A. Teori membaca
Model teori membaca lahir dari perspekif bagaimana makna diangkat dari
bacaan. Inti proses membaca adalah seseorang berusaha memahami isi pesan
penulis yang tertuang dalam bacaan.
Pemeroleh makna berangkat dari beragam sudut. Dari sudut itulah pandangan
para ahli dibedakan. Ada tiga pandangan tentang bagaimana makna diperoleh
yang melahirkan tiga model teori membaca. Tiga model teori itu antara
lain:
1. Model Teori Bottom-Up
Memandang bahwa bahasa yang mewadahi teks menentukan pemahaman. Secara
fisik, ketika orang melakukan kegiatan membaca, yang dipandang adalah
halaman-halaman bacaan yang posisinya di bawah (kecuali membaca sambil
tiduran!). Secara literal, bottom-up berarti "˜dari bawah ke atas" .
Maksudnya, makna itu berasal dari bawah (teks) menuju ke atas
(otak/kepala). Secara harfiah, menurut teori ini teks-lah yang
menentukan pemahaman.
Inti proses membaca menurut teori ini adalah proses kengkodean kembali
simbol tuturan tertulis (Harris & Sipay, 1980). Membaca dalam proses
bottom-up merupakan proses yang melibatkan ketepatan, rincian, dan
rangkaian persepsi dan identifikasi huruf-huruf, kata-kata, pola
ejaan, dan unit bahasa lainnya.
Tugas utama pembaca menurut teori ini adalah mengkode lambang-lambang
yang tertulis menjadi bunyi-bunyi bahasa (Harjasuna, 1996)
Brown (2001) menyatakan bahwa pada proses bottom-up membaca terlebih
dahulu mengetahui berbagai tanda linguistik, seperti huruf, morfem,
suku kata, kata-kata frasa, petunjuk gramatika dan tanda wacana,
kemudian menggunakan mekanisme pemrosesan yang masuk akal, koheren dan
bermakna.
Agar bisa memahami bacaan pada teori ini, pembaca membutuhkan
keterampilan yang berhubungan dengan lambang bahasa yang digunakan
dalam teks.
2. Model Teori Top-Down
Teori ini dikenal sebagai model psikolinguistik dalam membaca dan
teori ini dikembangkan oleh Goodman (1976). Model ini memandang
kegiatan membaca sebagai bagian dari proses pengembangan skemata
seseorang yakni pembaca secara stimultan (terus-menerus) menguji dan
menerima atau menolak hipotesis yang ia buat sendiri pada saat proses
membaca berlangsung.
Pada model ini, informasi grafis hanya digunakan untuk mendukung
hipotesa tentang makna. Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan
informasi grafis dari bacaan karena mereka telah memiliki modal bacaan
sendiri untuk mengerti bacaan.
Proses membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan prediksi-
prediksi kemudian memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang
berupa tulisan yang ada pada teks.
Inti dari model teori Top-down adalah pembaca memulai proses pemahaman
teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan
membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis,
dugaan-dugaan berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan,
bermodalkan pengetahuan tentang isi dan bahasa yang dimilikinya,
Untuk membantu pemahaman dengan menggunakan teori ini, pembaca
menggunakan strategi yang didasarkan pada penggunaan petunjuk semantik
dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna bacaan, pembaca dapat
menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi berbahasa yang ia
miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang apa saja
memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan.
Jadi menurut teori Top-down dapat disimpulkan bahwa pengetahuan,
pengalaman dan kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam
memahami bacaan.
3. Model Teori Interaktif
Model ini merupakan kombinasi antara pemahaman model Top-Down dan
model Bottom-Up. Pada model interaktif, pembaca mengadopsi pendekatan
top-down untuk memprediksi makna, kemudian beralih ke pendekatan
bottom-up untuk menguji apakah hal itu benar-benar dikatakan oleh
penulis. Artinya, kedua model tersebut terjadi secara stimultan pada
saat membaca.
Penganut teori ini memandang bahwa kegiatan membaca merupakan suatu
interaksi antara pembaca dengan teks. Dengan teori itu, dijelaskan
bagaimana seorang pembaca menguasai, menyimpan dan mempergunakan
pengetahuan dalam format skemata. Kegiatan membaca adalah proses
membuat hubungan yang berarti bagi informasi baru dengan pengetahuan
yang dimiliki sebelumnya (skemata).
Menurut pandangan interaktif, membaca diawali dengan formulasi tentang
hipotesis tentang makna, kemudian dilanjutkan dengan menguraikan makna
huruf, kata, dan kalimat dalam bacaan. Model interaktif adalah model
membaca yang menggunakan secara serentak antara pengetahuan informasi
grafik dan informasi yang ada dalam pikiran pembaca.
Proses membaca menurut pandangan interaktif adalah proses intelektual
yang kompleks, mencakup dua kemampuan utama, yaitu kemampuan memahami
makna kata dan kemampuan berpikir tentang konsep verbal (Rubin, 1982).
Pendapat ini mengisyaratkan bahwa ketika proses membaca berlangsung,
terjadi konsentrasi dua arah pada pikiran pembaca dalam waktu yang
bersamaan. Dalam melakukan aktivitas membaca, pembaca secara aktif
merespon dan mengungkapkan bunyi tulisan dan bahasa yang digunakan
oleh penulis. Selain itu, pembaca dituntut untuk dapat mengungkapkan
makna yang terkandung di dalamnya atau makna yang ingin disampaikan
oleh penulis melalui teks yang dibacanya.
Kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa membaca pemahaman merupakan
proses aktif yang di dalamnya melibatkan banyak faktor. Keterlibatan
faktor-faktor itu bertujuan untuk memperoleh pemahaman melalui proses
interaksi antara pembaca dengan bacaan dalam peristiwa membaca.
Ketiga model teori membaca di atas mewarnai pandangan para ahli
tentang membaca. Jika diamati secara teliti, tulisan atau bahasan
tentang membaca dalam buku-buku dan jurnal-jurnal, sedikit atau
banyak, menyentuh ketiga teori di atas. Selalu ada benang merah yang
menghubungkan pandangan para ahli dengan model teori membaca di atas.
B. Pengertian Membaca
Membaca mempunyai pengertian yang beragam. Ada yang rumusannya panjang
dan ada pula yang pendek. Penyebabnya pun bermacam-macam. Berikut
beberapa contoh pengertian membaca:
1. Membaca adalah proses mengenali makna simbol tertulis
2. Membaca adalah proses melisankan bahasa tulis
3. Membaca adalah kegiatan mempersepsi aturan tertulis untuk menangkap
makna yang dikandungnya
4. Membaca adalah proses berpikir dan bernalar
5. Membaca adalah penerapan seperangkat keterampilan kognitif untuk
memperoleh pemahaman dari tuturan yang tertulis
6. Membaca adalah proses pengolahan bacaan secara kritis-kreatif yang
dilakukan pembaca untuk memperoleh pemahaman menyeluruh tentang bacaan
itu, yang diikuti oleh penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan
dampak bacaan itu.
Dari banyak dan beragamnya definisi membaca seperti contoh diatas
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Landasan teori yang digunakan untuk merumuskan pengertian membaca
itu berbeda-beda
2. Kenyataan bahwa membaca adalah kegiatan mental yang sangat rumit
dan unik
3. Tujuan perumusan pengertian membaca itu berbeda-beda.
4. Aspek yang ditekankan berbeda
5. Perumusnya berbeda
6. Ruang lingkup yang tercakup dalam definisi itu berbeda
Jika diamati, perbedaan antara pengertian-pengertian membaca itu lebih
bukan pada substansi pengertiannya, melainkan terletak pada lingkup
masalah yang dimasukkan dalam pengertian itu. Berdasarkan substansinya,
pengertian-pengertian membaca itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga
golongan, yaitu:
1. Pengertian Sederhana, yaitu pengertian yang memandang membaca
sebagai proses pengenalan simbol-simbol tertulis bermakna.
2. Pengertian Agak Luas, yaitu pengertian yang memandang membaca
sebagai proses memahami bacaan.
3. Pengertian Luas, yaitu pengertian yang memandang membaca sebagai
proses "˜mengolah bacaan" yaitu memaknai bacaan secara mendalam,
meliputi proses memberikan reaksi kritis-kreatif terhadap bacaan itu.
Definisi ini sering disebut sebagai definisi modern, yang mendasarkan
diri pada pandangan modern tentang membaca.
C. Gambaran Proses Membaca
Sebagai suatu proses, membaca merupakan kegiatan yang sangat kompleks.
Burns (1996) menjelaskan bahwa dalam proses membaca itu terlibat berbagai
aspek yang meliputi:
1. Aspek sensori, yakni kemampuan untuk memahami simbol-simbol
tertulis
2. Aspek persepsi, yakni aspek kemampuan untuk menafsirkan apa yang
dilihat pembaca sebagai simbol atau kata
3. Aspek urutan, yakni kemampuan mengikuti poal-pola urutan, logika,
dan gramatika teks
4. Aspek pengalaman, yakni aspek kemampuan menghubungkan kata-kata
dengan pengalaman yang telah dimiliki untuk memberikan makna itu
5. Aspek asosiasi, yakni aspek kemampuan mengenal hubungan antara
simbol dan bunyi, dan antara kata-kata dengan yang direpresentasikan
6. Aspek belajar, yakni aspek kemampuan untuk mengingat apa yang telah
dipelajari dan menghubungkannya dengan gagasan atau fakta yang baru
dipelajari
7. Aspek afektif, yakni aspek kemampuan untuk membuat inferensi dan
evaluasi dan materi yang dipelajari
8. Aspek afektif, yakni aspek yang berkenaan dengan minat pembaca yang
berpengaruh terhadap kegiatan membaca
9. Aspek konstruktif, yakni kemampuan untuk mengkonstruksi makna
bacaan
Gambaran mengenai proses membaca itu mengisyaratkan bahwa proses membaca
berlangsung kompleks dan rumit. Akan tetapi, gambaran yang rumit itu
secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tahap memindai simbol bahasa yang berupa huruf, kelompok huruf, dan
kata sebagai input grafis
2. Tahap mengangkat makna simbol bahasa yang berupa huruf, kelompok
huruf, dan kata itu menurut satuan-satuannya, yaitu makan frasa,
klausa dan kalimat
3. Tahap mencari data berupa pengetahuan dalam skemata yang relevan
dengan topik yang dibahas dalam bacaan
4. Tahap mengintegrasi pengetahuan yang relevan itu dengan makna yang
diperoleh dari satuan-satuan bahasa (hasil kegiatan tahap kedua)
5. Tahap memahami makna bacaan berdasarkan interaksi antara
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya degna makna teks bacaan
6. Tahap menggolongkan dan membandingkan informasi (makna) yang
diperoleh ke dalam kategori tertentu
7. Tahap menganalisis dan menguraikan satuan-satuan makna (ide) yang
ditemukan dalam bacaan
8. Tahap mensintesis, menyimpulkan, dan menilai ide yang terekam ke
dalam sintesa tertentu
9. Tahap mengonseptualisasikan makna dan simpulan-simpulan yang
dilihat menjadi makna tunggal milik pembaca pribadi
10. Tahap membangun skemata baru
TINGKAT PEMAHAMAN MEMBACA
Oleh: Imron Rosidi
Ketika membaca, seseorang berusaha memahami isi pesan penulis
yang tertuang dalam bacaan. Pemahaman ini merupakan prasyarat bagi
berlangsungnya suatu tindakan membaca. Membaca dikatakan tidak berlangsung
apabila tidak ada pemahaman pada diri pembaca. Pemahaman terhadap isi
bacaan tersebut memiliki beberapa tingkatan. Bagaimana tingkatannya?
