BAB II
HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Persaingan Usaha
Wiston Churchill pernah menyatakan bahwa pokok dari pidato seorang sosialis yang dihormati adalah dosa apabila seseorang memperoleh keuntungan, tetapi menurut beliau justru dosa yang sesungguhnya apabila seseoerang 33
mengalami kerugian. Seiring dengan pernyataan Churchill tersebut, pelaku usaha mendirikan dan menjalankan usahanya murni bertujuan untuk memperoleh keuntungan, dengan menggapai kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang 34
yang ada. Peluang-peluang usaha yang tercipta dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyrakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di sektor ekonomi. 35
Untuk itu setiap pengusaha sebaiknya mengetahui dalam
sistem
perekonomian mana ia sedang bergerak. 36 Campur tangan pemerintah atau kebijaksanaan pemerintah di bidang ekonomi harus menjadi bahan yang diperhatikan oleh setiap pemimpin perusahaan. Campur tangan seperti itu tentu berbeda
bagi
masing-masing
sistem
perekonomian,
mulai
dari
paham
33
“The substance of the eminent Socialist gentleman’s speech is that makin a profit is a sin, but it is my belief belief that the real real sin is taking taking a loss” loss” Wiston Churchill , , The New International International Webster’s Pocket Questations Dictionary, Trident Press International, United States 2005, hal. 44 34 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 9 35 R. Mujiyanto, Pengantar Hukum Dagang, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan dan Larangan Larangan Praktik Monopoli, Monopoli, Liberty bekerja sama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Jayanabra Yogyakarta, Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, h al. 49 36 M. Manullang, Pengantar Ekonomi Perusahaan , Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 47
Universitas Sumatera Utara
merkantilisme, kapitalisme, komunisme maupun sosialisme yang berbeda satu di 37
antaranya. Menurut Sombart, terdapat tiga macam sistem perekonomian yang pernah berlaku di Eropa secara berturut-turut yaitu: pertama, perekonomian tersendiri; kedua, kerajinana dan pertukangan 38; ketiga, kapitalisme. Pada sistem perekonomian pertama belum ada tukar menukar, ekonomi pada umumnya bersifat setempat dan mencukupi diri sendiri. Sedangkan pada sistem ekonomi kedua, tukar menukar atau barter sudah lazim sehingga perkonomian berpusar pada manorial estate. 39 Setelah itu beralihlah kepada paham Merkantilisme, di mana
negara
berusaha
mendapatkan
emas
sebanyak
mungkin
melalui
perdagangan luar negeri. negeri. 40
Paham Merkantilisme ini kemudian menuai pertentangan dari mereka yang mementingkan pertanian, yaitu paham Physiocratisme, yang dianjurkan oleh Quesnay. Ia berpendapat bahwa hanya pertanian yang produktif sedangkan perniagaan dan industri tidak, sebab mereka tidak menghasilkan barang, hanya mengubah atau mengedarkan hasil-hasil pertanian 41 Tidak lama kemudian, kedua ajaran tersebut ditinggalkan dan digantikan dengan sistem perekonomian
37
Ibid Kedua sisitem ini disebut juga masa sebelum Kapitalisme atau Pra Kapitalisme 39 Di dalam manorial estate, pelaku utama perekonomian adalah orang-orang yang bekerja di lapangan pertanian dengan pimpinan kaum bangsawan. Susunan masyarakat pada masa itu sedemikian rupa sehingga seorang bangsawan dapat mengatakan bahwa semua kekuasaan yang ada padanya untuk memimpin masyarakat dalam lingkungannya berdasarkan kehendak Tuhan; di mana kehidupan yang dialami seseorang menurut pendapat pada masa itu merupakan nasib, yang sudah ditakdirkan Tuhan, lihat M. Manullang, loc.cit . 40 Menurut paham ini, sumber sumber kekayaan adalah perdagangan. 41 Kaum Physiocrat Physiocrat berpendapat bahwa untuk mencapai kemakmuran, kemakmuran, manusia membutuhkan bahan-bahan atau barang-barang yang nyata dan ini hanya dapat dihasilkan oleh pertanian. 38
Universitas Sumatera Utara
42
Kapitalisme. Ajaran pokok dari gerakan besar, individualis-rasionalis di berbagai bidang seperti keagamaan, politik, ilmu pengetahuan dan ekonomi, itu adalah kebebasan perseorangan yang terkenal dengan semboyan “ Liberte, Egalite, Freternite” pada zaman revolusi Prancis.
Di bidang perekonomian, gerakan tersebut terjelma dengan adanya kebebasan perseorangan di setiap sektor ekonomi, bukan hanya sektor ekspor seperti pada sistem mekanitilisme. Campur tangan pemerintah pada bidang perekonomian tidak perlu sebab dengan demikian akan tercipta kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, di mana dikenal dengan suatu semboyan laissez faire, laisser aller, le monde va de lui meme .
43
Adapun sistem lain yang telah berkembang ialah sistem ekonomi Komunisme atau ekonomi Pemerintah yang bersifat totaliter dengan putusan putusan ekonomi dibuat oleh pusat, dimana dimana sistem ini sangat berbeda dengan sistem Kapitalis atau ekonomi pasar tersebut di atas. Negara menetapkan di mana seseorang harus bekerja, pekerjaan apa yang harus dipilih, apa yang harus dimakan, apa yang harus dihasilkan, berapa tinggi harga yang harus ditetapkan, bagaimana cara menanamkan menanamkan modal simpanan dan lainnya. 44 Karena akibatakibat yang dinilai merugikan dari sistem Komunisme dan Kapitalis tersebut, maka paham Sosialisme dalam perekonomian mendapat perhatian orang. Sosialis
42
Kapitalisme pada mulanya berkembang di Inggris pertengahan abad ke-18. Tepatnya pada masa Adam Smith mengeluarkan bukunya “The Wealth of Nation” pada tahun 1776. Yang kemudian paham ini dibawa dan dikembangkan di daerah Barat Laut Eropa dan Amerika Utara, lihat M. Manullang, loc.cit. 43 Ibid , hal 76 44 Ibid , hal 78
Universitas Sumatera Utara
dan Komunisme merupakan dua paham yang berbeda meskipun ada orany yang berpendapat bahwa itu merupakan dua hal yang semacam/sejenis. Perbedaannya dapat dilihat dari tujuan sistem ekonomi Sosialisme adalah ekonomi kesejahteraan sedangkan dalam sistem ekonomi Komunisme adalah ekonomi perintah. Dalam ekonomi Sosialisme, lebih banyak bersifat anjuran daripada bersifat perintah. 45 Di Indonesia sendiri, Pasal 33 UUD tahun 1945 yang merupakan dasar acuan normatif menyusun kebijakan perekonomian nasional yang menjelaskan bahwa tujuan pembangunan ekonomi ialah berdasarkan demokrasi yang bersifat kerakyatan dengan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pendekatan kesejahteraan dan mekanisme pasar.46
Persaingan atau competition dalam bahasa Inggris oleh Webster didefinisikan sebagai “… a struggle or contest between two or more persons for the same objects”.
Dengan memperhatikan terminology tersebut, dapat
disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan akan terdapat unsur-unsur sebagai berikut.
a. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya sa ling mengungguli. mengungguli.
b. Ada kehendak di antara mereka untuk mencapai tujuan yang sama.
Persaingan sering dikonotasikan negatif karena dianggap mementingkan kepentingan sendiri. Walaupun pada kenyataannya seorang manusia, apakah pada kapasitasnya sebagai individual maupun anggota suatu organisasi, secara ekonomi 45
Ibid , hal 80 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Persaingan di Indonesia Indonesia, selanjutnya disebut sebagai Ningrum Natasya Natasya II , Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hal 1 46
Universitas Sumatera Utara
tetap akan berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Alfred Marshal, seorang ekonom terkemuka sampai mengusulkan agar istilah persaingan digantikan dengan istilah “ economic freedom” (kebebasan ekonomi) dalam menggambarkan atau mendukung tujuan positif dari proses persaingan. Oleh karena sebab itu pengertian kompetisi atau persaingan usaha dalam pengertian yang positif dan independent sebagai jawaban terhadap upaya mencapai equilibrium.
47
Dalam konsepsi persaingan usaha, dengan asumsi bahwa faktor yang mempengaruhi harga adalah permintaan dan penawaran, dengan kondisi lain berada dalam cateris paribus, persaingan usaha akan dengan sendirinya menghasilkan barang atau jasa yang memiliki daya saing yang baik, melalui mekanisme produksi yang efesien dan efektif, dengan mempergunakan seminimum mungkin faktor-faktor produksi yang ada. Dalam sistem ekonomi pasar yang demikian, persaingan memiliki memiliki beberapa pengertian :
1. Persaingan menunjukkan banyaknya pelaku usaha yang menawarkan / memasok barang atau jasa tertentu ke pasar yang bersangkutan. Banyak sedikitnya pelaku usaha yang menawarkan barang atau jasa ini menunjukkan struktur pasar ( market structure) dari barang atau jasa tersebut.
47
Ibid , hal. 23
Universitas Sumatera Utara
2. Persaingan merupakan suatu proses dimana masing-masing perusahaan berupaya memperoleh pemberli / pelanggan bagi produk yang dijualnya, antra lain dapat dilakukan dengan :
48
a. Menekan harga ( price competition);
b. Persaingan bukan harga ( non-price competition), misalnya yang dilakukan melalui diferensiasi produk, pengembangan hak atas kekayaan intelektual, promosi, pelayanan purna jual, dan lain-lain;
c. Berusaha secara lebih efisien (low cost-production);
Secara garis besar, persaingan bisa membawa aspek positif apabila dilihat dari dua persfektif yaitu ekonomi dan non ekonomi.
