1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masjid terbakar ditemukan terjadi saat muslim menunaikan shalat Ied di Tolikara, Papua. Banyak isu beredar terkait dengan kerukunan umat beragama yang tidak mencerminkan Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa). Bila daerah mampu menciptakan kerukunan, maka stabilitas di daerah akan terpelihara dan pembangunan berlangsung berlan gsung dengan baik. Hal tersebut mendorong para par a pemimpin agama di Papua berkomitmen untuk memelihara kerukunan antar umat beragama. Selama ini kerukunan umat beragama di Papua selalu menjadi contoh dan rujukan di seluruh Nusantara. Jarang ada konflik bernuansa agama yang terjadi di terjadi di Papua. Kejadian masjid terbakar saat muslim shalat Ied 17 Juli 2015 di Tolikara, Papua telah mengundang perhatian dan komentar masyarakat di Nusantara ini. Sampai saat ini peristiwa Masjid terbakar yang ditemukan terjadi saat muslim shalat Ied di Tolikara, Papua masih belum dapat dijelaskan Banyak isu kontroversial yang dimuat di media masa pasca insiden masjid terbakar di Tolikara, Papua. Hal ini akan memicu berbagai tanggapan dari masyarakat luas yang berpotensi memecah belah umat beragama. Tanggapan yang intimidatif dan provokatif tersebut akan akan mempercepat manifestasi perpecahan tersebut. Bila hal ini tidak segera diselesaikan sampai keakarnya dikhawatirkan manifestasi perang atau konflik terjadi lebih cepat. Di Papua terjadi heterogenitas salah satunya adalah ancaman konfik komunal (berbasis etnik, agama atau kombinasi etnik dan agama) yang menjadi dasar adu domba. Perang antar suku di Tolikara, Papua sejak dulu sering terjadi dipicu oleh perebutan lahan, irigasi dan perilaku kesukuan yang berlebihan. Transmigrasi menjadikan Tolikara tempat berkumpulnya berbagai etnis dari Indonesia. Keragaman etnis memunculkan kelompok-kelompok eksklusif baru di dalam 2 komunitas (Islam dan Kristen). Insiden Tolikara berawal dari Surat edaran GIDI yang yang ditujukan ke Pemerintah Daerah sudah beredar di masyarakat yang melarang umat Islam melakukan kegiatan hari Raya, penggunaan pengeras suara, memakai jilbab, dan melarang mendirikan rumah ibadah agama lain. Isu ini
1
2
berkembang luas di masyarakat sebelum revisi tersosialisasikan, bertepatan dengan acara seminar nasional GIDI dan perayaan Idul Fitri tampak seolah-olah ada konflik agama yang mempengaruhi pola pikir masyarakat. Pemahaman yang terbatas oleh masyarakat Tolikara tersebut berakibat pada penghentian paksa sholat Ied oleh massa, aparat keamanan gagal melakukan negosiasi, terjadi penembakan oleh aparat dilanjutkan dengan massa semakin banyak dan berujung pada kerusuhan dan pembakaran kios yang menjalar ke Masjid. Ketiadaan forum kerukunan umat beragama tingkat kabupaten membuat masalah tersebut tidak memiliki forum untuk diselesaikan secara kolektif. Insiden tolikara merepresentasikan terjadinya perubahan karakteristik orang asli Papua yang selama ini dikenal damai. Ancaman kerukunan masih tetap ada di Tolikara dikarenakan oleh wawasan agama rendah, perilaku kesukuan berlebih, dan banyak pendatang dari luar Papua. Ketiga hal tersebut harus ditanggulangi bersama untuk membangun toleransi beragama beragama di Tolikara Papua.
1.2 Rumusan masalah
1. Mengapa wawasan agama rendah terjadi pada masyarakat Tolikara ? 2. Mengapa perilaku kesukuan berlebih terjadi pada masyarakat Tolikara? 3. Mengapa banyak pendatang dari luar Papua terjadi di Tolikara? 4. Mengapa masjid terbakar yang terjadi saat Muslim shalat Ied di Tolikara ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum Menjelaskan masjid terbakar yang ditemukan terjadi saat muslim shalat Ied di Tolikara, Papua. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Menjelaskan wawasan agama rendah yang terjadi pada mas yarakat Tolikara. 2. Menjelaskan perilaku kesukuan kesukuan berlebih yang terjadi pada masyarakat Tolikara. 3. Menjelaskan banyak pendatang dari luar Papua yang terjadi di Tolikara.
3
4. Menjelaskan masjid terbakar yang terjadi saat Muslim shalat Ied di Tolikara.
1.4 Manfaat
1. Menyusun strategi untuk meningkatkan wawasan agama yang rendah pada masyarakat Tolikara. 2. Menyusun stategi untuk mengubah perilaku kesukuan berlebih yang terjadi pada masyarakat Tolikara. 3. Menyusun strategi untuk menyortir pendatang dari luar Papua yang terjadi di Tolikara. 4. Mencegah masjid terbakar yang terjadi saat Muslim shalat Ied di Tolikara tidak terulang.