Tingkat pemahaman dalam membaca dapat dibedakan berdasarkan
kekompleksan kognitif dalam memahami bacaan. Burn, dkk (1996) dan Syafi'ie
(1993) mengemukakan dua tingkatan pemahaman membaca, yaitu pemahaman
literal dan pemahaman tingkat tinggi. Pemahaman tingkat tinggi mencakup
pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif. Pemahaman
kritis dan kratif dapat digolongkan ke dalam pemahaman evaluatif. Hafni
(1981) dan Tollefson (1989) mengklasifikasikan pemahaman membaca atas lima
tingkatan, yaitu: pemahaman literal, reorganisasi, inferensial, evaluasi,
dan apresiasi.
Pemahaman literal adalah kemampuan menangkap informasi yang
dinyatakan secara tersurat dalam teks. Pemahaman literal merupakan
pemahaman tingkat paling rendah, tetapi jenis pemahaman ini tetap penting
karena dibutuhkan dalam proses membaca secara keseluruhan. Untuk bisa
mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, pembaca harus melalui tingkat
pemahaman literal. Untuk meletakkan detail secara efektif, pembaca
membutuhkan beberapa arahan tentang jenis detail yang menjadi syarat dari
pertanyaan-pertanyaan yang spesifik, misalnya pertanyaan siapa untuk
menanyakan nama orang, pertanyaan di mana untuk menanyakan tempat,
pertanyaan kapan untuk menanyakan tahun, dan seterusnya. Cochran (1991:16)
menjelaskan bahwa pemahaman literal mencakup rincian yang terdapat teks,
rujukan kata ganti, dan urutan peristiwa dalam cerita.
Pemahaman literal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemampuan
mengenali kembali dan mengingat kembali informasi yang dinyatakan secara
eksplisit dalam teks. Kemampuan mengenali kembali (recognition) adalah
kemampuan mengidentifikasi atau menunjukkan informasi yang dinyatakan
secara eksplisit dalam teks. Kemampuan ini mencakup beberapa hal, yaitu:
mengenali kembali rincian-rincian, ide-ide utama, urutan, perbandingan,
hubungan sebab-akibat, dan karakter tokoh yang dinyatakan secara eksplisit
dalam teks. Selanjutnya, kemampuan mengingat kembali adalah kemampuan
mengingat kembali informasi yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks.
Kemampuan ini mencakup: mengingat kembali rincian, ide utama, suatu urutan,
perbandingan, hubungan sebab-akibat, dan karakter tokoh yang dinyatakan
secara eksplisit dalam teks.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pemahaman
literal merupakan prasyarat untuk tingkat pemahaman yang lebih tinggi,
yaitu membaca untuk memperoleh detail isi bacaan secara efektif. Pemahaman
ini dimaksudkan untuk memahami isi bacaan secara efektif. Pemahaman ini
dimaksudkan untuk memahami isi bacaan seperti yang tertulis pada kata,
kalimat, dan paragraf dalam teks bacaan. Pemahaman literal menuntut
kemampuan ingatan tentang hal-hal tertulis dalam teks.
Tingkat pemahaman yang kedua adalah pemahaman interpretatif,
yang menurut Hafni (1981) dan Tollefson (1989) sebagai pemahaman
reorganisasi dan inferensial. Pemahaman interpretatif adalah pemahaman
makna antarkalimat atau makna tersirat atau penarikan kesimpulan teks.
Pemahaman interpretatif merupakan proses memperoleh gagasan-gagasan yang
diimplikasikan oleh teks, bukan yang bisa langsung ditemukan dalam teks.
Membaca pemahaman interpretatif mencakup penarikan kesimpulan tentang
gagasan utama dari suatu teks, hubungan sebab akibat yang dinyatakan secara
tidak langsung dalam teks, rujukan kata ganti, rujukan kata keterangan
(adverb), dan kata-kata yang dihilangkan. Pemahaman interpretatif juga
mencakup pemahaman suasana hati pelaku yang terdapat dalam cerita (mood of
a passage) tujuan penulis cerita tersebut, dan makna bahasa figuratif
(Burn, dkk., 1996).
Cochran (1991) menyebut pemahaman interpretatif sebagai
pemahaman inferensial. Dia mengemukakan bahwa pemahaman inferensial
mencakup beberapa keterampilan membaca, yaitu keterampilan menghubungkan
cerita dengan pengalaman pribadi, keterampilan menemukan gagasan utama,
menemukan hubungan sebab-akibat yang dinyatakan secara tidak langsung dalam
suatu cerita, mengampil kesimpulan, memprediksikan kelanjutan dari suatu
teks setelah membaca sebagian dari teks tersebut, serta keterampilan
menemukan persamaan dan perbedaan dua hal. Dengan kata lain, pembaca bisa
menemukan persamaan dan perbedaan yang tidak dinyatakan secara langsung
dalam suatu teks, misalnya persamaan dan perbedaan karakter tokoh yang
terdapat dalam cerita.
Jenis pemahaman yang tertinggi adalah pemahaman evaluatif.
Pemahaman evaluatif merupakan kemampuan mengevaluasi materi teks. Pemahaman
evaluatif terdapat dalam kegiatan membaca kritis. Pemahaman pembaca berada
pada tingkat ini apabila pembaca mampu membandingkan gagasan-gagasan yang
ditemukan dalam teks dengan norma-norma tertentu dan mengambil kesimpulan-
kesimpulan yang berkaitan dengan teks. Pemahaman kritis bergantung pada
pemahaman literal, pemahaman interpretatif, dan pemahaman gagasan penting
yang dimplikasikan (Burn, dkk., 1996).
Pemahaman evaluatif munurut Cochran (1991) mencakup kemampuan
menilai atau memutuskan yang berkenaan dengan (1) menganalisis karakter dan
latarnya, (2) menilai apakah cerita atau gambar riil atau hasil imajinasi
penulis, (3) meringkas alur cerita, (4) menilai apakah sebuah fakta atau
opini, (5) memahami cara penulis menggambarkan suasana hati tokoh melalui
pelukisan fisik dan psikologis para tokoh, dan (6) memahami cara penulis
meyakinkan pembaca melalui pernyataan yang diungkapkannya.
Dengan demikian, membaca evaluatif (membaca kritis) merupakan kegiatan
membaca yang bertujuan untuk memahami isi bacaan. Pembaca tidak saja
menginterpretasi maksud penulis, tetapi juga menilai apa yang disampaikan
penulis.
Pemahaman kritis ditandai oleh kemampuan membandingkan isi
bacaan dengan pengalaman pembaca sendiri, mempertanyakan maksud penulis,
dan mereaksi secara kritis gaya penulis dalam mengungkapkan gagasan-
gagasannya (Syafi'ie, 1993:49). Terkait dengan pendapat Syafi'ie, Cochran
(1993) mengemukakan bahwa membaca kritis merupakan wilayah belajar sangat
kecil atau bahkan tidak ada kaitannya dengan jawaban benar atau salah.
Membaca kritis lebih mengarah pada kesan-kesan, suasana hati dan penilaian
tentang cara atau alasan seseorang menulis suatu karya. Menurut Cochran,
kegiatan membaca kritis mencakup: (1) menganalisis karakter dan latarnya,
(2) meringkas alur cerita, (3) membedakan fakta dengan opini, (4) menangkap
suasana hati suatu bacaan, dan (5) memahami tujuan penulis.
Jenis pemahaman lainnya adalah pemahaman apresiasi (Hafni, 1981
dan Tollefson, 1989). Pemahaman apresiasi merupakan untuk mengungkapkan
respon emosional dan estetis terhadap teks yang sesuai dengan standar
pribadi dan standar profesional mengenai bentuk sastra, gaya, jenis, dan
teori sastra. Pemahaman apresiasi melibatkan seluruh dimensi kognitif yang
terlibat dalam tingkatan pemahaman sebelumnya. Dalam pemahaman apresiasi,
pembaca dituntut juga menggunakan daya imajinasi untuk memperoleh gambaran
yang baru melebihi apa yang disajikan penulis. Hal ini berarti bahwa
pembaca dituntut merespon teks secara kreatif.
DePorter dan Hernacki (1992) memberikan beberapa kiat dalam
rangka meningkatkan pemahaman pembaca yang berkorelasi terhadap kemampuan
membaca cepat seseorang. Kiat-kiat tersebut adalah (1) jadilah pembaca
aktif, (2) bacalah gagasan, bukan kata-katanya, (3) libatkan indra, (4)
ciptakan minat, dan (5) Buat Peta Pikiran dari Materi Bacaan. Untuk menjadi
pembaca aktif, seorang pembaca tidak boleh melupakan dengan enam kata
tanya: siapa? kapan? di mana? apa? mengapa? dan bagaimana? Ketika membaca,
usahakan keenam pertanyaan tersebut dapat terjawab.
Kiat yang kedua adalah bacalah gagasan, bukan kata-katanya.
Satu-satunya cara untuk dapat "memahami gagasan" dalam sebuah bacaan adalah
dengan membaca kata-kata dalam konteks yang berhubungan. Apabila yang
dibaca kata demi kata, otak pembaca harus bekerja lebih keras untuk
mengartikannya. Selain itu, pembaca harus dapat mengoptimalkan fungsi
indra, terutama indra mata.
Sebelum membaca, bertanyalah kepada diri sendiri "Mengapa aku
perlu membaca bacaan ini?" Setelah itu, mulailah dengan melihat sekilas
tentang bacaan itu dan menyingkirkan informasi yang kurang dibutuhkan.
Untuk kiat yang terakhir, pembaca perlu membuat peta pikiran dengan
menggunakan pembagian topik yang telah dibaca. Bacalah sekali lagi secara
menyeluruh dan isilah detail-detail yang penting untuk diingat.
Hakikat Membaca
Bagi masyarakat yang hidup dalam babakan pasca industri, atau yang lazim
disebut era sumber daya manusia, atau era sibermatika, seperti sekarang
ini, kemahiran membaca dan menulis atau yang lazim disebut literacy memang
telah dirasakan sebagai conditio sine quanon alias prasyarat mutlak yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebagai sebuah bukti, konon para ahli
ekonomi telah membuat prakiraan bahwa kehidupan perekonomian mendatang akan
menemukan sumber kekuatannya pada kegiatan-kegiatan yang bertalian dengan
suatu sumber daya yang hanya ada pada manusia, yakni daya nalarnya. Sebab
daya nalar tersebut merupakan sumber utama yang dimiliki oleh manusia untuk
berkreasi dan beradaptasi agar mereka mampu memacu kehidupan dalam jaman
teknologi yang semakin canggih dan berkembang ini. Nalar manusia akan
berkembang secara maksimal jika ia diasah melalui pendidikan. Dan jantung
dari pendidikan adalah kegiatan berliterasi atau kegiatan baca-tulis.
Dengan demikian kedudukan kemahiran berliterasi pada abad informasi seperti
sekarang ini sesungguhnya merupakan modal utama bagi siapa saja yang
berkehendak meningkatkan kemampuan serta kesejahteraan penghidupannya.
Dalam dunia pendidikan kemahiran berliterasi merupakan hal yang sangat
fundamental. Sebab semua proses belajar sesungguhnya didasarkan atas
kegiatan membaca dan menulis, juga dengan melalui kegiatan literasi membaca
dan menulislah kita dapat menjelajahi luasnya dunia ilmu yang terhampar
luas dari berbagai penjuru dunia dan dari berbagai babakan jaman. Dengan
demikian, dunia pendidikan dan persekolahan memiliki tugas untuk
mengupayakan kehadiran salah satu aspek keterampilan berbahasa ini kepada
para siswanya.
Hingga saat ini cukup banyak pengertian atau definisi yang telah
dikemukakan oleh para pakar tentang membaca. Dari berbagai pengertian dan
definisi membaca tersebut kita dapat mengklasifikasikan ke dalam tiga
kelompok besar. Pertama, pengertian membaca yang ditarik sebagai
interpretasi pengalaman membaca itu bermula dengan penemuan waktu dan
berawal dengan pengelolaan tanda-tanda berbagai benda (membaca itu berawal
dengan tanda dan pertanda). Kedua, definisi atau pengertian membaca yang
ditarik dari interpretasi lambang grafis; membaca merupakan upaya
memperoleh makna dari untaian huruf tertentu. Dan ketiga, definisi atau
pengertian membaca yang ditarik dari keduanya, yakni membaca merupakan
perpaduan antara pengalaman dan upaya memahami lambang-lambang grafis atau
dari halaman bercetakan. Jika dihubungkan dengan masalah pembelajarannya,
setiap definisi-definisi membaca tersebut sudah barang tentu senantiasa
berimplikasi. Sebagai seorang guru atau calon guru kita perlu memahami
implikasi-implikasi tersebut.
