RAGAM TEKNIK PENGOLAHAN EMAS -
PENGOLAHAN MENGGUNAKAN RAKSA PENGOLAHAN MENGGUNAKAN SIANIDA PENGOLAHAN MENGGUNAKAN THIOSULFAT PENGOLAHAN MENGGUNAKAN AIR RAJA
Disusun Oleh :
Tim Sumundo
PENGANTAR Industri pengolahan emas dari batuan akhir-akhir ini berkembang pesat disebabkan peraturan penambangan yang makin mudah diperoleh, tersebar luasnya mineral emas di seantero negeri, harga komoditas emas yang makin menarik, serta makin mudahnya memperoleh akses informasi mengenai teknik pengolahan maupun ketersediaan bahan kimia yang makin mudah diperoleh. Dalam proses pengolahan yang umum masih terdapat berbagai kelemahan yang ditemui, sehingga hasil yang diperoleh tak signifikan terhadap emas yang terkandung pada batuan. Rendahnya persentase perolehan emas mengakibatkan sebagian dari proses-proses yang dilakukan tak luput dari kerugian secara materi. Disamping itu, para pengusaha yang baru bergelut di sektor ini kerap mengalami kerugian disebabkan minimnya informasi tentang cara-cara yang benar dalam pengolahan emas. Buku ini dibuat dalam rangka memberikan informasi cara pengolahan batuan emas yang tepat dan murah, sehingga potensi-potensi kerugian yang akan terjadi dapat dihindarkan. Dengan membaca buku ini diharapkan para pemula yang akan terjun dalam dunia pertambangan emas tak mengalami m engalami kesulitan berarti dalam industri pengolahannya. pengolahannya. Begitupun bagi para pengusaha atau praktisi yang telah mendalami usaha ini, petunjuk-petunjuk di buku ini sangat membantu dalam pelurusan sistem proses yang sebenarnya. Diakui, masih banyak dari bagian dan isi buku ini yang perlu diperbaiki ataupun diperkaya pada edisi-edisi selanjutnya. Akhir kata, semoga buku ini memiliki manfaat yang besar bagi para pembacanya.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
DAFTAR ISI
Pengantar I.
Pendahuluan
II.
Pengenalan Kimia Dasar
III.
Sifat – Sifat Kimia dan Fisika Emas Dan Perak
IV.
Jenis – jenis Batuan Emas
V.
Pengolahan Emas Menggunakan Merkuri
VI.
Proses Penghalusan Batuan
VII.
Proses Pengujian Mineral Emas
VIII.
Ekstraksi Arang Aktif
IX.
Ekstraksi Electrowinning Electrowinning
X.
Ekstraksi KTK Zinc dan Timbal
XI.
Peralatan Pengolahan Emas
XII.
Pengolahan Menggunakan Sianida
XIII.
Pengolahan Menggunakan Menggunakan Thiosulfat
XIV.
Pengolahan Limbah Sianida
XV.
Pengolahan Menggunakan Air Raja
XVI.
Pemurnian Logam Emas dan Perak
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
I.
PENDAHULUAN
Logam emas dan berbagai jenis logam mulia lainnya berasal dari alam dan diperoleh dengan berbagai jenis proses ; dari yang paling sederhana (proses pendulangan bijih logam kasar pada pasir jenis alluvial), hingga berbagai jenis proses yang lebih rumit pada batuan emas primer. Emas dalam batuan umumnya bercampur dengan mineral logam lain dan kwarsa.Logam - logam pengikut antara lain perak (Ag) yang dapat berupa perak murni (Ag) paduan perak dan emas (AgAu), atau senyawa garam perak (perak sulfida Ag 2S, perak klorida AgCl, perak oksida Ag 2O). Tembaga adalah unsur dominan yang terkandung dalam batuan emas (disamping timbal, besi, zink, arsenik, mangan). Umumnya tembaga (Cu), timbal (Pb), besi (Fe), dan zink (Zn) membentuk senyawa dalam batuan. CuFeS 2 (chalcopyrite) adalah contoh perpaduan antara tembaga dan besi dalam bentuk sulfida logam, ada juga chalcosite (CuS) dan malasite [Cu+(CO 3)2(OH)2] yang adalah garam tembaga dalam batuan. Merkuri telah digunakan sebagai media penangkap logam emas sejak ratusan tahun yang lalu, dan penggunaannya masih terus dilakukan hingga saat ini. Raksa/merkuri bekerja menggunakan prinsip dasar ikatan antar logam, namun karena perbedaan titik cair yang sangat jauh dengan logam emas/perak, maka logam merkuri hanya melakukan ikatan dengan permukaan (kulit luar) logam emas, sehingga pencampuran secara homogen tak terjadi. Tak semua jenis logam dapat berikatan dengan merkuri, ada sebagian darinya tak dapat berikatan. Besi misalnya ; logam ini tak akan berikatan dengan merkuri dalam berbagai kondisi. Logam – logam jenis lainnya antara lain ; platina (Pt) dan sebagian logam golongan platina lainnya, wolfram, dan beberapa jenis unsur lainnya. Dalam proses ikatan merkuri dengan emas (biasa disebut amalgamasi), logam cair merkuri hanya mampu melapisi permukaan emas yang bebas dari berbagai pengotor (defenisi pengotor disini adalah unsur logam ataupun non logam yang tak dapat berikatan dengan logam merkuri). Alkali sianida (NacN dan KCN) melarutkan emas dan perak secara perlahan dan lambat. Keistimewaan pelarut ini hanya bereaksi dengan logam – logam tertentu seperti emas, perak, tembaga, dan beberapa jenis logam lain, sehingga pelarutan yang terjadi benar – benar selektif. Atas dasar sifat – sifat yang istimewa inilah alkali sianida banyak digunakan sebagai pelarut emas dan perak dari batuan. Beragam teknik pengolahan menggunakan sianida telah diterapkan dalam pemrosesan hasil tambang, antara lain “metoda leaching konvensional”, “dump / heap leach”.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Sebagai pelarut, sianida memiliki berbagai keunggulan dan juga kelemahannya. Selektifitas merupakan salah satu keunggulannya, disamping kemampuan karbon yang cukup baik menyerap cairan garam kompleksnya. Kelemahannya adalah sulit melarutkan emas dan perak dari batuan berjenis ‘refraktory’. Refraktory di sini diartikan sebagai ‘sulit larut akibat adanya unsur pengganggu’. Batuan sulfdida tinggi, batuan dengan jumlah logam perak sangat dominan, batuan mengandung karbon, adalah batuan yang tergolong ‘refraktory’. Kelemahan lainnya adalah sifat sianida yang sangat toksik (racun), sehingga penggunaannya sangat dibatasi melalui tata niaga yang ketat. Adanya peraturan ini menyebabkan terus naiknya harga sianida, sehingga penggunaannya pun harus makin selektif agar potensi kerugian yang akan timbul karena tingginya harga bahan kimia dapat dihindarkan. Pada batuan bersulfida tinggi, sebagian dari emas tidaklah berwujud logam, melainkan berupa senyawa cair yang terbekukan. Contoh batuan jenis ini adalah arsenopyrite, pyrite, galena, chalcopyrite. Pada batuan ini emas membentuk senyawa dengan logam-logam lain beserta belerang sebagai anionnya. Sebagian dari batuan pyrite mengandung logam emas hingga 1500 gram/ton (arsenopyrite), namun untuk memproses batuan jenis ini memerlukan kecermatan dan metoda yang berbeda dari yang biasa digunakan. Penggunaan merkuri sebagai ekstraktor akan mengalami kegagalan, bahkan potensi kehilangan sebagian besar logam merkuri dapat terjadi jika digunakan sebagai ekstraktor batuan berjenis sulfida tinggi. Batuan dengan kandungan sulfida tinggi merupakan salah satu batuan tergolong ‘refraktory’; sehingga penggunaan sianida sebagai pelarut juga tidaklah tepat. Thiosulfat adalah senyawa yang sangat tepat digunakan sebagai pelarut emas pada batuan berjenis refraktory, karena kemampuannya melarutkan emas dan perak dari batuan sulfida tinggi maupun batuan yang mengadung karbon. Emas larut dengan cepat dalam air raja (aqua regia). Namun penggunaan air raja mengakibatkan pelarutan logam – logam lain seperti tembaga, besi, timah hitam, zinc, dan sebagainya. Dalam proses pelarutan menggunakan air raja, adanya campuran logam-logam pengotor lain justru berpotensi menggagalkan pelarutan logam emas karena kalahnya emas dalam kompetisi dengan logam-logam tersebut. Pada akhirnya emas dapat larut setelah semua logam-logam pengotor terlarut, sedangkan jumlah air raja yang diberikan dalam jumlah yang berlebih (adanya larutan besi klorida dan naiknya pH juga dapat mengakibatkan tereduksinya sebagian besar dari larutan kompleks emas). Air raja juga selalu menguap mengeluarkan asam yang sangat mengganggu penciuman, dan menyebabkan pencemaran udara yang sangat berat. Uap dari air raja bersifat sangat korosif terhadap hampir semua jenis logam. Penggunaan air raja dapat dilakukan jika dikombinasikan dengan jenis – jenis pelarut lainnya.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Disebabkan konduktifitas dan daya hantar panasnya yang sangat baik, maka logam emas dan berbagai jenis logam mulia lainnya mulai banyak digunakan sebagai konduktor pada berbagai jenis perangkat elektronika digital kecepatan tinggi, relay – relay, dan penggunaan pada berbagai bagian di otomotif. Emas dan logam – logam mulia lainnya terus mengalami kenaikan harga seiring makin tingginya tingkat konsumsi terhadap logam ini, namun tingkat suplay tak mampu menyesuaikan terhadap tingginya permintaan. Disamping sebagai perhiasan dan penggunaan sebagai konduktor berkecepatan tinggi, logam emas juga digunakan sebagai pengaman nilai mata uang dalam system moneter suatu Negara ; makin tinggi cadangan emas suatu bank sentral maka makin stabil nilai mata uang Negara tersebut. Emas juga makin diminati sebagai alat investasi dan simpanan, penggunaannya meningkat terutama jika terjadi gejolak system keuangan dunia. Kenaikan rata – rata harga logam emas pertahun antara 30% - 40%, dan logam – logam mulia lainnya cenderung kompatibel dengan kenaikan ini. Tingkat kenaikan yang sangat tinggi ini menyebabkan makin disukainya logam mulia ini digunakan sebagai alat simpanan dibandingkan uang dan surat – surat berharga (yang nilainya terus menurun dibanding emas). Logam – logam mulia berkandungan tinggi makin sulit ditemukan di alam, sehingga dibutuhkan teknik proses yang lebih ekonomis terhadap pengolahan batuan dengan kandungan logam mulia yang makin rendah.nNamun karena nilai yang terus naik ini menyebabkan industri pengolahan emas adalah industri yang paling menarik dengan potensi keuntungan yang makin tinggi dari waktu ke waktu.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
II. PENGENALAN KIMIA DASAR
Pengolahan mineral logam tak dapat dipisahkan dari ilmu kimia, disebabkan prosesproses yang dilakukan umumnya merupakan reaksi kimia. Agar proses dapat dipahami, maka pengetahuan akan kimia dasar pun sebaiknya perlu dan mutlak harus dikuasai. Ada beberapa hal yang harus dijelaskan dalam bagian ini dalam rangka menunjang pemahaman terhadap proses ekstraksi sistem kimia. II.1. Struktur Atom dan Senyawa Atom. Atom adalah satuan terkecil dari partikel unsur. Atom tersusun dari gabungan proton, neutron, dan elektron. Proton dan neutron merupakan inti dari atom, sedangkan elektron adalah bagian yang mengelilingi inti. Atom juga merupakan satuan terkecil yang tak dapat diuraikan lagi dari suatu unsur dan masih mempertahankan sifat-sifat dasarnya, terbentuk dari inti yang rapat dan bermuatan positif dikelilingi oleh suatu sistem electron yang bermuatan negatif. Nomor atom menunjukkan jumlah elektron yang terkandung dalam atom, berat atom adalah jumlah proton dan neutron dalam atom tersebut. Atom emas memiliki lambang Au, perak Ag, tembaga Cu, dan sebagainya. Molekul dan Senyawa Molekul merupakan bagian terkecil dari suatu senyawa kimia yang masih mempertahankan sifat kimia yang spesifik. Suatu molekul terdiri dari dua atau lebih atom yang terikat satu sama lain. Jika suatu senyawa disusun oleh satu atau beberapa unsur, maka molekul tersusun dari satu atau beberapa atom. Untuk senyawa yang disusun oleh satu jenis unsur disebut sebagai molekul unsur ; H2, O2, Cl2, dsb. Sedangkan senyawa yang terdiri dari beberapa jenis unsur, bagian terkecilnya disebut dengan molekul senyawa, antara lain H 2O, CO2, NO2. Senyawa adalah suatu jenis zat yang terbentuk dari satu atau lebih molekulmolekul. Contoh dari senyawa antara lain H 2SO4, H2O, Na2S2O5, dan sebagainya. II.2. Stoikiometri Stoikiometri adalah cabang ilmu kimia yang berhubungan dengan perhitungan berat dan persentase suatu unsur dalam senyawa. Istilah-istilah yang berhubungan dengan stoikiometri antara lain mol, molar, berat atom, berat molekul, berat jenis. Mol adalah satuan yang merupakan perbandingan antara berat unsur atau molekul ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
dalam satuan gram dan berat atom atau berat molekul zat tersebut. Molar merupakan hasil pembagian satuan mol dan volume larutan tersebut dalam liter. Berat jenis (tepatnya massa jenis) merupakan perbandingan antara berat suatu zat terhadap volumenya sendiri. Molaritas suatu larutan memegang peranan yang sangat penting dalam proses reaksi kimia larutan. Sebagai contoh, logam Pb (timah hitam) larut dalam HNO 3 pekat maksimum 8 molar, pada molaritas yang lebih tinggi akan cenderung pasif. Contoh ; Hitung molaritas larutan HNO 3 pekat 68%, HCl pekat 32%, H2SO4 pekat 98%. Jawab. HNO3 : Berat atom (BA) ; H = 1, N = 14, O = 16. Berat Molekul (BM) HNO 3 = H + N + 3O = 1 + 14 + 3 x 16 = .63 Berat jenis (Massa Jenis) HNO3 = 1,55 kg / liter = 1550 gr / liter. Konsentrasi 68% artinya kandungan HNO 3 dalam 1 liter adalah 68% dari volumenya, dimana sisa 32% lagi berupa air (H 2O). Molaritas HNO3 teknis 68% = (mol HNO 3 /1 liter) x 0,68 liter = gram/BM x 0,68 = 1550/63 x 0,68 = 16,7 M. Jadi molaritas HNO 3 68% = 16,7 M HCl : Berat atom (BA) ; H = 1, Cl = 17, BM HCl = 1 + 17 = 18. Berat jenis HCl = 1,18 kg/liter = 1180 gram/liter. Konsentrasi HCl 32%, maka volume HCl murni dalam 1 liter adalah 0,32 liter Molaritas HCl = (mol HCl/1 liter) x 0,32 liter = 1180/18 x 0,32 = 21 M Jadi molaritas HCl 32% = 21 M H2SO4 : Berat Molekul ; H = 1 x 2, S = 32, O = 16, BM H2SO4 = 1x2 + 32 + 16x4 = 98. BJ H2SO4 = 1,85 kg/liter = 1850 kg / liter. Molaritas H2SO4 = 1850/98 x 0,98 = 18,5 Molar Molaritas H 2SO = 18,5 M 4 98% II.3. Reaksi Kimia
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Reaksi kimia adalah suatu proses perubahan struktur kimia dari suatu/beberapa atom/molekul/senyawa akibat adanya aksi fisika/kimia yang dilakukan terhadap atom/molekul/senyawa tersebut. Reaksi dapat terjadi dalam keadaan padat, cair maupun gas. Ada beberapa istilah dalam reaksi kimia, antara lain ; kation dan anion, asam dan basa, reaksi pelarutan, reaksi pengendapan, reaksi substitusi, deret elektroda dan potensial ionisasi, reaksi reduksi dan oksidasi, dan sebagainya. Kation adalah suatu atom/molekul/senyawa yang melepaskan elektron terluarnya sehingga mengalami kekurangan elektron. Contoh kation ; Ca 2+, Fe2+, Ag+, Au3+. Kebalikan dari kation adalah anion, yaitu suatu atom/molekul/senyawa yang mengalami kelebihan elektron pada kulit terluarnya. Contoh anion ; Cl -, O2-, SO42-, NO3-, S2-. Asam dan basa adalah suatu ukuran spesifik berupa sifat dasar dari suatu unsur, molekul, atau senyawa. Unsur-unsur memiliki kondisi dasar yang bersifat asam ataupun basa. Molekul yang terbentuk dari unsur-unsur dikatakan basa atau asam tergantung dari unsur-unsur pembentuknya. Skala asam dan basa memiliki rentang ukuran antara 0 – 14, yang dinyatakan dalam satuan pH. pH dibawah 7 disebut berada dalam rentang asam. Makin kuat suatu asam, maka pH nya pun akan makin rendah, demikian juga sebaliknya. Angka pH pada posisi 7 titik netral atau pH netral. Wilayah basa berada diatas pH 7 hingga 14. Makin basa suatu zat, maka pH nya akan makin tinggi, dan demikian sebaliknya. Pelarutan adalah peristiwa reaksi kimia yang merubah suatu zat padat menjadi terlarut dalam pelarutnya. Dalam peristiwa ini susunan suatu zat pun mengalami perubahan struktur. Sebagai contoh, logam perak terlarut dalam larutan HNO 3 menjadi garam perak AgNO 3, tembaga larut dalam H 2SO4 menjadi CuSO 4. Reaksi pengendapan adalah peristiwa pengendapan (presipitasi) suatu larutan kimia menjadi endapan yang tak larut. Dalam peristiwa ini pun terjadi perubahan susunan kimia dari zat yang diendapkan. Contohnya, larutan perak nitrat AgNO 3 akan mengendap menjadi perak klorida AgCl jika ditambahkan larutan HCl encer atau garam dapur NaCl. II.4. Potensial Elektroda Standar Potensial elektroda standar E 0 adalah suatu besaran yang dapat diukur dan bersifat absolut terhadap suatu unsur, satuannya dinyatakan dalam volt. Potensial elektroda standar suatu unsur adalah ukuran potensial elektrodanya pada keadaan standar, yaitu pada larutan 1 molar, tekanan udara 1 bar dan suhu 25 0C. Tiap – tiap unsur memiliki potensial elektroda yang berbeda satu dan lainnya. Potensial elektroda memiliki rentang nilai dari negatif hingga positif. Unsur – unsur yang makin sukar berekasi memiliki nilai E 0 yang makin positif, sedangkan unsur-unsur yang makin reaktif nilai E0 nya makin rendah hingga menuju negatif.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Berdasarkan hasil pengukuran, maka dibuatlah suatu deret elektrokimia yang disebut sebagai deret volta, sebagai pembanding reaktifitas dari berbagai jenis logam. Li K Ba Sr Ca Na Mg Al Mn Zn Cr Fe Cd Co Ni Sn Pb H Sb Bi Cu Mo Hg Ag Pd Pt Au Dari deret di atas, dari kiri ke kanan unsur-unsur logam makin sulit bereaksi ; sebaliknya dari kanan ke kiri, logam-logam makin reaktif dan mudah bereaksi. Unsur logam Pb lebih sulit bereaksi dibanding logam Sn (timah putih) dan logam – logam di sebelah kirinya. Reaksi kimia umumnya merupakan reaksi oksidasi dan reduksi. Peristiwa oksidasi dan reduksi adalah peristiwa yang serempak dan simultan. Oksidasi adalah peristiwa lepasnya elektron dari kulit terluar suatu unsur atau senyawa, sedangkan reduksi adalah peristiwa sebaliknya. Ditinjau dari deret volta, makin ke kanan maka suatu unsur makin sulit teroksidasi dan makin mudah tereduksi, hal yang sebaliknya berlaku dari kanan ke kiri. Unsur logam tembaga (Cu) lebih mudah tereduksi dibanding logam bismuth (Bi) dan seterusnya ke kiri. Unsur logam besi Fe lebih mudah teroksidasi dibanding logam kadmium Cd dan seterusnya ke kanan. Dari deret volta terlihat bahwa unsur logam emas Au merupakan logam yang paling sulit teroksidasi dan paling mudah tereduksi, bahkan dibanding platina (Pt) sekalipun. Inilah yang menjadi dasar hampir tak ditemukannya senyawa logam emas di alam. Emas di alam hampir selalu berbentuk logam, meskipun berasosiasi dengan logam lain seperti perak dan tembaga. Pada peristiwa reduksi oksidasi, zat yang mereduksi zat lainnya disebut sebagai reduktor, dan zat yang mengoksidasi disebut sebagai oksidator. Atau dengan kata lain ; dalam peristiwa reduksi-oksidasi, reduktor mengakibatkan suatu zat tereduksi, dan zat yang tereduksi ini disebut sebagai oksidator terhadap zat yang mereduksi. Berdasarkan deret volta, dari kiri ke kanan suatu unsur makin bersifat oksidator (mudah tereduksi). Dari kanan ke kiri suatu unsur makin bersifat reduktor (makin mudah teroksidasi). Senyawa emas merupakan oksidator yang sangat kuat, logam lithium merupakan reduktor yang sangat kuat. Deret volta juga menggambarkan suatu tingkat keasaman suatu unsur. Dari kiri ke kanan, tingkat keasaman unsur-unsur makin lemah ; dari kanan ke kiri justru sebaliknya, makin bersifat asam. Dari deret volta, asam terkuat adalah atom Li dan asam terlemah dimiliki atom emas Au. Contoh sederhana dari penerapan deret volta sebagai berikut : CuSO4 (l) + Fe (s) ======> Cu ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
(s) +
FeSO4 (l)
Cu2+ + SO42- + Fe (s) ======> Cu (s) + Fe2+ + SO42Dari contoh diatas dapat dijelaskan bahwa : - Garam tembaga II sulfat akan terurai (terdisosiasi) ketika dilarutkan dalam air, membentuk kation dan anion bebas. - Pada deret volta, susunan logam tembaga berada di sebelah kanan logam besi, sehingga setiap kation tembaga akan mengoksidasi logam besi menjadi kation besi, dan kation tembaga akan tereduksi menjadi logamnya. - Pada reaksi tembaga sulfat dan besi, terjadi reduksi kation tembaga menjadi logam tembaga dan oksidasi logam besi menjadi kation besi II. Tembaga dalam senyawanya bertindak sebagai oksidator logam besi, dan logam besi bertindak sebagai reduktor kation tembaga II. 3 CuSO4 (l) + 2 Al (s) ======> 3 Cu
(s) +
Al2(SO4)3 (l)
3 Cu2+ + 3 SO42- + 2 Al (s) ======> 3 Cu (s) + 2 Al3+ + 3 SO42-
-
Pada deret volta tembaga berada di sebelah kanan logam aluminium, sehingga setiap larutan kation tembaga akan mengoksidasi logam aluminium menjadi kation aluminium, sebaliknya aluminium bertindak sebagai reduktor kation tembaga menjadi logamnya. Pada reaksi di atas, kation Cu2+ mengoksidasi logam aluminium menjadi kation Al3+ dan dalam waktu yang bersamaan tereduksi menjadi logam tembaga.
Suatu senyawa umumnya terdiri dari kumpulan kation dan anion, terutama senyawa yang terbentuk dalam ikatan kimia. Unsur – unsur dari deret volta ketika mengalami ionisasi disebut sebagai kation. Kation dari tembaga adalah Cu + dan Cu2+, kation dari perak Ag+, dan kation dari logam besi adalah Fe 2+ dan Fe3+ (nilai +, 2+, 3+ menunjukkan jumlah elektron valensi, atau biasanya sering disebut sebagai bilangan oksidasi). Kation terjadi akibat suatu atom, unsur, atau senyawa kehilangan elektron terluarnya. Kebalikan dari kation adalah anion. Anion adalah suatu atom, unsur, atau molekul yang mendapat donor elektron sehingga mengalami kelebihan elektron pada kulit terluarnya. Jenis-jenis anion antara lain Cl ,O2-, SO42-, S2-, dan sebagainya. Kation-kation bersifat asam dan anion basa. Senyawa kimia,khususnya dalam ikatan ion, terbentuk dari kation-kation dan anion-anion. Senyawa H 2SO4 terbentuk dari kation H+ dan anion SO 42-, senyawa timbal sulfida PbS yang terdapat dalam batuan galena terbentuk dari kation Pb 2+ dan anion S 2-. Senyawa (garam) yang dibentuk dari unsur basa dan asam memiliki aturan baku dalam penentuan pasangannya. Asam lemah cenderung berpasangan dengan basa lemah, asam yang lebih kuat berpasangan dengan basa yang lebih kuat ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
juga, dan seterusnya. Jika 2 atau lebih garam senyawa dicampurkan dalam larutan, maka aturan di atas dapat diterapkan untuk menentukan hasil reaksi yang terjadi. 4 AgNO3 (l) + 4 HCl (l) ======> 4 AgCl (s) + 2 H2O
(g)
+ O2 (g) + 4 NO2 (g)
Reaksi di atas jika diurai sebagai reaksi ion sebagai berikut : 4 Ag+ + 4NO3- + 4 H+ + 4 Cl- ======> 4 AgCl
(s)
+ 2 H2O (aq) + O2 (g) + 4 NO2 (g)
Pada reaksi antara perak nitrat AgNO 3 dan HCl, terjadi reaksi pertukaran ion disebabkan anion Cl - adalah basa yang lebih lemah dari anion NO 3-, dan kation Ag + merupakan asam yang lebih lemah dari kation H +. Hasil reaksi adalah endapan perak klorida putih AgCl. Anion NO 3- dan kation H+ cenderung tereduksi menjadi gas NO2, O2, dan H2O sebagai hasil reaksi. Reaksi perak sulfat dan asam klorida : Ag2SO4 (l) + HCl (l) ======> Ag2SO4 (l) + HCl (l) / tak terjadi reaksi Diurai dalam bentuk ionik : 2 Ag+ + SO42- + 2 H+ + 2 Cl- ====> Ag2SO4 (l) + HCl (l) / tak terjadi reaksi Pencampuran antara perak sulfat Ag 2SO4 dan HCl pada larutan tak menimbulkan reaksi disebabkan kation Ag + dan anion SO 42- lebih lemah dibanding kation H + dan anion Cl-. CuSO4 (l) + ZnS (s) ======> CuS
(s) +
ZnSO4 (l)
Pada pencampuran antara tembaga sulfat CuSO4 dan zinc sulfida ZnS (endapan), terjadi reaksi substitusi antara kation Cu 2+ dan Zn2+ dikarenakan anion belerang S 2lebih lemah daripada anion SO 42-, dan kation tembaga Cu 2+ lebih lemah daripada kation seng Zn2+. Reaksi tetrakloroaurat H[Au(Cl) 4] dan logam tembaga : 2 H[Au(Cl)4] (l) + Cu (s) ====> 2 AuCl3 (s) + CuCl2 (l) + H2 (g) 2 AuCl3 (s) + 3 Cu (s) =====> 2 Au (s) + 3 CuCl2 (l) _________________________________________________ + 2 H[Au(Cl)4] (l) + 4 Cu (s) ======> 2 Au (s) + 4 CuCl2 (l) + H2 (g) Reaksi di atas dapat juga ditulis sebagai :
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
..............(1) ..............(2)
2 H+ + 2 AuCl3 + 2 Cl- + Cu =====> 2 AuCl 3 + Cu2+ + 2 Cl- + H2
.......(1)
Pada reaksi di atas, garam kompleks H[Au(Cl) 4] tereduksi menjadi senyawa AuCl 3 akibat kehadiran logam tembaga pada larutan. Adanya kelebihan logam tembaga dalam larutan mengakibatkan senyawa AuCl 3 tereduksi menjadi logam emas, dan tembaga menjadi kation tembaga Cu 2+ yang larut (2) 2 Au3+ + 3 Cl- + 3 Cu =====> 2 Au + 3 Cu2+ + 2 Cl-
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
..........(2)
III.SIFAT – SIFAT KIMIA DAN FISIKA EMAS DAN PERAK Emas dan perak berada dalam 1 golongan pada sistem berkala tabel unsur-unsur, tepatnya golongan I B. Golongan ini terdiri dari atom tembaga Cu pada perioda teratas, diikuti atom perak di perioda berikutnya, dan emas pada perioda terbawah. Dari urutan 3 logam ini, logam tembaga memiliki reaktifitas yang paling kuat, diikuti perak dan emas. Perak dan emas adalah jenis logam yang sangat sulit bereaksi maupun teroksidasi, sehingga golongan I B sering juga disebut sebagai golongan logam mulia. III.1. Perak Perak memiliki nomor atom 47, berat atom 107.9, massa jenis 10,5 gram / ml pada suhu kamar (25 0C), dan titik leleh 960 0C. Titik didih 21620C, elektronegatifitas 1,93 skala Pauling. Perak memiliki 1 elektron terluar pada kulit s . Berdasarkan elektron valensi dan kesamaan sifat kimiawi, perak digolongkan dalam golongan I dalam kimia analisis, bersama-sama dengan logam timbal dan merkuri. Perak merupakan logam yang memiliki daya hantar listrik tertinggi dari seluruh konduktor logam. Namun konduktifitas yang tinggi ini dibatasi oleh tak kebalnya logam perak terhadap beberapa oksidator, seperti belerang yang terdapat di udara bebas. Ini yang menyebabkan penggunaan logam emas sebagai superkonduktor tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh perak. Perak tak larut dalam asam klorida, asam sulfat encer (1 M) atau asam nitrat encer (2 M). Perak larut dalam asam nitrat pekat (diatas 8 M). Pelarutan dalam asam nitrat dapat dipercepat melalui pemanasan. Kecepatan pelarutan makin tinggi seiring peningkatan suhu di dalam larutan. 2 Ag (s) + 2 HNO3 (l)
====>
Ag2O (s) + 2 NO2 (g) + H2O (aq)
........(1)
Ag2O (s) + 2 HNO3 (l) ====> 2 AgNO3 (l) + H2O (aq) ..........(2) ______________________________________________________________ + 2 Ag (s) + 4 HNO3 (l)
====> 2 AgNO3 (l) + 2 NO2 (g) + 2 H2O (aq)
Tahap pertama pelarutan adalah oksidasi logam perak yang dilakukan oleh ion NO 3menjadi senyawa perak oksida tak larut Ag 2O. Bersama oksidasi ini ion nitrat NO 3tereduksi menjadi gas NO 2, kation hidrogen H + dan anion oksigen O 2- bereaksi membentuk air. Perak yang telah teroksidasi selanjutnya dilarutkan oleh anion nitrat berikutnya menjadi larutan perak nitrat.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Pelarutan juga dapat dilakukan menggunakan H 2SO4 pekat panas, reaksinya sebagai berikut : 4 Ag + H2SO4 ====> 2 Ag2O + SO2 + H2
.............(1)
2 Ag2O + 2 H2SO4 =====> 2Ag2 SO4 + 2H2O ___________________ _____________________________ ___________________ ___________ __ +
..............(2)
4Ag + 3 H2SO4 ======> 2 Ag2SO4 + SO2 + H2 + 2 H2O
Reaksi dalam asam sulfat juga berlangsung lambat, meskipun dikenai panas dari luar sistem. Beda dengan emas, perak sebagian besar tak larut dalam air raja disebabkan perak nitrat yang terbentuk akan membentuk endapan dengan ion klorida. Pembentukan endapan makin sempurna seiring menurunnya kandungan ion nitrat dan ion klorida bebas di larutan. Reaksi dengan air raja dimulai melalui reaksi perak dan asam nitrat: 2 Ag (s) + 2 HNO3 (l)
====>
Ag2O (s) + 2 NO2 (g) + H2O (aq) ........(1)
Ag2O (s) + 2 HNO3 (l) ====> 2 AgNO3 (l) + H2O (aq) ..........(2) ___________________ _____________________________ ___________________ ___________________ ____________________ __________ + 2 Ag + 4 HNO3
=====> 2 Ag NO3 + 2 NO2 + 2 H2O
Perak nitrat yang dihasilkan langsung bereaksi dengan HCl membentuk endapan AgCl dan sisa larutan HCl. 2 AgNO3 (l) + 2 HCl
(l)
=====> 2 AgCl (s) + 2 NO (g) + 2O2 (g) + H2 (g)
Endapan perak klorida jika dipisahkan dari larutannya, kemudian dicampur dengan HCl pekat menyebabkan terbentuknya garam kompleks perak II klorida yang larut. 2 AgCl + HCl <=======> <====== => HAg(Cl) 2 Reaksi di atas dapat balik, karena garam kompleks perak tak stabil, dan cenderung menjadi endapan perak I klorida jika konsentrasi ion klorida berkurang di larutan. Perak membentuk ion monovalen dalam larutan yang tak berwarna. Senyawasenyawa perak (II) tidak stabil, tetapi memainkan peranan penting dalam prosesproses oksidasi-reduksi yang dikataliskan oleh perak. Perak nitrat mudah larut dalam air; perak asetat dan perak sulfat kurang larut, sedangkan senyawa-senyawa senyawa-senyawa ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
perak lainnya praktis tidak larut. Halida-halida perak (AgCl, AgI, AgBr) peka terhadap cahaya; perak halida yang terpapar cahaya ultraviolet akan tereduksi menjadi logam perak dan gas halogen. 2 AgCl (s)
+
ultraviolet ultraviolet
======>
2 Ag (s)
+
Cl2 (g)
Karena kepekaan terhadap cahaya inilah maka logam perak banyak digunakan dalam industri photographi (efek separasi antara bidang tersinari dan yang tidak akan menimbulkan perbedaan ketika klise mengalami proses fiksasi). Perak juga mulai banyak digunakan pada rangkaian elektronik yang membutuhkan kecepatan tinggi dalam transmisi data. Perak, bersama-sama palladium digunakan sebagai konduktor kecepatan tinggi, khususnya menghadapi harga logam emas yang cenderung terus meningkat. Perak mampu membentuk ikatan kompleks dengan pelarut-pelarut sianida, thiosulfat, maupun thiourea. Hasil akhir reaksi dengan pelarut tersebut adalah garam kompleks yang larut dalam air. Reaksi perak dengan sianida hingga terjadinya kelarutan berlangsung dalam beberapa tahap, yang secara total ditulis sebagai : 4 Ag + 8 NaCN + O2 + 2 H2O =====> 4 Na[Ag(CN)2] + 4 NaOH Reaksi di atas sebenarnya berlangsung dalam 4 tahap, yaitu : 2 NaCN + O2
=====> 2NaOCN
...........(1)
4 Ag + 2 NaOCN
=====> 2 Ag2O + 2 NaCN
............(2)
2 Ag2O + 4 NaCN + 2 H2O
=====> 4 AgCN + 4 NaOH
............(3)
4 AgCN + 4 NaCN =====> 4 Na[Ag(CN) 2] ............(4) ___________________ _____________________________ ___________________ ___________________ ____________________ _______________ _____ + 4Ag + 8 NaCN + O2 + 2 H2O =====> 4 Na[Ag(CN)2] + 4 NaOH -
-
-
Tahap (1) adalah tahapan oksidasi alkali sianida oleh oksigen menjadi alkali oksisianida ‘NaOCN’. Oksidasi sianida oleh oksigen memerlukan waktu yang relatif signifikan. Tahap ke (2) senyawa senyawa reaktif NaOCN mengoksidasi logam Ag Ag menjadi menjadi senyawa tak larut perak oksida Ag 2O, sedangkan NaOCN tereduksi kembali dalam peristiwa ini, menjadi NaCN. Reaksi tahap ke-2 ini berlangsung paling lambat dibanding tahapan lainnya (1,3,4). Tahap (3) senyawa senyawa perak oksida oksida yang yang berwarna berwarna kuning kuning mengalami mengalami reaksi substitusi dengan NaCN, membentuk senyawa perak sianida berwarna
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
-
putih, yang tak larut dalam air. Pada peristiwa ini terbentuk senyawa baru NaOH sebagai hasil reaksi substitusi. Pada tahap ini reaksi berlangsung lebih cepat dibanding reaksi (1) dan (2). Senyawa tak larut AgCN AgCN memiliki memiliki sifat yang yang relatif relatif labil akibat adanya adanya aktifitas ion positif terluar dari logam Ag. Dengan adanya jumlah sianida yang berlebih (tahap (4)), maka m aka terjadi pelarutan senyawa perak membentuk ion kompleks Ag(CN) 2 yang distabilkan oleh kation Na + di dalam larutan. Reaksi tahap (4) berlangsung sangat cepat, tercepat dibanding tahap (1) sampai (3). Dari persamaan reaksi di atas terlihat bahwa kestabilan senyawa kompleks perak sianida sangat tergantung pada kehadiran anion sianida yang berlebihan di dalam larutan. Menurunnya jumlah ion sianida akan mengakibatkan terjadinya resiko pengendapan kembali perak sebagai senyawa AgCN.
Adanya 4 tahapan reaksi pelarutan perak menggunakan sianida cukup menjelaskan mengapa pelarutan menggunakan sianida berlangsung lambat. Berkurangnya anion sianida secara signifikan akan menimbulkan reaksi yang terbalik ; mengendapnya kembali perak dalam bentuk senyawa perak(I) sianida AgCN yang membentuk endapan putih. Penurunan anion sianida bebas dapat dimungkinkan jika kandungan ion hidrogen mengalami kenaikan pada larutan, sedangkan wadah reaksi terbuka terhadap lingkungannya. Kation hidrogen (H +) mula-mula bereaksi dengan anion hidroksida OH - membentuk molekul air yang sangat stabil st abil di dalam larutan. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya penurunan pH sebagai konsekwensi menurunnya anion hidroksida di dalam larutan. Pada saat anion OH- sudah habis (sementara masih tersisa kation H + dalam jumlah signifikan), maka kation H akan bereaksi dengan anion CN - membentuk senyawa baru HCN. HCN memiliki titik didih pada suhu 26 0C, sehingga pada suhu tersebut mulai terjadi penguapan asam sianida. Penguapan berimplikasi terhadap turunnya ketersediaan anion CN - di larutan, sehingga pada akhirnya ikatan kompleks terurai menjadi ikatan ion AgCN yang mengendap dalam bentuk tepung putih. Senyawa-senyawa perak (kecuali perak sulfida Ag 2S yang bereaksi sangat lambat) bereaksi dengan sianida jauh lebih cepat dibanding logamnya, disebabkan proses pembentukan garam kompleks sianida hanya mengalami 2 tahapan reaksi, yaitu tahap (3) dan (4). Hal ini menyebabkan senyawa perak bisa digunakan sebagai indikator kecukupan sianida bebas di dalam larutan. Perak nitrat AgNO 3 bisa digunakan sebagai indikator sianida bebas yang memiliki respon sangat cepat. - Jika jumlah sianida masih tersedia cukup di dalam larutan, maka pemasukan pemasukan sebagian cairan perak nitrat ke dalam larutan sianida yang mengandung garam kompleks perak tak mempengaruhi larutan, dalam arti tak terjadi pengendapan pada larutan.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
-
Jika jumlah sianida bebas sudah tak memadai, maka penambahan cairan perak nitrat akan mengakibatkan terbentuknya endapan perak (I) sianida yang berwarna putih.
4Na[Ag(CN) 2] + 4NaOH + 8NaCN + 4AgNO 3 ===> 4Na[Ag(CN) 2] + 4AgOH 4NaNO3 + 8NaCN
+
4Na[Ag(CN) 2] + 4AgOH + 4NaNO3 + 8NaCN ===> 4Na[Ag(CN) 2] + 4AgCN + 4NaNO3 + 4NaOH + 4 NaCN 4Na[Ag(CN) 2] + 4AgCN + 4NaNO 3 + 4NaOH + 4NaCN ===> 8Na[Ag(CN) 2] + 4NaNO3 + 4NaOH Jika kandungan sianida bebas hampir habis, maka reaksi yang terjadi sebagai berikut : 4Na[Ag(CN) 2] + NaCN + NaOH + AgNO3 ===> 4Na[Ag(CN)2] + AgCN + NaOH + NaNO3 Jika sianida bebas telah habis, maka penambahan AgNO 3 berlebihan akan mengakibatkan garam kompleks perak sianida (yang telah terbentuk sebelumnya) mengalami ketakstabilan, dan berubah menjadi ikatan ion perak sianida yang mengendap berwarna putih : 4 Na[Ag(CN)2] + 4 NaOH + 4 AgNO3 ===> 8 AgCN + 4 NaNO 3 + 4 NaOH Senyawa kompleks perak sianida Na[Ag(CN) 2] maupun endapan perak sianida AgCN dapat diekstrak menjadi logam oleh logam yang lebih reaktif, terutama logam zinc. Reaksi pengendapan perak dari garam kompleksnya sebagai berikut : 4Na[Ag(CN) 2] + 2 Zn + 4 H2O ===> 4 AgCN + 2 Zn(CN) 2 + 4 NaOH + 2H2 Kelebihan ion sianida bebas di larutan akan mengubah zinc II sianida menjadi larutan garam kompleks zinc sianida Zn(CN) 2 + NaCN ===> Na2[Zn(CN)4] Garam tak larut AgCN selanjutnya dapat mengendap menjadi logam perak jika bersentuhan secara fisik dengan logam zinc. 2 AgCN + Zn ===> 2 Ag + Zn(CN)2 Terangkan reaksi terhadap thiosulfat secara jelas!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
III.2. Emas Emas memiliki nomor atom 79, berat atom 197, massa jenis 19,30 gram / ml, dan titik leleh 1064 0C, titik didih 2856 0C. Emas tahan terhadap asam anorganik , hanya air raja yang mampu melarutkannya, dimana terbentuk anion kompleks tertakloroaurat(III), [AuCl4]- . Emas melarut sangat lambat dalam kalium sianida, pada mana terbentuk anion disianoaurat(I), [Au(CN) 2]- atau secara umum disebut sebagai emas sianida; pelarutan dapat dipercepat dengan kehadiran oksigen di dalam larutan. Emas juga larut dalam garam thiosulfat, thiosianat, thiourea, membentuk garam kompleks yang mirip dengan emas sianida. Baik dalam bentuk monovalen,maupun trivalennya, emas dapat dengan mudah direduksi menjadi logamnya. Senyawa-senyawa emas(I) kurang stabil dibandingkan senyawa-senyawa emas (III). Reaksi pelarutan emas dengan air raja berlangsung dalam 3 tahap : 2 Au (s) + 2 HNO3 (l)
=====> Au2O3 (l) + 2 NO (g) + H2O (l)
Au2O3 (s) + 6 HCl (l)
=====> 2 AuCl3 (s) + 3 H2O (l)
2 AuCl3 (s) + 2 HCl (l) =====> 2 H[Au(Cl)4] (l) _________________________________________________ + 2 Au (s) + 2 HNO3 (l) + 8 HCl (l) ====> 2 H[Au(Cl)4] (l) + 2 NO (g) + 4 H2O (l) Dari persamaan di atas terlihat bahwa garam kompleks emas terbentuk akibat adanya kelebihan ion klorida bebas di dalam larutan. Turunnya ion klorida bebas akan mengakibatkan garam kompleks tereduksi, yang pada akhirnya mengendapnya logam emas dalam bentuk butiran halus. Proses reduksi emas dari larutan garam kompleksnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain ; reaksi redoks menggunakan prinsip deret volta, reaksi redoks menggunakan larutan besi II, reaksi redoks menggunakan larutan sodium metabisulfit. Reaksi redoks menggunakan prinsip deret volta, kita bisa menggunakan logam tembaga sebagai pengendap. Sebelum logam tembaga dimasukkan perlu dilakukan pengurangan tingkat keasaman larutan, yaitu dengan cara pemanasan untuk menguapkan sisa asam, atau menaikkan pH mendekati 1 menggunakan larutan basa. 2 H[Au(Cl)4] + Cu ====> 2 AuCl3 + CuCl2 + H2 2 AuCl3 + 3 Cu =====> 2 Au + 3 CuCl _________________________________________________ + ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
2 H[Au(Cl)4] + 4 Cu ======> 2 Au + 4 CuCl2 + H2 Reaksi pengendapan menggunakan besi II dapat menggunakan besi II klorida ataupun besi II sulfat. Pada contoh di bawah kita menggunakan besi II klorida : 2 H[Au(Cl)4] + 2 FeCl2 ====> 2 AuCl3 + 2 FeCl3 2 AuCl3 + 6 FeCl2 ====> 2 Au + 6 FeCl3 _____________________________________________ + 2 H[Au(Cl)4] + 8 FeCl2 ====> 2 Au + 8 FeCl3 Pada reaksi di atas, larutan besi II mereduksi garam kompleks emas menjadi logamnya, dan besi II teroksidasi menjadi besi III klorida (FeCl 3). Sodium sulfide, caustic soda, dan sodium metabisulfit juga dapat mengendapkan logam emas dari larutan kompleks kloridanya dengan metoda yang berbeda-beda. Emas membentuk ikatan kompleks dengan pelarut-pelarut sianida, thiosulfat, maupun thiourea dengan hasil akhir garam kompleks yang larut dalam air. Identik dengan perak, emas larut dengan sianida dalam 4 tahap, yang secara total ditulis sebagai : 4 Au + 8 NaCN + O2 + 2 H2O =====> 4 Na[Au(CN)2] + 4 NaOH Reaksi di atas sebenarnya berlangsung dalam 4 tahap, yaitu : 2 NaCN + O2
=====> 2NaOCN
...........(1)
4 Au + 2 NaOCN
=====> 2 Au2O + 2 NaCN
............(2)
2 Au2O + 4 NaCN + 2 H2O
=====> 4 AuCN + 4 NaOH
............(3)
4 AuCN + 4 NaCN =====> 4 Na[Au(CN) 2] ............(4) _______________________________________________________________ + 4Au + 8 NaCN + O2 + 2 H2O =====> 4 Na[Au(CN)2] + 4 NaOH -
-
-
Tahap (1) adalah tahapan oksidasi alkali sianida oleh oksigen menjadi alkali oksisianida ‘NaOCN’. Oksidasi sianida oleh oksigen memerlukan waktu yang relatif signifikan. Tahap ke (2) senyawa reaktif NaOCN mengoksidasi logam Au menjadi senyawa tak larut emas I oksida Au 2O, sedangkan NaOCN tereduksi kembali dalam peristiwa ini, menjadi NaCN. Reaksi tahap ke-2 ini berlangsung sangat lambat. Tahap (3) senyawa emas I oksida yang berwarna kuning emas kecoklatan mengalami reaksi substitusi dengan NaCN, membentuk senyawa emas I
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
-
sianida berwarna ungu kemerahan, yang tak larut dalam air. Pada peristiwa ini terbentuk senyawa baru NaOH sebagai hasil reaksi substitusi. rea Senyawa tak larut AuCN memiliki sifat yang relatif labil akibat adanya aktifitas ion positif terluar dari logam Au. Dengan adanya jumlah sianida yang berlebih (tahap (4), maka terjadi pelarutan senyawa emas membentuk ion kompleks Au(CN) 2- yang distabilkan oleh kation Na + di dalam larutan. Reaksi tahap (4) berlangsung sangat cepat, tercepat dibanding tahap (1) sampai (3). Dari persamaan reaksi di atas terlihat bahwa kestabilan senyawa kompleks emas sianida sangat tergantung pada kehadiran anion sianida yang berlebihan di dalam larutan. Menurunnya jumlah ion sianida akan mengakibatkan terjadinya resiko pengendapan kembali emas sebagai senyawa AuCN. Endapan ini sangat mudah tereduksi kembali menjadi logamnya
Adanya 4 tahapan reaksi pelarutan perak menggunakan sianida cukup menjelaskan mengapa pelarutan menggunakan sianida berlangsung lambat. Berkurangnya anion sianida secara signifikan akan menimbulkan reaksi yang terbalik ; mengendapnya kembali emas dalam bentuk senyawa emas (I) sianida AuCN yang membentuk endapan ungu kemerahan. Penurunan anion sianida bebas dapat dimungkinkan jika kandungan ion hidrogen mengalami kenaikan pada larutan, sedangkan wadah reaksi terbuka terhadap lingkungannya. Kation hidrogen (H +) mula-mula bereaksi dengan anion hidroksida OH - membentuk molekul air yang sangat stabil di dalam larutan. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya penurunan pH sebagai konsekwensi menurunnya anion hidroksida di dalam larutan. Pada saat anion OH- sudah habis (sementara masih tersisa kation H + dalam jumlah signifikan), maka kation H akan bereaksi dengan anion CN - membentuk senyawa baru HCN. HCN memiliki titik didih pada suhu 26 0C, sehingga pada suhu tersebut mulai terjadi penguapan senyawa sianida tersebut. Penguapan berimplikasi terhadap turunnya ketersediaan anion CN - di larutan, sehingga pada akhirnya ikatan kompleks terurai menjadi ikatan ion AuCN yang mengendap dalam bentuk tepung ungu kemerahan. Senyawa-senyawa emas bereaksi dengan sianida jauh lebih cepat dibanding logamnya, disebabkan proses pembentukan garam kompleks sianida hanya mengalami 2 tahapan reaksi, yaitu tahap (3) dan (4). Jika jumlah sianida bebas sudah tak memadai, maka penambahan cairan perak nitrat akan mengakibatkan terbentuknya endapan emas (I) sianida yang berwarna ungu kemerahan. 4Na[Au(CN) 2] + 4NaOH + 8NaCN + 4AgNO 3 ===> 4Na[Au(CN) 2] + 4AgOH 4NaNO3 + 8NaCN ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
+
4Na[Au(CN) 2] + 4AgOH + 4NaNO3 + 8NaCN ===> 4Na[Au(CN) 2] + 4AgCN + 4NaNO3 + 4NaOH + 4 NaCN 4Na[Au(CN) 2] + 4AgCN + 4NaNO 3 + 4NaOH + 4NaCN ===> 4Na[Au(CN) 2] + 4 Na[Ag(CN)2] + 4NaNO 3 + 4NaOH Jika kandungan sianida bebas hampir habis, maka reaksi yang terjadi sebagai berikut : 4Na[Au(CN) 2] + NaCN + NaOH + AgNO 3 ===> 4Na[Ag(CN) 2] + AgCN + NaOH + NaNO3 Jika sianida bebas telah habis, maka penambahan AgNO 3 berlebihan mengakibatkan garam kompleks emas sianida (yang telah terbentuk sebelumnya) mengalami ketakstabilan, dan berubah menjadi ikatan ion emas sianida yang mengendap berwarna ungu kemerahan : 4Na[Au(CN) 2] + 4NaOH + 4AgNO 3 ===> 4AuCN + 4 AgCN + 4NaNO 3 + 4NaOH Senyawa kompleks emas sianida Na[Au(CN) 2] maupun endapan emas sianida AuCN dapat direduksi menjadi logamnya oleh logam yang lebih reaktif, terutama logam zinc. Reaksi pengendapan emas dari garam kompleksnya sebagai berikut : 4Na[Au(CN)2] + 2 Zn + 4 H2O ===> 4 AuCN + 2 Zn(CN)2 + 4 NaOH + 2H2 Kelebihan ion sianida bebas di larutan akan mengubah zinc II sianida menjadi larutan garam kompleks zinc sianida Zn(CN)2 + NaCN ===> Na2[Zn(CN)4] Garam tak larut AuCN selanjutnya dapat mengendap menjadi logam emas dengan kehadiran logam zinc ataupun senyawa oksidanya. 2 AuCN + Zn ===> 2 Au + Zn(CN)2 Disamping sebagai perhiasan, logam emas paling banyak disimpan dalam bentuk batangan oleh bank-bank sentral tiap-tiap negara. Emas digunakan sebagai indikator kekuatan perekonomian suatu negara, khususnya menyangkut nilai mata uang negara tersebut. Emas menjadi pilihan investasi yang paling aman di saat situasi ekonomi dalam kondisi krisis.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Di era teknologi informasi yang memerlukan kecepatan transmisi dan komunikasi data, suara, dan gambar berkecepatan tinggi, logam emas yang memiliki keistimewaan sebagai super konduktor makin banyak digunakan dalam rangkaian elektronik, baik dalam bentuk komponen pasif, komponen aktif, maupun sebagai pelapis konduktor tembaga pada papan PCB (printed circuit board).