49
a. Persfektif non ekonomi
Selama ini memang orang lebih banyak mengajukan argumentasi ekonomi (efesiensi) untuk menyetujui keberadaan persaingan. Namun, dilihat dari persfektif non ekonomi akan didapati pula bahwa kondisi persaingan ternyata juga membawa aspek positif. Dari sisi politik, Arie Siswanto mengutip pendapat Scherer yang mencatat bahwa setidaknya ada tiga argumen yang mendukung persaingan dalam dunia usaha. Pertama, dalam kondisi penjual maupun pembeli terstruktur secara atomistik (masing-masing berdiri sebagai unit-unit terkecil dan independen) yang ada dalam persaingan, kekuasaan ekonomi atau yang didukung 48
Gunawan Widjaja, Merger dalam Persfektif Monopoli, Jakarta , PT. Raja Grafindo Perkasa, 1999, hal 10. 49 Arie Siswanto, Op.cit, hal 14-17
Universitas Sumatera Utara
oleh faktor ekonomi ( economic or economic-supported power ) menjadi tersebar dan terdesentralisasi.
Dengan demikian pembagian sumber daya alam dan pemerataan pendapat akan terjadi secara mekanik, terlepas sama sekali dari campur tangan kekuasaan pemerintah maupun pihak swasta yang memegang kekuasaan. Kedua, berkaitan erat dengan hal diatas, sistem ekonomi pasar yang kompetitif akan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi secara impersonal, bukan melalui personal pengusaha maupun birokrat. Dalam keadaan seperti ini, kekecewaan politis masyarakat yang usahanya terganjal keputusan penguasa t idak akan terjadi. Dalam kalimat yang lebih sederhana dalam kondisi persaingan, jika seseorang warga masyarakat terpuruk dalam bidang usahanya, ia tidak akan terlalu merasa sakit karena ia jatuh bukan karena kekuasaan orang tertentu tetapi karena suatu proses yang mekanistik (permintaan-penawaran). Ketiga, kondisi persaingan juga berkaitan erat dengan kebebasan manusia untuk mendapatkan kesempatan yang sama di dalam berusaha. Dalam kondisi persaingan, pada dasarnya setiap orang mempunyai kesempatan yang sama di dalam berusaha. Dalam kondisi persaingan, pada dasarnya setiap orang akan mempunyai kesempatan yang sama untuk berusaha dan demikian hak setiap manusia untuk mengembangkan diri ( the right to self development ) menjadi terjamin.
b. Perspektif ekonomi
Dari sudut pandang ekonomi, argumentasi sentral untuk mendukung persaingan berkisar di seputar masalah efesiensi. Argumentasi efesiensi ini
Universitas Sumatera Utara
sebenarnya merupakan idealisasi teoritis dari mazhab ekonomi klasik tentang struktur yang terbaik. Mengikuti sumber daya ekonomi akan bisa dialokasikan dan didistribusikan secara paling baik, apabila para pelaku ekonomi dibebaskan untuk melakukan aktivitas mereka dalam kondisi bersaing dan bebas menentukan pilihan mereka.
Pada umumnya persepsi tentang persaingan juga selalu dikaitkan dengan kultur barat dengan sistem ekonomi kapitalisnya yang memiliki karakteristik sebagai berikut : 50
1. Diakuinya
sistem
kepemilikan
individual,
dimana
seseorang
diperbolehkan untuk membeli atau memiliki alat produksi dan berhak mendapat keuntungan dari dirinya. Hal ini berbeda dengan sistem sistem ekonomi komunis atau sosialis dimana pemerintahlah yang berhak memiliki modal dan menentukan apa yang diproduksi, menerima dan membagi penghasilan.
2. Kebebasan untuk konsumen untuk memilih dan menolak apa yang ditawarkan, pekerja bebas menentukan bekerja dimanapun dan investor bebas melakukan investasi dimanapun. Dengan kata lain maka setiap usaha bebas menentukan untuk masuk dan keluar dari pasar, bebas menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan masingmasing.
50
Edwin Mansfield, Principles of Microekonomics, WW Norton & Company, New York, 3 editon, 1980, hal 51-55 (dalam Ningrum Natsya Sirait I, Op.Cit., hal. 56) rd
Universitas Sumatera Utara
3. Persaingan dimana dalam konteks persaingan yang sempurna terdapat banyak produser yang memproduksi barang yang hampir sama sehingga mereka harus bersaing baik di tingkat produser maupun dalam tingkat pemilik modal sekalipun.
4. Ketergantungan terhadap pasar, dimana pasar yang dikenal dengan free market atau pasar bebas adalah fungsi utamanya.
Di samping itu, dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, persaingan juga membawa implikasi positif berikut:
51
1. Persaingan merupakan sarana melindungi para pelaku ekonomi terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan. Kondisi persaingan menyebabkan kekuatan ekonomi para pelaku ekonomi tidak terpusat pada tangan tertentu. Dalam kondisi tanpa persaingan, kekuatan ekonomi akan terealisasikan pada beberapa pihak saja. Kekuatan ini pada tahap berikutnya akan menyebabkan kesenjangan besar dalam posisi tawarmenawar (bargaining position), serta pada akhirnya membuka peluang bagi penyalahgunaan dan eksploitasi kelompok ekonomi tertentu. Sebagai contoh sederhana, persaingan antar penjual dalam industri tertentu akan membawa dampak protektif terhadap para konsumen/pembeli, karena mereka diperebutkan oleh para penjual serta dianggap sebagai sesuatu yang berharga.
51
Ibid
Universitas Sumatera Utara
2. Persaingan mendorong alokasi dan realokasi sumber-sumber daya ekonomi sesuai dengan keinginan konsumen. Karena ditentukan oleh permintaan (demand ), perilaku para penjual dalam kondisi persaingan akan cenderung mengikuti pergerakan permintaan para pembeli. Dengan demikian, suatu perusahaan akan meninggalkan bidang usaha yang tidak memiliki tingkat permintaan yang tinggi. Singkatnya, pembeli akan menentukan produk apa yang dan produk yang bagaimana yang mereka sukai dan penjual akan bisa mengefisienkan alokasi sumber daya dan proses produksi seraya berharap bahwa produk mereka akan mudah terserap oleh permintaan pembeli.
3. Persaingan bisa menjadi kekuatan untuk mendorong penggunaan sumber daya ekonomi dan metode pemamfaatannya secara efisien. Dalam perusahaan yang bersaing secara bebas, maka mereka akan cenderung menggunakan sumber daya secara efesien. Jika tidak demikian, resiko yang akan dihadapi oleh perusahaan adalah munculnya biaya berlebihan (excessive cost ) yang pada gilirannya akan menyingkirkan dia dari pasar.
4. Persaingan bisa merangsang peningkatan mutu produk, pelayanan, proses produksi dan tekhnologi. Dalam kondisi persaingan, setiap pesaing akan berusaha mengurangi biaya produksi serta memperbesar pangsa pasar (market share). Metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan itu diantarnya adalah dengan meningkatkan mutu pelayaan, produk, proses produksi, serta inovasi tekhnologi. Dari sisi konsumen, keadaan ini akan
Universitas Sumatera Utara
memberikan keuntungan dalam hal persaingan akan membuat produsen memperlakukan konsumen secara baik.
Selain aspek positif tersebut diatas, persaingan juga diasumsikan sebagai 52
solusi yang baik dalam perekonomian. Adam smith mengemukakan bahwa prinsip dasar utama untuk keunggulan ekonomi pasar adalah kemauan untuk mengejar keuntungan dan kebahagiaan terbesar bagi setiap individu yang dapat direalisasikan melaui proses persaingan. 53
B. Sejarah Hukum Persaingan Usaha di beberapa Negara
Setelah runtuhnya sistem-sistem ekonomi perencanaan di Eropa Timur lebih dari satu dasawarsa yang lalu, banyak negara dunia ketiga juga mulai memilih kebijakan ekonomi yang baru. Negara-negara berkembang semakin sering memanfaatkan instrumen-instrumen seperti harga dan persaingan, untuk meningkatkan dinamika pembangunan di negara masing-masing. Hal ini disebabkan oleh pengalaman menyedihkan dari kegagalan birokrasi, yang terlalu membebani pemerintah dan penjabat negara dalam sistem ekonomi terencana. Seperti negara-negara bekas blok timur, negara-negara berkembang juga harus membayar mahal akibat kebijakan ekonomi perencanaan ini. Hal ini terlihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat mereka. Inilah akibat penyangkalan terhadap “prinsip ekonomi” yang melekat pada sistem ekonomi terencana padahal prinsip tersebut merupakan syarat mendasar bagi aktivitas eko nomi yang sehat.
52
Ibid, hal. 58 Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, London, Modern Library edition, 1973, hal 423 (dalam Ningrum Natasya Sirait I, Op.cit., hal. 53). 53
Universitas Sumatera Utara
Dewasa ini sudah lebih 80 negara di dunia yang telah memiliki UndangUndang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli dan lebih dari 20 negara lainnya sedang berupaya menyusun aturan perundangan yang sama. Langkah negaranegara tersebut, sementara mengarah pada satu tujuan yaitu meletakkan dasar bagi suatu aturan hukum untuk melakukan regulasi guna menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Persaingan usaha yang sehat ( fair competition) merupakan salah satu syarat bagi Negara-negara mengelola perekonomian yang berorientasi pasar. Inti dari ekonomi pasar adalah desentralisasi keputusan, berkaitan dengan “apa”, “berapa banyak”, dan “bagaimana” produksi. Ini berarti individu harus diberi ruang gerak tertentu untuk pengambilan keputusan. Suatu proses pasar hanya dapat
dikembangkan
di
dalam
struktur
pengambilan
keputusan
yang
terdesentralisasi artinya bahwa terdapat individu-individu independen dalam jumlah secukupnya, yang menyediakan pemasokan dan permintaan dalam suatu pasar, karena proses-proses pasar memerlukan saat-saat aksi dan reaksi pelaku pelaku pasar yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah satu-satunya cara untuk menjamin bahwa kekeliruan-kekeliruan perencanaan oleh individu tidak semakin terakumulasi sehingga akhirnya menghentikan fungsi pasar sebagai umpan balik sibernetis (cybernetic ).
