BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepatuhan
1. Pengertian Sackett (1976) dalam Niven (2000) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Sedangkan menurut Sarafino dalam Bart Smet (1994) kepatuhan atau ketaatan (complience atau andherance) adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan Menurut Feuerstein et al (1986) dalam Niven (2000), faktor-faktor yang mendukung kepatuhan pasien antara lain : a. Pendidikan Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif, seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri. b. Akomodasi Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan dalam pengobatan. c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan program-program pengobatan. d. Perubahan Model Terapi Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
e. Meningkatkan Interaksi profesional kesehatan dengan pasien
Adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan informasi tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.
Menurut skiner ( 1938 ) dalam Notoatmojo ( 2007 ) bahwa kepatuhan minum obat pada penderita merupakan suatu perilaku terbuka ( overt behaviour ). Perilaku tersebut muncul akibat adanya operant respont atau instrumental respon yaitu respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Kepatuhan minum obat (medication compliance) adalah mengkonsumsi obatobatan yang diresepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat. Pengobatan hanya akan efektif apabila penderita mematuhi aturan dalam penggunaan obat (Kusbiyantoro, 2002). Teori lain yang mengungkapkan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan diantaranya adalah teori Lawrence Green. Menurut teori Lawrence Green perilaku ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu : a.
Faktor- faktor Predisposisi ( predisposing factor ) Faktor ini mencakup pengetahuan, sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan,sistim nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Untuk berperilaku kesehatan, misalnya pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil, diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat periksa kehamilan baik bagi ibu sendiri maupun bagi janinnya.Disamping itu ,kadangkadang kepercayaan,tradisi dan system nilai masyarakat juga dapat menghambat atau mendorong masyarakat untuk berperilaku kesehatan. Berbagai faktor demografi seperti keadaan sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat.
b.
Faktor-faktor pendukung ( Enabling factor ) ) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya.Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti
puskesmas,rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan
praktik
swasta,
dan
sebagainya.Untuk
berperilaku
sehat,
masyarakat
memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan. c.
Faktor- faktor pendorong ( Reinforcing factor ) Yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas lain, teman, guru, dukungan dari keluarga dan masyarakat. Undang-undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah juga termasuk dalam faktor ini. Menurut L.Green, dorongan dari rekan kerja, pimpinan, tenaga kesehatan, dan anggota keluarga. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas, lebih-lebih petugas kesehatan.Disamping itu undang-undang juga memperkuat perilaku kesehatan masyarakat.seperti perilaku pemeriksaan kehamilan.
Menurut
Notoatmojo(2007)
perilaku
terbentuk
dalam
suatu
proses
dan
berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang memegang peranan di dalam pembentukan perilaku dapat dibedakan menjadi dua yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern berupa kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi, dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar. Faktor ekstern meliputi objek, orang, kelompok, dan hasil-hasil kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan perilakunya. Kedua faktor tersebut akan dapat terpadu menjadi perilaku yang selaras dengan lingkungannya apabila perilaku yang terbentuk dapat diterima oleh lingkungannya, dan dapat diterima oleh individu yang bersangkutan. Sedangkan menurut Saparinah Sadli (1982) dalam Notoatmojo (2007) bahwa hubungan individu dengan lingkungan sosial keluarga saling mempengaruhi. Sikap dan kebiasaan anggota keluarga mengenai kesehatan akan mempengaruhi perilaku individu.
3. Faktor- faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan Menurut Niven (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian antara lain :
a.
Pemahaman tentang instruksi Tak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan kepadanya.Ley dan Spelman ( 1967 ) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang intruksi yang diberikan kepada mereka Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh DiNicola dan Di Matteo (1984): 1)
Buat instruksi tertulis dan mudah diinterpretasikan
2)
Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain.
3)
Maka akan ada “efek keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali tertulis.Efek keunggulan ini telah terbukti mampu menguatkan ingatan tentang informasi-informasi medis (Ley 1972).
4)
Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal penting perlu ditegaskan.
b.
Kualitas Interaksi Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dengan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.
c.
Isolasi sosial dan keluarga Keluarga menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang mereka terima. Prat ( 1976 ) dalam Niven ( 2000 ) mengatakan bahwa keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.
d.
Keyakinan, sikap dan Kepribadian Becker et al ( 1979 ) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.
