ESP-Environmental Support Programme Danida
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Tanya Jawab Mengenai KLHS
Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan Boleh dikatakan sebagian besar aparatur pemerintah di pusat dan daerah otonom, kalangan perusahaan, akademisi dan pegiat lingkungan telah akrab dengan istilah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Begitu terkenalnya AMDAL sehingga ada yang menafsirkan pengelolaan lingkungan hidup identik dengan AMDAL. Padahal spektrum pengelolaan lingkungan hidup yang berkembang saat ini demikian luas dan beraneka. Ada yang bertujuan untuk merespon isu lingkungan global seperti pemanasan bumi, penipisan ozon, dan keanekaragaman hayati yang menuntut kerjasama global. Ada pula yang bertujuan untuk merespon banjir, pencemaran sungai, pesisir dan laut yang kesemuanya menuntut kerjasama antar kabupaten dan propinsi. Selain itu ada pula instrumen pengelolaan lingkungan yang khusus diaplikasikan pada tataran proyek atau entitas organisasi (perusahaan atau badan pemerintah), seperti Audit Lingkungan, Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001, Produksi Bersih, dan lain sebagainya (AMDAL termasuk dalam kelompok ini).
Dalam dekade terakhir terakhir bahkan, didorong oleh tuntutan keberlanjutan, keberlanjutan, di berbagai berbagai
negara telah berkembang instrumen baru yang dikenal sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Buku “Tanya Jawab Mengenai KLHS” ini disusun untuk mereka yang belum dan ingin mengetahui lebih jauh tentang KLHS. Di dalam buku ini selain dimuat tanya jawab tentang pengertian, tujuan dan lingkup KLHS, juga dimuat tentang kelembagaan KLHS. Sehingga melalui buku ini para pembaca diharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang sosok KLHS sekaligus perbedaannya dengan AMDAL yang telah lama dikenal. Buku ini dapat hadir di tengah-tengah kita berkat diselenggarakannya Environmental Support Programme Phase (ESP) 1, suatu proyek kerjasama antara Danish International Development Agency [DANIDA], Pemerintah Kerajaan Denmark, dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). Sehingga bukan suatu yang berlebihan terima kasih dan penghargaan mendalam disampaikan kepada DANIDA yang telah memfasilitasi pengembangan konsep dan uji coba KLHS di Indonesia. Ucapan
terima
kasih
juga
disampaikan
kepada
Tim
Konsultan
yang
telah
bekerja
keras
memformulasikan KLHS untuk konteks Indonesia. Akhir kata semoga buku ini dapat menjadi tempat semai yang baik bagi tumbuh dan menguatnya kelembagaan KLHS di Indonesia di masa mendatang.
Jakarta, Desember 2007
Ir. Hermien Roosita, MM Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Kata Pengantar
1
Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan Boleh dikatakan sebagian besar aparatur pemerintah di pusat dan daerah otonom, kalangan perusahaan, akademisi dan pegiat lingkungan telah akrab dengan istilah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Begitu terkenalnya AMDAL sehingga ada yang menafsirkan pengelolaan lingkungan hidup identik dengan AMDAL. Padahal spektrum pengelolaan lingkungan hidup yang berkembang saat ini demikian luas dan beraneka. Ada yang bertujuan untuk merespon isu lingkungan global seperti pemanasan bumi, penipisan ozon, dan keanekaragaman hayati yang menuntut kerjasama global. Ada pula yang bertujuan untuk merespon banjir, pencemaran sungai, pesisir dan laut yang kesemuanya menuntut kerjasama antar kabupaten dan propinsi. Selain itu ada pula instrumen pengelolaan lingkungan yang khusus diaplikasikan pada tataran proyek atau entitas organisasi (perusahaan atau badan pemerintah), seperti Audit Lingkungan, Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001, Produksi Bersih, dan lain sebagainya (AMDAL termasuk dalam kelompok ini).
Dalam dekade terakhir terakhir bahkan, didorong oleh tuntutan keberlanjutan, keberlanjutan, di berbagai berbagai
negara telah berkembang instrumen baru yang dikenal sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Buku “Tanya Jawab Mengenai KLHS” ini disusun untuk mereka yang belum dan ingin mengetahui lebih jauh tentang KLHS. Di dalam buku ini selain dimuat tanya jawab tentang pengertian, tujuan dan lingkup KLHS, juga dimuat tentang kelembagaan KLHS. Sehingga melalui buku ini para pembaca diharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang sosok KLHS sekaligus perbedaannya dengan AMDAL yang telah lama dikenal. Buku ini dapat hadir di tengah-tengah kita berkat diselenggarakannya Environmental Support Programme Phase (ESP) 1, suatu proyek kerjasama antara Danish International Development Agency [DANIDA], Pemerintah Kerajaan Denmark, dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). Sehingga bukan suatu yang berlebihan terima kasih dan penghargaan mendalam disampaikan kepada DANIDA yang telah memfasilitasi pengembangan konsep dan uji coba KLHS di Indonesia. Ucapan
terima
kasih
juga
disampaikan
kepada
Tim
Konsultan
yang
telah
bekerja
keras
memformulasikan KLHS untuk konteks Indonesia. Akhir kata semoga buku ini dapat menjadi tempat semai yang baik bagi tumbuh dan menguatnya kelembagaan KLHS di Indonesia di masa mendatang.
Jakarta, Desember 2007
Ir. Hermien Roosita, MM Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Kata Pengantar
1
Dalam beberapa tahun terakhir ini KLH berinisiatif mengembangkan aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS) di Indonesia. Setelah dilakukan beberapa kajian pendahuluan dan digelar berbagai diskusi dan seminar, KLHS yang akan dikembangkan di Indonesia mulai menampakkan sosoknya. Sehingga disamping kami belajar memahami apa dan bagaimana KLHS kami juga dituntut untuk sekaligus mengembangkan KLHS di Indonesia. Satu hal penting dan menarik kami peroleh dari proses tersebut adalah saling komplemen antara KLHS dan AMDAL. Bila AMDAL tampil sebagai kelembagaan yang mekanistik dan prosedural, KLHS tampil sebagai instrumen yang non-linier. AMDAL di aras proyek atau hilir dari proses perencanaan pembangunan, KLHS di aras kebijakan, rencana, program atau hulu. AMDAL bersifat spesifik lokasi, dalam dan rinci, sementara KLHS cenderung umum, lebar dan tidak terlampau rinci. AMDAL untuk menilai kelayakan lingkungan proyek pembangunan, sementara KLHS untuk menghasilkan kebijakan, rencana atau program pembangunan yang bermuatan lingkungan hidup. Hal-hal yang kami paparkan diatas merupakan sebagian dari informasi yang dapat diperoleh dari buku “Tanya Jawab Mengenai KLHS”. Melalui format tanya -jawab di dalam buku ini dapat diketahui lebih jauh tentang apa, mengapa dan bagaimana KLHS. Sehingga definisi, tujuan, aplikasi KLHS dalam Perencanaan Pembangunan Nasional dan penataan ruang, juga dipaparkan dalam buku ini. Buku ini terbit berkat dukungan dari dan hasil kerjasama KLH dengan Pemerintah Kerajaan Denmark melalui Danish International Development Agency [DANIDA], Environmental Support Programme Phase 1. Untuk itu, kepada manajemen ESP 1 diucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Demikian pula kepada para pakar/konsultan yang terlibat dalam penyusunan buku ini diucapkan terima kasih dan penghargaan.
