TEORI PEMBELAJARAN Wahyu Setyorini 13010034046/ PLS 2013 B
1|Teori Pembelajaran
TEORI PEMBELAJARAN
2|Teori Pembelajaran
WAHYU SETYORINI
TEORI PEMBELAJARAN
3|Teori Pembelajaran
PENGANTAR PENULIS
Alhamdulilahirobbil, alamin. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT., Rabb Yang Maha Esa, Rabb Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Atas kehendak- Nya, penulis mampu menyelesaikan tulisan tentang Teori Pembelajaran. Meskipun selama penyusunan, banyak menghadapi kesulitan, namun berkat usaha yang keras serta dorongan semua pihak, penulis berhasil menyelesaikan tulisan ini. Tulisan ini memberikan uraian mulai bab 1 yang menguraikan tentang konsep belajar dan konsep pembelajaran, bab 2 menguraikan tentang teori- teori belajar behavioristik, dimana tokohnya adalah Edward Lee Thorndike, Ivan Pavlov, Burrhus Frederic Skinner, John B. Watson, Clark Leonard Hull, Robert M. Gagne, dan Edwin Guthrie Bab 3 menguraikan teori belajar humanistik dimana tokohnya adalah Arthur Combs, Abraham Maslow, dan Carl Rogers, kemudian bab 4, menguraikan teori belajar kognitif dimana tokohnya adalah Jean Piaget dan Gestalt, dan bab 5 menguraikan teori belajar pengelolaan informasi yang dipelopori oleh Robert Mills Gagne. Akhir kata, penulis mengharap agar tulisan tentang Teori Pembelajaran ini bermanfaat bagi pembaca khusunya pendidik dan calon pendidik untuk memberikan pembelajaran yang efektif dan efisien. Kepada pembaca, kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan tulisan ini, sangat penulis harapkan.
Desember, 2014 Penulis
4|Teori Pembelajaran
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB 1 (PENDAHULUAN)
1
A.
Pengantar
1
B.
Konsep Dasar Belajar
2
C.
Konsep Dasar Pembelajaran
9
D.
Teori Belajar dan Manfaatnya dalam Pembelajaran
15
BAB II (TEORI- TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK)
18
A.
Teori Belajar Behavioristik
18
B.
Edward Lee Thorndike
19
C.
Ivan Pavlov
23
D.
Burrhus Frederic Skinner
26
E.
John B. Watson
29
F.
Clark Leonard Hull
30
G.
Robert M. Gagne
32
H.
Edwin Guthrie
34
BAB III (TEORI- TEORI BELAJAR HUMANISTIK)
41
A.
Teori Belajar Humanistik
41
B.
Arthur Combs
42
C.
Abraham Maslow
45
D.
Carl Rogers
47
5|Teori Pembelajaran
BAB IV (TEORI- TEORI BELAJAR KOGNITIF)
51
A.
Teori Belajar Kognitif
51
B.
Jean Piaget
52
C.
Gestalt
55
BAB V (TEORI- TEORI BELAJAR PENGELOLAAN INFORMASI)
59
A.
59
Robert M. Gagne
DAFTAR PUSTAKA
66
6|Teori Pembelajaran
1 PENDAHULUAN
A
Pengantar Bagi
kebanyakan
siswa,
juga
mahasiswa,
belajar
berarti
A
menggarisbawahi buku pelajaran dengan stabilo kuning sambil mendengarkann alunan musik dari ruang lain. Atau, bila menghadapi ujian akhir semester esok hari, belajar berarti minum kopi sebanyak mungkin atau minum pil anti ngantuk dan menghabiskan sepanjang malam untuk berusaha menjejali otaknya dengann semua bahan kuliah yang sebetulnya, mesti dipelajari selama kurang lebih dua belas minggu sebelumnya. Maka, SKS pun kemudian sering diplesetkan menjadi Sistem Kebut Semalam. Belajar, menurut anggapan sementara orang adalah proses yang terjadi dalam otak manusia. Saraf dan sel- sel otak yang bekerja mengumpulkan semua yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan lain- lain, lantas disusun oleh otak sebagai hasil belajar. Itulah sebabnya, orang tidak bisa belajar jika fungsi otaknya terganggu. Dalam bukunya The Organization of Behavior (1949), D.O. Hebb (Hardy dan Heyes, 1988: 32- 33) mengemukakan teorinya mengenai
proses
berlangsungnya belajar dan penyimpanannya di otak. Pada masa penerbitann buku ini, bukti- bukti yang mendukung teori ini masih sangat kurang, karena teknik pembedahan yang canggih serta peralatan yang diperlukan untuk mempelajari fungsi otak, belum ada. Sejalan dengan bertambahnya pengetahuan mengenai fungsi otak yang berhasil diperoleh oleh para peneliti otak lain, kenyataan
7|Teori Pembelajaran
membuktikan bahwa teori Hebb, sekalipun mungkin kurang benar dalam beberapa hal, telah menunjukkannya. Ini teori Hebb adalah bahwa semakin serig dua atau lebih neuron di otak meletub pada saat bersamaan, semakin besar kecenderungan bagi neuron tersebut untuk bekerja sama pada kesempatan berikutnya. Perlu diingat bahwa neuron dapat melompati celah ini dalam bentuk bahan pemancar, yang kemudian melepaskan impuls dari neuron berikutnya pada suatu rantai neuron. Kedua, neuron yang dihubungkan oleh celah sinapsis, ada kemungkinan, tidak perlu bekerja bersama- sama, karena masing- masing neuron tersebut menjadi anggota pada sirkit yang berbeda otak. Sesungguhnya masalah belajar itu demikian kompleksnya. Namun menurut Alex Sobur (2003: 218) secara singkat belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilkau yang relatif tetap sebagai hasil adanya pengalaman. Di sini tidak termasuk perubahan perilaku yang diakibatkan oleh kerusakan atau cacat fisik, penyakit, obat- obatan, atau perubahan karena proses pematangan.
B Konsep Dasar Belajar Belajar merupakan permasalahan yang umum dibicarakan setiap orang, A terutama yang terlibat dalam dunia pendidikan. Belajar juga merupakan suatu istilah yang familiar telinga mayoritas individu. Begitu familiarnya istilah belajar sehingga setiap orang memahami tentang arti dari belajar. Namun demikian, pada kenyataannya masih banyak hal- hal yang berkaitan dengan belajar yang belum dipahami oleh kebanyakan orang. Oleh sebab itu, sebagai pendidik dan calon tenaga pendidik perlu memahami konsep dasar belajar secara lebih komprehensif dan mendalam.
1.
Pengertian Belajar Menurut Alex Sobur (2003: 221- 222), merumuskan beberapa unsur
penting yang menjadi ciri atas pengertian mengenai belajar, yaitu berikut ini: 1) Situasi belajar mesti bertujuan, dan tujuan- tujuan tersebut diterima, baik oleh individu maupun masyarakat;
8|Teori Pembelajaran
2) Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi dalam tingkah laku, dan perubahan itu bisa mengarah pada tingkah laku yang lebih baik, akan tetapi juga ada kemungkinan mengarah pada tingkah laku yang lebih buruk; 3) Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman, dalam arti, perubahan- perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar; 4) Untuk bisa disebut belajar, perubahan itu harus relatif mantap, harus merupakan hasil akhir daripada periode waktu yang cukup panjang. Seberapa lama periode waktu itu berlangsung, sulit ditentukan dengan pasti, namun perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari- hari, berbulan- bulan, ataupun bertahun- tahun. Ini berarti kita harus mengesampingkan perubahan- perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh motivasi, kelelahan, adptasi, ketajaman perhatian atau kecapekan seseorang yang biasanya hanya berlangsung sementara. 5) Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut aspekaspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah, keterampilan, kecakapan, sikap, ataupun kebiasaan.
2.
Komponen- Komponen Belajar Proses belajar itu sendiri dilaksanakan oleh individu yang dibantu oleh
pendidik dalam memahami dan mengatasi suatu permasalahan guna mencapai tujuan- tujuan tertentu. Tujuan- tujuan tersebut dalam proses pembelajaran pada dasarnya
dirancang
sedemikian
rupa
oleh
pendidik
dengan
cara
mengorganisasikannya (sistem), dalam bentuk model dan metode pembelajaran dengan tujuan agar individu dapat lebih mudah untuk memahami. Maka demikian, pada dasarnya aktivitas belajar memiliki beberapa komponen yang saling berkaitan dan berhubungan. Menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 126- 127), komponen- komponen tersebut meliputi: a.
Tujuan Belajar
9|Teori Pembelajaran
Proses belajar berlangung karena adanya tujuan- tujuan yang ingin dicapai. Selain iu, proses belajar itu sendiri akan lebih efektif apabila siswa mengerti tujuan dan manfaat sari materi pelajaran yang akan dipelajari. b.
Materi Pelajaran Tujuan belajar yang hendak dicapai akan mudah dicapai siswa apabila ada sumber- sumber materi pelajaran. Artinya, ada bahan materi yang dipelajari yang sudah tersusun dan siap dikembangkan.
c.
Kondisi Siswa Kondisi siswa sebagai subjek belajar juga merupakan komponen penting. Namun demikian, tanpa mengesampingkan segenap potensi dan perbedaan individu, faktor- faktor yang mnejadi komponen dalam proses belajar sebagai berikut: a. Kesiapan siswa artinya, agar proses berhasil maka siswa perlu memiliki kesiapan, baik fisik maupun psikis serta kematangan untuk melaksanakan aktivitas- aktivitas belajar. b. Kemampuan interprestasi siswa artinya, siswa mampu membuat hubungan- hubungan di antara beberapa kondisi belajar, materi belajar dengan pengetahuan sisiwa, serta kemungkinan- kemungkinan tujuan yang akan dicapai dari sebuah materi pelajaran. c. Kemampuan respons siswa artinya, siswa secara aktif melakukan aktivitas belajar, sesuai dengan instruksi yang diberikan, baik dalam pengerjaan tugas- tugas, kerja kelompok, maupun aktivitas belajar lainnya. d. Situasi proses belajar artinya keberhasilan belajar siswa juga ditentukan oleh situasi dan kondisi ketika proses belajar dilaksanakan. Hal ini tidak lepas dari kondisi fisik dan psikis siswa serta kondisi kelas yang digunakan, proses penyampaian materi oleh guru, peralatan dan media yang
digunakan,
dan
sebagainya,
apakah
dalam
situasi
yang
menyenangkan dan mengaktifkan siswa atau kah yang menegangkan. e. Hasil belajar sebagai konsekuensi artinya belajar siswa dalam bentuk nilai akun baik atau buruk. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi belajar karena hasil belajar sangat tergantung dengan proses belajar itu sendiri, kesiapan siswa, materi, bahan atau media, dan sebagainya. Dengan
10 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
demikian akan selalu ada hasil belajar yang positif dan negatif sebagai sebuah konsekuensi dalam pelaksanaan belajar apakah sungguh- sungguh ataukah asal- asalan. f. Reaksi terhadap kegagalan artinya akan selalu ada reaksi yang muncul terhadap hasil belajar yang telah diperoleh. Misalnya kegagalan dapat menurunkan semangat dan motivasi, sedangkan keberhasilan dapat meningkatkan semangat dan motivasi.
3.
Beberapa Aktivitas Belajar Setiap Individu memiliki cara dan proses tersendiri dalam melakukan
aktivitas belajarnya. Apapun aktivitas yang dilakukan individu untuk menjadi lebih baik dalam mempelajari dan memahami suatu materi pelajaran maka dikatakan aktivitas belajar. Namun demikian, menurut Wasty Soemanto (2006: 107- 113), terdapat beberapa aktivitas belajar yang secara umum dikatakan sebagai aktivitas belajar, yaitu meliputi: a.
Mendengarkan Menurut Wasty Soemanto (2006: 107-108), mendengarkan merupakan salah satu bentuk aktivitas belajar. Hal ini disebabkan dalam proses pembelajaran selalu ada guru yang memberikan materi dengan ceramah, proses presentasi, diskusi, seminar, dan sebagainya. Namun demikian, proses mendengar yang tergolong belajar adalah apabila mendengar dilakukan secara aktif dan bertujuan. Selain itu mndengarkan merupakan aktivitas belajar karena melalui aktivitas mendengar terjadi interaksi individu dengan lingkungannya.
b.
Memandang, memerhatikan, atau mengamati Menurut Wasty Soemanto (2006: 108), memandang, memerhatikan, atau mengamati merupakan aktivitas belajar. Namun demikian, tidak semua kegiatan memandang, memerhatikan, atau mengamati merupakan aktivitas belajar. Hal ini dikarenakan belajar memiliki tujuan sehingga apabila kegiatan memandang, memerhatikan, atau mengamati dilakukan dengan tujuan tertentu maka dapat dikatakan sebagai aktivitas belajar.
c.
Meraba, mencium, dan mencecap
11 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
Menurut Wasty Soemanto (2006: 109), meraba, mencium, dan mencecap merupakan aktivitas belajar. Sama dengan proses lainnya meraba, mencium, dan mencecap baru dapat dikatakan sebagai aktivitas belajar bila didorong oleh kebutuhan untuk mengetahui, mencapai tujuan- tujuan tertentu, dan melakukan perubahan perilkau, baik secara kognitif maupun psikomotorik. d.
Menulis atau mencatat Menurut Wasty Soemanto (2006: 109), menulis atau mencatat merupakan aktivitas belajar. Mencatat akan dikategorisasikan sebagai aktivitas belajar apabila individu menyadari akan tujuannya mencatat serta ada manfaatnya dari apa yang dicatatnya untuk mencapai tujuan- tujuan tertentu.
e.
Membaca Menurut Wasty Soemanto (2006: 110), membaca merupakan aktivitas belajar. Hal ini disebabkan dalam membaca selalu diawali dengan memerhatikan judul- judul bab, topik pembahasan, dan sebagainya serta menentukan topik yang relevan untuk dipelajari.
f.
Membuat ringkasan atau ikhtisar dan menggarisbawahi Menurut Wasty Soemanto (2006: 111), membuat ringkasan atau ikhtisar dan menggarisbawahi merupakan aktivitas belajar. Hal ini disebabkan untuk membuat sebuah ikhtisar, siswa perlu membaca materi secara keseluruhan. Oleh sebab itu, secara tidak langsung ia juga telah belajar, dan mengingat kembali materi dari buku- buku yang telah dibacanya pada masa- masa yang akan datang.
g.
Menyusun paper atau kertas kerja Menurut Wasty Soemanto (2006: 112), menyusun paper atau kertas kerja merupakan aktivitas belajar apabila prosesnya dikerjakan sendirii oleh individu siswa. Hal ini disebabkan untuk mmebuat paper maka diperlukan rumusan masalah atau pokok pembahasan tertentu yang secara tidak langsung menuntut individu mencari, membaca, dan memahami sumber- sumber bahan tersebut terlebih dahulu sebelum menuliskannya .
h.
Mengingat Menurut Wasty Soemanto (2006: 112), mengingat merupakan aktivitas belajar apabila proses mengingat tersebut didasari atas kebutuhan dan
12 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
kesadaran siswa untuk mencapai tujuan- tujuan belajar lebih lanjut, seperti agar dapat mengerjakan soal- soal ujian sehingga nilainya baik dan dapat lulus untuk segera melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.. i.
Latihan atau praktik Menurut Wasty Soemanto (2006: 112), latihan atau praktik merupakan aktivitas belajar. Hal ini disebabkan selama proses pelaksanaan praktik, individu akan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, hasil dan aktivitas praktik tersebut berupa pengalaman yang secara tidak langsung akan mengubah individu baik secara kognitif, adektif, maupun psikomotoik sehingga ia dikatakan telah belajar.
4.
Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Belajar Muhibbin Syah dalam Sugihartono dkk. (2007: 76), menyebutkan bahwa
hanya terdapat dua faktor yang memengaruhi proses belajar, segala sesuatu serta kondisi yang berasal dari dalam dan segala sesuatu serta kondisi yang berasal dari luar individu yang belajar. Penjelasan masing- masing faktor tersebut sebagai berikut: 1.
Faktor Internal a.