Dinicola dan DiMatteo ( 1984 ) mengusulkan 5 titik rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien :
a. Satu syarat untuk semua rencana menumbuhkan kepatuhan adalah mengembangkan tujuan kepatuhan (dari teori tindakan berdasarkan rasional). b. Perilaku sehat sangat dipengaruhi oleh kebiasaan,oleh karena itu perlu dikembangkan satu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku, tetapi juga untuk mempertahankan perubahan tersebut. c. Pengontrolan perilaku sering kali tidak cukup untuk mengubah perilaku itu sendiri.Faktor kognitif juga berperan penting. d. Dukungan Sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga lain, teman, waktu dan uang merupakan faktor-faktor penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. e. Dukungan dari profesional kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan.
B. Peran Keluarga sebagai PMO
1.
Pengertian Peran Nye (1976) dalam Friedman (2003), peran adalah menunjukkan beberapa set perilaku yang kurang lebih bersifat homogen yang didefinisikan dan diharapkan secara normatif dari seorang okupan dalam situasi sosial tertentu. Peran didasarkan pada preskripsi dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam situasi-situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut. Peran adalah pola sikap perilaku nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisi di masyarakat. Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan, yang berhubungan denganindividu dalam posisi dan situasi tertentu.Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok, masyarakat (Effendy, 1998)
2.
Peranan Keluarga a. Peran Formal Murray dan Zentner, (1975, 1985) dalam Friedman (2003), peran formal keluarga berkaitan dengan setiap posisi formal keluarga, peran-peran terkait, yaitu sejumlah perilaku yang kurang kebih bersifat homogen. Keluarga membagi peran
secara merata kepada para anggota keluarga seperti cara masyarakat membagi peranperannya menurut bagaimana pentingnya pelaksanaaan peran bagi berfungsinya suatu sistem. Peran formal yang standar terdapat dalam keluarga (pencari nafkah, ibu rumah tangga, tukang perbaiki rumah, sopir, pengasuh anak, manajer keuangan, tukang masak). Jika dalam keluarga hanya terdapat sedikit orang yang memenuhi peran ini, dengan demikian lebih banyak tuntutan dan kesempatan anggota keluarga untuk memerankan beberapa peran pada waktu yang berbeda. Jika seorang anggota keluarga meninggalkan rumah dan karenanya ia tidak memenuhi suatu peran, maka anggota keluarga lainnya mengganti kekosongan perannya agar peran tersebut tetap berfungsi. Berbagai peranan formal masing-masing anggota keluarga adalah sebagai berikut : 1)
Peranan Ayah Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
2)
Peranan Ibu Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus
rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya,
pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. 3)
Peranan Anak Anak-anak
melaksanakan
peranan
psikososial
sesuai
dengan
tingkat
perkembangannya, baik fisik, mental, sosial, dan spiritual ( Effendy, 1998). b. Peran Informal Peran-peran informal ini tidak bisa menghasilkan stabilitas keluarga. Ada beberapa yang bersifat adaptif dan ada pula yang merusak kesejahteraan keluarga.
Berikut ini adalah beberapa contoh peran-peran informal atau tertutup yang digambarkan dalam literatur (Benne and Sheats, 1948; Hartman dan Laird, 1983, Kantor dan Lehr, 1975; Satir, 1972; Vogel dan Bell, 1960) dalam Friedman (2003):1) Pendorong, 2) Pengharmonis, 3) Inisiator-kontributor, 4) Pendamai, 5) Penghalang, 6) Dominator, 7) Penyalah, 8) Pengikut, 9) Pencari pengakuan, 10) Martir, 11) Keras hati, 12) Sahabat, 13) Kambing hitam keluarga, 14) Penghibur, 15) Perawat keluarga, adalah orang yang terpanggil untuk merawat dan mengasuh anggota keluarga lain yang membutuhkan, 16) Pioner keluarga, 17) Distraktor dan orang yg tidak relavan, 18) Koordinator keluarga, 19) Penghubung keluarga, 20) Saksi. Peran keluarga sebagai perawat keluarga menurut Anne Mc.Murray (2003) adalah merawat anggota keluarga yang sakit,terutama anggota keluarga yang sakit kronis,dan pengawasan yang ditingkatkan ( increased supervision), contohnya dokter mendiskusikan dengan keluarga tentang pentingnya pengobatan. Dalam pengobatan TB paru, peran keluarga adalah sebagai pengawas keteraturan pasien dalam minum obat ( PMO ). PMO ini yang akan selalu mengawasi dan mengingatkan pasien untuk minum obat, kapan obatnya habis dan kapan harus mengambil obat lagi di puskesmas (ISMKI, 2010). 1)
Persyaratan PMO Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita,selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita, seseorang yang tinggal dekat dengan penderita, bersedia membantu dengan sukarela, bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.
