25
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syok adalah suatu sindroma klinis dimana terdapat kegagalan dalam hal mengatur peredaran darah dengan akibat terjadinya kegagalan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Kegagalan sirkulasi biasanya disebabkan oleh kehilangan cairan (hipovolemik), Karena kegagalan pompa atau karena perubahan resistensi vaskuler perifer.
Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan sindrom klinis yang kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan manifestasi hemodinamik yang bervariasi tetapi petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan.
Setiap keadaan yang mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan oksigen jaringan, baik karena suplainya berkurang atau kebutuhannya yang meningkat, menimbulkan tanda-tanda syok. Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas yang merupakan akibat dari berkurangnya perfusi jaringan. Syok mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penanganannya memerlukan pemahaman tentang patofisiologi syok.
Syok bersifat progresif dan terus memburuk. Lingkaran setan dari kemunduran yang progresif akan mengakibatkan syok jika tidak ditangani sesegera mungkin.
Dalam menanggulangi syok hal yang harus diketahui yaitu kemungkinan penyebab syok tersebut. Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan langsung dengan mekanisme terjadinya trauma. Semua jenis syok dapat terjadi pada pasien trauma dan yang tersering adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Syok kardiogenik juga bisa terjadi pada pasien-pasien yang mengalami trauma di atas diafragma dan syok neurogenik dapat disebabkan oleh trauma pada sistem saraf pusat serta medula spinalis. Syok septik juga harus dipertimbangkan pada pasien-pasien trauma yang datang terlambat untuk mendapatkan pertolongan.
Syok juga dapat di akibatkan karena hilangnya cairan dalam jumlah yang banyak. Kehilangan cairan yang cepat dan banyak menurunkan preload ventrikel sehingga terjadi penurunan isi sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi penurunan hantaran oksigen kejaringan tubuh. Pada renjatan karena perdarahan, selain terjadi penurunan cardiac output juga terjadi pengurangan haemoglobin, sehingga transport dari oksigen ke jaringan makin berkurang.
1.2 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu :
Mahasiswa dapat memahami tentang pengertian gangguan kardiovaskuler syok
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami jenis syok
Mahasiswa dapat mengetahui dan mampu memahami tentang patofisologi, manifestasi klinik serta terapi dari syok
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:
Apakah pengertian dari salah satu gangguan kardiovaskular "syok" ?
Bagaimanakah cara membedakan jenis syok ?
Bagaimanakah patofisiologi serta terapi dari syok ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Syok
Syok merupakan kondisi manifestasi perubahan hemodinamik (contoh hipotensi, takikardia, rendahnya curah jantung [cardiac output, CO] dan oliguria) disebabkan oleh defisit volume intravaskular, gagal pompa miokardial (syok kardiogenik), atau vasodilatasi periferal (septik, anafilaktik, atau syok neurogenik). Berdasarkan masalah pada situasi ini perfusi jaringan tidak cukup sebagai hasil dari kegagalan sirkulatori.
Jenis Syok
Syok Hipovolemik
Hipovolemik berarti berkurangnya volume intravaskuler. Sehingga syok hipovolemik berarti syok yang di sebabkan oleh berkurangnya volume intravaskuler. Di Indonesia shock pada anak paling sering disebabkan oleh gastroenteritis dan dehidrasi, dan shock perdarahan paling jarang, begitupun shock karena kehilangan plasma pada luka bakar dan shock karena translokasi cairan. Adapun penyebabnya adalah :
Perdarahan
Kehilangan plasma (misal pada luka bakar)
Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah, obstruksi usus dan lain-lain
Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel, yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung. Adapun penyebabnya adalah :
Aritmia
Bradikardi / takikardi
Gangguan fungsi miokard
Infark miokard akut, terutama infark ventrikel kanan
Penyakit jantung arteriosklerotik
Syok Septik
Merupakan syok yang disertai adanya infeksi (sumber infeksi). Syok ini terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya di dalam tubuh yang berakibat vasodilatasi. Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman. Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikaridia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.
Syok septik dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70% (Pseudomonas auriginosa, Klebsiella, Enterobakter, E. choli, Proteus). Infeksi bakteri gram positif 20-40% (Stafilokokus aureus, Stretokokus, Pneumokokus), infeksi jamur dan virus 2-3% (Dengue Hemorrhagic Fever, Herpes viruses), protozoa (Malaria falciparum).
Syok Neurogenik
Syok neurogenik adalah syok yang terjadi karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh. Syok neurogenik juga dikenal sebagai syok spinal. Bentuk dari syok distributif, hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik yang diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf seperti trauma kepala, cidera spinal, atau anastesi umum yang dalam. Pada syok neurogenik terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi, misalnya trauma pada tulang belakang, spinal syok. Adapun penyebabnya antara lain :
Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).
Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur tulang.
Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumbal.
Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).
Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.
Syok Anafilaksis
Adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi. Anafilaksis merupakan kondisi alergi di mana curah jantung dan tekanan arteri seringkali menurun dengan hebat. Adapun penyebabnya adalah :
Makanan : kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
Allergen immunotherapy
Gigitan atau sengatan serangga
Obat-obat : penicillin, sulpha, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID
Latex
Vaksin
Exercise induce
Anafilaksis idiopatik : anafilaksis yang terjadi berulang tapa diketahui penyebabnya meskipun sudah dilakukan evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena kelainan pada sel mast yang menyebabkan pengeluaran histamine.
Patofisiologi Syok
Syok merupakan hasil dari kegagalan sistem sirkulatori untuk mengantarkan oksigen (O2) yang cukup ke jaringan tubuh secara normal atau berkurangnya konsumsi O2. Mekanisme umum patofisiologi dari jenis syok yang berbeda-beda hampir sama kecuali kejadian awalnya.
Syok hipovalemik dikarakteristik oleh defisiensi volum intravaskular karena kekurangan eksternal atau redistribusi internal dari air ekstraselular. Syok tipe ini dapat diperburuk oleh hemorrhage, luka bakar, trauma, operasi, obstruksi intestinal, dan dehidrasi dari hilangnya cairan, pemberian yang berlebihan dari diuretik loop, dan diare serta mual yang parah. Hipovalemia relatif terhadap syok hipovalemik dan terjadi selama vasodilatasinya signifikan. Yang disertai dengan anafilaksis, sepsis, dan syok neurogenik.
Penurunan tekanan darah (blood pressure BP) dikompensasikan oleh meningkatnya aliran keluar simpatetik, aktivasi renin-angiotensin, dan faktor humoral lainnya yang menstimulasi vasokontriksi periferal. Akibatnya, vasokontriksi mendistribusikan kembali darah ke kulit, otot skelet, ginjal, dan jalur gastrointestinal (GI) menuju organ vital (conyoh jantung, otak) dalam halnya menjaga oksigenasi, nutrisi, dan fungsi organ.
