produksi dan menangani limbahnya? KASUS X. PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI DI ABM‐WADE ABM Wade merupakan salah satu dari belasan tempat pembuangan limbah industri di Amerika Serikat. Pada pertengahan era 1970‐an pihak operator menerima limbah B3, yang ditimbun baik di dalam tanah, maupun di atas permukaan tanah. Pada bulan Pebruari 1978 timbunan limbah B3 di lokasi tersebut terbakar. Penduduk sekitar terpapar asap beracun dan run‐off (limpasan air hujan) yang mengandung polutan beracun dari ABM Wade, mengalir ke arah Sungai Delaware (Blackman, 2001). Pertanyaan: 1. Bagaimanakah seharusnya sistem pembuangan limbah industri B3 di ABM Wade? 2. Hal apakah yang harus dilakukan pasca terjadinya kebakaran? KASUS XI. PERSAINGAN ANTAR PERUSAHAAN TELKOM Perusahaan X dan perusahaan Y bergerak dibidang jasa telekomunikasi. Kedua perusahaan ini kalah bersaing dengan perusahaan Z yang juga bergerak di bidang jasa telekomunikasi. Untuk memenangi persaingan tersebut, perusahaan X dan Y sepakat membuat perjanjian menetapkan harga pasar, mengatur produksi dan pemasaran. Selain itu kedua perusahaan juga sepakat untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar atas produk jasa masing‐masing. Ini dimaksudkan untuk menyaingi perusahaan Z tersebut. Enam bulan berikutnya revenue perusahaan Z menurun drastis. Setelah perusahaan Z melakukan penyelidikan, akhirnya ditemukan indikasi bahwa ada permainan antara perusahaan X dan perusahaan Y yang bertujuan untuk memenangkan persaingan dengan perusahaan Z. Pertanyaan: Pelanggaran apakah yang telah dilakukan perusahaan X dan Y, serta bagaimanakah solusinya?
KASUS XII. GANGGUAN KESEHATAN AKIBAT OBAT NYAMUK Anti nyamuk X dianggap produk yang efektif dan murah untuk menjauhkan nyamuk dari manusia. Namun ternyata murahnya harga tersebut membawa dampak negatif bagi pemakainya. Telah ditemukan kandungan zat kimia berbahaya di dalam anti nyamuk X yang dapat membahayakan kesehatan konsumennya, yaitu propoxur dan diklorvos. Dua zat ini berakibat buruk bagi kesehatan manusia, antara lain keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung. Departemen Pertanian juga telah mengeluarkan larangan penggunaan diklorvos untuk pestisida dalam rumah tangga sejak awal 2004. Namun ternyata pihak produsen masih menciptakan produk baru yang berbahaya bagi konsumen tanpa pengawasan yang signifikan oleh pemerintah. Suatu ketika seorang konsumen bernama Agus mengalami keracunan yang disebabkan anti nyamuk X tersebut. Sehingga Agus harus di rawat inap di rumah sakit karena mengalami gangguan pernapasan. Setelah sehat, Agus menggugat perusahaan yang memproduksi anti nyamuk X tersebut. Pertanyaan: Pelanggaran apakah yang telah dilakukan perusahaan tersebut, serta bagaimanakah solusinya? KASUS XIII. KONFLIK PIMPINAN DAN KARYAWAN Berawal dari kekecewaan kepada pihak managemen PT X, puluhan karyawan dari masing‐masing departemen perusahaan kayu yang berbasis di Kalimantan mengancam keluar dari perusahaan dan pindah Ke PT Y. Kekecewaan tersebut dikarenakan perusahaan tersebut telah mengingkari bonus yang dijanjikan kepada para karyawa. Sebelumnya para karyawan PT X dijanjikan pihak managemen akan mendapatkan bonus kesejahteraan bila target perusahaan tercapai. Namun meskipun target perusahaan telah tercapai sejak empat bulan yang lalu, janji pemberian bonus tidak kunjung direalisasikan. Akibatnya 50% karyawan dari masing‐masing departemen berencana pindah ke PT Y. Namun rencana pindah tersebut terhalang oleh pihak perusahaan yang tidak ingin melepaskan begitu saja para karyawannya. Beberapa pimpinan PT X mendatangi beberapa karyawan yang akan mengikuti interview di PT Y, dengan didampingi security berpakaian seragam dan bebas ke lokasi interview. "Jujur saja, kami ketakutan. Soalnya pihak management membawa security satu truk dan preman untuk menjegal kami agar tak jadi diinterview," kata salah satu karyawan yang akan mengikuti interview.