Faktor Fisiologis/ Fisik Oleh sebab itu, menurut Sumadi Suryabrata (2011: 236), pendidik memiliki kewajiban menjaga kondisi fisiologis siswa agar tetap dapat berfungsi dengan baik dan kondisi fisik yang bugar yang dapat dilakukan dengan adanya pemeriksaan oleh dokter sekolah secara periodik, penyediaan, dan penggunaan alat- alat pembelajaran yang memenuhi syarat kesehatan, penempatan posisi siswa di kelas dengan baik, dan berbagai startegi lainnya yang mungkin dapat dilakukan guru sesuai dengan kebutuhan dalam kegiatan preventif maupun kuratif.
b.
Faktor Psikologis Menurut Sri Rumini dkk (2006: 61), siswa yang mengalami gangguan psikis, misalnya, tingkat kecerdasan yang terlalu rendah tentu akan mengalami kesulitasn dalam mengikuti dan memahami materi pelajaran meskipun materi dan cara penyampainnya cukup sederhana. Siswa yang
13 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
sukar mengingat dan daya fantasi lemah juga membutuhkan proses pembelajaran yang disesuaikan dengan kelemahannya. 2.
Faktor Eksternal a. Faktor- Faktor Nonsosial Segala sesuatu dan kondisi di sekitar siswa akan sangat memengaruhi pencapaian hasil belajar belajar siswa tersebut. Menurut Sumadi Suryabrata (2011: 233), faktor- faktor yang termasuk dalam kelompok faktor non- sosial ini sangat banyak dan tidak terhingga. Misalnya cuaca, suhu, udara, waktu belajar, dan pembelajaran (pagi, siang, sore atau malam), tempat belajar (letak gedung, tata ruang), peralatan dalam belajar. b. Faktor- Faktor Sosial Menurut Sumadi Suryabrata (2011: 234), yang dimaksud dengan faktor sosial adalah faktor manusia, baik manusia yang hadir secara langsung maupun yang tidak hadir, tetapi memengaruhi proses belajar dan pembelajaran siswa. (1) Faktor Lingkungan Keluarga Faktor- faktor keluarga yang dapat memengaruhi proses belajar siswa, antara lain pola asuh orang tua (misalnya demokratis, protektif, permisif, dan sebagainya), cara orang tua mendidik (misalnya militer ataukah sipil), relasi antaranggota keluarga (misalnya akrab, saling tidak peduli, cekcok atau bertengkar, dan sebagainya), suasana rumah (misalnya selalu ada keributan, damai, dan sebagainya), pengertian orang tua (misalnya orangtua yang tidak mau mengalah, orang tua mengalah, dan sebagainya), kebudayaan keluarga (misalnya disiplin tinggi, kurang disiplin), serta keadaan sosial ekonomi keluarga dan sebagainya. (2) Faktor Lingkungan Sekolah Faktor- faktor dari lingkungan sekolah yang dapat memengaruhi proses belajar siswa, antara lain metode- metode mengajar yang digunakan guru (misalnya berpusat pada guru atau berpusat pada siswa), jenis kurikulum yang dikembangkan dan digunakan, pola
14 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
hubungan atau relasi antara guru dengan siswa, pola relasinya mahasiswa, model disiplin sekolah yang dikembangkan, jenis mata pelajaran dan beban belajar siswa, waktu sekolah, keadaan gedung sekolah, kuantitas tugas rumah, media pembelajaran yang sering digunakan, dan sebagainya. (3) Faktor Lingkungan Masyarakat Dan Budayanya Faktor- faktor dari lingkungan masyarakat yang dapat memegaruhi proses belajar siswa, antara lain jenis kegiatan yang diikuti siswa di masyarakat (misalnya karang taruna, pengurus masjid, atau ikut apapun), teman bergaul siswa, media massa yang dikonsumsi, bentuk kehidupan masyarakat nya, kebiasaan- kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan sebagainya.
C Konsep Dasar Pembelajaran Istilah pembelajaran hampir sama dengan istilah teaching dan instruction. A Istilah pembelajaran dikaitkan dengan proses dan usaha yang dilakukan oleh guru atau pendidik untuk melaksanakan proses penyampaian informasi kepada siswa melalui proses pengorganisasian materi, siswa, dan lingkungan yang umumnya terjadi di dalam kelas. Pembelajaran menjadi penting untuk diketahui oleh guru calon guru agar proses mengajar yang dilakukannya dapat berjalan dengan baik. Pembelajaran yang baik dan berhasil akan terlihat dari prestasi belajar siswa yang tinggi dan adanya perubahan pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan.
1.
Pengertian Pembelajaran Pembelajaran
menurut
Sugiyono
dan
Hariyanto
(2011:
183),
didefinisikan sebagai sebuah kegiatan guru mengajar atau membimbing siswa menuju proses pendewasaan diri. Pengertian tersebut menekankan pada proses mendewasakan yang artinya mengajar dalam bentuk penyampaian materi tidak serta merta menyampaikan informasi, tetapi lebih pada bagaimana menyampaikan dan mengambil nilai- nilai dari materi yang diajarkan agar dengan bimbingan
15 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
pendidik bermanfaat untuk mendewasakan siswa. Berbeda dengan pendapat tersebut, pembelajaran dapat dipahami sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan oleh guru dalam mengatur dan mengorganisasikan lingkugan belajar dengan sebaik- baiknya dan menghubungkannya dengan anak didik sehingga terjadi proses belajar. Selain
pengertian-
pengertian
tentang
pembelajaran
yang telah
disebutkan, Sugiharto dkk. (2007: 81), mendefinisikan pembelajaran secara lebih operasional, yaitu sebagai suatu upayayang dilakukan pendidik atau guru secara sengaja dengan tujuan menyampaikan ilmu pengetahuan, dengan cara mengorganisasikan dan menciptakan suatu sistem lingkungan belajar secara lebih optimal. Konsep pengertian pembelajaran tersebut pada dasarnya menitikberatkan pada proses pembelajaran sebagai sebuah aktivitas yang direncanakan, dilakukan, dan dievaluasi oleh guru. Pembelajaran dilaksanakan secara sengaja untuk mengubah dan membimbing siswa dalam mempelajari sesuatu dari lingkungan dalam bentuk ilmu pengetahuan untuk untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik menuju kedewasaan siswa. Pembelajaran memiliki tujuan- tujuan tertentu yang akan dicapai dengan memanfaatkan lingkungan sebagai media dan sarana belajar bagi siswa. Penjabaran tentang konsep dasar pengertian pembelajaran tersebut menjelaskan bahwa fokus dari pengertian pembelajaran tersebut menjelaskan bahwa fokus dari pengertian pembelajaran adalah bagaimana seorang guru mengorganisasikan materi, siswa, dan lingkungan belajar agar siswa dapat belajar dengan optimal. Namun demikian, pendapatl lain yang lebih rinci dan dilihat dari berbagai siis tentang konsep pembelajaran disampaikan Biggs dalam Sugihartono dkk. (2007: 80- 81), bahwa konsep tentang pengertian pembelajaran terbagi dalam tiga kelompok dalam pengertian kuantitatif, kualitatif, dan institusional. a.
Pembelajaran dalam pengertian kuantitatif Pembelajaran dalam pengertian ini berkaitan dengan jumlah materi dalam pembelajaran. Artinya, konsep pembelajaran seperti ini menekankan pada penularanatau penyampaian materi pelajaran atau pengetahuan dari guru kepada siswa dalam jumlah yang banyak pula, baik dari segi jenis dan bentuk pengetahuan
16 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
Oleh sebab itu, guru dituntut untuk menguasai pengetahuan yang dimiliki sebanyak mungkin sehingga dapat menyampaikannya kepada siswa dalam jumlah yang banyak pula, baik dari segi jenis dan bentuk pengetahuan. b.
Pembelajaran dalam pengertian kualitatif Pembelajaran dalam pengertian ini berkaitan dengan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan. Artinya, konsep pembelajaran seperti ini menekankan pada upaya guru dalam mempermudah siswa melakukan aktivitas belajar serta tingkat kebermanfaatan materi pelajaran bagi siswa. Oleh sebab itu, guru dituntut untuk melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran dan tidak hanya menjejali siswa dengan pengetahuanpengatahuan secara teori dengan sebanyak- banyaknya. Dengan demikian, pembelajaran secara kualitatif menekankan pada keberartian proses dan materi pelajaran yang diterima siswa untuk memenuhi keterampilan dan kebutuhan siswa dalam mengembangkan diri.
c.
Pembelajaran dalam pengertian institusional Pembelajaran dalam pengertian ini berkaitan dengan bagaimana kemampuan guru dalam melakukan penataan, pelaksanaan, dan evaluasi proses pembelajaran. Artinya, secara institusional pembelajaran dituntut untuk dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien oleh guru. Oleh sebab itu, guru dituntut mampu mengadaptasi dan mengembangkan berbagai tehnik megajar untuk berbagai macam perbedaan siswa dan karakteristiknya. Dengan demikian, konsekuensi dari pembelajaran dalam pengertian ini adalah tingkat pemahaman dan penguasaan guru tentang model- model dan metode yang dikembangkann dalam pembelajaran, untuk dipraktikkan dalam proses pembelajaran.
2.
Metode- Metode Pembelajaran Menurut Sugiyono dan Hariyanto
(2011:
19), contoh metode
pembelajaran konvensional yang paling banyak digunakan dalam praktik pembelajaran. Oleh sebab itu, guru dapat memilih metode pembelajaran yang dipandang tepat dengan materi yang akan disampaikan dalam kegiatan
17 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
pembelajaran. Metode- metode pembelajaran yang umum digunakan sebagai berikut: 1.
Metode Ceramah Menurut Sugihartono dkk. (2007: 82), metode ceramah merupakan metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru kepada siswa dengan cara guru menyampaikan materi pelajaran secara bahasa lisan. Pelaksanaan metode ceramah murni menuntut guru agar dapat menyampaikan materi pelajaran dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa. Pada metode ini, peran guru lebih aktif dibandingkan siswa karena proses komunikasi berjalan satu arah, yaitu dari guru kepada siswa. Keberhasilan metode ini tidak semata- mata karena kehebatan guru dalam mengolah kata, tetapi juga dukungan media pembelajaran seperti gambar, film, dan sebagainya.
2.
Metode Latihan Metode latihan merupakan metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam
menyampaikan
materi
pelajaran
dengan
cara
menanamkan
keterampilan- keterampilan tertentu yang dilakukan melalui kegiatankegiatan latihan. Pelaksanaan metode ini diharapkan siswa dapat menyerap materi secara lebih optimal. Metode latihan banyak digunakan pada mata pelajaran yang menekankan pada keterampilan motorik seperti olahraga dan kecepatan dalam melakukan sesuatu seperti mengerjakan soal- soal pada mata pelajaran matematika, fisika, dan sebagainya. 3.
Metode Diskusi dan Tanya Jawab Metode diskusi sering kali disatukan dengan metode tanya jawab. Menurut Sugihartono dkk. (2007: 83),
metode diskusi merupakan metode
pembelajaran yang dilakukan guru dengan cara memberikan permasalahan tertentu kepada siswa dan siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut secara kelompok. Penggunaan metode ini dapat menumbuhkann dan mendorong siswa agar mampu mengemukakan pendapat secara konstruktif serta membiasakan siswa untuk bersikap toleren dan menghargai pendapat orang lain. Pada pelaksanaannya selalu disertai dengan kegiatan tanya jawab, baik siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru. 4.
Metode Karyawisata
18 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
Sugihartono dkk. (2007: 82), metode karyawisata merupakan metode penyampaian materi pelajaran dengan cara membawa langsung siswa ke objek di luar kelas atau lingkungan kehidupan nyata. Tujuan utama penggunaan metode ini adalah agar siswa dapat mengamati dan mencarmati atau mengalami secara langsung tentang apa yang dipelajari di sekolah menjadi lebih berarti karena relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang ada di masyarakat. Misalnya, tentang sejarah candi- candi maka siswa bisa diajak mengunjungi beberapa candi yang ada seperti Borobudur, Prambanan, dan sebagainya. 5.
Metode Demonstrasi Metode demonstrasi merupakan metode pembelajaran yang dilakukan guru dengan cara memperlihatkan suatu proses atau cara kerja satu benda yang berkaitan dengan bahan dan materi pelajaran (Sugihartono dkk. 2007: 83). Penggunaan metode ini lebih banyak digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran yang berkaitan dengan cara kerja sesuatu, baik mesin, proses terjadinya pelangi, proses terjadinya gerhana, dan sebagainya.
6.
Metode Sosiodrama dan Bermain Peran Metode sosiodrama merupakan metode pembelajaran yang dilakukan guru dengan cara memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan kegiatan memainkan peran tertentu yang ada dalam kehidupan sosial secara nyata (Sugihartono dkk. 2007: 83). Metode bermain peran, merupakan metode pembelajaran yang digunakan guru melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa dengan cara siswa memerankan suatu tokoh, baik tokoh yang berupa benda mati maupun tokoh hidup. Materi pelajaran yang sering disampaikan
dengan
metode
ini
adalah
materi-
materi
pelajaran
kewarganegaraan yang meliputi, toleransi, kejujuran, sopan santun dan sebagainya. 7.
Metode Pemberian Tugas dan Resitasi Metode pemberian tugas merupakan metode pembelajaran yang dilakukan guru dengan cara memberi tugas kepada siswa untuk dikerjakan. Resitasi merupakan bentuk pembelajaran yang berupa tugas kepada siswa untuk membuat laporan atas pelaksanaan tugas yang telah diberikan oleh guru
19 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
sebelumnya (Sugihartono dkk. 2007: 84). Metode ini dapat menumbuhkan kemandirian, tanggung jawab, dan inisiatif siswa dalam belajar. 8.
Metode Eksperimen Metode eksperimen merupakan metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam bentuk pemberian kesempatan pada siswa untuk melakukan sebuah proses atau percobaan (Sugihartono dkk. 2007: 84). Metode eksperimen sering digunakan dalam mempelajari kelompok- kelompok mata pelajaran pengetahuan alam, seperti kimia, fisika, dan biologi yang lebih praktis, meskipun pada dasarnya bisa juga dilakukan bidang- bidang ilmu sosial.
9.
Meode Proyek Menurut Sugihartono dkk. (2007: 84), metode proyek merupakan sebuah metode pembelajaran dalam benuk guru menyampaikan dan menyajikan kepada siswa materi pelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah yang selanjutnya akan dibahas dari berbagai sisi atau sudut pandang yang relevan sehingga diperoleh pemecahan masalah secara menyeluruh dan bermakna. Prinsip pembelajaran proyek adalah membahas suatu materi pelajaran ditinjau dari sudut pandang materi pelajaran lain. Penggunaan metode ini dapat memantapkan pengetahuan yang diperoleh siswa, menyalurkan minat siswa, dan melatih siswa untuk menganalisis suatu masalah dengan wawasan yang luas.
Adapun faktor- faktor yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan metode pembelajaran menurut Sugihartono dkk. (2007: 84- 85) sebagai berikut: a.
Materi pelajaran yang akan disampaikan dan tujuan pembelajaran, apakah mengarah pada kompetensi kognitif, afektif, ataukah psikomotorik.
b.
Tingkat kematangan siswa dalam belajar, yaitu kesiapan siswa mengikuti proses pembelajaran termasuk tingkat kemandirian, kedewasaan kemampuan kognitif dalam berfikir masih konkret, atau sudah abstrak, dan sebagainya.
c.
Situasi dan kondisi proses pembelajaran.
20 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
d.
Kondisi sarana dan prasarana yang ada, yaitu apakah metode yang akan digunakan didukung oleh sarana dan prasarana.
e.
Kondisi kemampuan guru, yaitu tingkat penguasaan guru terhadap sebuah metode pembelajaran yang akan digunakan.