Jakarta, Desember 2007
Ir. Bambang Setyabudi, MURP Asisten Deputi Urusan Perencanaan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup
2
Diterbitkan oleh Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Gedung A, Lantai 4 Jalan D.I. Panjaitan Kav. 24 Kebun Nanas, Jakarta 13410 Telp/Faks. (021) 8590667 e-mail:
[email protected] Website: http:\\www.menlh.go.id
Pengarah Hermien Roosita (Kementerian Negara Lingkungan Hidup)
Ketua Pelaksana Bambang Setyabudi (Kementerian Negara Lingkungan Hidup)
Penyusun Atiek Koesrijanti, Laksmi Wijayanti (Kementerian Negara Lingkungan Hidup)
Editor Yenni Lisanova Chaterina, Widhi Handoyo, Teguh Irawan, Suhartono (Kementerian Negara Lingkungan Hidup)
Pendukung Arifin, Irine Nurhayati, Supriyadi, Yusnimar, Satriajaya, Nana (Kementerian Negara Lingkungan Hidup) M. Putrawidjaja, Pritha Wibisono, Devi Widianto
3
Grafis Fililo
Apresiasi Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan dan penerbitan buku ini, antara lain: Soeryo Adiwibowo, Triarko Nurlambang, Esthi Noorsabri Danish International Development Agency (DANIDA) melalui Environmental Support Programme (ESP) Phase 1.
4
Glossary
AEMS (Adaptive Environmental Management System):
Sebuah proses berkesinambungan dalam sistem manajemen lingkungan.
Kebijakan Publik:
Suatu keputusan politik yang ditetapkan oleh pemerintah dan atau bersama dewan perwakilan rakyat di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan mekanisme peraturan perundangan yang berlaku untuk memenuhi kepentingan publik.
Musrenbang:
Musyawarah Rencana Pembangunan, merupakan satu forum untuk membahas dan menetapkan usulan kegiatan pembangunan berikut anggarannya untuk tahun fiskal berjalan berikutnya, baik di tingkat pusat (Musrenbangnas) maupun daerah (Musrenbangda).
Partisipasi Publik:
Suatu mekanisme keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik.
SEA (Strategic Environmental Assessment):
Istilah internasional untuk Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
5
Daftar Isi
Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan.................................................................... 1 Kata Pengantar .................................................................................................................. 1 Glossary ........................................................................................................................... 5 1.
Mengenai Dasar-Dasar Pengembangan KLHS .................................................................... 7
1.1
Apakah Definisi KLHS?............................................................................................ 7
1.2
Mengapa Perlu KLHS?............................................................................................. 9
1.3
Apakah Tujuan Dilakukannya KLHS? ......................................................................... 9
1.4
Apakah yang Disebut Sebagai Kepentingan Lingkungan Hidup? .................................... 10
1.5
Apa Perbedaan Antara KLHS Dengan AMDAL?...................... ...................................... 11
2.
KLHS dan Rencana Pembangunan Nasional...................................................................... 12
2.1
Bagaimana Pelembagaan KLHS Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional? ....... 12
2.2
Bagaimana Aplikasi KLHS Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional? ......................... 15
2.3
Metode Apa yang Tepat Untuk Mengaplikasikan KLHS? ............................................... 19
2.4
Bagaimana Langkah-langkah yang Ditempuh Dalam Mengaplikasikan KLHS? .................. 21
2.5
Pendekatan Apa yang Dapat Digunakan? .................................................................. 23
3.
KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang............................................................................. 26
3.1
Apakah Urgensi Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang?......................................... 26
3.2
Pertanyaan-pertanyaan Keberlanjutan ..................................................................... 27
4.
Kapasitas Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia Untuk Pengembangan KLHS ..................... 32
6
1. Mengenai Dasar-Dasar Pengembangan KLHS
Sudah banyak kebijakan publik, laporan resmi dari berbagai instansi pemerintah pusat maupun daerah, hasil penelitian, kajian, dan observasi oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, maupun konsultan serta lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional yang secara umum menyampaikan semakin terpuruknya kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia, setidak-tidaknya dalam dua dekade terakhir. Upaya riel juga telah banyak dilakukan, namun sifat dan pelaksanaannya masih parsial. Kondisi ini menunjukkan urgensi dilakukannya pemikiran ulang dan tindakan nyata yang lebih baik, lebih tepat, dan lebih berdampak positif luas, atau dengan kata lain, lebih strategis demi keberlangsungan hidup dalam jangka waktu yang panjang. Terlebih lagi jika ditilik kembali dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No. 25 tahun 2004), yang menitikberatkan pembangunan nasional pada pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan. Pemikiran strategis ini diperlukan dan telah semakin mendesak untuk merumuskan kebijakan dan kualitas pembangunan yang mampu menjaga keberlangsungan manfaat sumberdaya alam dan lingkungan hidup, demi perbaikan kehidupan bangsa Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, pemerintah Indonesia telah mengenal satu konsep pemikiran yang dapat memfasilitasi dan meningkatkan mutu proses perumusan kebijakan, rencana, dan program, khususnya yang terkait dengan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang juga dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA). Konsep ini telah diimplementasikan secara efektif di negara-negara Eropa, sebagian negara-negara di benua Afrika, Asia, dan Amerika serta di Australia dan Selandia Baru. Sebagian besar dari mereka bahkan menerapkannya sebagai directive ataupun mandatory policy. Pembelajaran dari negara-negara maju maupun sedang berkembang tersebut tentu dapat menjadi inspirasi dan terobosan bagi pemerintah Indonesia, untuk mendorong penerapan KLHS ini sebagai kunci pokok keberhasilan pembangunan nasional dan daerah di Indonesia.
1.1
Apakah Definisi KLHS?
Definisi KLHS yang secara umum dirujuk oleh sebagian besar pengguna KLHS adalah sebagai berikut: Suatu proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan, pertimbangan sosial dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari usulan kebijakan, rencana, atau program pembangunan.
7
Dalam perkembangannya, konsep KLHS telah mengalami beberapa kali penyesuaian berkaitan dengan dinamika pembangunan berikut aktivitas rielnya pada tingkat operasional, sehingga perkembangan terakhirnya adalah seperti yang digambarkan secara skematis sebagai berikut:
Evolusi paradigma dan definisi KLHS
KLHS sebagaimana yang
KLHS untuk keberlanjutan
KLHS
umum diaplikasikan
pengelolaan SDA
terpadu
Menelaah
Plus
dampak
lingkungan dari kebijakan, rencana,
atau
program
dengan orientasi analisis yang mirip AMDAL
telaah
dampak
sebagai untuk
jaminan
Plus telaah secara terpadu
terhadap
kelimpahan
terhadap
daya + sumber lingkungan,
alam, jasa
jaminan + pembangunan
dan
kajian
prospek
dan
keberlanjutan
konservasi.
Operasionalisasi dari definisi tersebut dalam konteks pemanfaatannya bagi perumusan kebijakan pembangunan adalah: Apapun definisi KLHS yang akan dikonstruksikan, definisi tersebut tidak harus eksklusif, tidak harus menjadi rujukan tunggal, dan tidak harus menegasikan definisi lain yang kemungkinan akan timbul dan dikonstruksikan oleh para akademisi, praktisi, atau institusi tertentu.
Definisi KLHS setidaknya perlu mengandung 4 komponen: 1. Diselenggarakan pada tahap awal perumusan kebijakan, rencana, dan program (KRP); 2. Menelaah dampak lingkungan dari KRP; 3. Mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi; 4. Mempertimbangkan aspek keberlanjutan.
Sejalan dengan sifat pembangunan wilayah, perlu dipahami bahwa pengambilan kebijakan pembangunan merupakan sebuah proses yang bersifat siklis, yang selalu menyediakan peluang untuk mengkaji kembali kebijakan yang telah berjalan, dan dimungkinkan untuk melakukan revisi agar lebih realistis, terkait dengan tuntutan internal dan eksternal yang muncul. Selain itu, sebagai
8
kajian strategis maka KLHS adalah ‟payung‟ yang memberikan arah atau rujukan strategis bagi pelaksanaan AMDAL pada tataran proyek dalam pelaksanaan pembangunan.
1.2
Mengapa Perlu KLHS?