2)
Siapa yang menjadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan,misalnya bidan didesa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya, atau anggota keluarga.
3)
Tugas PMO Mengawasi penderita TBC agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberikan dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur,
mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan kepada anggota keluarga penderita TBC yang mempunyai gejala-gejala tersangka TBC untuk segera memeriksakan dirinya ke unit pelayanan kesehatan. 4)
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan. TBC bukan penyakit keturunan atau kutukan, TBC dapat disembuhkan dengan berobat secara teratur, Tata laksana pengobatan penderita pada tahap intensif dan lanjutan, Pentingnya berobat secara teratur, karena itu pengobatan perlu diawasi, Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping obat tersebut, Cara penularan dan mencegah penularan(Depkes RI, 2008)
C. Tuberculosis Paru
1.
Pengertian Tuberculosis ( TB ) paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang bervariasi (Mansjoer, Arif, 1999).
Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya ( Depkes RI, 2008 ). 2.
Manifestasi Klinis a. Gejala utama TB paru adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam derajat rendah, nyeri dada, dan batuk darah. b. Pasien TB paru menampakkan gejala klinis yaitu tahap asimtomatis, gejala TB paru yang khas, kemudian stagnasi dan regresi, eksaserbasi yang memburuk, gejala berulang dan menjadi kronik c. Pada pemeriksaan fisik,dapat ditemukan tanda-tanda antara lain terdapat tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah dan lain-lain), tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum, sekret disaluran nafas danronki, suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronkus ( Mansjoer Arif,1999).
3.
Cara Penularan Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut ( Depkes RI, 2008 ). Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan oleh parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif ( tidak terlihat kuman ), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. 4.
Diagnosis a.
Anamnesa dan pemeriksaaan fisik
b.
Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis).
c.
Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjukkan diagnosis TB paru yaitu bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah, bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular), adanya kavitas, tunggal atau ganda, kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru, adanya kalsifikasi, bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian, bayangan milier.
d.
Pemeriksaan Sputum BTA Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru, tetapi pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30-70% pasien TB yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
e.
Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase) Merupakan
uji
serologi
imunoperoksidase
memakai
alat
histogen
imunoperoksidase staining untuk menentukan IgG spesifik terhadap basil TB f.
Tes Mantouk/tuberkulin
g.
Teknik Polimerase Chain Reaction Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat mendeteksi adanya resistensi
h.
Becton Dickinson Diagnostik Instrumen System ( BACTEC ) Deteksi Growth index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh M. tuberculosis.
i.
Enzyme Linked Immunosorbent Assay
Deteksi
respon
humoral,
berupa
proses
antigen-antibodi
yang
terjadi.Pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat menetap dalam waktu lama sehingga menimbulkan masalah. j.
MYCODOT Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah.
5.
Klasifikasi Diagnostik TB a.
TB paru 1)
BTA mikroskopik langsung (+) atau biakan (+), kelainan foto thorak menyokong TB, dan gejala klinis sesuai TB
2)
BTA mikroskopis langsung atau biakan (-), tetapi kelainan rontgen dan klinis sesuai TB dan memberikan perbaikan pada pengobatan awal anti TB ( initial therapy).Pasien golongan ini memerlukan pengobatan yang adekuat.
b.
TB paru tersangka Diagnosis pada tahap ini bersifat sementara sampai hasil pemeriksaan BTA didapat (paling lambat 3 bulan). Pasien dengan BTA mikroskopis langsung (-) atau belum ada hasil pemeriksaan atau pemeriksaan belum lengkap, tetapi kelainan rontgen dan klinis sesuai TB paru. Pengobatan dengan anti TB sudah dapat dimulai.
c.
Bekas TB ( tidak sakit )
Ada riwayat TB pada pasien di masa lalu dengan atau tanpa pengobatan atau gambaran rongen normal atau abnormal tetapi stabil pada foto serial dan sputum BTA (-). Kelompok ini tidak perlu diobati (Mansjoer Arif, 1998). 6.
Komplikasi pada Penderita Tuberculosis Komplikasi berikut ini sering terjadi pada penderita stadi lanjut : a.
Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.
b.
Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
c.
Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif).
d.
Pneumotorak (adanya uara didalam rongga pleura) spontan : kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
e.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
f.
Insufisiensi Kardio Pulmoner ( Cardio Pulmonary Insufficiency). Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit.