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tolikara 2.1.1 Keadaan Geografi Tolikara
Tolikara adalah sebuah kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Jayawijaya. Kabupaten Tolikara memiliki luas wilayah 5.234 km2 yang terdiri dari 4 kecamatan (Karubaga, Kanggime, Kembu, Bokondini) dengan Kota Karubaga sebagai ibukota. Di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sarmi, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya, sebelah Barat berbatasan Kabupaten Puncak Jaya dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya. Tolikara terletak di wilayah pengunungan Papua, tidak jauh dari Lembah Baliem dengan iklim Tropis basah, sehingga memiliki banyak sumber daya alam yang berpotensi untuk dikembangkan. Lahan pertanian berupa pertanian tanaman pangan yang meliputi tanaman padi, palawija (jagung, ubi jalar, ketela pohon, kacang tanah, kacang kedelai) dan jenis tanaman holtikultura yang tersebar disetiap Distrik. Menurut Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Papua sumber daya geologi di kabupaten Tolikara adalah batuan pembawa logam. Perjalanan ke Tolikara ditempuh melalui jalur udara dan darat. Jalur udara dari bandara Sentani menempuk waktu 30 menit ke Wamena dengan harga tiket enam ratus ribu hingga satu juta Rupiah. Perjalanan ke Tolikara dilanjutkan dengan perjalanan darat sekitar 3 atau 4 jam tergantung kondisi jalan, ketahanan mobil dan kepiawaian sopir. Sekitar 15 Juta Rupiah untuk 4 hari menyewa pesawat dengan hitungan bia ya perjam, langsung mendarat di bandara udara kecil di Karubaga dari Wamena dengan jarak tempuh sekitar 20 menit. Jalur darat membutuhkan waktu kurang lebih seminggu berjalan kaki untuk tiba di jalan yang kerap dilalui mobil. 2.1.2 Penduduk di Tolikara
Jumlah
penduduk
di
Kabupaten
Tolikara
berdasarkan
data
Dinas
Kependudukan Kabupaten Tolikara pada tahun 2010, tercatat sebanyak 270,3 ribu jiwa. Dengan luas wilayah seluas 14.263 Km2, berarti kepadatan penduduk di 4
5
Tolikara adalah sebesar 18,95 jiwa/km2 yang tergolong masih sangat kecil. Jumlah penduduk Tolikara saat ini sebanyak 114.427 jiwa (Papua 61.120 orang, Non Papua 681 orang. Total 61.801 dan lainnya sekitar 50 ribuan). Jumlah penduduk di ibukota Karubaga hanya setengahnya saja. Suku Lani merupakan suku yang mendiami sebagian besar Kabupaten Tolikara dan sebagian kecil suku Kwiyon, Kwabaki, dan suku Gem di bagian Utara wilayah Kabupaten Tolikara. Pekerjaan utama warganya adalah di bidang pertanian jenis ubi jalar dengan cara tradisional dan peternakan wam (babi), terutama di distrik Kanggime. Selain itu ada usaha batu gamping untuk pengolahan semen. Tradisi bakar batu di Tolikara, Papua merupakan salah satu tradisi penting berupa memasak bersama-sama warga 1 kampung yang bertujuan untuk bersyukur, bersilaturahim dengan mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan (kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku) atau mengumpulkan prajurit untuk berperang. Sekarang tradisi bakar batu menjadi sarana memulihkan keharmonisan hidup yang terganggu dendam peperangan atau kematian dan penyambutan pejabat ke Tolikara. Masyarakat di kabupaten Tolikara, Papua sangatlah kaya akan sumber Daya Alam yaitu logam emas yang sangat melimpah, dan memiliki tempat pariwisata yaitu: obyek wisata Danau Biuk, Cagar alam dan Taman Nasional Lorenz, Gunung Timoni serta kekayaan sumber daya alam akan pertanian, dan mempunyai Freeport yang sebagian besar dikuasai oleh orang asing karena mayoritas masyarakat Tolikara masih terbelakang dan masih rendah akan pendidikan sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan muncul suatu kecemburuan sosial Karena masyarakat Tolikara merasa tidak mampu bersaing di bidang ekonomi. Fakta perekonomian di Tolikara, Papua seringkali dikuasai oleh para pendatang dibandingkan penduduk asli Tolikara dimana penjajahan ekonomi yang berupa pengurasan tambang emas yang diakui sebagai tambang tembaga dimana penjajahan ekonomi tersebut di pelopori oleh pendatang, sehingga terjadi kecemburuan sosial. Hal ini yang memicu masyarakat Tolikara untuk berkonflik, karena masyarakat Tolikara merasa di eksploitasi Sumber Daya Alamnya oleh para pendatang. Selain itu masyarakat Tolikara juga
6
merasa bahwa selama ini masyarakat Tolikara merasa dianak tirikan oleh pemerintah
2.1.3 Perkembangan Agama di Tolikara
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa sejarawan mengatakan bahwa agama Islam adalah agama yang pertama masuk ke Papua. Sejarawan yang berpendapat bahwa agama Islam telah tersebar di Papua pada abad ke-14 adalah Thomas W. Arnold dalam tulisannya The Preaching Of Islam. Proses masuknya yaitu melalui jalur perdagangan, perkawinan, pendidikan non formal dan politik. Islam masuk ke wilayah ini tidak terlepas dari pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore sebagai basis Islamisasi di Indonesia bagian timur. Pengaruh masuknya Islam di kabupaten Fakfak dapat dilihat dengan adanya temuan mesjid kuno dibeberapa tempat yaitu mesjid Merapi, Werpigan, Patimburak, gong, rebana, tongkat cis, songkok raja. Islam juga menancapkan pengaruhnya didaerah Kokas, Fakfak salah satu buktinya adalah keberadaan sebuah Masjid Tua yaitu Masjid Patimburak. Jos Mansoben dalam Pamungkas (2014) sistem kepercayaan Melanesia atau agama suku adalah sumber nilai-nilai mampu menyatukan orang asli Papua baik Kristen atau Muslim. Dalam era kolonial, perbedaan agama di antara orang Papua tidak pernah bermasalah di daerah titik kontak antara Kristen dan Muslim, yaitu di Fak-fak dan Kaimana. Meskipun mereka berbeda agama, namun ikatan etnis dan adat istiadat menguatkan sebuah praktik keagamaan yang inklusif, toleran dan terbuka. Kristen tercatat datang untuk pertama kali di Manokwari ketika seorang misionaris Jerman C.W. Ottouw dan G.J. Geissler mendarat di Papua pada 5 Februari 1855. Dan mereka kemudian pelopor kegiatan misionaris di Mansinam. Saat ini nama-nama orang misionaris monumentalized ke dalam nama-nama sekolah dan rumah sakit di Papua. Katolik datang untuk pertama kalinya di Papua pada tahun 1896, namun evangelisasi intensif dimulai pada tahun 1902 dengan kedatangan jemaat MSC ( Missionaries of the Sacred Heart ) dan OFM. Jos Mansoben memandang bahwa kehadiran Kristen Protestan dan Katolik
7
melakukan menyatukan suku-suku Melanesia yang berbeda ke dalam masyarakat berdasarkan agama yang sama. Menurut FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Provinsi Papua (2015), Agama utama di Tolikara adalah Kristen GIDI (Gereja Injil di Indonesia). GIDI pertama kali dirintis oleh tiga orang dari Badan Misi UFM dan APCM yaitu Hans Veldhuis, Fred Dawson, Russel Bond. Setelah merintis pos di Senggi termasuk membuka lapangan terbang pertama Senggi (1951-1954). Dilanjutkan di area Danau Acrhbold sebagai Camp Injili dan meletakkan dasar teritorial penginjilan. Sejalan dengan masa peralihan Irian Barat ke wilayah NKRI dimana nama Irian Barat diganti dengan Irian Jaya. Pada tahun 1988 nama gereja ini berubah menjadi Gereja Injili Di Indonesia (GIDI). Gereja ini berdiri sejak tanggal 12 Februari 1962. Terdaftar pada Departemen Agama RI di Jakarta. Secara keseluruhan, penginjilan di Pegunungan Tengah, termasuk di Kabupaten Tolikara merupakan rintisan dan perjuangan dari GIDI, di mana banyak masyarakat asli Papua yang tadinya belum mengenal agama kemudian menjadi penganut agama Kristen (GIDI). Selain itu, perubahan peradaban dari “kegelapan” warga Papua di Pegunungan Tengah, termasuk di Tolikara, tidak terlepas dari perjuangan GIDI melalui sekolah-sekolah dan klinik yang dibangun mereka. Sebagai tambahan, GIDI juga membuat lapangan terbang dan terbangunnya sektor ekonomi dengan mengajak para pedagang (mayoritas pendatang beragama Islam) untuk berdagang di sana, dan juga guru-guru SD untuk mendidik warga di sana. Sejak kehadiran pedagang dan guru-guru SD sudah terjalin hubungan yang baik dengan masyarakat setempat. GIDI Memiliki 2 buah rumah sakit swasta, dan tempat pendidikan dari TK-PAUD hingga perguruan tinggi yang tersebar di