Kecenderungan dan kegandrungan negara-negara di dunia terhadap pasar bebas telah diprediksikan sebelumnya oleh Francis Fukuyama pada era tahun 1990-an. Menurut Fukuyama, prinsip-prinsip liberal dalam ekonomi “pasar bebas”, telah menyebar dan berhasil memproduksi kesejahteraan material yang belum pernah dicapai sebelumnya. Kedua hal tersebut terjadi di negara-negara
Universitas Sumatera Utara
industri dan di negara-negara berkembang. Padahal menjelang Perang Dunia II, negara-negara tersebut masih merupakan negara dunia ketiga yang sangat miskin. Oleh karena itu, menurut Fukuyama sebuah revolusi liberal dalam pemikiran ekonomi kadang-kadang mendahului dan kadang-kadang mengikuti gerakan menuju kebebasan politik di seluruh dunia. Bagaimanapun juga, untuk memastikan terselenggaranya pasar bebas versi Fukuyama tersebut, rambu-rambu dalam bentuk aturan hukum, tetap perlu dipatuhi oleh para pelaku pasar.
Salah satu essensi penting bagi terselenggaranya pasar bebas tersebut adalah persaingan para pelaku pasar dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Dalam hal ini persaingan usaha merupakan sebuah proses di mana para pelaku usaha dipaksa menjadi perusahaan yang efisien dengan menawarkan pilihan pilihan produk dan jasa dalam harga yang lebih rendah. Persaingan hanya bila ada dua pelaku usaha atau lebih yang menawarkan produk dan jasa kepada para pelanggan dalam sebuah pasar. Untuk merebut hati konsumen, para pelaku usaha berusaha menawarkan produk dan jasa yang menarik, baik dari segi harga, kualitas dan pelayanan. Kombinasi ketiga faktor tersebut untuk memenangkan persaingan merebut hati para konsumen dapat diperoleh melalui inovasi, penerapan teknologi yang tepat, serta kemampuan manajerial untuk mengarahkan sumber daya perusahaan dalam memenangkan persaingan. Jika tidak, pelaku usaha akan tersingkir secara alami dari arena pasar.
Sementara itu para ekonom dan praktisi hukum persaingan sepakat bahwa umumnya persaingan menguntungkan bagi masyarakat. Pembuat kebijakan
Universitas Sumatera Utara
persaingan pada berbagai jenjang pemerintahan perlu memiliki pemahaman yang jelas mengenai keuntungan persaingan, tindakan apa saja yang dapat membatasi maupun mendorong persaingan dan bagaimana kebijakan yang mereka terapkan dapat berpengaruh terhadap proses persaingan. Pemahaman ini akan membantu pembuat kebijakan untuk bisa mengevaluasi dengan lebih baik apakah kebijakan tertentu, misalnya dalam hukum persaingan usaha atau perdagangan menciptakan suatu manfaat luas bagi rakyat.
Agar persaingan dapat berlangsung, maka kebijakan ekonomi nasional di negara-negara berkembang pertama-tama harus menyediakan sejumlah prasyarat: yang pertama-tama diperlukan adalah mewujudkan pasar yang berfungsi dan mekanisme harga. Dalam konteks tersebut, yang dituju adalah penyediaan akses pasar sebebas mungkin dan pada saat yang sama menyediakan insentif untuk meningkatkan jumlah dari pengusaha nasional. Tingkat integrasi sejumlah pasar setempat dan regional juga harus ditingkatkan melalui peningkatan infrastruktur negara (misalnya jaringan komunikasi dan transportasi). Akhirnya, suatu kebijakan moneter yang berorientasi stabilitas merupakan prasyarat bagi berfungsinya ekonomi persaingan. Hanya dengan cara ini distorsi-distorsi persaingan yang berpotensi melumpuhkan mekanisme harga dapat dihindari.
Dapat dipahami mengapa dalam pasar bebas harus dicegah penguasaan pasar oleh satu, dua, atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli dan oligopoli), karena dalam pasar yang hanya dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha maka t erbuka peluang untuk menghindari atau mematikan bekerjanya mekanisme pasar ( market
Universitas Sumatera Utara
mechanism ) sehingga harga-harga ditetapkan secara sepihak dan merugikan
konsumen. Pelaku usaha yang jumlahnya sedikit dapat membuat berbagai kesepakatan untuk membagi wilayah pemasaran, mengatur harga, kualitas, dan kuantitas barang dan jasa yang ditawarkan (kartel) guna memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya dalam waktu yang relatif singkat. Persaingan di antara para pelaku usaha juga dapat terjadi secara curang (unfair competition) sehingga merugikan konsumen, bahkan negara. Oleh karena itu, pengaturan hukum untuk menjamin terselenggaranya pasar bebas secara ad il mutlak diperlukan. Gagasan
untuk
menerapkan
Undang-Undang
Antimonopoli
dan
mengharamkan kegiatan pengusaha yang curang telah dimulai sejak lima puluh tahun sebelum Masehi. Peraturan Roma yang melarang tindakan pencaturan atau pengambilan keuntungan secara berlebihan, dan tindakan bersama yang mempengaruhi perdagangan jagung. Demikian pula Magna Charta yang ditetapkan tahun 1349 di Inggris telah pula mengembangkan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan restraint oftrade atau pengekangan dalam perdagangan yang mengharamkan monopoli dan perjanjian-perjanjian yang membatasi kebebasan individual untuk berkompetisi secara jujur.
54
Hukum Persaingan Usaha menjadi sesuatu hal yang sangat diperhatikan pada saat ini di berbagai negara. Walaupun dalam beberapa konteks, cara pandang dan sikap terhadap Hukum ini memiliki beberapa perbedaan di beberapa negara:
1. Amerika 54
Insan Budi Maulana, Catatan Singkat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
Berbagai nama telah diberikan terhadap aturan hukum yang menjadi dasar terselenggaranya persaingan usaha yang sehat. Pada tahun 1980, atas inisiatif senator John Sherman dari partai Republik, Kongres Amerika Sertikat mengesahkan undang-undang dengan judul “ Act to Protect Trade and Commerce Againts Unlawful Restraints and Monopolies”, yang lebih dikenal dengan
Sherman Act disesuaikan dengan nama penggagasnya. Akan tetapi, dikemudian hari muncul serangkaian aturan perundang-undangan sebagai perubahan atau tambahan untuk memperkuat aturan hukum sebelumnya. Kelompok aturan perundang-undangan tersebut diberi nama “ Antitrust Law”, karena pada awalnya aturan hukum tersebut ditujukan untuk mencegah pengelompokan kekuatan industri-industri yang membentuk “ trust ” (sejenis kartel atau penggabungan) untuk memonopoli komoditi-komoditi strategis dan menyingkirkan para pesaing lain yang tidak tergabung dalam trust tersebut. Antitrust Law terbukti dapat mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada sekelompok perusahaan sehingga perekonomian lebih tersebar, membuka kesempatan usaha bagi para pendatang baru, serta memberikan perlindungan hukum bagi terselenggaranya proses persaingan yang berorientasi pada mekanisme pasar.
2. Jepang
Pada tanggal 14 April 1947, Majelis Nasional (Diet) Jepang mengesahkan undang-undang yang diberi nama “ Act Concerning Prohibition of Private Monopoly and Maintenance of Fair Trade ” (Act No. 54 of 14 April 1947). Nama
lengkap aslinya adalah Shiteki Dokusen no Kinshi Oyobi Kosei Torihiki no
Universitas Sumatera Utara
Kakuho ni Kansuru Horitsu, namun nama yang panjang disingkat menjadi Dokusen Kinshi Ho. Dengan berlakunya undang-undang tersebut, beberapa raksasa industri di Jepang terpaksa direstrukturisasi dengan memecah diri menjadi perusahaan yang lebih kecil. Raksasa industri seperti Mitsubishi Heavy Industry dipecah menjadi tiga perusahaan, sedangkan The Japan Steel Corp dipecah menjadi dua industri yang terpisah. Meskipun dalam era pemberlakuan Dokusen Kinshi Ho, sempat terjadi gelombang merger (penggabungan), namun Industrial Structure Council,
sebuah lembaga riset industri dibawah Kementerian
Perdagangan dan Industri (MITI) secara berkala menerbitkan laporan-laporan praktik dagang yang tidak adil dan bersifat anti-persaingan, baik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Jepang maupun oleh partner dagangnya di luar negeri.