Manifestasi Klinik Syok
Manifestasi klinik syok memiliki gejala dan tanda yang berbeda-beda. Penderita dengan syok hipovalemik dapat menyebabkan kehausan, gelisah, kelelahan, sakit kepa karena lampu, dan pusing. Penderita juga melaporkan urin keluar sedikit dan berwarna kuning tua.
Hipotensi, takikardia,takipnea, kebingungan, dan oliguria merupakan gejala umum. Biasanya juga disertai dengan iskemiamiokardial dan cerebrum, edema pulmonari (syok kardiogenik), dan gagal organ multisistem.
Hipotensi yang signifikan (tekanan darah sistolik, SBP, kurang dari 90mmHg) dengan refleks sinus takikardia (lebih besar dari 120 denyut/menit) dan meningkatnya laju respiratori (lebih dari 30 tarikan napas/menit) seringkali terdapat pada penderita hipovalemik. Secara klinik, manifestasinya adalah sentuhan yang ekstrim dan dingin. Jika terjadi hipoksia koronari, aritmia jantung dapat timbul dan pada akhirnya akan menyebabkan gagal pompa miokardial yang ireversibel, edema pulmonari, dan kolapse kardiovaskular.
Penderita dengan kerusakan miokardial luas, auskultasi dada dapat menyebabkan bunyi jantung yang konsisten disertai penyakit jantungvalvular atau disfungsi ventrikular yang signifikan (S3). Roentgenogram dada dapat mendeteksi bagian dari aneurysm aorta ascending atau kardiomegali.
Perubahan status mental disertai dengan pengosongan volum dapat berkisar dari fluktuasi subtle pada mood – agitasi – ke tidak sadaran.
Respiratori sekunder alkali pada hiperventilasi biasanya diobservasi sekunder padastimulasi sistem saraf pusat dari pusat ventilatori sebagai akibat dari trauma, sepsis, atau syok. Auskultasi paru-paru dapat membuat bunyi tajam yang pendek (edema pulmonari) atau tidak adanya bunyi bernapas (pneumotoraks, hemotoraks). Roentgenogram dada dapat memastikan lebih awal abnormalitas yang tidak terdeteksi misalnya pneumonia (infiltrasi pulmonar). Pemaksaan yang diteruskan pada paru-paru dapat menyebabkan sindrom distres respiratori pada orang dewasa (adult respiratory distress syndrome, ARDS).
Ginjal sangat sensitif pada perubahan tekanan perfusi. Perubahan menengah dapat membuat perubahan laju filtrasi glomerolus (GFR) yang signifikan. Oliguria, perkembangan anuria, terjadi karena vasokontriksi dari arteriol aferen.
Kulit biasanya dingin, pucat, atau sianotik (kebiruan) karena hipoksemia. Berkeringat menyebabkan perasaan lembab dan basah. Jari-jari mengalami penurunan suplai darah kapiler.
Redistribusi dari aliran darah keluar dari jalur GI dapat mengakibatkan gastritis tes, iskemia gut, dan pada beberapa kasus infark, akibatnya adalah pendarahan GI.
Pengurangan aliran darah hepatik terutama pada berbagai bentuk vasodilatori syok dapat merubah metabolisme komponen endogen dan obat. Kerusakan progresif hati (syok liver) manifes sebagai peningkatan transaminase hepatik serum dan bilirubin tidak terkonjugasi. Kekuranag sintesa faktor pembekuan dapat meningkatkan waktu protrombin (protrombin time, PT), rasio normalisasi internasional (INR), dan waktu tromboplastin teraktivasi sebagian (aPTT, activated partial thromboplastin time).
Mekanisme Terjadinya Syok
Ada 3 tahap dalam mekanisme terjadinya syok, yaitu:
Tahap nonprogresif
Mekanisme neurohormonal membantu mempertahankan curah jantung dan tekanan darah. Meliputi refleks baroreseptor, pelepasan katekolamin, aktivasi poros rennin-angiotensin, pelepasan hormonan antidiuretik dan perangsangan simpatis umum. Efek akhirnya adalah takikardi, vasokontriksi perifer dan pemeliharaan cairan ginjal. Pembuluh darah jantung dan otak kurang sensitive terhadap respon simpatis tersebut sehingga akan mempertahankan diameter pembuluh darah, aliran darah dan pengiriman oksigen yang relative normal ke setiap organ vitalnya.
Tahap progresif
Jika penyebab syok yang mendasar tidak diperbaiki, syok secara tidak terduga akan berlanjut ke tahap progresif. Pada keadaan kekurangan oksigen yang menetap, respirasi aerobic intrasel digantikan oleh glikolisis anaerobik disertai dengan produksi asam laktat yang berlebihan. Asidosis laktat metabolic yang diakibatkannnya menurunkan pH jaringan dan menumpulkan respon vasomotor, arteriol berdilatasi dan darah mulai mengumpul dalam mikrosirulasi. Pegumpulan perifer tersebut tidak hanya akan memperburuk curah jantung, tetapi sel endotel juga berisiko mengalami cedera anoksia yang selanjutnya disertai DIC. Dengan hipoksia jaringan yang meluas, organ vital akan terserang dan mulai mengalami kegagalan. Secara klinis penderita mengalami kebingungan dan pengeluaran urine menurun.
Tahap irreversible
Jika tidak dilakukan intervensi, proses tersebut akhirnya memasuki tahap irreversible. Jejas sel yang meluas tercermin oleh adanya kebocoran enzim lisososm, yang semakin memperberat keadaan syok. Fungsi kontraksi miokard akan memburuk yang sebagiannya disebabkan oleh sintesis nitrit oksida. Pada tahap ini, klien mempunyai ginjal yang sama sekali tidak berfungsi akibat nekrosis tubular akut dan meskipun dilakukan upaya yang hebat, kemunduran klinis yang terus terjadi hamper secara pasti menimbulkan kematian.
Diagnosis Syok
Informasi yang berasal dari pengawasan infasif dan non-infasif (tabel 1) dan evaluasi riwayat rekam medis, manifestasi klinik, dan penelitian laboratorium merupakan komponen kunci pada diagnosis sebagai mekanisme umum yang bertanggung jawab terhadap syok. Pada etiologi, penelitian yang konsisten ditemukan diantaranya adalah hipotensi (SBP kurang dari 90 mmHg), indeks jantung menurun (CI kurang dari 2,2 mL/menit/m2), takikardia (denyut jantung, [heart rate, HR] lebih besar dari 100 denyut/menit), dan urin yang dikeluarkan sedikit (kurang dari 20 mL/jam).