Menanggapi hal tersebut, secara pribadi pihak Manager PT X mengatakan, bahwa hal itu tidak benar. Ancaman untuk hengkang sudah kedua kalinya. Mekanisme untuk keluar dari perusahaan karyawan sudah ditentukan dalam kesepakatan kontrak kerja sebelumnya. Jadi prosesnya tidak semudah itu. Pertanyaan: Pelanggaran apakah yang telah dilakukan PT X dan PT Y, serta bagaimanakah solusinya? KASUS XIV. KETERLAMBATAN PESAWAT Pada tanggal 16 Agustus 2013 David berencana pergi dari Jakarta ke Surabaya pada pukul 08.35 WIB dengan menggunakan Maskapai Penerbangan Wings Air. Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. David mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Keberangkatan pesawat terlambat 3,5 jam dari jadwal. Selanjutnya David mengajukan tuntutan ganti kerugian terhadap kasus tersebut ke Lion Air selaku pemilik Wings Air. Pertanyaan: Pelanggaran apa yang telah dilakukan Lion dan cara apa yang ditempuh oleh DAVID biar dia dapat ganti kerugian? KASUS XV. KONFLIK ANTARA KOMISARIS DAN DIREKSI PERUSAHAAN Dalam sebuah perusahaan seringkali timbul konflik antara komisaris/pemegang saham dan manajemen (direksi) yang disebabkan karena pihak komisaris, yang umumnya adalah pemegang saham, selalu mengharapkan keuntungan yang sesuai target. Pihak manajemen dalam menjalankan perusahaan selalu berhadapan dengan kondisi riil makro dan mikro ekonomi yang sedang terjadi di pasar. Sedangkan pihak komisaris/pemegang saham seringkali tidak peduli dengan situasi dan kondisi yang terjadi karena mereka telah memiliki business plan sendiri dan membutuhkan keuntungan untuk diinvestasikan lagi di bidang usaha yang lain. Terlebih lagi komisaris/pemegang saham selalu dengan mudah mengganti personil manajemen yang dianggap tidak sejalan. Hal tersebut di atas menyebabkan manajemen harus bekerja keras, di bawah tekanan dan bahkan harus mengesampingkan sikap profesional dan independensinya demi menjaga posisinya agar tidak tergusur dan memenuhi target perolehan keuntungan tanpa memperhitungkan resiko bagi nama baik perusahaan. (Sumber : Etika Bisnis, Irham Fahmi, 2013) Pertanyaan:
Bagaimanakah Sikap anda sebagai direksi yang harus menjaga nama baik perusahaan sekaligus mengakomodasi kepentingan komisaris/pemegang saham. KASUS XVI. PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN Salah satu program pemerintah pusat melalui pemerintah daerah adalah pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan dengan cara mengurangi angka pengangguran. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah daerah untuk itu adalah meningkatkan peluang kerja di daerah dengan cara mewajibkan para pelaku industri di daerahnya untuk mempekerjakan penduduk asli daerah sebanyak minimal 40% dari seluruh karyawannya. Akan tetapi banyak perusahaan yang belum dapat memenuhi kewajiban tersebut dengan alasan tingkat pendidikan dan kompetensi yang belum memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan. Alasan tersebut memicu kemarahan dan demonstrasi masyarakat setempat yang berujung pada perusakan barang‐barang milik perusahaan. (Sumber : Etika Bisnis, Irham Fahmi, 2013) Pertanyaan: Bagaimanakah sikap Anda sebagai direksi dan apakah solusi etis bagi pihak pemerintah daerah dan masyarakat? KASUS XVII. KECELAKAAN LALU LINTAS DAN GANTI RUGI Pada suatu malam, seorang pengendara motor terpelanting dan meninggal dunia akibat sepeda motornya terperosok ke sebuah lubang yang cukup dalam. Lubang tersebut muncul akibat penambalan yang tidak sempurna di bekas lubang proyek galian pemasangan box culvert. Pada lokasi kecelakaan tertulis papan yang menyebutkan nama dan alamat perusahaan (CV X) yang mengerjakan proyek tersebut. Pihak keluarga korban meminta bantuan pengacara dan memiih penyelesaian secara kekeluargaan dengan menuntut ganti rugi kepada CV X atas kelalaian tidak memasang penerangan dan rambu‐rambu. Akan tetapi CV X tidak bersedia bertanggungjawab karena proyek dikerjakan siang hari sehingga tidak ada kewajiban untuk memasang penerangan. Pihak CV X juga menyataan bahwa di lokasi sudah terpasang lampu penerangan jalan. (Harian Kompas, September 2013) Pertanyaan: Bagaimana sikap anda sebagai pengacara dan apa solusi etis bagi kedua belah pihak? ooOoo