Dalam konteks pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam UU SPPN, KLHS menjadi kerangka integratif untuk: Meningkatkan manfaat pembangunan. Menjamin keberlanjutan rencana dan implementasi pembangunan. Membantu menangani permasalahan lintas batas dan lintas sektor, baik di tingkat kabupaten, provinsi maupun antarnegara (jika diperlukan) dan kemudian menjadi acuan dasar bagi proses penentuan kebijakan, perumusan strategi, dan rancangan program. Mengurangi kemungkinan kekeliruan dalam membuat prakiraan/prediksi pada awal proses perencanaan kebijakan, rencana, atau program pembangunan. Memungkinkan antisipasi dini secara lebih efektif terhadap dampak negatif lingkungan di tingkat proyek pembangunan, karena pertimbangan lingkungan telah dikaji sejak awal tahap formulasi kebijakan, rencana, atau program pembangunan.
1.3
Apakah Tujuan Dilakukannya KLHS?
Maksud
Instrumental
Tujuan Generik
Mengidentifikasikan
dampak
penting
lingkungan
dari
kebijakan,
rencana, dan program untuk proses pengambilan keputusan. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam kebijakan, rencana, atau program. Transformatif
Memperbaiki mutu dan proses formulasi kebijakan, rencana, dan program. Memfasilitasi proses pengambilan keputusan untuk menyeimbangkan tujuan pembangunan dalam konteks lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi.
Substantif
Meminimalisir potensi dampak penting negatif yang akan timbul sebagai akibat dari kebijakan rencana, atau program pembangunan (tingkat keberlanjutan lemah).
9
Melakukan langkah-langkah perlindungan yang tangguh (tingkat keberlanjutan moderat). Memelihara potensi sumberdaya alam dan daya dukung air, udara, tanah, dan ekosistem (tingkat keberlanjutan moderat sampai tinggi).
1.4
Apakah yang Disebut Sebagai Kepentingan Lingkungan Hidup?
Pada prinsipnya, yang dinamakan sebagai kepentingan lingkungan hidup dalam pembangunan adalah ketergantungan (interdependency), keberlanjutan (sustainability), dan keadilan sosial-ekonomi (socio-economic justice), sebagaimana dijabarkan lebih lanjut di bawah ini. Prinsip I: Pertimbangan keterkaitan/ketergantungan (interdependency). Menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi pemangku kepentingan dalam proses perencanaan tata ruang. Misalnya, kejelasan mekanisme, prosedur, dan kewenangan dalam hubungan kerja antar sektor; kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan antar sektor; kejelasan hubungan kerja antar seluruh kelembagaan (formal dan non-formal) pemangku kepentingan; dan kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan antar pemangku kepentingan. Kejelasan dalam menggunakan pendekatan ekosistem (misalnya ekosistem daerah aliran sungai, pulau kecil dan ekosistem khas lainnya); keterkaitan antara rencana tata ruang nasional, provinsi dan kabupaten/kota, terutama antar wilayah kabupaten/kota dalam satu daerah aliran sungai. Prinsip II: Dalam penyusunan perencanaan tata ruang harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keberlanjutan (untuk memudahkan pemahaman tentang daya lenting/resiliensi). Menunjukkan sejauhmana faktorfaktor pendukung keberlanjutan, seperti faktor daya dukung dan daya tampung LH serta faktor kemampuan pulih kembali menjadi dasar perencanaan tata ruang. Selain faktor-faktor tersebut, prinsip-prinsip keberlanjutan juga menekankan pentingnya kesadaran bahwa alokasi ruang/lahan harus mempertimbangkan timbulnya dampak penting terhadap LH/ekosistem. Misalnya, dilakukannya analisis daya dukung dan daya tampung LH; evaluasi kesesuaian dan kemampuan lahan sebelum menetapkan alokasi ruang. Prinsip III: Keadilan sosial dan ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) (socio-economic justice). Mencegah timbulnya penataan ruang yang berakibat pada marjinalisasi dan kemiskinan akibat ketidakadilan dalam akses, pemanfaatan, penguasaan, dan pengendalian terhadap sumberdaya alam. Pertimbangan ini juga termasuk jaminan keadilan atas akses terhadap infrastruktur dasar dan informasi pemanfaatan SDA.
10
1.5
Apa Perbedaan Antara KLHS Dengan AMDAL?
KLHS merupakan bagian dari keseluruhan Kajian Lingkungan Hidup (Environmental Assessments), yang dalam konteks proses pengambilan kebijakan pembangunan, dimanfaatkan mulai dari perumusan kebijakan, perencanaan, dan program. Tipikal kajiannya dapat berupa kajian terhadap aspek kebijakan, aspek regional, aspek programatik, maupun aspek sektoral. Sementara itu pada tahap proyek, kajian lingkungan hidup dilaksanakan dengan menggunakan metode AMDAL. Cakupan dari KLHS dalam tahapan pengambilan keputusan dapat dilihat dalam skema di bawah ini:
Relung Aplikasi Kajian Analisis Lingkungan Kebijakan
Rencana
Program
Proyek
KAJIAN ANALISIS LINGKUNGAN
Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS) AMDAL
KLHS Kebijakan KLHS Tata Ruang
KLHS Sektor
KLHS Regional / Program
Partidario (2000, 2003)
Dari gambaran di atas, jelas bahwa KLHS ini ada pada tataran konsep sampai dengan program. Dengan kata lain, pelaksana KLHS adalah lembaga yang bertugas untuk menyusun kebijakan, rencana, dan program. Demikian pula, sumberdaya yang dibutuhkan adalah yang memiliki kualifikasi untuk dapat merumuskan konsep dan strategi yang bersifat makro, sistemik serta mencakup daerah kajian yang lebih luas. Oleh karena itu, dibutuhkan satu lembaga berikut sumberdaya manusianya yang mampu menangani suatu fenomena yang tingkat kerumitannya cukup tinggi, karena mencakup interrelasi seluruh kegiatan dalam satu daerah kajian.
11
2. KLHS dan Rencana Pembangunan Nasional
2.1
Bagaimana Pelembagaan KLHS Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional?
Kebijakan pembangunan nasional Indonesia pada prinsipnya harus mengacu pada UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang memayungi segala turunan operasional perencanaan pembangunan, baik yang bersifat sektoral (diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009), maupun pengaturan alokasi peruntukannya di satu lokasi (diatur dalam UU Nomor 26 tahun
2007
tentang
Penataan
Ruang).
Kerangka
penyelenggaraan
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan pada prinsipnya diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan UU tentang Perimbangan Keuangan Daerah. Hal-hal pokok dalam UU SPPN yang terkait dengan penerapan konsep KLHS adalah sebagaimana dijelaskan di bawah ini. Definisi yang relevan dengan konsep KLHS, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 1: Ketentuan Umum, pasal 1, adalah sebagai berikut: Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia. Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh pemerintah pusat/daerah untuk mencapai tujuan pembangunan. Program adalah instrumen kebijakan yang berisikan satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
12
Lembaga adalah organisasi non-Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran negara, yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Pada Bab 2 pasal 2 dalam UU SPPN disebutkan bahwa tujuan pembangunan nasional memiliki azasazas sebagai berikut: 1. Diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional. 2. Disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan. 3. Diselenggarakan berdasarkan azas umum penyelenggaraan negara. 4. Bertujuan untuk: mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah; menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Alur
proses
penyusunan
perencanaan,
dikaitkan
dengan
garis
besar
mekanisme
anggaran
pembangunan secara kelembagaan, yang ditetapkan dalam UU SPPN dan diatur tata caranya dalam Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2006, dapat dilihat pada skema sebagai berikut:
13
Alur Perencanaan dan Anggaran Pembangunan Nasional
Visi, misi, program Presiden dijabarkan
pedoman RenjaKL
RenstraKL pedoman
pedoman
acuan
RPJM Nasional
RKP
diperhatikan Pedoman
RPJP Daerah
pedoman
RAPBN
APBN
dijabarkan RPJM Daerah
pedoman RKP Daerah
RAPBD
APBD
RKASKPD
Rincian APBD
acuan
dijabarkan
P e m e r i n t a h P u s a t
Diserasikan melalui Musrenbang
pedoman
pedoman
Visi, Misi, Program Kepala Daerah
Rincian APBN
acuan
dijabarkan RPJP Nasional
pedoman RKA-KL
Renstra SKPD
Renja SKPD
pedoman
P e m e r i n t a h D a e a r h
UU SPPN UU KN
Keterangan: RPJP
: Rencana Pembangunan Jangka Panjang
RPJM
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RKP
: Rencana Kerja Pemerintah
Renstra
: Rencana Strategis
Renja
: Rencana Kerja
RKA
: Rencana Kerja Anggaran
KL
: Kementerian/Lembaga
SKPD
: Satuan Kerja Perangkat Daerah
APBN
: Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara
RAPBN
: Rencana Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara
APBD
: Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah
RAPBD
: Rencana Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah
UU SPPN
: Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
UU KN
: Undang-Undang Keuangan Negara
Selanjutnya, kegiatan pembangunan yang telah ditetapkan melalui mekanisme yang digambarkan dalam skema di atas direalisasikan dalam proses alokasi tempat kegiatan pembangunan, yang pengaturannya mengacu pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kedudukan dan peran
14
KLHS dalam kedua sistem perencanaan yaitu sektoral dan ruang dan dalam konteks kelembagaan dapat diilustrasikan seperti di bawah ini.