Kegiatan Belajar 2:
Membaca Sebagai Proses
Membaca bukanlah suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan suatu
sintesis berbagai proses yang tergabung ke dalam suatu sikap pembaca yang
aktif. Proses membaca yakni membaca sebagai proses psikologi, membaca
sebagai proses sensori, membaca sebagai proses perseptual, membaca sebagai
proses perkembangan, dan membaca sebagai proses perkembangan keterampilan.
Sebagai proses psikologi membaca itu perkembangannya akan dipengaruhi oleh
hal-hal yang sifatnya psikologi pembaca, seperti intelegensi, usia mental,
jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, bahasa, ras, kepribadian, sikap,
pertumbuhan fisik, kemampuan persepsi, tingkat kemampuan membaca. Di antara
faktor-faktor tersebut menurut Harris (1970), bahwa faktor terpenting dalam
masalah kesiapan membaca yaitu intelegensi umum.
Membaca sebagai proses sensoris mengandung pengertian bahwa kegiatan
membaca itu dimulai dengan melihat. Stimulus masuk lewat indra penglihatan
mata. Setelah dilakukan pemaknaan atau pengucapan terhadapnya. Pernyataan
"membaca sebagai proses sensoris" tidak berarti bahwa membaca merupakan
proses sensoris semata-mata. Banyak hal yang terlibat dalam proses membaca
dan ketidakmampuan membaca bisa disebabkan oleh berbagai faktor yang bisa
bekerja sendiri-sendiri atau secara serempak.
Membaca sebagai proses perseptual mengandung pengertian bahwa dalam
membaca merupakan proses mengasosiasikan makna dan interpretasi berdasarkan
pengalaman tentang stimulus atau lambang, serta respons yang menghubungkan
makna dengan stimulus atau lambang tersebut. Membaca sebagai proses
perkembangan mengandung arti bahwa membaca itu pada dasarnya merupakan
suatu proses perkembangan yang terjadi sepanjang hayat seseorang. Kita
tidak tahu kapan perkembangan mulai dan berakhir. Sedangkan proses membaca
sebagai perkembangan keterampilan mengandung arti membaca merupakan sebuah
keterampilan berbahasa (language skills) yang sifatnya objektif, bertahap,
bisa digeneralisasikan, merupakan perkembangan konsep, pengenalan dan
identifikasi, serta merupakan interpretasi mengenai informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Burnes Don and Glenda Page (ed.). (1985). Insight and Strategies for
Teaching Reading. Sydney: Harcourt Brace Jovanovich Group.
Harris, L. Theodore (et.al) (ed.). (1983). Dictionary of Reading and
Related Term. London: International Reading Asociation.
Harras K.A. (1995). Membaca Minat Baca Masyarakat Kita dalam jurnal Mimbar
Bahasa dan Seni No.XXII 1995.
Harjasujana, A. (1988). Nusantara yang Literat: Secercah Sumbangsaran
terhadap Upaya Pengingkatan Mutu Pendidikan di Indonesia. (Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FPBS IKIP Bandung).
Harjasujana, A. (dkk.). (1988). Materi Pokok Membaca. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Harjasujana, A, dan Vismaia Damaianti. (2003). Membaca dalam Teori dan
Praktik. Bandung: Penerbit Mutiara.
Olson, R. David (et.al) (ed.). (1983). Literacy, Language, and Learning.
London: Cambridge University.
Richard T. Vacca and Jo Annel Vacca. (1987). Content Area Reading. Boston:
Scott, Foresman and Company.
Smith, Frank. (1987). Understanding Reading: a Psikolinguistic Analysis of
Reading and Learning to Read. London: Lawrence Erlbaum Asociates Publisher.
Tarigan, H.G. (1986). Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Tarigan, H.G., Kholid dan A. Ruhendi Saefullah (ed.). (1989). Membaca
dalarn Kehidupan. Bandung: Angkasa.
MODUL 2: JENIS-JENIS MEMBACA
Kegiatan Belajar 1:
Membaca Berdasarkan Terdengar Tidaknya Suara Pembaca
Ditinjau dari terdengar dan tidaknya suara si pembaca pada waktu membaca,
kita dapat membagi membaca menjadi dua jenis yakni membaca dalam hati
(silent reading) dan membaca nyaring atau membaca bersuara (oral reading or
aloud reading). Pada tataran yang paling rendah membaca nyaring merupakan
aktivitas membaca sebatas melafalkan lambang-lambang bunyi bahasa dengan
suara yang cukup keras, sedangkan pada tataran yang lebih tinggi membaca
nyaring merupakan proses pengkomunikasian isi bacaan (dengan nyaring)
kepada orang lain (pendengar).
Membaca dalam hati merupakan proses membaca tanpa mengeluarkan suara. Yang
aktif bekerja hanya mata dan otak atau kognisi saja. Untuk menanamkan
kemahiran kedua jenis membaca ini diperlukan adanya proses latihan secara
terencana dan sungguh-sungguh di bawah asuhan guru-guru profesional.
Kegiatan Belajar 2:
Membaca Berdasarkan Cakupan Bahan Bacaan
Dilihat dari sudut cakupan bahan bacaan yang dibaca, secara garis besar
membaca dapat kita golongkan menjadi dua: membaca ekstensif (extensive
reading) dan membaca intensif (intensif reading). Membaca ekstensif program
membaca secara luas, baik jenis maupun ragam teksnya dan tujuannya sekadar
untuk memahami isi yang penting- penting saja dari bahan bacaan yang dibaca
dengan menggunakan waktu secepat mungkin. Ada tiga jenis membaca, yakni
membaca survei (survei reading), membaca sekilas skimming), membaca dangkal
(superficial reading).
Membaca intensif merupakan program kegiatan membaca yang dilakukan secara
seksama. Dalam membaca ini, para siswa hanya membaca satu atau beberapa
pilihan dari bahan bacaan yang ada dan bertujuan untuk menumbuhkan serta
mengasah kemampuan membaca secara kritis. Secara garis besar membaca
intensif terbagi dua, yakni membaca telaah isi (content study reading) dan
membaca telaah bahasa I (linguistik study reading). Membaca telaah isi
dibagi lagi menjadi membaca telaah teliti (close reading), membaca
pemahaman (reading for understanding). Membaca kritis (outical reading) dan
membaca ide (reading for ideas). Membaca telaah bahasa dibagi menjadi
membaca bahasa asing (foreign language reading) dan membaca sastra
(literary reading).
DAFTAR PUSTAKA
Harjasujana, Ahmad Slamet, (dkk). (1988). Materi Pokok Membaca. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Harris, L. Theodore (et.al) (ed). (1983). Dictionery of Reading and Related
Term. London: Heinemann Educational Book.
Soedarso. (1989). Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta: Gramedia.
Smith, Frank. (1986). Understanding Reading: A Psycholpnguistic Analysis of
Reading and Learnig to Read. London: Lawrence Erlbaum Associate Publisher.
Tampubolon D.P. (1989). Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif dan
Efisien. Bandung: Angkasa.
Tarigan, H.G. (1986). Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
_________. (1986). Membaca Ekspresif. Bandung: Angkasa
MODUL 3: LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN MEMBACA
Kegiatan Belajar 1:
Tahap-tahap dalam Kegiatan Membaca
Ada tiga langkah dalam kegiatan membaca, yaitu kegiatan pramembaca,
kegiatan membaca, dan kegiatan pascamembaca. Kegiatan Pramembaca, yaitu
kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelum melaksanakan kegiatan membaca
sebagai jembatan untuk dapat memahami bacaan dan agar dapat melaksanakan
kegiatan pascamembaca dengan cepat dan mudah. Kegiatan membaca, yaitu
kegiatan memahami teks yang dibaca. Kegiatan pascamembaca, yaitu kegiatan-
kegiatan yang dilakukan setelah melaksanakan kegiatan membaca untuk
mengecek atau menguji pemahaman terhadap bacaan yang telah dibaca.
Kegiatan Belajar 2:
Beragam Variasi Kegiatan Pramembaca
Disebut kegiatan pramembaca karena kegiatan ini dilaksanakan sebelum
seorang siswa melaksanakan kegiatan membaca. Fungsi utama kegiatan
pramembaca adalah memberikan pengetahuan awal terkait dengan aspek-aspek
bacaan yang hendak dipahami, melatih siswa mengetahui tujuan membaca, dan
memberikan motivasi dan rasa percaya diri. Kegiatan pramembaca merupakan
jembatan untuk mengaitkan beragam pengetahuan yang memiliki keterkaitan
dengan isi bacaan.
Ada beragam variasi kegiatan pramembaca. Kegiatan pramembaca ini tidak
boleh terlepas dari kompetensi dasar dan indikator yang akan dicapai dalam
pembelajaran membaca. Artinya, semua kegiatan pramembaca dirancang untuk
mencapai kompetensi dasar dan indikator yang akan dibelajarkan kepada
siswa.
Kegiatan Belajar 3:
Beragam Variasi Kegiatan Tahap Membaca
Kegiatan pada tahap membaca adalah salah satu tahap kegiatan penting dan
utama dalam keseluruhan tahapan membaca. Seorang pembaca yang efektif dan
efisien terlebih dahulu harus mengetahui tujuan dia membaca. Setelah
mengetahui tujuan membaca, seorang pembaca akan memilih strategi membaca
yang tepat dan sesuai untuk mencapai tujuan tersebut.
Teknik skimming sangat cocok digunakan untuk membaca cepat dan menemukan
gagasan inti bacaan secara cepat. Sedangkan teknik membaca scanning sangat
tepat digunakan untuk menemukan informasi tertentu secara cepat dalam teks
yang dibaca.
Kegiatan Belajar 4:
Beragam Variasi Kegiatan Setelah Membaca
Disebut kegiatan pascamembaca karena kegiatan ini dilaksanakan setelah
seorang siswa melaksanakan kegiatan membaca. Fungsi utama kegiatan
pascamembaca adalah untuk mengecek apakah apa yang dibaca telah dipahami
dengan baik oleh siswa. Kegiatan setelah membaca ini dapat berupa tugas
atau pertanyaan-pertanyaan terkait dengan teks yang dibaca. Ada beragam
variasi kegiatan pascamembaca. Kegiatan pascamembaca ini tidak boleh
terlepas dari kompetensi dasar dan indikator yang akan dicapai dalam
pembelajaran membaca. Artinya, semua kegiatan pramembaca dirancang untuk
mencapai kompetensi dasar dan indikator yang akan dibelajarkan kepada
siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Carrell, P.L. (1988). Interactive approaches to second language reading.
Cambridge: University Press.
Ernawan, Mamun Dudy. (1989). Process Approach to the Teaching of Reading to
SMA Students in Indonesia. London: Ealing College Press.
Grellet, Francoise. (1981). Developing Reading Skills: A practical guide to
reading comprehension exercise.
Sidi, Indra Djati. (2001). Menuju Masyarakat Belajar. Menggagas Paradigma
Baru Pendidikan. Jakarta: Paramdina.
Nuttall, Cristine. (1982). Teaching Reading Skills in a Foreign Language.
Heineman Educational Books.
MODUL 4: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN MEMBACA
Kegiatan Belajar 1:
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Membaca
Pemahaman terhadap teks yang dibaca dipengaruhi oleh banyak faktor, di
antaranya faktor karakteristik materi bacaan dan karakteristik pembaca itu
sendiri. Teks bacaan sangat berpengaruh terhadap pemahaman pembaca, ada
teks yang tingkat kesulitannya rendah, sedang, dan tinggi. Oleh karena itu,
tingkat keterbacaan teks (readibility) adalah salah satu syarat yang harus
diperhatikan dalam memilih teks. Selain itu, kemenarikan dan keotentikan
teks juga merupakan syarat untuk memilih teks yang baik.