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
IV. JENIS – JENIS BATUAN EMAS
IV.1. Batuan Emas Primer (Batuan Sulfida Rendah) Sebagian besar emas dihasilkan dari proses ekstraksi bijih emas pada batuan emas primer (batuan sulfida rendah). Batuan emas primer dibentuk melalui proses magmatik epitermal (hasil dari proses vulkanis gunung berapi), berupa urat – urat silica (kwarsa) yang berbentuk seperti pohon dalam timbunan batuan pegunungan. Urat yang berbentuk pohon tersebut memiliki batang, cabang dan ranting, dengan kandungan emas yang bervariasi dalam setiap bagiannya. Batuan emas primer memiliki kandungan belerang (sulfide) yang rendah dan kandungan silika sangat tinggi. Rendahnya kandungan sulfida menyebabkan rendahnya juga kandungan logam – logam lain pada batuan emas primer. Kandungan emas dalam batuan primer bervariasi antara 7 gram/ton (terendah secara ekonomis untuk dieksploitasi) hingga angka kilogram/ton pada bagian – bagian tertentu. Perak adalah logam pengikut utama yang bercampur secara acak bersama bijih emas, sehingga bijih – bijih emas selalu mengandung logam perak. Kadar emas dalam bijih yang dihasilkan bervariasi dari yang tertinggi (97% emas, 3% perak) hingga terendah (kandungan emas diatas 75%, dengan kandungan logam perak dibawah 25%). -
Emas Pasir
Emas pasir/butir ditemukan pada pasir/batuan alluvial, eluvial, atau colluvial. Material emas jenis ini umumnya ditemukan pada daerah berpasir silika yang dekat dengan sumber batuannya. Pelepasan butiran banyak disebabkan oleh pelapukan batuan, sedangkan sifat logam emas yang tahan terhadap oksidasi menyebabkan tak terjadinya perubahan susunan kimia pada logamnya. Sebaran mineral jenis ini biasanya dekat dengan sumber-sumber utamanya, karena emas merupakan logam berat yang sulit digerakkan oleh air. -
Batuan Silika Berkadar Sulfida Rendah
Batuan sulfida rendah berciri kandungan silika yang sangat tinggi, dengan persentase mineral sulfida yang sangat rendah. Emas pada batuan jenis ini mampu diekstraksi oleh sianida hingga 95% dari total kandungannya dengan tingkat konsumsi sianida yang sangat ekonomis.Ukuran bijih emas pada batuan ini berada pada kisaran di atas 75 mikrometer (80% dar total kandungannya), sehingga proses amalgamasi biasa pun mampu mengekstraksi bijih emas dengan sangat baik (hingga 70%). Pada jenis tertentu, sebagian dari mineral emas dapat diekstraksi menggunakan prinsip grafitasi (shaking table/meja desak, dulangan, dsb), ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
khususnya bijih yang memiliki ukuran cukup besar. Kandungan mineral sulfida yang sangat rendah membuat proses pengolahan pada batuan ini menjadi relatif paling mudah. -
Batuan Berkandungan Besi Sulfida Batuan Sulfida Arsenik Batuan Tembaga Sulfida Batuan Antimon Sulfida Batuan Tellurida Batuan Berkarbon
IV.2. Batuan Sulfida Tinggi Emas Pada Batuan Sulfida ditemukan sebagai butiran emas sangat halus yang terjebak pada berbagai batuan mineral sulfida, sehingga menjadi tak terlihat (‘invisible’). Emas tersebar di setiap batuan sulfida dengan kandungan yang bervariasi, dan umumnya sebagai berikut ; - Batuan arsenopyrite : < 0,2 to 15200 gr/t - Pyrite : <0,2 to 132 g/t - Tetrahedrite: <0,2 to 72 g/t - Chalcopyrite <0,2 to 7,7 g/t Pada beberapa jenis batuan sulfida, kandungan logam emas menjadi penting disebabkan nilai kandungannya bisa sangat tinggi hingga 1,5% dari total berat batuannya (arsenopyrite), dengan nilai rata-rata minimum sekitar 10 gr/ton. Pada batuan jenis sulfida hampir semua emas berbentuk logam sangat halus dan terjebak di dalam mineral-mineral sulfida tersebut, sehingga menjadi tak mungkin diekstraksi menggunakan air raksa, dan sangat sulit larut (refraktory) terhadap sianida. Pada mineral berjenis arsenopyrite kandungan emas rata-rata berada di kisaran 250-1500 gr/ton, suatu nilai yang sangat ekonomis untuk diolah. Perak konsumsi sebagian besar dihasilkan dari batuan sulfida tinggi (umumnya pada batuan berkadar perak tinggi maupun dari batuan galena (galena ore). Kandungan perak pada galena sangat tinggi, dapat mencapai 10 kg perak / 1 ton galena ore (1% dari berat batuan). IV.2.1. Batuan Oksida Batuan oksida adalah batuan sulfida yang sebagian telah mengalami peristiwa oksidasi. Oksidasi maupun peristiwa hydrotermal yang mengalir di celah-celah batuan menghasilkan tingkat penyerapan yang jauh lebih tinggi, sehingga batuan jenis ini sangat cocok untuk diproses secara heap/dump leaching, meskipun ukuran partikel jauh lebih halus.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Formasi unsur dan senyawa yang terbentuk di batuan sulfida antara lain senyawa hydrat, kristal-kristal silika dengan beragam ukuran, mineral clay, garam sulfat dari logam-logam dasar, senyawa oksida dan hidroksida dari berbagai logam. Sebagian besar dari jenis mineral ini bereaksi dengan sangat baik terhadap sianida disebabkan terbukanya sebagian besar dari bijih emas akibat telah terjadinya oksidasi secara alami di dalam batuan. Namun pada mineral oksida yag berbentuk clay dan lumpur silika dengan berbagai ukuran penyerapan sianida menjadi masalah serius disebabkan tingginya halangan-halangan mekanis pada lumpur. Pada batuan oksida, emas biasanya ditemukan dalam bentuk bebas maupun berasosiasi dengan berbagai material sulfida dan hasil oksidasi logam-logam besi yang pada umumnya berupa senyawa hematit (Fe 2O3), magnetit (Fe3O4), geothit (FeOOH), dan limonit (FeOOH.nH 2O). Emas juga berasosiasi dengan oksida maupun hidroksida mangan. Pada umumnya tingkat liberalisasi bijih emas pada batuan jenis ini cukup tinggi, akan tetapi pada beberapa kasus lapisan oksida dan hirdoksida yang menutupi permukaan logam emas dapat menjadi masaGenerally the degree of gold liberation is increased by oxidation; however in some case, protective coatings of slah yang serius dalam proses pelarutan menggunakan sianida. Pada batuan berjenis clay ditemukan sebagian material yang sangat halus seperti pyrophyllite (Al2Si4O10(OH)2), talc (Mg3Si4O10(OH)2), kaolinite (Al4Si4O10(OH)8), dan montmorillonite (Al 4Si8O20(OH)4.nH2O) yang dapat menimbulkan implikasi dalam proses ekstraksi sianida, antara lain : - Menurunnya daya serap cairan pada ekstraksi model heap/dump leach - Naiknya kekentalan lumpur pada saat reaksi pelarutan sedang berlangsung. Kekentalan yang tinggi menyebabkan rendahnya mobilitas partikel lumpur, sehingga dibutuhkan tenaga mekanis yang lebih besar untuk menggerakkan lumpur. - Tertutupnya sebagian permukaan karbon aktif oleh material halus, sehingga efisiensi penyerapan menjadi rendah dan memerlukan waktu yang lebih lama. Mineral karbonat seperti calcite (CaCO 3), dolomite (CaMg(CO 3)2), dan siderite (FeCO3) juga ditemukan pada batuan berjenis oksida. Mineral berjenis ini memiliki pH yang tinggi karena bersifat basa, sehingga akan mempengaruhi nilai pH pada proses liberalisasi (oksidasi) bijih emas yang dilakukan sebelum proses sianida berlangsung. Tembaga juga selalu ditemukan pada batuan oksida, dan umumnya unsur logam ini telah terlebih dahulu menjadi senyawa oksida, sehingga proses pelarutannya menjadi sangat cepat terhadap sianida. Dalam jumlah yang banyak, tembaga dapat menjadi masalah serius pada pelarutan menggunakan sianida, khususnya
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
menyangkut tingkat konsumsi sianida, dan pemborosan karbon (jika menggunakan karbon sebagai penyerap emas). IV.2.2. Batuan Berkadar Perak Tinggi Batuan berkadar perak tinggi dapat digolongkan sebagai batuan dengan tingkat sulfida tinggi, disebabkan mampunya logam perak teroksidasi oleh senyawa gas belerang membentuk senyawa perak sulfida yang bersifat refraktory. Meskipun emas hampir selalu berasosiasi dengan perak, akan tetapi jika kandungan perak dalam batuan cukup/sangat tinggi, diperlukan modifikasi dalam proses pengolahannya. Lapisan luar electrum maupun senyawa emas dengan kandungan perak yang sangat tinggi dalam paduan (di atas 98%) sangat mudah teroksidasi oleh belerang, membentuk lapisan perak sulfida Ag 2S setebal 1-2 mikrometer, yang membatasi kemampuan beramalgamasi maupun kemampuan larut dalam sianida. Penurunan aktifitas pelarutan berpotensi mengurangi tingkat perolehan logam emas selama proses ekstraksi menggunakan sianida. Di alam emas selalu berasosiasi dengan perak dalam perbandingan yang bervariasi. Kandungan perak dengan persentase 25% hingga 55% dalam paduannya disebut dengan nama umum “electrum”. Electrum berwarna putih perak dan sedikit agak kuning, dengan berat jenis 13-16 gr/ml. Tingkat kebebasan bijih emas pada batuan electrum ditentukan oleh tingkat persentase logam emas pada bijih tersebut. Kadar emas yang lebih tinggi memiliki tingkat kebebasan (bersih dari logam pengotor) yang lebih baik, sebaliknya kadar emas yang lebih rendah berimplikasi pada tingkat kebebasan permukaan yang kurang baik (bijih dengan kadar emas 50% akan lebih bersih dibanding bijih berkadar emas 25%). Sebagaimana diketahui, raksa hanya akan mengamalgamsi permukaan bijih emas yang relatif bersih, sehingga bijih-bijih emas mampu terlapisi logam raksa, dan selanjutnya terkumpul di dalam logam raksa yang cair (ini menjelaskan mengapa hasil amalgamasi selalu memiliki kadar emas yang lebih tinggi dibanding hasil pelarutan sianida ataupun thiosulfat). Perak bereaksi dengan belerang membentuk senyawa padat Ag 2S (argentit) yang tak larut dalam air. Bijih emas kadar rendah yang terkena gas belerang akan teroksidasi ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
pada bagian logam peraknya membentuk senyawa Ag 2S. Proses oksidasi belerang dapat terjadi pada saat pembentukan batuan akibat proses epitermal-magmatik (awal mula terbentuknya urat batuan pada perut bumi), maupun pada saat proses penambangan, penggerusan secara fisik, dan pada saat proses leaching itu sendiri. Bijih perak alami mampu memiliki tingkat kemurnian di atas 95%, namun ini jarang ditemukan. Kebanyakan bijih perak berasosiasi dengan emas, timbal, tembaga, maupun dengan berbagai jenis logam lainnya. Tingkat persentase perolehan logam perak pada proses pengolahan batuan berkadar perak tinggi lebih rendah dibanding emas, hal ini disebabkan banyaknya jenis senyawa perak pada batuan, sehingga proses oksidasi maupun pelarutannya menjadi lebih sulit dibanding emas. Paduan emas dan tembaga juga ditemukan pada batuan berkadar perak tinggi. Campuran emasperak-tembaga dalam batuan memiliki warna yang tak homogen pada umumnya, karena pada dasarnya emas lebih sulit membentuk paduan logam dengan tembaga dibanding logam perak. Mineral jenis ini antara lain auricupride (AuCu 3) dan tetra auricupride (AuCu). AuCu 3 umumnya mengandung 40 Au, tembaga sekitar of 51%, dan sisanya logam-logam lain. Logam berwarna merah kekuningan di bagian tengah, dan makin kuning pada bagian pinggirnya. IV.2.3. Batuan Besi Sulfida Pada batuan jenis ini, emas umumnya terbungkus di dalam selubung matriks besi sulfida. Jenis-jenis mineral besi sulfida yang sering ditemui adalah : - Pyrite FeS2 - Marcasite - Pyrrhotite (Fe(1-x)S), dimana x = 0,0 hingga 0,2. Mineral sulfida yang umumnya berasosiasi dengan emas, pyrite adalah senyawa yang sangat mudah ditemukan di seantero dunia. Pyrite sangat stabil pada kondisi cair (lumpur), membuatnya sulit dilarutkan (refraktory) oleh sianida. Bijih emas yang terjebak pada mineral ini memiliki ukuran yang sangat halus, sehingga sebagian besar berada di dalam bungkus pyrite. Kandungan emas dalam mineral pyrite bervariasi antara 0,2 ppm – 132 ppm, suatu nilai yang sangat ekonomis. Penggunaan sianida sebagai pelarut pada senyawa pyrite sangat tak efektif dan sangat boros karena sebagian besar terpakai untuk proses liberalisasi.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Marcasite memiliki struktur kimia yang sama dengan pyrite, FeS 2, akan tetapi memiliki struktur ruang yang orthorhombic. Marcasite terbentuk pada temperatur yang lebih rendah dibanding pyrite. Disebabkan kesamaan sifat yang hampir identik dengan pyrite, dan biasanya selalu ada bersama pyrite dalam batuan, maka pembahasan marcasite tidak penting dalam kaitan proses pengolahan emas. Pyrrhotite memiliki 2 type, heksagonal (Fe9S10) dan monoclinic (Fe 7S8). Senyawa ini relatif lebih stabil dibanding pyrite, dan umumnya bersifat magnetik, sehingga bisa dipisahkan menggunakan magnetik separator. Sama halnya dengan pyrite dan marcasite, pyrrhotite juga mengkonsumsi oksigen dan sianida dalam jumlah yang sangat tinggi, sehingga penggunaan sianida untuk ekstraksi mineral emas dari batuan ini sangat tak ekonomis. IV.2.4. Arsenic sulfide Arsenopyrite (FeAsS) juga memiliki banyak kesamaan sifat dengan pyrite. Arsenopyrite adalah senyawa sulfida yang paling banyak berasosiasi dengan emas. Kandungan emas pada senyawa ini bisa mencapai angka yang menakjubkan ; hingga 15,2 kg/ton. Secara fisik bentuk arsenopyrite mirip dengan pyrite, dengan beberapa perbedaan seperti kekerasan yang lebih baik, namun lebih rapuh dibanding pyrite. IV.2.5. Copper sulfide Batuan tembaga sulfida antara lain chalcopyrite, chalcocite, covelite, dan bornite IV.2.6. Antimony sulfida IV.2.7. Tellurida Rumus kimia emas telurida sedikit rumit dan terdiri dari berbagai sub-jenis mineral, namun yang sering ditemukan pada batuan emas adalah sylvanite ((Au,Ag)2Te4), calaverite (AuTe2), and petzite (Ag3AuTe2). Emas telurida ditemukan secara luas di hampir setiap batuan emas, dan sering berasosiasi dengan bijih emas bebas dan mineral – mineral sulfida. Emas telurida memiliki berat jenis yang tinggi, antara 8 – 10 ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
gr/ml.Mineral memiliki berbagai warna, namun secara umum ditemukan tiga warna, sedikit putih perak, abu-abu, dan hitam. Mineral emas tellurida sangat lambat larut dalam sianida, padahal sebagian besar dari senyawa sulfida yang berasosiasi dengan emas adalah tellurida, disamping arsen dan besi. IV.2.8. Batuan berkarbon Karbon pada batuan dapat bertindak sebagai karbon aktif pada saat pelarutan menggunakan sianida. Pada beberapa kasus, kandungan karbon dalam batuan bisa mencapai di atas 5%, suatu jumlah yang sangat signifikan untuk menyerap banyak emas pada proses pelarutan menggunakan sianida. Kandungan karbon sebanyak 0,1% dari berat batuan sudah cukup dikatakan bahwa sebagian dari emas (pada pengolahan menggunakan sianida) terserap dan kembali ke lumpur. Sianida merupakan bahan pelarut yang paling efisien dan digunakan secara luas untuk mengekstraksi emas dari batuannya. Ekstraksi emas umumnya mencapai angka di atas 90% jika menggunakan kaidah-kaidah yang benar. Limbah padat dari pengolahan sianida umumnya masih mengandung bijih-bijih emas yang jumlah kandungan emasnya bervariasi. Ada beberapa kemungkinan partikel emas yang terdapat di limbah padat hasil pengolahan sianida, antara lain : - Partikel emas bebas yang berasal dari sisa bijih emas kasar sebelum pengolahan. Ini mungkin terjadi disebabkan beberapa hal, antara lain; lama waktu pelarutan belum optimal, jumlah sianida yang kurang optimal, suplai oksigen ke dalam lumpur yang mungkin juga kurang, serta kinerja reaktor dan peralatan pendukungnya yang kurang optimal. - Emas terbungkus dalam silika atau senyawa oksida yang menutupi bagian kulitnya, sehingga senyawa pelarut sianida tak bereaksi dengan selaputselaput ini. - Emas terbungkus oleh mineral sulfida. Emas sangat halus selalu ditemukan pada limbah buangan sianida. Biasanya emas jenis ini masih terbungkus oleh mineral sulfida yang sukar larut (seperti pyrite misalnya). - Emas terbungkus mineral oksida, khususnya oksida besi yang tak terlarutkan oleh sianida. Logam – logam mulia memiliki sifat – sifat fisika dan kimia yang lebih unggul dibandingkan sifat – sifat yang sama dari berbagai logam dasar. Emas, perak, dan berbagai jenis logam golongan platina ( platina, palladium) memiliki konduktivitas listrik dan thermal yang sangat baik, sehingga digunakan secara luas pada berbagai perangkat eletronika yang membutuhkan kecepatan transmisi data dan gelombang elektromagnetik berkecepatan tinggi. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Logam emas dan perak digunakan pada kaki – kaki dan bagian transmisi dalam IC – IC berkecepatan tinggi (unit – unit pemroses pusat seperti prosesor – prosesor utama dan co-prosesor pada peralatan computer), pelapis luar pada papan PCB, dan pelapis utama pada bagian – bagian transmisi (modulator/demodulator pada pesawat telekomunikasi mobile atau handphone). Perak sejak dahulu digunakan secara luas pada industri photographi, disebabkan keistimewaannya yang peka terhadap cahaya (sinar ultraviolet) jika berbentuk senyawa perak halide (AgBr ). Perak juga digunakan secara luas sebagai katalis dalam berbagai reaksi kimia industri
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
V. PEGOLAHAN EMAS MENGGUNAKAN MERKURI
V.1. Sifat – sifat Kimia dan Fisika Logam Merkuri Merkuri (raksa) adalah logam yang berwatak cair pada sekitar suhu kamar (25 0C). Logam merkuri (Hg) dihasilkan melalui proses ekstraksi Hg dari batuan berjenis cinnabar, dimana Hg terkandung dalam bentuk seyawa Hg 2S yang memiliki warna khas merah darah hingga merah marun. Logam merkuri memiliki berat jenis ….gr/cm 3 pada suhu kamar, titik cair pada suhu….., titik didih pada suhu…., dan menguap pada suhu…..
V.2. Proses Amalgamasi Logam Emas dan Perak Sebagaimana halnya ikatan logam yang terjadi pada berbagai jenis logam lainnya (perak dan emas dalam bentuk alloy, timbale dan tembaga sebagai perunggu, seng dan tembaga menjadi logam kuningan), maka merkuri juga dapat berikatan dengan berbagai jenis logam lain. Ikatan antar merkuri dan logam lain ini biasa disebut dengan istilah amalgamasi. Ikatan antara merkuri dan logam emas yang terjadi pada suhu rendah dan perbedaan titik cair dan didih yang sangat jauh menyebabkan ikatan logam yang terjadi tidaklah bersifat homogen. Logam emas yang dalam fase padat pada suhu kamar akan terlapisi oleh logam merkuri cair pada bagian kulit luar dari logam emas. Jika bijih logam emas yang teramalgamasi relative jauh lebih kecil dari volume logam merkuri, maka emas akan tenggelam dalam logam merkuri cair. Ada beberapa jenis logam yang tak dapat berikatan dengan merkuri, antara lain ; besi (Fe), zinc (Zn), wolfram (Wo), platina (Pt), palladium (Pd), dan beberapa jenis logam lainnya.
V.3. Proses Amalgamasi Biasa Bijih emas di dalam batuan umumnya berukuran relative kecil dan tersebar secara acak di dalam batuan. Agar proses amalgamasi terjadi, maka ukuran batuan perlu diperhalus agar bijih – bijih emas terbebas dari lapisan yang melingkupinya. Proses awal pada system pengolahan emas menggunakan merkuri adalah penghancuran dan pengecilan ukuran batuan menjadi kecil (di bawah 1 x 1 cm). Selanjutnya batuan yang telah sedikit halus tersebut dimasukkan ke dalam alat berupa tabung besi yang berfungsi sebagai wadah landasan material batu. Di bagian dalam tabung diisi oleh poros (as) besi yang berfungsi sebagai penggerus material batu tersebut. Material yang telah dimasukkan ke dalam tabung selanjutnya diisi oleh air hingga 2 x bagian volume batuan, kemudian dimasukkan sejumlah logam merkuri ke dalam tabung yang berfungsi sebagai pengikat bijih – bijih emas
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
yang telah terlepas dari unsur – unsur penutupnya. Akhirnya tabung ditutup rapat sebelum dilakukan proses penggerusan. Proses penggerusan terjadi saat tabung diputar secara rotasi. Perputaran tabung di bagian luar membuat terjadinya gerakan berlawanan batuan secara relative pada bagian dalam. As-as besi yang diisi pada bagian dalam kemudian mulai melakukan penggerusan material batuan hingga material batuan berubah ukuran menjadi pasir, dan dalam waktu yang lebih lama ukuran menjadi sangat halus hingga menjadi lumpur dengan ukuran diameter di bawah 0,05 mm. Pada beberapa daerah, lama waktu penggerusan bervariasi, namun pada umumnya berkisar antara 4-6 jam. Proses selanjutnya, batuan yang telah berubah menjadi lumpur selanjutnya dikeluarkan dari dalam tabung dan dipindahkan ke dalam wadah bak atau ember. Merkuri ikut serta masuk bersama Lumpur tersebut ke dalam wadah penampung. Lumpur kemudian diaduk dan disemprot dengan air yang berlimpah agar lumpur keluar dari wadah. Logam – logam merkuri akan menuju bagian bawah dari wadah penampung. Lakukan pencucian hingga semua Lumpur keluar dari wadah penampung, dan diperoleh logam merkuri yang telah berkumpul menjadi 1 bagian. Bijih emas di batuan emas primer berukuran relative kecil. Bijih – bijih tersebut terkumpul menjadi satu bagian dalam logam merkuri cair. Selanjutnya merkuri yang telah bersih dari Lumpur diperas menggunakan kain dengan pori –pori yang sangat halus. Biasanya kain yang digunakan berjenis nilon kedap air (biasa disebut kain jenis parasut). Sebagian besar kelebihan logam merkuri yang menutup permukaan emas akan keluar melalui pori – pori kain selama proses pemerasan berlangsung, sedangkan bijih – bijih emas yang telah teramalgamasi akan tertahan di dalam kain. Bijih – bijih tersebut bersatu akibat rekatan logam merkuri yang masih melapisi permukaan luar logam emas. Untuk mengurangi kandungan logam merkuri yang terjebak pada kumpulan bijih emas, proses berikut dapat dilakukan : Masukkan hasil perasan amalgamasi ke dalam pipa besi, tempatkan dalam posisi miring, dengan bagian yang atas (dibuntu) diisi oleh hasil perasan. Pipa kemudian dipanaskan dengan api yang lembut selama beberapa saat. Pada saat pemanasan terjadi pemuaian dan makin encernya logam merkuri sehingga beberapa bagian akan menetes dan tertampung di bagian bawah pipa besi. Selanjutnya keluarkan logam merkuri dari pipa. Hasilnya adalah gumpalan logam emas yang masih terlapisi oleh logam merkuri dalam jumlah yang relative sedikit. Proses berikutnya adalah peleburan gumpalan logam menggunakan api panas. Pada saat peleburan berlangsung gunakan borax sebagai fluks yang sekaligus berfungsi membersihkan permukaan paduan logam emas perak dari berbagai pengotor, seperti sebagian kecil silica, logam logam tembaga, besi, dan berbagai jenis logam lainnya.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Pada saat awal proses peleburan, logam – logam merkuri akan menguap dan membentuk asap merkuri ; sebagian kecil berubah menjadi senyawa metil merkuri dan merkuri oksida. Senyawa logam ini sangat berbahaya bagi kesehatan, sehingga saat proses peleburan sebaiknya pekerja menggunakan masker pernafasan, dan sebaiknya peleburan dilakukan pada ruang yang bercerobong udara agar asap logam yang terbentuk sebagian besar terkoleksi dan keluar melalui cerobong udara. Pengolahan emas menggunakan merkuri sebagai alat ekstraksi hanya mampu mendapatkan maksimum 40% dari total kandungan emas dalam batuan. Hal ini terjadi disebabkan beberapa hal, antara lain : -
-
-
-
Tingkat kehalusan bijih emas yang akan diekstraksi. Bijih emas yang berukuran sangat halus akan mengambang di dalam lumpur, dan sangat sulit menyentuh permukaan terbawah, dimana merkuri selalu berada. Makin halus ukuran bijih emas maka makin sulit bijih tersebut tersalut (teramalgamasi) oleh merkuri. Tingkat kepadatan lumpur dalam cairan. Makin padat lumpur di dalam cairan mengakibatkan kenaikan tekanan dalam lumpur, sehingga partikel – partikel emas sulit menyentuh permukaan bawah dari tabung pemutar (glundung /tromol) karena terhalang oleh partikel – partikel silica di bawahnya. Makin kental larutan lumpur akan makin sulit bijih – bijih emas teramalgamasi oleh logam merkuri yang selalu berada di bagian dasar tabung. Tingginya kecepatan putar dari tabung penggerus. Makin tinggi kecepatan putar dari tabung akan menyebabkan as – as yang berada di dalam tabung akan ikut terpental, sehingga tujuan penggerusan sulit diperoleh. Tingginya putaran tabung juga berakibat sebagian dari logam merkuri ikut bergerak ke bagian tengah lumpur cair demikian juga dengan partikel bijih – bijih emas, sehingga tingkat probabilitas amalgamasi semakin sulit diperoleh. Adanya berbagai unsur pengotor yang menutupi sebagian dari permukaan logam emas. Logam paduan emas sering tertutup oleh lapisan tipis perak sulfide, yang terbentuk pada proses erupsi. Lapisan tipis perak sulfida (Ag2S) terbentuk akibat adanya gas H 2S yang melewatinya pada saat proses pendinginan dan perkerasan batuan. Besi (Fe) juga sering menutupi permukaan luar dari bijih emas, membentuk ikatan logam berwarna hitam di bagian luar. Pada bijih jenis ini merkuri tak mampu melakukan proses amalgamasi karena sifat dasarnya yang tak dapat berikatan dengan logam besi maupun senyawa – senyawa besi. Oksida tembaga juga sering menutupi pemukaan bijih emas sehingga sulit terjadi proses amalgamasi. Pada beberapa bagian, pecahan silica yang menempel pada sebagian permukaan emas turut menyumbang gagalnya proses amalgamasi.
Pada beberapa kasus, tingkat perolehan emas pada proses amalgamasi bisa sangat kecil, bahkan hingga mencapai hanya 5% dari total kandungan emas di dalam batuan, sehingga menjadi tak ekonomis untuk diproduksi.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Sebagian dari batuan emas memiliki kandungan logam tembaga yang cukup signifikan, sehingga pada system pengolahan biasa tembaga sering ikut teramalgamasi (para pengolah sering menyebut logam ini dengan istilah perunggu). Pada dasarnya tembaga yang terkandung dalam batuan umumnya tidaklah berbentuk logam, melainkan berupa senyawa, baik berjenis oksida, karbonat, maupun sulfide ; sehingga dalam kondisi biasa merkuri tak mungkin mengamalgamasi tembaga. Akan tetapi pada peristiwa penggerusan batuan yang dilakukan oleh media besi, terjadi reduksi senyawa – senyawa tembaga oleh logam besi tersebut. Sebagai contoh tembaga dalam senyawa chalcopyrite : 4 CuFeS2 + 7 O2 ======> 4 CuS + 2 Fe2O3 + 4 SO2 4 CuS +
8 O2
======> 4 CuSO4
4 CuSO4 + 4 Fe ======> 4 Cu + 4 FeSO4 Batuan yang ditromol/glundung akan mengoksidasi belerang pada senyawa chalcopyrite, sehingga unsur besi pada senyawa menjadi terpisah dan larut membentuk senyawa baru besi II sulfat (FeSO 4) (1). Senyawa tembaga makin reaktif karena hal ini, sehingga dengan mudahnya larut oleh oksidasi osigen menjadi larutan tembaga sulfat (2). Disebabkan potensial elektroda standarnya yang jauh lebih tinggi daripada logam besi, maka tembaga sulfat pun mengoksidasi logam besi menjadi besi II sulfat, dan dalam waktu bersamaan tembaga II tereduksi menjadi logam tembaga yang menempel di permukaan logam besi dalam tabung. Merkuri yang melintasi lapisan tembaga ini dengan serta – merta mengamalgamasi logam tembaga, sehingga hasil perasan merkuri juga mengandung logam tembaga. Teramalgamasinya sebagian logam tembaga sangat merugikan, disebabkan tercemarnya logam merkuri oleh tepung tembaga, yang menyebabkan mobilitasnya menjadi berkurang, dan kekentalannya pun makin tinggi. Efek dari kondisi ini adalah melemahnya daya amalgamasi merkuri terhadap logam – logam.
V.4. Teknik Peningkatan Hasil Pada Pengolahan Emas Menggunakan Merkuri Tingkat perolehan logam emas pada proses amalgamasi dapat dinaikkan hingga 70% dari total kandungan emas yang berada di dalam batuan melalui berbagai rekayasa teknik yang berhubungan dengan kondisi riel batuan yang akan diproses. Ada berbagai rekayasa dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil pada pengolahan menggunakan merkuri dan cara-cara tersebut akan dijelaskan pada bagian berikut ini. V.4.1. Selektifitas Proses Penggerusan.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Penggerusan dimaksudkan agar terjadi liberalisasi permukaan bijih emas terhadap berbagai penutupnya. Penggerusan yang sempurna menghasilkan ukuran partikel yang sangat halus dan pada proses yang ini dibutuhkan waktu yang relative lama untuk menghasilkan butiran Lumpur yang sangat halus. Masalah timbul pada ukuran bijih emas yang juga ikut tergerus hingga menjadi lebih halus lagi. Pada dasarnya logam-logam memiliki sifat yang khas jika berhubungan dengan air, yaitu sifat yang tak suka akan air (hydrophobic). Sifat tak suka air memiliki arti bahwa ikatan adhesive antara air dan logam sangat sulit terjadi pada kondisi yang normal. Kondisi tak suka air ini mengakibatkan logam-logam yang kontak dengan air umumnya terlapis oleh selaput udara pada kulit terluarnya. Pada logam yang berukuran sangat halus, lapisan udara yang menyelimutinya mampu mengambangkan bijih logam ke permukaan akibat berat jenis gabungannya lebih kecil daripada berat jenis air. Akibat dari mengambangnya emas (flotation processing) adalah peluang teramalgamasinya butir emas halus oleh kumpulan merkuri menjadi rendah. Ukuran Lumpur yang sangat halus juga berdampak terhadap tingginya kerapatan Lumpur dalam air sehingga tingkat mobilitas partikel-pertikel dalam Lumpur menjadi rendah. Mobilitas partikel yang rendah mengakibatkan peluang terperangkapnya bijih emas dalam Lumpur menjadi tinggi, dan kemungkinan terjadinya proses amalgamasi menjadi turun juga. Untuk mengatasi efek pengambangan (flotation effect ) dari bijih emas dan penurunan mobilitas partikel, maka sebaiknya penggerusan batuan halus dilakukan dalam waktu yang dibatasi tak terlalu lama. Pada proses biasa yang dilakukan, penggerusan memakan waktu antara 4 – 6 jam ; waktu selama ini cukup untuk menggerus dan mengecilkan ukuran bijih emas juga, suatu proses yang kontraproduktif dan kerapatan Lumpur yang tinggi juga berdampak buruk terhadap rendahnya mobilitas partikel emas. Untuk membuka bijih emas terhadap silica yang membungkus tanpa harus menghancurkan ukuran bijih emas itu sendiri, lama proses penggerusan sebaiknya dibatasi maksimum 2,5 jam saja. Memang pada proses biasa, penggerusan yang relative singkat justru menurunkan tingkat perolehan bijih emas yang teramalgamasi. Hal ini disebabkan sebagian bijih emas masih terbungkus oleh partikel silica dan berbagai logam pengotor yang menutupinya. Namun pada proses yang menggunakan rekayasa teknik, masih terbungkusnya sebagian permukaan bijih emas pada penggerusan yang relative singkat dapat diatasi dengan penggunaan berbagai bahan kimia yang berfungsi meliberalisasi bijih – bijih emas tanpa merusak ukurannya sendiri, sehingga tingkat kerapatan partikel Lumpur tak begitu tinggi demikian juga ukuran yang relative besar akan mencegahnya dari efek pengambangan. V.4.2. Liberalisasi Bijih Emas Menggunakan Bahan Kimia V.4.2.1. Perak Nitrat ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Perak nitrat adalah senyawa larut dalam air yang bersifat oksidator sangat kuat, dan sangat mudah tereduksi oleh berbagai logam – logam lain yang melapisi permukaan emas. Perak nitrat dibuat melalui proses pelarutan logam perak menggunakan pelarut asam nitrat ( nitric acid HNO3) pekat panas. Reaksi kimia yang berlangsung pada proses ini : 2Ag(s) + 4HNO3(l) ===> 2AgNO3(l) + 2NO(g) + O2(g) + 2 H2O(aq) Reaksi pelarutan di atas sebenarnya berlangsung dalam 2 tahap, yaitu reaksi pertama yang merupakan tahap oksidasi logam perak menjadi senyawa padat perak oksida yang berwarna coklat 2Ag(s) + 2HNO3(l) ====> 2Ag2O(s) + 2NO(g) + ½ O2(g) + H2O(aq) Selanjutnya perak oksida yang terbentuk kembali bereaksi dengan larutan HNO3 membentuk larutan perak nitrat : 2Ag2O(s) + 2HNO3(l) ===> 2AgNO3(l) + ½ O2(g) + H2O(aq) Keterangan symbol reaksi : Ag
: logam perak
HNO3
: larutan asam nitrat
AgNO3
: larutan perak nitrat
NO : gas nitrogen monoksida tak berwarna, yang kemudian berubah menjadi gas NO2 berwarna coklat saat bereaksi dengan oksigen. O2
: gas oksigen
H2O
: air (aquadest)
(S)
: fase zat padat atau solid
(l)
: fase larut atau liquid
(g)
: fase gas
(aq)
: fase cair untuk air (aquadest)
Perak nitrat yang dimasukkan ke dalam lumpur akan mengoksidasi berbagai logam yang menutupi permukaan lapisan emas dan secara simultan tereduksi menjadi logam perak yang melapisi permukaan logam emas. 2AgNO3 + Cu ====> 2Ag + Cu(NO3)2 2AgNO3 + Fe ====> 2Ag + Fe(NO3)2 Keterangan reaksi : ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
- Cu
: logam tembaga
- Fe
: logam besi
- Cu(NO3)2
: larutan tembaga nitrat
- Fe(NO3)2
: larutan besi nitrat
Pada reaksi di atas, garam cair perak nitrat mengoksidasi tembaga dan besi yang menutupi permukaan emas menjadi larutan tembaga II nitrat dan besi II nitrat, dan pada saat bersamaan perak tereduksi menjadi logam perak yang menempel di permukaan bijih logam emas, sehingga proses amalgamasi dapat berlangsung dengan baik. Jumlah perak yang digunakan sangat bergantung pada perkiraan jumlah total kandungan bijih emas di dalam batuan. Pada batuan dengan kandungan logam emas yang rendah, penggunaan perak dibatasi pada angka 5 gram / ton batuan, sedangkan pada batuan dengan kandungan logam emas perak yang cukup tinggi penggunaan perak nitrat sangat bergantung pada perkiraan jumlah total kandungan bijih emas di dalam batuan. V.4.2.2. Soda alkali (NaOH atau Na2CO3) Bijih emas umumnya terbungkus oleh lapisan kwarsa (silica SiO2) sehingga proses amalgamasi terhalang oleh lapisan ini. Proses penggerusan secara fisika dapat saja dilakukan untuk meliberalisasi permukaan emas, akan tetapi proses penggerusan juga mengakibatkan bijih – bijih emas juga ikut tergerus dan terpotong – potong menjadi ukuran yang lebih kecil lagi. Akibat dari pengecilan uuran bijih ini adalah makin sulitnya kemungkinan persentuhan antara permukaan bijih yang tergerus dengan logam merkuri, sehingga proses amalgamasi makin sulit untuk terjadi. Soda ash (Na2CO3) dan soda caustic bereaksi dan melarutkan silica menjadi larutan alkali silica cair, atau secara umum sering disebut dengan istilah water glass. Na2CO3 + SiO2 ====> NaOH + SiO2 =====>
Na2SiO3 + CO2 Na2SiO3 + H2O
Reaksi dapat berlangsung cepat melalui pemanasan. Soda ash bersifat lebih lembut daripada caustic soda, dan tidak merusak wadah stainless (jika reaksi pelarutan dilakukan pada wadah stainless). Caustic soda bersifat sangat keras, dan merusak wadah stainless jika reaksi dilakukan di dalamnya, terutama lagi jika reaksi berlangsung pada suhu yang tinggi. Pelarutan silica dengan alkali soda dimaksudkan agar : 1. Sisa – sisa silica yang menempel pada permukaan bijih emas aan tergerus sehingga bijih emas akan terbebaskan dari jenis pengotor ini. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
2. Butir – butir halus silica yang terjadi akibat penggerusan yang berpotensi meningkatkan tekanan ruang dalam Lumpur menjadi larut, sehingga kerapatan Lumpur akan berkurang setelah proses ini. 3. Bijih logam emas yang terliberalisasi masih memiliki ukuran yang relative besar, sehingga dengan berat yang signifikan peluang terjadinya proses amalgamasi menjadi makin tinggi. V.4.2.3. HCl Penggunaan HCl sebagai pembersih permukaan logam emas pada Lumpur hasil penggerusan juga sangat membantu dalam proses liberalisasi permukaan bijih emas. HCl bereaksi dengan sangat mudah terhadap logam besi yang menutupi sebagian permukaan, juga bereaksi dengan sangat baik terhadap berbagai logam lainnya, seperti mangan, cobalt, nikel, arsenic. HCl + Fe =====> FeCl2 + H2 HCl bereaksi dengan sangat lambat terhadap logam tembaga, dan sedikit lebih cepat terhadap senyawa oksida tembaga maupun beberapa senyawa sulfide logam lainnya. HCl sangat tepat digunakan pada batuan dengan kandungan logam besi yang tinggi. V.4.2.4. H2SO4 (asam sulfat) Asam sulfat merupakan oksidator yang cukup kuat, mampu melarutkan berbagai jenis logam. Pada konsentrasi tertentu (di atas 2 molar) H2SO4 dapat melarutkan logam perak secara perlahan. Untuk mencegah terlarutnya sebagian logam perak oleh larutan H2SO4 pada proses liberalisasi bijih emas, maka konsentrasi H2SO4 haruslah dibawah 2 M, dan ini dapat dilakukan melalui pengenceran larutan sebelum direaksikan dengan Lumpur. V.4.2.5. HNO3 Penggunaan HNO3 sebagai agen pembersih permukaan bijih logam emas sangat dimungkinkan, sepanjang konsentrasinya diturunkan hingga berada di angka 1 molar ( 1 M ). Konsentrasi yang lebih tinggi dapat menyebabkan terjadinya pelarutan sebagian logam perak (meskipun kemungkinan reaksi berlangsung secara perlahan).pada batuan emas berkadar perak tinggi. Untuk batuan berkadar emas tinggi pada bijihnya (misalnya di atas 30% kandungan emas dalam bijih paduan emasnya) , penggunaan HNO3 berkonsentrasi 2M – 4M bisa saja dilakukan. V.4.3. Praktek Pengolahan Menggunakan Merkuri
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Siapkan bahan baku batuan emas sebanyak 50 kg tumbuk hingga berukuran kerikil halus (1 x 1 cm) selanjutnya masukkan ke dalam mesin tromol/glundung dengan perbandingan volume batu : air 1 : 3. Tahapan proses selanjutnya sebagai berikut : 1. Lakukan penggerusan dengan memutar tromol selama maksimum 2,5 jam. 2. Keluarkan material yang telah digerus (telah berubah menjadi Lumpur kasar) dan tempatkan ke dalam wadah yang terbuat dari plastic (ember/bak plastic). 3. Biarkan beberapa saat hingga Lumpur mengendap sempurna, kemudian buang keluar air bening yang menggenang di atas Lumpur. 4. Jika menggunakan oksidator perak nitrat AgNO 3, maka penggunaan senyawa halogen (klorida misalnya : NaCl, HCl ) maupun H 2SO4 harus dihindarkan. Penggunaan HCl pada secara bersamaan justru akan menimbulkan endapan tak larut senyawa AgCl berwarna putih pada saat peristiwa oksidasi ; suatu hal yang tak diharapkan. Reaksinya sebagai berikut : 2 HCl
+ 2 AgNO3 =====> + 2 AgCl + H2O + 2 NO2 + ½ O 2
Ion sulfat pada Lumpur akan melakukan reaksi substitusi dengan ion nitrat pada senyawa perak nitrat, sehingga terbentuk senyawa perak sulfat yang sulit larut, sehingga oksidasi yang diharapkan dapat gagal karena hal ini. H2SO4 + AgNO3 =====> Ag2SO4 + H2O + 2 NO2 + ½ O2 Perak nitrat merupakan oksidator yang sangat kuat (bahkan jika terkena kulit kation perak langsung tereduksi menjadi logam perak berwarna hitam). Lapisan-lapisan logam pengotor yang melapisi permukaan bijih emas akan tersubstitusi oleh logam perak yang akan menyepuh permukaan bijih emas dalam peristiwa ini. Sebagai misal, oksidasi lapisan logam besi dan tembaga yang reaksinya sebagai berikut : 2 AgNO3 + Fe =====> 2 Ag + Fe(NO3)2 AgNO3 + Cu =====> 2 Ag + Cu(NO3)2 Logam besi yang menempel di kulit luar bijih emas teroksidasi oleh kation perak Ag+ sehingga larut menjadi larutan besi II nitrat, dan dalam waktu bersamaan kation perak direduksi oleh logam besi menjadi logam perak yang menggantikan posisi logam besi (menempel di kulit luar bijih emas). Tembaga yang menempel di kulit luar bijih emas biasanya sebagian telah teroksidasi oleh udara menjadi tembaga I oksida berwarna merah dan tembaga II oksida berwarna coklat kehitaman. Perak nitrat juga akan melarutkan oksida-oksida ini, sehingga permukaan logam emas menjadi ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
bersih dari logam-logam pengotor. Untuk 50 kg batuan (raw material), penggunaan logam perak (yang dibuat menjadi perak nitrat) sebaiknya berkisar 1 gram – 3 gram (atau garam kristal perak nitrat 2 gram – 6 gram). 5. Alternatif oksidator lain adalah HCl, HNO3, atau H2SO4. HCl merupakan oksidator yang sangat baik, terutama jika digunakan bersamaan dengan larutan H2O2. HCl bereaksi melarutkan logam-logam besi, mangan, nikel, dan beberapa jenis logam lainnya dengan sangat cepat. Untuk Lumpur dari raw material 50 kg, sebaiknya gunakan HCl konsentrasi 32% sebanyak 500 ml, diencerkan oleh air 2 liter. Masukkan HCl yang telah diencerkan ke dalam media Lumpur, aduk merata selama 5 menit. Selanjutnya tambahkan H2O2 (hydrogen peroksida) konsentrasi 5% atau dibawahnya sebanyak ½ liter, aduk kembali selama 15 menit. Pengadukan yang lebih lama membawa efek yang lebih baik dalam pembersihan permukaan bijih emas. Bahan yang terbuat dari besi atau stainless sangat mudah larut, oleh karena itu hindari penggunaan bahan dari logam tersebut bersentuhan dengan Lumpur yang sedang dicampur dengan HCl. HNO3 bereaksi sangat baik terhadap tembaga maupun senyawa oksida dan sulfidanya, dan sedikit lebih lamban terhadap logam besi beserta senyawasenyawanya. Penggunaan HNO3 pekat (di atas 2 M) berpotensi melarutkan logam perak, oleh karena itu penggunaan HNO3 sebaiknya diencerkan terlebih dahulu. Untuk bahan batuan seberat 50 kg, gunakan HNO3 konsentrasi 68% sebanyak 400 ml, yang diencerkan dengan air 4 liter. Lakukan pengadukan secara merata selama 30 menit (pengadukan yang lebih lama akan semakin menguntungkan dalam proses liberalisasi permukaan bijih emas). H2SO4 merupakan bahan pelarut yang relative murah disbanding HNO3 maupun HCl., namun efektifitasnya juga sangat baik sebagai oksidator. Asam sulfat teknis memiliki konsentrasi 98%, sehingga pemakaiannya relative lebih sedikit disbanding HCl teknis yang berkonsentrasi 32%. Penggunaan H2SO4 untuk 50 kg bahan raw material sebanyak 250 ml, kemudian diencerkan oleh air 3 liter (pengenceran dilakukan secara hatihati, karena pada peristiwa ini menghasilkan panas yang tinggi yang berpotensi melukai !) sebelum dicampur dengan Lumpur. Lakukan pengadukan selama pencampuran, pengadukan yang makin lama akan lebih meningkatkan kualitas kebersihan bijih emas. Total waktu proses pembersihan yang menggunakan oksidator kuat sebaiknya minimum selama 4 jam, selanjutnya diamkan Lumpur beberapa waktu sehingga mengendap. Kemudian larutan yang menggenangi Lumpur dibuang, bilas 2 kali dengan air bersih dan buang semua air sisa bilasan. 6. Proses oksidasi logam-logam pengotor yang dilakukan oleh beragam oksidator kuat di atas belum cukup untuk meliberalisasi seluruh kulit bijih emas, karena lapisan silica yang masih menempel di sebagian besar bijih ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
emas tak mampu dilarutkan oleh oksidator tersebut. Untuk melarutkan jenis pengotor ini (silica) dapat menggunakan bahan kimia soda ash Na2CO3 atau caustic soda NaOH. Masukkan bahan tersebut sebanyak 2 kg ke dalam Lumpur 50 kg, kemudian aduk hingga merata. Reaksi pencampuran ini akan menghasilkan panas, terutama jika menggunakan caustic soda (hati – hati terhadap caustic soda, khususnya bagian mata, karena dapat menyebabkan kebutaan jika terkena caustic). Berbagai reaksi kimia akan terjadi pada tahap ini, dan pemanasan akan meningkatkan kecepatan reaksi. 7. Masukkan 5 liter air mendidih ke dalam wadah sembari terus dilakukan pengadukan secara berkala hingga 3 jam (lebih membantu jika menggunakan mesin agitator sebagai pengaduk). Perebusan campuran Lumpur dan soda akan menghasilkan proses yang terbaik disebabkan tingkat panas yang tinggi tetap terjaga selama beberapa waktu, ini mengakibatkan kecepatan pelarutan silica terjaga tetap tinggi selama perebusan berlangsung. Perebusan tak dapat dilakukan jika bahan kimia yang digunakan adalah caustic soda, karena pada suhu tinggi senyawa ini bersifat sangat korosif terhadap apapun, meskipun terhadap wdah yang terbuat dari stainless steel. Hasil dari proses ini adalah terlarutnya sebagian silica terutama butiran yang sangat halus, menyebabkan berkurangnya kerapatan partikel Lumpur. Pecahan silica yang masih menempel pada permukaan bijih emas juga ikut terlarut, sehingga terjadi proses liberalisasi terhadap permukaan bijih emas. Sebagian lapisan mineral pengotor yang menyelimuti permukaan logam emas juga ikut teroksidasi selama proses reaksi soda, sehingga permukaan bijih emas makin bersih setelah proses ini berlangsung. Pada proses ini, terjadi perubahan pH Lumpur selama berlangsungnya reaksi. Pada tahap awal pH Lumpur sangat tinggi (14), nilai pH menurun seiring terjadinya pelarutan. pH akan turun hingga angka 7, yang menandakan bahwa seluruh soda telah bereaksi dengan silica menjadi water glass. Akan tetapi untuk mencapai angka ini kita mengalami kesulitan disebabkan perlunya mempertimbangkan waktu proses yang ekonomis. Waktu moderat yang terbaik adalah 6 jam terhitung sejak awal pencampuran soda dengan Lumpur. 8. Biarkan pengendapan cairan pada Lumpur beberapa waktu hingga terjadi pengendapan sempurna, kemudian buang cairan yang menggenangi Lumpur (cairan ini berupa senyawa larut water glass Na 2OSiO2 dan berbagai senyawa larut lainnya). Lakukan pembilasan Lumpur 2 x menggunakan air panas dan selalu buang air sisa bilasannya. 9. Setelah pembilasan kemungkinan angka pH masih berada di wilayah basa (pH di atas 7). Pada situasi ini sebagian besar bijih logam terbasahi oleh larutan ; artinya sifat dasarnya yang hydrophobic berubah menjadi hydrophilic (suka air), sehingga kemungkinan terjadinya amalgamasi dengan merkuri masih rendah. pH harus diturunkan hingga berada di kisaran netral
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
(pH = 7), dan penurunan ini sebaiknya menggunakan HCl atau H 2SO4 encer. Hentikan pemberian HCl atau H 2SO4 saat pH sudah mencapai nilai 7. 10. Bilas Lumpur dengan air tawar 2 x, buang sisa bilasannya. Selanjutnya masukkan Lumpur ke dalam tromol/glundung, campur dengan air hingga 2,5 dari volumenya. Masukkan merkuri secukupnya agar terjadi amalgamasi, masukkan 1-2 as penggerus berdiameter kecil sebagai pengaduk, lalu tutup dan putar tromol selama 1-2 jam. 11. Hentikan mesin pemutar, keluarkan seluruh Lumpur dari tromol dan pindahkan ke bak Lumpur. Pisahkan merkuri dari Lumpur dengan cara mengaduk bak sembari memasukkan air hingga Lumpur secara bertahap keluar dari bak. Bersihkan logam merkuri dari sisa-sisa Lumpur maupun pasirnya, selanjutnya masukkan ke dalam wadah baskom yang telah diberi bongkahan es. Penggunaan bongkahan es dimaksudkan untuk menurunkan suhu logam merkuri, agar logam semakin mengental. Makin kentalnya logam merkuri menyebabkan lapisan merkuri yang melapisi bijih emas semakin tebal, sehingga tingkat kemungkinan partikel emas halus lolos dari pori-pori kain semakin kecil akibat diameter totalnya meningkat akibat penambahan ketebalan logam merkuri yang mengamalgamasi. 12. Masukkan hasil perasan (kumpulan bijih emas yang telah teramalgamasi) ke dalam pipa logam yang pada ujungnya telah ditutup (buntu), tempatkan gumpalan logam di sisi yang ditutup. Miringkan pipa, dengan sisi logam berada di atas, panaskan dengan api bersuhu rendah pada sisi yang dihuni gumpalan logam. Pemanasan akan memuaikan logam merkuri, sehingga sebagian besar merkuri yang mengamalgamasi bijih emas akan keluar dari gumpalan, dan turun dan menyatu di sisi bawah dari pipa. Hasil dari proses ini adalah kumpulan bijih emas yang masih terikat satu dan lainnya oleh sedikit sisa-sisa logam merkuri. 13. Masukkan gumpalan ke dalam wadah kaca pyrex (sebaiknya kaca pyrex yang tahan panas), kemudian masukkan larutan HNO 3 encer 2M sebanyak 1x volume gumpalan logam, kemudian panaskan hingga reaksi berhenti. Hasil dari proses ini terjadi pelarutan sisa logam merkuri dan tembaga, bagian yang tak larut adlah bijih-bijih emas perak. Pisahkan bagian padat dari larutannya, bilas dan hasil bilasan campur dengan larutan yang dipisahkan. 14. Endapan dilebur dengan api hingga suhu 1100 0C, gunakan borax sebagai fluks dan pembersih logam cair. Hasil dari proses ini adalah cairan logam emas yang kemudian membeku jadi logam paduan emas dan perak setelah pembakaran dihentikan.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
VI. PROSES PENGHALUSAN BATUAN
VI.1. Pengolahan Skala Menengah-Besar Batuan emas sebelum dilarutkan harus dihaluskan terlebih dahulu hingga mendapatkan ukuran partikel < 0,05 mm. Tujuan penghalusan adalah untuk mempersingkat waktu pelarutan, memaksimalisasi hasil pelarutan dan membuka selubung logam dan meliberalisasi logam emas dari logam-logam pengotor. Penghalusan dimulai dari proses penghancuran menggunakan jaw crusher untuk memecah batuan menjadi ukuran kecil. Proses ini disebut “crushing”. Proses selanjutnya adalah “grinding” menggunakan alat yang disebut hammer mill . Hasil dari proses grinding adalah tepung batuan dengan ukuran 1 mm. Proses terakhir adalah “milling” menggunakan alat yang disebut ball mill . Hasil dari proses ini adalah partikel lumpur dengan ukuran diameter <0,05 mm.