3. Unieropa Saat ini Uni Eropa beranggotakan 27 (dua puluh tujuh) Negara yang pada awalnya adalah suatu Masyarakat ( Community) yang dibentuk dalam komunitas batu bara dan baja di Eropa ( European Coal and Steel Community-ECSC ) diawali oleh 6 negara anggota yaitu Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Belgia, dan Luksemburg. Keenam negara tersebut mengambil langkah penting yang berlatar belakang
antar
pemerintahan
(intergovernmentalism),
dengan
meletakkan
kedaulatan yang terintegrasi di atas kedaulatan nasional ( supranational authority) sebagai lembaga mandiri yang berkekuatan mengikat bagi para konstituen negaranegara anggotanya. Atas kesamaan kepentingan tersebut maka pada tahun 1951 ditandatanganilah perjanjian di Paris, yang dikenal sebagai ECSC Treaty atau
Universitas Sumatera Utara
Traktat Paris. Melalui traktat ECSC, Community mencoba melakukan pendekatan integrasi sektor ekonomi lainnya yang pada akhirnya menuju integrasi ekonomi secara menyeluruh. Pada konferensi menteri luar negeri dari enam negara penandatangan traktat ECSC di Mesina tahun 1955, Italia tercapai persetujuan untuk mengintegrasikan ekonomi dan terbentuklah apa yang disebut dengan European Atomic Energy Community - EURATOM dan Economic European Community – EEC , yang ditandatangani pada 1957 selanjutnya dikenal sebagai Traktat Roma.
Tonggak penting lainnya terjadi pada 1986 dengan ditandatanganinya Single European Act - SEA yang mengarah terbentuknya “pasar tunggal.” Baru pada
1992 Treaty on European Union - TEU ditandatangani di Maastricht sehingga dikenal sebagai Traktat Maastricht, dan traktat ini melahirkan sebutan European Union (EU). Tujuan utama dibentuknya Masyarakat Eropa (EC) adalah terciptanya pasar bebas. Ketentuan-ketentuan khusus yang mengaturnya adalah Pasal 3 (a) yang melarang adanya cukai; Pasal 3 (b) mengatur Community’s common commercial policy seperti dalam bidang pertanian, perikanan dan transpor; pasal 3
(g) secara khusus mewajibkan Community memasyarakatkan bahwa ‘persaingan’ dijamin dalam internal market tidak terganggu, dan Pasal 3 (h) mengatur tentang perkiraan tingkat kebutuhan hukum dalam pasar bebas. Dalam pasar bebas semua sumber ekonomi harus bergerak secara bebas, tidak ada hambatan oleh batasan negara. Oleh karena itu Traktat Roma menetapkan empat kebebasan ( four freedoms) yang mengikat yaitu kebebasan
Universitas Sumatera Utara
perpindahan barang, kebebasan berpindah tempat kerja, kebebasan memilih tempat tinggal dan lalu lintas jasa yang bebas, lalu lintas modal yang bebas. Pasar bebas mempunyai kebijakan yang komersial umum, relasi komersial dengan negara-negara ketiga dan kebijakan persaingan. Salah satu dari ketentuanketentuan khusus yang mengatur pasar bebas yang mempunyai peranan sangat penting bagi Masyarakat Eropa adalah Hukum Persaingan Usaha. Dasar Kebijakan Hukum Persaingan Usaha oleh Masyarakat Eropa diatur dalam pasal 3 (g) EC Treaty, bahwa persaingan dijamin di pasar antara anggota masyarakat Uni Eropa tidak terdistorsi. Sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 3 (g) EC Treaty tersebut ditetapkan di dalam Pasal 81 dan Pasal 82 EC Tr eaty; The main objectives of competition policy within the EC may be summarized 55 as follows: (a) To create and maintain a single market for benefit of producers and consumers (‘market integration’) (b) To prevent large undertakings from abusing their power (‘equity’) (c) To persuade firms to rationalise production and distribution and to keep up to date with technical progress (‘efficiency’)
Persaingan usaha pada dasarnya tidaklah merupakan suatu tindakan yang salah. Karena pada hakekatnya setiap usaha yang hendak kita jalankan mengkehendaki untuk dapat menguasai pasar.
The modern approach to competition from the latter part of the nineteenth century onwards derives from the theory of perfect competition. As a model rather than an account of what happens in real life, perfect competition assumes various factors: that all markets contain a large number of buyers and sellers, that the sellers produce indetical (or interchangeable) products, that resources can flow freely from one area of economic activity to another, and that there no ‘barriers to entry or exit’
55
Penelope Kent, Frameworks Law of the European Union , Pearson Education Limited, England, 1992, hal. 226
Universitas Sumatera Utara
(i.e. restrictions on new businesses entering or existing businesses leaving 56 the market)
4. Indonesia
a. Perkembangan Persaingan Usaha di Indonesia
Dalam perkembangan sistem ekonomi Indonesia, persaingan usaha menjadi salah satu instrumen ekonomi sejak saat reformasi digulirkan. Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan ataupun priveleges kepada para pelaku bisnis tertentu, sebagai bagian dari
praktik-praktik kolusi, korupsi, kroni, dan nepotisme. Dikatakan secara komprehensif, karena sebenarnya secara pragmentaris, batasan-batasan yuridis terhadap praktik-praktik bisnis yang tidak sehat atau curang dapat ditemukan secara tersebar di berbagai hukum positif. Tetapi karena sifatnya yang sektoral, perundang-undangan tersebut sangat tidak efektif untuk (secara konseptual) memenuhi berbagai indikator sasaran yang ingin dicapai oleh undang-undang persaingan sehat tersebut. 57
56
Ibid , Page 224 Muladi, “Menyongsong Keberadaan UU Persaingan Sehat di Indonesia”, dalam UU Antimonopoli Seperti Apakah yang Sesungguhnya Kita Butuhkan?Newsletter Nomor 34 Tahun IX, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, hal 3 5 57
Universitas Sumatera Utara
Sebuah
undang-undang
yang
secara
khusus
mengatur
persaingan dan antimonopoli sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, serta instansi pemerintah. Pernah suatu ketika Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1995
menelurkan
konsep
Rancangan
Undang-undang
tentang
Antimonopoli. Demikian pula Departemen Perdagangan yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pernah membuat naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Persaingan Sehat di Bidang Perdagangan. Namun patut disayangkan karena semua usulan dan inisiatif tersebut tidak mendapat tanggapan yang positif, karena pada masa-masa itu belum ada komitmen maupun political will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur masalah persaingan usaha. 58
Ada beberapa alasan mengapa pada waktu itu sulit sekali suatu Undang-Undang Antimonopoli disetujui oleh Pemerintah, yaitu 59 :
1. Pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar
perlu
pembangunan.
ditumbuhkan
untuk
menjadi
Perusahaan-perusahaan
lokomotif
tersebut
hanya
mungkin menjadi besar untuk kemudian menjalankan fungsinya sebagai lokomotif pembangunan apabila diberi perlakuan khusus. Perlakuan khusus ini, dalam pemberian
58
Hikmahanto Juwana, Op.cit., hal 4 Sutan Remy Sjahdeini, “ Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” Jurnal Hukum Bisnis Volume 10 , Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2000, hal 5 59
Universitas Sumatera Utara
proteksi yang dapat menghalangi masuknya perusahaan lain dalam
bidang
usaha
tersebut
atau
dengan
kata
lain
mernberikan posisi monopoli;
2. Pemberian
fasilitas
monopoli
perlu
ditempuh
karena
perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan.
Tanpa
fasilitas
monopoli
dan
proteksi,
Pemerintah sulit memperoleh kesediaan investor untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut;
3. Untuk
menjaga
berlangsungnya
praktik
KKN
demi
kepentingan kroni mantan Presiden Soeharto dan pejabat pejabat yang berkuasa pada waktu itu.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita jalankan selama tiga
dasawarsa,
selain
menghasilkan
banyak
kemajuan,
yang
ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga masih banyak melahirkan tantangan atau persoalan pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan. Di samping itu, ada kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha yang telah diciptakan oleh penguasa pada waktu itu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan usaha swasta, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan penguasa yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, sebagian besar perkembangan usaha swasta pada kenyataannya merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat atau curang. Fenomena yang demikian telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan dan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ini makin memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang memperhatikan amanat Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan mendapatkan
kemudahan-kemudahan
yang
berlebihan,
sehingga
menimbulkan kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. Padahal dalam era pasar bebas nanti, kita dituntut untuk mampu bersaing dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Lebih ironis lagi, perilaku dari pelaku-pelaku bisnis kita, yaitu para konglomerat yang telah memperoleh perlakuan istimewa dari penguasa tersebut, ternyata sangat tidak bertanggung jawab, dan tidak mau berbuat positif untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional yang sangat parah.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi semacam
ini mengharuskan pemerintah
mencari
bantuan dari donor-donor lain, baik yang bersifat kolektif maupun negara
per
negara.
Ketergantungan
pada
bantuan
asing,
ini
mengharuskan pemerintah mengikuti berbagai persyaratan yang disepakati bersama; semuanya meletakkan Indonesia pada posisi yang lemah. Walau demikian, dalam hal-hal tertentu, banyak hal yang berkaitan dengan persyaratan utang luar negeri itu yang mengandung hikmah,
yaitu
mengakselerasi
pembuatan
undang-undang
yang
sebenarnya sudah lama didambakan, yang dalam kondisi normal tidak akan dibentuk pada umumnya ini telah terjadwal di antara Indonesia dengan IMF. 60
Di samping merupakan tuntutan nasional, Undang-Undang Persaingan Usaha (Fair Competition Law) juga merupakan tuntutan atau kebutuhan rambu-rambu yuridis dalam hubungan bisnis antar bangsa. Dari sisi kehidupan nasional jelas bahwa basis kultural (asas kekeluargaan) dan konstitusional (demokrasi ekonomi) kita memang sama sekali menolak prakrik-praktik monopolistik dalam kehidupan ekonomi yang merugikan rakyat. Dari sisi hubungan antar bangsa pun, apalagi dengan munculnya fenomena globalisasi ekonomi yang mengandung makna, semakin meningkatnya ketergantungan antar bangsa di berbagai bidang kehidupan (ekonomi), mengharuskan berbagai bangsa menaati rambu-rambu (peraturan) baku dalam bisnis 60
Muladi, Op.cit , hal 35-36
Universitas Sumatera Utara
antar bangsa, sebagai konsekuensi WTO, APEC, AFTA, NAFTA, EC, dan lain sebagainya.