D Teori Belajar dan Manfaatnya dalam Pembelajaran Menurut Kerlinger dalam Sugiyono dan Hariyanto (2011: 27), teori A merupakan sebuah konsep atau definisi yang menggambarkan sekaligus menjelaskan sesuatu dari sudut pandang tertentu terhadap sebuah fenomena secara sistematis dengan cara menghubungkan berbagai variabel yang ada di dalamnya. Berbeda dengan pendapat tersebut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 28), sendiri menjelaskan bahwa teori merupakan sebuah bentuk hukum- hukum, gagasan, prinsip- prinsip, atau tentang teknik- teknik tertentu. Atas dasar pengertian tersebut, pada dasarnya teori merupakan sebuah konsep dasar suatu kejadian, aktivitas, atau sebagainya yang sudah teruji dan dibuktikan secara empiris dan dipertanggungjawabkan. Teori belajar pada dasarnya menjelaskan tentang bagaimana proses belajar terjadi pada diri seseorang individu. Artinya, teori belajar akan membantu dalam memahami bagaimana proses belajar terjasi pada seseorang individu sehingga dengan pemahaman tentang teori belajar akan membantu pendidik untuk menyelenggarakan proses pembelajaran dengan baik, efektif dan efisien. Dengan kata lain, pemahaman guru dalam mengorganisasikan prose pembelajaran dengan lebih baik sehingga siswa dapat belajar dengan lebih optimal. Dengan demikian, teori belajar dalam aplikasinya sering digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk membantu siswa mencapai tujuan- tujuan pembelajaran. Teori belajaar penting diketahui oleh para pendidik. Hal ini disebabkan, pemahaman guru terhadap sebuah teori belajar akan mempermudah seorang guru dalam menerapkannya dalam proses pembelajaran. Menurut Winfred F. Hill (2011: 28-29), terdapat tiga fungsi utama dari teori belajar, sebagai berikut:
21 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
a.
Teori belajar berfungsi sebagai petunjuk dan sumber- sumber stimulasi bagi penelitian dan pemikiran ilmiah lebih lanjut.
b.
Teori belajar merupakan simplifikasi atau garis- garis besar pengetahuan mengenai hukum- hukum dan proses belajar.
c.
Teori belajar menjelaskan secara konsep dasar apa itu belajar dan mengapa proses belajar dan pembelajaran dapat berlangsung. Adapun menurut Sugiharto dkk. (2007: 89- 90), keuntungan yang akann
diperoleh oleh guru atau pendidik dengan memahami teori- teori belajar sebagai berikut; a.
Membantu guru dalam memahami bagaimana sebenarnya proses belajar pada siswa terjadi,
b.
Membimbing guru dalam merancang dan merencanakan pelaksanaan proses pembelajaran.,
c.
Membantu guru dalam mengelola kelas dan lingkungan pembelajaran,
d.
Membantu guru dalam mengevaluasi aktivitas pembelajaran yang meliputi perencanaan, proses atau pelaksanaan, dan hasil belajar yang telah dicapai siswa,
e.
Membantu guru dalam merancang dan melaksanakan proses belajar dan pembelajaran bagi siswa secara lebih efektif, efisien, dan produktif. Teori- teori belajar yang dikembangkan beberapa tokoh telah mengalami
peningkatan yang sangat pesat. Masing- masing tokoh memiliki dasar dan sudut pandang yang berbeda sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Namun demikian, tanpa mengesampingkan berbagai bentuk pertentangan dan kritik terhadap teori- teori tersebut, tidak dimungkiri bahwa teori- teori tersebut memberikann kontribusi besar dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Bahkan, tidak menutup kemungkinan kejeliann seorang pendidikan dalam memadukan proses pembelajaran atas dasar berbagari teori- teori tersebut akan menjadikan proses pembelajaran berjalan lebih baik. Banyaknya teori belajar dan pembelajaran tersebut secara garis besar terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu teori belajar behavioristik, teori belajar humanistik dan teori belajar kognitif. Pengelompokan teori- teori belajar tersebut lebih lebih menekankan perbedaan pada sudut pandang terjadinya proses belajar
22 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
pada individu. Teori belajar behavioristik memandang belajar dari sudut pandang hasil belajar yang terukur dan dapat diamati. teori belajar humanistik memandang belajar dari sudut pandang kondisi dan potensi individu manusiannya sebagai manusia yang memiliki berbagai potensi dan perbedaan. Sedangkan, teori belajar kognitif memandang belajar dari sudut pandang proses belajar dengan berbagai komponen yang memengaruhi dan kompleksitas prosesnya.
23 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
2 TEORI- TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
A
Teori Belajar Behavioristik Belajar dalam pandangan behavioristik merupakan sebuah bentuk
A
perubahan yang dialami siswa dalam bentuk perubahan kemampuannya bentuk tingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons (Budiningsih, 2005: 20). Menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 58), teori belajar behavioristik memandang belajar yang terjadi pada individu lebih kepada gejala- gejala atau fenomena jasmaniah yang terlihat dan terukur serta mengabaikan aspek- aspek mental atau psikologis lainnya seperti kecerdasan, bakat, minat dan perasaan atau emosi individu selama belajar. Dengan demikian, pokok perhatian teori behavioristik adalah belajar akan terjadi akibat adanya interaksi stimulus/ input dan respons/ output yang dapat diamati dan diukur. Selain itu menurut teori belajar behavioristik meskipun terjadi perubahan mental pada individu setelah belajar, faktor- faktor tersebut tidak diperhatikan dan tidak dianggap sebagai hasil belajar karena dianggap tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Oleh sebab itu pengukuran merupakan hal yang sangat penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku. Penerapan teori behavioristik dalam pendidikan lebih banyak menggunakan mekanisme penguatan (reinforcement). Tokoh- tokoh teori behavioristik di antaranya Edwin Guthrie, Clark Hull Gagne, Edward Lee Thorndike dengan teori belajar conectionism, Ivan Pavlov dengan teori belajar clasical conditioning, B.F Skinner dengan teori belajar Operant Conditioning, dan Albert Bandura dengan teori belajar sosial atau social learning. Namun demikian, tidak semuanya akan dijabarkan karena hanya
24 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
beberapa teori belajar saja yang akan dibahas karena dianggap cukup mewakili teori belajar dari tokoh- tokoh behavioristik.
B Edward Lee Thorndike 1. Biografi Edward Lee Thoerndike A Thorndike lahir pada 1874 di Williamsburg, Massachusetts, putra kedua dari seorang pendeta Methodis. Dia mengatakan belum pernah mendengar atau melihat kata psikologi sampai dia masuk Wesleyan University. Pada saat itu dia membaca karya William James, Principles of Psychology (1890), dan amat tertarik dengannya. Kelak saat dia masuk Harvard dan mengikuti pelajaran James, keduanya menjadi sahabat karib. Ketika pacar Thorndike melarangnya meneruskan kegiatan menetaskan telur di tempat tidurnya. James berusaha menolongnya dengan memberinya ruang laboratorium di kampus Harvard. Tetapi karena upaya ini gagal, James kemudian merelakan ruang bawah tanahnya untuk dijadikan tempat penetasan ayam dan ini membuat istri James jengkel, namun anak- anak mereka senang. Setelah dua tahun di Harvard, dimana Thorndike mendapat nafkah dengan mengajar mahasiswa, dia mendapat beasiswa untuk studi di Colombia di bawah bimbingan James McKeen Catell. Meskipun dia membawa dua ekor ayamnya yang paling terdidik ke New York, dia segera beralih dari ayam ke kucing. Masa- masa riset binatangnya dirngkas dalam disertai doktornya, yang berjudul Animal Intelligence: an Experimental Study of The Associatve Process in Animals, yang dipublikasikan pada 1898 dan kemudian dikembangkan dan dipublikasikan kembali dalam bentuk buku berjudul Animal Intelligence (1911). Ide dasar yang dikemukakan dalam dokumen ini mendasari semua tulisan Thorndike dan hampir semua teori belajar. Produktivitas ilmiah Thorndike hampir sulit dipercaya. Pada saat dia meninggal pada 1949, bibliografinya mencakup 507 buku, monograf dan artikel jurnal.
Thorndike tampaknya ingin mengukur segala hal, dan dalam
autobiografinya dia melaporkan bahwa sampai usia 60 tahun dia menghabiskan
25 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
sekitar 20 jam sehari untuk membaca dan mendalami buku dan jurnal- ilmiah, meskipun dia terutama lebih merupakan sosok periset ketimbang sarjana ilmuwan.
2.
Eksperimen dan Teori Belajar Koneksionisme Menurut Thorndike dalam Sugihartono dkk. (2007: 91), belajar pada
dasarnya merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi- asosiasi akibat adanya Stimulus (S) dan Respons (R). Stimulus merupakan bentuk perubahan lingkungan sebagai tanda bagi organisme untuk bertindak, sedangkan respons merupakan tingkah laku yang dimunculkan organisme setelah menerima stimulus. Thorndike melakukan eksperimen dengan seekor kucing dan sebuah sangkar. Kucing dimasukkan ke dalam sangkar. Thorndike merupakan psikolog berkebangsaan Amerika pertama yang menggunakan kucing dalam eksperimen melalui prosedur yang sistematis, sekaligus sebagai teori awal yang muncul dari rumpun teori belajar behavioristik. Adapun proses pelaksanaan eksperimen Thorndike menurut Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007: 64- 65) sebagai berikut: a.
Kucing yang lapar dimasukkan ke dalam kotak kerangkeng yang dilengkapi alat pembuka bila disentuh.
b.
Daging ditaruh di luar kotak. Kucing kemudian bergerak ke sana kemari mencari jalan keluar. Kucing terus berusaha dari segala arah. Namun gagal dan dilakukan terus- menerus.
c.
Pada suatu ketika kucing tanpa sengaja menekan sebuah tombol sehingga pintu kotak kerangkeng terbuka dan kucing dapat memakan daging yang ada di depannya.
d.
Percobaan dilakukan berulang- ulang, dan semakin lama kucing memiliki kemajuan tingkah laku sehingga ketika dimasukkan ke dalam kotak dapat langsung menyentuh tombol pembuka sehingga pintu langsung terbuka hanya pada sekali usaha. Melalui
eksperimen
dan
hasil
yang
diperolehnya,
Thorndike
menyimpulkan bahwa agar tercapai kesesuaian hubungan stimulus- respons (S- R) artinya respons yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan maka perlu adanya kemampuan organisme memilih respons yang tepat. Respons yang tepat
26 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
dihasilkan akan dihasilkan setelah individu melalui proses dan usaha- usaha atau percobaan dan kegagalan terlebih dahulu. Hasil eksperimen tersebut menunjukkan bahwa bentuk yang paling mendasar dari belajar adalah melalui latihan- latihan dan pengulangan dalam bentuk trial and error learning atau selecting and connesting learning dan cobacoba. Namun demikian, atas dasar percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika sebuah tindakan diikuti oleh perubahan kondisi dan situasi yang memuaskan, tindakan tersebut akan cenderung untuk diulangi lagi. Namun sebaliknya, jika tidak menguntungkan, akan dikurangi atau bahkan tidak dilakukan sama sekali. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan Thorndike sering disebut dengan Teori Belajar Koneksionisme atau Teori Asosiasi. Hasil eksperimen tersebut memunculkan beberapa hukum dalam belajar yang akan dilakukan dan akan terjadi pada siswa. Menurut Sugihartono dkk. (007: 92- 93), terjadinya proses asosiasi dalam belajar menurut Thorndike akan mengikuti hukum- hukum kesiapan, latihan, akibat dan hukum reaksi bervariasi.
3.
Law of Readiwess (Hukum Kesiapan) Hukum kesiapan terdiri dari:
-
Bila ada kecenderungan bertindak dan dilakukan tindakan tersebut dapat menimbulkan kepuasan dan tidak dilakukan tindakan lainnya
-
Bila ada kecenderungan bertindak dan tidak melakukan tindakan tersebut mengakibatkan tidak ada kepusan dan dilakukannya tindak lain untuk mengurangi ketidakpuasannya
-
Bila tidak ada kecenderungan bertindak dan melakukan tindakan tersebut menimbulkan ketidakpuasan dan dilakukannya
tindakan
lain untuk
mengurangi ketidakpuasannya.
4.
Law of Exercise (Hukum Pelatihan) Thorndike mempelajari pemecahan masalah pada kucing dan berhasil
merancang sebuah “kotak teka- teki”, sehingga kucing yang diletakkan di dalam kotak tersebut dapat keluar dari kotak dengan cara menarik simpul tali, baik dengan menggunakan kaki maupun dengan mulut. Dengan menarik simpul tali,
27 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
kait akan terlepas dan pegas akan menarik pintu hingga pintu terbuka. Setelah meletakkan seekor kucing di dalam kotak, Thorndike mencatat waktu yang dibutuhkan kucing untuk keluar dari kotak tersebut.Jika berhasil keluar, kucing tersebut dimasukkan lagi ke dalam kotak untuk dicatat lagi waktu keberhasilan kucing keluar dari kotak.Ketika hasil pencatatan waktu ini digambarkan, Thorndike melihat bahwa pada umumnya hewan tersebut membutuhkan waktu yang lebih singkat pada setiap percobaan berikutnya.Sesudah kira- kira dua puluh kali percobaan, kucing mampu meloloskan diri secepat ketika dia dimasukkan ke dalam kotak. Thorndike kemudian mengemukakan hipotesisnya: apabila suatu respon berakibat menyenangkan, ada kemungkinan respons yang lain cenderung berakibat sama. Hipotesisi ini dikenal sebagai hukum efek. Hukum efek ini menunjukkan adanya perangsang dengan tindakan pelatihan.Hukum tersebut memberi gambaran betapa pentingnya pelatihan untuk menyongsong tingkah laku yang nyata. Prinsip utama hukum ini adalah dari apa yang dialami sebelumnya sehingga individu dapat bertingkah laku secara benar dan tepat. Edward Lee Thoerndike dapat dianggap sebagai pencetus teori belajar modern pertama, yang mencoba menunjukkan bahwa proses belajar pada hewan merupakan proses yang terus menerus, sama seperti proses belajar pada manusia. Dalam percobaannya banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin.
5.
Law of Affect (Hukum Akibat) Hukum ini menyatakan bahwa tingkah laku yang emendatangkan
keenakan (kepuasan) cenderung tingkah laku tersebut diulangi dan begitu sebaliknya.Hukum ini dapat menerangkan pengaruh hadiah atau hukuman bagi tingkah laku seseorang individu. Thorndike juga mengajukan konsep transfer of training artinya yang telah dipelajari dapat digunakan untuk menghadapi atau memecahkan masalah.` Dalam
berbagai
eksperimen
Thorndike,
pembelajaran
adalah
konsekuensi langsung dari ganjaran.Tidak seperti bayi yang baru merangkak, yang berusaha menguasai sesuatu untuk keperluannya sendiri.Thorndike menyimpulkan bahwa belajar bersifat incremental (bertahap), bukan langsung
28 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
mendalam. Dengan kata lain, belajar dilakukan dalam langkah- langkah kecil yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengertian mendalam. Thorndike menolak campur tangan nalar dalam belajar dan ia lebih mendukung tindakan seleksi langsung dan pengaitan dalam belajar dan dia juga menegaskan bahwa proses belajar semua mamalia, termasuk manusia, mengikuti kaidah yang sama.
6.
Aplikasi Teori Conectionism dalam Pembelajaran Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru kadang- kadang perlu
memerhatikan aplikasi dari teori belajar Conectionism tersebut. Bentuk aplikasi teori pembelajaran Conectionism menurut Thorndike perlu memerhatikan beberapa hal ataupun konsep dasarnya. Bentuk aplikasi teori belajar Conectionism dari Thorndike menurut Sugihartono dkk. (2007: 69) sebagai berikut: a.
Selama proses pembelajaran, siswa yang sudah menyelesaikan tugas belajar dengan baik segera diberi hadiah dan bila belum baik maka guru segera membantu siswa untuk memperbaikinya.
b.
Guru perlu menyadari bahwa dalam proses belajar akan selalu ada kesalahan sehingga guru tidak harus dan tidak selayaknya marah- marah karena kesalahan merupakan bagian dari trial and error dalam belajar.
c.
Dalam proses penyampaian materi, materi pelajaran yang diberikan harus disadari oleh siswa dan mengandung manfaat bagi siswa setelah selesai mempelajarinya atau selesai sekolah.
C Ivan Pavlov 1.ABiografi Ivan Pavlov
Pavlov lahir di Rusia pada 14 September 1849 dan meninggal di sana
pada 1936. Ayahnya adalah pendeta, dan Pavlov pada mulanya belajar untuk menjadi pendeta. Dia berubah pikiran dan menghabiskan sepanjang hidupnya untuk mempelajari fisiologi. Pada 1904 dia memenangkan hadiah Nobel untuk karyanya di bidang fisiologi pencernaan. Dia baru memulai studi refleks yang dikondisikan pada usia 50 tahun. 29 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
Seperti Thorndike, dia memandang ilmuwan diwajibkan untuk mengubah pandangan mereka ketika data mengharuskannya. Ini merupakan karakteristik penting dari pekerjaan ilmiah. Melalui Pavlov, kita melihat pentingnya penemuan tidak sengaja atau penemuan aksidental, dalam ilmu pengetahuan. Metode studi pencernaan
Pavlov
menggunakan
cara
pembedahan
pada
anjing
yang
memungkinkan cairan perut mengalir melalui suatu hiliran keluar dari tubuh, dan cairan itu ditampung.