Gambar VI.1. ��� �������
Gambar VI.2. Hammer Mill
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Dalam proses ekstraksi emas dari batuan, dibutuhkan partikel lumpur yang sangat halus agar materi logam yang terkandung menjadi mudah terlarutkan. Materi lumpur yang sangat halus juga membantu mengurangi bijih emas yang bersifat refraktory, sehingga makin memudahkan proses oksidasi terjadi.Batuan emas debu (emas ukuran halus) memerlukan proses liberalisasi untuk membebaskan partikel emas dari berbagai material pembungkus lainnya. Oleh karena itu, semakin halus ukuran partikel batuan maka akan semakin besar peluang partikel emas terbebaskan. Memang tak mungkin untuk meliberalisasi total seluruh partikel emas halus dari pengotornya melalui proses mekanik, akan tetapi penggerusan yang maksimum setidaknya membantu mempercepat proses ekstraksi berikutnya, yang merupakan proses hydrometallurgy. Ukuran yang paling tepat adalah mesh 300 ke atas, akan tetapi untuk mencapai keseragaman dalam ukuran merupakan suatu hal yang sangat sulit dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Disamping itu harus dipertimbangkan biaya operasional dan berbagai komponen penyusutan terhadap peralatan. Oleh karena itu ukuran minimum yang terbaik adalah minimum mesh 200, hingga mesh 400. Penghalusan maksimum diperoleh melalui proses milling yang menggunakan ball mill atau bisa juga menggunakan alat yang disebut rood mill. Untuk meringankan proses ini, dibutuhkan umpan yang juga sudah halus. Oleh karena itu tepung yang berasal dari hammer mill sebaiknya telah memiliki ukuran minimum mesh 50 sebelum dimasukkan ke ball mill. VI.2. Pengolahan Skala Kecil Pada pengolahan skala kecil dan menengah, biaya investasi peralatan mekanis pengolahan batuan menjadi masalah yang cukup serius. Pengolahan skala kecil memiliki keterbatasan dalam penyediaan bahan baku raw material, juga keterbatasan dalam segi permodalan. Jaw crusher hanya efektif digunakan untuk penghancuran bahan baku dalam jumlah yang relatif besar. Disamping itu banyak dari jaw crusher yang diperdagangkan
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
memiliki kualitas baja yang kurang baik sehingga mudah mengalami keausan, terutama jika digunakan untuk menghancurkan batuan berjenis silika. Hammer mill juga memiliki keterbatasan dalam skala kekerasan, terutama jika menggunakan bahan pemukul yang tak terbuat dari baja mangan. Sebagian besar peralatan yang diperdagangkan memiliki pemukul yang terbuat dari baja biasa, sehingga mudah mengalami keausan jika digunakan untuk menghaluskan batuan berjenis silika. Hammer mill dengan pemukul baja mangan juga memiliki harga yang tinggi, khususnya harga pemukul. Biasanya pengolahan tradisional menggunakan cara manual (menggunakan hammer/palu) untuk pemecah batu, sehingga biaya produksi mahal karena faktor upah tenaga kerja dan lama waktu proses pemecahan. Pada beberapa daerah, pemecah batu sudah mulai sedikit dimodernisasi dengan peralatan semi otomatis. Sebagian daerah di pulau Sulawesi menggunakan alat yang dinamakan “tumbuk-tumbuk”, yaitu suatu silinder baja pejal yang digerakkan oleh mesin secara vertikal. Baja pejal berfungsi menggantikan palu, dan mesin menggantikan tenaga manusia dalam menggerakkan palu. Baja digerakkan naik menggunakan roda gila dan turun secara gravitasi, sehingga tenaga pemukul berasal dari tenaga gravitasi baja pejal tersebut. Baja disusun paralel 3-6 baris, dengan pergerakan yang bergiliran satu dan lainnya. Bahan baku batuan ditempatkan di landasan, dan hancur ketika bertumbukan dengan as baja pejal tersebut. Sayangnya metode ini pun masih belum efisien karena masih membutuhkan tenaga manusia yang selalu mengisi batu satu persatu pada landasan, dan mengambil batu yang telah terhancurkan secara manual. Metode “tumbuk-tumbuk” ini belum tepat untuk mengolah bahan raw material dalam jumlah yang banyak, karena terkendala oleh proses manual dan output yang kecil. Sebagian daerah lainnya memodifikasi tabung baja besar yang dibentuk seperti mesin tromol (glundung). Pada bagian dalam diisi 1-2 batang as baja berdiameter besar (3-5 inci), yang tetap (permanen) berada dalam tabung sebelum dan setelah proses penghancuran dilakukan. Tabung berukuran diameter 70-100 cm, panjang 11,25 meter. Tabung digerakkan berputar agar as baja yang berposisi di bagian dalam bekerja menghancurkan batuan. Penggerak dapat menggunakan mesin diesel, atau dapat juga menggunakan motor listrik. Kapasitas alat ini mampu menghancurkan 600 kg batuan menjadi pasir dalam sekali proses, yang berlangsung selama 2 jam. Alat seperti ini mulai banyak digunakan, terutama di Sulawesi Utara. Dari berbagai pengalaman, penggunaan alat ini cukup efektif untuk pengolahan batuan emas 1-2 ton per hari. Pasir yang dihasilkan dari penghancuran batuan tersebut selanjutnya dikeluarkan dari tabung dan ditempatkan dalam bak pasir di bagian lantai. Pasir kemudian dimuat ke dalam tromol/glundung untuk dihaluskan hingga menjadi lumpur. Proses penghalusan umumnya berlangsung selama minimum 4 jam, agar hasil maksimal bisa didapatkan. Untuk memperoleh penghalusan maksimum, sebaiknya volume ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
pasir yang dimasukkan maksimum ¼ dari volume tromol/glundung. Air kemudian diisi hingga 70% dari volume tabung agar lumpur tak terlalu kental. Kurangnya jumlah air berpengaruh terhadap keseragaman ukuran partikel lumpur, sehingga sebaiknya air yang dimasukkan lebih baik berlebih agar lumpur menjadi relatif encer. Makin encer lumpur, makin seragam dan halus lumpur yang terbentuk dari hasil penggerusan tromol/glundung. Pada batuan yang mengandung pertikel logam emas sangat halus (emas debu), penghalusan adalah bagian dari proses yang sangat penting. Sebagian dari butiran emas debu terbungkus secara permanen oleh senyawa silica sehingga tak dapat diliberalisasi oleh proses oksidasi. Agar partikel emas jenis ini terbebaskan oleh pembungkusnya, sebaiknya proses penghalusan dilakukan dengan baik dan teliti.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
VII. PENGUJIAN MINERAL EMAS
Pengujian material batuan atau lumpur sangat perlu dilakukan sebelum proses produksi. Pengujian, disamping untuk mengetahui jumlah logam emas di dalam lumpur, juga dimaksudkan untuk mengetahui kandungan logam-logam pengikut (logam pengotor) di dalam lumpur, sehingga dapat ditentukan jenis oksidator apa yang tepat terhadap lumpur atau batuan tersebut. Beberapa jenis logam yang penting dideteksi sebelum memutuskan mengolah batuan atau lumpur antara lain logam emas, perak, tembaga, merkuri, timbal, palladium, molybdenum, dan zinc. Sedangkan unsur non logam adalah karbon bebas di dalam batuan. Pengujian deteksi awal logam-logam dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan alat yang relatif sederhana pula, seperti penjelasan pada sub-bab VII.A berikut ini. Langkah pertama, batuan digerus halus hingga berukuran minimum mesh 150, ambil sampel 5 kg. Sampel digunakan untuk pengujian logam-logam pengotor, dan pengujian kandungan emas dan perak. VII.1. Pengujian Kandungan Logam Pengotor Pada sub-bagian ini, pengujian logam pengotor dilakukan menggunakan metode analisa kualitatif dan kuantitatif pada logam-logam pengotor yang umum ditemukan. 1. Sampel dipanggang (disangrai) diatas api hingga membara berwarna merah. Tujuan pemanggangan adalah untuk mengoksidasi tepung batu secara cepat, proses desulfurisasi terhadap mineral-mineral refraktory, dan proses oksidasi karbon alami agar menguap dari sampel. 2. Kemudian tempatkan sampel di dalam ember plastik ukuran volume 20 – 30 liter. Masukkan 300 ml larutan HNO3 pekat 68% bersama 3 liter air ke dalam ember; aduk 1 menit. Selanjutnya masukkan sampel tepung batu 5 kg (yang telah dipanggang / sangrai) ke dalam ember secara bertahap, aduk hingga menjadi lumpur selama 5 menit, kemudian masukkan 100 ml H 2O2 50% secara bertahap (hati-hati dalam penuangan, jika dilakukan sekaligus akan mengakibatkan reaksi yang berlebihan dan dapat menimbulkan gejolak dan panas yang berlebihan) dan aduk kembali selama 10 menit (gunakan masker selama proses ini) kemudian diamkan selama 30 menit. Ulangi kembali pengadukan selama 15 menit, lalu diamkan kembali selama 30 menit. 3. Pisahkan endapan dari larutannya dengan cara penyaringan 4. menggunakan kertas saring/ kain halus mesh 250 atau lebih. Lakukan pembilasan lumpur yang telah diperas dengan air bersih, kemudian saring
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
kembali. Tempatkan larutan yang telah bening ke dalam wadah kaca/plastik yang bersih. 5. Masukkan HCl encer (pengenceran 4x dengan air) ke dalam larutan sebanyak 5 ml, atau garam dapur yang belum beryodium secukupnya. Jika terbentuk suspensi endapan putih seperti kapur, lanjutkan pemberian HCl hingga tak terjadi lagi endapan baru. Jika terjadi endapan putih, kemungkinan lumpur mengandung mineral logam timbal, merkuri, dan kemungkinan sedikit logam perak. Lakukan penyaringan endapan putih dan pisahkan dari larutan. Lebur endapan putih menggunakan caustic soda di dalam krus (kowi/kana/kemek) hingga mencair, lalu dinginkan. Jika terdapat bintik-bintik logam berwarna putih perak kebiruan, berarti lumpur mengandung sejumlah besar logam timbal. Jika kandungan logam timbal dalam lumpur di atas 1%, proses pembersihan perlu dilakukan sebelum melakukan proses leaching (jika ekstraksi larutan menggunakan karbon aktif). Proses pembersihan dilakukan setelah proses oksidasi, yaitu dengan cara mengendapkan lumpur di dalam reaktor dan kemudian menguras larutan bening yang berada di atas permukaan lumpur. Pada batuan yang memiliki kandungan logam timbal dalam jumlah yang relative besar, oksidator yang tepat digunakan dalam proses oksidasi adalah asam nitrat. 6. Jika larutan berwarna hijau kebiruan, ada kemungkinan lumpur juga mengandung logam tembaga dalam jumlah yang signifikan. Masukkan garam sodium sulphide Na 2S ke dalam larutan secara bertahap. Jika terbentuk endapan hitam, tambahkan terus Na 2S hingga tak terbentuk endapan baru lagi. Saring dan pisahkan endapan darji larutannya. Cuci endapan dengan larutan HCl encer (pengenceran 4x), kemudian keringkan. Selanjutnya lebur endapan dengan nyala api di dalam krus, gunakan caustic soda sebagai fluks. Jika terbentuk logam berwarna merah, maka lumpur mengandung sejumlah tertentu logam tembaga. Timbang butiran logam, bandingkan dengan berat lumpur yang diproses, sehingga dapat diketahui persentase logam tembaga terhadap batuan. Untuk batuan yang mengandung tembaga di atas 0,025% (di atas 250 gram per ton), proses leaching yang menggunakan karbon aktif sebagai ekstraktor tanpa terlebih dahulu melakukan treatmen terhadap tembaga akan sangat merugikan dalam hal penggunaan sianida dan karbon. Oleh karena itu setelah proses oksidasi perlu dilakukan proses pengurasan cairan (seperti halnya yang dilakukan pada nomor (4) di atau untuk jenis batuan yang memiliki kandungan tembaga cukup tinggi, oksidator yang tepat digunakan adalah asam nitrat, jika memang larutan hasil oksidasi dikuras sebanyak mungkin. Akan tetapi jika kandungan tembaga cukup kecil, penggunaan oksidator asam klorida, atau hydrogen peroksida, atau timbal nitrat menjadi lebih tepat. 7. Batuan yang mengandung logam pengotor cukup tinggi pun dapat dileaching tanpa proses pengurasan cairan setelah oksidasi, hal ini dapat dilakukan jika
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
proses ekstraksi tidak menggunakan karbon, akan tetapi ekstraksi dilakukan menggunakan proses elektrowinning. VII.2. Pengujian Kandungan Emas dan Perak VII.2.1. Pengujian Terukur. Lumpur ampas dari pengujian sub-bab VII.1. mengandung logam emas dan perak, yang akan diuji pada sub-bagian ini. Pengujian emas dan perak adalah suatu proses leaching mikro menggunakan kombinasi air raja, sianida, dan thiosulfat yang dipercepat. Langkah-langkah pengujian sebagai berikut : Proses pelarutan silika. 1. Lumpur dari proses VII.1. kemudian dimasukkan dalam ember plastik, campur dengan Na2CO3 secara bertahap sembari dilakukan pengecekan pH lumpur. Hentikan penambahan Na2CO3 jika pH telah mencapai 7. Tiriskan cairan dari lumpur. 2. Pindahkan lumpur ke media panci stainless steel, tambahkan 500 gram Na2CO3 dan air secukupnya, aduk hingga merata. 3. Rebus lumpur di atas api selama 10 menit. Setelah perebusan biarkan lumpur mengendap sempurna, hingga cairan di atasnya menjadi jernih. 4. Buang cairan, bilas dan buang kembali cairan hasil bilasan yang telah jernih. Proses ini bertujuan melarutkan silika yang sebagian masih melapisi sebagian permukaan bijih emas, menjadi larutan water glass Na2OSiO2. Proses pelarutan dengan air raja. 1. Pindahkan lumpur ke wadah pyrex (beaker glass misalnya, atau panci pyrex tahan api yang biasa digunakan untuk memasak). Gunakan beberapa beaker glass atau panci pyrex agar sampel bisa dikerjakan dengan cepat. Masukkan HCl encer, aduk merata, cek pH hingga mencapai angka 7. Buang cairan jernih, bilas dan buang kembali cairannya. 2. Masukkan air raja ke dalam wadah pyrex sebanyak volume lumpur, kemudian lakukan pemanasan di atas api sembari diaduk secara berkala. Pemanasan sebaiknya dilakukan selama minimum 15 menit, untuk memastikan sebagian besar bijih emas telah terlarut (jangan gunakan pemanas dari gas selama proses ini, karena sangat beresiko terhadap kebakaran akibat korosi uap/cairan air raja yang dapat dengan mudah melubangi pipa gas). Jangan menggunakan media pengaduk yang terbuat dari logam pada proses ini, meskipun terbuat dari stainless steel ! Setelah pemanasan (hingga mendidih), biarkan lumpur mengendap sempurna, hingga cairan di atasnya menjadi jernih. Hindarkan mencium bau uap air raja selama proses ini, dan sebaiknya gunakan penutup wadah pyrex agar uap/gas tak keluar selama proses perebusan berlangsung.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Lengkapi................. 3. Naikkan pH ke angka 10,5 dengan memasukkan caustic soda NaOH (soda api). 5. Masukkan 25 gram sodium sianida NaCN, lakukan pengadukan selama 1 jam. Penggunaan NaCN pada proses ini dalam kuantitas yang berlebih agar proses pelarutan dapat berlangsung lebih cepat. 6. Masukkan larutan H2O2 50% sebanyak 5 ml, lanjutkan pengadukan selama 30 menit. 7. Masukkan 50 gram karbon aktif ke reaktor, lanjutkan pengadukan selama 1 jam. 8. Masukkan kembali NaCN sebanyak 5 gram dan karbon sebanyak 25 gram, lakukan kembali pengadukan selama 2 jam. 9. Saring lumpur di atas saringan kasa stainless (lumpur akan lolos dan karbon tertahan oleh saringan). Cuci bersih karbon dari lumpur. 10. Tempatkan karbon yang telah dicuci tersebut di atas saringan kasa baja stainless mesh 24-30, lakukan pembakaran dalam tungku bakar mini (dapat menggunakan kaleng biscuit) hingga menjadi debu logam. Debu berwarna coklat kemerahan mengindikasikan bahwa batuan mengandung logam emas berkadar tinggi. Debu berwarna kuning kecoklatan mengindikasikan kadar emas yang rendah (kadar perak yang tinggi). Debu berwarna putih abu-abu mengindikasikan kandungan logam di dalam lumpur sangat rendah. 11. Masukkan debu karbon ke dalam wadah peleburan keramik (krus/kowi), campur dengan tepung borax. Lakukan pembakaran menggunakan alat pelebur bersuhu tinggi (burner). Hasil peleburan diperoleh berbagai kemungkinan : 1.terbentuk lapisan logam emas berwarna kuning, 2.terbentuk lapisan/butiran logam emas berkadar rendah (warna keperakan), 3.tak terdeteksi adanya unsur logam. 12. Haluskan krus menggunakan penggerus hingga berukuran mesh 150, campur dengan air dan logam merkuri. Butiran emas akan teramalgamasi dan dapat disatukan dengan cara memeras cairan logam merkuri menggunakan kain berpori halus. Hasil amalgamasi kemudian dilebur sehingga membentuk butiran emas. 13. Timbang butiran emas tersebut. Hasil ekstraksi menggunakan metode ini hanya menghasilkan 50% dari kandungan emas sebenarnya di dalam lumpur. Oleh karena itu untuk memperoleh hasil terukur, maka hasil yang tertimbang harus dikali 2 untuk menghitung hasil sebenarnya. 14. Sebagai contoh, jika hasil yang diperoleh dari sampel lumpur 5 kg adalah logam emas seberat 200 mg, maka hasil nyata dalam proses leaching adalah 400 mg. Jika dari lumpur sebanyak 5 kg diperoleh emas sebanyak 400 mg, maka dalam 1 ton lumpur mengandung 80 gram logam paduan emas perak. 15. Lakukan pemisahan logam dan pemurnian emas, timbang hasil logam emasnya dan bandingkan dengan 1 ton material batuan. Dari perhitungan ini diperoleh prediksi yang mendekati hasil nyata, sehingga kita sudah dapat ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
memperkirakan hasil yang diperoleh jika batuan tersebut diproses dengan reaktor.
Gambar VII.1. Karbon Aktif
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Gambar VII.2. Proses peleburan sampel
Proses (10) hingga (13) dapat digantikan dengan proses yang lebih efisien dan murah, yaitu ekstraksi menggunakan system elektrowinning sebagai berikut : 1. Gerus debu logam hingga halus (mesh 100) 2. Masukkan debu logam yang telah halus ke dalam beaker glass 2000 ml, campur dengan air hingga mencapai ukuran 1800 ml. 3. Masukkan caustic soda untuk menaikkan pH menuju angka 10, aduk secara merata. 4. Masukkan 10 gram NaCN, aduk isi beaker glass menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan sedang, selama 60 menit. 5. Turunkan kecepatan hingga minimum, pasang 2 elektroda lempeng tembaga pada ke-dua sisi yang berbeda. Hubungkan masing-masing elektroda dengan sumber tegangan listrik searah dengan pengaturan tegangan yang konstan pada angka 3,8 volt. 6. Emas yang larut akan tereduksi pada lempeng katoda (kutub negatif), membentuk lapisan emas dan perak yang menutupi seluruh permukaan lempeng tembaga. Lakukan elektrolisa selama 10 menit. 7. Setelah 10 menit, turunkan sedikit permukaan lempeng katoda, untuk memastikan apakah semua logam emas telah tereduksi, atau masih ada yang tersisa pada larutan. Jika pada permukaan lempeng yang diturunkan terbentuk lapisan emas/perak, maka elektrolisa belum selesai. Jika tak terbentuk lapisan emas/perak, dapat dipastikan bahwa proses elektrolisa telah berlangsung dengan sempurna. 8. Larutkan lempeng katoda tipis dengan larutan HNO 3 pekat, bilamana perlu lakukan perebusan dalam panci stainless hingga seluruh logam tembaga ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
dan perak melarut. Sisa dari proses ini berupa tepung emas murni yang mengendap di dasar panci. 9. Lebur tepung emas di dalam krus, gunakan tepung borax sebagai fluks dalam proses peleburan. Hasilnya adalah logam emas murni kadar 99,99%. 10. Timbang logam emas, bandingkan dengan berat lumpur untuk mendapatkan nilai kandungan emas dalam tiap ton material. Ekstraksi debu logam pada proses-proses di atas dapat juga dilakukan dengan cara kuantitatif sebagai berikut : 1. Rebus debu logam menggunakan larutan HNO 3 pekat di dalam panci stainless selama 15 menit, kemudian dinginkan dan endapkan. 2. Pisahkan larutan dari endapannya dengan cara penirisan dan penyaringan (gunakan kertas saring). Larutan terdiri dari logam perak, tembaga dan sebagainya yang larut dalam senyawa kimia asam nitrat. 3. Masukkan HCl encer ke dalam larutan agar logam perak mengendap dalam bentuk garam perak klorida AgCl. Lebur perak klorida di dalam krus, gunakan caustic soda sebagai fluks dan reduktor. Hasilnya adalah logam perak dengan kadar kemurnian 99,99%. Timbang logam perak dan bandingkan dengan berat batuan, untuk memperoleh persentase logam perak per ton batuan. 4. Pindahkan endapan dari panci ke dalam beaker glass, masukkan air raja (aquaregia) ke dalam beaker glass, aduk menggunakan magnetic stirrer selama 3 jam. Larutan akan mengental dan berwarna merah kecoklatan (warna larutan emas klorida yang khas). 5. Saring larutan dari endapannya, bilas kembali endapan dengan air, saring dan satukan air bilasan dengan larutan emas. Setelah proses ini, maka endapan sudah tak mengandung logam lagi. 6. Rebus larutan emas hingga mengental dan hampir membentuk Kristal. Sisasisa larutan asam nitrat dan HCl akan menguap pada proses ini, sehingga tak menyulitkan pada proses selanjutnya. Wadah logam tak diijinkan pada proses ini, oleh karena itu gunakan wadah yang terbuat dari gelas pyrex tahan api. 7. Untuk mengendapkan emas dari larutannya, kita dapat menggunakan garam besi III klorida, atau dapat juga menggunakan logam tembaga sebagai reduktor, atau dapat juga dilakukan elektrolisis terhadap larutan emas. 8. Tepung emas yang diperoleh dari hasil proses nomor (6) kemudian dimasukkan ke dalam krus, lebur menggunakan borax atau caustic soda sebagai fluks. 9. Timbang berat emas (kadar 99,99%), bandingkan dengan berat lumpur awalnya agar dapat dihitung persentase atau ppm logam emas dalam 1 ton batuan. B2. Pengujian Indikasi.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Jika yang diinginkan hanya untuk mengetahui indikasi adanya kandungan emas di dalam batuan/lumpur tanpa perlu menghitung secara akurat persentasenya di dalam batuan, maka pengujian dapat dilakukan dengan cara lebih sederhana lagi, seperti berikut ini : 1. Ambil material yang telah dihaluskan sebanyak lebih kurang 500 mg, masukkan ke dalam botol air mineral ukuran 1500 ml, campur dengan air hingga mencapai ukuran 2/3 dari volume botol. Kocok campuran hingga menjadi lumpur. 2. Masukkan 5 ml larutan HCl pekat, kocok kembali selama 15 menit. 3. Masukkan 1 sendok makan caustic soda, kocok selama 5 menit. 4. Masukkan 7 gram (1,5 butir) NaCN, kocok selama 30 menit. 5. Masukkan 0,5-1 sendok makan karbon aktif, kocok selama 1 jam. 6. Saring karbon menggunakan screen baja mesh 24, cuci bersih dengan air tawar. 7. Bakar karbon di atas kompor elpiji hingga menjadi abu logam. Ciri-ciri karbon telah terbakar habis adalah jika sudah tak ada lagi bara api pada karbon. 8. Masukkan debu logam ke dalam krus keramik, campur dengan tepung borax, kemudian lebur dengan api suhu tinggi hingga mencair. 9. Dinginkan krus, kemudian amati secara visual lapisan logam di permukaan krus. Jika mengandung logam emas dalam jumlah yang signifikan, maka akan terlihat dengan jelas logamnya oleh mata telanjang. Namun jika kandungan logam dalam jumlah yang biasa saja (antara 5-10 gram per ton), akan sedikit sulit melihat logam, kecuali dengan bantuan mikroskop mineral. 10. Jika hasil pengamatan secara visual memperlihatkan logam yang berwarna dominan tembaga (merah), dapat dipastikan bahwa kandungan logam pengotor cukup tinggi, khususnya menyangkut kehadiran logam tembaga di dalam batuan.
Gambar VII.3. Wadah Sederhana Pengujian Indikasi Emas
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Gambar VII.4. Hasil Leburan Sampel perbesaran 100x
Gambar VII.5. Mikroskop mini
VIII. KARBON AKTIF ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
VIII.1. Bahan Baku Karbon aktif (arang aktif) dibuat dari arang yang diproses sedemikian rupa hingga memiliki rongga-rongga yang yang sangat banyak (porous/pori-pori), sehingga mampu menyerap berbagai material/bahan kimia. Karbon yang diaktifkan memiliki bentangan rongga yang sangat luas, hingga 500 m 2 dalam tiap gramnya. Karbon aktif (activated carbon) dapat dibuat dari berbagai jenis arang, dari arang yang berasal dari tumbuhan, arang batubara, maupun arang yang berasal dari sisa pemurnian minyak bumi. Karbon yang dibuat dari tumbuhan memiliki berbagai keunggulan dibanding karbon aktif dari batubara atau residu pemurnian minyak, karena rendahnya kadar belerang dan unsur besi yang terkandung, dan jumlah rongga yang jauh lebih banyak pada berat yang sama. Karbon aktif dari tumbuhan juga memiliki keunggulan dalam kekerasan dan tingkat ketahanan terhadap erosi. Kayu-kayu keras seperti kayu jati, kayu ulin, batok kelapa, cangkang kelapa sawit, adalah bahan-bahan yang sangat bagus digunakan sebagai bahan baku karbon aktif. Dari beberapa pengujian yang dilakukan, jenis bahan baku terbaik untuk pembuatan karbon aktif adalah batok kelapa dan cangkang kelapa sawit. Kayukayuan memiliki berbagai kelemahan, antara lain tingkat daya serap yang lebih rendah, kekerasan yang kurang baik, rentan terhadap erosi. VIII.2. Karbonisasi Proses pembuatan karbon aktif dari bahan tumbuhan terdiri dari proses karbonisasi (pembuatan arang biasa), dan proses aktifasi karbon (membuka ruang-ruang di dalam karbon). Pada bagian ini kita hanya membahas pembuatan karbon dari tempurung kelapa, karena memiliki kualitas yang sangat baik sebagai karbon aktif. Karbonisasi dilakukan dengan memanaskan tempurung kelapa antara suhu 500 0C – 9000C agar unsur-unsur selain karbon menguap dari permukaan batok kelapa tersebut. Pemanasan dalam udara terbuka membuka peluang ikut teroksidasinya karbon menjadi gas CO 2 (peristiwa pembakaran), sehingga pembentukan karbon sangat sulit dilakukan. Agar proses pembakaran tak terjadi pada saat peristiwa karbonisasi, maka perlu dilakukan pengusiran udara (O 2) dari dalam ruang bakar. Pengisolasian dari udara dapat dilakukan dengan 2 cara : menutup segala celah udara dengan sangat rapat agar udara luar tak dapat memasuki ruang panas, atau menyuntik gas nitrogen ke dalam ruang pemanas yang juga harus tertutup rapat dari udara luar. Selama proses karbonisasi, unsur air, polymer minyak kelapa, senyawa-senyawa mineral, dan unsur-unsur lainnya mengalami penguapan dan perusakan struktur kimianya. Air akan menguap, polymer mengalami proses depolimerisasi, senyawa karbon tereduksi menjadi karbon dan berbagai jenis gas, senyawa besi terdekomposisi menjadi oksida tak larut Fe2O3. Pada awal proses, tekanan ruang karbon akan naik. Asap putih keluar dalam jumlah yang besar pada proses awal ini. Volume asap lambat laun berkurang seiring perubahan warna dari tempurung kelapa, dari coklat menuju hitam. Setelah asap putih berkurang, penguapan dan depolimerisasi minyak mulai terlihat. Pada bagian ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
dinding reaktor terbentuk lapisan minyak yang hitam kecoklatan dan lengket (biasa disebut ter/aspal), dan aroma minyak kelapa mulai tercium keluar. Proses karbonisasi harus berjalan sempurna agar kandungan zat abu dapat menguap sebanyak mungkin, demikian juga dengan proses dekomposisi senyawasenyawa mineral yang terkandung dalam tempurung kelapa. Jika karbonisasi belum sempurna, ada kemungkinan proses aktifasi tak menghasilkan karbon aktif yang baik. Hasil karbonisasi adalah naiknya persentase unsur karbon dalam material hasil. Senyawa-senyawa karbon dari material asal (tempurung) tereduksi menjadi karbon pada proses ini. Kandungan unsur-unsur pengotor masih cukup banyak pada karbon hasil pemanasan ini, seperti unsur abu, senyawa-senyawa logam, dan ter. Secara fisik bentuk material juga mengalami perubahan, terutama warna dan fleksibilitas. Warna berubah menjadi hitam (arang), dan kelenturan jauh berkurang. Karbonisasi yang baik menghasilkan arang yang lebih padat dan berwarna sedikit mengkilap. Karbonisasi yang kurang baik menghasilkan arang yang kusam dengan berat jenis yang lebih ringan. VIII.3. Aktifasi Proses aktifasi secara fisika : bahan karbon dipanaskan hingga 700 0C – 12000C, sambil dilakukan oksidasi oleh uap air, atau karbon dioksida, atau gas nitrogen. Proses aktifasi secara fisika berlangsung relatif lama (6-12 jam), makin lama akan menghasilkan karbon aktif dengan daya serap yang makin baik. Proses aktifasi secara kimia bertujuan menurunkan suhu pemanasan, memperbaiki tingkat daya serap karbon, dan memperbaiki kekerasan karbon. Aktifasi terbaik secara kimia menggunakan garam zinc II klorida, yang direndam bersama karbon selama 24 jam. Aktifasi menggunakan bahan kimia sebagai katalis. Suhu aktifasi maksimum 7000C. Sebelum aktifasi pori-pori karbon masih sangat halus, sehingga perlu diperluas agar mampu menyerap berbagai ukuran molekul. Proses aktifasi secara kimia sangat menguntungkan dibanding aktifasi secara fiska, terutama menyangkut penggunaan energi pada saat proses aktifasi berlangsung. Aktifasi secara fisika berlangsung pada suhu yang sangat tinggi (hingga 1200 0C) dan dalam rentang waktu yang relatif lebih lama (6-12 jam). Pada bagian ini kita hanya membahas proses aktifasi menggunakan bahan kimia sebagai katalis, karena lebih menguntungkan dari biaya produksi dan kualitas karbon aktif yang dihasilkan lebih baik dibanding karbon aktif hasil proses fisika. Proses Aktifasi Aktifasi secara kimia bisa menggunakan berbagai bahan kimia, namun kita akan menitikberatkan pada zinc klorida ZnCl2 sebagai katalis, karena telah terbukti hasilnya jauh lebih baik dari penggunaan bahan kimia jenis lainnya. Zinc Klorida dapat dibeli dengan mudah di hampir setiap penyalur bahan kimia. Bahan ini pun dapat dibuat dengan mudah dari logam zinc (Zn) atau dari tepung oksida zinc (ZnO), menggunakan HCl sebagai pelarut. 1 kg HCl pekat (32%) mampu melarutkan hingga 1 kg tepung logam zinc menjadi senyawa larut ZnCl2. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Ada baiknya melebihkan unsur zinc dalam proses pelarutan, agar diperoleh larutan garam ZnCl2 yang jenuh dan pH yang mendekati 7. Proses aktifasi berlangsung dalam beberapa tahap, yaitu : Karbon hasil karbonisasi direndam dalam larutan zinc klorida (ZnCl2) selama 24 jam. Garam ZnCl2 sebanyak 10 gram/liter air, tempatkan dalam wadah plastik. Sebaiknya gunakan air suling (aquadest) selama proses ini, atau setidaknya air yang memiliki kandungan mineral larut yang realtif rendah. Penuhi cairan dengan karbon, namun sisakan bagian atas tetap harus tergenang. Tiriskan karbon dari sisa air, kemudian pindahkan ke tabung reaktor tegak untuk dilakukan proses pemanasan. Reaktor bisa terbuat dari bahan stainless steel jika bagian dalam tidak dilapisi oleh bahan penahan panas (pemanasan menggunakan api yang membakar tabung dari luar. Reaktor yang baik menggunakan bahan penahan panas di bagian dalamnya, bata tahan api misalnya, seperti proses pembuatan furnace. Pada reaktor ini, pemanasan dilakukan langsung dari bagian dalam, menggunakan pemanas elemen listrik, dan tabung dapat dibuat dari bahan baja saja. 0 Pemanasan dilakukan selama 5 jam, dengan laju kenaikan suhu 4 C/menit. Alirkan gas nitrogen ke dalam reaktor selama proses aktifasi, agar tak terjadi pembakaran karbon oleh udara. Pada proses ini garam ZnCl2 akan keluar dari pori-pori karbon akibat proses thermodinamika, dan posisinya digantikan oleh gas N2 yang terserap ke dalam rongga karbon. Pada saat suhu mencapai puncaknya (700 0C), pertahankan keseimbangan suhu selama 3 jam. Selanjutnya hentikan pemanasan, dan biarkan pendinginan secara alami, sembari dialirkan gas nitrogen. Setelah mencapai suhu kamar, masukkan karbon ke dalam larutan HCl encer 1M (pengenceran menggunakan air suling/aquadest dalam kondisi panas), biarkan selama maksimum 5 menit. Selanjutnya tiriskan karbon, bilas menggunakan air dingin (aquadest), cek pH hingga netral (6,5-7). 0 0 Selanjutnya keringkan karbon pada suhu 110 -120 C selama 24 jam, sebaiknya alirkan juga gas N2 secara berkala pada proses ini. Lakukan pendinginan secara alamiah, sembari tetap mempertahankan kehadiran gas N2 dalam ruang karbon.
Hasil proses aktifasi adalah karbon aktif yang memiliki rongga-rongga cukup banyak. Angka IN (iodine number) meningkat hingga 800-1200 mg/g, demikian juga dengan MN (molasses number). Secara fisik karbon masih memiliki berbagai ukuran, mulai dari yang terhalus (tepung karbon) hingga keping-keping karbon. Keping karbon selanjutnya ditumbuk menggunakan crusher untuk memperkecil ukurannya. Hasil crushing selanjutnya diayak untuk mengelompokkan masingmasing jenis karbon. Karbon halus, adalah partikel arang yang lolos dari saringan mesh 25-30. Terhadap material karbon halus ini, lakukan penggerusan hingga memperoleh ukuran yang seragam (tepung karbon). PAC tak tepat digunakan sebagai adsorben pada proses pengolahan emas jika menggunakan metoda CIP, karena tak terpisahkan dari lumpur yang memiliki ukuran relatif sama besar, namun sangat baik untuk mengekstrak ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
emas dari larutan beningnya. Tepung karbon (PAC = Powdered Activated Carbon) banyak digunakan sebagai filter udara, filter air, dan banyak penggunaan lainnya. Tepung karbon aktif memiliki tingkat serap yang lebih tinggi dibanding karbon jenis granular, karena tingkat oksidasi yang dialami lebih baik dibanding jenis granular. Karbon kasar (GAC) cocok digunakan untuk proses ekstraksi emas menggunakan metode CIP (Carbon In Pulp = karbon yang dicampur dengan lumpur cair). GAC memiliki ukuran yang besar dan mudah dipisahkan dari partikel halus, utamanya debu dan lumpur. Proses pengolahan emas umumnya menggunakan GAC karena mudah dalam penanganan dibanding PAC. Dalam kasus tertentu, penggunaan PAC lebih menguntungkan, khusunya berkaitan dengan sistem heap/dump leaching yang menghasilkan larutan bening bebas dari lumpur. GAC memiliki daya serap yang lebih rendah, dan luas bentang permukaannya lebih kecil dibanding PAC. Biasanya karbon berjenis granular mengalami abrasi (pengikisan akibat proses aktifasi) dan menghasilkan sebagian tepung karbon, disamping hasil utama karbon granular. Untuk pemakaian dalam pengolahan emas yang menggunakan metoda CIP, karbon halus ini harus dipisahkan terlebih dahulu dari butiran karbon menggunakan air bersih atau semprotan udara bertekanan, kemudian menyaring butir karbon menggunakan saringan mesh 30. Pemisahan diharuskan karena daya serap karbon halus jauh lebih besar dan tak mampu dipisahkan kembali dari lumpur (pada saat pengolahan lumpur emas). Iodine Number (IN) Karbon menyerap dengan sangat baik unsur iodine, sehingga daya serap terhadap iodine menjadi patokan utama untuk menentukan kualitas suatu karbon aktif. Kebanyakan karbon aktif mampu menyerap molekul-molekul berukuran kecil, seperti molekul iodine. Ukuran daya serap iodine adalah miligram iodine/gram karbon aktif. Angka 300 iodine number = 300 mg iodine/1 gram karbon aktif, angka 1100 iodine number = 1100 mg iodine terserap oleh 1 gram karbon aktif (1,1 gram iodine berhasil diserap oleh 1 gram karbon aktif. Iodine memiliki ukuran molekul yang relatif halus, sehingga mampu terserap dengan baik oleh karbon. Ukuran rongga halus karbon aktif antara 0 – 20 A 0, atau ukuran diameter 0 – 2 nanometer (nm). Ukuran daya serap terhadap molekul emas tentu berbeda dengan iodine number, meskipun secara umum peningkatan iodine number secara signifikan akan meningkatkan jumlah rongga ukuran medium dan besar. Molekul emas memiliki ukuran yang cukup besar, sehingga memerlukan ukuran rongga yang lebih besar pula. Oleh karena itu pertimbangan angka iodine number saja belum cukup untuk menentukan kualitas suatu karbon aktif dalam penyerapan mineral emas. Molasses Number Molasses Number adalah kemampuan suatu karbon aktif menyerap molekul berukuran sedang (lebih besar dari 20 A 0 atau lebih besar dari 2 nm). Nilai molasses number yang baik antara 95 – 600 (95 mg – 600 mg molekul ukuran menengah / 1 gram karbon aktif). Pengujian sederhana tingkat penyerapan molekul besar dapat dilakukan terhadap larutan gula atau larutan tembaga sulfat CuSO4. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Karbon yang memiliki banyak rongga besar dapat menyerap molekul gula dengan sangat baik. Dengan menggunakan ukuran berat karbon yang tepat dan berat gula yang akan diserap, maka angka molasses number dapat ditentukan setelah proses penyarapan selama 6 jam dilakukan. Pengujian sederhana tingkat serapan karbon aktif terhadap molekul besar dapat juga dilakukan menggunakan larutan CuSO4. Molekul CuSO4 memiliki ukuran yang relatif besar, sehingga sangat tepat untuk menguji kualitas karbon aktif yang akan digunakan untuk proses ekstraksi mineral emas. Masukkan sejumlah karbon yang telah ditimbang beratnya ke dalam media larutan CuSO4 yang berwarna biru. Jika ingin membandingkan dengan karbon produk lain, lakukan pengujian secara paralel, dengan berat karbon sama dan berat CuSO4 juga sama. Selama proses pengujian, karbon akan menyerap garam copper sulfate (CuSO4), dan pada akhirnya larutan akan berubah warna menjadi bening. Perubahan warna selama pengujian berlangsung secara linier, lakukan pengujian selama 6 jam. Karbon aktif yang lebih baik akan menyerap copper sulfat lebih banyak dari karbon yang berkualitas kurang baik. Karbon aktif tak menyerap dengan baik beberapa senyawa, seperti : gas CO2, gas CO, alkohol, glikol, asam dan basa kuat, logam-logam dan senyawa anorganiknya (senyawa lithium, besi, timbal, arsen, fluorine, dan borax). Tingkat serapan yag kurang baik tersebut dikarenakan jenis molekul yang terserap berukuran sangat kecil (seperti asam-asam anorganik) atau sangat besar (senyawa timbal, borax, dsb). Berat jenis juga menjadi ukuran kualitas suatu karbon aktif. Berat jenis yang makin besar memiliki kualitas yang makin baik, demikian juga sebaliknya.