61
Sebab, para ahli banyak yang mengatakan, adanya kondisi persaingan (the state of competition) dalam pasar domestik merupakan hal yang sangat penting dari suam kebijakan publik (public policy), khususnya untuk mengukur kemampuan bangsa dalam bersaing di pasar internasional, serta untuk meyakinkan investor dan eksportir asing untuk bersaing dalam pasar domestik. Dengan demikian tujuan dari kebijakan
persaingan
nasional
adalah
untuk
menciptakan
dan
memastikan bahwa konsep persaingan dapat dijalankan dalam kerangka ekonomi pluralistik. Konsep dasar kompetitif ini pun pada dasarnya mengandung unsur HAM yang kental, karena di dalamnya terkait "pemajuan" (promotion) dari kondisi persaingan (condition of rivalry) dan "kebebasan memilih" (freedom of choose) untuk mengurangi dan melarang konsentrasi kekuatan-kekuatan ekonomi. 62
Untuk itulah, akhirnya harus ada campur tangan negara (government regulation) untuk mengembangkan dan memelihara
kondisi persaingan. Bahkan globalisasi menciptakan atmosfer yang kondusif untuk persaingan yang menembus batas-batas negara, yang membutuhkan harmonisasi kebijakan yang sering dinamakan "super national of regional standards". Bahkan Masyarakat Ekonomi Eropa
61 62
Ibid , hal 36 Ibid
Universitas Sumatera Utara
(EC) juga masih terus mengembangkan apa yang dinamakan " Minimum Competition Policy Requirements Within the Framework of the GATT".
Di lingkungan ASEAN pun, tanpa mengesampingkan divergensi struktur institusional ekonomi, politik, dan sosial, para ahli sudah mulai berpikir tentang perlunya pengembangan di samping hukum persaingan nasional dan harmonisasi peraturan-peraturan komersial, termasuk hukum persaingan di antara masyarakat ASEAN. 63
Doktrin yang berlaku pada masa lalu, yang secara absolute menyatakan bahwa hukum ekonomi itu bersifat value loaded, yang dekat dengan kondisi sosial budaya bangsa, tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan proses globalisasi. Konsep
harmonisasi
hukum
dan
keberadaan
fenomena
internasionalisasi pasar menumbuhkan perhatian yang semakin intensif terhadap apa yang dinamakan international dimension of antitrust and the fit between competition policy and the world trading system. Dalam
kerangka ini, muncul antitrust family (international) link ages of market economies .
64
b. Berbagai Peraturan Perundang-undang tentang Persaingan Usaha sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Saat ini, bagi negara Indonesia pengaturan persaingan usaha bersumber pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang 63 64
Ibid, hal 37 Ibid , hal 37-38
Universitas Sumatera Utara
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang secara efektif berlaku pada 5 Maret 2000. Sesungguhnya keinginan untuk mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dijumpai dalam beberapa perundang-undangan yang ada. Praktik-praktik dagang yang curang (unfair trading practices) dapat dituntur seeara pidana berdasarkan Pasal 382 bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Demikian pula pesaing yang dirugikan akibat praktik-praktik dagang
yang
curang
tersebut,
dapat
menuntut
seeara
perdata
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Dalam bidang industri juga diharapkan tidak terjadi industri yang monopolistik dan tidak sehat, sebagaimana diamanat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tersebut menentukan bahwa pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri untuk mengembangkan persaingan yang baik dan sehat, mencegah persaingan tidak jujur, mencegah pemusatan industri oleh satu kelompok atau perseorangan, dan bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek Sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 14
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1997 , pemakai merek tanpa izin dapat dituntut secara perdata maupun pidana.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas juga memuat ketentuan yang melarang penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan kekuaran ekonomi pada suatu kelompok atau golongan tertentu melalui tindakan merger, konsolidasi, dan akuisisi perseroan; hal ini dapat dilakukan asalkan memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan perseroan, serta kepentingan masyarakat, termasuk pihak ketiga yang berkepentingan dan persaingan bisnis yang sehat dalam perseroan, mencegah monopoli dan monopsoni. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sebelum ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaruran larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat masih diatur secara parsial dan tersebar ke dalam berbagai perundang-undangan yang ada.
Realitanya, antara teori undang-undang dan praktik malah sama sekali bertolak belakang. Selama kurun waktu sekitar 15 (lima belas) tahun terakhir, perekonomian Indonesia dipenuhi tindakan-tindakan yang bersifat monopolistik dan tindakan-tindakan persaingan usaha yang curang (unfair business practices), misalnya pembentukan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) pada 1991 yang memberikan kewenangan tunggal untuk membeli cengkeh dari para petani cengkeh dan kewenangan menjualnya kepada para produsen
Universitas Sumatera Utara
rokok; dan Tata Niaga ]eruk ataupun PT Timor yang memperoleh banyak
kemudahan
fasilitas.
Semua
itu
dengan
dalih
untuk
pembangunan nasional dan menciptakan efisiensi, serta kemampuan bersaing walaupun realitanya tidak demikian. Hal itu terjadi karena kekuasaan rezim Orde Baru terlalu kuat, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum.
Kemudahan fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah kepada orang atau golongan tertentu tidak banyak membawa hasil bagi kemajuan ekonomi nasional, malah menimbulkan kepincangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Prinsip pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum dapat dilaksanakan dengan baik. Persaingan domestik dalam berusaha belum tercipta dengan baik. Hal ini disebabkan banyaknya kegiaran usaha yang dijalankan secara monopolistik, yang mengakibatkan mereka tidak mampu bersaing dalam kancah perdagangan dunia internasional.
Untuk itu perlu ada pembaruan struktural, yang salah satunya menghapus hambatan persaingan domestik dalam berusaha melalui deregulasi
ekonomi
nasional.
Butir-butir
yang
tertera
dalam
Memorandum International Monetary Fund (IMF) tanggal 15 Januari 1998, khususnya yang mengacu pada pernbaruan-pembaruan struktural, menunjukkan bahwa berbagai rintangan artifisial yang selama ini telah menghambat persaingan domestik telah atau akan dihapus oleh
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Indonesia. Akan tetapi di samping itu diperlukan pula Undang-Undang Persaingan Domestik yang Sehat, yang menetapkan asas-asas persaingan usaha yang sehat, yang tidak memberikan peluang bagi timbulnya rintangan-rintangan artificial baru terhadap persaingan domestik di masa mendatang.65
Atas dasar itu, pemerintah mengumumkan kebijakan deregulasi dengan melahirkan sebanyak 13 (tiga belas) peraturan perundangundangan, yang terdiri dari 3 Peraturan Pemerintah, 7 Keputusan Presiden, dan 3 Instruksi Presiden. Pemberian fasilitas-fasilitas istimewa yang menjurus pada praktik monopoli dan menguntungkan golongan atau kelompok tertentu. Monopoli Badan Urusan Logistik (BULOG) dalam distribusi komoditi primer, kecuali beras dieabut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1998.
Demikian pula pemerintah mencabut berbagai fasilitas istimewa yang diberikan kepada PT Timoer dalam .proyek mobil nasional berdasarkan Keputusan Presiden nomor 20 Tahun 1998. Kemudian membubarkan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) berdasarkan Kepurusan Presiden Nomor 21 Tahun 1998.
Seiring dengan peralihan pernerintahan dari Presiden Soeharto kepada Presiden B.J. Habibie, berlangsung pula Sidang Istimewa 65
Thee Kian Wie, “Aspek-aspek Ekonomi yang Perlu Diperhatikan dalam Implementasi UU No. 5/1999”, dalam Mencermati Prinsip dan Visi UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Newsletter Nomor 37 Tahun X , Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 1999, hal 27
Universitas Sumatera Utara
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1998. Sidang Istimewa MPR ini telah berhasil membuat 12 ketetapan, Dari 12 ketetapan tersebut, ada 2 ketetapan yang berkaitan dengan pelaksanaan reformasi dan strukturisasi di bidang ekonomi nasional, yakni Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Dalam Naskah Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupamn Nasional sebagai Haluan Negara sebagai lampiran Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 pada Bab II Kondisi Umum Bidang Ekonomi antara lain menyatakan: "Keberhasilan pembangunan yang telah dicapai selama tiga puluh dua tahun Orde Baru telah mengalami kemerosotan yang memprihatinkan, karena terjadinya krisis moneter pertengahan tahun 1997, yang berlanjut menjadi krisis ekonorni yang lebih luas. Landasan ekonomi yang dianggap kuat, ternyata tidak berdaya menghadapi gejolak keuangan eksternal serta kesulitan-kesulitan makro dan mikro ekonomi. Hal ini disebabkan oleh karena penyelenggaraan perekonomian nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945
dan
cenderung
menunjukkan
corak
yang
sangat
monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan prioritas khusus yang berdampak timbulnya kesenjangan sosial. Kelemahan fundamental iru juga disebabkan pengabaian perekonomian kerakyatan yang sesungguhnya bersandar pada basis sumber daya alam dan sumber daya manusia sebagai unggulan komparatif dan kornpetitif Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil
pengusaha
kuat
yang
tidak
didukung
oleh
semangat
kewirausahaan sejati, mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak kompetitif Sebagai akibatnya, krisis moneter yang melanda Indonesia, tidak dapat diatasi secara baik sehingga memerlukan kerja keras untuk bangkit kembali.
c. Lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Pada masa sebelum reformasi, perekonomian didominasi oleh struktur yang terkonsentrasi. Pelaku usaha yang memiliki akses terhadap kekuasaan dapat menguasai dengan skala besar perekonomian Indonesia. Struktur monopoli dan oligopoli sangat mendominasi sektorsektor ekonomi saat itu. Dalam perkembangannya, pelaku-pelaku usaha yang dominan bahkan berkembang menjadi konglomerasi dan menguasai dari hulu ke hilir di berbagai sektor.