Perenc. Sektor Nasional
BAPPENAS
BKTRN
Nasional
Perencanaan
Tata
KLHS
Ruan Nasional
Perenc. Pemb. Provinsi
Perencanaan
BAPPEDA
BKTRD
Provinsi
Tata KLHS
Ruang Provinsi
Perenc. Sektor Kab/Kota
BAPPEDA
Perenc. Tata Ruang KLHS
2.2
Bagaimana Aplikasi KLHS Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional?
Seperti yang dijelaskan pada Bab 1 dan sub-Bab 2.1 di atas, maka KLHS seyogyanya dilakukan pada setiap awal proses penyusunan perencanaan pembangunan. Dilihat dari mekanisme perencanaan pembangunan nasional yang bersifat siklis dalam pengambilan keputusan, maka KLHS ini diterapkan secara dini pada saat disusun RPJP Nasional, yang kemudian akan dijadikan acuan dalam menyusun pedoman bagi penyusunan RPJM Nasional, dan selanjutnya dijadikan perhatian dalam penyusunan RPJM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di sinilah letak perbedaan aplikasi KLHS dengan AMDAL, yang lebih lengkapnya terlihat dalam tabel di bawah ini: Atribut
AMDAL
KLHS
Posisi
Akhir siklus pengambilan
Hulu siklus pengambilan keputusan
15
keputusan Pendekatan
Cenderung bersifat reaktif
Cenderung proaktif
Fokus Analisis
Identifikasi, prakiraan & evaluasi
Evaluasi implikasi lingkungan dan
dampak lingkungan
pembangunan berkelanjutan
Amat terbatas
Peringatan dini atas adanya dampak
Dampak Kumulatif
kumulatif Titik Berat Telaahan
Mengendalikan dan
Memelihara keseimbangan alam, dan
meminimalisir dampak negatif
pembangunan berkelanjutan
Alternatif
Terbatas jumlahnya
Banyak alternatif
Kedalaman
Sempit, dalam, dan rinci
Luas dan tidak terinci sebagai landasan untuk mengarahkan visi dan kerangka umum
Deskripsi Proses
Proses dideskripsikan dengan
Proses multi-pihak dan tumpang
jelas, mempunyai awal dan akhir
tindih komponen, karena KRP merupakan proses iteratif dan kontinyu
Fokus Pengendalian Dampak
Menangani simptom kerusakan
Fokus pada agenda pembangunan
lingkungan
berkelanjutan, terutama ditujukan untuk menelaah agenda keberlanjutan
Sumber: KLH, dokumen Kebijakan KLHS, 2007 Dari penerapan KLHS ini akan diperoleh Kebijakan RPJP yang lebih bermutu, yang dimaksud dengan bermutu di sini terutama didasarkan pada konteks untuk memenuhi prinsip pengarusutamaan pembangunan
berkelanjutan,
dan
arah
pembangunan
yang
direfleksikan
dalam
azas-azas
pembangunan nasional, seperti yang ditetapkan dalam Bab II UU SPPN sendiri. Sebagai catatan penting, perlu dipahami bahwa filosofi konsep aplikasi KLHS sendiri pada dasarnya adalah sejalan dengan azas-azas SPPN yang dimaksud.
16
Relung Aplikasi Kajian Analisis Lingkungan Kebijakan
Rencana
Program
Proyek
KAJIAN ANALISIS LINGKUNGAN
Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS) AMDAL
KLHS Kebijakan KLHS Tata Ruang
KLHS Sektor
KLHS Regional / Program
Partidario (2000, 2003)
Dari perspektif KLHS seperti yang dijelaskan secara skematis di atas, kajian dapat dilakukan untuk kepentingan perumusan kebijakan pembangunan, rancangan perencanaan, penetapan program pembangunan sektoral, dan peruntukannya di lokasi tertentu sesuai dengan konsep penataan ruang yang telah ditetapkan sebelumnya. Terintegrasinya KLHS dalam proses penyusunan strategi dan program pelaksanaannya dapat memberikan peluang kualitas kebijakan publik yang lebih bermutu, sehingga layak dan rasional untuk dijalankan dalam masa pembangunan yang akan datang. Menyadari bahwa RPJP telah menjadi UU yang harus ditaati oleh seluruh bangsa Indonesia, maka KLHS pun harus dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusianya guna memenuhi amanat UU RPJP ini. Dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJP disebutkan bahwa masa pembangunan RPJP ini adalah dari tahun 2005 sampai dengan 2025 atau selama kurun waktu 20 tahun. Periode ini dibagi menjadi empat tahapan yang masing-masing tahapan disebut sebagai RPJM dengan periode 5 tahunan bagi masing-masing tahapan. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan prioritas utama dan hal-hal yang berkaitan dengan urusan pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup pada masing-masing periode RPJM.
Tahapan dan Prioritas RPJP (UU Nomor. 17 Tahun 2007) Periode
Prioritas
RPJM
Prioritas Utama: menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang untuk
2005 - 2009
menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyat yang meningkat.
17
Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan: Meningkatkan kemampuan mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan didukung oleh meningkatnya kesadaran masyarakat mencintai lingkungan hidup. Untuk itu perlu peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM apa lagi menyadari keadaan Indonesia yang rawan bencana, Rencana Tata Ruang merupakan “payung” kebijakan spasial tingkat nasional, provinsi dan kabupaten untuk segala sektor untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup atau meminimalisasi dampak bencana. RPJM 2010 – 2014
Prioritas Utama: memantapkan penataan kembali Indonesia dengan penekanan pada upaya peningkatan kualitas SDM termasuk pengembangan kemampuan IPTEK serta penguatan daya saing perekonomian. Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan: Pencapaian pembangunan berkelanjutan, pengelolaan SDA dan pelestarian fungsi lingkungan hidup makin berkembang melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan kesadaran masyarakat (partisipasi). Kualitas perencanaan tata ruang meningkat dan konsistensi pemanfaatan ruang serta pengendalian pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang
RPJM 2015 - 2019
Prioritas Utama: untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan penekanan pada pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan SDA dan SDM. Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan: Pembangunan berkelanjutan semakin mantap dicerminkan dengan terjaganya daya dukung lingkungan dan kemampuan pemulihan untuk mendukung kualitas kehidupan sosial ekonomi secara serasi, seimbang dan lestari. Pengelolaan S DA semakin membaik diimbangi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup berkat dukungan peningkatan kesadaran sikap mental, dan perilaku masyarakat serta makin mantapnya kelembagaan dan kapasitas penataan ruang di Indonesia.
RPJM 2020 - 2024
Prioritas Utama: masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM yang berkualitas dan berdaya saing. Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan: Untuk memantapkan pembangunan berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan kekhasan SDA terus terpelihara dan dimanfaatkan untuk terus mempertahankan nilai tambah dan daya saing bangsa serta meningkatkan modal pembangunan nasional pada masa mendatang.