Evaluasi BP dengan menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop menjadi tidak akurat pada saat syok.
Karakterisasi arteri pulmonari dengan menggunakan kateter Swan-Ganz sering dipakai untuk pengawasan infasif untuk parameter muti kardiovaskular. Kateter Swan-Ganz ini juga dapat digunakan untuk mendeterminasi tekanan vena pusat (central venous prsessure, CVP); tekanan arteri pulmonari; curah jantung; dan tekananoklusif arteri pulmonari (pulmonary artery occlusive pressure, PAOP), memperkirakan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan determinasi utama preload ventrikel kiri.
Curah jantung (2,5 sampai 3 L/menit) dan Svo2 (70% hingga 75%) dapat menjadi sangat rendah pada penderita kerusakan miokardial yang cukup parah.
Respirasi alkalosis disertai dengan tekanan darah O2 (PaO2) (25 hingga 35 mmHg) dan pH alkali tetapi bikarbonatnya normal. Dua nilai yang diukur pertama adalah gas darah arteri yang menghasilkan tekanan dari karbon dioksida (PaCO2) dan SaO2. SaO2 yang bersirkulasi juga dapat diukur dengan menggunakan oximeter, metode noinfasif yang cukup akurat dan berguna di sisi tempat tidur penderita.
Fungsi ginjal dapat diestimasi secara keseluruhan dengan pengukuran keluarnya urin per jam tetapi estimasi bersihan kreatinin serum yang terisolasi secara analitik penderita yang sakitakan memberikan hasil eror. Penurunan perfusi renal dan pelepasan aldosteron sebagai akibat dari retensi natrium dan kemudian rendahnya natrium urin (UNa kurang dari 30 mEq/L).
Tabel 14.1. Parameter Pengawasan Hemodinamik dan Transport Oksigen
Parameter
Nilai Normal
Tekanan darah sistol/diastol (Blood Pressure, BP)
100-130/70-85 mmHg
Rata-rata tekanan arteri (Mean Arterial Pressure, MAP)
80-100 mmHg
Tekanan arteri pulmonal (Pulmonary Artery Pressure, PAP)
25/20 mmHg
Rata-rata tekanan arteri pulmonal (Mean Pulmonary Artery Pressure, MPAP)
12-15 mmHg
Tekanan vena sentral (Central Venous Pressure, CVP)
2-6 mmHg
Tekanan oklusi arteri pulmonal (Pulmonary Artery Occlusion Pressure, PAOP)
8-12 mmHg (normal), 15-18 mmHg (ICU)
Detak jantung (Heart Rate, HR)
60-80 detak/menit
Curah jantung (Cardiac Output, CO)
4-7 L/menit)
Indeks Jantung (cardiac Input, CI)
2,8-3,6 L/menit/m2
Indeks Stroke Volume (Stroke Volume Index, SVI)
30-50-mL/m2
Indeks resistensi vaskular sistemik (Systemic Vascular Resistance Index, SVRI)
1300-2100 dyne.detik/ m2cm5
Indeks resistensi vaskular pulmonal (Pulmonary Vascular Resistance Index, PVRI)
45-225 dyne.detik/ m2cm5
Saturasi oksigen arteri (Arterial Oxygen Saturation, SaO2)
97 % (95%-100%)
Saturasi oksigen vena campuran (Mixed Venous Oxygen Saturation, SvO2)
75% (60%-80%)
Kandungan oksigen arteri (Arterial Oxygen Content, CaO2)
20,1% vol. (19-21)
Kandungan oksigen vena (Venous Oxygen Content, CvO2)
15,5% vol (11,5-16,5)
Perbedaan kandungan oksigen (Oxygen Content Difference, C(a-v)O2)
5% vol. (4-6)
Indeks penggunaan oksigen (Oxygen Consumption Index, VO2)
131 mL/menit/m2 (100-180)
Indeks penyakuran oksigen (oxygen Consumption Index,DO2)
578 mL/menit/m2 (370-730)
Rasio ekstraksi oksigen (Oxygen Extraction Ratio, O2ER)
25% (22%-30%)
pH intermukosa (intramucosal pH, pHi)
7,40 (7,35-7,45)
Indeks
Parameter yang diindeks dari luas permukaan tubuh
Pada individu normal, konsumsi oksigen (Vo2) bergantung pada penghantaran oksigen (DO2) hingga pada tahap kritis tertentu (ketergantungan aliran (V O2). Pada bagian ini penerimaan oksigen di jaringan terpisah dengan baik dan lebih jauhnya peningkatan DO2 tidak akan merubah VO2 (ketidaktergantungan aliran). Bagaimanapun, uji pada penderita yang sakit akan menunjukkan kelanjutan, patologi ketergantungan hubungan DO2 dan VO2. Indeks parameter ini dikalkulasikan sebagai berikut: DO2 =
CI x CaO2 dan VO2 = CI x (CaO2 – CVO2), dimana CI adalah indeks jantung, CaO2 adalah kandungan oksigen, dan CVO2 gabungan oksigen di vena. Saat ini data yang ada tidak mendukung konsep bahwa bertahannya penderita dirubah oleh penanganan yang langsung mendapatkan level supranormal dari DO2 dan VO2.
Rasio VO2 terhadap DO2 (rasio ekstraksi oksigen, O2ER) dapat digunakan untuk mengestimasi kebutuhan perfusi dan respon metabolik. Penderita yang dapat meningkatkan VO2 saat DO2 diturunkan dapat dikatakan penderita tersebut mampu bertahan. Tetapi, rendahnya nilai VO2 dan O2ER menyatakan rendahnya penggunaan oksigen dan mengarah ke mortalitas.
Laktat serum dapat digunakan sebagai pengukuran lain untuk oksigenasi jaringan dan dapat menunjukkan korelasi yang baik daripada parameter oksigen transport pada beberapa penderita.
Tonometry gastrik mengukur PCO2 usus luminal pada kesetimbangan dengan mengatur suatu balon permeabel yang berisi gas saline pada lumen gastrik. Peningkatan PCO2 di mukosal dan penurunan pH intramukosal (pHi) disertai dengan hipoperfusi mukosal dan mungkin dapat meningkatkan mortalitas. Tetapi manifestasi gangguan respiratori asam-basa, pemberian bikarbonat secara sistemik, pengukuran eror pada gas di daerah arteri, masuknya cairan konsumsi, dan darah atau feces di usus dapat membingungkan determinasi pHi. Kebanyakan para ahli percaya bahwa PCO2 mukosal gastrik lebih akurat dibandingkan pHi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Terapi Syok
Tujuan utamanya adalah membantu penghantaran oksigen melalui sistem sirkulasi dengan memastikan volum plasma intravaskular efektif, kapasitas pembawa oksigen yang optimal, BP yang sesuai saat keputusan diagnostik dan strategi terapi dideterminasi.