Karakteristik pembaca juga dapat mempengaruhi pemahaman pembaca terhadap
teks. Karakteristik pembaca yang dapat mempengaruhi pemahaman teks adalah:
IQ, minat baca, kebiasaan membaca yang jelek, dan minimnya pengetahuan
tentang cara membaca cepat dan efektif.
Kegiatan Belajar 2:
Teknik Meningkatkan Kemampuan Membaca Cepat
Membaca dengan kecepatan optimal dan memahami teks yang dibaca, itulah
konsep membaca cepat. Banyak manfaat membaca cepat, antara lain: 1) banyak
informasi penting dapat diserap dalam waktu yang cepat, 2) membaca
memperluas wawasan, 3) membaca cepat meningkatkan kemahiran berbahasa yang
lain, 4) membaca cepat membantu Anda menghadapi ujian/tes, dan 5) membaca
cepat meningkatkan pemahaman terhadap teks yang dibaca. Ada beberapa
langkah yang dapat dipraktikkan untuk mengukur kecepatan membaca seseorang.
Dan ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan
membaca cepat.
Kegiatan Belajar 3:
Teknik Meningkatkan Kemampuan Membaca Nyaring (Membaca Teks untuk Orang
Lain)
Membaca nyaring adalah kegiatan membacakan teks untuk orang lain.
Kompetensi membaca nyaring dalam Kurikulum 2004 mata pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia, antara lain sebagai berikut: membacakan beragam teks
berita; membacakan beragam teks laporan; membacakan beragam teks
percakapan; membacakan beragam teks pengumuman; dan membacakan beragam teks
perangkat upacara.
Kompetensi membaca nyaring adalah salah satu kecakapan hidup yang
diperlukan sebagai bekal siswa untuk dapat bersaing di dunia kerja dan juga
berguna dalam kehidupan siswa. Kompetensi membaca nyaring ini perlu
dikuasai oleh semua mahasiswa calon guru (Bahasa dan Sastra Indonesia.
Kompetensi yang andal dalam melaksanakan kegiatan membaca nyaring adalah
salah satu prasyarat menjadi guru yang profesional, guru masa depan yang
dapat melaksanakan pembelajaran tuntas (mastery learning) dan membelajarkan
siswa agar dapat menguasai kompetensi secara tuntas pula (Depdiknas, 2003).
Beragam kegiatan yang dapat dilatihkan untuk meningkatkan kemampuan dalam
membaca nyaring adalah sebagai berikut: memahami isi teks dan memberikan
tanda jeda pada teks, berlatih membacakan teks dengan intonasi, lafal, dan
pemenggalan yang tepat, berlatih mengomentari hasil pembacaan, berlatih
meningkatkan performansi pembacaan teks, misalnya: latihan vokal, intonasi,
melafalkan kata-kata yang sulit, menyerasikan gerak dan ucapan, dan
pernafasan.
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki dan Hasanuddin W.S. (1990). Pembacaan Karya Susastra Sebagai Suatu
Seni Pertunjukan. Padang: Angkasa Raya.
Balai Pustaka. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
BBC Siaran Indonesia. (Maret, 2004). "Warta Berita."
Chall, Jeane S. (1984). Readability and comprehension: continuities and
discountinuities. Disunting oleh Flood, Understanding Reading
Comprehension. Delaware: International Reading Association, Inc.
Depdikbud. (1989). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004. Standar Kompetensi. Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia. Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah.
Jakarta: Depdiknas.
Djiwandono, M. Soenardi. (1988). A Closer look at cloze test. Dalam Tellin
Journal, Vol. 1.
Ginting Setia. (1989). Kajian tentang metode uji keterbacaan sebagai
penentu keefektifan materi bacaan. Tesis. Malang: FPS IKIP Malang.
Hafni. (1981). Pemilihan dan Pengembangan Bahan Pengajaran Membaca.
Jakarta: PPPG.
Harsiati, Titik. (1993). Tingkat Keterbacaan Buku Teks Membaca Siswa
Sekolah Dasar se Kodya Malang. Malang: Lembaga Penelitian IKIP Malang.
Klare, George R. (1984). Readability Reading dalam Pearson P. David.
Handbook of Reading Research. New York and London: Longman, Inc.
Nuttall, Christine. (1985). Teaching Reading Skill in a Foreign Language.
London: Heinemann Educational Books, Ltd.
Nurhadi. (1987). Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: Sinar Baru dan Malang:
YA3 Malang.
Oller, John W. (1979). Language Test at School. London: Longman Group, Ltd.
Sidi, Indra Djati. (2001). Menuju Masyarakat Belajar. Menggagas Paradigma
Baru Pendidikan. Jakarta: Paramdina.
Taryono dan Imam Agus Basuki. (1996). Bahan Ajar Keterampilan Berbicara.
Malang: IKIP Malang.
MODUL 5: MEMBACA INTENSIF DAN EKSTENSIF
Kegiatan Belajar 1:
Memahami Hakikat dan Karakteristik Membaca Intensif
Membaca intensif adalah membaca secara cermat untuk memahami suatu teks
secara tepat dan akurat. Kemampuan membaca intensif adalah kemampuan
memahami detail secara akurat, lengkap, dan kritis terhadap fakta, konsep,
gagasan, pendapat, pengalaman, pesan, dan perasaan yang ada pada wacana
tulis.
Membaca intensif sering diidentikkan dengan teknik membaca untuk belajar.
Dengan keterampilan membaca intensif pembaca dapat memahami baik pada
tingkatan lateral, interpretatif, kritis, dan evaluatif.
Aspek kognitif yang dikembangkan dengan berbagai teknik membaca intensif
tersebut adalah kemampuan membaca secara komprehensif. Membaca kompres-
hensif merupakan proses memahami paparan dalam bacaan dan menghubungkan
gambaran makna dalam bacaan dengan skemata pembaca guna memahami informasi
dalam bacaan secara menyeluruh. Kemampuan membaca intensif mencakup 1)
kemampuan pemahaman literal, 2) pemahaman inferensial, 3) pemahaman kritis,
dan 4) pemahaman kreatif.
Karakteristik membaca intensif mencakup 1) membaca untuk mencapai tingkat
pemahaman yang tinggi dan dapat mengingat dalam waktu yang lama, 2) membaca
secara detail untuk mendapatkan pemahaman dari seluruh bagian teks, 3) cara
membaca sebagai dasar untuk belajar memahami secara baik dan mengingat
lebih lama, 4) membaca intensif bukan menggunakan cara membaca tunggal
(menggunakan berbagai variasi teknik membaca seperti scanning, skimming,
membaca komprehensif, dan teknik lain), 5) tujuan membaca intensif adalah
pengembangan keterampilan membaca secara detail dengan menekankan pada
pemahaman kata, kalimat, pengembangan kosakata, dan juga pemahaman
keseluruhan isi wacana, 6) kegiatan dalam membaca intensif melatih siswa
membaca kalimat-kalimat dalam teks secara cermat dan penuh konsentrasi.
Kecermatan tersebut juga dalam upaya menemukan kesalahan struktur,
penggunaan kosakata, dan penggunaan ejaan/tanda baca, 7) kegiatan dalam
membaca intensif melatih siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, dan 8)
kegiatan dalam membaca intensif melatih siswa mengubah/menerjemahkan wacana-
wacana tulis yang mengandung informasi padat menjadi uraian (misalnya:
membaca intensif tabel, grafik, iklan baris, dan sebagainya)
Teknik-teknik membaca intensif dapat berupa SQ3R, OPQRST, dan KWLU. Teknik
tersebut melatih dan membekali pembaca dengan suatu metode studi (belajar)
yang sistematis. Teknik-teknik membaca intensif ini didasari oleh teori
skemata. Teori skemata ini mencetuskan gagasan bahwa inti dari pemahaman
dimainkan oleh suatu struktur kognitif yang disebut skemata.
Kegiatan Belajar 2:
Memahami Hakikat dan Karakteristik Membaca Ekstensif
Membaca ekstensif adalah membaca untuk kesenangan dengan penekanan pada
pemahaman umum. Dalam program membaca ekstensif seseorang dituntut untuk
dapat mengakses sebanyak mungkin judul buku/artikel/berita dengan topik-
topik yang sudah populer. Dalam program membaca ekstensif kemampuan dan
kemauan membaca seseorang diamati secara teratur baik dengan catatan formal
maupun tidak formal oleh pembaca sendiri. Catatan harian dan buku laporan
digunakan bersama dengan catatan judul dan komentar terhadap apa yang
dibaca.
Membaca ekstensif dilakukan dalam rangka menumbuhkan kesenangan dan kemauan
membaca beragam wacana tulis dalam bahasa target (bahasa yang sedang
dipelajari). Dengan membaca ekstensif seseorang dapat meningkatkan
kemampuan dan minat bacanya.
Membaca ekstensif memiliki beberapa karakteristik yang meliputi 1) membaca
sebanyak mungkin wacana tulis (dilakukan di luar kelas), 2) topik dan
bentuk wacana yang dibaca bervariasi, 3) pembaca memilih apa yang ingin
dibaca (memperhatikan minat), 4) tujuan membaca berkaitan dengan
kesenangan, memperkaya informasi, dan pemahaman umum terhadap isi
teks/wacana, 5) dalam membaca ekstensif akan terjadi penguatan diri
sendiri, 6) pembaca membuat jurnal apa yang telah dibaca dan bagaimana
komentar terhadap yang dibaca, 7) bersifat individual dan bersifat membaca
senyap, 8) Aspek kebahasaan tidak menjadi penghalang pemahaman (bacaan
dipilih, 9) kecepatan membaca cukup (tidak cepat dan tidak lambat), 10)
menggunakan teks yang tidak terlalu sulit (hanya satu dua kata yang sulit,
11) pembaca tidak diberi tes sesudah membaca (pembaca hanya memberikan
respons personal/komentar terhadap apa yang dibaca), dan 12) membaca
ekstensif membantu pembaca untuk mengenali beberapa fungsi teks dan cara
pengorganisasian teks.
DAFTAR PUSTAKA
Bell, T. (1994). "Intensive" versus "Extensive" Reading: A Study of the Use
of Graded Readers as Supplementary Input Material to Traditional
"Intensive" Reading Techniques. Unpublished MA TEFL Dissertation.
University of Reading.
Bell, T., & Campbell, J. (1996). Promoting Good Reading Habits: The Debate.
Network 2/3 (pp 22-30).
__________________. (1997). Promoting Good Reading Habits Part 2: The Role
of Libraries. Network 2/4 (pp 26-35).
Davis, C. (1995). Extensive reading: an expensive extravagance? English
Language Teaching Journal 49/4 (pp 329-336).
Grabe, W. (1991). Current developments in second language reading research.
TESOL Quarterly 25/3: 375-406.
Hafiz, F. M., & Tudor, I. (1989). Extensive reading and the development of
language skills. English Language Teaching Journal, 43, (pp 4-13).
Kalb, G. (1986). Teaching of extensive reading in English instruction at
the senior gymnasium level. Die Neueren Sprachen, 85, (pp 420-430).
Kembo, J. (1993). Reading: Encouraging and Maintaining Individual Extensive
Reading. English Teaching Forum, 31/2, (pp 36-38).
Krashen, S. D. (1982). Principles and Practice in Second Language
Acquisition. New York: Prentice Hall.
___________. (1984). Writing: Research, Theory and Applications. New York:
Prentice Hall.
Nagy, W., & Herman, P. (1987). Breadth and depth of vocabulary knowledge:
Implications for acquisition and instruction. In Mckeown, M., & Curtis, M.
(eds), The nature of vocabulary acquisition. Hillsdale, NJ: Lawrence
Erlbaum. (pp 19-35).