Memahami situasi saat ini (tahun 2007/2008) yang masih dalam periode pelaksanaan RPJM 2004 – 2009, maka untuk berikutnya KLHS dapat diterapkan dalam evaluasi RPJP dan penyusunan RPJM
18
periode berikutnya, tahun 2009 – 2014. Demikian pula untuk periode-periode selanjutnya. Proses evaluasi RPJP dan penyusunan RPJM 2009 – 2014 dilaksanakan dalam forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang).
2.3
Metode Apa yang Tepat Untuk Mengaplikasikan KLHS?
Dalam
perkembangannya,
metode
aplikasi
KLHS
yang
digunakan
dapat
dilakukan
dengan
menggabungkan berbagai teknik kajian secara terbuka (disebut sebagai family of tools ataupun one concept multiple forms) dan disesuaikan dengan variasi problematika riel kondisi di masing-masing wilayah pembangunan, baik dari sisi substansi pembangunan maupun kapasitas kelembagaan penyelenggara pembangunan yang tersedia. Dalam rangka mempertahankan mutu, maka kebijakan, perencanaan, dan program pembangunan yang dihasilkan hendaknya memenuhi standar prinsip KLHS dan kriteria KLHS, seperti yang telah dijelaskan dalam dokumen Kebijakan KLHS (lihat buku seri publikasi KLH untuk KLHS, ”Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan: Naskah Kebijakan KLHS”). Dari beberapa pengalaman dan kajian terhadap perumusan RKP, khususnya untuk pengembangan wilayah seperti RTRWN ataupun RTRWD, secara kualitatif dapat dikatakan masih ada sejumlah butir prinsip KLHS yang harus diperhatikan, untuk secara seksama dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dasar pembangunan berkelanjutan (keterkaitan, keberlanjutan, dan keadilan sosialekonomi). Adapun catatan kualitatif yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Prinsip
Sesuai kebutuhan
Catatan Belum secara definitif ditetapkan siapa yang akan dilayani dan isu atau kebutuhan apa yang dianggap penting. Tujuan dirumuskan secara normatif ketimbang realistis sejalan
Berorientasi pada tujuan
dengan keinginan konstituen yang akan dilayani. Rumusan normatif inipun sering kali tidak mengacu pada dasar rumusan pembangunan nasional (lebih pada semata-mata entitas parsial atau lokal).
Didorong motif keberlanjutan
Masih ada ketimpangan pemahaman antara keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan ekologi. Kepentingan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur masih
Lingkup yang komprehensif
mendominasi, sementara aspek atau bidang pembangunan yang lain menjadi semacam prasyarat atau ikutan. Kalau SPPN dan/atau RPJP jadi acuan sebagaimana ditetapkan
Relevan dengan kebijakan
mekanismenya, maka baru produk-produk k ebijakan terbatas saja yang mengacu suprastruktur tersebut. Ini mungkin da pat terjadi
19
Prinsip
Catatan karena RPJPnya pun baru diundangkan pada tahun 2007 sementara RPJMnya tahun 2004. Sementara, jika berpijak pada relevansi terhadap keinginan politis konstituen di masing-masing daerah atau bidang juga belum teruji betul. Masih dilaksanakan secara parsial kepentingan bidang pembangunan walau sudah ada media untuk integratif pada mekanisme Musrenbang(da) atau pada tingkat awal proses penetapan hukum di
Terpadu
Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah). Inilah konsekuensi dari mekanisme pendanaan yang masih didominasi oleh dekonsentrasi (per bidang pembangunan). Lebih meninjau cash-flow daripada portofolio. Sudah mulai ada gejala menuju tuntutan transparansi melalui
Transparan
mekanisme politik kelembagaan (fungsi Dewan), namun instrumen pengukuran transparansi masih harus dirumuskan secara sederhana dan mudah dipahami seluruh konstituen. Tidak mudah melaksanakan mekanisme partisipatif yang menyeluruh
Partisipatif
selama kapasitas masyarakat berikut lembaga representatifnya dan kelembagaan pemerintah masih terbatas ke mampuan konseptualisasi dan teknisnya.
Akuntabel
Efektif-biaya
Akuntabilitas yang dapat dilaksanakan baru sebatas akuntabilitas keuangan negara, belum sampai pada akuntabilitas publik. Masih terbatas pada pertimbangan kajian tahun fiskal daripada rencana jangka menengah, apalagi jangka panjang.
Sebagai catatan, prioritas pembangunan bagi pengentasan kemiskinan ini selaras dengan program Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Millenium Development Goals (MDGs), yang disepakati sebagai komitmen untuk dicapai pada tahun 2015. Dalam MDGs disebutkan bahwa pengentasan kemiskinan merupakan urutan pertama dari delapan tujuan pembangunan dunia, dimana Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk melaksanakan program ini. Agar program ini dapat diimplementasikan secara efektif, Sekretaris Jenderal PBB membuat suatu pernyataan:
"We will have time to reach the Millennium Development Goals –worldwide and in most, or even all, individual countries but only if we break with business as usual . We cannot win overnight. Success will require sustained action across the entire decade between now and the deadline. It takes time to train the teachers, nurses and engineers; to build the roads, schools and hospitals; to grow the small and large businesses able to create the jobs and income needed. So we must start now. And we must
20
more than double global development assistance over the next few years. Nothing less will help to achieve the Goals." Sekretaris Jenderal PBB, 2005
Dari pernyataan Sekretaris Jenderal PBB di atas, dapat diinterpretasikan bahwa dibutuhkan waktu untuk melaksanakan proses pencapai tujuan pembangunan ini sampai tahun 2015. Masih ada waktu atau kesempatan untuk melaksanakannya, tetapi harus ada upaya melakukan suatu terobosan pelaksanaan, yang berbeda dari yang dijalankan selama ini. Untuk itu diperlukan upaya terus menerus mulai dari saat ini sampai dengan tahun 2015 sebagai batas waktu, dan melibatkan berbagai pihak pemangku jabatan (stakeholders). Pada kondisi ini penerapan konsep KLHS menjadi relevan untuk dapat memberikan jaminan lebih bagi tercapainya perumusan Kebijakan, Perencanaan, dan Program pembangunan yang lebih bermutu serta lebih dapat mengawal pencapaian tujuan dan target pembangunan. Sebagai satu negara yang memiliki keunikan (secara geografis, kependudukan, dan manajemen kepemerintahan ataupun politik), maka Indonesia memerlukan satu rumusan kebijakan yang spesifik. Sesama negara berkembang, misalnya Ghana yang juga menetapkan pengentasan kemiskinan sebagai prioritas utama, pembangunannya memiliki lima tema strategis pengentasan kemiskinan seperti yang dirumuskan dalam Buku Pegangan bagi penerapan KLHSnya. Sementara itu, Indonesia merumuskan sebelas tema atau fokus, dimana satu tema merupakan target yang ingin dicapai dan sepuluh lainnya merupakan sasaran utama strategi. Sebagai prioritas utama program pembangunan, tentu dapat dikatakan bahwa pengentasan kemiskinan menjadi setara dengan kebijakan yang bersifat mandatory, khususnya bagi semua instansi pemerintah berikut komponennya yang terkait langsung dengan urusan kemiskinan ini.
2.4
Bagaimana Langkah-langkah yang Ditempuh Dalam Mengaplikasikan KLHS?
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II bahwa KLHS diterapkan melalui pendekatan sustainable appraisal, dan mengingat saat ini sudah berada dalam proses peralihan untuk memasuki tahapan pembangunan kedua, maka langkah-langkah yang dilakukan secara berurutan adalah sebagai berikut: a.
Penilaian awal yang harus dilakukan terhadap kebijakan, RKP, dan pelaksanaannya lebih merupakan proses monitoring dan evaluasi;
b.