3.2 Pendekatan Umum
Gambar 1 menunjukkan prosedur pendekatan langsung pada penderita orang dewasa dengan hipovolemia.
Suplementasi oksigen sebaiknya diutamakan pada gejala awal syok mulai dari 4 sampai 6 L/menit melalui kanula hidung atau 6 sampai 10 L/menit melalui masker wajah.
Cairan yang cukup untuk pemulihan diberiakan untuk menjaga sirkulasi volum darah sangat penting untuk menangangi segala bentuk syok. Pilihan terapetik yang berbeda didiskusikan di bawah ini.
Jika pemberian cairan tidak mendapatkan hasil akhir yang baik maka dukungan farmakologi dengan inotropik dan obat vasoaktif sangat aktif.
ATidak YaTidak YaTidak YaTidak YaTidak YaTidak YaYaTidak Apakah diperkirakan perfusi pada jaringan tidak memadai?Pemantauan secara kontinyu dan periodik20 ml/kg LR (atau infus secepat mungkin jika tekanan tidak terukurPerfusi pada jaringan tidak memadaiPemantauan secara kontinyu dan periodikKemungkinan GJ dekompensasiPasien > 70 th atau mengalami akumulasi cairan intestisialTekanan darah sistolik < 90Dopamin 5 µg/kg/min + pertimbangan untuk kateter arteri pulmonalDobutamin 2 µg/kg/min + pertimbangan untuk kateter arteri pulmonalBerat < 60 kg20 ml/kg LR (atau infus cepat secara kontinyu sampai perfusi memadai)Dipertimbangkan 500 ml albumin 5% + kateter arteri pulmonalDipertimbangkan 250 ml albumin 5% + kateter arteri pulmonalPerfusi jaringan tidak memadai dengan komplikasinyaDopamin 5 µg/kg/min + pertimbangan untuk kateter arteri pulmonal Pemantauan kontinyu & periodic + infus jika dibutuhkan untuk memelihara perfusi yang memadai
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Apakah diperkirakan perfusi pada jaringan tidak memadai?
Pemantauan secara kontinyu dan periodik
20 ml/kg LR (atau infus secepat mungkin jika tekanan tidak terukur
Perfusi pada jaringan tidak memadai
Pemantauan secara kontinyu dan periodik
Kemungkinan GJ dekompensasi
Pasien > 70 th atau mengalami akumulasi cairan intestisial
Tekanan darah sistolik < 90
Dopamin 5 µg/kg/min + pertimbangan untuk kateter arteri pulmonal
Dobutamin 2 µg/kg/min + pertimbangan untuk kateter arteri pulmonal
Berat < 60 kg
20 ml/kg LR (atau infus cepat secara kontinyu sampai perfusi memadai)
Dipertimbangkan 500 ml albumin 5% + kateter arteri pulmonal
Dipertimbangkan 250 ml albumin 5% + kateter arteri pulmonal
Perfusi jaringan tidak memadai dengan komplikasinya
Dopamin 5 µg/kg/min + pertimbangan untuk kateter arteri pulmonal
Pemantauan kontinyu & periodic + infus jika dibutuhkan untuk memelihara perfusi yang memadai
Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Tidak Perfusi jaringan secara kontinyu tidak memadai tetapi toleransi dalam pemberian caian (contoh: tidak ada bukti udem paru-paru20 ml/LR (atau infus yang cepat dan kontinyu) + pertimbangkan penambahan obat jika tidak ada respon dalam pemberian cairan. Norepinefrin 0,1 mcg/kg/menit jika TDS < 70; dopamin 2 mcg/kg/menit (jika sudah dalam pengobatan dobutamin, naikkan dosis 5 mcg/kg/menit) jika TDS > 90Pasien menerima dobutaminNaikkan dosis 5 mcg/kg/menit pada interval 10 menit sampai 20 mcg/kg/menit, toksisitas atau efikasiDobutamin 2 mcg/kg/menit (jika dalam penanganan dopamin, coba turunkan dosis jadi 3 mcg/kg/menit)Jika TDS < 70 + norepinefrin (atau naikkan dopamin)Perfusi tidak memadaiNaikkan dobutamin 3-5 mcg/kg/menit dengan interval 10 menit sampai 20 mcg/kg/menit, toksisitas atau efikasiLanjutkan assesmen periodikPerfusi tidak memadaiJika TDS < 70, tambah atau naikkan dosis norepinefrin atau jika TDS 70, naikkan dosis dopamin atau dobutamin dengan interval 10 menit sampai 20 mcg/kg/menit, toksisitas atau efikasiLanjutkan assesmen periodikB
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Perfusi jaringan secara kontinyu tidak memadai tetapi toleransi dalam pemberian caian (contoh: tidak ada bukti udem paru-paru
20 ml/LR (atau infus yang cepat dan kontinyu) + pertimbangkan penambahan obat jika tidak ada respon dalam pemberian cairan. Norepinefrin 0,1 mcg/kg/menit jika TDS < 70; dopamin 2 mcg/kg/menit (jika sudah dalam pengobatan dobutamin, naikkan dosis 5 mcg/kg/menit) jika TDS > 90
Pasien menerima dobutamin
Naikkan dosis 5 mcg/kg/menit pada interval 10 menit sampai 20 mcg/kg/menit, toksisitas atau efikasi
Dobutamin 2 mcg/kg/menit (jika dalam penanganan dopamin, coba turunkan dosis jadi 3 mcg/kg/menit)
Jika TDS < 70 + norepinefrin (atau naikkan dopamin)
Perfusi tidak memadai
Naikkan dobutamin 3-5 mcg/kg/menit dengan interval 10 menit sampai 20 mcg/kg/menit, toksisitas atau efikasi
Lanjutkan assesmen periodik
Perfusi tidak memadai
Jika TDS < 70, tambah atau naikkan dosis norepinefrin atau jika TDS 70, naikkan dosis dopamin atau dobutamin dengan interval 10 menit sampai 20 mcg/kg/menit, toksisitas atau efikasi
Lanjutkan assesmen periodik
Gambar 14.1 Protokol Hipovolemia Pada Dewasa
Gambar 14.1 Protokol Hipovolemia Pada Dewasa
Protokol ini tidak ditujukan untuk mengganti terapi seperti intervensi bedah atau produk darah untuk meningkatkan kapasitas pengikat oksigen atau hemostatis. Jika memungkinkan, beberapa pengukuran dapat digunakan sebagai tambahan algoritma tersebut, seperti mean tekanan arteri atau pencatat arteri pulmonal. Selanjutnya boleh digunakan untuk menilai pemilihan obat (contohnya obat dengan efek presor primer cocok untuk pasien dengan kardiak output suboptimal). Dosis maksimal yang rendah dari obat dalam lagoritma ini seharusnya dipertimbangkan juga jika katerisasi arteri pulmonal tidak dapat dilakukan. HF, gagal jantung; LR, larutan Ringer Laktat. Koloid dapat diganti untuk albumin adalah hetastrach 6% dan dekstran 40.