Nunan, D. (1991). Language Teaching Methodology: A Textbook For Teachers.
London: Prentice Hall.
Nurhadi. (1989). Meningkatkan Kemampuan Membaca. Bandung: CV Sinar Baru.
Nuttall, Christine. (1989). Teaching Reading Skills in a Foreign Language.
Heineman Educational Books.
Pickard, N. (1996). 'Out-of-class language learning strategies.' English
Language Teaching Journal, 50/2, (pp 151-159).
Richard R. Day & Julian Bamford.(2002). Extensive Reading in the Second
Language Classroom. (Cambridge University Press)
Robb, T. N., & Susser, B. (1989). Extensive Reading vs Skills Building in
an EFL context. Reading in a Foreign Language, 5/2, (pp 239-249).
Soedarso. (1988). Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta: Gramedia
Suharianto. Membina Keterampilan Membaca, (Makalah untuk Penataran Guru-
guru Bahasa Indonesia 1980).
Stotsky, S. (1983). Research on reading/writing relationships: A synthesis
and suggested directions. Language Arts, 60, (pp 627-642).
Tampubolon, D.P. Kemampuan Membaca Efektif dan Efisien. Bandung: Angkasa
Tsang, Wai-King. (1996). Comparing the Effects of Reading and Writing on
Writing Performance. Applied Linguistics 17/2, (pp 210-223).
Wodinsky, M., & Nation, P. (1988). Learning from graded readers. Reading in
a Foreign Language 5: (pp 155-161).
Internet TESL Journal, Vol. IV, No. 12, December 1998.
http://iteslj.org/Articles/Bell-Reading.html.[EPER
http://www.ials.ed.ac.uk/epermenu.html]
MODUL 6: PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MEMBACA SKIMMING DAN SCANNING
Kegiatan Belajar 1:
Memahami Hakikat dan Karakteristik Membaca Skimming
Teknik membaca skimming salah satu teknik membaca cepat. Membaca dengan
teknik skimming berarti kita secara cepat membaca sekilas teks untuk
menentukan ide-ide penting dari teks. Awal skimming dapat menggunakan tanda-
tanda organisasional yang digunakan penulis seperti subjudul, ringkasan,
penggunaan tanda tertentu yang menunjukkan pentingnya suatu informasi
(tanda italic, garis bawah, cetak tebal, dan sebagainya).
Pada waktu melakukan skimming secara cepat mata kita bergerak ke seluruh
teks untuk memperoleh gambaran umum mengenai teks. Pembacaan cara ini boleh
melewati bagian-bagian tertentu yang dianggap kurang penting. Ketika kita
membaca sekilas kita akan menggerakkan mata kita dari atas ke bawah dengan
cepat menyapu seluruh halaman yang dibaca sambil memberi fokus pada
informasi yang dicari.
Dengan skimming seseorang mencoba untuk mendapatkan inti atau gambaran umum
apa yang dibaca bukan mendapatkan gambaran detail seluruh isi teks.
Seseorang menggunakan skimming untuk memutuskan apakah suatu buku akan
dipilih/tidak. Skimming sering digunakan untuk melakukan tinjauan awal
(previewing) untuk mengetahui isi umum suatu teks/buku.
Seseorang melakukan skimming untuk 1) mengenali topik bacaan atau memilih
bacaan, 2) mengetahui pendapat seseorang secara umum, 3) mendapatkan bagian
penting dari suatu bacaan tanpa membaca keseluruhan, 4) melakukan
penyegaran apa yang pernah dibaca, dan 5) mensurvei buku yang akan dibaca.
Skimming dilakukan dengan cara 1) memahami dan menemukan bagian-bagian dari
suatu bacaan yang memuat informasi penting (misalnya memahami dan menemukan
letak ide pokok dalam paragraf, memahami dan menemukan letak informasi
penting dari suatu buku), 2) membaca sekilas dan melompati bagian-bagian
yang tidak penting dari suatu bacaan (contoh, ilustrasi, paragraf
transisi), 3) detail khusus yang penting (nama, tanggal) perlu dilihat
sepintas tanpa menatap lama-lama, 4) paragraf pertama dan terakhir dari
suatu wacana perlu dibaca dengan kecepatan rata-rata karena umumnya berisi
ringkasan bahan yang dibicarakan, 5) membaca skimming dapat dilakukan
dengan membaca paragraf awal, subjudul, dan paragraf akhir seseorang
mencoba memahami hal-hal penting dari teks. Selanjutnya, kita dapat
memperluas skimming dengan membaca indeks, isi tabel, atau bagian yang
penting lainnya.
Kegiatan Belajar 2:
Hakikat dan Karakteristik Scanning (Membaca Memindai)
Scanning atau membaca memindai berarti mencari informasi spesifik secara
cepat dan akurat. Memindai artinya terbang di atas halaman-halaman buku.
Membaca dengan teknik memindai artinya menyapu halaman buku untuk menemukan
sesuatu yang diperlukan.
Teknik membaca memindai (scanning) adalah teknik menemukan informasi dari
bacaan secara cepat, dengan cara menyapu halaman demi halaman secara
merata, kemudian ketika sampai pada bagian yang dibutuhkan, gerakan mata
berhenti. Mata bergerak cepat, meloncat-loncat, dan tidak melihat kata demi
kata.
Dalam kehidupan sehari-hari scanning digunakan, antara lain untuk: mencari
nomor telepon, mencari kata pada kamus, mencari entri pada indeks, mencari
angka-angka statistik, melihat acara siaran TV, melihat daftar perjalanan,
mencari makna kata dalam kamus/ensiklopedi, dan menemukan informasi
tertentu yang terdapat dalam daftar.
Karakteristik membaca memindai (scanning) adalah (1) scanning mencakup
pencarian secara cepat dengan gerakan mata dari atas ke bawah menyapu
seluruh teks untuk mencari fakta khusus, informasi khusus, atau kata-kata
kunci tertentu, (2) manfaat scanning adalah dapat mencari informasi dalam
buku secara cepat, (3) scanning merupakan teknik membaca cepat untuk
menemukan informasi yang telah ditentukan pembaca, (4) pembaca telah
menentukan kata yang dicari sebelum kegiatan scanning dilakukan, dan (5)
pembaca tidak membaca bagian lain dari teks kecuali informasi yang dicari.
Scanning dilakukan dengan cara (1) menggerakkan mata seperti anak panah
langsung meluncur ke bawah menemukan informasi yang telah ditetapkan, (2)
setelah ditemukan kecepatan diperlambat untuk menemukan keterangan lengkap
dari informasi yang dicari, dan (3) pembaca dituntut memiliki pemahaman
yang baik berkaitan dengan karakteristik yang dibaca (misalnya, kamus
disusun secara alfabetis dan ada keyword di setiap halaman bagian kanan
atas, ensiklopedi disusun secara alfabetis dengan pembalikan untuk istilah
yang terdiri dari dua kata, dan sebagainya). Dengan pemahaman tersebut
diharapkan dapat menemukan informasi secara lebih cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Burmeister, L.E. (1978). Reading Strategies for Middle and Secondary School
Teachers. California: Addison-Wesley Publishing Company.
Burnes, D. & Page, G. (1985). Insight and Strategies for Teaching Reading.
Sidney: Harcourt Brace Javanovich Group.
Carrell, P.L. (1988) Interactive Approaches to Second Language Reading.
Cambridge University Press.
Davies, E and Whitney, N. (1982). Strategies for Reading. New York:
Heinemann Ed. Book.
Dixon, C.N., and Nessel, D. (1983). Language Experience Approach to Reading
(and Writing): LEA for ESL. Hayward, Cal.: Alemany Press.
Ernawan, Ma'mun Dudy. (1989). Process Approach to the Teaching of Reading
to SMA Students in Indonesia. London: Ealing College Press.
Grellet, Francoise. (1981). Developing Reading Skills: A practical guide to
reading comprehension exercise.
Harjasujana, A.S. (1988). Materi Pokok Membaca. (Modul UT). Jakarta:
Karunika.
Kemb, J. 1993. Reading: Encouraging and Maintaining Individual Extensive
Reading. English Teaching Forum, 31/2, (pp 36-38).
Marzano, Robert, dkk. (1992). Dimensions of Thinking: Laporan Penelitian
Framework for Curriculum and Instruction. Alexandria: ASCD.
Nurhadi. (1989). Meningkatkan Kemampuan Membaca. Bandung: Sinar Baru.
Nuttall, Christine. (1989). Teaching Reading Skills in a Foreign Language.
Heineman Educational Books.
Mikulecky, B & Jeffries, L (1986) Reading Power. Massachusetts: Addisan
Wesley.
Soedarso. (1988). Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta: Gramedia.
Suharianto. Membina Keterampilan Membaca, (Makalah untuk Penataran Guru-
Guru Bahasa Indonesia 1980).
membaca intensif
Posted on May 27, 2010 by litra puryanti
SK: Memahami ragam wacana tulis dengan membaca ekstensif, membaca intensif
dan membaca cepat
KD: Mengubah sajian grafik, tabel, atau bagan menjadi uraian melalui
kegiatan membaca intensif.
banyak data yang disajikan dengan grafik, tabel, atau bagan. hal ini
bertujuan agar suatu data lebih terlihat efektif dan efisien, akan tetapi
tidak demikian untuk siswa yang masih duduk dalam bangku sekolahan. mereka
mengalami kesulitan untuk memahami data yang berbentuk grafik, tabel, atau
bagan.
oleh karena itu, pada pembelajaran kali ini membahas tentang mengubah
sajian grafik, tabel, atau batgan menjadi uraian melalui kegiatan membaca
intensif.
Membaca intensif adalah membaca secara cermat untuk memahami suatu teks
secara tepat dan akurat. Kemampuan membaca intensif adalah kemampuan
memahami detail secara akurat, lengkap, dan kritis terhadap fakta, konsep,
gagasan, pendapat, pengalaman, pesan, dan perasaan yang ada pada wacana
tulis.
Membaca intensif sering diidentikkan dengan teknik membaca untuk belajar.
Dengan keterampilan membaca intensif pembaca dapat memahami baik pada
tingkatan lateral, interpretatif, kritis, dan evaluatif.
Aspek kognitif yang dikembangkan dengan berbagai teknik membaca intensif
tersebut adalah kemampuan membaca secara komprehensif. Membaca kompres-
hensif merupakan proses memahami paparan dalam bacaan dan menghubungkan
gambaran makna dalam bacaan dengan skemata pembaca guna memahami informasi
dalam bacaan secara menyeluruh. Kemampuan membaca intensif mencakup 1)
kemampuan pemahaman literal, 2) pemahaman inferensial, 3) pemahaman kritis,
dan 4) pemahaman kreatif.
Karakteristik membaca intensif mencakup 1) membaca untuk mencapai tingkat
pemahaman yang tinggi dan dapat mengingat dalam waktu yang lama, 2) membaca
secara detail untuk mendapatkan pemahaman dari seluruh bagian teks, 3) cara
membaca sebagai dasar untuk belajar memahami secara baik dan mengingat
lebih lama, 4) membaca intensif bukan menggunakan cara membaca tunggal
(menggunakan berbagai variasi teknik membaca seperti scanning, skimming,
membaca komprehensif, dan teknik lain), 5) tujuan membaca intensif adalah
pengembangan keterampilan membaca secara detail dengan menekankan pada
pemahaman kata, kalimat, pengembangan kosakata, dan juga pemahaman
keseluruhan isi wacana, 6) kegiatan dalam membaca intensif melatih siswa
membaca kalimat-kalimat dalam teks secara cermat dan penuh konsentrasi.