Gambar Karbon Hasil Karbonisasi
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Dari gambar di atas, hasil karbonisasi menampilkan struktur atom karbon yang sangat rapat, sehingga hanya tersedia rongga-rongga halus dalam jumlah yang relatif kecil. Pada dasarnya peristiwa karbonisasi saja pun sudah membuka pori-pori karbon, namun rongga yang terbentuk masih berukuran kecil dan jumlahnya pun belum maksimal. Daya serap iodine pada karbon hasil karbonisasi masih rendah, dibawah 100 mg / 1 gram karbon, sehingga belum layak disebut sebagai karbon aktif. Aktifasi sebenarnya bertujuan membuka dan memperbesar volume rongga-rongga karbon, sehingga daya serapnya terhadap partikel asing makin tinggi.
Micropore (rongga halus)
Mesopore (rongga sedang
Macropore (rongga besar)
Gambar Karbon aktif dengan kombinasi ukuran rongga lengkap Gambar di atas menampilkan ilustrasi karbon yang telah diaktifasi. Hasil aktifasi adalah terbentuknya rongga-rongga karbon dengan berbagai ukuran; rongga halus (micropore), rongga medium (mesopore), dan rongga besar (macropore). Untuk pengolahan emas dibutuhkan rongga-rongga medium dan rongga besar. Makin banyak persentase rongga medium dan besar pada ruang karbon, makin tinggi kapasitas serap karbon tersebut terhadap senyawa emas.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Molekul Ukuran Medium
Molekul Ukuran Mikro
Molekul Ukuran Besar
Gambar Molekul Terserap Dalam Ruang Karbon
Kekerasan dan Tingkat Ketahanan Erosi Karbon. Kekerasan menjadi pertimbangan utama terhadap tingkat erosi suatu karbon aktif. Kekerasan yang baik memiliki tingkat ketahanan erosi yang baik juga. Pada pengolahan emas CIP (carbon in Pulp), terjadi persinggungan antara lumpur dan karbon dalam waktu yang sangat lama. Kemungkinan erosi selama proses ini sangat besar, karena silika memiliki kekerasan yang jauh lebih tinggi. Jika karbon memiliki ketahanan erosi yang buruk, maka sebagian ikut terkikis dan bercampur dengan lumpur, sehingga tingkat perolehan emas pun menjadi turun dari semestinya. Kekerasan sangat bergantung pada jenis bahan baku karbon dan sistem pemrosesan pembuatan karbon aktif.
VIII.4. Prinsip Kerja Karbon Aktif Dalam Proses Leaching VIII.5. Regenerasi Karbon Aktif Karbon aktif yag telah terpakai masih dapat digunakan jika diregenerasi kembali, dengan cara menguras keluar material yang mengisi karbon.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
IX.ELECTROWINNING
(MAAF, SEDANG EDITING) IX.1. Prinsip Dasar Electrowinning IX.2. Reaksi Elektrokimia IX.3. Korelasi Antara Tegangan dan Selektifitas Reaksi Redoks IX.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kuat Arus
IX.5. Pembuatan Rangkaian Elektronika Catu Daya IX.5.1. Input AC Sumber daya listrik dari PLN (jala-jala) merupakan listrik dengan tegangan dan arus bolak-balik (alternating curent). Tegangan listrik AC bervariasi dalam rentang 200 V – 240 V, dan umumnya tegangan bergantung pada kondisi beban yang terpasang pada saat yang sama. Tegangan ini memiliki perioda dan tentu saja frekwensi, yang biasanya antara 50-60 Hertz (50-60 cycle/detik). Artinya, tegangan silih berganti antara positif dan negatif, dengan nilai yang sama ditinjau dari acuan sumbu X (titik netral). Siklus besar tegangan dan arus membentuk gelombang kontinu yang berbentuk sinus, dengan nilai terkecil = 0 volt, dan nilai terbesar 220 V. Karena siklus ini, maka tegangan bervariasi antara puncak positif tertinggi = + 220 volt, dan puncak negatif = - 220 volt. Karena gelombang ini, maka nilai tegangan sebenarnya adalah 440 volt, yang biasa disebut Vpp (peak to peak voltage). Naik turunnya tegangan suplai dari jala-jala (PLN) memiliki pengaruh terhadap hasil akhir dari elektrolisis, karena pada suplai daya dengan tegangan yang tak terkendali, maka setiap kenaikan tegangan input akan membawa kenaikan terhadap tegangan output pada beban. Elektrolisis menggunakan tegangan listrik searah sebagai sumber daya nya, karena arus mengalir hanya satu arah, dari kutub positif ke kutub negatif, dan elektron mengalir dari arah sebaliknya. Jika menggunakan tegangan bolak-balik (AC) sebagai suplai langsung proses elektrolisis, maka arus juga mengalir dalam 2 arah, demikian juga halnya dengan aliran elektron, sehingga hasil yang diinginkan tak mungkin tercapai, sebab resultansi hasil = 0. Umumnya tegangan terpasang catu daya memiliki nilai yang sangat kecil jika dibanding tegangan jala-jala, sehingga perlu dilakukan penurunan tegangan dan menaikkan arus suplai agar proses elektrowinning dapat berjalan sesuai tujuan dan memiliki kecepatan yag relatif tinggi. Transformator step-down adalah pilihan yang tepat untuk menurunkan tegangan dan menaikkan arus suplai pada sebuah unit catu daya. Pada saat ini berkembang cara baru yang lebih irit dengan menggunakan komponen semikonduktor sebagai alat penurun tegangan sekaligus menaikkan arus ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
suplai. Teknologi thyristor dengan SCR nya (silicon controlled rectifier) mulai digunakan sebagai solusi penurun tegangan, namum penerapan dalam industri elektronika belum banyak dilakukan karena masih adanya kendala terhadap tegangan keluaran yang relatif masih tinggi.
Gambar gelombang sinus tegangan dan arus bolak-balik (AC)
Sumber listrik PLN ataupun generator memiliki tegangan yang tinggi (V = 220 volt, dan Vpp = 440 volt), sedangkan elektrolisis umumnya dilakukan pada tegangan yang cukup rendah. Oleh karena itu tegangan perlu diturunkan menggunakan transformator. Transformator menurunkan tegangan AC, dan sekaligus menaikkan arusnya. Tegangan yang keluar dari trafo tetap sebagai tegangan bolak-balik, yang nilainya telah turun mendekati tegangan yang diinginkan pada proses elektrolisis. ~
~ V1
220 V
V2
~
~ Gambar Trafo Stepdown
Tegangan yang keluar dari 2 ujung kabel trafo (sisi sekunder) memiliki nilai yang sama, namun berlawanan fase pada saat yang sama. Untuk memperoleh tegangan searah (DC), maka tegangan bolak-balik (AC) yang berasal dari sisi sekunder trafo harus dipangkas sisi negatifnya menggunakan alat penyearah (dioda). Penyearahan yang dilakukan pada satu ujung menghasilkan pemangkasan tegangan negatif pada ujung tersebut. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Hasil dari penyearahan tunggal adalah terpotongnya gelombang sinus pada sisi negatif, sehingga menghasilkan tegangan positif yang terpenggal pada ½ frekwensi. Dioda silikon memiliki tegangan jatuh 0,7 volt, sehingga tegangan terendah yang lewat dari sisi keluar dioda minimum 0,7 volt. Jika tegangan input ke dioda kurang dari 0,7 volt, maka tegangan output = 0 volt, karena tak terjadi aliran listrik yang keluar dari dioda (dioda bertindak sebagai isolator jika tegangan input kurang dari 0,7 volt, untuk dioda jenis silikon). Berikut gambar hasil osiloskop tegangan output dari anoda tunggal.
Gambar gelombang keluaran dioda tunggal
Penggunaan anoda tunggal akan memangkas daya keluar dari penyearah, oleh karena itu hasil daya maksimum keluaran penyearah jadi berkurang separuhnya. Untuk mendapatkan daya bersumber dari fase negatif keluaran trafo sekunder, maka perlu dilakukan penyearahan yang lebih komplit, yaitu menggunakan dioda jembatan. Hasil penyearahan berupa gelombang DC yang mendekati kontinu, akibat diubahnya fase negatif tegangan output trafo menjadi fase positif tegangan output dari dioda.
Gambar osiloskop hasil penyearahan dioda jembatan
Hasil keluaran dioda menampilkan gelombang tegangan yang nilainya naik turun, mulai dari terkecil 0,7 volt hingga nilai maksimum pada puncak kurva. Pada saat tegangan input mencapai nilai 0,7 volt atau lebih, dioda bertindak sebagai konduktor, melewatkan arus dan tegangan ke bagian output.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Bervariasinya nilai tegangan keluaran ini menunjukkan nilai tegangan yang dinamis dan berubah secara periodik terhadap waktu dan puncak tegangan input AC. Jarak antara tegangan terendah dan tertinggi disebut dengan istilah “riak tegangan” (riple). Peristiwa elektrolisis mensyaratkan tegangan yang stabil pada titik tertentu, agar hasil yang diharapkan mampu tercapai (terutama jika digunakan untuk menyeleksi senyawa yang terlibat dalam proses redoks). Oleh karena itu pelrlu dilakukan pelinieran (pelurusan garis tegangan) agar tegangan yang keluar memiliki selisih nilai tertinggi dan terendah makin kecil. Kapasitor memiliki sifat penampung arus listrik. Kapasitor memiliki analogi seperti bak penampungan air. Air akan luber dari sisi bak apabila muatan bak sudah penuh, dengan kestabilan keluaran yang lebih baik dibanding limpahan air yang masuk ke dalam bak. Makin besar nilai kapasitasnya, makin stabil nilai tegangan keluarnya.
Gambar osiloskop penggunaan kapasitor sebagai tapis
Tegangan keluaran hasil penapisan kapasitor masih memiliki riak (riple), yang besar gelombangnya sangat tergatung pada besaran kapasitor itu sendiri. Makin besar nilai kapasitor, makin berkurang riak pada keluaran DC. Arus dan tegangan DC yang terbaik adalah linier terhadap waktu. Penggunaan kapasitor saja belum mampu menghilangkan riak, dan masih sangat mengganggu jika digunakan pada proses elektrolisis. Disamping itu, tegangan keluaran dari hasil penapisan ini juga berubah jika terjadi pembebanan, kemungkinan turunnya tegangan di sisi primer, dan pemanasan trafo. Pengaturan tegangan output dapat dilakukan menggunakan komponen pasif, seperti resistor geser (potensiometer), yang nilai resistansinya dapat diubah menggunakan pengaturan manual. IX.5.2. Tegangan DC Teregulasi Idealnya daya output dari catu daya haruslah memiliki tegangan yang konstan, akan tetapi hal ini sulit didapatkan pada catu daya yang standar dan hanya menggunakan komponen penyearah (dioda). Perubahan tegangan pada output DC disebabkan beberapa hal, antara lain : -
bervariasinya tegangan pada line AC (jala-jala PLN), yang dapat naik turun pada periode-periode tertentu. Tahanan yang dinamis pada beban (pembebanan dinamis). Pada proses elektrolisis, beban dinamis berasal dari luas permukaan elektroda yang
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
berubah, jarak antar elektroda, suhu larutan, konsentrasi ion-ion dalam larutan, dan beberapa sebab lainnya. Pengatur tegangan dibuat agar tegangan output memiliki nilai yang tetap, dengan toleransi 0,1% terhadap pengaruh perubahan tegangan.
Rectifier + Filter 0V Capasitor/Induktor
Regulator Tegangan
Input AC
0V Output
Gambar Blok Diagram Regulator Tegangan DC
IX.5.2.1. Pengatur Tegangan Pasif dan Manual Regulator Seri dan Paralel. Ada 2 jenis dasar pengatur tegangan sederhana yang menggunakan komponen pasif, yaitu regulator seri dan regulator paralel. Pada regulator seri, pengatur tegangan dipasang seri dengan beban, melalui pengaturan kuat arus yang mengalir. Pada regulator paralel, pengatur tegangan dipasang paralel terhadap beban. Regulator paralel berfungsi sebagai pembagi tegangan yang didistribusikan berdasarkan besaran tegangan yang berubah terhadap besar tahanan di sisi pengatur (potensiometer). Baik pada regulator seri maupun paralel, pengatur tegangan menggunakan potensiometer, yaitu suatu tahanan yang nilainya bisa diatur berdasarkan pergeseran manual terhadap lempeng karbon. Regulator Seri
+ RV Tegangan Input DC Tak diatur
Tegangan Output yang diatur
R L (beban terpasang)
_ Gambar pengatur tegangan seri
Input arus dari penyearah pada regulator seri harus melewati resistor variabel sebelum menuju beban. Tegangan output yang menuju beban terbagi dengan tegangan resistor variabel, dimana tegangan total = tegangan resistor + tegangan beban. Saat tegangan beban turun, maka nilai tahanan pada sisi resistor variabel diatur dan diturunkan, sehingga tegangan beban naik kembali akibat arus yang mengalir makin besar. Disaat tegangan beban naik, maka nilai resistor dinaikkan, sehingga tegangan di sisi resistor naik, dan tegangan di sisi beban turun. Penggunaan resistor pada bagian ini akan menghasilkan panas akibat efek tahanan ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
pada sisi resistor variabel, sehingga efisiensi daya menjadi rendah. Nilai kapasitas daya resistor harus tinggi, untuk meredam panas yang timbul akibat tertahannya sebagian daya pada resistor. Regulator Paralel R1 +
Tegangan Input Tak diatur
VR
Tegangan Output dapat diatur
RL
_ Gambar pengatur tegangan paralel.
Pengaturan secara paralel artinya resistor pengatur dipasang paralel terhadap beban. Pada sistem ini, arus yang berasal dari sumber penyearah dibagi oleh nilai tegangan di sisi beban dan sisi resistor variabel. Saat tegangan beban turun, potensiometer diatur naik, sehingga arus mengalir di sisi beban makin besar, yang mengakibatkan kenaikan tegangan pada sisi beban. Saat tegangan beban naik, potensiometer diturunkan sehingga arus yang mengalir di sisi potensiometer naik, mengakibatkan turunnya tegangan beban. IX.5.2.2. Pengatur Tegangan Aktif Pengaturan menggunakan komponen pasif bersifat manual dan insidental, sehingga tak mungkin diterapkan pada proses elektrolisis. Pada proses elektrolisis, naik turunnya tegangan di sisi beban hampir bersifat kontinu, sehingga sangat sulit diatur secara manual. Untuk memperoleh nilai tegangan output yang tetap dari waktu ke waktu, dibutuhkan pengatur tegangan yang bekerja secara kontinu, dan mampu mengatur sendiri nilai tegangannya pada pembebanan yang berubah-ubah. Pengaturan dinamis dapat dilakukan oleh komponen aktif, dalam hal ini semikonduktor (kombinasi dioda transistor, dioda transistor dan IC, atau dioda dan IC). Hasil pengaturan memiliki tegangan yang relatif konstan dan riple yang turun secara signifikan. Pengaturan sederhana dapat menggunakan dioda zenner, yang meng-set tegangan ouput berdasarkan tegangan standar pada zenner tersebut. Dioda Zener adalah dioda yang memiliki karakteristik mengalirkan arus listrik ke arah berlawanan jika tegangan terpasang melampaui batas "tegangan tembus" (breakdown voltage) atau "tegangan Zener". Ini berlainan dari diod biasa yang hanya menyalurkan arus listrik ke satu arah. Dioda silikon tak mengalirkan arus listrik secara berlawanan jika dicatu-balik (reverse-biased) di bawah tegangan rusaknya. Jika melampaui batas tegangan ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
operasional, dioda bia a rusak karena kelebihan arus listrik. N mun proses ini adalah reversibel jika di lakukan dalam batas kemampuan. Dalam k sus pencatuanmaju (sesuai dengan rah gambar panah), diode ini akan memb erikan tegangan jatuh (drop voltage) sekitar 0.7 volt untuk dioda silikon. Dioda zener yang dica tu-balik akan menunjukan perilaku tegang n tembus yang terkontrol dan akan melewatkan arus listrik untuk menjaga tegangan jatuh supaya tetap pada tegangan z ener. Sebagai contoh, sebuah diode zen r 3.2 Volt akan menunjukan tegangan j tuh pada 3.2 Volt jika diberi catu-balik. Namun, karena arus ya terbatasi, maka zener biasanya di gunakan untuk membangkitkan tegangan referensi, untuk menstabilisasi tegangan aplikasi-aplikasi arus kecil, sedangkan untuk melewatkan arus yang besar dibut hkan rangkaian pendukung transistor d ya atau beberapa transistor dan IC sebagai output.
Gambar Apli asi Penggunaan Sederhana Dioda Zenner
Gambar pengaturan teg ngan sederhana menggunakan 1 transistor
Tegangan masuk Uin emiliki nilai yang bervariasi dari waktu ke w ktu, sedangkan tegangan output Vout emiliki nilai yang stabil akibat pengaturan yang dilakukan transistor. Tegangan masuk memiliki nilai yang lebih besar dari t gangan keluar. Pengurangan tegangan terjadi pada bagian transistor, dioda, dan re sistor.
����� ������ ���������� ���� ����������������������� ��
Tegangan keluar pada gambar di atas = tegangan Vz – tegangan Vbe, dimana Vbe nilainya 0,7 volt. Jika tegangan output Uout pada beban turun, maka terjadi kenaikan tegangan pada Vbe yang mengakibatkan terjadinya aliran arus dari kolektor dan basis menuju emitor. Arus yag mengalir dari emitor mengakibatkan kenaikan arus pada beban, yang menyebabkan naiknya tegangan pada beban. Makin tajam turunnya tegangan, makin kuat arus mengalir menuju emitor, sehingga tegangan pada sisi beban terstabilkan oleh transistor. Tegangan keluar dari transistor masih memiliki riak dan belum terlalu stabil, disebabkan penggunaan resistor sebagai pengatur arus di bagian basis transistor. Untuk menaikkan kestabilan output tegangan, kita dapat menggunakan kombinasi IC sebagai pengumpan dan pengatur arus pada transistor daya. Kelemahan dari penggunaan komponen aktif adalah terjadinya hubungan singkat (short circuit/korsleting) pada beban, sehingga nilai resistansi dari beban menuju nol. Akibat dari ini adalah aliran arus yang mengalir lewat emitor menjadi sangat besar, yag menyebabkan terjadinya overload pada transistor daya. Overload menyebabkan rusaknya transistor daya dan berbagai komponen pasif di sekitarnya. Untuk mencegah hal ini dapat dilakukan perlindungan terhadap hubung singkat menggunakan rangkaian aktif juga (transistor misalnya). Pada rangkaian di bawah, T1 berfungsi sebagai pembatas arus. Pada saat tegangan R2+R3 naik lebih tinggi dari 0,7 volt, T1 terbuka, yang menyebabkan pengurangan arus hingga 0 volt pada basis T2. Tegangan pada pengamanan hubung singkat mulai bekerja, sebesar jumlah dari tegangan R2 dan R3. Tahanan R3 dan R4 membentuk pembagi tegangan pada T2.
Gambar pengatur tegangan menggunakan sirkuit pengaman hubung singkat
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Gambar pengatur tegan an adjustable regulator voltage output seder ana
Pada gambar di atas, tegangan output mampu diatur besaranny a dari 1,25 volt (terendah) hingga 30 olt (tertinggi), dengan arus keluaran yan g relatif rendah (maksimum 1,5 ampere). Pengaturan tegangan output dilakuka menggunakan potensiometer R2, ya g berfungsi sebagai pembagi tegangan paralel dengan tegangan output. Hasil tegangan keluaran menjadi makin halus akibat adanya pengaturan ripple di sir uit internal IC LM 317.
Gambar Pengatur tegan an menggunakan kombinasi IC dan Transist r
IC pada gambar di atas difungsikan sebagai operational amplifier, yang mengendalikan arus p da transistor. OP-AMP mengendalikan tr nsistor dengan arus yang lebih jika t gangan pada input invertingnya turun di awah tegangan output dari tegangan ref erensi pada bagian input non-inverting. Res istor-resistor R1,
����� ������ ���������� ���� ����������������������� ��
R2, dan R3, berfungsi sebagai pengatur tegangan output, yaitu selis ih dari tegangan input Vin dan tegangan zenner Vz. Aplikasi Regulator Te angan dengan Kuat Arus Tinggi Pada bagian ini kita m mbahas aplikasi pembuatan rangkaian pe gatur tegangan DC dengan suplai arus ptimum 30 ampere. Rangkaian menggunak an 1 unit IC seri LM 7812 dan banyak transistor daya sebagai gerbang outpu t. Penggunaan 6 rangkaian transistor yan diparalel akan menghasilkan arus kelu aran hingga 30 ampere.
Gambar pengatur tegan an 12 volt dan arus 30 A.
Tegangan input pengatur tegangan haruslah lebih tinggi dari teg ngan outputnya (12 volt) agar regulat r dapat mengatur nilai outputnya hingga 12 volt. Untuk menghasilkan arus out ut sebesar 30 A, maka sebaiknya kita me nggunakan trafo yang memiliki keluara n arus sebesar 50 A, agar suplai day a terjamin dan kemungkinan overload ada trafo bisa dihindarkan. IC LM 7812 ha nya melewatkan 1 A arus atau kurang pada bagian outputnya, yang mana sis nya dilewatkan sebagai suplai basis tr ansistor-transistor. Rangkaian didisain untu k menghasilkan arus 30 A, yang dihasilk an oleh 6 transistor TIP 2955 yang dipasang secara paralel. Papan pendingin dib tuhkan untuk menyalurkan panas dari masing-masing transistor. Penggunaan papan pendingin yang relatif besar sangat isarankan, agar efek pembuangan pan snya menjadi optimum, terutama pada pe mbebanan yang maksimum. Pengguna n papan pendingin saja tak cukup, terut ama jika terusmenerus mendapat pembebanan maksimum. Pendinginan dapat dibantu menggunakan kipas p ndingin pada masing-masing keping transi stor, atau kipas yang relatif besar sebanyak 2 buah untuk mendinginkan keping pen ingin. Efek overload dapat saja terjadi jika beban yang dipasang melebi i dari kapasitas arusnya. Penggunaan transistor yang paralel memiliki resiko verload secara ����� ������ ���������� ���� ����������������������� ��
domino, jika terjadi ker usakan pada salah satu transistor. Kerusakan pada salah satu unit mengakibatkan tanggungan beban dari sisa transist r melebihi dari kapasitas beban maksi umnya, sehingga efek perusakan akan me njalar ke bagian transistor paralelnya. Untuk mencegah hal ini terjadi, seba iknya dipasang pengaman arus pada m asing-masing keluaran transistor.
Gambar pengatur tegangan 12 volt dan arus 30 A.
Perhitungan. Pada gambar di atas, t gangan terpasang 24 volt. Tegangan kem dian diturunkan sebesar 4 volt pada R7, dan 20 volt melewati input dari regulat r. Pada bagian output, arus maksimum yang mengalir sebesar 30 A, yang disuplai dari 6 transistor dan IC. Masing-masin transistor menyuplai 4,86 A, dan IC s besar 0,866 A, sehingga total arus suplai maksimum = 30 A pada beban. Arus suplai pada masingmasing basis sebesar 138 A. Untuk mendapatkan perolehan arus s besar 35x pada sisi kolektor, dibutuhkan arus input sebesar 6 A pada masing-masin g transistor, dan ini masih dalam batas n ormal pada penggunaan transistor TIP 2955. Tahanan R1 hingga R berfungsi sebagai stabilisator untuk meli ndungi loncatan arus pada transistor. Tahanan R7 sebesar 100 ohm dan menghasilkan pengurangan tegangan sebesar 4 volt pada beban maksimum. Rug i-rugi daya pada resistor R7 sebesar 160 mW, sehingga sebaiknya R7 mengg unakan resistor dengan daya buang pa as sebesar 0,5 watt atau lebih (1 watt akan lebih baik). Arus masuk pada regulator d iumpan melalui emitor dan basis transistor. Variabel Power Suplai
����� ������ ���������� ���� ����������������������� ��
Rangkaian berikut merupakan catu daya dengan variabel tegangan output yang bisa diatur. Arus output diatur hingga 1,5 A, dengan nilai tegangan output yang diatur memiliki angka yang sangat stabil pada nilai yang diatur. Fitur sirkuit dibawah meliputi : • Proteksi terhadap polaritas yang berlawanan pada sisi output • Lampu LED sebagai indikator daya • Tegangan output yang bisa diatur • AC atau DC input • Riak rendah (low noise)
Dioda D1 hingga D4 membentuk jembatan penyearah yang mengkonversi tegangan AC menjadi DC. Kapasitor C1 menghaluskan tegangan output DC, sedangkan C2 berfungsi sebagai peredam frekwensi tinggi. IC LM 317 T adalah IC regulator tegangan yang dapat diatur besarnya sesuai keinginan. Dioda D5 berfungsi sebagai pembalik tegangan bias selama pengoperasian normal, dan berfungsi sebagai pelindung regulator jika bagian output terkoneksi oleh sumber arus yang memiliki polaritas tegangan sama. Regulator memiliki tegangan referensi 1,25 volt antara terminal output dan terminal pengaturan. Pengaturan besaran VR1 menyebabkan besaran tegangannya juga berubah, hal ini menyebabkan berubahnya juga tegangan pada beban Tegangan output dihitung menggunakan rumus : V(out) = 1.25(1 + VR1/R1) Kapasitor C3 riak dari regulator, sementara kapasitor C4 dan C5 berfungsi sebagai decoupling frekwensi tinggi dan rendah. Lampu LED mengindikasikan bahwa daya ada pada bagian output. Arus yang melewati LED haruslah antara 5-20 mA dan diatur oleh resistor R2. IC LM 317T mampu menyuplai 1,5 A pada tegangan input antara 1,2 V – 37 V. Alat ini membutuhkan perbedaan tegangan input dan output minimum 2,5 volt agar mampu beroperasi. Dalam praktek, penggunaan tegangan output yang rendah dan penggunaan arus yang lebih kecil mengakibatkan terjadinya konversi daya menjadi panas pada komponen IC. Jika tegangan input 30 volt dan tegangan output 10 volt, dimana arus yang digunakan hanya 1 Ampere, maka rugi-rugi daya pada IC yang diubah menjadi panas = (30-10) x 1 = 20 watt. Daya sebesar ini menghasilkan panas yang cukup ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
besar, sehingga IC memerlukan keping pendingin yang cukup besar agar mampu membuang kelebihan panas pada IC. Daftar Rangkaian Elektronik yang digunakan R1 Resistor (0,25 W, 5%) 330 ohm R2 1K VR1 10K trimpot C2,4 100 nF ceramic C1 2200 uF 50 V electrolytic C3,5 10 uF 63 V elektrolit Dioda D1-D6 IN5403 IC LM 317T IX.6. Bak Elektrolisis
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
X. EKSTRAKSI ZINC
X.1. Sifat- Sifat Fisika dan Kimia Unsur Zinc Zinc adalah suatu logam yang berwarna abu-abu keperakan, bernomor atom 30 dalam tabel sistem periodik. Berat jenis unsur ini 7,14 gr/ml pada suhu kamar (250C), suhu leleh 420 0C, dan suhu pendidihan 910 0C. Senyawa-senyawa zinc umumnya memiliki bilangan oksidasi +2. Logam zinc bersifat keras dan getas pada kebanyakan suhu, akan tetapi melunak pada suhu antara 100 0C-1500C. Pada suhu di atas 2100C logam zinc kembali menjadi getas. Logam zinc terbakar dalam udara yang dipanaskan, membentuk warna biru terang keputihan, dan asap putih zinc oksida. 2 Zn + O2 (t > 4000C) ======> ZnO Zinc bereaksi dengan baik terhadap asam-asam anorganik dan senyawa-senyawa alkali (termasuk sianida). Logam zinc murni bereaksi lambat dengan kebanyakan asam pada suhu kamar. Larutan asam kuat bereaksi lebih kuat (HCl, H 2SO4, HNO3) sembari melepaskan gas hidrogen sebagai hasil reaksi (disamping larutan zinc itu sendiri). X.2. Produksi Logam Zinc Di alam mayoritas logam zinc dihasilkan dari batuan berjenis sphalerite, yaitu senyawa zinc dalam bentuk sulfida zinc. Biasanya sphalerite juga mengandung sebagian logam tembaga dan timbal sebagai logam dasar. Emas dan perak juga selalu ditemukan dalam batuan sphalerite. Zinc bersifat chalcophile, yang berarti memiliki afinitas yang rendah terhadap oksida, dan lebih memilih berikatan dengan belerang. Logam zinc umumnya diproduksi menggunakan kombinasi metode hydrometallurgy dan pyrometallurgy. Batuan sphallerite dihaluskan terlebih dahulu, selanjutnya dipisahkan dari berbagai unsur pengotor menggunakan metoda flotasi. Hasil flotasi berupa konsentrat berkandungan mineral logam zinc yang tinggi (kandungan logam zinc hingga 50% dari total berat konsentrat). Proses selanjutnya adalah pemanggangan konsentrat pada suhu tinggi, untuk menguapkan zinc dalam bentuk zinc oksida yang berwarna putih. 2 ZnS + 3 O2 =====> 2 ZnO + 2 SO2 ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Uap zinc oksida akan memadat pada suhu yang relatif dingin (di bawah 300 0C) sehingga terpisah dari gas SO 2. Proses selanjutnya adalah reduksi zinc oksida menjadi logam zinc. Ada 2 cara yang dapat dilakukan, yaitu cara pyrometallurgy atau elektrolisis. Proses pyrometallurgy bertujuan mereduksi zinc oksida menjadi logam zinc menggunakan karbon atau karbon monoksida pada suhu tinggi. Suhu reduksi berada di atas titik didih logam zinc (di atas 950 0C), agar terjadi penguapan selama proses reduksi berlangsung. Uap logam selanjutnya didistilasi dan dialirkan ke ruangan dingin yang kedap oksigen (agar tak terjadi peristiwa oksidasi zinc selama proses ini) agar terbentuk tepung logam zinc yang sangat halus. 2 ZnO + C ======> 2 Zn + CO 2 2 ZnO + 2 CO ======> 2 Zn + 2 C Proses elektrolisis zinc sulfat dimulai dari pelarutan zinc oksida menggunakan larutan H2SO4, yang menghasilkan larutan zinc II sulfat. ZnO + H2SO4 =====> ZnSO4 + H2O Larutan zinc II sulfat ini selanjutnya direduksi pada kutub katoda menjadi logam zinc, dan larutan kembali menghasilkan larutan H2SO4 pada kutub anoda. 2 ZnSO4 + 2 H2O ======> 2 Zn + 2 H2SO4 + O2 Larutan H2SO4 yang dihasilkan kembali selanjutnya dapat digunakan kembali untuk melarutkan senyawa zinc oksida berikutnya. Untuk memperoleh efisiensi waktu dan penggunaan logam zinc pada proses ekstraksi emas dari larutannya, maka ukuran partikel logam zinc yang terbaik adalah debu logam zinc. Penggunaan zinc lembaran atau irisan-irisan logam zinc mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan zinc, dan memperlambat proses ekstraksi logam emas. X.3. Pengendapan Logam Dari Larutan Sianidanya Menggunakan Zinc. Zinc logam, oksida zinc, maupun sulfidanya, larut dengan baik pada larutan alkali sianida, membentuk larutan logam kompleks zinc sianida. Reaksi sianida dan zinc sebagai berikut : Isikan Sebagaimana halnya zinc, tembaga dan merkuri bereaksi dan larut dalam sianida. Reaksi pelarutan berlangsung relatif lebih cepat dibandingkan reaksi pelarutan logam perak dan emas. Reaksi pelarutan tembaga dan merkuri sebagai berikut : ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Isikan Zinc bereaksi dengan larutan kompleks emas sianida, perak sianida, merkuri sianida, dan tembaga sianida, menghasilkan endapan logam emas, perak, merkuri, dan tembaga. Pada proses ini zinc mereduksi senyawa logam-logam tersebut menjadi logamnya, dan secara simultan zinc teroksidasi menjadi oksida zinc dan larutan kompleks zinc sianida. Proses Merril – Crowe adalah proses pengendapan menggunakan debu logam zinc. Reaksi yang terjadi adalah reaksi pertukaran kation logam ( KTK) sebagai akibat potensial elektroda yang lebih rendah dimiliki logam zinc. Zn (s) + 2 Na[Au(CN) 2] (l) ======>
Na2[Zn(CN)4] (l) + 2 Au (s)
Zn (s) + 2 Na[Ag(CN) 2] (l)
Na2[Zn(CN)4] (l) + 2 Ag (s)
======>
Reaksi di atas sebenarnya berlangsung dalam 3 tahap, yaitu : 1. Pada tahap awal, logam zinc mengubah garam kompleks emas sianida menjadi endapan halus emas sianida yang berwarna ungu kemerahan. Pada tahap ini logam zinc teroksidasi menjadi senyawa zinc II sianida yang tak larut dan berwarna putih. Zn + 2 Na[Au(CN) 2] + 2 H2O =====> Zn(CN)2 + 2 AuCN + 2 NaOH + H2 2. Adanya logam zinc yang berlebih menyebabkan emas sianida tereduksi menjadi butiran halus logam emas, dan logam zinc teroksidasi menjadi zinc II sianida Zn + 2 AuCN =====> Zn(CN) 2 + 2 Au 3. Jika masih ada ion sianida bebas di dalam larutan, maka zinc II sianida akan membentuk garam kompleks sianida yang larut 2 Zn(CN)2 + 2 NaCN
+ 2 H2O =====> Na2[Zn(CN)4]
+ 2 NaOH + H2
Proses pengendapan menggunakan zinc berlangsung cepat dibanding penyerapan menggunakan karbon aktif. Akan tetapi pengendapan menggunakan logam zinc menyebabkan tingkat konsumsi sianida menjadi tinggi karena garam zinc II sianida yang terbentuk cenderung bereaksi dengan sianida bebas membentuk garam kompleks zinc sianida. Penggunaan zinc sebagai pengendap mensyaratkan larutan emas yang jernih dan terpisah dari lumpurnya. Larutan dapat diekstraksi dengan memisahkannya dari material lumpur. Proses ini dilakukan melalui cara penyaringan larutan. Dengan penyaringan maka larutan akan terpisah dari endapan lumpur. Untuk memastikan tak ada lagi kandungan larutan logam yang terjebak di lumpur, maka lumpur yang telah disaring dibilas kembali (dekantasi) dengan air bersih, hasil bilasan kembali disaring dan lumpur diperas hingga semua larutan terpisahkan. Larutan yang telah dipisahkan menjadi jernih dan bebas dari lumpur. Selanjutnya baru dilakukan pengendapan dengan zinc (Merril – Crowe Processing). ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Pada proses Merill-Crowe, emas perak dan tembaga mengendap menjadi lumpur logam, menggantikan posisi zinc yang teroksidasi. Pada proses ini ada kemungkinan logam merkuri juga ikut mengendap, jika lumpur mengandung mineral merkuri (pada konsentrasi yang signifikan, maka merkuri dapat diekstrak dari endapan menggunakan metoda retort). Lumpur logam ini selanjutnya dipisahkan dari larutan dan dibilas sampai bersih. Endapan logam yang masih basah biasanya mengandung sebagian senyawa sianida, terutama zinc sianida yang tak bereaksi dengan larutan asam. Untuk memastikan habisnya sisa – sisa logam zinc di dalam lumpur, maka endapan selanjutnya disangrai hingga kering (untuk menguapkan sisa-sisa sianida), kemudian dicuci dengan larutan HCl encer / pekat atau larutan asam sulfat encer. Logam zinc yang tersisa akan larut; emas, perak dan tembaga tinggal sebagai endapan. Larutan dibuang dan lumpur logam kembali dibilas dan siap dilebur. Hasilnya adalah paduan emas, perak, dan tembaga. Hasil dari proses Merill-Crowe memiliki penampilan yang jauh lebih baik dibanding pemrosesan menggunakan karbon, akan tetapi lebih rumit karena harus memisahkan larutan dari lumpurnya. Sebelum pemisahan lumpur logam dari larutannya dilaksanakan, perlu dilakukan pengujian larutan terlebih dahulu terhadap emas yang masih terlarut. Pengujian dapat dilakukan menggunakan 2 cara, yaitu metoda metalisasi dan metoda reagen identifikasi. Metoda metalisasi adalah pengujian yang dilakukan melalui pengamatan logam yang tereduksi, sedangkan metoda berdasarkan pengamatan visual terhadap perubahan unsur kimia senyawa emas dan perak. Metoda metalisasi : •
•
• • •
•
Langkah awal pengujian dilakukan dengan pengambilan larutan sample sebanyak 200 ml yang selanjutnya ditempatkan pada wadah kaca bening. Kemudian masukkan 2 gram debu zinc, aduk selama 20 menit. Selanjutnya pisahkan endapan dari cairan menggunakan kertas saring. Endapan kemudian dibilas dengan air panas (masih di dalam kertas saring), tiriskan sisa-sisa airnya. Selanjutnya lakukan peleburan di dalam krus tanah, hingga terjadi pelelehan (logam mencair), gunakan borax dalam jumlah yang berlebihan sebagai fluks. Setelah dingin, amati permukaan krus secara visual terhadap adanya kemungkian lapisan logam. Jika pengamatan menggunakan mata tak terlihat adanya bercak logam emas, gunakan bantuan mikroskop mineral. Jika terdapat lapisan logam (kuning emas atau putih perak), artinya proses reaksi pengendapan belum selesai, dan jika pada pengamatan tak ditemukan lagi indikasi logam, dapat dipastikan proses pengendapan logam emas telah selesai.
Metoda Reagen Identifikasi ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Metoda ini didasarkan pada prinsip reduksi ion kompleks emas dan perak akibat kehilangan sianida bebas. Hilangnya siaida bebas dimungkinkan dengan cara merubahnya menjadi senyawa asam sianida HCN menggunakan larutan asam. Asam nitrat atau HCl dapat digunakan untuk metoda ini. Pemberian HNO 3 atau HCl mengakibatkan terjadinya reaksi pada larutan, sebagai berikut : HNO3 + Na[Au(CN)2] =====> NaNO3 + HCN + AuCN Pada reaksi di atas, asam sianida HCN akan menguap saat dimasukkan HNO3 ke dalam larutan sampel. Penguapan sianida ini menimbulkan bau yang khas dan sangat beracun, sehingga sebaiknya dilakukan pada ruang yang terbuka. Larutan asam dimasukkan secara bertahap hingga pH turun menuju angka 7. Pada proses ini, jika masih tersisa logam emas maupun perak dalam larutan akan menimbulkan endapan setelah masuknya larutan asam. Endapan berwarna ungu kemerahan menunjukkan adanya emas di dalam larutan yang masih belum tereduksi oleh logam zinc, endapan berwarna putih mengindikasikan perak, endapan berwarna campuran putih dan ungu mengindikasikan perak dan emas yang belum tereduksi oleh logam zinc.
X.4. Reaksi Zinc Sebagai Pengendap Emas dari Larutan Thiosulfatnya Zinc juga bereaksi sangat baik dengan larutan thiosulfat (ammonium thiosulfat, calcium thiosulfat, dan natrium thiosulfat). Reaksi pelarutannya sebagai berikut : Tuliskan reaksinya Zinc mengendapkan logam-logam emas, perak, tembaga, dan merkuri, dari larutan kompleks thiosulfatnya. Reaksi pengendapan ini sama halnya dengan reaksi zinc dengan larutan kompleks sianida, yang merupakan reaksi redoks (reduksi-oksidasi secara simultan). Tuliskan reaksinya
X.5. Proses Peleburan Hasil Ekstraksi Zinc
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
XI. PERALATAN PENGOLAHAN
V.1. Mixer Penghancur Lumpur. Jika lumpur yang akan dimasukkan ke dalam reaktror berbentuk padat kering, maka perlu dilakukan penghancuran terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam reactor (tong). Alat penghancur ini terdiiri dari drum besi ukuran diameter 75 cm dengan tinggi sekitar 1 meter. Di titik tengah tabung terpasang poros yang dipasang baling-baling penghancur, yang berfungsi sebagai penghancur lumpur. Poros digerakkan oleh motor (bisa berupa motor listrik ataupun motor bakar) berkecepatan tinggi, agar tanah padat yang masuk cepat hancur menjadi lumpur. Pada bagian sedikit di bawah tabung dibuat lubang persegi sebagai celah aliran lumpur cair keluar dari tabung mixer. Untuk lumpur yang diproduksi langsung dari ballmill dan masih cukup cair, penggunaan mixer tidaklah diperlukan.
Pully poros mixer
Motor penggerak mixer
Pintu masuk lumpur Tabung mixer
(a)
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Lubang/celah keluar lumpur cair
Screen penyaring lumpur mesh 28
Bak penampung sementara
Pipa penyedot lumpur ke reaktor
(b) Gambar VIII.1. Mixer Penghancur Lumpur
V.2. Reaktor. Reaktor/tong biasanya terbuat dari bahan logam (besi) yang relatif murah dan tahan terhadap beban dinamis yang besar. Sebagian dari reaktor ukuran sedang (3 metrik ton) dapat dibuat dari bahan plastik/fiber glass. Ada 2 jenis reaktor yang biasa ditemukan ; reaktor berjenis tabung kerucut, dan reaktor berjenis tabung datar. Reaktor kerucut biasanya lebih sederhana, karena lumpur hanya digerakkan oleh udara bertekanan tinggi yang dimasukkan dari permukaan kerucut di bagian paling bawah tabung. Reaktor tabung datar biasanya digunakan untuk pengolahan skala menengah-besar (di atas 3 metrik ton). Reaktor ini memiliki dasar permukaan bawah yang datar, agar kuat menahan beban lumpur yang masuk. Pada reaktor ini, lumpur tak hanya digerakkan oleh udara bertekanan tinggi, akan tetapi penggerak utamanya justru mengandalkan baling-baling yang diputar oleh poros yang terletak di titik tengah reaktor. Poros digerakkan oleh mesin penggerak yang dapat berupa motor listrik ataupun motor bakar melalui transmisi antar pulley.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
`
Atap penutup permukaan reaktor
Dinding reactor
Anjungan kontrol Tangga kontrol
Sudut kolektor lumpur Tiang fondasi reaktor
Lubang inlet udara tekanan tinggi
Pipa keluar limbah lumpur Gambar VIII.2. Reaktor
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Oksigen yang dibutuhkan selama proses oksidasi dan leaching tetap disuplai oleh mesin kompresor udara bertekanan tinggi, melalui selang-selang udara yang disalurkan ke bagian dasar dari tabung reaktor. V.3. Kompresor Udara. Udara dimasukkan ke dalam media lumpur menggunakan selang-selang udara bertekanan tinggi. Selang-selang ini berasal dari mesin penghasil udara bertekanan tinggi, yang biasa kita sebut sebagai kompresor udara. Daya tekan kompresor sangat bergantung kepada daya kompresor itu sendiri. Untuk beban lumpur seberat 1-3 metrik ton, udara dapat disuplai dengan baik oleh kompresor berdaya 1,5 Hp, sedangkan beban lumpur yang besar (hingga 20 metrik ton) sebaiknya menggunakan kompresor udara berdaya 5,5 Hp.
Gambar VIII.3. Kompresor Udara
V.4. Kolam Limbah Limbah lumpur hasil dari oksidasi dan proses leaching harus dilokalisir pada wadah yang aman dan kedap terhadap resapan. Cairan dari limbah sangat berbahaya dan memiliki daya racun mematikan bagi mahluk hidup. Pada jangka panjang (jika terjadi kebocoran), limbah yang tak dinetralisir (utamanya cairan garam merkuri) sangat berbahaya terhadap lingkungan. Wadah limbah dibuat dalam bentuk kolam ukuran besar yang dilapisi bahan penahan resapan air. Kolam limbah dibuat pada lokasi yang dekat dengan reaktor, agar perpindahan limbah dari reaktor ke kolam limbah mudah dilakukan dan tanpa biaya. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Bahan penahan serapan (sebagai dinding dan dasar kolam) dapat berupa tembok semen yang diplester, ataupun terpal plastik tebal yang kuat menahan tekanan maupun perubahan cuaca.
a.Kolam limbah dari lapisan plastic
b.Kolam limbah permanen Gambar VIII.4. kolam limbah
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
XII. PENGOLAHAN MENGGUNAKAN SIANIDA
V.1. Proses Liberalisasi Emas dan Oksidasi Liberalisasi merupakan suatu proses pembebasan permukaan / kulit bijih logam emas dari berbagai unsur pembungkusnya. Liberalisasi dilakukan sebelum proses pelarutan menggunakan sianida berlangsung. Proses penggilingan dan penghalusan batuan menjadi lumpur belum menjamin terjadinya proses liberalisasi total bijih-bijih emas. Sebagian dari bijih-bijih tersebut masih terbungkus oleh berbagai jenis material, logam maupun non logam. Pada mineral emas berkadar emas tinggi (kadar emas dalam paduan di atas 80%) di batuan primer, liberalisasi bukan merupakan hal wajib karena sebagian besar bijih emas hasil proses mekanis (penggerusan/penghalusan) telah terbebaskan. Akan tetapi pada batuan berjenis electrum dan sulfida tinggi, sebagian dari bijih emas masih tertutup oleh berbagai unsur penutup. Batuan electrum (kadar emas dalam bijih antara 20%-80%) dan batuan berkadar perak tinggi (kadar emas antara 0,01%-20%) umumnya memiliki sejumlah jenis unsur pengotor, antara lain ; belerang, karbon, senyawa-senyawa logam dan belerang yang sebagian bersifat refraktory, dan sebagian kecil masih terbungkus dalam lapisan kwarsa (silika). Pada batuan yang mengandung emas berukuran sangat halus, proses liberalisasi (pembebasan partikel emas dari pembungkusnya) yang menggunakan alat mekanis tak mampu membuka tabir pembungkus, disebabkan tingkat kehalusan yang sudah tak terjangkau lagi oleh proses mekanis. Pada batuan berkadar perak yang sangat tinggi, sebagian besar bijih emas terbungkus oleh lapisan perak sulfida (Ag2S) yang sulit larut dalam sianida, sehingga liberalisasi diperlukan agar waktu pelarutan tidak terlalu lama. Partikel emas yang masih terbungkus setelah proses mekanis bervariasi dari 5% hingga 40% dari total kandungan emas dalam batuan. Batuan mineral emas selalu mengandung mineral-mineral ikutan seperti unsur perak, tembaga, zinc, timbal, besi, arsenik, tellurium, dan sebagainya. Dalam kasus-kasus tertentu dapat juga ditemukan logam merkuri maupun senyawanya dalam jumlah yang lumayan besar. Dalam kalimat-kalimat setelah ini, mineral-mineral pengikut ini lebih sering kita namai sebagai logam pengotor, terkecuali logam perak yang memiliki nilai jual yang sangat baik. Logam-logam pengotor dalam bentuk senyawa padat seperti tembaga, zinc, merkuri, besi, mangan, molybdenum dan sebagainya, juga larut dalam larutan alkali sianida, bahkan kecepatan larutnya melebihi kelarutan emas dan perak. Dalam jumlah yang besar, pengaruh logam pengotor sangat signifikan terhadap tingkat konsumsi sianida pada proses leaching. Ekses negatif ini berlanjut pada saat proses ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
penyerapan mengguna an arang aktif. Karbon aktif menyerap gar m-garam logam yang terlarut di dalam l mpur, termasuk diantaranya garam tembag a, zinc, merkuri, besi, dan sebagainya, sehingga penggunaan karbon pun m ningkat seiring banyaknya logam peng tor yang terlarut pada proses leaching. Proses liberalisasi tak hanya berkaitan dengan pembebasan logam emas dari partikel-partikel pembu ngkusnya; namun jika jumlah mineral p ngotor memiliki angka yang cukup si nifikan, maka proses liberalisasi adalah juga termasuk pemisahan awal logam -logam pengotor dari logam utama yang a kan di leaching; sehingga perhitungan ang menyangkut biaya dan waktu proses ekstraksi emas menjadi pertimbangan utama. Suatu batuan yang memiliki kand ungan tembaga yang signifikan, jika tak dilakukan proses pemisahan awal, pad akhirnya akan menghasilkan paduan logam dengan kandungan emas yang rendah, namun kandungan tembaga ju tru cukup tinggi. Batuan berkandungan sulfida tinggi (pyrite, arsenopyrite, chalc opyrite, galena, spallerite) merupakan batuan yang refraktory, dan tak m mpu diekstrak menggunakan sianida, meskipun telah melalui proses libe ralisasi secara hydrometallurgy. Liber lisasi kimiawi maupun secara pyrometallu rgy sangat sulit dilakukan pada batuan jenis ini, disebabkan emas merupakan parti kel yang sangat halus dan koloid (sa gat sulit mengendap), sementara miner al pembungkus memiliki jumlah yang s ngat besar untuk diliberalisasi. Batuan sulf ida tinggi hanya bisa diekstraksi mengg nakan pelarut thiosulfat yang mampu mel rutkan belerang dengan mudah.