2.
Eksperimen dan Teori Classical Conditioning Conditioning adalah suatu bentuk belajar yang kesanggupan untuk
berespons terhadap stimulus tertentu dapat dipindahkan pada stimulus lain. Ivan Petrovich Pavlov adalah seorang psikolog yang mengadakan percobaan mengenai anjing yang mengeluarkan air liur, hal ini sering kali dikutib karena dianggap sebagai salah satu bentuk percobaan conditioning formal yang pertama. Hal belajar yang dapat diambil dari percobaannya adalah -
Perbuatan maupun reflex dapat dipindahkan ke perbuatan yang lain. Demikian pula terjadi dalam pembentukan kebiasaan dan juga kemampuankemampuan lain seperti kemampuan mengingat.
-
Belajar erat hubungannya dengann prinsip penguatan kembali atau dengan perkataan lain, ulangan- ulangan dalam hal belajar adalah penting. Pavlov melakukan kombinasi daging sebagai perangsang asli atau US
(Unconditioned Stimulus) dengan bel sebagai perangsang netral (Neutral Stimulus) yang menjadi stimulus bersyarat, yaitu kombinasi daging dan bel atau CS (Conditioning Stimulus), bersamaan secara berulang- ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan, yaitu munculnya air liur anjing atau CR (Conditioning Respons), meskipun hanya mendengar bunyi bell. Menurut Sri Rumini dkk. (2006: 71- 72), pelaksanaan prosedur eksperimen Pavlov sebagai berikut: a.
Anjing yang telah dioperasi kelenjar ludahnya (untuk keperluan pengukuran sekresi ludah), dibiarkan kelaparan. Kemudian bel dibunyikan dan 30 detik setelah bel berbunyi makanan (daging) diberikan.
b.
Percobaan tersebut diulang berkali- kali dengan jarak waktu 15 menit.
30 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
c.
Setelah 32 kali percobaan, ternyata bunyi bel saja telah menyebabkan keluarnya air liur anjing dan bertambah deras bila makanan diberikan. Menurut Pavlov, daging berfungsi sebagai reinforcement penguat.
d.
Berdasarkan eksperimen tersebut, bell merupakan CS, daging merupakan US, dan air liur karena bunyi bell CR. Procedur conditioning Pavlov disebut “klasik” karena merupakan suatu
penemuan
bersejarah
dalam
psikologi.
Barangkali
yang
menyebabkan
conditioning tersebut terkenal ialah kita sering pula merasakan diri kita terkondisi pada macam- macam penglihatan dan bunyi, misalnya air liur keluar karena melihat, mencium, ataupun memikirkan hal lezat. Kelemahan conditioning klasik, antara lain, adalah sebagai berikut (Purwanto,1995): a)
Teori ini menganggap bahwa belajar hanyalah terjadi secara otomatis, keaktifan, dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya
b) Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan; sedangkan kita tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu , manusia tidak semata- mata bergantung pada pengaruh luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan serta reaksi apa yang akan dilakukannya Teori conditioning
memang tepat kalau kita hubungkan dengan
kehidupan binatang. Namun, pada manusia, teori ini hanya dapat kita terima dalam hal belajar tertentu saja; umpamanya dalam hal belajar mengenai skills (kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak- anak kecil
3.
Aplikasi Teori Classical Conditioning dalam Pembelajaran Teori Classical Conditioning memiliki pengertian stimulus yang
dikondisikan dapat digunakan untuk menggantikan stimulus- stimulus yang dikondisikan dapat digunakan untuk menggantikan stimulus- stimulus alami untuk menghasilkan respons- respons yang diinginkan dan dikondisikan. Dengan demikian, dalam proses
belajar dengan tingkah laku sebagai
ukuran
keberhasilannya dapat dilakukan melalui pengaturan dan manipulasi lingkungan (Conditioning Process). Oleh sebab itu, menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011. 62), belajar pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk mengordinasikan pembentukan suatu
31 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
perilaku- perilaku tertentu terhadap sebuah kondisi atau sesuatu. Misalnya, membentuk kebiasaan mandi, makan, belajar pada jam- jam tertentu dan lain sebagainya yang dapat dilakukan dengan mekanisme pengkondisian. Menurut Woolfolk dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007:6364), aplikasi teori belajar Classical Conditioning dari Ivan Pavlov dalam pelaksanaan proses pembelajaran dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, sebagai berikut: 1.
Membuat kegiatan belajar seperti membaca menjadi lebih menyenangkan bagi siswa dengan cara membuat ruang membaca yang enak, nyaman, dan menarik.
2.
Mendorong dan mengaktifkan siswa yang pemalu, tetapi pandai dengan cara memintanya membantu siswa lain yang tertinggal materi mengenai cara memahami materi pelajaran atau trik dan cara mempelajari materi- materi tertentu.
3.
Membuat tahap- tahap rencana jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya melalui kegiatan tes atau ulangan harian, mingguan, dan sebagainya agar siswa menguasai pelajaran dengan baik
4.
Apabila ada siswa yang merasa takut atau minder berbicara di depan kelas, dapat kelas, dapat dibantu melalui aktivitas- aktivitas sedehana mulai dari membaca laporan di dalam sebuah kelompok sambil duduk kemudian sambil berdiri, serta kemudian berpindah ke kelompok yang lebih besar sampai berani membacakan laporan di depan kelas.
D 1.
Burrhus Frederic Skinner
Biografi Burrhus Frederick Skinner Skinner (1904- 1990) lahir di Susquehanna, Pennysylvania. Dia meraih
gelar master pada 1930 dan Ph.D. pada 1931 dari Hardvard University. Gelar B. A diperoleh dari Hamilton, College, New York, dimana dia mengambil jurusan Sastra Inggris. Selama bertahun- tahun Skinner adalah penulis yang prolifik. Salah satu perhatian utamanya adalah menghubungkan temuan laboratoriumnya dengan
32 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
solusi problem manusia. Karya- karyanya memicu perkembangan mesin pengajaran dan belajar terprogram. Saat dia gagal mendeskripsikan perilaku manusia lewat karya sastra, Skinner berusaha mendeskripsikan perilaku manusia lewat ilmu pengetahuan. Jelas dia lebih sukses di bidang ilmu pengetahuan ini.\
2.
Eksperimen dan Teori Operant Conditioning Istilah conditioning operan diciptakan oleh Burrhus Frederick Skinner
dan memiliki arti umum conditioning perilaku. Istilah operan disini berarti operasi yang pengaruhnya mengakibatkan organisme melakukan suatu perbuaatan pada lingkungannya, misalnya perilaku motor yang biasanya merupakan perbuatan yang dilakukan nsecara sadar (Hardy & Hayes,1985; Reber,1988). Skinner menciptakan sebuah alat yang sederhana, ia memasukkan tikus ke dalam sebuah kotak yang tidak berisi apa- apa kecuali pengungkit dan baki makanan. Dengan menekan pengungkit tersebut, sebutir makanan secara otomatis disimpan pada baki tersebut.Tikus berusaha mendapatkan makanan dan dengan cepat mempelajari hubungan antara kerja dan makanan. Perilaku manusia selalu dikendalikan oleh factor luar (factor lingkungan, rangsangan, atau stimulus). Dengan memberikan ganjaran yang positif maka suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika diberikan ganjaran yang negative, suatu perilaku akan dihambat. Sebagai contoh, anak yang buang air di celana, selalu dimarahi ibunya. Sebaliknya, jika ia mengatakan terlebih dahulu kepada ibunya bahwa ia akan buang air besar sehingga ibu bisa membawanya ke WC, maka anak itu akan dipuji ibunya (ganjaran positif). Lama- kelamaan anak itu belajar buang air di WC saja, bukan di sembarang tempat. Kelemahan pada teori belajar conditioning operan adalah sebagai berikut (Syah, 1995:108) : a)
Proses belajar dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar, kecuali sebagai gejalanya
b) Proses belajar bersifat otomatis- mekanis sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap individu memiliki self-direction (kemampuan mengarahkandiri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognnitif,
33 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
sehingga ia bisa menolak untuk merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hewan itu c)
Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan
3.
Aplikasi Teori Belajar Operant Conditioning Teori belajar dari Skinner apabila dapat diterapkan denagn baik dan
benar, pada dasarnya akan menjadikan proses belajar dan mengajar bagi siswa lebih berhasil. Oleh sebab itu, untuk melaksanakan atau menerapkan teori belajar Operant Conditioning dalam proses pembelajaran, menurut Sugihartono dkk. (2007: 99), perlu memerhatikan prinsip- prinsip berikut: a.
Dalam proses pembelajaran, laporan, hasil proses belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar diberi penguat.
b.
Dalam proses belajar dan pembelajaran, guru harus mengikuti irama siswa yang belajar. Dengan kata lain, pendidik tidak dapat memaksakan kehendaknya pada siswa.
c.
Pelaksanaan proses pembelajaran ada baiknya materi- materi pelajaran disusun dan dilaksanakan menggunakan sistem modul.
d.
Dalam pelaksanaan proses pembelajaran tidak menggunakan dan menerapkan hukuman. Namun demikian, pendidik berusaha mengubah lingkungan agar tidak memunculkan perilaku siswa yang harus dihukum.
e.
Apabila tingkah laku yang diinginkan pendidik muncul, siswa dengan segera diberi hadiah sebagai bentuk penguatan.
f.
Dalam pembelajaran digunakan shaping yaitu pembentukan pembiasaanpembiasaan atas dasar pengalaman belajar dari rangkaian stimulus respons.
34 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
E 1.
John B. Watson
Biografi John B. Watson Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh
John B. Watson pada tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Behavioristik lahir sebagai reaksi terhadap introspeksiosm. Kaum behavioristik, khususnya Watson
tidak dapat menyetujui instropeksi digunakan dalam
penelitian psikologi, dengan alasan- alasan tertentu (dirganunangsa, 1996:77- 78): Intropeksi yang digunakan metode utama oleh ahli- ahli aliran strukturalisme, tidak dapat dipakai oleh behaviorisme yang banyak melakukan penyelidikan terhadap hewan.
2.
Konsep Belajar J. B Watson Watson meragukan ketelitian dankebenaran metode instropeksi dalam
penyelidikan-
penyelidikan
psikologi.
Instropeksi
menggambarkan
berlangsungnya berbagai hal dalam organism yang tidak dapat dilihat atau diukur secara objektif. Watson mengakui bahwa memang ada tingkah laku yang tidak dapat langsung terlihat dari luar, misalnya berfikir atau beremosi. Tingkah laku seperti ini dinamakan covert behavior ( tingkah laku tertutup ). Ada pula overt behavior ( tingkah laku terbuka ), yang dapat dengan jelas dilihat dari luar. Watson berpendapat bahwa covert behavior merupakan tingkah laku sebagai akibat kontraksi otot-otot atau sekresi kelenjar-kelenjar, sama halnya dengan overt behavior , jadi berfikir menurut Watson, adalah implicit speech lidah bergerakgerak secara halus, selama kita berfikir itu. Menurut Watson, kepribadian manusia dapat dibentuk melalui pemberian rangsangan-rangsangan tertentu. Salah satu ucapan Watson yang terkenal adalah “ berikan kepadaku selusin anak yang sehat, aku akan membuat mereka seperti yang aku kehendaki, yaitu menjadi dokter, pemberani, bahkan menjadi penjahat atau pemalu”. Menurut Watson, berfikir haruslah merupakan suatu tingkah laku motoris. Anak-anak, bahkan juga orang dewasa, sering berfikir dengan bersuara. Berfikir dengan bersuara adalah untuk membisiki diri sendiri. Pada fase
35 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
selanjutnya, berbicara terhadap diri sendiri ini menghilangkan dan diganti dengan gerakan-gerakan pada lidah yang tidak dapat dilihat dari luar. Seorang anak belajar berbicara terhadap diri sendiri bukan hanya mengenai apa yang sedang dikerjakan, tetapi juga apa yang telah atau akan diperbuat. Oleh karena itu, ia dapatv mencapai bentuk berfikir pada orang dewasa. Orang tuli yang “berbicara” dengan tangan, menurut Watson juga berfikir dengan gerakan, yaitu gerakan tangan yang tidak tampak atau implicit hand movement. Watson juga mengadakan eksperimen mengenai “perasaan takut” pada anak dengan menggunakan tikus dan kelinci. Dari hasil percobannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah atau dilatih. Anak percobaan Watson yang mula-mula tidak takut kepada kelinci, dibuat menjadi takut kepada kelinci. Kemudian anak tersebut dilatihnya pula sehingga tidak menjadi takut lagi kepada kelinci. Jadi, belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang kemudian menimbulkan respon. Untuk menjadikan seorang itu belajar, menurut teori conditioning, ialah adanya latihan-latihan yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar yang terjadi secara otomatis. Watson berpendapat bahwa hampir semua perilaku merupakan hasil dari pengondisian, dan lingkungan membentuk perilaku kita dengan memperkuat kebiasaan tertentu. Respons yang terkondisikan dipandang sebagai unit perilaku terkecil yang tidak dapat dibagi lagi, suatu “atom perilaku” dari tempat perilaku yang lebih rumit dapat dibangun. Semua tipe perilaku kompleks yang berasal dari latihan atau pendidikan khusus, tidak berarti lebih dari rangkaian respons terkondisikan.
F 1.
Clark Leonard Hull Biografi Clark Leonard Hull Clark L. Hull (1884- 1952) meraih gelar Ph.D. dari University of
Wisconsin pada 1918, tempat dia mengajar dari 1916 sampai 1929. Pada 1929 dia pindah ke Yale dan tetap di sana sampai meninggal. Karier Hull dapat dibagi
36 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
menjadi tiga bagian terpisah. Perhatian utama pertamanya adalah tes bakat atau kecakapan. Dia mengumpulkan materi tentang tes bakat saat mengajar topik itu di University of Wiconsin, dan sia memublikasikan buku berjudul Aptitude Testing pada 1928. Perhatian utama kedua Hull adalah hipnosis, dan setelah mempelajari proses hinotik, dia menulis buku berjudul Hypnosis and Suggestibility (1933b). Perhatian ketiganya, dan karya yang membuatnya terkenal adalah studi proses belajar. Buku utama pertama Hull mengenai belajar, Principles of Behavior (1943) mengubah studi tentang belajar secara radikal. Hull menderita cacat fisik. Dia menderita kelumpuhan sebagian karena folio sejak kecil. Pada 1948 dia terkena serangan jantung koroner dan empat tahun kemudian dia meninggal. Dalam buku ketiga (A Behavior System), dia mengekspresikan penyesalannya karena buku ketiga tentang belajar yang ingin ditulisnya tidak pernah terwujud.
2.
Eksperimen dan Teori Sistematic Behavior Clark Leonard Hull adalah orang pertama yang menggunakan teori yang
kukuh untuk mempelajari dan menjelaskan proses belajar. Seperti kebanyakan teoritisi belajar fungsionalistik lainnya, Hull sangat dipengaruhi oleh tulisan Darwin.Tujuan dari Hull adalah menjelaskan perilaku adaptif dan untuk memahami variable- variable yang mempengaruhinya. Dapat dikatakan bahwa Hull tertarik untuk menyusun sebuah teori yang menjelaskan bagaimana kebutuhan tubuh, lingkungan dan perilaku saling berinteraksi unutk meningkatkan probabilitas survival organisme. Teori belajar dari Clark Hull berasal dari teori belajar Thorndike, ia mengakui pentingnya reinforcement (penguat) dalam proses belajar tingkah laku. Namun Hull menembahkan dalam organisasi belajar terdapat banyak factor penghalang yang dapat mempengaruhi respond an sesuatu perangsang. Misalnya, pada saat seseorang individu berkeinginan keras untuk belajar dan kemudian melakukannya, tiba- tiba ada teman datang mengajak pergi. Oleh karena itu, Clark Hull mengusulkan perlunya proses belajar dilakukan secara sistematis sehingga proses belajar tidak mengalami hambatan. Misalnya, sebelum belajar individu
37 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
yang bersangkutan meminta bantuan ibunya, bila ada teman yang datang agar diberi tahu ia tidak ada di rumah.