seluruh
wilayah GIDI. Menurut FKUB Provinsi Papua (2015), kehadiran Islam di sana ditandai dengan pengiriman (dropping ) guru Sekolah Dasar (SD) tahun1980-an (khususnya 1987) yaitu Bapak Tukiran, Bapak Nasrun, dll, dari pulau Jawa. Terdapat sekitar 1000-an jiwa yang memeluk Islam, yang hampir seluruhnya adalah pendatang dari Makassar dan Jawa. Status tanah tempat berdirinya Mushalla tersebut sejauh ini masih kontroversial. Berdasarkan informasi Imam Ali Mukhtar, sesungguhnya sudah ada surat pelepasan adat yang ditandatangani
8
kepala suku dan camat tersebut, dan hal tersebut sudah di konfirmasi kepada pak Sarno yang telah 30 an lebih tahun menetap di Tolikara. Saat ini, surat tanah tersebut sudah diserahkan kepada Uztas Ali Usman untuk disimpan. Tahun-tahun awal kehadiran Islam masyarakat Muslim jumlahnya hanya puluhan saja, dan juga tidak terlalu antusias dan aktif dalam kegiatan keagamaan, kecuali pelaksanaan shalat lima waktu yang cukup aktif. Bahkan, menurut Ustad Ali Usman, shalat Jumat sebelum tahun 2006 hanya sekitar 10 hingga 20 jemaah Muslim yang hadir. Mushalla dikelola Satgas Rohani dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) (2006), yang bertugas untuk menjadi khatib dan juga imam. Dalam kenyataannya, satgas tersebut kerap juga berhalangan dan digantikan olah Ustad Ali Usman. Ritual keagamaan di Tolikara bersifat cair, tidak tersekat oleh kotak-kotak lairan yang kaku. Artinya, tidak ada yang dominan antara NU dan Muhammadiyah. Misalnya, tidak ada persoalan tentang qunut atau tidak di dalam shalat Subuh. Menurut Ustas Ali Mukhtar, “yang masalah adalah kalau orang tidak shalat subuh”. Jadi, toleransi antara umat Islam secara interen tidak ada masalah. Pertumbuhan umat Islam telah menyebabkan daya tampung Mushalla menjadi terbatas terutama untuk pelaksanaan hari raya. Maka, sejak 2009 pelaksanaan hari raya selalu dilaksanakan di luar Musholla dan sebelum insiden terjadi tidak pernah ada masalah. Secara keseluruhan, hubungan Islam dan Kristen GIDI pada dasarnya sangat baik. Tercermin pada saat lebaran umat GIDI sering berkunjung ke rumah umat Islam dan sebaliknya juga umat Islam mengunjungi umat GIDI pada perayaan natal. Pada peristiwa insiden Tolikara, sebagian umat GIDI sedih karena mereka tidak bisa mengunjungi rumah sahabat mereka yang beragama Islam. 2.2 Konsep Kesukuan 2.2.1 Definisi Suku
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), suku adalah golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan. Kesukuan adalah perihal atau sifat mengenai suku (bangsa). Suku bangsa adalah kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa.
9
2.2.2 Perilaku Kesukuan Berlebih
Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (stimulus dari luar atau dalam individu).Respon dibedakan menjadi 2, yaitu: 1. Respondent Respons atau Reflexive Respons, merupakan respon yang ditimbulkan
oleh
rangsangan
tertentu.
Respon
ini
sangat
terbatas
keberadaannya pada manusia karena hubungan yang pasti antara stimulus dan respon kemungkinan untuk memodifikasinya sangat kecil. 2. Operant Respons atau Instrumen Respons, merupakan respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Respon ini merupakan bagian
terbesar
dari
perilaku
manusia
dan
kemungkinan
untuk
memodifikasinya sangat besar bahkan tak terbatas. Perasaan kesukuan yang berlebihan atau primordialisme etnis merupakan konflik
sosial
dipengaruhi
oleh
kemajemukan
masyarakat.
Pengertian
primordialisme menurut Robuskha dan Shepsie (1972) adalah loyalitas yang berlebihan terhadap budaya subnasional seperti suku bangsa, agama, ras, kedaerahan, dan keluarga. Perilaku itu timbul di setiap anggota masyarakat dengan mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nil ai dan norma kelompoknya, dengan menganggap kelompoknya lebih tinggi dari kelompok lain. Perilaku kesukuan berlebih merupakan faktor penting untuk memperkuat ikatan golongan suatu kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Perilaku tersebut dapat berdampak positif maupun negatif. Kecintaan terhadap budaya-budaya daerah seperti adat istiadat, kesenian daerah dan kekayaan kulinernya merupakan sebuah sikap yang diperlukan dan harus dipupuk. Akan tetapi ketika rasa cinta yang berlebihan terhadap daerah asal tidak perlu tumbuh, karena akan menghambat modernisasi dan proses pembangunan sehingga menghambat terjadinya integrasi nasional. Lebih jauh lagi, akibat terlalu kuat perilaku ini dapat memicu potensi konflik antara suku-suku bangsa dan menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga perilaku ini harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi.
10
Kemajemukan masyarakat di tanah Papua kerap menjadi sumber timbulnya konflik yang berakhir dengan perang antar suku. Perang suku di Papua sudah terjadi sejak dulu dikarenakan oleh perebutan lahan atau irigasi. Selain itu masyarakat Papua masih primitif yang lebih memilih menyelesaikan konflik dengan cara nenek moyang mereka. Masyarakat Papua memiliki keterikatan yang kuat antar anggota suku atau memiliki kecenderungan untuk mempertahankan keutuhan sukunya terkadang berlebihan. Menurut R. William Liddle dalam buku Ethnicity, Party and National Integration: An Indonesia Case Study, menulis bahwa masalah integrasi nasional bisa timbul oleh dua dimensi yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi horizontal berupa masalah akibat ikatan primordialisme, seperti perbedaan suku, ras, agama dan aliran yang lainnya. Dalam konteks ini masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) merupakan penyulut utama konflik jika masing-masing golongan tidak memiliki toleransi yang tinggi terhadap golongan yang lain. Sedangkan dimensi vertikal berupa masalah yang terjadi akibat dari kelompok-kelompok tertentu yang muncul dan berkembang sebagai jurang pemisah (gap) antara mayoritas dengan minoritas atau antara golongan elit yang berjumlah sangat kecil dengan mayoritas terbesar masyarkat biasa (massa). Latar belakang pendidikan kekotaan menyebabkan kaum elite berbeda dari massa yang cenderung berpandangan tradisional. Hal tersebut menimbulan rasa keterasingan atau rasa kecemburuan dari golongan minoritas atau rakyat biasa. Masalah yang berkenaan dengan dimensi vertikal lebih sering muncul ke permukaan setelah berbaur dengan dimensi horizontal, sehingga memberikan kesan bahwa dalam kasus Indonesia dimensi horizontal lebih menonjol
daripada
dimensi
vertikalnya
(Sjamsuddin,
1989
dalam
www.edukasippkn.com).