Mineral sulfida
Parti el emas koloid
Gambar ilustra i penampang emas koloid pada batuan sulfida tinggi
Pengaruh Logam-logam Ikutan Logam-logam ikutan eperti tembaga, merkuri, zinc, palladiu , molybdenum, sangat berpengaruh alam proses leaching, khususnya dal m hal jumlah penggunaan bahan p larut sianida, penggunaan karbon, dan peleburan debu ����� ������ ���������� ���� ����������������������� ��
logam. Sianida dengan mudah bereaksi dengan logam-logam ikutan ini, sehingga terjadi pemborosan dalam proses leaching. Disamping efek boros sianida, penggunaan karbon aktif dalam proses ekstraksi pun menjadi sangat boros disebabkan logam-logam tersebut terserap dengan baik oleh arang sehingga penggunaannya menjadi semakin besar dalam poses penyerapan. Dalam proses peleburan, adanya logam tembaga, zinc, molybdenum, besi, dapat menimbulkan kesulitan yang tinggi untuk memperoleh hasil logam di atas 99%. Pada batuan dengan jumlah logam pengotor yang rendah, tingkat penggunaan sianida dalam proses pelarutan dapat ditekan melalui pengendalian pH. Namun tingginya logam-logam pengotor akan berdampak negatif terhadap waktu pelarutan emas sianida, tingginya pemakaian sianida, rendahnya perolehan logam, membengkaknya pemakaian karbon sebagai penyerap. Sianida cenderung lebih mudah bereaksi dengan logam-logam pengotor dibanding emas dan perak, sehingga waktu pelarutan logam emas makin lama disebabkan logam emas dan perak cenderung kalah dalam kompetisi oksidasi sianida dibanding logam-logam lainnya. Tembaga sebagai logam pengotor selalu ditemukan dalam batuan emas. Kandungan tembaga bervariasi dari jumlah yang normal (10 gr/ton) hingga mencapai 1% (10 kg/ton). Uniknya, kehadiran logam tembaga dalam jumlah yang makin besar juga meningkatkan kehadiran logam-logam pengotor lainnya, seperti molybdenum, timbal, mangan, besi, arsen, dan sebagainya. Pada kandungan tembaga yang relatif tinggi (antara 200 gr-10 kg/ton), dibutuhkan suatu proses pelarutan logam tembaga (proses oksidasi logam pengotor) dan pemisahan larutannya sebelum proses sianida dilakukan. Proses ini diharuskan agar penggunaan sianida dapat dioptimalkan dan ditekan jumlahnya. Jika menggunakan karbon sebagai penyerap larutan emas sianida, maka pemisahan logam-logam pengotor sebelum proses leaching akan sangat membantu terhadap penghematan pemakaian karbon. Batuan emas yang mengandung tembaga dalam jumlah yang tinggi dapat ditemui di berbagai tempat di Indonesia, antara lain di sebagian wilayah Banten Selatan, pulau Sumbawa, Cianjur Selatan, dan sebagainya. Secara alami, sebagian batuan emas juga mengandung logam merkuri dalam jumlah yang bervariasi. Batuan logam merkuri (cinnabar) umumnya ditemukan berdampingan dengan urat batuan emas, dan terkadang bercampur dalam mineral emas dalam jumlah yang bervariasi antara 0 ppm – 1000 ppm (0 gr/ton-1000 gr/ton). Pada lumpur ampas pengolahan yang menggunakan amalgamasi, tingkat merkuri dalam lumpur dapat mencapai 0,3%; suatu nilai yang sangat besar dan sangat mempengaruhi dalam penggunaan bahan kimia pada proses leaching, dan tingkat konsumsi karbon dalam proses penyerapan. Sebagaimana halnya tembaga, raksa (merkuri) juga larut dalam sianida, dan terserap dengan baik oleh karbon aktif. Jika kandungan merkuri cukup signifikan (di atas 100 gr/ton atau 0,01%), proses oksidasi dan pemisahan larutan merkuri mutlak dilakukan sebelum pelaksanaan proses leaching menggunakan sianida. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Zinc, dalam jumlah besar mempengaruhi proses leaching dan penyerapan, sehingga perlu diperhitungkan signifikansinya dalam oksidasi. Zinc, dalam bentuk logam maupun garamnya (zinc sulfida dan zinc oksida) mudah larut dalam sianida. Dalam jumlah besar, zinc memiliki pengaruh buruk terhadap tingginya penggunaan sianida pada pelarutan, dan borosnya pemakaian karbon dalam proses penyerapan. Arsenik hampir selalu ada pada setiap jenis batuan emas. Kandungan arsen terbanyak terdapat pada batuan arsenopyrite. Emas secara signifikan selalu ada pada mineral arsenopyrite, dalam jumlah yang bervariasi antara 0,5 gr/ton hingga 15.200 gr/ton. Mineral arsenopyrite bersifat refraktory (sulit larut) terhadap sianida. Agar bijih emas yang terbungkus dalam mineral arsenopyrite dapat dilarutkan oleh sianida, perlu dilakukan proses liberalisasi emas koloid terlebih dahulu sebelum proses sianida dilakukan. Tellurium dan mangan merupakan logam-logam yang sering terdapat dalam batuan emas. Besi paling banyak ditemukan dalam senyawa sulfida dan oksida. Sebagian besi dan mangan berbentuk logam yang bercampur dengan bijih emas, melapisi permukaan bijihnya. Senyawa-senyawa logam-logam ini umumnya bersifat refraktory terhadap sianida, bahkan dalam bentuk logam pun tellurium hampir tak dapat dilarutkan pada proses sianidasi. Tingkat konsumsi sianida dalam proses leaching memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perhitungan biaya pengolahan. Penggunaan yang sangat tinggi dapat mengakibatkan kerugian, suatu hal yang tentu tak diinginkan dalam pengolahan emas. Padahal jika hanya digunakan untuk pelarutan logam emas dan perak, penggunaan sianida sebagai agent utama dalam proses pelarutan dapat ditekan seekonomis mungkin. Oleh karena itu perlu dilakukan studi awal terhadap jenis batuan yang akan diolah, untuk menentukan jenis oksidator yang diberikan sebelum proses sianidasi dilakukan. Pada pengolahan menggunakan karbon, adanya berbagai logam pengotor serta unsur belerang yang turut larut, memiliki dampak negatif terhadap konsumsi karbon aktif. Umumnya berbagai logam akan terserap oleh karbon, demikian juga halnya dengan ion-ion belerang. Penyerapan unsur-unsur ini turut menyumbang terhadap cepat jenuhnya karbon aktif, sehingga penggunaan karbon mengalami peningkatan, dan pada akhirnya sudah pasti menaikkan biaya produksi emas. Pengaruh Karbon Alami Sebagian batuan emas mengandung karbon dalam jumlah yang bervariasi. Batuan berjenis electrum, batuan electrum, batuan berkadar perak tinggi, dan batuanbatuan berjenis oksida dan karbonat umumnya mengandung karbon alami. Karbon yang berasal dari batuan secara alami akan bertindak sebagai karbon aktif pada proses leaching, oleh karena itu perlu dilakukan deaktivasi pada tahapan oksidasi, sebelum proses leaching berlangsung.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Pada beberapa jenis batuan, jumlah karbon dapat mencapai 1% dari berat batuan, sehingga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehilangan emas dalam proses leaching. Dalam beberapa kasus, kehilangan emas (yang terjadi akibat terserap oleh karbon mikro) dapat mencapai 20%, suatu nilai yang cukup tinggi dan menentukan dalam perhitungan analisis biaya produksi. Karbon relatif sulit teroksidasi, baik secara pyrometallurgy (pemanggangan batuan di atas api) maupun secara hydrometallurgy (menggunakan proses kimia). Cara terbaik mengatasi permasalahan karbon alami adalah mendeaktifasi partikel-partikel karbon tersebut sebelum proses sianida dilakukan. Deaktifasi adalah proses pengayaan muatan karbon alami dengan senyawa logam, sehingga karbon alam tersebut menjadi kenyang sebelum proses sianida. Kenyangnya karbon alami ini menyebabkan karbon-karbon tersebut tak mampu lagi menyerap senyawa-senyawa emas sianida. Garam timbal nitrat merupakan salah satu pilihan yang cukup baik dalam mengatasi persoalan karbon aktif alami. Timbal II nitrat ketika dilarutkan dalam lumpur terurai (terdisosiasi) menjadi kation Pb2+ dan anion nitrat NO 3-. Kation Pb2+, selain mengoksidasi logam-logam yang lebih reaktif, juga berperan mengisi ruang-ruang karbon alami, sehingga karbon alam yang terkandung di lumpur telah kenyang terlebih dahulu sebelum proses pelarutan menggunakan sianida dimulai. Untuk menentukan jumlah timbal nitrat yang digunakan sangat bergantung pada jumlah karbon yang terkandung dalam lumpur. Jika jumlah karbon mencapai 0,1% dari berat lumpur, maka berat total karbon tiap 1 ton material lumpur menjadi 1 kg. Karbon seberat 1 kg mampu menyerap kandungan logam hingga 40 gram, sehingga jumlah timbal nitrat yang dimasukkan pada proses oksidasi sebaiknya minimum di atas 100 gram / 1 ton material lumpur. V.1.1. Oksidasi Pyrometallurgy Proses liberalisasi dapat dilakukan dalam suasana panas tinggi, dengan cara perlakuan panas ke dalam sistem. Dalam proses ini, tepung batu dipanaskan pada suhu tinggi hingga 1200 0C bersama kehadiran oksigen, agar terjadi oksidasi garamgaram logam yang terdapat di batuan. Sebagai contoh, garam besi pyrite akan teroksidasi menjadi besi III oksida Fe 3O2, demikian juga halnya dengan tembaga. Batuan karbonat pun akan berubah menjadi garam oksida logam. 2 FeS2
+ O2 =====> Fe2O3 + 4 SO
Pada mineral jenis sulfida terjadi reaksi substitusi pertukaran belerang dengan oksigen, sehingga sering disebut sebagai proses desulfurisasi. Hasil yang diperoleh melalui proses ini adalah senyawa logam oksida, merupakan hasil penguraian senyawa sulfida dan karbonat dari batuan. Kekurangan oksigen pada proses pyrometallurgy bahkan dapat menciptakan logam yang dihasilkan akibat proses reduksi senyawa-senyawa nya. Terjadinya proses reduksi sangat tak diinginkan,
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
karena justru menjadikan logam-logam pengotor makin bersifat refraktory terhadap alkali sianida. Setelah proses pemanasan, pada batuan kadar mineral ikutan yang tinggi perlu dilakukan proses ekstraksi logam-logam ikutan dalam proses oksidasi lanjutan, yang merupakan proses oksidasi hydrometallurgy yang menggunakan bahan-bahan kimia cair. Proses pyrometallurgy bertujuan hanya membebaskan partikel emas, akan tetapi logam-logam pengotor yang terdapat di batuan tidak serta-merta hilang, akan tetapi mengalami perubahan struktur kimia agar proses pelarutan kimia dapat berlangsung lebih mudah dan cepat. Proses pyrometallurgy saat ini sudah tak ekonomis lagi digunakan dalam skala industri, disebabkan makin tingginya biaya energi, dan masih perlunya dilakukan proses oksidasi lanjutan berupa pelarutan logam-logam pengotor (pada batuan dengan jumlah logam ikutan yang relatif tinggi). Industri pengolahan mineral logam mulai beralih ke proses oksidasi yang berbasis hydrometallurgy sebagai solusi pengolahan yang murah dan efisiensi tinggi. Dalam rangka upaya makin menekan biaya produksi, akhir-akhir ini proses oksidasi pyrometallurgy mulai dilakukan menggunakan bantuan bakteri sebagai pengganti bahan kimia yang dirasakan mulai mahal, disamping kandungan logam emas dalam batuan yang makin menurun. Bakteri yang mulai banyak dikembangkan saat ini adalah bakteri pemakan besi dan bakteri pemakan belerang. Penggunaan bakteri sangat cocok diterapkan pada batuan berjenis sulfida. Namun untuk proses-proses pengujian skala laboratorium, penggunaan pyrometallurgy tetap menjadi pilihan utama karena kecepatan dan akurasi yang lebih tinggi. V.1.2. Oksidasi Udara (Oksigen) Oksigen dari udara bebas dapat mengoksidasi garam-garam mineral dari tepung batuan dalam waktu yang relatif lama. Sebagian dari pengolah batuan emas melakukan hal ini sebagai proses awal, dengan cara menjemur lumpur kering dan membolak-baliknya dalam waktu-waktu tertentu. Akan tetapi cara seperti ini sangat memakan waktu dan biaya tenaga kerja yang tinggi, sehingga tidak efisien untuk dilakukan. Oksidasi udara secara umum sama seperti proses oksidasi pyrometallurgy, akan tetapi waktu yang dibutuhkan menjadi relatif jauh lebih lama. Pada oksidasi udara, karbon bebas hampir tak teroksidasi, suatu hal yang membedakannya dengan proses pyrometallurgy. Pada proses oksidasi hydrometallurgy, udara dimasukkan ke dalam reaktor menggunakan bantuan alat kompresor bertekanan tinggi, dalam bentuk gelembung-gelembung udara. Penyuntikan udara ke dalam lumpur akan meningkatkan kehadiran oksigen terlarut di dalam lumpur. Oksidator udara memiliki penampilan dan kinerja yang cukup baik jika dikombinasikan dengan jenis-jenis oksidator lainnya, seperti oksidator-oksidator asam kuat dan garam-garam logam yang larut dalam air (perak nitrat atau timbal II ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
nitrat) . Oksigen bereaksi cukup cepat terhadap garam-garam sulfida logam seperti pyrite, tembaga sulfide, dan sebagainya. Pyrite dioksidasi udara menjadi garam besi III oksida yang tak larut dalam air maupun larutan asam. V.1.3. Oksidasi Hydrometallurgy Proses awal yang dilakukan dalam sistem sianidasi adalah oksidasi batuan/lumpur. Oksidasi bertujuan membuka selubung logam – logam pengotor agar tabir emas tersingkap. Logam – logam pengotor antara lain besi dalam bentuk Fe 2S (pyrite) dan CuFeS2 (chalcopyrite), zinc dalam bentuk sulfida (spallerite), palladium, dan logam – logam reaktif lainya. Pada batuan berjenis karbonat, oksidasi sangat diperlukan untuk menghindarkan penyerapan garam kompleks emas pada saat pelarutan berlangsung. Karbon yang berasal dari batuan sebagian dapat bertindak sebagai karbon aktif yang akan menyerap larutan emas, sehingga pada akhir proses pelarutan sebagian dari larutan garam kompleks emas hilang akibat terserap kembali oleh karbon yang berasal dari batuan. Untuk menghilangkan efek karbon ini dibutuhkan oksidasi yang cukup baik terhadap batuan. Selama proses oksidasi perlu disuntikkan udara bertekanan ke dalam tangki agitator. Tujuannya adalah untuk membantu oksidasi, melarutkan tembaga sulfida, mengoksidasi karbon yang ada di dalam batuan jenis karbonat untuk menghindarkan penyerapan logam mulia pada saat pelarutan berlangsung.Oksidator – oksidator yang digunakan dalam proses sianidasi antara lain gas klor (Cl), asam-asam anorganik (semisal asam nitrat, asam sulfat, asam perklorat, dan sebagainya), garam nitrat (umumnya menggunakan timbal nitrat), oksigen. Oksigen memegang peranan utama dalam proses oksidasi, baik sebagai oksidator logam – logam pengotor maupun sebagai oksidator senyawa sianida itu sendiri. Unsur logam pengotor seperti pyrite FeS 2, chalcosite CuS dan senyawa-senyawa lainnya dapat dengan mudah teroksidasi oleh oksigen menjadi Fe 2O3, CuSO4 dan sebagainya. Proses pelarutan logam emas dan perak juga memerlukan oksigen sebagai oksidator, agar proses ekstraksi dapat berlangsung. Kandungan oksigen yang tinggi di dalam larutan sangat membantu terjadinya proses oksidasi dan refraktori. Sesaat setelah pemasukan oksidator ke dalam reaktor, pH lumpur akan turun sesaat hingga menuju angka 3 (keadaan ini tak berlaku untuk jenis oksidator garam logam, seperti perak nitrat dan timbal nitrat). pH kemudian naik secara kontinu menuju angka 6,0 – 6,5 sebagai akibat terjadinya reaksi oksidasi yang menghasilkan garam logam, di mana pada posisi ini tercipta keadaan yang steadystate (kondisi pH yang stabil); atau dengan kata lain reaksi oksidasi sebagian besar telah selesai. Jikalau setelah 3 jam sejak oksidator dimasukkan namun angka pH
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
akhir berada di atas 6.5 (apalagi di atas 7), dapat dikatakan bahwa proses oksidasi belum berlangsung secara keseluruhan. Peristiwa oksidasi adalah reaksi redoks yang menghasilkan garam logam sebagai produk akhir. pH garam berada di kisaran 7; sehingga jika setelah oksidasi kisaran pH berada pada posisi 7, dapat dikatakan bahwa ada kemungkinan masih ada bagian dari mineral pengotor emas yang belum teroksidasi. Untuk memastikan bahwa oksidasi telah berlangsung sempurna, pH pada kondisi akhir haruslah berada di bawah 7 (masih berada dalam wilayah asam). Pada kisaran ini, terdapat kelebihan asam pada lumpur yang tak terlalu besar; artinya setelah oksidasi masih terdapat kelebihan sebagian kecil asam di dalam lumpur (pH antara 6-6,5). Selain pengaruh turunnya pH, penggunaan oksidator perlu memerhatikan wadah reaktor. Penggunaan media berbahan logam sangat tidak tepat digunakan dalam proses oksidasi menggunakan asam anorganik dan garam-garam logam, disebabkan media pun akan ikut teroksidasi selama proses berlangsung, sehingga oksidasi akan merusak media reaktor. HCl bereaksi sangat cepat dengan besi, menghasilkan larutan besi III klorida. Asam nitrat pekat bereaksi dengan lambat, akan tetapi pengenceran dengan air akan mempercepat reaksi. Garam perak nitrat memiliki reaksi yang sangat cepat terhadap besi; reaksi akan lebih cepat lagi jika larutan perak nitrat berubah menjadi senyawa perak klorida (keadaan ini bisa terjadi jika batuan mengandung garam klorida, atau air yang digunakan terkontaminasi oleh garam klor seperti garam dapur NaCl). Oleh karena itu suatu reaktor sudah semestinya menggunakan bahan-bahan yang terbuat dari non logam (plastik atau polymer). Untuk reaktor yang terbuat dari bahan plat besi, maka lakukan pelapisan pada bagian dalam menggunakan bahan yang tahan akan larutan kimia (chemicalresistance) seperti resin fiber. Oksidasi dapat juga dilakukan sebelum lumpur dimasukkan ke dalam reaktor untuk menghindarkan resiko kerusakan reaktor akibat penggunaan bahan kimia. Untuk cara ini lumpur ditempatkan terlebih dahulu pada wadah yang terbuat dari bahan plastic/polimer, kemudian dilakukan pencampuran dengan bahan oksidator. Lumpur baru dimasukkan ke dalam reaktor setelah proses oksidasi selesai dilakukan. V.1.3.1. Oksidator Hidrogen Peroksida Hidrogen peroksida H 2O2 merupakan oksidator yang cukup kuat, terutama jika digunakan pada batuan emas yang memiliki kandungan pengotor tak begitu besar (kandungan tembaga yang masih dapat ditoleransi). H2O2 bekerja sangat cepat pada lumpur; penggunaan cairan yang pekat (konsentrasi 50%) pada jumlah yang relatif banyak dapat mengakibatkan terbentuknya gelembung – gelembung busa udara yang bercampur lumpur halus, dalam jumlah yang cukup banyak. Penggunaan H2O2 yang optimal dalam proses oksidasi sebaiknya 1,5 – 2 liter (konsentrasi 50%) dalam setiap ton lumpur. Penggunaan yang berlebihan dapat ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
mengakibatkan pertumbuhan gelembung-gelembung udara yang sangat cepat, sehingga ada kemungkinan terjadinya peluapan busa – busa lumpur keluar dari reaktor. H2O2 bekerja lebih moderat dibanding oksidator jenis asam lainnya, karena sebagian besar hasil oksidasi bukanlah merupakan garam logam terlarut (kecuali batuan jenis sulfida yang mengandung tembaga dan zinc yang cukup signifikan). Disebabkan hal ini, untuk batuan emas dengan kandungan logam pengotor yang tak begitu tinggi, pengurasan larutan setelah proses oksidasi menjadi tak perlu. H2O2 juga sangat cocok jika digunakan secara bersamaan dengan oksidator jenis asam lainnya, ataupun digunakan bersamaan dengan oksidator garam logam, seperti timbal II nitrat dan perak nitrat. Penambahan H2O2 sebagai pendamping akan meningkatkan kinerja oksidator jenis lainnya. V.1.3.2. Oksidator Klor (Klorinasi) Gas klor dapat diperoleh melalui reaksi elektrolisis garam laut, atau dapat juga menggunakan asam klorida. Kelemahan penggunaan klor dalam oksidasi adalah sifat dasar zat tersebut yang asam, sedangkan proses sianida dilangsungkan dalam suasana basa. Disamping itu, klorinasi akan menghasilkan garam-garam yang larut. ZnS (s) + HCl
(l)
======> ZnCl2 (l) + H2S (g)
ZnO (s) + HCl (l) ======> ZnCl2 (l) + H2S (g) FeS2 (s) + 2HCl (l) ======> FeCl2 (l) + H2S (g) + S (s) S (s) + 2O2 (g) + H2O (l) ======> H2SO4 (l) + ½ O 2 (g) CuFeS2 (s) + 2HCl (l) ======> CuS (s) + FeCl2 (l) + H2S (g) CuS
(s)
+ 2O2 (g) =======> CuSO4 (l)
Dari persamaan – persamaan reaksi di atas, terlihat bahwa garam-garam padat dari unsur-unsur logam pengotor akan terlarut akibat reaksi klorinasi, bahkan sebagian diantaranya membentuk asam (H 2SO4). Garam larut ini pada akhirnya berdampak negatif pada proses sianida, antara lain terjadinya reaksi sampingan dengan larutan sianida. Sebagai misal, garam tembaga sulfat CuSO 4 bereaksi dengan alkali sianida membentuk garam kompleks tembaga sianida, sedangkan asam yang terbentuk akibat oksidasi udara H 2SO4 akan menimbulkan penurunan pH dalam proses sianida, yang berdampak pada terbentuknya hidrogen sianida HCN. Sebagaimana diketahui, HCN memiliki titik didih yang rendah (26 0C), diatas titik ini akan terjadi penguapan sianida. Reaksi yang tak diinginkan ini berdampak pada berkurangnya sianida bebas disebabkan terbentuknya ikatan kompleks dengan logam-logam tersebut. Zinc klorida yang terbentuk akibat klorinasi bereaksi dengan garam sianida membentuk garam kompleks zinc sianida.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Untuk mengurangi resiko borosnya pemakaian caustic soda, kapur, sianida dalam proses leaching (jika menggunakan klorinasi sebagai oksidator), dan karbon (jika menggunakan karbon sebagai ekstraktor cairan garam kompleks emas), maka larutan hasil klorinasi dibuang karena sifatnya yang asam, dan dilakukan dekantasi (pembilasan dengan air) terhadap lumpur untuk membersihkan sisa – sisa garam terlarut dan asam klorida sisa. Cara sederhana untuk memisahkan larutan dari lumpur adalah menghentikan pengadukan dan aerasi lumpur setelah proses oksidasi selesai. Pada situasi seperti ini, terjadi pengendapan lumpur dan mulai terlihat lapisan larutan bening di atasnya. Buang larutan bening tersebut hingga batas permukaan lumpur di bawahnya. Agar oksidasi dapat berlangsung dengan cepat serta penurunan pH akibat asam klorida tak terlalu ekstrim, asupan HCl bisa diserempakkan dengan pemasukan H2O2. Dalam hal penambahan hydrogen peroksida, jumlah HCl dapat dikurangi menjadi separuh dari takarannya, sedangkan jumlah peroksida yang dimasukkan sebanyak 25% dari jumlah volume HCl yang masuk. Penggunaan peroksida yang terlalu banyak akan menimbulkan gelembung-gelembung udara (busa) yang cukup banyak, bahkan ada kemungkinan terjadinya peluapan busa-busa udara dari bibir reaktor. Klorinasi memiliki kelemahan tersendiri jika lumpur yang diolah berasal dari ampas sisa pengolahan sistem amalgamasi, dikarenakan ampas tersebut tentu telah terkontaminasi dengan logam merkuri dalam jumlah yang signifikan. Klorinasi tidak mampu melarutkan merkuri, sehingga sisa logam merkuri yang tertinggal dalam lumpur akan memiliki pengaruh buruk yang signifikan dalam proses pelarutan sianida. Dalam beberapa kasus, jumlah merkuri yang tertinggal dalam lumpur limbah pengolahan amalgamasi bisa mencapai 3 kg per ton lumpur. Dalam proses pengadukan lumpur di dalam reaktor, merkuri yang tertinggal dapat terus-menerus mengamalgamasi partikel-partikel logam emas, sehingga akan menyulitkan dan dapat menurunkan perolehan emas dalam proses leaching. Proses klorinasi dilakukan selama 6 jam (bergantung jumlah logam pengotor dalam batuan). Adanya banyak udara dalam lumpur sangat membantu penyempurnaan dan percepatan oksidasi. Untuk lumpur yang berasal dari batuan kadar tembaga tinggi, kehadiran udara menjadi sangat penting, terutama dalam proses pelarutan garam padat tembaga sulfida menjadi larutan tembaga sulfat. Jumlah klorida yang diberikan selama proses oksidasi bergantung pada jumlah mineral ikutan di dalam batuan. Untuk batuan dengan persentase tembaga sebesar ±0,15% (1,5 kg) dan persentase zinc sekitar 0,1% (1 kg) dalam 1 ton (dalam hal ini jumlah logam pengotor sebanyak 2,5 kg), dibutuhkan larutan HCl pekat sebanyak 50% dari total berat logam pengotor, atau sekitar 1,25 kg HCl (konsentrasi 32%) per ton material lumpur. Pada kasus ini, jumlah logam pengotor sudah sangat signifikan meningkatkan penggunaan sianida, oleh karena itu larutan hasil oksidasi perlu dibuang dan dilakukan pembilasan lumpur menggunakan air biasa.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Dalam kondisi batuan emas yang rendah mineral pengikut, jumlah HCl yang dimasukkan berkisar 1 kg per ton material padat, dengan lama waktu oksidasi antara 3-6 jam. Pada batuan jenis ini, larutan mineral yang teroksidasi tak perlu dibuang sebab tak begitu signifikan terhadap peningkatan penggunaan sianida dan karbon aktif. Untuk hasil yang lebih baik, penggunaan HCl sebanyak 1 kg dan H2O2 0,25 kg per ton material padat lebih disarankan. Pada batuan yang mengandung logam palladium dalam jumlah yang dapat mengganggu dalam proses penyerapan menggunakan karbon dan peleburan debu logam (kandungan logam Pd di atas 5 gram per ton batuan), penggunaan HCl sebaiknya dikurangi sebanyak 50% dari takaran normal (1 kg HCl / ton batuan) menjadi hanya 0,5 kg HCl / ton batuan. Sebagai penggantinya, jumlah H2O2 dapat dinaikkan hingga 0,5 kg / ton batuan. HCl, dalam jumlah tertentu akan bereaksi dengan palladium membentuk senyawa logam larut PdCl2, suatu hal yang tak diharapkan terjadi. Larutan PdCl2 bereaksi dengan NaCN menjadi garam palladium sianida yang mudah terserap oleh karbon. V.1.3.3. Oksidator HNO3 Disamping proses klorinasi, oksidasi juga dapat dilakukan menggunakan asamasam anorganik lainnya, seperti asam nitrat HNO3, air raja (campuran asam nitrat : asam klorida 1 : 3), dan garam dari asam anorganik (seperti timbal nitrat), perak nitrat (AgNO3). Asam nitrat, dalam konsentrasi tinggi, dapat melarutkan hampir seluruh logam terkecuali logam emas dan platina. Dalam proses oksidasi yang menggunakan asam nitrat sebagai oksidator, untuk mencegah turut larutnya logam perak, perlu dilakukan pengenceran hingga angka molaritas terbesarnya ≤ 2 M. Penggunaan air sebagai pengencer juga turut memengaruhi hasil oksidasi lumpur. Air yang mengandung klor mengakibatkan terendapkannya kembali logam-logam merkuri dan timbal ke dalam lumpur (dalam bentuk garam padat berwarna putih HgCl 2 dan PbCl2). Garam yang tertinggal ini selanjutnya akan bereaksi dengan mudah terhadap sianida membentuk garam kompleks logam sianida, yang mengakibatkan pemborosan pemakaian sianida dalam proses leaching. Sama halnya seperti proses klorinasi, jika jumlah logam pengotor yang terlarut akibat teroksidasi dalam proses nitrox cukup besar, sehingga perlu dilakukan pembuangan cairan dan pembilasan, yang bertujuan memisahkannya dari lumpur sebelum proses leaching dilakukan. Asam nitrat merupakan oksidator asam anorganik yang sangat kuat, akan tetapi sedikit lambat jika berhadapan dengan karbon alami. Untuk memperkuat oksidasi nitrat, perlu ditambahkan hidrogen peroksida sehingga proses oksidasi berlangsung lebih cepat dan oksidasi dapat berlangsung sempurna. Penggunaan asam nitrat sebagai oksidator memiliki berbagai keunggulan dan kerugian. Keunggulannya antara lain merupakan oksidator yang sangat kuat, ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
mampu melarutkan sisa-sisa logam merkuri dan tembaga dari lumpur. Pada sebagian dari pengolahan lumpur emas, bahan baku yang diolah berasal dari lumpur limbah yang dihasilkan dari proses amalgamasi (menggunakan tromol dan merkuri sebagai alat produksi). Lumpur jenis ini mengandung logam merkuri yang cukup signifikan, dan sebagian diantaranya telah mengamalgamasi (melapisi dan menutupi permukaan) butiran halus logam emas, sehingga sebagian dari butiran emas tak bereaksi dengan larutan NaCN. Asam nitrat akan melarutkan logam merkuri menjadi larutan merkuri nitrat, sehingga permukaan logam emas terbebas dari lapisan merkuri. Kelemahannya; pada tingkat molaritas yang tinggi akan melarutkan juga logam perak, harga yang relatif mahal, boros dalam penggunaan sianida dan karbon. Pada kasus dimana jumlah logam pengotor sangat tinggi, penggunaan asam nitrat sebagai oksidator sudah tidak tepat disebabkan mahalnya biaya oksidasi. Seperti halnya proses klorinasi, jumlah oksidator asam nitrat yang dibutuhkan pada proses nitrox bergantung pada jumlah logam pengotor di dalam batuan. Jika jumlah logam pengotor (merkuri, tembaga, dan zinc) mencapai 3 kg dalam 1 ton material lumpur, maka dibutuhkan asam nitrat sebanyak 4,5 kg (1,5 x jumlah logam pengotor). Larutan dari lumpur hasil proses oksidasi yang menggunakan asam nitrat perlu dibuang dari lumpur (dikeluarkan dari reaktor) agar penggunaan sianida dapat ditekan pada proses leaching. Untuk batuan yang mengandung logam pengotor dalam tingkatan yang normal, penggunaan asam nitrat hanyalah 1-2 kg per ton material. Pada batuan jenis ini, larutan hasil oksidasi tak perlu dibuang sebab tak signifikan dalam peningkatan penggunaan sianida dan karbon pada proses leachingnya. Untuk kasus pengolahan lumpur batuan emas yang berasal dari limbah tromol yang menggunakan proses amalgamasi, maka sudah dapat dipastikan bahwa lumpur mengandung sejumlah logam merkuri yang kuantitasnya bervariasi antara 0,5 kg – 2 kg per ton lumpur. Sebagian logam emas dan perak yang berasal dari limbah tromol yang menggunakan merkuri telah mengalami proses amalgamasi (telah terbungkus oleh lapisan merkuri pada bagian luarnya). Jika proses oksidasi tak dilakukan sebelum proses leaching, maka sianida tak berhasil kontak dengan permukaan logam emas ; suatu hal yang sangat merugikan dari segi perolehan emas yang rendah. Untuk batuan yang mengandung mineral-mineral ikutan seperti palladium (Pd), tembaga, molybdenum (Mo), dan jenis-jenis logam bertitik leleh tinggi lainnya, penggunaan asam nitrat sebagai oksidator akan berakibat buruk dalam proses leaching, tingkat penyerapan yang buruk jika menggunakan karbon, dan peleburan logam harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi. Ikut sertanya logam pengotor ini larut dan terserap karbon mengakibatkan tingkat perolehan emas menurun, pemborosan sianida dan karbon, serta makin tingginya suhu pelelehan logam emas.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Sebagian batuan emas di sebagian besar daerah di Indonesia tidak cocok menggunakan asam nitrat sebagai oksidator, karena mengandung mineral-mineral ikutan yang bersifat mengganggu, dan dalam jumlah yang cukup besar. Sebagian besar daerah di pulau Sumbawa dan Sulawesi Utara dan Tenggara sangat tak cocok jika menggunakan asam nitrat sebagai oksidator. V.1.3.4. Oksidator Timbal Nitrat (Lead II Nitric) Pb(NO3)2. Dalam kasus dimana jumlah logam ikutan tidak begitu tinggi sehingga tak signifikan jika dilakukan dekantasi (pengurasan) (pengurasan) larutan, maka timbal nitrat Pb(NO 3)2 adalah zat oksidator yang juga tepat digunakan dalam proses sianidasi. Ion nitrat (NO 3-) merupakan oksidator yang sangat kuat. Untuk mendapatkan ion NO 3- yang murah dapat dilakukan dengan penambahan garam timbal nitrat Pb(NO 3 3 ) 2 ke dalam lumpur. Penggunaan timbal nitrat sebagai oksidator pada lumpur/batuan dengan logam ikutan yang tinggi justru mengakibatkan mengakibatkan peningkatan yang tajam dalam penggunaan sianida, meskipun rendemen logam utama yang dihasilkan menjadi signifikan jumlahnya. Hal ini terjadi karena garam timbal turut bereaksi dengan garam sianida membentuk garam timbal sianida. Proses oksidasi yang menggunakan timbal nitrat berdampak positif terhadap meningkatnya perolehan logam perak yang berasal dari senyawa argentit Ag 2S. Sebagaimana diketahui secara umum, jarang ditemui logam perak bebas di alam (kecuali yang berasosiasi dengan logam emas), melainkan sebagian besar berbentuk garam perak ; antara lain argentit Ag 2S, perak oksida Ag 2O, perak klorida AgCl, dan perak karbonat Ag 2CO3. Anion dari timbal nitrat (NO 3-) bekerja mengoksidasi garam perak sulfida Ag 2S, merubahnya menjadi garam perak yang mudah terlarut oleh alkali sianida. Batuan-batuan yang mengandung karbon alami sangat tepat dioksidasi oleh timbal nitrat, disebabkan sebagian timbal nitrat akan terserap oleh karbon selama proses ini, suatu hal yang sangat menguntungkan sebelum proses leaching dilakukan. Garam terlarut dari timbal nitrat yang masih tersisa setelah proses oksidasi mengalami perubahan menjadi endapan timbal hidroksida ketika pH dinaikkan (proses persiapan sebelum leaching dilakukan). Pb(NO3)2 + 2NaOH ====> Pb(OH)2
+ 2NaNO3
Timbal kemudian akan terlarut akibat bereaksi dengan garam alkali sianida menjadi larutan timbal II sianida yang akhirnya terserap oleh karbon alami yang bersumber dari batuan. Pb(OH)2 + 2NaCN
=====>
Pb(CN) 2 +
2NaOH
Pada batuan dengan kandungan unsur logam tembaga yang tinggi (terutama berjenis chalcopyrite), chalcopyrite), oksidasi menggunakan asam nitrat ataupun timbal nitrat tidak ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
tepat dilakukan, disebabkan tingkat penggunaan oksidator yang tinggi sangat mempengaruhi biaya produksi logam emas dan perak. Ion nitrat bereaksi dengan besi sulfida yang berasal dari chalcopyrite menghasilkan garam besi II nitrat yang selanjutnya berubah menjadi garam besi III yang tak larut. Reaksi dengan unsur besi ini tentu tak sebanding terhadap biaya penggunaan asam nitrat ataupun timbal nitrat yang cukup tinggi. Pada batuan dengan kandungan arsen yang tinggi, oksidator nitrox (asam maupun garam nitrat) sangat tepat digunakan karena kekuatannya dalam melakukan proses oksidasi.
������� ������ ������ ������ ��
������� ������ ������
������ ��
Proses oksidasi nitrat (nitrox) menggunakan garam timbal nitrat efektif dilakukan selama 6 jam sebelum proses leaching berlangsung. Jumlah timbal nitrat normal antara 100 gram – 200 gram per metrik ton lumpur, untuk batuan sulfida yang lebih tinggi jumlahnya dapat dinaikkan hingga 300 gram / ton. V.1.3.4.1. Pembuatan Timbal II Nitrat Sebagaimana yang telah dijelaskan, timbal nitrat digunakan sebagai oksidator pada proses leaching. Bahan-bahan baku yang digunakan untuk membuat garam timbal II nitrat adalah logam timbal/timah hitam) dan larutan asam nitrat HNO3 atau di pasaran sering disebut dengan nama “air keras”. Tiap 1 kg logam timbal membutuhkan 1 kg HNO3 untuk diproses menjadi garam timbal II nitrat. Setelah diproses, 1 kg logam timbal akan menghasilkan 1,7 kg garam timbal II nitrat yang kering. Langkah-langhkah proses pembuatan sebagai berikut : 1. Lebur kembali logam timbal timbal hingga cair (400 0C) di dalam krus tanah, kemudian tuangkan secara bertahap ke dalam ember yang telah diisi air, agar terbentuk butiran logam yang berukuran kecil. Tahap ini diperlukan agar proses pelarutan dapat dilakukan dengan cepat (sebagaimana diketahui, kecepatan suatu reaksi kimia selalu berbanding lurus dengan luas permukaan bahan-bahan yang direaksikan). ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
2. Masukkan butiran logam ke dalam dalam panci stainlees, stainlees, kemudian masukkan masukkan air yang bebas dari ion klor atau Cl (sebaiknya gunakan aquadest atau air mineral) sebanyak 3x volume logam timbal. 3. Tempatkan panci di atas kompor (sebaiknya (sebaiknya gunakan kompor berbahan berbahan bakar minyak tanah atau kayu), masukkan larutan HNO 3 pekat 68% sebanyak 2x volume air yang telah dimasukkan sebelumnya. 4. Rebus panci hingga hingga mendidih, mendidih, gunakan penutup penutup yang rapat agar agar uap tak keluar dari panci (sebagian dari uap mengandung gas NO 2 dan uap timbal nitrat yang yang cukup berbahaya bagi kesehatan). kesehatan). Sesekali cek dan buka penutup panci (gunakan masker pelindung pernafasan dan mata), jika uap coklat sudah hilang dan terlihat sebagian cairan mulai mengkristal, maka pindahkan cairan yang bening ke dalam ember besar. Kecilkan api kompor selama proses pendinginan larutan Pb(NO 3)2 di dalam ember. 5. Setelah larutan mulai mendingin (60 0C), tambahkan larutan HNO 3 ke dalam ember tersebut. Jika larutan sudah cukup kental, maka akan terbentuk kristal-kristal garam Pb(NO 3)2 dengan cepat selama proses penambahan HNO3 dilakukan. Hentikan penambahan jika sudah tak terbentuk lagi kristalkristal garam yang baru. 6. Selanjutnya larutan yang menggenangi menggenangi kristal dimasukkan dimasukkan kembali kembali ke dalam dalam panci stainless, dan perebusan dilanjutkan. 7. Ulangi proses-proses di atas hingga seluruh logam timbal telah habis terlarut dengan sempurna menjadi garam timbal II nitrat. 8. Kristal-kristal yang masih masih basah selanjutnya dijemur di bawah bawah matahari hingga mengering (jangan gunakan api sebagai pengering, sebab akan mengakibatkan timbal II nitrat dapat berubah menjadi timbal II oksida yang berwarna kuning). Jika terjadi perubahan senyawa menjadi oksida, maka percikkan sebagian larutan asam nitrat ke permukaan garam oksida hingga terjadi perubahan warna dan senyawa menjadi timbal II nitrat. 9. Sisa larutan yang belum mengkristal mengkristal dapat dijemur di bawah matahari hingga berubah mengering menjadi kristal. V.1.3.5. Oksidator Perak Nitrat AgNO 3 Perak nitrat merupakan oksidator yang sangat kuat dan sangat mudah tereduksi menjadi partikel logam perak jika bersinggungan dengan mineral-mineral yang lebih reaktif. Akan tetapi kekuatan dalam hal oksidasi ini tak seimbang dengan harga yang sangat tinggi, sehingga tak cocok digunakan dalam skala usaha. Perak nitrat, karena kekuatan oksidasinya, sangat mudah tereduksi menjadi logam perak jika bersentuhan dengan benda-benda logam seperti besi, tembaga, kuningan, dan sebagainya. V.1.3.5.1. Pembuatan Perak Nitrat AgNO 3 Perak nitrat diproduksi dari bahan baku logam perak murni dan asam nitrat pekat 68%. Proses pelarutan perak nitrat menggunakan panci stainless dan api sebagai ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
pemanas panci. Panci stainless dapat digantikan oleh panci yang terbuat dari gelas pyrex yang tahan terhadap suhu tinggi. Proses pembuatan sebagai berikut : 1. Rebus logam perak di dalam panci menggunakan asam nitrat pekat tanpa dicampur dengan air. Lakukan perebusan hingga uap coklat hilang dari panci (pada posisi ini asam nitrat sudah bereaksi semua dengan logam perak, membentuk larutan garam perak nitrat). 2. Jika logam perak masih ada yang tersisa, lakukan penambahan asam nitrat hingga semua larut menjadi cairan. 3. Lakukan perebusan larutan perak nitrat, hingga mulai terbentuk Kristal bening. 4. Selanjutnya jemur kristal perak nitrat beserta sisa cairannya hingga mengering. 5. Kristal perak nitrat sangat sensitif terhadap barang-barang yang mudah teroksidasi, oleh karena itu hindarkan garam perak ini bersentuhan dengan barang-barang tersebut. Terhadap kulit, perak nitrat mudah tereduksi menjadi lapisan perak yang berwarna hitam. Jika ini terjadi, gunakan larutan alkali sianida yang dioleskan pada permukaan kulit yang terkena, hingga semua lapisan hitam menghilang. Setelah itu cuci bersih dengan sabun permukaan kulit yang bersentuhan dengan sianida (sianida sangat bersifat racun !). V.1.3.6. Oksidator Aqua Regia (Air Raja) Air raja mampu melarutkan hampir semua logam beserta garam-garamnya, kecuali logam perak dan merkuri. Logam timbal dan garam-garamnya larut sedikit dalam air raja, terutama jika konsentrasi pelarut tak terlalu pekat. Air raja merupakan suatu pelarut yang berasal dari pencampuran antara asam nitrat dan asam klorida dalam perbandingan 1 : 3 volume/volume. Air raja merupakan oksidator yang sangat kuat hingga mampu melarutkan logam emas, dan besi III oksida (yang hampir tak larut oleh pelarut-pelarut asam anorganik lainnya). Air raja sangat cocok digunakan pada batuan-batuan dengan jumlah kandungan mineral pengganggu yang relatif kecil. Pada batuan yang telah tercemar logam merkuri, penggunaan air raja tidaklah tepat disebabkan sangat sedikitnya logam merkuri yang dapat larut. Air raja juga tidak cocok digunakan pada batuan yang memiliki kandungan logam-logam pengotor seperti molybdenum, palladium, dan sedikit platina. Pada batuan yang mengandung logam-logam ini, ekstraksi larutan yang dilakukan menggunakan karbon aktif akan menyulitkan, terutama pada saat peleburan hasil debu logam dilakukan. Oksidator air raja mampu melarutkan logam emas, oleh karena itu larutan hasil oksidasi tidak dibuang disebabkan adanya kemungkinan terlarutnya sebagian kecil ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
logam emas dalam air raja. Ukuran terbaik dalam penggunaan air raja sebagai oksidator adalah 1,5 kg per ton lumpur. V.1.4. Pengendalian Limbah Hasil Oksidasi Pengurasan larutan hasil oksidasi (jika batuan/lumpur memiliki kandungan logam pengotor yang cukup tinggi) perlu dilakukan setelah proses oksidasi, agar logamlogam terlarut yang berbahaya dapat diekstrak kembali dari garam terlarutnya. Larutan limbah proses oksidasi (terutama yang berbahan baku limbah proses amalgamasi) seharusnya dinetralisir terlebih dahulu dari logam beratnya sebelum dilakukan pembuangan. Untuk mengendapkan logam-logam berat dari larutannya, kita dapat menggunakan garam sodium sulphide (Na 2S) sebagai pembentuk garam tak larut yang sangat stabil. Hasil dari proses oksidasi yang menggunakan asam nitrat antara lain merkuri nitrat Hg(NO3)2, Pb(NO3)2, Cu(NO3)2 yang bersifat racun terhadap mahluk hidup. Penambahan sodium sulphide pada larutan limbah akan membentuk senyawa baru yang sangat sukar larut, sehingga menjadi partikel baru yang sangat aman bagi lingkungan. Pb(NO3)2(l) + Hg(NO3)2(l) + Cu(NO3)2(l) + Na2S(l) ====> PbS(s) + HgS(s) + CuS(s) + NaNO3(l) Kelarutan timbal sulfida maupun merkuri sulfida yang sangat rendah pada air ( hingga 10 -48 gram/liter) atau hanya 10 -42 ppm membuat penggunaan sodium sulphide sebagai penetral limbah sangat disarankan untuk diterapkan. V.1.5. Praktek Oksidasi Ada beberapa aspek yang pertlu diperhatikan sebelum memasukkan lumpur ke dalam reaktor (tong), yaitu : •
•
Pelapisan permukaan dalam dari reaktor yang terbuat dari logam (seperti besi misalnya) menggunakan bahan yang tahan terhadap larutan kimia (chemical resistance), seperti resin fiber, polyurethane (pernish anti gores untuk pelapis cat mobil), dan bahan-bahan sejenis lainnya. Tujuan pelapisan (coating) agar dinding reaktor tak ikut tergerus oleh reaksi kimia pada saat proses oksidasi berlangsung. Penggunaan kompresor yang memiliki tenaga cukup kuat untuk mengaduk lumpur (jika reaktor berbentuk kerucut) ; atau sumbu dan kipas propeller yang hampir menyentuh dasar reaktor, dan ujung-ujung kipasnya hanya berjarak sekitar 15 cm dari permukaan dinding reaktor (jika reaktor berbentuk tabung dengan dasar yang horizontal dan menggunakan propeller sebagai pengaduk utama lumpur). Untuk reaktor yang berbentuk kerucut, sebaiknya angin dari kompresor udara hanya masuk dari 1 selang saja dengan lubang masuk (inlet) berasal dari bagian paling bawah dari reaktor, agar tak terjadi pembagian tekanan udara. Penggunaan selang yang
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
•
berlebihan akan mengakibatkan terjadinya pengurangan tekanan, yang berakibat pada terjadinya pengendapan material di dasar reaktor. Penggunaan selang yang berlebihan dapat menimbulkan ketimpangan tekanan antar selang, yang pada akhirnya dapat menimbulkan endapan pada sebagian wilayah reaktor. Lumpur yang diolah sebaiknya telah berukuran mesh 150, agar proses oksidasi dan pelarutan bisa berlangsung sempurna. Ukuran mesh yang lebih kasar beresiko terhadap pengendapan material di dasar reaktor, serta kemungkinan makin lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses leaching. Ukuran yang kasar tak akan mampu untuk diaduk oleh agitator, ataupun oleh udara tekanan tinggi, sehingga akan mengendap di dasar reaktor. Akibat dari pengendapan ini, biasanya sebagian dari karbon yang dimasukkan ke dalam reaktor akan terjebak di dalam partikel yang mengendap, sehingga mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan karbon. Efek lainnya adalah kemungkinan butiran garam sianida yang dimasukkan juga akan terperangkap dalam lumpur yang mengendap, yang juga berakibat pada borosnya pemakaian sianida. Partikel lumpur yang mengendap juga mengakibatkan rendahnya perolehan logam dalam proses leaching.