Penderita TBC paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA Negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini sering kali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialis (Depkes RI, 2008). 7.
Pengobatan Tuberkulosis a. Tujuan Menyembuhkan
penderita,
Mencegah
kematian,Mencegah
kekambuhan
,Menurunkan tingkat penularan b. Jenis dan Dosis OAT 1) Isoniasid (H) Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian
yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB . 2) Rifampisin (R) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-domant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. 3) Pirasinamid (Z) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB. 4) Streptomisin (S) Bersifat bakterisid, Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatab intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari. 5) Etambutol (E) Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30mg/kg BB. c. Prinsip Pengobatan Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal sebaiknya pda saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang meniadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=Direcly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk terjadinya kekebalan obat. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. d. Panduan OAT di Indonesia 1)
Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 Obat ini diberikan untuk Penderita baru TBC Paru BTA Positif,Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen Positif yang ‘sakit berat’, Penderiata TBC Ekstra Paru Berat Tabel 2.1 Dosis panduan OAT KDT Kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3 Berat badan Tahap intensif Tahap lanjutan Tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 RHZE (150/75/400/275) minggu RH(150/150) 30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 38-54 kg 3 Tablet 4KDT 3 tablet 2KDT 55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 2.2 Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 1:2HRZE/ 4H3R3 Tah Lam Dosis Per Hari /kali Jumlah ap a Hari/ka Tablet Tablet Tablet Tablet Pen Pen li Isonias Rifampis Pirazinam Etambut goba goba menela id in @450 id @500 ol @ tan tan n obat @300 mgr mgr 250 mgr mgr Inte 2 1 1 3 3 56 nsif bula n Lanj 4 2 1 48 utan bula n
2)
Kategori 2: 2(HRZE)S/HRZE/5(HR)3E3
Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal ( failure), penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(2HRZE)/(HRZE)/5(HR)3E3 Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari HRZE (150/75/400/275)+S Selama 56 Selama 28 hari hari 30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
Lebih dari 71 kg
2 tab 4 KDT + 500 mg Streptomisin inj. 3tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj 4tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj 5tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj
2 tab 4KDT
Tahap Lanjutan 3 Kali seminggu RH (150/150)+E (400) 2tab 4KDT + 2tab Etambutol
3tab 4KDT
3tab 2KDT + 3tab Etambutol
4tab 4KDT
4tab 2KDT + 4TAB Etambutol
5tab 4KDT
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/ HRZ E/ 5H3R3E3 T L Tabl Kaplet Tablet Etambutol Strepto Juml a a et Rifam Pirazin Tab Tabl misin ah h m Isoni pisin amid inj hari/ let et @ a a asid @ 450 @ 500 kali @ 400 p @ mgr mgr mene 250 mgr P 300 lan mg P e mgr obat r e n n g g o o b b a a t t a a n
5tab 2KDT + 5tab Etambutol
n T a h a p I n t e n s i f ( d o s i s h a r i a n ) T h a p L a n j u t a n ( 3 x s e m i n g g u )
2
1 1
1 1
3 3
3 3
-
0,75 -
56 28
2
1
-
1
2
-
60
b u l a n 1 b u l a n
4 b u l a n
Catatan: •
untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
•
Untuk perempuan hamil pengobatan TB dalam kaedaan khusus
•
Cara melarutkakn Streptmisin vial 1 gr yaitu dengan menambahkan aquabidest 3,7ml sehingga menjadi 4ml (1ml=250mg)
3) OAT Sisipan ( HRZE ) Bila pada akhir tahap intensif penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita PTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari selama 1 bulan Tabel 2.5 Dosis KDT sisipan : (HRZE) Berat badan 30-37kg 38-54kg
Tahap Intensif tiap Hari Selama 28 Hari HRZE (150/75/400/275) 2tab 4KDT 3tab 4KDT
55-70kg
4tab 4KDT
Lebih dari 70kg
5tab 4KDT
Tabel 2.6 Dosis OAT Kombipak Sisipan : HRZE Tah ap Pen goba tan Tah ap inte nsif (dos is hari an)
Lam a Pen goba tan 1 bula n
Tablet Isoniasi d @300 mg 1
e. Efek Samping OAT
Kaplet Rifampis in @450mg 1
Tablet Pirazinam id @500mg 3
Tablet Etambut ol @250m g 3
Jumlah hari/ka li Menela n Obat 28
Tabel 2.7 Efek samping ringan dari OAT Efe k Sa mpi ng Tid ak nafs u mak an, mua l, saki t per ut Nye ri sen di Kes emu tan sam pai den gan rasa terb akar di kaki War na kem erah an pad a urin e
Penyebab
Penanganan
Rifampisin
Obat diminum sebelum tidur
Pirazinamid
Beri Aspirin
INH
Beri vitamin B6 (pyridoksin) 100mg per hari
Rifampisin
Tidak perlu diberi apaapa, tetapi perlu penjelasan kepada penderita
malam
Tabel 2.8 Efek samping berat dari OAT Efe k sam pin g Gat al dan kem
Penyebab
Penatalaksanaan
Semua jenis OAT
Berikan anti histamin
erah an kuli t Tuli Gan ggu an Kes eim ban gan Ikte rus tanp a pen yeb ab lain Bin gun g dan mu ntah mu ntah (per mul aan ikte rus kare na obat ) Gan ggu an Pen glih atan Pur pur a dan Ren jata n (syo k)
Streptomisin Streptomisin
Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati
Etambutol
Hentikan Etambutol
Rifampisin
Hentikan Rifampisin
f.