Kemudian ditindaklanjuti dengan penilaian secara terpadu dampaknya terhadap lingkungan dan SDA;
c.
Penilaian akhir yang mengkaji keterikatan, relevansi, dan konsistensi terhadap visi, misi, tujuan,
sasaran
pokok
dan
rencana
strategis
pembangunan
dilihat
dari
perspektif
21
kepentingan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, dimana proses penilaian akhir ini menghasilkan satu rekomendasi bagi kebijakan, perencanaan dan program pembangunan berikutnya. Untuk menjaga konsistensi mutu dari penilaian di atas maka prinsip, kriteria perfoma, dan nilai dasar dari aplikasi konsep KLHS harus tetap diterapkan sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.
Prinsip
Catatan
Sesuai kebutuhan
Sudah tepat dan sesuai dengan harapan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Berorientasi pada tujuan
Tujuan perlu dirumuskan secara lebih realistis dan konstruktif sehingga operasionalisasinya lebih terarah dan konsisten serta tetap mengacu pada tujuan dan kebijakan pembangunan nasional.
Didorong motif keberlanjutan
Penyesuaian terhadap keseimbangan (counter-balance) bagi kepentingan keberlanjutan ekologis perlu lebih dipertegas secara operasional.
Lingkup yang komprehensif
Sudah komprehensif hanya belum dijelaskan hubungan dinamika sistemiknya.
Relevan dengan kebijakan
Secara prinsip sudah relevan dan konsisten dengan arah kebijakan dalam SPPN dan/atau RPJP.
Terpadu
Perlu dijelaskan dinamika hubungan sistemik di antara aspekaspek dan komponen urusan kemiskinan, agar lebih mudah diterjemahkan dalam konteks koordinasi kelembagaannya.
Transparan
Sudah mulai ada gejala menuju tuntutan transparansi melalui mekanisme politik kelembagaan (fungsi Dewan), namun instrumen pengukuran transparansi masih harus dirumuskan secara sederhana dan mudah dipahami seluruh konstituen.
Partisipatif
Tidak mudah melaksanakan mekanisme partisipatif yang menyeluruh, selama kapasitas masyarakat berikut lembaga representatifnya dan lembaga pemerintahan masih terbatas kemampuan konseptualisasi dan teknisnya. Ada kecenderungan lapis masyarakat miskin masih termarjinalisasi secara budaya, sosial, ekonomi, dan politis.
Akuntabel
Sebagai kebijakan publik maka pertanggungjawaban publik harus lebih diutamakan, bukan hanya akuntabilitas keuangan negara.
22
Prinsip
Catatan
Efektif-biaya
Masih terbatas pada pertimbangan kajian tahun fiskal daripada rencana jangka menengah, apalagi jangka panjang mengikuti skenario tahapan pembangunan
Adapun perbedaan dengan penerapan bagi pembangunan nasional keseluruhan, cakupan kriteria pada pembangunan sektoral ini lebih rinci dan beragam. Namun demikian, harmonisasi di antara kriteria tetap dijaga agar tetap dihasilkan satu kesatuan penilaian dalam konteks pembangunan nasional. Penerapan KLHS bagi pembangunan sektoral harus lebih rinci dan beragam karena tataran penilaian yang lebih spesifik dan lebih pada tingkat operasional. Secara teknis kriteria ini dapat dibangun pada saat dilakukan penapisan dan pelingkupan dalam proses tahapan penilaian awal tadi. Mengikuti proses penyusunan RKP dan penyusunan anggaran negara, maka waktu yang tersedia bagi KLHS ini diperkirakan paling lama adalah tiga bulan dan sebaiknya lebih cepat, mengingat masih diperlukan proses integrasi dengan sektor lain untuk kemudian diintegrasikan lebih lanjut dalam satu kesatuan konsep perencanaan pembangunan nasional.
2.5
Pendekatan Apa yang Dapat Digunakan?
Pendekatan penerapan KLHS yang diperlukan setidaknya adalah kajian terpadu (sustainability appraisal) dimana expert dan public judgement menjadi bagian yang tidak terpisahkan, apalagi RKP adalah satu kebijakan publik. Kajian terpadu ini dapat terwujud melalui forum Musrenbang dan debat atau diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah). Di sinilah kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia sangat menentukan tingkat kelayakan proses dan mutu hasil rumusan kebijakan, rencana sampai dengan pelaksanaan program pembangunan yang integratif antar kepentingan lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas kepentingan stakeholders (konstituen). Aplikasi KLHS sebagai instrumen dapat memfasilitasi bahkan mengawal pengembangan proses integrasi ini. Instrumen ini harus dikembangkan sendiri sesuai dengan kondisi dan sumberdaya yang tersedia, atau dengan kata lain harus dikembangkan instrumen atau tools KLHS yang tailor-made. Syarat pokok dari tailor-made ini adalah terwujudnya harmonisasi kriteria dan metode kajian yang diterapkan, dimana keterlibatan expert dan publik menjadi syarat pokok sebelum dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh para birokrat dan politisi. Harmonisasi yang dimaksud memiliki struktur hirarkis sejalan dengan tingkat kebijakan yang akan dirumuskan. Ilustrasi dari tingkat harmonisasi kriteria adalah sebagai berikut:
23
Rencana Nasional
Rencana Sektoral
Semakin sederhana Rencana Daerah
dan pokok
Proyek
Cakupan Kriteria
Mengacu pada RPJP, yang selanjutnya diterjemahkan dalam RPJM, maka pada tahun 2005 – 2009 kriteria pada tingkat nasional harus mengandung aspek-aspek yang terkait dengan prioritas pembangunan berkelanjutan berbasis kepentingan lingkungan hidup, yang terdiri dari: Meningkatkan kemampuan mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi. Kriteria kunci: kemampuan mitigasi. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan didukung oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan hidup. Kriteria kunci: pengendalian dan kesadaran masyarakat. Perlu peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, terutama menyadari keadaan Indonesia yang rawan bencana. Kriteria kunci: peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM. Rencana Tata Ruang merupakan „payung‟ kebijakan spa sial tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten
untuk
segala
sektor
guna
mencegah
kerusakan
lingkungan
hidup
atau
meminimalisasi dampak bencana. Kriteria kunci: „payung‟ kebijakan spasial.
Pada dasarnya, kriteria ini harus dimaknai sebagai faktor kritis, yaitu faktor yang jika tidak dipenuhi akan memberikan dampak negatif terhadap proses maupun hasil pelaksanaan pembangunannya. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam membangun kriteria yang operasional diperlukan syarat sebagai berikut: a.
Tersedianya data, informasi dan pengetahuan yang memadai untuk dikaji, terutama untuk kepentingan kajian keberlanjutan.
b.
Adanya partisipasi publik (stakeholders atau konstituen); dapat diperoleh melalui mekanisme debat yang terstruktur antara publik dan pemerintah.
24
c.
Aspek atau komponen kriteria yang ditetapkan merupakan hasil kajian atau kesepakatan dalam debat tadi.
Proses penerapan KLHS ini dirumuskan dalam satu dokumen pedoman (guideline) yang memuat penjelasan di bawah ini: Kontekstualitas isu bagi kepentingan tujuan, strategi, dan prioritas pembangunan (nasional). Kelayakan bagi kepentingan pencapaian pembangunan jangka panjang dan tentunya termasuk
jangka
menengah,
ditinjau
dari
sisi
substansi
pembangunan,
kapasitas
kelembagaan, termasuk kapasitas pengelolaan (manajemen) dan SDM. Evaluasi terhadap relevansinya dengan kebijakan pembangunan yang berlaku. Membangun metode kajian dan indikator, serta memprediksi kemungkinan hasil penerapan program pembangunan. Membangun alternatif sejalan dengan dinamika perubahan pada masa depan. Merumuskan lingkup mitigasi yang realistis sesuai dengan kondisi lingkungan hidup dan ketersediaan sumberdaya alam, serta sumberdaya manusia. Merumuskan metode monitoring dan evaluasi.