3.3 Resusitasi Cairan Untuk Syok Hipovolemik
Cairan pemulih utama mengandung kristaloid isotonic (0,9% natrium klorida atau cairan Ringer laktat), koloid (5% plasmanat atau albumin, 6% hetastarch), atau darah keseluruhan. Pilihan larutan ini berdasarkan pada kapasitas pembawa oksigen (contoh, hemoglobin, hematokrit), penyebab syok hipovolemik, penyakit suplemen, tingkatan kehilangan cairan tubuh, dan mendapatkan penghantaran cairan dengan cepat. Kebanyakan para ahli setuju bahwa kristaloid lebih baik dari koloid sebagai terapi utama untuk penderita luka bakar karena kurangnya kemungkinan yang menyebabkan akumulasi cairan interstsial. Jika volum resusitasi suboptimal disertai dengan beberapa liter kristaloid, penggunaan koloid juga dipertimbangkan. Beberapa Penderita dapat menerima produk darah untuk menjaga kapasitas penghantaran oksigen sebagai faktor pembekuan darah dan platelet untuk hemostasis darah.
3.4 Kristaloid
Kristaloid mengandung elektrolit (contoh Na +, Cl, dan K +) dalam larutan air tanpa atau dengan dekstrosa. larutan ringer laktat mungkin lebih disukai karena tidak menyebabkan metabolik asidosis hiperkloremik melalui infus atau saline normal dalam jumlah besar.
Kristaloid diberikan dengan laju 500-2000 mL / jam, pemberian ini tergantung pada tingkat keparahan defisit, tingkat kehilangan cairan yang sedang berlangsung, dan toleransi terhadap volume infus. Biasanya 2 sampai 4 L kristaloid menormalkan volume intravaskular.
Keuntungan dari kristaloid mencakup kecepatan dan kemudahan pemberian, kompatibilitas dengan sebagian besar obat, tidak adanya kenyerian serum, dan cukup murah.
Kerugian utama adalah besarnya volume yang diperlukan untuk mengganti atau menambah volume intravaskular. Sekitar 4 L saline normal harus diinfuskan untuk mengganti kehilangan 1 L darah. Selain itu, cairan tekanan onkotik koloid menyebabkan edema paru lebih mungkin untuk mengikuti kristaloid dibandingkan resusitasi koloid.
3.5 Koloid
Koloid adalah larutan dengan bobot molekul yang cukup besar (> 30000 dalton) telah direkomendasikan untuk digunakan bersama dengan atau sebagai pengganti larutan kristaloid. Albumin adalah koloid monodisperse karena semua molekulnya memiliki bobot molekul yang sama, sedangkan hetastrach dan dekstran merupakan larutan hidroksietil majemuk polidispersi dengan bobot molekul yang bervariasi. Koloid sangat berguna karena dapat meningkatkan bobot molekul serta waktu retensi intravaskular (tidak adanya peningkatan permeabilitas kapilari). Meskipun dengan semua permeabilitas kapilari, molekul koloid pada akhirnya akan melalui membran kapilari.
Konsentrasi Albumin 5% dan 25% tersedia. Hal ini membutuhkan sekitar tiga sampai empat kali lebih banyak larutan ringer laktat atau larutan saline nomal untuk pembesaran volume seperti larutan albumin 5%. Sedangkan albumin jauh lebih mahal daripada larutan kristaloid. Larutan albumin 5% relatif iso-onkotik, sedangkan albumin 25% hiperonkotik dan cenderung untuk menarik cairan ke dalam kompartemen yang mengandung molekul albumin. Pada umumnya, albumin 5% digunakan untuk tahap hipovolemik. Larutan 25% sebaiknya tidak digunakan untuk pasien insufisiensi sirkulasi akut kecuali diencerkan dengan cairan lain atau setidaknya yang digunakan pada pasien dengan kelebihan cairan tubuh total tetapi depresi intravaskular, sebagai sarana menarik cairan ke dalam ruang intravaskular.
Hetastarch 6% memiliki ekspansi plasma sebanding dengan larutan albumin 5% tetapi biasanya lebih murah, dihitung berdasarkan banyak penggunaannya. Hetastarch sebaiknya dihindarkan pada situasi di mana pemulihan dalam waktu jangka pendek dan hemostasis bisa memiliki konsekuensi yang mengerikan (misalnya, operasi by pass kardiopulmonari dan perdarahan intrakranial), karena dapat memperburuk perdarahan. Hetastarch dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi amilase serum tetapi tidak menyebabkan pankreatitis.
Dekstran 40, dekstran 70, dan dekstran 75 tersedia untuk peningkat plasma (angka menunjukkan bobot molekul rata-rata dikali 1.000). Larutan ini tidak digunakan sesering albumin atau hetastarch untuk peningkat plasma. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kekhawatiran terjadinya perdarahan (yaitu, aksi antikoagulan yang berhubungan dengan menghambat stasis sirkulasi mikro) dan anafilaksis, yang terjadi mirip dengan larutan dengan bobot molekul tinggi.
Keuntungan secara teori dari koloid adalah dapat memperpanjang waktu retensi intravaskular dibandingkan larutan kristaloid. Sedangkan kristaloid isotonic yang memiliki distribusi substansi inerttisial selama beberapa menit dari pemberian intravena, koloid ada diruang intravaskular selama beberapa jam atau hari tergantung dari berbagai factor salah satunya adalah permeabilitas kapilari.
Koloid (terutama albumin) merupakan larutan yang mahal dan ada uji yang melibatkan 7.000 pasien sakit kritis tidak menunjukan perbedaan yang signifikan pada mortalitas selama 28 hari antara pasien diresusitasi dengan larutan saline normal atau albumin 4%. Karena alasan inilah kristaloid harus dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan syok hipovolemik.
Efek samping dari koloid secara umum menambahkan aktivitas farmakologis (misalnya, kelebihan cairan dan koagulopati dilusi). Albumin dan dekstran dapat disertai dengan reaksi anafilaktoid atau anafilaksis. Perdarahan dapat terjadi pada pasien tertentu yang menerima hetastarch dan dekstran.