G 1.
Robert M. Gagne
Biografi Robert M. Gagne Robert Mills Gagne lahir 21 Agustus 1916, di North Andover,
Massachusetts dan wafat pada tanggal 28 April 2002. Dia meraih gelar A.B. dari Yale pada tahun 1937 dan Ph.D. dariBrown University tahun 1940. Dia adalah seorang profesor psikologi dan psikologi pendidikan di Connecticut College untuk Wanita (1940-1949), Pennsylvania State University(1945-1946), Princeton (19581962), dan University of California di Berkeley (1966-1969)dan seorang profesor di Departemen Penelitian Pendidikan di Florida State University diTallahassee mulai
tahun
1969.
Gagne
juga
menjabat
sebagai
direktur
penelitian
untuk Angkatan Udara (1949-1958) di Lackland, Texas, dan Lowry, Colorado. Dia bekerja sebagaikonsultan untuk Departemen Pertahanan (1958-1961) dan Dinas Pendidikan Amerika Serikat (1964-1966). Selain itu, ia menjabat sebagai direktur penelitian di American Institute of Research.Robert Mills Gagne adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang telahmengembangkan suatu pendekatan perilaku mengenai psikologi belajar. Gagasan-gagasanGagne tentang belajar sangatlah banyak, dalam makalah ini akan dibatasi pada hasil-hasil belajar yang dikemukakan
oleh
Gagne,
kejadian-kejadian
belajar,
kejadian-kejadian
instruksi,dan implementasi teori Gagne dalam pembelajaran.
2.
Konsep Belajar Robert M. Gagne Gagne memberikan sumbangan teori-teori belajar dan konsep dasar
belajar dalam bentuk adanya prinsip-prinsip dalam belajar, yaitu syarat-syarat pembelajaran, proses terjadinya belajar, dan taksonomi hasil belajar. Menurut Gagne dalam sugiyono dan Hariyanto ( 2011: 92-93 ), terdapat delapan peristiwa atau tahapan dalam proses belajar individu. 1.
Memberikan motivasi dan perhatian. Misalnya, dalam sebuah pembelajaran materi tentang es, tunjukan es krim dan ceritakan kelezatannya.
38 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
2.
Memberikan tujuan pembelajaran. Artinya, biarkan siswa mengetahui apa yang akan dipelajari dan bagaimana prosesnya. Misalnya, beritahukan siswa tujuan pembelajaran adalah mengetahui bagaimana membuat es krim.
3.
Memunculkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Misalnya, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah ada yang pernah membuat es krim ? kapan, dimana, dan apa saja bahannya ?
4.
Melakukan presentasi atau demonstrasi materi. Misalnya, tunjukan pada siswa bagaimana langkah-langkah dalam membuat es krim.
5.
Memberikan kesempatan pada siswa untuk mencoba dan melakukan apa yang telah dipelajari. Misalnya, biarkan siswa membuat es krim sendiri.
6.
Memberikan umpan balik. Artinya, memberikan pengerahan tentang kinerja masing-masing siswa. Misalnya, guru dengan antusias memerhatikan kerja siswa dengan mengamati setiap pekerjaan siswa dan memberikan masukan selama proses berlangsung
7.
Menilai hasil kerja. Artinya, memberikan penilaian terhadap hasil kerja siswa. Misalnya, apabila es krim yang dibuat baik dan layak maka diperbolehkan memakannya.
8.
Memperkuat ingatan atas proses belajar yang telah dilalui. Artinya, bantulah siswa dalam mengingat-ingat dan menerapkan keterampilan baru hasil belajarnya. Misalnya, berikan siswa tugas untuk membuat es krim pada waktu liburan. Proses belajar yang dilakukan siswa menurut pandangan Gagne akan
terlihat berhasil atau tidaknya dalam lima kategori atau lima taksonomi hasil belajar. Kelima taksonomi hasil belajar tersebut meliputi informasi verbal, ketrampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, dan keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, dan keterampilan motorik. Artinya, keberhasilan proses belajar siswa akan terwujud dalam bentuk-bentuk kemampuan di antara lima kategori tersebut.
39 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
H
Edwin Guthrie
1. Biografi Edwin Guthrie Guthrie lahir di Lincoln Nebrazka tanggal 9 januari pada tahun 1886 dan meninggal pada tahun 1959 Dia adalah professor psikologi di university of Washington dari 1914 sampai pensiun pada 1956. Karya dasarnya adalah the psychology of learning, yang dipublikasikan pada 1935 dan direfisi pada 1952. Gaya tulisannya mulai di ikuti, penuh humor, dan menggunakan banyak kisah untuk menunjukan contoh-contoh idenya. Tidak ada istilah teknis atau persamaan matematika, dan dia sangat yakin bahwa teorinya atau teori ilmiah apa saja harus dikemukakan dengan cara yang dapat dipahami oleh mahasiswa baru. Dia sangat menakankan pada aplikasi praktis dari gagasannya dan dalam hal ini dia mirip dengan thorndike dan skinner. Pada usia 33 tahun Guthrie pemenang nobel yang diberikan asosiasi psikologi Amerika dalam kontribusi terakhir. Karya dasarnya adalah The Psycholoy of Learning, yang dipublikasikan pada 1935 dan direvisi pada 1952. Guthrie menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang karirnya, dia menganggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari sebagaian hanya asosiasi antara stimuli lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya, kejadian di lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu, dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan. Guthrie selanjutnya mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya movement-product stimuli (stimuli yang dihasilkan oleh gerakan), yakni disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon berdering kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak sebagai stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimuli dari gerakan kita sendiri menuju pesawat telepon.
40 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
2.
Konsep Belajar Teori Guthrie Guthrie dan Horton (1946) secara cermat mengamati sekitar delapan
ratus kali tidak melepaskan diri dari kotak teka-teki yang dilakukan oleh kucing yang kemudian observasi ini dilaporan dalam sebuah buku yang berjudul cats in a Puzzle Box. Kotak yang mereka pakai sama dengan yang dipakai Thorndike dalam melakukan eksperimennya. Guthrie dan Horton menggunakan banyak kucing sebagai subyek percobaan, akan tetapi mereka melihat kucing kelar dari kotak dengan cara sendiri-sendiri dan berbeda-beda. Dari percobaan diatas respon khusus yang dipelajari oleh hewan tertentu adalah respon yang dilakukan hewan sebelum ia keluar dari kotak. Karena respon ini cenderung diulang lagi saat kucing diletakkan di kotak di waktu yang lain, maka ia dinamakan stereotyped behavior (perilaku strereotip). Guhtrie dan Horton mengamati bahwa seringkali hewan, setelah bebas dari kotak akan mengabaikan ikan yang diberikan kepadanya. Meskipun hewan itu mengabaikan obyek yang disebut penguatan tersebut, kucing dapat keluar dari kotak dengan lancar ketika diwaktu yang lain ia dimasukkan lagi ke dalam kotak. Observasi ini, menurut Guthrie memperkuat pendapatnya bahwa penguatan hanyalah aransemen mekanis yang mencegah terjadinya unlearning. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap kejadian yang diikuti dengan respons yang diinginkan dari hewan akan mengubah kondisi yang menstimulasi dan karenanya mempertahankan respons di dalam kondisi yang menstimulasi sebelumnya. Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama. Hukum kontiguiti adalah satu prinsip asosionisme yaitu respon atas suatu situasi cendrung diulang, bilamana individu menghadapi suatu yang sama. Kunci teori guthrie terletak pada prinsip tunggal bahwa kontiguitas merupakan fondasi pembelajaran. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon
41 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sering diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap dan karena itu pula diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan itu menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respon akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) bila respon tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Hukum tersebut diusulkan oleh Guthrie karena menganggap kaidah yang dikemukakan oleh Thorndike dan Pavlov terlalu rumit dan berlebihan. Thorndike mengemukakan bahwa, jika respons menemukan kondisi yang memuaskan maka koneksi S-R akan menguat. Disisi lain Pavlov mengemukakan dengan hukum belajarnya dengan model kondisional berupa CR-CS-US-UR. Unsur- unsur itulah yang dianggap oleh guthrie berlebihan. Stimulus dan respon cendrung bersifat sementara, persetujuan umum di kalangan psikolog, bahwa kontiguitas stimulus dan respon merupakan kondisi yang penting bagi proses belajar, maka dari itu diperlukan pemberian stimulus yang sering, agar hubungan itu menjadi lebih langgeng, suatu respon akan lebih kuat dan menjadi kebiasaan bila respon tersebut berhubungan dengan berbagaimacam stimulus, situasi belajar merupakan gabungan stimulus dan respon, akan tetapi asosiasi ini bisa benar dan bisa salah. Meskipun
Guthrie
menekankan
keyakinannya
pada
hukum
kontiguitas di sepanjang karirnya, dia menganggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari sebagaian hanya asosiasi antara stimuli lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya, kejadian di lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu, dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan. Guthrie
selanjutnya
mengatasi
problem
tersebut
dengan
mengemukakan adanya movement-product stimuli (stimuli yang dihasilkan oleh gerakan), yakni disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon berdering kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak
42 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
sebagai stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimuli dari gerakan kita sendiri menuju pesawat telepon.
Hukuman menurut Guthrie Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Hukuman yang diberikan dalam proses pembelajaran harus sesuai dengan asumsi dan ideologi yang ada dalam diri siswa. Meskipun menurut sekolah hukuman itu tidak edukatif dan tidak efektif, bisa saja menurut sekolah yang lain sangat efektif. Hal ini disebabkan oleh asusmi ideologis yang diyakini di kalangan siswa. Contoh jenis hukuman di pondok pesantren tidak sesuai jika diterapkan di sekolah formal yang jauh dari budaya pondok pesantren. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit ditinggalkan. Hal ini dapat terjadi karena perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam stimulus (misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus lain seperti minum kopi, berkumpul dengan teman-teman, ingin tampak gagah, dan lain-lain. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.
Teori conditioning dari Guthrie Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat dipandang sebagai deretan-deretan tingkah laku yang terdiri dari unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan reaksi atau respons dari perangsang atau stimulus sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi pula stimulus yang kemudian menimbulkan response bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga merupakan deretan-deretan unit
43 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
tingkah laku yang terus menerus. Jadi pada proses conditioning ini pada umumnya terjadi proses asosiasi antara unit-unit tingkah laku satu sama lain yang berurutan. Ulangan-ulangan atau latihan yang berkali-kali memperkuat asosiasi yang terdapat antara unit tingkah laku yang satu dengan unit tingkah laku yang berikutnya.
Teori Keterhubungan Guthrie Guthrie lebih menekankan pada hubungan antara stimulus dan respons, dan beranggapan bahwa setiap respons yang didahului atau dibarengi suatu stimulus atau gabungan dari beberapa stimulus akan timbul lagi bila stimulus tersebut diulang lagi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu stimulus tertentu akan menimbulkan respons tertentu. Suatu respons hanya terbina oleh satu kali percobaan saja, oleh karena itu pengulangan atau repetisi tidak memperkuat hubungan stimulus respons. Namun demikian, Guthrie menekankan hubungan, tetapi untuk membina atau memasangkan stimulus yang cocok dengan respons yang diharapkan. Guthrie memulai proses pendidikannya dengan memaparkan tujuan-tujuannya serta dengan mengemukakan respons-respons apa yang perlu dibuat terhadap rangsangan tertentu. Kemudian dia akan menciptakan lingkungan belajar yang tertata sedemikian rupa sehingga respons yang diinginkan dihasilkan sesuai dengan rangsangan yang ada. Motivasi bagi Guthrie bahkan lebih tidak penting lagi sebagaimana yang dianggap penting olehThorndike. Apa yang diperlukan dalam proses belajar hanyalah agar siswa memberikan respons yang tepat ketika hadir suatu rangsangan.
Metode yang dirumuskan Guthrie Guthrie merumuskan beberapa metode yang diantaranya adalah : 1.
Metode Threshold (Ambang) : yaitu metode mencari petunjuk yang memicu kebiasaan buruk dan melakukan respons lain saat petunjuk itu muncul. Misalnya, saat diketahui alasan merokok karena stres, maka ketika suatau saat stres itu datang lakukan kegiatan lain.
2.
Metode Fatigue (kelelahan) : yaitu, membiarkan respons terus menerus hingga tidak lagi menjadi fungsi dari stimulus. Misalnya, gadis kecil senang 44 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
menyalakan korek api, tugasnya adalah membiarkannya sampai dia merasa menyalakan korek api tidak lagi menyenangkan. 3.
Metode Incompatible Stimuli (stimuli menyimpang): yaitu memberikan penyandingan terhadap stimuli karena dianggap dapat menimbulkan respons buruk. Misalnya, ibu memberi anaknya sebuah boneka, tetapi anak justru takut dan gemetar. Jadi, ibu harus menjadi stimulus yang dominan agar kombinasi keduanya berbentuk relaksasi. Ketiga metode di atas menurut Guthrie efektif karena disajikan suatu
petunjuk tindakan yang tidak diinginkan dan berusaha mempengaruhi agar tindakan itu tidak dilakukan, karena ada stimuli utuk perilaku lain yang terjadi dan membuat respons yang buruk menjadi tersingkirkan. Pendapat Guthrie Tentang Pendidikan Guthrie menyarankan proses pendidikan dimulai dengan menyatakan tujuan, yakni menyatakan respons apa yang harus dibuat untuk stimuli. Dia menyarankan lingkungan belajar yang akan memunculkan respons yang diinginkan bersama dengan adanya stimuli yang akan diletakkan padanya. Jadi motivasi dianggap tidak terlalu penting, yang diperlukan adalah siswa mesti merespons
dengan
tepat
dalam
kehadiran
stimuli
tertentu.
Latihan (praktik) adalah penting karena ia menimbulkan lebih banyak stimuli untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan.karena setiap pengalaman adalah unik, seseorang harus “belajar ulang” berkali-kali. Guthtrie mengatakan bahwa belajar 2 ditambah 2 di papan tulis tidak menjamin siswa bisa 2 ditambah 2 ketika dibangku. Karena memungkinkan siswa akan belajar meletakkan respons pada setiap stimuli (di dalam atau di luar kelas) Sifat Pengetahuan menurut Edwin Ray Guthrie Pada poin ini Gutrie menggunakan isu yang dibahas Thorndike, ketika satu respons menimbulkan keadaan yang memuaskan, maka selanjutnya terulangnya respons akan meningkat. Guthrie menganggap hukum efek tidak
45 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
dibutuhkan. Menurut Guthrie, reinformance (penguatan) hanyalah aransemen mekanis, yang dianggap dapat dijelaskan dengan hukum belajaranya. Gutrie menganggap, penguatan mengubah kondisi yang menstimulasi, dan karenanya mencegah terjadinya nonlearning. Misalnya, dalam kotak teka teki, hal yang dilakukan hewan sebelum menerima satu penguat adalah menggerakkan satu tuas atau menarik cincin, yang membuatanya bisa keluar dari kotak itu, dan seterusnya. Oleh karena itulah, Guthrie dan Horton mengatakan, menurut pendapat mereka tindakan yang dilakukan oleh kucing itu akan selalu sama, karena kucing itu menganggap itulah caranya membebaskan diri dari kotak. Oleh karena itu, tidak memungkinkan adanya respons baru yang dihubungkan dengan kotak tersebut.
46 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
3 TEORI- TEORI BELAJAR HUMANISTIK
A
Teori Belajar Humanistik Teori belajar humanistik memandang bahwa siswa dapat dikatakan telah
berhasil dalamm belajar apabila ia telah mampu mengerti dan memahami A
lingkungan serta dirinya sendiri. Teori belajar humanistik melihat proses dan perilaku belajar dari sudut pandang pengamatannya. Oleh sebab itu, tujuan utama proses pembelajaran dalam pandangan teori belajar humanistik adalah bertujuan agar siswa dapat mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing- masing individu untuk mengenali diri mereka, yaitu membantu masing- masing individu untuk mengenali diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mewujudkan dan mengembangkan potensi- potensi yang ada pada diri mereka masing- masing. Dengan demikian, pembelajaran pada dasarnya untuk kepentingan memanusiakan siswa sebagai manusia itu sendiri (Budiningsih, 2005: 68). Penganut aliran humanistik ini meyakini adanya perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud- maksud tertentu sebagai perilaku- perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Oleh sebab itu, aliran teori belajar hunmasnistik lebih cenderung disebut sebagai teori belajar yang paling ideal. Hal ini disebabkan setiap individu memiliki perbedaan dan kondisi individual yang sangat kompleks sehingga teori belajar humanistik ini pada dasarnya menghendaki pemanfaatan bahkan memadukan berbagai teori belajar dari aliran apa pun asal tujuan utamanya adalah memanusiakan manusia dalam bentuk pengembangan potensi- potensi siswa tersebut.(Budiningsih, 2005: 69).