2.3 Konsep Transmigrasi 2.3.1 Definisi Transmigrasi
Menurut Heeren (1979), “transmigrasi ialah perpindahan, dalam hal ini memindahkan orang dari daerah yang padat ke daerah yang jarang penduduknya
11
dalam batas Negara dalam rangka kebijaksanaan nasional untuk tercapainya penyebaran penduduk yang lebih seimbang”. Menurut Raharjo (1995) dalam Gustina (2002) pertemuan beberapa kelompok etnis di pemukiman transmigrasi akan membuahkan dua kemungkinan, yaitu bersifat positif maupun negative sebagai perwujudan interaksi sosial. Hal yang bersifat positif timbul bila pertemuan menciptakan suasana hubungan sosial yang harmonis dalam masyarakat baru. Hal yang bersifat negative muncul bila pertemuan beberapa golongan etnis menimbulkan suasana hubungan sosial yang tidak harmonis, karena adanya perbedaan sikap dalam memandang suatu objek yang menyangkut kepentingan bersama. Hal ini menyebabkan hubungan antar golongan menjadi tegang dan gampang menjurus kepada konflik.
2.3.2 Pendatang dari luar Papua
Sensus penduduk BPS tahun 2002 menyebutkan bahwa presentase jumlah penduduk asli Papua adalah 52 % sedangkan pendatang 48%. Pada tahun 2010 BPS Provinsi Papua Barat melaporkan bahwa jumlah orang Asli Papua di propinsi itu sebanyak 51,67% dari total 760.000 jumlah keseluruhan penduduk Papua Barat, artinya jumlah penduduk Papua Barat antara Papua asli dan pendatang adalah fifty-fifty. Hingga pertengahan tahun 2010 jumlah Orang Asli Papua mencapai 1.730.336 atau 47.89% sementara non Papua mencapai 1.882.517 atau 52,10%. Diakhir tahun 2010, orang asli Papua mencapai 1.760.557 atau 48.73% dan populasi non Papua mencapai 1.852.297 atau 51.27%.
Jadi,
jumlah
keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3.612.854 atau 100%. Jim Elmslie memperkirakan, tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan akan mencapai 7.287.463 atau 100% dengan pembagian jumlah orang Asli Papua 2.112.681 atau 28.99% dan jumlah non Papua 5.174.782 atau 71.01%. Itu mengindikasikan, pertumbuhan jumlah orang asli Papua lambat dibandingkan non Papua. Jim mengatakan bahwa selain masalah sosial dan pelanggaran HAM penyebab utamanya adalah migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar. Anthonius Ayorbaba dalam Alex Rumaseb mengatakan, angka migrasi ke Papua pertahun sebesar 6,39 persen. Sehingga dari data sensus
12
penduduk sebenarnya orang Papua ada 30 persen dan pendatang ada 70 persen (Edoway, 2015). Terdapat fakta bahwa Tolikara banyak pendatang dari luar Papua, yaitu dari Jawa, Sulawesi dan Madura. Para pendatang menyambung hidup dengan memiliki pencaharian sebagai pedagang, memiliki kios-kios tempat berjualan, lambat laun seiring dengan kerja kerasnya “para pendatang” mendapatkan kemapanan ekonomi. Akan tetapi, bertolak belakang dengan “warga pribumi” asli Papua, mereka masih hidup dalam serba kekurangan. Pencaharian sebagai petani maupun “berburu” tentunya tidak membuat warga asli Papua seber untung warga pendatang. Kebetulan, warga pribumi adalah mayoritas agama Kristen, sedangkan warga pendatang penganut agama Islam. Dengan kondisi sosial seperti ini sangat rentan terjadi konflik baik disebabkan oleh kecemburuan ekonomi, gesekan antar suku pendatang - pribumi maupun pertentangan antar penganut agama Kristen dan Islam. Dalam proses transmigrasi terjadi interkasi antar etnik, budaya, dan agama di Indonesia khususnya di Papua yang memiliki dampak positif dan negatif. Menurut Siti Fatimah dan Anharudin (2013), transmigrasi di Papua memiliki dampak positif, antara lain : 1. Program transmigrasi telah membentuk desa-desa baru yang berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru, beberapa lokasi transmigrasi menjadi ibukota kabupaten (Aimas di Kabupaten Sorong, Waren Botawa di Kabupaten Yapen dan Arso di Kabupaten Keerom). Mengingat luas wilayah di Papua masih sangat luas (+421.981Km 2), sehingga prospek transmigrasi di Papua dalam membentuk desa-desa baru sebagai cikal bakal pusat pertumbuhan masih dibutuhkan. 2. Membuka keterisolasian, pembangunan prasarana fisik seperti jalan dan jembatan telah membuka isolasi wilayah yang selama ini tidak tersentuh pembangunan.
Keterisolasian
wilayah
yang
sudah
terbuka
membuat
akasesibilitas antar wilayah semakin baik, sehingga kesenjangan antar perkembangan wilayah dapat dikurangi.
13
3. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), prospek perkebunan bagi pengembangan program transmigrasi di Papua masih terbuka lebar karena + 7,2 juta ha tanah di Papua cocok untuk areal perkebunan. 4. Pusat produksi pertanian, sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2002 tentang pemekaran 14 kabupaten baru, bersama dengan terbentuknya ibukota kabupaten baru, maka harus disertai dengan mengembangkan daerah hinterland sebagi pusat hasil produksi pertanian. Masyarakat Papua kini telah resisten terhadap transmigrasi di Papua yang tercermin dalam Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang menangguhkan program transmigrasi sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dampak negatif dari transmigrasi di Papua (Siti Fatimah dan Anharudin, 2013), antara lain: 1. Transmigrasi di Papua dianggap telah mengambil tanah-tanah subur milik orang asli Papua, merampas tanah milik penduduk asli tanpa ganti rugi tanah yang memadai, tidak ada keberpihakan (affirmative policies) terhadap penduduk
asli
sekitar,
pembangunan
kampung-kampung
asli
kurang
diperhatian, dan masuknya orang-orang (transmigran) yang tidak produktif dan miskin ke tanah Papua. 2. Di masa lampau transmigrasi di Papua dipandang telah melakukan pelanggaran hak-hak
masyarakat
lokal,
dengan
mengambil-alih
lahan
masyarakat,
memberikan perlakuan diskriminatif terhadap penduduk setempat, dan memberi kesempatan pada etnis Jawa untuk menguasai sumber-sumber ekonomi lokal. Sebanyak 217 lokasi eks Unit Permukiman Transmigrasi di Papua telah berkembang menjadi kampung definitif, menjadi distrik dan mendorong pemekaran-pemekaran wilayah. Kabupaten Keerom dan Distrik Muara Tami merupakan salah satu contoh karena mayoritas penduduknya berasal dari transmigran asal Jawa. 3. Citra transmigrasi di Papua dikaitkan dengan pandangan politis yang sedikit berciri etnosentris. Misalnya transmigrasi (yang dipahami sebagai masuknya orang luar Papua ke Papua), dalam jangka panjang muncul hegemoni kultural orang Jawa di Papua, supremasi ekonomi para pendatang di pelosok-pelosok perdesaan, dominasi demografis etnis non-Papua di Papua, atau kecemburuan sosial ekonomi atas kesuksesan sosial-ekonomi orang-orang non-Papua.