Kecermatan tersebut juga dalam upaya menemukan kesalahan struktur,
penggunaan kosakata, dan penggunaan ejaan/tanda baca, 7) kegiatan dalam
membaca intensif melatih siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, dan
kegiatan dalam membaca intensif melatih siswa mengubah/menerjemahkan
wacana-wacana tulis yang mengandung informasi padat menjadi uraian
(misalnya: membaca intensif tabel, grafik, iklan baris, dan sebagainya)
Teknik-teknik membaca intensif dapat berupa SQ3R, OPQRST, dan KWLU. Teknik
tersebut melatih dan membekali pembaca dengan suatu metode studi (belajar)
yang sistematis. Teknik-teknik membaca intensif ini didasari oleh teori
skemata. Teori skemata ini mencetuskan gagasan bahwa inti dari pemahaman
dimainkan oleh suatu struktur kognitif yang disebut skemata.
mengubah sajian tabel kedalam uraian yang lebih detail dengan membaca
intensif adalah cara yang paling baik untuk memahami wacana tulis. hal ini
disebabkan karena pemahaman siswa akan lebih besar jika dibandingkan dengan
siswa melihat tabel atau grafik.
Mengubah sajian grafik, tabel, atau bagan menjadi uraian melalui kegiatan
membaca intensif
Membaca intensif berguna untuk menemukan detail atau perincian isi bacaan.
Membaca secara intensif tepat sekali digunakan untuk membaca grafik, tabel,
dan bagan. Grafik, tabel, maupun bagan ditulis untuk memudahkan pembaca
dalam membaca uraian terperinci secara lebih cepat dan tepat.
Tabel adalah daftar bilangan atau nama yang disusun secara teratur. Grafik
adalah lukisan dengan garis untuk melukiskan naik turunnya suatu keadaan.
Bagan adalah skema tentang urutan sesuatu. Pada pelajaran kali ini, kamu
akan berlatih membaca grafik/tabel/bagan secara intensif dan mengubahnya ke
dalam bentuk uraian.
Bacalah secara intensif tabel berikut!
TABEL KASUS SPBU TERBAKAR DI JATENG
Tanggal
Lokasi
Keterangan
21 April 1991
SPBU di Jalan Letjen Suprapto,
Purwodadi, Grobogan
12 orang luka bakar, 3 mobil, dan 2 sepeda
motor terbakar.
6 Juni 2005
SPBU di Kecamatan Mungkid,
Kabupaten Magelang
Api tiba-tiba membakar SPBU pada malam
hari, tetapi tidak ada korban.
10 September 2007
SPBU di Jalan Siliwangi Kota
Semarang
Percikan puntung rokok menyebabkan 1 truk tangki meledak, 1 kanopi pompa
bensin
terbakar, dan 1 unit sepeda motor terbakar.
Contoh: Pada tanggal 21 April 1991 telah terjadi kebakaran di SPBU di Jalan
Letjen Suprapto, Purwodadi, Grobogan. Dalam peristiwa itu, terdapat banyak
korban, yaitu 12 orang menderita luka bakar, 3 mobil terbakar, dan 2 sepeda
motor terbakar.
72
WACANA VOL. 10 NO. 1, APRIL 2008
WACANA, VOL. 10 NO. 1, APRIL 2008 (72—89)
Bahasa dan kognisi
Studi korelasional tentang pemahaman teks ekspositori dan berpikir deduktif
dan induktif pada siswa SMA
RATIH RAMELAN
Abstract
This correlational study is to show the role of deductive and inductive
reasoning abilities as aspects of cognitive development on expository text
comprehension among high school students who already have a capacity to
think in conceptual and hyphotetical ways and to examine how they correlate
and influence the text comprehension process. This study has broaden our
knowledge of language and thinking, as it is different from other previous
studies that focused on comprehension process among elementary students,
narrative, reading strategies, and comprehension difficulties. It is found
that deductive reasoning is more significantly correlated to expository
text comprehension than inductive reasoning. There is other significant
differences between natural sciences and social sciences students in
expository text comprehension and deductive reasoning, where the average
scores of the natural sciences students on both variables are higher than
those of social sciences students. It shows that the ability to analise-
syntesise, to relate some basic elements of a text, and to draw a
conclusion or main idea of the text support the process of expository text
comprehension, and can be taught and developed by learning process.
Meanwhile, inductive reasoning ability is significantly different between
male and female students, and it does not correlate to expository text
comprehension.
Keywords
pemahaman teks (text comprehension), berpikir deduktif (deductive
reasoning), dan berpikir induktif (inductive reasoning).
RATIH RINI HASTUTI RAMELAN adalah staf pegawai bidang kehumasan organisasi
regional Sekretariat ASEAN, telah meraih gelar Master Humaniora dari
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia pada tahun 2007 di
bidang Linguistik, dan menaruh minat mendalam pada kajian Psikolinguistik.
Gelar sarjana psikologi diraih dari Fakultas Psikologi, Universitas
Indonesia pada tahun 1989 dengan kajian utama pada psikologi pendidikan. Ia
aktif paruh waktu sebagai penerjemah buku (dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia) dengan minat pada psikologi, sastra, sejarah, pengembangan
kepribadian, dan ilmu pengetahuan alam. E-mail:
[email protected].
73
RATIH RAMELAN, BAHASA DAN KOGNISI
Pemahaman teks merupakan topik yang luas dikaji terutama dalam lapangan
psikologi, pendidikan, dan bahasa. Aktivitas kompleks membaca dan memahami
teks meliputi proses interaktif antara aspek linguistik dan psikologis.
Just dan Carpenter (1987: 4, 10) dan Grabe dan Stoller (2002: 20-25)
menjelaskan bahwa kemampuan membaca terkait dengan karakter linguistis teks
yang terlebih dahulu harus dikuasai (lower-level process), seperti
pengenalan kata, pemenggalan kalimat, atau pembentukan proposisi semantis.
Sementara itu, pada tingkat yang lebih tinggi (higher-level process),
kemampuan membaca menggambarkan proses pemahaman yang berkait dengan
keterampilan menarik simpulan atau membuat inferensi, menangkap esensi
situasional teks, atau penggunaan latar belakang pengetahuan. Kedua
tingkatan ini terjadi secara simultan dan terkait dengan karateristik teks
dan kapasitas individu. Sebagai contoh, ketika seseorang membaca sebuah
berita utama di sebuah surat kabar, maka struktur dan koherensi teks dalam
berita itu akan berinteraksi dengan pengetahuan, kemampuan analisis, dan
strategi dan mekanisme kognitif pembaca, sehingga memengaruhi hasil akhir
berupa pemahaman tentang berita itu. Dasar dari interaksi keduanya adalah
pengoordinasian sejumlah gagasan dalam teks untuk menggambarkan gagasan
utama dan gagasan pendukung yang membentuk representasi makna teks.
Sebagai hasil akhir membaca, pemahaman teks terlihat dalam bentuk struktur
makro atau intisari makna teks secara keseluruhan yang merupakan hasil dari
proses inferensial yang dilakukan pembaca atau disebut juga model situasi
(Kintsch dalam Solso 1991; Jay 2003). Keadaan yang menggambarkan hal itu
tampak misalnya pada seseorang yang sedang menceritakan kembali sebuah
artikel, cerita pendek, atau buku yang telah dibacanya. Kita dapat
menangkap bahwa yang diceritakan kembali adalah esensi makna dan situasi
keseluruhan teks. Boleh jadi ia menggunakan kata-katanya sendiri yang tidak
sama dengan yang ada pada teks, tetapi tidak mengubah arti. Artinya,
kemampuan membaca merupakan proses mental yang lebih tinggi yang
menunjukkan kemampuan menghasilkan esensi makna menyeluruh teks. Mampu
membaca teks menunjukkan pemahaman pembaca tentang teks.
Sementara itu, berkait dengan kegiatan belajar mengajar dalam dunia
pendidikan khususnya pendidikan lanjutan atas, membaca dan pemahaman bacaan
adalah salah satu keterampilan esensial yang harus dimiliki siswa. Sesuai
dengan alur teori perkembangan kognitif Piaget (McShane 1991), dengan
bertambahnya usia individu, perkembangan kognitifnya pun berkembang menuju
ke taraf formal operasional yang karakteristiknya adalah mampu berpikir
abstrak, logis, dan hipotetis. Jadi, semakin tinggi tingkat pendidikan,
semakin tinggi karakter kapasitas mental yang dimiliki siswa, semakin rumit
bahan bacaan yang harus dipahami dan semakin memerlukan kemampuan pemahaman
teks pada tingkat yang lebih tinggi.
Dari observasi terhadap sejumlah siswa sekolah menengah atas dan diri
sendiri dalam tugas membaca dan memahami buku teks sekolah yang umumnya
bersifat ekspositoris, dapat disimpulkan bahwa pemahaman teks dan penarikan
gagasan utama teks bukanlah tugas yang mudah dan sederhana, 74 WACANA VOL.
10 NO. 1, APRIL 2008
bahkan kerap menjadi permasalahan serius yang dapat memengaruhi prestasi
akademis. Analisis terhadap sejumlah cara untuk mengukur berapa jauh suatu
teks ekspositori dipahami, seperti menjawab pertanyaan konseptual,
menceritakan kembali, membuat pertanyaan atau poin penting tentang teks,
menunjukkan bahwa proses pemahaman membaca melibatkan proses pikir yang
rumit. Jadi, kemampuan memahami teks ekspositori merupakan hal penting bagi
siswa sekolah menengah atas yang kelak akan melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi yang tentunya menuntut taraf kemampuan intelektual tinggi,
antara lain kemampuan berpikir abstraktif atau konseptual, yang
termanifestasi dalam bahasa lisan atau tulis. Teks ekspositori memiliki
karakteristik, struktur dan isi yang bersifat konseptual, deskriptif,
mengandung hubungan sebab-akibat, dan sekuen dan menuntut pembacanya untuk
memiliki kapasitas berpikir yang memadai untuk dapat memahami teks
tersebut.
Berangkat dari pemikiran itu maka adalah penting untuk mengkaji lebih dalam
tentang bagaimana korelasi antara pemahaman teks ekspositori, berpikir
deduktif, dan berpikir induktif pada siswa sekolah menengah atas dan berapa
jauh berpikir deduktif dan berpikir induktif berperan dalam pemahaman teks
ekspositori pada siswa tersebut. Dengan mengetahui bagaimana sifat korelasi
dan peran variabel berpikir deduktif dan berpikir induktif dalam pemahaman
teks, maka kegiatan membaca dan pemahaman teks dapat lebih dipahami sebagai
aktivitas yang penting yang diharapkan dapat menjawab permasalahan dan
kesulitan yang timbul dalam proses pemahaman teks ekspositoris dan menjadi
pijakan dalam aktivitas belajar mengajar.
Teori tentang pemahaman teks ekspositori dan berpikir deduktif-induktif
Pemahaman terentang dalam dimensi intelektualitas yang menyangkut
pengertian dan pengetahuan tentang fakta. Parson, Hinson, dan Sardo-Brown
(2001) menjelaskan bahwa dalam domain kognitif taksonomi Bloom, pemahaman
adalah keterampilan intelektual yang menunjukkan pengetahuan tentang apa
yang "dikatakan" oleh bentuk verbal, gambar, atau simbol. Pemahaman
memperlihatkan adanya pengertian tentang fakta dan gagasan dengan cara
mengorganisasi, membandingkan, menerjemahkan, menafsirkan, memberikan
deskripsi, dan menyatakan ide atau gagasan utama teks. Di dalamnya ada
proses memahami informasi, menangkap makna, menerjemahkan pengetahuan ke
dalam konteks baru, menafsirkan fakta, menarik hubungan sebab-akibat dan
konsekuensi. Pemahaman bersifat abstrak dan ada pada wilayah psikologi
karena berhubungan dengan fungsi kognitif dalam memahami informasi,
menangkap esensi dan makna, dan menarik hubungan kausal.