25
3. KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang
Proses penyusunan panduan implementasi KLHS dalam penataan ruang wilayah dilakukan dengan menyiapkan makalah kerja (working paper) berjudul: “Integrasi Kepentingan Lingkungan dalam Perencanaan Tata Ruang: Implementasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis ”. Makalah kerja ini disusun berdasarkan hasil studi tentang “Penerapan KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang” yang merupakan kerjasama antara Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran pada tahun 2006. Sebagai tindak lanjut studi ini, Kementerian Negara Lingkungan Hidup bekerjasama dengan DANIDA melalui proyek ESP-1 SEA, pada tahun 2007 menyiapkan panduan implementasi KLHS dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi. Alasan pemilihan implementasi KLHS pada tingkat provinsi dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa permasalahan lingkungan hidup umumnya bersifat lintas wilayah (dalam hal ini antar wilayah kabupaten/kota),
dan
oleh
pertimbangan
menguatnya
kepentingan
parsial
masing-masing
kabupaten/kota dalam penataan ruang, sehingga diperlukan “intervensi” pemerintah provinsi dengan mengacu pada UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Laporan ini menunjukkan proses penyempurnaan substansi panduan implementasi KLHS dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP). Menyadari bahwa integrasi kepentingan Lingkungan Hidup (LH) dan/atau isu-isu pembangunan berkelanjutan dalam penataan ruang memerlukan kejelasan te ntang makna “kepentingan” LH, maka proses penyempurnaan substansi panduan tersebut juga mendiskusikan dan merumuskan apa makna “kepentingan” LH yang harus dipertimbangkan dalam penataan ruang. Proses penyempurnaan substansi
panduan
implementasi
KLHS
dalam
penataan
ruang
(RTRWP)
dilakukan
dengan
menyelenggarakan lokakarya di lima Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional selama periode Juli – September 2007. Lokakarya tersebut didahului dengan pengenalan instrumen pengelolaan LH, yaitu
Kajian
Lingkungan
Hidup
Strategis
(KLHS),
kemudian
dilanjutkan
dengan
diskusi
penyempurnaan panduan.
3.1
Apakah Urgensi Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang?
Setiap proses pembangunan diawali oleh perencanaan. Tahap berikutnya adalah mengalokasikan pembangunan tersebut di suatu wilayah, sehingga pada kondisi inilah diperlukan suatu mekanisme pengaturan penataan ruang. Memahami bahwa segala fenomena pembangunan yang memerlukan alokasi ruang ini mempunyai dampak sistemik, maka urusan ruang dapat dikatakan identik dengan urusan lingkungan hidup. Oleh karena itu, secara substansial penerapan konsep KLHS memiliki relevansi yang tinggi dengan pembangunan wilayah atau daerah, yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kondisi lintas sektor atau departemen di atas pada dasarnya telah
26
diakomodir dalam Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional dan Daerah sebagaimana terlihat pada skema di bawah ini.
TIM TEKNIS BKTRN Keppres 62/2000
(8 Menteri/LPND)
POKJA
PRESIDEN
(3 Pokja) Laporan setiap 3 (tiga) bulan
Fungsional
GUBERNUR
Kep. Gubernur
(Melalui Mendagri) Sekretaris (Sekretariat
BKPRD PROVINSI
POKJA
(2 Pokja) Laporan setiap 4 (empat) bulan
Fungsional
(Tembusan Kepada Mendagri)
BUPATI/ WALIKOTA Kep. Bupati/Walikota
BKPRD KABUPATEN/KO TA
POKJA
(2 Pokja) Sekretaris (Sekretariat
Sumber: Depdagri, bahan presentasi, 2007
3.2
Pertanyaan-pertanyaan Keberlanjutan
Berikut ini ditunjukkan pertanyaan-pertanyaan keberlanjutan (sustainability questions) sesuai dengan langkah-langkah “intervensi” KLHS dalam proses penyusunan RTRWP. Masing -masing pertanyaan diajukan sesuai dengan konteks ketiga tahapan dalam perencanaan tata ruang yang diacu dalam RTRWP, yaitu Tahap Review RTRW (Laporan Pendahuluan), Tahap Analisis (Buku Data dan Analisis), dan Tahap Konsepsi Rencana (Buku Rencana). Pertanyaan-pertanyaan tersebut di bawah ini mengacu pada ketiga prinsip kepentingan LH, yaitu ketergantungan (interdependency), keberlanjutan (sustainability), dan keadilan sosial-ekonomi (socio-economic justice). Jumlah dan bentuk pertanyaan dapat berbeda tergantung pada karakteristik, kepentingan, dan kebutuhan masing-masing daerah (provinsi). Demikian pula, karena sifatnya yang dinamis, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat bertambah dan berkurang sesuai kebutuhan/aspirasi/kepentingan.
27
Prinsip I:
Dalam perencanaan tata ruang harus mempertimbangkan keterkaitan/ketergantungan (interdependency).
Sejauhmana tingkat partisipasi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses Kriteria
pengambilan keputusan perencanaan tata ruang; kejelasan mekanisme, prosedur, dan kewenangan dalam hubungan kerja antarsektor, antarlembaga (formal dan non-formal), dan antarwilayah.
Daftar Pertanyaan
Indikator
Apakah data dasar dan potensi SDA daerah telah
Data dasar dan potensi SDA terd eskripsi dengan
diidentifikasi secara menyeluruh?
jelas dan dimanfaatkan dalam analisis perencanaan tata ruang
Apakah seluruh aspek yang akan dianalisis telah
Analisis integratif, misalnya menggunakan
dideskripsikan dan dianalisis secara terintegrasi?
analisis SWOT
Apakah kepentingan antarsektor, antarwilayah dan
Analisis sistem
antarlembaga sudah dianalisis secara menyeluruh dan
Analisis multi-kriteria
terintegrasi? (dalam analisis kebijakan dan strategi pengembangan dan analisis regional berdasarkan Kep. Men. Kimpraswil No. 327/2002) Apakah telah diidentifikasi batas-batas e kosistem (DAS,
Pemetaan batas ekosistem (DAS, pulau kecil,
pulau kecil, lainnya) dalam penataan ruang?
atau ekosistem tertentu/khas) selain batas administrasi
Apakah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA yang dikuasai pemerintah telah dianalisis?
Pola pengelolaan SDA bersama masyarakat Pola pengelolaan SDA lain yang bersifat melibatkan masyarakat secara aktif
Apakah penyusunan RTRW Provinsi telah
Uraian dalam RTRWP yang menunjukkan
mempertimbangkan dan disesuaikan dengan RTRW
diacunya RTRWN
Nasional?
Tidak ada substansi yang bertentangan antara RTRWP dan RTRWN
Apakah mekanisme pemantauan dan evaluasi telah
Dokumen pemantauan dan evaluasi (monev)
menentukan dengan jelas tanggung jawab dan wewenang
implementasi RTRWP termasuk menunjukkan
masing-masing pemangku kepentingan lintas sektor dan
siapa, melakukan apa, kapan, dan di mana
lintas wilayah?
Mekanisme pelaksanaan monev termasuk
28
tindaklanjut hasil monev
Prinsip II:
Pertimbangan kaidah-kaidah keberlanjutan (sustainability).
Sejauhmana faktor-faktor penunjang keberlanjutan, antara lain daya dukung dan daya tampung LH serta faktor kemampuan sumberdaya alam untuk pulih kembali, menjadi Kriteria
pertimbangan perencanaan tata ruang. Penekanan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam alokasi dan pemanfaatan ruang melalui pertimbangan implikasi dampaknya terhadap ekosistem.
Daftar Pertanyaan
Indikator
Apakah telah dilakukan analisis struktur dan fungsi lanskap
Hasil analisis struktur dan fungsi tata ruang
(tata ruang) skala lokal dan regional?
wilayah provinsi
Apakah telah dilakukan identifikasi penyimpangan
Informasi bentuk dan lokasi penyimpangan
(ketidaksesuaian) pemanfaatan ruang? Bagaimana
pemanfaatan ruang
tindaklanjut terhadap penyimpangan pemanfaatan ruang?