V.1.6. Pengisian Lumpur ke Dalam Reaktor dan Penimbangan Berat Jenis. Lumpur terlebih dahulu dimasukkan ke dalam alat mixer yang berfungsi menghancurkan gumpalan-gumpalan lumpur yang telah mengeras, gunakan air sebagai pengencer. Saring terlebih dahulu lumpur encer menggunakan saringan kawat baja mesh 28-40 untuk memisahkan dari batu-batu ukuran kecil yang mungkin masih tercampur dengan lumpur, kemudian lumpur dihisap menggunakan pompa lumpur dan dimasukkan ke dalam reactor dari bagian atas. Selama proses pengisian berlangsung, kompresor udara sebagai penyplai udara tekanan tinggi telah dinyalakan agar tak terjadi sedimentasi lumpur, setelah semua lumpur masuk, lakukan penimbangan berat jenis lumpur hingga tercapai angka 1,5 kg/liter atau lebih. V.1.7. Proses Oksidasi •
•
Masukkan garam timbal II nitrat sebanyak 25 gram per ton material padat (lumpur kering). Disamping sebagai oksidator, garam timbal bermanfaat untuk menetralisir karbon aktif yang berasal dari alam. Proses timbal nitrat berlangsung selama 1 jam sebelum proses pemasukan oksidator berikut. Masukkan oksidator asam yang sesuai terhadap jenis batuannya dalam proses ini. Jika menggunakan HNO 3, maka masukkan HNO3 68% sebanyak 1,5 kg per ton material. Jika menggunakan HCl, masukkan sebanyak 2 kg HCl 32% per ton material. Jika material sebanyak 4 ton, maka jumlah oksidator HCl = 4 x 2 kg = 8 kg. Lakukan proses oksidasi selama 6 jam, dibantu pengadukan menggunakan propeller dan udara tekanan tinggi (yang
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
•
berasal dari kompresor). Dalam beberapa hal, HNO 3 sangat cocok digunakan sebagai oksidator, namun dalam beberapa kasus oksidator ini dapat menyulitkan jika batuan emas juga mengandung sejumlah tertentu logam-logam palladium, molybdenum, dan beberapa jenis logam lainnya yang larut terhadap sodium sianida. Sebagai misal, sebagian besar batuan emas di pulau Sumbawa dan Sulawesi Utara tidak cocok menggunakan HNO3 karena turut larut dan terserapnya logam-logam tersebut. Kesulitan akan muncul ketika ekstraksi menggunakan karbon aktif, dan pada proses peleburan akan terkendala oleh titik leleh yang tinggi. Penuangan larutan asam sebaiknya dilakukan sekaligus agar pH awal sesaat mulai oksidasi dapat terukur. pH awal sebaiknya berada antara 2 – 3 agar proses oksidasi dapat berjalan dengan cepat dan sempurna Setelah 6 jam, lakukan pengenceran hingga mencapai berat jenis lumpur 1,25 kg/liter. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik (jika tingkat persentase logam pengotor cukup tinggi), setelah 6 jam masukkan air ke dalam reaktor hingga memenuhi permukaan atas reaktor.
V.2. Proses Pelarutan Emas (Sianidasi) Pada proses leaching, beberapa parameter harus diperhatikan secara berkala agar pelarutan terus berlangsung hingga memperoleh hasil yang optimal. Ekstraksi yang benar akan menghasilkan perolehan logam hingga 95%, namun sistem yang salah dapat berakibat buruk pada perolehan logam. Untuk memperoleh hasil yang maksimum, maka parameter-parameter yang mempengaruhi proses pelarutan harus tetap diperhatikan dan dikendalikan. Parameter-parameter yang penting antara lain pH larutan, tegangan oksidasi-reduksi, suhu lumpur, kadar oksigen terlarut, dan waktu pelarutan. V.2.1. Penetapan pH Awal. Emas dan perak yang berada di dalam lumpur diekstraksi dengan cara dilarutkan oleh garam sianida, sehingga secara fisik terpisah dari lumpurnya. Selama proses oksidasi, pH larutan pada lumpur menjadi turun ke angka di bawah 7. Proses sianidasi mensyaratkan kondisi pH yang tinggi dan beroperasi dalam wilayah basa, oleh karena itu sebelum proses ini pH lumpur perlu dinaikkan terlebih dahulu menggunakan garam alkali basa tinggi semacam caustic soda NaOH atau kapur CaO. Pemilihan untuk menggunakan caustic atau kapur tergantung pada beberapa hal, antara lain : 1. Menggunakan karbon aktif atau tidak sebagai ekstraktor? Jika menggunakan karbon aktif, sebaiknya gunakan kapur. Alasannya adalah caustic juga bereaksi dengan silika membentuk senyawa Na 2OSiO2 (water glass), suatu senyawa kompleks silika yang larut dalam air pada pH tinggi. 2 NaOH + SiO2 =====> Na2SiO3 + H2O, atau secara ion sebagai berikut ;
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
2 Na+ + 2 OH- + Si2+ + 2O2- =====> 2 Na+ + SiO32- + H2O Anion kompleks silika SiO 32- yang larut akan terserap oleh karbon aktif, sehingga tingkat konsumsi karbon aktif pun menjadi naik, dan akan timbul kesulitan dalam proses peleburan tepung logam, disebabkan ion silika yang dibakar beserta karbon akan tereduksi kembali menjadi tepung silika yang bercampur dengan tepung logam. 2. Jika menggunakan debu zinc atau elektrowinning dalam mengekstraksi logam emas dari kompleksnya, maka penggunaan caustic soda yang dikombinasikan dengan kapur sebagai reagen penaik pH adalah pilihan yang tepat. Dalam proses penaikan pH yang dilakuka oleh caustic, maka sebagian silika turut terlarut, sehingga membawa keuntungan berupa terbukanya sebagian selubung bijih emas yang mungkin masih terbungkus oleh silika setelah proses oksidasi dilakukan. Sebagaimana diketahui, silika hanya larut terhadap pelarut hidrogen fluorida (HF) pada suasana asam; caustic soda NaOH, dan soda ash Na 2CO3 pada suasana basa. Caustic juga bereaksi dengan logam-logam dasar seperti besi, tembaga, mangan, dan cenderung mengoksidasi logam-logam tersebut menjadi garamnya. Dengan kata lain, penggunaan caustic sangat menguntungkan, karena proses liberalisasi bijih emas masih berlanjut paralel dengan proses pelarutan sianida. Sebelum sianida dimasukkan, perlu dilakukan pengukuran pH larutan dan tegangan redoks. Tegangan redoks dalam proses sianida berada dalam kisaran (-)200 mV hingga (-)350 mV. Pada tingkat pH di posisi 7, tegangan redoks menjadi 0 mV, kenaikan pH lebih lanjut akan menurunkan tegangan redoks ke arah negatif. pH awal sebelum sianidasi dimulai perlu dinaikkan hingga kisaran 10,5 – 11 untuk menurunkan konsentrasi ion hidrogen bebas di dalam lumpur. V.2.2. Komposisi Awal Sianida dan Parameter Lainnya Garam alkali sianida (KCN / NaCN) dapat dilarutkan terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke tangki pelarut (reaktor), atau dapat langsung dimasukkan ke dalam reaktor dalam bentuk butiran. Pada kondisi umum, berat jenis campuran antara air dan lumpur yang optimal dalam proses leaching berada pada posisi antara 1,25 kg – 1,3 kg per liter lumpur cair. Pada berat jenis lumpur cair 1,25 kg/liter, jumlah awal sianida yang optimal berada pada angka 2,5 kg per ton lumpur padat, dan untuk berat jenis lumpur 1,3, jumlah sianida awal optimal berada pada kisaran 2 kg/ton lumpur padat. Perbedaan jumlah sianida tersebut dikarenakan berbedanya volume air di dalam reactor (konsentrasi air yang lebih besar menuntut penggunaan sianida yang juga lebih besar; patokan sejatinya adalah jumlah sianida terlarut, yang dihitung dalam satuan ppm atau gram per ton). Untuk lumpur yang memiliki kandungan logam emas yang tinggi, sebaiknya berat jenis lumpur cair berada pada kisaran 1,25 kg per liter. Sebelum sianida dimasukkan, perlu diketahui jumlah berat total lumpur padat yang masuk reaktor. 1 ton lumpur, pada tahap awal memerlukan 2 kg KCN / NaCN, atau ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
800-1000 ppm NaCN (800-1000 gram NaCN / 1 ton material lumpur cair). Untuk mengukur kadar NaCN dapat digunakan alat TDS meter (conductivity-meter). Jika jumlah lumpur padat yang masuk sekitar 5 ton, maka jumlah NaCN awal sebanyak 5 x 2 kg = 10 kg. Pemasukan sianida akan menaikkan pH lumpur hingga menuju angka di atas 11. Selama proses ini lumpur terus diaduk dengan kecepatan konstan. Pemerian suntikan udara kedalam lumpur sangat perlu, disamping berfungsi sebagai oksidator sianida, juga membantu terjadinya oksidasi mineral sulfida, sehingga lebih memudahkan pelarutan. Reaksi – reaksi pelarutan sebagai berikut : 4 Au (s) + 8 NaCN (l) + O2 (g) + 2 H2O (aq) 4 Ag (s) + 8 NaCN
(l) +
=====>
4 Na[Au(CN)2] (l) + 4NaOH
(l)
O2 (g) + 2 H2O (aq) =====> 4 Na[Ag(CN)2] (l) + 4NaOH
(l)
Dari reaksi-reaksi kimia di atas terlihat bahwa reaksi pelarutan logam emas dan perak yang menggunakan alkali sianida sebagai pelarut, membutuhkan oksigen yang terlarut dalam lumpur dan molekul air. Hasil dari reaksi membentuk larutan garam kompleks emas sianida dan perak sianida serta terbentuknya garam natrium hidroksida (NaOH / caustic soda). Tanpa kehadiran oksigen dan molekul air dalam larutan sianida, maka pelarutan logam emas tak mungkin terjadi. V.2.3. Pengendalian Jumlah Sianida Terlarut. Selama proses leaching berlangsung, terjadi penurunan kuantitas alkali sianida di dalam lumpur, sebagai akibat dari pengurangan karena proses pelarutan logam, dan pengurangan yang terjadi akibat penguapan dari senyawa hidrogen sianida (HCN). Menurunnya jumlah kandungan sianida terlarut mengakibatkan melambatnya waktu pelarutan logam emas. Penambahan sianida berikutnya perlu dilakukan jika 2 kondisi yang secara bersamaan menyertai : 1. Turunnya kandungan NaCN dalam lumpur hingga berada di bawah angka 800 ppm, 2. Hasil pengujian karbon sampel; jika secara visual tingkat serapan logam emas masih cukup banyak, lakukan penambahan hingga mencapai angka 800 ppm; jika kandungan emas dalam karbon sampel mulai menurun, penambahan dapat dilakukan dalam jumlah yang kecil saja hingga mencapai angka 600-700 ppm. Dalam kondisi tanpa alat pengukur, penambahan dapat dilakukan setiap 12 jam, dan penambahan juga bergantung pada hasil peleburan karbon sampel yang digantung sedikit di bawah permukaan cairan lumpur dalam reaktor . Penambahan NaCN pertama sebanyak 25% dari jumlah NaCN awal, selanjutnya menurun menjadi 10% setiap penambahan. Penambahan dihentikan jika pada pengujian karbon diperoleh indikasi kuantitas logam terserap yang menurun, serta warna mulai menunjukkan dominasi logam perak. Memang, dalam kondisi tanpa alat pengukur, penambahan secara perkiraan saja memiliki dampak negatif berupa pemborosan dalam konsumsi NaCN. V.2.4. Pengaruh pH
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Alkali sianida (NaCN / KCN) saat dilarutkan dengan air akan terionisasi menjadi Na + dan CN-. NaCN
(s)
+ H2O (aq)
======> Na+ + CN- + H2O (aq)
CN- dalam larutan bersifat bebas dengan kelebihan 1 elektron pada molekulnya. pH larutan turun disebabkan meningkatnya konsentrasi ion hidrogen (H +) di dalam larutan. Pada deret volta terlihat bahwa kation hidrogen memiliki tingkat reaktifitas yang lebih rendah dibandingkan kation natrium (Na) atau kalium (K), sehingga kation ini akan cenderung berpasangan dengan anion CN yang memiliki sifat basa lemah. Hal ini mengakibatkan terjadinya kemungkinan terbentuknya asam HCN (hidrogen sianida). HCN sangat mudah menguap disebabkan titik didihnya hanya 260C, sehingga sedikit di atas suhu kamar akan terjadi penguapan. Pada proses pelarutan sianidasi, suhu lumpur meningkat hingga mampu mencapai 42 0C. Reaksi pelarutan menghasilkan panas pada sistem (reaktor) sebagai akibat dari pelepasan kalor dari logam/senyawa yang dilarutkan. Tentu saja pada suhu tersebut sangat mudah terjadi penguapan sianida bebas. Penguapan sianida merugikan disebabkan 2 hal yaitu : •
•
Penguapan berarti berkurangnya kadar sianida di larutan. Hal ini berdampak pada rendahnya efesiensi pelarut. Penguapan sianida sangat berbahaya. Senyawa sianida adalah zat yang sangat toksik dan mematikan.
Agar peluang terbentuknya asam sianida (HCN) di larutan menurun maka konsentrasi hidrogen (H +) harus diturunkan serendah mungkin dengan penambahan caustic soda (NaOH) atau tepung batu kapur CaO. Penambahan zat ini akan menekan konsentrasi hidrogen bebas dalam larutan, dan tentu saja menaikkan pH larutan. Selama proses pelarutan (sianidasi), 3 kemungkinan yang akan terjadi terhadap pH lumpur ; pH naik terus, pH turun, atau nilai pH pada angka yang tetap. Kondisi nilainilai dinamis pH tersebut disebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang beriringan dengan proses pelarutan. Pada sub-bagian berikut dijelaskan secara rinci hal-hal yang mengakibatkan terjadinya perubahan pH selama proses leaching berlangsung. V.2.4.1. Kenaikan pH Pada proses sianidasi, khususnya dalam hal pelarutan emas dan perak, dihasilkan juga caustic soda sebagai produk dari reaksi pelarutan. Penambahan caustic yang terjadi akibat reaksi pelarutan ini menaikkan pH lumpur menjauh dari angka 10,5 11. Caustic soda memiliki pH yang sangat tinggi (di atas 14), sehingga peningkatan konsentrasi caustic di dalam lumpur berdampak pada peningkatan pH lumpur itu sendiri. Meningkatnya angka pH merupakan indikasi terhadap beberapa hal : -
Terjadinya proses pelarutan emas dan perak.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
-
-
Kenaikan pH yang cepat pada proses leaching mengindikasikan bahwa pelarutan berlangsung baik, dan jumlah logam emas dan perak yang terlarut signifikan terhadap kenaikan pH. Sempurnanya proses oksidasi, sehingga pembentukan hidrogen bebas akibat masih tersisanya belerang di dalam lumpur pada saat proses leaching makin rendah. Tingginya kandungan belerang berdampak pada larutnya belerang oleh oksigen dalam lumpur, yang pada akhirnya membentuk larutan asam sulfat yang dapat menurunkan pH lumpur.
Kenaikan pH menyebabkan turunnya kelarutan oksigen di dalam lumpur. Oksigen sangat dibutuhkan dalam proses pelarutan emas dan perak, khususnya emas dan perak logam. Makin tinggi pH akan makin sulit dan lambat logam emas melarut dalam sianida. Oleh karena itu perlu dilakukan penurunan pH mendekati angka 11, agar pelarutan kembali optimum. Penurunan pH dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain menyuntikkan oksigen bertekanan untuk meningkatkan kehadiran oksigen dalam lumpur. Penambahan hidrogen peroksida H 2O2 juga menurunkan angka pH. Penyuntikan oksigen ke dalam lumpur hanya mampu menurunkan pH dalam kisaran yang sempit dan memiliki sifat sementara. Peroksida, terutama hidrogen peroksida, merupakan oksidator yang sangat kuat. pH dapat diturunkan melalui penambahan H 2O2. Kehadiran H2O2 meningkatkan kadar oksigen terlarut di dalam lumpur, yang berasal dari penguraian peroksida itu sendiri. Pada kenyataannya, penurunan pH yang terjadi akibat pemasukan cairan peroksida ke dalam lumpur hanya mampu menurunkan pH dalam waktu yang sesaat juga. Berselang beberapa waktu setelah pemasukan peroksida, pH larutan kembali berangsur-angsur naik kembali, sebagai akibat meningkatnya kembali proses pelarutan emas yang menyebabkan terbentuknya produk sampingan caustic soda NaOH di dalam lumpur. H2O2 (l) ===> H2O (aq)
+
½ O2 (g)
Penambahan hidrogen peroksida yang berlebihan justru menyebabkan terjadinya penyimpangan akhir reaksi, yang mengakibatkan sianida ternetralisir. Larutan peroksida, sebelum ditambahkan, sebaiknya diturunkan konsentrasinya hingga di bawah 10% melalui pengenceran dengan air. Pengenceran peroksida bertujuan mengurangi resiko penguapan sianida bebas akibat dari pembentukan hidrogen sianida di larutan. Penambahan peroksida pekat akan menimbulkan reaksi yang seketika serta peningkatan panas yang cepat di dalam lumpur. Panas yang tinggi sangat jelas beresiko terhadap terjadinya penguapan sianida. Penambahan peroksida sebaiknya dilakukan secara bertahap agar tak terjadi kejenuhan lokal, yang justru dapat menyebabkan penyimpangan reaksi antara sianida dan peroksida. Putaran agitator sebaiknya dilakukan secara maksimal agar homogenisasi larutan cepat terjadi, khususnya disaat penambahan oksidator dari
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
luar. Putaran yang tinggi juga sangat berdampak positif terhadap kelarutan oksigen di dalam lumpur. Pemberian peroksida yang terlalu berlebihan juga berdampak terhadap makin mudahnya logam-logam pengotor (yang masih tersisa di lumpur) larut oleh sianida. Ukuran pH di angka 10,5 merupakan indikator yang sangat kritis terhadap penguapan sianida dan pelarutan logam-logam pengotor. Oleh sebab itu nilai pH selalu dikondisikan di atas 10,5 , atau 11. Pada nilai pH di posisi 12,5 - 13, pelarutan logam makin melambat, oleh karena itu perlu dilakukan pemberian cairan peroksida untuk menambah kelarutan oksigen di dalam lumpur. Tingginya konsentrasi larutan garam kompleks logam dalam lumpur juga mengakibatkan makin sulitnya oksigen larut dalam lumpur. Konsentrasi larutan garam emas yang tinggi mengakibatkan naiknya tegangan permukaan larutan, sehingga oksigen mengalami kesulitan untuk larut. Dalam proses leaching yang menggunakan karbon sebagai penyerap garam kompleks emas, penambahan karbon ke dalam tangki reaktor mampu menurunkan konsentrasi garam larut dari emas. Akibatnya terjadi kenaikan oksigen terlarut dalam lumpur. Untuk proses leaching yang menggunakan alat elektrowinning sebagai reduktor garam emas dan perak, pengoperasian alat pada saat konsentrasi emas tinggi di larutan juga dapat menurunkan konsentrasi secara signifikan. Dari berbagai uraian di atas bisa disimpulkan bahwa kenaikan pH lumpur disebabkan terjadinya pelarutan logam emas dan perak. Makin cepat kenaikan terjadi, maka makin tinggi kandungan emas di dalam lumpur tersebut. Pada pH yang terlalu tinggi, pelarutan akan melambat sehingga proses leaching memakan waktu yang lebih lama ; oleh karena itu perlu dilakukan penurunan pH (walaupun sifatnya hanya sementara) agar kecepatan reaksi mampu pulih kembali. V.2.4.2. Penurunan pH pH dapat saja turun pada proses pelarutan sianidasi. Penurunan pH dapat terjadi akibat terbentuknya ion sulfat SO 42- di dalam lumpur, banyaknya logam-logam pengotor yang terlarut (seperti logam merkuri, tembaga, dan zinc). Ion sulfat terbentuk akibat teroksidasinya belerang (baik belerang bebas maupun yang berikatan secara kimia) oleh udara ataupun oksidator lainnya. Copper sulphide akan dengan mudah teroksidasi oleh udara, menghasilkan copper sulphate. Disebabkan ion sianida lebih stabil dan lemah dibanding sulfat, maka kation tembaga lebih cenderung memilih berikatan secara kompleks dengan sianida dibanding sulfat. Akhirnya anion sulfat akan menimbulkan suasana asam di larutan, dan selanjutnya bereaksi dengan caustic soda membentuk garam sodium sulfat. Unsur belerang dalam jumlah besar ditemukan di dalam lumpur yang tak dioksidasi sebelum proses leaching dilakukan. Contoh reaksi pembentukan sulfat sebagai berikut : CuFeS2 + O2 =====> CuS + FeO + SO
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
CuS + O2 =====> CuSO4 CuSO4 yang terbentuk akibat reaksi antara mineral chalcopyrite dan udara akan terurai di dalam lumpur dalam bentuk kation dan anion bebas : CuSO4 =====> Cu2+ + SO42Kation-kation bebas tembaga selanjutnya bereaksi dengan anion sianida maupun anion hidroksida senyawa ion tembaga II sianida dan tembaga II hidroksida. Berikut contoh reaksi garam tembaga sulfat dan NaCN dalam lumpur : 2 CuSO4 + 2 NaCN + 2 NaOH =====> Cu(CN)2 + Na2SO4 + Cu(OH)2 Dalam bentuk reaksi ion sebagai berikut ; 2 Cu2+ + 2 SO42- + 4 Na+ + 2 CN- + 2 OH- =====> Cu(CN) 2 + 2 Na2SO4 + Cu(OH)2 Sama seperti caustic atau kapur, NaCN pada dasarnya memiliki pH yang tinggi. Dengan bereaksinya sebagian sianida dan caustic/kapur membentuk garam tembaga II sianida, tembaga II hidroksida, dan natrium sulfat Na 2SO4 (yang keduanya memiliki pH relatif netral), maka terjadi penurunan pH larutan pada lumpur. Tembaga II hidroksida selanjutnya bereaksi dengan sianida membentuk garam tembaga II sianida. Masih adanya kelebihan sianida dalam larutan menyebabkan terbentuknya larutan kompleks tembaga sianida seperti berikut : Cu(CN) 2 + 2 NaCN =====> Na2[Cu(CN)4] Terbentuknya larutan kompleks logam mengakibatkan turunnya konsentrasi sianida bebas dan turunnya pH lumpur. pH lumpur yang terus turun berdampak pada mengendapnya kembali logam emas dan perak akibat berkurangnya sianida bebas; turunnya sianida bebas mengakibatkan reaksi balik pada garam kompleks logam sianida, sehingga peluang tereduksinya logam makin besar. Turunnya konsentrasi sianida bebas juga berdampak pada makin tingginya tingkat konsumsi sianida pada proses leaching, sehingga biaya produksi pun akan makin tinggi. Turunnya pH pada proses leaching dipengaruhi oleh tingginya kandungan belerang pada lumpur. Ini disebabkan oleh : 1. Banyaknya kandungan mineral refraktory pada lumpur. 2. Tak dilakukannya proses liberalisasi / oksidasi sebelum proses leaching dilakukan, ataupun disebabkan kurang sempurnanya proses liberalisasi dilakukan. Menghadapi turunnya pH, maka tindakan cepat yang harus dilakukan adalah menaikkan kembali pH lumpur menuju angka 11. Jika penurunan terjadi dalam waktu yang relatif cepat, maka sebaiknya pH dinaikkan hingga 12, agar proses pelarutan belerang dapat diperlambat. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Gambar… pH Saku Digital .V.2.4.3. Nilai pH yang Hampir Tetap Pada situasi di mana angka pH yang relatif stabil, patut dicurigai berbagai kemungkinan yang terjadi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pH lumpur dalam kondisi stagnan, antara lain : 1. Kandungan sianida bebas berkurang sehingga proses pelarutan menjadi sangat lambat. Indikasi kurangnya sianida dapat diindikasikan menggunakan reagen sianida, atau menggunakan alat pengukur sianida bebas (instrumen elektronis). 2. Adanya keseimbangan antara pelarutan logam emas dan perak di satu sisi (yang menyebabkan terjadinya kenaikan pH), serta oksidasi belerang dan pelarutan logam pengotor di sisi lainnya (penyebab terjadinya penurunan pH). Pada kondisi ini proses leaching tetap berlangsung dengan baik, sehingga tak perlu dilakukan penambahan zat apapun ke dalam lumpur. 3. Rendahnya kandungan emas dan perak di dalam lumpur, sehingga proses pelarutan logam emas yang menghasilkan kenaikan pH akibat terbentuknya larutan caustic soda berlangsung dalam intensitas yang lambat.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Gambar pH Portable Digital (pH + V redoks + Temp) V.2.5. Jumlah Oksigen Terlarut Beberapa jam setelah sianida dimasukkan, kelarutan emas dan perak mulai meningkatkan tekanan permukaan larutan, sehingga menyulitkan oksigen untuk larut ke dalam cairan. Naiknya tekanan permukaan disebabkan larutan garam kompleks logam memiliki tekanan yang cukup tinggi, terutama garam kompleks emas. Penurunan kelarutan oksigen sangat berpengaruh terhadap turunnya kecepatan reaksi pelarutan emas. Pada proses sianidasi, faktor oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses pelarutan logam emas. Tingginya tingkat oksigen terlarut mengakibatkan makin cepatnya waktu proses pelarutan logam, demikian juga sebaliknya. Jumlah oksigen terlarut (terukur) yang
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
optimal dalam proses leaching adalah minimum 6 miligram per liter (dapat diukur menggunakan alat D/O meter). Pada kenyataannya, proses pelarutan justru akan mengakibatkan turunnya tingkat kelarutan oksigen di dalam lumpur, yang terjadi akibat : Terkonsumsinya oksigen terlarut selama proses reaksi leaching berlangsung. Oksigen, bersama-sama dengan air membentuk senyawa baru NaOH sebagai hasil sampingan dari reaksi leaching. Jumlah oksigen terlarut akan terus menurun seiring makin lamanya waktu pelarutan berlangsung, dan tingginya kuantitas logam yang turut dalam reaksi (emas, perak, dan tembaga misalnya). Tingkat oksigen terlarut dapat turun hingga mencapai angka 0 miligram per liter; pada kondisi ini proses pelarutan makin melambat dan pada akhirnya terhenti Kenaikan pH yang disebabkan terus terbentuknya senyawa caustic soda NaOH selama reaksi leaching berlangsung. Nilai pH yang makin tinggi mengakibatkan oksigen makin sulit larut ke dalam lumpur. Naiknya tekanan permukaan cairan lumpur yang diakibatkan larutnya logamlogam. Makin banyak konsentrasi logam-logam terlarut juga menyebabkan oksigen makin terdesak dari larutan logam tersebut.
•
•
•
Gambar D/O meter
Untuk menaikkan kembali tingkat kelarutan oksigen, kita dapat melakukan dengan 3 cara yaitu : •
Menyuntikkan udara bertekanan tinggi ke dalam lumpur. Penggunaan kompresor udara, disamping sebagai alat pengaduk lumpur, juga berfungsi sebagai penyuplai oksigen ke dalam lumpur. Dalam hal-hal yang khusus, terutama pada tingkat pH yang cukup tinggi, penggunaan udara bertekanan
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
•
•
tinggi hanya melarutkan sedikit oksigen ke dalam lumpur, sehingga diperlukan kombinasi dengan cara-cara di bawah ini. Memasukkan larutan hidrogen peroksida sebagai senyawa yang kaya akan oksigen. Penambahan peroksida akan memaksa oksigen (yang berasal dari peroksida itu sendiri) berada di dalam lumpur dalam interval waktu yang tak terlalu lama. Penggunaan H 2O2 memang sangat baik, terutama mampu mempercepat proses leaching berlangsung. Akan tetapi penggunaan yang berlebihan dapat mengakibatkan ternetralisirnya sebagian dari alkali sianida sehingga justru bersifat merusak. Larutan H 2O2 yang digunakan sebaiknya memiliki konsentrasi yang lebih rendah dari 10% (jika yang tersedia berkonsentrasi di atas 10%, lakukan pengenceran dengan air terlebih dahulu). Penambahan peroksida sebaiknya jugs berpedoman kepada ukuran yang tertera di alat D/O meter (pemberian H 2O2 dilakukan jika tingkat kelarutan oksigen menurun hingga di bawah 6 miligram/liter) Memasukkan karbon aktif ke dalam lumpur. Pemasukan arang aktif merupakan suatu solusi yang menarik dalam proses menaikkan jumlah oksigen terlarut di dalam lumpur. Arang yang masuk akan menyerap garamgaram logam dari larutannya, dan pada saat yang sama juga melepaskan oksigen ke dalam lumpur (yang sebelumnya telah terkandung di dalam arang tersebut). Terserapnya sebagian senyawa-senyawa logam ke dalam arang akan menurunkan tegangan permukaan lumpur, sehingga oksigen mampu larut dalam lumpur. Penambahan arang dapat dilakukan secara bertahap dalam jumlah yang terukur, dan disesuaikan dengan jumlah ion kompleks yang terlarut.
V.2.6. Tegangan Redoks Tegangan redoks berbanding terbalik terhadap ukuran pH larutan. Pada angka pH di bawah 7, nilai tegangan redoks berada pada kisaran positif. Makin rendah pH maka makin tinggi nilai tegangan redoksnya. Pada pH 7, tegangan redoks mencapai titik netral (0), kenaikan pH lebih lanjut akan menurunkan tegangan pada angka negatif. Tegangan pelarutan terjadi pada kisaran (-) 200 mV – (-) 350 mV, sedangkan tegangan pelarutan optimal terjadi pada angka (-) 230 mV – (-) 325 mV. Tegangan redoks di atas (-)225 mV menyebabkan proses pelarutan logam-logam pengotor makin cepat, sehingga memicu pemborosan dalam penggunaan sianida. Caustic soda berfungsi menurunkan tegangan redoks dengan sangat baik dibandingkan penggunaan kapur, sehingga ketika tegangan menyentuh angka -225 mV, maka pemberian caustic sebaiknya harus dilakukan dengan segera. V.2.7. Temperatur Reaksi Reaksi pelarutan makin cepat pada suhu yang makin tinggi, dan melambat pada suhu yang rendah. Menaikkan suhu lumpur akan mempercepat proses reaksi pelarutan emas, namun hal ini harus memperhatikan nilai pH pada lumpur. Pada pH
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
yang relatif rendah, kenaikan suhu mengakibatkan resiko terjadinya penguapan sianida makin tinggi. V.2.8. Durasi (Waktu) Pelarutan Proses sianidasi berlangsung relatif lambat, namun lamanya waktu leaching lebih ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Luas permukaan logam yang dilarutkan. Kecepatan reaksi sangat bergantung pada luas permukaan, oleh karena itu makin luas permukaan maka makin cepat reaksi berlangsung. Untuk memperluas permukaan bijih emas, maka sebaiknya proses penggerusan batuan dilakukan hingga memperoleh ukuran yang sehalus mungkin (di atas mesh 200). Makin halus permukaan lumpur, makin cepat proses leaching berlangsung. 2. Kandungan dan konsentrasi sianida. Makin tinggi konsentrasi sianida, makin cepat reaksi pelarutan berlangsung. 3. Jumlah mineral refraktory (mineral sulfida). Makin banyak kandungan mineral sulfida mengakibatkan reaksi pelarutan berjalan lambat, dan tingkat konsumsi sianida pun menjadi tinggi. Pelarutan dikatakan selesai apabila sudah tak ditemukan indikasi adanya partikel logam emas yang belum terlarut di dalam lumpur. Untuk mengetahui apakah pelarutan telah berlangsung sempurna, kita dapat melakukan pengujian sederhana sebagai berikut : •
•
•
•
Ambil lumpur contoh lumpur cair dari dalam reactor sebanyak lebih kurang 2 kg. Saring lumpur menggunakan screen baja, untuk memisahkan karbon (jika proses menggunakan karbon CIP). Peras cairan dari lumpur, dan kembalikan cairan ke dalam reactor. Bilas kembali lumpur yang telah diperas menggunakan air tawar, dan lakukan pemerasan kembali hingga hampir seluruh cairan terpisah (lakukan proses ini dua kali). Encerkan kembali lumpur yang telah memadat dengan air di dalam botol air mineral, selanjutnya lakukan pengujian seperti pada Bab VI Sub-bab B2. Jika hasil proses pengujian tak ditemukan adanya indikasi logam terekstraksi, maka proses pelarutan emas telah berlangsung sempurna.
Akan tetapi pada proses leaching yang disertai ekstraksi menggunakan karbon, selesainya pelarutan tidak berarti bahwa proses leaching dapat dihentikan. Karbon aktif, memiliki kecepatan serap yang lebih lambat dibandingkan proses pelarutan. Boleh jadi proses pelarutan memang telah berhasil melarutkan seluruh logam emas, akan tetapi pada saat yang sama belum tentu seluruh logam yang telah terlarut telah terserap sepenuhnya oleh karbon aktif.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Untuk memastikan bahwa seluruh logam telah terserap ke dalam karbon, kita dapat melakukan pengujian sederhana sebagai berikut : •
•
•
•
•
•
•
Ambil setengah sendok makan karbon yang belum digunakan, bungkus dengan kain kasa dan ikat erat-erat. Gantung karbon sampel di atas reactor, dan celupkan pada permukaan lumpur. Lakukan proses di atas selama 3 jam, selanjutnya ambil kembali bungkusan karbon, cuci bersih dari lumpurnya. Bakar karbon di atas api menggunakan alas screen baja, hingga seluruh bara karbon padam (kira-kira 30 menit). Selanjutnya masukkan debu ke dalam krus tanah, campur dengan tepung borax, dan lakukan peleburan menggunakan api bersuhu tinggi. Lakukan pengamatan secara visual (setelah hasil leburan menjadi dingin), atau jika perlu gunakan mikroskop mineral sebagai alat bantu. Ada 2 kemungkinan yang terjadi ; masih terdapatnya kandungan logam dalam leburan sampel, atau sudah tak terlihat lagi partikel logam pada hasil leburan. Jika masih ditemukan adanya logam, maka proses leaching terus dilakukan hingga semua garam kompleks logam terserap ke dalam karbon. Sebaliknya, jika indikasi logam terserap sudah tak ada lagi, dapat dipastikan bahwa proses leaching telah berlangsung sempurna dan dapat dihentikan.
V.3. Proses Ekstraksi Ion Kompleks Emas Sianida Ada beberapa cara untuk mengekstraksi anion logam dari lumpur. Cara – cara tersebut antara lain : A. Penyerapan dengan arang aktif (Carbon In Pulp dan Carbon In Column) B. Pengendapan dengan debu zinc (Proses Merril – Crowe) C. Electrowinning V.3.1. Penyerapan Arang Aktif. Larutan hasil leaching yang telah kaya logam disebut larutan PLS (Pregnant Leach Solution). Absorbsi terjadi akibat adanya perbedaan tekanan dalam 2 jenis bahan yang berbeda. Dalam hal ini tekanan dalam karbon aktif lebih rendah dibanding tekanan larutan hasil leaching (PLS), sehingga larutan masuk dan diam di dalam media substrat (arang aktif). Daya serap karbon bervariasi antara berbagai merek, namun rata-rata antara 10 gram logam hingga 35 gram logam per kg karbon. Untuk karbon sebanyak 25 kg, maka kapasitas serap maksimumnya terhadap logam (emas, perak, merkuri, tembaga, timbal, zinc) adalah 25 x 35 gram logam = 875 gram paduan logam. Karbon aktif, dalam proses penyerapan emas, memiliki laju penyerapan yang logaritmik terhadap waktu. Disamping waktu, ada berbagai faktor lain yang mempengaruhi daya serap karbon terhadap logam emas, antara lain banyaknya ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
logam-logam pengotor yang ikut terlarut selama proses leaching, rendahnya kandungan emas dalam lumpur, kurangnya pertemuan antar-muka antara karbon dan larutan yang mengandung emas, adanya material sanga halus seperti besi III hidroksida, besi III oksida, yang menutupi permukaan luar karbon, mobilitas lumpur yang rendah, dan kualitas karbon itu sendiri. Karbon yang masih segar (karbon kosong) memiliki daya serap tertinggi. Karbon jenis ini mampu menyerap larutan kompleks emas hingga kandungan 1 mikrogram / liter. Daya serap menurun seiring tingkat kekenyangan karbon tersebut. Kecepatan serap karbon yang telah terisi larutan emas mulai melambat hingga mencapai titik jenuhnya, yaitu pada saat karbon termuati hingga 35 gram emas per kg karbonnya. Ekstraksi larutan emas dilakukan setelah proses leaching berlangsung selama 3 jam. Ekstraksi menggunakan karbon dapat dilakukan dengan 2 cara : 1. Memasukkan karbon ke dalam reactor (CIP = Carbon In Pulp), 2. Mengalirkan lumpur ke dalam kolom-kolom yang telah termuati oleh karbon (Carbon In Column). A1. Karbon Dalam Reaktor (Carbon In Pulp) Pada sistem CIP, jumlah awal karbon yang dimasukkan bergantung kepada berat total lumpur. Untuk 1 ton lumpur padat (kering), pemasukan awal karbon sebanyak 5 kg. Penambahan karbon dilakukan berdasarkan masih tersisanya larutan komplek emas yang hampir tak terserap oleh karbon awal (diamati menggunakan karbon sampel). Selama karbon sampel masih termuati oleh logam emas, maka penambahan karbon akan terus dilakukan secara periodik. Untuk system CIP, penambahan karbon dilakukan setiap 12 jam. Penambahan pertama sebanyak 25% dari jumlah karbon awal, penambahan berikut dan seterusnya masing-masing 10% dari karbon awal. Penambahan karbon dihentikan jika hasil sampel terakhir mengindikasikan kuantitas logam emas menurun secara visual dan kualitas kadar emas pun ikut menurun (warna semakin putih keperakan). Untuk mengetahui apakah larutan emas telah terserap oleh karbon dengan sempurna, atau masih ada yang tersisa dalam lumpur dapat dilakukan pengujian : a. Bungkus karbon ukuran berat 0,5 gram dalam kain kasa, gantung di permukaan atas larutan lumpur, biarkan selama 3 jam. Proses ini dilakukan pada saat reactor telah termuati karbon selama 9 jam. b. Bakar karbon sampel di atas screen hingga menjadi abu logam. Selanjutnya taruh abu logam ke dalam krus tanah (kowi), lebur menggunakan borax (secukupnya) hingga mencair. c. Amati hasil leburan secara visual. Jika masih terlihat adanya genangan logam di permukaan borax, dapat dipastikan larutan emas belum terserap secara sempurna oleh karbon yang ada, dan ada kemungkinan pelarutan dan penyerapan masih terus berlangsung. d. Jika hasil peleburan memperlihatkan sebaran emas yang cukup banyak, maka dapat dikatakan perlu dilakukan penambahan karbon baru. Lakukan ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
penambahan karbon baru sebanyak 25% dari jumlah karbon awal yang masuk. e. Lakukan proses a-d secara berkala sejak karbon awal termuati selama 9 jam, dengan perulangan setiap 9 jam. A2. Carbon Dalam Tangki Seri (Carbon In Column). Sistem Carbon In Column (CIC) lebih tepat digunakan dibanding proses CIP, disebabkan penggunaan karbon menjadi lebih ekonomis dan tingkat penyerapan dapat mencapai 95%. CIC berdasarkan pergerakan lumpur dan karbon yang berlawanan arah dalam ruang yang panjang dan sempit (counter current). Karbon dapat dicampur secara memanjang, atau dikelompokkan menjadi beberapa sekat. Lumpur dialirkan ke kolom (ruang sempit yang telah dipenuhi oleh karbon) secara gravitasi. Dalam prakteknya, ada kemungkinan terjadinya pengendapan lumpur dalam ruang karbon yang dapat menimbulkan kebuntuan aliran lumpur (akibat karbon menutupi pori-pori kawat screen), sehingga proses ekstraksi tersendat. Untuk mencegah hal ini terjadi, sebaiknya karbon juga diaduk dalam ruang tersebut, agar aliran lumpur tidak tersendat. Pengadukan dapat dilakukan menggunakan agitator (baling-baling), atau dapat juga menggunakan udara bertekanan tinggi (udara dari kompresor) yang dimasukkan ke dalam ruang karbon. Arah aliran lumpur sebaiknya berlawanan dengan gaya gravitasi (mengarah ke atas) agar peluang karbon menutupi permukaan screen makin terhindarkan. Kelompok karbon yang pertama dilewati aliran lumpur merupakan karbon yang paling kenyang. Makin ke hilir, kandungan emas terlarut dalam lumpur makin rendah, hingga mencapai 1 µg (1 mikrogram). Karbon segar, atau karbon yang berada di paling hilir, mampu menyerap kandungan emas yang sangat tipis ini. Karbon yang telah kenyang (telah menyerap paling tidak 10 gram logam per 1 kg karbon telah siap dipanen. Posisinya kemudian digantikan oleh kelompok karbon berikutnya, demikian seterusnya. Untuk mengetahui karbon telah cukup kenyang, lakukan pengujian sederhana dengan cara pembakaran dan peleburan 100 gram karbon. Langkah-langkah pengujian sebagai berikut : •
•
Ambil 100 gram karbon kosong (karbon yang masih baru), tempatkan dalam wadah beaker glass, ukur volumenya. Ambil karbon yang akan diuji (cuci bersih hingga terbebas dari lumpur) sebanyak 110% x volume karbon sebelumnya, tempatkan di wadah beaker glass. Bakar karbon yang akan diuji menggunakan tungku bakar mini (dapat menggunakan kaleng biscuit) hingga berubah menjadi abu logam (seluruh bara karbon telah padam). Selanjutnya lebur debu tersebut dalam krus tanah hingga mencair dengan tepung borax. Hasil leburan yang telah berbentuk logam selanjutnya ditimbang untuk mengetahui beratnya. Jika hasil leburan dari sampel karbon 100 gram menghasilkan 1 gram logam emas, maka karbon telah termuati sebanyak 10 gram logam emas dalam 1 kg karbon.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
•
Pada posisi ini karbon layak dikategorikan telah keny ng (siap untuk dipanen). Lakukan penguji an (a) dan (b) secara berkala sejak ekstraksi karbon telah berlangsung sel ma 12 jam, ulangi setiap 12 jam.
Pengujian Dalam Proses CIC a. Ambil karbon p da bagian hilir sebanyak 0,5 gram, bakar hingga menjadi abu logam. b. Lebur abu loga (bersama borax secukupnya) di dalam kr us tanah hingga mencair (10-15 enit). c. Lakukan penga atan visual terhadap hasil leburan. Jika tak terlihat oleh mata, gunakan alat bantu mikroskop mineral (perbesaran 00-200 x). Jika masih terdapat logam dalam jumlah yang signifikan (dapat ilihat oleh mata telanjang), dapa dipastikan bahwa karbon pada bagian hulu sudah kenyang, dan ada kemungkinan kekurangan karbon pada bagian ilir. Jika proses pengamatan hanya dapat dilakukan dengan alat bantu mikroskop, ada kemungkinan karbon yang digunakan hampir mencapai ting kat yang cukup, sehingga pena bahan karbon berikutnya merupakan pena bahan terakhir. Karena 2 kel mpok sekat karbon terakhir belum m encapai tingkat kekenyangan y ng optimal (belum mencapai tingkat e onomis), maka karbon kelompo ini tidak diikutsertakan untuk dibakar, mela inkan digunakan untuk proses ek traksi leaching lumpur berikutnya.