Hasil Pengobatan dan tindak lanjut 1) Sembuh Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) paling sedikit 2 kali berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada akhir pengobatan dan atau sebulan sebelum akhir pengobatan, dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya ). Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap 2) Pengobatan lengkap Adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap.
3) Meninggal Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun. 4) Pindah Adalah penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten/kota lain Tindak lanjut : penderita yang ingin pindah dibuatkan surat pindah (form TB.09) dan bersama sisa obat dikirim ke UPK yang baru. Hasil pengobatan dikirim kembali ke UPK asal dengan formulir TB.10. 5) Defaulted atau Drop Out Adalah penderita yang tidak mengambil obatnya 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Tindak lanjut : lacak penderita tersebut dan beri penyuluhan pentingnya berobat secara teratur. 6) Gagal
a) Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan. Tindak lanjut : penderita BTA positif baru dengan kategori 1 diberikan kategori 2 mulai dari awal.
b) Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan ke 2 menjadi positif Tindak lanjut : berikan pengobatan kategori 2 mulai dari awal g. Directly Observed Treatment Shortcourse ( DOTS ) DOTS adalah nama untuk suatu strategi yang dilaksanakan dipelayanan kesehatan dasar di dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB.
Strategi ini terdiri dari 5 komponen, yaitu : 1) Dukungan politik para pemimpin di wilayah setiap jenjang sehingga program ini menjadi salah satu prioritas dan pendanaan pun akan tersedia. 2) Mikroskop
sebagai
komponen
utama
untuk
mendiagnosa
TB
melalui
pemeriksaan sputum langsung pasien tersangka dengan penemuan secara pasir. 3) Pengawas Minum Obat ( PMO ) yaitu orang yang dikenal dan dipercaya baik oleh pasien maupun petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi pasien minum seluruh obatnya sehingga dapat dipastikan bahwa pasien betul minum obatnya dan diharapkan sembuh pada akhir masa pengobatannya. 4) Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar sebagai bagian dari sisten surveilans penyakit ini sehingga pemantauan pasien dapat berjalan. 5) Paduan obat anti TB jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka waktu yang tepat, sangat penting untuk keberhasilan pengobatan (Depkes RI, 2008)
D. Kerangka Teori Faktor Predisposisi:
Pengetahuan,
Pendidikan
Sikap,
Kepercayaan
Nilai
Faktor Pendukung:
Tersedianya sarana dan fasilitas kesehatan
Perilaku kesehatan : kepatuhan minum obat
Faktor Pendorong:
Keluarga
Pendidikan
Masyarakat
Akomodasi
Teman
Modifikasi factor lingkungan dan social
Guru Perubahan model terapi
Petugas Kesehatan
Masyarakat
Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien
Gambar 1 : Kerangka teori modifikasi dari L.Green dan Niven (2000)
E. Kerangka Konsep Variabel Independen Peran
Variabel Dependen
Keluarga
Sebagai
Pengawas
Minum Obat
Kepatuhan Minum Obat penderita TB paru
Gambar.2 Kerangka konsep penelitian
F. Variabel Penelitian
Variabel bebas dari penelitian ini adalah peran keluarga sebagai pengawas minum obat (PMO),sedangkan variabel terikat terikat dari penelitian ini adalah kepatuhan minum obat penderita TB paru
G. Hipotesis
Ada hubungan antara peran keluarga sebagai pengawas minum obat (PMO) dengan kepatuhan minum obat penderita TB paru