14
2.4 Insiden Tolikara 2.4.1 Kronologi Insiden Tolikara Versi FKUB
Sabtu, 11 Juli 2015. Badan Pekerja Wilayah Toli (BPWT) GIDI, membuat surat tertanggal 11 Juli 2015 No Surat 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 perihal pemberitahuan kepada umat Islam di Tolikara. Badan Pekerja di Wilayah Toli Gereja Injili di Indonesia (GIDI) memberitahukan bahwa pada 13-19 Juli 2015 ada kegiatan seminar dan KKR pemuda GIDI tingkat internasional. Sehubungan dengan kegiatan tersebut kami dari pimpinan GIDI memberitahukan bahwa: 1. Acara membuka lebaran tanggal 17 Juli 2015, kami tidak mengijinkan dilakukan di wilayah Kabupaten Tolikara dan Kabupaten Karubaga. 2. Boleh melakukan kegiatan hari raya di luar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau Jayapura 3. Dilarang kaum Muslim memakai pakian Jilbab atau sejenis Jilbab 4. GIDI wilayah Toli melarang Agama lain dan gereja Dedominasi lain tidak boleh mendirikan tempat-tempat ibadah di wilayah Kabupaten Tolikara dan Gereja Advent di distrik Vairu, sudah kami tutup dan jemaat Gereja Advent bergabung dengan dengan GIDI. Surat tersebut ditandatangani: Ketua BPWT GIDI Pdt Najus Wenda,S.Th, dan Sekertaris Pdt Marthen Djingga, S.Th, MA. Surat tersebut di tembuskan kepada Bupati, DPR Kab Toli dan Kapolres. Senin, 13 Juli 2015. Surat edaran tersebut diterima Kapolres AKBP Soeroso SH (menjabat sejak September 2014), permintaan keamanan dari panitia Pelaksana Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) 15 s/d 19 Juli 2015. Hal tersebut diperlukan sebagai dasar untuk mengeluarkan surat perintah bantuan keamanan. Kapolres perintahkan Wakapolres dan Kasat Bimas untuk menemui panitia KKR disekertariat untuk menanyakan surat permintaan keamanan tersebut. Bila ada kesulitan maka perlu dibantu mengonsepkan setelah dikonsepkan baru ditandatangani oleh ketua dan sekretaris. Hal ini harus segera, karena untuk merencanakan bantuan pengamannya, ijinnya dari Mabes Polri bukan dari polres atau Polda setempat karena menyangkut adanya peserta warga negara asing, di antaranya Papau New Guinea (PNG) dan Manus. 1. Pada hari tersebut, Bupati dan Ketua DPRD, tidak berada di tempat.
15
2. Pukul 09.30 WIT, koordinasi Kapolres di Karubaga per telpon dengan Bupati, yang sedang berada di Jakarta, namun besok malam beliau sudah berada di Karubaga. Selasa, 14 Juli 2015. Bupati mencoba menghubungi ketua BPWT, namun beliau tidak berada di Tolikara. Surat tersebut dikonfirmasi pada Ketua BPWT, ternyata surat tersebut memang benar beliau tanda tangan, dan Bupati minta diralat dengan sholat Idul Fitri diadakan dalam Mushollah saja. Oleh karena persiapan di tempat Seminar KKR belum siap, Bupati meminta ke panitia agar KKR ditunda ke Bulan Oktober 2015. Panitia mengatakan tidak mungkin ditunda, karena semuanya terjadwal. Rabu, 15 Juli 2015 1. Pagi-pagi, dengan pesawat Pilatus, bersama Bupati, Kapolres dan ketua DPRD, mengunjungi Distrik Panago dan Giga, dimana terjadi perang suku. Konflik ini terjadi sejak tgl 9 Juli 2015. 2. Sore : Pembukaan Seminar dan KKR
yang dihadiri Gubernur dan tidak
dihadiri Bupati. 3. Pukul 19.00 WIT, pemotongan pita peresmian Monumen GIDI. 4. Surat revisi yang tertanggal 15 Juli 2015
dibuat Panitia Pelaksana surat
tersebut pak Mathen Djingga dan Bpk Wenda yang menanda tanganinya. (Surat tersebut baru sampai di Kapolres Sabtu pagi sesuai dengan pengakuan Bpk Marthen Djingga di depan Kapolri pada pertemuan di Koramil tgl 22 Juli 2015). 5. Informasi pihak Kanwil Jayapura, tembusan permintaan ijin diterima tanggal 15 sore, dan pegawai telah pulang kantor. Kamis, 16 Juli 2015 1. Koordinasi Kapolres melalui telpon/SMS dengan pak Bupati. 2. Koordinasi Kapolres melalui telpon dengan Presiden GIDI. Jumat, 17 Juli 2015 1. Rencana pelaksnaan sholat Idul fitri pukul 06.30-07.30. Karena Mushollah Baithul Muttaqien setelah penembakan pertama memang belum ada kebakaran karena penembakan itu menghentikan pergerakan massa yang semakin banyak dan semakin brutal.