47 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
Atas dasar pandangan- pandangann tersebut, teori belajar humanistik lebih menekankan lebih mendekati sebagai teori belajar yang bersifat sangat eklektik. Tokoh- tokoh yang termasuk dalam golongan atau aliran teori belajar humanistik di antaranya Arthur Combs, Abraham Maslow, Carl Rogers, Bloom dan Krathwohl, Habernas, Honey dan Mumford, Kols dan sebagainya.
B 1.
Arthur Combs
Biografi Arthur Combs Arthur W. Combs (1912-1999) adalah seorang pendidik / psikolog yang
memulai karir akademis sebagai profesor ilmu biologi dan psikolog sekolah di sekolah umum di Alliance, Ohio (1935-1941). Ia menerima gelar MA dalam Konseling, sekolah di The Ohio State University (1941) dan diterima di program doktor dalam psikologi klinis pada lembaga, di mana Carl Rogers menjabat sebagai guru dan mentor. Dia menyelesaikan gelar doktor pada tahun 1945(http://www.oac.cdlib.org/data/13030/1x/ft8r29p11x/files/ft8r29p11x.pdf 15 April 2010). Arthur W. Combs began his professional career in the public schools of Alliance, Ohio in 1935. To improve his skills in helping students, he sought a doctorate in clinical Psychologi at Ohio state and spent the next ten years operating a psychological clinic and training students and counceling and psychoterapy at syracuse University (Arthur W. Combs, 2006, hlm. ii). (Arthur W. Combs memulai karir profesionalnya di sekolah umum, Alliance, Ohio pada tahun 1935. Untuk meningkatkan keahliannya dalam membantu siswa, ia mencari gelar doktor di Klinik Psikologi di negara bagian Ohio dan menghabiskan sepuluh tahun berikutnya untuk mengoperasikan klinik dan pelatihan siswa dan konseling psikologis di Syracuse University dan psychoterapy). Pada tahun 1949 ia terpilih sebagai Presiden Asosiasi Psikologi di New York dan pada tahun yang sama ia turut menulis (dengan Donald L. Snygg) perilaku individu: kerangka kerja baru untuk psikologi. Buku ini menyajikan
48 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
suatu kerangka komprehensif dan sistematis untuk membuat rasa terbaik dari pengalaman manusia, perilaku dan hubungan antara keduanya.
2.
Konsep Dasar Pembelajaran Arthur Combs (1912-1999) Konsep dasar dalam pembelajaran yang digunakan Arthur Combs
adalah meaning (makna atau arti). Konsep ini menganggap bahwa proses belajar pada siswa akan benar-benar terjadi apabila sesuatu yang dipelajari memiliki arti bagi individu siswa yyang bersangkutan. Oleh sebab itu, guru juga tidak bisa dan tidak akan dapat memaksakan para siswa untuk belajar atau mempelajari suatu materi yang tidak disukai dan mungkin tidak relevan dengan kehidupan siswaa. Dengan demikian, kebanyakan kasus para siswa yang tidak mau dan tidak bisa menguasai sebuah materi pelajaran atau bahkan siswa berperilaku buruk (seperti membolos atau tidak mengikuti proses belajar dengan sungguh-sungguh) bukan karena mereka bodoh, melaikan tida memiliki alasan yang kuat untuk mempelajarnya. Perilaku-perilaku buruk yang muncul pada siswa selama proses pemeblajaran lebih banyak disebabkan siswa tidak memperoleh atau merasakan kepuasan dalam mengikuti proses pembelajaran. Menurut Combs, Avila, dan Purkey dalam Sri Rusmini dkk. (2006: 103) perilaku yang keliru atau tidak baik pada individu siswa dalam proses terjadi karena tidak adanya kesediaan dari individu untuk melakukan apa yang seharunya dilakukan. Hal tersebut disebabkan adanya sesuatu yang lebih menarik dan memuaskan siswa di luar kegiatan belajar mengajar itu sendiri. Misalnya guru yang mengeluh karena siswanya tidak minat dalam belajar. Hal itu sebenarnya disebabkan tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Oleh sebab itu guru harus mengadakan aktivitas pembelajaran lain dengan model dan metode yang lebih menarik bagi siswa. Dengan demikian, diharapkan siswa akan lebih berminat dan merasa pelu untuk mengikuti proses pembelajaran. Konsep pembelajaran yang berarti menurut Gayne dan Briggs dalam Sugihartono dkk. (2007:117) ialah bagaiman siswa mampu memperoleh arti atau mengambil manfaat bagi diri pribadi siswa dari materi yang dipelajari tersebut
49 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
dalam bentuk kemampuannya menghubungkan dengan kehidupan nyata. Hal ini disebabkan arti atau kebermaknaan sebuah materi pelajaran tidaklah menyatu dalam materi tersebut. Akan tetapi, individu siswa sendirilah yang memberikan arti pada sebuah materi pembelajaran tersebut. Oleh sebab itu, guu harus memahami perilaku siswa dengan cara memahami dunia persepsi atau kondisi dan cara pandang siswa sehingga apabila ingin merubah perilaku sisawa, harus diawali dengan mengubah keyakinan dan pandangan siswa tersebut.
3.
Aplikasi Teori Berdasarkan konsep dasar humanistik tentang pembelajaran yang
baerarti tersebut, dapat dijelaskan bahwa semakin jauh sebuah materi pengajaran atau pengtahuan dari persepsi diri atau keberartiannya bagi siswa akan semakin berkurang pengaruhnya terhadap perilaku siswa dalam bentuk keaktifan mengikuti proses pembelajaran maupun kesediaannya utuk mengikuti seluruh proses pembelajaran. dengan demikian, apabila materi pelajaran atau pengetahuan yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan diri sendiri, pengetahuan tersebut akan mudah teruapakan dan hilang. Begiupun sebaliknya, apabila semkin dekat pengetahuan dengan persepsi siswa maka akan semkin kuat tersimpan dalam memory. Artinya, semakin hal-hal yang dipelajari ( duia luar) oleh siswa (persepsi guru), akan semakin kurang pengaruhnya terhadap individu tersebut. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal yang dipelajari tersebut dengan pusat lingkaran, akan semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang dalam berperilaku (Rmmini, dkk, 2006:104) jadi, dapat dipahami mengapabanyak hal yang dipelajari, akan segera terlupakan adalah karena sedikit sekali kaitannya dengan dirikita atau kita tidak dapat memahami atau mengambil makna dan keberartian materi pelajaran tersebut. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran terutama pada proses pendahuluan guru harus menempuh hal-hal berikut. 1.
Memberikan sugesti-sugesti positif terhadap siswa
2.
Memberikan pemaparan tentang manfaat dri mempelajari materi pelajaran yanga akan disampaikan nanti
50 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
3.
Memunculkan ras ingin tahu siswa dengan berbagai kelihatan terutama mengkaitkannya dengan kehidupan siswa
4.
Menciptakan lingungan fisik pembelajaran yang positif dan menyenangkan mencakup tata ruang dan kondisi lainnya.
5.
Menciptakan lngkingan sosio-emosional yang menyenangkan bagi seluruh siswa
6.
Meredakan rasa gelisah, rasa tahut, dan sebagainya dan mungkin dimiliki siswa sebelum proses pembelajaran dimulai.
7.
Menghilangkan segala bentuk hambatan yang mugkin mencul dalam proses pembelajaran dan mengajar. Siswa untuk terliat secara penuh sejak awal pembelajaran sampai akhir pembelajaran.
C 1.
Abaraham Maslow
Biografi Abraham Maslow Maslow dibesarkan di pinggiran Kota Brooklyn. Ia pernah menjadi Guru
Besar psikologi di Universitas Brandeis dan pernah menjabat presiden American Psychological Association (APA). Abraham Maslow meninggal secara mendadak akibat serangan jantung pada 8 Juni 1970
2.
Hierarki Kebutuhan Mashlow dan Aplikasinya Secara singkat, Maslow berpendapat bahwa kebutuhan manusia sebagai
pendorong (motivator) membentuk suatu hierarki atau jenjang peringkat. Pada awalnya, Maslow mengajukan hierarki lima tingkat yang terdiri atas kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta, penghargaan, dan mewujudkan jati diri. Di kemudian hari, ia menambahkan kebutuhan lagi, yaitu kebutuhan untuk mengetahui dan memahami serta kebutuhan estetika. Namun tidak jelas bagaimana kedudukan kedua kebutuhan ini dalam hierarki awal tersebut. Maslow berpendapat, jika tidak ada satu pun dari kebutuhan dalam hierarki tersebut dipuaskan, perilaku akan didominasi oleh kebutuhan fisiologis.
51 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
Akan tetapi, jika kebutuhan fisiologis telah terpuaskan semua, kebutuhan tersebut tidak lagi dapat mendorong atau memotivasi; orang itu akan dimotivasi oleh kebutuhan tingkat berikutnya dalam hierarki itu, yaitu kebutuhan rasa aman. Begitu kebutuhan rasa aman terpuaskan, orang akan beranjak ke tingkat berikutnya, dan begitu seterusnya, dia terus menaiki hierarki, tingkat demi tingkat. Menurut Teori Maslow, bahwa kegiatan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya itu berjalan secara bertahap dari mulai pemenuhan kebutuhan dasar sampai dengan kebutuhan yang kategori tahap akhir itu dilakukan secara berurutan. Pertama
: Kebutuhan dasar itu meliputi kebutuhan untuk memperoleh pendapatan, pangan, sandang, kesehatan (istirahat, seks, kesegaran jasmani, udara, air bersih) dan hiburan.
Kedua
: Kebutuhan rasa aman, meliputi kebutuhan untuk menghindar dari kemunduran atau kejatuhan, suara bising, gangguan cahaya yang menyilaukan, penyakit, kecelakaan, dan hal lain yang akan menyebabkan rasa cemas dan takut. Dalam arti umum kebutuhan rasa aman itu bersangkutan dengan perlunya lingkungan yang menjadi keselamatan diri, terorganisasi, teratur dan memberi harapan adanya kehidupan dimasa depan yang lebih baik.
Ketiga
: Kebutuhan akan rasa memiliki dan rasa kasih sayang. Termasuk kedalamnya adalah kebutuhan untuk berteman dan bersahabat, memiliki keluarga yang baik, memiliki hubungan dengan orang lain secara mendalam, mempunyai tempat pada kelompok yang dipilihnya, dan untuk dicintai atau mencintai orang lain.
Keempat
: Kebutuhan akan penghargaan diri. Kebutuhan ini menyangkut pengakuan dan penghargaan yang tinggi oleh orang lain terhadap dirinya. Hal ini bisa terpenuhi apabila pada orang yang diakui atau dihargai itu terdapat sesuatu kelebihan, kepercayaan diri dan keterbukaan. Sedangkan pada pihak lain bahwa orang- orang yang menghargai itu menyatakan pengakuannya terhadap kedudukan, kehormatan, keberhasilan, pentingnya, serta kemampuan orang yang dihargainya.
52 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
Kelima
: Kebutuhan akan pengembangan diri. Kebutuhan ini berhubungan dengan perilaku yang tepat, usaha mengembangkan potensi diri sehingga orang itu bertingkah laku sebagaimana sepatutnya ia berbuat demikian sesuai dengan keinginan atau cita- citanya. Sebagai contoh: kebutuhan untuk menjadi orang yang berprestasi dalam profesinya, seseorang atlit yang ingin jadi juara, seorang penyanyi yang ingin tenar atau ngetop, seorang gadis ingin menjadi ibu yang ideal, seseorang ingin menjadi pegawai teladan, ingin memanfaatkan diri bagi kepentingan masyarakat dan lain sebagainya.
3.
Aplikasi Teori Maslow dalam Pembelajaran Aplikasi Teori Maslow dalam pembelajaran menuntut guru untuk
memerhatikan pemenuhan hierarki kebutuhan- kebutuhan tersebut, terutama pada individu siswa. Hal ini disebabkan kebutuhan manusia tersebut memiliki implikasi yang penting dan seharusnya diperhatikan juga oleh guru saat proses pembelajaran. Misalnya, mengapa siswa tidak mengerjakan tugas rumah, mengapa siswa tidak tenang sama sekali tidak berminat dalam belajar. Menurut Maslow minat ataupun motivasi untuk belajar tidak dapat berkembang jika kebutuhan- kebutuhan pokok belajar tidak dapat berkembang jika kebutuhankebutuhan pokok mendasar dari siswa tidak terpenuhi. Siswa yang datang ke sekolah tanpa makan pagi yang cukup atau kurang tidur atau juga membawa persoalan keluarga, rasa cemas atau takut, tidak berminat mengaktualisasikan diri serta permasalahan lainnya akan menyebabkan siswa tidak dapat belajar dengan baik di kelas.
D 1.
Carl Rogers
Biografi Carl Rogers Rogers lahir pada 8 Januari 1902 di Chicago, AS. Latar belakang
pendidikannya adalah keagamaan yang kemudian tertarik dan mendalami bidang
53 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
psikologi. Bidang psikologis klinin merupakan bidang yang didalaminya di Colombia University dan memperoleh gelar Ph. D pada 1931. Gelar profesor diterima dari Ohio State University tahun 1940. Sejak tahun 1942, mulai mengembangkan konsep counseling dan psikoterapi dengan menekankan pengembangan model client centered theraphy atau terapi berpusat pada klien.
2.
Prinsip dalam Proses Pembelajaran Menurut Rogers dalam Sugihartono dkk. (2007: 120), terdapat dua tipe
belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiential (pengalaman atau signifikansi). Tipe belajar experiential learning lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhandan keinginan siswa dalam belajar. Kualitas pembelajaran ini akan terlihat dari tingkat keterlibatan siswa secara aktif, baik secara personal maupun kelompok, siswa yang berinisiatif, evaluasi, yang dilakukan oleh siswa itu sendiri, dan adanya efek yang membekas pada diri siswa setelah proses pembelajaran
terakhir.
Misalnya,
menghubungkan
proses
pembelajaran
mempelajari mesin mobil dengan tujuan untuk menciptakan dan memperbaiki mobil. Menurut Rogers dalam Sri Rumini dkk. (2006: 108- 110), terdapat beberapa prinsip dalam proses pembelajaran menurut pandangan teori belajar humanistik yang patut menjadi perhatian guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, hal ini terutama terkait dengan bagaimana siswa dapat belajar dengan lebih baik dan proses pembelajarann dapat berproses dengan baik. Prinsipprinsip tersebut adalah hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, serta belajar dan perubahan. 1.
Hasrat untuk belajar Menurut pandangan Rogers dalam Sri Rumini dkk. (2006: 108), pada dasarnya setiap individu siswa atau manusia memiliki hasrat alami untuk belajar. Konsep dorongan ingin tahu tersebut merupakan asumsi dasar pendidikan dan pembelajaran dari sudut pandang humanistik. Dengan demikian, praktek kelas yang memperhatikan teori humanistik dapat diwujudkan dalam bentuk siswa diberi kesempatan dan kebebasan memuaskan dorongan ingin tahunya selama proses belajar, memenuhi
54 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
minatnya untuk mempelajari dan mengetahui sesutau, dan membantu siswa menemukan apa yang berarti, serta penting bagi dirinya sekarang dan yang akan datang. 2.
Belajar yang berarti Prinsip belajar yang berarti menjelaskan bahwa siswa hanya akan belajar dengan cepat dan berhasil apabila materi yang dipelajari mempunyai arti baginya. Hal ini akan sangat mungkin terjadi apabila materi pelajaran yang dipelajari relevan atau sesuai dengan kebutuhan dan maksud siswa. Misalnya, siswa akan cepat belajar menghitung uang, karena dengan uang tersebut ia akan membeli sendiri sesuatu atau mainan bahkan makanan yang diinginkannya.