Disamping struktur yang terkonsentrasi, situasi perekonomian Indonesia ketika itu banyak diwarnai pula oleh berbagai bentuk perilaku anti persaingan, seperti perilaku yang berupaya memonopoli atau menguasai sektor tertentu, melalui kartel, penyalahgunaan posisi
Universitas Sumatera Utara
dominan, merger/take over , diskriminasi dan sebagainya. Akibatnya, kinerja ekonomi nasional cukup memprihatinkan. Hal tersebut ditandai dengan pilihan bagi konsumen yang terbatas, kelangkaan pasokan, harga yang tak terjangkau, lapangan kerja yang terbatas, pertumbuhan industri yang lambat, daya saing produk melemah serta kesenjangan ekonomi dalam berbagai bidang kehidupan rakyat. Kondisi ini berujung pada runtuhnya bangunan ekonomi Indonesia, yang telah dibangun selama puluhan tahun terhapus hanya dalam waktu singkat pada saat krisis 1997.
Kondisi tersebut pada akhirnya mendorong dilakukannya reformasi di sektor ekonomi, sebagai bagian dari reformasi di berbagai bidang kehidupan bernegara dan berbangsa. Sebagaimana diketahui, secara garis besar terdapat tiga hal penting yang menjadi inti dari perubahan yang disepakati oleh bangsa ini saat reformasi digulirkan, yang memiliki efek luar biasa bagi perkembangan bangsa ini ke depan. Tiga elemen penting tersebut adalah :
1. Membangun
sistem
politik
yang
demokratis
melalui
perbaikan peraturan perundangan tentang Pemilu, Partai Politik dan pembentukan Komisi Pemilihan Umum. Hal ini menjadi dasar bagi proses demokrasi bangsa ini ke depan melalui perubahan dari pendekatan sentralistis menjadi demokratis.
Universitas Sumatera Utara
2. Membuat kebijakan ekonomi yang pro persaingan sehat, dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dengan demikian diharapkan adanya level playing field atar pelaku usaha, pemberdayaan UMKM, dan perlindungan konsumen.
3. Mengakomodasi secara utuh Good Governance (GG) dalam sistem Pemerintahan dan Good Corporate Government (GCG) di lingkungan dunia usaha, yang dilakukan antara lain melalui pengaturan secara khusus, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Korupsi adalah salah satu hal yang paling krusial dalam perkembangan bangsa ini, sehingga pemberantasannya menempati prioritas paling tinggi. Dengan adanya GCG dan upaya keras pemberantasan korupsi,
maka
bangsa
ini
diharapkan
akan
memiliki
pemerintahan yang bersih, profesional, dan akuntabel.
Indonesia, pengaturan Persaingan Usaha baru terwujud pada tahun 1999 saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan. Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut ditunjang pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi total dalam
Universitas Sumatera Utara
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan kegiatan monopoli di segala sektor. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan tonggak bagi diakuinya persaingan usaha yang sehat sebagai pilar ekonomi dalam sistem ekonomi Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Kelahiran merupakan
Undang-Undang
koreksi
terhadap
Nomor
5
Tahun
perkembangan
1999
ekonomi
juga yang
memprihatinkan, yang terbukti tidak tahan terhadap goncangan/krisis pada tahun 1997. Krisis menjelaskan kepada kita bahwa fondasi ekonomi Indonesia saat itu sangat lemah. Bahkan banyak pendapat yang
mengatakan
bahwa
ekonomi
Indonesia
dibangun
secara
melenceng dari nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar Tahun 1945.
Dibandingkan dengan proses pembentukan undang-undang pada umumnya, proses pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 termasuk tidak lazim. Perbedaan ini terlerak pada pihak yang mengajukan rancangan undang-undang. Selama ini dalam praktik kenegaraan kita, rancangan undang-undang disiapkan dan diajukan oleh pemerintah untuk kemudian dibahas bersama-sama DPR. Tetapi tidak demikian dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun yang mempersiapkan
rancangannya
adalah
DPR
yang
kemudian
menggunakan hak inisiatifnya mengajukan rancangan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Rancangan Undang-Undang ini dipersiapkan selama kurang lebih 4 bulan oleh Kelompok Kerja Program Legislasi Nasional DPR Bidang Ekonomi
Keuangan
dan
Industri
Pembangunan
dengan
judul
Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli, tanpa ada kata-kata "Persaingan Tidak Sehat". Sebenarnya pemerintah, dalam hal
ini
Departemen
Perindustrian
dan
Perdagangan,
telah
mempersiapkan rancangan undang-undang yang mengatur masalah persaingan
dengan
judul
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Persaingan Usaha. Kemudian Pemerintah dan DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang yang dipersiapkan oleh DPR itulah yang digunakan. 66
Menurut
Laporan
Ketua
Pansus
untuk
mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang tersebut diperlukan waktu lebih kurang 3,5 bulan dengan meminta pandangan dan masukan dari berbagai pihak. 67 Kemudian, dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Oktober 1998 Rancangan Undang-Undang ini secara resmi dijadikan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR. Pembahasan selanjutnya dilakukan oleh suam Panitia Khusus. 68
d. Azas dan Tujuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
66
Hikmahanto Juwana, Merger, Konsilidasi, dan Akuisisi dalam Perspektif Hukum Persaingan dan UU No. 5/1999, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 1999, hal 4. 67 Abdul Hakim G, Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa dan Perbandingan UndangUndang Antimonopoli (Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, PT. Elok Komputindo, Jakarta, 1999 hal 1999 lihat di Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia , PT Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 2004, hal 6 68 Ibid, hal 7
Universitas Sumatera Utara
Guna memahami makna suatu aturan perundang-undangan, perlu disimak terlebih dahulu apa asas dan tujuan dibuatnya suatu aturan. Asas dan tujuan akan memberi refleksi bagi bentuk pengaturan dan norma-norma yang dikandung dalam aturan tersebut. Selanjutnya pemahaman terhadap norma-norma aturan hukum tersebut akan memberi arahan dan mempengaruhi pelaksanaan dan cara-cara penegakan hukum yang akan dilakukan.
Dalam Bab II UU No. 5 Tahun 1999, pada pasal 2 memuat Asas dari
Hukum Persaingan di Indonesia, yakni: “Pelaku usaha
Indonesia
dalam
menjalankan
kegiatan
usahanya
di
berdasarkan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. 69 Dalam konteks ini, yang masih perlu dipertegas sesungguhnya adalah apa yang dimaksud dengan
“keseimbangan
antara
kepentingan
pelaku
usaha
dan
kepentingan umum”. Tanpa ada penegasan lebih lanjut, bagian kalimat tersebut terbuka bagi penafsiran yang sangat subjektif, yang selanjutnya akan berakibat dikorbankannya “kepentingan pelaku usaha” atau “kepentingan umum” dengan dalih “memperhatikan keseimbangan”. 70
Adapun tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 3, yang sesungguhnya memiliki tujuan akhir yang sama, yakni peningkatan kesejahteraan
69 70
Lihat Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Arie Siswono, Op.cit hal. 76
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah :
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional
sebagai
salah
satu
upaya
untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan ( policy objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di negaranegara yang memiliki undang-undang persaingan adalah kepentingan umum ( public interest ) dan efisiensi ekonomi ( economic efficiency). Ternyata dua unsur penting tersebut (Pasal 3 (a)) juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Dalam perkembangan terakhir, fokus peraturan perundangan / hukum persaingan lebih mengarah pada conduct /perilaku pelaku usaha. Paradigma baru ini lebih memandang conduct , yang selanjutnya disebut
Universitas Sumatera Utara
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sebagai penyebab performansi industri rendah. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa hukum persaingan lahir berawal dari dalil ekonomi. Dan hukum persaingan berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan paradigma Structure Conduct Performance serta riset ekonomi dan hukum.
Dari konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dapat diketahui falsafah yang melatardepani kelahirannya dan sekaligus memuat dasar pikiran perlunya disusun undang-undang tersebut. Setidaknya memuat tiga hal, yaitu :
1. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada
terwujudnya
kesejahteraan
rakyat
berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan
efisien,
sehingga
dapat
mendorong
pertumbuhan
ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
3. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada
Universitas Sumatera Utara
pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
Sementara itu Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga menyatakan antara lain "Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk meneiptakan persaingan usaha yang sehat.
Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk
Universitas Sumatera Utara
memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat bersaingan seeara wajar dan sehat. Untuk itu diperlukan aturan hukum yang pasti dan jelas yang mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat lainnya.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai tool of social control and a tool of social engineering. Sebagai "alat control
sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha menjaga kepentingan
umum
dan
meneegah
praktik
monopoli
dan/atau
persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya sebagai "alat rekayasa sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.71
Apabila cita-cita ideal tersebut dapat dioperasionalkan dalam kehidupan nyata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan membawa nilai positif bagi perkembangan iklim usaha di Indonesia, yang selama ini dapat dikatakan jauh dari kondisi ideal. Sekurang-
71
Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.)., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Proyek ELIPS, Jakarta, 2000, hal. 52-53
Universitas Sumatera Utara
kurangnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara tidak langsung akan memaksa pelaku usaha untuk lebih efisien dalam mengelola usahanya, karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga menjamin dan memberi peluang yang besar kepada pelaku usaha yang ingin berusaha (sebagai akibat dilarangnya praktik monopoli 72
dalam bentuk penciptaan barrier to entry ).Hal ini berarti bahwa hanya pelaku usaha yang efisien-lah yang dapat bertahan di pasar. 73
Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah terciptanya pasar yang tidak terdisrorsi, sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin besar bagi para pelaku usaha. Keadaan ini akan memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika hal ini tidak dilakukan, para konsumen akan beralih kepada produk yang lebih baik dan kompetitif. Ini berarti bahwa, secara tidak langsung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan memberikan keuntungan bagi konsumen dalam bentuk produk yang lebih berkualitas, harga yang bersaing, dan pelayanan yang lebih baik. Namun perlu diingat bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bukan merupakan ancaman bagi perusahaan-perusahaan besar yang telah berdiri sebelum undangundang ini diundangkan, selama perusahaan-perusahaan tersebut tidak
72
Barrier to entry; Legal restrictions (e.g. Patents, licensing, requirements) on entering the
market. 73
Ayudha D. Prayoga et al. (Ed), loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
melakukan praktik-praktik yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
74
Di samping mengikat para pelaku usaha, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengikat pemerintah untuk tidak mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada para pelaku usaha tertentu yang bersifat monopolistik. Akibatnya, dunia usaha Indonesia menjadi tidak terbiasa dengan iklim kompetisi yang sehat, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian yang harus ditanggung oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diharapkan mampu mengikat pemerintah untuk lebih objektif dan profesional dalam mengatur dunia usaha di Indonesia. Di samping itu, Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999
juga dapat
meningkatkan kepercayaan
masyarakat internasional terhadap Indonesia, sehingga mereka akan terarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kepercayaan ini dikarenakan adanya jaminan untuk berkompetisi secara sehat. 75
C. Konsep Pendekatan Perse Illegal dan Rule of Reason dalam Persaingan Usaha
Hukum Persaingan mengenal 2 kriteria pendekatan dalam menentukan hambatan dalam suatu pasar yaitu dengan pendekatan yang disebut Perse Illegal 74 75
Ibid Ibid, hal. 54-55
Universitas Sumatera Utara
(Per se Violations atau Perse Rule) ataupun dengan pendekatan Rule of Reason.
Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kedua prinsip ini. Dimana dalam prinsip Perse Illegal dinyatakan setiap perjanjian atau kegiatan tertentu sebagai illegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Sedangkan prinsip Rule of Reason merupakan pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evalasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan bersifat menghambat atau mendorong persaingan. 76
Tetapi dalam kenyataan dalam kasus-kasus persaingan, penggunaan kedua pendekatan ini tidak mudah untuk diterapkan. Karena tidak semua orang mempunyai persepsi yang sama terhadap pengetian yang menyatakan suatu tindakan dinyatakan mutlak melanggar ataupun dapat diputuskan setelah melihat argumentasi dan alasan rasional tindakannya. Banyak metode yang dicoba para akademisi, ahli Hukum Persaingan dan Praktisi Hukum untuk menetapkan aplikasi ini walaupun tidak bersifat mutlak. Oleh sebab itu selama waktu ini, perdebatan masih tetap berlangsung dalam Hukum Persaingan ketika menentukan ukuran faktor “reasonableness ” 77 tersebut.
76
Emmy Yuhassarie, et.al, Prosidig, Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Undang-Undang No.5/99 dan KPPU, 17-18 Mei 2004, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal. 104 77 American Bar Association, Section of Antitrust Law, Monograph 23, The Rule of Reason, 1999, hal 104. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika mengukur faktor reasonableness dalam suatu kasus adalah dengan melihat p ada faktor (1) akibat yang d itimbulkan dalam pasar dan persaigan, (2) pertimbangan bisnis yang mendasari tindakan tersebut (3) kekuatan pangsa pasar (market powar ) dan (4) alternatif yang tersedia (less restrictive alternative) (5) dan tujuan (intent ) dikutip dari Ningrum Natasya Sirait I, Op.cit., hal. 103
Universitas Sumatera Utara
Suatu tindakan yang dinyatakan bersifat anti persaingan (anti competitive behavior ) serta akibat yang ditimbulkan pada proses persaingan tentu harus
melewati beberapa acuan. Ukuran dari akibat anti persaingan haruslah bersifat nyata dan substansial. Dalam hal ini terdapat ukuran yang dipergunakan dalam Hukum Persaingan yaitu: melalui pembuktian yang sifatnya nyata anti persaingan (naked restraint ) misalnya seperti penetapan harga, dengan melihat akibat yang ditimbulkannya pada persaingan dan dengan melihat tindakan atau hamatan yang dilakukan apakah akan mengakibatkan pelaku dapat menggunakan kekuatan pasarnya (maket power ) untuk menghambat persaingan. 78
Dalam ukuran Perse Illegal maka pihak yang menuduh melakukan pelanggaran yang harus membuktikan bahwa tindakan itu benar dilakukan tanpa harus membuktikan efek atau akibatnya. 79 Tindakan yang dilakukan itu juga tidak mempunyai pertimbangan bisnis atau ekonomi yang rasional dan dapat dibenarkan, misalnya penetapan harga hanya dengan tujuan untuk mengelakkan persaingan. Dalam hal ini pemisahan yang tegas antar pendekatan Perse Illegal dan Rule of reason dinyatakan dengan bright line test (perse rules) . Selebihnya adalah dengan melihat faktor yang mempengaruhi apakah suatu tindakan dengan melihat unsur alasan atau “reasonableness ” dengan jalan mengevaluasi tujuan dan akibat dari tindakannya dalam suatu pasar atau proses persaingan.
Sebagai contoh kita dapat melihat kasus yang terjadi di Amerika yakni kasus National Society of Profesional Engineers v. United States Tahun 1978. 78
Ibid Ibid , “Under the Per Se Test, the plaintiff must simply prove that practice accurred m and the defendant then is precluded from attending to justify the restraint. 79
Universitas Sumatera Utara
Dalam kasus ini asosiasi professional menetapkan bahwa upaya penetapan pemenang tender adalah dengan tujuan untuk keselamatan publik karena pemenang tender dengan harga penawaran terendah akan berakibat pada keselamatan publik. Pengadilan Amerika memutuskan bahwa upaya penetapan pemenang tender dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar prinsip Hukum Persaingan, walau dengan alasan keselamatan publik sekalipun.
Disamping itu dalam upaya untuk memudahkan penentuan ini, dalam perkembangannya Hukum Persaingan juga menggunakan Dichotomy Model. Dimana cara ini menerapkan pembatasan terhadap tindakan yang dilakukan dengan batasan yang jelas antara Perse Illegal dan Rule of Reason dan hasilnya dianalisis
dengan
memperbandingkan
alasan
dan
konsekwensi
yang
ditimbulkannya. Pengadilan di Amerika Serikat juga mengenalkan analisis yang sifatnya
menyeluruh
dalam
pendekatan
Rule
of
Reason
dengan
mempertimbangkan faktor akibat secara komprehensif, apakah akibatnya menguntungkan ataupun menghambat persaingan. 80 Kemudian ketika menentukan apakah hambatan yang walaupun sifatnya telah nyata masuk dalam kategori naked restraint , pengadilan merasakan perlu adanya analisis yang komprehensif untuk
melihat akibat yang ditimbulkannya dalam pasar. Oleh sebab itu diperkenalkan pendekatan yang disebut dengan “truncated analysis of Rule of Reason ” atau disebut juga dengan “quick look test ”. Hal ini dapat kita lihat pada kasus FTC v. 80
American Bar Association, Section of Antitrust Law, hal 133. Under the traditional Rule of Reason, the plaintiff bears the initial burden of proving that an agreement has had or is likely to have a substantially adverse effect on competition. If the plantiff meets its initial burden, the burden sift to the defencdant to demonstrate the precompetitive virtue of the alleged wrongful conduct. If the defendant does demonstrate precompetitive virtues, the plaintiff must show that the challenged conduct is not reasonably necessary to achieve the stated objective. Ibid, hal. 105
Universitas Sumatera Utara
Indiana Federation of Dentist, 476 U.S., 106 S.Ct. 2009, 90 L.Ed.2d 445 Tahun 1986. Dalam kasus ini Asosiasi Dokter Gigi Negara Bagian Indiana dituduh melakukan tindakan yang mengahambat persaingan dengan menetapkan bahwa anggotannya harus menolak memberikan x-ray yang dibutuhkan untuk klaim asuransi. Tuduhan ini didasarkan pada adanya konspirasi horizontal yang mengakibatkan konsumen tidak mendapat pilihan dalam menentukan pelayanan yang diinginkan karena adanya syarat tersebut. William R. Andersen mengatakan bahwa pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara mengukur akibat kerugian atau keuntungan yang ditimbulkan dari suatu tindakan dalam proses persaingan tanpa perlu melihat Sebagaimana analisis ini yang menggunakan Perse Illegal, Test Quick Look lebih melihat pada sisi hambatan yang sifatnya terlihat sebagai anto
persaingan. Dalam hal ini pihak yang diduga melakukan pelanggaran akan diminta untuk membuktikan bahwa hambatan yang dilakukan tidaklah bersifat anto persaingan, dan bila alasan pembenaran ini diterima, maka kemudian untuk dilanjutkan dengan analisis yang menggunakan Rule of Reason.