16
2. Di ujung landasan, juga terdengar tembakan. Bersama terlihat asap di belakang pohon beringin. Kios yang pertama terbakar adalah milik pak Sarno, kemudian api menjalar ke atas dan ke bawah. Kemudain kios ketiga, yang jualan bensin dan solar. Termasuk juga mobil ikut terbakar. Kemudian Mushollah ikut terbakar. 3. Api padam setelah 2 jam, dan 70 kios terbakar serta sebuah Mushollah, 1 orang meninggal dunia,11 luka-luka yang dievakuasi ke Wamena dan Jayapura untuk pengobatan. Sabtu. 18 Juli 2015. 1. Surat revisi tanggal 15 Juli 2015,
diantar ke Polres, tetapi
siapa yang
mengantarkan tidak diketahui. 2. Surat revisi tanggal 15 Juli 2015, diterima oleh Ustad Ali Mukhtar. 3. (Pada Pertemuan dengan bapak Kapolri di koramil tanggal 22 Juli 2015), Bpk Marthen Djingga mengakui surat tertgl 11 Juli memang dia menandatangani bersama Bpk Wenda. Juga diakui tgl 15 Juli telah membuat surat revisi/ralat. Dan juga bpk Marthen Djingga di depan Bpk Kapolri meminta maaf bpk Kapolres karena tidak sempat diantar ke polres sehingga surat itu tidak sampai tepat waktu)
Pada tanggal 17 Juli 2015 pukul 07.00 WIT saat Jamaah Muslim akan memulai shalat Ied di lapangan Makoramil 1702-11/Karubaga, Pendeta Marthen Jingga dan sdr. Harianto Wanimbo (koordinasi lapangan) berorasi. Menggunakan megaphone, mereka menghimbau kepada jamaah shalat Ied untuk tidak melaksanakan ibadah shalat Ied di Tolikara. Lima menit kemudian, massa yang di koordinir oleh Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (koordinasi lapangan) berdatangan dan melempari jamaah yang shalat dengan batu dari luar lapangan. Massa juga melakukan pelemparan batu dan perusakan kios-kios yang berada dekat dengan Masjid Baitul Muttaqin. Aparat keamanan yang datang berusaha membubarkan massa dengan tembakan namun massa semakin bertambah dan melakukan pelemparan batu kepada aparat keamanan. Kurang lebih pukul 08.00 WIT, massa yang merasa terancam akibat tembakan peringatan aparat keamanan melakukan pembakaran kios milik Bapak
17
Sarno bertujuan agar api berembet membakar Masjid Baitul Muttaqin. Hanya 30 menit, api sudah membakar kios-kios lain dan menjalar menuju masjid. Api cepat membakar karena ada kios yang menjual bensin. Sekitar pukul 09.00 WIT, bangunan kios-kios dan masjid habis terbakar. Setelah itu massa dari Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo berkumpul di ujung bandara Karubaga dan tidak lama kemudian membubarkan diri. Aparat keamanan sempat menembak tiga dari 11 orang yang diduga pelaku penyerangan. Endi Wanimbo (15 tahun) yang turu melakukan aksi penyerangan meninggal dunia karena luka tembak. 10 orang lainnya dirawat di Rumah Sakit Wamena, Kabupaten Jayawijaya dan RSUD DOK 2, Jayapura. Terdapat 11 bangunan kios, 3 rumah dan Musala Baitul Muttaqin yang terbakar akibat kejadian tersebut.
2.4.1 Isu Kontroversial Dibalik Insiden Tolikara
Bagian berikut ini akan mengklarifikasi beberapa isu tidak akurat yang sudah terlanjur simpang siur dipelbagai media massa,. Isu-isu tersebut merentang dari Peraturan Daerah (Perda) yang masih mengundang rasa penasaran banyak pihak. Demikian halnya, surat edaran 11 Juli 2015 yang diduga salah satu sumber masalah yang memicu insiden; surat revisi yang sudah dibuat tanggal 15 Juli 2015, namun belum tersosialisasi, masjid atau mushollah, pembakaran masjid atau terbakarnya masjid? dst. 1. Perda Keagamaan “diskriminatif” Salah satu perkara yang banyak diperbincangkan dalam insiden Tolikara adalah isu yang merebak tentang kehadiran peraturan daerah (Perda) yang diskriminatif tentang pengaturan keagamaan khususnya terhadap umat Islam setempat. Misalnya, pelarangan pendirian masjid dan pelarangan jilbab di Karubaga. Isu ini sudah berhembus kuat ketika insiden terjadi, dan juga menyita banyak perhatian dan mengundang sejumlah pertanyaan. Selain itu, diduga kuat keluarnya Surat Edaran 11 Juli dari GIDI Wilayah Toli juga merupakan turunan dari Perda “siluman” ini. Jaringan Lintas Iman Indonesia (JAII) menyoroti masalah Perda tersebut. Elga Sarapung dari Yayasan Dian/Interfidei, dalam komunikasi dengan anggota tim FKUB yang turun
18
lapangan (turla) ke Karubaga, menyatakan, “kemungkinan besar itu hanya Peraturan Bupati (Perbup). Jadi tidak ada yang disebut Perda tersebut. Karena data fisiknya yang dijanjikan kepada saya tidak dikirim” (Kontak via Handphone). Selain itu, ada juga yang mempersoalkan aspek diskriminatif dari perda tersebut terhadap umat Islam karena di antaranya ada larangan berjilbab bagi muslimah. “Tolong diungkap Perda misterius tersebut!”. Hal ini mesti diklarifikasi langsung dengan pihak pemerintah daerah dan DPRD setempat supaya ada kejelasan. Hasil penelusuran tim FKUB di lapangan menemukan fakta bahwa Perda yang dimaksud masih dalam bentuk rancangan yang memang telah disahkan oleh DPRD Tolikara. Namun, Perda tersebut belum berlaku, karena mesti ada konsultasi dengan Gubernur dan diteruskan ke Kemendagri. Singkatnya, sejauh ini yang disahkan baru rancangan Perdanya. Dalam tata perundangan yang disampaikan bapak Bupati Tolikara, Usman G. Wanimbo, Perda tersebut belum ditindaklanjuti ke Gubernur dan Kemendagri. Karenanya, secara hukum Perda tersebut belum memenuhi syarat sebagai Perda yang sudah definitif untuk berlaku dan bersifat mengikat secara hukum (legally binding). Data fisiknya juga belum bisa dilihat karena staf Bupati Tolikara yang menyimpan data itu lagi pulang kampung. Menurut Bupati Tolikara, “memang Perda tersebut rancangannya yang sudah disahkan bupati. Awalnya hal tersebut merupakan hasil rapat 4 tahunan wilayah Toli sekaligus pemilihan ketua wilayah. Dari aspirasi masyarakat kemudian dibahas di DPRD dan rancangannya disahkan” (Wawancara di Tolikara, 24 Juli 2015). Senada dengan itu, Soeroso, Kapolres Tolikara, menyatakan bahwa hal tersebut sudah dirapatkan di DPR dan disetujui beberapa fraksi”. Ini artinya, bahwa Perda tersebut memang telah dibahas di DPRD Tolikara. Selanjutnya Wanimbo menuturkan, “bahwa memang prosedur dan kasus perda itu berasal dari aspirasi masyarakat. Kalau ada aspirasi dari masyarakat dibuat rancangan sementara untuk disahkan. Kalau sudah setuju dikonsultasikan ke Gubernur, terus diteruskan ke Mendagri” (Ibid). Namun, dalam faktanya hingga kini Perda tersebut baru rancangan, karena belum pernah dikonsultasikan ke Gubernur Papua dan diteruskan ke Kemendagri.