3.
Belajar tanpa ancaman Prinsip belajar tanpa ancaman menurut Rogers dalam Sri Rumini dkk. (2006: 108), adalah proses belajar akan menjadi lebih mudah dilakukan oleh siswa dengan hasil memuaskan yang dapat disimpan dengan baik apabila dalam pelaksanaan proses belajar dan pembelajaran berlangsung dalam lingkungan yang terbebas dari ancaman- ancaman yang mengganggu yang akan membahayakan siswa. Oleh sebab itu, proses belajar akan berjalan dan lancar dan mencapai tujuan dengan baik manakala siswa memiliki kesempatan untuk menguji kemampuannya selama proses belajar mencoba pengalamanpengalaman baru dalam belajar, atau membuat kesalahan selama belajar tanpa mendapat ancaman, kecaman, apalagi hukuman yang biasanya menyinggung perasaan siswa.
4.
Belajar atas inisiatif Prinsip Belajar atas inisiatif sendiri tersebut menjelaskan bahwa belajar akan menjadi lebih berarti dan bermakna bagi siswa apabila proses tersebut dilakukan atas inisiatif siswa sendiri dan melibatkan perasaan serta pikiran siswa. Dengan demikian, jika proses belajar yang dilakukan bersifat pribadi dan afektif yang akan menghasilkan rasa memiliki pada siswa atas apa yang sedang dipelajari akan menjadi mau dan mampu terlibat dalam proses belajar dengan lebih aktif, lebih bersemangat dalam mengerjakan tugas- tugas dan
55 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
bergairah untuk belajar terus. Oleh sebab itu, pemberian motivasi dan dorongan pada siswa agar mau belajar secara mandiri menjadi penting. 5.
Belajar dan perubahan Prinsip belajar dan perubahan menurut Rogers dalam Sri Rumini dkk. (2006: 109), mejelaskan bahwa belajar yang paling bermanfaat bagi siswa adalah belajar tentnag proses belajar itu sendiri. Misalnya, pengetahuan zaman dahulu berkembang lamban dan relatif statis, tetapi sekarang perubahan pengetahuan berlangsung dengan cepat merupakan fakta hidupnya. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan terus maju dan berkembang dengan pesat. Oleh sebab itu yang dibutuhkan pada siswa dewasa ini adalah individu- individu yang mampu belajar di lingkungan yang sedang dan akan terus berubah, artinya belajar untuk mempersiapkan siswa hidup dan menghadapi masa depan.
3.
Aplikasi Teori Rogers dalam Pembelajaran Rogers dalam Sugihartono dkk. (2007: 120), menekankan pentingnya
guru untuk memperhatika prinsip- prinsip dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. 1.
Memahami bahwa menjadi manusia berarti memiliki kekuatan untuk belajar. Meskipun demikian siswa tidak harus belajar tentang hal- hal yang tidak ada artinya.
2.
Memahami bahwa siswa hanya akan mempelajari hal- hal yang bermakna bgi dirinya,
3.
Memahami bahwa belajar yang bermakna bagi masyarakat modern berarti belajar tentang proses,
4.
Memahami
bahwa
pengorganisasian
bahan
pengajaran
berarti
mengorganisasikan barang dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
56 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
4 TEORI- TEORI BELAJAR KOGNITIF
A
Teori Belajar Kognitif Teori belajar kognitif memandang belajar sebagai sebuah proses belajar
A
yang mementingkan proses belajar itu sendiri dari pada hasil belajarnya. Aliran kognitif pada awalnya muncul sebagai bentuk respons ketidaksepakatan terhadap konsep- konsep belajar behavioristik yang menganggap belajar hanya masalah hubungan stimulus dengann respons (S- R). Menurut Asri Budiningsih (2005:34), belajar dalam pandangan penganut aliran kognitif tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons saja. Akan tetapi, merupakan aktivitas yang melibatkan proses berfikir secara kompleks, artinya terdapat aktivitas yang melibatkan proses berfikir secara kompleks, artinya terdapat aktivitas selama proses belajar yang terjadi di dalam otak individu. Menurut Teori Soekamto dan Udin Saripudin (1997: 21), teori kognitif lebih menekankan pada gagasan bahwa masing- masing bagian dari sebuah informasi dan situasi selama proses pembelajaran akan saling berhubungan dengan keseluruhan konteks pengetahuan tersebut sehingga akan lebih bermakna. Oleh sebab itu, pemahaman kunci terhadap teori pembelajaran kognitif menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 75) adalah a.
Sistem ingatan atau memori di dalam otak selama individu belajar merupakan suatu prosesor informasi yang aktif dan terorganisasi dan
b.
Pengetahuan awal pada individu memiliki peranan penting dalam proses pembelajara.
57 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
B Jean Piaget 1. Biografi Jean Piaget A
Jean Piaget lahir pada 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Ayahnya
adalah ahli sejarah yang mengkhususkan diri di bidang sejarah literatur abad pertengaha. Piaget pada awalnya tertarik pada biologi, dan ketika dia berusia 11 tahun, dia memublikasikan artikel satu halaman tentang burung pipit albino yang dilihatnya di taman. Antara usia lima belas tahun, dia memublikasikan sejumlah artikel tentang kerang. Piaget mencatat bahwa karena publikasinya banyak, dia ditawari posisi kurator koleksi kerang di Museum Geneva saat masih duduk di sekolah menengah. Piaget mendapat Ph. D. di bidang biologi saat masih berumur 21 tahun, dan sampai usia 30 tahun dia telah memublikasikan lebih dari 20 paper, terutama tentang kerang- kerangandan beberapa topik lainnya. Piaget memublikasikan sekitar 30 buku dan lebih dari 200 artikel dan terus melakukan riset produktif di University of Geneva sampai di meninggal pada 1980. Teori perkembangan intelektual anak adalah teori yang ekstensif dan rumit.
2. Konsep Teoritis Utama a. Intelegensia. Menurut Piaget, tindakan yang cerdasa adalah tindakan yang menimbulkan kondisi yang mendekati optimal untuk kelangsungan hidup organisme. Dengan kata lain, inteleensia memungkinkan organisme untuk menangani masalah secara efektif lingkungannya. Jadi menurut Piaget, intelegensia adalah ciri bawaan yang dinamis sebab tindakan yang cerdas akan berubah saat organisme itu makin matang secara biologis dan mendapat pengalaman. Teori Piaget sering disebut sebagai genetic epictemology karena teori ini berusaha melacak perkembangan kemampuan intelektual. b. Skemata. Seorang anak dilahirkan dengan sedikit refleks yang terorganisir, seperti
menyedot,
melihat,
menggapai,
dan
memegang.
Alih-
alih
mendiskusikan kejadian individual dari refleks ini, Piaget lebih memilih berbicara tentang potensi umum untuk melakukan hal- hal seperti mengisap, menatap, menggapai, atau memegang. Potensi untuk bertindak dengan cara
58 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
tertentu itu diesbut schema (skema; jamak: sshemata). Misalnya, skema memegang adalah kemampuan umum untuk memegang sesuatu. Skema lebih dari sekadar manifestasi refleks memegang saja. Skema memegang dapat dianggap sebagai struktur kognitif yang membuat semua tindakan memegang bisa dimungkinkan. c. Asimilasi dan akomodasi. Proses merespons lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seorang dinamakan assimilation (asimilasi), yakni jenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Namun, proses penting kedua menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual: accomodation (akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif. d. Ekuilibrasi. Menurut Piaget, kekuatan pendorong di balik pertumbuhan intelektual adalah ekuilibrasi. Piaget berasumsi semua organisme punya tendensi bawaan untuk menciptakan hubungan harmonis antara dirinya dengan lingkungannya. Dengan kata lain, semua aspek dari organisme diarahkan menuju adaptasi yang optimal. Ekuilibrasi (penyeimbang) adalah tendensi bawaan untuk mengorganisasikan pengalaman agar mendapat adaptasi yang maksimal. Ekuilibrasi secara sederhana didefinisikan sebagai doronan terusmenerus ke arah keseimbangan atau ekuilibrum) e. Interiorisasi. Setelah struktur kognitif makin luas, anak- anak mampu merespons situasi yang lebih kompleks. Mereka juga tidak lagi terlalu bergantung pada situasi sekarang. Penurunan ketergantungan pada lingkungan fisik dan meningkatnya penggunaan struktur kognitif ini dinamakan interiorization (inteorisasi).
Menurut Piaget, anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensimotor, yang memberi kerangka bagi interaksi awal mereka dengan lingkungannya. Pengalaman awal si anak akan ditentukan oleh skemata sensimotor ini. Dengan kata lain, hanya kejadian yang dapat diasimilasikan ke skemata itulah yang dapat direspons oleh si anak, dan karenanya kejadian itu akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi mulai pengalaman, skemata awal ini dimodifikasi. Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus diakomodasi oleh struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur kognitif akan
59 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
berubah, dan memungkinkan perkembangan pengalaman terus- menerus. Tetapi ini adalah proses yang lambat, karena skemata baru itu selalu berkembang dari skemata yang sudah ada sebelumnya. Dengan cara ini, pertumbuhan intelektual yang dimulai dengan respons reflektif anak terhadap lingkungan akan terus berkembang sampai ke titik di mana anak mampu memikirkan kejadian potensial dan mampu secra mental mengeksplorasi kemungkinan akibatnya. Interiorisasi menghasilkan perkembangan operasi yang membebaskan anak dari kebutuhan untuk berhadapan langsung dengan lingkungannya karena dalam hal ini anak sudah mampu melakukan manipulasi simbolis. Perkembangan operasi (tindakan yang diinteriorisasi) memberi anak cara yang kompleks untuk menangani lingkungan, dan mereka karenanya mampu melakukan tindakan intelektual yang lebih kompleks. Karena struktur kognitif mereka lebih terartikulasi, demikian pula lingkungan fisik mereka; jadi dapat dikatakan bahwa struktur kognitif mereka. Istilah intelligent dipakai oleh Piaget untuk mendeskripsikan semua aktivitas adaptif. Jadi, perilaku anak yang memegang mainan adalah sama cerdasnya dengan perilaku anak yang lebih tua dalam memecahkan memecah problem. Menurut Piaget, tindakan yang cerdas selalu cenderung menciptakan keseimbangan antara organisme dengan lingkungannya dalam situasi saat itu. Dorongan ke arah keseimbangan ini dinamakan ekuilibrasi.
3. Tahap-Tahap Perkembangan Meskipun perkembangan intelektual berkelanjutan selama masa kanakkanak, Piaget memilih untuk menyusun tahap perkembangan intelektual. Dia mendeskripsikan empat tahap utama: 1. Sensorimotor, dimana anak berhadapan langsung dengan lingkungan dengan menggunakan refleks bawaan mereka; 2. Pra- operasional, dimana anak mulai menyusun konsep sederhana, 3. Operasi
konkret,
dimana
anak
menggunakan
tindakan
yang
telah
diinteriorisasikan atau pemikiran untuk memecahkan masalah dalam pengalaman mereka; dan 4. Operasi formal, dimana anak dapat memikirkan situasi hipotesis secara penuh.
60 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
4. Pendapat Piaget Tentang Pendidikan Menurut Piaget, pendidikan yang optimal membutuhkan pengalaman yang menantang bagi si pembelajar sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat mengahasilkan pertumbuhan intelektual. Untuk menciptakan jenis pengalaman ini, guru harus tahu level fungsi struktur kognitif siswa. Maka kita melihat, baik itu Piaget maupun kaum behavioris, telah mendapatkan kesimpulan yang sama mengenai pendidikan, yakni pendidikan harus diindividualisasikan. Piaget mendapatkan kesimpulan ini dengan menyadari bahwa kemampuan untuk mengasimilasi akan bervariasi dari satu anak ke anak yang lain dan bahwa materi pendidikan harus disesuaikan dengan struktur kognitif anak. Ginsburg dan Opper (1979) meringkaskan cara Piaget memandang perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh warisan bawaan: 1. Struktur fisik bawaan (yakni sistem saraf) membatasi fungsi intelektual 2. Reaksi behavioral bawaan (yakni refleks) memengaruhi tahap awal kehidupan manusia namun setelah itu dimodifikasi besar- besaran setelah bayi berinteraksi dengan lingkungannya 3. Pendewasaan struktur fisik mungkin memiliki korelasi psikologis (yakni otak menjadi matang sampai titik di mana perkembangan bahasa dimungkinkan). Dan seperti telah dilihat, ekuilibrasi, atau tendensi mencari harmoni antara diri dengan lingkungan, juga merupakan bawaan.
C Teori Belajar Gestalt 1. Biografi Gestalt A Max Wertheiner merupakan peletak dasar teori Gestalt (1880- 1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving, diikuti Koffka (18861941) yang menjelaskan prinsip- prinsip pengamatan, dan juga Wolfang Kohler (1887- 1959) yang meneliti insight pada simpanse. Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang berari konfigurasi atau organisasi atau eseluruhan yang punya arti.
61 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
2.
Konsep Belajar Gestalt Teori belajar menurut psikologi Gestalt sering kali disebut insight full
learning atau field theory. Adapula istilah lain yang identik dengan teori ini, yaitu organismic, pattern, holistic, integration, configuration, dan closure. Dalam proses eksperimen Wolfgang Kohler, pendiri aliran psikologi Gestalt menepatkan seekor simpanse yang bernama Sultan ke dalam sangar yang di dalamnya berisi dua potong bambu yang satu berukuran kecil satunya lagi lebih besar garis tengahnya. Di luar sangkat tersebut diletakkan sebuah pisang yang jaraknya tidak terjangkau baik oleh tangan Sultan maupun oleh salah satu bambu itu. Selanjutnya Sultan yang telah mengerti cara meraih pisang ke dalam sangkar dengan sepotong bambu, tidak berhasil mendapatkan pisang tersebut dengan salah satu bambu yang tersedia. Kemudian diletakkannya sepotong bambu di tanah dan didorongnya dengan sepotong bambu lain, sehingga menyentuh pisang itu. Hal ini tidaklah memecahkan problemnya tetapi sekedar memberikan kepuasan karena ia dapat mengadakan kontak dengan pisang itu. Kemudian kedua bambu itu ditariknya kembali lantas dipermaikannya sampai akhirnya, secara kebetulan Sultan meletakkan ujung bambu yang satu ke ujung bambu yang lain. Segera setelah itu bambu yang satu dimasukkannya ke bambu yang lain, sehingga berujud sebuah tongkat yang cukup panjang, lalu larilah Sultan ke tepi sangkar dan menarik pisang tersebut. Tingkah laku Sultan berbeda sekali dengan tingkah laku kucing percobaan Thorndike seperti telah diuraikan dimuka. Sultan menyadari pertautan-pertautan yang relevan, yang terkandung di dalam pemecahan tugasnya dengan pasti dan segera. Tampaknya, ia mengombinasikan ingatannya mengenai “menarik pisang ke dalam sangkar” dan persepsi tentang sambugan bambu. Untuk bisa melakukan ini, ia harus mereconditioning dirinya; dia harus melepaskan tentang “mengeluarkan sepotong bambu keluar sangkar” dan menghubungkannya dengan gambaran sintensis tentang “mengulurkan bambu yang disambungkan”. Dalam kasus Sultan diatas berlaku apa yang disebut dengan hukum “closure” dan hukum “proksimitas” yaitu adanya kecenderungan yang kuat untuk
62 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
memersepsi pola-pola yang tidak lengkap sebagai keseluruhan seperti dalam persepsi, dan bahwa item-item yang saling berdekatan cenderung untuk dikelompokkan.