3.6 Produk Darah
Keseluruhan darah dapat digunakan untuk kehilangan darah dalam volume besar, tetapi harus diketahui komponen terapinya dengan kristaloid atau koloid digunakan untuk meningkatkan plasma.
Kemasan sel darah merah mengandung hemoglobin yang dapat meningkatkan kapasitas penghantaran oksigen dari darah lalu meningkatkan penghantaran oksigen ke jaringan. Fungsi ini tidak diberikan oleh kristaloid atau koloid. Sel darah merah ini biasanya diindikasikan pada pasien dengan kerusakan lanjutan setelah penggantian volume atau exsanguination jelas. Produk harus dihangatkan sebelum diberikan, terutama bila digunakan pada anak-anak.
Plasma segar beku menggantikan tempat faktor pembekuan darah. Meskipun sering digunakan produk ini diindikasikan jika ada perdarahan yang sedang berlangsung pada pasien dengan waktu protrombin (PT) atau waktu tromboplastin parsial teraktivasi (aPTT) > 1,5 kali waktu normal, beberapa penyakit hati, atau gangguan perdarahan lainnya.
Platelet digunakan untuk perdarahan akibat plateletopenia parah (jumlah platelet < 10.000 / mm3) atau pada pasien dengan jumlah platelet cepat turun seperti yang terlihat pada perdarahan masive (banyak).
Kriopresipitat dan faktor VIII umumnya tidak diindikasikan dalam perdarahan akut tetapi dapat digunakan sesekali untuk defisiensi spesifik yang telah terbukti.
Risiko yang disertai dengan infus produk darah termasuk reaksi yang berhubungan degan transfusi, penularan virus (jarang), hipokalsemia akibat penambahan sitrat, peningkatan kalium dan fosfor konsentrasi serum dari penggunaan darah yang disimpan yang telah hemolyzed, peningkatan kekentalan darah dari ketinggian hematokrit atas normal, dan hipotermia dari kegagalan untuk tepat larutan hangat sebelum pemberian.Meningkatkan kekentalan darah dari peningkatan hematokrit supranormal, dan hipotermia dari gagalnya pemanasan larutan sebelum pemberian.
3.7 Terapi Farmakologi
Obat inotropik dan vasopresor biasanya tidak diindikasikan sebagai terapi utama syok hipovolemik (perkiraan terapi cairan cukup), respon tubuh yang normal akan meningkatkan curah jantung dan memperkecil saluran pembuluh darah untuk menjaga BP. Meskipun, sesekali harus insufisiensi sirkulasi telah dihentikan atau ditangani dan cairan telah dioptimasi, medikasi tetap diperlukan pada penderita dengan tanda dan gejala dari perfusi jaringan tidak mencukupi. Obat peningkat tekanan darah seperti norepinefrin dan dosis tinggi dopamin sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan BP pada iskemia jaringan. Penderita dengan BP yang tidak stabil serta penempatan cairan kembali dan meningkatnya akumulasi cairan interstitial, obat inotropik seperti dobutamin lebih dipilih jika Bpnya cukup (SBP 90 mmHg) karena obat ini tidak menyebabkan vasokonstriksi. Karena tekanan tidak dapat ditangani oleh inotropik atau inotropik dengan vasodilator tidak dapat digunakan (terfokus pada tidak sesuainya BP) maka pressor dibutuhkan sebagai pilihan terapi.
Pilihan vasopresor atau obat inotropik pada syok septik sebaiknya dibuat berdasarkan kebutuhan penderitanya. Prosedur penggunaan obat ini dalam septik syok ditunjukkan Gambar 2. Pendekatan secara tradisional dimulai dengan dopamin, kemudian norepinefrin; penambahan dobutamin untuk curah jantung yang lemah, dan epinefrin, serta fenilefrin digunakan jika dibutuhkan. Meskipun observasi saat ini memberikan hasil yang lebih baik dengan norepinefrin dan penurunan perfusi secara regional dengan dopamin masih dipertanyakan kembali dopamin sebagai obat tahap pertama.
Selektivitas reseptor dari vasopresor dan inotrop diberikan pada Tabel 2. Secara umum obat ini bereaksi cepat dengan durasi yang pendek dan diberikan sebagai infus yang berkelanjutan. Vasokonstriksi yang poten seperti norepinefrin dan fenilefrin sebaiknya diberikan melalui vena utama karena kemungkinan ekstravasasi dan kerusakan jaringan melalui pemberian perifer. Pengawasan seksama dan kalkulasi laju infus disarankan karena perubahan dosis sering terjadi dan variasi konsentrasi digunakan pada penderita dengan volum yang terbatas.
Septik syok dengan hipotensiHipotensiKardiak output tidak memadaiPemberian cairan
Septik syok dengan hipotensi
Hipotensi
Kardiak output tidak memadai
Pemberian cairan
Kardiak output memadai
Kardiak output memadai
Norepinefrin atau fenilefrin*Jika disritmia muncul dengan dopamin atau norepinefrin, fenilefrin mungkin pilihan yang lebih baikDopamin*Pertimbangkan epinefrin jika pasien tidak memiliki sejarah gangguan jantung dan/atau masih muda
Norepinefrin atau fenilefrin
*Jika disritmia muncul dengan dopamin atau norepinefrin, fenilefrin mungkin pilihan yang lebih baik
Dopamin
*Pertimbangkan epinefrin jika pasien tidak memiliki sejarah gangguan jantung dan/atau masih muda
Pertimbangkan dosis rendah kortikosteroid jika terdapat absolut atau relatif insufisiensi adrenal (hidrokortison 300 mg IV/24 jam infus)Jika kardiak output masih tidak memadai
Pertimbangkan dosis rendah kortikosteroid jika terdapat absolut atau relatif insufisiensi adrenal (hidrokortison 300 mg IV/24 jam infus)
Jika kardiak output masih tidak memadai
Dobutamin (boleh dinaikan sampai dosis vasopresor jika TD turun ketika dobutamin ditambahkan)
Dobutamin
(boleh dinaikan sampai dosis vasopresor jika TD turun ketika dobutamin ditambahkan)
Jika hipotensi refraktori pada vasopresor dan inotropik
Jika hipotensi refraktori pada vasopresor dan inotropik
Jika hipotensi refraktori pada vasopresor katekolamin +/- kortikosteroid, pertimbangkan infus IV vasopresi 0,01 – 0,04
Jika hipotensi refraktori pada vasopresor katekolamin +/- kortikosteroid, pertimbangkan infus IV vasopresi 0,01 – 0,04
Gambar 14.2. Pendekatan prosedur terhadap penggunaan vasopresor dan inotropik pada septik syok. Pendekatan direncanakan untuk digunakan kombinasi disertai keputusan klinis, pengawasan parameter hemodinamik, dan terapi akhir.