������ ����
������ ����� ������ �������� �����
V.3.3. Electrowinning Electrowinning merupa kan cara terbaru yang paling efisien di gunakan dalam ekstraksi logam dari ha il leaching. Electrowinning adalah proses e lektrokimia yaitu proses reduksi anion emas dan perak menjadi logamnya pada bagian katoda menggunakan arus list rik yang mengalir dalam larutan elektrolit (hasil leaching). Dalam proses electro inning dihasilkan paduan emas perak d i kutub katoda. Pengaturan selektifitas tegangan redoks serta nilai tegangan yan g konstan pada suatu angka akan m nyeleksi logam-logam yang dapat tereduksi pada kutub katoda. Kation-kation e as dan perak yang berada di dalam larutan akan tereduksi dalam bentuk lapisan l gam yang menempel di kutub katoda, se dangkan kationkation logam-logam lain nya akan tetap berada di dalam larutan. ����� ������ ���������� ���� ����������������������� ��
Electrowinning adalah istilah umum untuk proses elektrolisis, dimana winning memiliki arti “sirkulasi” atau perputaran. (TERANGKAN KENAPA HARUS BERSIRKULASI, BUAT GAMBAR AGAR JELAS) Bagian yang berhubungan dengan cairan kimia terdiri dari kutub positif dan negatif, dimana kutub positif disebut sebagai anoda, dan kutub negatif sebagai katoda. Arus DC (listrik searah) mengalir dari kutub positif (anoda) ke kutub negatif (katoda), sebaliknya elektron mengalir dari kutub negatif ke positif. Aliran elektron dalam larutan elektrolit akan mereduksi garam kompleks emas menjadi logam emas yang menempel di lapisan lempeng (plat) katoda. Kecepatan terbentuknya logam di lempeng katoda bergantung pada luas permukaan katoda dan jarak antara katoda dan anoda. Makin luas permukaan katoda,dan makin dekat jarak antara katoda dan anoda maka makin tinggi kecepatan ekstraksi logam emas dan perak di katoda. Kecepatan ekstraksi dapat dimonitor menggunakan ampere-meter. Makin tinggi arus yang mengalir dari anoda ke katoda, maka ekstraksi pun meningkat secara signifikan. Tegangan jepit antara anoda dan katoda selama proses ekstraksi berlangsung haruslah stabil pada kisaran 3,65 volt – 3,80 volt. Pada peralatan catu daya (power supplier) yang biasa, pembebanan akan menurunkan tegangan. Hal ini berdampak negatif pada proses elektrowinning. Tegangan yang menurun mengakibatkan perolehan logam perak pun menurun, dan pada akhirnya pada tegangan di bawah 2 volt hanya logam emas yang terekstraksi. Penurunan tegangan juga berefek pada menurunnya kuat arus yang mengalir, dengan demikian kecepatan ekstraksi pun menurun. Kenaikan tegangan melebihi 3,80 volt berdampak pada ikut sertanya logam tembaga dan merkuri tereduksi pada kutub katoda (ini tak diinginkan pada proses ekstraksi emas). BUAT RUMUS KIMIANYA SECARA JELAS DAN MUDAH DIMENGERTI Kecepatan reduksi logam emas dan perak ditentukan oleh besar arus yang mengalir dari anoda ke katoda. Besar arus diukur dalam satuan ampere (A). Makin besar arus yang mengalir, makin tinggi kecepatan ekstraksi, demikian juga sebaliknya. Besar arus berbanding terbalik terhadap nilai tegangan yang terukur. Beban yang meningkat (akibat dari besarnya arus yang mengalir dalam larutan) akan menurunkan tegangan jepit. Besar arus berbanding lurus terhadap luas permukaan katoda. Makin luas permukaan katoda, makin tinggi arus yang mengalir dari anoda ke katoda, demikian juga sebaliknya. Jarak antar katoda dan anoda juga mempengaruhi besar arus yang mengalir. Makin dekat jarak antar kutub, makin besar arus yang mengalir, demikian juga sebaliknya. BUAT PERHITUNGAN RUMUS UNTUK MENGHITUNG KUAT ARUS TERHADAP LUASAN BIDANG PERMUKAAN KATODA Arus yang dicatu (disuplai) harus memiliki tegangan searah dengan ripple (riak) tegangan yang halus, dan besaran tegangan yang konstan di angka 3,8 volt. Pada ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
larutan yang kaya, besar arus yang terbaca oleh ampere-meter akan maksimum. Seterusnya besar arus menurun seiring makin berkurangnya larutan kompleks emas dan perak di dalam larutan. BUAT RANGAKAIAN ELEKTRONIKA CATU DAYA NYA, TERANGKAN BAGAIMANA MEKANISME PENGATURAN TEGANGAN OTOMATIS BISA BERLANGSUNG Dalam proses elektrowinning, biasanya lempeng katoda menggunakan bahan dari logam ferro-nikel (stainless steel), sedangkan anoda terbuat dari fero-titan (baja titanium). Logam emas perak yang menempel di katoda berbentuk bubur halus yang menempel, sewaktu-waktu dapat gugur di dasar permukaan tabung elektrowinning. Oleh karena itu untuk katoda yang menggunakan bahan dari stainless steel, larutan emas sianida yang diekstrak haruslah bebas dari partikel lumpur, dengan kata lain harus merupakan larutan bening. JELASKAN BAHAN ELEKTRODA APA SAJA YANG INERT TERHADAP SIANIDA Pada proses elektrowinning, ada penguraian anion Au(CN)2- menjadi AuCN dan logam Au di kutub katoda. Anion-anion sianida menuju anoda, membentuk kembali senyawa alkali sianida. Penggunaan bahan elektroda yang inert terhadap sianida memiliki keuntungan yaitu terpulihkannya kembali senyawa alkali sianida. Penggunaan tembaga sebagai elektroda (katoda atau anoda, atau keduanya) berdampak pada terkonsumsinya tembaga pada saat proses elektrowinning dilakukan. Tembaga larut oleh sianida, baik pada kutub katoda maupun anodanya, sehingga kandungan sianida bebas justru berkurang pada saat proses elektrowinning dilakukan. Proses yang menggunakan elektrowinning jauh lebih efisien dan unggul dibanding proses karbon dan zinc, apalagi jika kandungan logam pengotor cukup tinggi di dalam batuan. Pada proses penangkapan emas yang menggunakan elektrowinning, larutan hasil dari oksidasi tak perlu dibuang terlebih dahulu, dikarenakan hasil penangkapan kutub katoda sangat selektif jika tegangan berada pada posisi yang tepat. Untuk menguji apakah proses elektrowinning telah selesai, dapat dibuat suatu wadah kecil penampung larutan hasil leaching yang sedang dielektrowinning (bisa menggunakan beaker glass ukuran 500 ml). Kemudian buat sambungan paralel antar katoda dan antar anoda, sehingga katoda mini yang dipasang pada beaker glass tersambung secara paralel dengan katoda utama, demikian juga dengan anoda yang juga diparalel. Gunakan katoda dan anoda mini yang terbuat dari plat logam tembaga, agar indikasi adanya logam yang tereduksi di katoda terlihat jelas. Jika memang masih ada logam yang belum tereduksi pada proses di bak utama, maka terlihat di kutub katoda mini adanya lapisan logam emas perak, yang
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
berwarna kuning emas untuk larutan berkadar emas tinggi, atau putih perak untuk larutan berkadar perak tinggi.
V.4. Proses Akhir Pengolahan Karbon, Zinc, dan Elektrowinning V.4.1. Pengolahan Karbon Lumpur yang telah selesai dari proses leaching selanjutnya dikuras dan dialirkan ke kolam limbah. Proses pengurasan sebaiknya dilakukan pada saat temperatur udara pada titik yang rendah (malam hari), khususnya terhadap proses yang menggunakan Carbon In Pulp sebagai ekstraktor. Garam emas yang terserap karbon akan cenderung berada permanen di dalam ruang karbon, khususnya selama keseimbangan suhu lingkungan terjaga baik. Kenaikan temperatur mengakibatkan sebagian dari cairan garam emas yang terserap akan keluar menuju permukaan luar karbon. Proses pengurasan reaktor yang dilakukan pada siang hari cenderung mengalami peningkatan suhu, dan ada kemungkinan terpapar sinar matahari pada saat pencucian karbon berlangsung. Pada situasi seperti ini, ada kemungkinan sebagian kecil dari garam emas keluar dari pori-pori karbon dan terbuang ke kolam limbah bersama-sama air cucian. Keluarnya cairan disebabkan proses thermodinamika, yaitu adanya perpindahan zat akibat perbedaan tekanan ruang yang disebabkan perubahan suhu. Untuk mencegah kejadian ini, sebaiknya proses pengurasan reactor dilakukan pada malam hari, atau pagi hari sebelum terbitnya matahari.
Kanal
output reaktor
Tirai penahan lumpur
Selang air pencuci karbon
Screen penyaring karbon Gambar…………..Proses persiapan pengurasan reactor
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Gambar………………Proses penyaringan dan pencucian karbon
Karbon yang telah dicuci bersih selanjutnya dimasukkan ke dalam karung bersih dan disimpan pada tempat yang sejuk sambil meniriskan sisa-sisa air. V.4.1.1. Metoda Pembakaran Karbon Pada sistem ini karbon yang telah termuati ion logam emas langsung dibakar untuk menguapkan karbon menjadi gas CO2, dan sisanya berupa tepung dan butiran logam emas dan perak. Secara ideal, karbon aktif mampu menyerap logam hingga 35 gram emas perak dalam setiap kilogramnya, akan tetapi dalam prakteknya mungkin saja terjadi berbagai penyimpangan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi menurunnya daya serap ini, antara lain : 1. Kualitas karbon yang tak merata. 2. Banyaknya jenis mineral lain yang ikut terserap karbon selama proses leaching. 3. Lambatnya proses penyerapan pada saat karbon mulai kenyang, sehingga pemaksaan untuk memuati karbon menjadi tak ekonomis dibanding waktu yang terbuang dalam proses penyerapan. 4. Jumlah karbon yang kurang dibanding jumlah logam emas yang terlarut.
Karbon yang telah kenyang kemudian dibakar hingga yang tertinggal hanya debu logam. Pembakaran karbon adalah reaksi kimia, berupa oksidasi karbon oleh oksigen dari udara (dalam suasana panas tinggi) menjadi karbon dioksida CO2 ;
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
C (s) + O2 (g) ========= > CO2 (g) Cara yang paling sederhana mengekstrak logam emas dari dalam karbon adalah dengan jalan membakar karbon tersebut, hingga semua karbon menguap menjadi karbon dioksida (CO2). Pada proses pembakaran, arang dioksidasi udara panas menjadi uap karbon dioksida dan menyisakan sedikit endapan abu berupa tepung logam emas perak dan tembaga yang tercampur sedikit dengan silika, besi, dan unsur-unsur logam lainnya. V.4.1.1.1. Proses Pembakaran Karbon Karbon dibakar di dalam drum yang terbuat dari baja. Untuk memasukkan udara ke dalam drum, maka bagian bawah dari drum dilubangi sebesar diameter pipa baja. Selanjutnya pipa baja ukuran 2-3 inci, sepanjang 1,5 meter disambung (dilas) dengan lubang drum. Ujung pipa berhubungan dengan blower udara, yang meniupkan udara beroksigen ke dalam drum. Ion-ion logam yang terserap karbon akan tereduksi menjadi logam selama proses pembakaran berlangsung. Suhu yang terbentuk akibat pembakaran karbon mencapai 1200 0C, sehingga terjadi pelelehan logam pada ruang karbon. Langkah-langkah pembakaran : 1. Gunting kawat screen baja mesh 24-40 seluas permukaan atas drum (tabung), tempatkan di atas jalinan jeruji baja penyangga, yang diletakkan sekitar 15 cm di atas lubang udara masuik (inlet). Perhatikan bahwa seluruh permukaan screen harus menutup total bidang permukaan drum, agar tak ada karbon yang terjatuh ke dasar drum. 2. Bakar sedikit arang biasa hingga membara, letakkan di tengah-tengah screen, kemudian nyalakan blower agar suplai udara masuk ke dalam drum. 3. Masukkan sebagian karbon hingga menutupi permukaan arang yang telah membara. Jika keluar asap dan panas, maka pembakaran telah berhasil menyalakan karbon. Selanjutnya masukkan karbon secara bertahap hingga memenuhi permukaan atas drum. 4. Buka maksimum penutup udara dari blower hingga udara mengalir total ke dalam drum. 5. Lakukan penambahan karbon secara bertahap hingga semuanya masuk ke dalam drum. 6. Kurangi suplai udara secara bertahap jika permukaan karbon mulai menipis dan mulai terlihat meratanya bara api di permukaan atas karbon. Ini artinya proses pembakaran mulai mendekati tahap akhir. Suplai udara yang terlalu besar dapat mengakibatkan terhamburnya sebagian dari debu logam ke luar drum bakar, sehingga perolehan logam bisa mengalami penurunan. 7. Lakukan terus peniupan udara (yang makin diperkecil) hingga semua bara padam. Jika tahapan ini selesai, maka dipastikan pembakaran karbon telah selesai, dan yang tersisa hanya debu logam yang tertampung di atas screen baja. Jika setelah bara padam namun ternyata masih terdapat sisa karbon ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
yang belum terbakar, sebaiknya pisahkan karbon-karbon tersebut dari tepung logam. Karbon yang belum terbakar habis kemudian dibakar kembali menggunakan wadah drum mini hingga menjadi debu logam. 8. Angkat dan kumpulkan debu logam ke dalam wadah plastic, sikat screen secara hati-hati (untuk menghindarkan terbuangnya debu logam) dan pindahkan dan bongkahannya ke dalam wadah. 9. Sisa screen juga telah terbungkus oleh logam emas, oleh karena itu diproses secara terpisah dari debu utamanya. Proses ekstraksi emas dari kawat screen dilakukan dengan cara merebus kawat dalam wadah kaca pyrex (beaker glass) menggunakan larutan HCl pekat 32%, hingga semua logam besi larut. Sisa endapan berupa tepung emas, saring dan pisahkan dari larutan. Hasil endapan kemudian disatukan dengan debu utama, yang selanjutnya siap untuk dilebur.
karbon aktif
drum baja
dasar karbon dan kasa baja
pipa masuk udara blower peniup udara
Gambar…………………………………..
Debu dan kerak logam
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Gambar……………………………………………………………………….
Sisa pembakaran karbon yang tertinggal di atas kawat screen berupa kandungan logam tembaga, perak, emas, dan sebagian pengotor seperti silica, sisa karbon (yang tak terbakar), dan sebagainya. Sebagian dari tepung belum membentuk logam, akan tetapi masih dalam bentuk garam oksida logam. V.4.1.1.2. Peleburan Tepung Logam Untuk melebur tepung logam, lazimnya para praktisi menggunakan tepung borax sebagai pengikat debu dan pembersih logam yang cukup baik. Debu dan kerak logam selanjutnya dipisahkan dari kawat kasa dan dinding dalam drum. Kerak dan debu logam kemudian dihaluskan, agar memudahkan dalam proses peleburan selanjutnya. Debu dan kerak logam yang telah menjadi tepung (akibat digerus) kemudian ditimbang beratnya. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, selanjutnya tepung logam dicampur merata dengan tepung borax dengan perbandingan berat 1 : 1. Hasil pencampuran borax dan tepung logam kemudian dimasukkan ke dalam krus tanah tahan api untuk dilakukan peleburan. Peleburan dilakukan pada suhu 12000 C hingga seluruh tepung mencair dan butiran-butiran logam menyatu di dasar wadah.
Gambar………………………………………….
Selama mencair, akan timbul gelembung – gelembung udara yang muncul akibat proses reduksi dan oksidasi logam – logam. Logam besi, sebagian tembaga, dan logam lainnya akan teroksidasi oleh cairan borax, membentuk garam logam. Emas dan perak, serta sebagian dari logam emas perak yang belum tereduksi pada proses pembakaran karbon, akan tereduksi pada proses ini, dan kemudian menyatu dalam butiran besar di dasar krus. Proses peleburan dihentikan jika tak muncul lagi gelembiung udara, dan lelehan borax telah sangat mencair (relatif lebih encer) hingga ke dasar krus.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Ada kemungkinan sebagian sisa karbon tidak terbakar oleh udara panas, padahal karbon tersebut termuati secara penuh oleh debu logam. Meskipun terjadi pelelehan pada krus, belum tentu karbon sisa yang sangat halus telah menguap menjadi CO2. Untuk menguapkan karbon sisa ini, gunakan tepung sendawa atau caustic soda yang berfungsi sebagai suplai udara ke dalam lelehan logam, sehingga terjadi pembakaran sempurna terhadap karbon sisa. Pemberian caustic atau sendawa dilakukan pada saat
(a) Proses peleburan (b) hasil peleburan Gambar……………………………………..
Setelah krus dingin, proses selanjutnya adalah mengumpulkan butiran emas kasar yang berada di dasar krus, memisahkannya dari slag dan pecahan krus. Seluruh slag (termasuk juga krus) juga mengandung butiran emas halus, oleh karena itu bagian ini digerus di dalam tromol yang menggunakan logam merkuri sebagai pengumpul. Hasil dari keseluruhan logam kemudian dilebur, dan selanjutnya siap untuk dipisahkan dan dimurnikan. Proses pengerjaan karbon diatas (pada bagian peleburan konsentrat/debu logam) sangat tak efektif karena banyaknya pemborosan dari berbagai segi, antara lain ; -
Penggunaan tepung borax dalam jumlah yang besar, seberat tepung (konsentrat) emas yang diperoleh dari hasil pembakaran. Pemborosan wadah krus (kowi) dan energi untuk proses peleburan Adanya kemungkinan hilangnya sebagian dari logam emas, khususnya yang berbutir halus dan menyebar di seluruh kowi, atau butir emas yang tertutup oleh logam-logam yang tak berikatan dengan logam merkuri pada saat slag hasil peleburan ditromol menggunakan proses amalgamasi.
Teknik yang paling efisien pada proses ini adalah membersihkan terlebih dahulu tepung hasil pembakaran karbon dari berbagai unsur pengotor menggunakan proses kimia. Ada berbagai zat pengotor yang ikut serta pada debu logam emas, antara lain ;
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
-
-
-
-
-
Silika SiO2. Unsur silika diperoleh selama proses pelarutan berlangsung. Selama proses pelarutan (jika menggunakan NaCN dan NaOH) akan terjadi pelarutan sebagian silika oleh NaOH, membentuk senyawa kompleks Na2SiO3 di dalam larutan. Anion silika SiO32- kemudian terserap oleh karbon selama proses penyerapan berlangsung. Anion ini tereduksi kembali menjadi silika pada saat pembakaran berlangsung. Silika juga muncul akibat kurang bersihnya proses pembilasan karbon, sehingga sebagian material lumpur terbawa oleh karbon. Silika membawa pengaruh buruk pada saat peleburan tepung logam, disebabkan titik lelehnya yang sangat tinggi (17600C), sehingga material ini menjadi penghalang proses penyatuan logam cair pada wadah kowi. CaO dari kapur. Kalsium Oksida CaO berasal dari sisa larutan yang mengandung senyawa basa Ca(OH)2. Pada saat pembakaran karbon, Ca(OH)2 yang larut dalam air tereduksi menjadi CaO tepung putih. CaO juga menyulitkan penyatuan butir-butir logam halus pada saat peleburan, sehingga perlu dipisahkan sebelum peleburan berlangsung. Na2O dari hasil reduksi caustic soda maupun sisa-sisa sianida. NaOH dan NaCN yang dipanaskan akan tereduksi menjadi garam Na2O akibat kehilangan air. Logam-logam besi dan senyawa padat besi II (FeO) yang tereduksi dari senyawa sianidanya (Na[Fe(CN)6], maupun hasil pencemaran dari ruang bakar itu sendiri (drum bakar yang terkelupas, screen baja yang meleleh dan menyatu dengan debu logam) Logam tembaga dan tembaga I oksida Cu2O yang tereduksi dari senyawa sianidanya. Dan beberapa jenis unsur serta senyawa lainnya.
Proses pembersihan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu ; 1. Tahap pertama, pelarutan unsur silika, sisa-sisa senyawa kalsium dan natrium. Proses kimia yang dilakukan pada tahap ini menggunakan pelarut Na2CO3 (sodium karbonat / soda ash). Reaksi yang berlangsung sebagai berikut : Na2CO3 + SiO2 ======> Na2SiO3 + CO2, Na2SiO3
silika larut menjadi sodium silikat
CaO + 2 H2O =====> Ca(OH)2 + H2, kapur larut menjadi Ca(OH) 2 Na2O + H2O =====> 2 NaOH, sodium oksida menjadi larutan caustic soda Untuk memperoleh hasil maksimum dan waktu yang relatif cepat, maka menaikkan suhu adalah solusi tercepat dan terbaik. Gunakan wadah stainless untuk merebus tepung logam dengan soda ash. Lakukan perebusan selama 30 menit, gunakan soda ash sebanyak ½ x berat tepung logam.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Hasil perebusan kemudian diendapkan pada wadah plastik transparan, biarkan proses pengendapan berjalan sempurna (hingga larutan jernih). Selanjutnya pisahkan larutan dari endapannya dengan cara menyaring menggunakan kertas saring. Hasil dari proses ini adalah berkurangnya kandungan silika, calsium, dan natrium sebagai pengotor dalam jumlah yang signifikan. Setelah proses pengeringan, berat tepung logam akan berkurang jauh dibanding berat sebelumnya, dan persentase kandungan logam emas dan perak akan meningkat dari sebelumnya. 2. Proses pelarutan logam-logam pengotor menggunakan larutan HCl atau asam sulfat H2SO4 encer 2M. 2 HCl + Fe ====> H2 + FeCl2, besi larut menjadi besi II HCl + NaOH ====> NaCl + H2O, caustic sisa larut menjadi larutan garam dapur 2 HCl + MnO =====> MnCl2 + H2O, mangan terlarut menjadi larutan mangan Pada proses ini gunakan larutan HCl sebanyak 2x volume endapan tepung logam. Hasil reaksi kemudian diendapkan hingga sempurna. Selanjutnya buang cairan bening, bilas dan saring endapan hingga kering. Endapan kemudian dikeringkan dengan cara penjemuran (jangan disangrai karena sisa asam akan bereaksi dengan media logam). Sertelah kering lakukan pencampuran dengan borax, untuk mendapatkan hasil yang sempurna gunakan borax sebanyak 1,5 dari berat tepung logam. Tepung logam yang telah bercampur dengan borax selanjutnya siap untuk dileburkan dalam krus (kowi). V.4.1.2. Stripping Karbon (JELASKAN BAGIAN INI SECARA LENGKAP) V.4.2. Peleburan Logam Hasil Ekstraksi dari Zinc Proses peleburan lumpur logam hasil pengendapan zinc memiliki tingkat yang agak sulit jika dilakukan tanpa terlebih dahulu membersihkan endapan logam dari sisasisa logam zinc Zn, sisa senyawa zinc (ZnO dan Zn(CN)2). Zinc oksida merupakan senyawa yang tak terleburkan, sehingga cenderung membuat waktu pelelehan logam menjadi sangat lambat. Pembakaran terus-menerus akan menguapkan sebagian besar partikel zinc oksida sehingga lama-kelamaan terjadi pelelehan logam paduan emas perak dan tembaga. Untuk mempercepat waktu peleburan maka sebaiknya dilakukan pemisahan logam pengotor terlebih dahulu, menggunakan HCl atau H2SO4 encer 2M. Gunakan larutan sebanyak 2 x volume logam, dan aduk selama reaksi berlangsung. Jika reaksi selesai, lakukan pemastian habisnya logam pengotor melalui pengulangan reaksi dengan jumlah larutan yang sama seperti sebelumnya. Pada saat reaksi berlangsung akan terjadi pelepasan gas H2 yang dapat diamati secara visual berupa gelembung-gelembung udara yang keluar dari larutan. Habisnya logam ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
pengotor jika tak terjadi lagi pengeluaran gelebung, sementara larutan yang digunakan masih baru. Pisahkan larutan dari lumpurnya, bilas dan saring lumpur hingga kering. Hasil dari proses ini berupa tepung logam emas yang makin bersih, dan persentase kandungan logam emas dan peraknya makin meningkat sejalan dengan penurunan berat tepung logam. Pada proses di atas, logam tembaga belum melarut dan masih bercampur dengan logam emas perak . Ada baiknya tembaga dipisahkan sebelum proses peleburan dilakukan. Tembaga larut dengan sangat baik dalam HNO 3 encer 2M. Pelarutan dapat dipercepat dengan penambahan larutan H 2O2 3%. Untuk melarutkan tembaga, gunakan larutan HNO 3 encer 2M sebanyak ¼ x volume tepung logam, kemudian encerkan dengan air. Tambahkan H 2O2 sebanyak ½ dari volume larutan HNO3 awal, ke dalam wadah reaksi. Aduk lumpur logam, selama reaksi berlangsung. Setelah selesai, encerkan lumpur, aduk merata, biarkan mengendap dengan sempurna, Selanjutnya buang cairan beningnya, bilas dan saring endapan menggunakan kertas saring. Setelah proses ini, maka endapan tepung emas telah siap untuk dilebur menggunakan tepung borax sebagai fluks. V.4.3. Peleburan Hasil Elektrowinning Hasil dari proses elektrowinning berupa lembaran-lembaran tipis bercampur lumpur paduan logam emas dan perak yang sangat lembut. Kumpulan logam ini kemudian dilebur menggunakan api pada suhu 1100 0C-1150 0C, dibantu tepung borax sebagai flux pembersih dari logam-logam pengotor. Dari warna logam hasil leburan dapat diketahui sejauh mana kontaminasi logam pengotor yang ikut tereduksi pada kutub katoda. Logam yang berwarna kehitaman kemungkinan paduan logam emas perak tercemar sedikit oleh logam tembaga dan molybdenum.
V.5. Proses Penanganan Limbah Cair Sianida Limbah cair dari proses sianida sangat beracun jika dibuang langsung ke lingkungan. Limbah perlu dinetralisir terlebih dahulu unsur – unsur racunnya sebelum dilakukan pembuangan. Limbah cair sianida terdiri dari senyawa – senyawa non toksik dan toksik. Non toksik antara lain NaOH / Ca(OH) 2, senyawa toksik antara lain kelebihan NaCN, merkuri sianida Na[Hg(CN)2] Agar ion sianida (CN -) tak terbawa ke lingkungan dalam bentuk cair, maka perlu dilakukan pengendapan melalui reaksi kimia dengan garam besi III sulfat Fe 2(SO4)3 atau garam besi II sulfat FeSO4. Proses terakhir adalah netralisasi sianida menggunakan peroksida. 6 NaCN (l) + Fe2(SO4)3 (l) ======>
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
2 Fe(CN)3 (s) + 3 Na2SO4 (l)
Hasil reaksi di atas terbentuk endapan biru yang merupakan endapan senyawa besi III sianida dan endapan senyawa tembaga II sianida. Kekurangan besi sulfat menyebabkan terlarutnya sebagian endapan senyawa besi menjadi garam kompleks larut heksasianoferat Fe(CN)6- yang tak beracun. Fe(CN)3 + 3 NaCN =====> Na[Fe(CN)6] Untuk mengindikasikan bahwa semua sianida bebas telah mengendap sebaiknya gunakan garam besi secara berlebihan. Indikasinya adalah larutan yang tak membentuk endapan baru pada saat dimasukkan larutan besi sulfat ke dalamnya. Besi sulfat juga mereduksi senyawa kompleks merkuri sianida menjadi senyawa tak larut merkuri I sianida yang berwarna putih. Agar diperoleh hasil yang pasti bahwa semua logam berat telah mengendap, demikian juga seluruh sianida bebas telah habis dari limbah cair, kita dapat menambahkan larutan H2SO4 encer ke dalam lumpur (hati-hati pada proses ini, karena kemungkinan lumpur akan mengeluarkan gas HCN yang sangat beracun !!) secara bertahap. Jika masih terdapat ion sianida bebas dalam lumpur cair, maka pada saat pencampuran dengan asam sulfat lumpur akan mengeluarkan gas HCN yang berbau khas dan sangat beracun. Jika proses netralisasi menggunakan larutan besi sulfat berlangsung sempurna, maka pada saat pemasukan asam sulfat lumpur sudah tak lagi mengeluarkan gas sianida.
TIPS Pembuatan Garam Besi II atau III Sulfat Besi III Sulfat digunakan sebagai penetralisir racun dari sodium sianida. Pembuatan besi sulfat dapat dilakukan dengan mereaksikan logam besi dan asam sulfat, sehingga membentuk larutan besi II sulfat yang berwarna hijau. Dalam waktu yang lama, larutan ini berubah warna menjadi hijau kekuningan akibat besi II teroksidasi menjadi besi III. Reaksi dapat dilakukan dalam wadah plastik (ember) yang tertutup agar uap hidrogen dan pelepasan sebagian gas SO 2 tidak mencemari ruangan. Reaksi pelarutan akan berhenti setelah tak terbentuk gelembung-gelembung gas lagi, yang keluar dari logam yang dilarutkan. Larutan kemudian dijemur di bawah matahari hingga mengering dan membentuk gumpalan-gumpalan berwarna hijau.
XII.7. Sianidasi Menggunakan Metode Heap/Dump Leach. XII.7.1. Pertimbangan Aspek Ekonomis dan Teknis Heap/dump leach (penyiraman ataupun perendaman) adalah salah satu pilihan dalam mengolah batuan emas menggunakan bahan kimia sebagai pelarut. Pemilihan heap/dump leach biasanya sangat tergantung pada aspek ekonomis disebabkan beberapa hal :
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
-
-
-
-
-
Biaya investasi awal peralatan yang jauh lebih murah dibanding sistem reaktor. Beberapa peralatan, khususnya peralatan mekanis memerlukan investasi awal yang cukup tinggi. Kandungan emas dalam batuan yang rendah. Kandungan emas yang rendah tidak ekonomis untuk diolah menggunakan reaktor, karena biaya produksi yang tinggi, khususnya biaya pengolahan mekanis (proses penghalusan batuan dan biaya tenaga kerja). Kapasitas produksi yang jauh lebih besar. Pengolahan yang melibatkan proses mekanis biasanya memiliki keterbatasan dalam kapasitas produksi. Pengolahan metode heap/dump leach memiliki fleksibilitas dalam kapasitas produksi, karena peningkatan kapasitas tak begitu signifikan terhadap peningkatan nilai investasi. Bisa dikatakan bahwa kapasitas produksi biasanya hanya terkendala oleh kapasitas penambangan raw material (batuan bahan baku emas). Jauhnya letak bahan baku dari prasarana transportasi dan pusat-pusat penyediaan peralatan pengolahan. Peralatan-peralatan mekanis memiliki volume dan berat yang relatif besar. Jauhnya prasarana transportasi menyebabkan sulitnya mobilitas peralatan untuk memasuki wilayah penambangan dan pengolahan. Persoalan ini dapat juga dipakai sebagai pertimbangan utama dalam memutuskan menggunakan metoda heap/dump leach. Biaya operasional buruh dan pekerja pendukung. Pengolahan secara mekanis memerlukan jumlah tenaga kerja yang relatif besar, dengan konsekwensi pengeluaran untuk upah yang besar pula. Pengolahan heap/dump leach relatif sedikit menggunakan tenaga kerja karena minimnya perlakuan mekanis terhadap bahan baku.
Pertimbangan secara teknis juga harus dilakukan (yang juga memiliki faktor ekonomi) untuk memutuskan penggunaan metode heap/dump leach. Pertimbanganpertimbangan tersebut antara lain : -
-
Jenis batuan yang akan diproses. Batuan bertipe silika solid dengan patahan hanya pada urat-urat logam sebaiknya diproses secara mekanis, atau setidaknya mengalami pengecilan ukuran sebelum proses heap leaching dilakukan. Batuan yang berongga (porous ores) sangat tepat diolah menggunakan metode heap leach karena kemampuan larutan menembus permukaan bijih emas akibat adanya celah untuk penetrasi larutan ke dalam batuan. Batuan berongga biasanya terjadi akibat peristiwa oksidasi batuan dalam waktu yang sangat lama, oleh karena itu batuan rapuh biasanya merupakan batuan yang telah berumur sangat tua. Susunan silika pada batuan berongga biasanya telah mengalami pelapukan sehingga membentuk retakan-retakan yang sangat massif pada hampir seluruh struktur silikanya. Jumlah kandungan terukur rata-rata logam emas dalam batuan berongga. Jika kandungan logam emas dalam batuan yang berongga memiliki nilai
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
yang cukup signifikan, maka penggunaan metode heap/dump leach justru merugikan dibanding potensi nilai tambah yang jauh lebih tinggi jika diproses secara mekanis. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian kandungan logam emas per ton batuan sebelum memutuskan menggunakan proses heap/dump leach. Jika jumlah kandungan logam emas pada batuan berongga relatif besar, maka sebaiknya dilakukan pengecilan ukuran batuan terlebih dahulu sebelum proses leaching dilakukan. Proses-proses kimia selama proses leaching yang menggunakan metoda heap/dump leach pada umumnya sama dengan proses kimia pada metode mekanis (menggunakan reaktor), namun dalam beberapa hal ada yang perlu dan tak perlu dilakukan pada proses dengan metode heap/dump leach. XII.7.2. Peralatan Heap/Dump Leach XII.7.3. Proses Pengerjaan Awal Raw Material Pada sebagian jenis raw material (batuan) mungkin dibutuhkan proses mekanis untuk memperkecil ukuran bahan baku. Hal ini dilakukan terhadap batuan yang memiliki struktur silika yang solid (padat dan tidak rapuh). Proses penghancuran bertujuan membuka urat-urat (jalur) logam dalam batuan sehingga memungkinkan penetrasi yang lebih besar dari larutan kimia pada saat proses liberalisasi dan leaching berlangsung. Penghancuran dapat dilakukan menggunakan alat jaw crusher, dengan ukuran batuan output rata-rata menjadi 1x1 cm. Ukuran yang lebih kecil lagi sangat disarankan, misalnya 0,5x0,5 cm, agar tingkat perolehan logam emas dapat mendekati nilai optimum (60% - 70%). Ukuran yang lebih kecil dari 0,5x0,5 cm menjadi kurang efektif dalam proses leaching disebabkan munculnya masalah terhadap aliran larutan dalam butir-butir batuan. XII.7.4. Proses Liberalisasi dan Oksidasi. Liberalisasi dan oksidasi sangat diperlukan pada metoda heap/dump leach, khususnya jika menggunakan sianida sebagai pelarut emas. Proses liberalisasi sebaiknya menggunakan air raja, agar efektifitas pembebasan partikel (bijih) logam emas menjadi maksimum. Air raja memiliki daya oksidasi yang sangat tinggi, oleh karena itu selama proses ini semua bahan-bahan yang terbuat dari logam tak bersinggungan dengan larutan. Batuan yang akan diliberalisasi pun harus ditempatkan pada wadah yang tahan terhadap bahan kimia (sebaiknya dilapisi oleh bahan sejenis polimer atau plastik yang tahan terhadap bahan kimia). Liberalisasi dapat dilakukan dengan merendam batuan dalam larutan air raja, atau mengalirkan larutan air raja ke dalam batuan. Proses perendaman atau pengaliran air raja sebaiknya dilakukan selama 2x24 jam, agar sebagian besar permukaan bijih ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
emas terbuka dari berbagai pengotornya. Jika dilakukan sirkulasi, maka penggunaan alat sirkulasi (pompa sirkulasi misalnya) harus terbuat dari bahan yang tahan terhadap asam kuat (acid resistance). Untuk batuan dengan kandungan belerang (sulfida) rendah (kandungan pyrite, atau sejenisnya rendah) dan kadar logam emas dalam bijih di atas 80%, penggunaan air raja antara 1 – 2 liter per metrik ton batuan. Batuan berjenis electrum (kadar emas antara 20% - 80%), batuan berkadar perak sangat tinggi (kadar emas di bawah 20%), sebaiknya menggunakan 2 – 4 liter air raja. Pada batuan dengan konsentrasi belerang yang relatif sedang (mengandung sebagian pyrite, arsenopyrite, galena, dsb), penggunaan air raja sebaiknya antara 4 – 8 liter per metrik ton material. Sebelum digunakan, air raja perlu diencerkan terlebih dahulu dengan air sebanyak 200 – 300 liter per 1 ton material. Langkah – langkah proses liberalisasi air raja sebagai berikut : -
-
-
-
-
-
Buat air raja dari larutan HNO3 pekat 68% dan HCl pekat 32% dengan perbandingan 1 : 4 volume/volume. Aduk larutan hingga pencampuran menjadi merata. Encerkan air raja yang telah diaduk (1 liter untuk batuan berkadar emas tinggi, 2 liter untuk batuan kadar perak tinggi, 4 liter untuk batuan berkandungan belerang relatif sedang) dengan air sebanyak 200 – 300 liter, aduk merata selama pengenceran. Masukkan air raja yang telah diencerkan ke dalam wadah raw material (direndam atau disirkulasi) selama 24 – 48 jam lamanya. Pada proses ini sebagian besar unsur logam pengotor larut oleh air raja. Logam emas tak larut oleh air raja akibat encer dan kurangnya jumlah air raja, serta selalu tereduksinya logam emas (yang mungkin terlarut) dari larutannya oleh logam-logam lain yang teroksidasi. Setelah proses perendaman/sirkulasi, tiriskan batuan dari larutan, tampung larutan jernih dalam suatu wadah yang tahan terhadap bahan kimia. Netralkan pH larutan hingga 7 menggunakan kapur sebelum dilakukan pembuangan. Siapkan 200 gram timbal II nitrat Pb(NO3)2 kristal, larutkan dalam air sebanyak 100 liter per ton material. Masukkan larutan timbal II nitrat ke dalam batuan, biarkan terendam atau bersirkulasi selama 6 – 12 jam. Pemberian timbal nitrat bertujuan untuk mendeaktifasi karbon alami yang mungkin terkandung dalam batuan, agar kabon ini tak menyerap emas selama proses sianidasi berlangsung. Pisahkan larutan hasil proses timbal nitrat dari batuannya, kemudian netralkan larutan terhadap kemungkinan masih adanya sisa timbal nitrat menggunakan sodium sulfida Na2S sebelum dilakukan pembuangan larutan. Pada saat Na2S dimasukkan terbentuk endapan berwarna hitam. Hentikan penambahan Na2S setelah tak terbentuknya lagi endapan baru saat dilakukan penambahan, atau jika pH larutan telah mencapai angka 2.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Setelah ini, larutan telah aman untuk dibuang karena sisa-sisa logam timbal telah mengendap sebagai senyawa timbal II sulfida yang berwarna hitam. XII.7.5. Proses Pelarutan Menggunakan Sianida Setelah proses liberalisasi batuan emas mulai terlihat bersih, dan sebagian terfraksi menjadi ukuran yang lebih kecil akibat terjadinya pelarutan unsur-unsur logam pengotor yang melekat pada urat-urat silika. pH larutan setelah proses liberalisasi berada di bawah 7, sehingga perlu dinaikkan hingga 12. Proses sianidasi menggunakan metode heap/dump leach memerlukan pH yang lebih tinggi dibanding pH jika menggunakan metode mekanis (proses reaktor/tong). pH yang lebih tinggi ini dimaksudkan agar tingkat penguapan sianida, yang biasanya lebih tinggi jika menggunakan metoda heap leach, dapat dikurangi hingga minimum. pH dapat dinaikkan menggunakan kapur (CaO) atau caustic soda (NaOH). Pemilihan 2 jenis senyawa basa ini tergantung pada perhitungan ekonomis terhadap biaya produksi. Kapur memiliki harga yang relatif murah dibanding caustic soda, akan tetapi caustic memiliki keunggulan karena mampu melarutkan sebagian silika selama berlangsungnya proses sianidasi. Kapur cocok digunakan jika ekstraksi emas dari larutan sianidanya menggunakan karbon, sementara caustic sangat tepat digunakan jika ekstraksi emas dari larutannya menggunakan elektrowinning. Pada pengolahan mekanis (proses tong/reaktor), jumlah sianida awal sebanyak 2 kg/ton material lumpur, namum pada proses sianidasi metode heap leach penggunaan sianida bergantung pada volume air. Perbandingan awal yang terbaik adalah antara 1,5 – 2 kg sianida per ton air. Penambahan lanjutan sianida bergantung pada jumlah hasil ekstraksi logam emas dari larutannya, dan hasil pengujian sisa logam emas yang terkandung dalam batuan. Jika hasil ekstraksi menunjukkan hasil logam emas yang signifikan, maka penambahan sianida sebaiknya dilakukan sebanyak ¼ dari jumlah pemberian awal. Jika hasil pengujian sampel batuan yang sedang dileaching menunjukkan kandungan logam emas yang masih besar, maka penambahan sianida pun disarankan sebanyak ¼ dari jumlah sianida awal. Penghentian penambahan sianida dilakukan berdasarkan hasil ekstraksi terkini dari logam emasnya. Jika hasil ekstraksi menunjukkan tren perolehan logam emas yang menurun cukup tajam, maka penambahan sianida sebaiknya dihentikan, meskipun hasil pengujian terbaru terhadap batuan menunjukkan hasil yang masih signifikan. Perlu diketahui, proses heap/dump leach hanya mampu mengekstraksi 50%-70% dari jumlah logam emas yang terkandung dalam batuan, sehingga meskipun hasil pengujian batuan masih menampilkan angka kandungan emas yang masih tinggi, tidak serta-merta signifikan dengan hasil logam emas yang terlarut.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Ekstraksi emas dari larutan sebaiknya dilakukan dalam periode-periode waktu yang tertentu, misalnya tiap 3 hari atau tiap 1 minggu, agar larutan yang akan diekstrak telah kaya akan garam kompleks emas dan perak. Meskipun ekstraksi logam emas dilakukan tidak secara kontinu, proses sirkulasi larutan tetap harus dilakukan secara kontinu, agar proses pengayaan larutan terus berlangsung. Ekstraksi yang dilakukan dalam interval yang terlalu cepat menimbulkan inefisiensi penggunaan karbon atau elektroda (jika menggunakan proses elektrowinning). Proses ekstraksi menggunakan karbon atau elektrowinning tetap tak mampu mengekstrak seluruh logam emas dari larutannya, sehingga masih ada sisa logam emas yang terlarut dalam sianida setelah ekstraksi terakhir dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan pemborosan dalam penggunaan karbon atau elektroda dalam proses elektrowinning. Penggunaan logam zinc sebagai alat ekstraksi harus dihindarkan, karena logam ini mudah larut dalam sianida. Kelarutan yang cukup baik ini justru merugikan pada metode heapleaching, karena tingkat konsumsi sianida menjadi naik dan harus dilakukan penambahan setiap selesainya 1 periode ekstraksi. Zinc hanya baik digunakan untuk mengekstraksi larutan kaya dalam 1 x ekstraksi saja, karena zinc tak hanya mengendapkan logam-logam emas, perak, tembaga, dan merkuri ; akan tetapi zinc juga ikut terlarut oleh senyawa alkali sianida bebas, membentuk larutan kompleks zinc sianida.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
XIII. PENGOLAHAN EMAS MENGGUNAKAN THIOSULFAT
Dewasa ini pengolahan emas menggunakan bahan kimia sangat memerlukan perhatian terhadap tingkat pencemaran lingkungan. Penggunaan sianida makin dibatasi karena tingginya tingkat pencemaran yang ditimbulkan, bahkan pada beberapa negara tertentu penggunaan sianida dalam pengolahan emas sudah tak diperbolehkan. Thiosulfat adalah suatu reagen yang paling menjanjikan untuk mengganti sianida dibanding reagen-reagen lainnya, karena sangat bersahabat terhadap lingkungan. Thiosulfat adalah bahan kimia universal, karena penggunaannya sangat luas dalam berbagai bidang. Thiosulfat juga digunakan sebagai pupuk pada tanaman, sebab mengandung logam-logam alkali dan alkali tanah yang merupakan sumber makanan utama tumbuhan. Amonium thiosulfat, alkali, dan alkali tanahnya larut dalam air, sehingga memudahkan akar tanaman menyerap mineralnya. Thiosulfat juga digunakan sebagai bahan desulfurisasi gas SO2, aditif pada proses pembuatan semen, deklorinasi, dan sebagainya. X.1. Sifat Fisika dan Kimia Thiosulfat Pada bab ini, kita membahas senyawa-senyawa thiosulfat yang digunakan dalam pelarutan logam emas dan perak. Ada 3 jenis senyawa yang digunakan untuk pelarutan, ke 3 senyawa thiosulfat tersebut memiliki banyak kesamaan sifat secara umum, namun dalam hal-hal tertentu memiliki perbedaan secara fisik dan kimia. -
-
Ammonium Thiosulfat (NH4)2S2O3. Senyawa ini tak berwarna (bening), sangat mudah larut dalam air. Ammonium thiosulfat selalu ditemukan dalam bentuk cair. Pemanasan terhadap senyawa ini mengakibatkan terjadinya perubahan struktur kimianya (terdekomposisi). Calcium Thiosulfat CaS2O3. Sama halnya dengan ammonium thiosulfat, calcium thiosulfat selalu ditemukan dalam bentuk cair. Sodium Thiosulfat Na2S2O3. Beda dengan kedua senyawa di atas, sodium thiosulfat sangat mudah mengkristal pada suhu kamar. Larutan dan kristalnya berwarna bening, sama halnya dengan ammonium dan calcium thiosulfat. Sodium thiosulfat ketika dipanaskan mampu bertahan hingga suhu 2170C tanpa terdekomposisi.