Peta yang menunjukkan terjadinya penyimpangan Tindaklanjut/respons terhadap penyimpangan
Apakah daerah rawan bencana telah dipetakan dan dipertimbangkan dalam penataan ruang?
Pemetaan wilayah rawan bencana Perlakuan terhadap wilayah rawan bencana
Apakah wetland, cagar budaya/agama, dan keunikan lokal
Pemetaan wilayah-wilayah khusus yang perlu
lainnya telah diidentifikasi dan dipertimbangkan dalam
perlindungan
penataan ruang? Apakah dalam pemanfaatan ruang, misalnya penetapan pola kawasan budidaya (industri, pertanian, permukiman)
Hasil analisis daya dukung (air, lahan, lainnya) Hasil analisis daya tampung (limbah)
telah dilakukan analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan?
Analisis kesesuaian dan kemampuan lahan Analisis neraca air
Apakah dalam penentuan sektor unggulan/andalan telah
Hasil valuasi ekonomi lingkungan terhadap
dilakukan valuasi ekonomi lingkungan?
penetapan sektor unggulan PDRB Hijau
Apakah dalam pemanfaatan ruang telah memprakirakan
Informasi prakiraan dampak negatif penting
dampak positif dan negatif penting? Apa dampaknya?
Strategi mitigasi dampak negatif
Bagaimana mitigasi dampak negatif dilakukan? Strategi peningkatan dampak positif, khususnya yang bermanfaat bagi masyarakat
29
Apakah telah dilakukan konsultasi publik dalam perencanaan tata ruang? Dalam bentuk apa konsultasi
Hasil konsultasi publik Bentuk/cara konsultasi publik
publik dilakukan? Siapa yang terlibat da lam konsultasi publik
Prinsip III:
Keadilan untuk mengakses, memanfaatkan dan mengendalikan sumberdaya alam, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan.
Mencegah bertambahnya golongan penduduk miskin atau termarjinalisasinya sekelompok masyarakat tertentu, sebagai akibat dari penataan ruang yang menimbulkan:
Kriteria
(1)
ketidakadilan dalam mengakses, memanfaatkan, dan mengendalikan
sumberdaya alam; dan/atau (2) ketidakberdayaan (powerlessness) pada sekelompok masyarakat untuk mengakses, memanfaatkan, dan mengendalikan sumberdaya alam, mutu lingkungan hidup, atau fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
Daftar Pertanyaan
Indikator
Apakah terjadi kesenjangan pendapatan yang lebar antara
Indeks Gini atau indikator lainnya yang
penduduk perkotaan dan perdesaan di suatu wilayah? Bila
menunjukkan sebaran jumlah penduduk di suatu
Ya, telusuri apakah penyebabnya terkait dengan penataan
wilayah menurut kelompok/kategori pendapatan
ruang yang tidak adil?
(income)
Apakah ada “hak” penguasaan sumberdaya alam (misalnya
Struktur akses, pemanfaatan dan kontrol
hak ulayat) yang telah ada dan menjadi bagian kehidupan
masyarakat atas sumberdaya alam tertentu
suatu kelompok masyarakat (masyarakat hukum adat)?
(hutan, sungai, danau, dsb), yang merefleksikan “hak” de-facto penguasaan sumberdaya alam yang hidup di tengah-tengah masyarakat
Bila ada, bagaimana struktur akses, pemanfaatan, dan
Pemetaan partisipatif atas pola spasial akses dan
kontrol masyarakat tersebut terhadap sumberdaya alam?
kontrol masyarakat atas sumberdaya alam
Apakah “hak” de-facto penguasaan sumberdaya alam
Struktur penguasaan sumberdaya alam oleh
tersebut tumpang-tindih dengan de-jure penguasaan
negara (hutan produksi, hutan lindung, hutan
sumberdaya alam oleh negara (hutan lindung, hutan
konservasi, tanah negara) di suatu wilayah
produksi, hutan konservasi)? Apakah “hak” de-facto penguasaan sumberdaya alam
Pola persebaran spasial akses dan kontrol negara
tersebut diakui atau memperoleh legitimasi dari
atas sumberdaya alam
30
pemerintah?
Apakah penetapan suatu ruang untuk peruntukan tertentu
Pemetaan persebaran spasial akses dan kontrol
(a.l, kawasan wisata pantai) berpotensi menimbulkan
masyarakat atas sumberdaya alam terhadap
marjinalisasi pada sekelompok masyarakat karena akses
rencana pengembangan ekonomi wilayah
menjadi tertutup? Apakah lokasi-lokasi tertentu yang dipandang mempunyai
Pemetaan partisipatif atas ruang hidup
nilai ekologi penting di mata masyarakat dan/atau
masyarakat yang dipandang penting untuk
mempunyai nilai-nilai sakral di mata masyarakat setempat,
dilindungi dan dicegah dari gangguan perubahan
telah dipertimbangkan atau dilindungi dari perubahan
(lokasi mata air, hutan larangan, makam sakral,
peruntukan ruang?
cagar budaya)
31
4. Kapasitas
Kelembagaan
dan
Sumberdaya
Manusia
Untuk
Pengembangan KLHS
4.1
Mengapa Perlu Membangun Kapasitas?
Berdasarkan hasil-hasil sejumlah pertemuan dengan stakeholder pembangunan nasional dan daerah, yang dilaksanakan oleh KLH pada bulan Maret sampai Desember 2007 di sembilan kota besar yang merepresentasikan kawasan Indonesia Barat, Tengah, dan Timur, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) telah sampai pada taraf penting dan mendesak. Salah satu isu pokok yang urgen dalam konteks penerapan KLHS adalah perlunya segera dibangun kapasitas kelembagaan dan sumberdaya penggeraknya, khususnya sumberdaya manusia dalam merumuskan konsep sampai dengan operasionalisasinya. Sebagai sebuah pemikiran yang relatif baru dan bahkan secara praktikal belum resmi digunakan dalam proses pembangunan, sementara ini dapat diasumsikan bahwa kapasitas yang tersedia untuk melaksanakan KLHS masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhannya, atau bahkan dapat dikatakan mulai dari posisi awal.
4.2
Bagaimana Pengembangan Kapasitas Tersebut Diupayakan?
Asumsi yang digunakan dalam konteks pelaksanaan penerapan konsep KLHS adalah posisi Kementerian Negara Lingkungan Hidup sebagai leading agency. Selain alasan relevansi, posisi Kementerian Negara Lingkungan Hidup juga dapat dipandang sebagai lembaga yang berfungsi untuk dapat berperan mengakomodir berbagai kepentingan dalam merealisasi perencanaan pembangunan di suatu wilayah atau daerah. Ada lima dimensi yang perlu menjadi perhatian atau dikaji dalam menyusun upaya peningkatan yaitu: a.
Kondisi lingkungan kegiatan; terkait dengan dampak ekonomi, sosial, dan politik terhadap kegiatan dan performa lembaga bersangkutan yang tercakup dalam dinamika tersebut.
b.
Konteks lembaga sektor publik; menunjukkan kapasitas perhatian dan kepedulian publik yang dapat memfasilitasi ataupun menghambat lembaga yang bersangkutan untuk mencapai performa yang baik.
Kedua butir di atas merupakan dimensi utama dalam pengembangan kapasitas kelembagaan untuk mencapai optimalisasi hasil pelaksanaan kebijakannya. Dimensi lainnya yang juga perlu mendapat perhatian dalam rangka peningkatan kapasitas adalah: c.
Jaringan penugasan; seberapa jauh kemampuan lembaga yang bersangkutan memanfaatkan jaringan kerjasama dengan beberapa lembaga lain yang ada, sesuai dengan kebutuhan pemenuhan tugasnya. Interaksi jaringan ini dapat memfasilitasi ataupun menghambat performa lembaga yang bersangkutan.
32