Dopamin sering digunakan sebagai vasopresor utama pada septik syok karena obat ini meningkatkan BP melalui peningkatan kontraktilitas miokardial dan vasokonstriksi. Walaupun dopamin telah dilaporkan memiliki hubungan antara dosis dengan aktivitas reseptor dopamin (Dar), β1, dan reseptor α1, hubungan respon dosis tidak dapat dipastikan pada penderita sakit kritis. Penderita septik syok terjadi tumpang tindih efek hemodinamik dengan dosis rendah 3 mcg/kg/menit. Dosis 5 sampai 10 mcg/kg/menit diutamakan untuk memperbaiki tekanan arteri rata-rata (MAP). Pada septik syok, dosis ini meningkatkan Cl dengan cara memperbaiki kontraktilitas ventrikular, denyut jantung, tekanan arteri, dan resistensi vaskular sistemik. Penggunaan klinis dari dopamin pada septik syok dibatasi karena dosis besar diperlukan untuk menjaga CO dan BP. Pada dosis diatas 20 mcg/kg/menit pada kinerja jantung yang terbatas dan hemodinamik regional. Penggunaan dopamin juga umum digunakan untuk takikardia dan takidisritmia. Efek samping lain yang diwaspadai adalah pada penggunaan septik syok termasuk diantaranya yaitu, peningkatan PAOP, penekanan pulmonari, dan penurunan Pao2. Dopamin sebaiknya digunakan dengan perhatian pada penderita yang preloadnya tinggi, hal ini akan memperburuk edema pulmonar. Dosis rendah dopamin (1 sampai 3 mcg/kg/menit) kadang kala digunakan bagi penderita dengan septik syok yang mendapatkan vasopresor dengan atau tanpa oliguria. Tujuan terapi ini adalah untuk mencegah atau vasokonstriksi ginjal kembali yang disebabkan oleh presor lainnya, mencegah gagal ginjal oliguria, atau untuk merubah menjadi gagal ginjal non-oliguria. Dopamin sering ditambahkan dalam dosis rendah pada vasopresor lain atau inotrop (contoh, norepinefrin). Pada umumnya dosis dopamin tidak efektif atau tidak menoleransi sehingga perlu penambahan obat lain. Pada bagian ini dopamin ditambahkan pada dosis kecilnya. Ada indikasi yang mendukung penggunaan dosis kecil dopamin dalam menjaga fungsi ginjal pada oliguria, dengan atau tanpa septik syok, atau dalam terjadinya vasokonstriksi kembali yang diinduksi vasopresor pada septik syok.
Dobutamin merupakan selektif β1 agonis dengan β2 menengah dan aktivitas vaskular α1, hasilnya aktivitas kuat inotropik positif tanpa ada hubungannya dengan vasokonstriksi. Dobutamin menyebabkan peningkatan yang besar dalam CO dan kurang disritmogenik dibandingkan dopamin. Secara klinis, meningkatnya kontraktilitas miokardial dan diikuti oleh reduksi refleks tonus simpatetik mengarah kepada menurunnya resistensi vaskular (SVR). Meskipun dobutamin optimal digunakan untuk menurunkan CO dengan tekanan pengisian yang tinggi atau syok kardiogenik, vasopresor diperlukan untuk melawan vasodilatasi arteri. Penambahan dobutamin (dengan laju konstan 5 mcg/kg/menit) ke regimen epinefrin dapat meningkatkan perfusi mukosal yang terukur oleh pHi dan konsentrasi laktat arteri. Dobutamin sebaiknya dimulai dengan rentang dosis 2,5 sampai 5 mcg/kg/menit. Dosis diatas 5 mcg/kg/menit memberikan keuntungan efek yang terbatas dalam nilai transport oksigen dan hemodinamik serta dapat meningkatkan efek samping jantung. Laju infus diberikan dengan acuan poin akhir klinis. Penurunan Pao2 dan peningkatan Pvo2 sebagai efek samping miokardial seperti takikardi, perubahan iskemia di ECG, takidisritmia, dan hipotensi juga terlihat.
Tabel 14.2. Farmakologi Reseptor dari Inotropik yang terpilih dan Obat vasopresor yang Digunakan untuk Septik syok.
Agen
α 1
α 2
β 1
β 2
DA
Dobutamin (500 mg/250 ml D5W atau NS)
2-10 mcg/kg/menit
+
0
+ + + +
+ +
0
>10-20 mcg/kg/menit
+ +
0
+ + + +
+ + +
0
Dopamin (800 mg/250 ml D5W atau NS)
1-3 mcg/kg/menit
0
0
+ + + +
3-10 mcg/kg/menit
0/+
0
+ + + +
+ +
+ + + +
>10-20 mcg/kg/menit
+ + +
0
+ + + +
0
Epinefrin (2 mg/250 ml D5W atau NS)
0,01-0,05 mcg/kg/menit
+ +
+ +
+ + + +
+ + +
0
>0,05 mcg/kg/menit
+ + + +
+ + + +
+ + +
0
Norepinefrin (4 mg/250 ml D5W atau NS)
0,02-3 mcg/kg/menit (2-20 mcg/menit)
+ + +
+ + +
+ + +
+/+ +
0
Fenilefrin (50 mg/250 ml D5W atau NS
0,5-9 mcg/kg/menit
+ + +
+
?
0
0
Ket : Aktivitas diukur dari tidak ada aktivitas (0) sampai aktivitas maksimal ( + + + + ) atau ? jika aktivitas tidak diketahui, DA : dopaminergik.
Norepinefrin dikombinasikan dengan agonis α dan β tapi menyebabkan vasokontraksi primer kemudian meningkatkan SVR. Umumnya hal ini tidak menunjukan perubahan atau menunjukan perubahan atau sedikit menurunkan CO. norepinefrin diinisiasi setelah dosis vasopressor dari dopamine (4 sampai 20/mcg/kg/menit), tunggal atau dikombinasikan dengan dobutamin (2 sampai 40 mcg/kg/menit), gagal mendapatkan tujuan yang diharapkan. Dosis dopamine dan dobutamin dijaga agar tetap konstan atau dihentikan semuanya, misalnya dobutamin dijaga dalam dosis kecilnya untuk kepentingan proteksi ginjal. Noreponefrin 0,01 sampai 2 mcg/kg/menit, dengan kosisten dan dipastikan meningkatkan parameter hemodinamin dari normal atau supranormal pada penderita septic syok. Beberapa data menyarankan norepinefrin sebaiknya digunakan sebagai pilihan vasopressor untuk septic syok.