19
Secara singkat, Perda keagamaan di Tolikara belum berlaku secara definitif, hanya berupa rancangan semata. 2. Surat Edaran 11 Juli 2015 Surat Edaran 11 Juli 2015, yang berisi 3 poin yang intinya larangan melaksanakan Idul Fitri di Tolikara, boleh salat Id di Wamena atau Jayapura dan pelarangan jilbab (lihat lampiran), benar- benar banyak mengundang rasa penasaran warga masyarakat, terkait keasliannya dan mengapa hingga dikeluarkan sehingga berujung pada terjadinya insiden berdarah tersebut di hari raya. Untuk keaslian surat edaran tersebut, maka dapat dipastikan bahwa surat edaran tersebut itu memang benar-benar ada atau asli. Bukan palsu (hoax). Bupati telah membenarkan bahwa surat. 3. Masjid atau Mushollah Masjid adalah salah satu tempat ibadah untuk umat Islam di manapun saja mereka berada. Ia adalah tempat yang dihormati sebagaimana rumah ibadah lainnya, dan perusakan atau pembakaran (baca: terbakar) suatu masjid akan melahirkan respon Muslim secara khusus, baik yang santun hingga yang anarkis. Salah satu pertanyaan yang menggantung di benak warga masyarakat apakah bangunan yang terbakar itu merupakan suatu masjid atau mushalla. Berdasarkan keterangan dari seorang kolega, Uztas di Jayapura, yang pernah mengisi pengajian Isra Mi'raj di Masjid Baitul Muttaqien, beberapa bulan sebelumnya, bahwa dari segi papan nama memang terpampang nama masjid. Selain itu, ia juga mengakui bahwa tempat ini telah umum digunakan untuk salat Jum'at. Menurut observasinya, luas bagian dalam masjid sekitar 11x11 meter, dan juga ada kamar tamu seukuran 3x4 m (Wawancara dengan Uztas M, di Jayapura). Senada dengan pernyataan di atas, pengakuan Imam bahwa nama masjid memang sering dipampatkan kepada tempat ibadah umat Islam tersebut. Meskipun, ijin awal penggunaan adalah Musholla. Namun, setelah jumlah Muslim bertambah dan Mushollah itu digunakan untuk sholat Jumat maka namanya sering dipertukarkan antara Masjid dan Mushalla. Menurut Imam Ali Muchtar, “Dari ijin pembangunan disebut Mushollah. Masyarakat di sini menggunakan nama Mushollah. Setelah digunakan untuk salat Jumat sering
digunakan
nama
masjid.
Tapi
masyarakat
dan
pihak
gereja
20
menggunakan nama Mushallah. Secara interen saya sampaikan baik nama Mushollah atau Masjid tidak jadi masalah selama bisa digunakan untuk shalat” (Wawancara Ali Muchtar di Tolikara). Jadi kesimpulannya, ijin awal dan istilah yang digunakan masayarakat dan pendeta GIDI adalah Musallah. Namun, penggunaan istilah masjid digunakan juga karena Mushollah tersebut sudah digunakan untuk shalat Jumat, maka juga dinamakan masjid, termasuk papan nama “Masjid Baitul Muttaqien” yang digunakan.
2.5 Kerangka Konseptual
Tolikara, Papua
Wawasan agama rendah
Perilaku kesukuan berlebih
Banyak pendatang dari luar Papua
Perubahan karakter masyarakat Tolikara
Masjid terbakar
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Penyebab Masjid Terbakar di Tolikara, Papua
21
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Wawasan Agama Rendah Terjadi Pada Masyarakat Tolikara
Wawasan merupakan hasil mewawas atau tinjauan atau pandangan atau konsepsi cara pandang (KBBI). Islam merupakan agama yang pertama kali berkembang di Papua masuk pada abad 14. Seiring waktu terjadi perubahan yang signifikan terhadap perkambangan agama Islam maupun Kristen. Pemahaman yang kurang tentang agama dan beragama membuat pemeluk agama memiliki wawasan agama rendah, sikap toleransi yang kurang antar pemeluk agama terkadang kurang mampu menahan diri, kurang menghormati, bahkan cenderung menganggap rendah pemeluk agama lain, kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi, timbulnya kecurigaan masing-masing pemeluk agama, dan kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat. Agama bisa menjadi faktor pencetus yang ampuh dalam memunculkan kerusuhan. Apalagi ada provokator yang menyebar isu sehingga memicu kerusuhan. Akibat dari salah paham, dua kelompok umat beragama di Papua terlibat bentrokan saat hari raya Idul Fitri. Berbeda dengan perang suku yang selama ini biasa terjadi di kalangan masyarakat Papua, konflik yang disebabkan sentimen keagamaan tidak pernah terjadi. Toleransi dan kerukunan harus dibangun bersama di antara semua umat beragama. Toleransi yang dalam Islam disebut tasamuh, seperti dulu dipraktikkan Nabi Muhammad, bukan berarti membenarkan atau harus mengakui kebenaran agama lain, tetapi tasamuh adalah membiarkan dan tidak saling mengganggu.
3.2 Perilaku Kesukuan Berlebih Terjadi Pada Masyarakat Tolikara
Perilaku kesukuan berlebih yang terjadi pada masyarakat Tolikara karena kemajemukan masyarakat di tanah Papua. Terdapat suku asli Papua atau suku dari luar Papua. Sejak dulu sudah terjadi perang suku di Tolikara, Papua karena masyarakat masih primitif yang lebih memilih menyelesaikan konflik dengan cara
21
22
nenek moyang mereka. Konflik yang berakhir dengan perang antar suku karena perebutan lahan, irigasi dan tidak melibatkan unsur agama. Banyak kasus yang muncul mengatasnamakan agama namun pada kenyataannya tidak sepenuhnya masalah agama, namun juga karena maslah sosial, ekonomi, dan politik. Mayarakat Tolikara yang masih memiliki perilaku kesukuan berlebih dimanfaatkan oleh pihak luar yang memiliki kepentingan sosial, ekonomi dan politik untuk memecah kerukunan di tolikara sehingga mudah untuk menguasai tolikara termasuk hasil bumi yang berlimpah.