Dalam kaitannya dengan teks, studi tentang pemahaman teks umumnya bertujuan
untuk memahami faktor apa yang ada pada teks serta proses apa yang terjadi
dalam diri pembaca yang memengaruhi pemahaman. Kajian 75 RATIH RAMELAN,
BAHASA DAN KOGNISI
tentang faktor karakteristik teks, antara lain, berkaitan dengan struktur,
genre, panjang dan pendeknya teks. Teks ekspositori, sebagai salah satu
genre teks, menyediakan tantangan bagi pembaca karena strukturnya yang
berbeda dengan teks naratif. Singer dan O'Connell (2006) mengemukakan bahwa
teks ekspositori berisi kategori dan struktur abstrak, seperti daftar,
hierarki, sekuen, kategorisasi, dan sebab-akibat; sementara teks naratif
berisi tokoh dan kejadian.
Model pemahaman teks yang kerap dijadikan rujukan adalah model Construction
Integration Kintsch (Solso 1991; Stevenson 1993; Jay 2003). Dalam model
ini, pemahaman teks direpresentasikan dalam tiga tingkatan, yaitu (i)
representasi permukaan kata atau kalimat (surface representation) yang
ditunjukkan oleh representasi kata dan frasa yang pasti atau sama persis;
(ii) tingkat makna teks (textbase) di mana isi semantis teks
direpresentasikan tidak dengan kata orisinalnya tetapi dengan kata lain
yang sama maknanya atau disebut juga representasi proposisional; dan (iii)
model situasional (situational model) yang merupakan tingkat pemahaman
tertinggi dalam bentuk representasi mental tentang situasi teks yang
didasarkan pada penalaran. Dalam taraf ini, pemahaman diwujudkan dengan
kemampuan menarik gagasan utama teks, yang mengindikasikan kemampuan
pembaca dalam membentuk representasi mental menyeluruh tentang teks.
Gagasan utama teks itu sendiri, antara lain, terekspresikan melalui judul
teks. Mampu dengan baik mengidentifikasikan gagasan utama merupakan
indikasi yang jelas bahwa pembaca telah membentuk representasi mental yang
koheren tentang teks yang dibacanya, yang diingatnya, yang dipetiknya
pelajaran dari dalamnya (Van den Broek et al. 2003). Dengan demikian,
parameter pemahaman teks ekspositori dapat terlihat melalui kemampuan
menangkap gagasan utama teks.
Di sisi lain, selain strategi yang diterapkan, latar belakang pengetahuan
dan minat pembaca, maka mekanisme kognitif merupakan aspek dalam faktor
individu atau pembaca yang terus dikaji. Secara lebih spesifik, kemampuan
kognitif menekankan bagaimana kapasitas mental manusia bekerja dalam
menerima informasi dari lingkungan melalui alat indra, memprosesnya,
mengenali apa yang dipersepsi, membandingkannya dengan data yang telah
dimiliki, mengklasifikasikannya, dan menyimpannya dalam ingatan serta
menggunakannya dalam merespons rangsangan (Lobner 2002). Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa kemampuan kognitif adalah aktivitas mental psikologis
berupa kemampuan berpikir atau menalar. Artinya, bagaimana pembaca memahami
teks ekspositori yang abstraktif tentunya dipengaruhi oleh fungsi kognitif
yang bekerja.
Eysenck (1994) dan Thomson (2000) menjelaskan bahwa berpikir atau menalar
adalah proses yang bersandar pada aturan dalam memutuskan secara logis apa
yang diyakini dan proses penarikan simpulan dari sejumlah fakta, bukti, dan
data. Aktivitas dasar menalar adalah menarik simpulan atau konklusi dan
mengevaluasi bukti dan merupakan hal esensial yang menunjukkan kemampuan
individu untuk melakukan hal yang melampaui 76 WACANA VOL. 10 NO. 1, APRIL
2008
apa yang tersedia dalam informasi yang ada.
Dua tipe menalar atau berpikir yang dijelaskan Eysenck (1994), Bluedorn
(1995), dan Copi dan Burgess-Jackson (1996), adalah berpikir deduktif dan
induktif. Berpikir deduktif dan induktif adalah salah satu komponen
kognitif dan merupakan proses mental dalam taraf yang lebih tinggi yang
dapat menjelaskan tentang bagaimana manusia menalar, menganalisis-sintesis,
memecahkan masalah, membuat generalisasi dan menarik simpulan dari apa yang
dipersepsi, yang didasarkan pada premis atau gejala yang ada, baik berupa
peristiwa, pernyataan bahasa tulis dan lisan, atau citra. Dari apa yang
dikemukakan oleh Hurley (2000) dan Hayon (2005), dapat disimpulkan bahwa
perbedaan fundamental antara keduanya terletak pada hubungan antara premis
dan konklusinya. Pada deduktif hubungannya harus kuat dan konklusinya
mengikuti premis dengan keharusan (necessity); pada induktif hubungannya
tidak kaku dan konklusinya mengikuti premis dengan kemungkinan
(probability).
Secara lebih spesifik dapat dijelaskan bahwa argumen berpikir deduktif
dapat dibuktikan kebenarannya. Kebenaran konklusi dalam argumen deduktif
bergantung pada dua hal, yaitu kesahihan bentuk argumen berdasarkan prinsip
dan hukumnya; dan kebenaran isi premisnya berdasarkan realitas. Sebuah
argumen deduktif tetap dapat dikatakan sahih berdasarkan bentuknya,
meskipun isinya tidak sesuai dengan realitas yang ada; atau isi argumen
deduktif benar menurut realitas meskipun secara bentuk ia tidak sahih. Dua
tipe argumen deduktif adalah silogisme kategoris dan silogisme hipotetis.
Silogisme kategoris adalah argumen yang pasti terdiri atas dua premis dan
satu konklusi, dengan setiap pernyataannya dimulai dengan kata semua, tidak
ada, dan beberapa atau sebagian, dan berisi tiga bagian yang masing-masing
hanya boleh muncul dalam dua proposisi silogisme. Premis 1: Semua atlet
adalah orang yang sehat jiwa raga.Premis 2: Beberapa pelajar adalah
atlet.Konklusi: Jadi, beberapa pelajar adalah orang yang sehat jiwa raga.
Silogisme hipotetis adalah silogisme yang memiliki pernyataan kondisional
atau bersyarat pada premisnya. Ada tiga jenis silogisme hipotetis, yaitu
silogisme kondisional yang mengandung anteseden (syarat) dan konsekuensi;
silogisme disjungtif berupa pernyataan yang menawarkan dua kemungkinan; dan
silogisme konjungtif yang bertumpu pada kebenaran proposisi kontraris.
Kesahihan dan ketidaksahihan setiap bentuk silogisme tersebut diukur dengan
hukum dan prinsip dasar berpikir deduktif, menyangkut pengakuan dan
pengingkaran pada premisnya. Beberapa contoh silogisme hipotetis terlihat
di bawah ini:77 RATIH RAMELAN, BAHASA DAN KOGNISI (i) Silogisme hipotetis:
Bila hari tidak hujan, Ani akan pergi ke bandara. Hari hujan. Oleh karena
itu, Ani tidak pergi ke bandara. (ii) Silogisme disjungtif: A atau B Arif
menulis prosa atau puisi Ternyata bukan A Ternyata Arif tidak menulis prosa
Maka B Maka, Arif menulis puisi(iii) Silogisme konjungtif: A tidak mungkin
Arif tidak mungkin sekaligus menulis prosa dan puisi sekaligus B dan C
Ternyata A adalah B Ternyata Arif menulis prosa Maka, A bukan C Maka, Arif
tidak menulis puisi
Jadi, dari penjelasan tentang berpikir deduktif yang termanifestasi dalam
bentuk silogisme kategoris dan silogisme hipotetis (kondisional,
disjungtif, dan konjungtif) dapat disimpulkan bahwa berpikir deduktif
adalah cara berpikir logis yang mengikuti serangkaian aturan. Di dalamnya
berlangsung aktivitas berpikir analisis dan sintesis terhadap kondisi atau
situasi yang ada.
Di sisi lain, berpikir induktif bergerak dari premis spesifik ke konklusi
umum atau generalisasi. Observasi dan pengalaman digunakan untuk mendukung
generalisasi. Premisnya tidak menjadi dasar untuk kebenaran konklusi,
tetapi memberikan sejumlah dukungan untuk konklusinya. Konklusi induktif
jauh melampaui apa yang ada pada premisnya. Hitler adalah diktator dan
bengis. Stalin adalah diktator dan bengis. Castro adalah diktator. Oleh
karena itu, Castro sangat boleh jadi juga bengis.
Sebagian besar berpikir atau menalar induktif tidak didasarkan pada bukti
yang menyeluruh sehingga bentuk ini tidaklah lengkap. Setiap argumen
induktif tidak dapat dikatakan sahih atau tidak sahih, tetapi lebih baik
atau kurang baik, bergantung pada berapa tinggi derajat probabilitasnya
(kebolehjadian) yang diberikan premis pada simpulannya. Semakin tinggi
probabilitas simpulannya semakin baik argumen induktif yang bersangkutan,
begitu pula sebaliknya, dan simpulannya tidak mungkin mengandung kepastian
mutlak. Konklusi induktif tidak akan pernah terbukti benar kecuali bila
meneliti semua premis khususnya.
Serupa dengan pemahaman teks ekspositori, kemampuan berpikir deduktif dan
induktif adalah perilaku mental individu yang dapat diukur, didasarkan pada
sejumlah hukum, prinsip dasar, kriteria kesahihan bentuk argumen, dan 78
WACANA VOL. 10 NO. 1, APRIL 2008
pola spesifik berkenaan dengan berpikir deduktif dan induktif.
Di samping itu, perbedaan individu (individual differences) juga menjadi
faktor nonpenelitian yang perlu dipertimbangkan karena sangat boleh jadi
turut menyumbang pada berapa jauh kemampuan berpikir deduktif dan berpikir
induktif berkorelasi dan selanjutnya berkait dengan pemahaman teks
ekspositori. Beberapa kajian tentang perbedaan individual dalam kemampuan
berpikir deduktif dan induktif berkait dengan gender telah dilakukan.
Brandon (1989) mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan dalam kemampuan
berpikir deduktif pada laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, Zago et al.
(2007) dan Schaie (2007) menjelaskan bahwa perempuan tampil lebih baik
dalam tugas verbal, ingatan, kefasihan dalam kata, dan penalaran induktif,
sedangkan laki-laki lebih berprestasi dalam orientasi spasial dan angka.
Dalam hubungannya dengan bahasa, Falmagne dan Gonsalves (1995) mengemukakan
bahwa dewasa ini sejumlah teori telah mengakui adanya kaitan yang
signifikan antara proses berpikir deduktif dan linguistik. Inferensi
deduktif merupakan satu komponen dalam aktivitas kognitif dan oleh karena
itu hubungannya dengan proses linguistik dan nonlinguistik menjadi penting.
Selain itu, Thomson (2000) menjelaskan bahwa penalaran tentu saja terungkap
dalam bahasa tetapi tidak semua komunikasi dalam bahasa melibatkan
penalaran. Penalaran berjalan paralel dengan pemahaman teks bahasa dalam
tingkat model situasi, yaitu dalam hal menarik konklusi yang melampaui apa
yang ternyatakan secara eksplisit.
Metode
Penelitian ini bersifat kuantitatif untuk mengukur seberapa signifikan
korelasi antara skor kelompok siswa dalam pemahaman teks ekspositori dan
skor kelompok siswa dalam berpikir deduktif dan berpikir induktif.
Variabel penelitian
Variabel yang terlibat dalam penelitian ini adalah (i) variabel bebas
(independent variable), yaitu teks ekspositori tipe A dengan gagasan utama
di awal teks dan teks ekspositori tipe B dengan gagasan utama di akhir
teks; (ii) variabel tidak bebas (dependent variable) adalah pemahaman teks;
(iii) variable berpikir deduktif dan induktif untuk mengelompokkan
kemampuan berpikir deduktif dan induktif subjek penelitian.
Instrumen penelitian dan skor
Pembuatan alat ukur tes atau kuesioner didasarkan pada paduan pembuatan tes
yang mencakupi struktur atau bentuk tes dan isi tes (Kline 1986; Hughes
1989; Weir 1993; Richter dan Naumann 2000). Instrumen penelitian ini berupa
kuesioner yang mengukur variabel pemahaman teks ekspositori dengan gagasan
utama di awal teks, di akhir teks, kemampuan berpikir deduktif, induktif,
dan variabel nonpenelitian lain, seperti jenis kelamin dan jurusan sekolah.