Fenilefrin merupakan obat yang agonis α1 asli dan dapat meningkatkan BP melalui vasokonstriksi. Obat ini juga meningkatkan kontraktilitas dan CO. fenilefrin menguntungkan dalam penggunaan untuk septic syok karena sifat selektif agonis α1 , efek vascular, onset cepat, dan durasi yang pendek. Fenilefrin sebaiknya diberikan saat vasokonstriksi asli diharapkan pada penderita yang tidak dapat mendapatkan atau menolerir efek β dari dopamine atau norepinefrin dengan atau tanpa dobutamin. Obat ini dimulai pada dosis 0,5 mcg/kg/menit dan ditambahkan dengan cepat untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Efek samping takikardia jarang terjadi pada penggunaan tunggal atau dosis tinggi.
Epinefrin dikombinasikan dengan efek agonis α dan β dan secara tradisional digunakan sebagai vasopressor dari pilihan terakhir karena adanya laporan vasokonstriksi perifer khususnya pada bagian splanchnic, dan pembuluh darah renal. Pada laju infus yang tinggi saat digunakan untuk septic syok, efek α adrenergic sangat dominan, dan SVR dan MAP meningkat. Hal ini dapat diterima sabagai obat tunggal untuk septic syok karena dikombinasi untuk vasokonstriktor dan efek intropik. Epinefrin sangat berguna saat digunakan sejak awal untuk septic syok pada penderita yang masih muda dan tidak adanya keabnormalan jantung. Laju infus 0,04 sampai 1 mcg/kg/menit dapat meningkatkan hemodinamik dan variable transport oksigen menjadi tingkat supranormal dengan efeksamping pada penderita yang tidak mengalami jantung coroner. Dosis besar (0,05 sampai 1 mcg/kg/menit) dapat diterima saat epinefrin ditambah dengan obat lain. Dosis yang lebih kecil (0,1 sampai 0,5 mcg/kg/menit) efektif jika infus dobutamin dopamine konstan. Walaupun Do2 meningkat sebagai fungsi dari peningkatan yang konsisten dari CI (variable lain yang dapat meningkatkan SVR), Vo2tidak meningkat dan O2ER turun. Konsentrasi laktat meningkat selama beberapa jam pertama dari terapi epinefrin tetapi terjadi normalisasi sebagai bentuk pertahanan setelah 24 jam. Perhatian diobat harus diikuti sebelumpertimbangan pemakaian epinefrin untuk menjaga hipoperfusi pada penderita hipodinamik disertai penyakit arteri coroner. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari iskemia, nyeri dada, dan infrak miokardial.
3.8 Evaluasi Hasil Terapi
Pengawasan utama bagi penderita yang tidak terbukti mengalami depresi volum sebaiknya terdiri dari tanda penting, keluaran urin, status mental, dan tes fisik.
Penetapan tahap CVP memberikan estimasi yang berguna (walaupun secara tidak langsung dan tidak sensitive) dalam hubungan antara tekanan atrium kanan dan curah jantung.
Indikasi untuk kateterisasi arteri pulmonary masih kontroversial. Hal ini karena adanya kekurangan dari data yang dihasilkan yang berhubungan dengan prosedur kateter ini. Digunakan untuk menjelaskan kasus rumit dari syok tidak berhubungan dengan cairan konvensional dan terapi medikasi. Komplikasi yang terkait dengan insersi, penanganan, dan perubahan kateter adalah kerusakan pembuluh dan organ selama insersi, aritmia, infeksi, dan kerusaskan tromboembolik.
Uji laboratorium mengindikasikan pengawasan berkelanjutan syok termasuk diantaranya yaitu elektrolit dan uji fungsi ginjal (BUN, serum, keratinin); perhitungan darah lengkap untuk melihat kemungkinan infeksi, kapasitas darah dalam menghantarkan oksigen, dan pendarahan yang terus menerus; PT dan aPTT untuk melihat kemampuan pembekuan; dan konsentrasi laktat serta deficit basa untuk mendeteksi perfusi jaringan yang tidak mencukupi.
Parameter kardiovaskular dan respiratori sebaiknya diawasi terus-menerus (lihat tabel 1). Saat ini, sebelum CVP spesifik atau angka PAOP sebaiknya diawasi karena diantara penderita memberikan responj yang berbeda.
Resusitasi yang berhasil meningkatkan SBP (diatas 90 mmHg), CI (diatas 2,2 L/menit/m3), dan keluaran urin (0,5 sampai 1) sedangkan SVR menurun ke kisaran normal (900 sampai 1200 dyne/detik/cm5). MAP lebih besar dari 60 mmHg harus dapat dicapai untukmendapatkan cerebral yang sesuai dan tekanan perfusi coroner.
Volum intravaskuer yang berlebihan dikarakterisasi melalui tekanan pengisian yang tinggi (CVP lebih dari 12 sampai 15 mmHg, PAOP diatas 20 sampai 24mmHg) dan penurunan CO (kurang dari 3,5 L/menit) jika terjadi kelebihan volum, furosemide 20 sampai 40 mg sebaiknya diberikan melalui iv lambat untuk menghasilkan diuresis yang cepat dari volum intravascular dan unload jantung melalui dilatasi vena.
Masalah koagulasi berhubungan dengan rendahnya kadar factor pembekuan yang terdapat didalam darah sebagai dilusi factor pembekuan endogen dan platelet diikuti dengan pemberian darah akibat panel koagulasi (PT, INR, aPTT) sebaiknya diperiksa pada penderita yang mengalami pergantian 50 sampai 100% volum darah selama 12 sampai 24 jam.
BAB IV
KESIMPULAN
Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan sindrom klinis yang kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan manifestasi hemodinamik yang bervariasi tetapi petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan.
Ada 5 jenis syok :
Syok kardiogenik (berhubungan dengan kelainan jantung)
Syok hipovolemik (akibat kehilangan cairan/darah)
Syok anafilaktik (akibat reaksi alergi)
Syok septik (berhubungan dengan infeksi)
Syok neurogenik (akibat kerusakan pada sistem saraf).
Terapi Syok dapat dilakukan yaitu :
Dengan Resusitasi Cairan
misalnya dengan kristaloid isotonic (0,9% natrium klorida atau cairan Ringer laktat), koloid (5% plasmanat atau albumin, 6% hetastarch)
Dengan Pemberian Obat Inotropik atau Vasopresor Aktif
misalnya dopamin, dobutamin, epinefrin, norepinefrin, dan fenilefrin
DAFTAR PUSTAKA
Hayes, Peter C., Mackay, Thomas W., alih bahasa, Devy H. Ronardy, 1997, "Buku Saku Diagnosis dan Terapi", Jakarta : EGC
Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 –499.
Robbins, dkk. (2007)."Buku ajar patologi" Vol.1, 7th edition. Hal.111