3.3 Banyak Pendatang Dari Luar Papua Terjadi Di Tolikara
Akhir tahun 2010, orang asli Papua mencapai 1.760.557 atau 48.73% dan populasi non Papua mencapai 1.852.297 atau 51.27%, dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa di Tolikara banyak pendatang dari luar Papua, terutama Jawa, Sulawesi dan Madura. Para pendatang yang memiliki pencaharian sebagai pedagang, memiliki kios tempat berjualan disertai kerja keras sehingga mendapatkan kemapanan ekonomi. Akan tetapi, berbeda dengan warga asli Tolikara yang masih hidup kekurangan. Pencaharian bertani dan berburu tidak membuat warga asli Papua memiliki kehidupan yang mapan. Warga pribumi adalah mayoritas agama Kristen, sedangkan warga pendatang penganut agama Islam. Dengan kondisi sosial seperti ini sangat rentan terjadi konflik baik disebabkan oleh kecemburuan ekonomi, gesekan antar pendatang dan pribumi maupun pertentangan antar penganut agama Kristen dan Islam. Kesenjangan sosial ekonomi konskuesi yang logis yaitu masyarakat Tolikara mayoritas sangatlah rendah akan pendidikan sehingga masyarakat asli Tolikara merasa tidak mampu bersaing di bidang ekonomi hal ini berdampak pada pendatang muslim di Tolikara yang pada umumnya mampu menguasai ekonomi sehingga dari sinilah terjadi suatu kesenjangan ekonomi dan muncul suatu kecemburuan sosial yang menimbulkan terjadinya suatu konflik. Dimana masyarakat Tolikara merasa kaya akan kekayaan alam seperti memiliki freeport yang sebagian besar di kuasai oleh Asing, beberapa tambang emas serta kekayaan sumber daya alam tentang pertanian, akan tetapi mereka masih tidak mampu
23
untuk mengolah karena sumber daya manusianya (SDM) yang masih rendah serta mereka masih rendah akan pendidikan dan masih terbelakang. Kecemburuan sosial ini yang memicu masyarakat Tolikara untuk berkonflik, karena masyarakat Tolikara merasa dieksploitasi sumber daya alamnya oleh para pendatang Muslim sehingga mengundang kemarahan masyarakat Tolikara.
3.4 Masjid Terbakar Yang Terjadi Saat Muslim Shalat Ied Di Tolikara
Masjid terbakar yang terjadi saat Muslim shalat Ied di Tolikara tidak hanya disebabkan konflik agama saja melainkan terjadi karena suatu kesalah fahaman antar kelompok agama yang sedang melakukan upacara agama masing-masing, yang bermula karena umat Muslim melaksanakan solat idul fitri dengan menggunakan pengeras suara dari sini terjadi kesalahan komunikasi dimana sebelumnya pemipin GIDI telah mengedarkan surat bahwa tidak boleh menggelar upacara keagamaan dengan menggunakan pengeras suara, karena pada tanggal tersebut GIDI melaksanakan seminar dan KKR pemuda tingkat Internasional. Tidak tersosialisasinya Surat Ralat 15 Juli 2015 atas Surat Edaran 11 Juli 2015. Insiden tolikara yang berujung pada terbakarnya masjid dipicu oleh beberapa faktor antara lain, wawasan agama yang masih rendah pada masyarakat Tolikara, perilaku kesukuan berlebih, banyak pendatang dari luar Papua. Masjid terbakar berawal dari permbakaran kios kemudian menjalar ke Masjid. Selain itu, ketiadaan forum kerukunan umat beragama tingkat Kabupaten di Tolikara juga melancarkan terjadinya insiden tersebut, karena kecurigaan antar umat Islam dan GIDI tidak memiliki wadah untuk diselesaikan bersama.
24
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Pemahaman yang kurang tentang agama dan beragama membuat pemeluk agama memiliki wawasan agama rendah, sikap toleransi yang kurang antar pemeluk agama: kurang mampu menahan diri, kurang menghormati, menganggap rendah pemeluk agama lain, kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi, ada kecurigaan masingmasing pemeluk agama, dan kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat. Sikap tersebut dimanfaatkan oleh provokator sehingga menjadi faktor pencetus yang ampuh dalam menimbulkan kerusuhan. 2. Perilaku kesukuan berlebih yang terjadi pada masyarakat Tolikara karena kemajemukan masyarakat di tanah Papua. Masyarakat yang masih primitif lebih memilih menyelesaikan konflik dengan perang antar suku dimanfaatkan oleh pihak luar yang memiliki kepentingan sosial, ekonomi dan politik untuk memecah kerukunan di Tolikara menggunakan nama agama. 3. Perbedaan tingkat keahlian dan kemampuan mengolah sumber daya alam di Tolikara antara para pendatang dengan masyarakat asli Tolikara yang masih
hidup
kekurangan
menimbulkan
kesenjangan
ekonomi.
Kesenjangan ekonomi menyebabkan kecemburuan sosial sehingga rawan terjadi konflik. 4. Masjid terbakar yang terjadi saat Muslim shalat Ied di Tolikara disebabkan oleh perubahan karakter masyarakat Tolikara yang didasari oleh wawasan agama yang masih rendah, perilaku kesukuan berlebih, banyak pendatang dari luar papua. Masjid terbakar berawal dari permbakaran kios kemudian menjalar ke Masjid.
24
25
4.2 Saran
1. Meningkatkan sumber daya manusia (SDM) pada masyarakat asli Tolikara. 2. Memupuk rasa toleransi antar umat beragama sesuai dengan filsafah bangsa Indonesia yang tercantum pada Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. 3. Program transmigrasi di Tolikara, Papua sebaiknya dilakukan penyortiran dengan pengaturan mobilitas penduduk yang baik supaya terbentuk integrasi sosial.
26
DAFTAR ISI
BPLH Provinsi Papua. Sumber Daya Geologi Provinsi Papua . Diakses pada 15 Mei 2016, http://bapesdalh.papua.go.id/potensi/17/sumber-dayageologi-provinsi-papua.htm. Edoway, Naftali. 2015. Papua 30 Persen, Pendatang 70 Persen: Mari Refleksi?. Diakses pada 15 Mei 2016, http://ampmalangraya.blogspot.co.id/2015/04/papua-30-persen pendatang-70-persen.html Edukasippkn.com . Pengertian Integrasi Vertikal dan Integrasi Horisontal Dalam Dimensi Integrasi Nasiona. Diakses pada 15 Mei 2016, http://www.edukasippkn.com/2016/05/pengertian-integrasi-vertikaldan.html. Gustina N. 2002. Proses Sosial Antar Kelompok Etnis Permukiman Transmigrasi Spontan (Kasus pada Pekon Marang, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten lampung Barat, Provinsi lampung). [skripsi]. Bogor : repository Institut pertanian Bogor. hal 1-2. https://www.papua.go.id/view-detail-page-177/penduduk-danketenagakerjaan.html Maida. 2015. Masuknya Islam di Bumi Cenderawasih. Diakses pada 15 Mei 2016, http://www.kompasiana.com/maidamacan/masuknya-islam-di-bumicenderawasih_5530056b6ea8346f0a8b4575 Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Pamungkas, Cahyo. 2014. The History Of Muslims And Christians In Papua: Tracing Cultural And Religious Heritage. Heritage of Nusantara: International Journal of Religious Literature and Heritage. Vol 3 No. 1. Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia. Siti Fatimah dan Anharudin. 2013. Resistensi Papua Terhadap Program Transmigrasi. Jurnal Ketransmigrasian vol. 29 no.1 2012. Pusat penelitian dan pengembangan ketransmigrasian, kemenaketrans jakarta.
26