Pasal-pasal dalam undang-undang No. 5 Tahun 1999 menggambarkan bentuk dari pendekatan Perse Illegal ini melalui pasal yang sifatnya imperative dengan interpretasi yang memaksa, sebagai contoh kita dapat melihat Bagian Kedua, Pasal 5 ayat (1) tentang Penetapan Harga “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”. Sebagai kebalikan dari pendekatan Perse Illegal maka pendekatan Rule of Reason menggunakan alasan-alasan pembenaran apakah
Universitas Sumatera Utara
tindakan yang dilakukan walaupun bersifat anti persaingan tetapi mempunyai alasan pembenaran yang menguntungkan dari pertimbangan sosial, keadilan ataupun efek yang ditimbukannya serta juga unsur maksud ( intent ). Dalam hal ini para ahli Hukum Persaingan mencoba untuk menganalisis bentuk pendekatan tersebut dalam berbagai pendekatan dengan tujuan untuk mempermudah menentukan apakah suatu tindakan jelas bersalah atau masih dapat diterima alasan pembenarannya, misalnya dengan Model Tradisional 6 Sel. Mekanisme tradisional untuk menentukan kasus persaingan untuk melihat terlebih dahulu hubungan ekonomi antara kedua pihak, misalnya horizontal atau vertical dan juga berdasarkan bentuk pembatasannya, misalnya hambatan dalam bentuk harga, non harga atau boykot. 81 Bila telah ditetapkan maka baru kemudian ditentukan peraturannya berdasarkan menurut selnya seperti terdapat dalam matriks ini : Bentuk Hambatan Hubungan Para Pihak Harga Non Harga Boykot 82
Horizontal
Perse Illegal
Perse Illegal
Perse Illegal
Vertikal
Perse Illegal
Rule of Reason
Rule of Reason
Tugas utama dalam menentukan model tradisional ini adalah dengan mengklasifikasikan hambatan dalam salah satu sel. Selanjutnya adalah untuk mengklasifikasikan hambatan diantara ketiganya. Pada awalanya harus dilihat apa tujuan dari hambatan itu, apakah untuk menetapkan harga atau membagi wilayah.
81 82
Ibid , hal. 107 Ibid , hal. 108
Universitas Sumatera Utara
Bila klasifikasi hambatan telah dikategorikan dalam sel, maka standard aturan untuk menentukan tanggung jawab pun diberlakukan: apakah Perse Illegal atau Rule of Reason. Bagaimanapun, kadang-kadang aturan yang ada belum tentu
dapat diberlakukan. Pada umumnya bila faktor ekonomi sedikit dirugikan dan keuntungannya lebih banyak bagi masyarakat atau hambatanya cukup beralasan, maka Rule of Reason diberlakukan. Dengan kata lain, bila hambatan itu legal, maka akan dikategorikan sebagai vertikal dan non-harga. Kalau illegal, maka akan lebih sering dikategorikan sebagai horizontal dan berhubungan dengan harga.
Cara lain adalah dengan mengggunakan Rule of Reason Versi Hakim Old White-Brandeis dengan pendekatan konsekwensi yang menyatakan bahwa setiap hambatan harus mendapat evaluasi untuk setiap pertimbangan yang diberikan dengan melihat keseluruhan biaya sosial yang ditimbulkannya. Dengan melihat perbandingan biaya dan keuntungan, maka peradilan dapat setidaknya mengukur beralasan atau tidaknya hambatan tersebut. Bila biaya dan keuntungan positif, maka hambatan itu dianggap beralasan, bila tidak maka dikategrikan sebagai tidak beralasan. Hakim White tersebut memutuskan t erdapat 3 pendekatan yang dapat diterapkan ketika memutuskan apakah suatu tindakan akan digunakan dengan Rule of Reason atau Perse Illegal, yaitu pertama, melihat efek dari tindakan
terhadap proses persaingan, kedua, apakah perjanjian itu benar ada dan ketiga apakah memang telah terjadi hambatan dalam persaingan yang sifatnya nyata. Pendekatan ini dikatakan sebagai konsekwensi karena terfokus pada pertanyaan dimana peradilan melihat perimbangan hasilnya (konsekwensi) dari hambatan, baik atau merugikan.
Universitas Sumatera Utara
Disamping itu dikenal juga penentuan berdasarkan Direct-Indirect (Langsung-Tidak Langsung) Versi Hakim Peckham dalam kasus United States v. Trans-Missouri Freight Association Tahun 1897. Hakim Peckham menetapkan standard bahwa bila hambatan itu bersifat mutlak atau langsung berakibat pada proses persaingan, maka dinyatakan dengan Perse Illegal. Bila sifatnya tambahan atau tidak langsung karena dipergunakan untuk kerjasama atau transaksi yang melibatkan para pihak, maka harus dinyatakan legal walaupun hambatannya bersifat tambahan ( ancillary). Hakim Peckham menciptakan dikotomi yang tegas dan untuk menghindarkan akibat dari versi pendekatan ini, maka hanya dibutuhkan bahwa hambatan itu hanya bersifat tambahan dalam kerjasama dan transaksi. Dalam analisisnya Hakim Peckham sangat terfokus pada pendekatan Perse Illegal saja dan tidak melihat peluang adanya Rule of Reason.
Disamping itu dikenal juga pendekatan Rule of Reason versi Hakim Taft dimana hakim Taft menyarankan pendekatan Hakim Peckham tetapi dengan menegaskan bahwa hambatan yang bersifat tambahan ( ancillary) harus tetap dievaluasi.83 Keduanya sama-sama setuju bahwa hambatan mutlak dan langsung akan diberlakukan pendekatan Perse Illegal. Pendekatan Hakim Taft adalah dengan mempertanyakan apakah setiap hambatan memiliki hambatan terhadap fungsinya. Bila ya, maka peradilan harus menggunakan evaluasi penuh untuk Rule
83
Ibid , hal. 110, Dalam hal ini Hakim Taft juga memberikan pemikiran yang rasional mengenai penerapan hambatan tambahan (ancillary restraint ), yaitu bahwa seluruh hambatan dalam persaingan dinyatakan melanggar hukum kecuali: (1) hambatan yang sifatnya tambahan terhadap perjanjian utama, misalnya perjanjian tidak akan bersaing dengan pembeli atau partner, pekerja untuk tidak bersaing dengan perusahaannya, (2) hambatan itu sifatnya suatu keharusan demi untuk melindungi kepentingan esensi usaha dari kontrak yang diperjanjikan dan (3) sifat hambatan tidak melebihi dari apa yang sepatutnya dibutuhkan untuk mengatur perjanjian bisnis tersebut.
Universitas Sumatera Utara
of Reason untuk menentukan apakah hambatan itu memang benar dan bila ya,
kemudin ditentukan apakah hambatan tersebut beralasan atau tidak. Bila hambatan tambahan tidak memenuhi syarat maka ketimbang menggunakan evaluasi Rule of Reason, maka dipergunakan pendekatan Perse Illegal. Hakim Taft menggunakan pendekatan keduanya sekaligus tanpa membedakan formatnya yang vertikal, horizontal, harga atau non-harga atau boykot. Dibutuhkan hanya analisis mengenai fungsi dan evaluasi kemudian dimulai dari titik itu.
Pendekatan yang lain adalah penentuan berdasarkan analisis Presumptive (Kemungkinan). Analisis ini berasal dari melihat deskripsi fakta berdasarkan (a) fungsi ekonomi dari hambatan, (b) keberadaan hambatan yang sifatnya “internal” atau “eksternal”, (c) kedudukan para pihak yang relatif independen, dependen yang berhubungan dengan subjek hambatan dan (d) bila memang sifatnya mutlak, apakah ada kekecualian yang diijinkan oleh Undang-undang.
Dengan melihat pendekatan ini dan mencermati bagaimana peradilan di negara yang telah memiliki Undang-Undang Hukum Persaingan telah ada lebih dulu, maka sampai saat ini dapat dikatakan bahwa perdebatan mengenai standar “reasonableness ” ataupun akibat sosial atau akibat yang ditimbulkan terhadap proses persaingan masih berlangsung. Dalam substansi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 umumnya mayoritas juga menggunakan pendekatan Rule of Reason. Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 maka substansi pasal-pasalnya yang menggunakan pendekatan Rule of Reason tergambar dalam konteks kalimat yang membuka alternative interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan dulu
Universitas Sumatera Utara
akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam Undang-undang apakah menciptakan praktik monopoli ataupun praktik persaingan
tidak
sehat.
Sebagai
contoh
dari
interprestasi
pasal
yang
menggambarkan Rule of Reason adalah dalam kalimat yang membuka peluang analisis dengan melihat akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan sebelum dinyatakan melanggar undang-undang. Lihat pasal 1 ayat (2) “……. Sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”. Pasal 4 “……… yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 7, 2, 22 dan 23 “……. yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 8 “…… sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 9
“…..
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 11, 12, 13, 16, 17, 19 “……. yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 14, “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan masyarakat”. Pasal 18, 20, 26 “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 28 ayat (1) dan (2) “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat” Pasal 10 ayat (2) “….. sehingga perbuatan tersebut: (a) merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain atau.”
Oleh sebab itu harus dipersiapkan bahwa kelak KPPU akan menghadapi berbagai kemungkinan dalam upaya menegakkan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 karena berbagai proviso atau klausula undang-undang yang sifatnya sangat
Universitas Sumatera Utara