Pembuatan Sodium Thiosulfat Sodium thiosulfate pentahidrat Na 2S2O3.5H2O dibuat dengan penjenuhan larutan sodium karbonat dengan gas SO2 , yang menghasilkan larutan sodium sulfite, Na2CO3 + SO2 + H2O =====> Na2SO3 + CO2 + H2O
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Hasil reaksi kemudian direbus dengan tepung belerang, sehingga belerang melarut dan menjadikan senyawa baru sodium thiosulfate. Na2SO3 + S =====> Na2S2O3 Larutan kemudian didinginkan agar terbentuk kristal sodium thiosulfat pentahidrat. Sifat-sifat fisika : Larutan maupun kristalnya bening tak berwarna. Pada kondisi tetrahidrate sering disebut dengan istilah hypo. Garam ini mencair pada suhu 47 0C, dan kehilangan air pada suhu 217 0C. Pemanasan yang lebih tinggi dari 217 0C menyebabkan sodium thiosulfat terurai membentuk sodium sulfat dan sodium pentasulfide, 4Na2S2O3 ======> 3Na2SO4 +
Na2S5
Ammonium dan calcium thiosulfat memiliki titik dekomposisi yang lebih rendah lagi dibanding sodium thiosulfat, sehingga sangat sensitif pada suhu tinggi. Reaksi dengan perak halida membentuk kompleks 2 Na2S2O3 + AgBr ======> Na3Ag(S2O3)2 + NaBr 2 (NH4)2S2O3 + AgBr ======> (NH4)3Ag(S2O3)2 + NH4Br 4 CaS2O3 + 2 AgBr ======> Ca3[Ag(S2O3)2]2 + Ca(Br)2 Berbeda dengan reaksi terhadap perak halida, reaksi dengan perak nitrat justru menghasilkan endapan perak (I) thiosulfat yang berwarna putih, yang jika dibiarkan dalam waktu lama akan tereduksi menjadi senyawa perak sulfida (Ag2S) berwarna hitam yang tak larut dalam air. AgNO3 + Na2S2O3 =====> Ag2S2O3 + NaNO3 Pada awal reaksi warna endapan putih, sesaat kemudian berubah menjadi kuning, selanjutnya orange, coklat, dan hasil akhir berwarna hitam Ag2S. Thiosulfat stabil pada kondisi basa atau netral. Pada kondisi asam thiosulfat akan terurai menjadi gas SO 2, belerang bebas, dan air. S2O32− (aq) + 2 H+ (aq) =====> SO2 (g) + S (s) + H2O Na2S2O3 + 2 HCl =====> 2 NaCl + S + SO2 + H2O (NH4)2S2O3 + 2 HCl =====> 2 NH4Cl + S + SO2 + H2O CaS2O3 + 2 HCl =====>
Ca(Cl) 2 + S + SO2 + H2O
X.2. Reaksi Kompleks Thiosulfat Terhadap Logam Pelarutan logam emas dan perak terjadi dalam beberapa tahap, yaitu : ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
1. Oksidasi thiosulfat oleh udara, dengan adanya air 4 Na2S2O3 + O2 + 2 H2O =====> 2 Na2S4O6 + 4 NaOH 4 CaS2O3 + O2 + 2 H2O =====> 2 CaS4O6 + 4 NaOH 4 (NH4)2S2O3 + O2 + 2 H2O =====> 2 (NH4)2S4O6 + 4 NH4OH Reaksi di atas berlangsung lambat pada suhu kamar (25 0C), dan mengalami percepatan jika suhu dinaikkan. 2. Thiosulfat yang telah teroksidasi selanjutnya mengoksidasi logam-logam (utamanya emas dan perak) menjadi oksidanya 4 Ag + 2 Na2S4O6 + 4 NaOH ======> 2 Ag2O + 4 Na2S2O3 +
2 H2O
4 Au + 2 Na2S4O6 + 4 NaOH ======> 2 Au2O + 4 Na2S2O3 +
2 H2O
Hal yang sama juga dilakukan oleh 2 senyawa thiosulfat lainnya 4 Au + 2 CaS4O6 + 4 NaOH ======> 2 Ag2O + 4 CaS2O3 +
2 H2O
4 Au + 2 (NH4)2S4O6 + 4 NaOH ======> 2 Au2O + 4 (NH4)2S2O3 + 2 H2O Proses oksidasi logam emas oleh senyawa tetrathionate (S4O62-) berjalan lambat. 3. Emas dan perak yang teroksidasi selanjutnya larut dalam thiosulfat, membentuk larutan kompleks emas/perak thiosulfat. 2 Au2O + 4 Na2S2O3 + 2 H2O =====> 4 Na3AuS2O3 + 4 NaOH 2 Au2O + 4 Na2S2O3 + 2 H2O =====> 4 Na3AuS2O3 + 4 NaOH Hal yang sama juga terjadi dengan calcium dan ammonium thiosulfat. Penggunaan oksigen sebagai oksidator pada proses pelarutan menggunakan thiosulfat menghasilkan pelarutan yang relatif lambat dibanding menggunakan sianida sebagai pelarut. Untuk mempercepat pelarutan, harus digunakan oksidator yang lebih kuat daripada oksigen. Ada beberapa oksidator yang dapat digunakan, antara lain tembaga II dan besi III. Pada buku ini kita menggunakan tembaga II sebagai oksidator, karena memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibanding penggunaan besi III. Tembaga II yang akan digunakan dapat berasal dari tembaga II sulfat, yang dilarutkan oleh amoniak membentuk senyawa kompleks ion tembaga Cu(NH 3)42+ (kation tetraamina). Amoniak dapat ditulis menggunakan rumus kimia sebagai NH4OH atau NH3 saja. Pada suasana asam amoniak terurai menjadi NH 4OH, dan pada kondisi basa kation hidrogen pada kation NH 4+ cenderung berpasangan dengan anion OH - menjadi air, dan NH4- tereduksi menjadi NH 3. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Reaksi lengkapnya sebagai berikut : CuSO4 + 4 NH4OH =====> Cu(NH3)4.SO4 + 2 H2O
........(1)
2 Cu(NH3)4.SO4 + 2 Au =====> [Cu(NH3)2]2.SO4 + 2 NH3 + Au2SO4 .....(2) Reaksi (2) secara ionik dapat ditulis sebagai berikut : 2 Cu(NH3)42+ + SO42- + 2 Au ====> 2 Cu(NH3)2+ + 2 NH3 + 2 Au+ + SO42Reaksi (1) adalah reaksi dari senyawa tembaga sulfat dan amoniak, yang menghasilkan pembentukan ion kompleks tetraaminasulfat pada suasana basa. Selanjutnya kation tetraamina mengoksidasi logam emas menjadi oksidanya, dan tetraamina selanjutnya tereduksi diaminacoppersulfat (2). Hasil dari reaksi (2) terbentuk oksida logam emas, yaitu emas I sulfat yang sangat tak stabil, dan mudah tereduksi kembali menjadi logamnya, atau teroksidasi lebih lanjut membentuk senyawa kompleks. Adanya senyawa thiosulfat menyebabkan terjadinya reaksi pembentukan kompleks emas thiosulfat, yang stabil dengan adanya ion sulfat berlebih dalam larutan. Au2SO4 + 4 Na2S2O3 =====> 2 Na3(AuS2O3) + Na2SO4 Kation tetraamina yang tereduksi akibat oksidasi logam emas menjadi diaminacoppersulfat kemudian dioksidasi oleh anion thiosulfat, membentuk ikatan kompleks tembaga thiosulfat, seperti reaksi di bawah ini. Cu(NH3)2+ + 2S2O32-
=====> Cu(S2O3)35- + 2 NH3
Diaminacoppersulfat juga tetraaminacoppersulfat
teroksidasi
oleh
amoniak,
kembali
menjadi
2 Cu(NH3)2.SO4 + 2 NH4OH =====> 2 Cu(NH3)4.SO4
Pelarutan emas menggunakan thiosulfat : -
Penggunaan reaktor tertutup
Kemampuan thiosulfat melarutkan merkuri, tembaga, dan hasil merkuri dari resin ionik. Hasil pelarutan thiosulfat pada reaktor tertutup lebih tinggi hingga 40% dibanding pengolahan pada reaktor terbuka, dalam waktu dan jumlah bahan kimia yang sama. Efek paduan emas-perak, kelarutan emas murni lebih cepat dibanding paduan 4-8% perak, dan kelarutan 20-50% paduan perak lebih cepat daripada kelarutan emas murni. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Kelarutan perak sangat sensitif terhadap konsentrasi tembaga II, 1,67x 10-5 mol/m2.detik, pada konsentrasi tembaga II 1,25 millimol. 6,6x10-5 mol/m2.detik pada konsentrasi tembaga II 10millimol. Pelarutan emas menggunakan thiosulfat selama 24 jam disarankan menggunakan 0,2-0,4 M thiosulfat, 400 milli molar NH3, 10-20 milli molar tembaga II, 300C, 300 rpm, tanpa suplai udara, perbandingan cairan dan lumpur 20%, dan ukuran partikel rata-rata lebih kecil dari 106 mikrometer. Kelarutan merkuri dalam thiosulfat memiliki kecepatan yang sama dengan kelarutannya dalam sianida. Kelarutan merkuri HgS2
Gerakan dari pelarutan emas dan perak koloid pada larutan thiosulfat yang beramoniak telah dipelajari menggunakan oksigen, tembaga II, pH 9-11, suhu 22 derajat celcius hingga 48 celcius. Efek konsentrasi dari reagen utama seperti tembaga II, thiosulfat, amoniak dalam berbagai kondisi telah diselidiki. Emas koloid memiliki karakteristik serapan puncak pada 530 nm-620 nm. Ion thiosulfat S2O32-, memiliki struktur yang sama dengan sulfat dengan satu oksigen diganti dengan satu atom belerang. Thiosulfat membentuk ikatan kompleks dengan berbagai logam, termasuk emas. Pelarutan emas menggunakan thiosulfat sebagai berikut : 4 Au + 8 S2O32- + 2 H2O + O2 = 4 Au(S2O3)23- + 4 OHPelarutan emas menggunakan thiosulfat sangat sensitif terhadap konsentrasi ion tembaga, thiourea, temperatur, dan pH larutan. Hubungan antara pelarutan emas dan konsentrasi ion tembaga cukup kompleks dalam beberapa hal. Pada konsentrasi rendah, tembaga memiliki kemampuan katalis, tetapi kenaikan konsentrasinya justru merugikan dalam proses pelarutan. Untuk memastikan efek katalis dari tembaga, perbandingan tembaga terhadap amoniak dan thiosulfat harus dipertahankan. Perubahan dari thiosulfat menjadi tetrathionate oleh udara dapat juga terjadi, yang menghasilkan berbagai kemungkinan reaksi sampingan. Reaksi dengan halogen berbeda, sebagai berikut : 2 S2O32− (l) + I2 (l) → S4O62− (l) + 2 I− (l) S2O32− (l) + 4 Br2 (l) + 5 H2O(aq) → 2 SO42− (l) + 8 Br − (l) + 10 H+ (l) S2O32− (l) + 4 Cl2 (l) + 5 H2O (aq) → 2 SO42− (l) + 8 Cl− (l) + 10 H+ (l) Thiosulfat menyebabkan oksidasi yang cepat terhadap logam; besi dan stainless steel sangat peka terhadap thiosulfat. Thiosulfat juga diproduksi oleh oksidasi tak komplit dari mineral sulfida. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Pelarutan emas menggunakan thiosulfat telah diuji menggunakan 3 jenis senyawanya, ammonium thiosulfat, kalsium thiosulfat, dan sodium thiosulfat; semua menggunakan larutan amoniak dan katalis ion tembaga. Kalsium memberikan tingkat reaksi yang lebih tinggi dengan mengabaikan tingkat konsumsi thiosulfat pada proses pelarutan. Sodium memberikan hasil yang terendah dalam penggunaan konsumsi thiosulfat, dan terendah dalam tingkat pelarutan emas. Amonium thiosulfat memiliki tingkat ekstraksi yang lebih baik daripada sodium thiosulfat, namun memiliki tingkat konsumsi yang tertinggi karena berada pada pH pelarutan yang lebih rendah. Perbedaan dari pelarutan bijih emas oleh masingmasing garam thiosulfat dikatakan sebagai kemampuan pembentukan pasangan ion thiosulfat dengan kation-kation. Pelarutan emas rendah sulfida adalah hampir sama dengan pelarutan bijih emas, dimana sifat-sifat pelarutan emas dengan garam thiosulfat yang berbeda memperlihatkan tingkat ekstraksi yang berbeda. Pelarutan emas sulfida tinggi (semacam pyrite) tak hanya tergantung pada sifat-sifat dasar pelarutan bijih emas, tapi juga tergantung pada interaksi kumpulan mineral sulfida. Ammonium thiosulfat memiliki tingkat pelarutan yang lebih tinggi pada batuan sulfida tinggi dibanding calsium thiosulfat, dikarenakan memiliki tingkat pelarutan yang lebih tinggi pada mineral tembaga sulfida, dan tingkat konsumsi yang terendah dibandingkan calsium thiosulfat. Sodium thiosulfat memiliki tingkat ekstraksi yang terendah terhadap mineral sulfida tinggi, dan rendah dalam hal konsumsi thiosulfat. Ammonium thiosulfat lebih baik digunakan dalam pelarutan emas pada batuan sulfida tinggi, dan kalsium thiosulfat lebih baik digunakan pada batuan sulfida rendah .
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
XIV. PENGOLAHAN LIMBAH SIANIDA
Pengolahan lumpur batuan emas pada beberapa daerah di seluruh Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh pertambangan rakyat, ternyata masih menyisakan kandungan logam emas pada limbahnya, yang ternyata jumlahnya masih sangat ekonomis untuk diolah kembali. Hasil riset yang dilakukan oleh Sumundo, terbukti bahwa kandungan emas dalam limbah padat masih cukup tinggi, bervariasi mulai 7 gram/ton hingga 19 gram/ton. Hasil penelitian terhadap limbah, ditemukan emas dalam berbagai bentuk, antara lain: 1. Emas ukuran halus yang tersisa. Emas jenis ini dimungkinkan ada disebabkan beberapa hal, antara lain ; - waktu pelarutan kurang, - jumlah sianida yang kurang pada saat pelarutan - ukuran bijih emas terlalu besar pada saat pelarutan, yang diakibatkan oleh proses penghalusan batuan yang kurang sempurna - tak dilakukannya proses liberalisasi permukaan bijih emas sebelum leaching dilakukan 2. Emas koloid, yaitu partikel emas halus yang terperangkap dalam senyawa pyrite. Pada dasarnya setiap batuan emas primer tetap mengandung sejumlah senyawa belerang dalam jumlah yang bervariasi. Emas koloid yang terperangkap sangat sulit dilarutkan, karena sianida tak bereaksi dengan senyawa sulfida, sehingga partikel emas koloid tetap utuh terperangkap di dalam senyawa pyrite. 3. Bijih emas yang masih terbungkus oleh bijih silika, ini terjadi karena proses penghalusan batuan tidak sempurna. Silika tak larut oleh sianida, sehingga bijih emas yang terperangkap tak terlarutkan oleh sianida. 4. Larutan emas sianida yang terserap oleh karbon yang berasal dari batuan, maupun yang berasal dari karbon aktif yang tergerus oleh lumpur selama proses pelarutan berlangsung. Untuk memproses lumpur padat dari limbah ini tak bisa dilakukan menggunakan sianida, karena tingkat perolehan sangat rendah, sehingga tak sebanding dengan biaya produksi (yang cukup mahal jika menggunakan sianida).srtgg
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
XV. PENGOLAHAN MENGGUNAKAN AIR RAJA
Air raja (campuran HNO3 dan HCl dengan perbandingan volume 1 : 3) merupakan pelarut yang melarutkan hampir semua jenis logam, oleh karena itu zat ini biasa disebut sebagai pelarut universal. Sama seperti pelarut sianida dan thiosulfat, air raja juga membentuk senyawa kompleks dengan berbagai logam yang dilarutkannya. dilarutkannya. Emas larut dalam air raja membentuk larutan komplek yang stabil jika kelebihan anion klor di dalam larutannya. Perak dan logam-logam golongan I (Ag, Hg, Pb) tak larut dalam air raja karena pada akhir reaksi membentuk senyawa klorida yang tak larut. Batuan mineral emas mengandung berbagai jenis logam di dalamnya. Pelarutan menggunakan air raja adalah suatu proses kompetisi antar logam dan kationkationnya. Logam besi cenderung lebih cepat larut dibanding logam tembaga, demikian juga dengan beberapa senyawanya. Pelarutan logam menggunakan air raja berlangsung sangat cepat, melibatkan banyak reaksi oksidasi-reduksi berkecepatan tinggi selama proses pelarutan. XI.1. Kompetisi Antar Logam Suatu contoh pelarutan menggunakan air raja pada batuan yang mengandung mineral besi, tembaga, perak, dan emas. Besi, tembaga, dan perak memiliki bentuk logam maupun senyawa pada batuannya. Besi, bersama tembaga, perak, dan emas, bisa berupa unsur logam yang terkandung dalam paduan logam pada bijih emas. Besi juga bisa berupa senyawa sendiri bersama unsur belerang, membentuk senyawa yang terkenal disebut dengan istilah pyrite (FeS2). Besi bisa juga berasosiasi dengan tembaga membentuk senyawa chalcopyrite CuFeS2, yang dapat juga ditulis sebagai CuSFeS. Besi juga memiliki senyawa oksida seperti besi II oksida (FeO), besi III oksida (Fe2O3), Fe(OH)3, Fe3O4, dan berbagai bentuk senyawa lainnya. Senyawa-senyawa Senyawa-senyawa besi sangat mudah larut dalam air raja, kecuali beberapa diantaranya yang refraktory (sulit bereaksi), seperti besi III oksida Fe2O3, Fe3O4 dan beberapa jenis senyawa lainnya. Sama halnya dengan besi, tembaga juga memiliki puluhan jenis senyawa pada batuan mineral emas, yang secara umum senyawa-senyawa ini sangat mudah larut dalam air raja. Perak, secara mayoritas memiliki bentuk logam dan bercampur dengan logam emas membentuk paduan logam bijih emas. Sebagian dari unsur perak membentuk senyawa dengan belerang sebagai perak sulfida Ag2S, yang populer disebut dengan istilah argentite. Senyawa unsur perak lainnya mencapai puluhan jenis, namun bersifat minoritas dibanding logam perak pada paduan bijih emas dan argentite.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Emas selalu ditemukan sebagai logam pada batuan mineral. Bijih logam emas yang berukuran realitf besar biasanya terbungkus oleh lapisan silika. Pembebasan bijih ini mudah dilakukan melalui proses penggerusan hingga berukuran sangat halus (dibawah 0,05 mm). Emas berukuran lebih halus sebagian masih terbungkus silika, namun bagian terbesarnya berasosiasi dengan mineral lain, sehingga partikel emas halus tersebut terjebak di dalam mineral-mineral tersebut. Emas jenis ini sering disebut dengan istilah emas koloid, karena sulitnya mengendap pada media air. Emas-emas koloid ini umumnya memiliki sifat refraktory (sulit dilarutkan) terhadap larutan sianida, sehingga mayoritas dibuang kembali sebagai limbah padat. Pada deret volta, logam besi berada di sebelah kiri logam tembaga, tembaga disebelah kiri perak, perak di sebelah kiri emas, yang deretnya ditulis sebagai berikut : Fe Cu Ag Au Dari deret di atas, dapat disimpulkan beberapa hal : 1. Senyawa emas mengoksidasi logam perak, tembaga, dan besi, menjadi senyawanya, dan pada saat bersamaan senyawa emas tereduksi menjadi logamnya. Senyawa perak mengoksidasi logam tembaga dan besi menjadi senyawanya, dan saat bersamaan senyawa perak tereduksi menjadi logamnya. Senyawa tembaga mengoksidasi logam besi dan tereduksi menjadi logamnya. Senyawa besi tak mampu mengoksidasi logam tembaga, perak, dan emas. Senyawa tembaga tak mampu mengoksidasi logam perak dan emas, senyawa perak tak mampu mengoksidasi logam emas. Contoh dari kesimpulan di atas : 2 HAu(Cl)4 + 4 Cu =====> 2 Au + 4 CuCl2 + H2 ..........(1) 3 AgCl + Fe =====> 3 Ag + FeCl3 .................................(2) ................................ .(2) Pada persamaan (1), larutan kompleks tetrakloroaurat mengoksidasi logam tembaga yang berada dalam larutan, menjadi larutan tembaga II klorida. Pada saat bersamaan emas tereduksi menjadi logamnya, yang mengendap dalam bentuk tepung berwarna coklat di dasar larutan. Pada persamaan (2), senyawa tak larut perak klorida mengoksidasi logam besi menjadi larutan besi III klorida, dan saat yang sama perak tereduksi dari senyawanya, menjadi tepung perak yang berwarna hitam. 2. Senyawa emas mampu mengoksidasi lebih lanjut senyawa logam lain, dan tereduksi menjadi logamnya, senyawa perak mampu mengoksidasi senyawa logam tembaga dan besi, dan perak tereduksi menjadi logamnya. logamnya. Sebagai contoh reaksi di bawah ini : 2 HAu(Cl)4 + 8 FeCl2 =====> 2 Au + 8 FeCl3 + H2 ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Pada persamaan reaksi (2) di atas, larutan kompleks tetrakloroaurat mengoksidasi larutan besi II klorida, dan secara bersamaan tereduksi menjadi logamnya, yang berbutir halus dan mengendap di dasar larutan. Jika lumpur dari batuan emas mengandung 4 jenis logam ini, maka tiap logam emas yang terlarut oleh air raja akan terendapkan kembali oleh logam/senyawa logam lain yang belum terlarut (perak, tembaga, dan besi). Demikian juga halnya logam perak terhadap tembaga dan besi, logam tembaga terhadap besi, dan seterusnya. Ini yang dimaksudkan dengan istilah kompetisi logam maupun senyawa logam dalam pelarutan menggunakan air raja. Pada akhirnya logam emas baru akan larut setelah seluruh jenis logam yang lebih reaktif darinya telah larut oleh air raja, dan membentuk bilangan oksida yang paling tinggi. Air raja tidak melarutkan logam perak, karena terbentuknya endapan perak klorida akibat kandungan klor dari air raja. Oleh karena itu larutan hasil dari pelarutan menggunakan air raja tidak mengandung logam perak, dan pada saat pemisahan larutan dan lumpur dilakukan, logam perak akan tertinggal bersama lumpur. Atas dasar ini dan beberapa sebab lainnya, maka pengolahan menggunakan air raja tak dapat berdiri sendiri, melainkan harus terjadi kombinasi dengan berbagai pelarut lainnya. Pada batuan dengan kandungan logam perak tinggi (di atas 500 gr/ton), penggunaan pelarut air raja dapat dikombinasikan dengan asam nitrat dan sianida, atau dengan asam nitrat dan thiosulfat. Untuk kandungan logam emas yang tinggi, air raja dikombinasikan dengan sianida atau thiosulfat. Pada batuan yang mengandung logam tembaga tinggi, penggunaan air raja sebaiknya dikombinasikan dengan asam sulfat dan sianida, atau asam sulfat dan thiosulfat. Pada bagian berikut dipaparkan berbagai kemungkinan dan kombinasi-kombinasi pelarut air raja dengan berbagai pelarut lainnya. XI.2. Kombinasi Timbal II nitrat - Asam Nitrat - Air raja - Sianida Pada batuan berkandungan logam perak tinggi (di atas 500 gram perak / 1 ton batuan, penggunaan sianida saja atau thiosulfat saja sebagai pelarut sangat memboroskan waktu dan biaya selama pengolahan. Biasanya, batuan berkandungan perak tinggi juga memiliki kandungan karbon yang tinggi juga, demikian juga halnya dengan kandungan senyawa belerang (yang menyebabkan sebagian logam emas dan perak menjadi refraktory). Perak adalah logam yang jauh lebih murah dibanding logam emas, sehingga penggunaan sianida sebagai pelarut menjadi tak sefisien ditinjau secara ekonomis. Adanya jumlah karbon yang tinggi pada lumpur juga menjadi masalah yang besar, karena sebagian logam perak dan emas yang terlarut akan terserap oleh karbon ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
alami tersebut. Senyawa-senyawa sulfida yang bersifat refraktory juga menjadi penghalang utama proses ekstraksi, disebabkan sulitnya senyawa ini bereaksi dengan sianida. Untuk memproses batuan jenis ini dengan menggunakan sianida sebagai pelarut akhir, maka ada beberapa langkah yang harus dilalui sebelum penggunaan sianida dilakukan, agar potensi biaya produksi yang tinggi dapat dikonversi menjadi potensi keuntungan yang tinggi. Jumlah kandungan karbon alami yang tinggi pada batuan berkandungan perak tinggi dapat diatasi melalui pemberian larutan timbal II nitrat ke dalam lumpur. Disamping sebagai oksidator kuat, timbal II nitrat juga bertindak sebagai pengumpan awal bagi karbon alami yang berasal dari bahan batuan tersebut. Timbal II nitrat memiliki kelarutan yang tinggi terhadap air. Larutan timbal II nitrat kemudian berdisosiasi di dalam lumpur cair, menjadi kation timbal II (Pb 2+) dan anion nitrat (NO 3-). Kation Pb2+ selanjutnya secara bertahap terserap oleh karbon, dan mengisi ruang-ruang di dalam karbon. Hasil pemberian bahan kimia ini adalah karbon yang berasal dari batuan telah terisi logam timbal, sehingga mengalami kejenuhan sebelum pelarutan logam dilakukan. Timbal II nitrat adalah senyawa logam berat yang memiliki tekanan yang hampir sama dengan logam emas, sehingga kation emas sulit mendesak kation timbal untuk keluar dari ruang karbon yang telah didiaminya. Tak seperti perak nitrat yang sangat bersifat reaktif dan langsung mengendap jika terkontaminasi oleh garam-garam halogen (seperti NaCl, NaBr) yang berasal dari lumpur, kation timbal yang bereaksi dengan anion halogen tetap membentuk larutan, meskipun telah terjadi perubahan senyawa menjadi timbal II klorida. Timbal II klorida memiliki kelarutan yang cukup baik terhadap air (9 gram/liter pada suhu 25 0C, dan kelarutan naik hingga 34,5 gram/liter pada suhu 1000C. Terjadinya perubahan senyawa dari timbal II nitrat menjadi timbal II klorida (akibat adanya kontaminasi ion halogen yang mungkin ada dalam lumpur) tetap membuat kation timbal terserap oleh karbon. Untuk skala percobaan, siapkan batu emas sebanyak 100 kg, gerus halus dalam ballmill atau tromol/glundung hingga berukuran mesh 200 up Tahapan-tahapan proses selanjutnya sebagai berikut : 1. Timbang kristal timbal II nitrat kering seberat 25 gram. Masukkan timbal II nitrat ke dalam lumpur yang telah diencerkan menggunakan air dan ditempatkan dalam wadah plastik (ember/tong plastik). Aduk lumpur secara merata, kemudian diamkan selama 1 jam. Pada saat ini karbon alami yang berasal dari batuan menyerap kation Pb 2+, dan beberapa kation lain yang teroksidasi oleh Pb(NO 3)2. 2. Larutan hasil proses (1) dipisahkan dari lumpurnya, dan tempatkan pada media limbah asam (gunakan media yang terbuat dari plastik chemical resistance). Larutan mengandung sisa-sisa timbal II nitrat, ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
dan beberapa unsur kimia lain yang larut akibat proses oksidasi yang dilakukan oleh timbal II nitrat. Larutan ini bersifat racun, terutama disebabkan kemungkinan masih adanya senyawa timbal yang terlarut, disamping adanya kemungkinan senyawa-senyawa lain seperti arsenik, besi, dan sebagainya. Oleh sebab itu larutan harus dinetralisir sebelum dilakukan pembuangan. Pengendapan logamlogam berat dapat dilakukan menggunakan garam sodium sulfide Na2S. Masukkan sodium sulfide (bentuk flake) ke dalam wadah secara bertahap. Pada saat Na 2S dimasukkan terjadi reaksi pengendapan larutan logam membentuk endapan sulfida logam yang sangat stabil dan tak larut dalam air Pb(NO3)2 (l) + Na2S (l) ====> PbS
(s)
+ NaNO3 (l)
Hasil dari proses netralisir adalah endapan senyawa sulfida logam yang sangat stabil, dan larutan garam sodium nitrat yang bersahabat terhadap lingkungan. Setelah proses pengendapan menggunakan Na2S selesai, larutan dan endapan telah layak untuk dibuang. 3. Tahapan berikutnya pelarutan logam perak dan senyawa-senyawa refraktory lainnya menggunakan asam nitrat. Pada bagian ini, gunakan asam nitrat pekat yang diencerkan dengan air 1 : 1. Untuk 100 kg bahan baku, dengan perkiraan awal kandungan logam perak 500 gram/ton (50 gram perak/100 kg batuan), gunakan HNO 3 pekat 68% sebanyak 7 kg (5 liter), encerkan hingga volume larutan + air menjadi 10 liter. Lumpur yang akan diproses dimasukkan ke dalam media stainless besar (sebaiknya gunakan stainless steel 316 yang tahan lama terhadap korosi), buang sisa-sisa air yang menggenanginya. Masukkan cairan asam nitrat, aduk dan tutup wadah stainless rapat-rapat (jumlah cairan dan lumpur jangan melebihi 40% volume wadah, kelebihan dalam volume dapat menyebabkan terjadinya peluapan saat lumpur direbus). Rebus lumpur di atas api (jangan gunakan pemanas dari gas) hingga terjadi pendidihan, biarkan hingga asap yang dikeluarkan berubah dari coklat menjadi warna putih (uap air). Setelah selesai reaksi, lakukan pengamatan menggunakan mikroskop terhadap kemungkinan masih adanya logam perak yang tersisa dalam lumpur. Bijih emas kadar rendah (mayoritas perak) dalam batuan biasanya berbentuk lempengan tak beraturan, berwarna putih perak dan sedikit semu kuning (pyrite dan senyawa sulfida lainnya biasanya memiliki bentuk beraturan, bersegi-segi). Jika bijih emas perak masih ditemukan dalam jumlah yang signifikan, maka pelarutan perak menggunakan HNO3 belum selesai. Jika pelarutan belum selesai namun larutan telah jenuh, maka lakukan kembali pelarutan menggunakan HNO 3 ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
yang dikurangi terhadap jumlah awal. Setelah selesai, pisahkan larutan dari lumpur, dan satukan seluruh larutan perak nitrat dalam wadah plastik yang tahan terhadap bahan kimia. Endapan lumpur masih mengandung sebagian kecil logam perak, sedangkan logam emas masih belum terlarut dalam proses ini. 4. Larutan yang dipisahkan dari proses (3) telah mengandung logam perak dalam bentuk senyawa larut AgNO 3, dan sebagian kecil Ag2SO4. Endapkan larutan menggunakan sodium sulfide Na 2S. Perak, tembaga, dan beberapa jenis logam lainnya mengendap saat diberikan Na2S ke dalam larutan. Lakukan penambahan Na2S selama terbentuk terus endapan, hentikan penambahan setelah tak menghasilkan endapan baru lagi. Biarkan suspensi mengendap sempurna, saring dan pisahkan dari larutannya. 5. Larutan hasil proses (4) memiliki pH yang rendah, karena masih kelebihan asam pada larutannya. Netralkan pH larutan menggunakan kapur hingga mencapai pH 7, kemudian larutan telah aman untuk dibuang. 6. Endapan hasil proses (4) kemudian dicuci menggunakan HCl encer untuk melarutkan senyawa-senyawa logam pengotor, seperti besi II sulfida, zinc II sulfida, dan sebagainya. Saring kembali endapan hasil pencucian, buang larutan setelah dinetralkan pH nya menggunakan kapur. 7. Endapan hasil proses (6) siap dilebur untuk menjadikannya logam. Lebur endapan dalam kowi menggunakan tepung soda ash (Na 2CO3) sebagai fluks, pada suhu 1100 0C. Hasil peleburan adalah campuran (paduan) logam perak dan tembaga yang telah bisa dipisahkan dan dimurnikan peraknya. 8. Lumpur hasil proses (3) siap untuk dilarutkan menggunakan air raja. Masukkan lumpur beserta sisa-sisa larutannya ke dalam wadah plastik yang memiliki tutup rapat. Siapkan larutan air raja dengan mencampur HNO3 1 bagian dan HCl 3 bagian dalam wadah yang tertutup (jeriken bisa digunakan, namun jangan menutup terlalu rapat karena perlu celah untuk melepaskan gas yang muncul akibat reaksi nitrat dan klor). Aduk merata, dan biarkan hingga warna larutan mulai memerah. Setelah memerah, masukkan larutan ke dalam lumpur, aduk hingga merata, kemudian tutup wadah agar uap air raja tak leluasa keluar dan mencemari udara sekitarnya. Untuk bahan baku 100 kg, penggunaan air raja awal disarankan sebanyak 5 liter. Biarkan proses pelarutan berlangsung, aduk sesekali lumpur. Pada ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
proses ini emas melarut membentuk senyawa kompleks tetrakloroaurat yang berwarna merah kecoklatan (proses pelarutan memerlukan sekurangnya 2 jam). Logam-logam pengotor ikut terlarut oleh air raja, kecuali sisa-sisa perak yang tetap berada dalam lumpur sebagai senyawa tak larut AgCl (putih kapur). Pisahkan larutan merah jernih dari lumpurnya, tiriskan lumpur dari sisa-sisa larutan. Amati lumpur (menggunakan mikroskop mineral) terhadap kemungkinan masih tertinggalnya logam emas dalam jumlah yang signifikan (bijih emas yang tertinggal akan terlihat berwarna kuning emas). Bijih emas yang belum terlarut kemungkinan disebabkan jumlahnya yang relatif banyak dibandingkan jumlah air raja yang dimasukkan. Jika jumlah bijih emas masih signifikan, maka pelarutan dapat dilakukan kembali menggunakan air raja, dengan jumlah yang lebih sedikit dari pemakaian awalnya. Setelah sebagian besar emas terlarut, maka seluruh larutan dikumpulkan dalam 1 wadah yang tahan asam. Endapan lumpur sisa proses ini masih mengandung logam emas dalam jumlah yang sedikit, demikian juga perak. Oleh karena itu lumpur akan diproses menggunakan sianida sebagai proses ekstraksi terakhir logam emas dan perak. 9. Larutan hasil proses (8) kemudian dicampur dengan Na 2S untuk mengendapkan logam emas. Biarkan beberapa saat hingga suspensi (campuran larutan dan endapan) yang terjadi mengendap dengan sempurna di dasar larutan. Endapan mengandung logam emas dan logam-logam ikutan, seperti tembaga, besi, dan sebagainya. Pisahkan larutan hasil limbah pengendapan, netralkan dengan kapur sebelum dilakukan pembuangan. 10. Lebur endapan hasil proses (9) menggunakan borax sebagai fluks. Hasil proses ini adalah paduan logam emas dengan berbagai logam pengotor (umumnya tembaga), yang telah dapat dipisahkan dan dimurnikan. 11. Lumpur hasil proses (8) masih mengandung logam emas dan perak. Emas kemungkinan dalam bentuk larutan tetrakloroaurat yang tertinggal dan membasahi lumpur. Sebagian emas kemungkinan masih tertinggal dalam bentuk logam halus bersama lumpur. Sisasisa perak berbentuk senyawa AgCl dan Ag2SO4 yang bercampur dengan lumpur. Naikkan pH menggunakan kapur hingga 11, sembari mengencerkan lumpur hingga memiliki berat jenis 1,4 kg/liter. 12. Pindahkan lumpur ke dalam reaktor, masukkan sianida sebagai pelarut logam emas dan perak. Karena jumlah emas dan perak telah jauh berkurang setelah proses pelarutan menggunakan asam nitrat ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
dan air raja, maka penggunaan sianida pun menjadi lebih sedikit, dan lama proses pelarutan menggunakan sianida menjadi lebih singkat. Jumlah sianida awal pada proses ini sekitar 100 gram / 100 kg lumpur. Proses pelarutan perak dan emas yang telah berbentuk senyawa menjadi sangat cepat dan seketika. AgCl (s) + NaCN (l) =====> ===== > Na[Ag(CN)2] Na[Ag(CN) 2] + NaCl Au2O + 4 NaCN + H2O =====> 2 Na[Au(CN)2] + 2 NaOH Emas yang mengendap kembali akibat kenaikan pH sebagian berbentuk senyawa tak larut, akan tetapi sebagian besar lainnya justru tereduksi kembali menjadi logamnya, yang berukuran sangat halus. Ukuran partikel emas yang sangat halus ini memudahkan proses pelarutan, sehingga pelarutan menjadi relatif lebih cepat. Pada situasi ini pelarutan diperkirakan menghabiskan waktu sekitar 12 jam sejak sianida dimasukkan, dengan tingkat perolehan total logam emas dan perak mencapai 97% dari jumlah total kandungannya dalam batuan. 13. Pindahkan lumpur dari reaktor ke wadah penyaring, biarkan hingga semua larutan terpisah dari lumpurnya. Penyaringan dan penirisan memakan waktu yang relatif lama, antara 6 jam – 12 jam. Larutan hasil penyaringan kemudian dimasukkan ke dalam wadah lain yang bersih dari lumpur. 14. Masukkan debu logam zinc (zinc dust) ke dalam larutan hasil (13), aduk secara merata selama 15 menit. Jumlah logam zinc awal yang disarankan 10 gram. Emas dan perak tereduksi oleh zinc dan mengendap menjadi logam emas dan perak, sedangkan logam zinc melarut membentuk ikatan kompleks zinc sianida. Uji larutan bening terhadap kemungkinan masih adanya logam emas yang belum terendapkan setelah 15 menit penggunaan zinc. Pengujian dapat dilakukan dengan mengambil cairan sampling 10 ml dan masukkan ke beaker glass. Tambahkan T ambahkan larutan HNO3 encer untuk menurunkan pH larutan menjadi 5 atau dibawahnya. Pada proses ini terjadi penguapan sianida yang berubah menjadi gas HCN (hindarkan mencium bau gas ini, karena sangat bersifat racun dan mematikan). Penguapan sianida menyebabkan terjadinya perubahan senyawa kimia yang terlarut dalam sianida. Garam kompleks sianida akan mengendap akibat kehilangan sianida, dan berubah menjadi garam perak I sianida yang mengendap sebagai tepung berwarna putih. Garam kompleks emas berubah menjadi senyawa emas I sianida berwarna ungu kemerahan dan berupa endapan, dan butiran logam ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
emas halus yang berwarna merah kecoklatan. Zinc mengendap sebagai senyawa zinc II sianida berwarna putih. Saring endapan, lebur menggunakan borax. Amati hasil leburan menggunakan mikroskop mineral. Jika sudah tak ditemukan lagi adanya butiran logam emas dan perak pada hasil leburan, maka proses pengendapan menggunakan menggunakan zinc telah selesai. Jika masih ditemukan adanya butiran emas dan perak pada hasil leburan, maka proses pengendapan menggunakan zinc belum selesai, dan perlu dilakukan penambahan zinc ke dalam larutan. 15. Cuci endapan logam emas dan perak menggunakan HCl encer untuk melarutkan sisa-sisa logam zinc yang ada di endapan. Hasil endapan dari pencucian adalah logam emas, perak, tembaga, dan kemungkinan adanya sedikit logam merkuri. 16. Lebur endapan hasil (15) menggunakan borax sebagai fluks. Hasil peleburan berupa paduan logam emas dan perak yang telah bisa dipisahkan dan dimurnikan. 17. Netralkan cairan hasil proses (14) menggunakan besi II sulfat hingga terbentuk endapan berwarna biru kehijauan, selanjutnya cairan telah aman untuk dibuang. 18. Lumpur padat limbah hasil proses sianida dinetralkan terlebih dahulu dengan besi II sulfat sebelum dibuang. dibuang. XI.3. Kombinasi Soda Ash-Timbal II nitrat - Asam Nitrat - Air raja – Sianida Pada batuan berkandungan perak sangat tinggi (mulai 1000 gram/ton hingga kandungan perak 1,5% dari berat batuan) penggunaan metoda-metoda biasa sudah tak efektif dan sangat memboroskan. Batuan jenis ini memiliki kadar emas yang sangat rendah dalam paduannya dengan logam perak, bahkan bisa mencapai hanya 0,1%. Kadar perak yang berhasil ditemukan Sumundo pernah mencapai 99% dari paduan logamnya. Ditinjau dari nilai jual, kandungan batuan seperti ini sangat menjanjikan. Akan tetapi umumnya para pengolah emas mengalami kebingungan menghadapi hal seperti ini, disebabkan tak adanya metoda yang tepat dalam mengolah batuan seperti ini. Penggunaan merkuri sebagai ekstraktor tentu saja sangat boros, karena menghabiskan menghabiskan banyak logam merkuri, sementara harga merkuri terus naik sehingga hasil yang diperoleh hampir tak sebanding dengan biaya produksi yang cukup tinggi. Penggunaan sianida dan thiosulfat juga membutuhkan biaya yag sangat tinggi, karena kandungan logam perak yang harus diekstrak cukup tinggi, sementara biaya bahan kimia yang dikeluarkan juga tinggi. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Suatu terobosan baru pengolahan batuan ini telah dilakukan Sumundo. Penggunaan soda (caustic soda atau soda ash) untuk melarutkan silika maupun sebagian mineral pengotor sebagai langkah awal sangat disarankan terhadap batuan jenis ini. Caustic soda memiliki sifat yang sangat korosif terhadap hampir semua jenis logam, sehingga penulis menyarankan penggunaan soda ash, yang relatif tak merusak media stainless steel pada saat proses perebusan dilakukan. Batuan yang telah dilumpurkan selanjutnya dimasukkan dalam media yang terbuat dari stainless stainless steel. Untuk 100 kg lumpur campur dengan dengan 10 kg soda ash, ash, masukkan air secukupnya ke dalam wadah (jangan terlalu banyak, karena akan memperlambat reaksi). Penggerusan (penggilingan batuan), yang bertujuan untuk meliberalisasi kulit bijih emas, pada dasarnya tak dapat mencapai tingkat liberal 100%, akan tetapi bervariasi dari 50%-90%. Soda ash sangat membantu proses liberalisasi, karena melarutkan silika yang sebagian masih menutup permukaan logam emas. Pelarutan silika juga memiliki pengaruh yang sangat positif terhadap pengurangan volume dan berat lumpur. Perlu diketahui bahwa sebagian besar dari kandungan lumpur adalah silika, sehingga pelarutan silika akan mengurangi berat maupun volumenya. Pengurangan tersebut berpengaruh terhadap naiknya persentase logam emas dan perak terhadap berat batuan. Pelarutan juga menyebabkan peningkatan mobilitas larutan terhadap lumpur, karena partikelpartikel halus silika sebagian besar telah terlarutkan oleh soda ash. Secara praktek, jumlah berat material yang berkurang oleh pelarutan Na2CO3 adalah sebanyak ½ dari berat pelarutnya. Dalam hal ini 10 kg Na2CO3 akan melarutkan 5 kg silika dan logam-logam pengotor. Rebus lumpur yang telah dicampur soda ash selama 1 jam, agar reaksi pelarutan silika dan logam-logam lain berjalan lebih cepat. Reaksinya sebagai berikut : Na2CO3 + SiO2 ====> Na2SiO3 + CO2 Pada reaksi di atas, silika larut oleh soda ash menjadi larutan Na2SiO3 yang kental. Larutan ini sering disebut dengan istilah umum sebagai “water glass”. Soda ash juga mengoksidasi logam-logam logam-logam lain, seperti tembaga, tembaga, besi, berbagai sulfida logam, logam, kandungan karbon, dan sebagainya. Hasil dari reaksi ini larutan pada lumpur berubah warna menjadi hitam keruh. Setelah 1 jam, dinginkan lumpur pada media plastik dan biarkan suspensi mengendap sempurna. Buang larutan yang bening, bilas kembali lumpur dengan air bersih, dan buang kembali larutan hasil bilasan. Tiriskan lumpur sisa-sisa larutan. Turunkan pH larutan hingga 6 menggunakan larutan HNO3 encer, bilas kembali lumpur terhadap sisa-sisa larutan. Masukkan 100 gram Pb(NO3)2 ke dalam lumpur, aduk rata, biarkan selama 1 jam. Pisahkan lumpur dari larutannya. Siapkan 5 kg (3,5 liter) larutan HNO3 pekat, campur dengan air sebanyak volumenya (volume larutan akhir menjadi 7 liter). Masukkan larutan ke dalam lumpur, aduk merata, rebus hingga asap coklat berganti dengan uap putih. ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
Amati lumpur menggunakan mikroskop. Jika masih ditemukan adanya logam emas perak dalam jumlah yang signifikan, lakukan kembali pelarutan dengan jumlah HNO3 yang dikurangi.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
XVI. PEMURNIAN LOGAM EMAS DAN PERAK Ada dua cara pelarutan dalam pemurnian sistem konvensional. Cara 1 adalah pelarutan menggunakan asam nitrat (HNO 3). Cara ini dilakukan terhadap emas berkadar rendah (1% - 20%). Cara 1 sangat sulit dilakukan terhadap logam emas berkadar tinggi disebabkan logam emas sudah membentuk tabir yang rapat. Sebagaimana dibahas pada bagian XIII A, emas tak larut dalam asam nitrat (HNO 3). Cara 2 pelarutan dengan air raja. Cara ini dilakukan pada logam emas kadar tinggi (90% - 99%). Masing – masing cara ini akan diulas secara rinci dalam bagian ini. A. Pelarutan Dengan Asam Nitrat (HNO3) Emas kadar rendah sangat tepat dimurnikan dengan proses pemisahan HNO 3. Reaksinya sebagai berikut : Au Ag Cu Pb (bullion) + 10 HNO 3 Pb(NO3)2(l) +
Au
(s) +AgNO3 (l)
+ Cu(NO3)2(l)+ 6NO(g) + 3O2(g) + 6H2O(l)
Keterangan simbol: S = padatan , l = larutan , g = gas Logam paduan emas perak dimasukkan ke dalam larutan HNO 3 pekat. Perak akan bereaksi menjadi larutan perak nitrat (AgNO 3), sedangkan emas tertinggal dalam endapan dalam bentuk tepung emas yang berwarna coklat. Penggunaan larutan asam nitrat sebagai pelarut mensyaratkan wadah reaksi yang tak boleh terbuat dari logam, kecuali wadah stainless steel yang relative dapat bertahan lama terhadap asam nitrat. Selain stainless steel, reaksi dapat juga menggunakan wadah kaca pyrex yang tahan terhadap panas tinggi. Tanpa pemerian panas reaksi berlangsung sangat lambat, bahkan dapat berlangsung berhari – hari. Pemerian panas akan mempercepat reaksi pelarutan. Pemanasan dilakukan dengan cara memasak wadah reaksi di atas nyala api (kompor), hingga terjadi pendidihan (suhu 1250C). Selama terjadinya reaksi timbul gas berwarna coklat kemerahan yang keluar dari larutan. Gas ini adalah uap NO 2 yang terjadi akibat reaksi antara gas NO (nitrogen oksida) dengan udara. Reaksi berlangsung sempurna jika semua endapan telah berbentuk tepung berwarna coklat dan uap yang keluar tak berwarna coklat lagi. Teruskan pemanasan hingga keluar uap berwarna putih dari larutan. Ini dilakukan untuk memastikan habisnya sisa – sisa asam nitrat di dalam larutan. Untuk jumlah logam yang relative banyak, pelarutan dilakukan secara berulang-ulang ; larutan yang telah jenuh (telah menjadi larutan logam) dipindahkan ke wadah lain ( terbuat dari plastic atau kaca), selanjutnya masukkan kembali larutan asam nitrat baru ke dalam
����� ������ ���������� ���� ��������������������������
wadah reaksi dan lakukan proses yang sama hingga semua logam berubah menjadi tepung berwarna coklat kemerahan. Setelah reaksi selesai, endapan dapat dipisahkan dari larutan dengan cara penyaringan. Untuk memastikan tak ada lagi unsur perak di endapan, lakukan pembilasan (dekantasi) dan saring hingga kering endapan tersebut. Selanjutnya endapan telah siap untuk dilebur dengan bantuan fluks (borax atau caustic soda misalnya). Hasilnya adalah logam mulia emas kadar 99,92% - 99,97%. Larutan perak nitrat kemudian diproses untuk pengendapan perak menggunakan HCl encer atau garam dapur (NaCl). Terjadi reaksi pengendapan AgCl. Mula – mula larutan menjadi keruh berwarna putih susu yang dengan cepat mengendap sebagai tepung putih. Lakukan penambahan HCl encer atau NaCl hingga tak terjadi lagi pengendapan susulan. Reaksi yang terjadi adalah. AgNO3 AgNO3
+ HCl + NaCl
AgCl
+ HNO3
AgCl
+ NaNO3
Pisahkan endapan dengan larutan dengan cara penyaringan. Setelah semua larutan tersaring, bilas kembali endapan dengan air panas untuk memastikan tak ada lagi unsur logam lain di endapan (terutama timbal dalam bentuk PbCl 2). Ada dua cara untuk memproses garam perak AgCl hingga menjadi logam. Caranya masing – masing sebagai berikut: 1. Penjemuran Di bawah Sinar Matahari Tepung perak klorida dijemur di bawah sinar matahari dalam lapisan tipis. Pada penjemuran akan terjadi reaksi pelepasan gas klor ke udara. Ini sama dengan reaksi fixasi negatif film ,yang terjadi akibat rangsangan sinar ultra violet. 2AgCl
U.V
2Ag
+ Cl2
Dari cara ini diperoleh tepung logam perak (Ag warna hitam) yang selanjutnya dilebur dengan bantuan borax (pijar) atau caustic soda, menjadi logam perak dengan kemurnian 99,98% - 99,99% . Jika tepung perak hasil penjemuran sebagian masih berwarna putih, peleburan harus dilakukan menggunakan fluks caustic soda, disebabkan sebagian dari perak klorida masih belum mengalami proses reduksi. Penggunaan borax dapat menggagalkan peleburan sebagian perak, sebab borax tak mampu mereduksi tepung perak klorida menjadi logam perak. 2.
Pertukaran Kation Logam
Potongan-potongan plat seng atau besi yang bebas karat dimasukkan ke dalam endapan perak klorida (AgCl), kemudian ditambahkan air sebagai media pertukaran ion. Lakukan pengadukan terus – menerus hingga warna endapan berubah menjadi hitam abu / abu - abu. Dalam proses ini terjadi reaksi pertukaran logam, dimana garam perak akan berubah menjadi logam perak murni, sedangkan plat seng telarut ����� ������ ���������� ���� ��������������������������
menjadi garam klorida dari seng dan besi. Selama reaksi berlangsung, suhu air akan meningkat karena reaksi menghasilkan panas. Selanjutnya pisahkan endapan dari larutan dan bilas endapan dengan air bersih. 4 AgCl(s) + Zn(s) + Fe(s) + H2O
4 Ag + ZnCl2 + FeCl2 + H2O
Dari reaksi di atas diperoleh tepung logam perak (hitam abu-abu). Kemudian cuci bersih endapan dengan air sebelum dilebur. Dari hasil leburan diperoleh logam perak dengan tingkat kemurnian 99,95% - 99,98% . Ada kemungkinan terjadi pencemaran dari karat besi. Karat (Fe 2O3) tak melakukan reaksi pertukaran kation dan sangat sulit larut dalam asam. Untuk membuang kotoran besi dapat dilakukan pada saat peleburan. Saat logam mencair (pada suhu 1000 0C) lakukan pemurnian dengan penambahan borax (pijar). Besi akan terusir dari lelehan logam perak dan hasilnya diperoleh bullion perak kadar 99.99%. Apakah logam emas kadar tinggi (86% up) mampu dimurnikan dengan cara HNO 3 ? Sebenarnya bisa dilakukan. Logam emas kadar tinggi dicampur dengan logam perak melalui pelelehan bersama. Campuran logam ini akan menurunkan kadar emas namun berat bertambah. Emas kadar 90% dapat turun, dan penurunan tergantung seberapa banyak logam perak yang tercampur pada saat peleburan. Setelah terjadi paduan emas kadar rendah maka logam tersebut telah dapat diproses dengan pelarutan HNO 3. B.
Pelarutan dengan Air Raja.
Air raja (pekat) melarutkan logam paduan emas kadar tinggi. Prosesnya sebagai berikut : 1. Buat air raja dengan mencampur 3 bagian HCl dan 1 bagian HNO 3, tempatkan dalam wadah yang terbuat dari pyrex. 2. Masukkan paduan emas kadar ≥ 86% dalam larutan, panaskan dengan nyala api untuk memercepat reaksi pelarutan, teruskan pemanasan hingga semua logam larut, lakukan terus hingga keluar asap putih dari larutan (pertanda sisa asam sudah habis dari larutan). 3. Encerkan larutan dengan air (aquadest) hingga terbentuk endapan putih keruh dari perak klorida (AgCl). 4. Biarkan suspensi mengendap dengan sempurna, lalu saring dan pisahkan dari larutan emas. Lakukan dekantasi pada endapan dengan aquadest (air). Endapan perak klorida telah dapat diproses menjadi logam menggunakan salah satu dari metoda pada sub-bab A.1 atau A.2.
����� ������ ���������� ���� ��������������������������