Dalam
memecahkan
problem
semacam
itu,
binatang
mendemonstrasikan apa yang oleh psikologi disebut pengertian Gestalt tentang problem. Bedanya dengan manusia adalah tingkah simbolisasi pada binatang itu rendah (Mahmud, 1990). Jiwa manusia menurut aliran ini, adalah suatu keseluruhan yang berstruktur atau merupakan suatu sitem, bukan hanya terdiri atas sejumlah bagian atau unsur yang satu sama lain terpisah, yang tidak mempunyai hubungan fungsional. Manusia adalah individu yang merupakan berbentuk jasmani rohani. Sebagai individu, manusia itu bereaksi, atau lebih tepatnya berinteraksi, dengan dunia luar, dengan kepribadiannya, dan dengan cara yang unik pula. Sebagai pribadi, manusia tidak secara langsung bereaksi terhadap suatu perangsang dan tidak pula reaksinya itu dilakukan secara trial and error seperti dikatakan oleh penganut teori conditioning. Interaksi manusia terhadap dunia luar bergantung pada cara ia menerima stimulasi dan bagaimana serta apa motif-motif yang ada padanya. Manusia adalah makhluk yang memilki kebebasan. Ia bebas memilih cara bagaimana ia berinteraksi; stimulus mana yang diterima dan mana yang ditolak. Atas dasar itu, maka belajar, dalam pandangan psikologi Gestalt bukan sekedar proses asosiasi antara stimulus-respon yang kian lama kian kuat disebabkan karena adanya latihan atau ulangan-ulangan. Menurut aliran ini belajar itu terjadi apabila terdapat pengertian. Pengertian ini muncul jika seseorang setelah beberapa saat mencoba memahami suatu problem, tiba-tiba muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain, kemudian dipahami sangkut pautnya, untuk kemudian dimengerti maknanya.
3.
Prinsip dalam Pembelajaran Teori Gestalt Prinsip-prinsip
belajar
ini
lebih
merupakan
trangkuman
atau
kesimpulan dari teori Gestalt:
63 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
(1) Belajar dimulai dari suatu keseluruhan, kemudian baru menuju bagianbagian. Dari hal-hal yang sangat kompleks ke hal-hal yang lebih sederhana. (2) Keseluruhan memberi makna pada bagian-bagian. Bagian-bagian terjadi dalam suatu keseluruhan. Bagian-bagian itu hanya bermakna dalam rangka keseluruhan tersebut. (3) Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. Seseorang belajar jika ia dapat bertindak dan berbuat sesuai dengan yang dipelajarinya. (4) Belajar akan berhasil bila tercapai kematangan untuk memperoleh pengertian. Pengertian adalah kemampuan hubungan antara berbagai faktor dalam situasi yang problematis. (5) Belajar akan berhasil jika tujuan yang berarti bagi individu. (6) Dalam proses belajar itu individu selalu merupakan organisme yang aktif, bukan bejana yang harus diisi oleh orang lain.
64 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
5 TEORI BELAJAR PENGELOLAAN INFORMASI
A 1.
Robert Mills Gagne
Biografi Robert Mills Gagne Robert Mills Gagne lahir 21 Agustus 1916, di North Andover,
Massachusetts dan wafat pada tanggal 28 April 2002. Dia meraih gelar A.B. dari Yale pada tahun 1937 dan Ph.D. dariBrown University tahun 1940. Dia adalah seorang profesor psikologi dan psikologi pendidikan di Connecticut College untuk Wanita (1940-1949), Pennsylvania State University(1945-1946), Princeton (19581962), dan University of California di Berkeley (1966-1969)dan seorang profesor di Departemen Penelitian Pendidikan di Florida State University diTallahassee mulai
tahun
1969.
Gagne
juga
menjabat
sebagai
direktur
penelitian
untuk Angkatan Udara (1949-1958) di Lackland, Texas, dan Lowry, Colorado. Dia bekerja sebagaikonsultan untuk Departemen Pertahanan (1958-1961) dan Dinas Pendidikan Amerika Serikat (1964-1966). Selain itu, ia menjabat sebagai direktur penelitian di American Institute of Research.Robert Mills Gagne adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang telahmengembangkan suatu pendekatan perilaku mengenai psikologi belajar. Gagasan-gagasanGagne tentang belajar sangatlah banyak, dalam makalah ini akan dibatasi pada hasil-hasil belajar yang dikemukakan
oleh
Gagne,
kejadian-kejadian
belajar,
kejadian-kejadian
instruksi,dan implementasi teori Gagne dalam pembelajaran.
65 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
2.
Ragam Transfer Belajar Selanjutnya, menurut Gagne seorang education psychologi (pkar
psikologi pendidikan) yang mansyur, transfer dalam belajar dapat digolongkan ke dalam empat kategori, yaitu: 1) transfer positi, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selajutnya; 2) tranfer negatif, yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar selanjutya; 3) transfer vertikal, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan keterampilan yang lebih tinggi; 4) transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang sederajat. Penjelasan lebih lanjut mengenai aneka ragam transfer baik dari Thorndike maupun dari Robert M. Gagne tersebut adalah sebagaimana terutama di bawah ini. a.
Transfer Positif Transfer positif dapat terjadi dalam diri seorang siswa apalagi guru membantu untuk belajar dalam situasi tertentu yang mempermudah siswa tersebut belajar dalam situasi-situasi lainnya. Dalam hal ini, transfer positif menurut Barlow (1985) adalah learning in one situation helpful in other situations, yakni belajar dalam suatu situasi yang dapat membantu belajar dalam situasisituasi lain.
b.
Transfer Negatif Transfer negatif dapat dialami seorang siswa apalagi ia belajar dalam situasi tertentu yang memilki pengaruh merusak terhadap keterampilan/pengetahuan yang dipelajari dalam situasi-situasi lainnya. Pengertian ini diambil dari Education Psychology: The Teaching Learning Process oleh Daniel Lenox Barlow yang menyatakan bahwa tranfer negatif itu berarti, learning in one situation has a damging effect in other situations. Dengan demikian, pengaruh keterampilan atau pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa sediri tak ada hubungannya dengan kesulitan yang dihadapi siswa tersebut ketika mempelajari pengetahuan atau keterampilan lainnya. Menghadapi kemungkinan transfer negatif, yang penting bagi guru ialah menyadari dan sekaligus menghindarkan para siswanya dari situasi-
66 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
situasi belajar tertentu yang diduga keras berpengaruh negatif terhadap kegiatan belajar para siswa tersebut pada masa yang akan datang. c.
Tranfer Vertikal Tranfer Vertikal (tegak lurus) dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila pelajaran yang telah sipelajari dalam situasi tertentu membantu siswa tersebut dalam menguasai pengetahuan/keterampilan yang paling tinggi atau rumit. Misalnya, seorang siswa SD yang telah menguasai prinsip penjumlahan dan pengurangan pada waktu menduduki kelas II akan mudah mempelajari perkalian pada waktu dia menduduki kelas III. Sehubungan dengan hal ini, penguasaan materi pelajaran kelas II merupakan prasyarat untuk mempelajari materi kelas III. Agar memperoleh tranfer vertikal, guru sangat dianjurkan untuk menjelaskan kepada para siswa secara eksplisit mengenai faidah materi yang sedang dianjarkannya bagi kegiatan belajar materi lainnya lebih kompleks. Upaya ini penting sebab kalau siswa tidak memiliki alasan yang benar mengapa ia harus mempelajari materi yang sedang diajarkan gurunya itu (antara laun untuk transfer vertikal), mungkin ia tak akan mampu memanfaatkan materi tadi untuk mempelajari materi lainnya yang lebih rumit. Padahal, learning in one situation allow mastery of more complex skill in other situations yang berarti bahwa belajar dalam suatu situasi memungkinkan siswa menguasai keterampilan-keterampilan yang lebih rumit dalam situasi yang lain.
d.
Transfer lateral Transfer lateral (ke arah samping) dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila ia mampu mengunakan materi ang telah sipelajari untuk mempelajari materi yang sama kerumitannya dalam situasi-situasi yang lain. Dalam hal ini, perubahan waktu dan tempat tidak mengurangi mutu hasil belajar siswa tersebut. Contoh: seorang lulusan STM yang telah menguasai teknologi “X” dari sekolah dapat menjalankan mesin tersebut di tempat kerjanya. Di samping itu, ia juga mampu mengikuti pelatihan menggunakan teknologi mesin-mesin lainnya yang mengandung elemen dan kerumitan yang kurang lebih sama dengan mesin “X” tadi. Alhasil, transfer lateral itu dapat dikatakan sebagai
67 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
gejala wajar yang memang sangat diharapkan baik oleh pihak pengajar maupun pihak pelajar. Namun, idealnya hasil belajar siswa tidak hanya dapat digunakan dalam konteks yang sama rumitnya dengan belajar, tetapi juga dapat digunakan dalam konteks kehidupan yang lebih kompleks dan penuh persaingan. 3.
Terjadinya Transfer Positif Diatas telah menyusun uraian mengenai arti transfer positif dan
signifikannya bagi kegiatan belajar siswa. Namun, bagaimanakah sebenarnya transfer positif itu terjadi dalam diri siswa? Benar siswa akan mudah mempelajari materi Y karena mengandung unsur yang identik dengan materi “X” yang telah dikuasainya? Transfer positif, seperti yang telah diutarakan di muka, akan mudah terjadi pada diri seorang siswa apabila situasi belajarnya dibuat sama atau mirip dengan situasi sehari-hari yang akan ditempatkti siswa yang telah ia pelajari di sekolah. Transfer positif dalam pengertian seperti inilah sebenarnya yang perlu diperhatikan guru, mengingat tujuan pendidikan secara umum adalah terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas inilah yang didapat dari lingkungan pendidikan untuk digunakannya sehari-hari. Oleh sebab itu, setiap lembaga kependidikan terutama jenjang pendidikan menengah, perlu menyediakan kemudahan-kemudahan belajar, seperti alat-alat dan ruang kerja yang akan ditempati siswa kelak setelah lulus. Apabila cara ini sulit ditempuh, alternatif lain dapat diambil umpamanya on the job training, yaitu mengadakan praktek lapangan di tempat-tempat kerja seperti kantor, sekolah, pabrik, kebun, dan sebaiknya sesuai dengan kebutuhan jurusan dan keahlian yang dimilikinya. Sementara itu, teori yang dikembangkan oleh Thorndike seperti yang telah penyusun singgung di muka, transfer positif hanya akan terjadi apabila dua materi pelajaran memiliki kesamaan unsur. Teori kesamaan unsur ini telah memberi pengaruh besar terhadap pola pengembangan kurikulum di Amerika Sekitar beberapa puluh tahun yang lalu. Hal-hal lain seperti kesamaan situasi dan benda-benda yang digunakan untuk belajar sebagaimana tersebut dalam teori Gagne, tidak dianggap
68 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
berpengaruh. Untuk memperkuat asumsinya, Throndike memberi contoh, jika Anda telah memecahkan masalah geometri (ilmu ukur) yang mengandung sejumlah huruf tertebtu sebagai petunjuk. Anda taka akan dapat mentransfer kemampuan memecahkan masalah geometri itu untuk memecahkan masalah geometri lainnya yang menggunakan huruf yang berbeda. Dalam perspektif psikologi kognitif masa kini, mekanisme transfer positif ala Thorndike yang telah terlanjur diyakini banyak pakar itu ternyata hanya isapan jempol belaka. Singley & Anderson dan Anderson misalnya, sangat meragukan teori yang menganggap transfer sebagai peristiwa spontan dan mekanis (asal ada kesamaan elemen) seperti yang diyakini orang selama ini. Keraguan itu timbul karena ahli kognitif telah banyak menemukan peristiwa tranfer positif yang sangat mencolok antara kedua keterampilan yang memiliki unsur yang sangat berbeda namun memiliki struktur logika yang sama. Berdasarkan hasil-hasil riset kognitif antara lain seperti di atas, Anderson yakin bahwa transfer positif hanya akan terjadi pada diri siswa apabila dua wilayah pengetahuan atau keterampilan yang dipelajari siswa tersebut menggunakan dua fakta dan pola yang sama, dan membuahkan hasil yang sama pula. Dengan kata lain, dua domain pengetahuan tersebut merupakan sebuah pengetahuan yang sama. Jadi, orang yang menduga bahwa seorang siswa yang telah pandai membaca Al-Qur’an akan secara otomatis mudah belajar bahasa Arab karena ada kesamaan elemen (sama-sama bertulisan Arab) perlu dipertanyakan. Namun, seorang siswa yang pandai dalam seni baca Al-Qur’an sangat mungkin dia mudah belajar tarik suara (menyanyi), karena dalam dua wilayah keterampilan itu terdapat kesamaan struktur logika, yakni logika seni. Demikian pula halnya dengan siswa yang sudah menguasai bahasa dan sastra Indonesia, ia mungkin akan mudah menjadi menjadi seorang pengarang. Sesungguhnya tranfer itu merupakan peristiwa kognitif (ranah cipta / akal) yang terjadi karena belajar. Jadi, belajar dalam hal ini seyogyanya dipandang sebagai keadaan sebelum transfer atau prasyarat adanya transfer. Dengan demikian anggapan bahwa transfer itu spontan dan mekanis sebenarnya
69 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
berlawanan dengan hakikat belajar itu sendiri, yakni perbuatan siswa yang sedik atau banyak selalu melibatkan ranah kognitif. Bagaimana pula dengan transfer negatif yang sering dikhawatirkan orang itu? Transfer negatif menurut Anderson dan Lawson tak perlu dirisaukan lantaran sangat jarang terjadi. Kesulitan belajar siswa yang selama ini diduga terjadi karena adanya transfer negatif, sebenarnya masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Sebab, sementara gangguan konflik antara ingatan fakta dalam memori hampir tak pernah terjadi atau mengganggu perolehan keterampilan baru. Alhasil, kesulitan belajat yang dialami siswa mungkin disebabkan oleh faktorfaktor antara lain seperti yang akan penyusun bahas segera setelah pembahasan ini usai. Sebagai catatan akhir pembahan ini, perlu diutarakan beberapa contoh peristiwa belajar yang secara lahiriah tampak seperti transfer tetapi sesungguhnya bukan. Contoh-contoh ini penting untuk diketahui agar siswa dan guru tidak terkecoh oleh timbulnya sesuatu yang baru dan baik sebagai sesuatu yang sedang diharapkan, yakni transfer positif. Pertama, sekolah siswa yang telah berkemampuan menulis dengan menggunakan tangan kanan, lalu suatu saat dia juga mampu menulis emngunkan tangan kirinya. Kejadian ini sama halnya dengan kemampuan seorang sisswa memantul-mantulkan bola dengan tangan kanannya, kemudian ternyata seorang siswa itu mampu juga memantul-mantulkan bola dengan tangan kirinya walaupun tanpa latihan khusus. Peristiwa-peristiwa itu tampaknya seperti tranfer karena kemampuan tangan kanan seakan-akan memberi pengaruh pada munculnya kemampuan tangan kirinya, padahal mungkin transfer. Peristiwa-peristiwa tadi hanya merupakan bukti bahwa perilaku belajar itu bersifat organik, meskipun siswa tadi tidak tampak memikirkan bagaimana cara memantulkan bola dengan tangan kirinya. Kedua seorang siswa SD yang mengenal huruf “u” dalam kata “gula” suatus saat dapat pula mengenal huruf tersebut dalam kata “guru” atau “madu” dan sebaginya. Seorang siswa SLTP yang telah menguasai sebuah rumus dalam matematika, kemudian mampu menyelesaikan soal-soal matematika yang berhubungan dengan rumus yang telah dikuasainya itu. Kasus yang terjadi pada
70 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
anak SD tadi bukan transfer melainkan peristiwa penerapan hasil belajar perseptual belaka. Sementara itu, kasus siswa SLTP tadi merupakan kasus penerapan kemampuan yang telah ia peroleh sebelumnya. Jadi, keduanya bukan transfer.
71 | T e o r i P e m b e l a j a r a n
DAFTAR PUSTAKA
Sobur, Alex. 2011. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia. Santoso, Slamet. 2010. Teori- Teori Psikologi Sosial. Bandung: PT Revika Aditama. Hergenhahn dan Matthew, 2008. Theories Of Learning (Teori Belajar). Jakarta: Kencana. Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pebelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rumini, Sri dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin, 1997. Teori Belajar dan Model- Model Pembelajaran. Jakarta: PAU- PPAI. Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Presss Sugiyono dan Hariyanto, 2011. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Suprijanto, 2007. Pendidikan Orang Dewasa (Dari Teori Hingga Aplikasi). Jakarta: PT. Bumi Aksara. Soemanto, Wasty, 2006. Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Irham, Muh dan Novan Ardy Wiyani, 2013.Psikologi Pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran.Yogyakarta.Ar- ruzz Media. (http://www.oac.cdlib.org/data/13030/1x/ft8r29p11x/files/ft8r29p11x.pdf
15
April 2010).
72 | T e o r i P e m b e l a j a r a n