Bentuk kuesioner adalah pilihan ganda yang terdiri atas pertanyaan dan
pilihan jawaban. Jawaban subjek atas butir soal dalam tiap kuesioner 79
RATIH RAMELAN, BAHASA DAN KOGNISI
pada uji coba dan penelitian diskor dengan 1 untuk jawaban benar dan 0
untuk jawaban salah.
A. Kuesioner pemahaman teks ekspositori
Kuesioner pemahaman teks ekspositori berisi sejumlah butir soal yang
bertujuan untuk mengukur pemahaman teks dalam taraf representasi general
tentang teks (model situasi). Teks diambil dari surat kabar Kompas dan
Media Indonesia edisi bulan Desember 2006, Januari, Februari, Maret, dan
April 2007 dengan didasarkan pada kriteria karakteristik teks ekspositori.
Contoh kuesioner tipe A dengan gagasan utama di awal teks adalah berikut.
Indonesia Agri Resources Ltd, anak usaha dari PT Indofood Sukses Makmur
Tbk, memeroleh dana sebesar Rp 2,4 triliun dari hasil penawaran saham
perdananya ke publik. Dana tersebut akan digunakan untuk pengembangan usaha
PT Salim Ivomas Pratama, anak usaha Indofood, dalam hal ekspansi perkebunan
kelapa sawit, peremajaan dan relokasi pabrik pengolahan minyak goreng,
margarin dan lemak nabati, serta keperluan modal kerja.
Gagasan utama teks di atas adalah:a. Pengembangan usaha PT Salim Ivomas
Pratama.b. Indofood memperluas usaha makanan.c. Anak usaha Indofood meraih
dana triliunan rupiah.d. Ekspansi dan modal kerja penting untuk meraih
laba.
dan kuesioner tipe B yang telah dibuat paralel dengan kuesioner tipe B
dengan gagasan utama di akhir teks dapat diamati sebagai berikut.
Indonesia Tani Semesta merencanakan pengembangan usaha PT Argo Inovasi
Utama, anak usaha Indoboga, dalam hal ekspansi perkebunan teh, kopi,
kelapa, renovasi pabrik pengolahan tepung terigu, margarin dan lemak
nabati, serta keperluan modal kerja. Untuk tujuan tersebut, perusahaan yang
merupakan anak usaha dari PT Indoboga Prima Rasa Tbk ini memeroleh dana
sebesar Rp 4,5 triliun dari hasil penawaran saham perdananya ke publik.
Gagasan utama teks di atas adalah:a. Pengembangan usaha PT Argo Inovasi
Utama.b. Indoboga memperluas usaha makanan.c. Anak usaha Indoboga meraih
dana triliunan rupiah.d. Ekspansi dan modal kerja penting untuk meraih
laba.
Jawaban yang benar sesuai dengan judul dalam artikel asal adalah anak usaha
Indofood meraih dana triliunan rupiah atau yang paralel dengan itu.
B. Kuesioner berpikir deduktif
Kuesioner berpikir deduktif berisi sejumlah butir soal yang bertujuan untuk
mengukur kemampuan berpikir deduktif siswa. Contoh kuesioner berpikir
deduktif perhatikan sebagai berikut. 80 WACANA VOL. 10 NO. 1, APRIL 2008
Bilangan prima adalah bilangan yang hanya dapat dibagi satu dan oleh
dirinya sendiri 3, 5, dan 7 adalah bilangan prima.
Jadi: a. 3, 5, dan 7 adalah bilangan ganjil.b. Bilangan ganjil adalah
bilangan prima.c. 3, 5, dan 7 hanya dapat dibagi 1 dan dirinya sendiri.d. 9
adalah bilangan ganjil yang bukan prima.
Jawaban yang benar sesuai dengan hukum dan prinsip silogisme adalah c.
C. Kuesioner berpikir induktif
Kuesioner berpikir induktif berisi sejumlah butir soal yang bertujuan untuk
mengukur kemampuan berpikir induktif siswa. Contoh kuesioner berpikir
induktif perhatikan sebagai berikut. Hitler adalah diktator dan bengis
Stalin adalah diktator dan bengis Castro adalah diktator Oleh karena itu:a.
Castro sangat boleh jadi juga bengis.b. Castro pasti diktator yang
bengis.c. Castro adalah diktator yang otoriter.d. Castro adalah pemimpin
negara komunis.Jawaban yang benar sesuai dengan dan prinsip silogisme
induktif adalah a.
Kontrol penelitian
Variabel nonpenelitian yang dikontrol adalah jenis kelamin subjek dengan
melibatkan siswa laki-laki dan perempuan, latar belakang jurusan sekolah
subjek dengan melibatkan siswa IPA dan IPS, minat subjek dengan memberikan
teks ekspositori dengan tema bervariasi, seperti isu tentang lingkungan
hidup, seni, budaya, aktivitas pelajar dan pemuda, ekonomi, sosial,
politik, olah raga, kesehatan, industri. Tingkat kesulitan butir soal dalam
kuesioner, dari yang paling mudah ke yang paling sulit dengan cara
menghitung proporsi benar-salah jawaban subjek terhadap tiap butir soal
pada semua kuesioner pada uji coba. Karakteristik teks ekspositori
berdasarkan rujukan yang ada. Karakteristik kuesioner berpikir deduktif dan
induktif yang dibuat berdasarkan hukum dan aturannya masing-masing dan
konteksnya adalah kehidupan sehari-hari seperti lingkungan sekolah,
kecamatan, hiburan, olah raga, pengetahuan umum, politik, ekonomi, sosial,
seni, budaya, warna, bentuk, bunga, hewan, dan bentuk matematika. 81 RATIH
RAMELAN, BAHASA DAN KOGNISI
Subjek
Subjek uji coba alat ukur dan penelitian adalah siswa sekolah menengah atas
dengan dasar pemikiran bahwa mereka telah mencapai taraf perkembangan
berpikir formal operasional yang karakteristiknya adalah mampu berpikir
abstrak, logis, dan hipotetis. Mereka dipilih dengan teknik random bertahap
dengan masing-masing subjek memiliki kesempatan untuk dipilih sebagai
subjek penelitian (Tilley 1996). Teknik random ini dilakukan terhadap
wilayah DKI Jakarta, status sekolah (negeri atau swasta), sekolah, kelas
IPA dan IPS. Untuk uji coba alat ukur terpilih 74 siswa kelas II SMAN 47
Jakarta Selatan yang terdiri atas 35 siswa jurusan IPA, dan 39 siswa
jurusan IPS; 32 orang siswa laki-laki dan 42 orang siswa perempuan. Untuk
penelitian terpilih 91 siswa kelas II SMAN 30 Jakarta Pusat yang terdiri
atas 54 siswa jurusan IPA dan 37 siswa jurusan IPS; 32 orang siswa laki-
laki dan 59 orang siswa perempuan.
Prosedur
Subjek uji coba menerima semua tipe kuesioner dan diminta untuk memilih
salah satu pilihan jawaban yang dianggap paling tepat dari tiap-tiap butir
soal dalam waktu yang tersedia. Data uji coba ini kemudian dihitung secara
statistik untuk menguji keandalan dan kesahihan butir soal dengan formula
statistik/standar kesalahan dari interkorelasi butir rata-rata dalam
keseluruhan soal dan analisis butir soal dengan skor total. Butir soal yang
memiliki skor korelasi tinggi dan signifikan dengan skor total akan dipilih
untuk menjadi butir kuesioner penelitian.
Subjek penelitian menerima semua tipe kuesioner yang sudah direvisi
berdasarkan hasil uji coba dan diminta untuk memilih salah satu pilihan
jawaban yang dianggap paling tepat dari tiap-tiap butir soal dalam waktu
yang tersedia. Data dari penelitian ini kemudian dihitung secara statistik
untuk menguji korelasi antarvariabelnya.
Metode pengolahan data
Dari Robinson (1981), Mendenhall dan Sincich (1996), dan Tilley (1996)
didapatkan rumus statistik untuk uji keandalan, kesahihah, distribusi skor
dan korelasi. Uji keandalan tiap kuesioner dilakukan dengan menghitung
konsistensi internal butir soal atau Alpha Cronbach:
=Σtivvnn11a n = banyaknya item; vi = varian item ke i; vt =
varian total dengan kriteria keandalan
Uji kesahihan butir soal tiap kuesioner dengan menghitung korelasi antara
skor butir soal dan kriteria atau skor total dengan cara berikut.82 WACANA
VOL. 10 NO. 1, APRIL 2008
2/11222/11221221)(21)(21)()( + + + =ΣΣΣ==
=niiniiniiinnYRnnXRnnYRXRr ρ = rho, koefisien korelasi R(Xi) rank dari Xi;
Xi adalah skor pengamatan ke i dari variabel X R(Yi) rank dari Yi; Yi
adalah skor pengamatan ke i dari variabel Y n = banyaknya pengamatan
Normalitas distribusi skor dengan rumus Shapiro-Wilk untuk menentukan
teknik penghitungan statistik apa yang akan digunakan seperti berikut.
2)()1(13)(1 =Τ+ =ΣiinkiiXXaD
Σ= =niiXXD12)( D = denominator dari statistik ujiT = statistik uji ai =
nilai yang tercantum pada Tabel A17 (koefisien untuk tes Shapiro-Wilk)X =
rerata skor X Xi = pengamatan ke i)(iX = X urutan ke i
Korelasi Pearson dan Spearman untuk menguji korelasi antara variabel
penelitian pemahaman teks ekspositori dan kemampuan berpikir deduktif dan
induktif dalam formula berikut.
2/11222/11221221)(21)(21)()( + + + =ΣΣΣ===n
iiniiniiinnYRnnXRnnYRXRr
ρ
ρ83 RATIH RAMELAN, BAHASA DAN KOGNISI ρ = rho, koefisien korelasi R(Xi)
rank dari Xi; Xi adalah skor pengamatan ke i dari variabel X R(Yi) rank
dari Yi; Yi adalah skor pengamatan ke i dari variabel Y n = banyaknya
pengamatan
Signifikansi perbedaan rerata dalam populasi dengan formula Kruskal-Wallis
seperti berikut
+ =ΤΣ=4)1(12122NNnRSkiii
Σ==Νkin11; R = R (X1j)niΣi=1
+ =Σ4)1()(11222NNXiRNSallranksj Ri = jumlah rank stiap
pengamatan ke i N = total pengamatan untuk semua sampel
Hasil penelitian dan analisis
Dengan taraf signifikansi 0,05, uji korelasi antarvariabel penelitian
dengan teknik korelasi Spearman memperlihatkan bahwa pemahaman teks
ekspositori secara umum berkorelasi secara signifikan dengan kemampuan
berpikir deduktif. Pemahaman teks ekspositori Tipe A dengan gagasan utama
di awal teks berkorelasi secara signifikan dengan kemampuan berpikir
deduktif. Di sisi lain, tidak ada korelasi signifikan antara berpikir
deduktif dan pemahaman teks ekspositori Tipe B dengan gagasan utama di
akhir teks, antara kemampuan berpikir induktif dan pemahaman teks
ekspositori secara umum, dan dengan gagasan utama baik di awal dan di akhir
teks.
"Pemahaman "Berpikir deduktif "Berpikir induktif "
"teks " " "
"Pemahaman "Tinggi "Rendah "Tinggi "Rendah "
"teks " " " " "
"ekspositori" " " " "
"tipe A " " " " "
" "8,37 "7,45 "8,05 "7,83 "
"Pemahaman "6,33 "5,88 "6,18 "6,06 "
"teks " " " " "
"ekspositori" " " " "
"tipe B " " " " "
we will not go down
A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they're dead or alive
They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who's wrong or right
But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight